Perubahan zaman yang semakin berkembang menuntut perusahaanperusahaan untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat. Persaingan ini menuntut perusahaan untuk menyusun kembali strategi bisnisnya sehari-hari agar mampu bersaing dengan perusahaan lainnya. Persaingan yang sangat ketat terletak pada bagaimana sebuah perusahaan dapat menghasilkan produk atau jasanya lebih baik dan lebih berkualitas dibandingkan pesaing bisnis lainnya. Untuk mencapai kondisi tersebut bukan hanya dijadikan target saat ini saja, melainkan secara terus menerus ke masa datang. Selama perusahaan masih bisa terus berusaha memperbaiki kinerjanya, sejauh itu pula perusahaan dapat tetap bertahan dalam ketatnya persaingan global. Di zaman yang semakin maju ini, kebutuhan manusia akan transportasi semakin meningkat. Saat ini transportasi merupakan kebutuhan yang tidak pernah lepas dikalangan manusia menengah keatas hingga menengah kebawah. Transportasi merupakan kebutuhan vital yang menjadi tumpuan hidup manusia dalam menjalankan setiap kegiatannya. Hal ini pula yang mendorong suburnya pertumbuhan industri otomotif di Indonesia. Industri transportasi darat atau otomotif adalah salah satu bidang industri yang saat ini berkembang pesat di Indonesia. Perkembangan ini dapat dilihat dari banyaknya industri otomotif yang berada di Indonesia bahkan di setiap provinsi memiliki dealer di setiap kota (Krisbiyanto, 2015). Para perusahaan otomotif berlomba menawarkan produk dan jasa mereka dengan menyediakan berbagai 1
2
keunggulan produk dibandingkan pesaing. Menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas dan bersaing dibutuhkan peran dari sumber daya manusia. Apabila sumber daya manusia dapat bekerja secara produktif
maka akan mampu
menunjukkan kinerja terbaiknya sehingga menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas baik. Peneliti melakukan preliminary survey di PT. Nasmoco kantor cabang Janti wilayah Yogyakarta. PT. Nasmoco merupakan sebuah perusahaan otomotif yang melayani jasa. Hasil wawancara dari salah satu karyawan menyatakan bahwa terdapat intensi turnover yang cukup tinggi di PT. Nasmoco Janti. Hal tersebut disebabkan karena ketidakmampuan karyawan dalam mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Setiap divisi memiliki target yang harus dicapai, namun beberapa karyawan kewalahan dalam mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Akibatnya adalah karyawan yang tidak mampu mencapai target maka akan diberhentikan dari perusahaan tersebut. Hal tersebut berdampak pada kinerja perusahaan yang ikut menurun karena kinerja karyawan ya penjualan produk yang tidak sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Data lain yang didapat dari hasil wawancara adalah perusahaan otomotif ini juga melayani jasa perawatan (service) mobil yang buka setiap hari sehingga sabtu minggu pun melayani pelanggan yang ingin melakukan perawatan pada mobilnya. Menurut hasil wawancara dengan pihak teknisi menyatakan bahwa setiap harinya mereka sudah bekerja dan berharap dapat istirahat di hari libur namun pada kenyataannya mereka harus tetap masuk kerja walaupun setengah hari. Hal tersebut
3
berdampak pada kinerja mereka yang menjadi kurang semangat saat bekerja karena merasa lelah dan membutuhkan hari libur sejenak. Salah satu faktor yang mempengaruhi work engagement adalah tingkat tuntutan kerja. Semakin banyak tuntutan kerja, maka karyawan semakin merasa lelah. Kelelahan akan berdampak pada rendahnya semangat, dedikasi, dan penghayatan, yang kemudian berpengaruh terhadap rendahnya work engagement (Broeck, Vansteenkiste, Witte, & Lens, 2008). Di balik pertumbuhan bisnis yang kuat di Indonesia, rupanya engagement dan kesungguhan dalam bekerja yang dimiliki oleh karyawan di Indonesia ini sangat rendah. Hal tersebut terungkap dari survei yang dilakukan oleh Towers Watson. Perusahaan konsultan di bidang tenaga kerja ini merilis survei terbarunya mengenai Global Workforce Study 2012 yang mengikutkan 29 negara termasuk Indonesia dengan total responden sebanyak 32.000 karyawan. Khusus untuk Indonesia, hasilnya yaitu sekitar dua pertiga karyawan di Indonesia tidak memiliki engagement yang tinggi terhadap perusahaannya. Hasil survei menyebutkan bahwa sekitar 27% dari karyawan saat ini telah merencanakan untuk pindah dalam dua tahun kedepan (Krisbiyanto, 2015). Lebih jauh lagi diungkapkan bahwa 42% dari total responden di Indonesia sebanyak 1.005 karyawan menyatakan bahwa mereka berniat untuk hengkang dari perusahaannya sekarang untuk meningkatkan karirnya di masa depan. Sedangkan karyawan yang memiliki engagement terhadap perusahaannya di mana dia bekerja saat ini, jumlahnya hanya sekitar 36%. Hasil dari engagement survei yang dilakukan oleh Tower Watson menemukan bahwa rendahnya engagement disebabkan oleh
4
beberapa faktor yaitu kualitas leadership di organisasi yang masih buruk, keseimbangan hidup karyawan antara bekerja dan kehidupan pribadi atau sering disebut work life balance juga masih buruk, budaya mendengarkan, memperhatikan, memberikan umpan balik secara konsisten, dan memberikan kesetaraan untuk berkembang juga mungkin masih tidak menggembirakan (Krisbiyanto, 2013). Hasil survei dari 665 kepala eksekutif karyawan di Amerika, Eropa, Jepang dan negara-negara lainnya menyebutkan bahwa engagement merupakan salah satu dari lima tantangan teratas bagi manajemen (Sakovska, 2012). Schiemann (2011) mengartikan engagement (keterikatan) sebagai energi atau motivasi dari karyawan untuk membatu organisasi tersebut mencapai tujuannya. Pengertian engagement lainnya juga diungkapkan oleh Gallup Organization (2008) sebagai keterikatan dan antusiasme pekerja pada pekerjaannya yang dapat mendorong business outcome, meningkatkan produktivitas karyawan dan mempertahankan pekerja di organisasi. Macey, Schneider, Barbera, dan Young (2009) menyatakan bahwa engagement mengacu pada pemfokusan energi yang diarahkan pada tujuan organisasi. Karyawan yang engaged akan bekerja lebih keras melalui peningkatan usaha dibandingkan dengan karyawan disengaged. Survei yang dilakukan oleh Gallup Consulting (2013), menjelaskan bahwa karyawan yang engage secara penuh kepada pekerjaannya biasanya hanya berlangsung pada 6 bulan pertama. Ditemukan bahwa sebanyak 40% karyawan menjadi tidak engaged dan 8% benar-benar lepas tangan dengan pekerjaannya setelah 6 bulan periode kerja. Bahkan setelah periode 6 bulan pertama tersebut, level engagement karyawan semakin menurun hingga 10 tahun
5
masa kerja. Lebih lanjut survei yang dilaksanakan beberapa perusahaan konsultan menerangkan bahwa meskipun karyawan yang disengage tetap menunjukkan perilaku peduli terhadap organisasi dan pekerjaan mereka, tetapi mereka merasa kemampuan yang dimiliki tidak cocok dengan tugas-tugas yang diberikan. Terdapat juga karyawan yang bertahan tetapi tidak berkomitmen terhadap pekerjaan dan organisasi sehingga pada akhirnya karyawan dapat memutuskan untuk keluar dari perusahaan (Chalofsky & Krishna, 2009). Work engagement merupakan suatu konstrak penting dalam bidang psikologi organisasi positif. Work engagement mencakup pernyataan positif yang berkontribusi pada kesejahteraan karyawan (Ferreira, 2012). Konsep engagement pertama kali dikemukakan oleh Kahn (1990) yang menyatakan bahwa individu yang engaged terhadap pekerjaannya akan terhubung dengan peranannya dalam bekerja baik secara fisik, kognitif, maupun secara emosi. Work engagement berkaitan dengan tingkat tuntutan kerja. Semakin banyak tuntutan kerja, maka karyawan semakin merasa lelah. Kelelahan akan berdampak pada rendahnya semangat, dedikasi, dan penghayatan, yang kemudian berpengaruh terhadap rendahnya work engagement (Broeck, Vansteenkiste, Witte, & Lens, 2008). Secara umum work engagement merupakan keterlibatan seseorang dalam pekerjaannya dimana ia dapat sangat antusias terhadap pekerjaannya dan terlibat penuh didalam pekerjaannya. Kahn (1990) menyatakan bahwa work engagement merupakan suatu bentuk perhatian karyawan terhadap pekerjannya serta bagaimana ia dapat menyerap peranannya. Menurut Kahn (1990) karyawan yang memiliki level
6
engagement yang tinggi membawa hasil yang positif bagi individu (kualitas dari pekerjaan orang-orang dan pengalaman mereka dalam melakukan pekerjaan) dan organisasi (pertumbuhan dan produktivitas organisasi). Work engagement karyawan merupakan suatu hal yang penting untuk memastikan pertumbuhan jangka panjang dan peningkatan keuntungan bisnis bagi perusahaan (Catteeuw, Flynn & Vonderhorst, 2007). Menurut Chungtai & Buckley (2008), pemimpin organisasi dapat meningkatkan engagement karyawan. Supervisor lini pertama juga diyakini penting dalam membangun engagement karyawan (Saks, 2006). Papalexandris dan Galanaki (2008) menemukan bahwa beberapa perilaku kepemimpinan memiliki efek positif yang kuat pada engagement karyawan. Hal tersebut dikarenakan supervisor atau pimpinan perusahaan merupakan seseorang yang paling memahami bagaimana kemampuan mereka dalam mempengaruhi karyawan untuk tetap termotivasi dan engaged di tempat kerja. Penerapan gaya kepemimpinan yang tepat mampu menstimulus karyawan untuk bekerja lebih baik. Terkait pentingnya peran kepemimpinan dalam organisasi, dikembangkan beberapa teori kepemimpinan dalam organisasi
yaitu teori
kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Pemimpin transformasional memberikan perhatian pada kebutuhan setiap individu untuk tumbuh dan berkembang dengan cara berperan sebagai pelatih dan mentor. Penelitian yang dilakukan oleh Rowald dan Heinitz (2007) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan transformasional telah memberikan kontribusi terhadap
7
peningkatan kinerja dan keuntungan organisasi dibanding kepemimpinan yang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Tims, Bakker dan Xanthopolou (2011) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan work engagement. Bakker dan Demerouti (2008) menyatakan bahwa work engagement dipengaruhi oleh personal resources karyawan. Personal resources diartikan sebagai evaluasi diri positif yang terkait dengan ketahanan mental individu serta mengacu pula pada perasaan individu terhadap kemampuan dirinya untuk berhasil dalam mengontrol dan mempengaruhi lingkungannya (Bakker, 2011). Berdasarkan dari faktor-faktor yang mempengaruhi work engagement seperti telah dipaparkan diatas di dapat suatu kesimpulan bahwa aspek psikologis individu merupakan faktor yang berpengaruh bagi munculnya work engagement dan salah satunya adalah modal psikologis (psychological capital). Modal psikologis secara kesatuan dapat memberi dampak yang lebih besar dibandingkan dengan jika berdiri dengan konstruk yang terpisah secara sendiri-sendiri. Modal psikologis didefinisikan sebagai penilaian positif yang dimiliki individu terhadap suatu keadaan dan berpeluang untuk berhasil didasarkan pada upaya motivasi dan ketekunan (Luthans, 2007). Pengertian lainnya yang juga diungkapkan oleh Luthans (2007) mengenai modal psikologis adalah hal positif psikologis yang dimiliki oleh setiap individu yang berguna membantu individu tersebut untuk dapat berkembang yang ditandai dengan, 1) memiliki kepercayaan (self-efficacy) untuk mengambil dan melakukan suatu usaha yang diperlukan untuk keberhasilan yang sedang dihadapi, 2) memberikan tanggapan positif (optimism)
8
terhadap keberhasilan sekarang dan masa mendatang, 3) tekun dan gigih terhadap tujuan dan jika diperlukan, mengatur kembali upaya menuju tujuan (hope) dalam rangka mencapai keberhasilan dan 4) jika menghadapi masalah dan kegagalan tetap bertahan dan bangkit kembali dan bahkan lebih kuat daripada sebelumnya untuk mencapai kesuksesan (resiliency). Hal ini senada dengan pendapat Osigweh (1989), dimana modal psikologis adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensidimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi. Karyawan yang memiliki tingkat work engagement yang tinggi akan menunjukkan performa terbaik mereka. Hal ini disebabkan karena karyawan tersebut menikmati pekerjaan yang mereka lakukan (Bakker, Albrecht, & Leiter, 2011). Berdasarkan penelitian oleh Inceoglu dan Warr (2012) ditemukan bahwa karyawan yang memiliki keterikatan terhadap pekerjaannya cenderung memiliki emosi yang stabil, proaktif dan berorientasi pada pencapaian prestasi. Karyawan dengan engagement tinggi menunjukkan perilaku yang positif selama bekerja sehingga hal apapun yang mereka lakukan mengarah pada usaha untuk mencapai tujuan dan kesuksesan perusahaan (Albrecht, 2010). Hubungan antara kepemimpinan tranformasional dan keterikatan kerja dapat dijelaskan melalui social cognitive theory (SCT). Menurut teori ini, pemimpin yang memiliki gaya transformasional bertindak sebagai model atau contoh dengan memanifestasikan tingkah laku positif di tempat kerja. Selain itu, pemimpin dengan
9
gaya kepemimpinan transformasional mampu menginspirasi para pengikut dan mendesak mereka untuk berpikir kreatif ketika menghadapi suatu masalah. Berdasarkan pemaparan yang ada, ketiga variabel yang digunakan dalam penelitian mampu dijelaskan oleh Bandura melalui Social Cognitive Theory. Social Cognitive Theory yang dikemukakan Bandura (2002), menjelaskan bahwa manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri, mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Asumsinya adalah bahwa faktor dari dalam dan luar individu saling mempengaruhi untuk membentuk suatu perilaku. Faktor dari dalam yang dimaksud adalah faktor-faktor personal seperti belief, expectations, dan self perception sedangkan faktor dari luar seperti reward, punishment, kondisi lingkungan, dan lain-lain (Bandura, 2002). Penelitian kali ini bahwa work engagement dapat terbentuk melalui faktor dari luar yaitu kepemimpinan transformasional dan faktor dari dalam yaitu penilaian positif dari individu terhadap lingkungan kerjanya. Berdasarkan kajian yang telah diuraikan akan diperjelas dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti dimana meliputi hubungan antara atasan dan bawahan yang ditunjukkan dengan tipe kepemimpinan transformasional serta penilaian positif psikologis yang dimiliki individu terhadap work engagement. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah, penelitian yang dilakukan oleh Salanova, Lorente, Chambel dan Martinez (2011) menemukan bahwa kepemimpinan transformasional berperan sebagai prediktor terhadap kinerja karyawan dengan self efficacy dan work
10
engagement sebagai mediator. Oleh karena peneliti ingin menguji hubungan antara atasan dengan bawahan melalui kepemimpinan transformasional dan modal psikologis yang dimiliki karyawan yang berperan sebagai prediktor terhadap work engagement seperti terlihat pada kerangka penelitian di bawah ini : Kepemimpinan Transformasional
Work Engagement
Modal Psikologis Gambar 1. Kerangka Penelitian