Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsepsi Hak Asasi Manusia Dalam Rangka Perlindungan dan Penegakannya di Indonesia*) Oleh: Hernadi Affandi, S.H., LL.M.**) A. Pendahuluan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing. Jauh sebelum kemerdekaan, para cerdik cendekia -yang merupakan tokoh-tokoh pergerakan -- sudah sangat menyadari dan memahami arti penting HAM. Hal itu terbukti dengan adanya keinginan untuk menuntut kemerdekaan dari tangan penjajah agar menjadi bangsa yang merdeka. Selanjutnya, pada waktu penyusunan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun masalah HAM kembali menjadi bahan perdebatan agar dijadikan sebagai salah satu materi muatan UUD. Meskipun dalam penyusunan UUD itu terdapat perbedaan pandangan mengenai HAM, para pendiri negara ini sudah menyadari tentang arti pentingnya HAM untuk warga negara dari sebuah negara yang merdeka. Namun demikian, pada masa-masa selanjutnya, kesadaran tentang HAM kemudian mengalami pasang dan surut seiring perjalanan sejarah bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada waktu yang lalu, HAM hanya dianggap slogan yang pelaksanaannya masih sangat memprihatinkan. Meskipun dalam hal-hal tertentu pemenuhan HAM sudah dilaksanakan, tidak sedikit pula telah terjadi berbagai pelanggaran HAM. Kondisi tersebut, kemudian menyebabkan masyarakat menjadi
*)
Paper disampaikan dalam “Sosialisasi Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia” yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Barat di Subang, 6 Desember 2006. **) Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
1
bertanya-tanya tentang perlindungan dan pelaksanaan HAM di negeri ini. Bahkan tidak sedikit masyarakat kita yang meragukan tentang arti penting HAM dalam kehidupan mereka. Hal itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena ketidakmengertian tentang HAM, kenyataan banyaknya pelanggaran HAM, atau kekhawatiran terjadinya pembelengguan dirinya yang disebabkan oleh keberadaan HAM itu sendiri. Keadaan tersebut tentunya tidak boleh dibiarkan berlangsung terus tetapi harus dihentikan dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang HAM. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting keberadaan HAM, pihak terkait sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya baik yang bersifat konseptual-strategis maupun teknis-implementatif. Upaya tersebut di antaranya adalah dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang bernuansa HAM, memasyarakatkan pengertian dan pemahaman HAM, memasukkan HAM sebagai salah satu mata kuliah wajib di kalangan perguruan tinggi khususnya di fakultas hukum, bahkan melakukan amandemen UUD 1945 dengan memasukkan materi HAM yang lebih komprehensif. Namun demikian, berbagai upaya tersebut tentunya tidak akan berhasil dengan optimal tanpa adanya upaya sinergis dari berbagai pihak. Sekalipun perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah, hal itu bukan berarti bahwa masyarakat luas tidak dapat berperan sama sekali. Peran itu tentunya lebih merupakan tanggung jawab para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun 2
penyelenggara negara lainnya di berbagai tingkatan melakukan tindakan nyata agar masyarakat semakin mengerti dan memahami HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, sebelum masyarakat luas memahami hakikat HAM, para penyelenggara negara atau pemerintahan harus terlebih dahulu memahaminya dengan baik.
B. Makna dan Konsepsi HAM Di atas sudah dijelaskan bahwa HAM bukan merupakan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia. Pemahaman HAM di Indonesia sebagai nilai, konsep, dan norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM, yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat ini.1 Pendirian Budi Utomo pada tahun 1908 dapat dianggap sebagai titik awal timbulnya kesadaran untuk mendirikan suatu negara kebangsaan yang terlepas dari cengkeraman kolonial, yang dalam konteks HAM dikenal sebagai perwujudan dari the right of self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri).2 Hak itulah yang kemudian “mengilhami” agar status sebagai negara terjajah berubah menjadi negara yang merdeka, lepas dari penjajahan bangsa asing. Namun demikian, HAM tentunya Hak Asasi Manusia (HAM) bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukan merupakan sesuatu yang asing. Jauh sebelum kemerdekaan, para cerdik cendekia -- yang merupakan tokoh-tokoh pergerakan -- sudah sangat menyadari dan memahami arti
1
Bagir Manan, dkk, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 2 2 ibid, hlm. 2
3
penting HAM. Hal itu terbukti dengan adanya keinginan untuk menuntut kemerdekaan dari tangan penjajah agar menjadi bangsa yang merdeka. Selanjutnya, pada waktu penyusunan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pun masalah HAM kembali menjadi bahan perdebatan agar dijadikan sebagai salah satu materi muatan UUD. Meskipun dalam penyusunan UUD itu terdapat perbedaan pandangan mengenai HAM, para pendiri negara ini sudah menyadari tentang arti pentingnya HAM untuk warga negara dari sebuah negara yang merdeka. Namun demikian, pada masa-masa selanjutnya, kesadaran tentang HAM kemudian mengalami pasang dan surut seiring perjalanan sejarah bangsa ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada waktu yang lalu, HAM hanya dianggap slogan yang pelaksanaannya masih sangat memprihatinkan. Meskipun dalam hal-hal tertentu pemenuhan HAM sudah dilaksanakan, tidak sedikit pula telah terjadi berbagai pelanggaran HAM. Kondisi tersebut, kemudian menyebabkan masyarakat menjadi bertanya-tanya tentang perlindungan dan pelaksanaan HAM di negeri ini. Bahkan tidak sedikit masyarakat kita yang meragukan tentang arti penting HAM dalam kehidupan mereka. Hal itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena ketidakmengertian tentang HAM, kenyataan banyaknya pelanggaran HAM, atau kekhawatiran terjadinya pembelengguan dirinya yang disebabkan oleh keberadaan HAM itu sendiri. Keadaan tersebut tentunya tidak boleh dibiarkan berlangsung terus tetapi harus dihentikan dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang HAM. Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang arti penting keberadaan HAM, pihak terkait sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya baik yang bersifat 4
konseptual-strategis maupun teknis-implementatif. Upaya tersebut di antaranya adalah dengan mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang bernuansa HAM, memasyarakatkan pengertian dan pemahaman HAM, memasukkan HAM sebagai salah satu mata kuliah wajib di kalangan perguruan tinggi khususnya di fakultas hukum, bahkan melakukan amandemen UUD 1945 dengan memasukkan materi HAM yang lebih komprehensif. Namun demikian, berbagai upaya tersebut tentunya tidak akan berhasil dengan optimal tanpa adanya upaya sinergis dari berbagai pihak. Sekalipun perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM merupakan tanggung jawab negara, khususnya pemerintah, hal itu bukan berarti bahwa masyarakat luas tidak dapat berperan sama sekali. Peran itu tentunya lebih merupakan tanggung jawab para penyelenggara negara baik di pusat maupun di daerah. Oleh karena itu, sudah sewajarnya para penyelenggara negara, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun penyelenggara negara lainnya di berbagai tingkatan melakukan tindakan nyata agar masyarakat semakin mengerti dan memahami HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, sebelum masyarakat luas memahami hakikat HAM, para penyelenggara negara atau pemerintahan harus terlebih dahulu memahaminya dengan baik.
C. Makna dan Konsepsi HAM Di atas sudah dijelaskan bahwa HAM bukan merupakan sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia. Pemahaman HAM di Indonesia sebagai nilai, konsep, dan 5
norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dapat ditelusuri melalui studi terhadap sejarah perkembangan HAM, yang dimulai sejak zaman pergerakan hingga saat ini.3 Pendirian Budi Utomo pada tahun 1908 dapat dianggap sebagai titik awal timbulnya kesadaran untuk mendirikan suatu negara kebangsaan yang terlepas dari cengkeraman kolonial, yang dalam konteks HAM dikenal sebagai perwujudan dari the right of self determination (hak untuk menentukan nasib sendiri).4 Hak itulah yang kemudian “mengilhami” agar status sebagai negara tertidak hanya menyangkut masalah “hak untuk menentukan nasib sendiri” karena cakupannya sangat luas.
Di dalam literatur, HAM dikenal dengan berbagai istilah, antara lain: hak azasi, hak-hak asasi, hak azasi manusia, hak asasi manusia, hak-hak asasi manusia, hak-hak dasar, atau hak-hak fundamental. Dari beberapa istilah tersebut, tampaknya istilah “hak asasi manusia” dan “hak-hak asasi manusia” lebih populer daripada istilah lainnya,
sebagai
terjemahan
dari
“human
rights”
(bahasa
Inggris)
atau
“mensenrechten” (bahasa Belanda). Namun demikian, ada pula pihak tertentu yang menolak menggunakan istilah “hak asasi” (manusia) dan lebih suka menggunakan istilah lain seperti “hak-hak dasar” atau “hak-hak fundamental”.5 Selain ketiadaan keseragaman istilah yang digunakan, dari segi definisi HAM juga berbeda-beda. Menurut Soewandi, hak-hak yang sekarang dikenal sebagai HAM diartikan sebagai hak-hak "subjektif" yang telah ada pada para individu pada waktu 3
Bagir Manan, dkk, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2001, hlm. 2 4 ibid, hlm. 2 5 Hernadi Affandi, Hukum Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005, hlm. 2-3
6
mereka membuat perjanjian sosial untuk membentuk pemerintahan (pactum unionis). Karena itu, hak-hak tadi dianggap dan diperlakukan sebagai hak-hak yang tidak dapat diubah oleh kekuasaan dalam negara yang berhak mengubah konstitusi.6 Menurut Miriam Budiardjo, HAM adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.7 Senada dengan Miriam Budiardjo, Gunawan Setiardja mengemukakan bahwa HAM berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.8 Sementara itu, Sidney Hook mengemukakan bahwa HAM adalah tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka yang dipandang perlu untuk mencapai harkat kemanusiaan.9 Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam pada itu, menurut Komnas HAM, HAM ialah hak yang melekat pada setiap manusia untuk dapat mempertahankan hidup, harkat dan
6
Soewandi, Hak-hak Dasar Dalam Konstitusi-konstitusi Demokrasi Modern, PT Pembangunan, Jakarta, 1957, hlm. 24 7 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1977, hlm. 120 8 A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 73 9 Sidney Hook, et.al, Hak Azasi Manusia Dalam Islam, penyunting Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 19
7
martabatnya.10 Menurut hemat Penulis sendiri, HAM adalah hak-hak manusia yang penting dan mendasar sebagai pemberian Tuhan pada saat kelahiran yang diperlukan untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaan. Berdasarkan definisi tersebut, Penulis menganggap bahwa tidak semua hak adalah HAM tetapi HAM adalah salah satu jenis hak. Dalam hal ini, HAM merupakan hak yang “penting dan mendasar”, karena tidak semua hak bersifat penting dan mendasar sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai HAM. Dengan kata lain, hanya hak yang penting dan mendasar saja yang dapat dikategorikan sebagai HAM. Dalam mengomentari adanya perbedaan tentang pengertian atau definisi HAM, Muladi menyatakan bahwa apapun rumusannya, pelbagai negara di dunia sepakat bahwa HAM adalah hak yang melekat (inherent) secara alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir dan tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia yang utuh.11 Demikian pentingnya keberadaan HAM, menurutnya, tanpa HAM manusia tidak dapat mengembangkan bakat-bakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.12 Dengan demikian, sekalipun definisi HAM berbeda-beda, pada intinya para penulis setuju bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng. Sebagai konsekuensinya, hak tersebut harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau 10
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Tahunan 1994, Jakarta, 1994, hlm. vii Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, cet. 1, 2002, hlm. 56 12 ibid, hlm. 56-57 11
8
dirampas oleh siapa pun.13 Pembatasan terhadap HAM hanyalah HAM orang lain atau kewajiban asasi manusia itu sendiri. Pembatasan dapat dilakukan tetapi hanya oleh hukum untuk menegakkan HAM tersebut. Namun demikian, pembatasan yang dilakukan juga harus dengan sangat hati-hati agar tidak melanggar HAM itu sendiri. Perkembangan konsepsi HAM secara formal dan universal dimulai sejak 10 Desember 1948 dengan ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR).14 Namun demikian, secara historis, salah satu wujud kesadaran umat manusia tentang perlindungan hak-hak asasi manusia ini didahului oleh riwayat perjuangan yang
panjang.15
Menurut
W.J.M.
van
Genugten,
beberapa
piagam
yang
mengodifikasikan kebebasan sudah disusun di Eropa yang merupakan langkah-langkah ke arah gagasan HAM. Kodifikasi tersebut adalah “Magna Charta Libertarum” (Inggris, 1215), “Erik Klippings Handfaesting” (Denmark, 1282), “Joyeuse Entrée” (Belgia, 1356), “Union of Utrecht” (Belanda, 1579), dan “Bill of Rights” (Inggris, 1689).16 Lebih lanjut, menurut W.J.M. van Genugten, dokumen-dokumen ini menetapkan hak-hak yang dapat dituntut dipandang dari sudut keadaan tertentu (misalnya, ancaman terhadap kebebasan beragama) tetapi hal itu belum memuat suatu cakupan menyeluruh konsep filosofis dari kebebasan individu. Kebebasan sering
13
Konsiderans Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165) 14 Romli Atmasasmita, "KUHAP dalam Konteks Perlindungan Hak Asasi Manusia", makalah, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1997, hlm. 2 15 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 307 16 W.J.M. van Genugten, Human Rights Handbook, Netherlands Ministry of Foreign Affairs, Human Rights, Good Governance and Democratisation Department, cet. ke-2, 1999, hlm. 13
9
dilihat sebagai hak-hak yang dianugerahkan kepada individu-individu atau kelompokkelompok berdasarkan kedudukan atau status mereka.17 Dengan kata lain, masyarakat pada umumnya belum memiliki hak-hak seperti yang dimiliki oleh kelompok atau kalangan yang memiliki status tertentu di masyarakat. Di lain pihak, asal-usul konsep HAM modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.18
Di Inggris,
penandatanganan Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland seringkali dicatat sebagai permulaan dari sejarah perjuangan HAM, sekalipun sesungguhnya piagam ini belum merupakan perlindungan terhadap hak-hak dasar seperti dikenal dewasa ini.19 Di dalam Magna Charta diatur jaminan perlindungan terhadap kaum bangsawan dan gereja. Perkembangan selanjutnya, pengakuan terhadap HAM terjadi dengan ditandatanganinya Petition of Rights pada tahun 1628 oleh Raja Charles.20 Sebagai akibatnya, Raja berhadapan dengan Parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (the House of Commons). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan HAM memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi.21 Pengalaman Amerika Serikat menunjukkan bahwa kemerdekaannya dari kekuasaan Inggris disebabkan ketidakpuasan akan tingginya pajak dan tiadanya wakil dalam Parlemen Inggris.22 Di lain pihak, pengalaman Prancis, agak berbeda dengan Amerika Serikat, di mana kaum revolusioner Prancis bertujuan menghancurkan suatu 17
ibid, hlm. 13 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hlm. 2 19 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hlm. 307 20 ibid, hlm. 307 21 ibid, hlm. 308 22 Scott Davidson, op.cit, hlm. 4 18
10
sistem pemerintahan yang absolut dan sudah tua serta mendirikan suatu orde baru yang demokratis.23 Akan tetapi, perjuangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di satu pihak dan Prancis di lain pihak memiliki kesamaan di mana keduanya ingin mengubah keadaan yang membatasi kebebasan warga negaranya. Beberapa materi HAM yang diatur di dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) adalah hak untuk hidup, bebas dan mengejar kebahagiaan. Di dalam Deklarasi Hak Asasi Virginia dicantumkan kebebasan-kebebasan spesifik yang harus dilindungi oleh negara. Kebebasan ini mencakup, antara lain, kebebasan pers, kebebasan beribadat dan ketentuan yang menjamin tidak dapat dicabutnya kebebasan seseorang kecuali berdasarkan hukum setempat atau berdasarkan pertimbangan warga sesamanya.24 Dalam pada itu, Deklarasi Hak Manusia dan Warga Negara (Prancis, 1789), menyebutkan bahwa kebahagiaan yang sejati haruslah dicari dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari “hak-hak manusia yang suci, tak dapat dicabut, dan kodrati”.25 Pasal 2 Deklarasi menyatakan, bahwa “sasaran setiap asosiasi politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dan tidak dapat dicabut. Hak-hak ini adalah (hak atas) Kebebasan (Liberty), Harta (Property), Kemanan (Safety), dan Perlawanan terhadap Penindasan (Resistance to Oppression).26 Dilihat dari sejarah perkembangan HAM tersebut dapat diketahui bahwa perjuangan masing-masing negara untuk memperkenalkan dan melaksanakan 23
ibid, hlm. 4 ibid, hlm. 5 25 ibid, hlm. 5 26 ibid, hlm. 5 24
11
perlindungan dan kebebasan manusia berbeda satu dengan lainnya. Dengan melihat awal kemunculan kesadaran HAM di Eropa dan Amerika Serikat, tuntutan masyarakat erat berhubungan dengan tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak politik dan hukum. Baru setelah itu, diskursus dan tuntutan HAM beralih kepada hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kesadaran yang muncul berkaitan dengan hak-hak atas pembangunan berkembang paling akhir. Hal ini kemudian melahirkan apa yang disebut oleh Karl Vasak sebagai generasi HAM pertama, kedua, dan ketiga. Karel Vasak mengelompokkan perkembangan HAM menurut slogan “Kebebasan, Persamaan dan Persaudaraan” dari Revolusi Prancis. Menurutnya, masing-masing kata slogan ini, sedikit banyak mencerminkan perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda. “Kebebasan”, atau hak generasi pertama, diwakili oleh hak sipil dan politik: hak individu untuk bebas dari campur tangan negara yang sewenang-wenang. “Persamaan”, atau hak-hak generasi kedua, sejajar dengan perlindungan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya: hak atas terciptanya oleh negara kondisi yang akan memungkinkan setiap individu mengembangkan kemampuannya sampai maksimal.27 Lebih lanjut menurut Vasak, “Hak atas”, yang menjadi ciri generasi kedua ini, mewajibkan negara untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-hak ini.28 Persaudaraan, hak generasi ketiga atau hak solidaritas, merupakan kategori hak yang terbaru dan paling kontroversial. Hak ini dibela dengan gigih oleh negara-negara 27 28
ibid, hlm. 8 ibid, hlm. 8
12
berkembang yang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang akan menjamin hak atas pembangunan, hak atas bantuan untuk penanggulangan bencana, hak atas perdamaian, dan hak atas lingkungan hidup yang baik. Pelaksanaan hak-hak semacam ini akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekadar langkah konstitusional suatu negara.29 Dalam hal ini, hak generasi ketiga tersebut menjadi senjata bagi negara-negara berkembang dalam melakukan kerja sama dengan negara-negara maju agar mendapat posisi tawar cukup kuat. Munculnya hak generasi ketiga atau hak solidaritas dikaitkan dengan bangkitnya nasionalisme Dunia Ketiga dan persepsi negara-negara berkembang bahwa tatanan internasional yang ada cenderung memusuhi mereka. Hal itu juga dapat dipandang sebagai tuntutan negara-negara berkembang untuk perlakuan yang lebih adil dan untuk membangun suatu sistem dunia yang akan memperlancar keadilan distributif dalam pengertian yang seluas-luasnya. Tetapi, dasar-dasar tuntutan-tuntutan ini tidaklah semata-mata moral, melainkan ternyata mempunyai landasan hukum dalam sejumlah instrumen internasional yang ada.30 Instrumen internasional di bidang HAM yang disebut “International Bill of Human Rights” terdiri dari Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal HAM), International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), dan International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Pengaturan HAM di samping di dalam ketiga instrumen 29 30
ibid, hlm. 8 ibid, hlm. 60
13
tersebut, masih terdapat di dalam berbagai instrumen internasional lainnya, seperti: International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (Kovenan Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial), Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), dan lain-lain.31
D. Pelaku dan Pelanggaran HAM di Indonesia Pelaksanaan HAM tidak selalu dapat berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak. Kadangkala di dalam praktiknya masih sering terjadi penyimpangan bahkan pelanggaran HAM. Hal itu bukan saja telah menyebabkan terjadinya pengingkaran terhadap hakikat keberadaan HAM, melainkan juga telah banyak menimbulkan penderitaan bagi manusia. Kenyataan tersebut kemudian melahirkan keinginan masyarakat untuk memberi hukuman yang sepadan terhadap para pelaku pelanggaran HAM tersebut. Namun demikian, di dalam praktiknya muncul pula perbedaan pandangan tentang siapa yang pantas dianggap sebagai pelaku pelanggaran dan jenis penghukuman yang pantas dijatuhkan kepadanya. Menurut Saafroedin Bahar, terdapat dua pandangan besar dalam pemahaman visi HAM dan sikap terhadap para pelanggarnya, yaitu kelompok paham legalistik dan kelompok paham filosofis atau moralistik.32 Menurut beliau, paham yang pertama 31
Hernadi Affandi, „Konsepsi, Korelasi, dan Implementasi Hak Asasi Manusia dan Good Governance‟, paper, Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006, hlm. 7 32 Saafroedin Bahar, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 357
14
memiliki ciri yaitu teguh mengacu kepada norma-norma HAM yang sudah mempunyai kekuatan hukum dan menolak menangani masalah-masalah yang per definisi yang mereka anut di luar HAM tersebut.33 Paham ini kemudian membawa konseksuensi dengan munculnya pendirian di kalangan tersebut bahwa konsep HAM hanya berkenaan dengan hubungan antara individu dan negara. Oleh karena itu, menurut pandangan tersebut, hanya negara beserta aparaturnya yang dipandang dapat melakukan pelanggaran HAM. 34 Di lain pihak, paham filosofis atau moralistis lebih menitikberatkan pengertian HAM dalam arti yang lebih luas.35 Pandangan ini kemudian membawa konsekuensi bahwa pelanggaran terhadap HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh orang-seorang, sebuah perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau suatu organisasi.36 Dalam hal ini, siapa pun dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM. Untuk itu, tanggung jawab pelaksanaan perlindungan HAM bersifat nasional, yang secara praktis berada di atas pundak negara, antara lain melalui kewenangannya dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif.37 Keadaan di atas, sedikit banyak diakibatkan oleh perbedaan persepsi tentang keberadaan HAM itu sendiri, di mana di satu pihak lebih dititikberatkan kepada hak sipil dan politik, di lain pihak hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kenyataan tersebut membawa dampak yang berbeda pula dalam perlindungan, pemajuan, pemenuhan,
33
ibid, hlm. 357 ibid, hlm. 357 35 ibid, hlm. 358 36 ibid, hlm. 358-359 37 ibid, hlm. 359 34
15
serta penghormatan hak sipil dan politik dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya.38 Dalam hal yang pertama, amat terasa suasana konfrontatif dengan pemerintah dan negara, sehingga pemerintah dan negara dipandang mempunyai potensi yang paling besar untuk melakukan pelanggaran HAM. Ukuran untuk mengadakan tuntutan terhadap pelanggaran yang terjadi adalah masalah pelanggaran dan tekanan (violations and pressure).39 Berbeda dengan yang pertama, untuk hak ekonomi, sosial, dan budaya, konsep dasar atau ukuran untuk mengadakan tuntutan bukan lagi masalah pelanggaran atau tekanan, tetapi justeru memobilisasi sumber daya negara untuk memenuhi hak-hak tersebut.40 Oleh karena itu, suasananya tidak lagi bersifat konfrontatif, melainkan koordinatif dan akomodatif dengan instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan titik perhatian dinamika pemenuhan secara terencana dan berlanjut (progressive realization) atas hak-hak tersebut.41 Apabila ditelusuri, penyebab utama terjadinya pelanggaran HAM paling tidak ada tiga hal, yaitu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang, masyarakat warga yang belum berdaya, serta masih kuatnya budaya feodal dan paternalistik dalam masyarakat kita.42 Kenyataan tersebut muncul karena di satu pihak terdapat pemegang kekusaan yang dominan, sedangkan di lain pihak terdapat pihak yang rentan dengan penyalahgunaan kekusaan tersebut. Ketiga faktor tersebut, pada gilirannya,
38
ibid, hlm. 362 ibid, hlm. 362 40 ibid, hlm. 363 41 ibid, hlm. 363 42 Candra Gautama dan B.N. Marbun, ed., Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Negara yang Baik, dan Masyarakat Warga, Komisi Nasional HAM, Jakarta, 2000, hlm. 91 39
16
memunculkan praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti oleh pihak militer, pemerintah, pengusaha, majikan, dan masyarakat umum.43 Oleh karena itu, pelaku pelanggaran HAM tidak semata-mata dimonopoli oleh pihak pemerintah, melalui alat-alatnya seperti tentara, polisi atau birokrasi, tetapi juga dapat dilakukan oleh siapa saja. Hal itu dapat terjadi sesuai dengan besarnya “kekuasaan” dan “kesempatan” yang dimiliki oleh masing-masing pelaku. Secara logika, memang pemegang kekuasaan yang lebih besar akan memiliki kemungkinan melakukan pelanggaran HAM yang lebih besar. Demikian pula halnya pelaku yang memiliki kesempatan untuk melakukan pelanggaran HAM dapat bertindak sesuai dengan kesempatan yang dimilikinya terlepas dari besar atau kecilnya kekuasaan yang dimilikinya. Hal itu sangat logis karena kecenderungan kekuasaan yang selalu bersalahguna atau disalahgunakan oleh pemegangnya apabila tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pelanggaran HAM tentunya tidak dapat dibiarkan terus berlanjut karena akan mengancam keberadaan manusia itu sendiri. Oleh karena itu harus dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan sekecil apa pun bentuk pelanggaran, terlebih-lebih dan terutama pelanggaran HAM berat. Kemampuan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi di masyarakat akan membawa akibat terciptanya suasana yang penuh kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan bagi masyarakat. Untuk itu, pihak terkait perlu terus menerus melakukan upaya pencegahan terjadinya pelanggaran
43
ibid, hlm. 91
17
HAM, baik yang dilakukan oleh pemerintah, militer, pengusaha, masyarakat, individu, atau siapa pun. Berkaitan dengan pelaku dan jenis pelanggaran HAM, tempat terjadinya pelanggaran, termasuk upaya yang dapat dilakukan, di bawah ini disajikan informasi tersebut secara garis besar:44
Jenis-jenis Pelanggaran Perincian jenis-jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia Pelanggaran Primer 1. Genocide 2. Pembunuhan segala cara 3. Pemerkosaan
dengan
Pelanggaran Sekunder Pelanggaran sekunder meliputi semua tindakan yang melanggar International Convention on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Sosial and Culture Rights.
44
1. Pembunuhan dengan segala cara. 2. Perkosaan. 3. Segala bentuk tindakan yang semena-mena. 4. Segala bentuk penyiksaan, tindak kekerasan, dan penganiayaan yang tidak menimbulkan hilangnya nyawa. 5. Segala bentuk perlakuan yang tidak patut dan tidak adil terhadap anak dari hasil perkawinan antaragama. 6. Penculikan, penyekapan, dan penghilangan secara paksa. 7. Segala bentuk pencekalan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. 8. Pengungsian secara paksa. 9. Perdagangan anak-anak dan perempuan. 10. Segala bentuk pembatasan terhadap kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dan berbeda pendapat. 11. Segala bentuk pelecehan seksual. 12. Segala bentuk penekanan. 13. Segala bentuk perusakan lingkungan. 14. Pembatasan atas jumlah agama yang diakui secara resmi. 15. Segala bentuk diskriminasi. 16. Segala bentuk perampasan terhadap kebebasan. 17. Pelarangan untuk mendirikan tempat ibadah. 18. Segala bentuk perampasan terhadap hak milik. 19. Segala bentuk pengucilan dan pengusiran, baik dengan alasan politis maupun budaya (termasuk
ibid, hlm. 93-96
18
Pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia
Sebab-sebab terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia
dalam hal ini pengucilan secara adat), yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia. 1. Militer (TNI). 2. Pemerintah. 3. Pengusaha. 4. Masyarakat (termasuk pemberontak) 5. Majikan 1. Kekuasaan yang tidak seimbang. 2. Masyarakat warga yang belum berdaya. 3. Good governance masih bersifat retorika. 4. Corporate Governance masih bersifat retorika. 5. Masih kuatnya budaya korup. 6. Masih kuatnya budaya paternalistik dan feodal. 7. Terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. 8. Interpretasi dan penerapan yang salah dari normanorma agama dan perintah (instruksi). Keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat.
Tempat Terjadinya Pelanggaran Hak Asasi Manusia Solusi atas Masalah- Preventif: masalah Hak Asasi 1. Memberdayakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia yang ada dan membentuk lembaga-lembaga Manusia khusus yang menangani masalah-masalah khusus. 2. Mempergiat sosialisasi hak asasi manusia kepada semua kelompok dan tingkat dalam masyarakat dengan mengikutsertakan LSM dalam kemitraan dengan pemerintah. 3. Mencabut dan merevisi semua undang-undang dan peraturan yang bertentangan dengan hak asasi manusia. 4. Membangun corporate governance. 5. Membangun budaya hak asasi manusia. 6. Memberdayakan aparat pengawas. 7. Mengembangkan manajemen konflik oleh lembagalembaga perlindungan hak asasi manusia. Represif: 8. Memprioritaskan penyusunan prosedur pengaduan dan penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. 9. Membentuk lembaga-lembaga yang membantu korban pelanggaran hak asasi manusia dalam mengurus kompensasi dan rehabilitasi. 19
10. Mengembangkan lembaga-lembaga dan programprogram yang melindungi korban dan saksi pelanggaran hak asasi manusia. 11. Membawa kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan hak asasi manusia dengan tetap menerapkan asas praduga tak bersalah.
Informasi di atas tentunya akan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Mungkin saja akan muncul jenis dan bentuk lain pelanggaran HAM pada masa yang akan datang dengan pelaku yang berbeda pula. Dengan demikian, tindakan preventif dan represif yang ditawarkan di atas dapat berubah dan berkembang pula. Misalnya, pelanggaran HAM terhadap kebebasan untuk beragama, hak atas pendidikan, hak berekspresi, hak berpolitik, hak perempuan, hak anak, hak masyarakat adat, hak kaum minoritas, dan sebagainya. Pelanggaran tersebut dapat saja dilakukan oleh pemeluk agama tertentu, aparat pemerintah termasuk pemerintah daerah, pengurus partai politik, atau kelompok mayaoritas tertentu. Dengan demikian, pelaku dan jenis pelanggaran HAM akan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan HAM itu sendiri.
E. Tanggung Jawab Pemerintah Dalam Perlindungan dan Penegakan HAM Menurut Saafroedin Bahar, perlindungan, pemajuan, pemenuhan serta penghormatan terhadap HAM, yang menjadi concern seluruh dunia dewasa ini, merupakan konsep dunia modern setelah Perang Dunia Kedua.45 Lebih lanjut, menurutnya dengan mengutip pendapat James W. Nickel, secara historis konsep HAM 45
Saafroedin Bahar, op.cit, hlm. 4
20
pada awalnya tumbuh sebagai koreksi mendasar terhadap konsep negara nasional yang mengalami pemerosotan, seperti terjadi pada negara fasis, nazi, dan militeristik sebelum dan selama Perang Dunia Kedua.46 Keadaan tersebut kemudian mendorong negara-negara untuk melakukan perlindungan dan sekaligus penegakan HAM. Pertanyaan yang sangat penting diajukan di sini adalah: apakah yang dimaksud dengan perlindungan dan penegakan HAM? Mengapa HAM perlu perlindungan dan penegakan. Selanjutnya, perlindungan dan penegakan HAM itu dilakukan oleh siapa dan terhadap siapa. Hal ini sangat penting untuk mengetahui siapa sebenarnya yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan perlindungan dan penegakan HAM. Secara konstitusional, tanggung jawab untuk melakukan perlindungan dan penegakan HAM berada pada negara, terutama pemerintah. Hal itu diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 194547 menyebutkan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.**)”. Selanjutnya, Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.**)”. Selanjutnya, dalam tataran undang-undang, hal itu juga diatur dalam UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
46
ibid, hlm. 4 Pasal ini dimasukkan pada Amandemen Kedua Tahun 2000, setelah substansi tersebut diatur terlebih dahulu dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hal Asasi Manusia 47
21
pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah". Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa "Yang dimaksud dengan "perlindungan" adalah termasuk pembelaan HAM". Dengan demikian, maka tugas utama perlindungan dan penegakan HAM sebenarnya ada pada Pemerintah termasuk tugas pemajuan dan pemenuhan HAM. Dalam hal ini, pengertian pemerintah perlu diperluas bukan hanya pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Berkaitan dengan Pasal 8 tersebut, kemudian dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 diatur tentang kewajiban pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan HAM harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun ketentuan internasional. Pasal 71 berbunyi bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Adapun ruang lingkup kegiatan tanggung jawab pemerintah tersebut diatur dalam Pasal 72 UU Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, pertahanan keamanan Negara, dan bidang lain.” Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa seluruh perlindungan dan penegakan HAM menjadi tanggung jawab pihak pemerintah semata-mata. Justeru masyarakat juga harus terlibat dan melibatkan diri agar beban itu menjadi lebih ringan. Alasannya adalah jika tanggung jawab perlindungan dan penegakan HAM semata-mata 22
hanya ada pada pihak pemerintah, bagaimana jika pihak pihak pemerintah itu sendiri yang melakukan pelanggaran HAM? Kemudian siapa yang melakukan kontrol terhadap pemerintah jika terbukti melakukan pelanggaran? Untuk itu, perlu diatur mekanisme pengawasan atas perlindungan dan penegakan HAM tersebut. Perlindungan HAM adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam upaya menjaga dan mencegah agar tidak terjadi pelanggaran HAM. Bentuknya dapat berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah HAM, membatasi keleluasan pihak-pihak tertentu maupun lembaga negara. Di lain pihak, penegakan HAM adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam upaya mempertahankan HAM dari pelanggaran dan mengembalikan ke keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran HAM jika terjadi pelanggaran. Dengan kata lain, perlindungan HAM lebih berkaitan dengan upaya pencegahan, sedangkan penegakan berkaitan dengan tindakan pemulihan. Hubungan antara perlindungan HAM di satu pihak dengan penegakan HAM di lain pihak adalah penegakan HAM merupakan implementasi dari perlindungan HAM. Berbicara perlindungan dan penegakan HAM tidak terlepas dari adanya asumsi bahwa akan terjadi atau akan ada pelanggaran HAM. Untuk menghindarkan terjadinya pelanggaran itulah maka perlu adanya perlindungan dan penegakan HAM. Lebih lanjut, jika terlanjur terjadi pelanggaran HAM, maka harus dihentikan dan pelakunya mendapat sanksi yang setimpal atas pelanggaran yang dilakukannya. Bagi pihak yang terkena pelanggaran, atau keturunannya, harus mendapatkan kembali hak-haknya atau dapat menikmati kembali hak-haknya seperti halnya belum terjadi pelanggaran HAM 23
tersebut. Misalnya mendapatkan kompensasi atau pengembalian hak-haknya yang dilanggar. Adapun yang dimaksud dengan pelanggaran HAM adalah "setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku".48 Dikarenakan adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran terhadap HAM, maka harus diupayakan agar hal itu tidak terjadi. Atau, seandainya terlanjur terjadi pelanggaran HAM maka harus dihentikan agar tidak berlangsung lama atau tidak terulang lagi. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan perlindungan dan penegakan HAM tadi. Di sinilah arti penting dari perlindungan dan penegakan HAM tersebut. Dengan demikian, terjadinya pelanggaran HAM bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya tetapi karena adanya faktor-faktor tersebut di atas. Pada berbagai tingkat dan lingkungan kehidupan dapat saja terjadi pelanggaran HAM sesuai dengan tingakatan atau lingkungannya. Semakin tinggi kedudukan salah satu pihak semakin besar peluang untuk melakukan pelanggaran HAM terhadap pihak lainnya. Namun, bukan berarti bahwa yang dapat melakukan pelanggaran HAM adalah mereka yang memiliki kekuasaan saja. Rakyat biasa pun dapat saja melakukan pelanggaran HAM
48
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM
24
jika tindakannya nyata-nyata bertentangan dengan harkat kemanusiaan. Memang diakui semakin luas kekuasaan yang dimiliki salah satu pihak akan semakin terbuka lebar yang bersangkutan melakukan pelanggaran HAM. Terlebih lagi jika pihak yang dilanggar tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pihak yang melakukan pelanggaran. Sebagai akibatnya, kekuasaan yang dimiliki tadi semakin membuka peluang untuk terjadinya pelanggaran HAM. Itulah sebabnya, maka pemilik kekuasaan lebih cenderung melakukan pelanggaran HAM. Dengan demikian tidaklah benar seluruhnya jika hanya pemerintah atau penguasa saja yang dapat melakukan pelanggaran HAM. Pada dasarnya setiap orang, pihak atau kelompok dapat saja melakukan pelanggaran HAM sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan sesuai dengan kesempatan yang dimilikinya. Untuk itulah perlu adanya upaya perlindungan dan penegakan HAM agar pelanggaran HAM dapat ditekan seminimal mungkin bahkan kalau mungkin dihilangkan sama sekali. Upaya untuk meminimalisasi adanya pelanggaran HAM merupakan tugas dan tanggung jawab semua pihak, sekalipun peraturan perundang-undangan sudah menugaskan hal tersebut kepada Pemerintah. Keterlibatan semua pihak dalam masalah ini akan memberikan sumbangan dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM yang dilakukan oleh Pemerintah. Tidaklah mungkin jika salah satu pihak, dalam hal ini Pemerintah, melakukan perlindungan dan penegakan HAM tetapi di lain pihak ada pihak-pihak tertentu yang melakukan
pelanggaran
HAM.
Atau
sebaliknya,
pihak
lainnya
melakukan
perlindungan dan penegakan HAM tetapi pihak Pemerintah justeru yang melakukan 25
pelanggaran HAM. Jika hal itu terjadi, maka upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia akan menjadi sia-sia dan tidak akan menemukan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu sekecil apapun sumbangan yang diberikan dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM akan sangat memberikan arti bagi terlindungi dan terlaksananya HAM. Jika semua pihak sudah menyadari hal ini, tentu saja cita-cita untuk mewujudkan HAM yang lebih baik akan tercapai dengan sendirinya sekalipun masih memerlukan waktu untuk meraihnya. Tetapi paling tidak hal itu akan menjadi harapan kita di masa depan yang mungkin dapat dicapai daripada kita tidak berusaha sama sekali. Pertanyaan penting di sini adalah bagaimana bentuk tanggung jawab perlindungan dan penegakan HAM yang harus dilakukan oleh pemerintah? Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa secara konseptual terdapat pembedaan HAM ke dalam hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, pada tataran pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Pemenuhan hak-hak sipil dan politik akan memberi arti bagi pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Demikian pula sebaliknya, pelaksanaan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan hak-hak sipil dan politik. Perlindungan dan penegakan hak sipil dan politik sudah dianggap lebih baik daripada perlindungan dan penegakan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Oleh karena itu, penekanan perlindungan dan penegakan HAM lebih dititikberatkan kepada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Namun demikian, bukan berarti bahwa hak sipil dan politik sudah tidak mendapatkan perhatian lagi. Prioritas tersebut tampaknya lebih 26
disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa hak sipil dan politik dianggap sudah lama menjadi fokus perhatian negara untuk melaksanakannya. Berkaitan dengan hak ekonomi, sosial, dan budaya, UNDP telah merinci 12 hak yang merupakan bagian dari the human rights approach to sustainable development, dan tanggung jawab negara dalam perlindungan dan penegakan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Adapun kedua belas hak tersebut adalah: 49 a) Rights of participation, yaitu hak setiap orang untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya. b) Rights to food, health, habitat, and economic security, yaitu hak untuk memperoleh makanan, kesehatan, perumahan, serta jaminan ekonomi. c) Rights to education, yaitu hak untuk memperoleh pendidikan yang memadai untuk hidup. d) Rights to work, yaitu hak untuk memperoleh pekerjaan yang layak. e) Rights of children, yaitu hak yang dimiliki oleh anak-anak. f) Rights of workers, yaitu hak-hak yang dimiliki oleh para pekerja, serta jaminan hukum yang terkait dengan hak itu, seperti mengenai perjanjian kerja, jam kerja, jaminan keselamatan kerja, atau ketentuan mengenai pengakhiran hubungan kerja. g) Rights of minorities and indigenous people, yaitu hak dan jaminan yang diberikan kepada kelompok minoritas dan masyarakat adat. h) Rights to land, yaitu hak untuk memiliki tanah, terutama di kalangan para petani.
49
Saafroedin Bahar, op.cit, hlm. 364-365
27
i) Rights to equality, yaitu hak atas persamaan kedudukan di depan hukum dan pemerintahan. j) Rights to environmental protection, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan lingkungan hidup yang memadai. k) Rights to administrative due process, yaitu hak untuk diperlakukan sama oleh dinas-dinas pelayanan publik negara. l) Rights to the rule of law, yaitu hak atas perlakuan hukum yang adil. Ada pun enam tanggung jawab negara dalam melindungi, memajukan, memenuhi dan menghormati hak ekonomi, sosial, dan budaya ini adalah: 50 a) Respect-bound obligation, yaitu larangan bagi negara agar tidak mencampuri hak dan kebebasan warganegara yang telah diakui. b) Protection-bound obligation, yaitu kewajiban negara untuk mengambil langkahlangkah sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi pelanggaran hak dan kebebasan yang telah diakui. c) Fulfillment-bound obligation, yaitu kewajiban negara untuk secara aktif menciptakan kondisi yang bertujuan untuk terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya. d) Obligation to take steps, yaitu kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah konkrit kearah terpenuhinya hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui proses legislasi, yurisprudensi, atau aksi.
50
ibid, hlm. 365-366
28
e) Obligation towards progressive realization, yaitu kewajiban negara untuk bertindak sedemikian rupa ke arah terwujudnya hak ekonomi, sosial, dan budaya. f) Obligation to establish benchmark, yaitu kewajiban untuk meletakkan tolok ukur dan sasaran untuk menilai langkah yang telah diambilnya. Berdasarkan hal di atas, maka pihak pemerintah baik di pusat maupun daerah, dan para penyelenggara negara lainnya perlu melakukan tindakan nyata untuk mewujudkannya. Pemenuhan HAM tidak mungkin akan tercipta dengan sendirinya tanpa ada upaya untuk itu. Sekalipun hal itu akan terasa berat, pihak pemerintah dan penyelenggara negara lainnya memiliki tanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila hal itu tidak dilaksanakan, bukan tidak mungkin akan menimbulkan akibat negatif yang jauh lebih parah terhadap HAM.
F. Penutup Pemahaman masyarakat luas, termasuk aparat pemerintah baik di pusat maupun di daerah, terhadap HAM tidak mungkin akan tercipta dalam waktu singkat. Oleh karena itu, upaya untuk menyadarkan mereka tentang hakikat dan keberdaan HAM harus selalu diupayakan secara berkelanjutan dan tanpa mengenal lelah. Dalam hal ini sudah menjadi tugas negara terutama pemerintah baik di pusat maupun daerah untuk melakukan hal tersebut. Salah satunya dengan melakukan sosialisasi tentang berbagai kegiatan dan upaya yang akan dilaksanakan berkaitan dengan HAM baik yang bersifat
29
tataran konseptual-strategis maupun tataran teknis-implementatif. Dengan jalan demikian, masyarakat akan lebih memahami konsep, norma, dan kaidah HAM. Langkah-langkah penyebarluasan informasi tentang HAM melalui kegiatan sosialisasi Rencana Aksi Nasional HAM yang dilakukan oleh pihak terkait tentunya perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Untuk itu diperlukan kerja sama yang harmonis antara para stakeholders agar menghasilkan produk yang baik dalam arti masyarakat semakin menyadari akan arti pentingnya HAM. Dengan demikian, keberhasilan sosialisasi tersebut akan ditentukan oleh seberapa jauh masyarakat kita semakin sadar akan hak-haknya baik di bidang sipil dan politik maupun ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, sebelum itu, tentunya para penyelenggara negara atau pemerintahan di pusat maupun daerah harus terlebih dahulu memahami dan menyadari arti penting HAM dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak lagi melakukan pelanggaran HAM, sehingga akan terwujud suasana masyarakat yang kondusif dan penuh keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Bandung, 6 Desember 2006
Penulis,
Hernadi Affandi, S.H., LL.M. NIP. 132 041 239
30
DAFTAR PUSTAKA
A. Gunawan Setiardja, 1993, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta. Bagir Manan, dkk, 2001, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT. Alumni, Bandung. Candra Gautama dan B.N. Marbun, ed., 2000, Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Negara yang Baik, dan Masyarakat Warga, Komisi Nasional HAM, Jakarta. Davidson, Scott, 1994, Hak Asasi Manusia, penerjemah A. Hadyana Pudjaatmaka, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Genugten, W.J.M. van, 1999, Human Rights Handbook, Netherlands Ministry of Foreign Affairs, Human Rights, Good Governance and Democratisation Department, cet. ke-2. Hernadi Affandi, 2005, Hukum Hak Asasi Manusia, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. ------, 2006, „Konsepsi, Korelasi, dan Implementasi Hak Asasi Manusia dan Good Governance‟, paper, Universitas Padjadjaran, Bandung. Hook, Sidney, et.al, 1987, Hak Azasi Manusia Dalam Islam, penyunting Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1994, Laporan Tahunan 1994, Jakarta. Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta. Romli Atmasasmita, 1997, "KUHAP dalam Konteks Perlindungan Hak Asasi Manusia", makalah, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Saafroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Soewandi, 1957, Hak-hak Dasar Dalam Konstitusi-konstitusi Demokrasi Modern, PT Pembangunan, Jakarta. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 31