V.3.5 Pola Kosmologi dalam Kostum Tari topeng Cirebon Dasar dari keberadaan tari topeng di Cirebon itu sendiri adalah hikayat sosok Panji. Panji dalam wacana primordial Jawa diasosiasikan sebagai figur yang penuh dengan nilai-nilai yang selalu bertentangan dan bersifat paradoks, ia mengandung makna hadirnya dua dunia, jahat dan baik, lelaki dan perempuan, duniawi sekaligus surgawi, hal tersebut tercermin dalam hal-hal yang selalu bersifat kontras dalam perwujudannya sekaligus dalam keberadaannya. Dalam susunan kosmologis, Panji adalah pusat, ia mewakili semua sifat yang ada dalam empat penjuru arah Timur-Utara dan Barat-Selatan. Panji dianggap sebagai suatu ‘cermin’ dari tingkatan keimanan, dan hirarkis dunia surgawi dan dunia duniawi. Kedudukan Panji tetap di sakralkan dan ia di kultuskan sebagai dewa sekaligus raja. Tarian Panji dihadirkan pertama karena di dalamnya terkandung semua unsur gerakan dari empat tarian yang ada. Penempatan tersebut mencerminkan ‘lahirnya’ alam surga atau dewa ke alam dunia manusia, dalam kelahirannya tersebut kesempurnaan hidup di anggap mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam visualisasi rupa topeng, hal-hal yang bersifat paradoks dapat kita cermati sebagai refleksi atau tingkat kesempurnaan ‘sifat’ manusia. Makna pertama adalah warna yang digunakan pada topeng. Semakin gelap warna yang tersirat, maka semakin ‘jauh’ ia dari dunia surgawi, semakin kelam, begitu pula sebaliknya. Putih dianggap sebagai warna yang mencerminkan tingkat keimanan dan tingkat kesempurnaan, dan ia berperan sebaga pusat segala warna, segala perilaku, segala sifat. Panji sebagai posisi pusat mengandung semua unsur yang berlawanan. Bentuk mata liyep, pada tokoh Panji menunjukan tingkat kesempurnaan, selain itu arah tatapan mata menghadap ke bawah, menyiratkan keberadaannya berasal dari dunia atas namun ia telah hadir pula di dunia bawah, karena melihat ke arah bawah. Jika dikaitkan dengan arah mata angina atau posisi keberadaan Panji, ia berda ditengah, memiliki semua nilai dari semua posisi, sedangkan arah Timur-Utara adalah nilai kebaikan, keselamatan dan rohani dan Selatan- Barat adalah nilai keduniawianjasmani dan manusia. Dalam pemaknaan rupa, ternyata terdapat bentuk yang berlawanan antar ke empat arah tersebut, yaitu Utara-Selatan yang diwakili tokoh Rumyang- Klana dan Timur-Barat, tokoh Pamindo-Patih.
163
Pada bentuk mata, antara bentuk mata tokoh Utara-Selatan, Rumyang berbentuk , lenyepan dan Klana , pentelengan keduanya memiliki perbedaan sekaligus persamaan. Nilai sama adalah keduanya sama-sama menatap ke arah depan dan bola mata terlihat besar, namun kelopak mata memiliki bentuk yang berlawanan. Rumyang dan Klana mengandung makna bahwa mereka telah melihat banyak tentang hidup dengan cara mengembara, bedanya Rumyang pengembara dari dunia atas, sedangkan Klana pengembara dari dunia bawah. Dalam kisah Panji diceritakan bahwa sosok Rumyang adalah Dewi Sekartaji yang menyamar menjadi Panji Semirang, ia melakukan pengembaraan, begitu pula dengan sosok Klana, yang selalu berada dalam pengembaraan, karena ia selalu berada di ‘pihak luar’. Rumyang memposisikan sebagi perempuan yang berkelakuan lakilaki, ia berada dalam wilayah orang kerajaan, dunia atas dan surga, namun di dalamnya telah mengandung pula nilai manusia. Sedangkan Klana adalah sifat kelelakian yang sangat menonjol dan ia benar-benar berada di dunia manusia. Pada tokoh Pamindao dan Patih
yaitu arah Timur-Barat, bentuk mata
memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Bola mata
Pamindo berbentuk lenyep
sedikit membuka, begitu pula dengan Patih, walau membuka tapi tidak sebesar Klana, yang terbelalak. Pamindo adalah lelaki yang berperilaku perempuan, berasal dari lingkungan ’dalam’ atau kerajaan, sedangkan Patih adalah manusia dengan ‘posisi di luar’. Sikap dan perilaku ke dua arah ini mewakili nilai sama-beda pula, sama bijaksana namun berperilaku berbeda. Nilai oposisi-harmoni ini selalu terdapat dalam setiap arah, baik ke arah vertikal, horizontal dan diagonal. Ke empat arah utama tersebut saling memiliki nilai beda namun saling melengkapi, dan semakin bergerak ke arah kiri berarti semakin duniawi. Tetapi dalam unsur visualisasi rupa, urutan tersebut tidak melingkar, seperti arah jarum jam, namun arahnya vertikal, semakin ke atas bentuk yang divisualisasikan semakin ke arah ruhani, sedangkan ke arah bawah semakin jasmani. Pada bentuk mata, semakin besar bentuknya dan semakin membuka terbelalak, maka ia semakin duniawi. Pada bentuk hidung, semakin besar, menonjol dan mengangkat, nilainya semakin duniawi, hal tersebut dapat kita cermati pula pada bentuk visual yang lain, seperti bibir, semakin bentuknya mengatup, maka semakin bernilai ruhani.
164
Unsur rupa lain dalam anatomi wajah topeng adalah hiasan rambut. Karakter pada arah Timur-Utara atau posisi diagonal, yaitu Pamindo-Rumyang, keduanya berada di area kanan, menandakan golongan satria dan bangsawan dari dunia ruhani, komposisi mereka mewakili nilai kebaikan dan dunia ruhani. Paradoks pada kedua tokoh ini adalah perempuan’
Pamindo ’lelaki berperilaku
terlihat menggunakan hiasan rambut dan Rumyang ’perempuan
berperilaku lelaki’ , tidak terdapat hiasan rambut. Begitu pula pada arah Utara-Barat, Rumyang-Patih, terlihat pada atribut yang dikenakannya, yaitu sama-sama tidak menggunakan hiasan rambut. Sedangkan arah Timur-Selatan, yaitu Pamindo dengan Klana, yang sama-sama memakai ornamen rambut pada kedoknya. Jika dibuat dalam bentuk skema, maka gambaran posisinya adalah sebagai berikut :
Utara-Rumyang Tidak berambut
Barat-Patih Tidak berambut
Pusat Panji Semua Nilai
Timur-Pamindo Berambut
Selatan-Klana Berambut
Bagan V.5 Konsep Mandala dalam Unsur Visual Topeng Cirebon (sumber : rekonstruksi penulis, 2007) Keterangan : (----)= hubungan arah diagonal berhadapan
165
Sama-sama di gambarkan tidak memiliki atribut/hiasan rambut, warna muka berurutan, mata terbuka dan ke arah depan, namun bentuknya kontras
Di gambarkan memiliki atribut rambuat dan mahkuta, warna muka kontras, mata kontras, watak kontras.
Pamindo Rumyang
Klana
Patih
Bagan V.6 Konsep Mandala dalam Topeng Cirebon
(sumber : dokumentasi penulis, 2006)
Ksatria-Bijak
Ksatria Pengembara
Dunia Atas-Dunia Bawah
Dunia Atas-Dunia Bawah
Bagan V.7 Lambang Dunia Atas-Dunia Bawah pada Topeng Cirebon
(sumber : dokumentasi penulis, 2006) Rambut pada Klana-Pamindo diasosiasikan sebagai atribut lelaki, dan Pamindo membutuhkan atribut rambut untuk memperlihatkan sifat ‘lelaki’nya. Posisi Pamindo berdekatan dengan Klana untuk menjaga nilai ‘selaras’, agar tidak terlalu lelaki, maka dihadirkan sosok lelaki yang berperilaku perempuan. Rumyang-Patih tidak memerlukan atribut tersebut agar tercapai nilai ‘selaras’ karena Rumyang adalah perempuan dan Patih lelaki. Jika dikaitkan dengan karakter, pada arah horisontal-vertikal, terdapat pencapaian nilai ‘kontras-harmoni’ pada semua arah. Perhatikan Utara-Selatan Rumyang-Klana, keduanya gambaran pengembara namun berbeda dunia, sedangkan
Timur-Barat, yaitu Pamindo-Patih, bukan
pengembara namun sama-sama berada di posisi ke-dua. Pamindo hadir setelah Panji, mewakili orang ’kedua’ dari dunia atas dan Patih, orang ’kedua’ dari dunia jasmani setelah Klana.
166
Utara Pengembara- Dunia Atas
Barat Orang kedua- Dunia Bawah
Pusat Panji Semua Nilai
Timur Orang kedua- Dunia atas
Selatan Pengembara -Dunia Bawah
Bagan V.8 Konsep Mandala dalam Tari Topeng Cirebon (sumber : rekonstruksi penulis, 2007) Keterangan : (___ ) = hubungan arah vertikal, (---) = hubungan arah horisontal
Jika di buat pemetaan dalam anatomi muka dalam topeng kita akan melihat sebuah grafik seperti di bawah ini :
Dunia Atas-Ruhani-Surgawi Panji Pamindo Rumyang Patih Klana
Jasmani-Duniawi (dunia bawah) Bagan V.9 Konsep Mandala dalam Tari Topeng Cirebon (sumber : rekonstruksi penulis, 2007)
Pemaknaan selanjutnya adalah pada unsur kostum, pertama adalah penutup kepala, yang didefinisikan sebagai daerah atas, atau kelangkapan bagian atas. Kelangkapan bagian atas ini dapat diasosiasikan sebagai unsur yang selalu hadir 167
dalam pertunjukan topeng, jika dikaitkan dengan bentuk yang mengarah ke atas, dan disimpan di atas kepala, maka unsur ini menjadi bagian yang dapat membawa atau menyatukan alam manusia pada alam ruhani.
Tabel V.17 Pembagian Kosmologi dalam Kostum Tari Topeng Bagian
Unsur
Lambang
Atas
Sobrah
Dunia Atas
Tengah
Penutup Tubuh, Pengikat Pinggang, Selendang
Dunia Tengah
Bawah
Kain, Celana
Dunia Bawah
(sumber : rekonstruksi penulis, 2007)
Pada bentuk sobrah yang tua, secara keseluruhan terlihat ada kesamaan bentuk, yaitu mengandung unur setengah lingkaran dan menjulang ke arah atas, begitu pula pada sobrah yang digunakan Keni Arja. Pada sobrah Panji dan Rumyang terlihat ada kesamaan, yaitu bentuknya sama serta adanya hiasan tambahan pada rambut sasakan atau wig. Ornamen pada rambut sasak Panji dan Rumyang menandakan bahwa mereka adalah pasangan yang saling berlawanan namun melengkapi, karena keduanya mengandung asas laki-laki dan perempuan, dan sesuatu yang bersifat oposisi selalau melahirkan nilai paradoks untuk menuju nilai yang sakral. Pada sobrah yang digunakan Keni Arja, hiasan pada wig rambut sudah tidak ditemukan lagi, namun pemilihan bentuk mengerucut ke atas seperti daun suruh menandakan suatu arah menju ke atas, atau upaya pencapaian nilai yang sakral. Bentuk mengarah ke atas dimaknai sebagai gambaran ke dunia atas, pada ajaran Hindu, bentuk tersebut sama dengan simbol gunungan, sedangkan pada ajaran Islam, dimaknai sebagai lambang tataran atau tarekat. Pada arah Utara-Timur, yang ditempati Rumyang-Pamindo, bentuk sobrah memiliki perbedaan bentuk yang yang sangat mencolok. Bentuk sobrah Pamindo terlihat lebih besar, dengan mahkuta berukuran besar dan berkesan gagah. Ada kemungkinan ini adalah upaya untuk menghadirkan unsur melengkapi antar kedua karakter tersebut. Rumyang perempuan yang berperilaku lelaki tidak menunjukan atribut
harus
kegagahan, sedangkan Pamindo, lelaki dengan karater
perempuan membutuhkan atribut untuk menunjukan karakter laki-lakinya.
168
Pada tokoh Patih dan Klana pada kostum periode 1879, sobrah justru semakin mengecil dan membulat, berbeda dengan bentuk sobrah yang di gunakan pada kedua tokoh yang sama, yang digunakan Keni Arja. Bentuk sobrah pada Keni Arja, semakin duniawi, semakin besar, sedangkan pada bentuk tuanya, hal itu justru berbalik. Jika dikaitkan dengan posisi atau arah Patih dan Klana, yaitu Barat-Selatan, keberadaan mereka semakin mengarah pada duniawi, jika dikaitkan dengan cara pandang Hindu dan Islam, bentuk yang mengarah ke atas semakin surgawi, jadi untuk memberikan identitas bahwa kedua tokoh ini semakin dekat dengan nilai duniawi, maka bentuk memuncak atau mengarah ke atas sudah tidak tampak.
Utara-Rumyang Bulat menyudut di tengah
Barat-Patih Bulat menyudut di tengah
Tengah-Panji Semua Nilai
Timur-Pamindo Bulat melebar
Selatan-Klana Bulat dan kecil
Bagan V.10 Konsep Mandala dalam Rarawis Tari Topeng Cirebon (sumber : rekonstruksi penulis, 2007) Keterangan : (----) = hubungan arah diagonal berhadapan
169
Bagan V.11 Skema Bentuk Penutup Kepala pada Penari Topeng (sumber : rekonstruksi penulis, 2007)
Analisa selajutnya adalah unsur yang terdapat pada bagian tengah dari kostum tari topeng, yaitu penutup tubuh. Pada masa Hindu, penggunaan kain sebagai penutup tubuh belum mencapai tahap seperti sekarang ini, yaitu adanya penambahan pada bagian lengan dan penambahan ornamen serta pewarnaan yang lebih beragam. Jika kita kaitkan dengan sejarah tari topeng, pada masa dulu penari adalah laki-laki, tanpa penutup tubuh. Tidak dikenakannya pakaian pada pertunjukan topeng diduga berkait dengan sejarah keberadaan tarian ini, semula adalah seni yang digunakan para raja dengan segala kemegahan dan atribut kebesarannya, namun saat berkembang di masyarakat, para seniman rakyat tidak dapat menampilkan atau menyamai atribut yang telah ada sebelumnya, selain itu saat mereka menari, kain dan selendangyang dipakai adalah kain apapun yang disediakan oleh si penanggapnya. Pada bab sebelumnya telah disebutkan bahwa atribut raja salah satunya adalah penutup tubuh, kedudukan raja pada masa Hindu diasosiasikan sebagai dewa, orang suci, maka unsur penutup ini dapat dimaknai sebagai orang yang suci, begitu pula pada penutup tubuh yang ada pada lima tokoh dalam tari topeng.
170
Makna penutup tubuh pada pedalang Keni Arja, menempati posisi yang sama, jika dikaitkan dengan aturan-aturan dalam kesenian ini, maka nilai-nilai yang mengarah pada posisi suci masih melekat pada pedalang hingga, karena pedalang yang menarikan pertunjukan topeng untuk kegiatan ritual, harus selalau menjaga kesucian hati dan kesucian turunan, yaitu ada garis ibu atau bapak yang masih mewarisi darah dari Sunan Pangung. Makna penutup berkait pula dengan ajaran Islam, yaitu tertutupnya aurat tubuh, sedangkan dalam Hindu, ada kaitannya dengan kasta, semakin tinggi kasta, semakin menempati posisi dewa. Unsur lain yang dapat diungkap maknanya adalah unsur bagian bawah, yaitu kain panjang. Kain digunakan sebagai upaya untuk menyatukan unsur-unsur menuju ke arah atas dengan unsur-unsur yang menuju arah bawah . Dalam sebuah ritual yang betujuan untuk menghadirkan ’daya-daya’ untuk mencapai suatu saktral, pada umnunya digunakan suatu media atau perantara atas kehadiran dua dunia tersebut. Kain bersifat sebagai ’penghubung’ tersebut hingga kini tetap digunakan oleh pedalang Keni, walaupun ukuran panjangnya berubah, namun makna yang dapat disimpulkan adalah sama. Masalah pengurangan ukuran ini adalah bentuk dari adaptasi seniman terhadap kondisi saat pementasan berlangsung. Pada masa sebelumnya, tarian ini ditarikan di lingkungan kerajaan, di atas sebuah permadani, setelah berkembang di rakyat tradisi bebarang mulai dilakukan, maka dibutuhkan sebuah solusi, antaralain perubahan bentuk serta menambah kenyamanan dalam melakukan gerakan pada karakter lincah. Dalam seni tradisi Indonesia, kain adalah simbol perempuan, dan motif yang terdapat di dalamnya adalah suatu kesatuan yang melebur tanpa batas. Pemaknaan terhadap kain dapat dikaitkan dengan nilai paradoksial dalam setiap posisi dan karakter.
171
Bagan V.12 Skema Bentuk Kain pada Penari Topeng (sumber : rekonstruksi penulis, 2007)
Upaya memasukan unsur yang saling bertentangan ini adalah upaya agar harmoni tetap terjaga dalam upaya mencapai nilai berkah. Motif kain yang digunakan pada tokoh Panji-Pamindo dan Klana, adalah motif liris, secara berurutan kain liris semakin membesar polanya pada tokoh Pamindo. Motif liris diartikan sebagai bentuk yang memiliki nilai paradoks, karena unsurnya adalah sebuah spiral yang saling terbalik, saling bersambung dan tidak terputus. Bentuk yang mengandung nilai-nilai tersebut pada umumnya digunakan dalam sebuah aktifitas seni tradisi adat atau ritual. Panji, Pamindo dan Klana diberikan motif ini dapat di analisis sebagai berikut : Panji adalah sosok raja dari alam ruhani, yang turun ke bumi, maka ia harus menggunakan atribut yang dapat membantunya menghadirkan ke alam bumi, sedangkan Klana adalah sosok raja dari alam bumi. Kedudukan raja adalah orang utama, jika dikaitkan dengan pemakaian
172
motif tertentu, maka jenis liris termasuk pada kategori batik larangan, yang sifatnya hanya boleh digunakan oleh para raja, permaisuri dan putera mahkota. Karakter Rumyang adalah pasangan Panji, namuan ia bergerak di wilayah luar, karena sering mengembara dan Patih adalah pendamping atau wakil dari Klana, maka kedua karakter ini dapat di definisikan sebagai sosok ’pendamping’ raja, Untuk jenis kain Rumyang, penulis tidak dapat mendefinisikan dengan jelas, namun kuat dugaan motifnya berjenis semen, begitupula pada karakter Patih, motif kain yang digunakan adalah jenis semen, berupa sulur-sulur, menyerupai motif batik Laseman, dan penggunaannya memang hanya boleh dipakai oleh ’keluarga jauh’ raja. Penggunaan motif ini dapat dimaknai bahwa posisi raja adalah posisi yang agung, maka untuk menghadirkan daya-daya yang adikodrati, mereka yang berkedudukan agung-lah yang menjadi perantara bersatunya alam ruhani dengan alam bumi.
Utara-RumyangKain semen
Barat-PatihKain semen
Pusat – Panji Semua Nilai
Timur-Pamindo Kain liris besar
Selatan-Klana Kain liris kecil
Bagan V.13 Konsep Mandala dalam Motif Kain Batik Tari Topeng Cirebon (sumber : rekontruksi penulis, 2007) Keterangan : ( ---- ) = hubungan arah diagonal berhadapan)
173
Klana
Panji
Pamindo
Motif kain liris, hanya digunakan pada tokoh Klana, Pamindo dan Panji. Ketiganya adalah gambaran raja. Jika diurutkan, ternyata liris semakin berbentuk kecil pada tokoh Klana dan semakin membesar pada tokoh Pamindo. Gambar V.60 Perbandingan motif liris pada Panji, Pamindo dan Klana (sumber : rekonstruksi penulis, 2007)
Unsur kain ternyata tetap digunakan pula oleh pedalang Keni Arja, hal ini dapat dimaknai pula sebagai media perantara dalam menghadirkan daya-daya untuk menyatukan dunia atas dengan dunia bawah, walaupun motif kain tidak mengadaptasi bentuk tuanya. Kini kain batik yang digunakan Kenia Arja adalah kain batik keraton, selain ini adalah binaan dari pihak keraton, tujuan dan maksudnya kemungkinan besar adalah sama, yaitu menempatkan setiap karakter sebagai posisi raja dan kerabatnya. Panjang ukuran kain yang digunakan mengalami perubahan, seperti berikut ini : Panji dan Pamindo ukuran panjangnya sama, yaitu sabatas lutut, Rumyang dan Klana terlihat lebih pendek, di atas lutut, dan kain Patih paling panjang serta terbuka. Arah Rumyang dan Klana adalah searah dan berlawanan, keduanya adalah pengembara, dapat diasumsikan bahwa ciri pengembara adalah kain yang lebih terangkat karena gerakannya lincah. Pamindo dan Patih menempati posisi arah sejajar, karena mereka adalah orang kedua dari raja, dan bersifat ’orang dalam’ yang mewakili dua aspek dunia, dalam upaya penyatuan dua nilai tersebut harus ada yang mengandung unsur ’ada dan tiada’, ’tambah dan kurang’. Pada kain yang digunakan Keni Arja, pemaknaan dapat dilakukan dengan cara mempelajari penempatan karakter dari lima tokoh tersebut. Panji adalah orang suci, ia bagaikan bayi yang baru lahir, masih dalam keadan bersih, maka kain yang digunakan adalah Lancar gelar yang tertutup keseluruhan kakinya, bahkan tidak boleh tampak. Bentuk tertutup rapat ini diasosiasikan bahwa seorang bayi harus dalam keadaan tertutup dan suci, agar nilai yang ada di dalamnya selalu bersih, begitu pula
174
jika dikaitkan dengan gerakan Panji yang diam dan ritmik, bahwa seorang yang suci perilakunya tidak harus bermacam-macam, hal ini terlihat pula dalam salah satu gerakan Panji yaitu mengibas-ngibaskan kain, sebagai perlambangan bahwa karakter tersebut harus selalu dalam keadaan bersih. Pada tokoh Pamindo, Rumyang, Patih dan Klana, kain yang digunakan adalah jenis Lancar Cangcut, didefinisikan sebagai kain yang dikaitkan pada area belakang tubuh melewati area kelamin. Simbolisasi dari bentuk kain ini lebih dikaitkan pada aspek bahwa ke empat karakter ini adalah gambaran orang yang telah memiliki nafsu duniawi, walaupun keberadaan nafsu tersebut bersifat bertahap, dimulai dari Pamindo-Rumyang-PatihKlana. Bentuk penggunaan kain ini dapat pula dimaknai bahwa orang yang telah memiliki nafsu duniawi, maka secara perlahan baik perilaku, gerakan serta normanorma yang harus dijaga dalam hidup sudah mulai ditanggalkan.
Utara-RumyangKain di atas lutut
Barat-PatihKain melewati batas lutut
Pusat – Panji Semua Nilai
Timur-Pamindo Kain sebatas lutut
Selatan-Klana Kain di atas lutut
Bagan V.14 Konsep Mandala dalam Bentuk Kain yang digunakan dalam Tari Topeng Cirebon (sumber : rekonstruksi penulis, 2007) Keterangan : ( ___ ) = hubungan sejajar horisontal saling berhadapan, ( ----) = hubungan sejajar vertika, saling berhadapan
175
176
177