Vol. XIV, No. 1, Januari 2013 Penanggung Jawab Saifan Nur Ketua Penyunting M. Alfatih Suryadilaga Sekretaris Penyunting Robby H Abror Penyunting Pelaksana M. Ali Imron Saifuddin Zuhri Roma Ulinnuha Pelaksana Tata Usaha Nur Aini Suhartanto
Esensia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin adalah jurnal independen yang memfokuskan kajiannya pada ilmu-ilmu ke-ushuluddin-an. Jurnal Esensia diterbitkan untuk mempublikasikan karya tulis para intelektual yang menekuni bidang ilmu-ilmu keushuluddin-an seperti, Kalam, Tasawuf, Filsafat Islam, Tasir-Hadits, Perbandingan Agama, Studi Agama-agama dan Pemikiran Islam. Esensia: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin diterbitkan pertama kali pada bulan Februari tahun 2000 oleh Fakultas Ushuluddin, Studi Agama, Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan terbit dua kali dalam satu tahun pada bulan Januari dan Juli. Alamat Redaksi Fakultas Ushuluddin, Studi Agama Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta Telp. (0274) 512156, e-mail:
[email protected]
Daftar Isi
Revitalisasi Keharmonisan Dunia (Menilik Relevansi antara Moral, Agama, dan Bencana) Enriko Tedja Sukmana | 1 – 18 Gempa Bumi dalam Al-Qur’an (Tafsir Tematik) Muhammad Makmun-Abha | 19 – 36 Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab Khafidah | 37 – 60 Menilik Ekologis dalam Al-Qur'an Ahmad Suhendra | 61 – 82 Pemahaman Hadis tentang Bencana (Sebuah Kajian Teologis terhadap Hadis-hadis tentang Bencana) Muhammad Alfatih Suryadilaga | 83 – 102 Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal dalam Proses Kebangkitan Masyarakat Yogyakarta Pasca-Gempa Ali Imron dan Aat Hidayat | 103 – 130 Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi Keagamaan dan Budaya dalam Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBK) Abdul Jalil | 131 – 144
Editorial
I
dealnya, agama selalu menawarkan kedamaian dan ketentraman, dan pasti menegasikan kekerasan apalagi peperangan. Dalam sejarah peradaban umat manusia, agama selali hadir sepanjang kehadiran manusia dalam sejarah kehidupannya. Di satu sisi agama menjadi penenenang bagi “situasi sulit” sejarah manusia seperti kelaparan, kematian, dan bencana, namun di sisi lain justru peperangan dan kekerasan oleh dan bagi manusia dipicu oleh cara pandang terhadap agama itu sendiri sembari menjustifikasi kekerasan yang dilakukan atas nama kesucian agama. Fenomena ini menjadi tema besar sejarah manusia-agama-dan kekerasan. Dari tahun ke tahun, kekerasan atas nama agama semakin meningkat. Adanya perbedaan keyakinan menimbulkan keresahan di masyarakat tertentu. Padahal perbedaan senantiasa terjadi di antara manusia, tidak ada satupun manusia dengan manusia yang lain sama. Dalam konteks ini, Esensia edisi Vol XIII, No.1 Januari 2012 hadir dengan tema Agama dan Kekerasan. Kajian ini sebagai sumbangan dalam mengurai kekerasan yang sering terjadi. Pada edisi perdana dengan tematik ini esensia menghadirkan 10 artikel, di antaranya tentang tema agama dan kekerasan dalam perspektif kalam sebagaimana dikemukakan oleh Fahruddin Faiz dengan judul Kekerasan Intelektual dalam Islam (Telaah Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah). Hasil kajian yang dilakukan adalah kekerasan intelektual dalam kasus mihnah Mu’tazilah merupakah sebuah implikasi dan akibat yang tidak terelakkan ketika agama berselingkuh dan bahkan terkooptasi oleh kepentingan politik dan kekuasaan. Kekerasan dalam perspektif filsafat dikemukan oleh Robby H. Abror dengan judul Bangsa Indonesia di Tengah Fenomena Kekerasan dan Ketidakadilan (Perspektif Filsafat Pancasila), Muzairi dengan judul Kebebasan Manusia dan Konflik dalam Pandangan Eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Ismail dengan judul Penggabungan Teori Konflik
Strukturalist-Non-Marxist dan Teori Fungsionalisme Struktural-Talcott Parsons: (Upaya Menemukan Model Teori Sosial-Politik Alternatif Sebagai Resolusi Konflik Politik dan Tindak Kekerasan Di Indonesia). Agama dan kekerasan dalam perspektif Tafsir dikemukakan oleh Muhamad Ridho Dinata dengan judul Konsep Toleransi Beragama dalam Tafsir Al-Qur’an Tematik Karya Tim Departemen Agama Republik Indonesia. Konsep yang diusung adalah prinsip kebebasan beragama, penghormatan kepada agama lain, dan prinsip persaudaraan. kebebasan dan kemerdekaan memilih agama sesuai keyakinan adalah hak asasi manusia yang paling asasi, maka manusia –termasuk pemerintah- harus menghormati hak tersebut, manusia atau bahkan nabi sekali pun hanya berhak untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa paksaan, tidak diperkenankan terlalu berlebihan apalagi sampai mencelakakan diri sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dilandasi nilai-nilai AlQur’an, maka kemerdekaan dan kebebasan beragama adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi atau sebagai pilar utama, sebagaimana yang telah dilakukan nabi ketika di Madinah. Selain itu juga dikemukakan artikel tentang politik siber dan terorisme virtual sebagaimana diungkapkan oleh Rulli Nasrullah. Dengan munculnya pengguna internet yang semakin meningkat dan terus meningkat, maka menimbulkan kekerasan di dunia maya. Salah satunya bisa memunculkan adanya terorisme. Dalam kajian antropologi, agama dan kekerasan dikaji oleh Mitsuo Nakamura Professor Emeritus of Anthropology, Chiba University, Jepang denagn judul Anthropology of Civilization: Personal Reflection on Anthropological Approach in the Study of Muslim Societies in Southeast Asia. Di akhir kajian esensia edisi Januari 2012 ini dibahas tentang agama dan kekerasan dalam perspektif studi agama. Agama haruslah mengambil andil yang besar terhadap penyelesaian konflik-konflik yang ada. Bukan malah sebaliknya, dimana agama justru menjadi sumber konflik. Itulah sebabnya pentingnya menempatkan agama sebagai solusi pembebasan manusia dari segala konflik yang mendera. Kenyataan tersebut dapat dilihat dalam artikel yang ditulis oleh munawir dengan judul Agama; Sebuah Upaya Pembebasan Manusia (Perspektif-Dialogis Islam dan Kristen) dan Ustadi Hamsah Perang dan Kekerasan atas Nama Agama dalam Wacana Ilmiah. Sedangkan dalam tulisan dan Arif Nuh Safri yang berjudul Otentisitas Risalah Kenabian (Pluralisme dan Kemanusiaan) mengisyaratkan akan
adanya perbedaan dalam keyakinan sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Dalam hal ini, rahmat yang ditawarkan oleh Rasul adalah ranah praksis, sehingga rahmat dan kasih sayang tersebut menjadi pijakan dalam hidup berdampingan penganut sesama agama, penganut antar agama, antar ras, suku dan pemahaman keagamaan.
REVITALISASI KEHARMONISAN DUNIA (Menilik Relevansi Antara Moral, Agama, dan Bencana) Enriko Tedja Sukmana STAIN Palangkaraya
[email protected]
Abstract The existence of the world is getting older impact to the vulnerability of natural structure that ultimately ended the catastrophic events known. But, consciously or not, natural disasters are not always started from the already fragile condition of the world, but it was related to human intervention in the process. Morality is the basic for the creation of a harmony, not only between man and man but a man by nature, started to abandoned and forgotten, made worse by the existence of religion is often only seen as mere appendages identity. Impact, the stability of the world that has been designed in such a way by God became unstable and fragile, that lead to the occurrence of damage and natural disasters. In order to repair and restore the world's harmony, people are required to understand the values of morality and the nature of religion, because it should be the value of morality and religion become the main reference in behaving. Kata kunci: Moralitas, Agama, Harmoni, Bencana.
A. Pendahuluan
P
ada akhir-akhir ini, seringkali media menyuguhkan pemberitaan kepada masyarakat menyangkut hal-hal yang sebenarnya memilukan hati, seperti acapkali terjadi tindak perampokan, penipuan, korupsi, pelecehan harga diri hingga pembunuhan. Ironisnya tindakan beberapa oknum yang berakibat hilangnya nyawa seseorang tersebut, tidak hanya dilakukan oleh seseorang kepada orang yang masih asing baginya, melainkan dilakukan oleh seseorang yang justru memiliki hubungan
2 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 kekerabatan atau kekeluargaan secara garis darah (baca: kandung). Tindakan amoral semcam itu pada intinya merupakan bagian dari adanya penurunan moral akhlak manusia, yang entah mungkin disebabkan oleh kurang mampunya seseorang mengelola hati dan akal pikiran mereka, sehingga hal-hal amoral tersebut menjadi jalan untuk memuaskan hasrat keduniawian mereka, atau mungkin pula disebabkan himpitan lingkungan yang memaksa mereka melakukan hal tersebut demi melepaskan jeratan ke”hina”an dihadapan sesama manusia. Kehidupan manusia dimuka bumi hampir selalu menggiring mereka melupakan jati diri mereka sebagai manusia yang mendapat amanat dari Tuhan untuk mengelola alam beserta isinya. Kepentingan individu berulangkali ditempatkan sebagai prioritas utama ketimbang kepentingan yang bersifat universal. Tentulah, hal ini mengganggu stabilitas keharmonisan hubungan, yang tidak hanya berlaku untuk sesama manusia, tetapi juga berlaku kepada sesama makhluk hidup bahkan alam. Terdapat beberapa fakta yang membuktikan bahwasanya ketika manusia menempatkan ego pribadinya lebih tinggi daripada ego terhadap sekitarnya, hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya chaos di muka bumi. Seperti bencana banjir, meskipun banjir dikatakan sebagai sebuah bencana alam, namun peran aktif manusia dalam “mewujudkan” banjir pun sangat kentara, terlihat masih umumnya pemandangan yang menyajikan view penebangan hutan secara liar, penumpukan sampah pada saluran drainase yang menjadikan aliran air menjadi terganggu, hingga semakin jarangnya kesadaran akan upaya reboisasi pohon. Kesemua hal itu merupakan wujud peran aktif manusia itu sendiri dalam mengolah dan membahayakan diri mereka sendiri dengan “mengundang” banjir datang kepada mereka. Selain banjir, contoh lain, yang memperlihatkan keaktifan manusia untuk mendatangkan bencana alam, adalah bencana kebakaran. Tidak hanya kebakaran dalam lingkup kecil – yakni kebakaran rumah, kios atau semacamnya – tetapi juga kebakaran dalam lingkup besar itu justru sering terjadi karena kelalaian manusia itu sendiri, seperti salah satunya membuang puntung rokok yang belum padam secara sempurna sembarangan.1 1
Penulis mengkategorikan kebakarakan rumah, kios, ataupun bangunan lainnya ke dalam ruang lingkup kecil, dikarenakan imbas dari kebakaran tersebut paling tidak hanya membahayakan manusia itu sendiri, berbeda dengan kebakaran yang terjadi di alam seperti
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
3
Kondisi ini sebenarnya pernah diprediksikan oleh malaikat ketika meng-interupsi- Tuhan saat menciptakan manusia (Adam) pertama kalinya. Peristiwa ini yang kemudian diabadikan Tuhan dalam Alquran sebagai salah satu peristiwa yang layak diketahui manusia.2 Secara harfiah, interupsi yang dilakukan malaikat kepada Tuhan itu dikarenakan adanya keyakinan bahwa manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berbuat makar dan kerusakan bagi alam dan dunia, meski kemudian hal itu dibantah langsung dari si-Empunya hidup, tetapi sayangnya, keyakinan malaikat itu kian hari makin kian mendekati kenyataan. Agama yang dalam hal ini digadang-gadang sebagai guide bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan di dunia, baik untuk hal yang bersifat individu maupun sosial, justru sering diabaikan dan diacuhkan keberadaannya. Sikap individualistis yang mengedepankan egonya sendiri pun merasuk tajam dan dalam dikehidupan manusia. Moral yang selayaknya adalah menjadi konsep utama dalam membina serta membangun keharmonisan hubungan antar manusia terlalu sering diabaikan. Sejatinya, agama manapun, termasuk Islam mustahil mengajarkan sesuatu hal yang bersifat amoral, terlebih apabila hal tersebut berdampak negatif tidak hanya bagi manusia itu sendiri melainkan meluas hingga kepada seluruh makhluk hidup, bahkan alam.3 Peristiwa alam yang sering kali disebut bencana alam oleh manusia, seperti gempa bumi, longsor, kebakaran, ataupun banjir, tentu mungkin lepas dari keberadaan dan perilaku manusia – yang notabenenya sebagai pengayom alam – itu sendiri. Untuk menghindari atau setidaknya meminimalisir bencana baik yang berasal dari alam maupun yang berasal dari moral manusia itu sendiri, upaya pemahaman dan pemupukan
hutan atau area lahan lainnya, imbas kebakaran itu tidak hanya membahayakan manusia– melalui asap kebakaran yang berbahaya bagi pernapasan manusia–melainkan juga berimbas kepada makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar areal alam tersebut. 2 Lihat Q.S Al-Baqarah ayat 30. 3 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, disebutkan bahwa “sesuatu hal yang menimbulkan kerugian, kesusahan, penderitaan atau pun segala sesuatu yang mengganggu dan menyusahkan” dinamakan dengan bencana. Mengacu kepada definisi ini bencana tidak hanya diartikan sebagai sesuatu yang menyusahkan atau mengganggu yang hanya berasal dari alam, melainkan dapat pula berasal dari manusia itu sendiri. Untuk kasus ini seringkali dijumpai penambahan objek keterangan setelah kata bencana tersebut, sebagai penegasan sumber asal mula gangguan yang menyusahkan tersebut, seperti bencana (alam) ataupun bencana (moral). Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departement Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 173.
4 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 kesadaran diri untuk lebih bermoral lebih digalakkan, dan salah satunya melalui pemahaman akan pesan Tuhan melalui ajaran agama. B. Moral Dalam Lingkup Psikologi dan Agama 1. Keterikatan Antara Moralitas dan Alam Raya Sebagaimana telah diketahui, bahwa moral memegang peranan yang sangat penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Moralitas manusia pun tidak mampu berdiri sendiri melainkan juga memerlukan sokongan dari hal lain seperti lingkungan ataupun agama. Dengan kata lain, moral dapat berkembang sesuai dengan apa yang terjadi disekitarnya. Dari sisi analisis psikologi sosial, banyak dijumpai, pribadi yang tanpa disadari berprilaku amoral lantaran terdorong oleh kehendak dirinya agar diterima oleh lingkungan.4 Dari segi keilmuan yang lain, yakni dari sisi psikologi kognitif, diterangkan bahwa, tindakan manusia, apabila dicermati secara mendalam, hampir seluruhnya diatur oleh informasi yang diperolehnya, yang bisa jadi informasi itu diperoleh dari bacaan, pengalaman, pergaulan, orang tua, dan bahkan lingkungan.5 Karena inilah, kemudian pengalaman berinteraksi kepada sesama makhluk hidup terutama kepada sesama manusia menjadi penting, karena dapat memicu pemahaman akan baik atau tidaknya suatu hal, meskipun demikian, kemauan untuk menerima kebaikan atau keburukan itu tetap kembali kepada pribadi manusia itu sendiri. Berawal dari bahasa latin “moris”, moralitas dapat diartikan dengan adat-istiadat, kebiasaan, peraturan (nilai-nilai) ataupun tata cara kehidupan. Sejatinya moralitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk memfilter antara baik dan buruk, sehingga dengan itu dapat membatasi diri dari bermacam hal yang dinilai keliru atau malah melakukan hal-hal baik dengan kesadaran penuh . Kapasitas pemilahan antara benar dan salah, yang kemudian berimbas merasa pantas ketika melakukan yang benar atau malu ketika berprilaku yang tidak semestinya.6 Dalam sistem moralitas, nilai ditempatkan sebagai sesuatu hal yang paling abstrak. Hal 4 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, (Bandung; Mizan 2011), hlm. 298. 5 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, hlm. 298. 6 Aliah B. Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 261.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
5
tersebut dikarenakan nilai, erat kaitannya dengan perasaan ataupun keyakinan, yang nantinya dipercaya akan memberikan corak terhadap pemikiran, keterikatan bahkan hingga prilaku. Dalam bahasa agama, moral seringkali disinonimkan dengan akhlak, disebabkan apabila dilihat dari sumber utama moral (nilai) tersebut yang serupa dengan akhlak yakni samasama berasal dari kalam illahi.7 Serupa dengan moral, dalam agama, akhlak merupakan pondasi utama membina keharmonisan hubungan antar sesama manusia, ataupun dengan alam. Sebagai salah satu dari tiga agama samawi yang terkenal, Islam, pun menekankan pentingnya keberadaan akhlak dalam pribadi seseorang. Panutan sekaligus guru utama dalam Islam, Nabi saw. pun dalam beberapa kesempatan menerangkan bahwasanya salah satu tujuan utama eksistensi dirinya di dunia adalah untuk memperbaiki moral atau akhlak manusia.8 Hal ini pun diperkuat dengan pernyataan Alquran yang menyatakan bahwa Nabi saw merupakan figur ideal yang memiliki akhlak yang sempurna yang diperuntukkan secara universal.9 Hal yang memiliki makna nyaris serupa dengan cita-cita Nabi yang ingin menjadikan umatnya sebagai penerus pembawa rahmat universal setelah beliau, pernah diungkapkan oleh Seyyed Hossein Nasr,
7 Baca elengkapnya pada Syahidin, dkk. Moral Kongnisi Islam, (Bandung: CV Alvabeta, 2009), hlm: 239. Akhlak merupakan kata serapan dari bahasa arab yang berakar kata khalaqa ()ﺧﻠ ﻖ, yang memiliki banyak arti, salah satunya perangai atau tabiat, menurut Ibn Miskawaih, kata akhlak dapat berarti keadan jiwa untuk bergerak tanpa berpikir terlebih dahulu, Baca juga, Abi> Ali> Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih, Tahzi>b alAkhlaq, (Beirut: Mansurat Jamal, 2011). 8 Perkataan nabi yang cukup populer mengenai fungsi dirinya di dunia itu antara lain, إِﻧﱠﻤَﺎ ﺑُﻌِﺜﺖُ ﻟِﺄُﺗَﻤﱢﻤَﺎ ﺻﺎَﻟِﺢَ اﻷَﺧﻼَقatau dalam riwayat lain إِﻧﱠﻤَﺎ ﺑُﻌِﺜﺖُ ﻟِﺄُﺗَﻤﱢﻤَﺎ ﻣَﻜَﺮِﻣَﺎ اﻷَﺧﻼَق “tidaklah aku diutus untuk menyempurnakan/memuliakan/mengindahkan akhlak”. Terdapat sedikti perbedaan redaksi dimana kata “ ”ﻣﻜﺎرﻣﺎberganti dengan redaksi “”ﺻﺎﻟﺢ, atau dalam riwayat lain dengan redaksi “”ﺣﺴ ﻦ, tetapi perbedaan redaksi tersebut tidak mengurangi atau merubah esensi makna yang bertujuan untuk menata kembali akhlak manusia. Lihat dalam Ah}mad bin H{anbal. Musnad Ah}mad. Ba>b Musnad Abi> Hurairah, no. 9187. jilid 19 (CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media), hlm. 218, dapat di lihat juga dalam Ima>m Ma>lik, Bab Ma> Ja>’a fi> H{usn al-Khuluq, no. 1643, jilid. 5. Muwat}a’ Ma>lik. (CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media), hlm. 315. Riwayat lain di lihat dalam Abu bakar Ahmad bin Husain bin Alī bin Abdullah al-Baihaqī, dalam kitab asy-Syāhādāt, Bab Makārim al-Akhlāk, Nomor Hadis 20571, dalam Mausū’ah Al-Hadīts An-Nabawī AsySyarīf: Ash-Shihāh, wa sunan, wa masānīd, (CD. Rom al-Maktabah al-Sya>milah, Ridwana Media). 9 Lihat Q.S Al-Anbiyaa ayat 107.
6 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
“The Purpose’s of man's appearance in this world is, according to Islam, in order to gain total knowledge of things, to become the Universal Man (al-insan al-lcamil), the mirror reflecting all the Divine Names and Qualities...” “ Man therefore occupies a particular position in this world. He is at the axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian of nature. By being taught the names of all things he gains domination over them, but he is given this power only because he is the vicegerent (khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is given the right to dominate over nature only by virtue of his theomorphic make up, not as a rebel against heaven” 10 Permasalahan moral ataupun akhlak yang dalam hal ini berhubungan dengan alam ini pun dalam pandangan penulis menemui sedikit keanehan (apabila hal ini tidak ingin dikatakan kelucuan), dimana minoritas masyarakat, yang dalam kehidupannya sering dianggap primitif, kuno dan tidak up to date, justru mempunyai kesadaran moral yang lebih tinggi ketimbang mereka yang dipandang modern, maju, pintar, dan selalu mengikuti tren zaman (up to date). Dengan mengabaikan penganut ajaran manakah kaum “primitif” tersebut, mereka cenderung menjaga keharmonisan antara mereka dengan alam.11 Upaya mereka dalam menjaga keharmonisan alam raya sering kali ditunjukkan dengan cara yang mungkin irrasional bagi mayoritas penduduk dunia, seperti salah satunya yakni dengan tidak buang air kecil di sembarang tempat, karena dianggap akan membuat marah si-empunya tempat tersebut.
10
Seyyed Hossein Nasr, Man and The Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, (London: Unwin Paperback, 1990), hlm. 96. 11 Masyarakat seperti ini pada umumnya menganut paham animisme. Paham animisme sendiri adalah paham yang meyakini atau mempercayai bahwa setiap benda memiliki kehidupan. Para penganut paham ini percaya bahwa benda disekitar mempunyai pengaruh atas kehidupan mereka, dengan dasar inilah yang kemudian mereka melakukan berbagai macam ritual, yang contohnya dalam konteks keindonesiaan sering dijumpai seperti memberikan sesajen kepada pohon besar, gunung, atau laut. Selengkapnya lihat Edward Brunett Tylor, Primitive Culture, (New York: Harper Toechbook, 1973), h. 46. Dapat dilihat juga dalam C. Gorden Olsen, “Animism: The Religions of Non-Literate Tribal People”, dalam, What In the World Is God Doing?-The Essential of Global Missions An Introduction, (New Jersey: Global Gospel Publisher, 2003), hlm. 184.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
7
2. Konsep Tingkatan Moral dalam Pandangan Lawrence Kohlberg12 Telah diketahui nilai moralitas tentang kebenaran dan keburukan masih sangat abstrak, karena itu masih diperlukan beberapa penalaran akan pemahaman kembali nilai moralitas tersebut. Lawrence Kohlberg merumuskan tiga tahapan perkembangan moral yang mana setiap tahapan ditandai kembali oleh dua tahapan. Konsep kunci tahapan yang dirumuskan Lawrence Kohlberg ini bermuara pada internalisasi yaitu perubahan perkembangan dari tindakan yang di-stir secara eksternal yang kemudian menjadi tindakan yang di-stir secara internal. Perkembangan penalaran moral ini memiliki enam tahapan perkembangan, yang terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni prakonvensional, konvensional, dan pasca konvensional. Teori ini berdasarkan ketertarikan Kohlberg ketika melihat orang-orang mulai menjustifikasi tindakan-tindakan yang mereka lakukan.
Stage I: Penalaran Prakonvensional Merupakan tingkat terendah yang dirumuskan oleh Kohlberg dalam teori perkembangan moralnya. Pada tingkat ini, seseorang tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral, dan beranggapan bahwa moralitas suatu perilaku berdasarkan pada konsekuensi langsung. Tingkat ini memiliki dua tahapan awal, yakni tahap pertama, orientasi terhadap impact, individu fokus kepada imbas langsung yang mereka rasakan dari 12
Lawrence Kohlberg, terkenal dengan konsep perkembangan moral, dilahirkan di Bronxville, Newyork, Amerika Serikat pada tahun 1927, dan menutup usianya pada tahun 1987 pada umur 60 tahun. Pernah menjabat sebagai professor di universitas Harvard dan universitas Chicago. Terlahir dari keluarga kaya, membuatnya mampu menempuh pendidikan di SMA swasta yang terkenal di New York. Memperoleh gelar sarjana psikologi hanya dalam kurun waktu satu tahun, pasca mendapat gelar sarjana, Kohlberg melanjutkan studinya dan berfokus kepada penalaran moral anak-anak. Pada tahun 1958, Kohlberg membangun kerangka penelitian yang kemudian dikenal sebagai moral stage development. Pada tahun 1962, Kohlberg kemudian mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar pada Universitas Chicago, selang enam tahun kemudian, Kohlberg menjadi professor pendidikan dan psikologi sosial di universitas Harvard. Ketika melakukan perjalan dalam rangka pekerjaan lintas budaya di Belize (Negara kecil yang terletak Pesisir timur, Amerika Tengah, berbatasan dengan Meksiko dan Guatemala, dikenal juga dengan sebutan Honduras Britania), Kohlberg menderita penyakit yang menyebabkan dia merasakan depresi yang berkepanjangan, hingga suatu waktu dia meminta izin keluar dari rumah sakit tempat dia dirawat, dan kemudian dia melakukan perjalanan menuju pantai, dan kemudian membunuh dirinya sendiri dengan cara menenggelamkan dirinya di Samudera Atlantik, Mobil dan kartu identitasnya ditemukan di Winthrop. Biografi ini penulis sadur dari website, http://en.wikipedia.org/wiki/Lawrence_Kohlberg, di akses pada Agustus 2013, pukul 21.19.
8 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 tindakan mereka sendiri, seperti seorang yang melakukan kesalahan haruslah dihukum, dan berat tidaknya hukuman itu tergantung dari kesalahan yang dilakukan. Tahap Kedua, individualisme dan tujuan, tahap ini individu menyatakan bahwa kebenaran tergantung kepada apa yang dia senangi. Dengan artian, individu tersebut akan melakukan sesuatu yang benar atau buruk dalam anggapan dia semata.13
Stage II: Konvensional, Menurut Kohlberg, tingkatan ini umumnya berada pada usia remaja dan dewasa, dimana individu dalam tingkatan ini menilai moralitas berdasarkan perbandingan tindakan dan pandangan keinginan masyarakat. Tingkat ini terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Tahap Ketiga, Norma-norma Interpersonal individu bersedia atau tidak bersedia menerima persetujuan dari pihak lain sebagai refleksi persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Tahap Keempat, Moralitas Sistem Sosial, pertimbangan moral dalam tahap ini melebihi dari pertimbangan tahap ketiga, yang mana kebutuhan umum harus lebih dari kebutuhan pribadi. Sebagai ilustrasi, bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin yang lain juga dapat berlaku sama, dan pelanggar hukum tersebut akan mendapat celaan secara moral yang mewajibkan dia untuk mematuhi hukum yang berlaku.14 Stage III: Pasca Konvensional Merupakan tingkatan tertinggi dalam teori moral kohlberg, di tingkat ini, moralitas benar-benar tidak didasari pada persepsi standar orang lain. Keyakinan bahwa setiap makhluk merupakan entitas yang terpisah semakin terasa benar. Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Di tingkatan ini sering terjadi miss, dimana tingkatan pasca konvensional sering diletakkan sebagai tingkatan pra-konvensional, dan sebaliknya. Tahap kelima, Hak masyarakat melawan Hak pribadi; setiap individu dipandang memiliki standar nilai yang berbeda-beda, sehingga 13 Lawrence Kohlberg; Richard H. Hersh, Moral Development ; A Review of Theory, dalam Theory into Practice, vol. 16, No. 2 Moral Development, hlm. 54. Artikel ini dapat di download dari http://www.jstor.org, pada Agustus 2013. 14 Lawrence Kohlberg; Richard H. Hersh, Moral Development; A Review of Theory, hlm. 55.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
9
kenyataan untuk saling menghargai sangatlah penting, dan peraturan yang menyusahkan masyarakat harus di modifikasi hingga tercipta kebaikan universal. Tahap Keenam, prinsip universal; tahap ini adalah tahap dimana individu menjalankan suara hati ketika berhadapan dengan konflik hukum, meskipun hal tersebut mampu membahayakan dirinya sendiri.15 Dari teori perkembangan tahapan moral, terlihat adanya klasifikasi manusia berdasarkan “umur/usia” mereka, semakin tinggi “umur/usia” maka semakin tinggi pula tingkat kesadaran diri mereka akan nilai-nilai moralitas. C.
Kerusakan Dunia Imbas dari Degradasi Moral
Seperti telah disinggung di atas, ketika malaikat sempat mengajukan interupsi-nya kepada Tuhan mengenai penciptaan manusia, dimana mereka berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang kerjaan-nya hanyalah merusak bumi. Mengenai hal tersebut, M. Quraish Shihab, berpendapat bahwa interupsi yang sempat diajukan malaikat tersebut berawal dari dugaan bahwa bisa jadi asumsi mereka terhadap manusia yang diamanahkan Tuhan menjadi khalifah bukan berasal dari golongan mereka yang senantiasa menyucikan Tuhan,16 sehingga rasa pesimis itu timbul karena perbedaan tersebut. Menariknya lagi, beliau menambahkan bisa jadi pula ada makhluk sebelum manusia tercipta yang telah melakukan tindakan makar terhadap alam, sehingga berdasarkan pengalaman tersebut malaikat mengajukan “keberatan”nya kepada Tuhan,17 terlepas dari semua dugaan penafsiran akan maksud dari interupsi malaikat tersebut, yang perlu dicermati disini adalah respon sekaligus tanggapan dari Tuhan yakni“sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, tanggapan tersebut secara tidak langsung apabila dicermati lebih dalam, maka manusia hakikatnya mempunyai potensi menuju wilayah kesempurnaan sebagai pemimpin, dibanding malaikat. Dengan kata lain, manusia yang mampu mengelola dirinya baik dengan bertindak sesuai moral dan akhlak yang benar, akan mampu “menciptakan” sirkulasi alam yang proporsional. 15
Ibid. M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 141-142. 17 Ibid., hlm. 141. 16
10 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Seperti apa yang telah diungkapkan malaikat mengenai tindakan manusia – terlepas dari bagaimana dan dari mana malaikat mendapatkan pertanyaan tersebut – sedikit banyak telah terbukti, tidak hanya kerusakan yang bersifat jasmaniah semata, kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia juga merambah ketingkat ruhaniyyah. Manusia sebagai makhluk kepercayaan Tuhan sering kali malah menjadi aktor utama timbulnya berbagai bencana alam. Degradasi moral menjadi main core dari segala akibat tersebut. Kecenderungan manusia melupakan (baik secara sengaja maupun tidak sengaja) pada akhirnya merusak kestabilan harmoni alam yang telah diatur Tuhan sedemikian rupa. Imbasnya kerugian tidak hanya dirasakan oleh oknum semata, namun meluas hingga taraf universal. Sebenarnya tindakan manusia tersebut sudah disinggung dalam Alquran,
ۡ ٱ ۡ ٱ ۡ ۡ ۡۡ ٱ ۡ ٱ ۡ ٱ ۡ “telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”18 Upaya penyinggungan yang dilakukan Alquran tidak hanya terbatas pada satu surah tersebut semata, melainkan berulang hingga beberapa kali di surah dan ayat yang berbeda, diantaranya sebagai berikut,
... ٰۡۡۡۡ ٱۡ ... “...dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya...”19
ۡۡ ٱ ۡ ٓ ﴾﴿ ۡ ۡ ٓ ۡۡ ٱ ۡ ۡ ٰۡ
18 19
Q.S. al-Ruum ayat 41 dan Q.S asy-Syura ayat 30. Q.S Al-A’Raaf: 85.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
11
“Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan, Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar ”20 Tuhan berupaya mengingatkan manusia bahwa sebenarnya kestabilan harmoni antar alam dengan manusia sudah mengalami chaos sedemikian rupa, yang kesemuanya hampir dipastikan berawal dari manusia itu sendiri. Hal ini hanyalah bentuk awal dari teguran Tuhan kepada manusia agar mengingat kembali fungsi keberadaan mereka di dunia sebagai pengelola.21 Ketiadaan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap pengelolaan alam juga mempengaruhi timbulnya efek negatif dari alam ini.22 Ayat yang menerangkan kepada manusia tentang kerusakan alam ini, dalam pandangan Quraish Shihab, berlaku umum, dengan artian bahwa yang menjadi objek sasaran ayat ini adalah umat manusia secara universal, tidak hanya berasal dari satu agama seperti muslim semata melainkan untuk semua agama dan umat manusia.23 Dari sini terlihat bahwa moral atau etika manusia sangat berperan besar dalam menjaga stabilitas keharmonisan alam raya.24 Kerusakan-kerusakan alam merupakan bagian bentuk efek degradasi moral. Moral yang hakikatnya merupakan salah satu inti dari pengontrol kehidupan manusia ketika mengalami penurunan akan berakibat fatal bagi keharmonisan alam dan lingkungan. Permasalahan moral atau akhlak manusia ini, ketika ditarik mundur kebelakang sudah sering kali terjadi. Sebagaimana telah tertulis dalam Alquran, dimana mencatatkan berbagai macam peristiwa bencana yang telah terjadi kepada umat atau bangsa terdahulu. Para utusan Tuhan (khususnya Nabi dalam agama Islam) umumnya, memiliki cita-cita dan misi yang serupa, selain mempersoalkan permasalahan tauhid yang sudah menyimpang seperti mempersekutukan Tuhan, hingga mengklaim dirinya 20
Q.S. Al-Baqarah ayat 10-11. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jilid XI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 76. 22 Seyyed Hossein Nasr, Man and The Nature, hlm. 18. 23 Ayat yang dimaksud adalah asy-syura ayat 30, Penjelasan selengkapnya lihat dalam, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid XII, hlm. 503-504. 24 Lihat Q.S Huud ayat 61. 21
12 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 sebagai Tuhan, juga mempersoalkan permasalahan degradasi ataupun penyimpangan moral. Nabi Nuh, misalnya pada masanya bencana alam yang terjadi adalah berupa banjir yang menyapu seluruh isi bumi, karena penyelewengan tauhid mereka yang tidak percaya kepada Nabi Nuh.25 Lain pula kasus yang menimpa kaum Nabi Luth, dimana masyarakat pada masa itu, diberikan bencana oleh Tuhan berupa hujan (batu) dan angin kencang yang sangat dashyat hingga mampu membinasakan secara sempurna kaum tersebut, itu lantaran mereka (kaum Nabi Luth) telah bertindak amoral dan akhlak mereka sudah jauh dari apa yang telah digariskan, yakni dengan menyukai sesama jenis, bahkan parahnya, pribadi amoral tersebut disifati oleh hampir mayoritas penduduknya.26 Kerusakan moral yang cukup parah terjadi pula pada masa Nabi Musa, yakni sang raja yakni Fir’aun,27 mengklaim dengan memproklamirkan secara tegas bahwa dirinya adalah Tuhan yang wajib disembah, dan dengan dasar itulah dirinya (fir’aun) berhak menghidupkan dan mematikan manusia sekehendaknya. Tindakan yang dilakukan oleh fir’aun tersebut merupakan bentuk sifat negatif dari moral manusia, yaitu menyombongkan diri dan memaksakan ego pribadinya diatas ego masyarakat. Melihat dari fakta sejarah yang dikemukakan Alquran, terlihat bahwa degradasi moral pada dasarnya dapat menimpa semua umat manusia tanpa terikat zaman. Bahkan terdapat sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “sejarah pasti berulang”, ungkapan ini menutup ketidakmungkinan moral manusia akan berbeda dari masa ke masa. Dari sini dapat pula lahir pemikiran bahwasanya apa yang terjadi belakangan ini, seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, dan bencana-bencana lainnya, tidak lain merupakan kalkulasi dari kemunduran dan menguapnya nilai-nilai moral yang dimiliki manusia, hingga pada akhirnya, terdapat manusia yang secara fisik berbentuk manusia, namun secara jiwa telah menghilang sifat 25
Lihat Q.S Nuh ayat 1-28, Q.S Al-A’Raaf ayat 63-64, dan lihat juga Q.S Huud ayat
27-48. 26
Lihat Q. S Al-Anbiya ayat 74 dan 75, Q.S Asy-Syu’ara ayat 160-175, Q. S Huud ayat 77-83, Q. S Al-Qamar ayat 33-39 dan Q.S At-Tahrim ayat 10. 27 Sejatinya, Fir’aun adalah sebutan bagi seseorang yang memiliki kedudukan sebagai raja, sehingga dapat dikatakan bahwa Fir’aun yang tertera pada kisah Alquran bukanlah nama sebenarnya dari raja yang memimpin bangsa Mesir kala itu. Beberapa penelitian masih memperdebatkan permasalahan nama sebenarnya dari fir’aun yang hidup pada masa Nabi Musa, ada menyebutkan bahwa nama Fir’aun yang hidup pada masa nabi Musa tersebut adalah Thutmose II, ada pula yang menyebutkan Ramses II.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
13
kemanusiaannya karena menguapnya nilai-nilai moral atau akhlak dalam diri mereka. D. Kontribusi Agama Bagi Perbaikan Kehidupan Tidak dapat dipungkiri, bahwa keadaan siklus harmoni dunia yang setiap zamannya, berkembang dan berevolusi memaksa manusia berbuat lebih untuk sekedar bertahan hidup, namun sayangnya usaha dan upaya manusia untuk survive tersebut sering kali dijadikan kambing hitam dalam berperangai buruk. Moralitas terlampau sering dianggap sebagai tembok yang menghalangi individu tersebut untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Meninggalkan prinsip moral atau akhlak universal menjadi pandangan yang lumrah terjadi. Dasar inilah yang kemungkinan besar menjadi hakikat eksistensi agama, Tuhan sepertinya ingin mengembalikan manusia, ke pakem yang benar sekaligus “menstabilkan” kembali harmoni indahnya alam dunia, dimana manusia sebagai pemimpinnya, melalui ajaran agama. Dalam pandangan umum agama seringkali hanya dikaitkan dengan ritual-ritual yang bersifat vertikal semata, selain itu, agama tidak jarang juga dipandang hanya sebagai pelengkap identitas, dogma-dogma, tradisi semata. Padahal, agama memiliki makna yang lebih dari itu agama memiliki nilai-nilai spiritual, moral, etika, serta intelektual yang tinggi, agama juga merupakan sistem yang sempurna yang berguna untuk membangun kesadaran akan bermasyarakat, berpandangan filosofis serta mampu memjembatani hubungan dengan Tuhan.28 Krisis moral atau akhlak yang terjadi, sudah barang tentu berkaitan dengan pemahaman individu terhadap agamanya. Pemahaman kembali akan pentingnya moral atau akhlak seperti yang diajarkan oleh agama sudah seharusnya digalakkan lagi. Muslim sebagai bagian dari penduduk dunia tidak luput dari adanya krisis moral dan akhlak. Pada konteks ke-Indonesiaan khususnya, diketahui telah banyak terjadi berbagai macam bencana, seperti contohnya bencana tsunami di aceh pada tahun 2004, gempa bumi di Yogyakarta dan beberapa daerah di Sumatera Barat pada tahun 2006 dan 2009, hingga peristiwa meletusnya gunung merapi yang meluluh-lantahkan 28 Lebih jelasnya lihat, M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi : Pendekatan Integratif-Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 26. Lihat juga dalam, M. Quraish Shihab, dkk. Atas Nama Agama: Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 45.
14 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 sebagian daerah bagian, kesemua peristiwa tersebut, disamping memang dikarenakan kondisi alam dan dunia yang sudah semakin renta, juga dipengaruhi oleh tingkah polah sebagian oknum manusia dengan melegalkan secara perilaku amoral, seperti memakan hak orang lain (korupsi, kolusi dan nepotisme), melakukan penganiayaan, penipuan, hingga pembunuhan, bahkan ironisnya lagi, itu terjadi di negara yang populasi muslimnya terbesar di dunia. Lantas, manakah, Islam sebagai agama yang membawa rahmat, kedamaian, dan kebahagiaan yang universal, bukankah Islam itu seakar dengan kata salam yang dapat diartikan dengan kedamaian, atau selamat.29 Hakikatnya, Islam apabila benar-benar ditelisik lebih dalam tidak mungkin meng“amin”kan segala tindak kejahatan apalagi berbuah kerusakan baik fisik maupun non-fisik. Alquran mengingatkan agar tidak melakukan kerusakan apapun bentuknya seperti,
ۡۡۡ ٱۡۡ “janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”30 atau dalam ayat lain
ۡۡۡ ٱۡۡۡٓۡٱۡ “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”31 Peringatan Alquran itu muncul tidak hanya sekali dua kali, melainkan berulangkali, ini dapat menjadi isyarat bahwa tindakan amoral yang berimbas pada kerusakan sama sekali tidak dibenarkan. Nabi Muhammad pun yang notabenenya sumber panutan bagaimana seorang muslim itu
29
Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab Jilid XII, (CD. Program al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media), hlm. 289. Lihat Juga Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Mana>r, Vol. III (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), hlm. 213. Dalam kamus bahasa Arab karangan Hans Wehr, kata Islam mempunyai arti beragam, seperti to be safe and sound (aman), unharmed (tidak menyakiti), unimpaired (tidak menghalangi), secure (bersifat aman), atau faultless (tidak ada cacat), Selengkapnya lihat, Hans Wehr, Dictionary of Modern Arabic, J. Milton (ed.) (London: George Allen and Unwin, 1971), hlm. 424. 30 Q.S Al-Baqarah ayat 60. 31 Q.S Asy-Syua’ara ayat 185.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
15
berperangai-pun telah mengajarkan serta mempratekkan secara langsung tentang apa itu yang disebut muslim yang sebenarnya, seperti contohnya adanya larangan menyakiti orang lain baik itu berupa perkataan apalagi perbuatan. 32 Pada dasarnya, Islam mengajarkan bahwa agama dengan moralitas adalah satu kesatuan, bukan entitas yang berbeda satu dengan yang lain. Terbukti iman tidak terhitung sempurna apabila seorang muslim masih tidak mencintai sesamanya,33 selanjutnya adanya pernyataan yang menyatakan bahwa Tuhan menyukai mereka yang berbuat baik.34 Tentulah perbuatan baik disini tidak sebatas ibadah yang bersifat ketuhanan semata, seperti sholat, puasa, dan semacamnya, melainkan juga termasuk ibadah yang sifatnya sosial seperti, memuliakan tamu, menjaga perasaan orang lain, dan membantu sesama. Lebih jauh lagi, apabila ditelisik ibadah yang bersifat ketuhanan pun pada dasarnya berkaitan erat dengan moral.35 E. Simpulan Moralitas dan agama merupakan dasar yang paling penting dalam menstabilkan keharmonisan dunia, tanpa keduanya dunia mengalami chaos
32
Hadis Nabi mengenai hal ini sebagai berikut,
ِاﻟﻤُﺴﻠِﻢُ ﻣَﻦ ﺳَﻠِﻢَ اﻟﻤُﺴﻠِﻤُﻮنَ ﻣِﻦ ﻟِﺴَﺎﻧِﮫِ وَﯾَﺪِﯾﮫ “Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya; yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” Lihat dalam Muhammad ibn Isma>’i>l ibn Ibra>hi>m ibn al-Mugira>h al-Bukha>ri>, S{ahi>h Bukha>ri>, vol. I dan XX, bab al-Muslim man salima al-Muslimu>n min lisa>nihi wa yadihi, no. hadis 9 dan 6003 dan diriwayatkan juga oleh Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairī an Naisāburī, S{ahi
n al -Isla<m, Ima>n wa Ihsa>n, no. hadis 9, diriwayatkan juga oleh Abu Abd ar-Rahma>n ibn Syu’aib ibn ‘Ali> al-Khura>sa>ni> an-Nasa’i>, Sunan an-Nasa’i>, vol. XV, bab s{ifat al-Muslim, no. hadis 4901, 8701 dan11707, dan dalam Abu Abdullah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, bab Musnad Abdullah ibn Umar ibn ‘As{, no. hadis 6228, 6515, 6659, 6661, 6687 dan 6688, (CD. Program al-Maktabah alSya>milah. Ridwana Media). 33 Pernyataan yang bersumber dari Nabi ini sudah cukup populer, ِﻻَ ﯾُﺆْﻣِﻦُ اَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺣَﺘﱠﻰ ﯾُﺤِﺐﱡ ِﻷَﺧِﯿْﮫِ ﻣَﺎ ﯾُﺤِﺐﱡ ﻟِﻨَﻔْﺴِﮫ “Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” Diriwayatkan dalam al-Bukha>ri>, S{ah}ih} al-Bukha>ri>, no. hadis 13, jilid 1, hlm. 14. Hadis yang sama juga dapat dilihat dalam al-Nasa>’i, Sunan al-Nasa>’i, no. 5031. jilid 8, hlm. 489. Selain itu, lafal yang sama juga bisa dilihat dalam al-Tirmiz\i>. Sunan al-Tirmi>z\i>, no. 2795, jilid 9, hlm. 429, (CD. Program al-Maktabah al-Sya>milah. Ridwana Media). 34 Q.S Al-Baqarah ayat 195. 35 Lihat Q.S Al-Ankabu>t ayat 45, disana dinyatakan sholat mampu mencegah diri dari melakukan tindak amoral.
16 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 yang cukup hebat, tidak hanya terjadi pada wilayah yang bersifat natural, seperti kerusakan alam yang berujung banjir, tanah longsor, gempa bumi ataupun kebakaran hutan. Tetapi juga terjadi ke wilayah yang bersifat sosial yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia, seperti penganiayaan, atau bahkan sampai ke taraf penghilangan nyawa manusia. Hal ini sangatlah memprihatinkan, mengingat Tuhan telah menaruh rasa percaya-Nya kepada manusia lebih dari rasa percaya-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain, untuk mengolah, menata, serta membangun dunia ini. Tentulah mengembalikan moral manusia ke pakem yang benar bukan perkara gampang, diperlukan peran aktif bukan hanya dari pribadi yang telah mengalami degradasi moral saja, melain peran aktif masyarakat dituntut untuk ikut serta. Selanjutnya pemahaman akan fungsional dari agama haruslah ditingkatkan kembali, sehingga dunia menjadi harmoni kembali “di penghujung hidupnya”.
Daftar Pustaka Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Al-Maktabah al-Sya>milah, CD.ROM Mausū’ah Al-Hadīts An-Nabawī AsySyarīf: Ash-Shihāh, wa sunan, wa masānīd, Ridwana Media. Hasan, Aliah B. Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006 Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Bandung: Mizan 2011. Kohlberg, Lawrence; Richard H. Hersh. Moral Development: A Review of Theory, dalam Theory into Practice, vol. 16, No. 2 Moral Development. L. Moshers, R,. Moral Education: A First Generation of and Development, New York: Praeger Publisher, 1980. Lidwa, CD ROM. Ensiklopedia Hadits 9 Imam, Jakarta: Lembaga Ilmu Dakwah Publikasi Sarana Keagamaan. Miskawaih, Abi> Ali> Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub. Tahzi>b al-Akhlaq, Beirut: Mansurat Jamal, 2011.
Enriko Tedja Sukmana, Revitalisasi Keharmonisan Dunia |
17
Nasr, Seyyed Hossein. Man and The Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man, London: Unwin Paperback, 1990. Olsen, C. Gorden.What In the World Is God Doing? The Essential of Global Missions An Introduction, New Jersey: Global Gospel Publisher, 2003. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Sprinthall, R.C.. Educational Psychology: A developmental Approach, Boston: Mc Graw-Hill Company, 1995. Syahidin, dkk. Moral Kongnisi Islam, Bandung: CV Alvabeta, 2009. Tim Penyusun Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departement Pendidikan Nasional, 2008. Tylor, Edward Brunette. Primitive Culture, New York: Harper Toechbook, 1973. T. Lickona. Moral Development: Theory, research and Social Issues, Holt, Rinehart & Winston, 1976. W.
Crapss, Robert. Perkembangan Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Kepribadian
dan
Keagamaan,
18 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
GEMPA BUMI DALAM AL-QUR’AN (Tafsir Tematik) Muhammad Makmun-Abha Mahasiswa PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]
[] 3 2 1 1 [] ; 432 1 [; ] 32 [] ; Kata Kunci: Gempa Bumi, Tafsir Tematik.
20 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 A. Pendahuluan ejak dahulu ketika bumi dengan bentuknya yang bulat1 ini belum diketahui manusia hingga sekarang, bumi dengan luasnya lautan dan daratan telah banyak mengalami gejala-gejala alamiah aneh dan tidak sesuai dengan kebiasaannya yang sering disebut dengan bencana alam. Bencana alam sanagatlah beragam termasuk di dalamnya gempa bumi. Gempa bumi adalah fenomena getaran yang dikaitkan dengan hentakan kerak bumi. Dari studi geologi, terbukti bahwa bebatuan pada permukaan bumi tidaklah kaku sebagaimana bentuk yang terlihat. Tanah (bumi) jika mendapat tegangan yang di luar batas elastisitasnya akan menimbulkan perpecahan (cupture) dan ketika ini terjadi gerakan meluncur relatif terjadi di antara sisi-sisi yang berlawanan dan menghasilkan apa yang disebut geological fault. Kajian tentang gempa bumi ini akan menarik jika ditelusuri lebih lanjut dari sudut pandang al-Qur’an karena di dalam al-Qur’an ditemukan banyak sekali ayat-ayat yang membicarakan gempa bumi. Benar bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan namun ia merupakan kitab suci yang memuat isyarat-isyarat akan ilmu pengetahuan yang amat luas, sehingga kitab ini mendorong naluri keingintahuan manusia untuk berikhtiar dan mencari pengetahuan melalui berbagai cabang studi ilmu pengetahuan termasuk di dalamnya geografi, geologi dan fisika yang ada kaitannya dengan gempa bumi.2 Tidak hanya terbatas di dunia melainkan juga di alam seluruh semesta menjadi bahan studi bagi diri manusia itu sendiri. Dia menyadari kedudukannya sebagai khalifah Allah SWT, karenanya ia harus dapat mengendalikan bumi serta berusaha menjinakkan kekuatan alam bagi
S
1
Menurut Ibnu Taimiyah, para ulama’ telah sepakat bahwa bumi ini berbentuk bulat, di permukaan bumi tidak ada apa-apa kecuali garis tengah dan bagian pusat yang paling bawah disebut dengan garis keliling Ulama yang sependapat dengan tafsir ini bukan hanya Ibnu Taimiyyah tetapi juga seorang Mufassir kondang, Imam Fakhruddin Al-Razi, Abu Ya'la dan Ibnu Hazm Lebih lanjut lihat: Magdy Shehab, dkk., Ensiklopedia Kemukjizatan AlQur’an & Hadits Jilid 8 (Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008), hlm. 30. 2 Lebih lanjut dijelaskan bahwa al-Qur’an itu ka al-bahri al-ladzii laa saahila lahu yaitu bahwa al-Qur’an itu layaknya laut yang tiada tepinya. Hal ini sangatlah logis karena pada dasarnya al-Qur’an itu dalam bahasa exegesis yang diungkapkan dengan “yahtamilu wujuuh al-ma’naa”, bahwa al-Qur’an itu memuat banyak sekali kemungkinan makna, dengan begitu salah satu konsekuensi logisnya adalah al-Qur’an memberikan wilayah yang sangat tidak terbatas termasuk juga dalam kaitannya dengan ayat-ayat kauniyah sebagaimana yang diteliti dalam kajian ini. Baca, Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (0Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), hlm. 19.
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
21
kepentingan hidupnya.inilah beberapa hal yang mendasari pentingnya kajian ini, dan untuk lebih fokus pada sebuah tema dalam bingkai al-Qur’ān, maka secara metode, penulis meminjam model tafsir maudlî’î-nya al-Farmawî.3 B. Ayat-ayat yang Menjelaskan Gempa Bumi Al-Qur’an mempunyai berbagai pilihan kata dalam menjelaskan gempa bumi. Al-Qur’an menggunakan berbagai bentuk ragam kata yang berbeda dalam menyebutkan gempa bumi, yaitu sebagai berikut. 1. Menggunakan Kata Zalzalah dan derivasinya, kata Zalzalah disebutkan dalam beberapa surat yaitu dalam Q.S. Al-Baqoroh ayat 214, Q.S. AlAhzab ayat 11, Q.S. Al-Hajj ayat 1-2 dan Q.S. Zalzalah ayat 1-2. 2. Menggunakan Kata Dakk dan derivasinya, kata ini disebutkan dalam dua surat yaitu Q.S. Al-Haaqqah ayat 14 dan Q.S. Al-Fajr ayat 21. 3. Menggunakan Kata Syaqq dan derivasinya, kata ini disebutkan dalam beberapa surat yaitu Q.S. Qaf ayat 44, Q.S. Maryam ayat 90 dan Q.S. ‘Abasa ayat 26. 4. Menggunakan Kata Qath’al-Ardl kata ini disebutkan dalam Q.S. AlRa’d ayat 31. 5. Menggunakan Kata Badl Al-Ardl, yaitu terdapat dalam Q.S. Ibrahim 48. 6. Menggunakan Kata Rajfah dan derivasinya, yaitu terdapat dalam Q.S. Al-A’raf ayat 78, Q.S. Al-A’raf ayat 91 dan155, Q.S. Al-Muzaamil ayat 14, Q.S. Al-Ankabut ayat 37 serta Q.S. Al-Nazi’at ayat 6. 7. Menggunakan Kata Rajj, yaitu dalam surat Al-waqi’ah ayat 4. 8. Menggunakan Kata Madd, yaitu dalam surat Al-Insyiqoq 3-4 3
Metode ini pertama kali dicetuskan di Mesir oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981. Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futūhat Al-Rabbîniyyah fi Al-Tafsîr Al-Mawdhū'î li Al-Āyāt Al-Qur’āniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Quran. Menurut ‘Abd al-Hayy alFarmawî, langkah-langkah yang ditempuh dalam melakukan penelitian tafsir tematik adalah: Menentukan topik masalah yang dibahas; Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang dibahas; Menyusun kronologis turunnya ayat (Makkiyah dan Madaniyyat); Menjelaskan latarbelakang turunnya ayat (sabab al-Nuzūl); Memaparkan munasabat (saling keterkaitan) antara ayat yang satu dengan ayat yang lain; Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna; Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan tema yang dikaji jika ada. Lihat, Abd al-Hayy al-Farmawiy, Metode Tafsir Mawdhu’iy, terj. Suryan A.J. (Jakarta: Raja Grafindo,1996), hlm 45-46.
22 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
9. Menggunakan Kata khasafa dan derivasinya, yaitu dalam Q.S. Al-Nahl ayat 45, Q.S. Al-Isra’ 68, Q.S. Qashash ayat 81, Q.S. Al-Ankabut 40, Q.S. Saba’ ayat 9 dan Q.S. Al-Mulk ayat 16. 10. Menggunakan Kata Fasad (Secara Fisik) yaitu dalam Q.S. Ar-Rum ayat 4 dan Q.S. Al-Baqarah ayat 25. 11. Menggunakan Kata Fasad (Secara Non Fisik) yaitu terdapat dalam Q.S. Al-A’raf ayat 56 dan Q.S. Al-A’raf ayat 85. C. Kategorisasi Ayat, Asbāb Al-Nuzūl dan Munāsabah. Ayat–ayat gempa bumi ini Jika kategorisasikan berdasar masa turunnya, meliputi kategori ayat-ayat Makkiyah dan ayat-ayat Madaniyyah, maka dapat dijumpai bahwa semuan ayat-ayat gempa bumi adalah makkiyah kecuali yang terdapat dalam surat al-Baqarah, al-Hajj, dan alZalzalah. Adapun untuk memahami asbāb al-nuzūl dan munasabah ayat-ayat yang terkait gempa bumi, penulis mengklasifikannya menjadi tiga bagian besar,4 yaitu sebagai berikut. 1. Ayat-ayat gempa bumi yang masuk dalam kisah umat terdahulu. Adapun ayat-ayat yang masuk dalam kategori ini adalah Q.S. AlBaqarah 214, Q.S. Al-Ahzab 11 dan Q.S. Al-‘Ankabut ayat 40. Sebab turunnya ayat-ayat ini beragam namun memiliki kesamaan, Imam Al-Alusi misalnya menjelaskan bahwa Q.S. Al-Baqarah 214 turun saat perang Khandaq (parit) di Madinah dan dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa ayat ini turun di saat perang Uhud.5 Hal yang sama juga terdapat dalam Q.S. Al-Ahzab 11 di mana Imam Al-Zamakhsyari dan Thahir Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa ayat ini turun dalam perang khandaq di mana kaum muslimin dicoba dengan adanya goncangan, yakni goncangan permusuhan 4 Pengelompokan ini didasarkan atas kesamaan Asbāb Al-Nuzūl dalam ayat-ayat yang masuk dalam kategori tersebut. Untuk selanjutnya pengkategorisasian ini akan memudahkan penulis dalam melihat kandungan ayat-ayat yang menjelaskan gempa dengan beberapa termterm besar bencana alam yang mencakup gempa di dalamnya yaitu mushibah, bala’ dan fitnah sebagaimana penulis cantumkan di awal-awal bab II ini. Di samping itu kategorisasi ini juga akan digunakan untuk menjelaskan keterkaitan (munasabah) antar ayat dan surat yang menjelaskan gempa bumi dalam satu kesatuan pembahasan. 5 Lihat, Syihab Al-Din Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim Wa Al-Sab’ Al-Matsani, jilid 2. hlm. 193 dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004).
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
23
yang tidak seimbang antara jumlah pasukan orang mukmin dan orang kafir.6 Adapun Q.S. Al-‘Ankabut ayat 40, Imam al-Thabari telah mengutip riwayat dari Ibnu Juraij bahwa Allah SWT telah menceritakan keadaan umat-umat Nabi terdahulu yang membangkang dari ajaran Allah yaitu kaum Tsamud, kaum Madyan, Qarun dan sebagainya dalam ayat-ayat yang lain kemudian direview secara detil dalam ayat yang satu bahwa kaum Nabi Luth mendapat hujan batu, kaum Tsamud dan kaum Madyan telah ditimpa shaihat (suara yang keras), Qarun ditelan (dengan gempa) oleh bumi dan ada kaumnya Nabi Nuh yang ditenggelamkan di laut.7 2. Ayat-ayat gempa bumi yang masuk dalam kategori ayat-ayat kiamat. Adapun ayat-ayat yang masuk dalam kategori ini adalah Q.S. Al-Hajj ayat 1-2, Al-Haaqqah ayat 14 dan Al-Zalzalah ayat 1. Sebab turunnya ayatayat ini beragam namun memiliki kesamaan pula, Ibnu Katsir misalnya ketika menjelaskan Q.S. Al-Hajj ayat 1-2 mengutip riwayat Imam AlThabrani dalam hadist yang sangat panjang sekali bahwa zalzalah (gempa bumi) itu adalah gejala alam yang akan datang menjelang hari qiyamat (sa’at), sehingga gempa bumi dalam riwayat yang dikutip oleh Ibnu Katsir adalah gejala alam yang merupakan salah satu tanda dari datangnya hari kiamat dan ia akan tiba pula di saat hari kiamat.8 Ketika menjelaskan sebab turunnya Q.S. Al-Haaqqah ayat 14 dan Q.S. Al-Zalzalah ayat 1, Ibnu Katsir menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hatim bahwa ayat ini turun dalam rangka menjelaskan keadaan-keadaan yang terjadi saat kiamat datang. Hal itu dimulai dengan adanya tiupan sangkakala oleh malaikat kemudian bumi dan gunung-gunung diangkat dan saling dibenturkan.9 Dalam riwayat yang lain Ibnu Jarir menambahkan bahwa ayat ini masih turun dalam konteks ayat-ayat kiamat guna memaparkan tentang pentingnya iman dengan hari kebangkitan agar dapat 6 Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, jilid 5, hlm. 313, dalam DVD ROM Al-Maktabah AlSyamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). Baca juga: Thahir Ibnu ‘Asyur, Al-Tahrir wa AlTanwir, jilid 1, hlm. 3329 dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 7 Bandingkan, Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ay Al-Qur’an, Jilid 20, hlm. 35-37 dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah ( Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 8 Abu Al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Jilid 5, hlm. 389-391 dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah ( Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 9 Abu Al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Jilid 8, hlm. 211, dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004).
24 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 memotivasi untuk menjalankan hal-hal yang baik dan menjauhi hal-hal yang buruk.10 Imam Al-Mawardi menuturkan bahwa ayat ini khususnya dan surat Al-Zalzalah pada umumnya diturunkan dalam rangka memberikan ancaman dan penakut-nakutan kepada orang-orang kafir yang tidak mau beriman terhadap datangnya hari akhir. Adanya gempa bumi ini disebutkan oleh jumhur ulama’ sebagai salah satu tanda akan datangnya hari kiamat (asyrat al-sa’at) meski ada beberapa mufasir yang memahaminya bahwa gempa bumi sebagaimana yang disebutkan di atas adalah gempa bumi yang terjadi saat tibanya hari kiamat itu.11 3. Ayat-ayat gempa bumi yang masuk dalam kategori adzab dan gejala alam. Di antara ayat yang masuk dalam kategori ini adalah Q.S. Al-Fajr ayat 21 dan Q.S. Maryam ayat 90. Menurut Ibnu Abi Hatim Q.S. Al-Fajr ayat 21 turun di sekitar orang-orang kafir yang tidak menghormati anak-anak yatim, tidak mau memberikan bantuan terhadap orang-orang miskin bahkan mereka sudah dibuat buta oleh gemerlapnya harta benda dan dunia sehingga melupakan akan datangnya hari kiamat, makhsyar, dan hisab padahal hari itu akan datang juga di mana bumi digoncangkan, gunung dan lautan diratakan lantaran perbuatan mereka yang melenceng dari ajaran agama Islam.12 Adapun Q.S. Maryam ayat 90 menurut Imam Ibnu Katsir turun karena banyaknya orang kafir yang menganggap bahwa malaikat itu adalah anak-anak Allah padahal dalam ayat-ayat sebelumnya Allah telah menjelaskan bahwa Allah menciptakan Nabi Isa dari Maryam tanpa bapak, dan ayat ini turun dalam rangka mengingkari sangkaan orang-orang kafir tersebut. Riwayat ini juga dapat dijumpai dalam riwayat Abdullah Ibnu Abbas,13 Mujahid, Muqatil,14 Qatadah dan Malik Bin Anas.15 10 Abu Bakar Al-Jaza’iri, Aisar Al-Tafasir, jilid 4, hlm. 302, dalam DVD ROM AlMaktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 11 Imam Al-Mawardi, Al-Nakt Wa Al-‘Uyun, jilid 4, hlm. 444, dalam DVD ROM AlMaktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 12 Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Hatim, jilid 12, hlm. 402, dalam DVD ROM AlMaktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 13 Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Miqbas, jilid 1, hlm. 324, dalam DVD ROM AlMaktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 14 Muqatil, Tafsir Muqatil, Jilid 2, hlm. 322, dalam DVD ROM Al-Maktabah AlSyamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004). 15 Abu Al-Fida’ Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, Jilid 5, hlm. 265-269, dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah (Solo: Pustaka Ridwana, 2004).
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
25
D. Pengertian Gempa Bumi dalam Al-Qur’an Gempa bumi dalam bahasa arab diistilahkan dengan Al-Zalzalah.16 Menurut arti bahasa, kata Al-zalzalah itu sendiri diambil dari kata zalla yazallu zallan wa zalalan wa mazallatan17 yang artinya adalah istirsaal Alrijli min ghair qashd (tergelincirnya kaki atau jatuhnya kaki dengan tanpa disengaja). Makna ini diambil dari Firman Allah SWT dalam Q.S. AlBaqarah: 36 yang menggunakan kata fa azallahumaa al-syaithaanu ‘anha yang artinya Lalu syaitan menggelincirkan keduanya dari (surga) itu.18 Dari isytiqaaq di atas, kemudian muncullah kata Al-zalzalah dan Altazalzul dengan makna Al-idlthiraab yang artinya adalah gelombang besar, goncangan besar dan pergerakan yang besar.19 Adapun menurut arti istilah kata Al-zalzalah didefinisikan oleh Luis Ma’luf dalam kamus Al-Munjid fi Al-Lughat dengan Iritijaf Al-Ardli wa Ihtizaazuhaa wa Idlthiraabuha yang artinya goncangan, goyangan atau gerakan dan gelombang besar yang terjadi di dalam bumi.20 Lebih lanjut Luis Ma’luf menjelaskan bahwa gempa bumi adalah adanya goncangan bumi yang besar dan cepat yang bisa menyebabkan terpecah-pecahnya kerak-kerak bumi sebagai akibat dari pergerakan lempeng bumi. Makna ini terkandung dalam Q.S. Al-Zalzalah ayat 1 dan Q.S. Al-Hajj ayat 1. Istilah asli dari gempa bumi dalam Al-Qur’an adalah menggunakan kata zalzalah (gempa bumi), namun di samping kata tersebut terdapat beberapa key word yang menunjukkan arti gempa bumi dalam Al-Qur’an, yaitu kata dakk (terbenturnya bumi, digoncangkannya bumi), syaqq (terbelahnya bumi), qath’ (terbelahnya bumi), badl Al-ardl (penggantian bumi), rajfah (gempa yang dahsyat), rajj (gocangan yang dahsyat), madd (meratakan bumi), khasf (terbenamnnya bumi) dan fasad Al-Ardl (kerusakan bumi).
16 Baca, Abu Al-Qasim Al-Raghib Al-Ashfahaniy, Al-Mufradat li Alfaadh Al-Qur’an, (Damaskus: Dar Al-Qalam, tt), hlm. 343. 17 Luis Ma’luf menambahkan isytiqaq kata zalla yazallu zallan wa zalalan wa zuluulan wa zaliilan wa zillilan wa mazillatan. Lihat, luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1975), hlm 3.03}. 18 Baca: Abu Al-Qasim Al-Raghib Al-Ashfahaniy, Al-Mufradat li Alfaadh Al-Qur’an, (Damaskus: Dar Al-Qalam, tt), hlm. 343. 19 Baca: Abu Al-Qasim Al-Raghib Al-Ashfahaniy, Al-Mufradat li Alfaadh Al-Qur’an, (Damaskus: Dar Al-Qalam, tt), hlm. 343. 20 Luis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1975), hlm. 303.
26 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 E. Nama-Nama Gempa Bumi dalam Al-Qur’an Gempa bumi dalam Al-Qur’an memiliki nama-nama yang berbeda, beberapa nama gempa bumi tersebut dalam ayat-ayat yang menjelaskan gempa sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya. Adapun nama-nama gempa bumi dalam Al-Qur’an adalah sebagai berikut. a. Al-Zalzalah, nama ini tersebut dalam Q.S. Al-Zalzalah yakni dalam ayat.
b. Al-Khasaf, nama ini tersebut dalam Q.S. Al-Qashash yakni dalam ayat.
c. Al-Shaihat, nama ini tersebut dalam Q.S. Hud yakni dalam ayat.
d. Al-Rajfat, nama ini tersebut dalam Q.S. Hud yakni dalam ayat.
e. Al-Rajj, nama ini tersebut dalam Q.S. Al-Waqi’ah yakni dalam ayat.
f. Al-Dakk, nama ini tersebut dalam Q.S. Al-Fajr yakni dalam ayat.
g. Al-madd, nama ini tersebut dalam Q.S. Al-Insyiqaq yakni dalam ayat.
F. Jenis Gempa Bumi dalam Al-Qur’an Istilah gempa bumi -yang secara terminologi diartikan dengan adanya goncangan yang dahsyat- disebutkan dalam Al-Qur’an dengan beragam macam sebagaimana berikut. a. Goncangan Jiwa (Bukan Gempa Bumi) Goncangan jiwa ini lebih dikenal dengan istilah galau, yaitu hilangnya harapan seseorang yang berubah menjadi sebuah keputusasaan kemudian muncul lagi harapan tersebut dan akhirnya berujung keputusasaan sehingga datanglah situasi kegalauan. Gempa yang demikian ini dapat dijumpai dalam dua ayat dalam Al-Qur’an yaitu sebagai berikut.
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
27
1) Q.S. Al-Baqarah ayat 214 Artinya: Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orangorang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. 2) Q.S. Al-Ahzab ayat 11 Artinya: Disitulah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. b. Goncangan Bumi (Gempa Bumi yang terjadi) Gempa bumi di sini diartikan dengan gempa bumi secara umum yaitu dengan adanya gerakan dan goncangan bumi dari keadaan sebelumnya yang secara lahir tenang menuju gerakan yang tiba-tiba menggoncang dan membolak-balikkan bumi. Gempa yang demikian ini dapat dijumpai dalam dua ayat dalam Al-Qur’an. 1) Q.S. Al-Hajj ayat 1: Artinya: Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Q.S. Al-Hajj: 1) 2) Q.S. Al-Zalzalat ayat 1: Artinya: Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), (Q.S. Al-Zalzalat: 1) c. Gempa Bumi yang tiada bandingannya (Tunggal) Jika di atas telah disebutkan adanya gempa bumi yang benar-benar terjadi karena adanya sebab-sebab alamiyah atau sering disebut dengan sebab-sebab yang bersifat membumi dan ‘alamiyyah (tahtiyyat-‘alamiyyah) sebagaimana layaknya gempa-gempa yang terjadi di bumi ini, maka ada sebuah gempa yang terjadi karena memang murni kehendak Allah atau lebih dikenal dengan gempa bumi yang timbul murni karena sebab yang bersifat
28 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 melangit dan murni campur tangan Allah (fauqiyyah-ilahiyyah). Gempa bumi yang semacam ini hanya terjadi sekali saja dan tidak ada bandingannya (tunggalnya) dalam sejarah gempa bumi. Gempa ini terangkum dalam firman Allah berikut ini. Artinya: Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman". (Q.S. Al-‘Araf:143). d. Gempa Bumi yang tidak nyata dan tidak terjadi Di dalam Al-Qur’an terdapat macam gempa bumi yang masuk dalam kategori gempa bumi yang fiktif dan tidak nyata (tidak terjadi). Jika di atas disebutkan macam gempa yang terjadi baik gempa yang biasa maupun gempa yang tunggal (tiada bandingannya), maka di dalam ayat Al-Qur’an pun juga dijumpai jenis gempa yang fiktif dan tidak terjadi (tidak nyata). Ada dua jenis gempa bumi yang semacam ini yang disebutkan dalam AlQur’an, yaitu: Pertama adalah gempa Al-Qur’an, yakni gempa yang terjadi di gunung jika Allah menurunkan Al-Qur’an di atas gunung tersebut karena betapa takutnya gunung tersebut kepada Allah SWT. Namun gempa bumi yang semacam ini tidak terjadi karena pada faktanya Allah tidak menurunkan Al-Qur’an pada sebuah gunung tersebut. Gempa bumi jenis ini disebutkan oleh Allah dalam firmannya berikut. Artinya: Kalau sekiranya kami turunkan Al-Quran Ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
Kedua adalah gempa bumi yang diharapkan oleh para makhluk ciptaan Allah seperti langit, bumi dan gunung-gunung yang ada di dalamnya.
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
29
Gempa bumi ini bukanlah gempa bumi yang nyata karena pada dasarnya gempa bumi ini dilatarbelakangi oleh pengingkaran orang-orang kafir akan keesaan Allah di mana mereka sempat mengatakan bahwa Allah memiliki anak, kemudian lantaran ucapan mereka itu langit-langit, bumi-bumi dan gunung merelakan diri untuk menggerakkan diri mereka masing-masing sehingga timbullah goncangan besar (gempa). Hal ini tidak lain dan tidak bukan hanyalah karena kebengisan langit, bumi dan gunung-gunung terhadap ucapan-ucapan orang kafir yang mengingkari keesaan Allah SWT. Gempa ini disebutkan oleh Allah SWT dalam firmannya berikut: Artinya: Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh.
G. Sebab-sebab Terjadinya Gempa Bumi dan Tipologinya 1. Terjadinya gempa karena izin Allah Dalam peristiwa terjadinya gempa bumi memang tidak semuanya bersumber dari kesalahan manusia dan atau karena murka Allah, akan tetapi gempa bumi itu datang bisa juga karena sudah merupakan kehendak dari Allah, dengan seizin-Nya suatu bencana bisa terjadi kapan pun dan dimana pun serta tanpa diduga-duga sebagaimana disebutkan dalam firman Allah berikut. Artinya: Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al-Taghabun: 11). Tipologi ini adalah cara pandang sebagian para Mutakallimin yang mendasarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini merupakan kehendak dan wewenang Allah SWT semata. Manusia dan makhluk hidup di alam jagad raya ini hanyalah mengikuti kehendak yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Dalam bahasa theologisnya dikenal
30 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 istilah Bala’ (ujian), yaitu kejadian-kejadian yang menimpa manusia yang datang langsung dari Allah tanpa sedikitpun campur tangan manusia.21 2. Terjadinya Gempa karena Ulah Perbuatan Tangan-Tangan Jahil Manusia (Melalui Gejala Alam) Faktor ulah dan perbuatan manusia bisa menjadi penyebab utama dari terjadinya gempa bumi dan bencana alam. Hal ini sangatlah logis karena alam ini diciptakan untuk manusia dan manusialah yang harus bisa menjaga dan melestarikannya. Jika manusia sudah tidak dapat melestarikan alamnya bahkan tidak peduli kepadanya maka suatu bencana aka mudah datang, semisal membangun perumahan di sekitar daerah-daerah tempat penyerapan air bisa berakibat longsor dan banjir ketika terjadi hujan.22 Contoh lain misalnya, ketika manusia menggunduli hutan dan menebangan pohon secara liarakan menyebabkan terjadinya kebakaran hutan, pemanasan global dan lain sebagainya. Hal yang serupa juga bisa terjadi dalam terjadinya gempa bumi, itu semua merupakan bencana yang terjadi akibat gejala alam yang dirangsang olah ulah dan perbuatan manusia sendiri yang membuat kerusakan. Hal ini sudah dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri dalam ayat berikut. Artinya: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). (Q.S. Al-Syura: 30). Dalam ayat lain disebutkan sebagai berikut: Artinya: Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Q.S. Al-Hadid: 22). Tipologi ini adalah cara pandang ilmuwan yang menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi tidaklah datang begitu saja melainkan melalui proses yang timbul melalui gejala-gejala alam. Gejala alam sangat dipengaruhi oleh tindakan manusia sebagai makhluk yang diberi tanggung 21 Hernedi Ma’ruf, “Bencana Alam dan Kehidupan Manusia dalam Perspektif AlQur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (Editor), Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq, 2011), hlm. 167-168. 22 Ibid., hlm. 167-168.
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
31
jawab untuk menjaga, memelihara, membudi daya, mengembangkan dan hingga menikmati alam. 3. Gempa Akibat Dosa dan Maksiat Ada faktor lain yang harus diakui sebagai salah satu penyebab terjadinya gempa bumi di samping sebab-sebab yang sudah disebutkan sebelumnya, faktor itu adalah perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan oleh manusia. Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bahwa ada jenis gempa bumi dan bencana alam lain yang terjadi disebabkan karena dosa dan maksiat23. Misalnya kaumnya Nabi Luth yang mendapat adzab dari Allah lantaran perbuatan dosa mereka sendiri yaitu dosa homoseksual (laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan laki-laki) sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT dalam Q.S. Al-A’raf: 80-84 tentang Nabi Luth dan umatnya. Bertolak dari kisah kaum Nabi Luth yang mendapat adzab lantaran dosa yang mereka lakukan, sangat logis jika gempa bumi terjadi akibat dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia-manusia yang ada di muka bumi ini. Tipologi ini menggunakan cara pandang para tokoh yang menganggap bahwa gempa bumi dan bencana-bencana alam yang lain merupakan salah satu bentuk dari adzab yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai akibat dari dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Dalam bahasa theologisnya dikenal istilah fitnah. Fitnah berarti ujian yang disertai dengan siksaan sebagai akibat dari dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia itu sendiri.24 Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan sebab-sebab ini dalam firman Allah berikut: Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Al-Rum: 41) Munculnya tiga tipologi yang merupakan istilah lain dari sebab terjadinya gempa bumi dan bencana-bencana alam lain di atas mustinya bisa dikompromikan menjadi suatu pemahaman yang utuh. Jika tidak 23 24
Ibid., hlm. 169. Ibid., hlm. 167-168.
32 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 demikian, maka yang terjadi hanyalah pemahaman yang parsial karena tipologi pertama dipengaruhi oleh aliran theologi Jabariyah, tipologi kedua dipengaruhi oleh aliran ilmuwan yang hanya mendasarkan pada gejala alam tanpa menyertakan adanya kuasa Allah di sana, sedangkan tipologi yang terakhir cenderung hanya menyalahkan manusia yang melakukan sebuah dosa kemudian didatangkanlah gempa bumi dan bencana-bencana alam lainnya sebagai adzab mereka di bumi ini. Dengan adanya pemahaman yang menyeluruh maka akan ditemui sebuah titik temu dan benang merah yang menghubungkan mengapa sebuah peristiwa gempa itu terjadi. Bisa jadi memang ketiga tipologi yang merupakan istilah lain dari sebab terjadinya gempa bumi dan bencanabencana alam yang lain tersebut terjadi secara bersamaan, bisa jadi hanya satu tipologi yang merangkumnya dan seterusnya. Dengan memadukan tipologi ini secara bersamaan maka manusia akan selamat dan tidak akan terjebak dalam theologi jabariyah semata atau malah terpengaruh oleh para ilmuwan belaka. H. Dampak Gempa Bumi dalam Al-Qur’an Beberapa dampak yang timbul sebagai akibat dari terjadinya gempa bumi sangatlah banyak sekali. Namun dalam Al-Qur’an, dampak-dampak yang muncul dari terjadinya gempa bumi dapat dikelompokkan menjadi dua hal. 1. Dampak yang timbul terkait dengan manusia. Dampak yang muncul dari terjadinya gempa bumi bagi manusia tidak lain adalah banyaknya korban jiwa yang meninggal dunia atau menderita banyak kesakitan. Hal ini sangatlah logis karena gempa bumi menyisakan banyak korban yang berjatuhan di arena bencana. Belum lagi jika dikaitkan dengan beberapa kisah gempa bumi yang menimpa umat-umat sebelum umat Nabi Muhammad SAW -sebut saja misalnya umat Nabi Syu’aib- yang memang tujuan dari gempa bumi tersebut adalah untuk menghancurkan mereka yang mendustakan ajaran Allah SWT. Dampak-dampak yang terkait dengan manusia ini dapat dijumpai dalam beberapa ayat sebagai berikut. a. Q.S. Al-A’raf ayat 78 Artinya: karena itu mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat tinggal mereka. b. Q.S. Al-A’raf ayat 91
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
33
Artinya: kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, c. Q.S. Al-Ankabut ayat 37 Artinya: Maka mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa gempa yang dahsyat, dan jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di tempat-tempat tinggal mereka. 2. Dampak yang timbul terkait dengan alam. Dampak gempa bumi tidak hanya mengenai manusia saja sebagai penghuni jagad raya ini, sebaliknya terjadinya gempa bumi juga memberikan dampak yang sangat besar bagi alam semesta itu sendiri. Dampak yang pasti bagi alam dari terjadinya gempa bumi adalah terjadinya banyak kerusakan alam di sana-sini khususnya di daerah di mana gempa bumi itu terjadi. Dampak-dampak yang terkait dengan kerusakan alam ini dapat dijumpai dalam ayat sebagai berikut. Artinya: Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya". (Q.S. Al-A’raf: 155).
I.
Hikmah di Balik Terjadinya Gempa Bumi Secara theologis, tidak ada yang salah dengan terjadinya gempa bumi, karena pada dasarnya semua itu adalah bagian dari sistem yang sudah diciptakan oleh Allah SWT, pencipta alam semesta dan seisinya ini. Allah adalah dzat yang menguasai langit, bumi, jagad raya ini dan seluruh isinya. Allah bisa membuat apa saja yang beliau kehendaki mulai dari gempa bumi, longsor, banjir dan bencana-bencana alam lainnya kapan saja dan dimana saja.
34 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Jika gempa bumi telah terjadi maka itu adalah ketetapan yang tidak bisa dibantah dan dihindari. Namun dari semua itu tentu ada hikmah dan pelajaran berharga yang harusnya bisa dipahami dari tanda-tanda itu. Hanya orang-orang yang bisa membaca dari semua kejadian dan belajar dari kejadian itulah yang mendapatkan hikmah dan manfaat yang besar, sebesar dampak yang ditimbulkan gempa bumi itu sendiri. Dengan demikian jelaslah bahwa terjadinya gempa bumi membawa hikmah tersendiri bagi manusia dan lingkungan sekitar. Berikut adalah di antara hikmah yang bisa diambil dari terjadinya gempa bumi.25 a. Gempa bumi dan semua jenis bencana alam yang terjadi di atas bumi ini tidaklah terjadi begitu saja dengan sendirinya melainkan sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah SWT, sehingga manusia tidak perlu terlalu jatuh dalam kesedihan dan kesusahan yang mengantarkan pada kurang produktifnya mereka di masa setelah terjadinya gempa bumi. Sebaliknya, dengan adanya gempa bumi dan bencana-bencana yang lain, manusia harus termotivasi untuk memperbaiki sistem keimanan dan sistem kehidupan lingkungan agar berjalan seiring dan serah dengan kemajuan sikap religiuitas dan kemajuan lingkungan sekitar. b. Gempa bumi adalah peringatan Tuhan yang paling nyata, bahwa manusia itu memang sangat tidak berdaya. Untuk itu tidak ada pelindung selain Allah Tuhan Yang Maha Perkasa. c. Dengan terjadinya gempa bumi, manusia sebenarnya sedang diingatkan secara dini bahwa gempa adalah baru sebagian yang sangat kecil dari proses maha dahsyat yang memang akan terjadi yaitu kiamat, yang bukan hanya bersifat lokal tapi kehancuran tata surya dan alam semesta. d. Sistem Allah terkait dengan balasan pahala dan siksa bukan hanya terjadi di akhirat saja, melainkan sudah Allah terapkan sejak di dunia. Setiap kebaikan yang dibangun atas iman kepada Allah SWT dan ketaatan pada Rasul-Nya akan berakibat pada keberkahan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Sebaliknya, setiap pelanggaran yang dilakukan manusia terhadap sistem yang telah ditetapkan oleh
25
Ibid., hlm. 172-174.
Muhammad Makmun-Abha, Gempa Bumi dalam Al-Qur’an |
35
Allah akan berakibat pada tindakan Alah melalui berbagai bencana yang Allah timpakan kepada manusia termasuk gempa bumi. J. Simpulan Dari uraian-uraian di atas, ada beberapa hal yang pokok, yaitu: Pertama, ayat-ayat gempa bumi dalam al-Qur’an dikelompokkan menjadi tiga, (1) terkait dengan kisah umat terdahulu, (2) terkait dengan tema hari kiamat dan (3) terkait dengan gejala alam. Kedua, tidak semua ayat-ayat gempa dalam al-Qur’an benar-benar terjadi karena gempa dalam al-Qur’an dikelompokkan menjadi empat, yaitu goncangan jiwa (bukan gempa bumi), goncangan bumi (gempa bumi yang terjadi), gempa bumi yang tiada bandingannya (tunggal) dan gempa bumi yang fiktif dan tidak terjadi. Ketiga, faktor yang menyebbabkan gempa menurut al-Qur’an sangatlah beragam yaitu gempa terjadi atas kehendak Allah semata, gempa terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan jahil manusia (melalui gejala alam) dan gempa terjadi akibat dosa dan maksiat manusia. Keempat, gempa bumi yang terjadi sejatinya membawa banyak hikmah bagi manusia dan kehidupan sehingga manusia benar-benar dapat memakmurkan kehidupan sebagai khalifah di muka bumi dengan menjalani roda kehidupan yang sesuai aturan baik aturan agama maupun aturan alam semesta.
Daftar Pustaka Al-Alusi, Syihab Al-Din. Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim Wa Al-Sab’ Al-Matsani dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Al-Ashfahaniy. Abu Al-Qasim Al-Raghib. Al-Mufradat li Alfaadh AlQur’an, Damaskus: Dar Al-Qalam, tt. Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Miqbas. dalam DVD ROM Al-Maktabah AlSyamilah, Solo: Pustaka Ridwana. 2004. al-Farmawiy, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdhu’iy, terj. Suryan A.J., Jakarta: RajaGrafindo.1996. Al-Jaza’iri, Abu Bakar. Aisar Al-Tafasir. dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004.
36 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Al-Thabari, Ibnu Jarir. Jami’ Al-Bayan fi Ta’wil Ay Al-Qur’an. dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf. dalam DVD ROM Al-Maktabah AlSyamilah, Solo: Pustaka Ridwana. 2004. Hernedi Ma’ruf, “Bencana Alam dan Kehidupan Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an” dalam Sahiron Syamsuddin (Ed.), Al-Quran dan Isu-isu Kontemporer, Yogyakarta: Elsaq, 2011. Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Hatim. dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Ibnu ‘Asyur, Thahir. Al-Tahrir wa Al-Tanwir. dalam DVD ROM AlMaktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Ibnu Katsir, Abu Al-Fida’. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim. dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Imam Al-Mawardi, Al-Nakt Wa Al-‘Uyun. dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Ma’luf, Luis. Al-Munjid fi Al-Lughat, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1975. Muqatil, Tafsir Muqatil. dalam DVD ROM Al-Maktabah Al-Syamilah, Solo: Pustaka Ridwana, 2004. Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis. Yogyakarta: Logung Pustaka. 2008. Shehab, Magdy, dkk. Ensiklopedia Kemukjizatan Al-Qur’an & Hadits Jilid 8, Bekasi: PT. Sapta Sentosa, 2008.
TEOLOGI BENCANA DALAM PERSPEKTIF M. QURAISH SHIHAB Khafidhoh Alumni Studi Qur’an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta [email protected]
Abstrak Human life has always been dealt with various disasters from earthquake, tsunami to volcano eruption. In the past, as listed in the Qur’an, a lot of stories depicted the vanished people of unbeliever. While the cases of unbeliever referred to the punishment of Alloh, the query is whether the disaster happened to the Believer served as the Divine punishment. Two questions are discussed in this research: (1) How Quraish Shihab interpreted the verses of disaster?, and (2) What is the theology of disaster in Quraish Shihab’s Tafsir al-Misbah? The research shows that natural disaster occurred, in Quraish Shihab’s view, due to the imbalance of environment. Alloh has created harmonious environment, but human being tends to conduct chaos and destruction. Disaster could be concluded into three: (1) disaster that denoted collective destruction, (2) disaster that related to the destruction of meaning, and (3), disaster that dealt with the danger. The cause of disaster could be categorized into three, namely, (1) disaster due to the will of God (2) disaster due to human error (3) disaster due to the wickedness of human. Pertaining to the ethics facing disaster, one could refer to istirja’, patience, learning, the obedience to Alloh. The lesson learned from the disaster are among others, (1) individual aspect : (a) increasing the degree of faith, (b) supporting one’s proximity to God, (c) realizing the love of God, (d) situating one’s faith and (e) supporting one’s humility and (2) social one, building solidarity among human beings. Kata kunci: Mushi>bah, bala>’, fitnah, az}a>b, fasad, ‘iqa>b, tadmi>r, halak.
38 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 A. Pendahuluan elakangan ini kehidupan manusia telah banyak ditimpa bencana. Sebagaimana bencana gempa bumi yang terjadi di Aceh pada tanggal 24 Desember 2004 dengan kekuatan 9,0 SR, yang diikuti dengan tsunami yang dahsyat. Selanjutnya pada tanggal 27 Mei 2006 juga terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR di DIY dan Jawa Tengah.1 Dan beberapa gempa lain.2 Tidak hanya gempa bumi, pada bulan Oktober 2010, tepatnya pada tanggal 4 Oktober 2010 terjadi banjir bandang di Wasior. Selang satu hari setelah itu, terjadi letusan gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010.3 Ketika berbagai macam bencana tersebut ditarik kebelakang, sesungguhnya dalam al-Qur’an telah banyak dijelaskan tentang kejadian serupa yang dialami oleh umat-umat terdahulu. Sebagaimana kisah mengenai kaum Nabi Nu>h} yang ditenggelamkan oleh Allah melalui air bah yang sangat dahsyat. Sementara Nabi Nuh dan mereka yang menjadi pengikutnya diselamatkan dalam sebuah bahtera.4 Berbagai cerita dan kisah tentang bencana tersebut -baik yang terjadi pada kaum-kaum terdahulu yang membangkang, maupun yang terjadi belakangan ini-, memunculkan pertanyaan di benak penulis, apakah bencana-bencana tersebut merupakan ‘teguran’, ‘hukuman’ ataukah ‘pengingat’ bagi manusia atas kelalaian dan kesalahannya? Untuk menjawab kegelisahan tersebut penulis merasa tergerak untuk menggali pemahaman tentang bencana melalui pemikiran Quraish Shihab dalam tafsirnya, al-Mishbah5. melalui dua rumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana penafsiran Quraish Shihab mengenai ayat-ayat tentang bencana?, dan (2) Bagaimana teologi bencana menurut Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah?
B
1
http://www/ Gempa_bumi_Yogyakarta_2006.htm, diakses tanggal 26 Januari 2011 htttp://www.kompasiana /Bencana Gempa Bumi Terjadi Akibat Pemanasan Global.htm, diakses tanggal 26 Januari 2011 3 http://www/Bencana Wasior, Mentawai dan Merapi, Sudah Ada Tanda Sebelumnya « Fenomena Alam Semesta.htm. Diakses tanggal 26 Januari 2011. 4 Q.S. Hu>d (11): 25-48. Lihat juga W. Montgomery Watt, Richard Bell: Pengantar alQur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 114. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007). 2
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
39
Quraish Shihab adalah seorang mufassir yang cukup produktif, ia telah menelorkan berbagai karya, yang sebagian besar berbicara tentang diskursus al-Qur’an. Menurut penulis dengan menggali pemikiran dari seorang mufassir yang hidup di negara Indonesia yang notabene memiliki potensi bencana cukup besar ini, dengan atau tanpa disadari memungkinkan Quraish Shihab untuk memiliki rasa empati yang lebih besar pada para korban bencana dari pada penafsir yang tidak ikut mengalami dan melihat sendiri terjadinya bencana tersebut. Teologi6 bencana7 yang penulis maksudkan disini adalah konstruksi pemikiran Quraish Shihab secara sistematis mengenai bencana yang akan penulis gali melalui interpretasi Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya alMishbah. Metode yang digunakan untuk menganalisa data dalam penelitian ini yaitu metode interpretasi dan analitika bahasa. Metode interpretasi yaitu proses analisis dengan melakukan interpretasi yang meliputi menerangkan, mengungkapkan maupun menerjemahkan.8 Sedangkan metode analitika bahasa yaitu mengungkapkan makna yang terkandung dari ungkapan yang masih belum jelas menjadi lebih jelas dan eksplisit. Dalam penelitian ini, penulis penggunakan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Pendekatan tematik digunakan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk mendapatkan
6
Kata teologi berasal dari bahasa Yunani yaitu theologia yang terdiri dari dua kata yaitu theos yang berarti Tuhan, dan logos yang berarti wacana atau ilmu.6 Dengan demikian, maka teologi berarti ilmu atau pengetahuan tentang Tuhan. Selain itu, teologi juga dapat didefinisikan sebagai sebuah doktrin, keyakinan, serta pemikiran dari kelompok-kelompok kegamaan tertentu maupun seseorang tentang Tuhan Adapun teologi yang penulis maksudkan di sini bukanlah teologi dalam pengertian kajian tentang Tuhan, melainkan teologi dalam arti sebuah konstruksi pemikiran seseorang secara sistematis, yang dalam hal ini adalah pemikiran Quraish Shihab. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 1090. 7 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bencana diartikan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau menimbulkan kesusahan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan, dan marabahaya. Sedangkan bencana alam adalah kecelakaan besar yang disebabkan oleh alam, seperti gempa bumi, angin besar, dan banjir. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 115. 8 Anton Bekker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 42-43.
40 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 pemahaman yang lebih utuh dan komprehensif mengenai tema yang dikaji, yaitu mengenai bencana. B. M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Mishbah Muhammad Quraish Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan.9 Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Abdurrahman Shihab (1905-1986) adalah lulusan Ja>mi’ah alKhair Jakarta, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang mengedepankan gagasan-gagasan modern, dari beliaulah cikal bakal kecintaan Quraish Shihab terhadap al-Qur’an diturunkan.10 Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Indonesia, pada tahun 1958, Quraish Shihab berangkat ke Kairo, Mesir. Sembilan tahun kemudian, (1967) Quraish Shihab mendapatkan gelar Lc (S1) pada Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian beliau meraih gelar MA pada tahun 1969 untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul al-I’ja>z al-Tasyri>’i> li al-Qur’a>n al-Kari>m.11 Pada tahun 1982, ia berhasil meraih gelar Doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an dengan yudisium summa cum laude disertai penghargaan Tingkat Pertama, dengan judul desertasi ‘Naz}m al-Durar li al-Biqa>’i>, Tahqi>q wa Dira>sah’. Beliau menjadi orang pertama di Asia Tenggara yang meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu al-Qur’an di Universitas al-Azhar.12 Pada tahun 1984, Quraish Shihab ditugaskan untuk menjadi tenaga pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.13 Disamping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian beliau diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik 9 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 6-7. 10 http://www. Muhammad Quraish Shihab - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011. 11 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, hlm. 6. Lihat juga http://www. Muhammad Quraish Shihab- Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011. 12 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan umat, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. VII. 13 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’a, hlm. VII.
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
41
Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.14 Bisa dikatakan karya masterpiece dari Quraish Shihab adalah tarsir alMishbah yang telah tersohor ke seluruh Indonesia. Kitab tafsir ini diberi judul Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, yang kemudian biasa disingkat dengan tafsir al-Mishbah.15 Tafsir al-Mishbah terdiri dari 15 jilid. Pada masing-masing jilid ada yang menafsirkan beberapa surat kecuali juz 3 (tiga) yang hanya menafsirkan surat al-Ma>idah (5) saja, begitu juga pada jilid 4 (empat) yang hanya menafsirkan surat al-An’a>m (6) saja. Tafsir ini pertama kali dicetak pada bulan sya’ban 1421 H / November 2000 M, yang diterbitkan oleh penerbit Lentera hati. Tafsir ini disusun sesuai dengan urutan ayat-ayat alQur’an dalam mushaf Usmani. Metode yang digunakan oleh Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah adalah tahli>li>,16 yang kemudian dikolaborasikan dengan metode maudhu>’i>.17 Metode ini dinilai dapat memberikan pandangan dan pesan al-Qur’an secara mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.18 Adapun corak penafsiran yang digunakan dalam tafsir al-Mishbah adalah ijtima>’i> atau kemasyarakatan, hal ini dapat dilihat dari uraianuraiannya yang mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi
14
http://www. Muhammad Quraish Shihab - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011. 15 Pemilihan kata al-Mishbah sebagai nama tafsirnya merupakan sebuah bentuk pengharapan dari Quraish Shihab agar karyanya tersebut dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk untuk pedoman hidup mereka. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007) Vol. I, hlm. v. Lihat juga http://www. m_quraish_shihab_dan_tafsirnya.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011. 16 Metode tahli>li> biasa disebut juga dengan metode analitis, yaitu menafsirkan ayatayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang sedang ditafsirkan tersebut, serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31. 17 Metode maudhu>’i> atau yang dikenal juga dengan metode tematik yaitu metode yang membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asba>b an-nuzu>l, mufradat, dan lain sebagainya. Lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran, hlm. 151. 18 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. I, hlm. Vii.
42 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 di tengah-tengah masyarakat. Sumber penafsiran dari kitab tafsir alMishbah ini dapat dikelompokkan pada tafsir bi ar-ra’yi.19 C. Penafsiran M. Quraish Shihab Tentang Bencana dalam Tafsir alMishbah Term mushi>bah, bala>’, fitnah, az}a>b, fasad, ‘iqa>b, tadmi>r, dan halak yang menjadi acuan dalam pembahasan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: (1) menunjukkan kerusakan kolektif, (2) menunjukkan kerusakan secara makna, (3) menunjukkan pada keburukan dan bahaya yang menimpa. 1. Kerusakan Kolektif Bencana yang menunjukkan pada kerusakan kolektif ini adalah bencana yang terjadi dan akibat dari perbuatan dan tindakan manusia, kemudian akibatnya dapat dirasakan dan dilihat secara langsung di dunia ini. Adapun term-term yang menunjukkan pada makna demikian adalah fasad, tadmi>r, dan halak. a. Fasad Menurut Quraish Shihab, fasad ( )ﻓﺴﺪadalah sebuah aktifitas yang mengakibatkan sesuatu yang memenuhi nilai-nilainya dan atau berfungsi dengan baik serta bermanfaat menjadi kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya.20 Kata fasad ( )ﻓﺴﺪsebagian besar disandingkan dengan kata al-ard’ ()اﻷرض, yang mana hal ini menunjukkan bahwa ketika kata fasad ()ﻓﺴﺪ digunakan dalam al-Qur’an, maka itu menunjukkan kerusakan yang ada di bumi.21 19 Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Quraish Shihab dalam “sekapur sirih” yang merupakan sambutan dari karyanya, dimana beliau menulis: “Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh penulis nukil, khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Biqa’i (w. 885 H / 1480 M), demikian juga karya tafsir tertinggi al-Azhar dewasa ini. Sayyid Muhhammad Thanthawi, Syeikh Mutawalli al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quttub, Muhammad Thahir Ibn asy-Syur, Sayyid Muhammad Husein Thobathoba’i, dan beberapa pakar tafsir lainnya”. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. I, hlm. Xiii. 20 M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, hlm. 372. 21 Q.S. al-Baqarah (2) ayat 11-12. Q.S. Hu>d (11) ayat 116.
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
43
Quraish Shihab menjelaskan bahwa peringatan Allah kepada manusia tentang akibat dari perusakan tersebut sangat jelas disebutkan dalam alQur’an, namun manusia lebih cenderung menggunakan akal dan potensi yang dimilikinya untuk menyelesaikan dan memenuhi semua kebutuhan hidupnya, sehingga dengan dan tanpa ia sadari petunjuk-petunjuk yang Allah berikan mereka abaikan. 22 Adapun kerusakan terbesar yang seringkali terjadi adalah di daratan dan lautan.23 Menurut Quraish Shihab, kerusakan yang terjadi di daratan dan lautan telah mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah diciptakan oleh Allah dalam satu sistem yang sangat serasi sesuai dengan kehidupan manusia.24 b. Tadmi>r Ketika al-Qur’an menggunakan kata tadmi>r ()ﺗﺪﻣﯿﺮ, maka di situ pasti mengandung pengertian sebuah kehancuran atau kebinasaan yang cukup parah, bahkan bisa mencakup satu negeri.25 Menurut Quraish Shihab kehancuran dan kebinasaan yang terdapat dalam al-Qur’an tidak selamanya berupa kehancuran secara fisik, dalam artian kehancuran tersebut menimpa gedung-gedung, bangunan-bangunan, dan lain sebagainya, namun terkadang kehancuran tersebut menunjuk pada kehancuran secara psikis, yakni kehancuran sistem kemasyarakatan dan hubungan sosial yang selaras. 26
22 Q.S. al-Mu’minu>n (23) ayat 71. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Vol. 9, hlm. 212 23 Q.S. ar-Ru>m (30) ayat 41. Sebagian ulama kontemporer memahami al-fasad dalam arti kerusakan lingkungan, karena pada ayat di atas kata al-fasad dikaitkan dengan kata albarr ( )اﻟﺒ ﺮ/ daratan dan juga al-bahr ( )اﻟﺒﺤ ﺮ/ lautan. Sepertinya hal ini yang mengantarkan sebagian ulama kontemporer memahami ayat di atas sebagai isyarat terhadap kerusakan lingkungan. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Vol. 11, hlm. 77 24 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah., Vol. 11, hlm. 77. 25 Q.S. al-A’ra>f (7): 137. Q.S. al-Furqa>n (25): 36. Q.S. asy-Syu’ara>’ (26): 170-173. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah…, Vol. 5, hlm. 226. Lihat juga Ibn Jari>r At}-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A>y al-Qur’a>n, Jld. 1, (Bairut: Dar al-Fikr, 1995), jld 13, hlm. 76. Lihat juga Ibnu Kas}i>r, Ibnu Kas}i>r, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, (t.tp: Da>r Mis}r li al-Tiba>’ah, t.th), juz 3, hlm. 466. Lihat juga Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mah}mu>d al-Alu>si>>, Ru>h al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r al-Qur’an al-Az}i>m wa Sab’i al-Masa>ni, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1994), juz 6, hlm. 317. 26 Q.S. al-Isra>’ (17): 16. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 7, hlm. 430.
44 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
c. Halak Menurut al-Asfaha>ni>, kata halak ( )ھﻠﻚmemiliki tiga pengertian.27 Pertama, hilangnya sesuatu dari seseorang.28 Kedua, rusaknya sesuatu akibat perbuatan seseorang.29 Ketiga, mati.30 Dalam al-Qur’an penggunaan kata halak ( )ھﻠﻚsering kali didahului dengan penyebutan istifham ( )إﺳﺘﻔﮭﺎم/ pertanyaan. Diantara bentuk istifham ( )إﺳﺘﻔﮭﺎمtersebut adalah kam ( )ﻛﻢ/ berapa.31 Kata kam ( )ﻛﻢmerupakan istifham ( )إﺳﺘﻔﮭﺎمyang digunakan untuk menanyakan bilangan atau jumlah sesuatu. Ketika sesuatu yang ditanyakan itu jumlahnya adalah banyak, maka ia dapat berarti ‘banyak’. Ketika kata kam digunakan oleh al-Qur’an, ia seringkali dipahami dalam arti ‘banyak’.32 Sebagaimana kata kam yang terdapat pada Q.S. al-A’ra>f (7) ayat 4-5, yang berarti “Padahal betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan”.33 2. Kerusakan Secara Makna Kerusakan secara makna yang dimaksud di sini adalah bencana yang menyebabkan kerusakan yang mana kerusakan tersebut terjadi akibat dari perbuatan manusia yang berdampak pada rohani, psikis atau keimanan mereka, atau dengan kata lain, kerusakan itu tidak tampak oleh penglihatan manusia. Adapun term-term yang menunjukkan pada kerusakan secara makna adalah, bala>’, fitnah, az}a>b, dan ’ iqa>b.
27
Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t al-Fa>dzi al-Qur’a>n, (Bairut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 542. 28 Q.S. al-Ha>qqah (69): 29. 29 Q.S. al-Baqarah (2): 205. 30 Q.S. an-Nisa>’ (4): 176. 31 Q.S. al-A’ra>f (7): 4-5. 32 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5, hlm. 11. 33 Menurut at}-T{abari> penyebutan kata kam ( )ﻛﻢpada permulaan ayat di atas tidak hanya bertujuan untuk memberikan sebuah pertanyaan, melainkan untuk menunjukkan bahwa betapa banyaknya kaum-kaum terdahulu yang telah mendustakan para nabi Allah, berbuat durhaka, dan menyembah selain Allah, yang mana kemudian mereka dibinasakan oleh Allah akibat dari perbuatannya tersebut. Kemudian kata kam ( )ﻛ ﻢtersebut diikuti dengan kata qaryah ( )ﻗﺮﯾ ﺔ/ desa. Menurut at}-T{abari>, yang dimaksudkan dengan penyebutan kata qaryah ( )ﻗﺮﯾ ﺔ/ desa tersebut adalah penduduknya, dengan kata lain, yang dibinasakan bukanlah desanya, melainkan penduduk yang hidup pada desa tersebut. Ibn Jari>r At}-T{abari>, Ja>mi’ alBaya>n, jilid 12, hlm. 299-300.
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
45
a. Bala>’ Kata bala>’ ini berarti menguji atau memberikan cobaan.34 Pada perkembangan selanjutnya, kata bala>’ kemudian diartikan sebagai ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Menurut Quraish Shihab, bala>’ atau ujian merupakan suatu keniscayaan hidup.35 Ada dua bentuk bala>’ yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya, Pertama, bala>’ atau ujian yang khusus diberikan kepada para nabi dan rasul. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka akan semakin berat juga ujian yang diberikan Allah kepadanya.36 Kedua, bala>’ atau ujian yang berlaku umum dan diberikan kepada seluruh umat manusia. Bala>’ atau ujian pada kategori kedua ini cenderung bersifat lebih ringan, sehingga Allah tidak hanya memberikannya kepada para nabi dan rasul saja, melainkan kepada seluruh umat manusia, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.37 b. Fitnah Makna awal dari kata fitnah ini biasa digunakan untuk menyebutkan pandai emas yang membakar emas untuk mengetahui kadar dan kualitasnya.38 Dari pengertian awalnya tersebut, kemudian kata fitnah memiliki beberapa pengertian yang digunakan dalam al-Qur’an. Pertama, menunjukkan arti siksa atau memasukkan manusia ke dalam api neraka.39 Kedua, menunjukkan arti bencana.40 Ketiga, menunjukkan arti menguji atau memberikan cobaan, baik cobaan itu berupa nikmat atau kebaikan, maupun berupa kesulitan dan keburukan.41 Keempat, berarti kekacauan.42
34
Lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir..., hlm. 109 M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi alQur’an, Vol. I, No. 1, Januari 2006, (Jakarta: PSQ, 2006), hlm. 11 36 Q.S. al-Baqarah (2): 124. Q.S. ash-Shaffa>t (37): 103-106. 37 Q.S. al-Baqarah (2): 155 38 Lihat Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t, hlm. 385. Lihat juga M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif al-Qur’an”, hlm. 14 . 39 Lihat Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t..., hlm. 385 40 Q.S. al-Ma>idah (5): 70-71. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 3, hlm. 159 . 41 Dalam pengertian ini kata fitnah semakna dengan kata bala>’ yaitu menguji atau memberikan cobaan. Lihat Q.S. al-Anfa>l (8): 28. Lihat juga M. Quraish Shihab, Tafsir alMishbah..., Vol. 5, hlm. 614. Lihat juga Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t, hlm. 385. 42 Q.S. al-Anfa>l (8): 73. 35
46 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 c. Az}a>b Penggunaan kata az}a>b dalam al-Qur’an selalu menunjukkan pada makna siksa.43 Sebagian besar penggunaan kata az}a>b dalam al-Qur’an terletak pada akhir ayat sebagai penutup dan penyebutannya dibarengi dengan kata-kata tertentu seperti, az}a>b ali>m ( )ﻋﺬاب أﻟﯿﻢ/ siksa yang pedih, syadi>d al-az}a>b ( )ﺷﺪﯾﺪ اﻟﻌﺬاب/ amat besar siksanya, az}a>b al-az}i>m ( )ﻋﺬاب اﻟﻌﻈﯿﻢ/ siksa yang besar, az}a>b an-na>r ( )ﻋﺬاب اﻟﻨﺎر/ siksa api neraka, az}a>b al-muhi>n ( )ﻋﺬاب اﻟﻤﮭﯿﻦ/ siksa yang menghinakan, dan lain sebagainya.44 Meskipun siksa Allah bersifat amat pedih, amat besar, menghinakan, dan lain-lain, namun sekali-kali Allah tidak akan menyiksa suatu kaum atau manusia sebelum Allah mengutus rasul, ataupun menunjukkan antara yang baik dan buruk.45 Dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa Dia adalah Maha Pengampun, sehingga selama manusia memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah akan memaafkannya.46 d. ’Iqa>b ‘Iqa>b ( )ﻋﻘﺎبdigunakan dalam pengertian kesudahan yang tidak menyenangkan, pembalasan yang berupa siksa atau sanksi atas suatu pelanggaran.47 Quraish Shihab membedakan antara siksa48 dan pembalasan. Menurutnya yang di dunia adalah siksa duniawi, dimana siksa dunia belum 43
Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t, hlm. 339. Penyebutan kata az}a>b yang diikuti beberapa kata tersebut tidak lain merupakan ancaman atau peringatan dari Allah tentang akibat yang tidak ringan dari suatu perbuatan yang dilarang ataupun tidak dianjurkan oleh agama. Dan terkadang juga digunakan untuk menunjukkan dahsyatnya siksa Allah, baik siksa di dunia maupun siksa di akhirat kelak. 45 Q.S. al-Isra>’ (17): 15. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 7, hlm. 428. 46 Q.S. al-Hijr (15): 49-50. Menurut Quraish Shihab, ketika menginformasikan tentang pengampunan dan rahmat, ayat diatas menggunakan beberapa redaksi penguat, yaitu: (1) sesungguhnya, (2) Aku, dan (3) kedua huruf alif dan lam pada kata al-Ghafu>r dan al-Rahi>m. Berbeda dengan ketika ayat ini menyampaikan tentang siksa, ayat ini tidak menunjuk langsung kepada Allah dengan menyatakan ‘akulah yang menyiksa’. Quraish Shihab menyatakan bahwa hal ini sepertinya disebabkan karena yang menganugerahkan pengampunan hanya Allah semata, tidak ada keterlibatan selain-Nya, sedangkan dalam penyiksaan, Allah dapat menugaskan pelaksanaannya kepada makhluk. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 9, hlm. 141. 47 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 952 48 Quraish Shihab menjelaskan bahwa siksa atau hukuman itu ada 3 macam, yaitu Pertama, hukuman atau sanksi yang ditangguhkan di akhirat nanti. Kedua, hukuman atau sanksi yang dicukupkan di dunia ini. Ketiga, hukuman atau sanksi yang sebagian diberikan di dunia sebagai muqaddimah, dan sebagian lainnya di berikan di akhirat kelak. Siksa yang 44
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
47
mencakup pembalasan, dan pembalasan-Nya akan diberikan di akhirat kelak, yaitu berupa siksa.49 3. Keburukan dan Bahaya yang Menimpa Pada klasifikasi ketiga ini, bencana adakalanya berupa sebuah kejadian-kejadian-kejadian yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan harapan, dan bisa juga menunjukkan pada suatu bahaya yang menimpa manusia. Adapun term yang menunjukkan pada pengertian tersebut adalah mushi>bah. Kata mushi>bah sendiri pada awalnya berarti mengenai atau menimpa,50 akan tetapi pada perkembangannya, kata ini kemudian dikhususkan pada makna musibah atau bencana saja.51 Menurut Quraish Shihab, pengertian mengenai atau menimpa tersebut memang bisa saja mengarah pada sesuatu yang menyenangkan, namun apabila al-Qur’an menggunakan kata mushi>bah, maka ia berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia.52 Ada dua indikator dari al-Qur’an yang menunjukkan pada sebab-sebab diberikannya bencana kepada manusia, yaitu: (1) aidi>kum ( )أﯾﺪﯾﻜﻢ/ tangan kalian sendiri, dan (2) min ‘indi anfusikum ( )ﻣﻦ ﻋﻨﺪ أﻧﻔﺴﻜﻢ/ disebabkan dari diri kalian sendiri. Kedua kata ini menunjukkan bahwa ketika al-Qur’an menyebutkan bencana dengan menggunakan term mushi>bah, maka di situ pasti terdapat penyebab ditimpakan bencana tersebut kepada manusia, yang mana itu berasal dari manusia itu sendiri.53 D. Teologi Bencana Menurut Quraish Shihab Quraish Shihab mendefinisikan bencana alam sebagai adanya ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah diciptakan oleh Allah dalam satu sistem yang sangat serasi sesuai dengan kehidupan manusia, yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan diberikan di dunia ini sangat beragam, bisa juga siksa itu berupa bencana. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 11, hlm. 394. 49 Q.S. Ali ‘Imra>n (3): 11. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 2, hlm. 21. 50 Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t ..., hlm. 296. Lihat juga Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir..., hlm. 536 51 Ar-Ra>ghib al-Asfaha>ni>, Mu’ja>m Mufrada>t..., hlm. 296 52 M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif al-Qur’an”, hlm. 9 53 Q.S. asy-Syu>ra> (42): 30. Q.S. an-Nisa>’ (4): 62. Q.S. Ali ‘Imra>n (3): 165. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Vol. 12, hlm. 503
48 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 sesuatu yang memenuhi nilai-nilainya dan berfungsi dengan baik serta bermanfaat, menjadi kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya, yang kemudian menimbulkan kekacauan.54 4. Sebab-sebab Terjadinya Bencana Quraish Shihab telah menjelaskan bahwa bencana-bencana itu tidak akan pernah terjadi kecuali atas kehendak dan izin dari Allah, meskipun manusia juga memiliki kontribusi terhadap sebagian bencana atau musibah yang terjadi.55 Dari situ, penulis menyimpulkan bahwa ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni atas kehendak dan izin dari Allah. Kedua, bencana yang terjadi akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia (human error). Dan ketiga, adanya kedhaliman yang dilakukan oleh manusia. a. Kehendak dan Izin dari Allah Bencana-bencana yang merupakan kehendak dan izin dari Allah adakalanya merupakan bencana sebagai bentuk hukuman, bencana sebagai teguran, serta bencana sebagai bentuk kasih sayang dari Allah. 1) Bencana Sebagai Hukuman Dalam al-Qur’an, kata yang digunakan untuk menunjukkan bencana dalam bentuk hukuman adalah az}a>b, ‘iqa>b, dan tadmi>r. Ketiga kata ini menunjukkan sebuah bencana yang datang akibat dari kedurhakaan manusia. Kedurhakaan tersebut terjadi setelah Allah mengutus seorang rasul kepada mereka, dan mereka enggan mendengarkan bahkan mengikuti ajaran yang dibawa oleh rasul tersebut, sehingga Allah menimpakan hukuman kepada mereka. Adakalanya bencana sebagai hukuman ini disebutkan dengan kata fitnah, yaitu bencana yang dijatuhkan oleh Allah, yang mana bencana tersebut tidak hanya mengenai pada orang-orang yang bersalah saja, melainkan orang yang tidak bersalah pun memiliki peluang untuk terkena
54
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 11, hlm. 77. M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif al-Qur’an”, dalam Jurnal Studi alQur’an, Vol. I, No. 1, Januari 2006, (Jakarta: PSQ, 2006), hlm. 9. 55
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
49
bencana, apabila ia tidak melakukan amar ma’ru>f nahi> munkar kepada sesama manusia, terlebih kepada orang-orang yang lalai kepada Allah.56 Sedangkan kata mushi>bah, meskipun kata ini digunakan untuk menunjukkan datangnya suatu bencana akibat dari kedurhakaan dan kesalahan seseorang, namun kata ini tidak selamanya berkonotasi negatif, dan kata ini tidak hanya digunakan pada orang-orang yang durhaka saja. Dalam hal ini penulis kurang sepakat dengan pernyataan Quraish Shihab bahwa mushi>bah hanya menimpa akibat kesalahan seseorang.57 Karena pada Q.S. al-Baqarah (2) ayat 155-157 dijelaskan bahwa ketika seseorang itu ditimpa mushi>bah kemudian ia bersabar dan mengucapkan kalimat istirja>’ (inna> lilla>hi wa inna> ilaihi ra>ji’u>n), maka Allah akan memberikan kepadanya tiga keuntungan, yaitu: keselamatan, rahmat, dan juga petunjuk. 2) Bencana Sebagai Teguran Allah telah menetapkan ketentuan dan aturan bagi manusia. Perlu diketahui bahwa untuk melakukan semua ketentuan dan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, diperlukan perjuangan yang tidak mudah, karena dalam kehidupannya manusia diiringi dengan hawa nafsu dan juga setan. Menurut Quraish Shihab hawa nafsu sering kali mengantarkan manusia menjadikan agama sebagai alat mencapai tujuan. Dalam surat asy-Syura> (42) ayat 30, dijelaskan bahwa sesungguhnya musibah yang terjadi adalah disebabkan oleh perbuatan tangan manusia sendiri. Quraish Shihab menafsirkan ‘berbuatan tangan’ pada ayat tersebut sebagai dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Namun Allah adalah Maha Pengasih, Dia tetap melimpahkan rahmat-Nya dan Dia memaafkan banyak dari kesalahan-kesalahan yang telah manusia perbuat,58 sehingga kesalahan-kesalahan tersebut tidak mengakibatkan musibah bagi manusia. Seandainya Allah tidak memaafkannya, maka pastilah semua manusia binasa bahkan tidak akan ada satu binatang melata pun di jagad raya ini yang tersisa.59 Dalam al-Qur’an, kata yang digunakan untuk menunjukkan bencana sebagai teguran adalah kata fitnah. Sebagaimana keterangan sebelumnya, 56
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5, hlm. 418. M. Quraish Shihab, “Musibah dalam Perspektif al-Qur’an”, hlm. 16. 58 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 12, hlm. 504. 59 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 12, hlm. 503-504. 57
50 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 bahwa bencana dengan menggunakan kata fitnah, dampaknya tidak hanya mengenai pada orang yang bersalah saja. Ketika fitnah mengenai pada orang-orang yang durhaka, maka bencana itu merupakan hukuman bagi mereka, namun apabila bencana dengan itu mengenai pada orang yang beriman, maka bencana itu merupakan teguran Allah kepada manusia sekaligus untuk membersihkannya dari dosa-dosa yang telah diperbuatnya. Bencana ini juga berguna untuk melihat seberapa besar kesabaran seseorang dalam menghadapi ketetapan Allah. 3) Bencana Sebagai Bentuk Kasih Sayang Tuhan Quraish Shihab sangat menekankan bahwa ujian atau cobaan yang dihadapi itu pada hakikatnya adalah ‘sedikit’. Menurutnya, kata ‘sedikit’ ini sangat wajar karena betapapun besarnya ujian dan cobaan, ia adalah sedikit jika dibandingkan dengan imbalan dan ganjaran yang akan diterima. Karena cobaan dan ujian itu bisa terjadi dalam bentuk yang lebih besar dari pada yang telah terjadi. Karena potensi dan nikmat yang telah dianugerah Allah kepada manusia jauh lebih besar, maka manusia pasti akan mampu melalui ujian itu jika ia telah membekali diri dengan iman dan menggunakan potensi-potensi yang telah dianugerahkan Allah tersebut. Bencana sebagai bentuk kasih sayang Tuhan dalam al-Qur’an disebutkan dengan menggunakan kata bala>’.60 b. Human Error (Tindakan dan Perilaku Manusia) Quraish Shihab menjelaskan bahwa ujian berupa nikmat seringkali membuat manusia terperdaya dan lupa daratan. Begitu juga dengan nikmat akal yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia. Dengan atau tanpa disadari oleh manusia itu sendiri, pengetahuan yang dimilikinya tersebut telah menjadikannya mendapat julukan sebagai ‘perusak’.61 Dalam alQur’an banyak ayat-ayat yang menyebutkan tentang salah satu sifat buruk
60
Ada dua ketegori yang ingin dicapai dari adanya bala>’, yaitu untuk mengetahui muja>hidi>n dan juga sha>biri>n di antara manusia. Menurut Quraish Shihab, yang dimaksud dengan muja>hidi>n adalah orang-orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh di jalan Allah. Sementara sha>biri>n adalah orang-orang yang sangat tabah diantara manusia dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, serta sangat tabah dalam menghadapi kesulitan. Lihat .M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 13, hlm. 153. 61 Menurut Quraish Shihab, kata ‘perusak’ disini memberikan kesan bahwa perbuatan merusak yang mereka lakukan terjadi secara banyak dan berulang-ulang. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Vol. 1, hlm. 104.
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
51
manusia tersebut, ayat-ayat tersebut menyebutkannya dengan menggunkan term fasad yang berarti kerusakan. Ada dua bentuk perusakan yang dilakukan oleh manusia di bumi ini62, yaitu perusakan secara fisik (perusakan terhadap alam)63 dan perusakan secara psikis (perusakan terhadap manusia itu sendiri).64 c. Kedhaliman Kata dhalim berasal dari akar kata dhalama ( )ﻇﻠﻢyang berarti gelap atau tidak adanya cahaya. Quraish Shihab mendefinisikan kata dhalim sesuai dengan ayat yang sedang ditafsirkannya. Seperti pada Q.S. al-Anfa>l (8) ayat 25, Quraish Shihab mendefinisikan orang-orang yang berbuat dhalim sebagai orang-orang yang melanggar dan enggan mendengarkan serta menjalankan ajaran Allah. Kemudian dalam Q.S. al-Hajj (22): 45, beliau mendefinisikan dhalim sebagai perbuatan enggan mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian yang sudah pernah terjadi sebelumnya, sehingga akan memungkinkan terjadinya kesalahan untuk yang kedua kalinya.65 Dari keterangan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan mengapa sebuah kedhaliman dapat mendatangkan bencana, yaitu karena manusia telah men-dhalim-i Allah. Kemudian alasan berikutnya adalah karena manusia tidak jeli dalam mengambil pelajaran dari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah, sehingga tanpa ia sadari kesalahan tersebut sangat mungkin terulang kembali melalui perbuatannya. Kata yang digunakan untuk menunjukkan bencana yang terjadi akibat adanya kedhaliman adalah halak ()ھﻠﻚ. Kata ini menunjukkan arti
62 Dengan menyebutkan kata ‘di bumi’ tercermin betapa luas dampak keburukan tersebut, sehingga jika dibiarkan akan menyebar keseluruh penjuru bumi. Bahkan dampaknya tidak hanya akan mengenai manusia, tetapi juga semua makhluk hidup di bumi ini. 63 Lihat Q.S. al-Baqarah (2):11 dan 205, Q.S. Hu>d (11):116, ar-Ru>m (30):41, dan Gha>fir (40): 26. 64 Lihat Q.S. al-Baqarah (2) ayat 11-12. Pengertian yang demikian mungkin beliau peroleh dengan melihat objek sasaran dari ayat di atas, yaitu orang-orang munafik, yang mana mereka cenderung melakukan perusakan secara psikis, meskipun terkadang juga melakukan perusakan secara fisik. Perusakan semacam ini dilakukan dengan cara merusak iman, akhlak, menyebarkan kebencian, permusuhan, serta melakukan aktifitas yang menyebabkan kehancuran dan kebinasaan masyarakat. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir alMishbah, Vol. 1, hlm. 105. 65 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5, hlm. 418 .
52 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 kebinasaan yang terjadi akibat manusia tidak mau belajar dari kejadiankejadian sebelumnya, sehingga kejadian-kejadian tersebut sangat mungkin untuk terjadi lagi dan menimpanya.66 5. Etika dalam Menghadapi Bencana Dari penafsiran Quraish Shihab tentang bencana, penulis menyimpulkan beberapa etika yang seharusnya dilakukan oleh manusia – terlebih orang-orang Islam- ketika sedang ditimpa musibah atau bencana. a. Mengucapkan Kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n Kalimat istirja’, yakni inna> lilla>hi wa inna> ilahi ra>ji’u>n (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya) lebih sering diucapakan ketika mendengar dan menerima berita kematiaan seseorang. Namun dalam al-Qur’an sendiri diperintahkan untuk mengucapkan kalimat inna> lilla>hi wa Inna> ilahi ra>ji’u>n tiap kali menghadapi musibah, dan musibah itu sangat beragam, bisa berupa kematian, bencana alam, runtuhnya sistem pemerintahan, bangkrut, dan lain sebagainya.67 Quraish Shihab menjelaskan bahwa dengan menghayati makna ini, akan meringankan beban pada saat menghadapi musibah, karena semakin banyak yang ditimpa musibah, akan semakin ringan dipikul. Disinilah akan muncul rasa solidaritas diantara sesama. Selain meringankan beban pada saat menghadapi musibah, dengan menghayati makna dari kalimat inna> lilla>hi wa inna> ilaihi ra>ji’u>n ()إﻧٌﺎ ﷲ وإﻧٌﺎ إﻟﯿﮫ راﺟﻌﻮن, Allah akan memberikan tiga keuntungan.68 b. Sabar Kata sabar berasal dari akar kata shabara ( )ﺻﺒﺮyang berarti mencegah atau menahan,69 yakni mencegah dan menahan diri terhadap situasi yang 66
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 9, hlm. 79. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, hlm. 367. 68 Pertama, keberkatan. Diantara keberkatan tersebut adalah limpahan pengampunan, pujian, penggantian yang lebih baik dari pada nikmat sebelumnya yang telah hilang, dan lain-lain. Kedua, rahmat. Menurut Quraish Shihab makna dari rahmat Allah tidak dapat diketahui secara persis. Akan tetapi rahmat Allah jelas berbeda dengan rahmat manusia. Rahmat manusia adalah rasa pedih melihat ketidakberdayaan pihak lain, rasa pedih itulah yang kemudian menghasilkan dorongan untuk membantu mengatasi ketidakberdayaan. Sedangkan rahmat Allah, hanya Allah yang mengetahuinya, manusia hanya mampu melihat dampak atau hasilnya, yaitu limpahan karunia. Ketiga, petunjuk. Petunjuk yang dikehendaki di sini bukan saja petunjuk untuk mengatasi kesulitan dan kesedihan, tetapi juga petunjuk menuju jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, hlm. 367-368. 69 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 760. 67
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
53
kurang menyenangkan dan keluh kesah, serta meninggalkan mengeluh kepada selain Allah. Quraish Shihab mendefinisikan sabar sebagai keberhasilan menahan gejolak nafsu untuk meraih yang baik atau yang lebih baik, serta keberhasilan dalam melaksanakan tuntunan Allah secara konsisten tanpa meronta atau mengeluh.70 Dalam surat al-Baqarah (2) ayat 155, Allah telah menjanjikan berita gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu berupa kebahagiaan dan kegembiraan. Oleh karena itu dalam menghadapi bencana seyogyanya orang-orang mukmin tidak menggerutu bahkan mengumpat, akan tetapi bersabarlah! Karena dengan kesabaran tersebut niscaya Allah akan memenuhi janji-Nya untuk memberikan kebahagiaan yang lain setelah kebahagiaan sebelumnya hilang akibat datangnya bencana. c. Tawakkal Tawakkal ( )ﺗﻮﻛٌﻞberasal dari kata wakala-yakilu ( ﯾﻜﻞ- )وﻛﻞyang berarti mewakilkan. Dengan makna di atas, maka menjadikan Allah sebagai wakil atau mewakilkan kepada Allah berarti menyerahkan kepada-Nya segala persoalan.71 Menurut Quraish Shihab, tawakkal bukan berarti penyerahan mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Seorang muslim dituntut untuk berusaha, tapi pada saat yang sama ia dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah.72 d. Belajar dari Bencana Berbagai bencana yang sering muncul dewasa ini seharusnya mampu mendorong manusia untuk belajar atas kejadian-kejadian tersebut, kemudian meminimalisir kemungkinan terjadinya bencana itu kembali. Adapun usaha yang dapat dilakukan manusia dalam mencegah datangnya bencana kembali adalah, semakin mendekatkan diri kepada Allah, tidak melakukan kerusakan di bumi, seperti menebang pohon-pohon yang merupakan sumber resapan air terbesar, membuang sampah di sungai, dan lain sebagainya. Selain dari pada itu, manusia juga bisa meminimalisir dampak dari bencana tersebut dengan tidak bertempat tinggal pada daerahdaerah yang rawan bencana, seperti di bantaran sungai yang rawan banjir, di 70
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 13, hlm. 153. Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, hlm. 1579. Lihat juga Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5, hlm. 616. 72 Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 5, hlm. 616-617. 71
54 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 lereng-lerengan gunung yang rawan longsor dan terkena dampak letusan gunung, dan lain sebagainya. 3. Hikmah dibalik Terjadinya Bencana Dalam al-Qur’an sendiri telah dijelaskan hikmah-hikmah dibalik terjadinya bencana. Hikmah-hikmah tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu hikmah secara sosial dan hikmah secara individu. a. Hikmah yang Bersifat Individu Hikmah pertama bagi individu bisa Meningkatkan Derajat dan Keimanan Seseorang. Hikmah ini dapat diambil dari teladan yang telah diberikan oleh para nabi, seperti Nabi Ibra>hi>m. Dimana setelah beliau mampu menyelesaikan dan menyempurnakan ujian yang telah diberikan oleh Allah, beliau kemudian dijadikan imam dan juga teladan bagi seluruh umat manusia.73 Himah kedua Mendekatkan dan Mengingatkan Manusia Kepada Tuhannya. Ketika manusia dihadapkan pada suatu kesulitan, terutama bencana, maka ia cenderung meratapi nasib, dan bertanya-tanya mengapa hal itu terjadi padanya. Bagi orang yang beriman, hal ini akan menjadikannya melakukan instropeksi diri, bertaubat, dan berserah diri kepada Allah. Datangnya suatu bencana akan menyadarkan manusia bahwa sesungguhnya Allah Maha Mampu melakukan sesuatu, termasuk memusnahkan kehidupan manusia di bumi ini hanya dalam sekejap.74 Hikmah ketiga Agar Manusia Tahu Bahwa Allah Mencintainya. Memang sangat sulit menyadari adanya bencana sebagai suatu bentuk kasih sayang dari Allah. Namun hal ini telah dibuktikan melalui teladan dari kisah-kisah para Nabi, seperti Nabi Ibra>hi>m yang diperintahkan untuk menyembelih putranya, dan lain sebagainya. Semua cobaan yang diberikan Allah tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa Allah sangat menyayangi mereka. Andai saja Allah tidak mencintainya, niscaya Allah tidak akan ‘menyapanya’ melalui kejadian-kejadian tersebut. Himah keempat Agar Manusia Bersyukur dan tidak Sombong. Quraish Shihab menyatakan bahwa sesungguhnya cobaan dan ujian yang diberikan oleh Allah adalah sedikit. Hal ini tidak lain karena nikmat, anugerah, dan 73
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, hlm. 316. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1, hlm. 367
74
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
55
juga potensi-potensi yang telah diberikan oleh Allah jauh lebih besar daripada kesedihan dan juga kesengsaraan yang sifatnya sesaat tersebut. Dikatakan sesaat karena, apabila manusia itu mau bersabar maka sesungguhnya Allah telah menyiapkan baginya sesuatu yang lebih besar dan lebih menyenangkan dari pada pemberiannya yang telah lalu. Karena nikmat Allah jauh lebih besar dari bencana itu sendiri Hikmah kelima dapat Menyeleksi Kwalitas Keimanan Seseorang. Sebagaimana yang diuraikan dalam surat Muhammad (47): 31, dimana di sana dijelaskan bahwa datangnya suatu ujian ataupun bencana pada dasarnya adalah untuk mengetahui siapa yang termasuk muja>hidi>n.75 b. Hikmah yang Bersifat Sosial (Menumbuhkan Rasa Solidaritas di antara Sesama) Nabi Muhammad memberikan perumpamaan antara sesama muslim bagaikan sebuah bangunan yang mana antara satu dengan yang lainnya saling menguatkan. Begitulah yang diharapkan dari hubungan antara satu orang dengan orang yang lain, terlebih ketika sedang ditimpa bencana. Antara yang satu dengan yang lain diharapkan saling menguatkan dan membantu korban bencana dengan semampunya, baik dengan tenaga, harta, maupun dorongan semangat. E. Simpulan M. Quraish Shihab mendefinisikan bencana alam sebagai adanya ketidakseimbangan pada lingkungan, yang sesungguhnya telah diciptakan oleh Allah dalam satu sistem yang sangat serasi sesuai dengan kehidupan manusia, yang mana ketidakseimbangan tersebut telah mengakibatkan sesuatu yang memenuhi nilai-nilainya, berfungsi dengan baik, dan bermanfaat, menjadi kehilangan sebagian atau seluruh nilainya sehingga berkurang fungsi dan manfaatnya, yang mana dampak dari itu semua adalah munculnya kekacauan. Ada tiga faktor penyebab terjadinya bencana. Pertama, bencana yang murni atas kehendak dan izin dari Allah. Bencana ini ada tiga macam, yaitu (1) adakalanya merupakan bentuk hukuman yang dalam al-Qur’an disebutkan dengan menggunakan mushi>bah, az}a>b, ‘iqa>b, tadmi>r dan fitnah, (2) bencana sebagai teguran yang ditunjukkan al-Qur’an dengan term fitnah dan juga mushi>bah, (3) bencana sebagai bentuk kasih 75
Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah..., Vol. 13, hlm. 153
56 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 sayang dari Tuhan, yang dalam al-Qur’an disebutkan dengan menggunakan term bala>’. Kedua, bencana yang terjadi akibat kontribusi perusakan yang dilakukan oleh manusia, baik perusakan terhadap alam, maupun perusakan kepada diri manusia itu sendiri, yang dalam al-Qur’an ditunjukkan dengan term fasad. Dan ketiga, adanya kedhaliman yang dilakukan oleh manusia, yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dengan kata halak. Kemudian etika dalam menghadapi bencana yaitu dengan mengucapkan dan menghayati kalimat Inna> lilla>hi wa Inna> ilahi Ra>ji’u>n, bersabar, bertawakkal kepada Allah, dan belajar dari bencana. Adapun hikmah dari terjadinya bencana itu diklasifikasikan menjadi 2, yaitu: (1) hikmah yang bersifat individual, seperti: (a) meningkatkan derajat keimanan seseorang, (b) mengingatkan dan mendekatkan manusia kepada Tuhannya, (c) Agar manusia tahu bahwa Allah mencintanya, (d) menyeleksi kualitas keimanan seseorang, (e) Agar Manusia Bersyukur dan tidak Sombong, dan (2) hikmah yang bersifat sosial, yaitu menumbuhkan rasa solidaritas diantara sesama. Segala ketetapan Allah adalah baik, begitu juga dengan datangnya suatu bencana, meskipun manusia seringkali melihatnya sebagai suatu keburukan. Hal itu cukup wajar, mengingat manusia memiliki keterbatasan ‘pandangan’ untuk melihat hal-hal yang tersembunyi di balik sebuah bencana. Namun sebagai hamba Allah yang beriman, kita diharapkan mampu melewati segala macam bentuk ujian dari Allah tersebut dengan penuh kesabaran dan tawakkal, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang terbaik dan apa tidak diketahui oleh manusia.
Daftar Pustaka Al-Maktabah as-Sya>milah Abdillah, Mujiono, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001 Alu>si>>, Syiha>b al-Di>n al-Sayyid Mah}mu>d al-, Ru>h al-Ma’a>ni> fi> Tafsi>r alQur’an al-Az}i>m wa Sab’i al-Masa>ni, Beirut: Da>r al-Fikr, 1994, Juz 2, 4, 5, 9, 10, 14, 18 Asfaha>ni>, Ar-Ra>ghib al-, Mu’ja>m Mufrada>t al-Fa>dzi al-Qur’a>n, Bairut: Dar al-Fikr, t.th
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
57
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996 Bekker, Anton, dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990 Bakker, Anton, Metode Penelitian, Yogyakarta: Kanisius, 1992 Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998 Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Fuadi, Pemikiran Sufistik Ibn Arabi tentang al-Hikmah al-Qadariyyah, Kajian Fenomenologis Terhadap Bencana Alam Gempa dan Tsunami Aceh, Tesis, Yogykarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005 Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Ideologi, Jakarta: Teraju, 2003 Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, Kairo: t.tp, 1350 Kaelan, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, 2002 Kas}i>r, Ibnu, Tafsi>r al-Qur’a>n al-Az}i>m, t.tp: Da>r Mis}r li al-Tiba>’ah, t.th, juz 1, 3, 6 Mangunjaya, Fachruddin M.(ed), Menanam Sebelum Kiamat, Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor, 2007 Masyah, Syarif Hade, Lewati Musibah Raih Kebahagiaan, Mengubah Bencana Menjadi Kekuatan, Jakarta: Hikmah, 2007 Munawir, M. Fajrul, Konsep Sabar dalam al-Qur’an: Pendekatan Tafsir Tematik, Yogyakarta: TH Press, 2005 Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002
Arab-indonesia
Qardhawi, Yusuf, Ri’a>yatu al-Bi>’ah fi> Syari>’ati al-Isla>m, Mesir: Da>r asySyuru>q, 2001 Ramly, Nadjamuddin, Islam Ramah Lingkungan, Konsep dan Strategi Islam dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007
58 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian alQur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2007, vol. 1, 5, 6, 7, 8, 9, 13, Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1999 Shihab, M. Quraish, Sekapur Sirih, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan Pustaka, 2007 Shihab, M. Quraish, “Musibah dalam Perspektif al-Qur’an” dalam Jurnal Studi al-Qur’an, Vol. I, No. 1, Januari 2006 Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan umat, Bandung: Mizan, 1998 Shihab, M. Quraish, Mu’jizat al-Qur’an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 2007 Shihab, M. Quraish, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994 Shihab, M. Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2000 Shihab, M. Quraish, Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili, Jakarta: Lentera Hati, 1999 Shihab, M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Quran dan Hadits, Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011 Syamsuddin, Sahiron, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Nawesea Press, 2009 T{abari>, Ibn Jari>r At}-, Ja>mi’ al-Baya>n ‘an Ta’wi>li A>y al-Qur’a>n, Bairut: Dar al-Fikr, 1995, Jld. 3, 7, 8, 10, 11, 12, 17, 19, 21, 22 Thalhah, M.,dan Achmad Mufid, Fiqih Ekologi, Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab Suci, Yogyakarta: Total Media, 2008 Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995 Watt, Montgomery, Richard Bell: Pengantar al-Qur’an, terj. Lillian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1998 Yusuf, Muhammad, Dkk., Studi Kitab Tafsir, Menyuarakan Teks yang Bisu, Yogyakarta: Teras, 2004 http://www. Muhammad Quraish Shihab - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011
Khafidhoh, Teologi Bencana dalam Perspektif M. Quraish Shihab |
59
http://www. Alif Magazine » Blog Archive » M_ Quraish Shihab Menjawab Masalah Perempuan.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011 http://www. m_quraish_shihab_dan_tafsirnya.htm, diakses tanggal 4 Mei 2011 htttp://www.kompasiana /Bencana Gempa Bumi Terjadi Akibat Pemanasan Global.htm, diakses tanggal 26 Januari 2011 http://www/ Bencana Wasior, Mentawai dan Merapi, Sudah Ada Tanda Sebelumnya « Fenomena Alam Semesta.htm. Diakses tanggal 26 Januari 2011 http://www/ Gempa_bumi_Yogyakarta_2006.htm, diakses tanggal 26 Januari 2011 http://www/ Gempa_bumi_Sumatera_Barat_2009.htm, diakses tanggal 26 Januari 2011 http://www.Kompasiana/ Bencana Wasior dan Al-quran surat Ar-rum Ayat 41.htm, diakses tanggal 26 Januari 2011 http://www. Fatwa-fatwa M_ Quraish Shihab ___ - Google Books.htm. diakses tanggal 11 Agustus 2011 http://www. Muhammad Quraish Shihab Membangun sikap moderat.htm. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2011 http://www. Tafsir Al-Mishbah Quraish Shihab.htm. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2011 http://www. Prof_ Dr_ Quraish Shihab Mendapat Penghargaan.htm. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2011
60 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
MENELISIK EKOLOGIS DALAM AL-QUR’AN Ahmad Suhendra Mahasiswa Agama dan Filsafat PPs UIN Sunan Kalijaga [email protected]
Abstrac The disaster is not only a mere natural occurrence, but also due to the lack of awareness and understanding of one's environmental problems. This paper will review the ecological values contained in the Qur'an. In fact, the Qur'an has given a stern warning of not doing mischief on earth. In this regard, within the certain limits, the query is how religion (Islam) providing ecological value to the whole community through the Koran? Applying semantic-hermeneutical approach, the research results the concept that has been introduced by the Qur'an with various forms and models of word. With some verses that describe the ecological problems, the formulation can be used as 'green religion', namely religion that requires people to practice Islam stressing the integral relationship between faith and the environment (all natural). Moral-ethical action is not only related to human relations, but also with nature. Kata Kunci: al-Qur’an, Ekologis, Lingkungan, Bencana
A. Pendahuluan erjadinya beragam bencana yang menimpa seluruh alam dalam bentuk banjir, longsor, dan sebagai itu menjadi suatu peringatan yang luar biasa untuk dipikirkan bersama. Sebenarnya apa yang terjadi dibalik itu semua, bencana tidak datang begitu saja, tetapi itu merupakan proses panjang penyesuaian alam atas perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi akibat rusaknya lingkungan, rusaknya sistem keseimbangan ekosistem kemudian berdampak pada rusaknya keseimbangan ekologis itu sendiri. Kerusakan yang terjadi saat ini juga sudah semakin beragam, mulai dari kerusakan ekosistem air yang disebabkan oleh berbagai macam pencemaran, kerusakan ekosistem hutan
T
62 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 yang disebabkan oleh banyaknya pembalakan liar (illegal logging), dan seterusnya. Kurangnya kesadaran dan pemahaman seseorang tentang masalah lingkungan hidup menjadi penyebab pokok juga dalam kerusakan lingkungan, selain banyak faktor utama yang mengakibatkan hal itu. Hal itu didukung dengan lemahnya penegakan hukum bagi mereka yang merusak lingkungan dengan skala besar (makro). Manusia dengan segala kegiatan dan tindakannya sudah semakin tidak selaras dengan alam. Dengan keserakahanny mereka memperkosa alam dengan terus menguras energi dan sumber daya alam lainnya yang ada di dalamnya. Padahal dalam al-Qur’an sudah memberikan peringatan keras untuk tidak melakukan kerusakan di muka bumi ini. Bahkan, manusia menjadi khalifah di bumi, sebagaimana termakdum dalam QS. Al-Baqarah (2): 30. Kemudian dalam batas-batas tertentu bagaimana agama (Islam) dalam memberikan nilai ekologis kepada seluruh umatnya melalui al-Qur’an? Dengan demikian, dalam tulisan ini akan mencoba menjawab dan menguraikan wawasan al-Qur’an terkait ekologi. Kemudian untuk menemukan jawaban itu dalam artikel ini digunakan analisa semantik-hermeutis. Hal itu dimaksudkan untuk dapat mengetahui makna setiap kata yang tersusun dalam ayat-ayat al-Qur’an terkait tentang ekologis. Selain itu, diharapkan memperolah pemahaman kontekstual dan komprehensif serta menghasilkan rumusan yang integratif. B. Mengenal Ekologi: Sebuah Deskriptif Pada beberapa buku diungkapkan bahwa kata ekologi pertama kali dikenalkan oleh Ernst Haeckel pada tahun 1866, seorang Biolog Jerman.1 Namun, versi lain menyebutkan bahwa Reiter adalah orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut. Pada tahun 1865 Reiter menggabungkan dua kata dari bahasa Yunani yakni kata oikos dan logos.
1 Di antaranya yaitu dalam, Stephen Croall dan William Rankin, Ecology for Beginners, terj. Zulfahmi Andri dan Nelly Nurlaeli Hambali, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 16, bandingkan dengan N. Daldjoeni, “Ekologi dan Agama” dalam Amin Abdullah, dkk, Restrukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta (Yogyakarta: SUKA-Press, 2007), hlm. 151. D. Dwidjoseputro, Ekologi Manusia dengan Lingkungannya (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 1. Dan Otto soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta: Djambatan, 1994), hlm. 19.
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
63
Kata pertama dari asal kata ekologi, yakni kata oikos,2 berarti rumah tangga atau tempat tinggal3 dan kata keduanya berarti ilmu.4 Dari kedua kata tersebut dapat diidentifikasi bahwa pengertian ekologi secara etimologi adalah ilmu tentang kerumahtanggaan atau tempat tinggal dan yang hidup di dalamnya. Berangkat dari pengertian etimologis, dapat dikatakan bahwa istilah ekologi ini mempunyai arti yang luas. Namun, Haeckle memberikan definisi yang cukup komprehensip terkait ekologi, yakni sebagai suatu keseluruhan pengetahuan yang berkaitan dengan hubungan-hubungan total antara organisme dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik.5 Bahkan Mujiyono mendefinisikan ekologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang beberapa hal, yaitu: (1) seluk beluk organisme atau makhluk hidup di habitatnya, (2) proses dan pelaksanaan fungsi makhluk hidup dan habitatnya, dan (3) hubungan antar komponen secara keseluruhan. Sejalan dengan waktu yang terus berubah istilah ekologi ini pun berkembang. Pengertian ekologi secara terminologi yang dikonsepsikan oleh para pakar dan pemerhati lingkungan begitu banyak dan beragam. Misalnya, Eugene P. Odum yang mendefinisikan ekologi sebagai ilmu yang mengkaji tentang proses interelasi dan interpedensi antar organisme dalam satu wadah lingkungan tertentu secara keseluruhan.6 Hubungan timbal-balik 2 Dari kata oikos ini, ekologi satu rumpun dengan kata ekonomi. Ekonomi membicarakan hubungan antara orang, tetapi terbatas pada hubungan mereka demi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan praktis, dan demi pertukaran dan pembagian ‘barangbenda’ di dalam masyarakat. Oleh karena itu, akhirnya, ekologi berusaha melindungi dan melestarikan alam dunia ini sebagai lingkungan manusia. Lebih lanjutnya baca, Anton Bakker, Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia (Yogyakarta: Kanisisus, 1995), hlm, 34. 3 Dalam bahasa ilmu biologi dikenal dengan istilah habitat. 4 Lihat, Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm. 268. 5 Dikutip oleh S.J. Mcnaughton & Larry. L, Ekologi Umum, terj. Sunaryono Pringgoseputro, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1992), hlm. 1. 6 Dikutip oleh Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan: Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 1. Koesnadi Hadjosoemantri menuliskan beberapa argument perihal ekologi yang diambil dari beberapa tokoh ekolog Barat, yakni ekolog De Bel, William H. Matthews et. Al. dan Joseph Van Bieck. Ketiga tokoh tersebut memberikan perumusan yang berbeda terhadap ekologi. Perbedaan itu dapat dilihat dalam aspek penekanan yang diberikan tokoh tersebut. De Bel, misalnya, menfokuskan aspek keseimbangan alam, William H. Matthews et. Al. yang lebih terfokus pada hubungan makhluk hidup dan Joseph Van Bieck yang merumuskan ekologi pada penekanan isi dan aktivitas hubungan makhluk hidup.Untuk lebih jelas mengenai pembahasan ini, lihat
64 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 antara makhluk hidup dan lingkungannya inilah yang dibidik ekologi. Dengan demikian, lingkungan dan makhluk yang ada di dalamnya merupakan objek kajian ekologi. Otto Soemarwoto mendefinisikan ekologi dengan bahasa yang sederhana, yakni ilmu tentang hubungan timbal-balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya.7 Dengan definisi itu, Otto Soemarwoto menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan ekologi. Amsyari mendefinisikan ekologi sebagai sebuah ilmu yang mempelajari hubungan antara satu organisme dengan yang lainnya dan antara organisme tersebut dengan lingkungannya.8 Di samping itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya.9 Dari beberapa definisi yang telah disebutkan, terdapat tiga kata kunci untuk merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal-balik, hubungan antara sesama organisme dan hubungan organisme dengan lingkungannya. Sebagai suatu ilmu yang sistematik dan tersetruktur, ekologi berkembang pesat setelah tahun 1900-an, kemudian lebih pesat lagi dalam dua dasawarsa terakhir ini.10 Setelah melihat paparan dan uraian dari para tokoh di atas, ekologi secara sederhana dapat dikatakan studi tentang ekosistem11, studi tentang Koesnadi Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hlm. 2. 7 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, hlm. 19. 8 Dikutip oleh Koesnadi Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hlm. 1 – 2. 9 Lihat, Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 286. 10 Soedjiran Resosoedarmo, dkk., Pengantar Ekologi (Bandung: Rosda, 1993), hlm. 1. Jika diruntut, ekologi merupakan cabang dari biologi yang mempelajari hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dan lingkungannya. Sebelum Ernst Haeckel memperkenalkan ekologi, sebenarnya Charles Darwin (selanjutnya disebut Darwin) pernah mempelajarinya. Sehingga tokoh teori evolusi ini pun oleh sementara para penulis dijuluki ‘bapak rohani dari ekologi’. Menurut Darwin, proses hidup meliputi tiga tahap yang saling berjalin, yakni (1) penyesuaian antar organisme, yang menimbulkan, (2) perjuangan hidup (3) pengaruh lingkungan terhadap penyesuaian tersebut. Dikutip oleh N. Daldjoeni “Ekologi dan Agama” dalam Amin Abdullah, dkk, Re-strukturisasi Metodologi Islamic Studies, hlm. 151. 11 Ekosistem secara etimologis berasal dari bahasa Yunani oikos dan system, yang berarti tatanan dan aturan. Secara terminologis ekosistem berarti hubungan timbal-balik antar komponen hidup (organik) dan tak hidup (anorganik) dalam suatu tempat yang bekerja secara teratur sebagai satu kesatuan. Dapat juga diartikan sebagai unit fungsional antara komunitas dengan lingkungan abiotiknya. Lihat Pius A. Partanto & M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, t.th.t), hlm. 131.
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
65
keadaan lingkungan hidup atau studi tentang hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya. Apabila dapat dikatakan, ekologi merupakan kajian tentang proses dan interrelasi kehidupan suatu organisme dengan organisme lain dan organisme dengan lingkungannya yang menyeluruh dalam satu kesatuan. Ekosistem12 merupakan suatu sistem ekologis yang terbentuk oleh hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut pengertian, suatu sistem terdiri dari atas komponen-komponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan.13 Kesatuan itu terjadi oleh adanya arus materi dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi14 antar komponen dalam ekosistem itu. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itu pun terjaga.15 Dengan kata lain ekosistem dapat dikatakan sebagai jaringan kompleks yang menghubungkan hewan, tumbuhan dan bentuk kehidupan lainnya pada 12
Istilah ekosistem awalnya diperkenalkan oleh pakar lingkungan Inggris, A.G. Tansley (1935). Selanjutnya dirumuskan secara konseptual oleh pakar lingkungan Bertanfy (1950). Dikutip oleh Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, hlm. 2. 13 17 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, hlm. 23. Bandingkan dengan, Ibrahim Ӧzdemir, “Toward an Understanding of Enviromental Ethics from a Qur’anic Perspective” dalam Richard C Foltz, Islam and Ecology: a bestowed trust (USA: Harvard University Press, 2003), hlm. 8. 14 Energi merupakan kekuatan untuk melakukan sesuatu yang tidak berbentuk, tetapi efeknya dapat dirasakan. Di dalam metabolisme itu energi-energi dalam makanan diubah menjadi bentuk yang dapat digunakan untuk melakukan kerja seperti gerak otot. Sumber energi yang paling banyak dipakai ialah matahari. Energi yang ada pada tumbuhan menjadi sumber makanan bagi makhluk hewan atau manusia, karena tumbuhan itu sebagai produsen, sedangkan yang lain, manusia dan hewan, sebagai konsumen. Lihat Sofyan Anwar Mufid, Islam & Ekologi Manusia…, hlm. 37. Materi terdiri dari unsur kimia seperti karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan fosfor. Materi mengalir dari tubuh yang satu ke tubuh makhluk lainnya, dari dunia hidup ke dunia yang tak hidup, dan dari dunia tak hidup kembali ke dunia hidup. Materi diperoleh dari makanan yang dikonsumsi oleh makhluk hidup dan berjalan melalui energi matahari atau fotosintesis untuk jenis tumbuhan berhijau daun. Adapun manusia dapat memperoleh materi dari makanan yang dikonsumsi yang berbentuk karbohidrat, lemak dan protein. Dikutip oleh Sofyan Anwar Mufid, Islam & Ekologi Manusia: Paradigma Baru, Komitmen dan Integritas Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi Jawaban atas Tantangan Pemanasan Global Dimensi Intelektual, Emosional dan Spiritual (Bandung: Nuansa, 2010), hlm. 36 – 37. Informasi merupakan sesuatu yang dapat memberikan pengetahuan kepada manusia. Bentuknya dapat berupa benda fisik, warna, suhu dan kelakuan. Semakin banyak informasi yang diperoleh semakin banyak pula pengetahuan yang disdapatkan, dan begitu sebaliknya. Dikutip oleh Sofyan Anwar Mufid, Islam & Ekologi Manusia…, hlm. 37. 15 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, hlm. 23 – 24..
66 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 lingkungan tertentu.16 Segala sesuatu saling bergantung dalam ekosistem. Yang lain menurut Stephen Croall dan William Rankin, apabila salah satu bagian diubah maka yang lainnya ikut berubah dalam rentan waktu cepat atau lambat.17 Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari proses timbal-balik antar sesama makhluk hidup dan makhluk hidup dengan lingkungannya. Sementara itu, ekosistem merupakan proses timbal-balik itu sendiri atau sistem ekologis, sehingga ekosistem berkaitan dengan ekologi. Keseimbangan dalam ekosistem menjadi landasan dari keseimbangan ekologis. Hal lain yang berkaitan dengan ekologi adalah istilah lingkungan. Lingkungan berarti semua faktor eksternal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengaruhi kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme. Habitat dalam arti luas, berarti tempat di mana organisme berada, serta faktor-faktor lingkungannya.18 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Lingkungan berarti daerah atau kawasan, dan yang termasuk di dalamnya. Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.19 Menurut Otto Soemarwoto, lingkungan hidup merupakan ruang yang ditempati manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik. Selain makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda takhidup, seperti misalnya udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu.20 Salah satu tokoh lingkungan Indonesia, Emil Salim, menyatakan bahwa secara umum, lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi dan keadaan serta pengaruh yang terdapat
16 Lingkungan apapun dan di manapun, baik dalam bentuk skala mikro maupun dalam skala makro. Contoh skala mikro adalah lingkungan dalam pot bunga, di dalamnya terdapat unsure makhluk hidup (organik) dan tak hidup (anorganik). Sedangkan skala makro adalah lingkungan biosfer. 17 Stephen Croall dan William Rankin, Ecology for Beginners, hlm. 16. 18 S.J. Mcnaughton & Larry. L, Ekologi Umum, hlm. 1 – 2. 19 Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa, hlm. 675. 20 Dengan kata lain, ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan takhidup di dalamnya disebut lingkungan hidup makhluk tersebut. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, hlm. 51 – 52.
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
67
dalam ruang yang ditempati dan mempengaruhi perihal hidup, termasuk di dalamnya kehidupan manusia.21 Jadi, lingkungan adalah suatu wadah bagi makhluk hidup, baik berbentuk benda, kondisi atau keadaan, yang menjadi tempat makhluk hidup berproses dan berinteraksi. Di samping itu, lingkungan merupakan objek ekologi dan bagian dari ekosistem. Dengan demikian, ekologi, ekosistem dan lingkungan hidup merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Keteraturan ekosistem menunjukkan ekosistem tersebut berada pada suatu keseimbangan. Keberadaan keseimbangan itu tidaklah statis, melainkan dapat berubah-ubah (dinamis). Kadang-kadang perubahan itu besar, kadangkadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat perbuatan manusia. 22 Ada dua bentuk ekosistem yang penting, yaitu ekosistem alamiah (natural ecosystem) dan ekosistem buatan (artificial ecosystem) hasil kerja manusia terhadap ekosistemnya. Di dalam ekosistem alamiah akan terdapat heterogenitas (keanekaragaman) yang tinggi dari organisme hidup di sana, sehingga mampu mempertahankan proses kehidupan di dalamnya dengan sendirinya. 23 Sedangkan ekosistem buatan akan mempunyai ciri kurang sifat heterogenitasnya, hal ini menjadikan ekosistem buatan bersifat labil dan untuk membuat ekosistem tersebut tetap stabil, perlu diberikan bantan energy dari luar yang juga harus diusahakan oleh manusianya, agar berbentuk suatu usaha maintenance atau perawatan terhadap ekosistem yang dibuat itu.24 Perlu diusahakannya untuk menjaga ekosistem agar menjadi stabil, hal ini dimaksudkan demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dari generasi ke generasi. Di samping itu perlu disadari pula, bahwa manusia harus berfungsi sebagai subjek dari ekosistemnya, walaupun tidak boleh mengabaikan arti pentingnya menjadi kestabilan ekosistemnya sendiri. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam daerah lingkungan hidupnya
21
Harun M. Husein, Lingkungan Hidup, hlm. 7. Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, hlm. 24. 23 Koesnadi Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hlm. 3. 24 Penjelasan lebih lanjut perihal pembagian ekosistem, Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hlm. 3 – 4. 22
lihat
Koesnadi
68 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 akan mempengaruhi eksistensi manusianya karena manusia akan banyak sekali bergantung pada ekosistemnya.25 Akibat perbuatan eksploitasi lingkungan hidup hingga menimbulkan kerusakan, lingkungan (alam) yang asri dan ramah, kini berubah menjadi sumber bencana ketika sudah tidak sanggup lagi mengemban fungsinya. Sumatera yang dulu jarang dilanda banjir, kini menjadi langganan banjir, begitu juga daerah lain.26 Bencana (disaster) secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘dus’ yang berarti buruk, dan ‘aster’ berarti bintang. Isitilah ini mengacu kepada fenomena astronomi yang berkonotasi pada sesuatu yang buruk. Kemunculan bintang-bintang tertentu di cakrawala diyakini sebagai pertanda akan terjadinya sesuatu yang buruk bagi kehidupan manusia. Keseluruhan peristiwa alami yang sifatnya destruktif, misalnya gempa bumi, badai salju, banjir, dan kekeringan, seringkali diterima begitu saja sebagai bencana (disaster). 27 Adapun bencana (dengan kata musibah) dalam al-Qur’an disebut sepuluh kali. QS. al-Baqarah: 156, Ali ‘Imran: 165, al-Nisa: 62, 72, QS. alMa>`idah: 106, al-Taubah: 50: al-Qashash: 47, al-Syura: 30, al-Hadid: 22, alTaghabun: 11. Menurut al-Raghib al-Ashfahani, asal makna kata mushibah adalah al-ramyah, kemudian digunakan untuk pengertian bahaya, celaka, atau bencana dan bala. al-Qurthubi mengatkan, mushibah ialah apa saja yang menyakiti dan menimpa orang (mukmin), atau sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia meskipun kecil.28 Musibah (bencana) dalam alQur’an memiliki makna yang beragam, tidak hanya mengandung makna kehilangan harta benda, tetapi juga terkait dengan masalah moralitas dan spirtualitas seseorang maupun masyarakat tertentu.
25
Dikutip oleh Koesnadi Hadjosoemantri, Hukum Tata Lingkungan, hlm. 4. Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 92 27 Lihat, Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, Agama, Budaya, dan Bencana: Kajian Integratif Ilmu Agama dan Budaya (Yogyakarta: Mizan & ICRS, 2012), hm. 7. 28 Kata mushibah yang terdapat dalam QS. al-Baqarah: 156, disebutkan sesudah menjelaskan bermbacam-macam cobaan. Adapaun dalam QS. Ali ‘Imran: 165 berkaitan dengan kekalahan yang dialami oleh orang-orang mukmin pada peperangan Uhud. Musibah yang menimpa orang-orang munafik akibat perbuatannya. Sahabuddin, dll (ed.), Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosakata, jilid II (Jakarta: Lintera Hati, 2007), hlm. 657. 26
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
69
Kerusakan lingkungan hidup justru dianggap membahayakan manusia secara global, karena mempengaruhi semua aspek kehidupan manusia, mulai dari perlindungan terhadap hutan alam yang merupakan paru-paru dunia, terjadinya polusi air yang mengakibatkan banyak manusia tidak dapat lagi menikmati dan memanfaatkan aliran sungai akibat limbah industri, polusi air laut yang mengakibatkan rusaknya kehidupan kelautan, dan seterusnya, semua itu berakibat pada kehidupan dan kesehatan manusia. Masalah ini memerlukan kesadaran semua umat manusia untuk mengembalikan dunia pada ekosistem ekologi yang normal berdasarkan hukum alam.29 Dengan dimasukkannya aspek perilaku manusia sebagai salah satu penyebab benana, maka cakupan definisi bencana menjadi sema kin kompleks. Bencana mencakup hal, bencana alam, hingga kesehatan global dan kemiskinan yang keseluruhannya merupakan akibat perbuatan manusia.30 Alam raya ini diciptakan Allah dengan sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Akan tetapi, justru manusia yang melakukan kerusakan dengan kegiatan buruk yang merusak keseimbangan tersebut. Dengan demikian, terjadi kepicangan dan ketidakseimbangan pada sistem alam.31 Penyesuaian alam atas perubahan keseimbangan yang terjadi akibar adanya perubahan-perubahan itulah yang disebut ‘bencana’. Manusia yang menyebut itu sebagai bencana, karena pergerakan penyesuaian itu mendatangkan kerugian secara psikis maupun fisik bagi manusia. C. Kata Kunci Ekologi dalam al-Qur’an: Upaya Merumuskan ‘Agama Hijau’ Dengan mempertimbangkan uraian sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa banyaknya bencana alam yang terjadi tidak hanya menjadi sebuah takdir Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan hukum 29
Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan, hlm. 13-14. Agus Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, Agama, Budaya, dan Bencana, hm. 8. 31 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 76. Hal serupa diutarakan oleh Amin Abdullah, menurut ilmu ekologi, memang tidak ada makhluk yang sia-sia diciptakan oleh Allah swt. Kehidupan tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, lingkungan hidup dan makhluk lainnya saling terkait satu sama lain. Apabila satlah satunya terjadi ‘kerusakan’ maupun punah maka akan berdampak kepada makhluk lainnya dan kehidupan secara luas. Lihat Amin Abdullah, “Dimensi Etis-Teologis dan EtisAntropologis Pembangunan Berwawasan Lingkungan” dalam Jurnal al-Jami’ah, No. 49, Januari 1992, hlm. 21. 30
70 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 keseimbangan alam yang tidak terjaga. Jika alam tidak dijaga keharmonisan dan keseimbangannya, maka secara hukum alam (sunnatullah) keteraturan yang ada pada alam akan terganggu dan dapat berakibat munculnya bencana alam.32 Al-Qur’an selalu menegaskan akan perlunya keselarasan karena ala ini diciptakan secara teratur. Krisis ekologis merupakan dampak dari pengerukan kekayaan alam yang berkepanjangan. Dan bencana dapat terjadi dari krisis ekologis yang sangat akut. Padahal, kerusakan atas alam sangat kontras dengan ajaran Islam. Sebagai salah satu agama samawi, Islam memiliki peran besar dalam rangka mencegah dan menanggulangi krisis tersebut.33 Di dalam al-Qur’an dijelaskan dalam surat Al-Rum (30): 41, sebagai berikut Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam. Misalnya, Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibn Katsir, dan Abu Bakr al-Jaza`iri, dalam Aisir al-Tafasir,34 ketika menafsirkann ayat di atas, keduanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan (fasad) dengan perbuatan syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah. Hal ini disebabkan, pada saat itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang, sehingga fasad dimaknai sebagai kerusakan sosial dan kerusakan spiritual semata. Sedikit berbeda dari kedua ahli tafsir di atas, Quraish Shihab memaknai fasad sebagai kerusakan alam yang akan menimbulkan 32 Fitria Sari Yunianti “Wawasan al-Qur`an Tentang Ekologi; Arti Penting Kajian, Asumsi Pengelolaan, dan Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Lingkungan”, dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an dan Hadis, Vol. 10, No. 1, Januari 2009, hlm. 94 – 95. 33 Ahmad Suhendra, “Ajaran Nabi SAW. tentang Menjaga Keseimbangan Ekologis” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 12, No. 1, Januari 2011, hlm. 134. 34 Abu Bakr al-Jaza`iri, “Aisir al-Tafasir” dalam CDROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutu>b al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Jilid II, hlm. 237.
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
71
penderitaan kepada manusia.35 Di dalam salah satu karya fenomenalnya, Tafsir al-Misbah, dijelaskan bahwa terjadinya kerusakan merupakan akibat dari dosa dan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia, sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan di darat dan di laut.36 Padahal, Allah swt. juga memberikan suatu ‘sinyal’ untuk tidak berbuat kerusakan dengan ayat di atas. Kerusakan alam yang disebabkan tingkah laku manusia tidak hanya apa yang diutarakan dalam kitab suci (al-Qur`an dan hadis), menurut Lynn White Jr, krisis lingkungan yang tengah terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahan manusia menanggapi persoalan ekologisnya.37 Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri, kerusakan alam, krisis ekologis, dan adanya berbagai macam bencana, secara langsung atau tidak dan secara spontan atau dalam rentan waktu tertentu, disebabkan oleh perbuatan manusia itu sendiri. Konsep lingkungan sendiri dalam al-Qur’an terdapat banyak terminology. Untuk tidak banyak bahasan dalam artikel ini hanya disebutkan beberapa term yang dapat mewakili terkait ekologi dan bencanan perspektif agama (al-Qur’an). 1. Kata atau term al-‘alamin disebutkan dalam al-Qur’an 71 kali baik dalam berbagai bentuk kata (frasa, gabungan kata). dalam hal ini terdapat dua makna kata al-‘alamin, ada yang bermakna alam secara keseluruhan dan hanya ditujukan kepada manusia. Adapun jumlah kata yang berkonotasi alam secara keseluruhan sebanyak 46 kata,38 sedangkan yang berkonotasi manusia diulang dalam al-Qur’an sebanyak 25 kali.39 2. Kata al-sama` yang digunakan untuk memperkenalkan jagad raya. kata ini dan derivasinya digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 387 kali. Dari sekian kata itu, Mujiyono melakukan klasifikasi makan
35
Nadjamuddin Ramly, Islam Ramah Lingkungan, hlm. 20-21.. M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 78. 37 Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam, hlm. 7. 38 Ayat yang bermakna ini antara lain dalam QS. al-Fatihah: 1, QS. al-Baqarah: 131, QS. Ali ‘Imran: 33, QS. al-Maidah: 115, dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 41. 39 Ayat yang bermakna ini antara lain dalam QS. al-Baqarah: 37 & 122, QS. al-Maidah: 28, dan sebagainya. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, hlm. 33 36
72 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
3.
4.
5.
6.
yang dibaginya dalam makna jagad raya, ruang udara, dan. ruang angkasa.40 Kata al-ardh yang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 483 atau 461 kali.41 Kata ini disebut dalam bentuk mufrad (tunggal) saja dan tidak pernah muncul di dalam bentuk jamak.42 Kata al-biah yang digunakan untuk memperkenalkan istilah lingkungan sebagai ruang kehidupan. Secara kuantitatif, kata ini terdapat sebanyak 18 kali.43 Kata ma>`a ( )ﻣﺎءyang terulang dalam al-Qur’an sebanyak 63 kali dalam 41 surah. 44 Kata ini memliki arti benca cair atau air. Dan disebutkan hanya dalam bentuk mufrad saja, tidak ada dalam bentuk jamak. Adapun maknanya tidk hanya berarti air, ada yang dikaitkan dengan proses penciptaan alam semesta (sop kosmos atau zat cair) QS. Hud: 7; ada yang bermakna ‘sperma’ seperti dalam QS. al-Furqan: 54, alSajadah: 8, al-Mursalat: 20, a-T{ari>q: 6 yang menginformasikan tentang pnciptaan manusia; ada juga makna ma>`a untuk penghuni neraka dan surge, seperti dalam QS. Ibrahim: 16 dan QS. Muhammad: 15. (536-537). Kata khail ( )ﺧﯿﻞyang berarti kuda disebut lima kali di dalam alQur’an, yaitu QS. An: 14, al-Anfa>l: 60, al-Nahl: 8, al-Isra`: 64, dan al-Hasyr: 6.45 Makna dalam surat pertama berkaitan dengan konteks pembicaraan mengenai bentu-bentuk kesenangan hidup duniawi. Surah yag kedua dalamkonteks persiapan menghadapi musuh dalam peperangan. QS al-Isra: 64 berkaitan dengan permusuhan dan godaan setan terhadap manusia, sedangkan al-Hasyr: 6 berkaitan dengan harta rampasan.(448-449).
40 Term al-sama` dapat ditemukan dalam beberapa ayat, di antaranya, QS. al-Baqarah:, 22 & 164, QS. al-Nahl: 79 dan QS. al-Furqan: 61. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, hlm. 42-43. 41 Adapun penyebaran ayat yang menggunakan kata al-ardh, di antaranya, QS. alBaqarah:, 164, QS. al-Maidah: 21, dan QS. al-A’raf: 24. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, hlm. 44-46. 42 Sahabuddin, dll (ed.), Ensiklopedi al-Qur’an, jilid I, hlm. 95. 43 Di antaranya terdapat dalam QS. al-Baqarah: 61, QS. al-Ali ‘Imran: 162 dan QS. alAnfal: 16. Lihat, Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, hlm. 47-49. 44 Sahabuddin, dll (ed.), Ensiklopedi al-Qur’an, jilid II, hlm. 536. 45 Bentuk asalnya adalah kha>la, yakha>lu, khailan wa khailah ( ﺧﯿﻼ وﺧﯿﻠﺔ- ﯾﺨﺎل- )ﺧﺎلyang berarti dugaan. Lihat, Ibid., hlm. 448.
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
73
7. Kata khardal ( )ﺧﺮدلyang berarti tumbuh-tumbuhan yang berbiji hitam atau biji sawi. Term ini terdapat dua tempat dalam al-Qur’an, yakni QS al-Anbiya>`: 47 dan Luqma>n: 16.46 Kedua suarat atau ayat tersebut, kata khardal hanya sebagai sebuah gambaran tentang keadilan Tuhan dan Nasehat Lukman tentang amal perbuatan baik. 8. Term ma’i>n ( )ﻣﻌﯿﻦyang memilik arti air (sungai) yang mengalir disebutkan sebanyak empat kali dalam QS. al-Mu`minun: 50, alSa>ffa>t: 45, al-Waqi’ah: 18 dan al-Mulk: 30.47 Surat pertama dan terakhir kata ma’in bermakna sungai dalam konteks pembicaraan duniawi, sedangkan sisanya dalam konteks ukhrawi. 9. Kata nahar ( )ﻧﮭﺮyang terdapat 113 kali dengan berbagai bentuknya dalam al-Qur’an. Kata ini memilki banyak makna, ada yang berarti ‘siang’seperti dalam QS. al-Muzammil: 7, nahar berarti mencegah atu menghardik seperti dalam QS. al-Isra`: 23, nahar dengan arti sungai terdapat dalam QS. al-Baqaah: 249.48 10. Kata nahl ( )ﻧﺤﻞyang berarti lebah yang menjadi salah satu nama surat. Kata nahl dengan bentuk ini dan dengan arti lebah hanya terdapat satu dalam al-Qur’an, yakni QS. al-Nahl: 68.49 11. Kata naml menjadi nama binatang berikutnya yang menjadi nama surat dalam al-Qur’an. Kata al-Naml adalah bentuk jamak dari alNamlah. Kata al-Namlah dengan segala derivasinya disebut sebanyak empat kali dalam al-Qur’an, tetai yang bermakna semut hanya tiga, yakni QS. al-Naml: 18.50 12. Jenis binatang yang disebutkan dalam al-Qur’an adalah bigha>l ()ﺑﻐﺎل bentuk jamak dari baghlun yang berarti binatang yang lahir dari perkawinan antara keledai dengan kuda. Kata ini hanya terdapat dalam QS. al-Nahl: 8. 51
46 Orang Arab menjadikan biji tumbuh-tumbuhan ini sebagai perumpamaan yang paling kecil. Menurut Ibrahim Anis, khardal adalah tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh di sawah dan di pinggir jalan, bijinya digunakan untuk harum-haruman, dan juga digunakan untuk bumbu makanan. Lihat, Ibid., hlm. 464. 47 Kata ini berasal dari kata ma’ana-yam’anu-mu’nan ( ﻣﻌﻨ ﺎ- )ﻣﻌ ﻦ – ﯾﻤﻌ ﻦ. Lihat, Ibid., hlm. 530-531. 48 Ibid., hlm. 695-696. 49 Ibid., hlm. 698. 50 Ibid., hlm. 703-704. 51 Sahabuddin, dll (ed.), Ensiklopedi al-Qur’an, jilid I, hlm. 144-145.
74 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 13. Kata da>bbah yang terdapat sebnnyak delapan belas kali. Yang dikemukakan dalam bentuk ism mufrad (da>bbah) sebanyak 14 kali, dan empat kali dalam bentuk jama’ taksir (al-Dawwa>b). Kata ini meliputi tiga cakupan makna, 1) khusus hewan, sperti QS. alBaqarah: 164 dan al-An’am : 38 yang bermakna semua jenis hewan. 2) ditujukan kepada hewan dan mansia QS. al-Nahl: 49. 3) kata da>bbah yang ditujukan kepada hewan, manusia dan jin, sperti dalam QS. Hu>d: 6. 52 14. Kata fa>kihah ( )ﻓﺎﻛﮭﺔyang secara kebahasaan berarti baik dan senang. Kemudian kata ini diartikan sebagai buah-buahan yang lezat dan nikmat rasanya. Kata ini dalam bentuk mufrad, disebutkan daam alQur’an sebanyak 11 kali. Penyebutan itu ada yang digunakan untuk menerangkan gambaran sebagian nikmat surga, sebagai tanda kekuasaan Allah menumbuhkan pohon yang enghadilkan buahbuahan. Adapun daam bentuk jamak (fawa>kih) disebutkan sebanyak tiga kali; QS. al-Mu’minun: 19 menerangkan manfaat air bagi manusia yang dapat menghasilkan berbagai macam buah-buahan; alMursala>t: 42 dan al-Baqarah: 25 yang digunakan untuk menggambarkan pahala dan balasan kenikmatan surgg.53 15. Kata ghaur ( )ﻏﻮرyang berarti kekeringan yang disebut dalam alQur’an dengan segala derivasinya sebanyak lima kali, misalnya dalam QS. al-Kahi: 41 yang menggambarkan betapa sebuah kebun airnya menjadi kering sehingga tidak seorang pun yang dapat menemukannya lagi. Begitu juga dalam QS al-Mulk: 30.54 16. Kata syajarah yang terapat dalam Surat Al-Baqarah (02):35, Surat Al-A’raf (07):19-20, dan Surat Thaha (20):120 D. Pemahaman Ekologis: Upaya Merumuskan ‘Agama Hijau’ Dengan enam belas kata ‘kunci’ itu, setidaknya dapat sedikit mendeskripsikan bahwa al-Qur’an telah merespon masalah lingkungan sebelum teori ekologi itu lahir. Berangkat dari itu, perlu merumuskan
52
Ibid.,, hlm. 153-155. Ibid., hlm. 207-208. 54 Ibid., hlm. 250-251. 53
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
75
‘Agama Hijau’55 sebagai sebuah upaya ikhtiar untuk mengurangi krisi ekologis yang terjadi saat ini. Menurut Ibrahim Abdul-Matin ‘Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta). ‘Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan.56 Prinsip pertama, memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid). Hidup dengan cara ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Prinsip kedua, melihat tanda-tanda (ayat) Tuhan di seluruh semesta. Hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti melihat segala sesuatu di alam ini sebagai tanda (ayat) keagungan Sang Pencipta.57 Prinsip ketiga, menjadi penjaga (khalifah) bumi.58 Dengan prinsip ini berarti memahami bahwa manusia harus melakukan apa pun untuk menjaga, melindungi, dan mengelola semua karunia yang terkandung di dalam alam. Prinsip keempat, menghargai dan menunaikan kepercayaan (amanah) yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk menjadi pelindung planet ini. Mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) berarti mengetahui bahwa manusia dipercaya oleh Tuhan untuk bertindak sebagai pelindung alam. Prinsip kelima, memperjuangkan keadilan (‘adl).Orang yang ingin hidup mengikuti prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) harus memahami bahwa masyarakat yang tidak memiliki kekuatan politik dan ekonomi
55
Menurut Mujiyono, agama ramah lingkungan adalah agama yang mengajarkan kepada pemeluknya tentang kearifan lingkungan. Mujiyono Abdillah, Agama Ramah Lingkungan, hlm., 6. 56 Penjelasan mengenai enam prinsip ‘Agama Hijau’ dapat dilihat, Ibrahim AbdulMatin, Greendeen; Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola (Jakarta: Zaman, 2012), hlm. 21-34. 57 Hal senada disampaikan oleh Thalhah dan Achmad Mufid, bahwa Al-Qur’an memberikan nama fenomena alam dengan istilah ayat-ayat (tanda) Allah swt. Yakni tandatanda perjalanan menuju kebahagiaan dunia (zhahir) dan akhirat (bathin). Lebih jelasnya lihat, M. Thalhah dan Achmad Mufid, Fiqh Ekologi: Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab Suci (Yogyakarta: Total Media, 2008), hlm. 7. 58 Di dalam kekhalifahan manusia terkandung unsure-unsur saling terait secara erat. Selain Allah swt sebagai pemberi tugas dan wewenang kepada manusia, unsure-unsur utama lainnya adalah manusia dan alam. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi harmonis dan kokoh sesuai dengan prinsip kehidupan alam, antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam. Lihat, Ali Yafie, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup (Jakarta: Ufuk Press & Yayasan Amanah, 2006), hlm, 176.
76 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 sering kali harus menanggung efek negatif pencemaran dan kerusakan lingkungan. Prinsip keenam, dan hidup selaras dengan alam (mizan).Segala sesuatu diciptakan dalam keseimbangan yang sempurna (mizan).Upaya menghormati keseimbangan itu dapat berupa memandang bumi sebagai masjid.Tatanan hukum dan aturan dalam Islam bertujuan untuk menjaga keseimbangan ini.Prinsip-prinsip itu adalah panduan yang menuntun untuk melestarikan lingkungan (alam)59 berdasarkan inspirasi ‘Agama Hijau’ (greendeen). Dengan prinsip-prinsip ‘Agama Hijau’ (greendeen) di atas membuktikan bahwa al-Qur’an mengajarkan cinta yang mendalam kepada alam. Sebab, mencintai alam berarti mencintai diri kita dan mencintai Sang Pencipta. Hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an mengajarkan adanya kesesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Enam prinsip itu juga dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan alQur’an. Dapat diketahui secara seksama, tidak sedikit ayat-ayat Al-Qur'an mengungkapkan ajakan untuk memeriksa dan menyelidiki langit dan bumi, dan segala sesuatu yang dapat dilihat di lingkungan (burung, domba, awan, bulan, matahari, pegunungan, hujan, angin, dan sebagainya) semua fenomena alam. 60 Dengan demikian, melalui perspektif ‘Agama Hijau’ (greendeen) manusia akan memiliki kesadaran dan berpandangan bahwa bumi adalah masjid. Bumi adalah masjid merupakan cara lain untuk mengatakan bahwa manusia merupakan bagian dari struktur penciptaan yang menakjubkan. Maka, semua yang ada di dalamnya suci. 61 Dengan begitu, manusia tidak akan bertindak seenaknya ‘memperkosa’ alam demi kebutuhannya sendiri. Kerusakan alam bermula saat manusia memasuki sebuah zaman yang mereka sebut sebagai zaman modern. Hal ini diperparah dengan sikap yang tamak dan serakah yang melekat pada diri manusia. Dengan demikian, tidak 59
Melestarikan lingkungan bukan berarti melanggengkan lingkngan dalam keadaan statis (tidak berubah), karena yang demikian tidak sejalan dengan pengangkatan manusia sebagai khalifah. Adapun yang dimaksud dengan pelestarian/kelestarian alam adalah upaya melestarikan kemampuannya sehingga selalu sesuai dan seimbang. M. Thalhah dan Achmad Mufid, Fiqh Ekologi, hlm.46. 60 Ibrahim Ӧzdemir, “Toward an Understanding of Enviromental Ethics, hlm. 7 61 Ibrahim Abdul-Matin, Greendeen; Inspirasi Islam, hlm. 19.
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
77
keliru jika beberapa sarjana muslim yang konsern dengan isu lingkungan, mengharuskan manusia untuk memperbaiki aspek spiritualnya untuk menciptakan lingkungan yang asri, seperti Sayyed Husein Nasr62 dan Hasan Hanafi.63 Padahal, Allah swt bekali-kali mengancam manusia yang merusak alam, seperti dalam QS. Al-Baqarah: 60, QS. Al-A’raf: 56 dan 85, QS. AlQashsash: 88, QS. Al-Syu’ara: 183. Tindakan merusak alam merupakan bentuk kezaliman dan kebodohan manusia. Semua perbuatan manusia yang dapat merugikan kehidupan manusia merupakan perbuatan dosa dan kemungkaran. Maka, setiap insan, baik secara individu maupun kelompok, yang melihat tindakan tersebut, maka wajib menghentikannya melalui segala cara yang mungkin dan dibenarkan.64 Namun, masalahnya kemudian adalah penegakkan hukum di Indonesia masih lemah, termasuk lemah dalam pengawasan. Tindakan moral-etik tidak hanya berkaitan dengan relasi antarmanusia, tetapi juga dengan alam. Maka hak manusia untuk memanfaatkan alam tidak berarti membolehkannya mengganggu, merusak, dan bahkan menghancurkan keseimbangan ekologinya yang memang sudah ditetapkanNya dalam pola yang demikian indah dan harmonis. Pemanfaatn alam
62 Bahkan, David E. Cooper dan Joy A. Palmer, dalam tulisannya bahwa para tokoh sepakat wawasan spiritual terhadap alam menjadi sebuah kebutuhan nyata dalam upaya memelihara lingkungan hidup dan menyelematkan planet bumi. Husain Heriyanto, “Respon Realisme Islam Terhadap Krisis Lingkungan” dalam Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 88. 63 Problem ekologis dalam pandangan Hasan Hanafi, dalam perspektif agama akan memungkinkan untuk menyelesaikan sumber-sumber krisis lingkungan dan kerusakan alam langsung dari akarnya. Yakni, dari sudut pandang kesadaran manusia, sikap manusia menentukan cara hubungan manusia dengan alam. Untuk lebih jelasnya lihat, Hasan Hanafi, Islam Wahyu Sekuler: Gagasxan Kritis Hasan Hanafi, terj. M. Zaki Husein (Jakarta: Instad, 2001), hlm 72-73. Manusia dan alam adalah, sebagai tanda-tanda Allah, saling berhubungan satu sama lain dan saling tergantung, dalam hal lingkungan ini menyiratkan holistik, spiritual, dan pandangan yang seimbang dari semua realitas. Lihat, Ibrahim Ӧzdemir, “Toward an Understanding of Enviromental Ethics, hlm. 22. 64 Husein Muhammad, “Manusia dan Tugas Kosmiknya Menurut Islam” dalam Fachruddin M. Mangunjaya, dkk, Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 6.
78 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 menurut Islam sama sekali tidak boleh mengabaikan eksistensi hewan dan tanam-tanaman.65 Manusia dalam rangka ini merupakan subjek penentu terhadap lingkungannya, karena pada dasarnya penciptaan alam yang telah berlangsung sejak lama sebelum manusia ada, tidak lain, kecuali untuk bekal manusia agar tercapailah tujuan hidup manusia. maka manusia perlu memperhatikan: 1) keseimbangan ekologi dan dan sumber alam, 2) kelangsungan dan kelestarian hidup manusia, 3) estetika, kenikmatan dan efisiensi kehidupan manusia, 4) memanfaatkan sebesa-besarnya kekayaan alam lingkungan untuk kesejahteraan hidup manusia, dan 5) melesterikan lingkungan sehingga kemanfaatannya dapat dinikmati oleh manusia dari generasi ke generasi sepanjang masa.66 Persoalan lingkungan hidup bukan sekadar masalah sampah, pencemaran, pngrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya, melainkan sebagai bagian dari suatu pandangan hidup itu sendiri. Masalah lingkungan hidup bersumber dari pandangan hidup dan sikap manusia yang egosentris dalam melihat dirinya dan alam sekitarnya dengan selruh aspek kehidupannya.67 Manusia yang beriman dituntut untuk memfungsikan imannya dengan meyakini bahwa pemelihara (penyelamatan dan pelestarian) lingkungan hidup adalah juga bagian dari iman tersebut.68 Salah satu, dari tujuh langkah yang ditawarkan oleh S. Husein Nasr untuk memperbaiki krisis lingkungan adalah dengan mengupayakan pemahaman Islam akan alam lingkungan dan kemanusiaan merupakan suatu hubungan yang harus diformulasikan dan dan diekspresikan dengan bahasa yang jelas, yang dapat dipahami oleh umat Muslim kontempore.69 Di dalam hal ini adalah dengan mengupayakan dan merumuskan tafsir bercorak ekologis (tafsir ekologis). Hal ini disebabkan masih minimnya literature dan konsep konkrit terkait masalah lingkungan dalam Islam, terutama perspektif al-Qur’an dan hadis. Masalah lingkungan sangat komplek, dan dapat 65
Husein Muhammad, “Manusia dan Tugas Kosmiknya, hlm. 6. Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 87. 67 Ali Yafie, Merintis Fiqh Lingkungan, hlm. 41-42. 68 Ibid., hlm. 43. 69 Sayyed Hossein Nasr, “Islam, the Contemporary Islamic World, and the Environmental Crisis” dalam Richard C Foltz, Islam and Ecology: a bestowed trust (USA: Harvard University Press, 2003), hlm. 100. 66
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
79
dilakukan kajian secara multidispliner, misalnya adanya teologi ekologis, tafsir ekologis, fiqh ekologis, dan seterusnya. E. Penutup Permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan ekologi. Terdapat tiga kata kunci untuk merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal-balik, hubungan antara sesama organisme dan hubungan organisme dengan lingkungannya. Alam raya ini diciptakan Allah dengan sistem yang sangat serasi dan sesuai dengan kehidupan manusia. Akan tetapi, justru manusia yang melakukan kerusakan dengan kegiatan buruk yang merusak keseimbangan tersebut. Dengan demikian, banyaknya bencana alam yang terjadi tidak hanya menjadi sebuah takdir Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan hukum keseimbangan alam yang tidak terjaga. Kehidupan alam dalam pandangan Islam berjalan di atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Konsep lingkungan diperkenalkan oleh alQur’an dengan beragam bentuk dan model kata. Yaitu kata al-‘alamin, asama`, al-ardh, dan al-bi’ah. Dengan beberapa ayat-ayat yang menerangkan masalah ekologi, dapat dijadikan sebagai rumusan ‘Agama Hijau’. Agama Hijau’ (greendeen) adalah agama yang menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan integral antara keimanan dan lingkungan (seluruh semesta. Agama Hijau’ (greendeen) dibangun atas enam prinsip yang saling berkaitan. Tindakan moral-etik tidak hanya berkaitan dengan relasi antarmanusia, tetapi juga dengan alam. Maka hak manusia untuk memanfaatkan alam tidak berarti membolehkannya mengganggu, merusak, dan bahkan menghancurkan keseimbangan ekologinya yang memang sudah ditetapkanNya. Karena persoalan lingkungan hidup bukan sekadar masalah sampah, encemaran, pngrusakan hutan, atau pelestarian alam dan sejenisnya, melainkan sebagai bagian dari suatu pandangan hidup itu sendiri.
Daftar Pustaka Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan; Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.
80 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Abdullah, Amin. “Dimensi Etis-Teologis dan Etis-Antropologis Pembangunan Berwawasan Lingkungan” dalam Jurnal al-Jami’ah, No. 49, Januari 1992 Abdullah, dkk, Amin. Re-strukturisasi Metodologi Islamic Studies Mazhab Yogyakarta, Yogyakarta: SUKA-Press, 2007. Bakker, Anton. Kosmologi & Ekologi; Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia, Yogyakarta: Kanisisus, 1995. Croall dan William Rankin, Stephen. Ecology for Beginners, terj. Zulfahmi Andri dan Nelly Nurlaeli Hambali, Bandung: Mizan, 1997. Dwidjoseputro, D. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya, Jakarta: Erlangga, 1990. Foltz, Richard C. Islam and Ecology: a bestowed trust, USA: Harvard University Press, 2003. Hadjosoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993. Hanafi, Hasan. Islam Wahyu Sekuler: Gagasxan Kritis Hasan Hanafi, terj. M. Zaki Husein, Jakarta: Instad, 2001. Indiyanto dan Arqom Kuswanjono, Agus. Agama, Budaya, dan Bencana: Kajian Integratif Ilmu Agama dan Budaya, Yogyakarta: Mizan & ICRS, 2012. Jaza`iri, Abu Bakr al-. “Aisir al-Tafasir” dalam CDROM Mausu>'ah al-Hadi>s\ al-Syari>f al-Kutu>b al-Tis'ah, Global Islamic Software, 1997. Khaelany, Islam Kependudukan & Lingkungan Hidup, Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Mangunjaya, dkk, Fachruddin M. Menanam sebelum Kiamat: Islam, Ekologi, dan Gerakan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Matin, Ibrahim Abdul-. Greendeen: Inspirasi Islam dalam Menjaga dan Mengelola, Jakarta: Zaman, 2012. Mcnaughton & Larry. L, S.J. Ekologi Umum, terj. Sunaryono Pringgoseputro, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press, 1992. Mufid, Sofyan Anwar. Islam & Ekologi Manusia: Paradigma Baru, Komitmen dan Integritas Manusia dalam Ekosistemnya, Refleksi
Ahmad Suhendra, Menelisik Ekologis dalam Al-Qur’an |
81
Jawaban atas Tantangan Pemanasan Global Dimensi Intelektual, Emosional dan Spiritual, Bandung: Nuansa, 2010. Partanto & M. Dahlan al Barry, Pius A. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.th.t. Ramly, Nadjamuddin Islam Ramah Lingkungan: Konsep dan Strategi dalam Pengelolaan, Pemeliharaan, dan Penyelamatan Lingkungan, Jakarta: Grasindo, 2007. Resosoedarmo, Soedjiran. dkk., Pengantar Ekologi, Bandung: Rosda, 1993. Soemarwoto, Otto Ekologi. Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1994. Suhendra, Ahmad. “Ajaran Nabi SAW. tentang Menjaga Keseimbangan Ekologis” dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, vol. 12, no. 1, Januari 2011. Thalhah dan Achmad Mufid, M. Fiqh Ekologi: Menjaga Bumi Memahami Makna Kitab Suci, Yogyakarta: Total Media, 2008. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2007. Yafie, Ali. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Ufuk Press & Yayasan Amanah, 2006. Yunianti, Fitria Sari. “Wawasan al-Qur`an Tentang Ekologi; Arti Penting Kajian, Asumsi Pengelolaan, dan Prinsip-prinsip dalam Pengelolaan Lingkungan”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an dan Hadis, vol 10, no. 1, Januari 2009.
82 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
PEMAHAMAN HADIS TENTANG BENCANA (Sebuah Kajian Teologis terhadap Hadis-hadis tentang Bencana) Muhammad Alfatih Suryadilaga Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]
Abstrak Disaster is something always happens around human life. Those catastrophic events occured one after anothers and the intensity increases in contemporary times. In that context, it is necessary to attempt selfreflection and build knowledge about the disaster in religious perspective. Actually, the disaster in the Qur'an has been widely described. However, the hadith of the Prophet Muhammad as the highest authority after the Qur'an, which serves as an explanatory (al-baya>n), describes how the disaster happened, what causes it, and how humans should behave for facing the disaster. This brief article will review these matters with the theological approach. Kata Kunci: Disaster, Mus}i>bah, Destiny of God
A. Pendahuluan khir-akhir ini, serangkaian bencana sering terjadi di Indonesia. Sudah tidak bisa dihitung dengan jari jumlah bencana yang melingkupi umat manusia. Bencana yang kerap terjadi dapat dipetakan menjadi bencana alam seperti banjir, gunung meletus, gempa dan sebagainya. Bencana sosial keamasyarakatan seperti petikaian antar golongan atau kelompok. Jenis bencana kedua ini dapat dicegah dengan hubungan yang baik di era multikultural. Sedangkan bencana alam, pada jenis tertentu dapat diminimalisir. Banyak di antara manusia yang mengatakan bahwa serangkaian bencana tersebut merupakan azab dari
A
84 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Allah swt. yang diakibatkan kelalaian manusia.1 Diantara mereka juga ada yang menyatakan bahwa serangkaian musibah merupakan kuasa Allah swt. merupakan sunnatullah yang lazim terjadi.2 Artikel ini akan dibahas tentang bencana dalam perspektif hadis. Sebelum membahas tentang bencana dalam perspektif hadis, akan dibahas ragam bencana yang menimpa manusia sebagaimana dijelaskan dalam alQur’a. Setelah itu, baru dijelaskan tentang redaksi hadis-hadis yang terkait bencana dan pemaknaannya. Pola pemaknaan yang dibangun adalah dalam konteks pemaknaan hadis dalam sejarahnya yang terdapat dalam khazanah kitab syarah hadis dan diperkaya dengan pemahaman kekinian dengan melibatkan keilmuan lain. B. Selayang Pandang Bencana dalam Al-Qur’an Sebelumnya kami ingin menguraikan terlebih dahulu tentang arti bencana yang akan diuraikan dalam diskusi kali ini. Dalam terminologi Islam, bencana diistilahkan dengan beberapa redaksi. Diantaranya yang paling mendasar maknanya adalah al-baliyyah dan atau al-dahr yang berarti perkara yang dibenci manusia, semisal kemalangan, musibah dan lain-lain.3 Bencana ini berbagai macam bentuknya, di antaranya adalah yang bersifat hissiy (inderawi). Bencana yang dimaksud terjadi baik kepada manusia, mupun alam di sekitarnya. Adapun yang berhubungan dengan manusia, terdiri dari bencana pribadi dan bencana sosial, seperti sakit, harta hilang, kematian, kerusuhan, perang, dan sebagainya. Kemudian yang berhubungan dengan alam di sekitar manusia yaitu tanah longsor, gempa bumi, banjir, gunung merapi, tsunami dan lain-lain. Kemudian yang kedua adalah bencana yang bersifat ruhiy atau ma’nawiy (rohani). Bencana ini khusus terjadi pada diri pribadi manusia. Diantaranya adalah tercabut atau berkurangnya iman, ilmu yang tidak diamalkan dan sebagainya. Adapun bencana yang akan menjadi pembicaraan dalam kajian ini cenderung terbatas pada bencana kategori yang pertama, yaitu yang bersifat
1
QS al-Rum [30]: 41 dan QS al-Syura [42]: 30. QS al-Ra’du [13]: 41 dan QS al-Hadid [57]: 22. 3 Ibnu Mandzur, Lisa>n al-’Arab Juz 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), hlm. 535. Lihat juga al-Baidhawi, Tafsi>r al-Baidhawiy Juz I, (Istanbul: Dar al-Haqiqah, 1998), hlm. 431. 2
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
85
hissiy (inderawi).4 Sebelum membahas lebih mendalam tentang bencana dalam hadis, ada baiknya dikaji bencana yang pernah terjadi dan disebutkan di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an dengan sangat jelas menguraikan bencana yang terjadi di alam manusia, baik yang berhubungan dengan manusia itu sendiri, maupun yang terjadi di alam sekitar manusia. Secara umum, bencana yang disebutkan di dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua poin besar. Pertama, bencana yang semata-mata ditentukan kejadiannya oleh Allah Swt. dan tidak terkait dengan selain-Nya, makhluk. Jadi, bencana jenis ini merupakan kemutlakan Sunnatullah. Adapun yang dimaksud dengan Sunnatullah adalah hukum Allah Swt. yang tidak berubah-ubah. Sunnatullah ini hukum Allah Swt. yang tidak bisa diubah-ubah, bukan karena Allah SWT tidak bisa mengubahnya, akan tetapi Allah Swt. telah menentukan bahwa Sunnatullah itu tidak akan berubah. Misalnya, Matahari terbit dari timur. Sunnatullah ini tidak diubah-ubah oleh Allah Swt., kecuali pada saat hari qiyamat nanti. Contoh Sunnatullah yang lain adalah kematian manusia. Kita tidak bisa minta kepada Allah Swt. agar tidak bisa mati, akan tetapi kamu boleh meminta umur yang panjang, karena umur panjang itu termasuk Masyiatullah. Hal ini disebutkan dalam Surat AlHadid [57]: 22, “ tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
Kedua, bencana yang ada sangkut-pautnya dengan ulah manusia. Di sini ada hubungan kausalitas antara tingkah laku manusia dengan bencana yang terjadi. Bencana yang ada hubungannya dengan tingkah laku manusia 4 Meski bagaimanapun hal ini sangat terkait juga dengan bencana secara maknawiy yang berhubungan dengan penurunan kualitas spiritual atau degradasi moral. Bahkan jika kaitannya dengan keimanan, ini merupakan bencana yang terbesar. Adapun yang menjadi petimbangan adalah sejauh mana implikasi secara fisik, sehingg dapat disaksikan oleh mata kepala manusia secara normal.
86 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 itu bisa berupa bencana sosial, misalnya; perang, konflik, kerusuhan, dan sebagainya. Serta ada pula yang berupa bencana alam, misalnya adalah banjir, tanah longsor, dan sebagainya. Allah SWT berfirman dalam Surat Asy-Syuura [42]: 30
“ dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” Ayat di atas menyebutkan bahwa bencana atau musibah yang terjadi adalah karena ulah tangan manusia sendiri. Nah tingkah laku manusia itu ada beberapa jenis: 1. Ulah manusia secara fisik. Firman Allah SWT dalam Surat Ar-Ruum [30]: 41
“telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Ayat di atas menyebutkan bahwa timbulnya kerusakan di darat dan di laut adalah karena ulah tangan manusia. Contoh yang lazim kita ketahui adalah kerusakan hutan yang mengakibatkan banyak bencana lain timbul, seperti tanah longsor, banjir dan lain-lain. 2. Tingkah laku manusia yang melampui batas norma agama dan norma kemanusiaan. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Isra’ [17]: 16 “dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
87
negeri itu, Maka sudah sepantasnya Berlaku terhadapnya Perkataan (ketentuan kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancurhancurnya.” Ayat di atas menyebutkan bahwa kalau Allah SWT menghendaki rusaknya sebuah negeri, maka dimulai dari perilaku penduduk negeri itu yang melampui batas. Mereka meminta kebebasan, tapi melampui batas; minta enak, melampui batas; minta makanan, melampui batas; minta kekuasaan, melampui batas; dan semacamnya. Akhirnya tumbuh tingkah laku manusia yang sudah tidak manusiawi lagi, misalnya: Ayah membunuh anak, Anak membunuh ayah, Istri memotong-motong tubuh suaminya, kebohongan, kepalsuan dan sebagainya. Ketika kefasikan itu sudah sampai pada puncaknya, maka Allah SWT menjatuhkan keputusan-Nya, dengan membuat berantakan negeri itu. Gambaran berantakan itu diterangkan dalam Surat An-Nahl : 112 “ dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” Kemudian menurut esensinya, bencana yang terdapat dalam al-Qur’an setidaknya memiliki dua fungsi. Adapun fungsi yang pertama adalah sebagai ujian atau pelajaran, yang diistilahkan dengan al-Bala>’. Ujian ini dapat diekspresikan dalam bentuk sesuatu yang baik maupun buruk.5 Sedangkan fungsi yang kedua adalah sebagai peringatan (al-naka>l) dan 5 Dalam pembahasan lain disebutkan bahwa bala’ bisa berbentuk nikmat, cobaan atau ujian, dan sesuatu yang dibenci (makruh). Lihat Syihab al-Din Ahmad, al-Tibya>n fi> Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n (Beirut: Dar al-‘Arab al-Islamiy, 2003), hlm. 85. Untuk melihat contoh bala>’ dalam bentuk ujian yang buruk lihat misalnya dalam Muhammad Ali al-Shabuni, S{afwah alTafa>si>r Juz I,, (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1981 M/ 1402 H), hlm. 57. Adapun contoh bala>’ dalam bentuk ujian nikmat atau yang baik dapat dilihat dalam al-Baidhawi, Tafsi>r alBaidhawiy Juz III hlm. 97.
88 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 hukuman (al-‘uqu>bah) atau dalam terminologi al-Qur’an disebut al-‘az\a>b. Fungsi yang kedua ini berlangsung, baik di dunia maupun di akhirat.6 C. Hadis tentang Bencana Terdapat beberapa hadis yang disinyalir oleh ulama menguraikan perihal bencana yang terjadi dan ditimpakan kepada manusia.
: 7
:
“dari Abu Hasin al-Qadi dari Yahya al-Hamani dari Abdurrahman bin Aslam dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'ad dia menuturkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "musik, biduwanita, dan dihalalkannya khamr adalah penyebab terjadinya tanah longsor, penyebaran nama baik dan Penyelewengan". (HR. al-Thabrani) Hadis ini diriwayatkan oleh al-Thabrani:
No.
Nama Sahl bin Sa'ad 8 Abu Hazim 9
1 2
6
Urutan Periwayat
Urutan Sanad
I II
V IV
Ali al-Shabuni menguraikan bahwa jikalau penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran total (pemusnahan, sebagaimana terjadi pada kaum Nabi-nabi terdahulu) atau ditimpa dengan hukuman yang amat keras. Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, S{afwah al-Tafa>si>r Juz II..., hlm. 165. Lihat juga Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, S{afwah al-Tafa>si>r Juz III, hlm. 48. 7 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Thabrani (360 H), al-Mu'jam al-Kabir, juz.6, (Beirut: Maktabah al-'Ulum wa al-Hukm, cet II, 1405 H/1985 M), hlm. 150. 8 Nama lengkapnya adalah Sahl bin Sa’d bin Malik bin Khalid bin Tsa’labah bin Harisah bin Amir bin al-Khazraj bin Sa’adah al-Anshari al-Sa’di. Ia merupakan salah seorang dari golongan sahabat yang masyhur, sahabat terakhir yang meninggal di Madinah pada tahun 88 H. Adapun kunniyyahnya adalah Abu al-Abbas. Lihat Yusuf bin al-Zaki Abdurrahman Abu al-Hajjad al-Mizzi (742 H), Tahz\i>b al-Kama>l juz.12, (Bairut: Mu'asasah al-Risalah, cet I, 1400 H/1980 M), , hlm.188-189. Lihat juga Ahmad bin Ali bin Hajar alAsqalani (852 H), al-Is}a>bah fi Tamyi>z al-S{ah}a>bah, juz 23 (Baerut: Dar al-Jail, cet I, 1412 H), hlm. 200.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
3
Abdurrahman bin 10 Aslam Yahya al-Hamani 11 Abu Hasin al-Qadi 12 Al-Thabrani
4 5 6
III
III
IV V VI
II I Mukharrij al-H{adi>s\
89
Hadis yang diriwayatkan oleh al-Thabrani ini secara ringkas dinilai dha’if sanadnya berdasarkan beberapa alasan. Pertama adalah dalam rangkaian sanad hadis tersebut terdapat dua periwayat yang dinilai lemah yaitu Abdurrahman bin Aslam dan yahya al-Hamani. Kedua, s}igat altah}ammul wa al-ada>’ yang digunakan dalam thabaqah yang terhukumi dha’if juga memiliki nilai yang lemah, yaitu ‘an.13
9
Ia adalah Abu Hazim al-A’raj al-Afzar al-Tamar al-Madaniy. Ia termasuk dalam thabaqah tabi’in masa akhir dan meninggal pada tahun 140 H. Diantara gurunya adalah Sah bin Sa’d al-Sa’di dan diantara muridnya adalah Abdurrahman bin Zayd bin Aslam. Menurut Ahmad bin Abdullah bin Shalih ia termasuk rajul s}a>lih}, sedang menurut abu Hatim dan Ahmad bin Hanbal, dia termasuk dari para s\iqa>t. Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (852 H), Tahz\i>b al-Tahz\i>b juz.4, (Bairut: Dar al-Fikr, cet I, 1404 H/1984 M), hlm.126. 10 Ia adalah Abdurrahman bin Zayd bin Aslam al-Qursyi al-Adawi al-Madaniy. Dia termasuk dalam golongan tabi al-tabi’in masa awal dan meninggal pada tahun 182 H. Diantara gurunya ialah Abu Hazim dan diantara muridnya adalah Yahya al-Hamani. Ahmad bin Hanbal mentajrihnya dengan dha’if karena pernah meriwayatkan hadis munkar. Begitu pula penilaian Abu Hatim terhadapnya dengan penilaian dha’if. Lihat Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (852 H), Tahz\i>b al-Tahz\i>b juz.4, (Bairut: Dar al-Fikr, cet I, 1404 H/1984 M), hlm. 12. 11 Nama lengkapnya adalah Yahya bin Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Maymun bin Abdurrahman al-Hamani. Ia wafat pada bulan Ramadhan tahun 230 H. Diantara gurunya adalah Abdurrahman bin Aslam dan meriwayatkan hadis, diantaranya kepada abu Hashin alQadhi. Abdullah bin ‘Adi menukil pendapat Imam al-Bukhari mengatakan bahwa Yahya alHamani adalah seorang yang sa>qit} (gugur). Sedangkan menurut al-Nasa’i, ia adalah dha’if. Lihat Muhammad bin Sa'd bin Mani' Abu Abdillah al-Hasyimi, al-T{abaqa>t al-Kubra>, juz.6 (Bairut: Dar al-Shadar), hlm. 411. 12 Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Al-Hashin bin Habib Abu Hasyim alWada’i. Menurut al-Dzahabi, ia wafat pada tahun 296 H. Telah menerima hadis, diantaranya dari Yahya al-Hamani, dan meriwayatkan hadis , diantaranya kepada al-Thabrani. Menurut al-Baghdadi mengutip pendapat dari al-Daruquthni, Abu Hashin al-Qadhi adalah seorang s\iqah. Lihat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (748 H), Siyar A'la>m al-Nubala>, juz. 7 (Mesir: Maktabah al-Shofa, cet I, 1424 H), hlm. 655. 13 Riwayat mu’an’an dapat meningkat kualitasnya menjadi shahih hanya dengan syarat apabila para periwayat yang bersangkutan terbukti kebersambungannya dan berkaualitas siqah. Lihat Mahmud al-Thahhan, Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s\ (Irkandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasat, 1415 H), hlm. 67 dan 109.
90 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
14 “Hai orang-orang Muhajirin, lima perkara; jika kamu ditimpa lima perkara ini, aku mohon perlindungan kepada Allah agar kamu tidak mendapatinya: Perbuatan keji (seperti: bakhil, zina, minum khomr, judi, merampok dan lainnya) tidaklah dilakukan pada suatu masyarakat dengan terang-terangan, kecuali akan tersebar wabah penyakit tho’un dan penyakit-penyakit lainnya yang tidak ada pada orang-orang dahulu yang telah lewat, Orang-orang tidak mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan paceklik, kehidupan susah, dan kezholiman pemerintah, Orang-orang tidak menahan zakat hartanya, kecuali hujan dari langit juga akan ditahan dari mereka. Seandainya bukan karena hewan-hewan, manusia tidak akan diberi hujan, Orang-orang tidak membatalkan perjanjian Allah dan perjanjian Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh dari selain mereka (orang-orang kafir) menguasai mereka dan merampas sebagian yang ada di tangan mereka, Dan selama pemimpin-pemimpin (negara, masyarakat) tidak menghukumi dengan kitab Allah, dan memilih-milih sebagian apa yang Allah turunkan, kecuali Allah menjadikan permusuhan di antara mereka.” (HR Ibnu Majah)
14 Abu Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwini Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 1, (Beirut: Daar al-Jail, 1998), hlm. 507.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
91
Berikut ini rangkaian dan penilaian kualitas sanad dari hadis-hadis tersebut. Kemudian hadis kedua ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
No. 1 2 3 4 5
Nama Abdullah ibn Umar 15 ‘Atha’ bin Abi Rabbah16 Yazid ibn Abdirrahman17 Khalid bin Yazid 18 Sulaiman ibn Abdirrahman ibn Isa
Urutan Periwayat I II III IV V
Urutan Sanad VI V IV III II
19
15 Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Umar bin al-Khaththab bin Nufail. Ia merupakan salah seorang sahabat Nabi yang populer dan memiliki banyak murid, diantaranya adalah Abu Mahmud ‘Atha bin Abi Rabbah. 16 Nama lengkapnya adalah Abu Mahmud ‘Atha bin Abi Rabbah Aslam. Beliau termasuk Tabi’in era pertengahan. Berguru kepada banyak shabat. Diantaranya adalah Abdullah bin Umar. Ia juga memeiliki banyak murid, diantara yang mendapatkan riwayat darinya adalah Yazid bin Abdirrahman. ‘Atha bin Abi Rabbah wafat pada tahun 114 H. Yahya bin Ma’in dan Ibnu Hibban menilainya sebagai seorang Siqah dalam periwayatan hadis. 17 Nama lengkapnya adalah Yazid bin Abdirrahman bin Abi Malik. Ia termasuk dalam golongan tabi’in masa sebelum akhir. Ia menetap di negeri Syam dan wafat pada tahun 130 Hijriyah. Diantara para guru yang meriwayatkan hadis kepadanya adalah ayahnya, ‘Atha bin abi Rabbah. Ia juga memiliki banyak murid, diantaranya adalah Khalid bin Yazid.Abu Hatim al-Razi, Ibnu Hibban dan al-Daruquthni memasukannya ke dalam golongan seorang yang siqah dan diterima periwayatannya. 18 Nama lengkapnya adalah Abu Hasyim Khalid bin Yazid bin Abdirrahman. Ia termasuk dalam golongan atba>’ al-ta>bi’i>n yang menetap di Syam dan wafat di kota yang sama pada tahun 185 Hijriyah. Memiliki banyak guru yang meriwayatkan hadis kepadanya, diantaranya adalah Yazid bin Abdirrahman. Selain itu juga memiliki banyak murid, diantaranya adalah Sulaiman bin Abdirrahman. Abu Dawud al-Sijistani menilainya sebagai matru>k al-h}adi>s\. Namun demikian, banyak ulama lain menilainya dengan positif, diantaranya adalah al-‘Ijliy dan dan Abu Zur’ah al-Dimasyqi yang menilainya sebagai seorang siqah. Sedangkan Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal menilainya dengan laysa bisyay’in. 19 Nama lengkapnya adalah Abu Ayyub Sulaiman bin Abdirrahman bin Isa bin Maymun al-Tamimiy. Ia termasuk dalam golongan atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n periode awal. Ia menetap di negeri Syam dan meninggal di kota yang sama pada tahun 233 Hijriyah. Dalam eriwayatan hadis, ia memiliki banyak guru, diantaranya adalah Sulaiman bin Abdirrahman. Selain itu juga meriwayatkan hadis kepada banyak murid, diantaranya adalah Mahmud bin Khalid al-Dimasyqi. Meskipun Abu Dawud al-Sijistaniy menilainya lemah, namun banyak ulama lain menilainya positif. Diantaranya adalah al-Nasa’iy dan al-Daruquthniy dengan penilaian siqah. Yahya bin Ma’in menilainya dengan siqah, namun dengan syarat apabila
92 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 6 7
Mahmud ibn Khalid al-Dimasyqi20 Ibnu Majah21
VI VII
I MH
Secara ringkas, hadis kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah ini, setelah melalui penelitian diketahui kualitasnya shahih karena terbukti bersambung berdasarkan tinjauan sanad pada tiap-tiap thabaqah. Selain itu juga kualitas seluruh periwayat yang ada dinilai positif oleh para mu’addilu>n.22 Kita perhatikan pada hadis yang pertama, diketahui bahwa kualitas sanad hadis tersebut berdasarkan penelitian adalah lemah dari sisi sanadnya. Namun demikian, banyak ulama’ yang menjadikannya sebagai ta’ki>d atas hadis–hadis shahih yang mempunyai makna serupa, diantaranya adalah hadis yang kedua. Sehingga berhujjah dengan hadis di atas dapat dibenarkan karena banyak ayat–ayat al-Qur’an dan hadis–hadis shahih yang menjelaskan bahwasannya bencana merupakan akibat dari perbuatan manusia yang menyimpang dari syariat Allah Swt.23 Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “(Kematian) seorang hamba yang fa>jir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang
menerima riwayat dari ulama hadis yang masyhur. Abu Hatim al-Razi menambahkan penilaian dengan s}adu>q. 20 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Aliy Mahmmud bin Khalid bin Abi Khalid al-Syamiy al-Dimasqiy. Ia juga termasuk dalam golongan atba>’ atba>’ al-ta>bi’i>n periode awal. Ia menetap di kota Syam dan meninggal di kota yang sama pada tahun 249 Hijriyyah. Berguru ke banyak ulama hadis, diantaranya adalah kepada Sulaiaman bin Abdirrahman. Selain itu juga meriwayatkan hadis kepada banyak murid. Diantaranya adalah kepada Muhammad bin Yazid bin Majah. Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i dan Ibnu Hibban menilainya dengan siqah. 21 Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah alQazwiniy. Ia lahir di Qazwin pada tahun 209 Hijriyah, menetap di sana hingga wafat pada tahun 273 Hijriyah. Memiliki banyak guru yang telah meriwayatkan hadis kepadanya. Diantaranya adalah Mahmud bin Khalid al-Dimasyqi. Ia merupakan seorang ahli hadis yang masyhur dengan penilaian positif dari banyak ulama. Lihat Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabi, Siyaru A’la>m al-Nubala>, Juz 8, (Beirut: Muassasah al-isalah, tt), hlm. 573. 22 Untuk lebih mengetahui secara detail syarat-syarat diterimanya sebuah riwayat berdasar kualitas periwayatnya dapat dilihat misalnya Usman ibn Abdirrahman, Ma’rifah Anwa>’ ‘Ilm al-H{adi>s\ li Ibn al-S{ala>h} (Beorut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002 M/1423 H), hlm. 210-251. 23 Aturan-aturan berhujjah dengan hadis dha’if bisa dilihat lebih rinci dalam Abdul Karim bin Abdillah al-Khudair, al-H{adii>s\ al-D{a’i>f wa H{ukmu al-Ih}tija>j Bihi (Riyadh: Dar alMuslim, 1997 M/1417 H), hlm. 246.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
93
terlepas (terselamatkan dari kerusakan karena perbuatan maksiatnya)” (Muttafaq ‘Alayh) D. Pemahaman Hadis Bencana Sejauh penelusuran penulis, dua hadis yang dijadikan objek kajian dalam pembahasan kali ini tidak memiliki sabab al-wuru>d secara khusus. Sehingga dalam hal ini menggunakan pendekatan historis-sosiologis sebagai sarana dalam memahaminya merupakan langkah yang layak untuk diterima.24 Hadis pertama berbicara mengenai musik, biduwanita, dan dihalalkannya khamr yang menjadi penyebab terjadinya tanah longsor, penyebaran nama baik dan penyelewengan. Sebenarnya jikalau kita memperhatikan kondisi zaman pra kenabian Muhammad Saw. mengenai khamr, biduanita, serta musik yang menyebabkan pada datangnya bencana, tidak akan jauh berbeda dengan kondisi zaman sekarang dalam keadaan tertentu. Seandainya pun yang jelas menimbulkan kerusakan dan menyebabkan bencana adalah hanya biduanita dan khamr, tanpa musik, maka sekiranya hal ini dapat dijelaskan dengan pemahaman yang lain. Kita bisa melihat QS Luqman [31]: 6-7:
24
Pendekatan historis dalam hal ini adalah upaya memahami hadis dengan cara mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat hadis itu disampaikan Nabi saw. Sedangkan pendekatan sosiologis terhadap hadis berarti memahami hadis dari tingkah laku sosial. Dalam redaksi lain pendekatan ini dianggap sebagai Sabab al-Wuru>d makro. Lihat penjelasannya yang lebih detail dalam Abdul Mustaqim, Paradigma Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi Saw. (Pendekatan Historis, Sosiologis dan Antropologis) dalam Abdul Mustaqim dkk (ed.), “Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis” Vol. 9 No. 1 (Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), hlm. 90-91.
94 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Dalam ayat 6 Surat Luqman tersebut diungkapkan kata lahw al-h}adi>s\. Mengenai hal ini kita lihat Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahw al-hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik. Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahw al-hadits adalah nyanyian.25 Maka dari sini tidak berlebihan jika penulis simpulkan bahwa apapun yang membuat seseorang lalai dari berbuat baik, termasuk musik dan nyanyian, apalagi itu merupakan suatu kewajiban seperti shalat, zakat, puasa, menolong orang yang lemah, dan lain-lain, maka sewajarnya akan mengundang bencana. Hal ini karena keseimbangan dan keselarasan hidup telah dilanggar dengan perilaku yang dzalim dan melampaui batas. Telinga mereka seakan tertutup dari nasihatnasihat baik karena diri mereka telah dikuasai oleh hiburan yang melalaikan. Tidak bisa disebutkan betapa banyaknya orang-orang di sekitar kita, baik dalam lingkup keluarga hingga dunia, yang telah melakukan suatu hal yang melalaikan urusan kewajiban mereka. Anak kecil yang terlalu sering menonton televisi dan melalikan tugas belajarnya, maka prestasi dan kepribadiannya merosot. Pemimpin yang lalai akan tugasnya melayani dan mengabdi kepada rakyat karena tergiur harta dan kedudukan, menjadikan keadilan dan kesejahteraan hanya mimpi belaka yang tidak pernah menjadi nyata, kemiskinan semakin meluas dan merajalela. Masyarakat yang tidak peduli terhadap lingkungannya, membuang sampah sembarangan, penebangan hutan secara liar, maka jelas akan mengakibatkan bencana, kerusakan alam, longsor, banjir dan sebagainya. Merosotnya prestasi dan kepribadian, kemiskinan yang semakin meluas, dan rusaknya alam merupakan beberapa permisalan dari bencana yang dihasilkan dari pemahaman terhadap perbuatan-perbuatan negatif sebagaimana disebutkan dalam hadis, yaitu bermusik (hingga lalai melakukan kebaikan dan atau kewajiban), bersenang-senang dengan biduanita, dan meminum khamr. Demikian pula bencana yang disebutkan dalam hadis tersebut dapat dipahami sebagai beberapa contoh akibat dari tindak negatif seseorang, dan 25
483.
Muhammad bin ‘Ali al-Syawkani, Fath} al-Qadi>r Juz V (Dar al-Wafa’, 1994), hlm.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
95
bisa jadi akan lebih banyak lagi bencana yang dihasilkan, tidak terbatas pada tiga bencana tersebut. Kemudian pada hadis kedua, terdapat lima perbuatan tercela yang disebutkan sebagai penyebab dari bencana, yaitu melakukan perbuatan keji, berbuat curang dengan mengurangi takaran dan timbangan, tidak mau mengeluarkan zakat, sedekah dan sejenisnya, durhaka terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, hukum Allah tidak ditegakkan oleh para pemimpin. Masing-masing dari kelimanya, sebagaimana tersurat dalam hadis, memiliki akibatnya tersendiri, baik secara individual maupun sosial. Pertama, perbuatan keji yang dapat menyebabkan penyakit tha>’u>n dan wabah penyakit yang orang dahulu tidak pernah mengalaminya. Al-Qur’an, antara lain menyebut zina sebagai salah satu perbuatan keji yang harus dihindari. Zaman dahulu, penyakit kelamin saja belum populer. Akan tetapi pada zaman sekarang, akibat pergaulan bebas, penyakit mematikan yang disebabkan virus HIV AIDS, telah menyebar di seluruh penjuru dunia dan menjadi endemi tingkat internasional di bawah pengawasan organisasi kesehatan dunia (World Health Organisation). Kedua, berbuat curang dengan mengurangi takaran dan timbangan yang mengakibatkan paceklik, kesusahan hidup, dan kedzaliman pemerintah. Perbuatan mengurangi timbangan dapat dikategorikan sebagai tindak kecurangan yang merupakan saudara dekat dari korupsi. Dalam alQur’an, sebagaimana pemahaman sebagian cendekia, korupsi kerap dilawankan dengan amanah. Amanah atau tanggungjawab terhadap tugas dan kewajibannya, apabila telah dilanggar jelas akan menyebabkan kondisi politik, ekonomi, dan sosial menjadi labil. Maka paceklik (kesenjangan) dan kemiskinan mustahil terhindarkan. Kemudian dalam kondisi yang sedemikian genting, siapapun, terutama para penguasa yang merasa memiliki otoritas, tidak menutup kemungkinan akan melakukan tindak kedzaliman. Ketiga, tidak mau besedekah, mengeluarkan zakat, dan atau berderma yang akan menyebabkan tertundanya hujan turun dari langit. Sebelumnya kita pahami terlebih dahulu, bahwa salah satu hikmah disyari’atkannya zakat adalah supaya kita terhindar dan terbebas dari penyembahan terhadap harta. Orang yang telah tersihir oleh harta dunia, maka akan lupa bahwa kejahatan yang dilakukannya akan mengakibatkan bencana besar. Saat ini, tidak sedikit manusia yang hanya peduli terhadap pemenuhan kebutuhan
96 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 hidupnya, tanpa memperhatikan kondisi alam yang dimanfaatkannya. Kerapkali mereka melakukan tindakan yang berlebihan, bahkan merusak dengan terang-terangan hanya untuk kepentingannya memperoleh harta. Sekilas mari kita perhatikan, meskipun musim kemarau dan hujan terdapat siklusnya dan sebagian ahli telah menentukan kadarnya, baik intensitas, frekuensi, maupun yang lainnya. Namun demikian, penentuan itu juga sangat tergantung pada aktivitas manusia di bumi yang pasti berpengaruh terhadap perubahan siklus, termasuk juga kaitannya dengan terjadinya hujan. Contoh sederhana, adalah ketika manusia tidak lagi peduli terhadap kondisi hidrologi daerah aliran sungai sebagai salah satu modal besar turunnya hujan, sedangkan manusia merupakan komponen ekosistem daerah aliran sungai yang berpengaruh besar dan dominan terhadap keseimbangan mekanisme kerja sistem ekologis yang berlangsung, termasuk mempengaruhi daur hidrologi. Saat ini, terutama di daerah perkotaan, air tanah banyak dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga dan industri. Pemanfaatan yang tidak terkendali sangat memungkinkan memunculkan bencana-bencana, kekeringan, air kotor, tanah ambles dan sebagainya. Oleh karena hujan tidak turun, maka tanaman tidak dapat tumbuh, dan bumi menjadi semakin panas, kering, dan tandus. Binatang-binatang pun perlahan punah karena kehilangan habitatnya. Adapun binatang-binatang yang bermanfaat bagi tumbuh suburnya tanaman sangatlah banyak dan beragam. Keempat, durhaka terhadap perjanjian yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya akan mengakibatkan musuh menguasai kita dan merampas hak-hak kita. Perjanjian yang digambarkan al-Qur’an berarti bai’at manusia terhadap-Nya dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Jikalau kita memahami dengan perspektif masa Nabi Saw. maka yang akan terjadi adalah sebagaimana tragedi kekalahan umat Muslim atas kafir Quraisy pada perang Uhud. Tanda kesetiaan yang dinodai oleh pengkhiatan dalam peristiwa tersebut mengakibatkan bencana kekalahan. Telah disebutkan dalam al-Qur’an hadis nabi Saw. akan buruknya tindak kemunafikan serta beratnya akibat yang diterima jikalau perbuatan tersebut dilakukan. Musuh manusia yang taat atau muslim ynag baik adalah syaitan yang tidak pernah menginginkan kebaikan baginya. Wujud syaitan digambarkan al-Qur’an, adalah dalam bentuk manusia maupun jin. Seluruhnya mengajak manusia baik untuk menjauh dari Allah Swt.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
97
Kelima, hukum Allah tidak ditegakkan oleh para pemimpin, maka akan berakibat pada lahirnya permusuhan diantara mereka. Sebelumnya perlu diperhatikan bahwa jangan pernah mengaku bahwa yang dibawanya adalah hukum Allah selama masih membawa pertikaian diantara umat manusia. Islam sejak lahir, dihadirkan untuk meraih kedamaian, keamanan, dan kemaslahatan. Selama prinsip-prinsip pokok keislaman ini tidak ditegakkan, maka pertikaian tentu akan lahir dengan sendirinya tanpa diminta. Kedzaliman yang terang, mustahil melahirkan kemaslahatan. Zaman pasca kenabian, saat kefanatikan dan kedengkian merajai pribadi-pribadi shahabat, pertikaian bermunculan. Maka pantas saat itu disebut sebagai zaman al-fitan, karena merajalelanya fitnah antar sesama muslim akibat “Islam” yang tidak ditegakkan dengan sempurna. Tidak jauh berbeda dengan zaman sekarang, saat para pemimpin kaum berebut kekuasaan dan kedudukan, bencana pertikaian dan permusuhan pun lahir. Dua hadis, riwayat al-Daruquthni dan Ibnu Majah, sebagaimana telah dijelaskan pemahamannya tersebut menguraikan bagaimana perbuatanperbuatan tercela manusia dapat mengakibatkan terjadinya bencana, baik yang berkaitan dengan diri manusia itu sendiri secara individual maupun sosial, juga yang berhubungan dengan alam sekitarnya, baik hewan, tumbuh-tumbuhan maupun yang lainnya. Sebagai yang memiliki otoritas tertinggi dalam menjelaskan al-Qur’an, hadis Nabi Saw. tentu tidaklah bertentangan dengannya. Sebagaimana alQur’an yang menerangkan bahwa bencana terkadang bersumber dari manusia atau akibat dari manusia dan terkadang datang langsung dari Allah Swt tanpa ada sangkut pautnya dengan perbuatan manusia, maka hadis pun demikian. Kami kira sangat banyak riwayat yang mengemukakan kuasa Allah Swt atas segala makhluk-Nya. Standar kebencian dan ketidaksukaan manusia terhadap suatu keadaan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. bukanlah jaminan akan nilai buruk bagi-Nya dalam memutuskan perkara. Karena sejatinya, tidak ada hal yang akan dipandang buruk oleh seorang muslim, mukmin yang taat kepada-Nya. Ia akan menerima seluruh yang telah diputuskan-Nya, meskipun secara dzahir terlihat sebagai bencana. Inilah makna bala>’ dalam bentuk ujian berupa bencana atau musibah. Sebaliknya, perlu diwaspadai pula bahwa tidak jarang kenikmatan yang tampak secara dzahir, juga merupakan bentuk bencana apabila itu melalaikan kita akan perintah-Nya.
98 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Hal ini berarti bahwa kemurkaan Allah tidak selalu berbanding lurus dengan kejahatan yang diperbuat oleh manusia. Begitu pula sebaliknya, kenikmatan yang Allah Swt anugerahkan kepada manusia tidak selalu bermakna kenikmatan sejati. Allah Swt melalui Nabi Muhammad Saw. memerintahkan umat manusia untuk selalu da senantiasa berbauat baik di setiap waktu dan tempat, kapanpun dan dimanapun. Allah Swt memang menjanjikan pahala dan balasan kebaikan bagi mereka yang taat dan siksaan pedih bagi mereka yang durhaka terhadap perintah-perintah-Nya. Namun keberhakan untuk menghukum dan memberi nikmat sejatinya hanya ada di tangan-Nya. Dalam hal ini, kami kira tidak berlebihan jika kita mengikuti pendapat teologis yang diungkapkan oleh Imam Abu Hanifah dalam al-Fiqh al-Akbar nya; Seluruh perbuatan hamba, baik itu berupa gerak dan diam, secara hakiki merupakan kasab (tindakan) mereka dan Allah lah yang menciptakan kasab tersebut. Semuanya terjadi melalui kehendak, ilmu, qadha dan qadarNya. Semua bentuk ketaatan adalah suatu kewajiban yang didasarkan atas perintah Allah, karena cinta dan ridha-Nya, dan karena ilmu, kehendak, qadha dan qadar-Nya. Sedangkan seluruh bentuk kemaksiatan juga terjadi di bawah pengetahuan, ilmu, qada dan qadar-Nya, namun bukan atas dasar kecintaan, ridha dan perintah-Nya. Kebaikan-kebaikan manusia tidaklah mesti serta merta diterima dan kejahatan-kejahatan tidaklah mesti akan diampuni. Akan tetapi barang siapa yang melakukan kebaikan dengan memenuhi segala persyaratan dan tidak ada hal-hal yang membatalkannya, serta orang tersebut tidak menghapuskan kebaikannya itu dengan kekafiran atau kemurtadan sampai ia mati dalam keadaan mukmin, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikannya. Bahkan pasti menerimanya dan memberinya pahala. Adapun perbuatan-perbuatan jahat selain syirik dan kufur dan tidak ditaubati oleh pelakunya hingga mati dalam keadaan beriman, persoalannya terserah pada kehendak Allah. Apakah Dia akan menyiksanya dalam neraka atau akan mengampuninya dan memasukannya ke dalam surga. Tidak mungkin bagi seseorang untuk beribadah kepada Allah dengan sebenar-benarnya ibadah berdasarkan kehendaknya sendiri,
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
99
melainkan harus berdasar perintah-Nya sebagaimana disampaikan dalam alQur’an dan Sunnah Rasul-Nya. 26 Oleh karenanya, bencana yang menimpa manusia sekarang ini -apapun bentuknya- janganlah sekali-kali semata dianggap sebagai bentuk kemurkaan Allah Swt pada manusia, namun merupakan bentuk kebesaran Allah Swt. Terhadap hal-hal seperti ini manusia hanya dituntut oleh Allah Swt untuk beriman bahwa semua itu berasal dari Allah Swt saja dan disana terdapat kebesaran-Nya. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw ketika terjadi gerhana matahari yang oleh orang-orang pada waktu itu dikaitkan dengan musibah kematian putranya. Lalu Rasulullah Saw bersabda: “Gerhana adalah tanda kebesaran Allah Swt, tidak ada kaitannya dengan kematian atau kelahiran seseorang.”(HR.Bukhari). Islam memandang bahwa musibah dalam bentuk apa pun yang menimpa manusia merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah Swt untuk kehidupan manusia. Setiap manusia diuji dengan musibah tersebut. Manusia yang tetap beriman ketika tertimpa musibah, Allah Swt mengangkat derajatnya. Untuk masyarakat, musibah bisa menjadi ujian terhadap kepeduliannya terhadap diri dan sesamanya. Para pemimpin negara (pemerintah), musibah menjadi ujian tanggung jawabnya dalam hal penanganan korban dan berbagai urusan rakyat pasca musibah. Dengan ujian tersebut Allah Swt akan menentukan siapa di antara hambahambaNya yang layak masuk surge sebagaimana dalam QS al-Baqarah [2]: 214, 26
Oleh karena perbuatan manusia merupakan hal yang bersifat kasbi, maka perbuatan manusia telah tergantung pertimbangan kebaikan dan keburukannya berdasarkan apa yang disampaikan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Namun demikian, Abu Hanifah dalam hal menghukumi seseorang tidak serta merta akibatnya bersumber sepenuhnya dari perbuatannya. Abu Hanifah memang menyatakan dengan jelas bahwa perbuatan baik atau buruk mesti terdapat balasannya yang wajar. Namun kehendak Allah Swt pada akhirnya menjadi unggulan terutama. Beliau sebutkan bahwa kebaikan-kebaikan manusia tidaklah mesti serta merta diterima dan kejahatan-kejahatan tidaklah mesti akan diampuni. Akan tetapi barang siapa yang melakukan kebaikan dengan memenuhi segala persyaratan dan tidak ada hal-hal yang membatalkannya, serta orang tersebut tidak menghapuskan kebaikannya itu dengan kekafiran atau kemurtadan sampai ia mati dalam keadaan mukmin, niscaya Allah tidak akan menyia-nyiakan amal kebaikannya. Bahkan pasti menerimanya dan memberinya pahala. Adapun perbuatan-perbuatan jahat selain syirik dan kufur dan tidak ditaubati oleh pelakunya hingga mati dalam keadaan beriman, persoalannya terserah pada kehendak Allah. Apakah Dia akan menyiksanya dalam neraka atau akan mengampuninya dan memasukannya ke dalam surga. Lihat Abu Hanifah al-Nu’man, al-Fiqh al-Akbar terjemah Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 1988) hlm. 6-10.
100 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 “ Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” Kemudian kaitannya dengan pertanggungjawaban dalam penanganan musibah bencana alam yang dalam waktu terakhir ini kita alami, meskipun kita telah mengetahui bahwa musibah bencana alam yang menimpa manusia adalah kejadian di luar kekuasaan manusia dan merupakan kehendak Allah Swt, tetapi manusia tetap harus bertanggung jawab terhadap hal-hal yang berada di dalam kekuasaannya ketika musibah terjadi. Contohnya, hal-hal yang terkait dengan penanganan korban bencana alam seperti: evakuasi, relokasi, pemulihan tempat tinggal maupun pemulihan ekonomi. Terhadap hal-hal seperti itu manusia diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. termasuk pada para pemimpin negara (pemerintah) sebagai pihak yang mengurus dan melayani kepentingan rakyatnya. Jika pemerintah melalaikan urusan ini atau melanggar aturan Islam dalam menyelesaikan urusan ini, pemerintah bisa diajukan ke peradilan dan jika terbukti melanggar, diberi sanksi hukum sesuai dengan jenis pelanggarannya, atau hukuman Allah langsung yang akan datang.
E. Simpulan Berdasarkan pemahaman terhadap hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa bencana atau musibah yang terjadi di alam manusia memang kerap terjadi akibat ulah kejahatan perilaku manusia, baik yang berakibat pada diri manusia itu sendiri secara individual atau sosial, maupun yang berimbas pada kerusakan alam sekitar. Namun demikian, tidak jarang pula bencana ltu terjadi tanpa ada sangkut pautnya dengan perbuatan manusia, artinya
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemahaman Hadis tentang Bencana |
101
sepenuhnya keputusan Allah Swt. yang tidak bisa diubah oleh makhluk. Bencana pun, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, tidak selalu dalam bentuk keburukan, melainkan juga kenikmatan, yaitu apabila melalaikan, maka ia sejatinya termasuk bencana. Kemudian terhadap bencana, kewajiban manusia hanyalah mengambil pelajaran, bersabar, dan senantiasa meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. karena tugas manusia hanyalah menghamba kepada-Nya.
Daftar Pustaka Abdirrahman, Usman ibn. Ma’rifah Anwa>’ ‘Ilm al-H{adi>s\ li Ibn al-S{ala>h}. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2002 M/1423 H. Ahmad, Syihab al-Din. al-Tibya>n fi> Tafsi>r Gari>b al-Qur’a>n. Beirut: Dar al‘Arab al-Islamiy. 2003. al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. al-Is}a>bah fi Tamyi>z al-S{ah}a>bah, juz XXIII. Baerut: Dar al-Jail. 1412 H. al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Tahz\i>b al-Tahz\i>b juz IV. Bairut: Dar al-Fikr. 1404 H/1984 M. al-Baidhawi. Tafsi>r al-Baidhawiy Juz I. Istanbul: Dar al-Haqiqah. 1998. al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Siyar A'la>m al-Nubala>, juz VII. Mesir: Maktabah al-Shofa. 1424 H. al-Hasyimi, Muhammad bin Sa'd bin Mani' Abu Abdillah. al-T{abaqa>t alKubra>, juz VI Bairut: Dar al-Shadar. Tt. al-Khudair, Abdul Karim bin Abdillah. al-H{adii>s\ al-D{a’i>f wa H{ukmu alIh}tija>j Bihi. Riyadh: Dar al-Muslim. 1997 M/1417 H. al-Mizzi, Yusuf bin al-Zaki Abdurrahman Abu al-Hajjad. Tahz\i>b al-Kama>l juz XII Bairut: Mu'asasah al-Risalah. 1400 H/1980 M. al-Nu’man, Abu Hanifah. al-Fiqh al-Akbar. terjemah Afif Muhammad. Bandung: Pustaka. 1988. al-Qazwini, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Majah. Sunan Ibn Majah, Juz 1. Beirut: Daar al-Jail. 1998. Al-Qur’an al-Karim al-Shabuni, Muhammad Ali. S{afwah al-Tafa>si>r Juz I. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim. 1981 M/ 1402 H.
102 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 al-Syawkani, Muhammad bin ‘Ali. Fath} al-Qadi>r Juz V. Dar al-Wafa’. 1994. al-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayub. al-Mu'jam al-Kabir juz VI. Beirut: Maktabah al-'Ulum wa al-Hukm. 1405 H/1985 M. al-Thahhan, Mahmud. Taysi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s\. Irkandariyah: Markaz alHuda li al-Dirasat. 1415 H. Mandzur, Ibnu. Lisa>n al-’Arab Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 1996. Mustaqim, Abdul. Paradigma Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi Saw. (Pendekatan Historis, Sosiologis dan Antropologis) dalam Abdul Mustaqim dkk (ed.), “Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis” Vol. 9 No. 1. Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2008.
KEKUATAN AGAMA DAN KEARIFAN LOKAL DALAM PROSES KEBANGKITAN MASYARAKAT YOGYAKARTA PASCAGEMPA Ali Imron dan Aat Hidayat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Wahid Hasyim Semarang [email protected]
Abstrak This qualitative research intends to explore the religious strength and local wisdom in the process of society revival in Kasongan Bantul Yogyakarta after the earthquake on May 27, 2006. The main questions which will be answered are: (1) How are the form and construction of religious strength and local wisdom in the Kasongan area, so they can play the important roles in the process of Kasongan society resurrection after the earthquake?; (2) How is the strategy of Kasongan society in using the religious strength and local wisdom in the process of their revival after the earthquake? The substance that becomes the object of this research consists of religious texts, leaders of society, social institutions, and local cultural systems. The used theoretical frameworks are religious strength theory and hermeneuticsphenomenology theory. The methods of collecting data are documenting the important data, observation, and interview. Then, which analyzed by a functional analysis theory. Theoretically, this research hopefully is able to be useful in contributing to the formulation of culture-based disaster theological discourse in Indonesia. In addition to, the results of this research are expected to be a contribution for Indonesia especially, and for the international world generally, in natural disaster reduction efforts, both in the perspective of social science and religious perspective. After conducting in-depth research in the Kasongan area, the researcher conclude that: (1) Kasongan society have big capitals to revive from adversity immediately after the earthquake, of which are the theological capital and cultural capital, (2) with these capitals, of which includes guyub strategy, getok tular, and build cooperation with various agencies, Kasongan society revive immediately and rearrange Kasongan pottery business that has been destroyed by an earthquake.
104 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
Kata kunci : religious strength, local wisdom, theological construction, cultural construction.
A. Pendahuluan atu tahun setelah “dihajar” gempa 27 Mei 2006, Yogyakarta bangkit kembali secara menakjubkan. Hal ini dibuktikan dengan proses rekonstruksi dan rehabilitasi yang sudah mencapai 80%, padahal penyerapan dana bantuan baru 55%. Korban gempa yang menempati kembali rumahnya sudah mencapai 90%, padahal proses rehabilitasi dan rekonstruksi baru berjalan kurang lebih satu tahun. Dunia internasional pun mengakui bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pascagempa adalah termasuk yang tercepat di dunia. Daerah Kasongan Bantul Yogyakarta yang merupakan sentra kerajinan gerabah dan keramik yang dulu porak-poranda, kini pascagempa justru berkembang lebih pesat. Transaksi bisnis di Kasongan pada tahun 2009 bahkan telah melampaui pencapaian sebelum gempa. Jika pada 2006 transaksinya sebesar Rp 7,426 miliar, maka pada 2009 nilai produksinya mencapai Rp 8,053 miliar. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Bantul mencatat, pada 2009, jumlah unit usaha kerajinan gerabah Kasongan telah mencapai 441 unit, melebihi jumlah sebelum gempa yang hanya sebanyak 401 unit. “Jumlah tenaga kerja yang terserap juga bertambah menjadi 2.367 orang, dari sebelumnya yang hanya berjumlah 1.995 orang,” kata Yahya, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Bantul, dalam paparan potensi produk unggulan Kabupaten Bantul.1 Banyak pengamat menilai bahwa keberhasilan Yogyakarta itu tercapai berkat proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang tidak mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat setempat, selain juga nilai-nilai agama. Berangkat dari uraian latar belakang permasalahan di atas, penelitian ini ingin menjawab masalah pokok terkait dengan proses kebangkitan masyarakat Kasongan pascagempa, yakni bagaimana bentuk konstruksi
S
1
http://www.antaranews.com, edisi 9 Agustus 2009, diakses pada tanggal 2 Oktober
2009.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
105
kekuatan agama dan kearifan lokal yang ada di wilayah Kasongan, yang mampu memainkan peran penting dalam proses kebangkitan masyarakat setermpat pascagempa. Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan konstruksi kekuatan agama dan kearifan lokal masyarakat Kasongan Bantul Yogyakarta yang mampu mendorong mereka untuk bangkit dari keterpurukan akibat bencana alam gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006. Lebih lanjut, konstruksi teoritis ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih intelektual bagi perumusan wacana teologi bencana berbasis budaya di Indonesia. Sebab, kekuatan agama yang berpijak pada kearifan budaya lokal inilah yang diklaim menjadi modal sosial masyarakat Yogyakarta sehingga mampu bangkit dari keterpurukan akibat bencana alam gempa bumi. Sementara itu secara praktis, manfaat penelitian ini adalah untuk melihat strategi teologis dan strategi kultural yang dilakukan oleh masyarakat Kasongan Bantul Yogyakarta dalam upaya mereka untuk bangkit dari keterpurukan pascagempa. Selanjutnya, model strategis masyarakat Kasongan Bantul Yogyakarta dalam menghadapi bencana alam, dalam hal ini gempa bumi, dapat menjadi acuan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat internasional umumnya dalam menghadapi bencana alam yang akhir-akhir ini marak terjadi. B. Agama dan Kearifan Lokal Dalam mengungkap kekuatan agama dan kearifan lokal masyarakat Kasongan, ada dua teori yang dipakai, yakni teori kekuatan agama dan teori hermeneutika fenomenologi. Teori kekuatan agama didasarkan pada pandangan para ahli psikologi agama yang berpendapat bahwa agama dapat berfungsi sebagai motif intrinsik (dalam diri) dan motif ekstrinsik (luar diri). Motif yang didorong oleh keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan non-agama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan.2 Kemampuan agama untuk menggerakkan dan memberikan motivasi kuat kepada manusia untuk melalukan sesuatu itulah yang dimaksud di sini sebagai kekuatan agama.
2
Toto Suharyo, “Pendidikan Antiteroris”, dalam Pikiran Rakyat, edisi 27 Juli 2009.
106 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Jadi, terma “kekuatan agama” di sini adalah metafor, bermakna konotatif, bukan dalam makna yang sebenarnya. Jika melihat tesis Weber, makna kekuatan agama akan tampak semakin jelas. Menurut Weber, motivasi spiritual dapat menjadi dorongan dalam segala aspek kehidupan. Misalnya, atas nama agama, sejumlah orang Protestan giat melakukan penelitian ilmiah. Di Amerika Serikat, adanya pendidikan umum yang universal awalnya didorong oleh keinginan penganut agama Protestan yang menginginkan anak-anak mereka mampu membaca kitab suci. Demikian juga bagi orang Protestan, kegiatan ekonomi sehari-hari diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai arti religius. Kegiatan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan orang AS sebenarnya berawal dari dorongan-dorongan spiritual ajaran agama Protestan.3 Kekuatan agama ini ada dalam nilai, ajaran, dan ideologi yang secara garis besar terdiri atas dua kutub: perintah untuk menjalankan sesuatu dan larangan agar tidak melakukan sesuatu yang lain, atau motivasi untuk melakukan sesuatu dan imbauan agar menjauhi sesuatu yang lain. Agama telah mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana seharusnya manusia bersikap dalam setiap aspek kehidupan. Manusia diperintahkan untuk saling tolong-menolong, menghargai dan menghormati orang lain, terutama yang lebih tua, bersabar ketika mendapati sesuatu yang tidak menyenangkan, serta tetap optimis akan keadilan dan kasih sayang Tuhan. Orang yang religiusitasnya tingga tentu akan tergerak oleh perintah-perintah itu dan menjalankannya dengan penuh semangat. Saat terjadi bencana, kepercayaan bahwa Tuhan selalu bersama orangorang yang lemah, Tuhan mencintai orang-orang yang sabar, Tuhan mencintai orang-orang yang tawakkal, Tuhan membenci orang-orang yang putus asa, dan lain sebagainya akan membentuk coping mechanism (mekanisme pertahanan) yang membuat korban mampu bertahan dari dampak buruk bencana, dan pada gilirannya bangkit kembali. Keyakinan itu akan menanamkan hope and motivation di alam bawah sadar, dan pada gilirannya akan membentuk personal empowerment dalam diri korban. Dengan mengunakan teori ini, penulis akan menelisik bentuk-bentuk dari kekuatan agama yang memainkan peranan penting dalam proses 3
Ibid.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
107
kebangkitan masyarakat Kasongan pascagempa. Di sini, nilai-nilai, ajaranajaran, dan praktik-praktik keagamaaan yang ada di tengah masyarakat Kasongan akan diinventarisir dan dikategorikan dalam bentuk-bentuk dan kategori-kategori tertentu. Penentuan kategori ini berkait erat dengan dimensi-dimensi agama, yang penulis rangkum menjadi dua sisi, yaitu aspek yang tampak dan yang tidak tampak. Sementara itu, teori kedua yang akan dipakai dalam penelitian ini, yakni teori hermeneutika fenomenologi, terkait dengan dua aspek masyarakat Kasongan. Pertama, aspek normatif, yaitu pemahaman keagamaan masyarakat Kasongan, terutama yang berkaitan dengan teologi bencana, serta konstruksi kultural masyarakat Kasongan. Kedua, aspek praktis yang merupakan penerapan pemahaman keagamaan dan konstruksi kultural masyarakat Kasongan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan oleh Moch. Nur Ichwan, seorang penafsir dapat sekaligus memahami teks keagamaan dan fenomena bencana dengan menggunakan dual interpretation, pemahaman ganda, yakni pemahaman terhadap teks keagamaan dan pemahaman terhadap bencana secara aktual.4 Hal ini sejalan dengan teori Heidegger yang menyatakan bahwa fenomenologi tidak harus dibentuk sebagai sesuatu yang membuka kesadaran manusia semata, melainkan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengungkap suatu keberadaan dalam keseluruhan fakta dan historisitasnya.5 Dengan demikian, Heidegger mencoba memformulasikan metode fenomenologi ke dalam teori hermeneutika, yang disebut dengan istilah hermeneutika fenomenologis. Menurut Heidegger, metode fenomenologi sangat signifikan bagi teori hermeneutika. Sebab, sebuah teori tidak semata berlandaskan pada kesadaran manusia dan kategori kemanusian, namun juga berlandaskan pada kemanifestian sesuatu, realitas yang menjumpai kita.6 Oleh karena itu, teori hermeneutika fenomenologi Heidegger ingin
4 Moch. Nur Ichwan, “Agama dan Bencana: Penafsiran dan Respons Agamawan serta Masyarakat Beragama”, dipresentasikan pada Workshop Metodologi Penelitian II Agama dan Bencana Alam: Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya, CRCS UGM, 8-10 Maret 2010. 5 Richard E. Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 146. 6 Ibid., hlm. 148.
108 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 mengeksplorasi seluruh pemahaman eksistensial manusia dan sekaligus interpretasinya.7 Selanjutnya, menurut Bagus Takwin, mengutip penjelasan Paul Ricoeur, fenomenologi hermeneutik atau hermeneutika fenomenologis adalah sintesis dari beberapa metode hermeneutika dan metode fenomenologi. Sambil mengkritik idealisme Husserl, Ricoeur menunjukkan bahwa hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi. Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap pengalaman-pengalaman subjek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subjek memaknai objek-objek di sekitarnya. Menurut Ricoeur, sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutika terlibat di sana. Jadi, pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutika saling melengkapi. Dengan dasar itu, Ricoeur mengembangkan metode fenomenologi hermeneutik atau hermeneutika fenomenologis.8 Konsep dan teori hermeneutika fenomenologi inilah yang akan penulis jadikan perspektif serta pendekatan dalam melihat masyarakat Kasongan. Sebab, aksi dan reaksi masyarakat sebagai realitas fenomenologis banyak dipengaruhi oleh konstruksi teologis ataupun konstruksi kultural yang membutuhkan interpretasi hermeneutis. Inilah yang dalam istilah Moch. Nur Ichwan disebut dual interpretation, mengungkap pemahaman masyarakat terhadap teks keagamaan (dalam hal ini konsep teologis dan kultural masyarakat Kasongan) dan realitas objektif di lapangan (dalam hal ini strategi dan aksi masyarakat Kasongan). C. Konstruksi Teologis dan Kultural Masyarakat Kasongan Dari penelitian ini penulis menemukan bahwa agama dan kearifan lokal memiliki peran besar dalam proses kebangkitan masyarakat Kasongan pascagempa 27 Mei 2009. Hal-hal yang berkaitan dengan agama dan kearifan lokal itu secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua 7
Ibid., hlm. 151. Bagus Takwin, “Fenomenologi Hermeneutik”, Makalah, tidak diterbitkan.
8
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
109
aspek, aspek yang tampak dan aspek yang tidak tampak. Hal-hal yang berkaitan dengan agama ini selanjutnya disebut sebagai konstruksi teologis, mengingat keberadaannya berasal dari ajaran agama; sementara hal-hal yang terkait dengan kearifan lokal dapat disebut sebagai kontruksi kultural, karena ia berasal dari nilai-nilai warisan nenek moyang orang Kasongan, yakni orang Jawa kuno. Masing-masing konstruksi ini ada yang bentuknya kongkret, yakni dapat dilihat dan diamati secara langsung, dan ada pula yang berbentuk abstrak, yakni tidak dapat diamati secara langsung, tersimpan dalam pengetahuan masyarakat Kasongan, dan hanya dapat diketahui dengan ungkapan-ungkapan bahasa. Untuk konstruksi teologis, kearifan lokal yang berperan antara lain konsep sabar, syukur, serta, ikhlas dan rida. Masyarakat Kasongan pada dasarnya adalah orang-orang yang sabar. Dengan bekal kesabaran ini, orang Kasongan tidak pusing-pusing mempertanyakan, kenapa Tuhan menimpakan bencana gempa kepada mereka. Mereka tidak mempertanyakan, apa salah mereka. Akan tetapi, mereka dengan sabar menerima hal itu sebagai takdir Tuhan semata. Hal ini menjadikan mereka cepat memiliki kekuatan baru untuk segera bangkit dari keterpurukan akibat bencana gempa. Mereka tidak terlarut dalam kesedihan dan kepedihan. Sri Muryati, isri Kadus Kajen Kasongan menyatakan, “Tiyang mriki mboten do nglokro kok, Mas, pas gempa wingi” (Warga [Kasongan] sini tidak frustrasi atau patah semangat kok, Mas, saat terkena gempa kemarin).9 Meski kehilangan harta benda dan orang-orang yang dicintai, masyarakat Kasongan tetap tabah dan menerimanya semata sebagai takdir Tuhan. Sri Muryati, isri Kadus Kajen Kasongan menyatakan, “Kakangne kulo kalih wingi pas gempa nggih kapundut lho, Mas. Tapi nggih pripun malih. Diikhlaske mawon. Kudune lak diputus ngoten to Mas, lajeng bangkit malih” (Dua kakak saya kemarin juga meninggal akibat gempa, Mas. Tapi ya bagaimana lagi. Diikhlaskan saja. Seharusnya memang disikapi seperti itu, Mas, lalu setelah itu bangkit lagi).10 Selain itu, orang-orang Kasongan juga memegangi nilai-nilai hidup yang agung dalam menyikapi bencana gempa. Salah satunya adalah nilai 9
Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 6 Agustus 2010. Ibid.
10
110 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 syukur. Ini memang agak ganjil, mengapa terdapat spirit bersyukur di tengah-tengah kondisi bencana gempa dahsyat yang merobohkan rumah dan merenggut nyawa? Nyatanya, mereka tetap bisa melihat bencana tersebut dari sisi positif, sehingga mereka tetap bisa bersyukur, meski dengan ekspresi yang berbeda. Salah satunya adalah pernyataan Sri Muryati, warga Kajen yang juga istri Kadus Kajen Kasongan. “Ewondene semonten, Mas, nggih alhamdulilah nyawane kulo tasih kanthil. Tasih diparing selamet. Artine lak nggih tasih diparingi kesempatan nggo kerjo malih to, Mas” (Meskipun begitu, Mas ya, alhamdulillah nyawa saya masih melekat di badan. Saya masih diberi keselamatan sama Tuhan. Bukankah itu artinya [saya] masih diberi kesempatan untuk bekerja kembali to, Mas).11 Sri Muryati ini masih bisa mensyukuri nasibnya yang selamat dalam gempa tersebut, meski rumahnya juga roboh dan dua kakaknya ikut meninggal dunia. Sikap mensyukuri apa yang ada ini menunjukkan bahwa orang-orang Kasongan selalu berpikiran positif terhadap apa yang terjadi. Pikiran yang positif ini membuat mereka memiliki daya tahan tinggi dari dampak gempa, terutama ancaman depresi. Selain itu, orang-orang Kasongan juga bersikap ikhlas dalam menghadapi bencana gempa. Bagi mereka, ikhlas ialah ketika mereka menerima apa adanya segala yang telah dilakukan Allah terhadap mereka. Mereka memahami ikhlas dengan pemaknaan yang mirip dengan konsep rida dengan ketetapan Allah (ridha ‘an qudratillah). Atau, bisa juga dikatakan bahwa dalam pemahaman orang Kasongan, konsep ikhlas itu mirip dengan konsep Jawa nerimo ing pandum. Saat tertimpa bencana gempa yang menghancurkan rumah dan usaha, bahkan juga merenggut anggota keluarga mereka, orang-orang Kasongan menerima hal itu secara ikhlas sebagai bagian dari takdir Tuhan. Dengan nada tabah, Sri Muryati mengatakan, “Kakangne kulo kalih wingi pas gempa nggih kapundut lho, Mas. Tapi nggih pripun malih. Diikhlaske mawon. Kudune lak diputus ngoten to Mas, lajeng bangkit malih” (Dua kakak saya kemarin juga meninggal akibat gempa, Mas. Tapi, ya bagaimana lagi. Diikhlaskan saja. Seharusnya memang disikapi seperti itu, Mas, lalu
11
Ibid.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
111
setelah itu bangkit lagi).12 “Sing wis yo wis, Mas. Dikhlaske wae. Lha piye manih, wong arep ditangisi terus yo ra bakal mulih” (Yang terdahulu biarlah berlalu. Dikhlaskan saja. Lha bagaimana lagi. Mau ditangisi terus juga tidak akan hidup kembali).13 Selain nilai-nilai dan pedoman hidup di atas, masyarakat Kasongan juga memiliki beberapa tradisi yang sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap proses kebangkitan mereka pascagempa. Misalnya, tradisi yasinan dan tahlilan. Masyarakat Kasongan cukup akrab dengan tradisi tahlilan ini. Bahkan, mereka kadang menggabungkan tahlilan dengan yasinan. Ada banyak kelompok yasinan dan tahlilan di Kasongan. Acara tahlilan bahkan menjadi agenda rutin setiap malam Jum’at. Sehabis tahlilan, para hadirin biasanya terlibat dalam obrolan-obrolan ringan, mulai dari masalah bisnis hingga masalah lingkungan. Forum tahlilan kini menjadi ajang perekat bagi kebersamaan warga. Jadi, fungsi tahlilan bagi masyarakat Kasongan kini bukan sekadar ritual mengirim doa kepada leluhur yang sudah meninggal, tetapi juga sebagai ajang perekat sosial. Banyak kehangatan bermasyarakat tercipta lewat forum tahlilan ini. Ini semakin memperkuat sifat guyub mereka. Setelah gempa, kegiatan ini terus berjalan, bahkan semakin banyak peserta yang datang mengikuti. Widayat, pemilik galeri Insan Mulia Keramik yang juga Imam Masjid Jami’ Kajen Kasongan, menceritakan bahwa semangat warga Kasongan untuk ke masjid dan mengikuti acaraacara pengajian menjadi naik secara drastis pasca peristiwa gempa. “Nek pas ba’da gempa biyen niku, masjid-masjid kalih kegiatan keagamaan dados langkung semarak. Masjid-masjid dados kebak. Yasinan kalih tahlilan yo do rame” (Sejak pascagempa dulu, masjid-masjid dan kegiatan keagaam menjadi lebih semarak. Masjid-masjid menjadi penuh. yasinan dan tahlilan juga semarak).14 Kebanyakan warga Kasongan meyakini bahwa pembacaan Surah Yasin dan tahlil yang banyak berisi doa-doa ataupun kalimat-kalimat thayyibah
12
Ibid. Wawancara dengan Pairan, pengusaha dan pemilik galeri Pairan Keramik, 5 Juni
13
2010. 14 Wawancara dengan Widayat, pengusaha keramik dan imam Masjid Jami’ Kajen, 10 Agustus 2010.
112 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 akan dapat menyembuhkan hati yang sakit, menawarkan kesedihan, serta mendatangkan ketentraman dan ketenangan hidup.
“Timbangane nang omah mung nglangut kepangan sedih, lak yo mending kumpul-kumpul moco surat Yasin opo tahlilan. Idep-idep kirim donga nang sedulure sing wis raono. Nek sedihe yo sedih, tapi nek wis kumpul wong akeh moco Yasin ro tahlilan mengko lak, yo ono kace’e.” (Daripada di rumah bengong dilanda sedih, kan lebih baik berkumpul membaca Surah Yasin atau tahlilan. Hitung-hitung mendoakan saudara yang mendahului meninggal. Kalau sedihnya, sih sedih. Tapi nanti saat berkumpul dengan orang banyak sambil membaca Surah Yasin atau tahlilan, pasti akan ada perubahan).15 Ini menunjukkan bahwa forum yasinan dan tahlilan cukup memainkan peran penting untuk konteks kebangkitan masyarakat Kasongan pascagempa. Paling tidak ada dua manfaat yang mereka rasakan dari sana. Pertama, dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan dalam forum tersebut, mereka merasakan munculnya ketenteraman dalam hati. Kesedihan dan beban psikis akibat dilanda gempa setidaknya menjadi berkurang. Hal ini didukung oleh hasil penelitian dari dunia medis modern yang menyebutkan bahwa ibadah dan keimanan kepada Allah memiliki pengaruh yang baik terhadap manusia. Menurut Herbert Benson, seorang peneliti dari Fakultas Kedokteran Harvard University, tidak ada keimanan yang banyak memberikan kedamaian jiwa sebagaimana keimanan kepada Allah. Menurutnya, jasmani dan rohani manusia telah dikendalikan untuk percaya kepada Allah. Menurut penelitian David B. Larson dan timnya dari The American National Health Research, di antaranya perbandingan yang taat beragama dengan yang tidak taat beragama untuk sakit jantung 60% lebih rendah dan bunuh diri 100% lebih rendah daripada yang tidak taat beragama (Supriyadi, 2009).16
15
Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 6 Agustus 2010. Asep Supriyadi, “Memperkuat Dzikir dan Iman dalam Menjalani Hidup”, dalam http://www.pesantren.uii.ac.id/content/view/126/53/, diakses pada tanggal 4 Januari 2011, pukul 23.15 WIB. 16
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
113
Kedua, tersedianya sebuah forum yang mewadahi pertemuan sesama warga yang sama-sama dilanda bencana ini memunculkan kesempatan bagi mereka untuk sharing dan saling bertukar cerita. Dalam forum yasinan dan tahlilan, mereka saling bercerita dan saling mendengarkan tentang apa yang mereka rasakan akibat bencana gempa. Ada yang bercerita tungku pembakarannya pecah, ada yang bercerita bahwa anggota keluarganya meninggal, dan lain sebagainya. Hal yang sering diceritakan adalah momenmomen khusus dan unik saat datangnya gempa. Ada yang bercerita saat itu ia sedang mandi sementara istrinya sedang masak. Ada yang bercerita bagaimana ia lari terbirit-birit dalam kondisi yang memalukan. Tidak jarang mereka bersama-sama menertawakan tindakan sendiri yang konyol saat lari dari gempa. Hal ini membawa dampak positif bagi mereka. Beban psikologis yang menggelayuti korban gempa menjadi berkurang. Hasil kajian Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menunjukkan bahwa komponen paling penting dalam pertolongan pertama psikologis adalah mendengarkan apa yang disampaikan oleh individu yang mengalami insiden kritis. Mereka yang mengalami insiden kritis sering kali butuh untuk bercerita untuk membantu meredakan ketegangan emosi yang dialami (http://www.puskrispsiui.or.id).17 Dengan adanya forum tahlilan dan yasinan, orang Kasongan dapat saling bercerita. Dengan demikian, berbagai beban pikiran yang mereka alama menjadi berkurang. Hal ini pada gilirannya akan mempercepat proses penyembuhan psikis mereka yang terganggu akibat gempa, yang pada akhirnya semakin mempercepat kebangkitan mereka di kemudian hari. Selain itu, saat terkena gempa, orang-orang Kasongan juga banyak melakukan zikir. Hampir semua narasumber (warga Kasongan) yang penulis temui menceritakan bahwa saat terjadi gempa, yang paling sering keluar dari mulut adalah menyebut nama Allah. Ada yang meneriakkan ucapan “Allahu Akbar”, “Allahu Akbar” berkali-kali sambil lari. Ada juga yang meneriakkan lafal “Allah”, “Allah” berkali-kali. Ada pula yang 17 Anonim, “Bantuan Awal Psikologis (Psychological First Aid) dalam Kehidupan Sehari-hari”, dalam http://www.puskrispsiui.or.id/index.php?option=com_k2&view=item&id=5:bantuan-awalpsikologis-psychological-first-aid-dalam-kehidupan-sehari-hari&Itemid=4&lang=, diakses pada tanggal 4 Januari 2011, pukul 13.06 WIB.
114 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 menyebutkan kata “Ya Allah Ya Rabbi”. Selain itu, ada pula yang merapal kalimat “Gusti Allah Pengeran” (Ya Allah Ya Tuhan). Mereka sendiri seolah tanpa sadar mengucapkan kalimat-kalimat di atas. Semua terjadi secara reflek begitu saja. Begitu didera kepanikan hebat, kalimat-kalimat di atas tiba-tiba meluncur dari mulut mereka. Hal yang kurang lebih sama juga diceritakan oleh Nangsib, kepala dukuh Kasongan. Saat terjadi gempa, ia juga lari sambil mengucapkan lafal “Allahu Akbar” hingga berkali-kali. “Riyen niku kula nggih pontang-panting, ngalor ngidul nggoleki keluargo. Pas saat niku sing kucap yo mung takbir. ‘Allahu Akbar...’, ‘Allahu Akbar...’, ‘Allahu Akbar...’, ngoten. Sak dalandalan, tiyang niku nggih namung kados niku sing diucapke.” (Dulu saya juga pontang-panting ke selatan dan ke utara mencari anggota keluarga saya. Saat itu yang terucap di bibir hanyalah takbir. “Allahu Akbar...”, “Allahu Akbar...”, “Allahu Akbar...”, begitu. Sepanjang jalan, yang diucapkan orang-orang, ya hanya kalimat seperti itu).18 Sebagian besar masyarakat Kasongan bahkan percaya bahwa dengan berzikir, Allah akan memberikan kekuatan yang tidak bisa dibayangkan kepada seseorang, baik kekuatan lahir maupun kekuatan batin. Dengan zikir, Allah bisa saja memberikan kekuatan yang tidak bisa dinalar. Nangsib menceritakan bahwa dirinya rutin membaca istighfar dan shalawat sebanyak tiga ratus kali setiap selesai shalat fardu. Menurutnya, hal itu semata-mata ia lakukan agar mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup, baik hidup di dunia maupun di akhirat. “Kulo tiap ba’da shalat wajib mesti rutin maos shalawat lan istighfar ping tigang atus. Mugi-mugi mbesok saget gesang kang kepenak, gesang wonten donyo nopo akhiratipun.” (Saya setiap selesai shalat wajib pasti membaca shalawat dan istighfar sebanyak tiga ratus kali. Semoga besok hidup saya sejahtera, baik hidup di dunia maupun di akhirat).19 18
Wawancara dengan Nangsib, Kadus Kajen, 20 Agustus 2010. Ibid.
19
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
115
Sebagaimana pembacaan Surah Yasin dan tahlil, zikir ini juga membawa pengaruh positif bagi orang-orang Kasongan, terutama dari sisi psikologi setelah mereka ditempa bencana gempa. Adapun konstruksi kultural yang merupakan bentuk dari kearifan lokal masyarakat Kasongan antara lain adalah pandangan hidup nerimo ing pandum. Konsep nerimo ing pandum menjadi salah satu nilai yang yang terdapat dalam budaya Jawa. Konsep ini sendiri berarti dalam menghadapi sebuah permasalahan, seseorang harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan masalah tersebut, kemudian menyerahkan seluruh hasil dari usahanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, dalam perkembangannya, konsep nerimo ing pandum sering kali diartikan secara praktis oleh masyarakat sebagai pasrah terhadap masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan dan tidak melakukan usaha apapun untuk menghasilkan pemecahan terbaik dari sebuah masalah.20 Sikap nerimo umumnya mereka lakukan pada saat menghadapi berbagai tantangan di tempat kerjanya. Pemahaman nerimo di atas membuat para responden tidak terjebak untuk terus-menerus hanya memikirkan atau menyesali tantangan kerja yang muncul. Nerimo membuat hati mereka terasa ayem tentrem. Hati menjadi lega atau plong. Nerimo juga membuat mereka tidak spaneng (tegang), tidak iri, dan tidak mengeluh. Mereka pun menjadi tidak nglokro atau kehilangan semangat untuk bekerja. Mereka mampu menghadapi tantangan dengan kepala dingin, sehingga mereka mampu mengevaluasi, mencari kekurangan atau penyebab masalah, belajar dari kesulitan yang ada, dan kemudian mengemukakan alternatif penyelesaian yang lain. Pandangan hidup inilah yang menjadikan orang Kasongan tetap tegar saat menghadapi bencana gempa. Mereka menerima bencana itu sebagai bagian dari nasib yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Selain itu, orang Kasongan juga percaya bahwa hidup itu seperti cokro manggilingan. Sebagai bagian dari masyarakat Jawa, orang Kasongan percaya bahwa nasib manusia itu selalu silih berganti sesuai “skenario” yang telah ditententukan oleh Tuhan. Mereka yakin bahwa nasib selalu berputar. Ada suatu ketika satu titik berada di atas dan di saat yang lain berada di bawah. Mereka menyebut putaran nasib ini layaknya cokro 20 Anonim, “Nerimo ing Pandum”, dalam http://www.kompasiana.com, diakses pada tanggal 11 Agustus 2010, pukul 03.10 WIB.
116 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
manggilingan. Cokro adalah senjata panah yang ujung mata panahnya berbentuk roda yang bisa berputar milik Prabu Kresna titisan Dewa Whisnu dalam cerita pewayangan (Herusasoto, 2001).21 Masyarakat Jawa percaya bahwa kejayaan ataupun kesialan yang mereka alami sebenarnya hanya bersifat sementara. Hal ini menjadikan mereka bersikap hati-hati dalam menyikapi nasib hidup. Pandangan hidup ini pada gilirannya membentuk sistem pedoman hidup yang mereka pegang teguh, yakni prinsip aja dumeh (jangan mentang-mentang) dan aja aji mumpung (jangan bersikap sok).22 Aja dumeh merupakan pedoman hidup orang Jawa yang juga dipegangi oleh masyarakat Kasongan agar selalu mawas diri bila sedang dikaruniai kebahagaian ataupun kesulitan hidup. Aja dumeh adalah semacam peringatan agar orang yang hidup bahagia tidak bersikap tamak dan loba serta memperhatikan masyarakat sekitarnya. Prinsip ini juga mengajarkan bahwa di saat sulit sekalipun, keseimbangan hubungan dengan Tuhan ataupun hubungan dengan sesama manusia harus tetap terjaga. Pendoman yang sarat dengan ajaran pengendalian diri ini menjadikan masyarakat Kasongan bersikap bijak bila bisnis mereka sedang jaya. Mereka selalu seberusaha bersikap mawas diri, bahwa kejayaan yang ada sekarang hanyalah anugerah yang suatu saat bisa tiba-tiba hilang. Sebaliknya, saat ditimpa bencana pun mereka tidak lantas kehilangan harapan-harapan di masa depan. Rupanya kuatnya goncangan gempa bumi tidak mampu merobohkan optimisme dan harapan mereka akan masa depan yang lebih baik. Beberapa waktu setelah dilanda gempa, keyakinan bahwa roda nasib selalu berputar juga membuat mereka tetap optimistis menatap masa depan. Mereka yakin bahwa hidup itu tak selamanya pahit. Setelah nasib pahit berlalu, kelak pasti akan ada saatnya nasib manis datang menghampiri. Bencana gempa memang terasa sangat pahit dan terasa berat dipikul, tetapi mereka tetap yakin bahwa masa depan pasti datang membawa harapan baru. Saparjo, seorang warga Kasongan, dengan intonasi yang agak bercanda berkata, “Gempa yo gempa, Mas. Tapi yo mosok arep gempa terus. Mengko lak leren dewe” (Gempa ya gempa, Mas. Tapi masak akan ada gempa terus. 21
Budiono Herusasoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hanindita Ghraha Widia, 2001), hlm. 75. 22 Ibid.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
117
Nanti kan berhenti sendiri).23 Hal senada juga dikatakan oleh Yulianto, warga Kasongan yang lain. “Biyen kerjaan lumayan lancar, Mas. Tapi pas gempa yo mboten wonten kerjaan. Lha wong do ambruk kabeh. Tapi soyo suwe yo apik maneh” (Dulu pekerjaan lumayan lancar, Mas. Tapi begitu ada gempa, ya kerjaan menjadi tidak ada. Lha pada ambruk semua. Tapi lamakelamaan ya bangkit lagi).24 Keyakinan semacam inilah yang menumbuhkan optimisme orangorang Kasongan. Mereka tetap optimistis akan adanya perubahan nasib yang lebih baik di masa yang akan datang. Mereka percaya bahwa kesedihan dan kesengsaraan akan segera berlalu seiring dengan berputarnya roda kehidupan, untuk kemudian berganti dengan masa depan yang lebih cerah. Untuk menyongsong masa depan itu, mereka pun segera bangkit dengan sisa-sisa sumber daya yang ada. Orang-orang Kasongan juga memiliki pedoman hidup eling lan waspada. Ajaran moral eling lan waspada ini dipegangi dengan teguh oleh masyarakat Kasongan. Ketika ditimpa gempa, mereka tetap berusaha menjaga keselarasan dan harmoni dengan Tuhan. Mereka tidak melihat peristiwa itu sebagai “pukulan” yang dijatuhkan oleh Tuhan secara sewenang-wenang. Mereka menerimanya begitu saja sebagai takdir dan bukti kuasa Tuhan. Mereka ingat (eling) bahwa diri mereka hanyalah manusia biasa yang sering tidak mampu memahami isyarat Tuhan. Sikap waspada mencegah mereka dari “protes” kepada Tuhan, meski orang-orang yang mereka cintai meninggal dalam bencana tersebut. Mereka umumnya hanya berkata, “Yo wis, diikhlaske wae, wong wis dipundut sing kagungan, dijaluk sing kuoso” (Ya sudah, diterima saja dengan ikhlas, kan sudah dipanggil pulang oleh yang punya, [rohnya] diminta oleh Yang Maha Kuasa.”25 Daripada menggerutu menyalahkan takdir, mereka lebih suka menghimpun semua potensi yang tersisa. Mereka tidak pusing-pusing memikirkan kenapa musibah gempa itu harus terjadi, tetapi lebih memilih untuk segera mendata, memilah-milah, dan memisahkan aset yang tidak rusak oleh gempa.
23
Wawancara dengan Saparjo, warga Kasongan, 12 Agustus 2010. Wawancara dengan Yulianto, warga Kasongan, 12 Agustus 2010. 25 Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 6 Agustus 2010. 24
118 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 Timbul Raharjo, pemilik galeri Timbul Keramik, bahkan satu hari pasca gempa langsung mendata kerugian akibat gempa. Ia langsung berkeliling ke seluruh Kasongan untuk mendata jumlah kerugian, jumlah aset yang tersisa, dan membuat database. Data ini kemudian dihimpun dalam bentuk sebuah buku besar. “Dulu saya sendiri yang berkeliling mendata warga sini. Hasilnya, ya data dalam buku ini,” kata Timbul Raharjo sambil menunjukkan sebuah buku tebal kepada penulis. “Satu hari setelah gempa,” lanjutnya, “saya lantas mendata kerugian seluruh warga. Belakangan data yang saya buat itulah yang dipakai rujukan di mana-mana, di Depnaker, Pemda, staf kepresidenan, dan lain-lain.”26 Adapun kearifan lokal masyarakat Kasongan yang masuk dalam katergori aspek yang tampak, yang bisa diamati dengan pengamatan langsung, terdiri dari kehidupan yang guyub, gotong royong, dan getok tular. Berikut ini uraiannya. Guyub merupakan sebuah akar tradisi Jawa yang sudah lama melekat. Ia mengandung banyak makna, seperti kerukunan, kebersamaan, akur, akrab, serta senasib dan seperjuangan. Istilah kekiniannya dapat disebut sinergi. Dengan guyub pula persoalan sulit dapat diurai secara bersama dalam satu titik temu, seiya sekata. Spirit guyub menanggalkan segala perbedaan untuk satu tujuan. Guyub bisa tercapai jika kepentingankepentingan pribadi untuk tujuan sendiri dibuang jauh. Guyub menemukan rohnya di tanah Jawa dalam wujud gotong royong (Adhiatmoko, 2006).27 Di Kasongan, karakter guyub tidak hanya menjadi sebuah spirit budaya tanpa makna, tetapi benar-benar diaplikasikan dalam praktik nyata. Karakter guyub ini tampak bila ada anggota masyarakat yang mengadakan
26 Wawancara dengan Timbul Raharjo, pengusaha keramik dan tokoh masyarakat Kasongan, 5 Agustus 2010. Pada saat penulis melakukan wawancara dengan Timbul Raharjo, ia menunjukkan sebuah buku tebal berjudul Laporan Kerugian Pengusaha/Perajin pada Sentra Industri Seni Kerajinan Keramik Kasongan Akibat Gempa Bumi pada Sabtu Wage 27 Mei 2006. Buku inilah yang merupakan database kerugian yang dialami oleh para perajin Kasongan akibat gempa. Lihat Masyarakat Pengusaha/Perajin Seni Kerajinan Keramik Kasongan, Laporan Kerugian Pengusaha/Perajin pada Sentra Industri Seni Kerajinan Keramik Kasongan Akibat Gempa Bumi pada Sabtu Wage 27 Mei 2006 (Kasongan Bangunjiwo Kasihan Bantul Yogyakarta, 2006). 27 Sunaryo Adhiatmoko, “Spirit Guyub untuk Korban Gempa”, dalam http:// www. dompetdhuafa.org/ dd.php?x =telaah&y=det&z =e2ffaf95659467c02046d35145d057c2 , diakses pada tanggal 17 Agustus 2010, pukul 13.33 WIB.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
119
hajatan atau sedang diitimpa musibah kematian, maka mereka ramai-ramai datang membantu. Ini mencerminkan rasa kebersamaan mereka yang kuat. Spirit yang ada di balik guyub adalah kebersamaan, rasa senasib sepenanggungan, tanpa memandang kelas dan tingkatan sosial. Masingmasing anggota masyarakat merasa sebagai bagian dari sebuah komunitas yang saling melengkapi dan saling membutuhkan. Sekaya apapun seseorang, ia tetap akan membutuhkan orang lain. Semiskin apapun seseorang, toh ia tidak hidup sendiri. Masih banyak orang lain yang bernasaib sama. Karena rasa kebersamaan inilah, karakter guyub di Kasongan bahkan dilembagakan secara formal dalam berbagai organisasi. Ini terlihat dari adanya beberapa jenis paguyuban, misalnya koperasi paguyuban perajin Setya Bawana. Keberadaan koperasi ini menjadi ajang komunikasi dan interaksi sosial di antara sesama perajin. Dalam konteks wilayah Kasongan pascagempa, karakter guyub sangat jelas terlihat pada acara-acara kerja bakti. Pihak yang terlibat dalam kegiatan gotong royong pascagempa itu bukan hanya warga Kasongan, tetapi juga berasal dari unsur-unsur lain yang datang secara sukarela. Beberapa aparat dari TNI, kepolisian, dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) juga ikut terlibat. Warga, TNI, dan kepolisian menyediakan tenaga kerja dan logistik seadanya, sementara Dinas PU menyediakan alat-alat berat dan sarana pengangkut yang diperlukan. “Penanganan pascagempa dulu di sini dilakukan langsung dengan kerjabakti, Mas. Kita dengan unsur TNI, kepolisian, Dinas PU, aparat pemerintahan, dan semua warga bahumembahu membersihkan reruntuhan pasca gempa,” kata Andoyo, Kabag Pembangunan Desa Bangunjiwo.28 Hebatnya lagi, warga Kasongan yang terimbas gempa tetap ikut berpartisipasi dalam kegiatan kerjabakti atau gotong royong ini, meski sebenarnya kesedihan masih meliputi hatinya mengingat ada kerabatnya yang meninggal dunia akibat gempa. Sri Muryati, istri Kadus Kajen berkata, “Kerja baktine teng mriki riyen saben dinten, Mas. Kabeh nderek kerja bakti. Mriki nggih nderek. Najan kakange kulo kalih nggih
28
Wawancara dengan Andoyo, Kabag Pembangunan Desa Bangunjiwo, 1 Agustus
2010.
120 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
kapundut, tapi nggih pripun malih. Dikhlaske mawon, wong sampun disuwung ingkang nggadahi nyowo.” (Gotong royong di sini dilakukan setiap hari, Mas. Semua ikut kerja bakti. Keluarga sini juga ikut berpartisipasi. Meskipun dua kakak saya juga meninggal, tapi ya bagaimana lagi. Direlakan saja. Kan sudah diminta oleh Pihak Yang Memiliki Nyawa [Tuhan]).29 Begitulah, semua unsur yang ada guyub, bahu-membahu, dan saling membantu dalam penanganan gempa. Ini juga menjadi faktor penting bagi kebangkitan masyarakat Kasongan pascagempa. Selain guyub, masyarakat Kasongan juga melestarikan tradisi gotong royong. Dalam situasi pascagempa, masyarakat Kasongan melakukan gotong royong secara spontan. Kegiatan ini mulai dikerjakan beberapa saat setelah gempa terjadi. Mereka dengan sisa-sisa semangat yang ada bahu-membahu melakukan evakuasi korban, membersihkan puingpuing bangunan yang runtuh akibat gempa, serta memperbaiki kembali berbagai fasilitas umum yang ada. Masyarakat Kasongan umumnya memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Meski rumah mereka sendiri roboh oleh gempa, tetapi mereka tetap bisa mengorganisir diri dan melakukan gotong royong untuk menolong saudara-saudara mereka. Widayat, seorang warga Kasongan yang juga pemilik galeri Insan Mulia Keramik, menuturkan bahwa semua warga di tempatnya aktif terlibat dalam kegiatan gotong royong ini. “Kulo tetap syukur, Mas. Senajan kenging gempa, tapi griyane kulo mbotem pati parah. Dados kulo tetep saget nderek gotong royong mbiyantu tonggo tepaleh, kowo tengen.” (Saya tetap bersyukur, Mas. Meski terkena imbas gempa, tapi tidak begitu parah. Jadi, saya tetap bisa ikut gotong royong membantu tetangga kiri kanan).30 Ketika nyaris semua warga Kasongan tinggal di tenda pengungsian, setiap hari mereka melakukan gotong royong. Agar hasilnya lebih maksimal dan terasa adil, mereka menggilir satu persatu rumah warga untuk 29
Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 6 Agustus 2010. Wawancara dengan Widayat, pengusaha keramik dan imam Masjid Jami’ Kajen, 10 Agustus 2010. 30
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
121
ditangangi bersama-sama, mulai dari rumah paling ujung kampung yang satu hingga paling ujung kampung yang lain. Timbul Raharjo, seorang tokoh masyarakat Kasongan yang juga Ketua Koperasi Setya Bawana menuturkan: “Di sini kerja baktinya urut, Mas. Dari ujung sebelah sana sampai sebelah sini. Misalnya, ‘O… , saiki gilirane nggone si A, ayo parani.’ (Oya, sekarang giliran rumah si A yang digarap, mari ke sana). Besoknya, ‘O… , saiki gilirane nggone si B, ayo parani.’ (Oya, sekarang giliran rumah si B yang digarap, mari ke sana). Begitu terus hingga rumah semua warga selesai ditangani.”31 Hal yang kurang lebih sama juga dituturkan oleh Sri Muryati, istri Nangsib, Kadus Kajen. Menurutnya, kaum laki-laki bekerja bakti merobohkan sisa-sisa dan bekas-bekas tembok rumah yang masih berdiri, karena justru membahayakan bila tidak sekalian dirobohkan. Dalam gotong royong tersebut, kaum lelaki umumnya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kasar dan berat, yang membutuhkan tenaga-tenaga kuat. Sementara itu, kaum ibu-ibu dan wanita yang ada bergotong royong membuatkan masakan untuk konsumsi bapak-bapak. Bahan yang dimasak saat itu pun seadanya. Pernah beberapa kali hanya memasak sayur pepaya muda saja. Bahan-bahan yang dimasak umumnya diperoleh dari alam sekitar, selain juga dari bantuan para dermawan. Para ibu dibagi menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok memasak untuk hari yang berbeda-beda sesuai dengan jadwal yang telah disepakati. Teknis penjadwalan itu mengikuti jadwal ronda para suami dari ibu-ibu tersebut. “Kerjabaktine urut, Mas. Awit saking griyo paling ujung mriko sampek paling ujung sebelah mriki. Bapak-bapak do kerja bakti sing kerjaan berat-berat. Lajeng [kaum] ibu-ibu podo masak. Jadwal masake digilir saben dinten, sesuai jadwal ronda garwa kakungipun.” (Kerja baktinya dilakukan dengan urut, Mas. Mulai dari rumah paling ujung sana sampai rumah paling ujung sini. Kaum laki-laki bekerja bakti menangani pekerjaan yang berat, lalu kaum wanita [ibu-ibu]
31 Wawancara dengan Timbul Raharjo, pengusaha keramik dan tokoh masyarakat Kasongan, 5 Agustus 2010.
122 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 bergotong royong memasak. Jadwal memasaknya digilir setiap hari, sesuai dengan jadwal ronda suami dari wanita yang bersangkutan).32 Dengan gotong royong tersebut, masyarakat Kasongan dengan segera dapat berbenah diri, menata dan menyusun rencana untuk segera bangkit kembali. Dengan bergotong royong, mereka tidak perlu mengeluarkan banyak biaya guna mengupah banyak orang untuk memperbaiki ataupun membangun rumah. Inilah yang menjadi satu faktor penting dalam proses kebangkitan warga Kasongan pascagempa 27 Mei 2006 yang lalu. Masyarakat Kasongan juga memiliki buyada getok tular. Budaya ini ternyata memainkan peranan penting bagi proses kebangkitan mereka. Setidaknya ada dua peranan pokok yang sangat menonjol dari budaya lisan ini. Pertama, peranan dalam menularkan semangat kebangkitan. Dalam kegiatan gotong royong, warga melakukan percakapan-percakapan penuh keakraban. Percakapan-percakapan ini memberikan dampak positif bagi mereka. Minimal dari segi psikologis, beban jiwa dan trauma mereka berkurang. Di sisi lain, percakapan-percakapan itu juga memberikan informasi penting tentang jaringan-jaringan bisnis yang mereka miliki. Bagi orang Kasongan yang memiliki kultur satu sama lain saling meng-order, informasi tentang kebangkitan tetangga adalah sama dengan informasi mulai aktifnya mitra bisnis. Tetangga bangkit, berarti mitra bisnis siap menerima limpahan order. Optimisme mulai sedikit menyembul. Beberapa hari setelah gempa, Nangsib, yang juga merupakan Kadus Kajen, berinisiatif untuk memulai bangkit lagi dengan alat produksi yang seadanya. Dengan sisa-sisa alat dan bahan baku yang masih ada, Nangsib mulai bekerja membuat gerabah. Sri Muryati, istri Nangsib, bercerita: “Riyen pas ba’dane gempa niko, mriki engkang pertama kali bangkit, Mas. Sak wontene alat lan bahan pokokne dincakke. La bapakne miriki lak nggih mikir to, wong mriki niku dukuhe, dados nggih kedah maringi conto bangkit, ben rakyate semangat ndang kerjo malih. Lha mengken nik dukuhe nglokro, lak malah rakyate terus piye, tambah nglokrone.”
32
Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 5 Juli 2010.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
123
(Dulu setelah gempa, keluarga saya yang pertama kali bangkit, Mas. Pokoknya, alat dan bahan baku yang tersisa digunakan sebisanya. Suami saya kan Kepala Dukuh, jadi harus memberikan contoh bangkit, biar rakyatnya semangat kerja lagi. Kalau Kepala Dukuhnya putus asa, terus masyarakat nanti bagaimana, tentunya lebih putus asa lagi).33 Meski volume produk yang dihasilkan Nangsib saat itu jauh lebih kecil dari angka produksi sebelum gempa, namun berita tentang apa yang dilakukan oleh Nangsib ini dengan cepat segera tersebar kepada para tetangganya. Mereka lambat laun, sedikit demi sedikit, mengikuti langkah Nangsib. Satu persatu tetangga kanan kiri Nangsib memilah-milah sisa-sisa alat produksi dan bahan baku yang masih bisa dimanfaatkan. Bahkan, beberapa di antara mereka melakukan kegiatan produksi, meski masih tidur di tenda-tenda sementara. Kedua, peranan dalam kegiatan promosi produk kerajinan. Setelah “semangat kebangkitan” merambah ke seluruh pelosok Kasongan, peran getok tular tidak lantas berhenti begitu saja. Bahkan, dalam perkembangan selanjutnya, getok tular menjadi strategi jitu bagi pemasaran produk-produk gerabah pascagempa. Bagi para pengrajin Kasongan, getok tular sudah menjadi strategi pemasaran warisan dari nenek moyang sejak dulu. Sebagian perajin Kasongan yang tidak begitu akrab dengan strategi pemasaran modern, misalnya dengan iklan di media cetak, media elektronik, ataupun toko-toko online di internet, umumnya masih mengandalkan strategi getok tular dalam memasarkan produk kerajinan gerabah. Pairan, pengusaha dan pemilik galeri Pairan Keramik, menuturkan, “Teng mriki mboten nate ngiklan teng radio, nopo kertas tempeltempelan niki, nopo spanduk kok, Mas. Kulo namung getok tular serasan, saking tiyang setunggal dating tiyang lintu. Nggih alhamdulillah, rizki niku wonten mawon.” (Usaha saya ini tidak pernah iklan di radio, kertas pamflet, ataupun spandu kok, Mas. Saya hanya melakukan getok tular saja dari satu
33
Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 5 Juli 2010.
124 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 orang kepada orang yang lain. Ya, alhamdulillah ada saja rezeki yang datang).34 D. Tafsir Sinkretisasi Agama dan Kearifan Lokal di Kasongan Apa yang dimaksud sinkretis di sini secara umum adalah proses ataupun hasil dari pengolahan, penyatuan, pengombinasian, dan penyelarasan dua atau lebih sistem prinsip yang berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru yang berbeda dengan sistem-sistem prinsip sebelumnya (Ahimsa-Putra, 1995).35 Dengan adanya proses sinkretis, maka apa yang terkandung di dalam sebuah sistem baru tersebut tidak hanya terkandung sistem asli agama yang bersangkutan, tetapi juga sistem prinsip dari unsur lain. Sementara, Simuh (1988) dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita mendefinisikan sinkretis sebagai suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama. Yakni, suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan.36 Sedya Santosa menafsirkan bahwa sinkretisasi Islam di Jawa menjadi dua tingkat, yakni tingkat sistem keyakinan dan tingkat sistem ritual. Tingkat sistem keyakinan antara lain tampak dalam pembauran konsepkonsep teologis dalam agama Islam Jawi, keyakinan tentang konsep-konsep kosmologis-kosmoginis, dan keyakinan tentang konsep-konsep eskatologi. Sementara, pada tingkatan sistem ritual, sinkretisasi Islam di Jawa tampak dalam upacara-upacara ritual yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, seperti slametan, nyadran, tirakatan, dan lain-lain.37 Data-data yang penulis temukan menunjukkan bahwa nilai-nilai dan ajaran hidup yang dipegangi oleh masyarakat Kasongan ternyata bukan 34
Wawancara dengan Pairan, pengusaha dan pemilik galeri Pairan Keramik, 5 Juni
2010. 35
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa”, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Kantor Depdiknas DIY, 1995, hlm. 2. 36 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 2. 37 Ibid.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
125
hanya dari filsafat Jawa, tetapi juga berasal dari agama Islam. Misalnya, ajaran hidup seperti sabar, rila, nerimo ing pandum, dan guyub. Ajaran tentang pedoman-pedoman hidup ini dapat ditemui dalam serat Sasangka Jati yang terkonstruk dalam konsep Hasta Sila atau Delapan Sikap Dasar. Delapan sikap dasar ini dibagi menjadi dua, Trisila dan Pancasila. Trisila merupakan pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia, dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan, yaitu eling atau sadar, pracaya atau percaya, dan mituhu atau setia melaksanakan perintah (Herusasoto, 2001).38 Apa yang dimaksud dengan istilah eling atau sadar, menurut Herusasoto ialah selalu ingat berbakti kepada Tuhan yang Mahatunggal. Mengutip ajaran R. Soenarto, Herusasoto menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Mahatunggal adalah kesatuan dari tiga sifat, yaitu Sukma Kawekas atau Allah Ta’ala, Sukma Sejati atau Rasulullah, dan ruh suci atau jiwa manusia yang sejati. Ketiganya disebut Tri Purusa. Yang dimaksud pracaya atau percaya ialah percaya kepada sukma sejati atau utusan-Nya, yang disebut Guru Sejati. Dengan percaya kepada utusan-Nya berarti pula percaya kepada jiwa pribadi sendiri serta kepada Allah, karena ketiga-tiganya adalah tunggal, yang disebut Tri Purusa tadi. Adapun yang disebut mituhu ialah setia dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disampaikan melalui utusan-Nya. Sebelum manusia melaksanakan Trisila di atas, ia harus berusaha lebih dahulu memiliki watak dan tingkah laku yang disebut Pancasila, yakni: (1) Rila atau rela atau keikhlasan hati, yaitu menyerahkan segala miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan dengan tulus ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada pada kekuasan-Nya. Konsep rila ini sangat mirip dengan konsep al-ridha dan ikhlas dalam agama Islam. (2) Narima atau menerima nasib yang diterimanya. Nenek moyang orang Jawa mengajarkan bahwa orang yang narima itu tidak loba dan ngangsa. Narima berarti tidak menginginkan milik orang lain. Orang yang narima dapat dikatakan orang yang bersyukur kepada Tuhan. Konsep narima ini mirip dengan konsep qana’ah dalam ajaran Islam, yakni menerima apapun yang sudah ditakdirkan Allah. (3) Temen atau setia pada janji. Orang yang tidak menepati kata hatinya berarti menipu dirinya sendiri. Sementara, kata 38
Budiono Herusasoto, Simbolisme, hlm. 73.
126 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 hati yang telah diucapkan namun tidak ditepati, itu sama artinya dengan dusta yang disaksikan oleh orang lain. Orang Kasongan sudah menganggap bahwa seni gerabah merupakan panggilan hati mereka. Mereka membuat kerajinan dengan sepenuh hati. Ajaran untuk mencintai dan bersungguhsungguh dalam menjalani profesi seperti ini juga dapat ditemukan dalam agama Islam. (4) Sabar atau lapang dada. Sabar itu berarti momot, kuat terhadap segala cobaan, tetapi bukan berarti putus asa. Ia juga orang yang kuat iman, luas pengetahuan dan wawasan. Islam juga mengajarkan umatnya agar bersikap sabar. (5) Budi luhur atau memiliki budi yang baik. Budi luhur adalah apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan hidupnya dengan segala tabiat dan sifat-sifat yang dimiliki Tuhan yang Mahamulia, seperti kasih sayang terhadap sesama, suci, adil, dan tidak membeda-bedakan derajat seseorang. Selain itu, sinkretisasi agama Islam dan budaya Jawa di Kasongan juga secara jelas dapat ditemui dalam konsepsi eskatologis mereka. Masyarakat Kasongan masih banyak yang meyakini bahwa setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) atau yang disebut dengan lelembut yang berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Makhluk halus itu lama-kelamaan akan pergi dari tempat itu, dan saat-saat tertentu keluarganya mengadakan slametan untuk menandai jarak yang telah ditempuh roh menuju alam roh, tempatnya yang abadi kelak. Namun, roh tersebut dapat dihubungi setiap saat bila diperlukan.39 Orang Kasongan juga mempercayai bahwa leluhur mereka adalah Kyai Song, Kyai Tambak, Kyai Kudus, dan Kyai Racik. Kyai Song diyakini sebagai orang pertama cikal bakal penduduk Kasongan. Oleh orang Kasongan, ia disebut sebagai pepunden. Kyai Tambak dan Kyai Kudus adalah jin yang tinggal di utara Kasongan, sedangkan Kyai Racik tinggal di pinggir Sungai Bedog, sebelah timur Kasongan. Keempat tokoh inilah yang selalu disambati (menjadi tempat mengadu) bagi masyarakat Kasongan jika ingin mengadakan hajatan atau slametan.40 Sementara, pada level sistem ritual, sinkretisasi nilai-nilai teologis (Islam) dan kultural (Jawa) yang terjadi di Kasongan dapat dilihat dari ritual-ritual yang mereka adakan, yakni pada acara slametan, bancakan, 39
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 335-336. Timbul Raharjo, Globalisasi Seni Kerajinan Keramik Kasongan (Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, 2009), hlm. 165. 40
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
127
ataupun tirakatan. Di Kasongan, biasanya upacara slametan atau kenduri tersebut akan dihadiri oleh ustaz atau kaum yang akan memimpin doa. Akan tetapi, uniknya, di balik peristiwa islami tersebut, ada juga sesaji yang disediakan di kamar atau tempat lainnya yang diperuntukkan bagi para leluhur atau penjaga wilayah lainnya. Sesaji tersebut bisa berupa nasi dan lauk, kopi, teh, susu, bunga, dan rokok.41 Sinkretisasi juga dapat ditemui dalam mantra-mantra yang diucapkan dalam mengiringi sesaji. Di antara mantra yang biasa digunakan oleh masyarakat Kasongan adalah “Semilah, Kyai Wali, Nyai Wali sing rumekso kéné, aku njaluk idi, ana bala apik tekakno, bala elek singkirna, niat ingsun” (Bismilah, Kyai Wali, Nyai Wali yang menunggu di sini, saya meminta izin, jika ada orang baik yang tak mengganggu datangkan, jika ada orang jahat yang mengganggu singkirkan, demikian saya berniat).42 Terlepas dari justifikasi sinkretisasi ini apakah sebuah penyimpangan atau tidak, yang jelas fenomena tersebut riil dan ada di Kasongan. Dalam konteks kebangkitan mereka pascagempa, isu sinkretisasi ini tidak terlalu diperdebatkan oleh masyarakat Kasongan. Walaupun demikian, acara-acara yang dianggap sebagai bagian dari sinkretisasi ini sebenarnya sudah lama diperdebatkan oleh orang sejak dulu, dan sampai sekarang masih terus terjadi, sehingga semuanya berpulang kepada penafsiran masing-masing. E. Simpulan Penelitian ini akhirnya menyimpulkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal dan nilai-nilai agama dapat bersatu dan digunakan secara bersama-sama untuk membangkitkan semangat hidup masyarakat korban gempa. Sifatsifat seperti sabar, syukur, nerimo ing pandum, dan pedoman hidup bahwa kehidupan ini seperti cokro manggilingan telah terbukti membuat masyarakat Kasongan kuat dan tabah dalam menghadapi bencana gempa dan bahkan menjadi modal berharga bagi mereka untuk segera bangkit kembali. Dengan demikian, nilai-nilai agama dan kearifan lokal masyarakat setempat seharusnya tidak saling dipertentangkan, terutama saat situasi bencana, karena keduanya pada dasarnya berpotensi untuk disinergikan dan
41
Ibid., hlm. 164. Ibid., hlm. 164-165.
42
128 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 dimanfaatkan sebagai “bahan bakar” kebangkitan masyarakat yang terimbas oleh bencana tersebut. Daftar Pustaka Adhiatmoko, Sunaryo. “Spirit Guyub untuk Korban Gempa”, dalam http://www.dompetdhuafa.org/dd.php?x=telaah&y=det&z=e2ffaf9565 9467c02046d35145d057c2, diakses pada tanggal 17 Agustus 2010, pukul 13.33 WIB. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Islam Jawa dan Jawa Islam: Sinkretisasi Agama di Jawa”, Makalah Seminar, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta dan Kantor Depdiknas DIY, 1995. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Paradigma, Epistemologi, dan Metode Ilmu Sosial-Budaya: Sebuah Pemetaan”, disampaikan pada Pelatihan Metodologi Penelitian yang diselenggarakan oleh CRCS Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogyakarta, 12 Februari-19 Maret 2007.
Anonim. “Bantuan Awal Psikologis (Psychological First Aid) dalam Kehidupan Sehari-hari”, dalam http://www.puskrispsiui.or.id/index.php?option=com_k2&view=item& id=5:bantuan-awal-psikologis-psychological-first-aid-dalamkehidupan-sehari-hari&Itemid=4&lang=, diakses pada tanggal 4 Januari 2011, pukul 13.06 WIB. Anonim. “Nerimo ing Pandum”, dalam http://www.kompasiana.com, diakses pada tanggal 11 Agustus 2010, pukul 03.10 WIB. Herusasoto, Budiono. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita Ghraha Widia. Ichwan, Moch. Nur. “Agama dan Bencana: Penafsiran dan Respons Agamawan serta Masyarakat Beragama”, dipresentasikan pada Workshop Metodologi Penelitian II Agama dan Bencana Alam: Kajian Integratif Ilmu, Agama, dan Budaya, CRCS UGM, 8-10 Maret 2010. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Masyarakat Pengusaha/Perajin Seni Kerajinan Keramik Kasongan. 2006. Laporan Kerugian Pengusaha/Perajin pada Sentra Industri Seni Kerajinan Keramik Kasongan Akibat Gempa Bumi pada Sabtu Wage 27 Mei 2006. Kasongan Bangunjiwo Kasihan Bantul Yogyakarta.
Ali Imron dan Aat Hidayat, Kekuatan Agama dan Kearifan Lokal |
129
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Raharjo, Timbul. 2009. Globalisasi Seni Kerajinan Keramik Kasongan. Yogyakarta: Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI Press. Suharyo, Toto. “Pendidikan Antiteroris”, dalam Pikiran Rakyat, edisi 27 Juli 2009. Supriyadi, Asep. “Memperkuat Dzikir dan Iman dalam Menjalani Hidup”, dalam http://www.pesantren.uii.ac.id/content/view/126/53/, diakses pada tanggal 4 Januari 2011, pukul 23.15 WIB. Takwin, Bagus. “Fenomenologi Hermeneutik”, Makalah, tidak diterbitkan. Website: http://www.antaranews.com, edisi 9 Agustus 2009, diakses pada tanggal 2 Oktober 2009. Wawancara: Wawancara dengan Andoyo, Kabag Pembangunan Desa Bangunjiwo, 1 Agustus 2010. Wawancara dengan Nangsib, Kadus Kajen, 20 Agustus 2010. Wawancara dengan Pairan, pengusaha dan pemilik galeri Pairan Keramik, 5 Juni 2010. Wawancara dengan Saparjo, warga Kasongan, 12 Agustus 2010. Wawancara dengan Sri Muryati, istri Kadus Kajen, 6 Agustus 2010. Wawancara dengan Timbul Raharjo, pengusaha keramik dan tokoh masyarakat Kasongan, 5 Agustus 2010. Wawancara dengan Widayat, pengusaha keramik dan imam Masjid Jami’ Kajen, 10 Agustus 2010. Wawancara dengan Yulianto, warga Kasongan, 12 Agustus 2010.
130 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
DELIBERASI BAGI PEMBENTUKAN IDENTITAS ORGANISASI KEAGAMAAN DAN BUDAYA DALAM PENGURANGAN RESIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS (PRBK) Abdul Jalil Dosen Agama Islam di STMIK AKAKOM Yogyakarta [email protected]
Abstrak Back-grounded with problems the need of community participation, complex Disaster Risk Reduction program serves as among other action on the practice of deliberative approach as the right of a religious organization and culture at the local level that have been instituted and formed their organization, as well as the exploration of the results of the collaborative dialogue of their existence in the process of building an understanding of the importance of management issues. The object of study is Mulyodadi village because it includes areas that have the potential disaster, such as earthquakes, floods, and droughts. This paper aims to determine the deliberative practices in identity formation of civil society organizations. It deals with a programmatic framework for Disaster Risk Reduction in Indonesia, particularly studied in religious organizations particularly / culture at the grassroots level in Mulyodadi. The method of the research is participant observation, namely a visit and stay with the community as well as data collecting on the actors and organizations associated with religious / cultural and other forms of organized activities. Both religion and culture serve as the spirit and the driving motivation and action in a variety of disaster recovery. Religion has a divine moral values, and cultural values that have been established by the community. It includes institutionalization of the actors with a vehicle for achieving the organization's vision and mission and through the program, budget and human resources that are able to adapt and manage the external environment. The successful organization of resources and capital can form identity of both organizations. Kata Kunci: Religion, Culture, Community, Disaster, Changes
132 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
A. Pendahuluan ulisan ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengkayaan ilmu pengetahuan terkait pola deliberasi dalam pembentukan identitas organisasi dan memberikan sumbangan praktis bagi multistakeholders dalam pengembangan kapasitas organisasi masyarakat sipil di tingkat basis dalam perannya sebagai Agent of Change dalam Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas. Diharapkan pula, hasil tulisan ini dapat memperkaya khazanah pengetahuan yang terkait dengan upaya pengurangan resiko bencana dan tata kepengurusan kebencanaan yang baik sebagai bagian dari praktik demokratisasi substantive dengan keterlibatan warga secara bermakna. Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Badan Koordinasi Nasional (BaKorNas) Pengurangan Bencana (2008),1 melaporkan bahwa data bencana antara tahun 2003-2006 telah terjadi 1429 kejadian bencana, yang dikatagorikan sebagai bencana hidrometeorologi yaitu bencana yang paling sering terjadi yakni 53,3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir sebesar 34.1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia, diikuti oleh tanah longsor (16 persen). Bakornas PB (2008) juga melaporkan bahwa meskipun frekuensi kejadian bencana geologi seperti gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi hanya sebesar 6,4 persen, namun bencana macam ini menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar terutama akibat gempa bumi yang diikuti tsunami di Provinsi NAD dan Sumut tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi yang besar yang melanda Nias, Sumut pada tanggal 29 Maret 2005, serta gempa bumi Sumatera Barat yang terjadi bulan September 2009. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009,2 merujuk pentingnya dilaksanakan Kerangka Aksi Hyogo sebagai hasil konferensi dunia untuk pengurangan bencana di Kobe, Jepang, tahun 2005.
T
1
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 20032006. 2 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana 20062009.
Abdul Jalil, Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi |
133
Indonesia merupakan salah satu yang menyepakati Hyogo Framework for Action/HFA untuk pelaksanaan program PRB yang berjangka waktu 10 tahun. Salah satu sasaran strategis Kerangka Aksi Hyogo adalah pengembangan dan penguatan lembaga-lembaga, mekanisme dan kapasitas mereka untuk membangun ketahanan warga terhadap bahaya bencana. Dalam kaitan kebencanaan, agama dan budaya menjadi spirit dan penggerak motivasi maupun aksi pemulihan. Agama mempunyai nilai-nilai ajaran ilahiyah, dan budaya memiliki nilai-nilai yang telah dibentuk oleh komunitasnya. Pelembagaan keduanya diorganisir oleh para aktor dengan kendaraan organisasi untuk pencapaian visi dan misi keduanya melalui program, anggaran dan sumberdaya manusia. Keberhasilan pengorganisasian sumberdaya keduanya merupakan modal yang dapat memberntuk identitas organisasi keduanya. Demikian halnya bagi pencapaian program Pengurangan resiko Bencana Berbasis Komunitas. B. Memahami Identitas Organisasi dalam Pengurangan Resiko Bencana berbasis Komunitas (PRBK) Richard Scott,3 menafsirkan suatu kelembagaan dalam beberapa postulat dasar, yaitu: 1) institusi sosial merupakan struktur yang telah mencapai derajat kelenturan yang tinggi, (2) institusi terdiri dari sejumlah elemen seperti: kultural-kognitif, noratif, dan regulatif, yang membentuk pilar-pilar institusi, (3) institusi ditransformasikan dari berbagai macam instrument, termasuk di dalamnya sistem simbolik, sistem relasi, rutinitas, dan artefak, (4) institusi dijalankan dengan tingkatan jursdiksi dari sistem yang esar ke dalam hubungan yang lebih interpersonal, dan (5) institusi tidak hanya diterjemahkan sebagai sebuah stabilitas tetapi juga sebuah proses perubahan yang terus bertambah dan berkelanjutan. Dari kelima postulat dasar tersebut dapat ditarik benang merah bahwa suatu kelembagaan dan merupakan suatu hasil pengorganisasian ditentukan oleh tata nilai yang beroperasi dengan kerangka lojik tertentu. Tata nilai beroperasi melalui kerangka kognitif. Penjelasannya menyebutkan bahwa kerangka kognitif terbangun dari konsepsi efektif, 3
W. Richard Scott, Institutions and Organization (Second edition). Thousand Oak, (London-New Delhi: Sage Publication), 2001, hlm.48.
134 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 konsepsi efisien, konsepsi responsive, dan konsepsi sustainabilitas. Keempat konsepsi tersebut menjadi rujukan dalam melakukan formulasi kebijakannya. Apabila keempat konsepsi di atas menjadi nilai dasar bekerjanya suatu organisasi, maka konsepsi efektif, konsepsi efisien, konsepsi responsif, dan konsepsi sustainabilitas dapat berperan sebagai pembentukan identitas organisasi (Organization-ID), yang mempunyai peran signifikan dalam membangun struktur adaptif sebuah organisasi terhadap lingkungannya. Organisasi keagamaan maupun budaya di berbagai daerah Indonesia mempunyai basis kewargaan di tingkat lapisan bawah masyarakat. Organisasi-organisasi tersebut kebanyakan sudah melembaga di dalam masyarakat karena sudah ada sejak lama, ada manfaat sosial dan mendapatkan dukungan dari warga pengikutnya maupun dari pemerintahan dan badan-badan swasta maupun nir-laba. Berkaitan dengan kebencanaan, mereka telah menunjukkan sumbangan mereka baik pada saat tanggap darurat maupun rehabilitasi dan rekonstruksi di berbagai daerah. Semestinya mereka juga banyak berperan di dalam program PRB. Berbagai latar belakang tersebut menjadi dasar bagi banyak pihak untuk melibatkan organisasi masyarakat keagamaan maupun budaya dalam kerangka programatik pengurangan resiko bencana berbasis komunitas. Desa Mulyodadi Kecamatan Bambanglipuro Kabupaten Bantul,4 termasuk daerah yang mempunyai potensi bencana, antara lain gempa bumi, banjir, dan kekeringan. Hasil pemetaan rawan bencana ERA Bappenas/UNDP (2008) menemukan bahwa pada tataran desa, Mulyodadi -sebagai sebuah desa yang mempunyai potensi kebencanaan gempa bumi, banjir dan kekeringan--pada tahun anggaran 2007/2008, desa ini telah menerima program dari prakarsa program ERA Bappenas/UNDP untuk penyiapan Desa Tangguh melalui serangkaian aktifitas penguatan kapasitas 4
Sebagian besar data ini pernah penulis gunakan untuk Call for Paper seminar Perubahan Iklim dan Mitigasi Dari Tinjauan Multidisiplin oleh Pasca UGM. Lihat Abdul Jalil, Deliberasi Bagi Pembentukan Identitas Organisasi Keagamaan & Budaya Dalam Pengurangan Resiko Bencana Berbasis Komunitas (Prbk) Di Desa Mulyodadi, Kecamatan Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Makalah terpilih dalam Poster Session pada Seminar Nasional “Perubahan Iklim di Indonesia” Mitigasi dan Strategi Adaptasi dari Tinjauan Multidisiplin, 13 Oktober 2010 kerjasama antara UGM-BNPB-Kementerian Kelautan dan Perikanan-LSM Kemitraan didukung oleh United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR).
Abdul Jalil, Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi |
135
pemerintahan desa untuk mitigasi bencana dengan output meliputi: Peta Desa Rentan Bencana (hasil RRA dan VCA), Kesepahaman Multi pihak desa, data dasar, potensi ekonomi, serta hasil pemetaan yang tertuang di dalam profil desa; serta Perdes Desa Mulyodadi Nomor 3 tahun 2008 tentang RPJMD Desa Mulyodadi yang telah mengadopsi perspektif mitigasi bencana. Pemda Kabupaten Bantul melalui Kesbanglinmas (2009) telah menyusun kebijakan/program terkait kebutuhan mitigasi dan penanggulangan bencana. Salah satunya adalah dukungan ERA Bappenas/UNDP dengan prakarsa DESA TANGGUH. Saat ini diperlukan pelaksanaan kebijakan/program pengembangan desa tangguh tersebut agar dapat dikonstruksikan dan dijadikan media pembelajaran bagi para pihak baik di daerah sendiri maupun kabupaten lainnya. Tingginya tingkat ancaman dan kerentanan masyarakat di desa Mulyodadi, maka desa tersebut mendapatkan pendampingan dari berbagai pihak untuk pelaksanaan program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK). Keberadaan organisasi warga dari berbagai latar belakang kepentingan utamanya keagamaan dan budaya diakui bermakna dalam pelaksanaan program tersebut. Paparan di atas menunjukkan urgensi keberadaan dan kapasitas suatu organisasi keagamaan dan atau budaya di tingkat basis warga masyarakat pedusunan dalam keterlibatannya secara aktif pada program penanggulangan bencana. C. Kerangka Pembentukan Identitas Organisasi Secara umum, kerangka ini bertujuan untuk membangun konstruksi praktik deliberatif dalam pembentukan identitas organisasi masyarakat sipil dalam kerangka programatik Pengurangan Resiko Bencana di Indonesia. Hal tersebut dimaksudkan untuk pencapaian keberhasilan studi pembentukan kebijakan publik secara deliberatif yang mampu menyeimbangkan penekanan aspek kepolitikan dan ekonomisasi sumberdaya-sumberdaya sosial, budaya, politik, dan ekonomi dengan kondisi obyektif warga serta kearifan local yang ada. Dalam pemikiran ini tersimpul penegasan tentang perlunya politik pembentukan kebijakan publik dan perancangan program perkuatan kapasitas organisasi masyarakat sipil yang mengedepankan nilai-nilai budaya dan kearifan bangsa serta kekayaan sumberdaya lokal, sebagai acuan untuk memperkuat harkat dan
136 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 martabat manusia dan ke-indonesiaan dalam setiap super-goal pembuatan kebijakan dan program mitigasi bencana. Lebih luasnya, kerangka ini bertujuan : a. Mengetahui prinsip-prinsip deliberatif di dalam pembentukan identitas organisasi keagamaan/budaya pada siklus tata kepengurusan kebencanaan yang baik di tingkat desa. b. Mengetahui tingkat pelembagaan dan kinerja organisasi keagamaan/budaya dalam mengelola program PRB c. Mengetahui kapasitas organisasi keagamaan/budaya yang memiliki karakter efektif, efisien, responsif dan sustainabel dalam mengelola kegiatan dalam kerangka program PRB. d. Mengetahui kapasitas organisasi keagamaan/budaya dalam membangun mekanisme early warning system secara internal dalam pengelolaan program PRB. D. Pengurangan Resiko Bencana (PRB) dalam berbagai Tinjauan Pengurangan Resiko Bencana adalah sebuah pendekatan sistematis untuk mengidentifikasi, mengkaji dan mengurangi risiko-risoko bencana. PRB bertujuan mengurangi kerentanan-kerentanan sosial ekonomi terhadap bencana dan menangani bahaya-bahaya lingkungan maupun bahaya-bahaya lain yang menimbulkan kerentanan. PRB merupakan tanggung jawab lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang pembangunan maupun lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan dan PRB harus menjadi terpadu dari pekerjaan-pekerjaan semacam ini, bukan sekedar kegiatan tambahan atau kegiatan terpisah yang dilakukan satu-dua kali saja. Sistem atau ketahanan masyarakat dapat dipahami sebagai : 1. Kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan , melalui perlawanan atau adaptasi. 2. Kapasitas untuk mengelola ,atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu,selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka 3. Kapasitas untuk memulihkan diri atau “melentingkan balik” setelah suatu kejadian. Fokus pada ketahanan berarti memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri mereka sendiri dan pada cara-cara untuk memperkuat kapasitas mereka, Masyarakat adalah
Abdul Jalil, Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi |
137
suatu yang dinamis , orang dapat berkumpul bersama untuk tujuan-tujuan tertentu yang sama dan berpisah kembali segera setelah tujuan-tujuannya tercapai. Kerangka Aksi Hyogo sebagai hasil konferensi dunia untuk pengurangan bencana di Kobe, Jepang, tahun 2005, menyepakati sebuah PRB yang berjangka waktu 10 tahun, yaitu Kerangka Aksi Hyogo salah satu sasaran stretagisnya adalah pengembangan dan penguatan lembagalembaga, mekanisme dan kapasitas untuk membangun ketahanan terhadap bahaya. Salah satu prioritas-prioritas aksinya adalah menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya keselamatan dan ketahanan di semua tingkat. Prioritas aksi terbagi dalam detail aksi berupa dialog jaringan lintas disiplin dan wilayah, penggunaan PRB yang standar, PRB dimasukkan kedalam kurikulum sekolah pendidikan formal dan informal, pelatihan dan pembelajaran di tingkat masyarakat, pemerintah local, sector-sektor sasaran, akses yang setara, kapasitas penelitian, multi risiko, social-ekonomi, penerapan, kesadaran masyarakat dan media5. Perubahan-perubahan tatananan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang muncul sebagai hasil pembangunan selama lebih seperempat abad terakhir diakui sangat merasuk ke sendi-sendi kehidupan masyarakat dan budaya bangsa. Pola dan orientasi hidup masyarakat bergeser dengan cepat yang muaranya menuju pendangkalan spirit dan nilai-nilai budaya bangsa dan peminggiran sumberdaya lokal. Proses banalisasi kehidupan ini menguat akibat nilai-nilai yang dikenalkan melalui praksis pembangunan yang seragam. Bahkan seringkali konsepsi pembangunan itu sendiri dirumuskan tidak atas dasar pemahaman masyarakat, pelipatgandaan sumberdaya lokal dan kristalisasi nilai-nilai yang berkembang di dalam budaya bangsa. Konsekuensi logis dari situ adalah munculnya bentuk marjinalisasi sumberdaya lokal dan budaya bangsa oleh penerapan sepihak nilai-nilai perubahan yang dikemas dalam kebijakan publik dan atau program pembangunan. Konsep-konsep nilai dan praksis pembangunan yang dirancang seragam untuk semua komunitas dengan budaya yang heterogen sudah menggerogoti daya tahan sosial masyarakat yang bersangkutan, dan 5 Hyogo Framework for Action/HFA, 2005-2015 pada http:// gfdrr. Org / docs /HFA_ Guide _Words –into –Action.pdf diakses pada 16 Maret 2013
138 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 pada kasus-kasus tertentu telah menjadi titik rawan bagi munculnya disintegrasi masyarakat. Sebagai misal dapat dikemukakan di sini pemberlakuan peraturan formal yang mereposisi peran pemerintahan desa tradisional yang secara berbeda antar daerah maupun antar entitas budaya menjadi pemerintahan desa formal, seragam, tersrtuktur secara kaku, sangat vertical dan sentralistik seperti yang ditulis oleh Sabri,6 Tindakan reposisi seperti ini tidak saja mengamputasi penuh jaring-jaring kepemimpinan informal lokal yang kuat, mengayomi dan didukung oleh massa komunitas setempat, tetapi telah menyuburkan suasana formalistik dan pelebaran jarak sosial antara pemimpin dan yang dipimpin, sehingga hubungan antar keduanya lebih sering didasari oleh aura ketidakpercayaan (distrust). Paradigma kebhineka-tunggal-ikaan telah terbukti menjadi perekat bangsa dalam bernegara. Oleh karenanya hal ini menjadi bahan diskusi yang menantang pemikiran para ahli agar dapat dilakukan kontekstualisasi nilai budaya bangsa dan mengarusutamakan pluralisme dan multikulturalisme guna menyiasati kecenderungan perubahan yang melingkupinya. Oleh karenanya perlu didalami lebih substantif bagaimana sebuah kebijakan publik di era otonomi daerah dan desentralisasi dibentuk atas dasar cara pandang kebhinneka-tunggal-ikaan sebagai sebuah alat ukur utama pembentukaannya. Operasionalisasinya harus mengacu pada rujukan tata dan sistem pembentukan peraturan perundangan yang dianalisa dengan pertimbangan mendalam atau sering disebut analisa kebijakan secara deliberatif. Beberapa alasan dasar yang dapat penulis tambahkan meliputi: Pertama, sebenarnya sudah cukup banyak tulisan dan kajian yang tidak luput menggugat kelangkaan praksis nilai-nilai budaya bangsa yang dinobatkan bernilai tinggi, luhur dan mulia itu di dalam kehidupan nyata. Bahkan pada sisi yang ekstrem terjadi distorsi yang sangat berbahaya, ketika satu atau beberapa nilai budaya dan mekanisme organisasinya dijadikan sebagai pedoman berperilaku dan bertindak dalam kehidupan masyarakat, seperti ditulis oleh Sembiring.7 Kedua, solidaritas sosial yang kuat diikat oleh suatu nilai budaya diyakini menjadi benteng pelindung 6 Sabri,RK, Aceh: Ketika Kursi Membentur Nurani” dalam buku ”Wawasan Budaya untuk Pembangunan, (Yogyakarta: UGM Press, 2004). 7 R. Sembiring, Pembangunan Birokrasi, Politik, Hankam dan Hukum: Telaah Dalam Perspektif Budaya Batak Kar. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003)
Abdul Jalil, Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi |
139
integrasi sosial pada masyarakat lokal. Namun ketika berhadapan dengan komunitas luar dan berbaur menjadi bagian dari komunitas besar bersama bernama bangsa, maka nilai-nilai solidaritas sosial tadi menyempit menjadi bentuk-bentuk privatisasi. Sembiring menuliskan bahwa orang semakin berpikir pada apa yang disebut "kekamian" dan bukan "kekitaan." Mencermati perkembangan ”kebangsaan” dewasa ini tampak agenda besar yang perlu ditindaklanjuti ditingkat pengkajian dan penyusunan kebijakan publik deliberatif dengan prinsip good governance yang alasnya adalah paradigma kebhinneka-tunggal-ikaan. Dari sejumlah temuan di berbagai daerah, ada suatu nilai yang dianut hampir sama oleh budaya di beberapa entitas masyarakat. Konsep Hamemayu Hayuning Bawono dalam budaya jawa mataram, Tri Hita Karana dalam budaya Bali, Sangkep Si Telu dalam budaya Batak Karo, dan Tungku Tigo Sajarangan dalam budaya Minangkabau memiliki nilai yang hampir sama, yakni keseimbangan hubungan, hubungan antar warga masyarakat. Tentu saja masih banyak nilai-nilai budaya lain yang tidak kurang memberikan inspirasi bagi semua pihak untuk mendesain dan membentuk kebijakan publik berbasis kekayaan budaya dan pengetahuan asli masyarakat. Peranan masyarakat dengan keragaman budaya dan kekayaan pengetahuan asli dalam mewujudkan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan daerah yang demokratis dan akuntabel sangatlah strategis. Otonomi daerah secara hakiki menjadikan: semakin dekatnya pelayanan pemerintahan daerah kepada masyarakat, sehingga sewajarnya apabila masayarakat berperan serta dalam pembuatan kebijakan. Implementasi good governance dalam kebijakan diberi nama deliberative policy analysis oleh Maarten Hajer dan Henderik Wagenaar. Keduanya mengembangkan konsep ini dari Frank Fischer dan John Forester yang menulis: The Argumentative Turn in Policy Analysis and Planning (1993). Konsep yang dikembangkan oleh Fischer dan Forester ini dikutip Hajer & Wagenaar sebagai berikut: “ ... and solid work in planning theory demonstrated how planners in concrete situations of conflict relied on interactive and deliberative and
140 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
giving reasons, exploring the implications of various value positions, and developing joint responsibility in concrete situations.8 Jika penulis pertama hanya melandaskan arti penting deliberative model dalam konteks terdapat konflik dalam masyarakat, Hajer & Wagenaar mengembangkan sebuah fakta ketika masyarakat demokrasi modern bergerak menuju network society, atau masyarakat jejaring.9 Sementara Miller,10 melaporkan hasil studinya bahwa praktik deliberasi dapat berujud beragam bentuk dialog warga secara kolaboratif, diskusi kritikal, dan bentuk-bentuk pembuatan kebijakan secara kritis. Ia menginformasikan hasilnya bahwa praktik pembuatan kebijakan secara deliberatif tidak selalu mampu memperoleh hasil seperti kemauan umum internal partai politik. Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa warga Negara yang aktif ikutserta pembuatan kebijakan secara kritis lebih kuat pengaruhnya dibanding warga Negara yang hanya berpikir dan memberikan pilihan atau suara terhadap suatu permasalahan dan dapat mencapai posisi yang lebih tinggi dan spesifik pada situasi tersebut. Data juga mengarahkan bahwa kita dapat menggunakan hal itu sebagaimana mereka menggunakan prosedur demokrasi tradisional. Selain itu, studi ini juga melaporkan bahwa pembuatan kebijakan deliberatif dengan tatap muka mampu memberikan kepercayaan diri warga Negara yang lebih dalam kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan pada saat dan saat yang akan datang. Apa yang mengingatkan kita untuk menemukan suatu pilihan yang tepat bagi kebijakan adalah evaluasi positip dari warga Negara atas kompetensi persoanal dalam situasi deliberatif khusus. Hal itu dapat memimpin upaya peningkatan secara meluas dalam internal politik, dan perubahan dalam perilaku politik terjadi karena deliberasi tersebut. Deliberatif dalam praktik demokrasi berbeda dengan konsepsi perwakilan di dalam praktik demokrasi, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan 8 M. Hajer dan H. Wagenar, Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in the Network Society; (New York: Cambrid Univercity Press, 2003), hlm. 7. 9 Antun Mardiyanta, Kebijakan Publik Deliberatif: Relevansi dan Tantangan lmplementasinya, Vol. 24, No. 3, 2011, hlm. 261-271. 10 William.L Miller, Political Participation and Voting Behaviour, Encyclopedia of Government and Politics, Vol. 1, hlm. 428.
Abdul Jalil, Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi |
141
perwakilan yang ketat, dan mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Pada demokrasi deliberative, musyawarah antara warganegara dan peneyelenggara pemerintahan untuk mencari cara terbaik atau untuk memecahkan suatu persoalan menjadi prosesi yang sangat penting. Melalui Konsultasi Publik, relasi antar warga Negara dan pemerintah dikembangkan menjadi hubungan yang lebih erat, sejajar dan saling memerlukan satu sama lain. Praktik Deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warganegara. Tujuannya untuk mencapai musyawarah dan mufakat berdasarkan hasilhasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga merupakan inti dari praktik deliberatif. Menurut Tim Forum Partisipasi Pembuatan Kebijakan berbasis Masyarakat (FPPM),11 deliberatif dalam praktik demokrasi mengutamakan kerjasama antar-ide dan antar pihak, sedangkan kata kunci demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antar-kelompok. Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberative atau demokrasi musyawarah lebih menonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan eliteelite politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warganegara. Dari prosesi tersebut dengan praktik delibertif akan dapat dihasilkan kinerja pembentukan dan pelaksanaan suatu kebijakan dapat diminta tanggunggugat secara tepat oleh warganya. E. Simpulan Agama dan budaya menjadi spirit dan penggerak motivasi maupun aksi 11 Team penulis FPPM, Memfasilitasi Kebijakan Publik, Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (RPPT2CP2EPRPD), (Jakarta: FPPM, BIGS, USAID-DRSP dan Dirjen Bina Bangda Depdagri, 2007). Lihat juga http://id.shvoong.com/social-sciences/1725367-memfasilitasikonsultasipublik/ Diakses tgl 15 Mei 2009.
142 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013 pemulihan dalam berbagai bencana. Agama mempunyai nilai-nilai ajaran Ilahiyah, dan budaya memiliki nilai-nilai yang telah dibentuk oleh komunitasnya. Pelembagaan keduanya diorganisir oleh para aktor dengan kendaraan organisasi untuk pencapaian visi dan misi keduanya melalui program, anggaran dan sumberdaya manusia sehingga mampu beradaptasi dan mengelola lingkungan luarnya. Keberhasilan pengorganisasian sumberdaya keduanya merupakan modal yang dapat memberntuk identitas organisasi keduanya. Demikian halnya bagi pencapaian program Pengurangan resiko Bencana Berbasis Komunitas. Dalam praktek pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan bencana dan pengurangan resiko bencana, terkait dengan otonomi daerah, didapati adanya indikasi-indikasi bahwa banyak kebijakan daerah yang dipermasalahkan oleh masyarakat. Suatu amanat bahwa masyarakat berhak dan harus dilibatkan atau diikutsertakan dalam pembuatan kebijakan daerah, pelaksanaan program dan melakukan evaluasi atau pengkritisan terhadap kebijakan dan pelaksanaan program di daerah yang sudah ada dan atau yang akan diadakan serta kehendak partisipasinya harus ditampung dan ditindaklanjuti oleh DPRD, sesungguhnya telah dinyatakan dalam berbagai kebijakan. Demikian halnya bagi organisasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam program Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Resiko Bencana telah dinyatakan di dalam peraturan/kebijakan dan disosialisasikan pula oleh berbagai pihak, khususnya pemangku pemerintahan. Permasalahan untuk mewujudkan amanat perlunya partisipasi masyarakat agar tidak bermasalah yakni praktik deliberatif sebagai perangkat yang tepat suatu organisasi keagamaan dan budaya di tingkat lokal sehingga telah melembagakan dan membentuk organisasi mereka, serta eksplorasi mengenai hasil-hasil dialog kolaboratif dari keberadaan mereka dalam proses membangun kesepahaman tentang pentingnya isu-isu manajemen program PRB (Pengurangan Resiko Bencana) yang kompleks, termasuk dapat menjadi mediasi konflik sosial dan agama, banyak sorotan berbagai pihak dan oleh karenanya diperlukan studi mendalam.
Daftar Pustaka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana Rencana Aksi Nasional
Abdul Jalil, Deliberalisasi bagi Pembentukan Identitas Organisasi |
143
Pengurangan Risiko Bencana 2003-2006. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana, Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Bencana 2006-2009 Hajer, M., Wagenar, H., Deliberative Policy Analysis, Understanding Governance in the Network Society, New York: Cambrid Univercity Press 2003. Hyogo Framework for Action/HFA, 2005-2015 pada http: //gfdrr.org /docs/ HFA _Guide_ Words-into-Action.pdf diakses pada 16 Maret 2013 Sabri, R.; Aceh: Ketika Kursi Membentur Nurani” dalam buku ”Wawasan Budaya untuk Pembangunan”, Yogyakarta: UGM Press, 2004. Scott, W. Richard, Institutions and Organization (Second edition). Thousand Oak, London-New Delhi: Sage Publication, 2001. Sembiring, R.; Pembangunan Birokrasi, Politik, Hankam dan Hukum: Telaah Dalam Perspektif Budaya Batak Kar, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003. Team penulis FPPM, , Memfasilitasi Kebijakan Publik, Refleksi Pengalaman Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (RPPT2CP2EPRPD), Jakarta: FPPM, BIGS, USAID-DRSP dan Dirjen Bina Bangda Depdagri 2007. United Nation, 2003, Expanding Public Space for The Development of the Knowledge Society, Report of the Ad Hoc Expert Group Meeting on Knowlwdge Systems for Development, The Department of Economic and Social Affairs Mardiyanta, Antun, Kebijakan Publik Deliberatif: Relevansi dan Tantangan lmplementasinya, Vol. 24, No. 3, 2011, hlm. 261-271. Miller, William, L, ‘Political Participation and Voting Behaviour’, Encyclopedia of Government and Politics, Vol. 1, hlm. 428. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
144 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
Disampaikan ucapan terima kasih kepada:
Sahiron Samsuddin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) Makwoodwad (Arizona State University) Ikhsan Tagok (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Selaku mitra bestari yang telah mereview artikel Esensia pada
Vol. XIV, No. 1, Januari 2013
146 | ESENSIA Vol. XIV No. 1 Januari 2013
9.
Prangko
Contoh untuk Footnotes dari jurnal untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, (2009), hlm. 5. Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”?, hlm. 9.
10. Contoh untuk Footnotes dari ensiklopedia untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito (ed.), The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 66. Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies”, hlm.68. 11. Contoh untuk footnotes dari internet: www.uinsuka.go.id. diakses pada tanggal 12 April 2001 12. Contoh untuk Footnotes dari al-Qur’an: QS. 13: 1-5. 13. Contoh untuk daftar pustaka:
Kepada Yth: Redaksi Jurnal Esensia d/a. Fakultas Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam (FUSAP) UIN Sunan Kalijaga Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta FORMULIR BERLANGGANAN Harap dicatat pada Redaksi Jurnal Esensia: Nama : …………………………………………………. Alamat : …………………………………………………. Telp/Hp. : …………………………………………………. Untuk* a. Langganan 1 tahun (2 edisi) b. Pembelian langsung untuk Vol. …. No. .... Uang langganan setahun Rp. 60.000,-** (2 edisi) akan kami kirim melalui Nomor Rekening 1677019115 BSM KCP Ambarukmo Yogyakarta a/n. Muhammad Alfatih.
Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, Yogyakarata: Suka Press, 2006.
Pelanggan,
Martin, Richard C. “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito (ed.), The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, Oxford: Oxford University Press, 2004.
……………………….
Noor, Farish A. “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009.
* Lingkari yang dimaksud ** Harga sudah termasuk ongkos kirim *** Formulir ini bisa dikirim melalui fax 0274-512156
Catatan Untuk Para Penulis
Esensia menerima tulisan dalam bentuk artikel/makalah ilmiah dan resensi buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dengan ketentuan sebagai berikut. 1. Artikel/makalah ilmiah belum pernah dipublikasikan/diterbitkan dalam jurnal atau buku 2. Artikel/makalah ilmiah dalam tema ilmu-ilmu keusuluddinan yang meliputi Filsafat (Islam), Teologi/Kalam, Tafsir-Hadits, Pemikiran Islam, Studi Agama (Sosiologi dan Perbandingan Agama). 3. Jumlah halaman artikel/makalah tidak lebih dari duapuluh halaman dalam kertas A4 dan ditulis dalam MS word dalam bentuk soft copy dan hard copy. 4. Artikel/makalah ilmiah disertai dengan abstrak, dan nama lengkap penulis berikut institusinya. 5. Kutipan lebih dari lima baris ditulis dalam format satu spasi, tidak perlu diberi tanda kutip atau cetak miring. Kutipan kurang dari lima baris diberi tanda apostrof (“) atau ditulis miring. 6. Kutipan nama, kosa kata Arab yang belum terserap menjadi bahasa Indonesia harus ditranslitrasikan sesuai dengan kekhasan jurnal Esensia. 7. Rujukan bibliografis makalah disusun dalam bentuk footnotes dan daftar pustaka sesuai dengan kekhasan jurnal Esensia. Di dalam menulis footnotes untuk pertama kalinya hendaknya disusun dengan informasi yang jelas dan utuh seperti nama lengkap penulis, nama buku lengkap dengan ditulis miring, nama kota penerbit, nama penerbit, serta tahun penerbitan dalam tanda kurung, dan nomor halaman. Sedangkan untuk perujukan berikutnya atas rujukan yang sama cukup nama, judul utama buku/artikel, dan nomor halaman. Jurnal Esensia tidak menggunakan pola rujukan yang menggunakan op-cit atau loc-c it, tetap boleh menggunakan ibid. 8. Contoh untuk footnotes dari buku untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya;
Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, (Yogyakarata: Suka Press, 2006), hlm. 45. Burhanuddin Daya, Pergumulan Timur Menyikapi Barat, hlm. 45. 9. Contoh untuk Footnotes dari jurnal untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009, hlm. 5. Farish A. Noor, “Re-Orienting the “West”?, hlm. 9. 10. Contoh untuk Footnotes dari ensiklopedia untuk rujukan pertama kali dan perujukan berikutnya; Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito ed., The Encyclopedia of Modern Islamic World , vol. I, Oxford: Oxford University Press, 2004, hlm. 66. Richard C. Martin, “The History of Islamic Islamic Studies”, hlm.68. 11. Contoh untuk footnotes dari internet: www.uinsuka.go.id. diakses pada tanggal 12 April 2001 12. Contoh untuk Footnotes dari al-Qur’an: QS. 13: 1-5. 13. Contoh untuk daftar pustaka: Daya, Burhanuddin. Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar-dasar Oksidentalisme, Yogyakarata: Suka Press, 2006. Martin, Richard C. “The History of Islamic Islamic Studies” dalam John L. Esposito ed., The Encyclopedia of Modern Islamic World, vol. I, Oxford: Oxford University Press, 2004. Noor, Farish A. “Re-Orienting the “West”? The Transnational Debat on the Status of the West in Debats among Islamist Intellectual and Student from the 1970s to the Present” dalam al-Jami’ah, Vol.47, No. 1, 2009
14. Transliterasi Bahasa Arab A. Transliterasi Huruf
א
a
ز
z
ق
q
b
س
s
k
t
ش
sy
ل
l
s\
ص
s}
م
m
ج
j
ض
d}
ن
n
h}
ط
t}
h
kh
z}
و
w
د
d
ع
‘
y
ذ
z\
غ
gh
r
f
B. Ta> marbu>tah di akhir kata, bila dimatikan, ditulis h, dan bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis t. C. Translitrasi bacaaan: 1. Pendek : fathah ditulis a, kasrah ditulis i,dan dammah ditulis u 2. panjang : fathah a>, kasrah ditulis i>, dan dammah ditulis u> 3. tasydid : huruf yang bertasydid ditulis rangkap D. Ayat Al-Qur’an, Hadis, atau teks berbahasa Arab yang ditulis sesuai dengan prononsiasinya dalam tulisan Latin harus dicetak miring dan ditranslitrasikan sesuai aturan di atas.