URGENSI PENDIDIKAN NILAI DALAM UPAYA PEMBENTUKAN KARAKTER (Ummyssalam A.T.A Duludu) A.
B.
Pendahuluan Pendidikan nilai menyangkut budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Demikian halnya dengan dunia pendidikan yang sangat dinamis, selalu bergerak, selalu terjadi perubahan dan pembaharuan. Sekolah seolah terus berpacu memunculkan dan mengejar keunggulannya masing-masing. Memasuki Era Globalisasi menjadi satu tantangan tersendiri bagi pengelola pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum dan sarana pendidikan mereka dengan berbagai teknologi canggih agar bisa menghasilkan warga belajar yang mampu bersaing di Era ‘Global Village’. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan budi pekerti. Masalah Posisi pendidikan nilai menjadi sangat vital dalam pembentukan pribadi manusia, sebab manusia yang memiliki kecerdasan intelektual setinggi apapun tidak akan bermanfaat secara positif bila tidak memiliki kecerdasan afektif secara emosional, sosial, maupun spiritual. Tereliminasinya pendidikan nilai pada kurikulum lembaga pendidikan formal disinyalir oleh berbagai kalangan sebagai salah satu penyebab utama akan kemerosotan moral dan budi pekerti masyarakat yang tercermin dari tingginya angka kriminalitas maupun perbuatan amoral. Dalih integrasi pendidikan nilai dalam pendidikan kewarganegaraan dan keagamaan, pada implementasinya menjadi tidak tepat sasaran karena pendidikan nilai diberikan dengan metode hapalan dengan porsi yang minim untuk memenuhi evaluasi proses pendidikan yang hanya mengukur ranah kognitif semata. Tentunya hal tersebut bertolak belakang dengan prinsip pendidikan nilai yang mencakup ranah afektif dan tidak dapat terukur dengan model evaluasi pendidikan sebagaimana ditentukan oleh sistem pendidikan nasional. Sebenarnya berawal dari sebuah keprihatinan yang sedang terjadi sekarang yaitu jika dilihat perkembangan remaja dimasyarakat, sangat memprihatinkan, banyak sekali kasus yang seharusnya tidak perlu terjadi jika budi pekerti sudah tertanam pada siswa sedini mungkin, sebagai contoh ada siswa berani pada guru, anak menentang orang tua, perkelahian antar pelajar bahkan ada yang berani melakukan kejahatan. Berpijak dari hal tersebut, maka dapat dicoba menyimak masalah budi pekerti menjadi sebuah wacana yang menarik, yang perlu dicermati bersama-sama.Ada tiga kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah sebagai pedoman Departemen Pendidikan Nasional, yaitu : peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan budi pekerti, dan pengembangan baca tulis. Penanaman budi pekerti sebaiknya dimasukan pada kurikulum, agar nantinya pada siswa tertanam sikap moral, sosial, serta budi pekerti yang tinggi. Sebenarnya komitmen bangsa terhadap pendidikan budi pekerti cukup kuat, sepanjang sejarah budi pekerti selalu menjadi bagian dari proses pendidikan di sekolah. Dalam aplikasi pendidikan budi pekerti, pemerintah tidak menjadikan pendidikan budi pekerti merupakan salah satu mata pelajaran tetapi mengintegrasikannya kedalam
mata pelajaran yang telah diajarkan disekolah, hal ini untuk mengindari penekanan yang berlebihan pada aspek kognitif. Budi pekerti merupakan masalah yang pelik, bahkan sering dianggap sebagai sesuatu yang absrak karena konsep budi pekerti belum terungkap secara operasional. Berkaitan dengan masalah budi pekerti akan diuraikan beberapa hal yang berhubungan dengan urgensi pendidikan nilai dalam upaya pembentukan karakter. Ada dua hal penting yaitu ; pertama bentuk pendekatan dalam penanaman pendidikan nilai, kedua implementasi pendidikan nilai. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendekatan ini yakni, pertama mem bantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks ber dasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks,1985). Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metode diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Kedua, adanya dilema, baik dilemma hipotetikal maupun dilemma faktual berhubungan dengan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi berlangsungnya diskusi dengan baik (Superka, et. al. 1976; Banks, 1985). Proses diskusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilemma. Dalam diskusi tersebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang alasan-alasan itu dengan teman-temannya. Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel,1977:Hersh,et.al.1980).Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya. Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban atas pertanyaan mengapa anak-anak patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi pertimbangan moral mereka. Pendidikan Nilai Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus berubah dengan signifikan sehingga banyak merubah pola pikir pendidik, dari pola pikir yang awam dan kaku menjadi lebih modern. Hal tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Menyikapi hal tersebut pakar-pakar pendidikan mengkritisi dengan cara mengungkapkan konsep dan teori pendidikan yang sebenarnya untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kamus Bahasa Indonesia, 1991:232, Pendidikan berasal dari kata "didik", Lalu kata ini mendapat awalan kata "me" sehingga menjadi "mendidik" artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Menurut bahasa Yunani : pendidikan berasal dari kata "Pedagogi" yaitu kata "paid" artinya "anak" sedangkan "agogos" yang artinya membimbing "sehingga " pedagogi" dapat di artikan sebagai "ilmu dan seni mengajar anak".
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Kluckhohn (dalam Zavalloni, 1975) sebagai seorang antropolog, sejak tahun 1951 telah mendefinisikan nilai sebagai “... a conception explicit or implicit, distinctive of an individual or characteristic of a group, of the desirable which influence the selection from available modes, means and ends of action.” (Kluckhohn dalam Zavalloni, 1975, hal. 75) Definisi Kluckhohn di atas menggambarkan bahwa nilai selain mewakili keunikan individu, juga dapat mewakili suatu kelompok tertentu. Hal ini mulai mengarah kepada pemahaman nilai yang universal. Dalam perkembangannya, Rokeach (1973) dengan tegas mengatakan bahwa asumsi dasar dari konsep nilai adalah bahwa setiap orang, di mana saja, memiliki nilai-nilai yang sama dengan derajat yang berbeda (menunjukkan penegasan terhadap konsep universalitas nilai). Lebih lanjut Schwartz (1994) juga menjelaskan bahwa nilai adalah (1) suatu keyakinan, (2) berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, (3) melampaui situasi spesifik, (4) mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku, individu, dan kejadian-kejadian, serta (5) tersusun berdasarkan derajat kepentingannya. Dari beberapa definisi yang telah ada dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan nilai adalah pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar menyadari nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten. Pendidikan Karakter Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari pada yang lain. Sedangkan menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Membentuk karakter tidak semudah memberi nasihat, tidak semudah memberi instruksi, tetapi memerlukan kesabaran, pembiasaan dan pengulangan. Sehingga proses pendidikan karakter merupakan keseluruhan proses pendidikan yang dialami peserta didik sebagai pengalaman pembentukan kepribadian melalui memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai, keutamaan-keutamaan moral, nilai-nilai ideal agama, nilai-nilai moral. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang di buat. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Pembahasan Pendekatan dalam Pendidikan Nilai
Ada lima pendekatan yang digunakan dalam penanaman nilai dalam kehidupan sehari-hari, antara lain : 1. Pendekatan Penanaman Nilai Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. Menurut beliau, setiap generasi mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu diajarkan kepada generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya. 2. Pendekatan Perkembangan Kognitif Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985). Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut: a. Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial; b. Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. c. Tahap "autonomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya. Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa anak patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anakanak mempengaruhi pertimbangan moral anak. Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. 3. Pendekatan Analisis Nilai Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan. Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut:
B.
a. Langkah analisis nilai tugas penyelesaian masalah b. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait c. Mengumpulkan fakta yang berhubungan d. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan e. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan f. Merumuskan keputusan moral sementara 4. Pendekatan Klarifikasi Nilai Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut: Pertama : Memilih 1) dengan bebas, 2) dari berbagai alternatif 3) setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya Kedua : Menghargai 1. merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya 2. mau mengakui pilihannya itu di depan umum Ketiga : Bertindak 1. berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya 2. diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978) 5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahanperubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Implementasi Pendidikan Nilai Tujuan Pendidikan Nilai adalah menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri siswa. Pengajarannya bertitik tolak dari nilai-nilai sosial tertentu, yakni nilai-nilai Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan dalam masyarakat Indonesia. Metode yang digunakan dalam pendekatan penanaman nilai antara lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain. Disamping itu, metode yang digunakan dalam Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif. Misalnya mengangkat dan mendiskusikan kasus atau masalah Budi Pekerti dalam masyarakat yang mengandung dilema, untuk didiskusikan dalam kelas. Penggunaan metode ini akan dapat menghidupkan suasana kelas. Namun berbeda dengan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif di mana yang memberi kebebasan penuh kepada siswa untuk berpikir dan sampai pada kesimpulan yang sesuai dengan tingkat perkembangan moral reasoning masing-masing, dalam pengajaran Pendidikan Budi Pekerti siswa diarahkan sampai pada kesimpulan akhir yang sama, sesuai dengan nilai-nilai sosial tertentu, yang bersumber dari Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Metode pengajaran yang digunakan Pendekatan Analisis Nilai, khususnya prosedur analisis nilai dan penyelesaian masalah yang ditawarkan, bermanfaat jua untuk diaplikasikan sebagai salah satu strategi dalam proses pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Seperti telah dijelaskan, dalam mata pelajaran ini, aspek perkembangan kognitif merupakan aspek yang dipentingkan juga, yakni untuk mendukung dan menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ingin ditanamkan. Hal ini sejalan dengan penegasan Haydon (1995) bahwa pengetahuan dan pemahaman konsep adalah penting dalam pendidikan moral, untuk membentuk sikap moral yang lebih stabil dalam diri seseorang. Metode pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Klarifikasi Nilai, dengan memperhatikan faktor keadaan serta bahan pelajarannya yang relevan, dapat diaplikasikan juga dalam pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Namun demikian, seperti dijelaskan oleh Prayitno (1994), penggunaannya perlu hati-hati, supaya tidak membuka kesempatan bagi siswa, untuk memilih nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai masyarakatnya, terutama nilai-nilai Agama dan nilai-nilai Pancasila yang ingin dibudayakan dan ditanamkan dalam diri mereka. Metode pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Pembelajaran Berbuat bermanfaat juga untuk diaplikasikan dalam pengajaran "PPKn/PLPS" di Indonesia, khususnya pada peringkat sekolah lanjutan tingkat atas. Para siswa pada peringkat ini lebih tepat untuk melakukan tugastugas di luar ruang kelas, yang dikembangkan untuk meningkatkan kompetensi yang berhubungan dengan lingkungan, seperti yang dituntut oleh pendekatan ini. Kesimpulan Dari berbagai uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Berbagai pendekatan pendidikan nilai serta karakter yang berkembang mempunyai aspek penekanan yang berbeda, serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula. Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti. Hal tersebut sejalan dengan pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang proses pembelajarannya memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor 2. Pelaksanaan program-program Pendidikan Nilai dan Karakter perlu disertai dengan keteladanan guru, orang tua, dan orang dewasa pada umumnya. Lingkungan sosial yang kondusif bagi para siswa, baik dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat juga memberikan kontribusi positif dalam penerapan pendidikan budi pekerti secara holistik Saran Dengan memperhatikan kesimpulan diatas, dapat dikemukakan beberapa saran sebagai berikut : Untuk dapat menerapkan pendidikan nilai sekaligus karakter menyangkut budi pekerti, diharapkan dengan menggunakan pendekatan yang menanamkan prinsip pendidikan nilai tersebut. 1. Hendaknya pendidikan nilai dan karakteristik ini dapat di implementasikan secara kontinue dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang ada, sebagai wujud pengembangan aspek kepribadian manusia. 2. Pendidikan Nilai seharusnya diberikan kepada anak-anak dengan memberkan contoh dan teladan yang baik pada kehidupan sehari-hari, baik dilingkungan formal maupun diluar sekolah. DAFTAR PUSTAKA Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the social studies. New York: Longman. Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida: Robert E. Krieger Publishing Co., Inc. Fraenkel, J.R. 1977. How to teach about values: an analytic approach. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Fraenkel, J.R. 1980. Helping students think and value: strategies for teaching the social studies. Second Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Hersh, R.H., Miller, J.P. & Fielding, G.D. 1980. Model of moral education: an appraisal. New York: Longman, Inc. Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education. Dlm. Rogrs, D. Issues in adolescent psychology: 283-299. New Jersey: Printice Hall, Inc.
Prayitno. 1994. Budi pekerti dan pendidikan. Kertas kerja seminar pendidikan budi pekerti, anjuran Pusat Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Balitbang Dikbud, 2-3 Ogos 1994. Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978. Values and teaching: working with values in the classroom. Second Edition. Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company. Superka, D.P. 1973. A typology of valuing theories and values education approaches. Doctor of Education Dissertation. University of California, Berkeley. Superka, D.P., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford, L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values education sourcebook. Colorado: Social Science Education Consortium, Inc. Windmiller, M. 1976. Moral development. Dlm. Adams. J.F. (pnyt.). Understanding adolescence: current developments in adolescent psychology: 176-198. Boston: Allyn and Bacon, Inc Hidayati, Thantien. 2008. Student Report Cards (SRC) Sebagai Sarana Internalisasi Pendidikan Nilai Pada Lembaga Pendidikan Formal. Universitas Muhammadiyah Malang.