ANALISIS EFEKTIVITAS JALUR PEMBIAYAAN DALAM MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA DENGAN METODE VAR/VECM
Dini Hasanah Program Studi D4-Keuangan Syariah
Abstract This study used VAR/VECM method to analyzed effectiveness of monetary policy transmission mechanism in Indonesia through sharia financing channel period of 2006:01-2010:06. The effectiveness was measured by two indicators, they are how fast or how many time lag needed and how strong the variables of sharia financing channel response the shock of rSBIS and other variables until the realization of final target monetary policy. The result of the study shows that response velocity of variable in sharia financing channel towards shock instrument of monetary policy (rSBIS) until reach the final target about 4 months, but the responses are quiet weak. From all variables in the system, sharia financing variable has strong influence to other variables. Therefore, sharia financing channel is the potential effective channel in transmission mechanism monetary policy to reach final target monetary policy. However, because of the market share of Islamic banking was still low and the sharia system was still not perfect, then the influence of other variables was still relatively weak. This study recommended that Bank Indonesia still considering financing channel as an alternative channel in transmission mechanism of monetary policy because based on theory, sharia financing based on profit and loss sharing can synchronize between growth in real sector and monetary sector. Keywords: Monetary Policy, Impulse Response Function and Variance Decomposition.
1
2
1.1 Pendahuluan Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Untuk mencapai tujuan itu, Bank Indonesia menetapkan suku bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi. Namun jalur atau transmisi dari keputusan BI rate sampai dengan pencapaian sasaran inflasi tersebut sangat kompleks dan memerlukan waktu (time lag). Mekanisme bekerjanya perubahan BI Rate sampai mempengaruhi inflasi tersebut sering disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter. (www.bi.go.id) Permasalahan
mengenai
Mekanisme
Transmisi
Kebijakan
Moneter
(MTKM) masih merupakan topik yang menarik dan menjadi perdebatan, baik di kalangan akademisi maupun para praktisi di bank sentral. Menariknya mekanisme transmisi kebijakan moneter selalu dikaitkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi ekonomi riil disamping pengaruhnya terhadap harga. Kedua, jika jawabannya ya, melalui mekanisme transmisi apa pengaruh kebijakan moneter terhadap ekonomi riil tersebut terjadi (Bernanke and Blinder, 1992 dan Taylor, 1995 dalam Natsir) Permasalahan mengenai MTKM tersebut semakin berkembang dan bertambah alternatif penyelesaiannya. Hal ini seiring dengan dikeluarkannya UU Bank Indonesia No. 23 tahun 1999 yang telah diubah dalam UU No. 3 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa Bank Indonesia diberi amanah sebagai otoritas moneter ganda yang dapat menjalankan kebijakan moneter konvensional maupun syariah. Oleh karena itu, transmisi kebijakan moneter pun semakin berkembang jalurnya, seperti jalur bagi hasil sebagai komplemen dari jalur suku bunga dan jalur pembiayaan perbankan syariah sebagai komplemen dari jalur kredit perbankan. Karena sistem keuangan di Indonesia didominasi oleh perbankan (konvensional dan Syariah), maka transmisi kebijakan moneter ganda melalui jalur kredit/pembiayaan perbankan menjadi penting. (Ascarya, 2010) Munculnya tugas baru Bank Indonesia yang dapat menjalankan kebijakan moneter syariah ini menjadi topik yang menarik untuk diteliti. Bagaimana gambaran alur transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan
3
dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter? Bagaimana efektivitas jalur pembiayaan dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter tersebut? Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu berapa besar kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan berapa kekuatan variabelvariabel pada masing-masing jalur merespons adanya perubahan (shock) instrumen kebijakan moneter (rSBIS) dan variabel lainnya hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter. (Natsir, 2008) Kedua indikator tersebut dapat dilihat pada instrumen VAR/VECM yang terdiri dari impuls response function dan variance decomposition. Oleh karena itu penulis mengambil judul Tugas Akhir “Analisis Efektifitas Jalur Pembiayaan dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia dengan Metode VAR/VECM”. Dalam penulisan Tugas Akhir ini terdapat beberapa tujuan yang hendak dicapai, yaitu : 1. Mengidentifikasi gambaran alur mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan syariah. 2. Mengetahui pola hubungan antarvariabel dalam alur mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan syariah. 3. Mengetahui efektifitas jalur pembiayaan perbankan syariah dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. 4. Mengetahui peran pembiayaan perbankan syariah dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter. l 1.2 Kerangka Pemikiran Dalam penjelasan PBI No. 10/36/PBI/2008 disebutkan bahwa dalam rangka mendukung tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, Bank Indonesia dapat melaksanakan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008. Salah satu ukuran keberhasilan pencapaian tujuan
4
dimaksud adalah laju inflasi tahunan yang terkendali yang ditetapkan sebagai sasaran akhir dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia di bidang moneter. Penargetan inflasi dapat dikatakan identik dengan penargetan output, karena tingkat inflasi yang menjadi target akan bersesuaian dengan laju pertumbuhan output tertentu. (Maski, 2007:65). Hal tersebut didukung oleh ekonomi klasik yang menyatakan peningkatan output sebanding dengan peningkatan harga. Hal ini pun relevan dengan teori endogenous uang dalam islam yang menyatakan adanya hubungan searah antara output dan tingkat harga. (Karim, 2008 : 209) Mekanisme Transmisi KebijakanMoneter Interaksi Tahap I BI
Interaksi Tahap II
Bank Syariah
Makroekonomi
OPTS
Inflasi SBIS
PUAS
Pembiayaan Output
Instrumen
Sasaran Akhir Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
Keterangan : Kondisi Ideal Alur Transmisi Kemungkinan Hubungan Alur Transmisi Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
(Sumber : Hasil Olahan Penulis) Gambar 1. Kerangka Pemikiran Dalam rangka mencapai sasaran akhir kebijakan moneter, salah satu cara pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah adalah dengan pelaksanaan operasi moneter syariah melalui operasi pasar terbuka syariah yang instrumennya berupa SBIS. Pelaksanaan operasi moneter syariah ini untuk mempengaruhi tingkat imbal hasil Pasar Uang Antarbank Syariah (rPUAS). Tingkat imbal hasil PUAS sebagai instrumen likuiditas perbankan syariah akan mempengaruhi pembiayaan yang dikeluarkan oleh perbankan syariah. Pembiayaan yang
5
dikeluarkan oleh sektor perbankan akan mempengaruhi sektor riil yang diharapkan mampu mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. Ketika otoritas moneter mengimplementasikan kebijakan moneter, tidak dapat dipastikan variabel-variabel dalam transmisi kebijakan moneter bergerak ke arah yang sama sehingga diasumsikan variabel-variabel dalam mekanisme transmisi saling berhubungan, variabel yang satu saling mempengaruhi dengan variabel lainnya, yang digambarkan oleh garis putus-putus (Lihat Gambar 1). Fenomena ini dikenal dengan istilah black box. Proses dari operasi moneter syariah sampai pada sasaran akhir kebijakan moneter melibatkan pembiayaan perbankan syariah. Proses ini disebut sebagai mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur pembiayaan perbankan syariah. Dalam mentransmisikan variabel-variabel moneter syariah ke sasaran akhir kebijakan moneter, memerlukan dua kali interaksi, yaitu yang pertama, interaksi antarsektor keuangan, dalam hal ini bank sentral dengan perbankan syariah dan yang kedua, interaksi antara perbankan dengan sektor makroekonomi.
1.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah metode analisa deskriptif melalui studi kepustakaan yang didukung oleh analisa kuantitatif yaitu dengan menggunakan model ekonometrika, yaitu VAR (Vector Autoregression)/VECM (Vector Error Correction Model). Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah program Eviews 6.0. Sebagian besar studi empiris terkini yang mengkaji transmisi kebijakan moneter menggunakan VAR dan VECM (Fung, 2002; Warjio dan Agung, 2002 dalam Amaluddin, 2005). Hal ini terkait dengan dua hal, yaitu : 1. Keunggulan model VAR dan VECM yang hanya menuntut sedikit landasan teori (atheoritic) karena data menspesifikasikan struktur dinamis model. (Pindyck dan Rubinfeld, 1998; Warjio dan Agung, 2002; dan Julaihah dan Insukindro, 2004 dalam Amaluddin, 2005). 2. Ketidakjelasan mekanisme transmisi moneter yang oleh para ekonom seringkali dianggap sebagai “black box”. (Bernanke dan Gertler, 1995 dan Wijoyo Agung, 2002 dalam Amaluddin, 2005)
6
3. Instrumen VAR/VECM yaitu impuls response function dan variance decomposition mampu mengidentifikasi efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter. Asumsi VAR Model adalah semua variabel yang masuk ke dalam model bersifat stasioner I(0), apabila tidak stasioner I(d) dan memiliki kointegrasi maka model yang digunakan adalah Vector Error Correction Model (VECM). Model VAR/VECM dalam penelitian ini, yaitu: rSBISt = f(rSBISt-p, rPUASt-p, LFINt-p, LIPIt-p, INFLASIt-p) rPUASt = f(rSBISt-p, rPUASt-p, LFINt-p, LIPIt-p, INFLASIt-p) LFINt = f(rSBISt-p, rPUASt-p, LFINt-p, LIPIt-p, INFLASIt-p) LIPIt = f(rSBISt-p, rPUASt-p, LFINt-p, LIPIt-p, INFLASIt-p) INFLASIt = f(rSBISt-p, rPUASt-p, LFINt-p, LIPIt-p, INFLASIt-p) Sebelum menentukan menggunakan model yang tepat untuk data dalam penelitian ini. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu: a. Uji Stasioneritas Data Data ekonomi time series pada umumnya bersifat stokastik (memiliki trend yang tidak stasioner / data tersebut memiliki akar unit). Jika data memiliki akar unit, maka nilainya akan cenderung berfluktuasi tidak di sekitar nilai rata-ratanya sehingga menyulitkan dalam mengestimasi suatu model. (Rusydiana, 2009). Uji Akar Unit merupakan salah satu konsep yang akhir-akhir ini makin popular dipakai untuk menguji kestasioneran data time series. Uji ini dikembangkan oleh Dickey dan Fuller, dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller Test (ADF). Uji stasioneritas yang akan digunakan adalah uji ADF (Augmented Dickey Fuller) dengan menggunakan taraf nyata 5%. b. Uji Panjang Lag Optimal Estimasi VAR sangat peka terhadap panjang lag yang digunakan. Penentuan jumlah lag (ordo) yang akan digunakan dalam model VAR dapat ditentukan berdasarkan kriteria Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC) ataupun Hannan Quinnon (HQ). Selain itu pengujian panjang lag optimal sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR, sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak lagi muncul masalah autokorelasi. (Nugroho, 2009).
7
c. Uji Stabilitas Model VAR Stabilitas VAR perlu diuji terlebih dahulu sebelum melakukan analisis lebih jauh, karena jika hasil estimasi VAR yang akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan tidak stabil, maka Impulse Response Function dan Variance Decomposition menjadi tidak valid (Setiawan, 2007 dalam Rusydiana, 2009). d. Analisis Kausalitas Granger Uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui apakah suatu variabel endogen dapat diperlakukan sebagai variabel eksogen. Hal ini bermula dari ketidaktahuan keterpengaruhan antar variabel. Jika ada dua variabel y dan z, maka apakah y menyebabkan z atau z menyebabkan y atau berlaku keduanya atau tidak ada hubungan keduanya. Variabel y menyebabkan variabel z artinya berapa banyak nilai z pada periode sekarang dapat dijelaskan oleh nilai z pada periode sebelumnya dan nilai y pada periode sebelumnya. e. Uji Kointegrasi Jika fenomena stasioneritas berada pada tingkat first difference atau I(1), maka perlu dilakukan pengujian untuk melihat kemungkinan terjadinya kointegrasi. Konsep kointegrasi pada dasarnya untuk melihat keseimbangan jangka panjang di antara variabel-variabel yang diobservasi. Terkadang suatu data yang secara individu tidak stasioner, namun ketika dihubungkan secara linier data tersebut menjadi stasioner. Hal ini yang kemudian disebut bahwa data tersebut terkointegrasi. (Rusydiana, 2009) Metode yang dapat digunakan dalam menguji keberadaan kointegrasi ini adalah metode Johansen Cointegration. f. Model Empiris VAR/VECM Setelah diketahui adanya kointegrasi maka proses uji selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode error correction. Jika ada perbedaan derajat integrasi antarvariabel uji, pengujian dilakukan secara bersamaan (jointly) antara persamaan jangka panjang dengan persamaan error correction, setelah diketahui bahwa dalam variabel terjadi kointegrasi. Perbedaan derajat integrasi untuk variabel yang terkointegrasi disebut Lee dan Granger (Hasanah, 2007 dalam Rusydiana, 2009) sebagai multicointegration. Namun jika tidak ditemui fenomena kointegrasi, maka pengujian dilanjutkan dengan menggunakan variabel first difference. (Rusydiana, 2009)
8
VECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. (Departemen Keuangan, 2008). g. Analisis Impuls Response Function Analisis IRF adalah metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap guncangan (shock) variabel tertentu. IRF juga digunakan untuk melihat guncangan dari satu variabel lain dan berapa lama pengaruh tersebut terjadi. (Nugroho, 2009) Melalui IRF, respon sebuah perubaha independen sebesar satu standar deviasi dapat ditinjau. IRF menelusuri dampak gangguan sebesar satu standar kesalahan (standard error) sebagai inovasi pada sesuatu variabel endogen terhadap variabel endogen yang lain. Suatu inovasi pada satu variabel, secara langsung akan berdampak pada variabel yang bersangkutan, kemudian dilanjutkan ke semua variabel endogen yang lain melalui struktur dinamik dari VAR. (Nugroho, 2009) h. Analisis Variance Decomposition Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) atau dekomposisi ragam kesalahan peramalan menguraikan inovasi pada suatu variabel terhadap komponen-komponen
variabel
yang lain dalam VAR.
Informasi
yang
disampaikan dalam FEVD adalah proporsi pergerakan secara berurutan yang diakibatkan oleh guncangan sendiri dan variabel lain. (Nugroho, 2009)
1.4 Pembahasan a. Hasil Uji Stasioneritas Data Dalam pengujian menggunakan software eviews, panduan yang diambil adalah jika nilai ADF lebih besar dari nilai kritis, maka menerima Ho yang berarti terdapat akar unit dan tidak stasioner sebaliknya jika nilai ADF lebih kecil dari
9
nilai kritis (5%), maka menolak Ho yang berarti tidak ada akar unit dan stasioner. Tabel 1 menunjukkan rangkuman hasil uji ADF pada variabel penelitian. Tabel 1. Hasil Uji ADF Variabel
Unit Root Test in Level
Include in Test Equation
rSBIS
1st Difference
rPUAS
1st Difference
LFIN
1st Difference
LIPI
1st Difference
INFLASI
1st Difference
Intercept
Level Level
Intercept Intercept+Trend
Level Level
Intercept
ADF Test Statistic -1.472255 -7.506293 -3.289914 -5.459652 -2.337314 -4.895195 -2.669312 -9.925300 -4.165239 -7.338981
Critical Value 5% -2.917650 -2.918778 -2.917650 -2.921175 -3.498692 -3.498692 -2.917650 -2.918778 -2.917650 -2.919952
Keterangan Non-Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Non-Stasioner Stasioner Non-Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner
(Sumber : Hasil Olahan Penulis) Berdasarkan hasil Uji ADF sebagaimana terlihat pada Tabel 1, variabel rPUAS dan inflasi telah stasioner pada tingkat level. Sementara itu variabel rSBIS, LFIN dan LIPI tidak stasioner pada tingkat level. Untuk mendapatkan data stasioner, perlu dilakukan uji ADF pada tingkat first difference. Dari hasil uji tersebut diketahui bahwa seluruh variabel dalam penelitian telah stasioner pada derajat integrasi pertama I(1). b. Hasil Uji Panjang Lag Optimal Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Schwarz Information Criterion (SC) sebagai pedoman pemilihan lag optimal. SC terkecil menunjukkan lag optimal. Pemilihan menggunakan SC mengikuti Reimers (1992), menemukan bahwa SC berjalan baik dalam pemilihan lag yang optimal (Departemen Keuangan RI, 2008). Berdasarkan hasil uji lag optimal menggunakan kriteria SC, penulis meyakini untuk menggunakan panjang lag yang optimal adalah lag 1. Hasil penentuan panjang lag disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Panjang Lag Optimal Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2 3 4
-115.9183 93.52743 123.0870 165.4060 196.1297
NA 368.6244 46.11299 57.55383* 35.63949
8.67e-05 5.45e-08 4.69e-08 2.54e-08 2.37e-08*
4.836731 -2.541097 -2.723482 -3.416241 -3.645189*
5.027933 -1.393883* -0.620256 -0.357004 0.370059
4.909542 -2.104232 -1.922561 -2.251266* -2.116160
(Sumber : Hasil Olahan Penulis)
10
c. Hasil Uji Stabilitas Model VAR Untuk menguji stabil atau tidaknya estimasi VAR yang telah dibentuk maka dilakukan pengecekan kondisi VAR Stability berupa roots of characteristic polynominal. Suatu sistem VAR dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu (Gudjarati, 2003 dalam Rusydiana, 2009). Berikut ini hasil uji stabilitas VAR yang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Stabilitas Model VAR Lag 1 Root 0.997563 0.864072 0.489327 - 0.055057i 0.489327 + 0.055057i 0.164847
Modulus 0.997563 0.864072 0.492414 0.492414 0.164847
(Sumber : Hasil Olahan Penulis) Berdasarkan hasil uji stabilitas model VAR, model VAR yang dibentuk sudah stabil pada lag optimalnya, yaitu lag 1. Jadi, estimasi VAR yang akan digunakan untuk analisis IRF dan VD stabil dan valid. d. Hasil Analisis Kausalitas Granger Uji Kausalitas Granger antarvariabel penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan membuktikan arah hubungan jangka pendek antarvariabel (Wisarjono, 2007:244 dalam Natsir) dan (Hirawan, 2007 dalam Natsir, 2008). Dalam pengujian Kausalitas Granger, jika nilai probabilitas kurang dari 10%, artinya variabel tersebut mempunyai hubungan kausalitas Berdsasarkan hasil uji kausalitas granger ditemukan hubungan satu arah dari LIPI ke inflasi, LFIN ke LIPI, rPUAS ke LFIN, rSBIS ke LFIN dan rSBIS ke rPUAS. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tingkat imbal hasil SBIS di masa lalu mempunyai pengaruh terhadap perubahan volume penyaluran pembiayaan dan tingkat imbal hasil PUAS di masa sekarang. Tingkat imbal hasil PUAS di masa lalu pun mempunyai pengaruh terhadap volume penyaluran pembiayaan di masa sekarang. Perubahan volume pembiayaan di masa lalu pun mempunyai pengaruh terhadap tingkat produksi industri di masa sekarang dan tingkat produksi industri di masa lalu mempunyai pengaruh terhadap inflasi di masa
11
sekarang. Gambar 2 di bawah ini menampilkan ringkasan hasil uji kausalitas Granger. rSBIS
rPUAS
LFIN
LIPI
INFLASI
(Sumber : Hasil Olahan Penulis) Gambar 2. Bagan Hasil Uji Kausalitas Granger e. Hasil Uji Kointegrasi Dalam uji Johansen, penentuan kointegrasi dilihat dari nilai trace statistic dan max eigen statistic setelah didahului dengan mencari panjang lag yang akan diketahui. Nilai trace statistic dan max eigen statistic yang melebihi nilai kritisnya mengindikasikan bahwa terdapat kointegrasi dalam model yang digunakan. Berdasarkan uji kointegrasi Johansen’s terhadap seluruh variabel pada sistem persamaan dapat diketahui jumlah hubungan kointegrasi yang mungkin menurut Trace Test dan Max-Eigenvalue Test adalah sebagai berikut :
Trace Test mengindikasikan terdapat 1 persamaan kointegrasi pada level 5%.
Max-Eigenvalue Test mengindikasikan terdapat 1 persamaan kointegrasi pada level 5%. Berdasarkan analisis ekonometrik di atas dapat dilihat bahwa di antara
kelima variabel dalam penelitian ini, terdapat satu kointegrasi pada tingkat signifikansi 5%. Dengan demikian, dari hasil uji kointegrasi mengindikasikan bahwa di antara pergerakan rSBIS, rPUAS, LFIN, LIPI dan inflasi memiliki hubungan stabilitas/keseimbangan dan kesamaan pergerakan dalam jangka panjang. Dengan kalimat lain, dalam setiap periode jangka pendek, seluruh variabel cenderung saling menyesuaikan, untuk mencapai ekuilibrium jangka panjangnya. Berdasarkan hasil uji tersebut, maka model yang paling sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah VECM (Vector Error Correction Model). f. Model Empiris VECM Setelah didapati hubungan kointegrasi pada variabel penelitian, maka tahap selanjutnya adalah membentuk model VECM. VECM menunjukkan hubungan jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, variabel-variabel dalam
12
penelitian akan cenderung beradaptasi dengan variabel lainnya membentuk keseimbangan jangka panjang. Tabel 4 menyajikan hasil estimasi VECM dari variabel yang terlibat dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur pembiayaan. Tabel 4. Hasil Estimasi VECM Variabel Dependen
Variabel Independen
Koefisien
t- Statistik
Keterangan
rPUAS LFIN LIPI INFLASI
rSBIS(-1) rPUAS(-1) LFIN(-1) LIPI(-1)
Jangka Panjang -0.457735 -6.83118 0.481572 6.97637 0.774175 3.00833 -2.966418 -0.55257
Signifikan Signifikan Signifikan Tidak Signifikan
D(rPUAS) D(LFIN(-1)) D(LIPI(-1)) D(INFLASI(-1))
D(rSBIS(-1)) D(rPUAS(-1)) D(LFIN(-1)) D(LIPI(-1))
Jangka Pendek -0.085915 -0.59495 0.004626 2.09207 0.570971 2.08167 3.741534 1.83839
Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan
(Sumber : Hasil Olahan Penulis) Keputusan yang diambil dalam model VECM didasarkan pada tingkat signifikansi pada kesalahan yang dapat ditolerir α = 5% yaitu dengan membandingkan nilai t-statistik dibandingkan dengan t-tabel, dimana pada α = 5%, nilai t-tabelnya sebesar 1,6747. Jika t-hitung lebih besar dari t-tabel maka dinyatakan berpengaruh signifikan. Berdasarkan hasil estimasi VECM pada Tabel 4, dalam jangka panjang pengaruh rSBIS terhadap rPUAS signifikan namun tidak signifikan dalam jangka pendek. Pengaruh rPUAS terhadap pembiayaan dan pengaruh pembiayaan terhadap tingkat produksi industri baik dalam jangka panjang maupun pendek signifikan. Pengaruh produksi industri terhadap inflasi dalam jangka panjang tidak signifikan namun signifikan dalam jangka pendek. Hal tersebut menunjukkan tidak semua lag signifikan dalam setiap persamaan. Keadaan ini merupakan tipikal dari VAR. (Pyndick dan Rubinfeld, 1998 dalam Depkeu RI, 2008). g. Hasil Analisis Impuls Response Function (IRF) Hasil uji IRF ini memperlihatkan seberapa cepat waktu yang dibutuhkan suatu variabel merespon perubahan variabel lainnya. Tahapan-tahapan analisis efektifitas mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur pembiayaan adalah seperti Gambar 3 di bawah ini.
10
10 15
15 20
20
onse of RPUAS to RPUAS e of LFIN to RPUAS
0.8
0.8 0.8
0.80.8 0.8
0.8 0.8
0.8
0.4
0.4 0.4
0.40.4 0.4
0.4 0.4
0.4
0.0
0.0 0.0
0.00.0 0.0
0.0 0.0
0.0
-0.4 -0.4 -0.4pertama : panel (a) Tahap 5 10 15
-0.4 -0.4 -0.4
10 15
Response to Response of RSBIS toRSBIS RSBIS Response ofRPUAS RPUAS to LFIN Response ofof LFIN to LFIN
5 5
10 5 10
10 15 15
152020
-0.4 -0.4 -0.4 5
105 15 10 1 Response to5Cholesky Pada tahap ini diuraikan mengenai analisis hubungan antara instrumen
5
5 10
15 20 2020
13
20
Response of RPUAS totoRPUAS Response of toLIPI RPUAS Response of RPUAS to LIPI Response ofRSBIS LFIN
Response of RPUA Response Response oR Response ofofLF
kebijakan sebagai sasaran opersional kebijakan 1.2 moneter (rSBIS) dengan rPUAS1.21.2 1.2 1.2 1.2 .03 1.2 .03 1.2 .03
1.2
moneter. Gambar 3 panel (a) menunjukkan bahwa respon rPUAS terhadap shock .02
.020.80.8 0.8
0.8 0.8 0.8
0.8 .02 0.8 0.8
rSBIS berfluktuasi sampai bulan ke-10, semua respon positif dan mulai konvergen .01
.01 0.4
0.4
0.4
.01
0.4 0.4 mulai 0.4 bulan ke-11, akhir tahun pertama. 0.4 Panel (a) juga menunjukkan bahwa0.4
.00
.00
.00
diperlukan untuk 0.0 time lag 1 bulan bagi rPUAS 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 merespon shock rSBIS. Respon -.01
0.4
-.01
0.0
-.01
positif ini menunjukkan ketika tingkat imbal hasil SBIS naik, hal ini akan diikuti -0.4 -0.4 -.02 -0.4
10
10 15
15 20
20
-0.4 -0.4 -.02 -0.4
10 15 10 15 20 55 10 tingkat 10 15 20 20 20 pula oleh kenaikan hasil rPUAS. 5 15 imbal
Response to to RSBIS Response ofofRPUAS to RSBIS Response ofLFIN LFIN LFIN Response of LIPI to LFIN
ponse of LFIN to RPUAS se of LIPI to RPUAS .03
.02
15 20
Response ofofLFIN RPUAS Response RPUAS to RPUAS Response oftoLFIN to LIPI Response of LIPI to LIPI
.03 1.2 .03 .03
.02 .02 0.8
.02 .02 0.8 .02 .01 .01 0.4 .01 .00 .00 0.0 -.01 .00 -.01
.02
20
5
5 5 10
10 15 10 15 2020 10 15 15 20 20
-0.4 -.02 -.01 -.02
(a)
Response LFINtotoRSBIS RSBIS Response of LIPI Response of LIPI LFIN Response of INFLASI to to LFIN
ponse of LIPI RPUAS of INFLASI to to RPUAS
.2 .1
.01 .01 .00
.01 .01 .1 .00
.01
.00 -.01 .00
.0.00 -.01 .00 -.1 -.02 -.01 -.2 -.01
5
5 5 5 10
10 15 10 15 2020 10 15 15 20 20
Response of LIPI totoRSBIS (c)of INFLASI Response RSBIS Response of INFLASI to LFIN
onse of INFLASI to RPUAS
.02
.01 .2
5 5 10 10 15 15 20 20 5 10 10 15 15 20 20 5
Response of(d) LIPItotoRPUAS RPUAS Response of INFLASI Response of INFLASI to LIPI .03
.1 .00 .01
.0 .00 -.01 .00 -.1 -.01 -.02 -.2 -.01 5
5 10 10 15 5 10 1 5
Response of Response of INFLA Response of .03
.03 .4 .4 .4 (Sumber : Hasil Olahan Penulis) .4 .4 Gambar.33. .3 .3 .02 .02.3 .02 .3 Hasil Uji Impuls Response Function .2 .2 .2 .2 Tahap.2 kedua : panel (b) .01 .01 .01 .1 .1 .1 .1 .1 Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara pembiayaan perbankan .0 .0 .0 .00 .00.0 .00 .0 syariah -.1dengan tingkat imbal hasil Pasar-.1 Uang Antarbank Syariah (rPUAS). -.1 -.1 -.1 -.01 -.01 -.01 -.23 panel (b) menunjukkan bahwa respon -.2 -.2 Gambar pembiayaan perbankan syariah 5 10 15 20 5 10 15 20 -.2 -.2 5 10 15 20 5 10 15 20 5 10 15 20Respon ini semakin 5 10 15 20dengan terhadap rPUAS adalah negatif. melebar seiring
Response of INFLASI to RSBIS
5 10 10 15 5 10 1 5
Response of Response of LIPI Response Response of INF
.02 .02 .3
20
20
(b)
.02 .3.02 .02 .2 .01
-.02 -.01 -.2 -.01
15
-.02 -0.4 -.01 -.02 5
.02 .02 .02 .01
-.1
10
-.01
.03 .03 .4 .03
.0
15 20
.00
0.0 -.01 .00
Response LFIN to RPUAS Response of of LIPI to RPUAS Response of LIPI LIPI Response of INFLASI to to LIPI
.01
.03.03 .4 .03
.3
10 15
.00
0.4 .01
.03 .03 .03
.4
10
0.8 .02 .02
.01
5 5 10 10 15 15 20 20 5 10 10 15 15 20 20 5
5 105 10 151 5 10
Response of LFIN Response of R Response Response of L
.031.2 .03 .03
-0.4 -.02 -.01 -.02
10 15
-0.4 -0.4 -0.4 -.02 5
1.2 .03 .03
.01 .01 0.4 .01 .00 .00 0.0 -.01 .00 -.01
10
5 5 5 10 1010 15 15 1520 20 20 5 10 15 20
Response of INFLASI to RPUAS
.4
.4
.4
.3
.3
.3
.2
.2
.2
.1
.1
.1
.0
.0
.0
.4 .3 .2 .1 .0 -.1 -.2 5
5
10 5
10
15 1
Response of IN
14
bertambahnya waktu dan mulai konvergen pada bulan ke-8. Respon ini disebabkan oleh sifat dari Pasar Uang Antarbank Syariah sebagai instrumen likuiditas bagi perbankan syariah. Untuk mengoptimalkan portofolio, dana yang menganggur dapat ditempatkan pada instrumen likuiditas ini sehingga ketika imbal hasil PUAS tinggi bank syariah tidak usah repot-repot mengalokasikan dananya ke pembiayaan. Gambar 3 panel (b) ini pun menunjukkan bahwa diperlukan time lag 1 bulan bagi LFIN untuk dapat merespon shock rPUAS. Tahap ketiga : panel (c) Pada tahap ini diuraikan mengenai analisis hubungan antara Indeks Produksi Industri (IPI) dengan pembiayaan perbankan syariah (FIN). Respon IPI terhadap pembiayaan perbankan syariah berfluktuasi dan mulai konvergen pada bulan ke10. Respon IPI terhadap FIN positif. Hal ini sesuai dengan karakteristik perbankan syariah yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang tercermin pada meningkatnya produksi industri. Gambar 3 panel (c) pun menunjukkan bahwa diperlukannya time lag 1 bulan untuk IPI dalam merespon pembiayaan perbankan syariah. Tahap keempat : panel (d) Pada tahap ini diuraikan mengenai analisis hubungan indeks produksi industri dengan infasi. Respon inflasi terhadap IPI berfluktuasi dan mulai konvergen pada bulan ke-10. Pola hubungannya bersifat positif. Hal ini membuktikan bahwa sasaran akhir kebijakan moneter bersifat kontradiktif. Misalnya, usaha untuk mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja pada umumnya dapat mendorong peningkatan harga sehingga pencapaian stabilitas ekonomi makro tidak optimal. (Maski, 2007:61). Gambar 3 panel (d) ini pun menunjukkan diperlukannya time lag 1 bulan bagi inflasi untuk merespon LIPI. Dari hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui jalur pembiayaan perbankan syariah, sejak dari perubahan kebijakan moneter melalui shock rSBIS hingga terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter membutuhkan tenggang waktu atau dengan kecepatan 4 bulan. Untuk lebih jelasnya mengenai time lag dari shock rSBIS hingga
15
terwujudnya sasaran akhir kebijakan moneter dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini. rSBIS
rPUAS
1
1
LFIN
1
LIPI
INFLASI
1
(Sumber : Hasil Olahan) Gambar 4. Kecepatan Respon Variabel dalam MTKM Jalur Pembiayaan h. Hasil Analisis VD Setelah
menganalisis
perilaku
dinamis
melalui
impulse
response,
selanjutnya akan dilihat karakteristik model melalui variance decomposition. Pada bagian ini dianalisis bagaimana varian dari suatu variabel ditentukan oleh peran dari variabel lainnya maupun peran dari dirinya sendiri. Variance decomposition digunakan untuk menyusun forecast error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan antara variance sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain untuk melihat pengaruh relatif variabel-variabel penelitian terhadap variabel lainnya. Prosedur variance decomposition yaitu dengan mengukur persentase kejutan-kejutan atas masingmasing variabel. Berikut ini disajikan variance decomposition untuk waktu dua puluh empat periode ke depan atas masing-masing variabel pada Gambar 5.
Gambar 5. Hasil Uji Variance Decomposition per Panel (Sumber : Hasil Olahan Penulis) Berdasarkan Gambar 5 dapat terlihat bahwa rSBIS mampu menjelaskan rPUAS sebesar 32,66%. Peran rPUAS terhadap pembiayaan 30,14%. Pembiayaan mampu menjelaskan tingkat produksi industri sebesar 20,59%. Berbeda dengan yang lainnya, peran produksi industri terhadap inflasi sangat kecil, yaitu 2,96%. Tabel 5. Hasil Uji Variance Decomposition Rank 1 2 3 4 5
rSBIS rSBIS (67%) LFIN (27%) rPUAS (5,85%) LIPI (0,22%) Inflasi (0,14%)
Variance Decomposition of rPUAS LFIN LIPI LIPI (76%) LFIN (38%) LFIN (64%) rSBIS (32%) rPUAS (30%) LFIN (20%) rPUAS (16%) rSBIS (2%) rPUAS (2,8%) Inflasi (11%) Inflasi (1,52%) rSBIS (0,3%) LIPI (0,63%) LIPI (1,04%) Inflasi (0,2%)
INFLASI Inflasi (39%) LFIN (32%) rPUAS (23%) LIPI (2,96%) rSBIS (2,69%)
(Sumber : Hasil Olahan Penulis)
16
Hasil uji variance decomposition (VD) lain pun menyebutkan bahwa peran pembiayaan perbankan syariah dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter cukup besar apabila dibandingkan dengan variabel lainnya yang ada dalam sistem. Secara umum porsi penjelasan masing-masing variabel masih didominasi oleh dirinya sendiri, kecuali rPUAS yang besar pengaruhnya menurun seiring berjalannya waktu. Variabel pembiayaan mempunyai peran peringkat pertama atau kedua yang berperan terhadap variabel tersebut setelah variabel itu sendiri. Misalnya pada VD rSBIS, dalam jangka panjang, rSBIS mampu dijelaskan oleh rSBIS sendiri sebesar 66,9%, LFIN 26,79%, rPUAS 5,85%, LIPI 0,22% dan Inflasi 0,13%. Sementara itu, pada VD rPUAS, variabel pembiayaan mampu menjelaskan rPUAS pada peringkat pertama yaitu sebesar 38,11%, disusul oleh rSBIS 32,66%, rPUAS sendiri 16,83%, inflasi 11,74% dan LIPI 0,63%. Hasil uji variance decomposition ini dapat dilihat dalam bentuk kuantitatif (Tabel 5).
1.5 Simpulan dan Implikasi Simpulan Efektivitas jalur pembiayaan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia masih lemah. 1. Berdasarkan hasil uji kausalitas granger, maka dapat diidentifikasi jalur transmisi kebijakan moneter melalui pembiayaan perbankan syariah seperti pada gambar di bawah ini. rSBIS
rPUAS
LFIN
LIPI
INFLASI
2. Hasil uji impuls response function membuktikan pola hubungan satu arah rSBIS terhadap rPUAS positif, rPUAS terhadap pembiayaan negatif, pembiayaan terhadap produksi industri positif dan produksi industri terhadap inflasi positif. Ketika Bank Indonesia menerapkan kebijakan uang ketat dengan meningkatkan tingkat imbal hasil SBIS, hal ini akan diikuti oleh tingkat imbal hasil PUAS. Ketika tingkat imbal hasil PUAS naik, volume pembiayaan yang disalurkan ke sektor riil akan berkurang akibat adanya portofolio dana di PUAS. Pembiayaan turun akan berdampak pada
17
turunnya produksi industri yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat inflasi juga.
3. Efektivitas jalur pembiayaan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter dapat dilihat pada hasil uji impulse response function (IRF) dan variance decomposition (VD). Berdasarkan hasiil uji IRF, kecepatan respon rPUAS terhadap shock rSBIS membutuhkan jeda waktu 1 bulan. Begitu pula dengan respon pembiayaan terhadap rPUAS, tingkat produksi industri terhadap pembiayaan dan inflasi terhadap tingkat produksi industri. Sehingga secara keseluruhan dibutuhkan jeda waktu 4 bulan dari perubahan rSBIS untuk sampai pada perubahan tingkat inflasi. Berdasarkan hasil uji variance decomposition, secara keseluruhan, besar pengaruh antar variabel masih lemah. rSBIS mampu menjelaskan rPUAS sebesar 32%, rPUAS mampu menjelaskan LFIN sebesar 30%, LFIN mampu menjelaskan LIPI sebesar 20% dan LIPI mampu menjelaskan inflasi sebesar 2,9%. Dari variabel-variabel yang terlibat dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur pembiayaan, pengaruh LIPI terhadap inflasi sangat kecil.
4. Hasil uji variance decomposition lain pun menyebutkan bahwa peran variabel pembiayaan dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter cukup kuat apabila dibandingkan dengan variabel lain yang ada dalam sistem karena mampu menjelaskan variasi variabel-variabel yang terlibat dalam sistem pada peringkat pertama atau kedua setelah variabel yang bersangkutan.
18
Rank 1 2 3 4 5
rSBIS rSBIS (67%) LFIN (27%) rPUAS (5,85%) LIPI (0,22%) Inflasi (0,14%)
Variance Decomposition of rPUAS LFIN LIPI LIPI (76%) LFIN (38%) LFIN (64%) rSBIS (32%) rPUAS (30%) LFIN (20%) rPUAS (16%) rSBIS (2%) rPUAS (2,8%) Inflasi (11%) Inflasi (1,52%) rSBIS (0,3%) LIPI (0,63%) LIPI (1,04%) Inflasi (0,2%)
INFLASI Inflasi (39%) LFIN (32%) rPUAS (23%) LIPI (2,96%) rSBIS (2,69%)
Implikasi 1. Berdasarkan hasil penelitian mengenai peran pembiayaan perbankan syariah dalam mekanisme transmisi kebijakan moneter, studi ini merekomendasikan agar Bank Indonesia tetap mempertimbangkan jalur pembiayaan sebagai jalur alternatif pada mekanisme transmisi kebijakan moneter karena berdasarkan teori, pembiayaan perbankan syariah yang berbasis bagi hasil dapat menyelaraskan antara pertumbuhan sektor riil dan moneter. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur lainnya, seperti bagi hasil, nilai tukar dan ekspektasi inflasi agar dapat membandingkan jalur mana yang paling efektif dalam mencapai sasaran akhir kebijakan moneter. 3. Terdapat kekurangan dalam penelitian ini, diantaranya adalah variabel pembiayaan perbankan syariah tidak merinci berdasarkan akad yang digunakan maupun berdasarkan sektor penyaluran pembiayaan. Sehingga untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan studi lanjutan terkait hal tersebut agar dapat mengetahui akad dan sektor mana yang paling berkontribusi dalam efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Daftar Pustaka ‘Ayuniyyah, Qurroh, Noer Azam Achsani dan Ascarya. (2010). Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional. Jurnal Ekonomi Islam Republika Iqtishodia. Diakses tanggal 18 Juli 2011 pada website http://xa.yimg.com/kq/groups/22196706/130171057/name/IQTISHODIA+E DISI+2.pdf Amaluddin, Friady. (2005). Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter antara Bank Syariah dan Bank Konvensional. Skripsi pada Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Diakses 18 Juli 2011 pada website : www.lontar.ui.ac.id.
19
Ascarya, (2010). Peran Perbankan Syariah dalam Transmisi Kebijakan Moneter Ganda. Jurnal Ekonomi Islam Republika Iqtishodia. Diakses tanggal 18 Juli 2011 pada website http://xa.yimg.com/kq/groups/22196706/130171057/name/IQTISHODIA+E DISI+2.pdf Bank Indonesia. (2011). Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2010. Diakses tanggal 31 Maret 2011 pada website http://www.bi.go.id/web/id/Publikasi/Perbankan+dan+Stabilitas+Keuangan/ Laporan+Perbankan+Syariah/ Bank Indonesia. (2006-2010). Statistik Perbankan Syariah-Bank Indonesia (SPSBI). Diakses tanggal 17 November 2010 pada website http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Perbankan/Statistik+Perbanka n+Syariah/ Bank Indonesia. (2006-2010). Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia-Bank Indonesia (SEKI-BI). Diakses tanggal 17 November 2010 pada website http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+dan+Keuangan+In donesia/Versi+HTML/Sektor+Moneter/ Biro Pusat Statistik. 2011. Indeks Harga Konsumen dan Inflasi Bulanan di Indonesia, 2005-2011. Diakses tanggal 15 April 2011 pada website http://www.bps.go.id/aboutus.php?tabel=1&id_subyek=03 Departemen Keuangan RI. (2008). Analisis Hubungan Kointegrasi dan Kausalitas serta Hubungan Dinamis antara Aliran Modal Asing, Perubahan Nilai Tukar dan Pergerakan IHSG di Pasar Modal Indonesia. Jakarta : Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Departemen Keuangan RI. Fatwa DSN MUI Nomor 38/DSN-MUI/X/2002 Fatwa DSN MUI Nomor 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Akad Ju’alah. Hadi, Yonathan S. (2003). Analisis Vector Autoregression (VAR) terhadap Korelasi antara Pendapatan Nasional dan Investasi Pemerintah di Indonesia , 1983/1984 - 1999/2000.Jurnal Keuangan dan Moneter, Volume 6 Nomor 2. Hakim. Lukman dan Nopirin. (2001). Perbandingan Peranan Jalur Kredit dan Jalur Tingkat Suku Bunga pada Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter 1990-1999. Jurnal Sosiohumanika. Yogyakarta : Universitas gajah Mada. Hardianto, Erwin. (2005). Mekanisme Transmisi Syariah di Indonesia. Paper
20
Karim, Adiwarnan. (2008). Ekonomi Makro Islami. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. Liputan 6. (2008). Inflasi selama Mei 2008 menjadi 1,41 Persen. Diakses tanggal 18 Juli 2011 pada website http://berita.liputan6.com/read/190023/inflasi_selama_mei_2008_menjadi_ 141_persen Nachrowi, Djalal Nachrowi. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta : Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Natsir, M. (2008). Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia melalui Jalur Ekspektasi Inflasi Periode 1990:22007:1. Unhalu Kendari. Natsir, M. (2008). Analisis Empiris Efektivitas Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia melalui Jalur Nilai Tukar Periode 1990:2-2007:1. Unhalu Kendari. Natsir, M. (2008). Peranan Jalur Suku Bunga dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Unhalu Kendari. Nugroho, Ris Yuwono Yudo. (2009). Analisis Faktor-faktor Penentu Pembiayaan Perbankan Syariah di Indonesia : Aplikasi Model Vector Error Correction. Tesis pada Institut Pertanian Bogor. Peraturan Bank Indonesia No. 10/11/PBI/2008 tentang SBIS. Peraturan Bank Indonesia No. 10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah. Peraturan Bank Indonesia No. 9/5/PBI/2007 tentang PUAS. Prastowo, Nugroho, J. dan Donni Fajar Anugrah. (2007). Kerangka Kebijakan Moneter dalam Sistem Perbankan Ganda. Occasional Paper : Bank Indonesia.
Rusydiana, Aam Slamet. (2009). Mekanisme Transmisi Syariah pada Sistem Moneter Ganda di Indonesia. Bank Indonesia : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, April 2009. p.345-368 Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/16/DPM Tahun 2008. Undang-Undang No. 3/2004 tentang Bank Indonesia. Widiantoro, Rubbi. (2008). Inflasi Bulan Juni Masih Dibayangi Dengan Kenaikan Harga BBM. Harian Swaberita. Diakses pada tanggal 18 Juli 2011 pada website http://www.swaberita.com/2008/06/19/news/inflasi-bulan-junimasih-dibayangi-dengan-kenaikan-harga-bbm.html