UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH JAWA: EVOLUSI DARI PANGGUNG KE MENAPAK
SKRIPSI
HARINDRA MAHUTAMA 0806456114
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2012
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH JAWA: EVOLUSI DARI PANGGUNG KE MENAPAK
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
HARINDRA MAHUTAMA 0806456114
FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI ARSITEKTUR DEPOK JULI 2012
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Harindra Mahutama
NPM
: 0806456114
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 10 Juli 2012
ii
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik Jurusan Arsitektur pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada masa penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih sebanyakbanyaknya kepada: (1) Orang tua penulis, Bapak Widhiyawan Wisnu Wardhana, Bapak R. Budiono Subijantoro, Ibu Herita Mardiani, Kakak penulis, Wirindra Ananda Gupta, Mahindra Winuksa Adhyakusuma, Rizki Aryo Wicaksono, Adik penulis, Hanindito Dwi Herbowo, yang telah memberikan dukungan baik
moral
maupun material; (2) Mohamad Nanda Widyarta, B.Arch.,M.Arch. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini; (3) Bapak Ir. Kemas Ridwan Kurniawan,MSc. Ph.D, Bapak Dipl.Ing. Han Awal, IAI, selaku dewan penguji skripsi yang memberikan saran dan kritikan yang membangun; (4) Aditya, mahasiswa arkeologi UI yang telah meluangkan waktu untuk wawancara mengenai penemuan-penemuan tim arkeologi UI; (5) Sahabat terdekat yang telah banyak membantu secara moral dan material dalam menyelesaikan skripsi ini, Kosa,Labib,Dimas,Zai,Agriza,dll; (6) Teman-teman bimbingan skripsi yang telah begitu baik, saling menyemangati, dan menolong satu sama lain, Elita, Dhini, Azka dan Tika.
iv
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Terima Kasih.
Depok, 6 Juli 2012
Harindra Mahutama
v
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Harindra Mahutama
NPM
: 0806456114
Program Studi
: Arsitektur
Departemen
: Arsitektur
Fakultas
: Teknik
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Rumah Jawa: Evolusi Dari Panggung ke Menapak
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di: Depok Pada Tanggal:7 Juli 2012 Yang menyatakan
(Harindra Mahutama)
vi
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Harindra Mahutama Program Studi : Arsitektur Judul : Rumah Jawa: Dari Panggung ke Menapak Arsitektur tradisional Jawa yang berupa rumah tidak lepas hubungannya dengan masyarakat dan waktu. Dilandasi dengan ide dan pemikiran-pemikiran, rumah Jawa berubah dan berkembang sesuai dengan keadaan pada periode-periodenya. Dengan perubahan mengikuti perkembangan dalam bentukan fisik dan juga non-fisiknya kita melihat sebuah fenomena bagaimana sebuah rumah dapat berubah mengikuti kurun waktu yang berlangsung. Dengan berlandas pada data-data dan informasi yang bersifat valid, penelitian ini dapat menemukan hasil. Hasil penelitian menjelaskan bahwa perubahan tersebut terbukti dan terlihat dari fakta-fakta yang ada dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa perubahan tersebut terlihat dari segi fisik dan nonfisiknya. Perubahan tersebut memperjelas bahwa keadaan memicu seluruhnya. Perubahan kearah yang positif dan fungsional sangat diperlukan, tetapi harapnya unsur-unsur filosofi, ide dan pemikiran masyarakat Jawa tidak dilepaskan begitu saja dan tetap terus dibawa.
Kata kunci: Perubahan, Perkembangan, Keadaan, Ide & Pemikiran
vii
Universitas Indonesia
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
ABSTRACT
Name : Harindra Mahutama Study Program: 0806456114 Title : Java House: From Stage to Landed
Javanese traditional architecture that forms a house never loses a connection with the people and time. Based on the idea and thoughts, Javanese house change and evolve according to the circumstances within the period. With the changes that followed the circumstances in a physical and non-physical shape, we see a phenomenon of a house that changes following the period of the time. With data that information that is valid, this research can find a results. The study explains that these changes are evident and visible by the fact that seen from the physical and non-physical terms. The changes clarify that the circumstances triggering the whole problem. This shift toward a positive and functional is definitely needed, but we hoped the elements of philosophy, ideas and thoughts are not released from the Javanese society and still continue to carry from time to time.
Keywords: Change, Development, Circumstances, Ideas and Thoughts
viii
Universitas Indonesia
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINILITAS............................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii KATA PENGANTAR ......................................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................................vi ABSTRAK ..................................................................................................................... vii DAFTAR ISI ....................................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR........................................................................................................xi 1.PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 2 1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................................... 3 1.5 Batasan Penulisan .................................................................................................... 3 1.6 Susunan Penulisan ................................................................................................... 3 2.KAJIAN LITERATUR .................................................................................................. 4 2.1 Pengertian Historiografi ........................................................................................... 4 2.2 Pengertian Arkeologi ............................................................................................... 4 2.3 Pengertian Ruang ..................................................................................................... 4 2.4 Pengertian Tipologi .................................................................................................. 5 2.5 Teori dan Pemikiran Hindu Jawa ............................................................................. 6 2.6 Teori dan Pemikiran Islam Jawa .............................................................................. 7
ix Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
3.KAJIAN KASUS............................................................................................................ 9 3.1 Rumah Jawa ............................................................................................................. 9 3.1.1 Asalmuasal Rumah Jawa ..................................................................................9 3.1.2 Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa ........................................................... 10 3.2 Filosofi Rumah Jawa Pada Masyarakat Jawa ....................................................19 3.3 Masyarakat Jawa dan Aspek Sosialnya ............................................................. 24 3.3.1 Masyarakat Jawa Zaman Hindu Budha ...................................................... 24 3.3.2 Masyarakat Jawa Zaman Islam................................................................... 30 3.3.3 Masyarakat Jawa Zaman Modern ............................................................... 40 4. STUDI LITERATUR .................................................................................................. 45 4.1 Rumah Jawa Panggung ...................................................................................... 45 4.2 Rumah Jawa Menapak ....................................................................................... 50 4.2 Bentuk Perubahan .............................................................................................. 55 4.3 Faktor Pengaruh Perubahan Bentuk Panggung ke Menapak ............................. 57 5. KESIMPULAN ........................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 62 LAMPIRAN ....................................................................................................................65
x
Universitas Indonesia
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1.
Rumah Joglo Jompongan. ....................................................................... 38
Gambar 4.1.
Bentukan Rumah Pada Relief-Relief Candi Jawa. .................................. 48
Gambar 4.2.
Bangunan Rumah Rakyat Biasa. ............................................................. 51
Gambar 4.3.
Rumah Rakyat di Yogyakarta.................................................................. 52
Gambar 4.4.
Rumah Rakyat Jawa Bentuk Limasan. .................................................... 52
Gambar 4.5.
Masjid Kauman Dalam Bentukan Tajug. ................................................55
Gambar 4.6.
Ornamen Kuda-kuda Pada Rumah Jawa Yogyakarta.............................. 56
Gambar 4.7.
Ornamen Pada Langit-langit Rumah. ...................................................... 57
Gambar 4.8.
Ornamen Pada Kolom. ............................................................................ 57
Gambar 4.9.
Ornamen Lisplank. ..................................................................................57
Gambar 4.10. Perubahan Rumah Jawa Panggung ke Menapak. .................................... 58
xi Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arsitektur tidak hanya sebuah kumpulan dan penggabungan material yang berdiri langsung diatas tanah; melainkan sebuah kumpulan isu, dan ide yang terdapat pada sebuah kultur, sosial dan teknologi yang bergabung menjadi sebuah kesatuan. Yang
kita
maksud
dengan
arsitektur
adalah
bagaimana
manusia
dapat
menggabungkan dan mengekspresikan hal-hal tersebut kedalam sebuah satu kesatuan fisik. Dengan arsitektur kita dapat melihat dan mempelajari berbagai macam latar mengenai manusia pada setiap zamannya. Menurut Amos Rapoport (1969): “Architecture may provide setting for certain activities, reminds people what these activities are; signifies power, status, or privacy; expresses and supports cosmological beliefs; communicates information; and encodes value systems. It can also separate domain and differentiate between here and there, sacred and profane, men and women, front and back, private and public, habitable and unhabitable, and so on.”
Arsitektur itu sendiri merupakan penyampaian sebuah ide dan juga arsitekturnya sendiri sebagai sebuah bentuk maka terdapat sebuah hubungan yang erat antara ide dan bentuk. Tujuan dari penulisan ini sendiri adalah melihat ide dan bentuk yang berubah dari arsitektur Jawa terutama rumah Jawa dari periode HinduBudha abad ke-8 hingga perkembangannya sampai dengan periode sekarang melalui perubahan secara fisik dan non fisik yang dipengaruhi oleh teknologi, jalan pemikiran, kepercayaan, gaya hidup dll.
1 Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
2
1.2 Perumusan Masalah Penulis mencoba mengamati dan menganalisa lebih dalam
mengenai
fenomena arsitektur yaitu rumah Jawa panggung yang berubah menjadi rumah Jawa menapak. Rumah Jawa merupakan sebuah kesatuan fisik yang
memperlihatkan
sebuah ide, pola pikir, gaya hidup dan kepercayaan yang dimiliki oleh orang
Jawa
yang kemudian diterapkan kepada sebuah kesatuan fisik yang tentunya akan menjadi bagian dari hidup yaitu sebuah rumah. Penulis melihat bahwa dari masa ke masa rumah Jawa memiliki beberapa hal-hal yang berubah secara fisik eksterior maupun interior, ide/konsep berbeda yang diterapkan oleh orang Jawa kepada rumahnya dari masa ke masa serta kejadian-kejadian besar yang berpengaruh kedalam perubahan tersebut. Hal yang terlihat jelas adalah banyaknya penggambaran dan penemuan mengenai bukti bahwa pada abad ke-8 yaitu pada periode Hindu-Budha orang Jawa hidup pada rumah yang tidak menapak dari tanah/rumah panggung tetapi mengikuti pergantian waktu dan kejadian, rumah Jawa berubah dari mayoritas menapak sampai dan jarang ditemui rumah Jawa yang berbentuk panggung. Faktor yang akan dibahas oleh penulis dalam penulisan ini adalah bagaimana rumah Jawa panggung dapat berubah menjadi rumah Jawa menapak dan apa saja faktor dan bukti yang memperlihatkan dan mempengaruhi hal perubahan tersebut.
1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk membuktikan/memberikan sebuah fakta dan argumen mengapa rumah Jawa yang mayoritas berbentuk panggung kemudian berubah menjadi menapak. Dengan penulisan dari skripsi ini, penulis ingin memberikan sebuah kajian mengapa rumah Jawa panggung dapat berubah menjadi rumah Jawa menapak. Penulisan dari skripsi ini juga sebagai pelengkap dan syarat untuk kelulusan sarjana Departemen Arsitektur Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
3
1.4 Manfaat Penulisan Penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada orang yang membacanya. Dalam penelitian mengenai Rumah Jawa : Dari Panggung ke Menapak ini diharapkan memberikan informasi yang menjelaskan mengenai fenomena perkembangan bentuk rumah Jawa dari periode ke periode dengan mengkaji, menganalisa dan menjabarkan seluruh informasi dan fakta terkait yang nantinya akan memberikan sebuah informasi mengenai perkembangan rumah Jawa tersebut bagi yang membutuhkannya. Penelitian ini juga bermanfaat bagi penulis dikarenakan penulis mendapatkan banyak informasi dan pengetahuan lebih mengenai skripsi dan topik yang dijelaskan.
1.5 Batasan Penulisan Dalam penelusuran ini penulis akan menjelaskan pada aspek fisik dari bangunan rumah Jawa dan juga aspek non fisik yang kemudian berpengaruh. Dalam penulisan ini penulis melakukan penelusuran tidak dengan pengamatan langsung kedalam studi kasus tetapi dengan tinjauan dari data, informasi yang didapatkan melalui sumber-sumber literatur hasil penelitian para ahli dan wawancara dengan orang yang terkait dengan topik skripsi ini.
1.6 Susunan Penulisan Sistematika penulisan dari skripsi dimulai dengan bab pertama yaitu pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar belakang dari permasalahan, tujuan dan metode penulisan, batasan-batasan yang dibahas dan kerangka pembahasan. Bab kedua yaitu kajian literatur, yang akan menjelaskan mengenai teori yang menjadi landasan dari skripsi ini. Bab ketiga yaitu kajian kasus yang akan menjelaskan mengenai kajian dari topik yang akan dibahas seperti pengertian rumah Jawa, masyarakat Jawa dll. Bab keempat yaitu studi kasus akan menjelaskan seluruh data dan fakta yang terkait dan kemudian akan menjabarkan dan menganalisa kasus yang dibahas. Bab terakhir, yaitu kesimpulan berisi abstaksi dari hasil analisis, kekurangan, dan usulan.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
BAB II KAJIAN LITERATUR
2.1 Pengertian Historiografi Historiografi berasal dari gabungan dua kata yaitu history yang berarti sejarah dan grafi yang berarti deskripsi atau penulisan. Berdasarkan asal katanya, historiografi berarti penulisan sejarah. Secara lebih luas historiografi dapat diartikan sebagai
penulisan
sejarah.
Secara
harafiah
historiografi
berarti
penulisan
sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu yang disebut sejarah. Sejarah sebagai pengetahuan tentang masa lalu diperoleh melalui suatu penelitian mengenai kenyataan masa lalu dengan metode ilmiah yang khas. Historiografi yaitu suatu klimaks dari kegiatan penelitian sejarah. Penulisan sejarah itu sendiri merupakan langkah terakhir dari penelitian sejarah. Penulisan sejarah merupakan langkah bagaimana seorang sejarawan mengkomunikasikan hasil penelitiannya untuk dibaca oleh umum. Dalam menulis sejarah berarti seorang sejarawan merekonstruksi terhadap sumber-sumber sejarah yang telah ditemukannya menjadi suatu cerita sejarah (Elbirtus, 2012). Historiografi merupakan pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah, yang dituangkan didalam penulisannya itu akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan di mana sejarawan atau seseorang itu hidup serta kemampuan menginterpretasikan dengan menghubungkan ilmu-ilmu bantu lainnya. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan kebudayaannya. Historiografi dapat diartikan sebagai pencarian terhadap pemikiran sejarawan atau seseorang pada zamannya. Historiografi mencari tentang ide, subyektifitas, dan interpretasinya. Sebagai sebuah alat untuk melihat sejarah intelektual atau mentalis seorang sejarawan, maka harus dilakukan studi mengenai karya-karyanya (Bintar, Anam 2010).
4 Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
5
2.2 Pengertian Arkeologi
Arkeologi berasal dari perkataan Yunani yaitu arkhaiologia yang berarti perbincangan tentang benda purba atau silam. Istilah ini digunakan semula pada abad ke-17 oleh seorang sarjana German bernama George Daux. Terdapat berbagai definisi tentang arkeologi dan sebagai satu disiplin yang dinamik, lainnya telah berubah-ubah bersesuaian dengan ruang kajiannya yang semakin luas dengan aplikasi teknologi semasa. Antara definisi-definisi yang sering digunakan oleh ahli arkeologi dalam merujuk kepada pengertian bidang ini ialah seperti; 1. Paul Bahn (1996) menyatakan pengertian asas arkeologi ialah satu kajian sistematik tentang masa lampau yang berasaskan budaya kebendaan dengan bermatlamat untuk membongkar, menerangkan dan mengklasifikasikan tinggalan-tinggalan budaya, menguraikan bentuk dan perilaku masyarakat masa silam serta memahami bagaimana ia terbentuk dan akhir sekali merekonstruksinya semula. 2. Frank Hole dan Robert F. Heizer (1990) merujuk arkeologi sebagai suatu ikatan kajian tentang masa silam manusia yang dikaji terutamanya melalui bahan-bahan peninggalan. Arkeologi juga merupakan susunan kaedah dan tata cara penyelidikan masa lalu yang menggambarkan data-data yang diperoleh dan latian akademik serta orientasi teori ahli arkeologi. 3. Robert J. Sharer dan Wendy Ashmore (1980) melihat arkeologi sebagai bahagian khusus tentang teknik yang digunakan dalam membongkar bukti tentang masa lalu dan sebagai satu disiplin yang mengkaji masyarakat dan kebudayaan silam berdasarkan budaya kebendaan ianya menerangkan perkembangannya serta bagaimana iannya berlaku.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
6
2.3 Pengertian Ruang Kata ruang atau space bila dilihat dari sudut etimologi berasal dari kata latin spatium yang memiliki pengertian yaitu suatu wilayah yang tidak berbatas, begitu luas atau merupakan ekspansi 3 (tiga) dimensi tempat seluruh obyek materi/kegiatan berada (Language Institute of America Inc, 1997). Sedangkan bila ditinjau dari sudut etimologi Bahasa Indonesia kata ruang berasal dari kata rong yang mengandung pengertian sela-sela antara dua (deret) tiang atau sela-sela antara empat tiang (di bawah kolong rumah), rongga yang berbatas atau terlindung oleh bidang, rongga yang tidak berbatas tempat segalanya ada (Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, 1992). Kata yang lebih mendekati pengertian spatium dalam arsitektur diwakili oleh ogkos (bahasa Yunani) dengan pengertian bulk; volume; mass (benda yang sangat besar; benda yang bergerak mengalir; benda yang menjadi satu atau padat) yang berarti satu badan atau keseluruhan yang terdiri dari jumlah tertentu dari sesuatu atau kumpulan satuan-satuan dari sesuatu (Johnson, 1994). Konsep tentang ruang berasal dari dua konsep klasik yang bersumber pada filsafat Yunani. Konsep yang pertama dari Aristoteles menyatakan bahwa ruang sebagai sesuatu yang nyata, dan sejauh terdapat keleluasaan yang berdasarkan pada kenyataan. Ruang diasosiasikan juga dengan keadaan terbuka bebas namun tetap dijaga dari penyusupan. Dengan gambaran yang terdapat diatas, Aristoteles mencoba menggambarkan bahwa ruang adalah suatu medium dimana obyek material berada, keberadaan ruang dikaitkan dengan posisi obyek material tersebut (konsep posisition relation). Konsep kedua berasal dari Plato yang melihat ruang sebagai wadah yang tetap, jadi walaupun objek material yang ada di dalamnya dapat disingkirkan atau diganti namun wadah tersebut akan tetap ada (Munitz, 1981)
Kedua konsep tersebut mendasari pandangan yang melihat ruang dari dimensi fisiknya yaitu suatu kesatuan yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi atau kedalaman. Dengan demikian ruang mempunyai sifat yang terukur dan pasti
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
7
(infinite), ini dipertegas oleh Decrates dengna konsep Cartesian Space yang memilahmilah ruang ke dalam bentuk-bentuk geometris seperti kubus, bola, prisma, kerucut atau gabungan dari bentuk-bentuk tersebut (Cornelis, 1980).
2.4 Pengertian Tipologi Kata Tipologi jika dilihat dari sudut etimologi berasal dari kata typology yang berasal dari Yunani. Tipologi kadang ditrasliterasikan “typos” kata darimana kata Inggris “type” berasal (Language Institute of America Inc, 1977). Pengertian tipologi (dalam perencanaan kota dan arsitektur) adalah taksonomi klasifikasi (biasanya berupa klasifikasi fisik suatu bangunan) karakteristik umum ditemukan pada bangunan dan tempat-tempat perkotaan, menurut hubungan mereka dengan kategori yang berbeda, seperti intensitas pembangunan (dari alam atau pedesaan ke perkotaan) derajat, formalitas, dan sekolah pemikiran (misalnya, modernis atau tradisional). Karakteristik individu tersebut membentuk suatu pola. Kemudian pola tersebut berhubungan dengan elemen-elemen secara hirarkis di skala fisik (dari detail kecil untuk system yang besar). Menurut Aldo Rossi dan Leon Krier, tipologi merupakan sebuah alat analisis presisi untuk arsitektur dan bentuk urban yang juga memberikan sebuah basis rasional untuk landasan desain (Argan, 1965).
2.5 Teori dan Pemikiran Hindu Jawa Seorang raja adalah Tuhan. Dapat kita ambil dari cara pandang Hindu Jawa bahwa hanya raja yang dapat memenuhi fungsi dari menenangkan dan mengatur keseimbangan antara masyarakat dengan sekitarnya entah itu nyata atau tidak nyata. Untuk masyarakat Jawa, itu adalah fungsi dari seorang penguasa untuk dapat menghubungkan masa kini, masa lalu dan masa depan dan untuk member kehidupan dari manusia yang layak di alam semesta ini sesuai dengan hakekatnya. Raja dan istananya merupakan sebuah simbol nyata dari sebuah keseluruhan. Cara pandang ini juga berlaku didalam komunitas yang lebih kecil seperti keluarga. Dalam hal ini
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
8
menurut sebuah Kultur yang ideal seorang kepala rumah tangga merupakan seorang raja bagi anggota dari keluarganya. Masyarakat Hindu Jawa hidup dengan pemikiran dimana segala sesuatu memiliki batas menurut apa yang ada atau diperintahan di dalam dunia kehidupannya. Masyarakat Hindu Jawa menjadikan seorang raja dan kekuasaannya sebagai sebuah gambaran tentang kesucian, keangungan serta paradigma aturan hidup. Dengan terbiasanya dengan batasan ini mereka menjadikan perbedaan dari status tinggi dan rendah adalah perbedaan bagi mereka yang lebih mampu untuk dapat melepaskan diri dari ketidak abadian kepada sesuatu yang abadi, dan juga bagi mereka yang sama sekali tidak mampu. Untuk masyarakat Hindu Jawa harmoni tidak hanya sesuatu yang berjalan seimbang tetapi menetralkan batasan, menjembatani perbedaan dan menjauhi segala pemikirin kurang baik pada elemen-elemen tertentu. Tujuan akhir bukanlah sesuatu yang duniawi tetapi adaptasi diri kepada sesuatu yang tidak ada batasannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Hindu Jawa telah hidup dengan pemikiran harmoni walaupun terdapat tingkatan masyarakat yang berbeda-beda. Setiap tingkatannya memiliki ketergantungan satu dengan yang lain dan harus menciptakan keselarasan atau keseimbangan yang harmoni. Oleh karena itu yang terpusat atau yang berada di tengah mempunyai sebuah posisi dengan tanggung jawab yang sangat penting. Dengan tradisi religi pada dunia yang seimbang tetapi dilandasi konflik ini, setiap masyarakat Hindu Jawa memiliki tugas untuk dapat menyatukan dan mengharmonikan konflik tersebut. Sesuatu yang bersifat tengah atau terpusat telah mendasar pada pemikiran seluruh masyarakat Jawa. Dalam kosmologi Jawa, tengah merupakan pusat dari kosmos, dan kosmos tersebut adalah gunung Mahameru dalam hal yang sama merupakan tempat beristirahatnya Dewa/Tuhan. Arti dari tengah dan terpusat
ini
adalah
sebagai
simbol
dan
landasan
pemikiran
bagaimana
menyeimbangkan dunia manusia secara komplit dan sempurna. Tengah merupakan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
9
pusatnya dari seluruh gaya dan energi yang berada pada puncaknya. Itu artinya mendasari bahwa tengah/pusat merupakan sebuah kelangsungan untuk mencapai sesuatu yang tidak terbatas atau Dewa/Tuhan. Dalam hal ini Mahamerulah yang merupakan tengah/pusat yang mendekati dengan ketidak batasan itu (Prijotomo Josef, 1984) Pada pusat konstelasi sosial atau pada puncak piramida adalah tempat raja berada. Raja sebagai pelaku utama yang bertugas mempertahankan keserasian antara mikrokosmos dan makrokosmos (jagad raya). Konsep-konsep cendekia dari telah kosmologi Sanskerta telah datang melengkapi bentuk-bentuk pemujaan asli yang lebih kuno, yang dituju kepada gunung-gunung dan yang dikaitkan pada diri sang raja. Orang Jawa Kuno menyembah gunung-gunung berapi tertentu, seperti orang Bali pada Gunung Agung dan penduduk Tengger pada Kawah Gunung Bromo. Pada pemikiran dan pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya (Lombard, 2008).
2.6 Teori dan Pemikiran Islam Jawa Islam merupakan sebuah filosofi yang komplit dari sebuah kehidupan dan pemerintahan dan tidak ada perbedaan di Islam pada sebuah religi dan materi. Orang Muslim percaya bahwa Islam memberikan kesatuan hidup yang komplit, Islam merupakan hidup itu sendirinya. Esensi dari Islam terdapat pada sebuah kalimat “la ilaha ila’lah Muhammad rasula’llah (tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammadlah utusan Allah)”. Takdir merupakan wahyu dari kehendak Tuhan untuk ciptaannya. Kata “tidak ada Tuhan selain Allah” sendiri menjelaskan konsep dari sebuah kesatuan bahwa semua perbedaan masyarakat semuanya memiliki tingkatan yang sama dan bahwa sesungguhnya tidak ada manusia yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Islam Jawa berpikir bahwa kesatuan tercipta dari perbedaan dan meyakinkan bahwa semua lingkaran mempunyai tengah/pusat walaupun besarannya yang berbeda-beda. Untuk kata “Muhammadlah utusan Allah” sendiri menjelaskan sebuah contoh atau konsep
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
10
tentang sebuah manusia universal yang patut dicontoh. Salah satu yang terpenting dalam Islam adalah tidak hanya hubungan antara pencipta dan dunia tetapi bagaimana hubungan dari pencipta dengan ciptaanya. A.H.Johns (1961, p.32) mengatakan:
“Tujuan
dari
Sufi
adalah
untuk
mempertanyakan
kenapa,
untuk
menselaraskan penjelasan teoritikal mengenai sebuah modal dari hubungan antara pencipta dan ciptaannya, kedalamannya, kehidupan yang tersembunyi dari makhluk yang suci, dan membedakan karakteristik dari yang suci, manusia dan tuhan.”
Islam tidak menuntut umatnya untuk mempercayai apapun yang tidak rasional. Tetapi kepercayaannya itu sendiri merupakan sebuah keabstrakan yang halus dan tidak mudah untuk dipahami dan diimplementasikan dengan cara yang baik dan tepat sedangkan Hukum Quran’s sendiri melarang intrepretasi dari kitab suci itu sendiri secara bebas dan mandiri. Dalam menafsirkan hidup Islam memiliki tiga cara pandang yaitu tubuh, jiwa, dan roh. Dalam hal ini ada dua interpretasi yang melandasi seluruh umat Muslim, walaupun konsepnya beda tetapi esensinya sama. Yang pertama adalah menafsirkan Tuhan adalah sesuatu yang nyata, kedua adalah pandangan tentang Tuhan dalam diri masing-masing (batin). Dua skema tersebut memiliki hubungan atau keterikatan dan dalam satu sisi juga kebalikan dari yang satunya. Bagi Muslim, agama mereka dan kehidupan mereka tidak lain adalah sebuah perjalanan untuk mencari “Kesatuan didalam Keragaman”, untuk mencapai tahap tertinggi contoh manusia universal yaitu Muhammad SAW. Semua umat Muslim memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi seperti contoh mereka, karena dia memiliki potensi tersebut (Prijotomo Josef, 1984). Islam membawa beberapa perubahan tertentu, jika dikaitkan tentang teori pemikiran Hindu Jawa mengenai Raja sebagai poros dunia, pada zaman Islam sebenarnya pemikiran tersebut masih terbawa tetapi raja tidak lagi dianggap sebagai perwujudan dewa, melainkan wakil Allah di dunia (Lombard, 2008)
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
BAB III SEJARAH & TIPOLOGI
3.1 Rumah Jawa 3.1.1 Asalmuasal Rumah Jawa Dari asal usulnya, para ahli sejarah belum mempunyai kesatuan pendapat tentang hal ini. Sebagian riwayat menyatakan menceritakan bahwa betapa sulitnya menentukan wujud bentuk dari rumah orang Jawa pada asal mulanya. Ada yang mengatakan bahwa perkembangan rumah orang Jawa hanya diceritakan dari mulut ke mulut (lisan), dari kakek ke cucu, dan seterusnya ato dapat dikatakan dari leluluh nenek moyang turun temurun hingga masa kini. Akan tetapi ada yang mengatakan bahwa rumah orang Jawa dibuat dari bahan material batu. Dari pendapat yang bermacam-macam tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa hal mengenai asal usul rumah Jawa masih gelap dan belum dapat ditemukan bentuk pastinya. Dalam riwayat lain mengatakan bahwa beberapa orang yang ahli telah membuktikan bahwa teknik teknik menyusun dari rumah Jawa sama seperti teknik menyusun candi-candi yang dapat kita lihat saat ini. Tetapi menurut para ahli, bukanlah rumah orang Jawa yang meniru bentuk candi, melainkan candi yang meniru rumah orang Jawa. Mengapa dapat dikatakan demikian ? Seperti yang kita ketahui bahwa candi-candi yang dapat kita saksikan saat ini yaitu candi Borobudur, Dieng, Pawon, Mendut dll merupakan candi-candi yang berdiri dari abad ke-18, sedangkan sebelum Hindu dan Budha masuk ke Jawa, leluhur nenek moyang orang Jawa pasti sudah mempunyai tempat tinggal permanen untuk melindungi diri dan keluarga. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, dan yang menjadi saksi bisu pastilah relief-relief yang berada di batu candi yang menceritakan dan mengambarkan kejadian masa itu dan mungkin masa-masa
11 Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
12
sebelumnya. Tetapi dugaan yang cukup kuat diperoleh dari naskah-naskah kuno yang ditulis dengan tangan, menyebutkan bahwa rumah orang Jawa terbuat dari bahan kayu, serta dimulai dari jaman Prabu Jayabaya yang pada saat itu berkuasa di Mamenang ibukota Kediri, Jawa Timur. Pada sekitar abad ke-11, baik adipati Harya Santang maupun Prabu Jayabaya, sendiri menyetujui untuk membuat rumah dari bahan kayu. Dan orang tidak perlu khawatir lagi bahwa rumah batu mereka akan habis dikikis oleh hujan. Dengan bahan material kayu yang ringan, mudah dikerjakan, mudah dicari, dan kalau rusak dapat mudah menggantikannya. Di istana Raja, barisan dari pekerja yang berada dibawah pimpinan adipati Harya Santang medapatkan order untuk memperbaiki istana raja. Menurut tulisan yang sama, pada jaman Prabu Wijayaka berkuasa di medangkemulan, ia telah melakukan berbagai perubahan terutama pada departemen perumahan yang sejak saat itu diurus oleh pejabat perumahan yang berpangkat Bupati. Mereka terdiri dari: 1.
Bupati Kalang Blandhong – ahli menebang pohon
2.
Bupati Kalang Obong – ahli pembersihan hutan
3.
Bupati Kalang Adeg – ahli perencana bangunan
4.
Bupati Kalang Abrek
Semua pembangunan dari rumah Jawa disesuaikan dengan budaya Jawa. (Hamah Sagrim, 2010) 3.1.2 Rumah Dalam Kehidupan Orang Jawa Rumah merupakan sesuatu yang penting karena mencerminkan papan (tempat tinggal), disamping dua macam kebutuhan lainnya yaitu sandang (pakaian) dan pangan (makanan). Karena rumah berfungsi untuk melindungi dari tantangan alam dan lingkungan sekitarnya. Selain itu rumah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan utamanya saja. Tetapi dipergunakan untuk mewadahi semua kegiatan dan kebutuhan yang berada di dalam rumah tersebut.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
13
Rumah Jawa lebih dari sekedar rumah tinggal bagi orang Jawa. Masyarakat Jawa lebih mengutamakan moral kemasyarakatan dan kebutuhan dalam mengatur warga semakin menyatu dalam satu kesatuan. Semakin lama tuntutan masyarakat dalam keluarga semakin berkembang hingga muncul tingkatan jenjang kedudukan antara manusia yang berpengaruh pada penampilan fisik rumah suatu keluarga. Lalu munculah juga jati diri arsitektur dalam masyarakat tersebut. Rumah Jawa merupakan lambang status bagi penghuninya dan juga menyimpan rahasia tentang kehidupan sang penghuni. Rumah Jawa merupakan sarana pemiliknya untuk menunjukan siapa sebenarnya dirinya sehingga dapat dimengerti dan dinikmati oleh orang lain. Rumah Jawa juga menyangkut dunia batin yang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat Jawa. Bentuk dari rumah Jawa dipengaruhi oleh dua pendekatan yaitu: -
Pendekatan Geometrik yang dikuasai oleh kekuatan diri sendiri
-
Pendekatan Geofisik yang tergantung pada kekuatan alam lingkungan
Kedua pendekatan
pendekatan
mempunyai
tersebut perannya
akhirnya
menjadi
masing-masing,
satu
situasi
kesatuan. dan
kondisi
Kedua yang
menjadikannya salah satunya lebih kuat sehingga menimbulkan bentuk yang berbeda bila salah satu peranannya lebih kuat. Rumah Jawa merupakan kesatuan dari nilai seni dan nilai bangunan sehingga merupakan nilai tambah dari hasil karya budaya manusia yang dapat dijabarkan secara keilmuan (Hamah Sagrim, 2010).
3.2 Filosofi Rumah Jawa Pada Masyarakat Jawa Bangunan tradisi atau rumah adat merupakan salah satu wujud budaya yang bersifat konkret. Dalam konstruksinya, setiap bagian/ruang dalam rumah adat sarat dengan nilai dan norma yang berlaku pada masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Begitu juga dengan rumah tradisi Jawa. Konstruksi bangunan yang khas dengan fungsi di setiap bagian yang berbeda satu sama lain mengandung unsure filosofis yang sarat dengan nilai-nilai religi, kepercayaan, norma dan nilai budaya etnis Jawa.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
14
Terjadi sebuah penerapam prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (publik) dan bagian belakang bersifat khusus (pribadi/privat). Uniknya, setiap ruangan dari bagian teras, pendopo sampai dengan bagian belakang (Pawon dan Pekiwan/Dapur) tidak hanya memiliki fungsi tetapi juga sarat dengan unsure filosofi hidup etnis Jawa. Unsur religi/kepercayaan terhadap dewa diwujudkan dengan ruang pemujaan terhadap Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kebahagiaan rumah tangga) sesuai dengan mata
pencaharian
masyarakat
Jawa
(petani-agraris). Ruang
tersebut
disebut
krobongan, yaitu kamar yang selalu kosong, namun lengkap dengan ranjang, kasur, bantal, dan guling dan bisa juga digunakan untuk malam pertama bagu pengantin baru (Widayat, 2004, p.7). Krobongan merupakan ruang khusus yang dibuat sebagai penghormatan terhadap Dewi Sri yang dianggap sangat berperan dalam semua sendi kehidupan masyarakat Jawa. Bangunan atau rumah tradisi tidak hanya dibangun sebagai tempat tinggal tetapi juga diharapkan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan bagi penghuninya melalui penggabungan unsur makrokosmos dan mikrokosmos di dalam rumah tersebut. Dengan demikian diharapkan keseimbangan hidup tercapai dan membawa dampak positif bagi penghuninya. Berikut adalah penjelasan mengenai ruang-ruang beserta filosofinya: 1. Teras dan Pendopo Di bagian depan, rumah tradisi Jawa memiliki teras yang tidak memiliki atap dan pendopo (pendhapa) yaitu bagian depan rumah yang terbuka dengan empat tiang (saka guru) yang merupakan tempat tuan rumah
menyambut
dan
menerima
tamu-tamunya.
Bentuk
pendopo umumnya persegi, di mana denah berbentuk segi empat selalu diletakan dengan sisi panjang kea rah kanan-kiri rumah sehingga tidak memanjang kea rah dalam tetapi melebar ke samping (Indrani, 2005:7).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
15
Pendopo pada rumah Jawa terbuka tanpa pembatas pada keempat sisinya, hal ini melambangkan sikap keterbukaan pemilik rumah terhadap siapa saja yang dating. Pendopo biasanya dibangun lebih tinggi dari halaman, ini dimaksudkan untuk memudahkan penghuni menerima tamu, bercakap-cakap sambil duduk bersila di lantai beralas tikar sesuai tradisi masyarakat Jawa yang mencerminkan suasana akrab dan rukun. Bentuk salah satu ruang dalam rumah tradisi Jawa tersebut memperlihatkan adanya konsep filosofis tentang makna ruang yang dalam dimana keberadaan pendopo sebagai perwujudan konsep kerukunan dalam gaya hidup masyarakat Jawa. Pendopo tidak hanya sekedar sebuah tempat tetapi mempunyai makna filosofis yang lebih mendalam, yaitu sebagai tempat
untuk
mengaktualisasi
suatu
bentuk/konsep
kerukunan
antara
penghuni dengan kerabat dan masyarakat sekitarnya (Hidayatun, 1999:7). Pendopo merupakan aplikasi sebuah ruang publik dalam masyarakat Jawa.
2.
Pringgitan Ruang yang masih berfungsi sebagai ruang publik adalah ruang peralihan dari pendopo menuju ke dalem ageng disebut pringgitan, yang juga berfungsi sebagai tempat mengadakan pertunjukan wayang kulit pada acara-acara tertentu. Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan baying-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi)
yang
merupakan
sumber
segala
kehidupan,
kesuburan,
dan
kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39). Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), Pringgitan adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai tempat untuk pertunjukan
wayang
(ringgit),
yaitu
pertunjukan
yang
berhubungan
dengan upacara ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha hebat).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
16
3.
Dalem Ageng Semakin masuk ke bagian dalam rumah tradisi Jawa, semakin menunjukan hirarki dalam pola penataan ruangnya. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya,
semakin
masuk
ke
bagian
belakang
ruangan tersebut bersifat khusus (pribadi/privat). Bagian dalam dari rumah tradisi Jawa disebut dalem ageng. Ruangan ini berbentuk persegi yang dikelilingi oleh dinding pada keempat sisinya. Dalem ageng merupakan bagian terpenting dalam rumah tradisi Jawa sebab di dalamnya terdapat senthong atau tiga kamar. Tiga senthong tersebut dinamakan senthong kiwa, senthong tengah
dan
senthong
tengen.
Senthong
tengah
dinamakan
juga krobongan yaitu tempat untuk menyimpan pusaka dan tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Senthong tengah atau krobongan merupakan tempat paling suci/privat bagi penghuninya. Sedangkan senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggota keluarga. Senthong kiwa merupakan ruang tidur anggota keluarga laki-laki dan senthong tengen berfungsi sebagai ruang tidur anggot keluarga perempuan. 4.
Krobongan Kepercayaan masyarakat Jawa terhadap Dewi Sri tidak lepas dari kehidupan mereka yang agraris. Dewi Sri merupakan dewi kesuburan yang agraris
berperan (para
penting petani).
dalam Agar
menentukan dalam
kesejahteraan
berusaha
lancer
masyarakat maka
perlu
menyediakan tempat yang khusus di rumahnya untuk menghormati Sang Tani. Y.B. Mangunwijaya (1992 : 108) menjelaskan yang dimaksud dengan Sang Tani adalah bukan manusia si petani pemilik rumah, melainkan para dewata, atau tegasnya Dewi Sri. Di dalam dalem atau krobongan disimpan harta pusaka yang bermakna gaib serta padi hasil panen pertama, Dewi Sri juga dianggap sebagai pemilik dan nyonya rumah yang sebenarnya. Di dalam krobongan terdapat ranjang, kasur, bantal, dan guling, adalah kamar malam pertama bagi para
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
17
pengantin baru, hal ini dimaknai sebagai peristiwa kosmis penyatuan Dewa Kamajaya dengan Dewi Kama Ratih yakni dewa-dewi cinta asmara perkawinan (Mangunwijaya, 1992: 108). Di dalam rumah tradisi Jawa bangsawan
Yogyakarta,
senthong
tengah
atau
krobongan
berisi
bermacam-macam benda-benda lambing (perlengkapan) yang mempunyai kesatuan arti yang sacral (suci). Macam-macam benda lambang itu berbeda
dengan
benda-benda
lambing
petani.
Namun
keduanya
mempunyai arti lambing kesuburan, kebahagiaan rumah tangga yang perwujudannya adalah Dewi Sri (Wibowo dkk., 1987 : 63). 5.
Gandhok dan Pawon Ruangan di bagian belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem. Juga terdapat pawon yang berfungsi sebagai dapur dan pekiwan sebagai wc/toilet. Ruangan-ruangan tersebut terpisah dari ruangan-ruangan utama, apalagi dari ruangan yang bersifat sacral/suci bagi penghuninya. Pola organisasi ruang dalam rumah tradisi Jawa dibuat berdasarkan tingkatan atau nilai masing-masing ruang yang terurut mulai dari area publik menuju area privat atau sacral. Pembagian ruang simetris dan menganut pola closed ended plan yaitu simetris keseimbangan yang berhenti dalam suatu ruang, yaitu senthong tengah (Indrani, 2005: 11).
6.
Dewi Sri dalam Krobongan Rumah Tradisi Jawa Dewi Sri sangat akrab dengan masyarakat agraris Jawa. Bagi mereka, Dewi Sri merupakan ikon sekaligus tokoh penting yang sangat berperan dalam menentukan hasil panennya nati. Maka tidak aneh apabila di rumah pribadi mereka, terdapat tempat khusus yang digunakan sebagai tempat pemujaan terhadap Dewi Sri. Selain itu, Dewi Sri juga dikenal sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan rumah tangga.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
18
Menurut Lombard (1996) walaupun mito Dewi Sri berasal dari India namun
di
beberapa
pulau
di
Nusantara
yang
tidak
tersentuh
pengaruh
India pun mengenal sosok Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Ceritanya pun
hampir
bagian
sama,
tubuhnya
yaitu
Dewi
tumbuh
Sri
berbagai
yang
dikorbankan
tanaman
budidaya
lalu
yang
dari
seluruh
utama
seperti
padi. Mitos tersebut sangat kental dengan pengaruh Hindu. Hal ini bisa saja
terjadi
Hasilnya
akibat
muncul
melindungi padi,
adanya seorang
tanaman
yang
asimilasi tokoh
padinya
dianggap
(Widayat,
2004:10).
datangnya
pengaruh
dari
Berbagai
para
ada
animisme
dan
petani
Jawa,
kaum
gangguan-gangguan
cerita
dan
paham
simbolik
terhadap
berasal
Hindu
antara
lelembut
padi
atau
muncul
kemungkinan
hama jin
di
cerita
Hindu. yang
tanaman
mrekayangan
Jawa
sebelum
tersebut
setelah
datangnya paham Hindu diubah dan disesuaikan dengan ajaran Hindu. Dewi
Sri
dalam
buku
Sejarah
Wayang
Purwa
(Hardjowirogo,
1982, p.72) dijelaskan Dewi Sri adalah putrid Prabu Srimahapunggung dari Negara
Medangkamulan.
Dewi
Sri
bersaudara
laki-laki
yang
bernama
dilakukan
dalam
upacara-
Raden Sadana. Penghormatan upacara
adat.
tersebut
Salah
digelar
Srimantun
Dewi
Sri
satunya
adalah
upacara
pertunjukan
yang
Kemakmuran
terhadap
wayang
menggambarkan
dan
anugerah
dari
juga
bersih
kulit
reinkarnasi dewata
desa.
dengan Dewi
terhadap
Dalam lakon
Sri
sebagai
Negara
agar
upacara berjudul Dewi menjadi
Negara yang makmur dan sejahtera serta tidak kekurangan apapun. Untuk upacara
bersih
desa
biasanya
dipersembahkan
sesajian
yang
diletakan
di
dekat sawah antara lain: 1.
Kelapa Muda
2.
Nasi dan telur ayam (puncak manic)
3.
Rujak Manis (pisang, asam)
4.
Ketupat
5.
Lepet
6.
Cermin
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
19
7.
Minyak Kelapa
8.
Minyak Wangi
(Widayat, 2004, p.13)
3.3 Masyarakat Jawa dan Aspek Sosialnya 3.3.1 Masyarakat Jawa Zaman Hindu Budha Pada Jaman Hindu-Budha yaitu tepatnya pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-13 terdiri dari banyaknya kerajaan-kerajaan. Kerajaan yang saat itu mempengaruhi perkembangan masyarakat Jawa yang paling besar salah satunya adalah Kerajaan Majapahit. a. Sistem Religi dan Kepercayaan Pada periode ini masyarakat Jawa telah berpindah dari penganut kepercayaan tradisional berupa penghormatan terhadap roh lelulur dan kekuatan alam semesta dan benda-benda tertentu (animisme dan dinamisme).
Pengaruh
masyarakat
Jawa
dari
membuat
masuknya pengaruh
Hindu
Budha
kepercayaan
kedalam animisme-
dinamisme berubah kepada dewi-dewi pengatur alam. Masyarakat Jawa mulai menyembah dewi-dewi yang sama dengan yang ada di India. Di dalam masyarakat Jawa ini agama Hindu jauh lebih berkembang pesat daripada Budha. Pada perkembangannya bahkan muncul agama ―baru‖ atau agama sinkretis, yakni perpaduan Hindu Siwa dengan Budha. Agama tersebut disebut Siwa-Buddha yang mulai berkembang pesat pada masa Kerajaan Singasari di Jawa Timur. Masuknya Hindu Budha pada Indonesia dan Jawa masih menjadi perdebatan, tetapi terdapat empat pendapat yang saling menguatkan menyatakan bahwa:
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
20
(1) Teori Brahmana, mengatakan bahwa yang membawa agama Hindhu ke Indonesia adalah orang-orang Hindu berkasta Indonesia
brahmana.
Para
merupakan
brahmana
tamu
yang
undangan
datang
dari
ke
raja-raja
penganut agama tradisional di Indonesia. Ketika tiba di Indonesia, para brahmana ini akhirnya ikut menyebarkan agama Hindu di Indonesia (Van Leur, 1960). (2) Teori Waisya, mengatakan bahwa yang telah berhasil mendatangkan agama Hindu ke Indonesia adalah kasta Waisya, terutama para pedagang. Para pedagang banyak memiliki relasi yang kuat dengan para raja yang terdapat di seluruh Nusantara. Agar bisnis mereka di Indonesia lancar mereka memberikan barang-barang dagangan yang bagus untuk masyarakat pribumi sehingga kemudian mereka dapat tinggal dan menyebarkan agama Hindu (N.J.Krom, 1927). (3) Teori Ksatria, mengatakan bahwa proses agama Hindu ke Indonesia dilangsungkan oleh para ksatria, yakni golongan bangsawan dan prajurit perang. Kedatangan para ksatria tersebut
ke
Indonesia
disebabkan
karena
terjadinya
pergolakan di India yang kemudian memaksa banyak dari mereka yang keluar mencari keamanan dan datang ke wilayah Indonesia (C.C.Berg dan Mookerji). (4) Teori Arus Balik, mengatakan bahwa yang menyebarkan agama Hinhu di Indonesia adalah orang Indonesia sendiri. Mereka yang mengajarkan adalah orang Indonesia yang pernah ke India untuk mempelajari agama Hindu dan Budha. Di pengembaraan mereka mendirikan sebuah organisasi yang sering disebut sanggha. Setelah kembali ke
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
21
Indonesia, akhirnya mereka menyebarkan kembali ajaran yang telah mereka dapat di India (F.D.K.Bosch).
b. Sistem Kekerabatan Masyarakat Pada masa Hindu Budha masyarakat Jawa hidup didalam batasan-batasan yang ada yang mengaruh pada kasta dari masingmasing individu. Kekerabatan masyarakat Jawa yang paling erat adalah didalam keluarga. Untuk kekerabatan dengan yang lainnya, masyarakat Jawa akan berhubungan dekat dengan individu-individu yang memiliki kasta yang sama. c. Sistem Politik dan Kemasyarakatan Setelah kerajaan-kerajaan yang berdiri di Jawa didirikan maka mereka langsung menerapkan sistem feudal. Feodalisme adalah sistem sosial dan politik yang memberikan kekuasaan yang besar bagi golongan bangsawan
(KBBI,2002).
Dengan
demikian,
raja
adalah
yang menentukan kearah mana kerajaan akan bergulir. Praktik feodalisme ini cukup berkembang pada masa kerajaan Hindu Budha, terutama di Jawa. Pengkastaan dalam masyarakat membuat hubungan feodalistik semakin menguat. Feodalisme menjamin stabilitas politik yang dibutuhkan seorang raja untuk keberlangsungan kerajaannya. Sistem kasta merupakan sistem kemasyarakatan yang ada pada zaman Hindu Budha. Sistem kasta membagi masyarakat menjadi beberapa tingkatan sosial, yakni: (1) Brahmana yang berperan sebagai penasehat raja dan pendidik agama. (2) Ksatria
yang
terdiri
atas
penyelenggara
dan
penata
pemerintahan serta pembela kerajaan (raja, pembantu raja, tentara).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
22
(3) Waisya yang berperan sebagai pedagang, pengrajin, petani, nelayan, dan pelaku seni. (4) Sudra yang terdiri atas pekerja rendah, buruh, budak dan pembantu. Sementara itu, dalam kerajaan Buddhis pengkastaan tak terlalu berperan karena ajaran Budha tidak mengenal pengkastaan. Dalam hal ini, masyarakat Buddhis lebih demokratis dan egalitis. Maka dari itu , sistem feodal lebih berkembang di kerajaan-kerajaan bercorak Hindu. Dalam
menentukan
kebijakan,
raja
dibantu
oleh
kaum pandita (pendeta) dan brahmana sebagai penasehat spiritual dan duniawi. Merekalah kelompok yang mengetahui isi kitab suci yang ditulis dalam Sansekerta. Akibatnya, masyarakat awam tak mungkin mengetahui isi kitab suci tanpa perantara brahmana. Mereka memiliki hak mutlak dalam mengatur sebuah upacara agama, seperti peringatan hari-hari suci, pengangkatan raja, peresmian piagam atau prasasti, atau pernikahan
golongan
bangsawan.
Mereka
pula
yang
merintis
pembangunan sekolah-sekolah dan asrama-asrama dalam masyarakat Buddha. Kedudukan mereka dapat disamakan dengan kalangan ulama dan cendikiawan zaman sekarang (Suwito & Darmawan) d. Ekonomi Sistem ekonomi pada periode Hindu Budha sangat tergantung pada persawahan terutama pada
masa kerajaan Tarumanagara,
Mataram, dan Majapahit. Mereka sangat bergantung pada panen padi dan pajaknya. Oleh karena itu Jawa dikenal sebagai pengekspor beras sejak
jaman
Hindu
Budha
ini
yang
berkontribusi
terhadap
pertumbuhan penduduk dari pulau Jawa ini. Perdagangan dengan Negara Asia lainnya seperti Cina dan India sudah terjadi pada awal abad ke-4, terbukti dengan ditemukannya keramik Cina pada periode tersebut. Jawa juga terlibat dalam perdangangan rempah-rempah
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
23
Maluku semenjak era Majapahit. Pada periode tersebut juga menggunakan alat tukar barter dan juga uang logam/emas sebagai alat untuk tukar-menukar dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Jawa (Lombard, 2008). e. Kesenian
Seni Rupa Pada bidang kesenian ataupun seni sastra pada periode Hindu Budha mengalami perkembangan pesat. Pembuatan candi dan patung yang disertai relief merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan bidang seni rupa.
Sastra dan Aksara Sejak masuknya Hindu Budha, bahasa sansekerta dan huruf palawa mulai digunakan dalam penulisan prasasti dan kitab sastra, misalnya: prasasti Kutai, prasasti Tugu dll. Sementara kitab-kitab sastra baru muncul pada zaman Airlangga dan mencapai puncak pada zaman Majapahit. Dalam perkembangannya bahasa sansekerta dan huruf palawa mengalami akulturasi dengan bahasa dan huruf Jawa sehingga munculah bahasa Jawa Kuno dan Huruf Jawa Kuno.
f. Pendidikan Pada periode Hindu Budha pendidikan terkait erat dengan agama. Pada masa ini kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidak diterapkan di Indonesia setajam bagaimana yang terdapat di India. Materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan,
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
24
ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas
belajar
seperti
ruang
diskusi
dan
seminar.
Dalam
perkembangannya, kebudayaan Hindu Budha membaur dengan unsurunsur asli Jawa dan Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas (Khairuddin, 2008). g. Arsitektur Arsitektur pada masa Hindu Budha yang kita ketahui adalah arsitektur yang identik dengan Candi. Candi sendiri dianggap berasal dari kata candikagrha, nama tempat tinggal Candika, Dewi Kematian dan Permaisuri Siwa. Maka secara harafiah Candi bias ditafsirkan sebagai bangunan yang digunakan untuk keperluan pemakaman atau bahkan sebagai makam. Dahulukala, diduga abu dari jenazah seorang raja dikubur dibawah bagian tengah candi (peripih). Sehingga seringkali candi digunakan sebagai tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal. Akan tetapi Candi dibangun bukan semata hanyalah sebagai makam atau tempat pemujaan dan memuliakan raja yang sudah meninggal, lebih dari itu Candi itu juga difungsikan sebagai tempat pemujaan kepada para Dewa yang dilambangkan sebagai arca. Arca tersebut diletakan di ruang tengah Candi. Arsitektur Candi ini sendiri sering dilambangkan dengan perumpamaan Gunung Meru dikarenakan terdapat unsur Triloka yang menjelaskan mengenai dunia manusia (bhurloka), dunia tengah untuk orang yang disucikan (bhuvarloka) dan dunia untuk para dewa (svarloka) (H.J. Kroom & Stutterheim).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
25
Untuk arsitektur tradisionalnya yang digunakan sebagai tempat untuk manusia tinggal dan juga tempat-tempat untuk manusia beraktifitas berupa bangunan-bangunan yang telah menggunakan konstruksi kayu. Sekitar abad ke-13 dan ke-14, bidang arsitektur dikembangkan
ekspresi
dan
teknik
pembangunan
yang
baru.
Pembangunan dengan batu alam dihentikan dan penggunaan batu bata merah beserta konstruksi kayu diistimewakan dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga masih dapat digunakan hingga masa kini dalam arsitektur dan tata kota. (Nugroho, 2010). 3.3.2 Masyarakat Jawa Zaman Islam Periode Islam di Jawa yang terlihat dengan banyaknya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang berkuasa pada abad ke-13 sampai dengan abad ke-16. Timbulnya kerajaan-kerajaan tersebut dan pengaruhnya kepada penyebaran religi agama Islam di Jawa berasal dari pengaruh maraknya lalu lintas perdangangan laut dengan pedagangpedagang Islam dari Arab, India, Persia, Tiongkok, dll. Alasan mengapa banyak penduduk nusantara dan terutama masyarakat Jawa yang beragama Islam adalah antara lain: - Pernikahan antara para pedagang dengan bangsawan. Contoh: Raja Brawijaya menikah dengan Putri Jeumpa yang menurunkan Raden Patah yang merupakan tokoh Islam. - Pendidikan Pesantren yang mulai berkembang pesat dan melahirkan Islam golongan Santri. - Pedagang Islam - Seni dan Kebudayaan. Contoh: Wayang, disebar oleh Sunan Kalijaga. - Dakwah
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
26
Faktor-faktor penyebab agama Islam berkembang pesat di nusantara terutama Jawa antara lain: -
Syarat
masuk
agama
Islam
tidak
berat,
yaitu
dengan
mengucapkan kalimat syahadat. -
Upacara-upacara dalam Islam sangat sederhana dan gampang dilaksanakan.
-
Islam telah menghilangkan/tidak mengenal system kasta.
-
Islam tidak menentang adat dan tradisi setempat.
-
Dalam penyebarannya, Islam melakukan dengan jalan damai.
-
Runtuhnya
kerajaan
Majapahit
memperlancar
penyebaran
Islam. (Sejarah Islam di Nusantara, Lombard, 2008) a. Sistem Religi dan Kepercayaan Pada jaman pengaruh Islam di Jawa, tentunya agama Islam menjadi mayoritas dari agama masyarakat Jawa. Penyebaran Islam yang pesat menyebabkan banyak perubahan di seluruh Jawa yang berpengaruh pada bidang apapun terutama dalam Arsitektural. Walaupun Islam menjadi mayoritas tetapi masih terdapat banyak juga penganut hindhu dan budha yang masih tersisa. Selain itu katolik dan Kristen juga mulai hadir sebagai agama lewat pengaruh dari orangorang barat yang dating menjajah Indonesia seperti Belanda, Spanyol dan Portugis. Untuk masyarakat Jawa penganut ajaran Islam, pada saat penyebaran Islam di Jawa menyebabkan banyaknya masyarakat Islam golongan santri. Golongan tersebut terlahir dari banyaknya Pesantren yang didirikan di Jawa dan mereka mendapatkan didikan mengenai Islam pada Pesantren-pesantren tersebut. Untuk lainnya masyarakat
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
27
Jawa dengan Golongan Islam Kejawen adalah masyarakat Jawa yang pada saat itu telah menganut Islam tetapi masih terbawa pengaruh Hindu-Budha
yang
belum
hilang.
Mereka
menggabungkan
kepercayaan itu sehingga masyarakat Islam Kejawen tidak terlalu patuh menjalankan syariat Islam dan masih mempercayai kekuatan lain/gaib. b. Sistem Kekerabatan Masyarakat Masyarakat
Jawa
sudah
turun-temurun
menganut
sistem
kekerabatan bilateral atau parallel. Dimana semua anggota keluarga terhubung dengan sangat dekat. Sistem masyarakat tersebut juga terjadi berdasarkan sistem religi Islam yang mengajarkan bahwa seluruh masyarakat dan umat Muslim memiliki hak dan derajat yang setara. c. Sistem Politik dan Kemasyarakatan Masyarakat Jawa pada jaman Islam telah mengenal stratifikasi sosial tipologi budayawi utama:
Abangan Yang mewakili sikap menitik beratkan segi-segi animism sinkretisme Jawa yang menyeluruh, dan secara luas berhubungan
dengan
unsure-unsur
petani
di
antara
penduduk. Istilah abangan diterapkan pada kebudayaan orang desa, yaitu petani yang kurang terpengaruh oleh pihak luar dibandingkan dengan golongan-golongan lain di antara penduduk.
Santri Yang mewakili sikap menitikberatkan pada segi-segi Islam dalam sinkretisme tersebut, pada umumnya berhubungan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
28
dengan unsur pedagang (maupun juga dengan unsur-unsur tertentu di antara para petani). Istilah santri diterapkan pada kebudayaan muslimin yang memegang peraturan dengan keras dan biasanya tinggal di bersama di kota dalam perkampungan bersama dekat dengan Masjid dan Pesantren yang terdiri dari para pedagang di daerah-daerah yang lebih bersifat pada kota.
Priyayi Yang sikapnya menitik beratkan pada segi-segi Hindhu dan berhubungan dengan unsur-unsur birokrasi. Istilah priyayi diterapkannya pada kebudayaan kelas-kelas tertingi yang pada
umumnya
merupakan
golongan
bangsawan
berpangkat tinggi atau rendah. (Geertz, 1950) Teori dari Geertz ini sebenarnya tidak sepenuhnya benar, dia mendapatkan banyak bantahan mengenai teorinya. Menurut Lombard (2008) dalam karyanya Nusa Jawa: Silang Budaya menjelaskan bahwa Geertz melihat mereka yaitu stratifikasi sosial tersebut hanya dilihat sebagai suatu keseluruhan yang homogen. Yang menjadi perdebatan adalah teori Geertz tersebut tidak pernah terhubung dalam satu kesatuan konteks budaya aslinya dia membuat seolah-olah itu merupakan satu sistem. Pengertian santri
dalam penjelasannya
merupakan sebuah dinamika baru. Pengertian dari abangan dan priyayi tidak perlu dipertentangkan dengan santri dalam suatu bagian ―segitiga‖, tetapi baiknya dilihat sebagai dua segi pelengkap dari satu kenyataan sosial yang sama. Jika pengertian golongan santri tersebut diteliti lebih dekat dan lebih dalam menemukan asas sosial dan ekonominya maka akan terlihat bahwa golongan tersebut sebenarnya mencakup dua kelompok besar yang sangat berbeda (Lombard, 2008).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
29
d. Ekonomi Pada jaman Islam di Jawa, masyarakat Jawa sebagian besar berprofesi sebagai petani, tetapi tidak sebagian besar masyarakat Jawa memiliki tanah sehingga sebagian masyarakat lagi beralih kepada bidang yang lain. Sistem perdagangan pada periode Islam di Jawa ini sebenarnya sedang dalam kemajuan pesatnya. Banyak hal baru yang masuk ke Jawa dari sisi yang berpengaruh kepada ekonomi keuangan terutama terjadinya sistem mata uang baru yaitu uang kepeng yang berasal dari Cina dan juga mata uang lainnya seperti logam putih. Dengan kenaikan progresif dari jumlah mata uang ini maka munculah konsep-konsep pelengkap modal dan laba (Lombard, 2008). e. Kesenian Masyarakat Jawa umumnya pada jaman Islam memiliki kesenian yang berhubungan dengan Islam.
Pada Seni rupa dan Kaligrafi Walaupun pada periode Islam dilarang untuk menggambar ataupun memahat membuat relief yang objeknya berupa makhluk hidup khususnya hewan. Maka dari itu seni rupa Islam identik dengan seni kaligrafi. Seni kaligrafi adalah seni menulis aksara indah yang merupakan kata atau kalimat. Dalam Islam, kaligrafi biasanya berwujud gambar binatang atau manusia (tetapi bentuk siluet sajat). Ada juga seni kaligrafi yang tidak berbentuk makhluk hidup melainkan hanya rangkaian aksara yang diperindah. Teks-teks yang berasal dari Al-Quran merupakan tema yang sering dituangkan dalam seni kaligrafi ini. Sedangkan, bahan-bahan yang digunakan sebagai tempat untuk menulis kaligrafi ini adalah nisan makam, pada dinding Masjid, mihrab Masjid, kain tenunan atau kertas dan kayu sebagai pajangan.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
30
Kesustraan Karya kesenian sastra merupakan alat efektif dalam penyebaran sebuah agama terutama Islam di Jawa. Jalur sastra inilah yang ditempuh masyarakat muslim dalam penyebaran ajaran Islam mereka di Jawa. Karya-karya sastra bercorak Islam yang ditulis di Sumatera dan Jawa awalnya merupakan gubahan atas karya-karya sastra klasik dari jaman Hindhu-Budha. Cara ini ditempuh agar masyarakat pribumi tidak terlalu kaget akan ajaran Islam. Tema-tema yang ada berupa nuansa Islami seperti kisah atau cerita pada Nabi dan Rasul sahabat Nabi, pahlawanpahlawan Islam, hingga raja-raja Sumatera dan Jawa. Adakalanya kisahkisah tersebut bersifat setengah imajinatif dalam arti tidak sepenuhnya benar.
Seni Tari dan Musik Dalam bidang seni tari dan musik, budaya Islam hingga sekarang begitu terasa
dalam
kehidupan
sehari-hari
masyarakat
Indonesia.
Dalam
perjalanannya, kebudayaan Islam sebelum masuk ke wilayah Indonesia telah dahulu bercampur dengan kebudayaan lain, misalnya kebudayaan Afrika Utara, Persia, anak Benua India, dan lain-lain. Dan telah menjadi hukum alam, bahwa setiap tarian memerlukan iringan musik. Begitu pula seni tari Islami, selalu diiringi alunan musik sebagai penyemangat sekaligus
sebagai
sarana
perenungan.
Lazimnya
tarian-tarian
ini
dipraktikkan di daerah pesisir laut yang pengaruh Islamnya kental, karena daerah pesisir merupakan tempat pertama kali Islam berkembang, baik sebagai kekuatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai contoh dari seni Tari dan Musik di Jawa yaitu:
Zapin: yaitu tarian yang berkembang hampir diseluruh Jawa. Kata zapin sendiri ditafsir dari bahasa Arab, zafin yang berarti melangkah atau langkah. Tari ini dibawa kepada masyarakat Islam di Jawa dari pedagang Arab, Persia dan India pada awal abad ke-13.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
31
Seni Busana Dalam agama Islam, ada jenis pakaian tertentu yang menunjukkan identitas umat Islam. Jenis pakaian tersebut adalah sarung, baju koko, kopeah, kerudung, jilbab, dan sebagainya yang telah dibawa sejak agama Islam berkembang di Jawa dan kemudian masyarat Islam di Jawa mulai mengembangkan dan menganut seni busana tersebut sebagai busana keseharian mereka untuk sebagian besar golongan.
(Budiyanto, 2011)
f. Pendidikan Para ulama, termasuk wali, berperan besar terhadap penyebaran Islam. Mereka pada mulanya mendirikan pesantren-pesantren di sekitar kota pelabuhan (sebagai tempat transit kapal-kapal dagang) guna menyebarkan dakwah Islamnya. Istilah ―pesantren‖ berasal dari ucapan ―pesantrian‖, yakni tempat para santri menimba ilmu agama.
Disinilah calon-calon santri—yang tadinya nonmuslim—dididik oleh guru-guru mereka untuk membaca Al-Quran, bacatulis huruf Arab, dan segenap aspek Islam lainnya. Materi-materi yang diajarkannya sebagai besar meliputi hukum (syariat) Islam Para Wali di Jawa, contohnya, sebelum berkumpul di Masjid Demak, terlebih dahulu membuka pondok-pondok pesantren di daerah lain. Sunan Ampel menjadi guru spiritual di Ngampel Denta di Giri; Sunan Gresik memiliki pondok pesantren di Gresik; Sunan Kalijaga mengasuh pesantren di Kadilangu, dekat Demak. Sistem pendidikan Islam tradisonal ini—dalam arti belum tersentuh sistem pendidikan ala
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
32
Barat—berlangsung hingga abad ke-18. Setelah pendidikan formal Barat diperkenalkan, materi-materi yang diajarkan dipesantren bertambah. Malah banyak di antaranya pesantren tersebut yang menjadi pelopor perlawan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas nama Tuhan dan semangat jihad melawan kaum penjajah yang kebetulan berbeda keyakinan, pondok-pondok pesantren merupakan pusat perlawanan. Meskipun semangat juang mereka belum didasari semangat nasionalisme dan hanya bersifat kedaerahan, kaum santri yang didukung oleh rakyat setempat dan segelintir kaum bangsawan begitu gigih dan berani mati. Contoh-contoh perlawanan yang bersifat sosial dan lokal, di antaranya, perlawanan rakyat Cilegon, Banten, yang dipimpin oleh Tugabus Ismail pada tahun 1818.
g. Kebudayaan Masyarakat Kebudayaan masyarakat Jawa pada periode Islam tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gelar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animismedinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur Hindu Budha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudia melahirkan tiga varian masyarakat Islam Jawa yang seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu abangan, santri dan priyayi yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka. Sementara itu karakteristik budaya Jawa pada periode tersebut adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti berikut:
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
33
Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya.
Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik.
Lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual.
Mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia.
Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah.
Bersifat konvergen dan universal.
Cenderung pada simbolisme.
Cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai.
Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto, 1990:144). (http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2281819-
kebudayaan-masyarakat-jawa/#ixzz1wdfC3LlC) h. Arsitektur
Islam telah memperkenalkan tradisi baru dalam bentuk bangunan. Surutnya
Majapahit
menentukan
yang
perubahan
diikuti
tersebut.
oleh Islam
perkembangan telah
agama
Islam
memperkenalkan
tradisi
bangunan, seperti mesjid dan makam. Islam melarang pembakaran jenazah yang merupakan tradisi dalam ajaran Hindu Budha; sebaliknya jenazah bersangkutan harus dimakamkan di dalam tanah. Maka dari itu, peninggalan berupa nisan bertuliskan Arab merupakan pembaruan seni arsitektur pada masanya.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
34
Islam pertama kali menyebar di daerah pesisir melalui asimilasi, perdagangan dan penaklukan militer. Baru pada abad ke-17, Islam menyebar di hampir seluruh Nusantara. Persebaran bertahap ini, ternyata tidak berpengaruh terhadap kesamaan bentuk arsitektur di seluruh kawasan Islam. Sebagian arsitektur Islam banyak terpengaruh dengan tradisi Hindu Budha yang juga telah bersatu padu dengan seni tradisional. Persebaran Islam tidak dilakuan secara revolusioner yang berlangsung secara tiba-tiba dan melalui pergolakan politik dan sosial yang dahsyat.
Gambar 3.8 Makam Islam Sendang Duwur
Memang, menurut Tome Pires (De Graaf & Pigeaud), terdapat penyerbuan secara militer terhadap ibukota Majapahit yang masih Hindu Budha yang dilakukan oleh sejumlah santri dari Kudus yang dipimpin oleh Sunan Kudus dan Rahmatullah Ngudung atau Undung. (Nama Kudus diambil dari kata al-Quds atau Baitul Maqdis di Yerusalem, Palestina, yang merupakan kota suci umat Islam ketiga setelah Mekah dan Madinah). Namun, secara umumnya proses islamisasi berlangsung dengan damai. Dengan jalan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
35
damai ini, Islam dapat diterima dengan tangan terbuka. Pembangunan tempattempat ibadah tidak sepenuhnya mengadospi arsitektur Timur Tengah. Ada masjid yang bangunannya merupakan perpaduan budaya Islam-Hindu Budha, misalnya Masjid Kudus—meskipun pembangunannya diragukan, apakah dibangun oleh umat Hindu atau Islam. Ini terlihat dari menara masjid yang berwujud seperti candi dan berpatung. Masjid lain yang bercorak campuran adalah Masjid Sunan Kalijaga di Kadilangu dan Masjid Agung Banten. Atap pada Masjid Sunan Kalijaga berbentuk undak-undak seperti bentuk atap pura di Bali atau candi-candi di Jawa Timur.
Tempat sentral perubahan seni arsitektur dalam Islam terjadi di pelabuhan yang meruapkan pusat pembangunan wilayah baru Islam. Sementara para petani di pedesaan dalam hal seni arsitektur masih mempertahankan tradisi Hindu Budha. Tak diketahui seberapa jauh Islam mengambil tradisi India dalam hal seni, karena beberapa keraton yang terdapat di Indonesia usianya kurang dari 200 tahun. Pengaruhnya terlihat dari unsur kota. Masjid menggantikan posisi candi sebagai titik utama kehidupan keagamaan. Letak makam selalu ditempatkan di belakang masjid sebagai penghormatan bagi leluhur kerajaan. Adapula makam yang ditempatkan di bukit atau gunung yang tinggi seperti di Imogiri, makam para raja MataramIslam, yang memperlihatkan cara pandang masyarakat Indonesia (Jawa) tentang alam kosmik zaman prasejarah. Sementara, daerah yang tertutup tembok masjid merupakan peninggalan tradisi Hindu Budha. Terdapat kesinambungan antara seni arsitektur Islam dengan tradisi sebelum Islam. Contoh arsitektur klasik yang berpengaruh terhadap arsitektur Islam adalah atap tumpang, dua jenis pintu gerbang keagamaan, gerbang berbelah dan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
36
gerbang berkusen, serta bermacam unsur hiasan seperti hiasan kaya yang terbuat dari gerabah untuk puncak atap rumah. Ragam hias sayap terpisah yang disimpan
pada
pintu
gerbang
zaman
awal
Islam
yang
mungkin
bersumber pada relief makara atau burung garuda zaman pra-Islam. Namun sayang, peninggalan bentuk arsitektur itu banyak yang dibuat dari kayu sehingga sangat sedikit yang mampu bertahan hingga kini.
Arsitektur monumental dari batu ditinggalkan pada zaman Islam. Dan apa sesungguhnya pengaruh Islam dalam tingkatan estetika. Pada masa Islam tidak ada monument yang dihancurkan atas prakarsa pihak Islam. Beberapa candi sudah menjadi puing sementara Hinduisme masih sebagai agama mayoritas (Nijhoff, 1978). Datangnya Islam tersebut juga menandakan bersamaan dengan terputusnya secara radikal tradisi-tradisi arsitektural yang telah berakar di Jawa selama delapan abad.
Yang dapat dilihat bahwa jelas terjadi perubahan radikal dalam pandagan estetik. Tidak lagi dibangun kompleks-kompleks besar yang diharapkan akan abadi melainkan hanya makam yang dibuat dari batu. Istana dan mesjid pada zaman tersebut dibuat seperti rumah biasa dari bahan yang mudah lapuk, terutama dari kayu dan itulah penyebab secara keseluruhan tidak ada yang dapat bertahan hingga kini. Meskipun begitu kita dapat melihat betapa tinggi selera penataan dan betapa besar motif yang digunakan, terutama motif geometris atau berbunga. Hendaknya dicatat bahwa di Jawa, teknik ukir kayu bertahan sampai dengan abad ke-20 di daerah-daerah Pesisir yang paling dahulu diislamkan seperti di Sidoharjo, selatan Surabaya, Demak, Jepara dan Kudus (Lombard, 2008).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
37
3.3.3 Masyarakat Jawa Modern a. Sistem Religi dan Kepercayaan Agama yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam pada periode modern ini adalah Islam, Katolik, Hindhu, Kristen, Budha. Islam sendiri berkembang di Jawa menjadi beberapa golongan, yaitu Islam Santri golongan yang menjalankan ibadah Islam sesuai dengan syariat-syariatnya. Islam Kejawen yaitu golongan yang mempercayai agama Islam, tetapi tidak patuh menjalankan syariat Islam, dan masih percaya kepada kekuatan lain. Disamping kepada agama, mayoritas masyarakat Jawa yang telah turun-temurun dari pendahulunya masih sangat
mempercayai
kekuatan
lain/gaib,
masyarakat
Jawa
mempercayai seperti:
Percaya kepada makhluk gaib/halus
Percaya kepada hari baik/naas
Percaya kepada hari kelahiran/weton
Percaya kepada benda-benda pusaka
Percaya kepada perayaan hari istimewa/sakral (selametan)
b. Sistem Kekerabatan Masyarakat Sama halnya dengan masyarakat Jawa pada periode sebelumnya, mereka masih menganut sistem bilateral atau parallel. Walaupun sistem tersebut hanya benar-benar terlihat jelas pada masyarakat Jawa yang masih memiliki budaya dan pola hidup yang masih kental turun-temurun dari leluhurnya. Untuk masyarakat Jawa yang telah bertinggal di daerah perkotaan cenderung dekat dengan keluarga inti dan lebih individualis dikarenakan lebih terfokus pada pekerjaan. Sedangkan yang tinggal di pedesaan masih memiliki sistem kekerabatan yang lebih erat untuk jangkauan masyarakat yang lebih luas.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
38
c. Sistem Politik dan Kemasyarakatan Pada periode modern sistem politik dan kemasyarakatan telah jauh berbeda dibandingkan dengan periode sebelumnya. Saat ini masyarakat Jawa sudah tidak lagi mengenal sistem stratifikasi sosial yang cenderung membeda-bedakan golongan walaupun sistem tersebut masih dapat terlihat ditempat-tempat seperti Yogyakarta dan Surakarta yang masih mempunyai keluarga Bangsawan yang berasal dari Keraton dianggap orang yang memiliki sistem sosial yang lebih tinggi dari pada masyarakatat Jawa pada umumnya.
d. Ekonomi Jawa telah menjadi tempat yang berkembang semenjak era HindiaBelanda hingga saat ini. Jaringan transportasi jalan yang telah ada semenjak jaman kuno disempurnakan dengan dibangunnya Jalan Raya Pos Jawa oleh Daendels di awal abad ke-19. Kebutuhan transportasi produkproduk dari perkebunan di pedalaman menuju pelabuhan di pantai, telah memacu perkembangan jaringan kereta api di Jawa. Saat ini industri, bisnis dan perdagangan, juga jasa berkembang di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, sementara kota-kota kesultanan seperti Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon tetap menjaga warisan budaya keraton dan budaya Jawa menjadi pusat seni, budaya dan pariwisata. Kawasan industri berkembang di kota-kota sepanjang pantai utara Jawa, terutama sekitar Cilegon, Tangerang, Bekasi, Karawang, Gresik dan Sidoarjo. Untuk alat tukar saat ini masyarakat Jawa telah menggunakan uang sebagai alat tukar dan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
39
e. Kesenian - Seni Rupa dan Kaligrafi Pada seni rupa dan kaligrafi saat ini masyarakat Jawa telah melaksanakan apa yang telah diwariskan secara turun-temurun sebagai orang Jawa. Yaitu kesenian seperti Batik dan Wayang yang terus berkembang dan menjadi ciri khas dari kesenian Jawa.
Kesustraan Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh dari penjajah Belanda atau sekitar abad ke-19. Para cendekiawan asal Belanda member saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah yang mirip dengan orang Barat dan tidak terlalu berdasarkan yang sebelumnya seperti cerita wayang, mitologi, dan sebagainya. Karya sastra modern yang muncul pada akhirnya adalah seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Untuk gaya bahasanya sendiri pada masa ini masyarakat Jawa pada bidang sastra masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya adalah semakin banyaknya digunakan kata-kata Melayu dan juga kata-kata Belanda. Pada masa ini juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa. (Taco Roorda, 1839)
Seni Tari dan Musik Seni Tari di masyarakat Jawa cukup banyak pada periode modern ini. Seperti yang kita ketahui dan kita kenal masyarakat Jawa memiliki tarian Jawa Wayang Orang yang menari dan beraksi berdasarkan cerita-cerita di Ramayana dan Mahabarata. Terdapat juga tarian Topeng yang cukup terkenal yang mengambil kisah dari cerita Panji pada masa Kerajaan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
40
Kediri abad ke-12. Yang cukup terkenal juga di masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah adalah Tari Keraton yang berada di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta yang biasanya diiringi musik gamelan Jawa. Tarian lain yang juga ada pada masyarakat Jawa modern adalah tarian Tradisional kreasi baru/sendiri dan tarian Kontemporer seperti ballet dan tarian modern barat. Untuk seni musik sendiri, Jawa dan masyarakatnya terkenal dengan banyak alat musik. Seperti yang kita telah ketahui ada Gamelan, Kendang, Kecapi, Arumba, Talempong, Sampek, Kolintang, Sasando, Rebab, Suling dll yang sampai saat ini masih berkembang dan masih banyak yang menggunakannya. Pada kota-kota besar masyarakat Jawa telah mengenal berbagai macam alat music dan genre musik untuk dimainkan dan di dengarkan.
Seni Busana Masyarakat Jawa yang berada/tinggal di kota-kota besar telah mengenal yang dinamakan fashion. Pada akhirnya seni busana dari masyarakat Jawa yang tinggal di perkotaan telah mengikuti seni busana dari luar untuk tampil lebih modern. Sementara itu seni busana asli Jawa seperti Blangkon, Batik, dan Keris atau nama lengkapnya pakaian Beskap masih dipertahankan terutama di kota-kota kesultanan seperti Yogyakarta, Surakarta dan juga kota-kota kecil di sekitarnya. Untuk di kota-kota besar seni busana Jawa dipertahankan untuk acara tertentu seperti upacara pernikahan.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
41
f. Pendidikan Pendidikan yang ada di periode modern ini seperti yang kita ketahui masyarakat Jawa telah mengenal pendidikan Sekolah. Pendidikan Sekolah dimulai semenjak Taman Kank-Anak kemudian berlanjut ke Sekolah Dasar, kemudian ke tingkat Sekolah Menengah Pertama dan ke tingkat tahap akhir sekolah yaitu Sekolah Menengah Umum ataupun Sekolah Menengah Kejuruan yang fokus pada keahlian tertentu. Setelah menyelesaikan tingkatan sekolah tersebut masyarakat dapat naik ke jenjang yang lebih tinggi yaitu jenjang Universitas/Perkuliahan yaitu tahap terakhir sebelum kemudian dapat lanjut ke dunia kerja. Kualitas pendidikan di Jawa cukup baik, dikarenakan Jawa yang padat dengan penduduk dan terdapat banyak kota-kota besar yang berkembang oleh karena itu pendidikan dapat terakomodasi dengan baik. Pada akhirnya pendidikan di Jawa menjadi salah satu pilihan utama untuk orang-orang yang berasal dari luar Jawa. g. Arsitektur Arsitektur Jawa modern telah berubah dengan pengaruh dari Barat. Bangunan-bangunan mayoritas memiliki unsur dan pengaruh dari Barat. Untuk arsitektur Jawa tradisionalnya sendiri hampir ditinggalkan pada kotakota yang berkembang dan pada kota-kota kecil dan pedesaanpun jarang kita temui lagi arsitektur Jawa yang tradisional dan memiliki kondisi yang baik. Arsitektur tradisional Jawa yang ditinggalkan dari periode Hindu telah hilang dan yang dapat kita temui hanyalah arsitektur pada Candi-candi disekitar Jawa. Arsitektur tradisional Jawa dari periode Islam yang berfungsi sebagai tempat untuk digunakan masyarakat dapat kita lihat dalam bangunan Masjid yang masih dirawat dan digunakan dengan baik seperti contoh; Masjid Demak dan Masjid Kudus.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
42
Untuk unsur-unsur estetika dan ornamen-ornamen berciri tradisional Jawa hanya dapat kita temui banyak di kota-kota kesultanan seperti Yogyakarta, Surakarta dan Cirebon, itupun dapat banyak kita temui pada bangunan Keraton yang merupakan warisan berharga dari periode-periode sebelumnya.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
BAB IV STUDI KASUS
4.1 Perubahan Rumah Jawa Panggung ke Menapak 4.1.1 Rumah Jawa Panggung 4.1.1.1 Massa dan Bentuk Jika kita lihat bentuk Rumah Jawa dari awal abad ke-8 sampai dengan abad modern yaitu abad ke-20 dan seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa pada setiap periode terlihat perbedaan dari rumah Jawa. Perubahan yang dibahas adalah perubahan dari bentuk yang kemudian juga berpengaruh kepada orientasi ruang. Pada abad ke-8 sampai dengan abad ke-14 yaitu pada zaman Hindu Budha kita dapat melihat bahwa rumah Jawa yang berada pada periode tersebut masih terlihat banyak dalam bentuk panggung. Bentuk rumah panggung sederhana ini dapat kita klasifikasikan bahwa rumah ini berjenis rumah Jawa panggangpe yaitu rumah Jawa dengan bentuk yang paling sederhana dan telah mulai dibangun pada awal periode Hindu Budha tersebut. Rumah ini secara keseluruhan terdiri dari 4 atau 6 buah tiang atau saka sebangan yang berfungsi sebagai penopang rumah untuk menopang atap dan memasang dinding. Rumah ini juga ada yang terdiri memiliki dinding yang berupa kayu ataupun anyaman bambu dan jerami yang berfungsi sebagai penahan hawa lingkungan sekitar dan pembatas untuk memberikan privasi bagi yang tinggal di dalam rumah tersebut. Terdapat juga yang tidak memiliki dinding tetapi bentuk ini kebanyakan digunakan sebagai rumah gubuk yang berada di sawah ataupun rumah terbuka sebagai tempat berkumpul dan bersantai masyarakat sekitar. Rumah Jawa Periode Hindu Budha yang lebih tepatnya abad ke-9 Masehi yang telah ditemukan menjelaskan bahwa rumah tersebut ditemukan oleh tim arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta pada daerah Dusun Liyangan, Desa
43 Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
44
Purbasari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Temuan yang merupakan tiga buah rumah panggung yang terbentuk dari kayu tersebut diperkirakan berasalah dari sebuah dusun pada zaman Mataram Kuno. Temuan tersebut berada pada lokasi penambangan pasir seluas dua hektar. Para arkeolog yang terdiri Baskoro Daru Tjahjono, Sugeng Riyanto, Heri Priswanto, dibantu pendata Mujiono dan Didik Santosa yang melakukan penelitian pada 14-20 April 2010 di Situs Liyangan tersebut. Baskoro Daru Tjahjono (2010) menyatakan “Kami menemukan dua bangunan rumah dari kayu yang masih lumayan utuh. Satu rumah berdiri di atas talud, satu rumah lagi baru terlihat atapnya. Kami menduga sebenarnya ada bangunan lain yang secara tidak sengaja sudah dirusak oleh penambang pasir. Rumah itu adalah rumah kayu bagian dari pedusunan kuno zaman Mataram Kuno. Kondisi dari rumah tersebut sudah menjadi arang. Diduga kampung tersebut pada masa lalu tersapu awan panas akibat letusan Gunung Sindhoro pada abad ke-9 Masehi,” Penemuan tersebut merupakan penemuan yang spektakuler karena baru pertama kali ditemukan di Indonesia. Selama ini, arkeolog belum pernah menemukan rumah kayu masa silam. Karena bangunan kayu pasti sudah lapuk dimakan usia. Bentuk dari rumah tersebut adalah rumah panggung, berdinding anyaman bambu, beratap ijuk, dan beralas kayu. Ketebalan alas kayu sekitar 8 sentimeter. Dalam kajian lain menjelaskan bahwa Arsitektur bangunan rumah tinggal yang berkembang pada jaman Hindu Budha dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: 1. Rumah
Jawa
Kuno,
mempunyai
ciri-ciri:
Konstruksi
bangunan dari kayu yang merupakan tiang berdiri di atas tanah, mempunyai kolong atau rumah panggung dan tanpa pemisah ruang. 2. Rumah Majapahit lama, mempunyai ciri-ciri: Konstruksi bangunan terdiri dari kayu yang berdiri di atas batur dan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
45
masih belum ada pembatas yang permanen. Penutup atapnya sudah dari genteng. Bangunan semacam ini berfungsi sebagai pendopo/bale maupun sebagai tempat tinggal. 3. Rumah akhir Majapahit, mempunyai ciri-ciri: sama dengan rumah Majapahit Lama namun telah mempunyai pembatas yang permanen..
Jika kita klasifikasikan rumah Jawa Panggung dalam bentuk dan ciri-ciri
maka
berdasarkan
data
dan
informasi
didapatkan menjelaskan bahwa rumah Jawa Panggung
yang memiliki
tipologi bentuk yang seperti demikian:
Atap: Berbentuk panggangpe, limasan, tajug atau kampung. Berbentuk Gunung Meru sesuai dengan teori dan pemikiran masyarakat pada saat itu. Penggunaan
material
pada
atap
menggunakan
genteng terakota ataupun bahan sederhana yaitu anyaman bambu dan sejenisnya.
Konstruksi:
Karena
bentukannya
adalah
rumah
panggung maka struktur pembangunnya terdiri atas tiang-tiang
besar
pada
setiap
sisinya
untuk
menopang atap dan menopang penutup ruangan (dinding). Penggunaan material dari struktur ini adalah dengan material kayu dan penutup (dinding) menggunakan anyaman bambu.
Ruang: ruang yang berada pada rumah masih hanya berupa ruang dasar dan tidak memiliki pola dan fungsi secara menyeluruh. Ruang hanya terdiri dari satu ruang yang seluruh kegiatan dilaksanakan didalamnya secara bersamaan.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
46
Secara keseluruhan sendiri bahwa dapat disimpulkan rumah Panggung memiliki bentuk jenis yang bermacam-macam walaupun pada dasarnya rumah Jawa panggung ini diklasifikasikan berbentuk panggangpe sederhana tanpa pemisah ruang. Sebuah
bangunan
yang
cukup
kokoh,
yang
termasuk
paling tua, dengan
ditemukannya relief pada dinding-dinding candi maupun tempat pemujaan yang lain. Semua bentuk rumah panggangpe mudah dibuat. Biasanya ringan dan kalau rusak tidak memerlukan resiko yang besar. Itulah sebabnya kenapa rumah semacam ini tetap dipertahankan masyarakat Jawa. Melihat dari fakta yang berada di relief-relief candi maupun penemuanpenemuan
dijelaskan
bahwa
rumah
panggung
bermacam
jenisnya.
Dapat
diklasifikasikan melalui jenis bahwa rumah panggung ini dimiliki oleh masyarakat yang berstatus/berkasta sosial pada saat itu menengah ke bawah. Untuk kalangan atas yang dapat kita simpulkan sebagai bangsawan dan sebagainya memiliki tempat bertinggal yang merupakan istana dengan bentukan yang lebih besar dan lebih fungsional dan mencakup sebuah area tersendiri yang luas.
Gambar.4.1 Bentukan Rumah Pada Relief-Relief Candi di Jawa.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
47
4.1.1.2 Alasan Bentukan Panggung Dari penelusuran yang ada, dapat diketahui bahwa jenis rumah Jawa pada masa Hindu dan Budha adalah rumah kolong atau rumah panggung tersebut. Menurut Mangunwijaya (2010) ada kekhususan bersama yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang tersebar luas, yakni perihal teknik pembangunan rumah atau bangunanbangunan lain. Sistem dasarnya adalah sistem rumah panggung atau rumah kolong. Rumah panggung atau rumah kolong merupakan penyelesaian yang berkualitas tinggi. Pertama, rumah panggung sehat, tidak langsung terkena kelembaban dan serangan binatang-binatang yang menggangu bahkan membahayakan. Kedua, fisika bangunan bangunan, hal itu sangat melindungi bangunan terhadap kelembaban tropis yang amat ganas dan mudah membusukan bangunan yang terbuat dari kayu. Selain itu, rumah bersistem kolong atau panggung kebal terhadap gempa bumi. Rumah panggung ini dapat dilihat dalam relief di candi-candi Hindu maupun
Budha,
yang artinya bahwa rumah panggung ini sudah berkembang sejak masa Hindu Budha di Jawa. 4.1.1.3 Ruang dan Penggunaan Rumah panggung memiliki bentukan ruang yang sederhana. Pada bentukan dasar yaitu panggangpe ruang tidak memiliki batas atau dapat disebut terbuka dan tanpa pemisah. Rumah panggung jenis ini hanya memiliki satu ruang yang seluruh kegiatannya dilakukan didalam ruang tersebut. Rumah panggangpe ini sebenarnya kemudian dijadikan sebuah rumah yang ruangnya digunakan untuk menjemur barangbarang seperti daun teh, pati, ketela pohon dan lainnya. Bentukan ruang seperti ini masih terus terlihat pada zaman Hindu Budha diseluruh rumah tinggal masyarakat. Masyarakat yang belum memikirkan fungsi sebenarnya dari ruang tersebut hanya beranggapan bahwa ruang tersebut hanya sebatas sebuah tempat yang digunakan untuk kebutuhan yang penting yaitu beristirahat dan melakukan kegiatan masak ataupun kegiatan sederhana lainnya. Yang dapat kita lihat dari perbedaan ruang tersebut hanyalah dari besarannya. Untuk masyarakat Jawa kasta bawah sampai
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
48
dengan menengah cenderung mempunyai rumah dengan besaran ruang yang mencukupi atau kecil sedangkan untuk kasta menengah ke atas memiliki rumah dengan ruang yang lebih besar dan lebih fungsional. Berdasarkan teori dan pemikiran orang Hindu Budha Jawa, ruang rumah yang mereka tinggali ini walaupun hanya memiliki satu buah ruang dengan segala fungsi tetapi ruang yang menjulang keatas yaitu ruang dibawah atap yang membentuk sebuah rongga kearah atas yang lebih tinggi mencerminkan pemikiran dari Gunung Meru tersebut dan penerapannya kepada rumah tinggal. Pemikiran mengenai sentralisasi/tengah yang berartikan kosmos juga dapat terlihat dengan posisi atap yang berbentuk Gunung Meru yang menjulang keatas berada pada titik tengah dari rumah. Hal itu menjelaskan bahwa orang Jawa tetap akan berlandaskan pada kepercayaan dan pemikirannya walaupun sesederhana apapun dunia nyata dan fisik yang mereka tinggali dan jalani. 4.1.2 Rumah Jawa Menapak 4.1.2.1 Massa dan Bentuk Setelah melihat penjelasan bukti dan fakta-fakta mengenai rumah kolong atau rumah panggung dari jaman Hindu Budha, kemudian akan dilihat keberadaan dari rumah Jawa pada jaman Kerajaan Mataram Islam atau lebih tepatnya jaman kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam perkembangannya, artefak rumah Jawa pada masa Islam yang ada di Yogyakarta sebagai contoh sudah mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Indis. Misalnya penggunaan marmer pada lantai, dinding menggunakan tembok dan lain-lain. Dari segi elemen estetika pada rumah Jawa jaman kerajaan Yogyakarta sudah mengenal ragam hias yang dibuat dengan makna-makna dan simbol-simbol tertentu. Setiap ragam hias mempunyai tempat tersendiri pada bagian elemen arsitekturalnya. Selain Keraton, di Yogyakarta ternyata masih banyak terdapat artefak rumah pangeran yang masih berdiri dan berkondisi baik meskipun saat ini sudah banyak yang beralih fungsi atau dijual dengan pihak luar dengan pertimbangan biaya perawatan yang sangat tinggi (alasan ekonomis).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
49
Pada periode Islam, rumah Jawa panggung telah beralih ke bentuk rumah Jawa menapak. Hampir jarang lagi ditemui rumah Jawa dengan sistem rumah kolong atau panggung pada daerah kota-kota yang berkembang maupun di kota-kota kecil dan pedesaan. Contoh dari rumah Jawa menapak dapat dilihat pada gambar-gambar berikut:
Gambar 4.2 Bangunan Rumah Rakyat Biasa Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Gambar 4.3 Rumah Rakyat di Yogyakarta Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
50
Gambar 4.4 Rumah Rakyat Jawa Bentuk Limasan Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Jika dapat kita klasifikasikan rumah Jawa Menapak pada periode Islam sebagai titik perubahannya dapat diambil bentukannya berdasarkan ciri-ciri tersebut:
Atap: dengan bertambahnya jenis-jenis dari rumah Jawa dengan itu juga bertambahnya bentukan-bentukan atap. Seperti bentukan Joglo, Limasan, Panggangpe, Tajug dan Kampung yang memiliki bentuk atapnya tersendiri.
Konstruksi: tersebut
dengan maka
jenis-jenisnya konstruksinya
yang juga
berbeda berbeda.
Keterangannya untuk masing-masing jenis rumah Jawa telah disebutkan diawal.
Ruang:
pemikiran
berkembang
masyarakat
membuat
rumah
Islam
yang
lebih
Jawa
juga
ikut
berkembang dari segi ruang. Kali ini ruang terbagi-bagi dan memiliki fungsinya masing-masing. Seperti yang telah dijelaskan mengenai bentukan ruang seperti
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
51
pringgitan, pendhopo, senthong dll telah terlihat di rumah Jawa menapak periode Islam. Walaupun memiliki bentuk dan jeni-jenis yang berbeda yang dapat kita lihat persamaannya adalah dari segi bentuk atap yang hanya berubah dan bertambah sedikit tetapi memiliki filosofi yang sama sebagai masyarakat Jawa yaitu bentukan atap yang berbentuk Gunung Meru yang berarti ide dan pemikiran Jawa masih tertanam erat walaupun perkembangan berlangsung. Akibat dari perkembangan dan juga masuknya Islam, rumah Jawa kemudian memiliki filosofi dan maknya dari setiap ruang-ruangnya yang memiliki berbeda fungsinya tersebut. 4.1.2.2 Alasan Bentuk Menapak Bentuk menapak ini sebenarnya sudah ada sejak zaman rumah Panggung masih digunakan. Bentukan menapak berbarengan dengan bentukan panggung, tetapi apa yang kemudian membuat bentukan menapak lebih dipilih dan digunakan hingga saat ini adalah melihat dari perkembangan zaman dan semakin berkembangnya teknologi
dan
juga
pemikiran
manusia.
Bentukan
menapak
lebih
sedikit
membutuhkan struktur konstruksi dari penggunaan kayu dan lebih kokoh karena langsung menapak dengan tanah dan dapat menahan beban seberat apapun didalamnya. Pada periode Islam kita melihat bahwa penggunaan material dari kayu diutamakan sebagai struktur pembangun arsitekturnya. Dengan kota-kota dan desa yang sedang berkembang maka berkurangnya lahan juga bertambah dan kota-kota juga desa semakin padat dengan rumah dan bangunan lainnya. Oleh karena itu material kayu sangat dibutuhkan untuk setiap pembangunan dan perlu dilakukannya penyaringan secara efisien dari penggunaan kayu untuk satu individu demi kepentingan yang lain. 4.1.2.3 Ruang dan Penggunaan Rumah Jawa Menapak memiliki fungsi dan penggunaan yang sama dengan rumah Jawa panggung. Rumah dengan bentukan berbeda tersebut sama-sama
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
52
dijadikan tempat untuk tinggal dari masyarakat Jawa pada mayoritasnya, sedangkan untuk fungsi lain beberapa digunakan untuk kegunaan dan kebutuhan lainnya. Pada masa perubahan yaitu periode Islam kita melihat bahwa terdapat jenis-jenis rumah Jawa yang dilihat dari bentukan atap dan konstruksinya. Kali ini pemikiran Islam menyempurnakan bahwa jenis-jenis rumah Jawa tersebut memiliki fungsinya sendirisendiri seperti rumah Jawa Tajug yang kemudian difungsikan sebagai tempat yang suci atau tempat ibadah bagi umat Islam. Contohnya dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.5 Masjid Kauman Dalam Bentukan Tajug http://3.bp.blogspot.com/_l4Qp0JIZocU/SQ7QRFx6yXI/masjid_kauman_1.jp
4.2 Bentuk-Bentuk Perubahan Bentuk-bentuk perubahan yang dapat kita lihat berdasarkan data-data dan informasi yang telah dijabarkan adalah bahwa rumah Jawa Panggung merupakan bentukan rumah yang memiliki konstruksi yang sederhana dengan menggunakan material kayu. Sedangkan rumah menapak telah mempunyai banyak variasi bentuk,
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
53
jenis, konstruksi dan material pembangun. Kita akan melihat perubahan yang terjadi dari panggung ke menapak dengan klasifikasi seperti berikut:
Atap: Perubahan pada atap tidak terjadi terlalu banyak melainkan hanya jenis dan penggunaan materialnya saja yang kemudian bertambah dan berubah.
Konstruksi: Penggunaan material kayu dan konstruksi yang cukup rumit dikarenakan berjenis
panggung
yang
kemudian
berubah
menjadi
penggunaan bahan dasar konstruksi kayu tetapi banyak penambahan lain-lainnya seperti unsur estetika pembangun.
Ruang: Perubahan yang cukup signifikan terlihat pada ruang. Pada periode Hindu Budha rumah Jawa panggung mayoritas terdiri dari atas satu ruang yang memiliki fungsi untuk segala kegiatan dari si pemilik rumah. Berubah pada periode Islam dengan bentukan menapak, rumah Jawa
terlihat
memiliki
ruang-ruang
yang
dibagi-bagi
menurut
fungsinya masing masing. Dengan itu kemudian muncul ide dan pemikiran mengenai makna dan filosofi dari setiap ruang-ruang tersebut.
Estetika Pada Rumah Jawa Panggung periode Hindu Budha unsur estetika kurang terlihat disini, mereka menganggap rumah hanya sebuah tempat untuk beristirahat dan bernaung dan blom berpikir untuk tahapan yang lebih lanjut. Berubah pada periode Islam dengan bentukan menapak yang kemudian masukan dari Islam dan bangsa luar seperti Cina mempengaruhi dalam unsur estetika. Unsur estetika tersebut dapat terlihat dari penambahan ornament-ornamen penghias pada rumah seperti pada gambar berikut:
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
54
Gambar 4.6 Ornamen Kuda-Kuda pada Rumah Jawa Yogyakarta Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
\
Gambar 4.7 Ornamen Pada Langit-Langit Rumah Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Gambar 4.8 Ornamen Pada Kolom Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
55
Gambar 4.9 Ornamen Lisplank Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Perubahan dari Rumah Jawa Panggung ke Menapak juga diilustrasikan pada gambar berikut menurut seorang ahli:
Gambar 4.10. Perubahan Rumah Jawa Panggung ke Menapak
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
56
Jika dilihat dari ilustrasi diatas, jelas menjelaskan bahwa rumah Jawa berubah dari bentuk panggung ke menapak dan terlihat jelas bagaimana bentuk atap berubah dari mulai panggangpe, limasan, tajug, kampung dan joglo.
Gambar 4.11. Perkembangan Arsitektur Tradisional Jawa Hamah, S. Arsitektur Tradisional Jawa Dalam Perkembangan Sosial Budaya Modern. http://www.sribd.com/doc/51450427
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
57
4.3 Faktor Pendukung Perubahan Bentuk Panggung ke Menapak Perubahan massa bentuk dan ruang yang terjadi pada rumah Jawa dari periode Hindu-Budha kemudian periode Islam dan kedalam periode modern dapat kita lihat dan jelaskan dari beberapa faktor. Pengaruh besar dari perubahan jaman tersebut mempengaruhi pemikiran masyarakat Jawa yang kemudian mempengaruhi bentuk rumah dan juga arsitektur yang ada pada jamannya masing-masing. Sejumlah ahli yakin bahwa bentuk rumah tradisional Jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan seperti perubahan yang dialami dari bentukan panggung ke menapak ini dan juga seluruh perubahan fisiknya. Hal itu disebabkan kebutuhan termasuk “kunci” dalam hidup ini yang semakin berkembang sehingga membutuhkan tempat yang luas pula. Kemudian secara wajar berkembang juga kebudayaan (Ismunandar, 1987). Dapat kita jelaskan lebih lanjut mengenai faktor pendukung perubahan seperti berikut:
Alam dan Lingkungan Pada periode Hindu Budha alam dan lingkungan masih cenderung luas dan
terbuka, belum banyak bangunan-bangunan yang dibangun
sehingga kondisi dan jumlah hutan dapat disebutkan masih banyak. Bentuk panggung dibangun pada saat itu karena kondisi alam dan lingkungan yang masih liar dan ganas. Banyak terjadi bencana seperti banjir dll juga masih banyaknya terdapat hewan buas yang berkeliaran di alam. Pada periode Islam pertambahan dan perkembangan penduduk semakin pesat sehingga lahan-lahan dan hutan habis digarap untuk memenuhi kebutuh manusia akan infrastruktur fisik. Posisi dari bangunan-bangunan mulai banyak dan berhimpitan dan bencanabencana pun dapat ditangani dengan sistem-sistem dan teknik yang baru. Populasi hewan liar juga mulai merosot dan pindah ke hutan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
58
yang lebih dalam sehingga rumah jenis panggung tidak lagi terlalu dibutuhkan
Material Rumah Jenis panggung membutuhkan banyak material konstruksi berupa kayu agar dapat berdiri kokoh dan dapat menahan bebannya. Dengan berkurangnya lahan dan juga pohon dan bertambahnya populasi penduduk yang semakin membutuhkan rumah tinggal membuat penggunaan material kayu harus semakin di efisienkan. Karena rumah jenis panggung membutuhkan banyak kayu maka dari itu ini juga menjadi salah satu faktor perubahan menjadi landed yang membutuhkan lebih sedikit kayu dan dapat menggunakan bahan lain sebagai pembangun rumah.
Pemikiran/Ideologi Masyarakat Hindu Budha memiliki
teori dan kepercayaan akan raja
sebagai poros dunia dan gunung sebagai tempat dari para dewa/dewi berada. Mereka berpikir bahwa pada periode tersebut yang masih hidup di dalam kuasa kasta memberikan manusia stratifikasi sosial yang berbeda. Dengan pemikiran seperti ini kemudian lanjut kepada faktor rumah. Mereka berpikir bahwa raja dan bangsawan berada pada kasta tertinggi dan berhak menentukan dan membawa kehidupan mereka ke tingkat yang lebih baik. Masyarakat berpikir bahwa dengan pembedaan bentuk rumah yang menyangkut hal kasta dan ekonomi dengan membuat bentukan panggung sederhana merupakan standar yang sesuai. Pada periode Islam berpikir bahwa manusia mempunyai hak yang sama dan tidak dibedabedakan, seluruh rumah panggung berubah menjadi bentuk menapak dan mereka semua tinggal di dalam lingkungan yang sama tanpa adanya batasan-batasan wilayah.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
59
Kepercayaan Masyarakat Jawa Hindu Budha percaya mengenai hal-hal yang bersifat gaib/takhayul/mistis. Kepercayaan tersebut sebenarnya ada pengaruhnya kedalam rumah. Diperlihatkan bahwa pada periode Hindu Budha bentuk rumah sederhana dengan ruang sederhana dan berubah kepada bentuk rumah yang lebih kompleks dan juga ruang yang lebih banyak dan fungsional. Kepercayaan tersebut dibawa pada periode Islam seperti pada penempatan ruangan baru yaitu ruang senthong tengah yang berfungsi sebagai tempat untuk menyembah dan bersyukur kepada Dewi Sri.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
BAB V KESIMPULAN
Pengaruh religi yang juga datang di Indonesia dan masuk ke Jawa pada periode yang berbeda-beda telah membuat banyak perubahan. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena adanya ajaran dan paradigma baru mengenai religi dan kepercayaan yang kemudian menjadi landasan bagi mayoritas masyarakat Jawa. Perubahan paradigma tersebut yang kemudian mengacu kepada pola berpikir dan kebiasaan masyarakat Jawa kemudian membawa pengaruh yang cukup besar kedalam arsitektur terutama tempat tinggalnya masyarakat itu sendiri yaitu rumah Jawa. Rumah Jawa yang tidak hanya merupakan sebuah bentukan fisik dari sebuah tempat untuk manusia bernaung tetapi rumah Jawa mempunyai sebuah filosofi mendalam mengenai apa itu rumah bagi masyarakat Jawa. Rumah Jawa disini mencerminkan dan memberikan sebuah gambaran ide tentang masyarakat Jawa secara keseluruhan tetapi juga secara individu. Perubahan dari rumah Jawa itu sendiri terjadi dari beberapa banyak faktor yang lebih detil. Seperti yang telah dijelaskan masyarakat Jawa pada periode Hindu Budha memiliki rumah Jawa berbentuk panggung dengan bentukan jenis rumah Jawa yang sederhana dan mempunyai pola ruang yang sederhana. Kondisi lingkungan pada saat itu yang masih rawan bencana seperti banjir, erosi dan juga serangan hewan buas merupakan salah satu faktor yang menentukan terbangunnya rumah Jawa berjenis panggung. Transisi masyarakat Jawa pada periode Islam dengan paradigma dan kepercayaan yang baru mengubah jalan berpikir dan juga pengetahuan dari masyarakat yang kemudian diaplikasikan kepada rumah Jawa. Rumah yang berbentuk panggung telah ditinggalkan ke bentuk menapak dikarenakan beberapa faktor seperti bahan material bangunan yang sudah sulit, ideologi kepercayaan yang baru, pengetahuan yang baru dengan pengaruhnya ke perluasan dan penambahan estetika fisik rumah. Pada transisi periode Islam ke periode modern justru rumah
60 Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
61
Jawa banyak ditinggalkan. Pengaruh datangnya bangsa asing seperti Belanda, Spanyol dan Portugis membawa filosofi baru bagi masyarakat Jawa, pengaruh jajahan dan pengaruh budaya Barat yang kuat membuat rumah Jawa banyak ditinggalkan menjadi rumah-rumah yang memiliki pengaruh Indis. Hanya dibeberapa tempat dapat kita temui rumah Jawa yang tidak terpengaruh budaya luar dan filosofi baru. Dari yang kita ketahui perubahan terjadi akibat banyaknya faktor-faktor besar yang didukung juga oleh faktor-faktor kecil yang membuat rumah Jawa berubah bentukannya dimulai dari panggung ke menapak dan kemudian berpengaruh kepada perubahan penggunaan material, perubahan bentuk atap, bentuk konstruksi, bentuk pola ruang merupakan sebuah bentukan yang mengikut filosofi, paradigma dan jalan berpikir dari masyarakat Jawa. Rumah merupakan satu kesatuan dengan masyarakat sehingga apa yang terjadi dengan masyarakat juga akan terjadi kepada rumah. Walaupun bentuk berubah tetapi rumah tersebut tetap membawa filosofi kuat Jawa yang telah turun-temurun dan tidak akan pernah lepas dari masa ke masa. Walaupun rumah masyarakat Jawa berubah secara fisik dan beberapa pemikiran non-fisik mengikuti perkembangan zaman yang ada, tetapi ada baiknya jika unsur filosofi dan pemikiran masyarakat Jawa yang telah ada turun temurun untuk terus dibawa dan dipertahankan kedalam rumah. Dengan mempertahankan tersebut berarti membudidayakan warisan nenek moyang dan memperlihatkan ciri khas dari orang Jawa yang tidak bias lepas dari kehidupannya. Penelitian mengenai Rumah Jawa: Evolusi Dari Panggung ke Menapak ini tidak luput dari kekurangan dan kesalahan dan masih jauh dari sempurna. Dalam perjalanan menulis, banyak hal baru yang berhubungan tetapi harus dikaji lebih lanjut dalam penjelasannya sendiri. Untuk penelitian yang dibahas disini hanya sebatas demikian dan ada kiranya perlu dikaji lagi lebih dalam dan dapat dilanjutkan ke tahapan yang selanjutnya.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Aditya. (2012, Februari 28). Wawancara Personal. Argan,G.C. (1965). Typology of Architecture: Introduction (pp.240 1965). Arjaya, I Made.W. (1999, Januari). Pengaruh Pariwisata Terhadap Pola Ruang Bale Banjar, Depok. Bahn, Paul. (1996). Archaeology: A Very Short Introduction. Oxford: Oxford University Press Budiyanto. (2011). Pengaruh Islam dalam Praktek Keagamaan dan Budaya. November 2, 2011. http://budisma.web.id/materi/sma/sejarah-kelas-xi/pengaruh-islam-budayakeagamaan/ Cornelis,V.D.E. (1980) Space in Architecture, The Evaluation of a new idea in the Theory and
History of Modern Movement. Amsterdam: Van Groclun.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat. Jakarta: CV. Pialamas Permai. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1999). Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: CV.Palamas Permai. Djafar, Hasan. (2009). Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Geertz, Clifford. (1976). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press. Hole, Frank & Heizer, Robert. (1990). Arkeologi Prasejarah: Satu Pengenalan Ringkas. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
62
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
Universitas Indonesia
63
Ismunandar, K. (1987). Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Semarang: Dahara Prize. Johnson.P.A. The Theory of Architecture : Concepts, Themes & Practices (pp.383). Kamus Etimologi Bahasa Indonesia Khairuddin. (2008). Pendidikan di Masa Kerajaan Hindu Budha. Juli 20, 2008. http://khairuddinhsb.wordpress.com/2008/07/20/pendidikan-di-masakerajaan-hindu-budha/ Language Institue of America.Inc. (1977). The Lexicon Webster Dictionary, The English. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Batas-Batas Pembaratan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lombard, Denys. (2008). Nusa Jawa: Silang Budaya Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Martino, D.N. (2010). Jejak-Jejak Rumah Jawa Dalam Tradisi Indonesia Lama. Muljana, Slamet. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya NegaraNegara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. Munandar, Agus Aris. (2008) Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu.
Munitz, M.K. (1981). Space, Time and Creation : Phylosophical Aspect of Scientific Cosmology (pp.105-107). Dover, New York. Periplus Editions (HK) Ltd. (2003). Introduction to Balinese Architecture. Singapore: Periplus.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
64
Prijotomo, Josef. (1984). Ideas and Forms of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Prijotomo, Josef. (1995). Petungan: Sistem Ukuran Dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Prijotomo, J., Widyarta, Nanda.M, Hidayat, A. & Adiyanto, Johanes. (2009). Ruang di Arsitektur Jawa: Sebuah Wacana. Surabaya: Wastu Lanas Grafika. Riana, I Ketut. (2009). Nagara Krtagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Rossi, Aldo. (2002). The Architecture of the City. Massachusetts: The MIT Press. Sagrim,
H.
(2010).
Perkembangan
Rumah
Jawa.
Maret
23,
2011.
http://www.scribd.com/doc/51450427/PERKEMBANGAN-RUMAH-JAWAHAMAH-SAGRIM-SAFCOM. Santoso, Jo. (2008). Arsitektur-kota Jawa Kosmos, Kultur & Kuasa. Jakarta: Centropolis – Magister Teknik Perencanaan Universitas Tarumanagara. Sharer, Robert.J & Ashmore, Wendy. (1980). Fundamentals of Archaeology. Califorinia: The Benjamin/Cummings Publishing Company. Tirto, S & Darmawan, W. (). Proses dan Penyebaran Hindhu-Budha di Indonesia, Sejarah Kelas XI. Wiryomartono. Bagoes P. (1995). Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Bentuk dan Jenis-Jenis Rumah Jawa Bentuk rumah tradisional Jawa dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan bentuk. Secara garis besar tempat tinggal orang Jawa dapat dibedakan menjadi: 1.
Rumah Bentuk Joglo
2.
Rumah Bentuk Limasan
3.
Rumah Bentuk Kampung
4.
Rumah Bentuk Masjid dan Tajug atau Tarub
5.
Rumah Bentuk Panggang-Pe
Rumah Joglo Dibandingkan 4 bentuk lainnya, rumah bentuk Joglo merupakan rumah Joglo yang dikenal masyarakat pada umumnya. Rumah Joglo kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka yang mampu. Hal ini desebabkan bahwa rumah dalam bentuk Joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk lainnya. Masyarakat Jawa pada masa lampau menganggap bahwa rumah Joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah Joglo hanya diperkenankan untuk rumah tinggal dari kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta orang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. Dewasa ini rumah Joglo digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan juga untuk berbagai fungsi lainnya, seperti gedung pertemuan dan kantor-kantor. Banyak kepercayaan yang menyebabkan masyarakat Jawa tidak mudah untuk membangun rumah Joglo. Rumah bentuk Joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak , juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki.
65 Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
66
Kehidupan ekonomi seseorang yang mengalami pasang surut pun turut berpengaruh, terutama setelah terjadi pergeseran keturunan dari kedua orang tua kepada anaknya. Jika keturunan seseorang yang memiliki rumah bentuk Joglo mengalami penurunan tingkat ekonomi dan harus memperbaiki serta harus mempertahankan bentuknya, berarti harus menyediakan biaya secukupnya. Ini akan menjadi masalah besar bagi orang tersebut. Hal ini disebabkan adanya suatu kepercayaan, bahwa pengubahan bentuk Joglo pada bentuk yang lain merupakan pantangan sebab akan menyebabkan pengaruh yang tidak baik atas kehidupan selanjutnya, misalnya menjadi melarat, mendatangkan musibah, dan sebagainya.
Gambar 3.1 Rumah Joglo Jompongan
Gambar 3.2 Rumah Joglo Kepuh Lawakan
Pada dasarnya, rumah bentuk Joglo berdenah bujur sangkar. Pada mulanya bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang telah disebutkan yaitu saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang disebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk Joglo jaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan dari pemilik. Selain itu bentuk denah juga mengalami perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
67
hanya bersifat sekedar tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi.
Dari perubahan-perubahan tersebut timbulah bentuk-bentuk rumah Joglo yang beraneka macam dengan namanya masing-masing. Adapun, jenis-jenis Joglo yang ada, antara lain: 1.
Rumah Joglo Jompongan
2.
Rumah Joglo Kepuhan Lawakan
3.
Rumah Joglo Ceblokan
4.
Rumah Joglo Kepuhan Limosan
5.
Rumah Joglo Sinom Apitan
6.
Rumah Joglo Pengrawit
7.
Rumah Joglo Kepuhan Awitan
8.
Rumah Joglo Semar Tinandu
9.
Rumah Joglo Lambangsari
10.
Rumah Joglo Wantah Apitan
11.
Rumah Joglo Hageng
12.
Rumah Joglo Mangkurat
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998) Rumah Limasan Bentuk pokok lainnya adalah bentuk bangunan yang disebut “Limasan”. Bentuk bangunan ini merupakan perkembangan kelanjutan bentuk bangunan yang ada sebelumnya. Kata “Limasan” ini diambil dari kata “lima-lasan”, yakni perhitungan sederhana penggunaan ukuran-ukuran: “molo” 3 m dan “blandar” 5 m. Akan tetapi apabila “molo” 10 m, maka “blandar” harus memakai ukurang 15 m (“limasan”=limabelas=15).
Dalam
perkembangan
berikutnya
bentuk
bangunan
“limasan” ini mempunyai bentuk variasinya.
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
68
Gambar 3.3 Rumah Limasan
Jenis-jenisnya antara lain: 1. Rumah Limasan Lawakan 2. Rumah Limasan Gajah Ngombe 3. Rumah Limasan Gajah Njerum 4. Rumah Limasan Apitan 5. Rumah Limasan Klabang Nyander 6. Rumah Limasan Pacul Gowang 7. Rumah Limasan Gajah Mungkur 8. Rumah Limasan Cere Gancet 9. Rumah Limasan Apitan Pengapit 10. Rumah Limasan Lambang Teplok 11. Rumah Limasan Semar Tinandhu 12. Rumah Limasan Trajumas Lambang Gantung 13. Rumah Limasan Trajumas 14. Rumah Limasan Trajumas Lawakan 15. Rumah Limasan Lambangsari 16. Rumah Limasan Sinom Lambang Gantung Rangka Kutuk Ngembang (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998)
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
69
Rumah Kampung Bangunan lain yang setingkat lebih sempurna dari “panggangpe” adalah bentuk bangunan yang disebut “kampong”. Bangunan pokoknya terdiri dari “sakasaka” yang berjumlah 4,6 atau bias juga 8 dan seterusnya. Tetapi biasanya hanya memerlukan 8 “saka”. Sedang atap terdapat pada dua belah sisinya dengan satu bubungan atau wuwung seperti halnya bentuk “panggangpe”, bentuk bangunan “kampung” inipun dalam perkembangannya mengenal beberapa variasi. Sehingga dari bentuknya yang sederhana ini kita mengenal bentuk bangunan “kampung” jenis lainnya yaitu: 1. Rumah Kampung Pacul Gowang 2. Rumah Kampung Srotong 3. Rumah Kampung Dara Gepak 4. Rumah Kampung Klabang Nyander 5. Rumah Kampung Lambang Teplok 6. Rumah Kampung Lambang Teplok Semar Tinandhu 7. Rumah Kampung Gajah Njerum 8. Rumah Kampung Cere Gancet 9. Rumah Kampung Semar Pinondhong
Gambar 3.4 Kampung Pacul Gowang
Gambar 3.5 Kampung Srotong
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
70
Rumah Masjid atau Tajug Langgar dan Masjid merupakan dua tempat ibadah atau tempat pemujaan yang jumlahnya cukup banyak. Ada beberapa masjid ini yang dibuat dengan arsitektur tradisional, tetapi ada yang dibuat dengan mempergunakan arsitektur barat. Hal ini tergantung pada selera masyarakat atau nilai budaya setempat. Tetapi menurut pengamatan, sebagian besar masjid ini dibuat dengan arsitektur tradisional dengan bangunan berbentuk “tajug” Seperti halnya tipologi bangunan lain, masjid memiliki tipologi bujur sangkar atau persegi panjang, ada bangunan pokoknya dan ada bangunan tambahan, misalnya “emper” atau teras. Yang mempergunakan “emper” ini biasanya bangunan lebih besar atau karena umatnya berkembang banyak, sedangkan tempat itu tidak dapat menampung lagi. Pada dasarnya, bentuk “tajug” ini hamper sama dengan bangunan “joglo”, bedanya bentuk bangunan “tajug” tidak memiliki “molo”, jadi atapnya tidak “brunjung” tetapi lancip atau runcing. Atap dibuat demikian diartikan sebagai lambang keabadian Tuhan dan keesaan tuhan. Bangunan ini menggunakan saka guru sebanyak 4 buat, atapnya 4 belah sisi. Bangunan tajug ini memiliki variasi seperti bangunan lainnya, yaitu sebagai berikut: 1. Tajug Lawakan 2. Tajug Lawakan Lambang Teplok 3. Tajug Semar Tinandhu 4. Tajug Lambang Gantung 5. Tajug Semar Sinongsong Lambang Gantung 6. Tajug Mangkurat 7. Tajug Ceblokan Rumah Pemujaan seperti sudah disinggung di muka, terdiri atas masjid. Adapun susunan ruangan yang ada di dalam masjid adalah:
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
71
Mikrab: atau disebut pula pengimaman. Terletak di sebelah barat bangunan; bentuknya menonjol.
Liwan: ruang besar memanjang di dalam bangunan, mendominasi seluruh bangunan. Terletak di tengah.
Serambi: “emper” terletak di bagian depan bangunan. Bentuknya “kampung” atau “limasan”
Ruang Wudhu: ruangan air pembersih, terletak di sebelah kanan “emper”.
Sudah dikemukakan di atas, bahwa bangunan pemujaan itu mempunyai pola susunan ruangan. Di dalam ruangan tersebut mempunyai fungsinya yang tersendiri yang berhubungan erat dengan perbuatan sacral. Fungsi tiap-tiap ruangan itu adalah:
Mikrab: atau pengimanan untuk chotib yang memimpin upacara/ibadah
Liwan: ruangan untuk seluruh umat yang mengikuti ibadah.
Serambi: atau emper dapat digunakan untuk tempat ibadah juga seperti liwan bila tempat ini penuh sesak.
Ruang Wudhu: tempat pembersih sebelum umat melakukan sembahyang. Di dalam ruang ini terdapat air mengalir yang bersih yang kalau di desadesa detempatkan di padasan atau kolam.
Untuk bangunan rumah Masjid ini baru berada dan dibangun pada mulai abad ke-13 dan seterusnya. Bangunan Masjid yang berfungsi sebagai tempat untuk ibadah ini mulai ada pada saat masyarakat Jawa telah menganut ajaran dan kepercayaan agama Islam (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1998).
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
72
Gambar 3.6 Masjid atau Tajug dalam bentuk Masjid Demak
Rumah Panggangpe Rumah panggangpe merupakan bentuk bangunan yang paling sederhana dan bahkan merupakan bentuk dasar. Bangunan panggangpe ini merupakan bangunan pertama yang dipakai orang untuk berlindung dari gangguan angin, dingin, panas matahari dan hujan. Bangunan yang sederhana ini bentuk pokoknya mempunyai tiang atau saka sebangan 4 atau 6 buah. Sedang pada sisi-sisi kelilingnya diberi dinding sekedar penahan hawa lingkungan sekitar. Rumah jenis panggangpe ini hanya dipakai masyarakat Jawa untuk warung, gubug ditengah sawah untuk mengusir burung dan rumah kecil di tengah pasar untuk berjualan. Bangunan bentuk ini dalam bentuk yang besar biasanya berupa gudang di pelabuhan maupun di stasiun-stasiun. Dalam perkembangan berikutnya bentuk bangunan panggangpe ini mempunyai beberapa variasi bentuk yang lain, yaitu seperti berikut: 1. Panggangpe Gedhang Selirang 2. Panggangpe Empyak Setangkep 3. Panggangpe Gedhang Setangkep 4. Panggangpe Ceregancet 5. Panggangpe Trajumas 6. Panggangpe Barengan
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012
73
Gambar 3.7 Rumah Panggangpe Pokok
Dari macam-macam jenis rumah Jawa yang telah disebutkan apabila diadakan penggabungan antara 5 macam bangunan maka terjadi berbagai macam bentuk rumah Jawa. Menurut pandangan hidup masyarakat Jawa , bentuk-bentuk rumah mempunyai sifat dan penggunaannya sendiri-sendiri. Misalnya bentuk rumah Jawa Tajug, bangunan dengan bentuk seperti itu selalu digunakan sebagai tempat suci seperti tempat beribadah seperti Masjid, makam dan tempat raja bertahta sehingga itu berpengaruh kepada masyarakat Jawa dengan strata derajat yang lebih rendah tidak mungkin untuk membangun rumah dengan membuat seperti bentuk Tajug. Rumah yang lengkap sering memiliki bentuknya dan penggunaan yang tertentu, antara lain adalah: (Hamah Sagrim, 2010)
Pintu Gerbang : Bentuk Kampong
Pendopo : Bentuk Joglo
Pringgitan : Bentuk Limasan
Dalem : Bentuk Joglo
Gandhok (kiri-kanan) : Bentuk Pacul Gowang
Dapur : Bentuk kampong, dll
Universitas Indonesia Rumah Jawa..., Harindra Mahutama, FT UI, 2012