SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176
UPAYA PENINGKATAN BUDAYA KESELAMATAN PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT DI INDONESIA Muhammad Khoiri Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-Badan Tenaga Nuklir Nasional Jl. Babarsari P.O.Box 6101 YKBB Yogyakarta 55281 Corresponding author,Telp. 0274)48085,489716 ; Fax: (0274)489715; email:
[email protected]
Abstrak UPAYA PENINGKATAN BUDAYA KESELAMATAN PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT DI INDONESIA. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran cara pengukuran keselamatan dan keamanan kerja, dari pengukuran yang semata-mata melihat jumlah atau tingkat kecelakaan kerja menuju ke pengukuran yang fokus pada budaya keselamatan. Budaya keselamatan yang baik akan membentuk pola perilaku aman dari perorangan maupun kelompok dalam program keselamatan. Tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan upaya meningkatkan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi rumah sakit. Perumusan upaya ini dilakukan melalui kajian terhadap beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan budaya keselamatan dan perilaku pekerja radiasi rumah sakit di Indonesia. Kajian ini juga mengacu INSAG-4 dari IAEA dan peraturan-peraturan BAPETEN. Berdasarkan kajian ini didapatkan bahwa tingkat kinerja budaya keselamatan di lingkungan rumah sakit di Indonesia secara umum cukup baik, tetpi masih dapat dan perlu ditingkatkan melalui pendekatan discretionary, misalnya selalu melibatkan pekerja secara optimal, komunikasi yang baik antara pihak manajemen dan pekerja, dan pendidikan/pelatihan yang dibutuhkan. Kata kunci:budaya keselamatan, perilaku pekerja, pekerja radiasi rumah sakit.
Abstract EFFORTS TO INCREASE SAFETY CULTURE OF RADIATION WORKERS IN HOSPITAL IN INDONESIA. Recently, there has been changes in the way of safety and job security measures, from measurements the number or level of workplace accidents to be themeasurement that focus on safety culture. A good safety culture will establish safe patterns of behavior of individuals and groups in the safety program. This paper is intended to formulate an effort to improve safety culture for radiation workers in hospital. The formulation of this effort is done through a review of some research results related to safety culture and behavior of radiation workers in hospital in Indonesia. This study also refers INSAG-4 from the IAEA and the rules of BAPETEN. Based on this study it was found that the level of performance of safety culture in hospitals in Indonesia are generally good enough, but has still to be enhanced through a discretionary approach, for example, always involves an optimal worker, good communication between management and workers, and education/training required. Keywords: safety culture, behavior of worker, radiation worker in hospital
M. Khoiri
571
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176
PENDAHULUAN Penggunaan radiasi pengion dewasa ini telah berkembang pesat dalam banyak aspek kehidupan, tak terkecuali dalam bidang kesehatan/kedokteran, karena kebutuhan manusia sendiri. Radiasi pengion yang digunakan dalam bidang kedokteran dapat berupa sinar-X, sinar-γ, atau radiasi pengion yang lain. Radiasi-radiasi ini mempunyai potensi bahaya tehadap manusia yang tidak dapat diabaikan. Bahaya radiasi pengion ini adalah ketika radiasi pengion menembus bahan terjadi tumbukan foton dengan atom-atom bahan yang akan menimbulkan ionisasi. Kejadian inilah yang memungkinkan timbulnya bahaya terhadap tubuh, baik yang bersifat deterministik, maupun stokastik. Efek negatif ini dapat berupa somatik akut (luka bakar, anemia, kemandulan, katarak, dsb), efek somatik laun (late somatic effect) seperti kanker dan leukemia, serta efek genetik (Wiharto dkk., 1997). Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan aspek keselamatan radiasi ini harus selalu diperhatikan dan diusahakan. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran cara pengukuran keselamatan dan keamanan kerja, dari pengukuran yang semata-mata melihat jumlah atau tingkat kecelakaan kerja menuju ke pengukuran yang fokus pada budaya (iklim) keselamatan (Cooper, 2000). Istilah budaya keselamatan ‘safety culture’ pertama kali muncul dalam OECD Nuclear Agency Report tahun 1987 yang dimuat dalam INSAG tahun 1988 yang dilatarbelakangi oleh kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl pada tahun 1986 (Cooper, 2000). Istilah budaya keselamatan ini kemudian secara internasional dipahami sebagai budaya atau atmosfer perusahaan dimana masalah keselamatan dimengerti dan diterima menjadi prioritas utama dalam perusahaan. Di Indonesia budaya keselamatan tertuang dalam UU No. 10 tahun 1997 tentang Undangundang Ketenaganukliran. Pada penjelasan Pasal 15, yaitu pasal tentang tujuan dan maksud pengawasan, dinyatakan bahwa budaya keselamatan mensyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab. Hal ini diperkuat dengan peraturan bahwa di setiap fasilitas pengguna radiasi pengion atau tenaga nuklir diwajibkan mewujudkan budaya keselamatan (PP No. 33 Tahun 2007). Menurut Reason (1997) dalam Andi et al. (2005) dua penyebab utama gagalnya sistem keselamatan adalah perilaku tidak aman pekerja dan kondisi laten yang berasal dari faktor organisasi dan lingkungan kerja. Oleh karena itu usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja akan lebih STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
berhasil apabila pihak manajemen menyingkirkan masalah-masalah yang ada pada perusahaan sedini mungkin, yaitu faktor organisasi. Selain menyingkirkan masalah, usaha ini akan membentuk budaya keselamatan yang baik dan dapat mendorong pekerja berperilaku aman. Perilaku aman ini penting diperhatikan di fasilitas berradiasi, karena 68% penyebab terjadinya kecelakaan radiasi pada tahun 1960 – 1968 adalah kesalahan operator, seperti yang dilaporkan USEAC (BATAN, 2006). Di dalam TECDOC-1329 (IAEA, 2002) dinyatakan bahwa budaya akan membentuk perilaku-perilaku khusus, sehingga budaya keselamatan akan membentuk pola perilaku dari perorangan maupun kelompok dalam program kesehatan dan keselamatan. Beranjak permasalahan tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan upaya meningkatkan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi di rumah sakit. METODE Perumusan upaya meningkatkan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi di rumah sakit ini dilakukan melalui kajian terhadap beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan budaya keselamatan dan perilaku pekerja radiasi di rumah sakit di Indonesia, terutama hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusri, H dan Johnny Situmorang (2000) tentang sikap terhadap keselamatan dari pekerja radiasi rumah sakit dan industri di Indonesia, serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Khoiri, dkk. (2010) tentang pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku K3 pada pelayanan radiologi rumah sakit. Kajian ini juga mengacu pada dokumen-dokumen IAEA, terutama INSAG 4 (IAEA, 1991) dan peraturan-peraturan dari BAPETEN terutama yang berkaitan dengan keselamatan radiasi, khususnya di rumah sakit. DEFINISI DAN KESELAMATAN
KONSEP
BUDAYA
Beberapa definisi budaya keselamatan dalam Andi et al. (2005), yaitu: pertama oleh Utal (1983) ”budaya keselamatan adalah bagian kepercayaan dan nilai yang berhubungan dengan sistem kontrol dan struktur organisasi yang membentuk norma perilaku”. Kedua oleh Turner (1992) ”budaya keselamatan adalah serangkaian dari kepercayaan, norma, perilaku, aturan, dan praktek teknis dan sosial yang sangat berhubungan dengan upaya meminimalkan bahaya dan kecelakaan kerja yang akan menimpa pekerja, manajer, pelanggan, dan masyarakat”. Ketiga, menurut INSAG-4 (IAEA, 1991) ”budaya keselamatan adalah gabungan dari
572
M. Khoiri
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 karakteristik dan sikap dalam organisasi dan individu yang menetapkan bahwa, sebagai prioritas utama, masalah keselamatan instalasi nuklir memperoleh perhatian yang sesuai dengan kepentingannya. Walau budaya keselamatan merupakan konsep abstrak tetapi memainkan peran penting dalam menentukan unjuk kerja keselamatan pekerja dan lingkungan di industri yang menggunakan teknik radiografi dengan dosis radiasi yang tinggi. Hal ini teridentifikasi di RTD Netherlands. Oleh karena itu budaya keselamatan perlu dikembangkan dan dipelihara oleh perusahaan dalam mendorong perilaku kerja yang positif untuk keselamatan radiasi (Van Sonsbeek, 2006) Sifat universal budaya keselamatan untuk semua jenis kegiatan, baik untuk organisasi maupun untuk individu pada semua tingkatan, mencakup berbagai unsur, seperti yang tercantum dalam Safety Report 75-INSAG-4 (IAEA, 1991), yaitu: 1) Kepedulian individu terhadap pentingnya keselamatan. 2) Pengetahuan dan kompetensi, yang diperoleh melalui pelatihan dan instruksi personil maupun belajar sendiri.
3) Komitmen, yang menuntut teladan pada tingkat manajemen senior dalam memprioritaskan keselamatan, dan adopsi oleh individu tentang tujuan keselamatan umum. 4) Motivasi, melalui kepemimpinan, penetapan tujuan dan sistem penghargaan dan sangsi, dan melalui sikap individu yang timbul dengan sendirinya. 5) Supervisi, termasuk kegiatan audit dan peninjauan ulang, dengan kesiapan untuk merespon sikap mempertanyakan individu. 6) Tanggung jawab, melalui penugasan formal dan uraian tugas dan pemahamannya oleh individu Oleh karena itu budaya keselamatan mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama, yang terdiri dari komitmen tingkat pengambil kebijakan dan komitmen tingkat manajer, adalah kerangka kerja yang diperlukan dalam suatu organisasi dan hal ini merupakan tanggung jawab dari hirarki manajemen. Komponen kedua adalah sikap/perilaku staf pada semua tingkatan dalam merespon dan memanfaatkan kerangka kerja tersebut. Dua komponen utama yang membentuk budaya keselamatan diilustrasikan pada Gambar 1.
BUDAYA KESELAMATAN
SIKAP PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT TERHADAP KESELAMATAN Sikap pekerja radiasi rumah sakit di sini adalah review makalah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusri, dkk. (2000). Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada pekerja radiasi di beberapa rumah sakit di indonesia secara acak. Kusioner yang kembali dari pekerja radiasi tersebut sebanyak 69 buah. Faktor budaya keselamatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 5 buah, yaitu: (1) efektivitas prosedur keselamatan kerja, (2) tingkat keselamatan kerja, (3) sikap terhadap keselamatan kerja, (4) perhatian pimpinan terhadap keselamatan kerja, dan (5) tingkat kecelakaan kerja. Kelima faktor ini kemudian dijabarkan dalam 39 indikator/pertanyaan. Berikut hasil evaluasi kuesioner pada pekerja radiasi rumah sakit: Pertama, tanggapan terhadap prosedur keselamatan kerja di lingkungan rumah sakit adalah 40,9% baik, 16,7% sedang, dan 42,4% kurang. Kedua, tingkat keselamatan kerja di lingkungan rumah sakit adalah 61,4% baik, 22,3% sedang, dan 16,2% kurang. Ketiga, perhatian pimpinan terhadap keselamatan kerja di lingkungan rumah sakit adalah 52,5% baik, 20,0% sedang, dan 27,5% kurang. Keempat, sikap terhadap keselamatn kerja di lingkungan rumah sakit adalah 44,5% baik, 16,5% sedang, dan 39,5% kurang. Kelima, dari 69
Sikap Ingin Tahu
Komitme n Individu
Definisi Tanggung Jawab
Pendekatan yang Ketat & Bijaksana
Komunikasi
Definisi dan Kendali Praktek Kes elamatan
Kualikasi dan Pelatihan
Komitmen Manajer
Penghargaan dan Sanksi
Pernyataan Kebijakan Kesel amatan
Audit, Tinjauan & Pembandingan
Struktu r Manajemen
Komitmen T ingkat Kebijakan
Sumbe r Daya
Pengaturan Diri
Gambar 1. Komponen budaya keselamatan, dari INSAG-4 (IAEA, 1991)
M. Khoiri
573
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 responden dengan masa kerja rata-rata 8,8 tahun (antara 1 sampai 27 tahun) hanya 1 responden yang pernah mengalami kecelakaan kerja, yaitu responden dengan pengalaman kerja 18 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecelakaan terjadi bukan karena kurangnya pengalaman dalam menangani pekerjaan. Kesimpulan penelitian adalah: pertama secara umum tingkat kinerja budaya keselamatan di rumah sakit baik, dengan tanggapan buruk terhadap efektivitas prosedur keselamatan dan sistem keselamatan.
Q 2 1 (1 R B2 )(1 RC2 )(1 R D2 ) (1 RE2 )(1 R F2 )(1 RG2 )
.
0,988 Karena Q2 >>0, mendekati 1, maka model sangat baik berdasar nilai predictive relevance.
PENGARUH BUDAYA KESELAMATAN TERHADAP PERILAKU PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT Pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku pekerja rumah sakit di sini adalah review makalah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Khoiri, dkk. (2010). Penelitian dilakukan dengan menyebarkan 60 set kuesioner kepada 73 pekerja radiologi sebuah rumah sakit X yang mempunyai catatan dosis radiasi. Kusioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 38 buah. Faktor budaya keselamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 buah, yaitu: (1) komitmen top manajemen, (2) peraturan dan prosedur keselamatan kerja, (3) komunikasi, (4) kompetensi pekerja, (5) keterlibatan pekerja, dan (6) lingkungan kerja. Keenam faktor ini adalah faktor-faktor utama pembentuk budaya keselamatan yang sering dipakai di industri dan telah dikonfirmasi dengan faktor-faktor pembentuk budaya keselamatan yang ada di INSAG-4 (IAEA, 1991). Kemudian keenam faktor ini diuraikan menjadi 68 indikator/pertanyaan. Keenam faktor budaya keselamatan tersebut dibuat model untuk mengetahui pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku K3 pekerja radiologi rumah sakit. Faktor perilaku pekerja ini dijabarkan menjadi 21 indikator/pertanyaan. Pembuatan model menggunakan metode structural equation modelling – partial least square (SEM PLS). Model yang dihasilkan dapat dilihat pada gambar 2. Nilai R2 0,67, 0,33, dan 0,19 untuk variabel endogen mengindikasikan bahwa model “baik, “moderat, dan “lemah” (Ghozali, 2008). Dari uji R2 dapat dilihat bahwa model yang dibuat dalam penelitian ini termasuk model yang moderat karena nilai R2 untuk perilaku K3 adalah 0,52. Dari Gambar 2 dapat diketahui besarnya pengaruh langsung, pengaruh tidak langsung, dan pengaruh menyeluruh seperti yang terlihat pada tabel 1. Model yang didapat juga diuji dengan menghitung Q2 dengan R2 dari variabel endogen (Gambar2), sehingga: STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
Gambar 2. Model pengaruh budaya keselamatan, nilai pengaruh langsung, dan R2 Tabel 1. Pengaruh faktor budaya keselamatan terhadap perilaku pekerja No
1 2
3 4 5 6
Faktor budaya keselamatan Komitmen Top Manajemen Peraturan dan Prosedur Keselamatan Kerja Komunikasi Kompetensi Lingkungan Kerja Keterlibatan Pekerja
Pengaruh langsung
Pengaruh tidak langsung
Pengaruh total
-
0,399
0,399
-
-
-
0,306 -
0,327 -
0,327 0,306 -
0,404
-
0,404
PEMBAHASAN Dari Tabel 1 ada empat faktor budaya keselamatan yang mempengaruhi perilaku pekerja, yaitu: komitmen top manajemen, komunikasi, kompetensi pekerja, dan keterlibatan pekerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa walau faktor komitmen top manajemen tidak berpengaruh langsung terhadap perilaku K3 namun merupakan faktor utama dalam mempengaruhi budaya keselamatan. Peraturan dan prosedur keselamatan kerja, dan lingkungan kerja tidak berpengaruh. Komitmen top manajemen merupakan faktor utama itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh
574
M. Khoiri
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 Turner (1992) dan Pigeon (1998) dalam Andi et al. (2005) bahwa komitmen pihak manajemen baik yang berupa tindakan, tulisan, maupun kata-kata, menjadi faktor terpenting untuk terciptanya budaya keselamatan. Demikian juga INSAG-4 (IAEA, 1991) menyatakan bahwa untuk membentuk budaya keselamatan hendaklah mulai dari awal, dari top management dan keberhasilan penerapannya dicerminkan oleh komitmen manajemen dan kompetensi pekerja. Maka, hendaknya pihak manajemen puncak memandang keselamatan sebagai bagian tidak terpisahkan dari strategi untuk pengendalian resiko radiasi. Apalagi dampak radiasi sering kali bersifat jangka panjang, sehingga mudah terabaikan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Yusri, H. Dan Situmorang (2000) ditemukan bahwa perhatian pimpinan rumah sakit terhadap keselamatan kerja baik, yaitu 52,5%, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku keselamatan pekerja radiasi rumah sakit (Khoiri, dkk., 2010) sehingga sistem keselamatan akan bekerja baik (Reason, 1997 dalam Andi et al., 2005) yang pada akhirnya tingkat status budaya keselamatan juga baik. Hal ini terbukti dengan ditemukannya tingkat keselamatan kerja yang baik, yaitu 61,4% dan tingkat kecelakaan pekerja radiasi rumah sakit relatif kecil, yaitu selama 27 tahun hanya ada satu responden yang pernah mengalami kecelakaan dari 69 responden. Temuan menarik dari penelitian yang dilakukan Khoir, dkk. (2010) seperti terlihat pada gambar 2 dan tabel 1 adalah: walau pengaruh langsung komunikasi terhadap perilaku pekerja tidak ada, tetapi pengaruh menyeluruhnya relatif besar, serta komunikasi antara manajemen dan staf merupakan faktor sangat penting untuk meningkatkan kompetensi dan keterlibatan pekerja, dimana dua faktor ini sangat berpengaruh pada perilaku pekerja. oleh karena itu komunikasi menjadi sangat penting diperhatikan untuk memperbaiki perilaku/sikap pekerja radiasi rumah sakit, yang ternyata hanya 44,5% baik (Yusri, H. dan Situmorang, 2000). Menurut Reason (1997) dalam Andi et al. (2008) perilaku pekerja bisa dikendalikan lewat pendekatan secara kaku (prescriptive) berdasarkan peraturan, secara fleksibel (discretionary) berdasarkan pengalaman/pelatihan, atau kombinasi dua pendekatan ini. Hasil penelitian yang dilakukan Khoiri (2010) menunjukkan bahwa peraturan dan prosedur kerja tidak berpengaruh pada perilaku pekerja radiasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Yusri dan Situmorang (2000) yang menyatakan bahwa para pekerja radiasi rumah sakit memberikan tanggapan buruk terhadap efektivitas prosedur keselamatan dan sistem keselamatan. Oleh karena itu untuk memperbaiki perilaku M. Khoiri
575
pekerja radiasi untuk meningkatkan keselamatan lebih tepat dikendalikan secara discretionary. Alasannya adalah walau pengaruh langsung faktor komunikasi terhadap perilaku pekerja tidak ada tetapi pengaruh menyeluruhnya relatif besar, serta komunikasi antara manajemen dan staf merupakan faktor penting meningkatkan kompetensi dan keterlibatan pekerja, dimana dua faktor ini sangat berpengaruh pada perilaku pekerja (Khoiri dkk., 2010). Pengendalian secara discretionary dapat dikatakan pengendalian secara internal, yang dalam keselamatan radiasi di rumah sakit dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri pekerja radiasi terhadap pentingnya budaya keselamatan, yang dapat dilakukan dengan selalu melibatkan pekerja secara optimal, melakukan komunikasi dua arah dengan pekerja, memberikan pendidikan/pelatihan: K3, proteksi dan keselamatan radiasi, maupun bidang lain untuk meningkatkan kompetensi pekerja. Hal ini sesuai Keputusan Kepala BAPETEN Nomor 01-P/Ka-BAPETEN/I-03, yaitu bahwa pekerja yang berkaitan dengan radiasi harus mendapat pelatihan yang berhubungan pekerjaan maupun yang berhubungan dengan efek atau resiko pekerjaan tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tingkat kinerja budaya keselamatan di lingkungan rumah sakit di Indonesia secara umum baik. 2. Faktor-faktor budaya keselamatan yang sangat berpengaruh untuk meningkatkan perilaku aman bagi pekerja radiasi rumah sakit adalah: komitmen top manajemen, komunikasi, kompetensi, dan keterlibatan aktif pekerja. 3. Untuk meningkatkan budaya keselamatan pekerja radiasi rumah sakit, khususnya dalam mengendalikan perilaku aman bagi pekerja lebih tepat menggunakan pendekatan secara discretionary, misalnya selalu melibatkan pekerja secara optimal, melakukan komunikasi dua arah dengan pekerja, memberikan pendidikan/pelatihan. SARAN Perhatian harus lebih diarahkan pada faktor-faktor budaya keselamatan dalam membentuk perilaku K3 pekerja. Namun, upaya untuk dapat mengukur atau mengevaluasi faktor-faktor ini tidaklah mudah. Diharapkan penelitian mendatang memberikan masukan cara mengevaluasi budaya keselamatan bagi pekerja radiasi di rumah sakit. Serta perlu
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 penelitian lanjutan untuk mencari faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam membentuk perilaku pekerja radiasi rumah sakit. Untuk meningkatkan efektivitas penerapan, evaluasi, dan pengembangan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi rumah sakit perlu diadakan secara rutin kelompok diskusi atau seminar internal untuk membahas tentang budaya keselamatan. DAFTAR PUSTAKA 1. Andi, Ratna S. A., Aditya C., 2005, Model persamaan structural pengaruh budaya keselamatan kerja pada perilaku pekerja di proyek konstruksi, Jurnal Teknik Sipil Vol. 12 No. 3, 2005. 2. BATAN, 2006, Proteksi Radiasi, Radiografi Level I, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta 3. Cooper, M.D., 2000, Towards a model of safety culture, Safety Science. 4. IAEA, 1991, Safety culture, Safety Report 75INSAG-4 5. Keputusan Kepala BAPETEN No: 01/KaBAPETEN/I-03 Tentang Pedoman Dosis Pasien Radiodiagnostik 6. Khoiri, Muhammad; Rini Dharmastiti; Bagaswoto Poedjomartono, 2010. Model Pengaruh Budaya keselamatan Terhadap perilaku K3 Pada Pelayanan Radiologi di Instalasi Radiologi Rumah Sakit X, Prosiding Koferensi Psikologi Eksperiman, UGM 7. PP No. 33, 2007, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. 8. Van Sonsbeek, R, 2006, Developing a safety culture in industrial radiography, ECNDT, Rotgen Techniche Dients bv, Rotterdam, The Natherlands. 9. Wiharto, K. dan Budiantari, C.T., 1997, Paparan Medik Dalam Kedokteran Nuklir Diagnostik, Buletin ALARA 1 (2), Pusat Standarisasi dan Penelitian Keselamatan Radiasi, BATAN 10. Yusri, H. dan Situmorang, J., 2000, Sikap Terhadap keselamatan dari Pekerja Radiasi
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
576
M. Khoiri