Unnes J Life Sci 3 (1) (2014)
Unnes Journal of Life Science http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/UnnesJLifeSci
KEANEKARAGAMAN JENIS KUPU-KUPU (LEPIDOPTERA: RHOPALOCERA) DI CAGAR ALAM ULOLANANG KECUBUNG KABUPATEN BATANG Teguh Heny Sulistyani, Margareta Rahayuningsih, Partaya Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
________________
___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Diterima November 2013 Disetujui Februari 2014 Dipublikasikan Mei 2014
Penelitian ini bertujuan mengetahui keanekaragaman jenis kupu-kupu (Lepidoptera: Rhopalocera) di kawasan Cagar Alam (CA) Ulolanang Kecubung, Kabupaten Batang. Metode sampling dalam penelitian ini adalah metode garis transek di area hutan sekunder dan area padang rumput/semak CA Ulolanang Kecubung. Data pengamatan meliputi jenis kupu-kupu dan jumlah individu tiap jenis. Data dianalisis dengan indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H‟), indeks kekayaan jenis Margalef (DMg), indeks kemerataan jenis (E) dan indeks Dominansi Simpson (D). Hasil pengamatan menunjukkan total kupu-kupu yang tercatat di kedua area adalah 121 jenis, terdiri dari lima familia Rhopalocera. Hasil analisis data menunjukkan bahwa area hutan sekunder secara umum memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis Rhopalocera lebih tinggi (H‟= 3,93) dibanding area padang rumput/semak (H‟= 3,08). Familia kupu-kupu dengan jumlah jenis terbanyak di kedua area pengamatan adalah Nymphaldiae (54 jenis), sementara familia dengan jumlah individu terbanyak adalah Pieridae (461 individu).
________________ Keywords: Ulonang Kecubung Nature Preserve Biodiversity Butterfly ____________________
Abstract ___________________________________________________________________ This research aimed to know the biodiversity of butterfly (Lepidoptera: Rhopalocera) of Ulolanang Kecubung Nature Preserve (NP) at Batang regency. Sampling method that used is line transect method in secondary forest and meadow areas of Ulolanang Kecubung NP. Monitoring data are include butterfly species and number of each species. Data is analyzed with Shanon-Wiener biodiversity index (H’), Margalef richness index (DMg), evenness index (E) and Simpson domination index (D). The result show that are recorded 121 butterfly species that consist of five Rhopalocera families. Data analysis result showed that the biodiversity index of secondary forest area is higher (H’= 3,93) than meadow area (H’= 3,08). The butterfly family that has the greatest number of species in both areas is Nymphalidae (54 species), in the meantime the family which has the greatest number of butterfly individual is Pieridae (461 individual).
© 2014 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi: Gedung D6 Lt.1, Jl. Raya Sekaran, Gunungpati, Semarang, Indonesia 50229 E-mail:
[email protected]
ISSN 2252-6277
9
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu pusat megabiodiversity dunia, dan merupakan negara
informasi
dasar
komposisi
komunitas
penting
artinya
mengenai
struktur
penyusunnya
dalam
usaha
dan sangat
konservasi.
Berdasarkan data inventarisasi potensi CA
dengan jenis kupu-kupu terbanyak ke-2 di dunia,
Ulolanang Kecubung oleh Balai Konservasi
dengan lebih dari 2000 jenis kupu-kupu yang
Sumber Daya Alam Jawa Tengah (2001), belum
tersebar di seluruh nusantara (Noerdjito & Aswari 2003). Rhee et al. (2004) melaporkan
ada data tentang kupu-kupu di cagar alam tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui
terdapat lebih dari 600 jenis kupu-kupu di Jawa
bagaimana keanekaragaman jenis kupu-kupu
dan Bali, dan hampir 40% nya merupakan jenis
(Rhopalocera)
endemik.
di
kawasan
CA
Ulolanang
Kecubung.
Kupu-kupu adalah serangga dalam ordo Lepidoptera, dan digolongkan dalam subordo
METODE PENELITIAN
Rhopalocera karena sifatnya yang diurnal. Kupu-kupu memiliki nilai penting bagi manusia,
Penelitian dilaksanakan di area hutan
sehingga harus dijaga kelestariannya. Secara
sekunder dan padang rumput/semak di CA
ekologis
dalam
Ulolanang Kecubung. Pengamatan dilakukan
mempertahankan keseimbangan ekosistem dan
pada waktu aktif kupu-kupu (pukul 08.00–15.00)
memperkaya keanekaragaman hayati di alam
setiap hari selama tiga hari setiap minggunya
(Rizal
berkurang karena konversi lahan menyebabkan
pada bulan Oktober-November dengan metode Line Transect, dimana pengamat berjalan di
gangguan terhadap hutan dan kehidupan di
sepanjang garis transek yang telah ditentukan
dalamnya, termasuk semakin bertambahnya
sambil
jenis kupu-kupu yang terancam punah di alam.
Transek utama diletakkan mengikuti jalur sekat
kupu-kupu
2007).
Area
turut
hutan
andil
yang
semakin
melakukan
pengamatan
kupu-kupu.
Cagar Alam (CA) Ulolanang Kecubung
bakar (±8 km). Penghitungan jenis dan jumlah
termasuk dalam wilayah administrasi Desa
kupu-kupu dilakukan pada subtransek yang
Gondang,
Batang, Jawa Tengah. Cagar alam ini memiliki
diletakkan tegak lurus transek utama. Jarak antar subtransek 200 m (Basset et al. 2011). Titik
tipe ekosistem hutan lembab dataran rendah
pengamatan diletakkan pada subtransek dengan
dengan beberapa tipe habitat, dan luas areanya
jarak antar titik 150 m. Pengamatan dilakukan
69,70 hektar (BKSDA 2001). Keanekaragaman
di setiap titik dengan luas area 500 m 2 (20 m x
tumbuhan yang ada merupakan habitat ideal
25 m), selama 10 menit (Noerdjito & Aswari
bagi beberapa jenis kupu-kupu. Beberapa jenis tumbuhan di cagar alam ini mulai berkurang
2003). Identifikasi kupu-kupu berdasarkan buku panduan identifikasi kupu-kupu: Butterfly Guide
jumlahnya, baik karena faktor alam atau campur
Book of West Java (Schulze 2009); De Vlinders Van
tangan manusia. Penurunan jumlah dan jenis
Java (Roepke 1932) dan The Butterflies of The Malay Peninsula (Corbert dan Pendlebury 1945).
Kecamatan
Subah,
Kabupaten
tumbuhan ini dapat mengakibatkan penurunan
Data jenis dan jumlah individu kemudian dianlisis dengan rumus-rumus berikut:
jumlah dan jenis kupu-kupu di dalamnya. Fenomena
tersebut
menunjukkan
bahwa
keberadaan kupu-kupu di alam, khususnya di
Indeks Keanekaragaman Wiener) (Magurran 1988)
CA Ulolanang Kecubung mulai terancam. Hutan di Ulolanang Kecubung berfungsi
ID H '
sebagai kawasan perlindungan terhadap seluruh komponen
ekosistemnya.
Ketersediaan
10
Jenis
(Shanon-
Pi ln Pi dimana Pi
ni N
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
Keterangan : n i = jumlah individu tiap jenis kupu-kupu N = jumlah total seluruh jenis kupu-kupu H‟ = indeks keanekaragamana Shanon-Winner Pi = indeks kemelimpahan Indeks Kekayaan Jenis (Margalef) (Magurran 1988) '
DMg
(S-1)
Gambar 1. Troides helena (Sulistyani 2012)
ln N
Analisis data menunjukkan jumlah jenis
Keterangan : DMg = indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis Rhopalocera N = Total individu Rhopalocera dalam sampel
dan individu kupu-kupu di area hutan sekunder (111 jenis, 621 individu) lebih banyak dibanding di area padang rumput (54 jenis, 281 individu), sehingga indeks kekayaan jenis hutan sekunder
Indeks Kemerataan (Evenness) (Magurran 1988)
E
H
(DMg= 17,10) lebih tinggi dibanding area padang
'
H max
dimana H‟ max adalah ln S
rumput/semak
(DMg=
13,29)
(Tabel
1).
Kekayaan jenis yang lebih tinggi di hutan Keterangan : sekunder, didukung dengan indeks dominansi E = indeks kemerataan (nilai antara 0-1) yang lebih rendah (D= 0,04) dibanding di area H‟ = indeks keanekaragaman Shannon - Wiener padang rumput/semak (D= 0,11), menyebabkan S = jumlah jenis kupu-kupu (Rhopalocera) indeks kemerataan di hutan sekunder lebih Indeks Dominansi (Simpson) (Magurran 1988) tinggi (E= 0,83) dibanding area padang rumput/ D = ∑ Pi2 dimana Pi ni semak (E= 0,77) (Tabel 1).
N
Keterangan: D = indeks dominansi Simpson ni = jumlah individu suatu jenis N = jumlah individu dari seluruh jenis
Tabel 1. Jumlah jenis, individu, familia, indeks keanekaragaman, indeks kemerataan, indeks dominansi dan indeks kekayaan jenis kupu-kupu di CA Ulolanang Kecubung
HASIL DAN PEMBAHASAN Kode
Hasil pengamatan di kedua area di CA Ulolanang Kecubung tercatat 902 individu,
S F N H‟ DMg D E
terdiri dari 121 jenis dari 5 familia Rhopalocera (Tabel 1). Satu jenis diantaranya merupakan jenis yang dilindungi, yaitu Troides Helena (Gambar 1). Troides helena dilindungi oleh PP.No.7 Tahun 1999; SK Mentan No.576/Kpts 10/1980 dan termasuk dalam CITES apendiks II. Jenis ini sudah terancam keberadaannya di karena
banyak
diburu
Total 121 5 902 3,80 17,64 0,05 0,79
Keterangan: N : Jumlah individu D : Indeks dominansi S : Jumlah jenis E : Indeks kemerataan F : Jumlah familia DMg : Indeks kekayaan H‟: Indeks keanekaragaman * : tertinggi
/Um/8/1980; SK Mentan No.716/Kpts/Um1/
alam,
Jumlah Hutan Padang Sekunder Rumput 111 54 5 5 621* 281 3,93* 3,08 17,10* 13,29 0,04 0,11* 0,83* 0,77
untuk
diperjualbelikan maupun karena keindahan dan
Indeks dominansi yang rendah di hutan
kelangkaannya (Noerdjito & Aswari 2003,
sekunder dikarenakan jenis yang mendominasi
Nurjannah 2010).
di area ini lebih banyak (7 jenis) dibanding area padang rumput/semak (2 jenis). Jenis kupu-
11
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
kupu yang mendominasi di hutan sekunder tersebut antara lain Catopsilia pomona (0,021), Hebomoia
(0,003),
glaucippe
Junonia
jumlah
jenis
ini
menyebabkan
rendahnya
keanekaragaman di area ini (H‟=3,08) (Tabel 1). Jumlah
iphita,
jenis
di
hutan
banyak
(111
jenis)
sekunder
serta Papilio polytes dan Eurema blanda (0,001).
dibanding area padang rumput/semak (54 jenis)
Dominasi
jenis-jenis
tersebut
disebabkan
(Tabel 1), dikarenakan
tumbuhan
inangnya
tersedia
melimpah,
vegetasi penyusun ekosistem di kedua area.
sehingga jumlah individu imagonya menjadi
Struktur vegetasi penyusun hutan sekunder
lebih banyak, dan frekuensi pertemuannya
berupa pepohonan yang tinggi dan tutupan
menjadi
dominansi di atas, terlihat bahwa tidak terjadi
kanopinya bervariasi, sehingga intensitas cahaya di area ini lebih bervariasi. Hamer et al. (2003)
pemusatan
menyatakan
lebih
tinggi.
dominansi
Bedasarkan pada
jenis
nilai
tertentu,
yang
kupu-kupu
Junonia hedonia dan Euploea mulciber (0,002),
lebih
bahwa
perbedaan struktur
kupu-kupu
memiliki
sehingga indeks dominansi menjadi rendah
perbedaan kesukaan terhadap sinar matahari
(0,04) (Tabel 1). Indeks dominansi yang rendah
langsung. Kondisi ini menyebabkan kupu-kupu
menunjukkan kelimpahan tiap jenisnya lebih
yang mengunjungi area ini semakin banyak
merata,
dan
jenisnya. Tutupan kanopi yang bervariasi ini
keanekaragaman di area ini menjadi tinggi (E=
didukung dengan luas area hutan sekunder yang
0,83; H‟= 3,93) (Tabel 1). Hasil ini sesuai
hampir dua kali luas area padang rumput, serta
pendapat
adanya tiga alur sungai kecil (Sungai Cabe,
sehingga
komunitas
indeks
Soegianto
kemerataan
(1994),
bahwa
dikatakan
suatu
Kijing
mempunyai
dan
Ulolanang),
sehingga
sumber
keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas itu
makanan (tumbuhan inang dan bunga) di area
disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan
hutan sekunder makin banyak dan beragam.
jenis yang sama atau hampir sama.
Setiap jenis kupu-kupu memiliki kesukaan
Pengamatan menunjukkan hanya didapati
tersendiri terhadap jenis tumbuhan inang dan
dua jenis kupu-kupu dengan dominansi tertinggi di area padang rumput/semak, yaitu Catopsilia
bunga. Hal ini menyebabkan jenis kupu-kupu di hutan sekunder semakin banyak jenisnya.
pomona (0,089) dan Hebomoia glaucippe (0,01).
Area padang rumput mempunyai struktur
Dominasi kedua jenis ini dikarenakan keduanya
vegetasi penyusun yang berbeda dari hutan
sering melintas atau melakukan nectaring di area
sekunder. Area ini didominasi oleh rumput-
ini secara berkelompok, sehingga kelimpahan
rumputan, semak dan herba, jarang sekali
dan frekuensinya menjadi tinggi, serta mampu
terdapat pohon, luas areanya lebih sempit
mengisi banyak ruang di area ini. Tingginya
dibanding hutan sekunder, dan tidak terdapat
dominansi dua jenis di atas menunjukkan
sumber air sebagai penyedia mineral. Kondisi ini
terjadinya pemusatan dominansi hanya pada
menyebabkan jenis tumbuhan inang dan bunga
jenis tertentu, sehingga indeks dominansi di area
di area ini sedikit (69 jenis), dan kondisi faktor
ini menjadi tinggi (D=
lingkungannya
0,11)
(Tabel
1).
menjadi
kurang
beragam,
menunjukkan
sehingga kupu-kupu yang hadir pun sedikit (54
kelimpahan setiap jenis di area ini tidak merata,
jenis) (Tabel 1). Hasil ini sesuai pendapat
sehingga indeks kemerataannya lebih rendah
Saputro (2007), bahwa nilai keanekaragaman
(E= 0,77) (Tabel 1). Hasil ini sesuai pendapat
yang berbeda disebabkan oleh perbedaan jenis
Magurran (1988), bahwa adanya dominansi
vegetasi di sekitar lokasi penelitian, baik yang
jenis tertentu dan tidak meratanya persebaran
digunakan sebagai sumber pakan dewasa dan
jenis
larva, atau karena variasi kanopi yang ada di
Tingginya
indeks
menyebabkan
dominansi
nilai
kemerataan
jenis
sekitar area penelitian.
semakin kecil. Rendahnya kemerataan dan
12
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
Keanekaragaman terkait pula dengan
Kondisi lingkungan di hutan sekunder tersebut
kelimpahan setiap jenis kupu-kupu yang hadir.
tidak membahayakan kelangsungan hidup kupu-
Kelimpahan
oleh
kupu, sehingga kupu-kupu dapat bertahan di
kelimpahan tumbuhan inang dan bunga, dan
kupu-kupu
dipengaruhi
area ini dalam waktu lama. Imago kupu-kupu
kondisi faktor lingkungan. Jenis tumbuhan
juga dapat memperoleh suhu dan intensitas
inang di hutan sekunder memang banyak,
cahaya yang sesuai untuk mendapatkan energi
namun sebagian besar jenis tersebut memiliki
untuk terbang dan melakukan aktivitas lainnya
jumlah individu yang sedikit, dan hanya
supaya dapat bertahan hidup dan melestarikan
beberapa jenis saja yang kelimpahannya tinggi.
jenisnya, sehingga jumlah jenis dan individu
Kondisi ini menyebabkan sebagian besar jenis
kupu-kupu yang hadir di area ini melimpah.
kupu-kupu yang ada di hutan sekunder memiliki kelimpahan yang sama atau hampir sama, terutama untuk jenis yang monofag (hanya suka
Tabel 2. Hasil pengukuran faktor lingkungan CA Ulolanang Kecubung Area Pengamatan Faktor Lingkungan Hutan Sekunder Padang Rumput E (mdpl) 150–210 151–255 T (oC) 29–35,2 31,5–38 K (%) 52–89 37–76 I (cd/m2) 122,43-2.464,5 419,76-3.021 Keterangan:
satu jenis inang), dan tumbuhan inangnya tidak melimpah. Berbeda dengan hutan sekunder, area padang rumput/semak didominasi oleh Imperata cilindryca (Ilalang) dan Pennisetum purpureum (Rumput Gajah), serta beberapa jenis
E : Ketinggian tempat T : Temperatur udara
lain dari familia Capparaceae dan Poaceae. Adanya
dominansi
tumbuhan
tertentu
K : Kelembaban udara I : Intensitas cahaya
menyebabkan jenis tumbuhan inang (58 jenis)
Hasil pengukuran menunjukkan kisaran
dan bunga (32 jenis) di area ini sedikit dan
intensitas cahaya dan suhu udara di area padang
kelimpahannya menjadi tidak merata, sehingga
rumput cukup tinggi (419,76-3.021 cd/m2 dan
setiap jenis kupu-kupu di area ini pun menjadi
31,5-38oC), namun kelembabannya tergolong
tidak merata. Hasil ini sesuai pendapat Rahayu
rendah (37-76%) (Tabel 2) jika dibandingkan
dan Basukriadi (2012), bahwa kelimpahan jenis
dengan suhu dan kelembaban udara yang sesuai
kupu-kupu erat kaitannya dengan kelimpahan
bagi kupu-kupu. Udara yang panas dan kering
tumbuhan sumber pakannya.
akan mempercepat penguapan cairan tubuh, sehingga
Kelimpahan jenis dan individu kupu-kupu
membahayakan
kehidupannya.
dipengaruhi pula oleh kondisi faktor lingkungan
Dengan demikian kupu-kupu yang berukuran
(intensitas cahaya, suhu, kelembaban udara dan
besar dan sayapnya lebar umumnya tidak dapat
kecepatan
merupakan organisme poikilotermik (Ramesh et al. 2012).
bertahan lama di area ini. Luas permukaan
Suhu
suhu
penguapan cairan tubuh. Suhu udara yang tinggi
lingkungan, sehingga kupu-kupu harus berada di
juga menyebabkan volume sekresi nektar pada
lingkungan dengan kondisi yang sesuai. Kisaran
bunga menurun (Efendi 2009), sehingga kupu-
intensitas cahaya, suhu dan kelembaban udara
kupu akan mengurangi aktivitasnya di area ini
angin).
tubuhnya
Kupu-kupu
sangat
terpengaruh
tubuh yang semakin besar akan memperbesar
atau berpindah ke area hutan yang lebih hangat
2
di hutan sekunder (122,43-2.464,5 cd/m ; 31,538 C dan 52-89%) (Tabel 2) masih mencangkup
untuk menghemat
kisaran kondisi lingkungan yang dibutuhkan
penguapan
kupu-kupu. Kupu-kupu memerlukan intensitas
menyebabkan jumlah jenis dan individu yang
o
cairan
energi tubuh.
dan
mengurangi
Aktivitas
ini
dijumpai di area padang rumput/semak menjadi
2
cahaya 2.000-7.500 lux (159-596,25 cd/m ), dan
lebih sedikit.
o
suhu serta kelembaban udara antara 30-35 C dan 64-94% (Achmad 2002, Nurjannah 2010).
13
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
Kecepatan angin juga mempengaruhi
dan protein dari tumbuhan. Nutrisi sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan larva, terutama instar akhir (Suwarno et al. 2007). Pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar Nymphalidae di kedua area cenderung bersifat polifag (mempunyai inang lebih dari satu jenis), sehingga apabila inang utamanya tidak tersedia, kupu-kupu dapat menggunakan tumbuhan lain untuk makanan larvanya. Sreekumar dan Balakrishnan (2001) menyatakan bahwa banyak anggota Nymphalidae bersifat polifag. Jenis tumbuhan bunga dan inang yang beragam akan mengundang kupu-kupu yang beragam pula. Hasil ini sesuai hasil penelitian di beberapa lokasi seperti Dusun Banyuwindu, Kabupaten Kendal (Oktaviana 2012), Kota Muhammad Sabki Kota Jambi (Rahayu & Basukriadi 2012), dan Taman Kupu-kupu Bossscha, Lembang (Subahar & Yuliana 2010). Banyaknya jenis Nymphalidae di lokasi tersebut juga dikarenakan banyaknya jenis tumbuhan inang yang tersedia.
keberadaan kupu-kupu di suatu area. Vegetasi penyusun hutan sekunder berupa pepohonan dapat
menjadi
penghalang
atau
pemecah
gelombang angin, sehingga kecepatan dan tekanan angin di area ini jauh lebih kecil dibanding
area
padang
rumput/semak.
Kecepatan dan tekanan angin yang rendah menyebabkan jenis kupu-kupu di area ini lebih banyak, khususnya kupu-kupu bersayap lebar, karena kekuatan angin di hutan sekunder tersebut tidak terlalu merusak sayap kupu-kupu. Sebaliknya, sangat sedikitnya pohon di area padang rumput/semak menyebabkan kecepatan dan tekanan angin di area ini tergolong kuat, sehingga kupu-kupu yang berukuran besar dan bersayap lebar tidak dapat berlama-lama di area ini, karena akan merusak sayapnya. Sementara kupu-kupu kecil yang ringan akan sangat mudah terbawa angin. Kupu-kupu kecil yang dijumpai di area ini umumnya adalah penerbang rendah (0-2 m), karena ketinggian terbang yang rendah dapat mengurangi pengaruh angin terhadapnya. Kondisi ini menyebabkan banyak jenis kupukupu yang dijumpai di hutan sekunder tidak dijumpai di area padang rumput. Komunitas kupu-kupu di kedua area pengamatan
terdiri
dari
lima
familia
Rhopalocera yang sama, yaitu Papilionidae, Pieridae,
Nymphalidae,
Lycaenidae
dan
(a)
Hesperidae. Kelima familia tersebut memiliki proporsi
jenis
dan
jumlah
individu
yang
berbeda-beda di setiap areanya (Gambar 2). Nymphalidae memiliki proporsi jenis terbanyak di kedua area pengamatan (hutan sekunder 36%, padang rumput/semak 44%) (Gambar 2), karena jenis tumbuhan bunga dan inang Nymphalidae terbanyak di kedua area (hutan sekunder: 27 jenis bunga dan 61 jenis inang; padang rumput/semak: 15 jenis bunga dan 36 jenis inang) (Gambar 3 & 4). Setiap jenis kupu-kupu memiliki kesukaan tersendiri terhadap jenis tumbuhan inang dan bunga tertentu. Perbedaan tumbuhan inang tersebut dipengaruhi kandungan nutrisi khususnya air
(b) Gambar 2. Komposisi famili berdasarkan jumlah jenis Rhopalocera di CA Ulolanang Kecubung: (a) area hutan sekunder, (b) area padang rumput/semak
14
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
Proporsi jenis kupu-kupu terkecil di hutan sekunder adalah Papilionidae (10%) (Gambar 2a), karena tumbuhan inang Papilionidae di area ini paling sedikit jenisnya (8 jenis bunga dan 16 jenis inang) (Gambar 3). Berbeda dengan Nymphalidae, Papilionidae lebih selektif dalam hal
tumbuhan
inang.
Tumbuhan
inang
Papilionidae yang dijumpai di hutan sekunder, khususnya untuk kupu-kupu genus Papilio,
Gambar 3. Hubungan jumlah jenis tumbuhan inang dan bunga dengan jumlah jenis kupu-kupu tiap famili Rhopalocera di area hutan sekunder
Troides, Losaria dan Pachliopta umumnya hanya satu atau dua jenis, dan merupakan jenis tumbuhan yang hanya hidup di tempat tertentu, serta sangat jarang dijumpai. Kondisi ini menyebabkan persaingan di antara genus-genus tersebut untuk memperebutkan makanan larva. Hanya jenis kupu-kupu yang kuat, mampu bersaing dan mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya yang sering dijumpai, sehingga jenis Papilionidae di area ini lebih sedikit dibanding familia lainnya.
Gambar 4. Hubungan jumlah jenis tumbuhan inang dan tumbuhan bunga dengan jenis kupu-kupu tiap famili Rhopalocera di area padang rumput/ semak
Hesperidae
memiliki
proporsi
jenis
terkecil di area padang rumput/semak (4%) (Gambar 2b), karena Hesperidae lebih menyukai tempat yang lembab dan teduh seperti di hutan sekunder. Amir et al. (2008) menyatakan bahwa Hesperidae biasanya bersifat krepuskuler (aktif menjelang malam atau saat cahaya remangremang). Pengamatan kupu-kupu di lapangan dilakukan mulai pagi hingga menjelang sore. Intensitas cahaya di area padang rumput/semak lebih tinggi pada pagi dan menjelang sore,
(a)
bahkan sangat tinggi saat siang hari dibanding hutan sekunder. Kondisi ini menyebabkan perjumpaan
Hesperidae
di
area
padang
rumput/semak sangat jarang dibanding di hutan sekunder. Jumlah jenis dan individu Hesperidae di area padang rumput/semak sedikit (2 jenis, 2 individu), sehingga proporsi jumlah individu Hesperidae adalah yang terkecil di area ini (1%)
(b)
(Gambar
Gambar 5. Komposisi famili berdasarkan jumlah individu Rhopalocera di CA Ulolanang Kecubung: (a) area hutan sekunder, (b) area padang rumput/semak
5b).
Hasil
pengamatan
ini
menunjukkan bahwa familia dengan jumlah jenis terkecil juga memiliki jumlah individu paling sedikit.
15
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014)
Pengamatan
di
menunjukkan bahwa familia dengan jumlah
Bunga yang disukai sebagian besar Pieridae, yaitu Lantana camara dan Tridax procumbens
jenis terkecil bukan berarti proporsi jumlah
melimpah di area ini, dan keduanya dalam
individunya terkecil pula. Papilionidae memiliki
kondisi berbunga. Meski kondisi lingkungan
proporsi jenis terkecil di area ini (10%) (Gambar
padang rumput/semak panas dan kering, namun
2a), namun proporsi jumlah individu terkecil
melimpahnya tumbuhan bunga menyebabkan
dimiliki oleh Hesperidae (6%) (Gambar 5a). Kondisi ini dikarenakan meski jenis tumbuhan
kupu-kupu tetap mengunjungi. Semakin banyak individu Pieridae yang melakukan nectaring atau
inang
dari
hanya melintasi area ini untuk menuju ke area
Papilionidae, namun kelimpahan individunya
hutan, semakin banyak pula individu Pieridae
lebih sedikit. Sebagian besar jenis Hesperidae di
yang tercatat dalam pengamatan, sehingga
hutan sekunder hanya mempunyai satu jenis
proporsi jumlah individunya semakin besar.
Hesperidae
hutan
lebih
sekunder
banyak
tumbuhan inang. Contohnya Hasora badra, Hasora chromus dan Buara etelka, yang tumbuhan
SIMPULAN
inangnya berturut-turut adalah Derris trifoliata, Terminalia
dan
catappa
Berdasar
Arthrophyllum
hasil
disimpulkan
bahwa Hesperidae cenderung bersifat monofag.
tercatat di area hutan sekunder dan area padang
Tumbuhan inang yang terbatas, dan sifat
rumput di CA Ulolanang Kecubung sebanyak
Hesperidae
ini
121 jenis, terdiri dari lima familia Rhopalocera.
fase
Area hutan sekunder secara umum memiliki
imagonya semakin rendah, sehingga imago
nilai indeks keanekaragaman jenis Rhopalocera
Hesperidae yang dijumpai saat pengamatan di
lebih tinggi (H„= 3,93) dibanding area padang
area ini juga sedikit jumlahnya (35 individu).
rumput/semak (H„= 3,08). Familia dengan
mengakibatkan
cenderung
monofag
keberhasilan
mencapai
jumlah
Nymphalidae mempunyai jenis terbanyak
jenis
total
terbanyak
kupu-kupu
dapat
disersifolium. Tiple et al. (2010) menyatakan
yang
bahwa
penelitian
di
kedua
yang
area
di kedua area, namun proporsi jumlah individu
pengamatan adalah Nymphalidae (54 jenis),
terbesar dimiliki oleh familia Pieridae (hutan
sedangkan jumlah individu terbanyak dimiliki
sekunder 34,3%; padang rumput/semak 44%)
oleh Pieridae (461 individu).
(Gambar 5). Hal ini dikarenakan meski jenis inang Pieridae bukan yang terbanyak, namun
UCAPAN TERIMAKASIH
kelimpahannya lebih tinggi dibanding familia lainnya,
sehingga
sangat
kemampuan
berkembang
Kebutuhan
makanan
menyebabkan
tingkat
Terima kasih diberikan kepada Kepala
mendukung
biak yang
Pieridae.
Balai
terjamin
melakukan
untuk
Kecubung.
keberhasilan
KSDA
Jateng
penelitian
atas di
ijinnya CA
untuk
Ulolanang
mencapai fase imago semakin tinggi. Waktu berkembang
biak
yang
singkat
juga
DAFTAR PUSTAKA
menyebabkan imagonya dapat dijumpai di
Achmad A. 2002. Potensi dan Sebaran Kupu-Kupu di Kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung. Dalam: Workshop Pengelolaan Kupu-kupu Berbasis Masyarakat. Bantimurung, 05 Juni 2002. http://www.unhas.ac.id [09 Juni 2011].
setiap waktu pengamatan, sehingga Pieridae dijumpai paling melimpah di area ini (213 individu). Jumlah individu Pieridae yang besar di area
padang
rumput/semak
utamanya
disebabkan oleh kelimpahan tumbuhan bunga.
16
TH Sulistyani dkk./Unnes Journal of Life Science 3 (1) (2014) Amir M, WA Noerdjito & S Kahono. 2008. Serangga Taman Nasional Gunung Halimun Jawa Bagian Barat. Bogor: BCP – JICA. Basset Y, R Eastwood, L Sam, DJ Lohman, V Novotny, T Treuer, SE Miller, GD Weilblen, NE Pierce, S Bunyavejchewin, W Sakchoowoong, P Kongnoo & MA OsorioArenas. 2011. Comparison or Rainforest Butterfly Assemblages across Three Biogeographical Regions Using Standardizes Protocols. The Journal of Reseach on the Lepidoptera 44: 17-28. [BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 2001. Penilaian Potensi Cagar Alam Ulolanang Kecubung. Semarang: Balai KSDA Jawa Tengah. Corbert SA & HM Pendlebury. 1945. The Butterflies of The Malay Peninsula. Kuala Lumpur: Malaysian Nature Society. Efendi MA. 2009. Keragaman kupu-kupu (Lepidoptera: Ditrysia) di Kawasan “Hutan Koridor” Taman Nasional Gunung HalimunSalak Jawa Barat (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hamer KC, JK Hill, S Benedick, N Mustaffa, TN Sherratt, M Maryati & Chey VK. 2003. Ecology of Butterflies in Natural Forest of Nothern Borneo: The Importance of Habitat Heterogeneity. Journal of Applieds Ecology 40: 150-162. Magurran AE. 1988. Ecologycal Diversity and Its Measurement. New Jersey: Pricenton University Press. Noerdjito WA & P Aswari. 2003. Metode Survei dan Pemantauan Populasi Satwa Seri Keempat Kupukupu Papilionidae. Cibinong: Bidang Zoologi Puslit Biologi-LIPI. Nurjannah ST. 2010. Biologi Troides helena helena dan Troides helena hephaestus (Papilionidae) di Penangkaran (Tesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Oktaviana R. 2012. Keanekaragaman Jenis Kupukupu Superfamili Papilionoidea di Dusun Banyuwindu, Desa Limbangan, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Jurnal MIPA 35 (1): 11-20. Rahayu SE & A Basukriadi. 2012. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Kupu-kupu (Lepidoptera : Rhopalocera) pada Berbagai Tipe Habitat di Hutan Kota Muhammad Sabki Kota Jambi. Jurnal of Biospecies 5 (2): 40-48. Ramesh T, KJ Hussain, KK Satpathy & M Selvanagayam. 2012. A Note on Annual
Bidirectional Movement of Butterflies at South-East Plains of India. Research in Zoology 2 (2): 1-6. Rizal S. 2007. Populasi Kupu-kupu di Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti dan Kawasan Wisata Lubuk Minturun Sumatera Barat. Mandiri 9 (3): 177-237. Rhee S, D Kitchener, T Brown, R Merrill, R Dilts & S Tighe. 2004. Report on Biodiversity and Tropical Rainforest in Indonesia. United State: USAID. Roepke. 1932. De Vlinders Van Java. Batavia: E. Dunlop & Co. Saputro NA. 2007. Keanekaragaman Jenis Kupukupu di Kampus IPB Dermaga. http://iirc. ipb.ac.id/jspui/bitstream.pdf [19 Januari 2013]. Schulze. 2009. Butterly Guide Book of West Java. London: Capman Hall. Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas. Surabaya: Usaha Nasional. Sreekumar PG & M. Balakrisnan. 2001. Habitat and Altitude Preferences of Butterflies in Aralam Wildlife Sanctuary, Kerala. Journal of Tropical Ecology 42 (2): 277-281. Subahar TSS & A Yuliana. 2010. Butterfly Diversity as a Data Base for the Development Plan of Butterfly Garden at Bosscha Observatory, Lembang, West Java. Biodiversitas 11 (1): 2428. Suwarno, MRC Salmah, AA Hassan & A Norani. 2007. Effect of Different Host Plants on The Life Cycle of Papilio Polytes Cramer (Lepidoptera: Papilionidae) (Common Mormon Butterfly). Jurnal Biosains 18 (1): 3544. Tiple AD, AM Khurad & RLH Dennis. 2010. Butterfly Larva Host Plant Use in Atropical Urban Context: Life History Associations, Herbivory, and Landscape Factors. Journal of Insect Science 11 (65): 1-19.
17