Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
URGENSI EVALUASI BAHAN PAKAN ASLI INDONESIA SEBAGAI PILAR UTAMA UNTUK MENOPANG USAHA AYAM LOKAL S. PRAWIRODIGDO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Laboratorium Klepu, Jl. Soekarno-Hatta 10 A., Bergas, Kabupaten Semarang, 50552
ABSTRAK Beternak ayam lokal secara intensif dilaksanakan sebagai usaha andalan di Jawa Tengah. Produk ayam lokal dikenal sebagai telur dan daging ayam kampung yang popularitasnya lebih tinggi dari pada produk ayam ras petelur dan pedaging. Disayangkan bahwa produksi telur dan pertumbuhan ayam lokal ini lebih rendah dari produksi telur ayam ras petelur dan pertumbuhan bangsa ayam ras pedaging impor. Sejalan dengan itu, pemberian pakan konsentrat komersial buatan pabrik tidak ekonomis. Selama ini belum ada determinasi intensif baik terhadap kebutuhan nutrien ayam lokal maupun evaluasi profil dan karakter bahan pakan asli Indonesia. Banyak penelitian yang dialamatkan pada formula pakan ayam lokal berdasarkan pertimbangan kandungan protein kasar, namun, tidak ada investigasi yang mengevaluasi profil and karakter asam-asam amino pakan. Padahal, ayam lokal akan memanfaatkan protein pakan secara tidak efisien ketika konsentrasi asam aminonya tidak seimbang. Secara meluas telah diterima bahwa pemberian pakan berkonsentrasi asam amino tinggi yang tidak seimbang akan menguras dana dan menimbulkan polusi lingkungan. Sebagai kesimpulan, evaluasi profil dan karakter bahan pakan asli Indonesia sebagai pilar utama penopang usahaterna ayam lokal sangat urgen. Kata kunci: Ayam lokal, urgensi, bahan pakan asli, evasluasi
PENDAHULUAN Beternak ayam lokal pernah menjadi salah satu usaha primadona di beberapa daerah di Jawa Tengah. Daerah-daerah tersebut diantaranya adalah Bumiayu (Brebes), Gandu dan Sibiyuk (Pemalang), Kaliwungu dan Soropadan (Temanggung), serta Sukorejo (Kendal). Produk ayam Lokal umumnya dipasarkan dengan nama yang sudah sangat populer yaitu sebagai telur dan daging ayam Kampung. Meskipun harga jualnya berfluktuasi, posisi penawaran telur ayam lokal lebih diunggulkan dari pada telur ayam ras petelur (Layer). Sistem pemasarannya tidak berdasarkan bobot telur, tetapi berdasarkan jumlahnya dalam satuan butir. Begitu pula, daging ayam Lokal juga lebih diminati oleh konsumen dari pada daging ayam potong ras (Broiler). DAGHIR (1995a) yang tertarik pada perkembangan usahaternak unggas di Indonesia menyatakan bahwa 90% daging ayam yang dikonsumsi di Indonesia berasal dari ternak ayam lokal. Ditinjau dari sisi pemasaran ayam Lokal untuk dipotong, hasil survei YUWONO et al. (1993) menunjukkan
bahwa Kota Solo dan Semarang adalah pasar ayam lokal terbesar di Jawa Tengah yang memasok sebagian kebutuhan komoditas ini di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Walaupun demikian, usahaternak ayam lokal menjadi sangat lemah ketika krisis moneter melanda Indonesia. Lebih malang lagi, ketika usaha ternak ayam lokal mulai bangkit, secara mendadak timbul wabah virus Flu Burung (avian influenza) yang melanda Asia termasuk Indonesia. Kedua musibah dramatis tersebut akhir-akhir ini mengakibatkan berkurangnya motivasi masyarakat dalam usahaternak ayam. Lebih-lebih masalah Flu Burung yang sudah dinyatakan terkendali ternyata sampai saat ini belum benar-benar teratasi dan bahkan mengkhawatirkan karena mulai meyerang babi maupun manusia (PRAWIRODIGDO, 2005). Di sisi lain, secara meluas telah diterima bahwa pakan merupakan input produksi sangat penting sebagai salah satu sisi dari segitiga sama sisi (Breeding-Feeding-Management) dalam usahaternak yang mutlak harus terpenuhi. Pakan tidak hanya menduduki posisi penting dalam alokasi modal (>70% dari total modal) yang harus diperhitungkan, tetapi juga sangat menentukan keuntungan atau kerugian
149
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
usaha. Di samping itu pakan dan pengelolaan pemberiannya sangat mempengaruhi daya tahan ternak terhadap gangguan penyakit. PRAWIRODIGDO (2005) memberikan highlight bahwa program vaksinasi untuk mencegah penyakit (contohnya flu burung) tidak akan terapan apabila ternak ayam tidak sehat. Makalah ini mendiskusikan urgensi evaluasi bahan-bahan pakan indigenous Indonesia dan mengulas kebutuhan nutrien ternak ayam lokal untuk mendukung pengembangan usaha ternak tersebut. EVALUASI KEBUTUHAN NUTRIEN AYAM Seperti ayam ras, tentunya ayam lokal juga memerlukan nutrien yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, tumbuh, dan berproduksi. Ternak ayam lokal adalah hewan berperut tunggal (monogastrict animal) yang memiliki sistem pencernaan dan kebutuhan nutrien mirip dengan bangsa burung lainnya. Walaupun demikian apabila dibandingkan dengan ternak ayam yang melalui rekayasa genetik sudah dibentuk menjadi tipe ayam khusus yang sangat efisien dalam memproduksi daging (broiler) atau telur (layer), maka jelas bahwa ayam lokal memiliki kekurangan dan kelebihan. Sebagai contoh, meskipun produksi telurnya jauh di bawah produksi ayam ras petelur, tetapi ternyata dengan pakan yang mengandung serat kasar
(SK) tinggi ayam lokal mampu memproduksi telur dengan baik (PRAWIRODIGDO et al., 2005) sesuai potensi genetiknya (KINGSTON, 1979). Pada umumnya kandungan SK pada pakan ayam ras petelur bervariasi antara 20 – 41 g SK/kg (NORTH dan BELL, 1990; LEESON dan SUMMERS, 1997), tetapi PRAWIRODIGDO et al. (2005) mendokumentasikan bahwa kadar SK sampai 143 g/kg dalam pakan tidak menekan produksi telur ayam lokal (Lihat Tabel 1). Tabel 1 menunjukkan bahwa konsumsi pakan berkurang (P<0,05) ketika ayam lokal diberi pakan mengandung 143 g SK/kg dan 192 g SK/kg. Walaupun demikian konsumsi bahan kering pakan tidak berbeda nyata dengan konsumsi pada ayam lokal yang menerima 50 g SK/kg maupun 96 g SK/kg dalam pakannya. Lebih lanjut, ditemukan bahwa jumlah telur (butir/120 hari/ekor) dan bobot telur (g/butir) yang dihasilkan oleh ayam lokal yang menerima 143 g SK/kg pakan tidak berbeda nyata dengan yang diproduksi oleh ayam lokal yang memperoleh 50 g SK/kg maupun 96 g SK/kg dalam pakannya. Bahkan ditemukan bahwa konversi pakan pada ayam lokal yang menerima 143 g SK/kg pakan lebih baik (P<0,05) apabila dibandingkan dengan yang menerima pakan penelitian lainnya. Penelitian ini menggunakan pakan yang mengandung 140 g protein kasar/kg dan 10,0 Mega Joules (MJ) energi metabolis (EM)/kg sama (isoprotein dan isoenergi; PRAWIRODIGDO et al., 2005).
Tabel 1. Pengaruh kadar serat kasar dalam pakan isoprotein dan energi terhadap produksi telur ayam lokal selama 120 hari* Keterangan Jumlah ternak (ekor/perlakuan) Konsumsi pakan (g/ekor/hari) Konsumsi BK pakan (g/ekor/hari) Produksi telur (butir/ekor/120 hari) Bobot telur (g/butir) Konversi pakan
SK50 10 104a 82,3TN 19,6ab 51,8a 13,47b
Perlakuan pakan SK96 SK145 10 10 95,0ab 88b 81,0TN 80,7TN ab 21,1 25,2a 52,3a 52,6a 11,70b 8,51a
SK192 10 84b 79,7TN 17,0b 47,4b 13,72b
*Modifikasi dari PRAWIRODIGDO et al. (2005)a, b, c, pada baris sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); BK, Bahan kering; SK50, SK96, SK145, SK192 masing-masing mengandung serat kasar 50, 96, 145 dan 192 g/kg pakan; TN, tidak nyata
150
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 2. Pengaruh kadungan protein dan energi pakan terhadap penampilan produksi ayam lokal periode bertelur selama 120 hari Keterangan Percobaan 1* TN) Jumlah ternak (ekor/perlakuan) Konsumsi pakan (g/ekor/hari) Konsumsi PK (g/ekor/hari) Produksi telur (butir/ekor/120 hari) Bobot telur (g/butir) Konversi pakan Percobaan 2** Jumlah ternak (ekor/perlakuan) Konsumsi pakan (g/ekor/hari) TN) Produksi telur (butir/ekor/120 hari) Bobot telur (g/butir)TN) Konversi pakan
PK16/EM11
Perlakuan pakan PK16/EM10 PK14/EM11
PK14/EM10
20 90,2 14,4 20,7 45,7 10,25
20 89,4 14,3 17,5 44,2 11,10
20 90,5 12,6 19,0 41,6 11,48
20 92,8 13,0 19,3 43,3 10,71
25 92,9 41,5 a 40,4 6,81b
25 93,5 48,9 b 40,4 5,83a
25 91,7 42,2 a 40,4 6,60b
25 93,6 49,0 b 41,7 5,63 a
* Sumber: GULTOM et al. (1985)TN , Tidak nyata; **Sumber: YUWONO et al. (1995); PK16 atau PK14, mengandung protein kasar 160 atau 140 g/kg; EM11 atau EM10, mengandung Energi metabolis 11, 30 atau 10,04 Mega Joules/kga,b,c pada baris sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Sebelumnya, GULTOM et al. (1985) pernah menguji pengaruh protein dan energi rendah dalam pakan ayam lokal periode bertelur dengan hasil yang dikonfirmasikan oleh YUWONO et al. (1995). Hasil percobaan dari kedua kelompok peneliti tersebut dicantumkan dalam Tabel 2. Hasil penelitian GULTOM et al. (1985) menunjukkan perbedaan profil protein kasar 20g/kg dan energi metabolis satu Mega Joules (MJ)/tidak mempengaruhi penampilan produksi ayam lokal. Data hasil penelitian GULTOM et al. (1985) ini dapat diinterpretasikan bahwa untuk rata-rata produksi 19,11 butir telur selama periode tiga bulan pertama ayam Lokal cukup diberi pakan yang mengandung 140 g protein kasar/10, 04 MJ EM/kg. Walaupun demikian hasil ini belum memberikan kepastian tentang kebutuhan protein dan energi yang sebenarnya yang dibutuhkan oleh ayam lokal periode bertelur. Ada kemungkinan bahwa ayam lokal masih mampu berpenampilan produksi sama pada tingkat profil protein dan energi metabolis yang lebih rendah dari yang pernah diuji oleh GULTOM et al. (1985) maupun PRAWIRODIGDO et al. (2005).
Rata-rata konsumsi pakan ayam lokal yang dilaporkan oleh ketiga kelompok peneliti tersebut perbedaannya tidak banyak. Begitu pula, produksi telur ayam lokal ternyata secara konsisten rendah. Meskipun YUWONO et al. (1995) menambahkan eggs stimulant dalam pakan percobaannya, namun tetap saja penambahan ini tidak mampu meningkatkan produksi telur ayam lokal secara nyata. Data yang lengkap dan sangat penting sebagai informasi ilmiah untuk dasar penelitian lebih lanjut serta pengembangan ayam lokal adalah hasil penelitian yang dilaporkan oleh SUWINDRA et al. (1982) dan CRESWELL dan GUNAWAN (1982). SUWINDRA et al. (1982) yang secara langsung meneliti perbedaan penampilan antara ayam lokal dan White Leghorn pada umur sama (mulai umur delapan minggu) dengan pakan yang sama pula, memperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 3). Hasil penelitian yang didokumentasikan oleh SUWINDRA et al. (1982) menunjukkan bahwa antara penampilan ayam lokal dan White Leghorn terdapat perbedaan nyata (P<0,05) khususnya dalam bobot badan, konsumsi pakan, bobot telur, indeks telur, persentase bobot albumin, persentase kuning telur dan tebal kulit telur. Selain itu ayam lokal juga memiliki sifat mengeram, sedangkan
151
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
White Leghorn tidak. Sehingga dalam jangka panjang jumlah produksi telur ayam lokal jelas lebih sedikit dibandingkan produksi telur White Leghorn. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa mungkin: • Kebutuhan kualitas nutrien ayam lokal sama dengan kebutuhan White Leghorn,
tetapi kuantitas yang diperlukan lebih sedikit, dan • Baik kualitas dan kuantitas kebutuhan nutrien ayam lokal berbeda dengan kebutuhan White Leghorn.
Tabel 3. Penampilan ayam lokal versus White Leghorn pada periode bertelur I (24 minggu)* Penampilan Bobot badan (g) Umur mulai bertelur (hari) Produksi telur (butir/minggu) Bobot telur (g) Jumlah konsumsi pakan (g/ekor/minggu) Konsumsi pakan (kg)/kg produksi telur Konsumsi air (cc/minggu) Tinggi albumin (hough unit) Indeks telur Berat jenis telur Nilai kuning telur Persentase bobot albumin Persentase kuning telur Persentase bobot kulit telur Tebal bobot kulit telur
Lokal 1332,3a 167,15a 3,64a 36,7a 523,8a 3,92a 1039,4 77,57a 77,70a 1,085a 7,79a 53,89a 33,03a 12,97a 0,30a
Jenis ayam White Leghorn 1558,7b 175,0a 3,49a 48,7b 590,7b 3,47a 1182,1a 77,07a 73,60b 1,087a 8,04a 57,20b 30,39b 12,98a 0,34b
*Sumber: SUWINDRA et al. (1982)a,b pada baris sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Pada kesempatan yang sama CRESWELL dan GUNAWAN (1982) juga melaporkan hasil investigasinya tentang produksi telur lima strain ayam lokal dan ayam ras petelur. Laporan hasil investigasi tersebut dicantumkan dalam Tabel 4. Uji statistik dari beberapa variabel yang dievaluasi oleh CRESWELL dan GUNAWAN (1982) menunjukkan bahwa penampilan ayam ras petelur lebih baik (P< 0,05) dari pada ayam lokal. Data ini konsisten dengan temuan SUWINDRA et al. (1982). Selain itu, ternyata diantara strain ayam lokal sendiri penampilan produksinya bervariasi. Hasil-hasil penelitian tersebut di atas merupakan bukti yang membuka suatu wawasan ilmiah tentang pentingnya evaluasi kebutuhan nutrien ayam Lokal sehingga output produksi berupa pakan tidak berlebihan dan pada gilirannya dapat dihemat. Akhir-akhir ini, LEMME et al. (2004) menyatakan bahwa perhatian terhadap kegunaan nutrien pakan ayam pada umumnya
152
berdasarkan pada dua sudut pandang. Perspektif pertama, nutrien yang terkandung dalam pakan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak ayam dalam target produksi khusus seperti yang ditegaskan oleh WILLIAMS (1995) dan PRAWIRODIGDO (1999), dan untuk menentukan strategi pengaturan komponennya sehingga usahaternak ini ekonomis dan berkelanjutan. Sedangkan perspektif kedua, adalah kepedulian terhadap ekologi yang berkaitan dengan kepentingan meningkatkan dayaguna protein pakan dan meminimkan ekskresi nitrogen (N) dalam ekskreta (campuran urine dan faeces) yang pada gilirannya mencegah kontribusi polusi global, seperti yang pernah diperingatkan oleh WILLIAMS (1995) dan PEISKER (1996). Strategi pencegahan yang berkaitan dengan isu pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha ternak unggas melalui formulasi pakan diangkat kembali oleh PATTERSON (2004) dalam Kongres II Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Selama ini, dalam praktek rutin sehari-hari peternak di perdesaan memberikan pakan ayam berupa campuran konsentrat komersial buatan suatu pabrik dengan jagung kuning giling dan dedak. Campuran pakan ternak ayam ini sayangnya dibuat dalam suatu formula yang tidak mempunyai dasar ilmiah baku. Oleh karena itu hasilnya juga tidak pasti atau untung-untungan. Selaras dengan tujuan memenuhi tuntutan kedua perspektif kegunaan di atas, maka pakan (diet) untuk ayam lokal seharusnya juga disusun sesuai dengan tujuan produksi dalam suatu formula berdasarkan keseimbangan antara (1) kebutuhan nutrien ayam dan profil serta karakter (daya cerna dan ketersediaan, availability) nutrien bahan yang digunakan sebagai komponennya, (2) keseimbangan antara asam amino (AA)
tercerna: energi metabolis, (3) antar AA esensial, dan (4) antara AA esensial: AA nonesensial (DAGHIR, 1995a, DAGHIR, 1995b; PEISKER, 1996; PRAWIRODIGDO, 1999a). Anjuran kandungan nutrien pakan ayam sesuai dengan tujuan produksinya sebagai ayam petelur (layer) atau ayam pedaging (broiler) di daerah beriklim panas disampaikan secara terperinci (Tabel 5) oleh DAGHIR (1995bc). Pada Tabel 5 DAGHIR (1995bc) merekomendasikan standar kandungan protein kasar sebagai persyaratan pakan ayam petelur maupun pedaging. Walaupun demikian di dalam tabel ini juga dicantumkan proporsi AA yang direkomendasikan sebagai persyaratan pakan, sehingga keseimbangan antar AA dan energi metabolis dapat terpenuhi.
Tabel 4. Penampilan produksi telur lima strain ayam lokal dan Shaver Starcross 5791 Keterangan Jumlah (ekor) Umur pertama bertelur (hari) Umur 40% produksi (hari) Puncak produksi (%) Produksi hen day (%) Produksi hen day (telur) Produksi hen house (%) Rata-rata bobot telur (g/butir) Konsumsi pakan (g/ekor/hari) Bobot konsumsi pakan/g telur
Ras petelur2 88 150 174 87 70,9a 259 68,3 62,6a 118 2,7
Sayur 88 151 184 55 41,3cd 151 37,1 43,6c 88 4,9
Kedu hitam 88 138 166 75 58,8b 215 54,8 44,7c 93 3,6
Strain Kedu putih 80 170 202 72 54,0b 197 49,6 39,2d 82 3,8
Nunukan
Melung
76 153 186 62 50,0bc 182 46,3 47,5b 85 3,6
76 165 191 44 32,5d 119 28,4 40,6d 93 7,1
1
Sumber: CRESWELL dan GUNAWAN (1982); 2Shaver starcross 579a,b,c pada baris sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Menurut S.C.A. (1987) tingkat protein kasar dalam pakan tidak begitu penting asal kebutuhan AA ayam sudah dapat terpenuhi. Di samping itu, meskipun rekomendasi DAGHIR (1995bc) dimaksudkan untuk standar pemenuhan kebutuhan nutrien ternak ayam di daerah beriklim panas, standar ini belum tentu sesuai untuk dasar formula pakan ayam lokal di Indonesia. Disayangkan bahwa sampai saat ini penelitian intensif yang terfokus kepada evaluasi kebutuhan nutrien ayam lokal Indonesia belum pernah dilakukan, dan investigasi tuntas tentang profil dan karakter nutrien bahan pakan asli Indonesia pada ayam ini juga belum pernah ada. Fenomena ini
terjadi diduga karena prospek pemasaran ayam lokal dalam skala agribisnis tidak mampu berkompetisi dengan ayam ras. Di samping itu kenyataannya teknologi usahaternak ayam ras memang sudah dikuasai terlebih dahulu oleh negara-negara maju yang mendasari pengembangan agribisnisnya dengan penelitian -penelitian yang intensif dan sangat mendalam. Konsekuensinya, pemasaran ayam ras hasil teknologi negara maju ini secara dominan mewarnai peta perkembangan usaha ayam di negara terbelakang dan yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Kondisi ini menjadi tantangan dan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk membangun usahaternak ayam lokal.
153
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Tabel 5. Anjuran kandungan nutrien pakan (g/kg) ayam petelur dan pedaging di daerah beriklim panas Keterangan
Petelur*
Protein kasar Arginine Glysine + Serine Histidine Isoleucine Leucine Lysine Methionine Methionine + Cysteine Phenylalanine Phenylalanine +tyrosine Threonine Tryptophan Chlorida Kalsium Phosphor tersedia Potasium Sodium Energi metabolis (MJ/kg)
180-190 10 4 8 14 8,4 4 7 8,5 7 2 1,7 32,5 4,5 6 1,8 11,93-12,34
Stater 220 14,5 15 3,5 13,5 12 5 8,5 13,5 8 2,3 1,8 10 4,5 6 1,8 12,52
Ayam pedaging** Grower 200 13,5 12,5 3,5 13,5 11,5 4,5 8 13,5 7,5 2 1,8 9 4,2 6 1,8 12,76
Finisher 180 11,5 10 2,8 11,5 9,5 4 7 11,5 7 1,8 1,8 8 4 6 1,8 12,97
Sumber:*DAGHIR (1995b); ** DAGHIR (1995c)
Sejalan dengan itu urgensi evaluasi kebutuhan nutrien ternak ayam lokal secara intensif sebagai dasar pembangunan peternakan mutlak untuk dipertimbangkan. GUNAWAN et al . (1996) mengulas secara intensif hasil-hasil penelitian para peneliti ternak tahun 1991-1995 tentang kebutuhan protein dan energi ayam lokal untuk tujuan produksi daging maupun telur. Meskipun demikian, para peneliti tersebut orientasinya terhadap kualitas pakan ayam lokal masih berpedoman pada profil protein kasar. Beberapa peneliti (DALIBARD dan PAILLARD, 1995; WILLIAMS, 1995; PRAWIRODIGDO, 1999b, LEMME et al., 2004) secara konsisten menyatakan bahwa formula pakan untuk ternak berperut tunggal yang disusun berdasarkan dayacerna AA komponen pakan hasilnya lebih memuaskan dari pada berdasarkan AA totalnya. Jelas bahwa penggunaan pakan yang formulanya disusun berdasarkan kandungan protein kasar (Nitrogen x 6,25) bahan, hasilnya tidak dapat diprediksi, karena tidak semua N yang terdeteksi dalam analisis kimia bahan ini merupakan penyusun protein. Hal ini berarti kandungan protein kasar tinggi dalam pakan
154
tidak menjamin pemenuhan kebutuhan AA ayam (PRAWIRODIGDO, 1999b). Prediksi hasil tersebut menjadi semakin sulit karena terdapat komponen pakan yang mengandung serat dan zat-zat toksik yang menekan dayacerna nutrien yang terkandung didalamnya. Di sisi lain, protein pakan yang tercerna dan terabsorbsi di dalam tubuh ternak melalui dinding saluran pencernaan, sebagian tidak dapat dimanfaatkan dan terekskresi melalui urine, karena protein tersebut mengalami denaturisasi sebagai akibat pemanasan yang berlebihan dalam proses ekstrasi minyak yang terkandung dalam pakan ini (PRAWIRODIGDO, 1999c). Pada kondisi demikian, dalam reaksi Maillard AA epsilon (contohnya lysine) terbelenggu oleh karbohidrat sederhana (contohnya fruktosa) dan tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Kalau hal ini tidak diantisipasi, maka akan terjadi kesalahan estimasi AA tersedia dalam menyusun formula pakan. Konsekuensinya, pakan yang tersusun nutriennya tidak seimbang sehingga penggunaannya oleh ternak tidak efisien dan terekskresi melalui ekskreta (PRAWIRODIGDO, 1999c). Lebih lanjut, ekskreta yang tertumpuk
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
di lantai kandang akan mengalami dekomposisi dan terjadi emisi gas metan dan amonia. Gas dimaksud akan menjadi sangat berbau kalau AA methionine yang mengandung sulphur banyak terekskresi karena tidak berimbang dengan kandungan lysine pakan. Menurut (CHAVEZ et al., 2004) secara biokimia methionine dihubungkan dengan gabungan sumber bau dari methyl mercaptan, hydrogen sulfide, dimethyl sulfide, dimethyl disulfide, dimethyl trisulfide dan carbonyl sulfide. PATTON (1984, komunikasi pribadi) mengingatkan bahwa gas yang terjadi dari timbunan ekskreta hewan dapat menimbulkan radang pada saluran pernafasan. Dalam situasi demikian, sebagai akibatnya kondisi kesehatan ternak ayam di dalam kandang tersebut tidak prima dan daya tahan tubuhnya rendah sehingga rentan terhadap serangan wabah seperti penyakit Flu Burung yang melanda Indonesia. PATTERSON (2004) menegaskan bahwa salah satu strategi untuk menekan kehilangan N dalam ekskreta adalah dengan membuat formula pakan berdasarkan kesesuaian kebutuhan AA dan bukan berpedoman pada kadar protein kasar pakan. Informasi ini sekali lagi merupakan highlight bahwa, agar dapat menyusun pakan dengan formula berdasarkan keseimbangan antara kebutuhan nutrien ternak dan kandungan nutrien komponen pakan diperlukan investigasi intensif untuk mendapatkan data kedua faktor tersebut.
Selama ini, salah satu faktor penghambat yang secara umum menjadi keluhan monoton dari peternak ayam lokal di perdesaan adalah harga pakan konsentrat buatan pabrik sangat mahal. Hal ini logis, karena bahan baku konsentrat untuk pakan ayam tergantung pada produk impor (contohnya, tepung ikan dan bungkil kedelai). Padahal, seperti yang sudah diutarakan di atas, umumnya peternak ayam lokal memberikan pakan tradisional pada ayam ini dengan menggunakan konsentrat buatan pabrik sebagai salah satu komponennya. Oleh karena itu untuk memacu kembali pengembangan usahaternak ayam lokal, maka formulasi pakan dituntut untuk menghasilkan susunan pakan yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan ternak secara tepat, harganya murah, dan dapat menekan prospek terjadinya pencemaran lingkungan yang berkontribusi terhadap panas global (global warming) (PRAWIRODIGDO, 1999a). Masalah krisis pakan seharusnya dapat diatasi dengan pertimbangan bahwa Indonesia memiliki berbagai bahan indigenous yang melimpah dan dapat dimanfaatkan sebagai komponen pakan ternak ayam (PRAWIRODIGDO, 1999a). PRAWIRODIGDO (1999a) berpendapat bahwa di Indonesia terdapat empat klasifikasi bahan pakan asli Indonesia (BPAI) yang potensial untuk unggas sebagai berikut: Kelompok pertama
EVALUASI BAHAN PAKAN Secara meluas telah disepakati oleh kalangan ahli nutrisi bahwa evaluasi bahan pakan yang akurat untuk ternak merupakan suatu hal yang bersifat mendasar dan sangat penting terhadap efisiensi produksi ternak dan pelestarian lingkungan. Sehubungan dengan itu, disamping faktor tingkat konsumsi dan palatabilitas ternak terhadap suatu bahan pakan, maka evaluasi profil dan karakter nutrien bahan ini perlu diperhatikan. Tentu saja, selain persyaratan di atas, layak dan tidaknya suatu bahan untuk komponen pakan juga sangat tergantung pada eksistensi bahan tersebut dalam kuantitas dan kontinuitasnya, serta harga yang memungkinkan.
Bahan yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah BPAI tradisional sumber protein, yaitu bahan pakan kaya protein yang secara tradisional sudah umum digunakan sebagai komponen pakan unggas. Bahan ini adalah tepung ikan dan ikan segar dari ikan rucah hasil penangkapan, hasil ikutan industri ekspor ikan, dan hasil ikutan industri minyak (bungkil kelapa dan kacang tanah) serta tepung daun. Kelompok kedua Kelompok ini adalah BPAI non tradisional kaya protein, yaitu bahan yang belum umum untuk digunakan sebagai komponen pakan unggas di Indonesia. Bahan-bahan tersebut kandungan protein kasarnya bervariasi (Tabel
155
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
6). Sebagai contoh kandungan protein kasar gulma laut (Nereocystis luetkeana) 153 g/kg (BEAMES, 1990), sedangkan biji waluh (Cucurbita maxima) dan biji semangka (Citrullus vulgaris) yang minyaknya sudah diekstraksi mengandung protein kasar masingmasing 465 g dan 453 g, dan meningkat menjadi 719 g dan 663 g/kg pada bungkil biji bebas lemak (deffated; NWOKOLO, 1990b). Lebih lanjut NWOKOLO (1990b) melaporkan bahwa bungkil biji semangka memiliki kandungan AA sangat bagus dan sebagus seperti AA bungkil kedelai, kecuali untuk AA lysine yang hanya 9,2 g/kg. Hasil uji pada ayam pedaging menunjukkan bahwa dayaguna AA (amino acids availability) bungkil biji semangka juga sangat bagus. Dilaporkan bahwa bungkil biji semangka yang disangrai memiliki dayaguna AA seragam
dengan nilai rata-rata 96,1% (NWOKOLO, 1990b). Pada kesempatan yang sama NWOKOLO (1990b) juga melaporkan bahwa AA bungkil biji waluh sangat baik dan nilainya sebanding dengan AA pada bungkil kedelai juga, kecuali untuk kandungan methionine (methionine + cystine 15,4 g/kg). Hasil uji pada ayam pedaging menunjukkan bahwa dayaguna AA dari bungkil biji waluh bebas lemak seragam dan nilai rata-ratanya 93,8%, sementara pada bungkil kedelai 94,9%. Tetapi menurut LONGE et al. (1983) yang disitasi NWOKOLO (1990b), ketika diuji pada ayam periode bertelur ditemukan bahwa methionine pada bungkil biji waluh merupakan limiting amino acid utama, sedangkan lysine dan threonine yang kedua dan ketiga.
Tabel 6. Contoh bahan nontradisional kaya protein yang berpotensi untuk pakan ayam lokal Nama lokal Biji saga Biji kedelai Kacang hijau Biji semangka Biji waluh Bungkil biji karet Gulma laut Bungkil biji kapok randu Azolla Biji dan bungkil wijen Kara gudé Bungkil biji kemiri
Nama ilmiah
Pustaka
Adenanthera pavonina LINN Glysine max, Phaseoulus aureus Citrullus vulgaris Cucurbita maxima Hevea brisiliensis Nereocystis luetkeana Ceiba petandra, Azolla piñata Sesamum indicum, Cajanus cajan, Aleurites mollucana Willd
RESNAWATI et al. (1985) JIANKE, 1989), MAXWELL (1990) NWOKOLO (1990 b) NWOKOLO (1990b) NWOKOLO (1990c) BEAMES (1990) RAVINDRAN and BLAIR (1992) ALI and LEESON (1995) WALDROUP, (1997) HARTADI et al. (1997) RESNAWATI et al. (1998)
Semua bahan pakan yang tertera pada Tabel 6 terdapat di Indonesia, meskipun demikian evaluasi profil dan karakter nutrien bahan ini belum pernah dilakukan sacara tuntas. Selama ini evaluasi BPAI pada ternak ayam lokal sifatnya superficial, sehingga dalam formulasi pakan sulit untuk dikombinasikan dengan komponen lainnya. Sebagai contoh, meskipun dalam penelitiannya RESNAWATI et al. (1985) mengevaluasi biji saga sebagai sumber protein dengan mengintroduksikannya dalam bentuk mentah versus disangrai dengan tingkat yang berbeda untuk pakan ayam ras pedaging, para peneliti ini dalam membuat formula pakan masih
156
menerapkan metode klasik. RESNAWATI et al. (1985) tidak secara langsung mengevaluasi profil AA biji saga, apalagi karakter dari masing-masing AA yang mestinya diuji terlebih dahulu sebelum diintroduksikan ke dalam suatu campuran pakan, tetapi berpedoman pada kandungan protein kasarnya. Oleh karena itu, penelitian lebih mendalam diperlukan untuk menentukan layak tidaknya pemanfaatan biji saga secara rutin dan intensif sebagai komponen pakan dalam usahaternak ayam lokal. Penelitian serupa pernah dilakukan untuk evaluasi kemungkinan penggunaan bungkil biji karet dalam pakan ayam ras pedaging atau
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
petelur (KAROSSI et al., 1985). KAROSSI et al. (1985) menyatakan bahwa introduksi bungkil biji karet sampai 19% dalam pakan ayam pedaging strain CP 707 masih layak. Walaupun demikian data analisis statistik yang dilaporkan (KAROSSI et al., 1985) menunjukkan, bahwa depresi pertambahan bobot badan yang terjadi selama 49 hari pengamatan nyata (P<0,05), yaitu 1416 g versus 1351 g (masing-masing untuk ayam yang memperoleh pakan tanpa versus yang mengandung bungkil biji karet 19%). Pada waktu yang bersamaan KAROSSI et al. (1985) juga mendokumentasikan pengaruh penggunaan bungkil biji karet terhadap produksi telur ayam ras DeKalb selama masa pengamatan 12 minggu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa introduksi 10% bungkil biji karet dalam pakan ayam petelur tidak menekan produksi dan bobot telur. Pada percobaan ini KAROSSI et al. (1985) juga tidak mengevaluasi karakter nutrien bungkil biji karet dan bahkan tidak mencantumkan komposisi pakan percobaan yang diterapkan. Oleh karena itu hasil penelitian ini juga sulit diadopsi, sehingga penggunaan bahan tersebut sebagai salah satu komponen pakan ayam lokal juga masih memerlukan evaluasi dari awal sampai tuntas. Di lain kesempatan, RESNAWATI et al. (1998) menguji penggunaan bungkil biji kemiri (BBK) pada pakan ternak ayam lokal unsexed. Pada penelitian ini RESNAWATI et al. (1998) membandingkan penampilan anak ayam lokal (mulai umur 1 hari) yang menerima pakan kontrol (0% BBK) dan yang mengandung BBK pada tingkat 5 – 20%. Penelitian ini menggunakan pakan yang memiliki profil protein kasar 140 g/kg dan perimbangan methionine: lysine 35% dengan energi metabolis sekitar 11,98 MJ/kg. Hasilnya menunjukkan bahwa toleransi ternak ayam terhadap kandungan BBK dalam pakannya hanya 5%. RESNAWATI et al. (1998) menemukan bahwa introduksi BBK di atas tingkat tersebut menekan pertambahan bobot ayam lokal periode pertumbuhan awal. Apabila dibandingkan dengan anjuran DAGHIR (1995b) tentang proporsi methionine: lysine (5:12) untuk pembesaran ayam di daerah beriklim panas, maka dalam pakan penelitian RESNAWATI et al. (1998) proporsi kedua nutrien ini kurang besar. Dalam penelitian ini
tampaknya RESNAWATI et al. (1998) tidak mengevaluasi terlebih dulu karakter nutrien BBK, sehingga kelompok peneliti ini lebih terdorong untuk menyimpulkan bahwa kandungan saponin merupakan suatu hambatan penggunaan BBK dalam pakan ayam lokal. Kelompok ketiga Termasuk dalam klasifikasi ini adalah BPAI sumber energi yang secara tradisional digunakan rutin sebagai komponen pakan ayam lokal. Bahan-bahan tersebut diantaranya adalah jagung kuning dan dedak padi. Fenomena yang menarik, meskipun banyak daerah di Jawa Tengah yang memproduksi jagung kuning, namun jagung ini seringkali harganya mahal dan terkadang menghilang dari pasar. Kondisi ini juga terjadi pada dedak yang pada musim tertentu harganya mahal karena dalam penggunaannya terdapat kompetisi dengan usaha ayam ras, sapi perah, dan sapi potong kereman. Situasi yang demikian menimbulkan kepanikan dan frustrasi bagi peternak ayam lokal di perdesaan yang melakukan usahanya secara intensif. Berkaitan dengan masalah ini maka perlu dilakukan evaluasi BPAI non tradisional sebagai sumber energi alternatif. Kelompok keempat Bahan-bahan yang dimaksud dalam klasifikasi ini adalah BPAI non tradisional sumber energi; Yaitu diantaranya adalah tepung ubi singkong (Manihot esculenta), ubi jalar (Ipomoea batatas), ubi talas (Cocoyams), ubi kentang (Solanum tuberosum) limbah, dan nasi kering limbah rumah makan. Di samping itu berbagai minyak nabati dan lemak hewan dari limbah industri pangan asal daging juga prospektif untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi pakan ayam lokal. Suatu uji adaptif pemanfaatan limbah restoran kering dalam pakan ayam lokal sebagai upaya menekan biaya produksi pernah dilakukan oleh ZAINUDDIN dan NAZAR (1999) bekerjasama dengan Kelompok Tani Ujung Menteng Jakarta Timur. Dalam penelitian ini ZAINUDDIN dan NAZAR (1999) menggunakan 300 ekor ayam lokal yang didistribusikan ke dalam tiga kelompok pakan percobaan yang mengandung: 0% limbah restoran (100%
157
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
pakan kontrol, P1), 50% limbah restoran + 50% pakan kontrol (P2), dan 75% limbah restoran + 25% pakan kontrol (P3). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama 10 minggu pengamatan, ayam lokal yang menerima pakan mengandung 50% limbah restoran (P2) ratarata pertumbuhannya (778 g) lebih pesat (P<0,05) dari pada yang menerima pakan percobaan P1 (505 g) maupun P3 (689 g). Selanjutnya, ZAINUDDIN dan NAZAR (1999) melaporkan bahwa konversi pakan ayam lokal yang menerima pakan mengandung limbah restoran (4,93 dan 4,71, masing-masing untuk yang menerima P2 dan P3) lebih baik (P<0,05) dari pada yang memperoleh pakan kontrol (7,92). Pengaruh perubahan kualitas pakan baik ditinjau dari aspek kandungan protein ataupun energi dari hasil penelitian ini sulit untuk diinterpretasikan, karena ZAINUDDIN dan NAZAR (1999) tidak memaparkan profil dan
karakter nutrien pakan kontrol maupun limbah restoran yang digunakan dalam penelitian. Dengan kata lain, hasil penelitian ini dalam penerapannya bersifat spesifik lokasi dan belum menjelaskan prospek pencegahan kemungkinan timbulnya polusi sebagai akibat penggunaan pakan mengandung limbah restoran ini secara rutin. Belakangan, PRAWIRODIGDO et al. (2000) mendemonstrasikan pemanfaatan tepung ubi ketela pohon sebagai komponen pakan ayam lokal periode bertelur untuk menggantikan jagung kuning giling yang pada saat itu sulit diperoleh. Kegiatan ini membandingkan tiga macam formula pakan isolysine dan isoenergi yang mengandung tepung ubi ketela pohon (Tabel 7) tanpa biji jagung giling. Pengamatan dilakukan selama 8 bulan produksi pada ayam lokal terseleksi.
Tabel 7. Proporsi bahan penyusun pakan percobaan pemanfaatan ubi ketela pohon untuk ayam lokal periode bertelur* Bahan pakan Bungkil kedelai Tepung ubi ketela pohon Katul Tepung ikan Tepung kunyit (Curcuma domestica) Daun kaliandra (Calliandra cayam Lokalcthyrsus) Daun pepaya (Carica papaya) Top Mix Kapur mati (CaCO3) Mono sodium glutamate Tepung ece Total: Estimasi kebutuhan nutrien1 Lysine tercerna Methionine Energi metabolis (MJ/kg) Estimasi kandungan nutrien 2) Protein kasar Protein tercerna Lysine tercerna Methionine tercerna Keseimbangan methionine: lysine (%) Energi metabolis (MJ/kg)
Proporsi (g/kg kering udara) Pakan1 Pakan2 Pakan3 171 171 171 303 300 300 300 298 303 100 100 100 20 20 10 10 15 20 10 10 10 3 3 3 30 30 30 3 3 3 25 25 25 1000 1000 1000 7,6 3,6 11.5
7,6 3,6 11.5
7,6 3,6 11.5
168 117 11 3,7 34% 11,5
169 117 11 3,7 34% 11,5
171 118 11 3,7 34% 11,5
*Sumber: PRAWIRODIGDO et al. (2000); 1S.C.A. (1987); 2Dihitung berdasarkan tabel komposisi bahan pakan Indonesia menurut HARTADI et al. (1997)
158
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
Pada Tabel 7 ditunjukkan bahwa kandungan methionine sudah mencukupi kebutuhan, tetapi kandungan lysine-nya berlebihan, sehingga proporsi methionine: lysine tidak seimbang. Seharusnya masalah ini dapat diatasi dengan menambahkan methionine sintetis ke dalam pakan, tetapi dalam demonstrasi ini penambahan AA itu sengaja tidak dilakukan karena pada praktek sehari-hari petani tidak mau kesulitan mendapatkan AA sintetis yang pemasarannya selalu dalam paket besar yang mahal. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa setiap bulan rata-rata produksi telur selama 8 bulan pengamatan stabil yaitu masing-masing 33,2 + 5%; 34,4 + 5,4%, dan 39,8 + 5% (hend day) berturut-turut untuk ayam lokal yang menerima pakan 1, pakan 2, dan pakan 3 (Tabel 7). Apabila dikonfirmasikan dengan hasil evaluasi penampilan produksi telur ayam lokal yang dilakukan oleh CRESWELL dan GUNAWAN (1982), maka terlihat bahwa produksi telur ayam lokal yang memperoleh pakan 3 hampir sama dengan yang dilaporkan kedua peneliti ini. PRAWIRODIGDO et al. (2000) melaporkan, bahwa secara visual kesehatan ayam yang digunakan selama percobaan memuaskan. Berkaitan dengan fakta itu PRAWIRODIGDO et al. (2000) berspekulasi bahwa pemberian bahan pakan imbuhan berupa tepung kunyit dan tepung daun pepaya diduga memberikan ketahanan yang baik pada ayam lokal terhadap gangguan penyakit. NUGROHO (1998) menyatakan bahwa kunyit mengandung kurkumin, demetoksikurkumin, bisdemetoksi-kurkumin, dan vitamin C yang berkhasiat obat dan antioksidan yang mampu meningkatkan ketahanan tubuh. Meskipun demikian, formula pakan pada Tabel 7 tersebut mungkin belum tepat, karena dasar yang digunakan bukan standar kebutuhan nutrien ayam lokal di Indonesia. Di samping itu, profil dan karakter nutrien bahan pakan yang digunakan juga belum dievaluasi secara intensif dan akurat pada ayam lokal. Lebih lanjut, informasi paling baru yang disampaikan oleh para peneliti (HUSMAINI, 2005; RAHAYU et al, 2005; RESNAWATI, 2005; SABRINA, 2005; TUGIYANTI dan RAHAYU, 2005; USMAN et al., 2005; ZAINUDDIN dan JANAH, 2005) dalam Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III Tahun 2005 juga belum mencerminkan pertimbangan secara
intensif tentang pentingnya penerapan data profil dan karakter nutrien BPAI untuk menopang usaha ayam lokal. Dengan kata lain, para peneliti ini belum secara khusus memperhitungkan kemungkinan polusi lingkungan yang diakibatkan oleh ekskresi N dalam ekskreta ayam yang memperoleh pakan percobaan yang digunakan. Sementara negaranegara industri ayam (Belanda dan Amerika Serikat) sudah menerapkan regulasi tentang persyaratan konsentrasi amonia dalam ekskreta pada perusahaan-perusahaan ayam (PATTERSON, 2004). Cepat-atau lambat Indonesia juga harus menerapkan regulasi serupa. Oleh karena itu, kemungkinan timbulnya masalah polusi lingkungan ini hendaknya diantisipasi secara dini. Pemberian protein berlebihan dan keseimbangan AA nya tidak benar tidak hanya merupakan pemborosan dana, tetapi juga berarti pencemaran lingkungan (LEESON dan SUMMERS, 1997). Sehubungan dengan itu, untuk pilar pembangunan usaha ayam lokal yang efisien dan berwawasan kelestarian lingkungan di masa mendatang, maka evaluasi mendalam tentang profil dan karakater nutrien BPAI potensial merupakan kebutuhan. Dapat dimengerti bahwa pekerjaan ini akan memerlukan pencurahan waktu, pemikiran, dan dana yang sangat besar, tetapi apabila pengembangan usaha ayam lokal di Indonesia akan dilaksanakan dengan serius, maka urgensi evaluasi bahan pakan sebagai pilar utama usaha ayam tidak dapat ditawar. KESIMPULAN Secara keseluruhan dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa untuk menopang pembangunan usaha ayam lokal, maka evaluasi profil dan karakter bahan pakan indigenous Indonesia urgen untuk dilakukan. Di samping itu untuk mencegah kemungkinan terjadinya polusi lingkungan yang ditimbulkan oleh eksresi nitrogen melalui eksreta, maka evaluasi kebutuhan nutrien ayam lokal juga perlu dilaksanakan.
159
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
DAFTAR PUSTAKA CHAVEZ, C., C.D. COUFAL, J.B. CAREY, R.E. LACEY, R.C. BEIER and J.A. ZAHN. 2004. The impact of supplemental dietary methionine sources on volatile compound concentrations in broiler excreta. Poult. Sci. 83: 901-910. CRESWELL, D.C. dan B. GUNAWAN. 1982. Pertumbuhan badan dan produksi telur dari 5 strain ayam sayur pada sistem peternakan intensif. Prosidings Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor. Halaman: 236-240. DAGHIR, N.J. 1995a. Present status and future of poultry industry in hot regions. Poultry Production in Hot Climates. CAB International, The University Press, Cambridge. pp.1-10. DAGHIR, N.J. 1995b. Broiler feeding and management in hot climates. Poultry Production in Hot Climates. CAB International, The University Press, Cambridge. pp.185-218. DAGHIR, N.J. 1995c. Replacement pullet and layer feeding management in hot climates. Poultry Production in Hot Climates. CAB International, The University Press, Cambridge. pp.219-253. DALIBARD, P. and E. PAILLARD. 1995. Use of the digestible amino acid concept in formulating diets for poultry. Anim. Feed Sci. and Technol., 53: 189-204. GULTOM, D., D. WILOETO dan PRIMASARI. 1989. Protein dan energi rendah dalam ransum ayam buras periode bertelur. Prosidings Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang. Halaman: 51-57. GUNAWAN, B., K. DIWIYANTO, dan T. SARTIKA. 1996. Intensifikasi pemeliharaan ayam buras untuk meningkatkan pendapatan petani. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Halaman: 175-187. HARTADI, H., S. REKSOHADIPROJO dan A.D. TILLMAN. 1997. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
160
HUSMAINI. 2005. Pengaruh Pemberian beberapa level protein ransum terhadap penampilan F1 persilangan ayam Arab dan Kampung (ARKAM) periode starter. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 23. JIANKE, X. 1989. Full fat soybean processing and its biological evaluation with nonruminant livestock. Thesis of Masters of Rural Science, University of New England, Armidale, N.S.W., Australia. KAROSSI, A.T., T. DHALIKA, H. BURHANUDIN, A. ZULFIKAR dan R. BUDIASTITI. 1985. Penggunaan bungkil biji karet untuk bahan pakan ayam. Prosidings Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Bogor. Halaman: 32-38. KINGSTON, D. 1979. The role of scavengers chicken in Indonesia. Second Poultry Science and Industry Seminar, Bogor. Halaman: 13-29. LEESON, S. and J.D. SUMMERS. 1997. Commercial poultry nutrition (2nd Ed.). University Books, Guelph, Ontario, Canada. LEMME, A., V. RAVINDRAN and W.L. BRYDEN. 2004. Ileal digestibility of amino acids in feed ingredients for broilers. World Poult. Sci. J., 60 (4): 423-435. MAXWELL, C.V. 1990. Mung beans. Nontraditional feed sources for use in swine production Butterworths, London. pp.: 255-263. NORTH, M.O. and D.D. BELL. 1990. Commercial chicken production manual (4th Ed.) Chapman & Hall, London. NUGROHO, H.A. 1998. Manfaat dan prospek pengembangan kunyit. Penerbit P.T. Trubus Agriwijaya, Ungaran. NWOKOLO, E. 1990a. Cocoyams. Nontraditional feed sources for use in swine production Butterworths, London. pp.: 113-122. NWOKOLO, E. 1990b. Pumpkin, melon and other gourd seeds. Nontraditional feed sources for use in swine production Butterworths, London. pp.: 327-337. NWOKOLO, E. 1990c. Rubber seeds, oil and meal. Nontraditional feed sources for use in swine production Butterworths, London. pp.: 355362.
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
PATTERSON, P.H. 2004. Dietary strategies for poultry to reduce nitrogen losses to the environment. Paper was distributed at MIPI Kongres II. Bogor.
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Halaman: 48-55.
PEISKER, M. 1996. Amino acid profiles for poultry. Recent Advances in Animal Nutrition. Nottingham University Press, Nottingham. pp.: 57-68
RESNAWATI, H., S. ISKANDAR dan SURAYAH. (1998). Penggunaan bungkil biji kemiri (Aleurites mollucana Willd.) dalam ransum ayam buras. JI.V, 3(3): 154-157.
PRAWIRODIGDO, S. 1999a. Perspektif bahan pakan lokal tradisional dan nontradisional sebagai komponen ransum unggas. J. Pengembangan Peternakan Tropis, 106-117.
SABRINA. 2005. Pengaruh Pemberian campuran sagu dan ampas tahu yang difernmentasi dengan Trichoderma harzianum terhadap performa itik pitalah. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 22.
PRAWIRODIGDO, S. 1999b. Formulasi ransum ayam berdasarkan daya-cerna-ileum asam amino bahan pakan: Suatu metode baru. Sain Teks, 6 (3): 50-61. PRAWIRODIGDO, S. 1999c. Digestion, retention and excretion of nitrogen and amino acids in pigs fed cottonseed or soybean meals. Doctor of Philosophy Thesis. Department of Animal Production, The University of Melbourne, Parkville, Victoria, Australia. PRAWIRODIGDO, S. 2005. Pemberian pakan mengandung asam amino berimbang pada ternak ayam sebagai strategi proteksi terhadap wabah penyakit Flu Burung dan serangan virus lainnya (Belum dipublikasi).
S.C.A. (Standing Committee on Agriculture). 1987. Feeding standard for Australian livestock: Poultry. CSIRO, Melbourne, Australia. SUWINDRA, N., M. SUPARDJATA, dan K. ASTININGSIH. 1982. Performans ayam sayur versus ayam white leghorn pada fase pertumbuhan dan peneluran. Prosidings Seminar Penelitian Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor. Halaman: 231-235.
PRAWIRODIGDO, S., D.M. YUWONO, D. PRAMONO, D. WILOETO, dan SUGIONO. 2000. Pengkajian teknologi sistem usaha ayam buras. Laporan Hasil Pengkajian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Ungaran, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Ungaran, Jawa Tengah.
TUGIYANTI, E. dan S. RAHAYU. Perkembangan otot dada dan paha serta kinerja ayam kampung yang mendapat ransum berbahan dasar polisakarida bukan pati dan suplementasi pakan lisin. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 19.
RAHAYU, F., S. SUHERMIYATI dan NING IRIYANTI. 2005. Evaluasi kolesterol dan lemak kuning telur ayam kampung yang mendapat pakan menggunakan minyak nabati dan minyak hewani. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 25.
USMAN, ATEKAN dan S. TIRAJOH. 2005. Potensi dan manfaat limbah buah merah (Pandanus Conoideus Lamk) sebagai pakan ayam buras petelur. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 26.
RESNAWATI, H. 2005. Kebutuhan energi metabolis dalam ransum ayam silang yang dipelihara secara intensif. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 24. RESNAWATI, H., R. ANGGORODI, A.T.A. KAROSSI dan SAFUAN. 1985. Penggunaan biji saga pohon (Adenanthera pavonina LINN) dalam ransum terhadap penampilan ayam pedaging. Prosidings Seminar Peternakan dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Pusat
WILLIAMS, P.E.V. 1995. Digestible amino acids for non-ruminant animals: Theory and recent challenges. Anim. Feed Sci. Tech., 53: 173187. WALDROUP, P.W. 1997. Dietary nutrient allowances for poultry. Feeddstuffs, 69: 21—24. YUWONO, D.M., MURYANTO dan SUBIHARTA. 1993. Survai pemasaran ayam buras di Solo dan Semarang. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu, 1 (1): 7-13.
161
Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pengembangan Ayam Lokal
YUWONO, D.M., MURYANTO, SUBIHARTA, dan W. DIRDJOPRATONO. 1995. Pengaruh perbedaan kualitas ransum terhadap produksi telur dan keuntungan usaha pemeliharaan ayam buras di Daerah pantai. J. Ilmiah Penelitian Ternak Klepu, 1 (3):11-15. ZAINUDDIN, D. dan A. NAZAR. 1999. Upaya menekan biaya pakan dengan teknologi pemanfaatan limbah restoran untuk ransum ayam buras. J. Pengembang. Peter. Trop.Ed.
162
Khusus, Fakultas Peternakan Diponegoro. Halaman: 84-92.
Universitas
ZAINUDDIN, D. dan I.R. JANAH. 2005. Suplementasi asam amino lisin dalam ransum basal untuk ayam kampung petelur terhadap bobot telur, indeks telur daya tunas dan daya tetas serta korelasinya. Abstrak Panduan Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal III. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Halaman: 28.