UNIVERSITAS INDONESIA
SEJARAH PERPUSTAKAAN PENJARA DI INDONESIA PERIODE 1917-1964
SKRIPSI
DINI 0705130133
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DEPOK 2011
i Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
SEJARAH PERPUSTAKAAN PENJARA DI INDONESIA PERIODE 1917-1964
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
DINI 0705130133
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DEPOK 2011
i Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT serta Rasulullah SAW tercinta, yang telah memberikan penulis kekuatan dan kesabaran dalam menjalani kehidupan ini terutama kehidupan di kampus. Para dosen terkasih yang dengan ikhlas memberikan ilmunya, dengan cinta yang memberikan nasehat kehidupan untuk penulis. Ada cerita indah yang dirajut antara dosen dengan saya yakni toleransi. Untuk Mami (Alm) dan Abah yang mulia telah mengasuh saya dengan kasih sayang dan penuh cinta. Mereka berdua selalu mengingatkan saya bahwasanya ‘Hidup adalah tempat kau berkarya untuk akhirat kelak’. Untuk kedua kakak terbaik di dunia, Ceu Neneng dan Ce Eli yang selalu menyemangati dan mengingatkan saya tentang impian besar kami, ‘Pergi Haji Sekeluarga’. Untuk Silvy ‘Cipy’ Riana Putri, sahabat terkasih yang bersedia begadang bersama demi mengedit tulisanku. Adik, Rani Yumita yang rela mengorbankan hari-harinya ke Perpustakaan Nasional, ANRI hingga Departemen Kehakiman. ‘Rahasiamu aman denganku, dek’, hehe. Febi Sugiarti, sahabat yang penuh pengertian yang rela meninggalkan urusannya di kantor demi menyemangati di ‘masa’ itu, Ellien Trias Puspita, dan Danies sahabat perjuangan dalam menunaikan janji ke orang tua, Lulus! Sahabat yang lainnya terima kasih atas semangatnya berupa pertanyaaan, “kapan lulus, din?semangat..kamu pasti bisa!”, sungguh itu sangat membantu. Selanjutnya, sahabat di ANRI (Bu Mira, Bu Hapsari, Mbak Ola, Mba Indri,dll) yakni orang-orang yang membantu penulis menerjemahkan bahasa Belanda, bongkar arsip-arsip hingga memberikan masukan yang berharga. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang bersedia penulis ‘kacaukan’ di setiap unit kerja demi menemukan catatan berharga, Ibu Helmina yang baik yang telah dengan senang hati dibuat repot oleh penulis. Pak Adi Sujatno, inspirasi saya dalam berkarya sekaligus guru kehidupan yang mengajarkan kebijaksanaan melalui pengalaman-pengalaman hidup beliau. Kemudian, keluarga saya yang lain, Babe (Dedi Abdurrahman Saleh), Nyak (Jona Widagdho Putri), Adik pertama (Ranny Surya Maharnis), Adik kedua (Adinda Bunga) yang selalu mewarnai hidup saya belakangan ini dengan nyanyian keluarga, ‘Jai Ho’, wisata kuliner dan kerja! Mengenal mereka sungguh anugerah yang besar. Alhamdulillah. Akhir kata, terima kasih kepada semesta yang selalu memberikan saya inspirasi dan harapan. Karya ini saya persembahkan untuk dunia ilmu perpustakaan.
Depok, Mei 2011 Penulis iv Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
vi Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Dini Program Studi : Ilmu Perpustakaan dan Informasi Judul : Sejarah Perpustakaan Penjara di Indonesia Periode 1917-1964 Skripsi ini membahas mengenai sejarah berdirinya perpustakaan penjara di Indonesia periode 1917-1964 dengan dilatarbelakangi keluarnya Staatsblad 1917 pasal 113 yang mengatur keberadaan perpustakaan di penjara. Tujuan penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang rangkaian peristiwa dan gagasan tentang pendirian dan perkembangan perpustakaan penjara di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah (historiografi perpustakaan). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perpustakaan penjara pertama di Indonesia diperkirakan adalah Penjara Semarang, Penjara Sukamiskin, Penjara Tangerang yang saat itu memuat narapidana dari kalangan Eropa serta kalangan Intelektual. Tokoh yang mengembangkan perpustakaan penjara di Indonesia yakni Mr. H.M Hijmans, Mr. Roesbandi, Soekarno, M. Hatta, Sjahrir, dan Pramoedya Ananta Toer. Perubahan Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan membuat perpustakaan menjadi bagian yang penting dalam pembinaan para narapidana.
Kata kunci: sejarah perpustakaan, perpustakaan penjara,penjara, staatsblad 1917.
vii Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Dini Study Program: Library Science and Information Title : The History of Prison Library in Indonesia 1917-1964 Period This undergraduate thesis discusses the history of the prison library in Indonesia the period 1917-1964 concerning the Staatsblad 1917 Article 113 that governs the presence of library in the prison. The purpose of this study to provide an overview of the series of events and ideas on the establishment and development of prison libraries in Indonesia. This study uses historical research method (library historiography).The results of this study indicate that the first prison library in Indonesia is the Library at Prison of Semarang, Prison of Sukamiskin, Prison of Tangerang which at the time imprison convicted criminal from Europe and among the intellectual circles. Figures who developed the prison library in Indonesia are Mr. H.M Hijmans, Mr. Roesbandi, Soekarno, M.Hatta, Sjahrir, and Pramoedya Ananta Toer. The changes of system from "Sistem Kepenjaraan" into "Lembaga Pemasyarakatan" has a significant role in making Library important for prisoners education and development. Keyword : library history, prison library, prison, staatsblad 1917
viii Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ............. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ...................................... ... ............. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ............. iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ............. iv KATA PENGANTAR………………………………………………………..................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………..................... vi ABSTRAK .…………………………………………………………………....... ............. vii ABSTRACT ........................................................................................................ ............. viii DAFTAR ISI ……………………………………………………………………............... x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ ............. xi 1. PENDAHULUAN ………………………………………….......................................... 1 1.1 Latar Belakang …………………………………………….......................................... 1 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………………........................... 4 1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………........................... 5 1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………........................ 5 1.5 Metode Penelitian ……………………………………………………......................... 6 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………......................... 7 2.1 Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan ………………………………………............. 8 2.2 Sejarah Penjara di Indonesia...................……………………………………. ............. 9 2.3 Perpustakaan Khusus.................................................................…………….. ............. 12 2.4 Perpustakaan Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan ………………………............. 13 2.5 Sejarah perpustakaan di Berbagai Negara.................... ……………………................ 16 3. METODE PENELITIAN ………………………………….......................................... 20 3.1 Prosedur Penelitian.......................................................................................... ............. 21 3.2 Subjek dan Objek Penelitian............................................................................ ............. 22 3.3 Ancangan Ilmu Dalam Menganalisis Data...................................................... ............. 22 4. PEMBAHASAN................................................................................................ ............. 25 4.1 Konsep Lahirnya Perpustakaan Penjara di Indonesia...................................... ............. 25 4.1.1 Tahun 1917.................................................................................................. ............. 27 4.1.2 Tahun 1920.................................................................................................. ............. 29 4.1.3 Tahun 1930................................................................................................... ............. 31 4.1.4 Tahun 1945................................................................................................... ............. 33 4.1.5 Tahun 1950................................................................................................... ............. 34 4.1.6 Tahun 1960................................................................................................... ............. 36 5. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... .............40 DAFTAR REFERENSI................................................................................ ....... ............. 41
ix Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Edaran tentang Bacaan untuk Orang-Orang Terpenjara............. .............44 Lampiran 2 Surat Edaran tentang Pemasyarakatan Sebagai Proses ……………….............48 Lampiran 3 Surat Edaran tentang Buku-Buku Perpustakaan Narapidana............... .............52
x Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perpustakaan penjara di Indonesia dibangun berdasarkan pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam Staatsblad van NederlandschIndie 1917, No. 708, 113 (1). De Directeur van Justitie bepaalt in welke gevangenissen ten behoeve van de gevangenen een boekerij zal worden aangeled. (2). Binnen de grenzen der daarvoor toegestane fondsen verricht hij het noodige voor de aansschaffing van nieuwe boekwerken en tijdschriften. (3). In de huishoudelijke reglementen der gevangenissen worden voorschriften opgenomen voor het beheer der boekerijen en het ter lezing geven van boeken aan de gevangenen.
Dalam terjemahannya sebagai berikut : 1. Direktur Justisi menentukan di penjara mana harus diadakan perpustakaan untuk orang-orang terpenjara. 2. Dalam batas anggaran yang sudah diizinkan untuk hal itu, Direktur Justisi mengatur pembelian buku-buku dan majalah-majalah baru. 3. Dalam anggaran rumah tangga penjara harus dicantumkan aturan tentang mengurus perpustakaan dan hal meminjamkan buku-buku pada orangorang terpenjara
Hukum Belanda sudah mengatur aspek kehidupan termasuk bidang perpustakaan, khususnya perpustakaan penjara sudah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda (1872-1945). Peraturan inilah yang kemudian menjadi landasan hukum dalam mewujudkan perpustakaan di setiap penjara. Buku-buku yang tersimpan dalam perpustakaan akan dapat mengalihkan suasana yang jenuh dan membosankan serta dapat memperbaiki sifat dan meningkatkan daya pikir dan moral para narapidana.(Watson, 1951:9)
1
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Keberadaan perpustakaan bisa menjadi upaya pengobatan bagi narapidana dari rasa frustasi akibat rasa terisolasi dari dunia luar. Akan tetapi, dalam kenyataannya perpustakaan penjara di Indonesia masih belum memadai dalam jumlah maupun bahannya (Soemadipraja,1979:13). Sayangnya, tidak hanya kuantitas perpustakaan yang belum memadai,informasi mengenai kapan perpustakaan penjara pertama kali didirikan hingga saat ini belum diketahui. Walaupun reglemen (peraturan) penjara tahun 1917 telah menyebutkan keharusan hadirnya perpustakaan di sebuah penjara. Salah satu pernyataan yang paling lengkap mengenai perpustakaan penjara, yakni oleh Charles Perrine. Dia mempromosikan konsep perpustakaan penjara sebagai pusat penyebaran pembelajaran di bawah pengawasan dari pustakawan profesional. Perrine percaya bahwa perpustakaan dalam institusi penjara seharusnya mengandung pusat pembelajaran bagi para narapidana yang berada dalam tembok penjara (Perrine,1955:249). Perpustakaan mempunyai fungsi sebagai sarana yang berdaya guna memberikan nilai tambah. Artinya perpustakaan penjara bisa menjadi sarana untuk program pendidikan, rekreasi sekaligus pembinaan. Maka perpustakaan tidak saja memerlukan bahan-bahan yang harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan, tetapi juga pengelolaan yang profesional. Pengelola harus mampu menumbuhkan minat baca bagi para narapidana melalui pelayanan yang dilakukannya atau menumbuhkan daya tarik narapidana untuk mengunjungi perpustakaan (Ginting, 1991:4-5). Dengan demikian diharapkan perpustakaan tersebut dapat memberikan pengetahuan terutama tentang hukum bagi para narapidana yang ada di penjara. Dengan pengetahuan tersebut, bila kelak kembali ke masyarakat, mereka sedikit banyaknya sudah mempunyai bekal hukum yang diharapkan dapat mengekang perbuatannya. Mereka sudah mengetahui antara hak dan kewajiban agar tidak kembali mengulangi tindak kejahatan atau menjadi residivis. Pentingnya fungsi perpustakaan penjara cukup menarik untuk kita mengetahui sejarah berdirinya perpustakaan penjara pertama di Indonesia. Melalui sejarah kita dapat mengetahui latar belakang serta filosofis didirikannya perpustakaan penjara, faktor penghambat dan pendukung yang ditemukan
2
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
sepanjang perjalanan perpustakaan penjara. Data historis tersebut bisa dijadikan pembelajaran bahkan perencanaan untuk pengembangan perpustakaan penjara di masa yang akan datang. Penelitian perpustakaan penjara dengan perspektif sejarah dapat memberikan kontribusi yang spesifik demi kemajuan kepustakawanan. Hal ini diperkuat oleh Busha dan Harter yang mengatakan bahwa
“ historical research can contribute to the body of knowledge about librarianship; it can increase our understanding of how, when, and why past events occured; and it can expand our appreciation of the significance of these events” (Busha & Harter, 1980:92)
Lebih lanjut lagi, manfaat penelitian sejarah yakni memahami dengan jelas awal definisi dan fungsi dari pepustakaan serta memberikan kontribusi untuk peningkatan komunikasi di antara perpustakaan (Harris, 1971:1). Dengan mengetahui
kapan
berdirinya
perpustakaan
penjara
dan
hal
yang
melatarbelakanginya bukan hal yang tidak mungkin jika perpustakaan penjara akan berkembang dan maju seperti negara-negara lain. Dengan berada di penjara bukan berarti membuat seseorang menjadi tidak bermanfaat (baca: tidak produktif). Bahkan banyak tokoh di dunia ini maupun di Indonesia yang dapat berkarya ketika berada di penjara walau dalam keadaan yang terisolasi dari masyarakat luar. Perpustakaan penjara adalah awal dari lahirnya karya besar tokoh-tokoh tersebut. Nama-nama seperti Walter Raleigh yang dipenjarakan di Tower of London telah menulis buku History of the World. John Bunyan yang dipenjarakan di Bedford Gaol menulis buku Pilgrim’s Progress. Demikian juga William Penn dan George Fox, masing-masing terkenal dengan bukunya No Cross, No Crown dan Short Journal (Abdurrahman, 1978). Sedangkan di Indonesia, Buya Hamka dalam tahanan pada masa revolusi telah menulis Tafsir Al Azhar. Aladin Banuali, bekas penjahat telah menulis novel berjudul Pasrah selama dalam penjara. Kini novel
itu
dimuat
dalam
bersambung
di
koran
mingguan
Singgalang
(Soemadipraja, 1979:13-14).
3
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Sejak abad ke-19 perpustakaan penjara baik di Inggris maupun di Amerika Serikat sudah ada, meskipun jumlahnya masih sedikit. Di Inggris, Elizabeth Fry, pada tahun 1812 telah mulai merintis mewujudkan perpustakaan penjara. Ia membentuk organisasi yang bernama “The New Gate Association”. Tujuannya untuk memberikan kesejahteraan dan pendidikan kepada narapidana. Elizabeth Fry (21 May 1780 – 12 October 1845) adalah English prison reformer, social reformer dan sebagai a Quaker, a Christian philanthropist. Dia biasa disebut "angel of prisons". Fry juga yang mendukung peraturan baru untuk memperlakukan narapidana lebih manusiawi. Elizabeth Fry menulis buku Prisons in Scotland and the North of England bahwa dia seringkali tinggal semalaman di beberapa penjara hanya untuk melihat bagaimana kondisi para narapidana seharihari. Di Tahun 1817, Fry mendirikan The Association for the Reformation of the Female Prisoners in Newgate. Hal inilah yang kemudian lahirnya komunitas yang tergabung dalam The British Ladies' Society for Promoting the Reformation of Female Prisoners. Banyak sejarawan yang menyebut Fry sebagai wanita Inggris pertama yang bergerak dalam organisasi wanita di Inggris. Begitu pula dengan perpustakaan penjara di Amerika Serikat, ketika Charles Dickens mengunjungi penjara Philadelphia pada tahun 1842. Ia melihat narapidana banyak membaca kitab suci dan bacaan lainnya. Ia juga ikut serta dalam pengembangan perpustakaan penjara di Amerika. Winston Churchill, negarawan Inggris, pada tahun 1911 membentuk sebuah badan yang bernama Departemental Comittee on The Supply of Books to Prisons yang bertugas untuk memberikan bantuan penyediaan buku bacaan ke setiap penjara di Inggris. Melihat kisah di atas, penulis berharap dalam penelitian ini dapat mengetahui apakah di Indonesia khususnya di tahun-tahun setelah lahirnya peraturan tentang perpustakaan penjara terdapat tokoh-tokoh atau lembaga yang membantu dalam pengembangan perpustakaan penjara. Tidak hanya membentuk sebuah komite, Inggris dan di Amerika Serikat pun mengeluarkan buku yang berjudul Prison Library Handbook pada tahun 1932, yaitu sebagai pedoman standar untuk perpustakaan penjara yang dihasilkan atas kerjasama antara ALA (American Library Association) dan APA (American Prison Association). Di tahun sebelumnya, ALA justru telah menerbitkan ALA’s
4
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Manual for Institution Libraries. Kemudian di tahun 1943 The Executive Comittee of the American Prison juga mengeluarkan buku Objectives and Standards for Libraries on Adult Prisons and Reformatories. Melihat dari tahun 1915 hingga tahun 1940 dapat dikatakan terjadi perubahan yang mencolok dalam upaya pengembangan perpustakaan-perpustakaan penjara baik di Inggris dan Amerika. Berbeda dengan jenis perpustakaan lainnya yang memiliki organisasi untuk pustakawannya, seminar dan workshop yang rutin diselenggarakan serta penelitian-penelitian yang membuat berkembangnya perpustakaan tersebut. Dalam perpustakaan penjara, hal yang penulis kemukakan sebelumnya hingga saat ini belum pernah ada, baik organisasi yang mewadahi pustakawannya maupun seminar atau workshop yang membahas mengenai topik tersebut. Kalaupun ada, itu diselenggarakan di Amerika Serikat dan Inggris.
1.2 Perumusan Masalah Masalah penelitian mengenai sejarah perpustakaan penjara di Indonesia periode 1917—1964. Fokus pada gagasan pendirian perpustakaan penjara di Indonesia dengan diawali dengan tahun 1917, yakni keluarnya peraturan mengenai perpustakaan di penjara sehingga menjadi cikal bakal hadirnya perpustakaan. Tahun 1964 sebagai batasan akhir lingkup tahun penelitian karena pada tahun tersebut terjadi peristiwa yang besar, yakni berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan yang memberi dampak pada perpustakaan penjara sebagai bagian dari pembinaan dari sistem pemasyarakatan. Selain itu, di tahun tersebut pula berubahnya nama ‘Penjara’ menjadi ‘Lembaga Pemasyarakatan’.
1.3 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang rangkaian peristiwa dan gagasan tentang pendirian dan perkembangan perpustakaan
penjara
di
Indonesia
sejak
dikeluarkan
Nederlandsch-Indie pada tahun 1917 hingga tahun 1964.
Staatsblad
van
Penelitian ini
diharapkan dapat diketahui : 1. Perpustakaan penjara pertama di Indonesia.
5
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
2. Tokoh-tokoh
yang
mengembangkan
perpustakaan
penjara
di
Indonesia. 3. Buku pedoman khusus yang mengatur tentang perpustakaan penjara seperti halnya di Inggris dan Amerika Serikat.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian sejarah adalah membuat sintesa dan generalisasi dari rekonstruksi masa lampau yang tidak hanya akan menciptakan ulang masa lampau tapi juga dapat memberikan bantuan untuk memahami masa sekarang (Busha: 94). Selain itu sejarah perpustakaan mengajari pustakawan untuk memahami dengan baik masa kini dan lebih efektif untuk memenuhi kewajiban sosial mereka (Powell, 1997:166). Penelitian ini mempunyai manfaat : 1. Untuk menggambarkan sejarah berdirinya perpustakaan penjara mulai dari dikeluarkannya Staatsblad van Nederlandsch-Indie tahun 1917 hingga 1964. 2. Untuk memperkaya kajian sejarah perpustakaan di Indonesia, khususnya mengenai perpustakaan penjara. 3. Sebagai sumbangan untuk historiografi perpustakaan di Indonesia.
1.5 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Library Historiography dalam Encyclopedia of Library and Information Science menyebutkan,
“..A systematic body of principles and rules designed to aid effectively in gathering the source-materials of history, appraising them critically and presenting a synthesis (generally in written form) of the results achieved. More briefly, it may be defined as “a system of right procedure for the attainment of [historical] truth.( Krzys, 1980:298)
6
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 1. Studi literatur sumber-sumber primer dan sekunder yang dapat diperoleh sesuai dengan objek penelitian. 2. Wawancara untuk melengkapi data yang diperoleh dari sumber tertulis.
Subjek dari penelitian ini adalah sejarah perpustakaan. Objek materinya adalah sejarah berdirinya perpustakaan penjara di Indonesia sejak munculnya Staatsblad Tahun 1917 No. 708 sampai beralihnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan di tahun 1964.
7
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 2 Tinjauan Pustaka Sulistyo Basuki dalam Periodisasi Perpustakaan Indonesia (1994) memaparkan dengan teliti dan lengkap mengenai sejarah perpustakaan umum maupun perpustakaan khusus. Berkat penelitiannya diketahui latar belakang berdirinya perpustakaan dan peranannya di masyarakat. Setelah diketahui sejarah berdirinya perpustakaan para praktisi perpustakaan pun menjadi mudah dalam menentukan kebijakan dan strategi dalam pengembangannya. Kini, dapat dirasakan baik perpustakaan umum, perpustakaan sekolah maupun perpustakaan khusus lainnya berlomba-lomba dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Tidak hanya koleksi yang memadai, gedung yang menarik serta teknologi yang tinggi juga tersedia dalam perpustakaanperpustakaan tersebut. Dengan demikian, mengetahui sejarah berdirinya sebuah perpustakaan sangatlah penting. Sebab bisa menentukan keberadaan serta fungsinya di masa yang kini juga yang akan datang. Dalam penelitian sebelumnya mengenai perpustakaan penjara, belum ada yang menyebutkan tentang kapan berdirinya perpustakaan penjara di Indonesia. Selain itu, penulis pun belum menemukan dalam buku ataupun artikel perpustakaan yang memaparkan sejarah perpustakaan penjara di Indonesia. Dalam penelitian M. Abdurrahman (1987) tentang Pengelolaan Perpustakaan Lembaga pemasyarakatan: Dua Kasus Perpustakaan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta dan Tangerang disebutkan mengenai Staatsblad van Nederlandsch-Indie tahun 1917 No. 708, pasal 113. Pasal tersebut mengatur tentang pengadaan perpustakaan penjara, anggaran untuk perpustakaan hingga koleksi buku dan majalah yang harus ada di perpustakaan penjara. Munculnya peraturan tersebut menandakan lahirnya perpustakaan penjara pertama di Indonesia.
2.1 Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan Mengingat penelitian penulis adalah sejarah perpustakaan penjara periode 1917-1964,
saat
itu
kata
‘lembaga
pemasyarakatan’
ataupun
‘sistem
pemasyarakatan’ belum digunakan sehingga pemilihan kata ‘penjara’ akan dipilih penulis demi konsistensi penulisan.
8
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Menurut asal-usul kata (etimologi), kata ‘penjara’ berasal dari penjoro (bahasa Jawa) yang berarti tobat atau dibuat jera (Koesnoen, 1961:9). Kata ‘penjara’ juga memiliki arti sebagai berikut :
“Sekalian rumah-rumah yang dipakai atau akan dipakai oleh negara untuk tempat-tempat orang-orang yang terpenjara dan yang dinamakan Centrale Gevangenis voor Europeanep. Gevangenis voor vrouwen (penjara untuk perempuan). Dwangarbeiderskwartier (tempat tinggal orang yang dihukum kerja paksa), Landsgevangenis (penjara negeri), Hulpgevangenis (penjara pertolongan), Crviel Gevangenhuis (rumah tutupan buat orang-orang bukan militer) dan yang bernama lain.”(Staatsblads 1917 No. 708 pasal 1).
Yang dinamakan orang-orang terpenjara yaitu : a. Orang-orang yang menjalankan hukuman penjara (gevangenisstraf) atau hukuman kurungan (hectenis). b. Orang-orang yang ditahan untuk sementara (orang tahanan preventif). c. Orang-orang yang di-gijzel (sandera). d. Sekalian orang-orang lain yang tidak menjalani hukuman hilang kemerdekaan (vrijheidsstraf), tetapi dimasukkan penjara juga dengan sah (Staatsblads 1917 No. 708 pasal 4).
Penjara adalah salah satu ciri pokok berdirinya negara dan dibentuk sebagai konsekuensi dari adanya order atau hukum yang terbentuk sebagai konsekuensi dari adanya institusi berupa kepemilikan. Institusi ini memiliki tiga lapisan pokok, yakni lapisan ekonomi, politik, dan cultural (Engels, 1998:15).
Di masa sekarang, narapidana semakin diperhatikan seperti yang terlihat dari Penjelasan UU RI No.12 Tahun 1992 tentang Pemasyarakatan sebagai berikut : “Sistem Pemasyarakatan di samping bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik juga bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap diulanginya tindak pidana oleh warga binaan
9
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
pemasyarakatan serta merupakan penerapan dan bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Menyadari hal itu maka telah sejak lama sistem pemasyarakatan di Indonesia lebih ditekankan pada aspek pembinaan narapidana, anak didik pemasyarakatan atau klien pemasyarakatan yang mempunyai ciri-ciri preventif, kuratif dan edukatif.” Selain itu Subekti pun menegaskan kembali bahwa tujuan dari lembaga pemasyarakatan agar para narapidana dapat kembali ke jalan yang benar dan dapat hidup bermasyarakat sebagaimana sebelum melakukan kejahatan (1973:73). Senada dengan Subekti, Sugianto juga menjelaskan bahwa narapidana meskipun telah tersesat ditinjau dari segi hukum, tetapi sebagai warga negara yang tetap mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti warga negara yang lain kecuali ia hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan . Narapidana berada di dalam lembaga pemasyarakatan hanya sementara dan nanti pada waktunya (setelah habis masa pidananya) akan kembali ke tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, sistem pemasyarakatan mengharapkan mereka tidak akan melanggar hukum lagi dan menjadi tenaga pembangunan yang aktif dan kreatif serta dapat hidup bahagia dunia dan akhirat (Sugianto,1981:40). Dengan kata lain, di dalam suatu pemberian hukuman tersimpul pula suatu pemberian pembinaan dan di dalam suatu pemberian pembinaan tersimpul pula suatu pemberian hukuman. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa titik berat dari proses pemasyarakatan bergeser antara pemberian hukuman menjadi pemberian pembinaan.
2.2 Sejarah Penjara di Indonesia Pada zaman dahulu sebelum masa penjajahan sistem kepenjaraan belum dikenal di kawasan Nusantara. Sistem kepenjaraan baru dikenal pada zaman penjajahan, tetapi tidak seperti sistem kepenjaraannya yang sekarang. Ketika itu, yang ada rumah tahanan di Batavia dan diperuntukkan bagi wanita tuna susila, pengangguran atau gelandangan yang suka mabuk-mabukan. Mereka dimasukkan ke dalam rumah tahanan tersebut kemudian diberi pekerjaan dan pendidikan agama. Rumah tahanan yang terkenal pada masa itu adalah Spinhuis dan Rasphuis (Cassirer, 1997:315).
10
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Pada zaman VOC pada tahun 1602—1800, Zaman peralihan (1800-1808), zaman Perancis-Belanda, yakni zaman Gubernur Daendels (1808—1811) dikenal adanya pidana kurungan dan pidana rantai berat, bangunan penjara dalam arti sesungguhnya juga belum ada. Baru pada zaman pemerintahan Inggris (1811—1816) oleh Raffles dihapuskan hukuman-hukuman yang membuat cacat badan juga terdapat pengategorian narapidana berdasarkan kejahatannya (Gunakaya, 1988:25). Masa kolonial merupakan masa yang ditandai dengan “Wetbuk van Strafrecht voor de Inlander in Nederlandsch Indie” yang dapat diterjemahkan sebagai “Kitab undang-undang hukum pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda.” Tujuan utama dari hukuman pada periode tahun 1872—1905 adalah menciptakan rasa takut dan mengasingkan terpidana dari masyarakat. Dalam masa ini pidana yang ditetapkan yakni sebagai berikut : a. Pidana mati; b. Pidana kerja; c. Pidana denda.
Pidana kerja lamanya seumur hidup atau sementara dan paling sedikit satu hari. Penduduk pribumi seringkali dijatuhkan pidana ini, sedangkan dalam pelaksanaannya pidana kerja terdiri dari dua macam, yakni sebagai berikut: a. Kerja paksa (dwang arbeid) b. Dipekerjakan (ter arbeid stellen) (Sujatno, 1998:106-107)
Kitab undang-undang hukum pidana untuk Hindia Belanda itu sendiri baru ditetapkan pada tanggal 15 Oktober 1915 No.33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Salah satu isi dari perundang-undangan ini adalah dihapuskannya istilah ‘pidana kerja’ menjadi ‘pidana hilang kemerdekaan’. Selang tiga tahun sesudah 1 Januari 1918, terjadi perubahan mencolok dalam sistem kepenjaraan. Perubahan ini terjadi di bawah kepemimpinan Hijmans. Hijmans adalah Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia Belanda yang gigih dalam mereformasi sistem kepenjaraan. Direktur Justisi mengungkapkan pandangannya terhadap anak-anak yang terpidana dengan terpidana dewasa agar
11
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
tidak disatukan sebab akan memunculkan “school of crime” dan memunculkan penjahat-penjahat baru. Dia pun tiap tahun memberi sumbangan 500 Rupiah kepada sekretariat untuk anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan. Perubahan tersebut berupa penghapusan sistem Gewestelijke Centralen (penjarapenjara sentral) menjadi sistem Strafgevangenissen (penjara sebagai sarana pelaksana pidana). Pengiriman wakil pertama kalinya ke kongres internasional penitentier kesembilan di London pada Agustus 1925 juga dilakukan oleh Hijmans.( Sujatno, 1998: 110)
Menjelang masuknya pendudukan Jepang ke Indonesia tercatat beberapa peristiwa penting antara lain : 1. Tahun 1921, penjara Madioen (baca: Madiun) menyediakan tempat untuk anak-anak di bawah usia 19 tahun. 2. Tahun 1925, didirikan penjara untuk anak-anak di bawah umur 20 tahun di Tanah Tinggi, Tangerang serta didirikannya penjara untuk terpidana seumur hidup di Muntok dan Sragen. 3. Tahun 1927, di Pamekasan dan Ambarawa didirikan penjara anak-anak.
Pada masa ini penjara-penjara memiliki kedudukan khusus di antaranya adalah: 1. Penjara Sukamiskin untuk orang Eropa dan kalangan intelektual. 2. Penjara Tjipinang (baca: Cipinang) untuk terpidana kelas satu. 3. Penjara Glodok untuk pidana psychopalen. 4. Penjara Sragen untuk pidana kelas satu (seumur hidup). 5. Penjara anak-anak di Tangerang. 6. Penjara-penjara di Banyoe Biroe (baca:Banyu Biru) dan Ambarawa. 7. Penjara khusus wanita di Semarang dan Tangerang.( Sujatno, 1998: 112) Kepenjaraan pada masa Jepang khususnya perlakuan terpidana harus berdasarkan “reformasi atau rehabilitasi” namun dalam kenyataan lebih merupakan “eksploitasi atas manusia”.
12
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Selama periode ini urusan kepenjaraan dikepalai oleh Adzuma Konihiko, seorang ahli kepenjaraan lulusan Universitas di Jepang yang sempat menulis buku tentang kepenjaraan, khususnya kepenjaraan Jepang, dalam bahasa Indonesia. Surat edaran yang pertama kali dikeluarkan dalam sejarah kepenjaraan Republik Indonesia setelah masa kemerdekaan, ialah surat edaran yang dikeluarkan di Jakarta tertanggal 10 Oktober 1945 no. G.8/588 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pertama, Profesor Mr. Dr. Supomo. Surat edaran pertama ini memuat hal-hal sebagai berikut: 1. Semua penjara telah dikuasai oleh Republik Indonesia; 2. perintah-perintah yang diturut hanya perintah-perintah dari Menteri Kehakiman R.I., atau dari Kepala Bahagian Urusan Penjara Mr. R.P Notosusanto yang telah ditunjuk sementara untuk itu; 3. pengurusan atas penjara-penjara setelah dikuasai oleh Republik Indonesia harus baik untuk memperoleh nama baik pula dari dunia internasional; 4. pertama-tama harus diperhatikan dan diusahakan ialah kesehatan orang-orang terpenjara; apa yang telah terjadi di masa sebelumnya (Jepang) jangan sampai terulang; khususnya makanan bagi orangorang terpenjara harus dicukupi; 5. pekerjaan bagi orang-orang terpenjara harus diperhatikan antara lain sebagai sarana memperbaiki tabiatnya; perhatian khusus diminta untuk usaha-usaha di bidang pertanian guna mencukupi makanan orangorang terpenjara; 6. memperlakukan
orang-orang
terpenjara
selalu
mengingat
perikemanusiaan dan keadilan, tanpa pandang bulu (apakah Indonesia, Eropa, Tionghoa, dll) (Dirjen Pemasyarakatan RI, 2004).
Setelah itu dalam tahun 1945 berturut-turut masih dikeluarkan lagi dua surat edaran yang menyangkut tata perlakuan terhadap orang-orang terpenjara, yang pada pokoknya menekankan kepada pemeliharaan kesehatan, usaha-usaha pendidikan antara lain (pemberantasan buta huruf), pemberian pekerjaan yang bersifat mendidik, dan larangan untuk mengadakan diskriminasi. Semua surat
13
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
edaran pada tahun 1945 dikeluarkan langsung oleh menteri kehakiman. (Dirjen Pemasyarakatan RI, 2004). Paska kemerdekaan banyak hal yang terjadi dalam Kepenjaraan Indonesia. Perbaikan-perbaikan pun dilakukan baik menyangkut para narapidana hingga pegawai penjara. Peningkatan pendidikan hingga kesejahteraan keduanya sangat diperhatikan. Hingga memasuki masa yang merubah Kepenjaraan Indonesia yakni berubahnya sistem Kepenjaraan menjadi sistem Pemasyarakatan. Peristiwa pertama, terjadi pada tanggal 5 Juli 1963, yakni pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia kepada Saharjo, SH., Menteri Kehakiman merangkap Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri pada waktu itu; peristiwa kedua terjadi pada tanggal 27 April 1964, yakni dimulainya Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang Bandung yang berlangsung hingga tanggal 7 Mei 1964. Konferensi Dinas di Lembang ini didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia (tertulis) tertanggal Jakarta 27 April 1964. (Departemen Kehakiman RI, 2004: 108) Sistem pemasyarakatan di Indonesia menganggap bahwa narapidana adalah makhluk tuhan sebagaimana manusia lainnya. Oleh karena itu, narapidana harus diperlakukan secara manusiawi. Tidak boleh ada penyiksaan, baik berupa tindakan dan ucapan maupun kurang perawatan dan penempatan yang kurang layak satu-satunya derita adalah kemerdekaan yang dihilangkan (Soemadipraja, 1979:15).
2.3 Perpustakaan Khusus Perpustakaan penjara atau lembaga pemasyarakatan dapat dikategorikan sebagai perpustakaan khusus. Seperti yang termaktub dalam Undang-undang nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan menyebutkan perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang diperuntukkan secara terbatas bagi pemustaka di lingkungan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, lembaga pendidikan agama, rumah ibadah atau organisasi lain. Perpustakaan nasional juga menyebutkan bahwa perpustakaan khusus adalah
salah
satu
jenis
perpustakaan
yang
dibentuk
oleh
lembaga
(pemerintah/swasta) atau perusahaan atau asosiasi yang menangani atau
14
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
mempunyai misi bidang tertentu dengan tujuan untuk memenuhi bahan bacaan di lingkungannya dalam rangka mendukung pengembangan dan peningkatan lembaga maupun sumber daya manusia.
2.4 Perpustakaan Penjara atau Lembaga Pemasyarakatan Perpustakaan Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri adalah sebuah perpustakaan yang dikelola di dalam lembaga pemasyarakatan untuk digunakan oleh narapidana (Harrod, 1990:496). Perpustakaan penjara menyediakan sarana yang penting untuk perbaikan narapidana. Mereka dapat berfungsi sebagai suplemen untuk program-program pendidikan dan dapat
menumbuhkan
kesempatan kerja yang lebih baik dan pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang lebih stabil dan lebih produktif dari warga. Banyak yang percaya bahwa perpustakaan sangat vital untuk rehabilitasi dari tahanan, membantu mereka untuk memperkuat karakter dan berkurangnya tingkat “sakit” (kembali ke penjara). Dalam perdebatan yang sengit mengenai perlakuan terhadap narapidana banyak yang lupa bahwa 95 persen dari narapidana suatu hari akan keluar lagi dan kembali ke masyarakat kita (Thorson, 1997:2). Perpustakaan penjara memiliki beberapa tujuan. Beberapa koleksi bertujuan sebagai pendukung kurikulum dalam program pendidikan yang telah ada. Tujuan lain sebagai pusat rekreasi terutama bagi narapidana yang senang membaca sekaligus memanfaatkan waktu secara positif. Beberapa juga mencoba untuk membaca cerita nonfiksi dan pendidikan umum sebagai bahan pembelajaran dan perbaikan karakter. Pusat peran perpustakaan dalam masyarakat yang demokratis-kontribusi untuk belajar sepanjang hayat dan perbaikan diri sendiri sehingga mereka (narapidana: baca) dapat aktif dalam pemerintah dan masyarakat. Sekaligus menjadi pusat rehabilitasi untuk pemulihan diri. (Thorson, 1997: 3) Berdirinya perpustakaan di lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk menyediakan sumber-sumber informasi yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan informasi, pendidikan dan hiburan bagi narapidana. Selain itu, tujuan dari perpustakaan lembaga pemasyarakatan yaitu: 1. merehabilitasi : mengubah kebiasaan dan tingkah laku;
15
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
2. mendorong pencerahan diri : meningkatkan moralitas; 3. menyediakan bahan bacaan yang bersifat hiburan atau rekreasi : mengatasi kebosanan atas rutinitas yang dilakukan oleh para narapidana dengan memberi bacaan yang dapat mengusir kebosanan; 4. menyediakan akses ke pengadilan : memberikan informasi dan pengetahuan
yang cukup
mengenai proses
peradilan dan
pemasyarakatan (Vogel, 1994:120). Selain itu Vogel menambahkan bahwa sebuah perpustakaan lembaga pemasyarakatan dapat menjadi sistem pendukung yang penting bagi para narapidana dan petugas lembaga pemasyarakatan jika ditempatkan dan dirancang dengan baik sehingga perpustakaan dapat menjadi sebuah penyedia sumber informasi yang sangat berharga. Berjalannya suatu perpustakaan dibutuhkan kerjasama sinergi dari pemerintah, masyarakat, dan lembaga perpustakaan. Kegiatan perpustakaan penjara di beberapa negara didorong oleh organisasi dan lembaga internasional. Publikasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk peradilan pidana yang informatif. Kedutaan negara diberikan arahan berdasarkan sumber dan fakta. Suatu ikhtisar layanan perpustakaan penjara di beberapa negara diberikan oleh Federasi Asosiasi Perpustakaan Internasional, Sub-Seksi Perpustakaan di Rumah Sakit (Dalton, 1977:1). Pada tahun 1955 kongres pertama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (pencegahan kejahatan dan perlakuan menghadapi narapidana) "Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners”; aturan ini telah disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada tahun 1957. Dewan mengundang pemerintah untuk memberikan pertimbangan positif dalam aplikasi aturan tersebut di penjara masing-masing. Meskipun perpustakaan secara khusus termasuk di bawah peraturan 40 (buku) dan menjadi bagian dari aturan 37—39 (kontak dengan dunia luar). Penerapan penggunaan surat kabar dan majalah untuk narapidana termasuk dalam peraturan tersebut. Aturan 77—78 (pendidikan dan rekreasi) aspek rekreasi berdasarkan kebutuhan perpustakaan dan mendukung program pendidikan pada
16
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
umumnya serta program buta aksara pada khususnya. Layanan Perpustakaan juga dipengaruhi oleh aturan lain, seperti aturan 79—81 (hubungan sosial dan perawatan) (Skoler, 1975). Dalam International Survey on the Standard Minimum Rules: A Pilot Study, International Review of Criminal Policy tahun 1968 yang diterbitkan oleh The International Prisoners’ Aid Association didapatkan hasilnya sebagi berikut : 1. empat puluh dua negara anggota menunjukkan bahwa mereka telah menerapkan Peraturan 40 (Buku), delapan telah menerapkannya sebagian, dan lima lainnya dalam tahap penyesuaian; 2. empat puluh sembilan negara anggota telah melaksanakan aturan 37— 39 (kontak dengan dunia luar), enam negara telah melaksanakannya sebagian (di dua negara, surat kabar dan majalah hanya diperbolehkan dengan izin khusus atau di bawah pengawasan); 3. tiga puluh sembilan negara anggota telah melaksanakan aturan 77—78 (pendidikan dan hiburan), tiga belas negara sudah menetapkannya sebagai aturan, dua negara dalam tahap pengenalan, dan satu negara lainnya belum menerapkan aturannya; 4. tiga puluh tujuh negara anggota telah melaksanakan aturan 79—81 (hubungan sosial dan perawatan), sepuluh negara telah menerapkannya sebagian, tujuh negara menetapkannya dalam aturan, dan satu negara belum membuat aturan khususnya.
Standar minimum perlakuan terhadap tahanan sangatlah penting. PBB pun berupaya keras agar aturan tersebut diterapkan dalam administrasi peradilan pidana. Setelah dua dekade penerapan, dapat dilihat kemajuan pelaksanaannya dalam survei baru-baru ini. Survei yang dilakukan pada tahun 1967 memfokuskan pada implementasi “standar minimun aturan perlakuan terhadap narapidana” Selain itu, peranan lembaga pemasyarakatan sebenarnya bukan sekedar menghukum para narapidana tetapi juga untuk mendidik para narapidana untuk mejadi manusia yang berguna di mata masyarakat dan menjadi masyarakat yang berilmu pengetahuan. Dalam usaha untuk mencapai cita-cita ini, perpustakaan adalah sarana yang penting bagi setiap lembaga pemasyarakatan. Perpustakaan
17
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
juga penting sebagai faktor yang mempengaruhi tabiat dan minat baca sebuah komunitas masyarakat.(Rahmat Abd dan Rubit Putih Kadir, 1987:38). Peranan perpustakaan lembaga pemasyarakatan, yakni untuk merehabilitasi narapidana. Perpustakaan merupakan bagian dari tim rehabilitasi dan harus menyediakan bahan-bahan tambahan untuk membantu konseling dari para narapidana (Lemon, 1997:36). Tidak hanya PBB yang memperhatikan perpustakaan penjara, lembaga internasional lainnya seperti Rekomendasi No. R (89) 12 diadopsi oleh Commitee of Ministers of The Council of Europe pada tanggal 13 Oktober 1989 dengan memorandum yang disertai penjelasan yaitu tentang pendidikan di lembaga pemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut ditetapkan perpustakaan di dalam masyarakat merupakan suatu sumber pendidikan, informasi, dan rekreasi seperti halnya pusat pengembangan kebudayaan. Layanan perpustakaan untuk narapidana juga harus memiliki cakupan fungsi luas dan merupakan standar profesionalitas yang sama seperti perpustakaan umum. Bahkan, jika memungkinkan harus memiliki akses langsung ke perpustakaan umum di luar lembaga pemasyarakatan yang dapat mereka kunjungi dari lembaga pemasyarakatan secara teratur. Cara lainnya, yaitu mengupayakan suatu layanan penuh dari dalam lembaga pemasyarakatan. Rekomendasi ini juga menekankan pentingnya setiap negara mengembangkan suatu pedoman sendiri untuk layanan perpustakaan terhadap narapidana. Selanjutnya adalah IFLA/UNESCO Public Libraries Manifesto (1995) yang meminta perpustakaan umum untuk melayani kebutuhan perpustakaan di penjara. Council of Europe (Strasbourgh, 1990) dalam melaporkan Pendidikan di Penjara khususnya di bagian perpustakaan penjara merekomendasikan agar perpustakaan penjara dibuatkan standar operasional yang profesional, seperti perpustakaan umum. Selain itu, pustakawan profesional harus mengatur perpustakaan dengan koleksi yang menarik dan bisa memenuhi kebutuhan para narapidana sehingga menciptakan aktivitas membaca dalam penjara. Peranan perpustakaan penjara dalam proses reformasi dan rehabilitasi memberikan pengaruh yang penting. Informasi yang disediakan di perpustakaan penjara mampu membuat para narapidana mendapatkan pengaruh langsung yang
18
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
positif serta memperbaiki perilaku mereka di masa yang akan datang. Dalam disertasi di Polandia juga dipaparkan bahan bacaan yang diminati oleh narapidana. Pada temuan awalnya, 90 persen narapidana membaca surat kabar, 75 persen membaca buku, dan 25 persen tidak membaca buku sama sekali. Berdasarkan hipotesis tersebut, penelitian tersebut ditujukan untuk melihat peran buku dalam masa rehabilitasi para narapidana (Steven & Usherwood, 1995:45).
2.5 Sejarah Perpustakaan di Berbagai Negara Melihat lembaga Internasional baik PBB maupun UNESCO yang telah menetapkan pentingnya kehadiran perpustakaan di penjara maka di berbagai belahan dunia pun berlomba-lomba untuk melaksanakannya. Sesuai dengan survey yang dilakukan oleh PBB yang telah penulis jelaskan, terdapat negaranegara yang telah menghadirkan perpustakaan penjara dan juga menerapkan peraturan mengenai pengadaan buku untuk narapidana. Namun dalam kenyataannya di beberapa negara telah menghadirkan perpustakaan di penjara jauh sebelum lahirnya peraturan ataupun keputusan dari lembaga internasional. Berikut ini adalah perpustakaan penjara di berbagai negara seperti :
1.
Belanda Di Belanda, perpustakaan penjara berada di bawah naungan Departemen
Kehakiman dan beroperasi secara terpisah dari perpustakaan umum. Petugas penjara menjalankan perpustakaan sebagai tugas tambahan. Setiap penjara memiliki koleksi
buku sendiri dan anggaran
yang
minim.Pengelolaan
perpustakaan di Belanda pada umunya dijalankan atas prakarsa Direktur Penjara sebagai pimpinan. Sedangkan rohaniawan, guru dan petugas penjara yang membidangi pendidikan merupakan petugas pelaksana. Mereka mempunyai tugas misalnya dalam pengadaan buku-buku bacaan, pengolahan, administrasi, dan memberikan bimbingan menggunakan perpustakaan. Meskipun perpustakaan penjara di Belanda tidak melibatkan perpsutakaan umum untuk bekerja sama dalam meningkatkan pelayanan perpustakaan, tetapi dari Pusat Perkumpulan Perpustakaan Umum (Centrale Vereniging Openbare Leeszalen) kadang-kadang
19
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
mengirimkan
petugas
untuk
memberikan
sumbangan
pikiran
dalam
mengembangkan perpustakaan penjara. (Watson, 1951:39)
2. Kanada Di Ontario (Kanada), perpustakaan penjara telah terbentuk sejak tahun 1958. Setiap pustakawan daerah bertanggung jawab melayani perpustakaan penjara berdasarkan wilayahnya. Dalam setiap wilayah terdapat papan kelembagaan perpustakaan, terdiri dari kepala pembangunan sosial, perpustakaan daerah, kepala unit, pustakawan kelembagaan, pengawas pendidikan, dan perwakilan dari komite narapidana. Tanggung jawab pustakawan regional di penjara mencakup pengembangan metode perpustakaan penjara melalui pelayanannya. Hampir ada di 70 penjara dan lebih dari 130.000 buku tersedia untuk narapidana. Ketiga lembaga pemasyarakatan utama di wilayah Atlantik di Kanada memiliki perpustakaan yang disediakan oleh institusi. (Wagner, 1976:10)
3. Jepang Pada tahun 1951, Jepang membentuk dewan penasihat pemilihan buku untuk narapidana Pada tanggal 31 Mei 1976, koleksi perpustakaan penjara di Jepang menyediakan sebanyak 490.607 buku, dengan jumlah terbesar di bagian Tokyo. Penjara ini juga memiliki koleksi terbesar di Fuchu (Shikita, 1973:11-12). Subyek yang dibahas meliputi: karya umum dan filsafat, sejarah, ilmu sosial, ilmu pengetahuan, teknik, industri, seni, bahasa dan sastra, dengan jumlah terbanyak koleksi sastra dan filsafat di posisi kedua. Sekitar 3.000 narapidana belajar di bagian pendidikan dan pelatihan teknis dalam fasilitas penjara tersebut. Sebagian besar berusia antara 18—25 tahun. Sebuah perpustakaan pusat dengan 9.400 koleksi buku terletak di penjara pusat dan koleksi berskala kecil 300, 500, dan 1.500 buku yang tersedia dalam tiga lembaga (Departemen Kehakiman Jepang, 1976) Melihat pemaparan di atas dapat diketahui betapa perpustakaan penjara begitu diperhatikan oleh pemerintah khususnya departemen kehakiman dan perpustakaan nasional. Informasi mengenai kapan berdirinya perpustakaan penjara pun diketahui sehingga memudahkan para praktisi perpustakaan maupun
20
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
intitusi yang terkait untuk melakukan pengembangan perpustakaan. Di Indonesia, tidak ada informasi yang menerangkan mengenai kapan berdirinya perpustakaan di penjara. Jika ingin ditelusuri bisa melalui penelitian M. Abdurrahman tentang Pengelolaan Perpustakaan Lembaga pemasyarakatan: Dua Kasus Perpustakaan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta dan Tangerang. Dalam penelitian tersebut Abdurrahman menyebutkan tentang Staatsblad 1917 No. 708,113. Staatsblad yang kemudian disebut Reglemen Penjara dalam Pasal 113 disebutkan mengenai pengadaan perpustakaan di penjara, pengadaan buku dan majalah untuk perpustakaan juga anggaran untuk pengadaan buku tersebut.
21
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 3 Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Kajian historis mulai bilamana sebuah peristiwa, perkembangan atau pengalaman masa lampau dipertanyakan. Langkah awal penelitian historis ialah memisahkan butir-butir penting yang menimbulkan masalah atau ketidakpastian, diikuti dengan perumusan deskripsi yang sederhana, jelas dan tidak bertaksa. Gottschalk mengatakan metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 1975:32).
Metode sejarah bersifat
universal dengan arti, bahwa metode sejarah dapat diterapkan pada pokok pembahasan disiplin ilmu manapun sebagai sarana untuk memastikan fakta. Ada enam tahap yang harus ditempuh dalam penelitian sejarah : 1. Memilih suatu topik yang sesuai; 2. mengusut semua bukti yang relevan dengan topik; 3. membuat catatan tentang apa saja yang dianggap penting dan relevan dengan topik yang ditemukan ketika penelitian sedang berlangsung; 4. mengevaluasi secara kritis semua bukti yang telah dikumpulkan; 5. menyusun hasil-hasil penelitian ke dalam suatu pola yang benar dan berarti yaitu sistematika tertentu yang telah disiapkan sebelumnya; 6. menyajikannya dalam suatu cara yang dapat menarik perhatian dan mengkomunikasikannya kepada para pembaca sehingga dapat dimengerti sejelas mungkin (Gray, 1956:9). Ada enam jenis tipe penelitian sejarah yakni : 1. biografi; 2. sejarah dari organisasi atau institusi; 3. investigasi sumber dan pengaruh; 4. pengeditan dan Penerjemahan dokumen sejarah; 5. mempelajari sebuah gagasan; 6. pengumpulan bibliografi (Hilway, 1997:167).
22
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Ada empat tahap pokok dalam metode sejarah yaitu: 1)
Pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis atau lisan yang berhubungan dengan judul penelitian.
2)
Menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian dari bahan-bahan) yang tidak relevan dengan judul penelitian.
3)
Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik.
4)
Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi suatu kisah atau penyajian. (Louis Gottschalk:18)
Sejarah perpustakaan adalah cabang dari ilmu sejarah yang menyelidiki perbuatan manusia di masa lampau, kegiatan organisasi, atau pengaruh dari gerakan sosial yang mendorong perkembangan perpustakaan. The Library History Round Table yang berada di bawah American Library Association pada tahun 1989 menjelaskan mengenai sejarah perpustakaan sebagai berikut :
“ a knowledge of history and an understanding of historical methodology are indispensable elements in the education of library and information professionals. A knowledge of history provides a necessary perspective for understanding the principles and practise of library and information sciencies. Many of the most important issues of our day-including, for example, intellectual freedom, fees for service, service to minorities, access to government information, the role of new technologies, and the place of women in the profession-can only be understood in the light of their historical context. And the research process, an essential component of contemporary professional education and practise, can be significantly informed by awareness of both historical precedents and historical methodology”
Dengan kata lain, penelitian sejarah yang baik dapat membantu pustakawan membangun masa lalu dengan efektif, efisien dan menghindari penemuan kembali yang serupa.
23
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Penelitian sejarah perpustakaan penjara di Indonesia periode 1917—1964 merupakan penelitian sejarah yang membatasi ruang lingkupnya pada usaha-usaha yang dilakukan dalam pendirian, peraturan serta kebijakan yang mendukung perpustakaan penjara. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sejarah lahirnya perpustakaan penjara yang diawali dengan munculnya Staatsblad 1917 no. 708.
3.1 Prosedur Penelitian Penelitian ini dilakukan terdiri dari tiga tahapan, yaitu 1. Pengumpulan sumber yang paling berhubungan dengan topik yang diteliti yang dilakukan dengan cara:
pengumpulan berbagai jenis dokumen mengenai berdirinya perpustakaan penjara sejak periode 1917—1964.
2. Wawancara dengan para pelaku sejarah untuk melengkapi data yang diperoleh dari sumber tertulis. Wawancara dimaksudkan antara lain untuk merekonstruksi mengenai kejadian dan kegiatan yang dialami pada masa lalu dan memperluas informasi yang diperoleh dari sumber lain (Busha & Harter,
1980:91).
Tujuan
mengadakan
wawancara
adalah
untuk
memperoleh informasi langsung dari pelaku sejarah suatu peristiwa. Ada kalanya informasi yang terkandung dalam dokumen ternyata tidak akurat atau dokumen yang dibutuhkan sebagai sumber informasi ternyata telah rusak atau hilang mengakibatkan seorang peneliti tidak dapat memperoleh informasi yang terkandung di dalamnya. Dalam kasus-kasus seperti ini wawancara dapat membantu untuk memperoleh informasi yang telah hilang tersebut (Moloeng, 1996:135). Individu yang diwawancarai untuk memperoleh keterangan atau data untuk keperluan informasi disebut informan (Stevens, 1971:54). Pemilihan individu sebagai informan dilakukan dengan cara sample bertujuan (purposive sample). Wawancara dimulai mewawancarai individu yang dipilih sebagai informan pangkal. Informan pangkal ini kemudian memberi petunjuk lebih lanjut tentang adanya individu lain dalam masyarakat yang dapat memberikan berbagai keterangan lebih lanjut yang diperlukan (Koentjaraningrat, 1993, 130).
24
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
3. Pengumpulan penataan dan analisis data yang paling berhubungan dengan judul penelitian. Analisis data dilakukan pada tahap pengumpulan data di lapangan maupun pada saat merangkumnya dalam bentuk tulisan. Rangkuman tertulis meliputi :
Munculnya konsep tentang perpustakaan penjara dalam pemikiran bangsa Indonesia serta usaha untuk mendirikan perpustakaan penjara pada periode 1917—1964.
Usaha untuk mendirikan perpustakaan penjara pada periode 1917—1964.
Uraian tentang peraturan serta kebijakan yang menunjang berdirinya perpustakan penjara di Indonesia.
4. Pencatatan kesimpulan yang diperoleh dalam bentuk narasi tertulis
3.2 Subjek dan Objek Penelitian Subjek penelitian ini adalah sejarah perpustakaan. Objek penelitiannya adalah sejarah berdirinya penjara di Indonesia periode 1917—1964. Alasan pemilihan tahun 1917 karena pada saat itu tahun inilah yang menjadi dasar dalam berdirinya perpustakaan dalam penjara, sedangkan tahun 1964 karena pada tahun inilah berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan.
3.3 Ancangan ilmu dalam menganalisis data Historiografi perpustakaan adalah ilmu yang bersifat interdisiplin karena menggunakan beberapa ilmu lain sebagai pelengkap untuk mendukung seorang peneliti sejarah perpustakaan dalam melakukan penelitiannya. Selain itu, historiografi perpustakaan merupakan sebuah ilmu itu diterapkan menjadi sebuah seni. Dalam penelitian ini analisis data primer dan sekunder akan dituliskan secara naratif. Menulis sejarah perpustakaan mirip dengan mengkomposisikan sebuah simponi (Stevens, 1971:298). Hilaire Belloc menjelaskan tentang pentingnya ilmu dari disiplin lain sebagai alat bantu untuk mendukung penelitian historiografi perpustakaan. Adapun ilmu tersebut yakni:
25
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
1. Arkeologi. Merupakan ilmu yang berkaitan dengan situs-situs purbakala, contohnya, artefak . 2. Epigrafi. Merupakan ilmu yang digunakan untuk menguraikan relief atau tulisan di atas permukaan benda keras seperti batu, tebing ataupun besi. 3. Paleografi. Merupakan ilmu yang menguraikan tulisan yang ada di atas permukaan benda lunak seperti kertas, dan papirus serta perkamen. 4. Spragistis atau Sigilografi yang merupakan tanda yang menunjukkan pengaruh atas tebing, lilin atau kertas yang menjadi subjek sigilografi. 5. Numismatik. Ilmu yang mencari informasi sejarah lewat apa yang terdapat pada suatu koin, medali dan penerima medali dari masa lalu. 6. Filateli. Perangko dapat dijadikan sebagai acuan penelusuran sejarah. Oleh sebab itu kaum filateli (pengumpul perangko) memilki keahlian dalam mengurai sumber informasi yang terdapat dalam perangko. Untuk itu pengetahuan tentang perangko seperti halnya yang dimilki parea filateli patut diperhitungkan. 7. Genealogi. Silsilah keluaga juga dapat dipakai sebagai penyuplai data untuk menemukan hubungan keluarga. 8. Heraldary yang merupakan properti aksesoris dari suatu keluarga atau bangsa yang menjadi ciri khasnya. Memakai mahkota yang bertahtakan permata salah satu contohnya karena ia merupakan simbol keluarga pada masa sebelum abad pertengahan. Mahkota ini seringkali menandakan perlengkapan yang sama seperti bangunan, dan mungkin bentuk bangunan perpustakaan yang dibangun oleh sebuah keluarga. 9. Kronologi. Yakni urutan suatu peristiwa yang menjadi begitu berharga. Dokumen yang diketahui tahun atau tanggal seperti dalam kalender menjadi sumber informasi untuk melihat jiwa zaman yang berkembang saat itu. 10. Diplomatik. Ilmu yang disebut juga ilmu dokumen. Ilmu ini menguraikan tanggal, tempat, dan autensitas penulisan dokumen. Diplomatik mencakup dokumen resmi pemerintah, dokumen yang berhubungan dengan lembaga seperti perpustakaan, bahkan sampai kepada surat pribadi pun termasuk dalam lingkup ilmu diplomatik.
26
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
11. Disiplin ilmu lain yang berkaitan. Disiplin ilmu seperti antropologi, filsafat, sosiologi, politik, hukum dan lain sebagainya yang mampu menunjang penelitian ini (Naimuddin, 1975:299-300).
Menurut A. Nevins (1938) sumber-sumber sejarah dapat diperoleh melalui : 1. Peninggalan fisik : tempat-tempat bersejarah, piramida, pot-pot, senjatasenjata, gedung-gedung dan sebagainya. 2. Cerita secara oral : materi yang dipindahkan dari mulut ke mulut seperti balada, cerita rakyat, tradisi-tradisi, legenda dan sebagainya. 3. Materi inskripsi : materi-materi dengan tulisan tangan tidak seperti biasa seperti pada piring, pada patung dan sebagianya 4. Materi tulisan tangan : papyrus, hieroglif, dokumen-dokumen modern,dan sebagainya. 5. Buku dan cetakan : bahan-bahan yang tercetak 6. Bahan audiovisual : film-film, televisi, microfilm, kaset-kaset, radio, dan sebagainya. 7. Observasi langsung : hasil pengamatan penulis atau pengamatan oleh orang-orang yang diwawancari (Natsir,1999:58).
Dengan demikian, sumber-sumber sejarah yang telah diterangkan di atas akan penulis gunakan dalam penelitian sejarah perpustakaan ini.
27
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 4 PEMBAHASAN Dalam studi literatur yang penulis lakukan sulit sekali menemukan dokumen yang mengandung informasi mengenai perpustakaan di penjara. Akan tetapi, jika ada dokumen yang menginformasikan mengenai pendidikan atau pengajaran di penjara akan penulis simpulkan sebagai bagian dari perpustakaan. Sehingga akan terlihatlah pada tahun berapa dan di penjara manakah perpustakaan penjara berdiri. Oleh karena itu, penulisan dalam pembahasan di bab ini akan diuraikan secara kronologis. Adapun kondisi penjara serta hal apa yang saat itu terjadi di penjara akan penulis paparkan sebagai satu kesatuan dari perkembangan perpustakaan penjara di Indonesia.
4.1 Konsep Lahirnya Perpustakaan Penjara di Indonesia Sekitar awal abad 16 bangsa asing mulai memasuki Indonesia. Portugis adalah bangsa yang pertama kali menjajakan kakinya di Indonesia yang disusul Inggris, Perancis, Denmark, Spanyol dan kemudian Belanda. Tujuan mereka datang ke Indonesia hanya satu yakni rempah-rempah. Dalam kedatangannya mereka pun membawa misi 3 G yakni Gold, Glory dan Gospel yang artinya emas, tanah jajahan, dan penyebaran agama. Bangsa Belanda melalui VOC (Vereenidge Oost-Indische Compagnie) berhasil menduduki Indonesia berabad-abad lamanya. Untuk pengukuhan kekuasaan di daerah jajahannya maka Belanda melaksanakan kekuasaan yang langsung serta menggunakan prinsip-prinsip dan cara-cara yang mereka ketahui. Mereka memasukkan konsep-konsep hukum Barat dan ketatalaksanaan Barat, seperti halnya Inggris di India (Broom & Selzniek, 1973:589). Akan tetapi, jika ditelusuri munculnya perpustakaan dalam penjara di Indonesia merupakan dampak dari masa Aufklarung di berbagai negara Eropa. Zaman Aufklarung atau zaman pencerahan yang di Inggris dikenal dengan Enlightenment,yaitu suatu zaman baru dimana seorang ahli pikir yang cerdas mencoba menyelesaikan pertentangan antara rasionalisme dengan empirisme. Sebagai latar belakangnya,manusia melihat adanya kemajuan ilmu pengetahuan
28
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
(ilmu
pasti,biologi,filsafat
dan
sejarah)
telah
mencapai
hasil
yang
menggembirakan. Disisi lain jalannya filsafat tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Belanda di negeri asalnya pun ikut terkena dampaknya sehingga dalam masa pemerintahannya, sistem yang berlaku di negeri asalnya diterapkan pada negara jajahannya yakni Indonesia. Dalam bidang hukum khususnya kepenjaraan, narapidana mulai diberi pelajaran atau pendidikan di samping pelajaran tentang pentingnya peraturan tata tertib yang harus dipatuhi bersama. Dalam wawancara dengan Kriminolog UI, Iqrak Sulihin mengungkapkan bahwa penjara awalnya hadir sebagai pembalasan setimpal atas perbuatan jahat namun seiring dengan studi yang dilakukan baik di dalam dan luar negeri maka terjadi pergeseran fungsi menjadi perbaikan mental. Selain itu, tokoh-tokoh seperti Gresham M. Sykes, John Howard, J. Bentham dan Cecare Beccaria sangat mempengaruhi perbaikan konsep penjara di dunia. Jeremy Bentham terkenal dengan teorinya ‘Hedonistic Calculus’ yakni yaitu suatu teori “utility” yang mengusulkan supaya ada pembatasan ukuran penderitaan dalam menjalani pidana dan disesuaikan dengan yang dapat dicapai atau diperoleh dari hasil perbuatan jahatnya (pleasure of crime). Sedangkan John Howard (1777) adalah orang yang memelopori perbaikan kesejahteraan narapidana juga yang memperjuangkan hak asasi manusia di penjara. Howard yang kala itu diperintahkan pemerintah atas desakan Jerammy Bentham untuk merubah hukuman siksaan badan dan beralih pada hukuman yang berazaskan perikemanusiaan. Howard menjalankan tugas pemerintah dengan pergi ke berbagai negara seperti Belanda, Spanyol, Italia, Denmark, Swedia dan Rusia untuk mempelajari sistem kepenjaraan. The State of Prison adalah karya tulis yang terkenal dari John Howard yang berisi gambaran yang menarik tentang usaha-usaha dalam memperbaiki sistem Kepenjaraan dan Sistem Penahanan serta pembinaan Narapidana. Karya tulis ini adalah laporan dari tugas yang diberikan pemerintah untuk melakukan pengamatan di penjara-penjara Eropa. Kesimpulan dari laporan yang diberikan kepada House of Commons ini yakni pembinaan terhadap narapidana hanya berhasil apabila dilaksanakan dengan semboyan
29
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
“make them diligent, and they will behonest”. Selain itu, pemberian pelajaran agama, budi pekerti serta pengurangan masa pidana bagi yang rajin dan berkelakukan yang baik juga menjadi saran dari Howard. Gresham M. Sykes terkenal dengan “The Pains Of Imprisonment”. Cecaria Beccarria terkenal dengan tulisannya tentang “Dei,delitti e dele pene” (1764) yang menghendaki perubahan dalam pelaksanaan pidana dan meminta agar pemerintah Italia menghapuskan cara-cara yang melanggar perikemanusiaan dalam memperlakukan narapidana, tidak saja diterima oleh pemerintahannya sendiri melainkan juga oleh Pemerintahan negara-negara lain di Eropa dan Amerika. Konsep penjara yang kemudian lahir adalah konsep yang memperhatikan kemanusiaannya, yakni dari makanan, pakaian, kondisi penjara (baca:tempat tidur), aktivitas fisik dan mental seperti olahraga dan siraman rohani. Namun, jika dikaitkan dengan adanya fasilitas perpustakaan di penjara pada masa kolonial akan sangat sulit sekali ditemukan di setiap penjara di Indonesia. Pasalnya, narapidana yang berasal dari kaum inlander (baca: pribumi) berasal dari kalangan rakyat biasa. Akan tetapi, jika di penjara yang berisi orang-orang Eropa mungkin perpustakaan akan ditemukan mengingat mereka umumnya adalah orang-orang yang bisa membaca.(Adi Sujatno, Wawancara Pribadi, 15 Maret 2011) Akan tetapi, jika diketahui bahwa ada perpustakaan di dalam penjara pada masa kolonial akan sangat wajar sekali. Sebab perpustakaan pertama di Batavia adalah atas upaya bangsa Belanda pada masa VOC (Vereenidge Oost-Indische Compagnie). Perpustakaan gereja yang berdiri tahun 1624 merupakan perpustakaan pertama yang didirikan pada zaman Hindia Belanda. Perpustakaan yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 April 1943 dengan pustakawan pertama yakni Pendeta Dominus Abraham Fierenius. Selanjutnya, satu abad kemudian pada tanggal 24 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) di Batavia berikut perpustakaannya atas prakarsa Mr. J.C.M. Radenmaker, Ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda) (Sulistyo-Basuki, 1994:10). Melihat hal tersebut, terlihat bahwa Belanda sangat memperhatikan keberadaan perpustakaan dalam masa pemerintahannya.
30
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Berikut ini adalah peristiwa besar yang terjadi dalam tahun 1917-1964. Adapun pemilihan tahun kronologis berdasarkan pada pengaruh peristiwa berupa surat keputusan, peraturan dan undang-undang yang dikeluarkan pada tahun-tahun tersebut yang akan penulis paparkan sebagai berikut :
4.1.1 Tahun 1917 Tahun ini dipilih penulis sebab Staatsblad yang mengatur tentang keberadaan perpustakaan di penjara sudah ada. Sejak tahun 1905, kebijakan baru di bidang perlakuan terhadap narapidana ini terlaksana di bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan (Hoofd van het Gevangeniswezen) dan sejak itu pula urusan kepenjaraan merupakan suatu urusan yang mempunyai pimpinan pusat yang dilengkapi dengan pejabat-pejabat yang dibutuhkan seperti Inspektur, Direktur, Pegawai teknik, Administrasi, sehingga dalam waktu lima belas tahun nampak adanya perubahan-perubahan yang nyata. (Adi Sujatno, Wawancara Pribadi, 18 Februari 2011) Kepala Urusan Kepenjaraan yang pertama adalah Gebels, seorang sarjana hukum yang dalam sejarah kepenjaraan Hindia Belanda terkenal sebagai seorang yang telah berjasa dalam mengadakan perubahan-perubahan di bidang kepenjaraan
(Andi&Rahayu,
1983:14).
Akan
tetapi
dalam
masa
kepemimpinannya, penulis tidak menemukan adanya kebijakan yang bisa mengarahkan ke perpustakaan di penjara. Hal ini dibenarkan oleh Adi Sujatno, dalam tahun 1900-an perbaikan kepenjaraan berupa fisik saja seperti memberikan tempat yang layak bagi para narapidana dan belum menyentuh rehabilitasi ataupun pembinaan seperti yang berlaku pada masa sekarang. Mengenai perpustakaan pada masa ini belum ada, mengingat baru saja lahir Staatsblad-nya. Akan tetapi dari pasal 113 yang terdiri dari tiga ayat dijelaskan kembali dalam Staatsblad no.741 tahun 1917, yakni sebagai berikut :
Artikel 13 :Binnen de grenzen der daarvoor bij de begrooting toegestane fondsen wordt door den directeur van het gesticht, in overleg met de in artikel 74 bedoelde commisie van bijstand, voor het gestichtspersoneel een op het gebied van opvoedkunde en vakonderricht betrekking hebbende boekerij aangelegd.
31
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Artikel 51 : Voor de samenstelling van de boekerij van het gesticht verricht de directeur binnen de grenzen der daarvor toegestane fondsen het noodige in overleg met de commissie van bijstand.
Dengan terjemahannya sebagai berikut : Dalam pasal 13 menyatakan bahwa untuk keperluan para pegawai rumah penjara, Direktur Justisi dengan pertimbangan komisi pembantu dalam pasal 74, mengadakan koleksi perpustakaan mengenai pengetahuan pendidikan dan pertukangan. Biaya pertukangan ini tidak boleh melebihi jumlah dan yang sudah ditetapkan pada anggaran belanja negara. Selanjutnya Pasal 51 dijelaskan untuk membentuk perpustakaan penjara, Direktur Justisi melaksanakan seperlunya, asalkan biaya tidak melebihi jumlah yang sudah ditetapkan dalam anggaran belanja dan pertimbangan komisi pembantu. Menurut penulis, keberadaan perpustakaan di penjara dilakukan untuk mendukung upaya pengajaran dan melakukan agama seperti yang terlihat dalam Staatsblad tahun 1917 No. 708 Pasal 65 yang berbunyi : 1.
De Gouverneur General bepaalt in welke gevangenissen en in welke vakken aan de daarvoor in aanmerking komenmde gevangenen onderwijs zal worden gegeven.
2.
Het onderwijzende personeel wordt door den Directeur van Justitie, zoo noodig in overleg met den Directeur van Onderwijs en Eeredienst, aangewezen.
3.
In de huishoudelijke reglementen der in het eerste lit bedoelde gevangenissen worden omtrent den duur van het onderwijs, de uren waarop dit zal worden gegaven,zoomede omtrent de ver plichting tot het volgen van onderwijs door sommige categorien van gevangenen, nader voorschriften gegeven.
Dengan terjemahannya sebagai berikut : 1. Gubernur Jenderal menentukan penjara-penjara mana dan dalam ilmuilmu apa yang akan diberikan pengajaran kepada orang-orang terpenjara yang petut mendapatkannya.
32
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
2. Guru-guru ditunjuk oleh Direktur Justisi kalau perlu berunding dengan Direktur Pengajaran dan Ibadat. 3. Dalam peraturan rumah tangga penjara-penjara tersebut dalam ayat 1 keterangan-keterangan yang lebih jelas akan diberikan tentang lamanya pendidikan. Waktu dan kewajiban akan diberikan untuk beberapa golongan hukuman. Walaupun tidak diterangkan dengan jelas bahwa pengajaran dilakukan di perpustakaan. Namun bisa terlihat dengan jelas terdapat hubungan antara pengajaran
dengan
keberadaan
perpustakaan.
Sebagaimana
fungsinya,
perpustakaan sebagai sarana penunjang pendidikan.
4.1.2 TAHUN 1920 Pada tahun 1920 tercatat rata-rata narapidana masuk penjara sekitar 37109 orang sehari di Jawa dan Madura dan rata-rata 19897 orang sehari di luar Jawa dan
Madura.
Terjadinya
kepadatan
penghuni
narapidana
dimana-mana.
Pada bulan Maret 1920 saja tercatat yang meninggal dunia sebanyak 105 orang dari jumlah penghuni sebanyak 3000 orang. Pada tahun 1920 tercatat 2192 kali di Jawa dan Madura dan 3619 kali di luar Jawa dan Madura untuk kasus pelarian. Selain itu, kesehatan narapidana sangat menyedihkan (antara lain pada proyekproyek pembuatan jalan di Sumatera, Proyek irigasi di Jember). (Hoofdkantoor van het Gevangeniswezen (Departement van Justitie) : “Verslag over de Hervorningen v/h Gevangeniswezen in Nederlandsch-Indie 1916 – 1920”) Dalam tahun 1920-an, Perbedaan yang jelas antara Hukum Pidana untuk orang-orang golongan Eropa dan Hukum Pidana untuk orang-orang Indonesia pada waktu itu terletak pada sanksi pidananya. Hal-hal yang bagi golongan Eropa berwujud sebagai “pencabutan kemerdekaan” (pidana penjara dan pidana kurungan) bagi orang-orang Indonesia berwujud sebagai “Kerja Paksa” atau “wajib kerja pada pekerjaan-pekerjaan umum untuk makan tanpa upah” (voor de kost zonder loon).
Dengan demikian maka pelaksanaan pidana bagi orang-
orang Eropa selalu dilakukan di dalam lingkungan tembok sedang bagi orangorang Indonesia selalu di luar lingkungan tembok atau dengan lain perkataan bagi
33
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
orang-orang Eropa selalu tidak kelihatan oleh umum sedang bagi orang-orang Indonesia selalu di muka umum. Untuk keperluan pelaksanaan pidana bagi golongan Eropa didirikan tempat pelaksanaan pidana yang khusus yakni “Centrale gevangenis voor Europeanen” (Penjara pusat untuk orang-orang Eropa) di Semarang (Jurnatan) yang berfungsi sebagai “Strafgevangenis” (Penjara untuk pidana). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bangunan pertama yang khusus berfungsi sebagai sarana pelaksanaan pidana (Strafgevangenis) di Indonesia adalah “rumah penjara Jurnatan” di Semarang. Selain itu, kebijakan yang paling kentara ketidakadilannya adalah mengenai pendidikan. Dalam periode ini pendidikan kepada narapidana hanya diberikan kepada narapidana golongan Eropa (Andi & Rahayu, 1983:24). Selain Gebels
yang telah
meletakkan perubahan dalam Sistem
Kepenjaraan di Indonesia. Pada tahun 1921, diangkatnya Direktur Kepenjaraan yang baru yakni Mr. H.M. Hijmans atas Besluit (Surat keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda) tanggal 28 Mei 1921. Hijmans
sangat
terkenal
dengan
terobosan-terobosannya
dalam
pembaharuan di sistem kepenjaraan. Adapun pembaharuan yang berpengaruh di dalam keberadaan perpustakaan penjara adalah disediakannya Koran Penjara bagi narapidana untuk kalangan Eropa di Penjara Semarang. Kebijakan tersebut dimulai pada tahun 1924.Hal ini terdapat dalam Nota inzake de verbetering van het gevangeniswezen, 10 September 1921, Birjlage verslag gevangeniswezen 1926. Namun disayangkan, tidak ada keterangan lebih lanjut apakah pengadaan koran di penjara Semarang atas inisiatif Hijmans atau permintaan dari narapidana. Akan tetapi, penulis berkesimpulan adanya koran di penjara Semarang bisa disebabkan karena narapidana kalangan Eropa yang dipastikan bisa membaca serta terbiasa membaca dibandingkan kalangan pribumi rakyat jelata. Dengan keberadaan koran pun bisa dilihat sebagai upaya untuk mengusir kejenuhan di dalam penjara. Kebutuhan untuk mendapatkan informasi yang sudah merupakan hak asasi manusia tidak bisa dihilangkan begitu saja walaupun dalam keadaan terisolasi dari dunia luar.
34
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
4.1.3 Tahun 1930 Memasuki tahun 30-an penjara mengalami banyak kejadian. Kejadian besar yang timbul dalam periode ini ialah terjadinya pemberontakan besar-besaran dari bangsa Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda, tepatnya pada bulan Nopember 1926. Pemberontakan
ini
oleh
pemerintah
Hindia
Belanda
dinamakan
Pemberontakan Komunis. Dengan terjadinya penangkapan besar-besaran terhadap putra-putri Indonesia yang memberontak melawan penjajahan pada waktu itu rumah-rumah penjara menjadi penuh sesak dengan tengkapan-tangkapan politik, sehingga urusan kepenjaraan dihadapkan kepada suatu dilemma kepenuhan penghuni (Muladi, 1997:34). Cita-cita Hijmans untuk mengembangkan suatu urusan kepenjaraan yang cukup bermutu menjadi terhambat dan tidak jarang pula terjadi huru-hara di dalam penjara-penjara pada waktu itu antara lain di Cipinang pada bulan Juli 1926 di mana para tangkapan politik dengan suara keras menyanyikan lagu “Internasionale” dan kemudian mogok makan. Pada tahun ini bisa dikatakan sebagai tahun yang bersejarah juga bagi perpustakaan penjara. Pasalnya, penjara-penjara banyak dimasuki dari kalangan politik juga kalangan cendekiawan muda pada saat itu. Berkat keberadaan mereka perpustakaan penjara akan mulai diperhatikan. Hal ini dibenarkan oleh Adi Sujatno, Mantan Kepala Penjara Sukamiskin (1992-1995). Menurutnya, berkat Soekarno yang pernah di penjara di Sukamiskin serta memiliki aktivitas membaca yang tinggi, perpustakaan bisa jadi menjadi lebih diperhatikan oleh kepala penjara masa itu. Namun, dalam pengakuannya, perpustakaan penjara Sukamiskin baru aktif dan digunakan dengan baik adalah ketika masa kepemimpinannya. Perbaikan ruangan perpustakaan, penambahan koleksi
buku dan pengorganisasian arsip
yang baik juga dilakukan di kepemimpinanya.
Tahun 1929, Soekarno ditangkap di Yogyakarta oleh Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin. Bung Karno saat di penjara merancang pidato pembelaan dengan judul Indonesia Menggugat. Pidato tersebut Bung Karno sampaikan di gedung Landraad (pengadilan rendah)
35
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
pemerintah kolonial Hindia Belanda di Bandung dan Bung Karno melukiskan pengalamannya membaca buku-buku di penjara. “Masa-masa dalam penjara dan pengasingan adalah tahun-tahun pendidikan. Aku membaca dan membaca semuanya. Tetapi yang paling aku inginkan buku-buku tentang sosialisme dan revolusi; buku-buku yang akan mengajari bagaimana mengorganisasi (rakyat) melawan Belanda, buku-buku yang akan memberi pandangan tentang revolusi.” (Jones, 1971:41). “Aku bertemu di alam pikiran dengan Tom Paine. Aku bertemu dan berbicara dalam alam pikiran dengan para pemimpin Revolusi Prancis, aku bertemu dengan Mirabeau; aku bertemu dengan Moreau; aku bertemu Danton; aku bertemu para pemimpin revolusi wanita di Paris. Dan dalam alam pikiran, aku bertemu para pemimpin Jerman. Aku bertemu Herr Alterfritz, Frederic Agung. Aku bertemu Wilhelm Lieplat dan, ya, kemudian aku bertemu juga dengan Marx, Karl Marx. Aku bertemu dengan Adolf Berstein. Aku bertemu dengan Friedrich Engels.''(Howard Palfrey Jones:52). Selanjutnya, Soekarno mengungkapkan sebagai berikut : ''Aku bertemu dengan Mazzini, dengan Garibaldi, dengan Plekanov, dengan Trotsky, dengan Lenin, dengan Gandhi, dengan Mustafa Kemal Ataturk, dengan Ho Chi Minh, dengan Sun Yat Sen, dengan Saygo Takamori. Aku bertemu Nehru, dengan Mohammad Ali Jinnah, dengan Jose Rizal Mercado, yang ditembak mati oleh Spanyol pada tahun 1903. Aku bertemu Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln. ''Begitulah setelah bertemu setelah berbicara dengan semua pemimpin besar itu- aku menjadi yakin bahwa manusia itu satu (sama),'' kata Bung Karno.( Howard Palfrey Jones:54) Tidak hanya
Soekarno, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir juga
merancang pemikirannya di ruang tahanan dan menghasilkan karya saat di penjara. Bahkan Bung Hatta menulis, “Dengan buku, kau boleh memenjarakanku di mana saja. Karena dengan buku, aku bebas!.” Prinsip tersebut Hatta buktikan secara konkret. Saat pengasingan dirinya oleh pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul, Papua Selatan, Bung Hatta ditemani buku sebanyak 16 peti. Di Digul pulalah Hatta tekun menurunkan tulisan-tulisannya di surat kabar Adil, Pandji Islam, dan Pedoman Masjarakat.( Muladi, 1997:39)
36
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Di Boven Digul, Hatta tak sendirian. Ia ditemani pemikir kritis Sutan Sjahrir. Mereka berdua dikirim ke pembuangan di Digul pada Februari 1934. Tidak jauh berbeda dengan Hatta, Sjahrir pun banyak membaca dan menulis. Tulisan terpenting Sjahrir saat di pengasingan adalah Perjuangan Kita. Tulisan ini yang dikirim langsung oleh Sjahrir dari Digul ke surat kabar Daulat Rakjat. (Muladi, 1997:42). Sebelum di Digul, Hatta pada 23 September 1927 juga pernah mencicipi penjara di Belanda sebab aktivitas politik di PI (Perhimpunan Indonesia). Selama di ruang tahanan, Hatta merancang pidato pembelaan yang siap disampaikan saat persidangan. Hatta memberi judul pidatonya dengan Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).( Muladi:45) Pada masa ini penulis belum menemukan dokumen yang menyatakan bahwa para tahanan politik (Soekarno, M. Hatta, Sjahrir) tersebut membaca buku di perpustakaan penjara. Namun, aktivitas yang dilakukan para tahanan tersebut menunjukkan bahwa buku bisa menjadi penghilang kebosanan dan rasa frustasi yang dialami oleh para penghuninya.
4.1.4 Tahun 1945 Surat edaran yang pertama kali dikeluarkan dalam setelah Indonesia merdeka ialah surat edaran yang dikeluarkan di Jakarta tertanggal 10 Oktober 1945 no. G.8/588 oleh Menteri Kehakiman R.I yang pertama, (Hazairin, 1981:15) Professor Mr. Dr. Supomo. Surat edaran pertama ini memuat hal-hal sebagai berikut: 1. bahwa semua penjara telah dikuasai oleh Republik Indonesia; 2. bahwa perintah-perintah yang diturut hanya perintah-perintah dari Menteri Kehakiman R.I., atau dari Kepala Bahagian Urusan Penjara Mr. R.P Notosusanto yang telah ditunjuk sementara untuk itu; 3. bahwa pengurusan atas penjara-penjara setelah dikuasai oleh Republik Indonesia harus baik untuk memperoleh nama baik pula dari dunia internasional; 4. bahwa yang pertama-tama harus diperhatikan dan diusahakan ialah kesehatan orang-orang terpenjara; apa yang telah terjadi dimasa
37
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
sebelumnya (Jepang) jangan sampai terulang; khususnya makanan bagi orang-orang terpenjara harus dicukupi; 5. pekerjaan bagi orang-orang terpenjara harus diperhatikan antara lain sebagai sarana memperbaiki tabiatnya; perhatian khusus diminta untuk usaha-usaha dibidang pertanian guna mencukupi makanan orang-orang terpenjara; 6. akhirnya dipesankan supaya dalam hal memperlakukan orang-orang terpenjara selalu mengingat perikemanusiaan dan keadilan, tanpa pandang bulu (apakah Indonesia, Eropa, Tionghoa, dll).
Setelah itu dalam tahun 1945 berturut-turut masih dikeluarkan lagi dua surat edaran yang menyangkut tata perlakuan terhadap orang-orang terpenjara, yang pada pokoknya menekankan kepada pemeliharaan kesehatan, usaha-usaha pendidikan antara lain (pemberantasan buta huruf), pemberian pekerjaan yang bersifat mendidik, dan larangan untuk mengadakan diskriminasi. Semua surat edaran pada tahun 1945 dikeluarkan langsung oleh Menteri Kehakiman. Surat edaran tanggal 12 Februari 1947 no.G.8/437 “Kepala Jawatan Kepenjaraan” menginstruksikan kepada semua Pemimpin Kepenjaraan Daerah “ dan semua “Pemimpin Rumah Pendidikan Negara” untuk mengadakan bagian yang baru dalam tata laksana Kepenjaraan dan Pendidikan Paksa, yakni “bagian pendidikan”, disampingnya bagian-bagian yang telah ada (tata usaha, keuangan, penjagaan, perusahaan). Bagian Pendidikan ini tidak hanya menyelenggarakan pendidikan bagi orang-orang terpenjara, melainkan juga untuk pegawai-pegawai yang masih banyak yang buta huruf. Selanjutnya dalam surat edaran tanggal 23 November 1948 no.G.8/1510 “Kepala
Djawatan
Kepenjaraan”
menginstruksikan
“Direktur-Direktur”
Kepenjaraan untuk mengadakan pemisahan yang keras antara pelanggar hukum anak-anak dan dewasa, dan menginstruksikan pula supaya ditunjuk pegawai yang khusus untuk pendidikan dan perawatan anak-anak terpenjara. Pada masa ini terlihat walaupun sudah terdapat surat edaran mengenai pendidikan dan pengajaran bagi narapidana namun belum ada surat edaran yang
38
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
memuat mengenai perpustakaan atau bahan bacaan di penjara. Namun, di masa inilah Pramoedya Ananta Toer dipenjara. “Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 saya bergabung dengan para nasionalis,bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum saya akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Perburuan (1950) adalah novel pertama saya, selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).” (Rifai, 2010) Aktifitas menulis dan membaca yang dilakukan oleh para tokoh Indonesia di penjara membuktikan bahwa penjara tidak dapat mengekang kebebasan berpikir walaupun secara fisik mereka terisolasi dengan dunia luar. Aktifitas membaca dan menulis ini bisa saja dilakukan di perpustakaan walaupun penulis belum
mendapatkan
sumber
primer
yang
merujuk
pada
penggunaaan
perpustakaan pada masa tersebut. Selain itu, berdasarkan surat keputusan yang telah dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman pada periode ini yang berhubungan dengan Pendidikan serta Pengajaran baik kepada para pegawai seklaigus kepada para narapidananya maka penulis menyimpulkan semua surat keputusan tersebut mendukung keberadaan perpustakaan di penjara pada masa tersebut.
4.1.6 Tahun 1950 Kepala Djawatan Kepenjaraan yang baru adalah Mr. Roesbandi dari Departemen Kehakiman R.I Jogyakarta yang menggantikan Kepala Djawatan Kepenjaraan R.I. yang lama yakni Mr. R.P. Notosusanto. Dalam Surat Putusan Kepala Djawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering” tertanggal Jakarta 14 Nopember 1950 no. J.H. 6/19/16, yang antara lain memuat : (Atmasasmita, 1975:123) 1. bahwa untuk seluruh Negara Republik Indonesia diadakan satu Djawatan Kepenjaraan, Pendidikan Paksa dan Reklassering (disingkat : Djawatan Kepenjaraan) yang mempunyai kantor besar di Ibukota Jakarta; 2. bahwa Kantor Besar Djawatan Kepenjaraan (pada waktu itu singkatannya “KBDK”) terdiri dari bagian-bagian : Penempatan orang-orang terpenjara dan Statistik, Perbendaan, Urusan Pegawai, Perbendaharaan, Pembukuan
39
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Perusahaan, Urusan Umum, Arsip dan Expedisi, Pendidikan Paksa dan Reklassering, Pendidikan.
Dalam periode ini diadakan dua kali konferensi Dinas yang sifatnya nasional dan yang memberi arah kepada tata cara urusan kepenjaraan R.I. pada waktu itu : Pertama, Konferensi Dinas di Nusakambangan dari tanggal 12 s/d 15 Nopember 1951 dan Kedua, Konferensi Dinas di Sarangan (Madiun, Jawa Timur) dari tanggal 20 s/d 24 Juli 1956. (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2011) Dalam Konferensi Nusakambangan telah ditegaskan oleh Kepala Djawatan Kepenjaraan tentang arah perlakuan terhadap narapidana, yakni salah satunya mengenai kewajiban dari Kepenjaraan ialah memberi hukuman kepada orang hukuman serta memberi pendidikan terhadap mereka; berusaha untuk mengembalikan mereka sebagai anggota biasa dari masyarakat berusaha mendidik mereka (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2011). Dalam konferensi dinas di Nusakambangan itu dibicarakan mengenai masalah perawatan sosial dalam arti sempit seperti olahraga, bacaan dan lain-lain. Selain itu, masalah pendidikan pegawai kepenjaraan, terutama pendidikan informal di samping pendidikan keahlian yang formal. Sebagai langkah-langkah yang nyata dalama rangka pemenuhan garisgaris kebijaksanaan yang telah dimufakati dalam Konferensi Nusakambangan itu yang berkaitan dengan bahan bacaan yakni munculnya media Kepenjaraan pada bulan September 1954 diterbitkan “Majallah Kepenjaraan”. Dalam majalah ini, sejak tahun 1956, dimuat pula karangan-karangan yang berasal dari orang-orang terpenjara. Di tahun 1954, Mr. Roesbandi kembali mengeluarkan surat edaran 23 April 1954 No. J. H. 8.5/1/27 tentang Bacaan untuk orang-orang terpenjara. Adapun isinya yakni mengenai pengadaan bahan bacaan berupa buku, majalah serta kitab suci yang diperlukan oleh para narapidana. selain itu, dalam surat edaran ini pun sudah terlihat pengharusan keberadaan perpustakaan di ruangan sendiri seperti yang terlihat dalam kalimat sebagai berikut : “Pemberian kesempatan membaca buku dan sebagainya adalah suatu kelonggaran (gunts) bagi orang-orang terpenjara yang dalam penjara
40
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
berkelakuan baik, sedang jenis bacaan itu (dengan berpedoman pada maksud hukuman hilang kemerdekaan) harus disesuaikan dengan keadaan masingmasing orang-orang terpenjara setempat, untuk penyelidikan mana dapat dipergunakan pegawai-pegawai yang ditugaskan pendidikan dengan seberapa perlu dapat Saudara usahakan untuk melengkapinya dengan tenaga-tenaga yang lebih capable, maka untuk menyimpan perpustakaan orang-orang terpenjara ini dan untuk mengerjakan administrasinya dengan tertib harus segera Saudara sediakan satu ruangan dibagian blok-blok (jangan dikantor muka)”. Dengan beredarnya surat edaran tahun 1954 ini adalah tanda yang baik bahwa perpustakaan sudah mulai diperhatikan dan menjadi bagian dalam pendidikan para narapidana.
4.1.7 Tahun 1960 Dalam periode ini fungsi Kepala Djawatan dipegang oleh Mr. Sudarman Gandasubrata, sedang Menteri Kehakiman pada waktu itu adalah Saharjo, SH., yang sebelumnya memegang fungsi Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman. Pada bulan Agustus 1960 Mr. Sudarman Gandasubrata bersama-sama dengan Bahrudin Suryobroto menghadiri Second United Natioons Congress on Prevention of Crime and treatment of Offenders yang diadakan di London. Kedua pejabat ini, Mr. Sudarman Gandasubrata dalam kedudukannya sebagai Kepala Djawatan Kepenjaraan, dan Bahrudin Suryobroto dalam kedudukannya sebagai Inspektur Kepenjaraan, menghadiri Kongres PBB itu sebagai utusan resmi (yang pertama kali) dari pemerintah Republik Indonesia dengan diketuai oleh Duta Besar R.I di London Prof. Mr. Sunaryo. Selain itu, diterbitkannya surat edaran tanggal 23 April 1962 no. J.H. 8.1./40 tentang “Pedoman Pemasyarakatan Narapidana” yang antara lain memberi petunjuk-petunjuk mengenai pendidikan, yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang khas dari masyarakat sekelilingnya. Dalam sejarah pemasyarakatan, peristiwa besar yang merubah keseluruhan sistem kepenjaraan di Indonesia adalah pemberian gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia kepada Saharjo, SH., Menteri
41
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Kehakiman merangkap Menko Hukum dan Dalam Negeri pada waktu itu. Peristiwa lainnya yakni dimulainya Konferensi Nasional Kepenjaraan di Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964 hingga tanggal 7 Mei 1964. Konferensi Dinas di Lembang ini didahului oleh Amanat Presiden Republik Indonesia (tertulis) tertanggal Jakarta 27 April 1964. Dengan hadirnya konferensi di Lembang maka ditetapkanlah Sistem Pemasyarakatan menggantikan Sistem Kepenjaraan dengan demikian nama Penjara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan. Berubahnya sistem tersebut juga menandakan perubahan dalam cara pandang melihat narapidana. Dengan hadirnya sistem Pemasyarakatan maka pembinaaan serta pendidikan untuk narapidana mulai dikedepankan. Dengan demikian, perpustakaan yang merupakan bagian dari pendidikan pun mulai diperhatikan.
42
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian tentang sejarah perpustakaan penjara di Indonesia adalah gagasan perpustakaan penjara di Indonesia sebagai sumberdaya pembinaan terpidana sudah ada sejak tahun 1917. Sejak itu, perpustakaan penjara di Indonesia mengalami perubahan yang ditandai peristiwa-peristiwa tertentu berdasarkan periode terkait. Hal ini ditandai dengan munculnya Staatsblad van Nederlandsch-Indie Tahun 1917, No. 708. Sayangnya, tidak ditemukan catatan khusus tentang perpustakaan di penjara. Baik dalam laporan Direktur Kepenjaraan maupun Direktur Justisi sejak tahun 1917-1950. Namun, dalam surat edaran pada tahun 1917-1950 ditemukan bahwa dalam penjara harus diisi dengan kegiatan pendidikan maupun pengajaran baik untuk para narapidana maupun pegawai penjara. Akan tetapi, jika melihat fungsi dan pembagian penjara pada masa pemerintahan Hindia Belanda dapat disimpulkan bahwa Penjara yang memuat narapidana dari kalangan Eropa serta tahanan politik memiliki aktivitas membaca yang tinggi dibandingkan dengan penjara yang berisikan kaum pribumi. Dengan demikian Penjara Semarang, Penjara Sukamiskin serta Penjara Tangerang yang kala itu fungsinya untuk memuat narapidana kalangan Eropa dan kalangan Intelektual tersebut dapat dipastikan perpustakaaan telah hadir di sana. Hanya saja penulis belum mendapatkan sumber primer
yang menyebutkan aktivitas
perpustakaan di penjara-penjara tersebut. Selain itu, surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Kehakiman mengenai Pendidikan di Penjara bagi para Pegawai dan Narapidana dalam periode 1945-1964, penulis simpulkan sebagai bagian dari perpustakaan. Merujuk pada Staatsblad 1917 pasal 65
mengenai Pendidikan dan Pengajaran berdampingan
dengan Staatsblad 1917 pasal 113 mengenai pengaturan perpustakaan di penjara.
43
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Sedangkan tokoh-tokoh yang mengembangkan perpustakaan di penjara yakni Mr. H.M Hijmans, Mr. Roesbandi, para tahanan politik seperti Soekarno, M. Hatta, Sjahrir dan Pramoedya Ananta Toer. Mereka memang secara tidak langsung membuat perpustakaan menjadi hal yang penting di dalam penjara tetapi aktivitas membaca serta menulis yang mereka lakukan membuat para pegawai penjara sadar akan pentingnya kehadiran perpustakaan. Perubahan sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pemasyarakatan pada tahun 1964 membuat perpustakaan menjadi bagian yang penting dalam tahap rehabilitasi untuk para narapidana.
5.2 Saran Perpustakaan penjara Indonesia dapat dengan sesungguhnya melaksanakan sumber daya pembinaan terpidana jika sudah ada peraturan tentang hal tersebut berdasarkan Undang-Undang Neegara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, perpustakaan penjara harus bekerja sama dengan
perpustakaan
daerah
setempat.
Hal
ini
bisa
membantu
perpustakaan penjara memaksimalkan fungsinya untuk sarana pendidikan, rekreasi juga pembinaan yang diwakilkan melalui koleksi perpustakaan. Perpustakaan
Nasional
Republik
Indonesia
(PNRI)
harus
mulai
memperhatikan perpustakaan penjara dengan membuat pedoman bagi perpustakaan penjara sekaligus layanan langsung ke perpustakaan penjara. Organisasi pustakawan seperti Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) maupun Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi (ISIPII) harus merangkul pustakawan yang bekerja di perpustakaan penjara berupa pelatihan maupun seminar yang bisa meningkatkan kemampuannya dalam perpustakaan penjara. Akhir kata, tidak ada kata terlambat untuk melakukan sebuah perubahan serta perbaikan.
44
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI Abd, Rahmat dan Rubit Putih Kadir. 1987. “Minat Baca di Kalangan Banduan.” Tinta vol 1 no.4. Atmasasmita, Romli. 1975. Dari Pemenjaraan Kepada Pembinaan Narapidana. Bandung: Alumni, 1975 Busha, Charles H. 1980. Research Methods in Librarianship: Techniques and Interpretation Methods in Library Research. Illnois : University of Illnois. Cassirer, Ernst. 1997. Manusia dan Kebudayaan : Sebuah Esei tentang Manusia (alih bahasa Alois A. Nugroho). Jakarta: Gramedia. Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2011 Dickens, Charles. The World Book Encyclopedia. London :World Book Aircraft Inc. 1982.Vol.12.hlm. 153 Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Republik Indonesia. 2004. Sejarah Pemasyarakatan: dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan. Jakarta: Departemen Kehakiman. Enge, Lennart. 1975. Two Prison Libraries in Sweden. Linnet Books. Gunakaya, A. Widiada. 1988. Sejarah Konsepsi Pemasyarakatan. Bandung: Armico. H.J, Heaney. 1973. “Ireland’s First Prison Library.” Library History 3, 59- 61. Hamzah Andi, Siti Rahayu. 1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pembinaaan di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo Harrod, Leonard Montague. 1990. Harrod’s Librarian Glossary of Terms used in Librarianship,Documentation and the Book Crafts and Reference Books. London: Gowen. Hazairin. 1981. Tujuh Serangkai Tentang Hukum. Jakarta: Bina Aksara Hoofdkantoor van het Gevangeniswezen (Departement van Justitie) : “Verslag over de Hervorningen v/h Gevangeniswezen in Nederlandsch-Indie 1916 – 1920”
45
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
The International Prisoners’ Aid Association. 1970. “International Survey on the Standard Minimum Rules: A Pilot Study,” International Review of Criminal Policy, 1968 (No. 26). New York: United Nations. Jean de Vleeschauwer, Herman. 1959. Library History in Library Science. Pretoria. Jones, Howard Palfrey. 1971. Indonesia: The Possible Dream. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. Koesnoen, R.A. 1961. Politik Pendjara Nasional. Bandung : Sumur. Krzys, Richard. 1980. Library Historiography, Encyclopedia of Library and Information Science, vol 15. New York : Academic Press. Leonard Broom & Philip Selzniek. 1973. Sociology. London: Macscott Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang :BP Ekspres Nevins, A. 1938. “Gateway to History”. New York : D. Appleton Century Co, seperti dikutip oleh M. Natsir. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. News and Notes. 1973. “Libraries in Danish Prisons.” Scandinavian Public Library Quarterly 6,31. Nota inzake de verbetering van het gevangeniswezen, 10 September 1921, Birjlage verslag gevangeniswezen 1926 Phyliss Dalton I., Library Services to Correctional Facilities in Other Countries, 1977 Reitz, P.A.G. Dec 1970. “The Place of the Public in the Programme for the Treatment of Prisoners.” South African Libraries 38, 176. Santosa, Salamun Budi. 1978. “Kebijaksanaan Pembinaan Narapidana Dalam Pembangunan Nasional Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan.” Majalah Pemasyarakatan, No. 7, hlm.20-26 Soemadipraja, Achmad S. 1979. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia. Jakarta: Binacipta.
46
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia
Staatsblad van Nederlandsch Indie 1917 no.708 Artikel 113. Stadius, Donald E. 1971. “A Roundelay for Attica and other Prison Libvraries based on an Old Song. “William Library Bulletin. 46 (3), November, hlm. 246-47. Stevens, Rolland E. 1971. Research Methods in librarianship: Historical and Bibliographical Methods in Library Reseach. Stevens, T. dan B. Usherwood. 1995. “The development of the prison library and its role within the models of rehabilitation.” The Howard Journal of Criminal Justice 34 (1) Februari Subekti. 1973. Kamus Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita. Sugianto, G. 1981. Seluk Beluk Pemasyarakatan. Jakarta : Departemen Kehakiman. Sujatno, Adi. 1998. Pencerahan di Balik Penjara. Bandung: Atmico. Sulistyo Basuki. 1994. Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sunaryo, Thomas. 1983. “Narapidana, Pembinaan, dan Buku.” Majalah Optimis. No. 41. Juni, hlm. 76-77. The International Prisoners’ Aid Association. 1970. International Survey on the Standard Minimum Rules: A Pilot Study, International Review of Criminal Policy, 1968 (No. 26). New York, United Nations Vogel, Brenda. 1994. “Making Prison Libraries Visible and Accessible”. Correction Today. Vol. 56 (2). Wagner, Thomas J. 1976. Report from the Regional Headquarters Librarian, Canadian Penitentiary Service. Waston, Richard F. 1951. Prison Libraries. London :The Library Association Chancer House.
47
Sejarah perpustakaan..., Dini, FIB UI, 2011
Universitas Indonesia