Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel, 2005 ISBN : 979-95025-6-7
VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) : PENYAKIT BARU PADA TANAMAN KAKAO DI SULAWESI Ade Rosmana Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin
ABSTRAK Penyakit vascular streak dieback (VSD) merupakan penyakit relative baru di Sulawesi dan saat ini sudah meluas ke sejumlah daerah sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 2002 di Polmas dan Pinrang. Kerugian hasil akibat penyakit ini di Sulawesi belum banyak diteliti, namun tampaknya akan lebih besar bila dibandingkan dengan serangan penggerek buah kakao yang saat ini sudah terdistribusi secara luas, karena penyakit ini menyebabkan penggundulan tanaman. Usaha-usaha pengendalian harus segera dilakukan agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari. Pengaturan tanaman penutup merupakan salah satu cara yang baik untuk mengurungi perkembangan penyakit. Selain itu usaha mencari tanaman resisten terhadap penyakit ini harus segera dilakukan, misal dengan cara menseleksi di daerah terserang VSD. Penginfusan dengan menggunakan fungisida telah dicoba dan berhasil dalam menurunkan serangan oleh penyakit VSD, dengan demikian berprospek untuk digunakan dalam skala yang lebih luas. Kata kunci : VCD, penyakit baru, tanananaman kakao
PENDAHULUAN Kakao merupakan tanaman penting dan sumber pendapatan bagi kira-kira 400.000 keluarga petani di Indonesia. Dengan produksi yang tercatat sampai tahun 2000 yaitu sekitar 190 mt, Indonesia menempati posisi ke tiga dunia sebagai produser kakao setelah Pantai Gading dan Gana. Delapan puluh lima persen dari produksi ini berasal dari Sulawesi yang dihasilkan dari 500.000 ha pertanaman kakao (van Grinsven, 2003). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kakao di Sulawesi memegang peranan penting dalam perkembangan perkakaon di Indonesia. Produktivitas kakao di Sulawesi mencapai 1300 – 1500 kg biji kakao kering per hektar, namun selama 5 tahun terahir, produktivitas ini menurun sampai di bawah 1000 kg biji kering per hektar (Manwan et al., 2000; van Grinsven, 2003). Banyak faktor yang menyebabkan menurunnya produktivitas ini, di antaranya adalah masalah budidaya yang kurang intensif, penurunan vigor tanaman karena penuaan, serta hama dan penyakit tanaman. Hama dan penyakit memegang
peranan penting dalam penurunan produktivitas tersebut di atas sebagai berikut : a) penyakit busuk buah kakao (Phytophthora palmivora) yang keberadaannya sudah sejak lama diketahui. Menurut pengamatan bulan April 2005 di Pinrang, kehilangan hasil akibat penyakit ini dapat mecapai 55% berat biji kakao kering, b) hama penggerek buah kakao (Conopomorpha cramerella) yang diketahui pertama kali di Sulawesi pada tahun 1991. Penyakit ini sudah menyebar secara merata di seluruh Sulawesi dan diketahui dapat menurunkan produksi antara 25% sampai 40% (Manwan et al., 2000; Sulistiowaty, 2002; van Grinsven, 2003; Jaax, 2003), c) penyakit vascular streak dieback (Oncobasidium theobromae) yang pertama kali ditemukan pada tahun 2002 di daerah Polmas dan Pinrang. Karena penyakit ini relative baru di Sulawesi, data mengenai dampak ekonomi dari serangan penyakit ini masih belum banyak dikemukakan. Seperti diuraikan di atas bahwa organisme pengganggu tanaman kakao tersebut adalah masih relatif baru di Sulawesi maka bahasan makalah ini akan
1
Ade Rosmana : Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao
ditujukan pada OPT ini. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan masukan penting dalam usaha menanggulangi penyakit tersebut. PENYEBARAN DAN DAMPAK VASCULAR STREAK DIEBACK PADA PRODUKSI KAKAO Penyakit VSD hanya tersebar di daerah Asia-Oseania, pertama ditemukan pada akhir tahun 1930 an di Papua New Guinea. Kemudian penyakit ini menyebar ke negara Asia lainya dan sekarang terdapat di India Selatan, Pulau HainanCina, Burma, Thailand, Malaysia, Filipina, Indonesia, dan sejumlah pulau di Oseania (Wood dan Lass, 1985; Keane and Prior, 1991). Di Sulawesi, penyakit VSD pertama kali ditemukan di Kolaka pada tahun 1989 (Susilo, komunikasi pribadi), kemudian pada tahun 2002 ditemukan di PolmasPinrang dan sekarang tahun 2005 telah menyebar ke Luwu Utara, Luwu, Sidrap, Wajo, Soppeng, Bone, Maros, dan Pangkep dengan total areal terserang sekitar 34.000 ha (Data Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan) Kehilangan hasil akibat serangan VSD untuk Asia-Oseania pada tahun 2001 ditaksir mencapai 30 000 ton biji kering yang setara dengan US $ 20 000 000 (Bowers et al., 2001). Di Sulawesi kehilangan hasil oleh VSD belum banyak dianalisis, namun dari pengamatan di lapangan banyak tanaman menjadi gundul dan berakibat pada sedikitnya buah yang diproduksi. Penyakit ini nampaknya lebih berbahaya bila dibandingkan dengan serangan penggerek buah kakao, karena serangan VSD akan memperlemah tanaman yang berakibat tidak hanya pada penurunan produksi tanaman, tetapi juga secara perlahan dapat membunuh tanaman secara keseluruhan.
EKOSISTEM TANAMAN KAKAO DI SULAWESI Kakao pertama kali dibudidayakan di Sulawesi yaitu pada awal abad ke 19 di Minahasa, namun pada pertengahan abad 19 produksinya secara bertahap menurun akibat serangan hama penggerek buah kakao dan hama penghisap buah kakao (Wardoyo, 1980). Setelah sekian lama, tanaman kakao mulai dibudidayakan kembali di daerah Sulawesi lainya pada akhir tahun 1970an. Tanaman kakao dikembangkan oleh petani pada lahanlahan yang telah ditanami dengan tanaman lain seperti kelapa, durian, sengon, langsat, dan tanaman hutan. Dengan demikian tanaman kakao berkembang pada kondisi tertutup, dan ditambah lagi dengan naungan kanopi kakao menyebabkan mudah berkembangnya organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti Oncobasidium theobromae. Tanaman penutup ini berakibat pada berkurangnya pergerakan udara, mengurangi masuknya sinar matahari, dan meningkatkan kelembaban udara. Sistem zero shading telah dilakukan di Sabah Malaysia, namun ini dapat menekan perkembangan OPT pada lahan dengan kondisi yang superior. Sedangkan pada lahan marginal, zero shading menyebabkan tanaman menjadi rentan terhadap mati ranting, karena terkena secara langsung oleh sinar matahari (Chok, 2004). Hal yang sama diamati di Sulawesi, zero shading bisa dilakukakan pada lahan yang kandungan air tanahnya memadai sepanjang tahun, sedangkan pada lahan dengan kadar air yang kurang memadai tanaman kakao akan mati terutama di musim kemarau sebagai akibat penguapan dan intensitas sinar matahari yang tinggi. Oleh karena itu untuk lahan seperti yang terakhir, perlu pengaturan naungan agar dapat mengurangi perkembangan OPT dan sekaligus memperbaiki pertumbuan tanaman. Tanaman kakao akan tumbuh baik apabila
2
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel, 2005 ISBN : 979-95025-6-7
dalam sehari menerima penyinaran langsung selama 2 jam yaitu antara pukul 11.00-13.00 siang. Smith (1981) menyatakan bahwa tanaman kakao dibawah tanaman penutup yang tinggi seperti kelapa lebih sedikit terserang OPT bila dibandingkan tanaman kakao dengan tanaman penutup yang tidak terlalu tinggi seperti Leucaena. Penataan tanaman penutup atau tanaman pelindung sangat penting dalam mengurangi perkembangan penyakit VSD dan menjaga pertumbuhan yang baik tanaman kakao. Untuk tanaman kakao yang sudah ada di lapangan, diperlukan pemangkasan tanaman pelindung di awal musim hujan . Sedangkan untuk tanaman kakao baru yang akan ditanam di daerah terbuka, penanaman tanaman pelindung sebaiknya dilakukan satu tahun sebelum ditanam kakao. Penanaman tanaman pelindung yang bisa menjadi inang VSD perlu dihindari, sebagai contoh tanaman alpokat (Keane and Prior, 1991). Agar lebih praktis perlu dipikirkan pula penggunaan tanaman pelindung yang daunnya bisa mengkerut di musim hujan
dan mengembang di musim kemarau, sebagai contoh petai cina. ONCOBASIDIUM DAN SIKLUSNYA Penyakit VSD disebabkan oleh cendawan Oncobasidium theobromae (Basidiomycetes). Cendawan ini memproduksi basidiospora pada basidium yang berkembang pada cabang kakao yang terserang dan terjadi setelah tengah malam pada kondisi sangat lembab. Basidiospora disebarkan oleh angin dan bila spora ini datang pada permukaan yang kering, maka akan segera kehilangan viabilitasnya. Pada daun yang lunak dan mengandung tetesan air, basidiospora berkecambah cepat sekali dan tabung kecambah berpenetrasi pada epidermis dan kemudian masuk ke dalam xylem (Gambar 1). Dalam waktu 6 sampai 16 minggu yang tergantung pada umur tanaman kakao, gejala akan muncul pada daun ke 2 dan ke 3 dari pucuk. Bila hujan terus , maka perkecambahan terjadi dan akan mengalami siklus yang sempurna (Purdy, 2000; Frison et al., 1999).
Gambar 1. Hifa O.theobromae menginfeksi xylem, diwarnai dengan lactophenol cotton blue. (Dr C. Prior)
O. theobromae adalah parasit obligat, tetapi Musa (1983) mengembangkan medium air kelapa dan cendawan ini dapat tumbuh secara
terbatas (Gambar 2). Tanaman inang lainnya selain kakao yang sejauh ini diketahui adalah hanya alpokat (Persea Americana) (Keane dan Prior, 1991).
3
Ade Rosmana : Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao
Gambar 2. Hifa vegetatif dan monilioid O. theobromae dalam kultur. (Dr. M.A. Zainal Abidin)
GEJALA O. theobromae menginfeksi pucuk dan cabang kakao, tetapi gejala hanya terlihat pada daun yang tampak klorotik dan dapat berkembang pada gejala khas berupa belang hijau dengan latar belakang kuning. Pada tanaman yang sudah tua, gejala pada daun sering ditemukan pada bagian tengah cabang, sedangkan pada tanaman muda gejala dapat terjadi pada daun mana saja. Selain gejala tersebut di atas, terjadi pula perubahan warna jaringan vaskuler pada scars daun segar yang jatuh, pembenkakan lentisel pada kulit dalam daerah daun yang jatuh, serta sprouting tunas aksilar. Nekrosis antara tulang daun terminar tampak menyerupai gejala kekurangan kalsium. Selain itu garis-garis coklat terlihat pada cabang yang terinfeksi, bila cabang ini dibelah secara longitudinal. PENGENDALIAN Kultur teknis Seperti disebutkan di atas bahwa cendawan O. theobromae berkembang baik pada keadaan basah dan lembab. Tingkat kelembaban yang mendekati 100% pada malam hari menghasilkan kondensasi air bebas yang sangat penting untuk terjadinya infeksi. Kerusakan oleh O. theobromae akan lebih besar bila keadaan tersebut di atas ditunjang dengan tanaman
pelindung yang lebat. Dengan demikian pemangkasan pohon pelindung di musim hujan akan memungkinkan mengurangi kelembaban dan masuknya sinar matahari yang akan mengurangi perkembangan cendawan pathogen dan sekaligus membantu pertumbuhan tanaman kakao sendiri sehingga secara tidak langsung memberikan mekanisme pertahanan terhadap cendawan patogen tersebut. Untuk mengurangi sumber inokulum, pemangkasan tanaman pelindung bisa bersamaan dengan pemangkasan sanitasi yaitu memangkas ranting yang terserang sampai pada batas tidak ditemukan lagi garis coklat pada jaringan kayu ditambah sekitar 30 cm kearah bawah. Potongan tanaman ini dikumpulkan dan kemudian dibakar. Tanaman resisten Strategi yang paling baik untuk pengendalian jangka panjang adalah penggunaan tanaman resisten. Resisten atau toleran terhadap VSD berhubungan dengan tinginya aktivitas enzim Polyphenol oxydase dan kitinase pada tanaman kakao (Chowpada, 2001). Untuk mencegah kerusakan yang lebih besar oleh VSD, maka penggunaan tanaman resisten harus segera dilakukan. Hal ini dilakukan dengan cara mencari klon resisten di lapang atau mendapatkanya dari Puslitbun Koka Jember.
4
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel, 2005 ISBN : 979-95025-6-7
Puslitbun Koka Jember telah menghasilkan klon-klon lindak anjuran yang selain toleran terhadap VSD, juga toleran penyakit busuk buah dan penyakit antraknosa. Klon-klon tersebut adalah GC7, ICS 13, ICS 60, TSH 858, TSH 908, Pa 300, Pa 303, NW 6261, SD 6225, UIT 1, RCC 71, RCC 72, dan RCC 73. Perbanyakan klon-klon tersebut perlu dilakukan dan selanjutnya digunakan ditanam langsung pada lahan atau side grafting pada tanaman terserang VSD pada lahan lama.
endofit sedang dilakukan dan ada beberapa isolate Trichoderma ditemukan pada biji kakao. Cendawan endofit di Panama dan di Brazil digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk buah yang disebabkan Phytophthora sp. dan Moniliophthora serta penyakit sapu setan yang disebabkan oleh cendawan Crinepellis perniciosa. Cendawan terakhir dapat masuk pada jaringan meristem. Penggunaan cendawan endofit ini mungkin dapat dilakukan melalui daundaun terserang atau melalui penginfusan.
Pengendalian biologi Penelitian penggunaan musuh alami untuk mengendalikan penyakit VSD belum pernah dilakukan baik di Sulawesi, maupun di Negara lainnya. Pengendalian biologi adalah memungkinkan, namun tampaknya harus menggunakan musuh alami yang bersifat endofit untuk bisa berkompetisi di dalam jaringan tanaman. O. theobromae menginfestasi jaringan xylem sehingga bisa bertahan lama dalam jaringan tanaman, walaupun kondisi luar tanaman tidak memungkinkan untuk berkembangnya cendawan ini. Sejumlah musuh alami yang endofit ini telah diidentifikasi pada tanaman kakao di Panama dan Brazil seperti Colletotrichum, Botryospharia, Nectria dan Trichoderma (Mejia et al., 2004; Samuel, 2004). Di Sulawesi sendiri, identifikasi cendawan
Pengendalian secara kimia Karena tempat berkembangnya Oncobasidium theobromae adalah xylem, maka fungisida yang digunakan harus bersifat sistemik. Akan tetapi pengujian yang dilakukan di Pinrang menunjukkan bahwa fungisida tidak sistemik dapat digunakan hanya saja melalui metoda penginfusan. Fungisida tersebut berbahan aktif tembaga oksida (CuO). Senyawa ini dapat menghambat intensitas penyakit VSD berdasarkan pengamatan pada gejala yang muncul pada tanaman kakao yang berumur kira-kira 15 tahun. Persentase penghambatan sangat sempurna pada penginfusan dengan konsentrasi fungisida 2g/l/tanaman, yang dapat mencapai 100% pada enam minggu setelah aplikasi (Gambar 3 ).
5
Ade Rosmana : Penyakit Vascular Streak Dieback (VSD) pada Tanaman Kakao
Persentase penghambatan (%)
80 70 60 50 40 30
I g/ltr
20
2 g/ltr
10 0 1
2
3
4
5
Minggu pengam atan Gambar 3. Persentase penghambatan gejala VSD oleh fungisida berbahan aktif CuO
Fungisida sistemik yang dianjurkan digunakan untuk mengendalikan penyakit VSD adalah fungisida berbahan aktif triazol seperti triadimenol dan propiconazol. Fungisida grup ini diabsopsi oleh daun dan batang dan dapat masuk ke jaringan vaskuler dan menghambat cendawan dengan mengganggu sintesis ergosterol (Anonim, 2002a; Anonim 2002b). Konsentrasi anjuran untuk triadimenol dan propconazole masingmasing adalah 250-500 g/ha dan 400-600 ml/ha melalui aplikasi penyemprotan daun. KESIMPULAN Usaha-usaha pengendalian harus segera dilakukan agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari. Pengaturan tanaman penutup merupakan salah satu cara yang baik untuk mengurangi perkembangan penyakit. Selain itu usaha mencari tanaman resisten terhadap penyakit ini harus segera dilakukan, misal dengan cara menseleksi di daerah terserang VSD. Penginfusan dengan menggunakan fungisida telah dicoba dan berhasil dalam menurunkan serangan oleh penyakit VSD, dengan demikian
berprospek untuk digunakan dalam skala yang lebih luas. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2002a. Shavit (triadimenol). Biological Data Sheet Makhteshim Agan Industries Ltd. 7 pp. Anonim. 2002b. Bumper, propconazole fungiside. Biological Data Sheet Makhteshim Agan Industries Ltd. 3 pp. Bowers, J. H., Bailey, B. A., Hebbar, P. K., Sanogo, S., Lumsden, R. D. 2001. The impact of plant diseases on world chocolate production. Online. Plant Health Progress doi:10.1094/ PHP2001-0709-01-RV. Chok, D. 2004. Cocoa Development and its Environmental Dilemma. Smithsonian Migratory Bird Center. Online Publication. 9 pp. Chowpada, P. 2001. 13th International cocoa research conference and INCOPED 3rd international seminar on cocoa pests and diseases. The Newsletter of the British Society for Plant Pathology No 38, Spring 2001.
6
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel, 2005 ISBN : 979-95025-6-7
Frison, E.A., Diekman, M., and Nowell, D., 1999. Cacao. FAO/IPGRI Technical Guidelines for the Safe Movement of Germplasm No 20. 32 pp. Jaax, R. 2003. An alliance for sustainable cocoa cropping system in East Asia p. 11-17, in Rosmana, A., P. van Grinsven, La Daha, and G. Sarbini (eds.), Summary and highlight of Technical Brain-storming Meeting on Biocontrol Technologies for IPM of Cocoa in Sulawesi. Prima Effem, Acdi Voca, Usaid , Unhas Makassar. Keane, P.J. and Prior, C. 1991. Vascular streak dieback of cacao. Phytopathological Papers No. 33. International Mycological Institute, UK. Manwan I., Nazaruddin, dan Ramli, S.A. 2000. Laporan sementara survey intensitas serangan dan kerusakan penggerek buah kakao Conopomorpha cramerella di Sulawesi Selatan. CCDC Sulawesi Selatan. 4 pp. Mejia, L.C., Rojas, E.I., Maynard, Z., Arnold, A.E., Kyllo, D., Robbins, N., and Herre, E.A., 2004. Inoculation of beneficial endophytic fungi into Theobromae cacao tissues. Online Publication. 8 pp. Musa, M.J. 1983. Coconut water as culture medium for Oncobasidium theobromae. MARDI Research Bulletin 11: 107-110.
Purdy, L.H. 2000. Fungal disease of cacao. Online Publication. 9 pp. Samuels, G.J. 2004. Trichoderma: its potential for control of diseases of cacao. Smith, E.S.C. 1981. An integrated control scheme for cocoa pests and diseases in Papua New Guinea. Tropical Pest Management 27: 351359. Sulistyowati, E. 2002. Perkembangan hasil hasil penelitian pengendalian hama penggerek buah kakao. Lokakarya Tengah Periode Proyek SUCCESS dan Pertemuan International Masa Depan Pengembangan Kakao di Indonesia, Makassar, Indonesia, 1518 Januari 2002. van Grinsven, P. 2003.CPB problem in Sulawesi : overview p. 11, in Rosmana, A., P. van Grinsven, La Daha, and G. Sarbini (eds.), Summary and highlight of Technical Brain-storming Meeting on Biocontrol Technologies for IPM of Cocoa in Sulawesi. Prima Effem, Acdi/Voca, Usaid , Unhas Makassar. Wardoyo, S. 1980. The cocoa pod borer : A hindrance to cocoa development. Indonesian Agricultural Research and Development Journal 2: 1-4. Wood, G.A.R. and Lass, R.A. 1985. Cocoa. Longman, London and New York. 620 pp.
7