UNIVERSITAS INDONESIA
KEBERLAKUAN PRINSIP KEPAILITAN DALAM STUDI KASUS KEPAILITAN MANWANI SANTOSH TEKCHAND MELAWAN OCBC SECURITIES
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
Oleh: GILANG MOHAMMAD SANTOSA 0706277680
FAKULTAS HUKUM PROGRAM KEKHUSUSAN IV HUKUM DALAM KEGIATAN EKONOMI DEPOK 2012
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
KATA PENGANTAR
Atas berkat rahmat Allah SWT., skripsi yang berjudul “Keberlakuan Prinsip Kepailitan Dalam Studi Kasus Kepailitan Manwani Santosh Tekchand Melawan OCBC Securities”, telah berhasil diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulisan Skripsi ini dilakukan untuk menambah pengetahuan dan semakin memperluas wawasan pemikiran mengenai kepailitan di Indonesia, khususnya mengenai studi kasus Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities ini. Tidak Penulis Pungkiri bahwa Penulis menemui banyak kesulitan di dalam Penulisan skripsi ini. Namun dorongan dari berbagai pihak membuat Penulis merasa terpacu untuk tidak pernah berputus asa sehingga proses Penulisan skripsi ini pun dapat berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, izinkanlah Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Allah sang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Tuhan yang telah memberikan kasih sayang yang tidak terhingga kepada Penulis, yang selalu mengingatkan mana kala Penulis menyimpang, dan tidak habis-habisnya memberikan ruang bagi Penulis untuk selalu berkarya dan belajar.
2.
Kedua orang tua yang paling luar biasa, Papa Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M. dan Mama Lelyana Yanti Santosa, S.H. atas semua kasih sayang, perhatian, dan doa yang tidak henti-hentinya mengalir untuk Penulis. Sejak dulu, mereka selalu memberikan kepercayaan penuh dan ruang aktivitas bagi Penulis, termasuk untuk memilih Fakultas Hukum dan untuk nantinya (Insya Allah, apabila Tuhan berkehendak) berkarier sebagai Pengacara dan Legal Scholar. Mereka adalah sumber motivasi bagi Penulis, dan untuk merekalah skripsi ini Penulis persembahkan.
iv
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
3.
Keluarga besar Mas Jonoes Satyadiwirya dan R.M Soerowo yang terus memberikan dorongan dan semangat agar penulis segera menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
4.
Bapak Teddy Anggoro, S.H., M.H., selaku Pembimbing Skripsi I dan Ibu Ditha Wiradiputra, S.H.,M.E., selaku Pembimbing Skripsi II atas segala kesabaran dan perhatiannya dalam membimbing Penulis dalam penyelesaian skripsi Ini. Penulis amat berterimakasih mengingat begitu banyak waktu yang telah diluangkan oleh Bapak-bapak Pembimbing untuk membantu proses Penulis Skripsi. Tanpa adanya bantuan dari Bapak-bapak Pembimbing, maka Penulisan Skripsi ini akan mustahil untuk diselesaikan.
5.
Bapak Ahmad Irfan Arifin, S.H., Senior Associate pada kantor hukum Lubis Santosa Maramis yang telah bersedia menjadi narasumber dan teman diskusi bagi Penulis dalam Penulisan Skripsi ini terlepas kesibukan Beliau yang akan meneruskan studi S-2 ke USC Berkeley dalam waktu dekat.
6.
Bapak Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto MSc., Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang telah memberikan inspirasi kepada Penulis baik melalui nasihat secara langsung maupun melalui Ayah Penulis untuk cepat menyelesaikan studi S-1 dan segera meneruskan studi S-2 ke luar negeri.
7.
Segenap Lawyer dan Supporting Staff pada kantor hukum Lubis Santosa Maramis yang selalu memberikan bantuan dan supportnya dalam segala hal. Terimakasih yang sebesar-besarnya.
8.
Sahabat-sahabat Penulis dikampus FHUI yang selalu menyemangati Penulis dalam segala hal terkait perkuliahan termasuk Penulisan Skripsi ini, Nur Ramadhan Suyudono, Dimas Nanda Raditya, Astri Widita Kusumowidagdo, Alfa Dewi Setyawati, Shafina Karima, Inda Ranadireksa, Yosef Broz Tito, Muluk Indra Lubis, Omar Mardhi, Priya Lukdani, Dastie Kanya, Rachel Situmorang, Armita Hutagalung, Fathianissa Gelasia, Dimas Eko Fabriyanto, Ahmad Radinal, Adhika Widagdo, M. Badra Aditya, Fahrurozi, Rizky Aliansyah, Egaputra Novia, Olviani Shahnara, Rasyad Andhika, Anissa Suci v
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
Rahmadani, Adhindra Ario Wicaksono, M. Fikry Yonesyahardi, Andara Annisa, Budi Widuro, Hulman Bona, Alfina Kathlinia Narang, Ario Bimo Nandito, Wuri Prastiti, Siti Kemala Nuraida, Femalia Indrainy, Lidzikri Caesar D, Rachman Alatas, Arthur Nelson Christianson, Firman El Amny Azra, Indra Prabowo, Namira Assagaf, dan seluruh teman-teman FHUI yang tidak dapat diucapkan satu persatu. 9.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih untuk Patrisia Ticoalu, Gabriella Ticoalu, Dwi Sulaiman, Shinta Nurfauzia Husni, Avindra Yuliansyah, Fajh Robbie Ferliansyah dan beberapa Senior dari Penulis yang tidak dapat dituliskan seluruhnya, yang secara langsung maupun tidak langsung membantu Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
10. Ferry Sandy Aritonang, Fong Srisung, Giovanni Rahmadeva, Bima Errawan dan Farid Abdussalam Tabussala yang walaupun berbeda Universitas, namun senantiasa memberikan masukan, semangat dan dorongan bagi Penulis untuk menyelesaikan Penulisan Skripsi ini. 11. Pembimbing Akademik Penulis, yaitu Ibu Sri Mamudji, S.H., M. LL. yang telah begitu banyak memberikan masukan kepada Penulis mengenai perkuliahan. 12. Segenap pengurus, mantan pengurus, maupun anggota dari Asian Law Student Association (ALSA) yang begitu banyak memberikan warna dan kebahagiaan bagi penulis dalam menjalani kehidupan perkuliahan. 13. Semua Pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, doa, dan semangat untuk penyusunan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. 14. Tidak lupa Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Selam, Bapak Wahyu, Bapak Indra, dan semua petugas di Biro Pendidikan yang telah dengan tulus memberikan perhatian dan pelayanan kepada mahasiswa. Bapak Jon yang selalu membantu Penulis dengan sangat ramah apabila ada kesulitan di ruang PK IV. vi
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
Penulis Menyadari bahwa skripsi ini sangat jauh dari sempurna. Tentunya terselip banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Kendati demikian, besar harapan Penulis, Semoga karya ini sedikit banyak dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan terutama di dalam bidang Kepailitan. Segala kekurangan adalah mili Penulis dan segala kesempurnaan adalah milik Sang Pencipta.
Depok, Juli 2012 Gilang M. Santosa
vii
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
ABSTRAK
Nama
: Gilang Muhammad Santosa
Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Keberlakuan Prinsip Kepailitan dalam Studi Kasus Kepailitan Manwani Santosh Tekchand Melawan OCBC Securities
Skripsi ini membahas mengenai keberlakuan prinsip kepailitan dalam studi kasus kepailitan Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, sedangkan metode analisis datanya adalah metode kualitatif. Penulis melakukan analisa yuridis terhadap kasus kepailitan Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities, yang permohonan pailitnya didasarkan pada putusan pengadilan asing. Dalam mengomentari aspek-aspek tersebut diatas, Penulis berusaha melihat pokok permasalahan dari sisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah pengaturan hukum kepailitan dalam kasus ini dan apakah Putusan Pengadilan Asing yang telah memutus bahwa seorang debitor diwajibkan membayar utang kepada kreditor dapat dijadikan dasar kepailitan terhadap debitor tersebut di Indonesia. Kata Kunci : Kepailitan, Kepailitan Perseorangan, Putusan Asing
ix
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
ABSTRACT
Name
: Gilang Muhammad Santosa
Study Program : Law Title : The Applicability of the Bankcruptcy Principle in the study of Manwani Santosh Tekchand versus OCBC Securities Bankcruptcy Case
The focus of this thesis is about the applicability of the bankcruptcy principle in the study of Manwani Santosh Tekchand versus OCBC Securities. The method of this research is qualitative normative interpretive. The data were collected by the author from literative study and interview. The author also did a juridical analysis towards the case, whereas the request for bankrupt is based upon the foreign judgement. The author, commenting on the above aspects, tries to see the primary cause from the Act Number 37 of 2004 Regarding Bankruptcy. The primary issue for this thesis is the regulation for Bankruptcy Law for this case, and whether or not the foreign judgement that has let out a verdict that a debitor is obliged to pay the debt to the creditor can be used as a basis for the bankruptcy of that debitor in Indonesia. Keywords : Bankruptcy, Personal Bankruptcy, Foreign Judgment
x
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS....................................................ii LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................iii KATA PENGANTAR............................................................................................iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.............................viii DAFTAR ISI...........................................................................................................xi 1. PENDAHULUAN.......................................................................................1 1.1.
Latar Belakang Masalah.......................................................1
1.2.
Pokok Permasalahan............................................................6
1.3.
Definisi Operasional.............................................................7
1.4.
Kerangka Konsepsional.......................................................7
1.5.
Metodologi Penelitian..........................................................8
1.6.
Manfaat Penelitian.............................................................10
1.7.
Sistematika Penulisan.........................................................11
2. HUKUM KEPAILITAN INDONESIA DAN PENGAKUAN PUTUSAN ASING DI PENGADILAN INDONESIA..........................13 2.1.
Kepailitan............................................................................13
2.1.1.
Definisi Kepailitan.............................................................13
2.1.2.
Tujuan Kepailitan...............................................................19
2.1.3.
Prinsip-prinsip Kepailitan..................................................24
2.1.4.
Asas-asas Dalam Hukum Kepailitan..................................28
2.1.5.
Syarat-syarat Kepailitan.....................................................32
2.1.6.
Putusan Pailit Dan Daya Eksekusinya...............................33
2.1.7.
Akibat Hukum Pernyataan Pailit........................................34
2.1.8.
Kepailitan Perseorangan.....................................................36
2.1.9.
Kepailitan
Lintas
Batas
Negara
(Cross
Border
Insolvency)..........................................................................39
xi
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
2.2.
Pengakuan Putusan Pengadilan Asing di Pengadilan Indonesia.............................................................................45
3.
KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS KASUS KEPAILITAN MANWANI
SANTOSH
TEKCHAND
MELAWAN
OCBC
SECURITIES.........................................................................................52 3.1.
Kasus Posisi........................................................................52
3.2.
Analisis Yuridis..................................................................63
4. PENUTUP.................................................................................................75 4.1.
Kesimpulan........................................................................75
4.2.
Saran..................................................................................80
DAFTAR REFERENSI................................................................................82 LAMPIRAN
xii
Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa bertahan hidup sendiri. Demikian pula halnya dengan
negara. Setiap negara membutuhkan
negara lain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya agar dapat hidup makmur dan sejahtera. Kerja sama dalam bentuk hubungan dagang antar negara sangat dibutuhkan oleh setiap negara. Hal ini disebabkan setiap negara tidak dapat menghasilkan semua barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Selain itu, juga disebabkan adanya perbedaan sumber daya yang dimiliki, iklim, letak geografis, jumlah penduduk, pengetahuan, dan teknologi. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan munculnya perdagangan internasional. Perdagangan internasional tidak hanya memberikan manfaat di bidang ekonomi saja, melainkan juga di bidang sosial, politik serta pertahanan dan keamanan.
Apabila
dilihat
dari
sudut
pandang
ekonomi,
perdagangan
internasional dilakukan semua negara untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Tidak mudah bagi suatu negara untuk dapat mencapai kemakmuran tanpa kerja sama dengan negara lain. Bahkan negara-negara yang menganut paham ekonomi sosialis seperti Republik Rakyat Cina (RRC) dan Vietnam sudah mulai membuka lebar-lebar keran perdagangan dengan negara-negara lain. Hubungan-hubungan yang sifatnya lintas batas negara dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi datang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (terutama teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
2
semakin berlangsung dengan cepat. Batas-batas negara bukan lagi halangan dalam bertransaksi.1 Transaksi bisnis internasional tidak luput dari permasalahan yang dapat terjadi diantara para pihak atau pelakunya. Salah satunya adalah permasalahan debitur yang lalai dalam pemenuhan kewajiban pembayaran utang yang telah jatuh tempo terhadap krediturnya, yang dapat berujung dengan diajukannya permohonan kepailitan oleh kreditur tersebut. Keadaan seperti ini apabila terjadi di dalam satu wilayah negara saja tentunya dapat menimbulkan permasalahan sehingga telah dibuat peraturan yang mengatur mengenai hal ini. Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari pada kreditornya.2 Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditur.3 Harta kekayaan debitor pailit merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan pembagian tagihannya.4 Prinsip ini disebut dengan prinsip pari passu pro rata parte. Prinsip ini berkaitan dengan utang yang dimiliki debitor terhadap banyak 1
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2005), hal. 1. 2
Mutiara Hikmah, Aspek – aspek Hukum Perdata Internasional dalam Perkara – perkara
Kepailitan (Jakarta : Refika Aditama 2007), hal. 26. 3
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 1. 4
Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok – Pokok tentang Pengadilan Niaga
(Bandung : Alumni 2001), hal. 300.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
3
kreditor di mana harta kekayaan akan dibagi terhadap beberapa kreditor secara proporsional. Pasal 1 ayat (1) Faillissement Verordening sama sekali tidak mensyaratkan adanya dua atau lebih kreditor. Padahal filosofi kepailitan adalah mekanisme pendistribusian aset secara adil dan merata terhadap para kreditor berkaitan dengan keadaan tidak membayarnya debitor karena ketidakmampuan debitor melaksanakan kewajiban tersebut. Kepailitan itu sendiri merupakan suatu lembaga hukum perdata Eropa, yang berfungsi untuk menjamin pembagian pelunasan utang debitor terhadap para kreditornya sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terkandung dalam pasal 11315 dan 11326 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).7 Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa kepailitan adalah suatu keadaan dimana seseorang debitor tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Di dalam ruang lingkup kepailitan antar batas negara, dikenal istilah prinsip universal dan prinsip teritorial. Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa putusan pailit dari suatu pengadilan di suatu negara, maka putusan pailit tersebut berlaku terhadap semua harta debitor baik yang berada di dalam negeri di tempat putusan pailit dijatuhkan maupun terhadap harta debitor yang berada di luar negeri.8 Sesungguhnya peraturan kepailitan sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, yaitu Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348, dalam praktek peraturan tersebut hampir-hampir tidak dipakai. Sangat sedikit kasus – kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan 5
Pasal 1131, “Segala kebendaan debitur, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.” 6
Pasal 1132, “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama – sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda – benda itu dibagi – bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing – masing, kecuali apabila di antara para kreditor itu ada alsan – alasan sah untuk didahulukan.” 7
Freddy Harris, “Kumpulan Materi Hukum Kepailitan” (Buku Ajar di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Program Magister Kenotariatan, 2004), hal. 5. 8
M. Hadi Shubhan, Op. cit., hal. 47
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
4
tersebut. Dan, kalaupun peraturan tersebut diterapkan, hanya terhadap kasus – kasus kecil. Akan tetapi, kasus gugatan pailit terhadap garantor dari PT Bentoel dan kasus PT Arafat tentu merupakan kekecualiannya.9 Krisis moneter melanda sebagian besar dari negara-negara asia pada pertengahan tahun 1997, tidak terkecuali Indonesia. Krisis tersebut telah menyebabkan sendi-sendi perekonomian porak poranda, salah satu yang paling merasakan dampak krisis adalah dunia usaha. Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya dengan merevisi Undang-undang Kepailitan yang ada.10 Maka dengan tekanan International Monetary Fund (IMF), Indonesia mengesahkan Undang-undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. IMF merasa bahwa Faillisements Verordening – Peraturan Kepailitan (Staatsblad Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348) yang merupakan peraturan kepailitan warisan pemerintah kolonial Belanda selama ini kurang memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. Kepailitan yang timbul dari suatu transaksi bisnis internasional, yang terdapat unsur pelaku usaha asing (foreign elements) di dalamnya, yang bukan berasal dari negara dimana proses kepailitan tersebut dilakukan dinamakan kepailitan lintas batas negara (cross-border insolvency).11 Dapat dikatakan sebagai suatu perkara kepailitan lintas batas negara pula, yaitu apabila debitur yang bersangkutan memiliki aset di lebih dari satu negara (di luar negara tempat perkara kepailitan tersebut diproses).12 9
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek (Bandung : PT Citra Aditya Bakti,
2010) hal 1. 10
Gunawan Widjaja, Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit (Jakarta : Forum
Sahabat, 2007),hal.2. 11
Daniel Suryana, Kepailitan Terhadap Badan Usaha Asing oleh Pengadilan Niaga
Indonesia, (Bandung : Pustaka Sutra, 2007), hal. 2. 12
UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment,
A/CN.9/442 at 15.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
5
Walaupun Undang-undang No. 4 tahun 1998 telah dibentuk, namun masih terdapat kekurangan, salah satunya adalah ketidakjelasan mengenai definisi utang. Oleh karena itu, untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada Undangundang Kepailitan lama, maka pemerintah bersama DPR melakukan revisi.13 Revisi tersebut disahkan menjadi Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU). UUKPKPU baru merupakan undang-undang yang mengatur mengenai tata cara penyelesaian secara hukum konflik utang-piutang di antara kreditor dan debitor melalui pengadilan niaga di Indonesia. Undang-undang ini merupakan perbaikan dari Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran
Utang
dan
peraturan
kepailitan
(Faillissement
Verordening) warisan Belanda. Dalam perkembangan zaman sekarang ini tentunya ada banyak sekali hal yang baru yang terus muncul sekarang ini. Transaksi yang kebanyakan batas lintas batas lintas negara telah banyak terjadi termasuk di dalamnya perjanjian utang piutang. Dengan adanya transaksi seperti ini tentunya memunculkan beberapa kasus kepailitan yang melintasi batas negara tersebut. Walaupun begitu sampai saat ini belum ada undang-undang yang mengatur mengenai kepailitan lintas batas negara seperti yang sudah banyak terjadi sekarang ini. Tentunya hal ini menimbulkan kekosongan hukum terhadap peristiwa hukum kepailitan lintas batas negara seperti ini. Dengan demikian tentunya ditemukan beberapa kesulitan dalam mengeksekusi mengenai kepailitan terhadap WNI yang diputus oleh pengadilan asing. Dalam kasus seperti ini tentunya putusan tersebut diperlakukan sebagai putusan pengadilan asing biasa bukan sebagai putusan pengadilan niaga asing. Putusan seperti ini harus diajukan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani putusan pengadilan asing. Dalam keadaan seperti ini banyak sekali putusan kepailitan lintas batas negara yang ditolak ataupun tidak diterima, tentunya hal ini dapat menurunkan rasa percaya asing untuk melakukan transaksi perdagangan dengan penduduk Indonesia.
13
Ibid, hal 4.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
6
Kepailitan lintas batas negara telah menimbulkan masalah-masalah yang pelik di Indonesia. Ada beberapa putusan yang dikabulkan eksekusinya oleh pengadilan Indonesia, namun kebanyakan adalah berdasarkan putusan arbitrase asing. Sebagai contoh kasus Suba Indah. Pada 7 Agustus 2007, majelis hakim Pengadilan Niaga DKI Jakarta mengabulkan permohonan pailit dari Bunge Agribusiness Singapore Pte, Ltd (Bunge) terhadap Suba karena tak membayar 10 persen uang muka dari Sales Contract pemesanan komoditi jagung Argentina senilai US$117.000. Atas putusan itu, Pengadilan Niaga juga menunjuk Swandy Halim sebagai kurator Suba.14 Sedangkan untuk peradilan umum, di dalam studi kasus yang dilakukan oleh penulis (Kasus Kepailitan Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities yang pertama ditolak gugatannya dan yang kedua gugatannya tidak dapat diterima. Di dalam pertimbangannya, Majelis Hakim perkara Manwani Santosh yang dipimpin oleh H. Syarifuddin, SH. MH. (yang pada tanggal 1 Juni 2011 ditangkap oleh KPK karena kasus suap yang tidak berhubungan dengan kasus ini) menolak karena Putusan Peradilan Asing tidak dapat dilaksanakan Eksekusinya di luar wilayah Negara tersebut dan dikatakan bahwa tidak memiliki dua atau lebih kreditor. Putusan dari pengadilan ini tentunya menimbulkan pertanyaan, yaitu apakah benar putusan pengadilan asing tidak dapat dieksekusi di pengadilan Indonesia karena tentunya hal ini tidak dimungkinkan apabila putusan tersebut dijadikan alat bukti
untuk putusan yang akan dikeluarkan. Dengan
mempertimbangkan putusan asing tersebut dengan bentuk lainnya yaitu putusan arbitrase asing sehingga alasan bahwa putusan pengadilan asing tidak dapat dieksekusi di Indonesia dapat dikaji lebih lagi untuk mendukung perdagangan internasional di Indonesia. Dengan adanya kedua putusan atas tersebut maka pada akhirnya penulis memutuskan untuk membuat penelitian dengan judul “Keberlakuan Prinsip
14
Hukum Online : “Suba Dipailitkan Akibat Kesepakatan Diam-diam”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17394/suba-dipailitkan-akibat-kesepakatandiamdiam diakses tanggal 12 Mei 2012.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
7
Kepailitan dalam Studi Kasus Kepailitan Manwani Santosh Tekchand Melawan OCBC Securities”.
1.2 Pokok Permasalahan Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan kepailitan dalam hukum Indonesia dalam studi kasus kepailitan Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities? 2. Apakah Putusan Pengadilan Asing yang telah memutus bahwa seorang debitor diwajibkan membayar utang kepada kreditor dapat dijadikan dasar kepailitan terhadap debitor tersebut di Indonesia?
1.3 Definisi Operasional Tujuan dari dilakukannya penelitian yang hendak dicapai oleh peneliti adalah untuk menambah wawasan agar diharapkan pembaca dapat memahami mengenai permasalahan kepailitan di Indonesia terutama mengenai Kepailitan antar batas negara dalam Undang-undang Kepailitan Republik Indonesia, baik secara teoritis meupun penerapannya dalam beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Tujuan penelitian ini antara lain : 1. Mengetahui pengaturan kepailitan dalam hukum Indonesia dalam studi kasus kepailitan Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities. 2. Menganalisa apakah Putusan Pengadilan Asing yang telah memutus bahwa seorang debitor dinyatakan berhutang dapat dijadikan dasar oleh pihak kreditor untuk mengajukan suatu Permohonan Pernyataan Pailit terhadap debitor tersebut di Indonesia.
1.3 Kerangka Konsepsional Dalam hal melakukan penelitian hukum normatif, definisi yang akan diuraikan adalah definisi yang diambil dari peraturan perundang-undangan, karena pengertian yang ada pada peraturan perundang-undangan merupakan pengertian
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
8
yang relatif lengkap mengenai istilah, sehingga dapatlah dijadikan pedoman dalam pengumpulan data, pengolahan dan analisis data. Dalam penulisan ini, penulis akan mempergunakan beberapa istilah yang berakitan dengan materi dari skripsi ini, agar terdapat kesamaan persepsi mengenai pengertian dari istilah-istilah tersebut di bawah ini nantinya sehingga tidak akan terjadi kesalahpahaman, maka definisi operasional yang akan dipakai oleh penulis dalam hal ini adalah sebagai berikut: 1. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.15 2. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang -Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.16 3. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.17 4. Debitor Pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.18 5. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UndangUndang ini.19 6. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang – undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.20
15
Indonesia, Undang – Undang No. 37 tahun 2004., Pasal 1 ayat (1).
16
Ibid, Pasal 1 ayat (2).
17
Ibid, Pasal 1 ayat (3).
18
Ibid, Pasal 1 ayat (4).
19
Ibid, Pasal 1 ayat (5).
20
Ibid, Pasal 1 ayat (6).
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
9
7. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan peradilan umum.21 8. Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.
1.4 Metodologi Penelitian Penelitian merupakan perwujudan dari rasa keingintahuan seseorang terhadap suatu masalah yang dianggapnya menarik. Suatu penelitan baru bisa dikatakan sebagai penelitian ilmiah apabila menggunakan metode. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan bahan penelitian yang digunakan penulis adalah bahan-bahan hukum. Penelitian ini secara khusus mengaitkan hukum sebagai upaya untuk menjadi landasan pedoman dalam pelaksanaan berbagai bidang kehidupan masyarakat yang dapat mengatur ketertiban dan keadilan.22 Dalam penelitian ini analisis pengumpulan data yang dipergunakan oleh peneliti yaitu melalui studi pustaka (studi dokumen), yaitu suatu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan suatu analisis terhadap suatu obyek penelitian.23 Melalui instrumen ini data diperoleh dari Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, buku-buku yang dimiliki oleh peneliti yang berkaitan dengan penelitian ini, data-data tertulis dari bagian informasi Ruang Administrasi Niaga Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat. Data yang dikumpulkan berupa data sekunder, yaitu data yang telah dalam keadaan siap pakai, bentuk dan isinya telah disusun peneliti terdahulu dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.24
21
Ibid, Pasal 1 ayat (7).
22
Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4. 23
Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta : IND-
HIL-CO, 1990), hal. 22. 24
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : RajaGrafindo, 1994), hal. 37.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
10
Analisa penelitian dalam penelitian ini adalah dengan menganalisa tulisan atau dokumen, diperoleh baik dari perpustakaan maupun dari media massa yang terdiri dari : 1. Bahan hukum primer25 Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi norma dasar atau kaidah dasar, peraturan dasar serta peraturan perundang-undangan baik di bidang kepailitan maupun peraturan-peraturan yang terkait dengan kepailitan dengan badan hukum perseroan sebagai subyek, yaitu : a. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan. b. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU). c. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). 2. Bahan hukum sekunder26 Badan hukum sekunder merupakan bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan sumber primer serta implementasinya. Meliputi hasil penelitian, buku, atau literatur serta skripsi maupun tesis yang membahas mengenai kepailitan, artikel ilmiah, serta jurnal yang memuat informasi yang dibutuhkan. 3. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan yang berkaitan dengan isi sumber primer dan sumber sekunder, salah satu contohnya adalah kamus Black’s Law Dictionary. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitis secara mendalam dengan menggunakan pendekatan kasus (Case Approach). Pendekatan kasus disini bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum.27 25
Sri Mamudji, et.al., op.cit., hal. 29-30.
26
Ibid., hal. 31.
27
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi (Malang : Bayu Media, 2006), hal. 310.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
11
Keseluruhan data yang telah diperoleh kemudian dioleh dengan metode kualitatif, yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data dalam bentuk kalimat, tidak dalam bentuk data statistik, menggambarkan apa yang ditemukan dari bahan dan data yang diteliti yang benar-benar terarah pada masalah yang ingin diketahui dan dijelaskan.28
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian dengan judul “Keberlakuan Prinsip Kepailitan dalam Studi Kasus Kepailitan Manwani Santosh Tekchand Melawan OCBC Securities” ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan berbagai pihak yang memiliki minat di bidang hukum dan masalah-masalah kepailitan, khususnya pada perkara-perkara kepailitan lintas batas negara baik untuk sekedar menambah wawasan maupun memperdalam ilmu dan pengetahuan mengenai kepailitan yang telah dimiliki.
1.6 Batasan Penelitian Pada penelitian ini, peneliti telah mempersempit dan membatasi objek penelitian sampai pada kasus-kasus kepailitan lintas batas negara baik yang diputus sebelum berlakunya Undang-undang Kepailitan, maupun berdasarkan Undang – Undang Kepailitan yang baru (UUK-PKPU 2004).
1.7 Sistematika Penelitian Adapun model operasional penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan penelitian, dan model operasional penelitian.
28
Burhan Ashopa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hal. 137.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
12
BAB II : HUKUM KEPAILITAN INDONESIA DAN PENGAKUAN PUTUSAN ASING DI PENGADILAN INDONESIA Bab ini terbagi menjadi dua sub pokok bahasan, yaitu : A.. Teori Umum Hukum Kepailitan Indonesia diantaranya prinsip-prinsip hukum kepailitan, dasar hukum, pihak-pihak yang terkait dalam Hukum Kepailitan. Kemudian B. Dibahas mengenai keterlibatan unsur-unsur asing dalam kepailitan, pengakuan putusan asing di pengadilan Indonesia, dan juga mengenai kepailitan lintas batas negara.
BAB III : KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS KASUS KEPAILITAN MANWANI SANTOSH TEKCHAND MELAWAN OCBC SECURITIES. Bab III ini berisi kasus posisi dan analisis yuridis kasus kepailitan, yaitu : Manwani Santosh Tekchand melawan OCBC Securities. Dikaitkan dengan teoriteori mengenai hukum kepailian Indonesia serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Analisa kasus-kasus tersebut dilihat dari dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan keputusan, apakah telah sesuai dengan peraturan perundangundangan hukum kepailitan yang berlaku dan juga telah sesuai dengan yurisprudensi yang ada. Penulis juga memberikan opini terkat dengan dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan keputusan.
BAB IV : PENUTUP Bab IV membahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan penjabaran fakta-fakta yang telah dilakukan dan juga jawaban dari pokok permasalahan yang telah dijabarkan pada bab pendahuluan. Serta penambahan saran-saran yang terkait dengan perumusan dan jawaban dari pokok permasalahan.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
13
BAB II HUKUM KEPAILITAN INDONESIA DAN PENGAKUAN PUTUSAN ASING DI PENGADILAN INDONESIA
2.1 Kepailitan 2.1.1 Definisi Kepailitan Perekonomian dan perdagangan yang semakin berkembang serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat. 29 Karena itu kepailitan semakin dibutuhkan sebagai alternatif penyelesaian utang piutang yang cepat dan komprehensif. Definisi kepailitan menurut Black’s Law Dictionary : “Bankrupt is the state or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality) who is unable to pay its debt as they are, or become due. The term includes a person against whom an involuntary petition has been filed, who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt” Dari pengertian yang diberikan Black’s Law Dictionary tersebut, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (Debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidak mampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh Debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar Debitor), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan permohonan pernyataan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang Debitor. Tanpa adanya permohonan tersebut ke Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari 29
Indonesia, Op. cit., penjelasan umum.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
14
Debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.30 Menurut Prof.Dr.Soekardono, kepailitan adalah penyitaan umum atas kekayaan si pailit bagi kepentingan semua penagihnya, sehingga Balai Harta Peninggalanlah yang ditugaskan dengan pemeliharaan serta pemberesan boedel dari orang yang pailit.31 Algra memberikan definisi mengenai kepailitan : “Fallisementis een gerechtelijk beslag op het gehele vermogen van een schuldenaar ten behoeve van zijn gezamenlijke schuldeiser”.32 (Kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitor untuk melunasi utang – utangnya kepada kreditor.) Mengenai definisi dari kepailitan itu sebagaimana terjemahan dari istilah Belanda “Faillisement” tidak dapat ditemukan dalam peraturan kepailitan (Falillisements Verordenings yang diundangkan dalam Staatsblad tahun 1906 No. 348).33
Dalam
pasal
1
hanya
memberikan
syarat
untuk
pengajuan
permintaan failisemen, yaitu bahwa seseorang telah berhenti membayar. Berhenti membayar ialah kalau debitor sudah tidak mampu membayar atau tidak mau membayar, dan tidak usah benar-benar telah berhenti sama sekali untuk membayar, tetapi apabila dia pada waktu diajukan permohonan pailit berada dalam keadaan tidak dapat membayar utang tersebut, namun pada hakekatnya failisemen adalah suatu sita umum yang bersifat conservatoir dan pihak yang dinyatakan
pailit hilang penguasaannya atas harta bendanya,
penyelesaian pailit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam melaksanakan
30
Gunawan Widjaja, Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, (Jakarta : Forum
Sahabat, 2009), hal. 15 – 16. 31
Soekardono, Hukum Dagang Indonesia Jilid 1, (Jakarta: Soeroenga, 1960), hal. 3.
32
Algra, N.E., Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht, (Groningen: Tjeenk Willink),
hal. 425. 33
Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, cet.1,
(Jakarta: PT Alumni, 2007), hal. 15.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
15
tugasnya diawasi oleh seorang hakim komisaris, yaitu seorang hakim pengadilan yang ditunjuk.34 Menurut pasal 1 angka 1 UUK-PKPU 2004, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, sedangkan pengertian debitor berdasarkan pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seseorang atau lebih kreditornya. Apabila sejarah hukum tentang kepailitan ditelusuri, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. Kata bangkrut, yang dalam bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari Undangundang di Italia yang disebut dengan banca rupta. Di abad pertengahan di eropa ada praktek kebangkrutan dimana dilakukan penghancuran bangku-bangku dari para bankir atau pedagang yang melarikan diri secara diam-diam dengan membawa harta para kreditornya. Sedangkan di Venetia (Italia) pada waktu itu, dimana para pemberi pinjaman (bankir) saat itu yang banco (bangku) mereka yang tidak mampu lagi membayar hutang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar-benar telah patah atau hancur.35 Hukum kepailitan timbul karena adanya pinjaman yang diberikan dari pihak kreditor kepada pihak debitor. Pinjaman dari kreditor kepada debitor disebut kredit (credit) yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan atau trust. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya faktor pertimbangan utama dari pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor
34
E. Suherman, Faillissement (Kepailitan), (Bandung: Binacipta, 1988), hal. 5.
35
Douglas G. Baird, Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston, (USA :
Little, Brown and Company, 1985), hal. 21.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
16
adalah kepercayaan kreditor bahwa debitor akan mengembalikan pinjamannya dengan tepat waktu.36 Bagi negara-negara dengan tradisi hukum common law yang berasal dari Inggris Raya, tahun 1952 merupakan tonggak sejarah, karena pada tahun 1952, hukum pailit dari tradisi hukum romawi diadopsi ke negeri Inggris dengan diundangkannya oleh parlemen di masa kekaisaran Raja Henry VIII sebagai Undang-undang yang disebut dengan Act Against Suuch Persons As Do Make Bankrupt.37 Undang-undang ini menempatkan kebangkrutan sebagai hukuman bagi debitor nakal yang mangkir untuk membayar utang sambil menyembunyikan aset-asetnya. Undang-undang ini memberikan hak-hak bagi kelompok kreditor yang tidak dimiliki oleh kreditor secara individual. Peraturan di masa-masa awal dikenalnya hukum pailit di Inggris banyak yang mengatur tentang larangan properti tidak dengan itikad baik (fraudulent conveyance statute) atau apa yang sekarang populer dengan sebutan actio pauliana.38 Di Inggris, insolvensi atau kebangkrutan didefinisikan, baik dari segi arus kas dan dalam hal neraca dalam UK Insolvency Act 1986, Pasal 123, sebagai :39 36
Silvany, Tjoetiar. “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pailit PT ADAM
SKYCONNECTION AIRLINES No: 26/PAILIT/2008/PN.Niaga.JKT.PST” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2009), hal. 12. 37
Munir Fuady, Op. cit., hal. 4.
38
Actio Pauliana adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditor
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk pembatalan segala perbuatan yang tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh debitor terhadap harta kekayaanya yang diketahui oleh debitor perbuatan tersebut merugikan kreditor. Hak tersebut diatur dalam KUH Perdata Pasal 1341. Actio pauliana yang diatur dalam Pasal 1341 KUH Perdata memperoleh ketentuan pelaksanaanya dalam Pasal 41-50 UUK-PKPU 2004. 39
“UNITED
KINGDOM
–
THE
INSOLVENCY
ACT
1986:
COMPANY
INSOLVENCY – COMPANIES WINDING UP: PART IV – WINDING UP OF COMPANIES REGISTERED UNDER THE COMPANIES ACTS” 123. Definisi ketidakmampuan untuk membayar utang (1)
Sebuah perusahaan dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya, a)
jika terbukti dengan kepuasan dari pengadilan bahwa perusahaan tidak mampu membayar utang-utangnya saat jatuh tempo. Hal ini dikenal sebagai arus kas kebangkrutan.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
17
“123. Definition of Inability to Pay Debts. (1) A company is deemed unable to pay its debts, a) of a creditor (by assignment or otherwise) to whom the company is indebted in a sum exceeding £750 then due has served on the company, by leaving it at the company's registered office, a written demand (in the prescribed form) requiring the company to pay the sum so due and the company has for 3 weeks there-after neglected to pay the sum or to secure or compound for it to the reasonable satisfaction of the creditor, or (2) A company is also deemed unable to pay its debts if it is proved to the satisfaction of the court that the value of the company's assets is less than the amount of its liabilities, taking into account its contingent and prospective liabilities.” Di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang termasuk kedalam kelompok negara dengan sistem hukum Anglo Saxon, hukum kepailitan diatur dalam Bankruptcy Code yang disahkan oleh Kongres. Bankruptcy Code terdiri dari beberapa Chapter. Chapter 11 tentang Reorganization adalah bab/chapter yang paling terkenal. Dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural person) maupun suatu badan hukum (legal entity) adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan uang tersebut, orang atau perusahaan antara lain dapat melakukannya dengan meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain. Dalam kehidupan memang tersedia sumber-sumber dana bagi seseorang atau suatu badan hukum yang ingin memperoleh pinjaman dari pihak lain (orang lain atau badan hukum lain), pihak yang memperoleh pinjaman itu disebut debitor sedangkan pihak yang memberikan pinjaman itu disebut kreditor.40
(2)
Sebuah perusahaan juga dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya jika terbukti dengan kepuasan pengadilan bahwa nilai aset perusahaan lebih kecil dari jumlah kewajibannya, dengan mempertimbangkan calon yang kontingen dan kewajiban. Ini adalah dikenal sebagai neraca kebangkrutan.
40
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang – Undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan.,(Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2009) hal. 2
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
18
Untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan secara nyata mengembalikan pinjamannya setelah jangka waktu pinjaman berakhir, dalam hukum terdapat beberapa asas. Asas tersebut menyangkut jaminan. Terdapat dua asas yang penting. Asas pertama menentukan, apabila debitor ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditor karena suatu alasan tertentu, maka harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi agunan atau jaminan utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini di dalam KUHPerdata dituangkan dalam Pasal 1131 yang bunyinya sebagai berikut : “Segala harta kekayaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan debitor.” Pasal 1131 KUHPerdata tersebut menentukan, harta kekayaan debitor bukan hanya untuk menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditor yang diperoleh dari perjanjian utang piutang di antara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yang timbul dari perikatan debitor. Sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, suatu perikatan (antara debitor dan kreditor) timbul atau lahir karena adanya perjanjian di antara debitor dan kreditor maupun timbul atau lahir karena ketentuan undang-undang. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, wujud perikatan adalah “untuk memberikan sesuatu”, “untuk berbuat sesuatu”, atau “untuk tidak berbuat sesuatu”. Dalam istilah hukum, perikatan dalam wujudnya yang demikian itu disebut pula dengan istilah “prestasi”. Pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut telah melakukan “wanprestasi”. Apabila perikatan itu timbul karena perjanjian yang dibuat di antara debitor dan kreditor, maka pihak yang tidak melaksanakan prestasinya disebut sebagai telah melakukan “cidera janji” atau “ingkar janji”, atau dalam bahasa Inggris disebut “in default”.41 Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya.
41
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit., hal. 3-4.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
19
Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh hutang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.42
2.1.2 Tujuan Kepailitan Sebagaimana dikutip dari Levinthal dari buku The Early History of Bankruptcy Law, tujuan utama dari hukum kepailitan digambarkan sebagai berikut : “All bankruptcy law, however, no matter when or where devised and enacted, has at least two general objects in view. It aims, first, to secure and equitable division of the insolvent debtor’s property among all his creditors, and, in the second place, to prevent on the part of the insolvent debtor conducts detrimental to the interest of his creditors. In other words, bankruptcy law seeks to protect the creditors, first, from one another and, secondly, from their debtor. A third object, the protection of the honest debtor from his creditors, by means of the discharge, is sought to be attained in some of the systems of bankruptcy, but this is by no means a fundamental feature of the law.” Dari hal yang dikemukakan di atas dapat diketahui tujuan-tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law), adalah: 1. Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor di antara para kreditornya; 2. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor;
42
M. Hadi Shubhan, Op. cit., hal. 27-28.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
20
3. Memberikan perlindingan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.43 Menurut Profesor Radin dalam tulisannya The Nature of Bankruptcy, tujuan semua undang-undang kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang debitor yang tidak cukup nilainya. Sementara itu Profesor Warren dalam bukunya Bankruptcy Policy mengemukakan sebagai berikut :44 “In Bankruptcy, with an inadequate pie to divide and the looming discharge of unpaid debts, the disputes center on who is entitled to shares of the debtor’s assets and how these shares are to be divided. Distribution among creditors is no incidental to others concerns; it is the center of the bankruptcy scheme.” Dalam penjelasan umum UU No. 37 Tahun 2004 dikemukakan mengenai beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu : 1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor; 2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya; 3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor. Ketiga hal itulah yang menurut pembuat UU No. 37 Tahun 2004 yang merupakan tujuan dibentuknya undang-undang tersebut yang merupakan produk
43
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 28.
44
Ibid., hal. 38.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
21
hukum nasional yang sesuai dengan kebutuhan dan pembangunan hukum masyarakat.45 UUK-PKPU 2004 dalam Pasal 2 membeda-bedakan siapa-siapa saja yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitor yang berbedabeda. Tergantung kepada jenis usaha debitor, yang dapat tampil sebagai pemohon pernyataan pailit adalah :46 a. Debitor itu sendiri b. Salah seorang Kreditor atau para kreditornya c. Jaksa atau atas dasar Keputusan Umum d. Bank Indonesia dalam hal Debitornya merupakan badan hukum bank e. BAPEPAM merupakan hal Debitor berupa perusahaan Efek Akibat hukum dari kepailitan ini adalah bahwa Debitor menjadi tidak mempunyai
kewenangan
untuk
melakukan
tindakan
kepengurusan
dan
kepemilikan yang membawa akibat dapat merugikan terhadap aset-asetnya, dan tindakan debitor untuk melakukan tindakan kepengurusan dan kepemilikan tersebut harus dilakukan oleh kuratornya yang ditunjuk atas dasar kepailitan. Adapun yang dapat menjadi kurator dalam kepailitan adalah orang perseorangan atau persekutuan yang telah terdaftar dalam departemen Kehakiman. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan tujuan-tujuan dari hukum kepailitan, yaitu sebagai berikut :47 1. Melindungi para kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitor baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitor”, yaitu dengan cara memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap debitor. Menurut hukum Indonesia,
45 46
Indonesia, Undang – Undang No. 37 tahun 2004., Penjelasan Umum. Aria Pratama Sriyanto, “Pemohon Pernyataan Pailit”
http://www.geocities.com/ariyanto_eks79/hukum_bisnis.htm, diunduh 12 Maret 2012. 47
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 29 - 31.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
22
asas jaminan tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUHPerdata. Hukum kepailitan menghindarkan terjadinya saling rebut di antara para kreditor terhadap harta debitor berkenaan dengan asas jaminan tersebut. Tanpa adanya undang-undang kepailitan, maka akan terjadi kreditor yang lebih kuat akan mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada kreditor yang lemah. 2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitor di antara para kreditor sesuai
dengan asas pari passu (membagi secara
proporsional harta kekayaan debitor kepada para kreditor konkuren atau unsecured creditors berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing). Di Dalam hukum Indonesia asas pari passu dijamin oleh Pasal 1132 KUHPerdata. 3. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditor. Dengan dinyatakan seorang debitor pailit, maka debitor menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindahtangankan harta kekayaannya. Putusan pailit memberikan status hukum dari harta kekayaan debitor berada di bawah sita umum (disebut harta pailit). 4. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, kepada debitor yang beritikad baik memberikan perlindungan dari para kreditornya dengan cara memperoleh pembebasan utang. Menurut hukum kepailitan Amerika Serikat, seorang debitor perorangan (individual debtor) akan dibebaskan dari utang-utangnya setelah selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaannya. Sekalipun nilai harta kekayaannya setelah dilikudasi atau dijual oleh likuidator tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya kepada para kreditornya, tetapi debitor tersebut tidak lagi diwajibkan untuk melunasi utang-utang tersebut. Kepada debitor tersebut diberi kesempatan untuk memperoleh financial fresh start. Debitor tersebut dapat memulai kembali melakukan bisnis tanpa dibebani dengan utang-utang yang menggantung dari masa lampau sebelum putusan pailit. Menurut US Bankruptcy Code, financial
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
23
fresh start hanya diberikan kepada debitor pailit perorangan dan tidak diberikan kepada debitor badan hukum. Jalan keluar yang dapat ditempuh oleh perusahaan yang pailit ialah membubarkan perusahaan debitor yang pailit itu setelah likuidasi berakhir. Menurut UU No. 37 Tahun 2004, financial fresh start tidak diberikan kepada debitor, baik debitor perorangan maupun debitor badan hukum setelah tindakan pemberesan oleh kurator selesai dilakukan. Artinya, apabila setelah tindakan pemberesan atau likuidasi terhadap harta kekayaan debitor selesai dilakukan oleh kurator dan ternyata masih terdapat utang-utang yang belum lunas, debitor tersebut masih tetap harus menyelesaikan utang-utangnya. Penjelasan umum dari undang-undang tersebut menyatakan “Kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya”. Setelah tindakan pemberesan atau likuidasi selesai dilakukan oleh kurator, debitor kembali diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaannya, artinya debitor boleh kembali melakukan kegiatas usaham tetapi tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utang-utang yang belum lunas. 5. Menghukum
pengurus
yang
karena
kesalahannya
telah
mengakibatkan perusahaan mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga perusahaan mengalami keadaan insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan. Dalam undangundang kepailitan Indonesia yang berlaku pada saat ini, sanksi perdata maupun pidana tidak diatur di dalamnya, tetapi diatur di dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas dan KUHPidana. Di beberapa negara lain, sanksi-sanksi itu dimuat di dalam undang-undang kepailitan negara yang bersangkutan. Di Inggris
sanksi-sanksi
pidana
berkaitan
dengan
kepailitan
ditentukan dalam Companies Act 1985 dan Insolvency Act 1986. 6. Memberikan kesempatan kepada debitor dan para kreditornya untuk
berunding
dan
membuat
kesepakatan
mengenai
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
24
restrukturisasi utang-utang debitor. Dalam Bankruptcy Code Amerika Serikat hal ini diatur dalam Chapter 11 mengenai Reorganization. Di dalam UU Kepailitan Indonesia kesempatan bagi debitor untuk mencapai kesepakatan restrukturisasi utangutangnya dengan para kreditornya diatur dalam Bab III tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
2.1.3
Prinsip – Prinsip Kepailitan
2.2.3.1 Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitor sasaran kreditor.48 Prinsip paritas creditorium mengandung makna
menjadi
bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barangbarang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.49 Adapun filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda, sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utangutangnya, meski harta tersebut tidak terkait langsung dengan utang-utangnya.50 Menurut Kartini Muljadi, peraturan kepailitan di dalam UUK-PKPU adalah penjabaran dari Pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal 1132 KUHPerdata. Hal ini dikarenakan: a. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya ;
48
Mahadi, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, (Alumni : Bandung, 2003), hlm. 135.
49
M. Hadi Shubhan, op.cit., hlm. 27-28.
50
Ibid, hal. 28.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
25
b. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya, tetapi
tidak
lagi
berhak
menguasainya
atau
menggunakannya
atau
memindahkan haknya atau mengagunkannya ; c. Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.51 Namun demikian, prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan. Oleh karenanya, ketidakadilan prinsip paritas creditorium harus digandengkan dengan prinsip pari passu pro rata parte dan prinsip structured creditors.52 Berbeda halnya dengan Undang-Undang Kepailiatan yang menerapkan prinsip paritas creditorium, maka di dalam Faillissementsverordening tidak menganut
prinsip
paritas
creditorium.53
Di
dalam
Pasal
1
Faillissementsverordening menyatakan bahwa setiap debitor yang tidak mampu membayar kembali utang tersebut baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang kreditor atau lebih, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitor yang bersangkutan dalam keadaan pailit.54 Ketentuan tersebut, tersurat bahwa pernyataan pailit hanya memerlukan dua syarat saja, yaitu debitor harus berada dalam keadaan telah berhenti membayar, dan harus ada permohonan pailit baik oleh debitor sendiri maupun seorang kreditor atau lebih. Ketentuan di dalam Faillissementsverordening yang tidak menganut prinsip paritas creditorium merupakan kelalaian pembuat undangundang. Pentingnya prinsip paritas creditorium untuk dianut di dalam peraturan kepailitan adalah sebagai pranata hukum untuk menghindari unlawful execution 51
Kartini Muljadi, Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam
Rudhy A.Lontoh, et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, hlm. 300. 52
M. Hadi Shubhan, op.cit., hal. 29.
53
Ibid, hal. 73.
54
Ibid, hal. 73 – 74.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
26
akibat berebutnya para kreditor untuk memperoleh pembayaran piutangnya dari debitor dimana hal itu akan merugikan baik debitor sendiri maupun kreditor yang datang terakhir atau kreditor yang lemah.55
2.1.3.2 Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Prinsip pari passu pro rata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan.56 Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.57 Adapun pengaturan mengenai prinsip ini diatur pula di dalam Pasal 189 ayat (4) dan (5) dan penjelasan Pasal 176 huruf a UUK-PKPU.
2.1.3.3 Prinsip Structured Pro Rata Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga dengan istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum kepailitan yang memberikan jalan keluar/keadilan diantara kreditor. Prinsip ini adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Di dalam kepailitan, kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren.58 Kreditor yang berkepentingan terhadap debitor tidak hanya kreditor 55
Ibid, hal. 74.
56
Ibid, hal. 30.
57
Ibid.
58
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 280.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
27
konkuren saja, melainkan juga kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (kreditor separatis) dan kreditor yang menurut ketentuan hukum harus didahulukan (kreditor preferen).59
2.1.3.4 Prinsip Debt Collection Prinsip debt collection (debt collection principle) adalah suatu konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor. Menurut Tri Hernowo, kepailitan dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaaan dan pemerasan. Sedangkan menurut Emmy Yuhassarie, hukum kepailitan dibutuhkan sebagai alat collective proceeding, yang berarti tanpa adanya hukum kepailitan masing-masing kreditor akan berlomba-lomba secara sendiri - sendiri mengklaim aset debitor untuk kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, hukum kepailitan mengatasi apa yang disebut dengan collective action problem yang ditimbulkan dari kepentingan individu masing - masing kreditor.60 Menurut Setiawan, peraturan kepailitan pada prinsipnya adalah debt collection law dan bahwa kepailitan merupkan suatu aksi kolektif (collective action) dalam debt collection. Douglas G. Bird menyatakan bahwa hukum kepailitan bertujuan untuk digunakan sebagai alat collective proceeding. Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin
untuk
menghindari
itikad
buruk
dari
debitor
dengan
cara
menyembunyikan dan menyelewengkan terhadap segenap harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya.61 Berkaitan dengan peraturan atau hukum kepailitan yang ada di Indonesia, di dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (1) UUK-PKPU sangat memegang teguh bahwa kepailitan adalah sebagai pranata debt collection. Persyaratan dipailitkan hanya berupa dua syarat kumulatif, yakni debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih yang belum dibayar lunas, serta memiliki 59
M. Hadi Shubhan, op.cit., hal. 33.
60
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 38.
61
M. Hadi Shubhan, op.cit., hal. 40 - 41.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
28
dua atau lebih kreditor. Di dalam undang-undang kepailitan tersebut tidak mensyaratkan adanya jumlah minimum utang tertentu atau disyaratkannya keadaan insolven dimana harta kekayaan debitor (aktiva) lebih kecil daripada utang-utang yang dimiliki (pasiva). Prinsip debt collection di dalam undangundang kepailitan Indonesia lebih mengarah kepada kemudahan untuk melakukan permohonan kepailitan.62
2.1.3.5 Prinsip Utang Di dalam proses beracara dalam hukum kepailitan, konsep utang menjadi sangat penting dan esensial (menentukan) karena tanpa adanya utang maka tidaklah mungkin perkara kepaiiitan akan dapat diperiksa. Tanpa adanya utang, maka esensi kepailitan tidak ada karena kepailitan adalah pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor untuk membayar utang – utangnya terhadap para kreditor.63 Dalam kepailitan Amerika Serikat, utang disebut dengan “claim”, sedangkan dalam bankruptcy law secara umum, utang debitor disebut dengan istilah “debt”, dan piutang atau tagihan kreditor disebut dengan istilah “claim”.64 Ned Waxman membedakan definisi claim dengan debt. Menurutnya, “claim is a right to payment even if it is unliquidated, unmatured, disputed, or contingent”. Di dalam claim ini meliputi pula “right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise to right to payment”. Debt sendiri diartikan sebagai “a debt is defined as liability on a claim”.65 Demikian pula dengan konsep utang dalam hukum kepailitan Belanda yang juga diberlakukan di Indonesia dengan asal konkordansi dalam peraturan kepailitan, bahwa utang adalah suatu bentuk kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam suatu perikatan. Fred B.G Tumbuan menyatakan bahwa dalam hal seseorang karena perbuatannya atau tidak melakukan sesuatu mengakibatkan bahwa ia mempunyai kewajiban membayar ganti rugi, memberikan sesuatu atau 62
Ibid, hal. 81 – 82.
63
Ibid, hal. 34.
64
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 89
65
M. Hadi Shubhan, op.cit., hal. 34 - 35.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
29
tidak memberikan sesuatu, maka pada saat itu juga ia mempunya utang, mempunya kewajiban melakukan prestasi. Jadi, utang sama dengan prestasi.66
2.1.3.6 Prinsip Debt Pooling Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan paiit harus dibagi diantara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte serta pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle).67 Black menjelaskan debt pooling sebagai : “Arrangement by which debtor adjusts many debts by distributing his assets among several creditor, who mat or may not agree to take less than is owed; or and arrangement by which debtor agree to pay in regular installments a sum of money to one creditor who agrees to discharge all his debt”.68 Emmy Yuhassarie menjabarkan prinsip debt adjustment sebagai suatu aspek dalam hukum kepailitan yang dimaksudkan untuk mengubah hal distribusi dari para kreditor sebagai suatu grup. Dalam perkembangannya prinsip ini mencakup pengaturan dalam sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi diantara kreditornya. Prinsip debt pooling ini juga merupakan artikulasi dari kekhususan sifat-sifat yang melekat di dalam proses kepailitan, baik itu berkenaan dengan karakteristik kepailitan sebagai penagihan yang tidak lazim (oineigenlijke incassoprocedures), pengadilan yang khusus menangani kepailitan dengan kompetensi absolut yang berkaitan dengan kepailitan dan masalah yang timbul dalam kepailitan, terdapatnya hakim pengawas dan kurator, serta hukum acara yang spesifik.69
66
Fred B.G Tumbuan , “Mencermati Makna Debitor, Kreditor, dan Undang – Undang
Berkaitan Dengan Kepailitan”, Dalam : Emmy Yuhassarie, Undang – Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2005) hal. 7. 67
M. Hadi Shubhan, op.cit., hal. 41.
68
Ibid, hal. 41-42
69
Ibid, hal. 42
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
30
2.1.4 Asas – Asas dalam Hukum Kepailitan Satjipto Rahardjo memberikan pendapat bahwa asas hukum merupakan ratio legis dari peraturan hukum atau sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum. Asas hukum merupakan jantung dari peraturan hukum dan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.70 Asas-asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakum yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat – sifat umum dalam peraturan konkret tersebut.71 Di dalam prakteknya, asas hukum bisa dijadikan dasar bagi hakim dalam menemukan hukum terhadap kasus – kasus yang sedang dihadapinya untuk diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada norma hukum positifnya. Di samping itu pula asas hukum dapat dijadikan parameter untuk mengukur suatu norma sudah pada jalur yang benar atau tidak.72 Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UUK-PKPU) di dalam penjelasan umumnya mengemukakan telah mengadopsi beberapa asas, yaitu : 2.1.4.1 Asas Keseimbangan UUK-PKPU mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan
mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang beritikad baik.73
70
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (PT Citra Aditya Bakti : Bandung, 2000), hal. 45.
71
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Liberty : Yogyakartal 2006),
72
M. Hadi Shubhan, Op. cit., hal. 27.
73
Indonesia, Op. cit., Pasal 2 ayat (1)
hal. 34.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
31
2.1.4.2 Asas Kelangsungan Usaha Asas Kelangsungan Usaha dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada perusahaan debitor yang prospektif untuk tetap melanjutkan usahanya. Implementasi terhadap asas ini dalam UUK-PKPU hanya sebatas pada kelangsungan usaha debitor setelah jatuhnya putusan pailit atas debitor tersebut, sedangkan untuk debitor yang belum dinyatakan pailit hal tersebut tidak berlaku, mengingat syarat untuk dipailitkannya debitor tidak memperdulikan apakah keadaan keuangan debitor masih solven atau tidak. UUK-PKPU memberikan hak kepada kurator selama masa pengangguhan hak eksekusi kreditor (masa tunggu 90 hari semenjak putusan pernyataan pailit diucapkan) untuk menggunakan harta pailit berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak dalam rangka kelangsungan usaha debitor.74 UUK-PKPU juga memberikan hak kepada kurator dan kreditor untuk mengusulkan agar perusahaan debitor pailit dilanjutkan jika di dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima.75 Hal lain yang berkaitan di dalam UUK-PKPU adalah memberi kewajiban hakim pengawas untuk mengadakan rapat apabila kurator atau kreditor mengajukan usul kepadanya untuk melanjutkan perusahaan debitor pailit yang harus diadakan paling lambat 14 hari setelah pengajuan usul.76
2.1.4.3 Asas Keadilan Asas Keadilan dalam hukum kepailitan memberikan pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan dapat mencegah terjadinya kesewenangwenangan para kreditor dalam mengusahakan penagihan pembayaran atas besaran tagihan masing-masing kepada debitor dengan tidak memperhatikan kreditor lainnya.
74
Ibid, Pasal 56 ayat (3).
75
Ibid, Pasal 179 ayat (1).
76
Ibid, Pasal 27.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
32
Pada prakteknya penerapan terhadap asas ini di dalam UUK – PKPU antara lain : a. Pengaturan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, segala tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokan ;77 b. Segala tuntutan hukum di pengadilan yang bertujuan untuk memperoleh pemenuhan kewajiban dari harta pailit, menjadi gugur demi hukum setelah diucapkannya putusan pernyataan pailit terhadap debitor ;78 c. Pengaturan bahwa hak eksekusi kreditor pemegang gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan; dan sebagainya.79
2.1.5 Syarat - Syarat Kepailitan Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan, jika persyaratan kepailitan tersebut di bawah ini telah terpenuhi : a. Debitor tersebut memiliki dua atau lebih kreditor; b. Harus ada utang; dan c. Debitor tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.80 Walau dengan adanya persyaratan yang limitatif tersebut, suatu kreditor tetap dapat dengan mudah mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debitornya, namun dalam prakteknya masih menimbulkan beberapa masalah yang berawal dari perbedaan interpretasi terhadap substansi yang tidak secara tegas mengatur hal-hal yang berkaitan dengan persyaratan permohonan pailit.81 77
Ibid, Pasal 181 ayat (1).
78
Ibid, Pasal 29.
79
Ibid, Pasal 56 ayat (1) jo. Pasal 55 ayat (1).
80
Ibid, Pasal 2 ayat (1).
81
Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan
di Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2008) hal. 42 – 43.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
33
Menurut Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah debitor harus mempunyai dua kreditor atau lebih. Dengan demikian, undang-undang ini hanya memungkinkan seorang debitor dinyatakan pailit apabila debitor memiliki paling sedikit dua debitor. Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium. Syarat bahwa debitor harus mempunyai dua kreditor atau lebih tidak dipersyaratkan atau tidak ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissementsverordening.82 Pakar hukum kepailitan Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa eksistensi UUK-PKPU diperlukan karena harus ada ketentuan hukum yang mengatur mengenai cara membagi harta kekayaan debitor di antara para kreditornya dalam hal debitor memiliki lebih dari satu seorang kreditor. Hal tersebut sebagai konsekuensi berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata. Rasio kepailitan ialah jatuhnya sita umum atas semua harta benda debitor yang setelah dilakukan rapat verifikasi utang-piutang tidak tercapai perdamaian atau accord, dilakukan proses likuidasi atas seluruh harta benda debitor untuk kemudian hasil perolehannya dibagi-bagikan kepada semua kreditornya sesuai dengan tata urutan tingkat kreditor sebagaimana diatur oleh undang-undang.83
2.1.6 Putusan Pailit dan Daya Eksekusinya Hakim Niaga memiliki kewenangan untuk memproses dan mengabulkan permohonan pailit dalam bentuk putusan dan bukan dalam bentuk ketetapan. Putusan pailit yang dijatuhkan Pengadilan bersifat dapat dilaksanakan terlebih dahulu meski terhadap putusan tersebut diajukan upaya hukum kasasi atau upaya hukum peninjauan kembali (PK).84 Apabila upaya hukum peninjauan kembali dikabulkan yang menyebabkan batalnya putusan pailit tersebut, semua tindakan hukum yang dilakukan kurator sebelum atau pada tanggal kurator menerima pemberitahuan pembatalan putusan tersebut tetap berlaku dan mengikat debitor.85 82
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 53.
83
Ibid.
84
Kartini Muljadi, Op. cit., hal. 300.
85
Indonesia, Op. cit., Pasal 16 ayat (2).
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
34
2.1.7 Akibat Hukum Pernyataan Pailit Kepailitan mengakibatkan Debitur yang dinyatakan pailit kehilangan segala hak keperdataan untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. “Pembekuan” hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU terhitung sejak saat keputusan pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami atau istri dari Debitur pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan.86 Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU, seperti diuraikan di atas maka setiap dan seluruh perbuatan hukum, termasuk perikatan antara Debitur yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Terhadap tindakan atau perbuatan hukum Debitur yang berupa transfer dana melalui bank atau lembaga lain selain bank yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan tetapi pada hari pernyataan pailit diucapkan tetap dianggap sah dan dapat dilanjutkan atau diteruskan transfer dana tersebut. Dalam hal ini termasuk juga transaksi jual beli efek di bursa efek yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan tetapi pada hari pernyataan pailit diucapkan tetap dianggap sah dan tetap dilanjutkan.87 Gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit selama dalam kepailitan, yang diajukan secara langsung kepada Debitur pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan. Apabila pencocokan tidak disetujui, maka pihak yang tidak menyetujui pencocokan tersebut demi hukum mengambil alih kedudukan Debitur pailit dalam gugatan yang sedang berlangsung tersebut. Walaupun gugatan tersebut hanya memberikan akibat hukum dalam bentuk pencocokan, namun hal tersebut sudah cukup untuk dijadikan sebagai salah satu bukti yang dapat mencegah berlakukan daluwarsa atas hak dalam gugatan tersebut.88
86
Gunawan Widjaja, Op Cit., hal. 15 – 16.
87
Ibid, hal. 47.
88
Ibid.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
35
2.2.7.1 Akibat Terhadap Debitor Pailit Pasal 24 ayat (1) UUK-PKPU menentukan, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak hari putusan pailit diucapkan.89 Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa harus dicermati dengan diputuskannya menjadi debitor pailit,
bukan
berarti debitor kehilangan hak keperdataannya untuk dapat melakukan semua perbuatan hukum di bidang keperdataan. Debitor pailit hanya kehilangan hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai kekayaannya. Sementara itu debitor masih punya kewenangan atau kemampuan hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan keperdataan lainnya, misalnya untuk melangsungkan pernikahan dirinya atau menjadi kuasa pihak lain untuk melakukan perbuayan hukum untuk dan atas nama pemberi kuasa. Dengan demikian, sejak putusan pernyataan pailit diucapkan hanya harta kekayaan debitor pailit yang berada di bawah pengampuan (di bawah penguasaan dan pengurusan pihak lain), sedangkan debitor pailit itu sendiri tidak berada di bawah pengampuan yang terjadi terhadap anak di bawah umur atau orang sakit jiwa yang dinyatakan berada di bawah pengampuan.90
2.1.7.2 Akibat terhadap Perikatan Debitor Pasal 25 UUK-PKPU menentukan bahwa semua perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan tidak lagi dapat dibayar (dipenuhi) dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.91 Sebagai konsekuensi hukum dari Pasal 25 UUK-PKPU, apabila setelah putusan pernyataan pailit debitor masih juga tetap melakukan perbuatan hukum yang menyangkut harta kekayaannya yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit, maka perbuatan hukum itu tidak mengikat kecuali mendatangkan keuntungan terhadap harta pailit tersebut.92
89
Indonesia, Op. cit., pasal 24 ayat (1)
90
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 190.
91
Indonesia, Op. cit., pasal 25.
92
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 194 - 195.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
36
2.1.7.3 Akibat terhadap Penetapan Pelaksanaan Pengadilan Menurut Pasal 31 ayat (1) UUK-PKPU, putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan yang berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor.93
2.1.8 Kepailitan Perseorangan Debitor yang tidak mampu untuk membayar utangnya kepada para kreditornya merupakan objek dari UUK-PKPU. Kepailitan perseorangan di negara – negara yang menganut common law system dibedakan pengaturannya, sedangkan di Indonesia berdasarkan UUK-PKPU tidak ada pembedaan aturan bagi kepailitan debitor perorangan maupun badan hukum.94
2.1.8.1 Subjek Hukum Perorangan Hukum perorangan (personenrecht) merupakan salah satu bidang dalam hukum perdata materiil yang mengatur mengenai pribadi alamiah (manusia) sebagai subjek hukum.95 Hukum perorangan diatur oleh buku I di dalam sistematika KUHPerdata. Yang diatur di dalam hukum perorangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kecakapan seseorang dalam hukum, hak dan kewajiban subjektif seseorang, serta hal-hal yang mempunyai pengaruh terhadap kedudukan seseorang sebagai subjek hukum, seperti jenis kelamin, status menikah, umur, domiili, status di bawah pengampuan atau pendewasaan, serta mengenai registrasi pencatatan sipil.96 93
Indonesia, Op. cit., pasal 31 ayat (1).
94
Septiana, Arini Dyah. “Analisis Yuridis Kepailitan Perseorangan Yang Terikat
Hubungan Kekerabatan (Studi Kasus Putusan Pailit Leo Kusuma Wijaya)” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2011), hal. 34. 95
Rachmadi Usman, Aspek – aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 35 – 36. 96
Septiana, Arini Dyah. Op cit., hal. 34.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
37
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.97 Manusia sebagai penyandang hak dan kewajiban tidak selalu mampu atau cakap dalam melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya, ada golongan orang yang dianggap tidak cakap melaksanakan hak dan kewajiban.98 Dalam perspektif hukum, tidak setiap subjek hukum orang yang menyandang kewenangan hukum, dapat bertindak sendiri dalam melakukan perbuatan hukum. Subjek hukum orang tersebut dapat berwenang bertindak sendiri apabila dirinya oleh hukum dianggap telah cakap, mampu atau pantas untuk bertindak dalam melakukan perbuatan hukum (handeling bekwaamheid). Namun sebaliknya, subjek hukum orang yang cakap bertindak menurut hukum, dapat
saja
dinyatakan
tidak
cakap
melakukan
perbuatan
hukum
(rechtbevoegheid).99 Pasal 1329 KUHPerdata mengatur bahwa setiap orang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali jika yang bersangkutan oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap melakukan perbuatan hukum.100 Subjek hukum yang orang yang dianggap belum cakap adalah : a. Orang-orang yang belum dewasa atau lebih cukup umur seperti yang ditentukan di dalam Pasal 330 KUHPerdata atau tidak lebih dahulu melangsungkan perkawinan.101 b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang yang dewasa yang selalu berada di dalam keadaan kurang ingatan, sakit jiwa (orang gila), mata gelap, dan pemboros.102 c. Semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya putusan pernyataan pailit mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum,
97
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty,
1996), hal. 39. 98
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal. 229 - 230.
99
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 83.
100
Indonesia, KUHPerdata, pasal 1233.
101
Ibid, pasal 1330.
102
Ibid, pasal 1330 jo pasal 110.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
38
menguasai dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit diucapkan oleh pengadilan.103 Bagi mereka yang dianggap tidak cakap bertindak dalam melakukan perbuatan hukum, maka dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan diwakili oleh orang lain yang ditunjuk oleh hakim pengadilan, yakni bisa orangtuanya, walinya, atau pengampunya.104 Sementara untuk pengurusan dan pemberesan harta pailit dilakukan oleh Kurator atau Balai Harta Peninggalan dengan diawasi oleh Hakim Pengawas.105
2.1.8.2 Karakteristik Kepailitan Perseorangan di Indonesia Terkadang di dalam kehidupan, baik orang perorangan (natural person) maupun badan hukum (legal entity) adakalanya berada dalam kondisi tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk mencukupi kekurangan uang tersebut orang atau perusahaan dapat melakukan pinjaman kepada pihak lain. Pihak lain penyedia sumber dana tersebut diantaranya adalah orang perorangan, perusahaan, maupun bank.106 Pinjaman-pinjaman yang diberikan oleh penyedia sumber dana tersebut dapat berupa :107 a. Kredit dari bank, kredit dari perusahaan selain bank, atau pinjaman dari orang perorangan (pribadi) berdasarkan perjanjian kredit, atau perjanjian pinjam meminjam; b. Surat-surat utang jangka pendek (sampai dengan 1 tahun), seperti misalnya commercial paper yang pada umumnya berjangka waktu tidak lebih dari 270 hari; c. Surat-surat utang jangka menengah (lebih dari 1 tahun sampai dengan 3 tahun); dan
103
Ibid, pasal 1330.
104
Rachmadi Usman, Op. Cit, hal. 84.
105
Indonesia, Op. Cit, pasal 69 jo pasal 65.
106
Septiana, Arini Dyah, Op. Cit, hal. 39.
107
Sutan Remy, Op. cit., hal. 6.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
39
d. Surat-surat utang jangka panjang (di atas 3 tahun), antara lain berupa obligasi yang dijual melalui direct placement. Faktor yang menjadi pertimbangan utama bagi kreditor adalah kemauan baik dari debitor untuk mengembalikan utangnya tersebut. Tanpa adanya kepercayaan (trust) dari kreditor kepada debitor, maka kreditor tidak akan memberikan pinjaman atau kredit.108
2.1.9 Kepailitan Lintas Batas Negara (Cross Border Insolvency) Seiring perkembangan jaman tentunya telah banyak terjadi transaksi yang berlaku secara internasional. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya perkara kepailitan yang melintasi batas negara. ada dua prinsip atau asas yang penting berkenaan dengan persoalan apakah putusan kepailitan luar negeri tentang kepailitan juga diakui atau mempunyai akibat hukum di dalam wilayah Negara sendiri.109 Dua prinsip tersebut adalah : a. Prinsip Universalitas (Unite Universalite Exterritorialite de la faillite) Menurut prinsip ini suatu putusan kepailitan yang diucapkan di suatu Negara mempunyai akibat hukum dimanapun saja dimana orang yang dinyatakan pailit mempunyai harta benda. Dengan prinsip ini seorang debitor yang dinyatakan pailit akan memberikan konsekuensi hukum terhadap harta kekayaan dimanapun harta tersebut terletak. b. Prinsip Teritorialitas (Pluralite de faillites, territorialite de la faillite) Menurut prinsip ini kepailitan hanya mengenai bagian-bagian harta benda yang terletak di dalam wilayah Negara tempat putusan pailit diucapkan. Dengan prinsip ini, seorang debitor dimungkinkan beberapa kali dinyatakan pailit. Berbicara tentang putusan pailit yang diputus oleh pengadilan asing yang akan dieksekusi di suatu negara, pada prinsipnya akan terkait dengan pertanyaan apakah putusan pengadilan asing dapat dieksekusi di suatu negara . Secara umum dapat dikatakan bahwa kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak negara
108
Septiana, Arini Dyah, Op. cit.
109
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 189.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
40
tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini tidak saja berlaku pada Negara-negara yang menganut sistem Civil Law tetapi berlaku juga bagi Negara-negara yang menganut sistem Common Law . Penolakan eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep kedaulatan Negara. Sebuah Negara yang memiliki kedaulatan tidak akan mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi. Kecuali Negara tersebut secara sukarela menundukkan diri, Mengingat pengadilan merupakan alat perlengkapan yang ada dalam suatu Negara maka wajar apabila pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan pengadilan asing.110
2.1.9.1 Pelaksanaan Putusan Pailit Pengadilan Asing Berdasarkan Perjanjian Internasional Sebenarnya perjanjian internasional yang mengatur tentang eksekusi putusan pengadilan asing sudah sejak lama ada yang dikenal dengan nama convention on Jurisdiction and Enforcement of Judgements in Civil and Commercial Matters (selanjutnya disebut “Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan”).111
Dengan
menandatangani
Konvensi
Pelaksanaan Putusan
Pengadilan akan memungkinkan pengadilan negara yang menandatangani konvensi untuk melaksanakan putusan pengadilan dari negara lain.112 Hanya saja dalam pasal 1 Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan disebutkan secara tegas
110
Istiqomah, Makalah. Relevansi Hukum Kepailitan dalam Transaksi Bisnis
Internasional, 2007. 111
Konvensi diadopsi pada tanggal 1 februari 1971. Untuk teks lengkap dapat diakses
pada situs web www.hcch.net/e/conventions/text 16e.html. 112
Hingga saat ini hanya ada tiga negara yang menandatangani Konvensi Pelaksanaan
Putusan Pengadilan, yaitu : Ciprus,Belanda dan Portugal. Harus diakui Konvensi ini tidak disukai oleh Negara-negara mengingat kedaulatan negara seolah-olah dikurangi. Ada konvensi yang mirip dengan Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu Konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, yaitu konvensi tentang pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbritase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbrital Awards) yang berlaku untuk putusan arbritase yang lebih popular dan diikuti banyak Negara.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
41
bahwa Konvensi tidak berlaku pada masalah kepailitan.113 Ketentuan pasal 1 ini berarti bahwa apabila ada negara yang telah menandatangani Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan, ia tidak mempunyai kewajiban untuk melaksanakan putusan pailit pengadilan asing. Melihat kelemahan yang terdapat pada Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan banyak negara yang menginginkan agar dibentuk sebuah perjanjian internasional yang secara khusus mengatur kepailitan yang bersifat lintas batas. Hingga saat ini belum tersedia perjanjian internasional yang mengatur secara khusus kepailitan yang bersifat lintas batas yang dapat diikuti oleh negara manapun (bersifat universal). Pada saat ini yang telah ada adalah perjanjian internasional bagi kepailitan yang bersifat lintas batas yang dilakukan secara regional (regional arrangement). Sebagai contoh di masyarakat Uni Eropa telah berlaku sebuah perjanjian internasional yang mengatur hal ini. Perjanjian internasional ini dinamakan Convention on Insolvency Proceedings (selanjutnya disebut “Konvensi insolvensi). Tujuan dari konvensi insolvensi adalah pembentukan satu wilayah kepailitan (the creation of a single bankruptcy territory) yang berarti bahwa “The bankruptcy courts of one state must have jurisdiction to commence a principal cross border bankruptcy case”. Hal ini ditegaskan dalam pasal 16 ayat (1) Konvensi Insolvensi yang menyebutkan bahwa : “Any jugdement opening insolvency proceedings handed down by a court of a member state which has jurisdiction pursuant to article 3 shall be recognized in all the other Member State from the time that it becomes effective in the State of the opening of proceedings.” Dengan demikian di Uni Eropa telah dimungkinkan putusan pailit pengadilan dari suatu negara anggota uni Eropa untuk dieksekusi di negara anggota Uni Eropa lainnya. 113
Pasal 1 Konvensi Pelaksanaan Putusan Pengadilan menyebutkan bahwa : “ It (the
convention ) shall not apply to decisions the main object of which is to determine-(5) questions of bankruptcy, compotitions or analogous proceedings, including decisions which may result there from and which relate to the validity of the acts of the debtor”.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
42
2.1.9.2 Sikap Indonesia Terhadap Kepailitan Lintas Batas Sebagaimana dinyatakan terdahulu, bahwa ada dua (2) prinsip hukum yang berlaku sehubungan dengan persoalan apakah suatu keputusan pengadilan asing (luar negeri) tentang kepailitan juga berlaku atau mempunyai akibat-akibat hukum di wilayah Negara sendiri. Dua prinsip tersebut adalah prinsip universalitas dan prinsip teritorialitas. Menurut Martin Wolft, sistem teritorialitas dianut di Amerika Serikat, sistem universalitas dianut di Jerman dan Swiss. Untuk Negara Inggris prinsip yang dianut adalah prinsip universalitas, kecuali hal berlakunya putusan hakim asing terhadap barang-batang tak bergerak yang terletak di Negara Inggris, maka berlaku prinsip teritorialitas. Menurut sistem hukum perdata internasional Belanda, keputusan kepailitan memakai prinsip teritorialitas. Pada pokoknya suatu keputusan pailit yang diucapkan di luar negeri tidak mempunyai akibat hukum di dalam negeri.114 Sikap negara Indonesia dalam persoalan kepailitan yang berdimensi Internasional dapat dilihat dalam Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004. Sikap Indonesia tersebut harus ditinjau dari dari dua sisi, yaitu sisi putusan pailit pengadilan asing terhadap harta debitor yang berada di Indonesia dan sisi putusan pailit oleh Pengadilan Niaga Indonesia terhadap harta debitor yang berada di luar negeri. a. Putusan pailit Pengadilan Asing Terhadap Harta Debitor yang Berada di Indonesia. Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, menentukan bahwa :“ Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata”. Sebagaimana diketahui bahwa hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia
adalah
Herziene
Indonesisch
Reglement/Rechtsreglement
Buitengewesten (HIR dan RBg). Rv sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, tetapi masih dijadikan sebagai pedoman, apabila hal ini diperlukan guna dapat
114
Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia, 2009), hal. 159.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
43
merealisasi hukum materiil. Ini berarti hukum acara kepailitan yang berlaku bagi kepailitan di Indonesia adalah HIR/RBg di samping Rv sebagai pedomannya.115 Berdasarkan ketentuan Pasal 436 Rv (Rechtverordering), putusan hakim asing tidak dapat dijalankan di Indonesia. Bunyi ketentuan Pasal 436 Rv adalah sebagai berikut : 1) Di luar keadaan-keadaan yang disebutkan dalam pasal 724 Kitab UndangUndang Hukum Dagang dan undang-undang lain, maka putusan-putusan Hakim negeri asing tidak dapat dijalankan di dalam wilayah hukum Negara Indonesia. 2) Perkara-perkara yang bersangkutan dapat diajukan, diperiksa dan dapat diputuskan lagi di muka Pengadilan Indonesia. 3) Dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan pada ayat (1), putusan-putusan hakim negeri asing hanya dapat dijalankan sesudah dibuatkan suatu permohonan dan terdapat izin dari hakim di Indonesia, dimana putusan itu harus dijalankan. 4) Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranya tidak akan diperiksa kembali.116 Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial (principle of territorial sovereignty), berarti keputusan Hakim Asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah Negara lain atas kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara Indonesia dan Negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan keputusan-keputusan asing di wilayah Republik Indonesia.117 Dengan demikian, dalam hukum kepailitan Indonesia dapat ditafsirkan bahwa Pengadilan Niaga tidak akan mengeksekusi putusan pailit pengadilan asing. Penafsiran ini didasarkan pada ketentuan Pasal 299 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang esensinya adalah memberlakukan hukum acara perdata pada Pengadilan Niaga. 115
Jono, Op. Cit, hal. 190.
116
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional. (Jakarta: N.V. Van
Dorp & Co., 1954), hal. 74. 117
Sutedi, Adrian, Op. Cit, hal. 158.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
44
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dari segi pelaksanaan terhadap putusan pailit pengadilan asing terhadap harta debitor yang berada di Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menganut asas territorial. Dalam arti, seorang debitor yang dinyatakan pailit di luar negeri, pernyataan tersebut tidak mencakup harta debitor yang berada di Indonesia. b. Putusan Pailit Pengadilan Indonesia terhadap Harta Debitor yang Berada di Luar Negeri. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan menentukan bahwa : “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 tersebut, secara formil putusan pengadilan niaga atas permohonan pernyataan pailit meliputi seluruh harta debitor, baik harta debitor yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar negeri. Dengan demikian terhadap harta debitor yang berada di luar negeri Indonesia menganut asas atau prinsip universalitas. Walaupun secara formil putusan pengadilan niaga meliputi seluruh harta debitor baik yang ada di Indonesia maupun yang berada di luar negeri, namun secara materiil pelaksanaannya akan mengalami kesulitan, artinya untuk mengeksekusi harta debitor di luar negeri akan berhadapan dengan yurisdiksi negara lain, sehingga perlu melihat apakah hukum Negara lain tersebut mengakui putusan kepailitan tersebut. Pada umumnya, suatu negara hanya memperbolehkan eksekusi putusan kepailitan dari negara lain, apabila ada perjanjian internasional (traktat) antara kedua Negara tersebut, termasuk juga Indonesia. Dengan demikian, secara materil putusan pengadilan niaga Indonesia tidak mampu menjangkau harta debitor yang berada di luar negeri, karena asas sovereignty yaitu tiap Negara mempunyai kedaulatan hukum yang tidak dapat ditembus atau digugat oleh hukum dari negara lain.118 Dari uraian di atas, terlihat bahwa Indonesia menganut asas universalitas terhadap putusan pengadilan niaganya, tetapi disisi lain memberlakukan asas 118
Jono, Op. Cit, hal. 192.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
45
teritorial terhadap putusan pailit pengadilan asing. Sikap demikian seolah-olah terlihat bahwa Negara Indonesia hanya mau mengambil sisi-sisi yang menguntungkan saja.
2.2 Pengakuan Putusan Pengadilan Asing di Pengadilan Indonesia Suatu keputusan forum asing, untuk dapat dilaksanakan di dalam wilayah suatu Negara, haruslah mendapat pengakuan dari Negara tempat putusan itu dilaksanakan.119 Di Indonesia mengenai hal tersebut diatur dalam pasal 246 Reglement op de Bugerlijke Rechtsvordering (Rv). Indonesia berpendirian bahwa pada dasarnya putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali berkenaan dengan pembiayaan yang telah dikeluarkan untuk penyelamatan kapal yang memuat barang (overij-grosse), karena menurut pasal 724 KUHD, overije-grosse yang terjadi di luar Indonesia dibuat di hadapan penguasa yang berwenang di Negara bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh para pihak adalah di mana perjalanan berakhir (pasal 722 KUHD). Oleh karena itu, sudah sepantasnya keputusan demikian diakui di Indonesia.120 Hal ini juga diadopsi oleh peraturan perundang-undangan selanjutnya, yaitu UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 67 bahwa putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter dan kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitu juga dalam Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Dalam pasal 436 Rv hanya yang menyangkut keputusan yang bersifat condemnatoir, yaitu keputusan-keputusan yang bersifat menghukum untuk melakukan sesuatu. Hal ini berarti jenis keputusan-keputusan yang bersifat deklaratif dan konstitutif seperti perkara perceraian dan di luar negeri bisa dipakai atau diakui di Indonesia sebagai bukti di Pengadilan. Pasal 436 Rv kemudian menerangkan, pertama, bahwa keputusan-keputusan pengadilan luar negeri tidak 119
Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi
Bisnis Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 117. 120
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Bina Cipta,
1987), hal. 291.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
46
dapat dieksekusi di Indonesia; kedua, perkara-perkara demikian itu dapat diajukan lagi dan diputuskan oleh badan-badan peradilan Indonesia; ketiga, keputusan hakim luar negeri dapat dilaksanakan hanya setelah memperoleh perintah fiat eksekusi (executoir) dalam bentuk yang telah ditentukan dalam pasal 435 Rv, yang telah diperoleh oleh pemenang dalam pengadilan negeri Indonesia, tempat keputusan itu harus dilaksanakan; keempat, untuk mengadakan fiat eksekusi, tidak perlu diadakan pengulangan pengadilan.121 Tidak semua putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan atau dengan kata lain putusan arbitrase asing tersebut dapat ditolak untuk dilaksanakan. Salah satu alasan yang saat ini selalu menjadi dasar penolakan putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan adalah mengenai pelanggaran terhadap asas ketertiban umum di suatu negara tempat dilaksanakannya putusan tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat 2 Konvensi New York 1958 yang menyebutkan bahwa: “Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is soughts finds that: a. The subject matter of the difference is not capable of settlement by arbitration under the law of that country; or b. The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy.”122 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan bahwa suatu putusan arbitrase asing untuk dapat dilaksanakan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 66, dan pada huruf c juga mengatur bahwa putusan arbitrase yang dapat dilaksanakan adalah keputusan arbitrase yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Begitu juga dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 1990, Pasal 3 mengatur mengenai putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan dan dalam point 3 hanya terhadap putusan arbitrase asing yang tidak bertentangan dengan ketertiban umumlah yang dapat dilaksanakan
121 122
Ibid., hal. 50-53. UN Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
tahun 1958.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
47
Pembahasan mengenai asas ketertiban umum tidak dapat dipisahkan dari pemberlakuan Konvensi New York tahun 1958 yang secara eksplisit menjelaskan tentang ketertiban umum. Dalam pasal 5 ayat 2 huruf b dijelaskan bahwa: “Article V 2. Recognition and enforcement of an arbitral award may also be refused if the competent authority in the country where recognition and enforcement is sought finds that : (b) The recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy of that country.”123 Selanjutnya pada tanggal 5 Agustus Tahun 1981, Indonesia resmi mereservasi Konvensi New York Tahun 1958 (Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981. Menurut Sudargo Gautama, berlakunya konvensi New York Tahun 1958 ini merupakan suatu upaya untuk mengatasi larangan yang dicantumkan dalam pasal 436 Rv yang pada intinya mewajibkan setiap putusan asing baik dari pengadilan maupun arbitrase yang ditetapkan di luar negeri, apabila hendak dilaksanakan di Indonesia harus diperiksa ulang sebagai suatu perkara baru.124 Dalam pasal 436 Rv mencantumkan hal-hal sebagai berikut: “Kecuali yang ditentukan dalam pasal 724 KUHD, keputusan di luar negeri tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.”
123
UN Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards
tahun 1958. “Pasal V Pengakuan dan pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase dapat ditolak apabila otoritas yang berwenang di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan diminta berkesimpulan bahwa: (b) Pengakuan dan pelaksanaan dari putusan arbitrase akan bertentangan dengan ketertiban umum dari negara tersebut”. 124
Tinneke Louise Tugeh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York
1958, (Bandung: PT Karya Kita, 2004), hal. 33.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
48
Perkara-perkara demikian dapat diajukan lagi dan diputus di dalam badanbadan peradilan di Indonesia.125 Larangan tersebut di atas untuk melaksanakan putusan asing di wilayah Republik Indonesia muncul karena dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap asas kedaulatan dari negara Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Hal ini disebabkan berlakunya prinsip teritorialitas atau asas kedaulatan teritorial (Principle of territorial sovereignity) yang mengsyaratkan bahwa putusan yang ditetapkan di luar negeri tidak dapat langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya sendiri. Oleh karenanya Konvensi New York menurut Gautama dapat mengatasi hal tersebut. Merespon Konvensi New York tersebut yang sudah di reservasi, Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1990 sebagai aturan pelaksana atau Rule of Procedure sesuai dengan amanat Pasal 3 Konvensi New York 1958. Ketertiban umum dalam PERMA No. 1 Tahun 1990 dianggap penting, sehingga syarat tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum yang sudah dinyatakan dalam pasal 3 ayat 3 diulangi kembali dalam pasal 4 ayat 2 mengenai ketertiban umum yaitu “nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dan seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia. Hal ini berbeda seperti yang dikemukakan Sudargo Gautama, yaitu: “Tidak boleh bertentantangan dengan ketertiban umum, menghendaki bahwa keputusan arbitrase asing apabila akan dilaksanakan di wilayah RI akan menimbulkan suatu keguncangan yang hebat dalam sistem hukum di Indonesia. Isi keputusan asing tersebut adalah manifestly incompatible, seperti disebut dalam konvensi-konvensi hukum perdata internasional, antara lain tidak kurang dari 38 konvensi-konveensi HPI Den Haag. Ini berarti bahwa putusan arbitrase asing yang diminta pelaksanannya secara mencolok benar-benar tidak dapat diterima oleh sistem hukum Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila. Atau asas-asas lain yang fundamental sistem hukum Indonesia. Namun, pembatasan dengan ketertiban umum ini sebaliknya dipergunakan seirit mungkin. Jadi, as shield (sebagai tameng) dalam hal hanya untuk menjaga jangan sampai sistem hukum Indonesia akan mengalami suatu
125
Tinneke Louise Tugeh Longdong, Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing dan Permasalahannya: Suatu Tinjauan dan Permasalahannya, (Bandung: PT Karya Kita, 2004), hal. 33.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
49
keguncangan yang besar, secara ofensif dan bukan as sword) sebagai pedang.”126 Asas ketertiban umum merupakan salah satu asas yang harus diperhatikan dan
sangat
penting
khususnya
dalam
ruang
lingkup
hukum
perdata
internasional.127 Asas ini dikenal dalam setiap sistem hukum, baik common law maupun civil law. Dalam sistem hukum common law asas ketertiban umum dikenal dengan istilah public policy, sedangkan dalam sistem hukum civil law dikenal dengan istilah ordre public, salah satunya di Perancis. Sampai saat ini tidak ada suatu definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan asas ketertiban umum. Sudah banyak penulis yang mencoba menguraikan tentang ketertiban umum, tetapi hal tersebut hanya menimbulkan pertentangan-pertentangan pikiran. Meskipun tidak ada kesatuan pendapat tentang ketertiban umum di antara pakar hukum, namun mereka semua berpendirian bahwa ketertiban umum itu memegang peranan yang penting di dalam setiap sistem hukum negara. Hal ini tidak terlepas dari masing-masing negara mempunyai ketertiban umumnya sendiri-sendiri dan pengertian ketrtiban umum itu selalu dinamis dan berubah menurut waktu. Alasan lain mengapa ketertiban umum ini sususah untuk didefinisikan adalah karena tingkat fundamentality of moral conviction or policy ditentukan secara berbeda untk setiap kasus di bergai negara dan juga berbeda menurut kondisi dan situasi.128 Bahkan adakalanya asas ketertiban umum tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial politik. Seperti diketauhi bahwa dalam beberapa kasus, situasi yang akan mempengaruhi pengadilan dalam menerapkan public policy adalah hubungan politik antara forum dengan negara asing dan dalam praktiknya, tingkat doktrin tersebut diterapkan oleh pengadilan tergantung pada hubungan politik antara negara-negara yang terkait.129 126
Tinneke Tuegeh Longdong, Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958, hal.
127
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Buku IV, (Bandung: Alumni, 1989),
128
Tinneke Tuegeh Longdong, op.cit., hal. 81-85 dan 118.
129
Ibid., hal. 16.
152.
hal. 3.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
50
Yahya Harahap seorang mantan Hakim Agung dan pakar Arbitrase memberikan batasan asas ketertiban umum sebagai berikut: “Suatu yang dianggap bertentangan dengan ketertiban pada suatu lingkungan (negara) apabila di dalamnya terkandung suatu hal atau keadaan yang bertentangan dengan sendi-sendi dan nilai-nilai asasi sistem hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa”.130 Selanjutnya, menurut pasal 23 AB, ketertiban umum adalah melanggar tata susila dan moral. Ketentuan pasal 23 AB ini tidak hanya terbatas pada suasana nasional tetapi juga meliputi suasana internasional, karena ketentuan yang termaktub dalam pasal 23 AB meliputi semua perjanjian dan perbuatan hukum lainnya yang terjadi di dalam wilayah negara nasional. Dr. Tin Zuraida, SH, M.Kn di dalam bukuinya Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori dan Praktek mengutip pernyataan Prof. Mr. Sudargo Gautama bahwa yang disebut Public Policy atau ketertiban umum adalah sebagai berikut: “Public policy atau openbare orde hanya merupakan “a reserve principle which is only to be invoked exceptionally”.131 Selain itu, di Indonesia dikenal asas kebebasan berkontrak dalam membuat suatu perjanjian. isi perjanjian dan dalam menerapkannya tidak boleh bertentangan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian terlepas dari adanya kebebasan para pihak dalam menentukan sendiri bentuk dan isi dari perjanjian yang mereka buat. Adapun syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab
130
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 01 K/Pdt.Sus/2010 perkara
antara Astro Nusantara International BV, Astro Nusantara Holding BV, Astro Multi Media Corporation N.V, Astro Multimedia NV, Astro Overseas Limited, Astro All Asia Network PLC, Measat Broadcast Network System SDN BHD dan All Asia Multimedia Network FZLLC melawan PT. Ayunda Primatamitra, PT. First Media, Tbk dan PT. Direct Vision, Dokumen ini diunduh dari situs http://putusan.mahkamahagung.go.id pada tanggal 07 Juni 2012. hal. 20 131
Ibid.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
51
undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi: Untuk sahnya persetujuanpersetujuan diperlukan 4 (empat) syarat:132 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya b. Cakap untuk membuat suatu perikatan c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal Pasal 1320 ayat 4 merupakan suatu pembatasan dalam perjanjian yang dibuat. Suatu perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan Undang-undang yang berlaku dan kesusilaan (Pasal 1337). Dari rangkaian teori di atas, pasal 1337 KUHPerdata telah memberikan pedoman dalam hal asas ketertiban umum yaitu tidak boleh dilanggarnya peraturan perundang-undangan dan kesusilaan yang berlaku, Oleh karenanya asas ketertiban umum ini dikatakan sebagai “rem darurat” ini diperlukan untuk menjauhkan berlakunya hukum asing yang seharusnya kita pergunakan menurut ketentuan hukum perdata internasional kita sendiri. Karena diberlakukannya hukum asing oleh hakim nasional tidak boleh dilanggarnya atau terhapusnya sendi-sendi asasi dari hukum nasional kita sendiri. Ini disebut sebagai fungsi negatif dari ketertiban umum. Fungsi positifnya adalah bahwa ketertiban umum mengidentifisir dan menjamin berlakunya ketentuan hukum tertentu, tanpa memperhatikan hukum yang seharusnya berlaku, karena telah dipilih oleh para pihak. Meskipun sistem hukum dari setiap negara mengenal konsepsi ketertiban umum ini, namun sebaliknya dipergunakan hanya sebagai pengecualian. Karena kalau setiap kali ketertiban umum ini dipergunakan sebagai alasan untuk mengenyampingkan berlakunya hukum asing, maka Hukum Perdata Internasional negara tersebut tidak akan berkembang dan menganggap bahwa hukum nasionalnya yang paling baik.133
132
Indonesia, KUHPerdata, Op. cit, pasal 1320.
133
Tineke Louise Tuegeh Longdong, Op. Cit., hal. 16
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
52
BAB III KASUS POSISI DAN ANALISIS YURIDIS KASUS KEPAILITAN MANWANI SANTOSH TEKCHAND MELAWAN OCBC SECURITIES.
3.1 Kasus Posisi Permohonan pailit terhadap Manwani Santosh Tekchand didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal
19
Maret
2010
di
bawah
register
perkara
Nomor
:
26/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST. Pihak yang mengajukan permohonan pailit adalah OCBC Securities Private Limited (Badan hukum Singapura, selanjutnya disebut sebagai “Pemohon Pailit” atau “Pemohon”). Sedangkan, pihak yang dijadikan sebagai termohon pailit adalah Manwani Santosh Tekchand (Warga Negara Indonesia, selanjutnya disebut sebagai “Termohon Pailit” atau “Termohon”).134 Alasan Pemohon mengajukan permohonan pailit terhadap Termohon adalah dikarenakan Termohon, menurut Pemohon, memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kepada Pemohon berdasarkan Putusan High Court of The Republic of Singapore (Pengadilan Tinggi Negara Republik Singapura) No. : S870/2008/D, di samping Termohon mempunyai satu kreditur lain selain Pemohon, yaitu CIMB-GK.Pte.Ltd yang juga berdasarkan Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi Singapura melalui Putusan No. S966/2008/F Pada tanggal 1 Juli 2009, The High Court of The Republic of Singapore (Pengadilan Tinggi Negara Republik Singapura) telah mengeluarkan putusan dalam perkara No. : S870/2008/D antara Pemohon sebagai Penggugat dan Termohon sebagai Tergugat, yang isi amar putusannya berbunyi sebagai berikut (dalam terjemahan Bahasa Indonesia oleh Penerjemah Tersumpah)135 :
134
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No :
26/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST, hal. 1. 135
Ibid., hal. 3.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
53
“Putusan Akhir Ingkar Hadir
Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa Tergugat harus membayar kepada penggugat yaitu : a. Sejumlah 2.371.914 Dollar Singapura (Sing$) pertanggal 21 Oktober 2008 sebagaimana telah diajukan dalam paragraf 7 pernyataan klaim; b. Sejumlah
Sing
$
5.674.35
pertanggal
12
November
2008
(sebagaimana telah diajukan dalam paragraf (pernyataan klaim)); c. Bunga lanjutan sejumlah Sing $ 2.371.914.92 pertanggal 21 Oktober 2008 yang dimanfaatkan akhir bulan dengan tingkat suku bunga kontraktual gabungan sebesar 1% per tahun diatas tingkat suku bunga pinjaman yang berlaku di Overseas Chinese Banking Corporation Limited (OCBC Limited) (dimana per tanggal 31 Oktober 2008 sebesar 5 % per tahun) dari tanggal 21 Oktober 2008 sampai tanggal pembayaran penuh (sebagaimana telah diajukan dalam paragraf pernyataan klaim); d. Bunga lanjutan sejumlah Sing $ 5.634.35 pertanggal 12 November 2008, dimanfaatkan pada akhir bulan dengan tingkat suku bunga kontraktual gabungan sebesar 2% pertahun diatas tingkat suku bunga pinjaman utama yang berlaku di OCBC Limited dimana pertanggal 31 Oktober 2008 sebesar 5 % per tahun dan tanggal 24 September 2008 (tanpa bunga pada 7 hari pertama) sampai tanggal 17 Oktober 2008 (23 hari) dan susudahnya dengan tingkay suku bunga sebesar 4 % di atas tingkat suku bunga pinjam utama yang berlaku di OCBC Limited sampai tanggal pembayaran penuh (sebagaimana telah diajukan dan diminta secara khusus dan paragraf 10 pernyataan klaim); e. Biaya sejumlah Sing $ 7.300.80 atas dasar ganti kerugian penuh.”
Dengan dasar putusan tersebut di atas, Pemohon melalui kuasa hukumnya di Indonesia, Edward N.H Abraham, Juris Doctor dan David Abraham, BCL dari
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
54
kantor Abraham Law Firm telah memberitahukan, pemperingatkan dan meminta dengan tegas kepada Termohon agar melaksanakan isi putusan The High Court Of The Republic of Singapore dalam Perkara No. S870/2008/D tanggal 1 Juli 2009 untuk melakukan pembayaran kepada Pemohon. Pada tanggal 10 Agustus 2009, untuk yang kedua kalinya Pemohon melalui kuasanya Edward N.H Abraham Juris Doctor dan David Abraham, BSL tersebut telah memberitahukan, memperingatkan dan meminta dengan tegas agar Termohon melaksanakan isi putusan The High Court Of The Republic Of Singapore dalam perkara No. S870/2008/D, yaitu untuk melakukan pembayaran kepada Pemohon. Termohon lagi-lagi tidak memberikan tanggapan atas somasi ke-2 (dua) dari Pemohon tersebut, oleh karenanya Pemohon berpendapat bahwa Termohon tidak mempunyai itikad baik Penagihan
telah
dilakukan
berkali-kali,
namun
sampai
diajukannya
permohonan pailit oleh Pemohon, Termohon tetap tidak melakukan pembayaran atau melunasi kewajibannya sehingga Termohon terbukti mempunyai utang yang telah jatuh tempo dan belum dibayar kepada Pemohon sebesar 2.384.890.05 Dollar Singapura atau setara Rp. 15.423.083.953,30 dengan nilai tukar 1 Dollar Singapura sebesar Rp.6.467,00 dengan perincian: a. Utang Pokok dan Bunga sampai dengan 21 Oktober 2008 sebesar Sing $ 2.371.914.90; b. Bunga sampai dengan 12 Oktober 2008 sebesar Sing $ 5.674.35; c. Biaya perkara sebesar Sing $ 7.300.80. Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, Pemohon berdalil bahwa Termohon telah terbukti secara sederhana tidak dapat diharapkan melaksanakan putusan perkara No. S870/2008/D tanggal 1 Juli 2009 yang diputuskan oleh The High Court of The Republic of Singapore.136 Selain kepada Pemohon, Termohon juga memiliki utang kepada pihak Kreditur Lain, yaitu CIMB-GK SECURITIES Pte.Ltd (Kreditur Lain), suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Singapura dan berkedudukan di 50 Raffles Place #19-00 Singapore Land Tower Singapore 048623. Baik OCBC
136
Ibid., hal. 4.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
55
Securities Pte.Ltd maupun CIMB-GK Securities Pte.Ltd menunjuk kuasa hukum dari kantor yang sama, yaitu firma hukum Rajah & Tann.137 Utang Termohon kepada pihak kreditur lain tersebut timbul berdasarkan isi Putusan yang dikeluarkan pada tanggal 5 Maret 2008 oleh The High Court Of The Republic Of Singapore dalam perkara S966/2008/F antara pihak kreditur lain. Dalam hal ini CIMB-GK SECURITIES Pte.Ltd sebagai Penggugat dan Termohon selaku Tergugat, yang amarnya dikutip sebagai berikut (dalam terjemahan Bahasa Indonesia oleh Penerjemah Tersumpah):
“Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat, pada hari ini telah diputuskan bahwa Tergugat harus membayar kepada Penggugat : a. Sejumlah 1.284.728.22 Dollar Singapura; b. Bunga kontrak atas pinjaman sejumlah 1.281.445.69 Dollar Singapura dengan suku bunga 5,5 % pertahun (menjadi 0,5 % pertahun di atas suku bunga pinjaman utama United Overseas Bank Ltd) akan dihitung perhari dan dimanfaatkan pada akhir setiap bulan sebagai jumlah pokok toyal pinjaman dari tanggal 18 Desember 2008 sampai dengan tanggal pembayaran penuh, dan; c. Membayar biasa sejumlah 7.286.33 Dollar Singapura atas dasar ganti kerugian.”
Dengan demikian berdasarkan fakta-fakta di atas, Pemohon berdalil bahwa Termohon sekurang-kurangnya mempunyai dua kreditur tanpa adanya keharusan bahwa utang-utang kreditur lain tersebut telah jatuh tempo dan harus dibayar berdasarkan Undang-undang Kepalitan.138 Dari uraian tersebut diatas dan bukti-bukti yang disampaikan, menurut Pemohon, persyaratan bagi Termohon untuk dapat dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang 137
Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Irfan Arifin, Senior Associate pada kantor
hukum Lubis, Santosa & Maramis (salah satu kuasa hukum pihak Pemohon Pailit dan Kreditor Lain) yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 22 Juni 2012 138
Ibid., hal. 5-6.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
56
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) yang menyatakan “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dnyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya” telah terpenuhi. Menurut Pemohon, permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon ini telah diajukan oleh Pemohon sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam UUK-PKPU. Sehingga dari uraian tersebut di atas dan bukti-bukti yang disampaikan, terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan bagi debitur untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) UUKPKPU telah terpenuhi, karenanya sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3) UUKPKPU permohonan pernyataan pailit terhadap Termohon ini harus dikabulkan. Pemohon meminta agar Tonggo Parulian Silalahi, SH. STP, Daftar Kemenkumham : AHU.AH.04.03-62, beralamat di Gedung Manggala Wanabakti, Blok V lantai 17 Jl. Jenderal Gatot Subroto Jakarta Pusat Indonesa 10270 untuk menjabat baik sebagai Kurator sementara maupun Kurator dalam Kepailitan yang tidak mempunyai benturan kepentingan jika diangkat sebagai Kurator sementara maupun dalam kepailitan. Berdasarkan pada dalil-dalil dan bukti tersebut diatas, Pemohon pailit memohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memeriksa permohonan ini dan berkenan memberika amar putusan sebagai berikut139 : 1. Mengabulkan
permohonan
Pemohon
untuk
seluruhnya
(termasuk
permohonan pengangkatan kurator sementara); 2. Menyatakan Termohon lalai untuk melaksanakan isi putusan Singapura (The High Court Of The Republic Of Singapore) dalam perkara No. S870/2008/D tanggal 1 Juli 2009; 3. Menyatakan Termohon pailit dengan segala akibat hukumnya; 4. Mengangkat Hakim Pengawas dari susunan Hakim di Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat; 5. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara. 139
Ibid., hal. 8.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
57
Terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon Pailit, Termohon Pailit mengajukan tanggapannya pada tanggal 15 April 2010. Termohon Pailit membantah seluruh dalil-dalil yang diajukan oleh Pemohon kecuali terhadap halhal yang diakui secara tegas. Pemohon berdalil bahwa terkait dengan keberadaan Surat Kuasa Khusus Pemohon tertanggal 27 Juli 2009 yang diberikan kepada Abraham Law Firm selaku Kuasa Pemohon, terbukti nyata telah mengandung cacat formil karena usaha Pemohon a quo tidak dapat membuktikan di depan persidangan jika Prinsipal Pemberi Kuasa yakni : Hui Yew Ping (Managing Director) dan Phuah Jee Suan (Corporate Secretary) merupakan pihak yang berhak sesuai dengan susunan pengurus yang tercantum didalam Article of Association dan/atau memiliki kewenangan untuk mewakili OCBC Securities Pte.Ltd. Selain itu Kuasa Pemohon a quo juga telah mendapatkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 16 November 2009 dari pihak terkait dalam permohonan a quo yaitu CIMB-GK Securities Pte.Ltd, dan sejauh ini Penerima Kuasa tidak dapat membuktikan di depan persidangan jika Prinsipal Pemberi Kuasa tersebut yakni : Chan Yuen May (Chief Operating Officer) dan Carolina Chan Swee Liang (Chief Executive Officer) adalah pihak yang berhak sesuai dengan susunan pengurus yang tercantum di dalam Article of Association dan/atau memiliki kewenangan untuk mewakili CIMB-GK Securities Pte Ltd. Termohon menegaskan dalam bantahannya bahwa setiap dokumen yang dibuat dan berasal dari luar wilayah Republik Indonesia (RI), maka sebelum digunakan kekuatan pembuktiannya berdasarkan RI, dokumen-dokumen tersebut harus dilegalisir terlebih dahulu di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atau Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Negara tempat dikeluarkannya dokumendokumen dimaksud dan disarankan agar sebelum dilegalisir oleh Perwakilan RI, dilegalisir dahulu oleh Kementerian Luar Negeri Negara setempat, karena legalisasi yang dilakukan oleh Perwakilan RI hanya merupakan pengesahan tanda tangan pejabat Kementerian Luar Negeri setempat. Setelah itu dokumen-dokumen dimaksud harus terlebih dahulu dilunasi bea materai terutangnya. Disamping itu, dokumen-dokumen asing yang berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui Penterjemah Tersumpah (Sworn Translator) di
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
58
Indonesia sebagai salah satu syarat sahnya dokumen tersebut dipergunakan untuk pembuktian.140
Termohon berdalil bahwa dasar alasan dari permohonan pernyataan pailit Pemohon adalah putusan dari The High Court Of The Republic Of Singapore dalam perkara No. S870/2008/D tanggal 1 Juli sebagaimana termuat dalam dalil permohonan pailit Pemohon, yang meminta Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk menyatakan Termohon lalai dalam melaksanakan isi putusan tersebut. Maka sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dan demi kedaulatan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemberlakuan putusan tersebut harus ditolak dan tidak dapat dilaksanakan eksekusinya di Indonesia. Hal tersebut mengacu pada ketentuan Pasal 299 UUK-PKPU yang menyebutkan : “Kecuali ditentukan lain dalam Undang – Undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata” Dari ketentuan Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering (RV) yang menentukan : 1. Kecuali seperti yang dtentukan dalam Pasal 724 dari Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) dan lain-lain ketentuan perundang – undangan, keputusan – keputusan yang diberikan oleh badan – badan peradilan luar negeri tidak dapat dieksekusi di Indonesia; 2. Perkara-perkara sedemikian dapat diajukan lagi dan diputuskan di dalam badan-badan peradilan di Indonesia; 3. Berkenaan dengan pengecualian yang tercantum dalam ayat (1) di atas, maka keputusan-keputusan dari Hakim luar negeri dapat dijalankan hanya setelah memperoleh suatu perintah fiat eksekusi (executoir) dalam bentuk seperti ditentukan dalam Pasal 435 RV yang telah diperoleh oleh pihak pemegang dari Pengadilan Negerti di Indonesia yang berwenang di tempat dimana keputusan asing ini harus dilaksanakan; 4. Untuk memperoleh perintah fiat eksekusi tersebut, tidak perlu untuk mengadili perkara yang bersangkutan sekali lagi. 140
Ibid., hal. 8-9.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
59
Sehingga menurut Termohon putusan badan peradilan asing tidak mempunyai kekuatan mengikat serta perkara yang bersangkutan sekali lagi. Asas hukum Internasional di Indonesia mengenai eksekusi terhadap isi putusan suatu badan peradilan asing menyatakan bahwa putusan peradilan asing tidak dapat dilaksanakan eksekusinya di luar wilayah negara tersebut. Berdasarkan Pasal 436 RV, apabila putusan peradilan asing dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia, maka akan melanggar atau dianggap bertentangan dengan asas kedaulatan Negara Kesaturan
Republik
Indonesia
(NKRI).
Pengecualian
tentang
dapat
dilaksanakannya putusan badan peradilan asing seperti disebutkan di dalam ayat (2) tersebut, hanya berkenaan dengan putusan-putusan yang berkenaan dengan averij grosse (Biaya yang diperlukan dan kerugian yang diderita oleh kapan, barang muatan, atau anak buah kapal harus dibebankan kepada dan dipertanggungjawabkan oleh kapal, upah-upah pengangkutan dan barang muatan seluruhnya). Pelaksanaan putusan yang dimaksud adalah putusan badan peradilan asing yang bersifat menghukum untuk melaksanakan suatu pembayaran. Termohon berpendapat bahwa terhadap suatu Permohonan Pernyataan pailit berdasarkan keberadaan putusan suatu badan peradlan tersebut diatas, telah membuktikan terjadi upaya pemaksaan hukum yang dilakukan oleh Pemohon, padahal Termohon selaku Warga Negara Indonesia (WNI) telah digugat oleh pemohon di The High Court of The Republic of Sngapore dalam Perkara No. S870/2008/D dengan tanpa mendapatkan Relaas pemberitahuan yang patut dan sah menurut hukum sehingga perkara tersebut diputus dengan Putusan akhir ingkar hadir (Final Judgement in Default of Appearance) atau dalam Hukum Acara Perdata disebut dengan putusan verstek. Relaas pemberitahuan sidang tentang adanya gugatan tersebut tidak pernah disampaikan secara patut dan sah menurut hukum. Termohon juga tidak pernah mendapatkan salinan resmi dari putusan tersebut, sehingga putusan tersebut tidak bisa diajukan sebagai bukti yang sah karena secara administrative procedural telah mengandung cacat hukum.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Termohon menolak dengan tegas isi putusan Perkara No. S870/2008/D dari The High Court of The Republic of Singapore karena Termohon tidak pernah melakukan transaksi bisnis saham dengan
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
60
Pemohon, sehingga putusan tersebut sejatinya tidak benar. Namun jika Pemohon ingin membuktkan untuk perkara tersebut tidak mudah dan cepat, maka seharusnya sengketa tersebut diperiksa di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bukan melalui pengajuan Permohonan Pernyataan pailit di Pengadilan Niaga. Untuk itu Termohon menolak dengan tegas keberadaan Putusan Perkara No. 870/2008/D dari The High Court of The Republic of Singapore dan surat-surat pemberitahuan, peringatan, dan permintaan yang dilayangkan oleh Kuasa Pemohon (Somasi) terhadap Termohon melalui alamat kantor PT. ASIA TRADE POINT FUTURES, yatu agar melaksanakan isi putusan dalam Perkara S870/2008/D tanggal 1 Juli 2009 untuk melakukan pembayaran kepada pemohon karena jelas dan nyata tidak identik dengan Surat Pengakuan Utang. Paralel dengan penolakan Termohon terhadap keberadaan Putusan Perkara S870/2008/D tanggal 1 Juli 2009 dari The High Court of The Republic of Singapore yang semula diajukan oleh Pemohon, maka Termohon dengan dalildalil keberatan yang sama juga menyatakan menolak dengan keras keberadaan Putusan Perkara No. S966/2008/F dari The High Court of The Republic of Singapore yang semula di ajukan oleh CIMB-GK Securites Pte.Ltd.141 Setelah mempertimbangkan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pemohon Pailit dan tanggapan-tanggapan yang diajukan oleh Termohon Pailit, Majelis Hakim Niaga akhirnya memutus untuk142 : 1. Menolak Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon; 2. Menghukum
Pemohon
untuk
membayar
biaya
perkara
sebesar
Rp.411.000,-. Yang menjadi pertimbangan hakim, antara lain adalah143 : 1. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang mengandung unsur-unsur yang harus dibuktikan, yaitu Debitor yang memiliki dua atau lebih kreditor, tidak membayar lunas sedikitnya satu utang, dan yang telah jatuh
141
Ibid., hal. 10-13.
142
Ibid., hal. 26.
143
Ibid., hal. 17-26.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
61
waktu dan dapat ditagih.144 Hal utama yang harus dipertimbangkan adalah apakah benar secara hukum Pemohon Pailit adalah sebagai pihak kreditor dan Termohon Pailit merupakan debitor. Yang menjadi pertimbangan lain adalah Debitor yang memiliki dua atau lebih Kreditor, dan utang itu telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Pengertian Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka peradilan.145 Sedangkan Debitor adalah orang yang mempunyai
utang
karena
perjanjian
atau
undang-undang
yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.146
2.
Pemohon OCBC Securities Pte.Ltd. mendalilkan Termohon mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan memohon agar Termohon (Manwani Santosh Tekchand) dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, dengan alasan bahwa pada 1 Juli 2009 The High Court of The Republic Of Singapore telah mengeluarkan putusan terhadap perkara No. S870/2008/D antara Pemohon sebagai Penggugat dan Termohon sebagai Tergugat. Termohon terbukti memiliki utang yang jatuh tempo dan belum dibayar kepada Pemohon sebesar 2.384.890.05 Dollar Singapura. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut telah terbukti secara sederhana bahwa Termohon tidak dapat diharapkan melaksanakan isi putusan perkara, karenanya Pemohon mermohon agar Termohon dinyatakan palit dengan segala akibat hukumnya. Pemohon dalam petitumnya telah menuntut dengan menyatakan Termohon lalai melaksanakan isi putusan The High Court of The Republic Of Singapore. Di dalam tanggapannya Termohon telah membantah baik transaksi bisnis saham dengan pemohon, keberadaan Surat Kuasa Hukum Pemohon dari OCBC Securities Pte. Ltd. maupun dari CIMB-GK Securities Pte. Ltd. Termohon juga membantah
144
Indonesia, Op. cit., Pasal 2 ayat (1).
145
Ibid, Pasal 1 ayat (2).
146
Ibid, Pasal 1 ayat (3).
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
62
bahwa putusan Peradilan Asing tidak dapat dilaksanakan eksekusinya diluar wilayah Negara tersebut. 3. Setelah Majelis Hakim mencermati permohonan dan petitum dari Pemohon dan bantahan Kuasa Hukum termohon, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu permasalahan hukum dalam perkara ini adalah : “Apakah putusan Peradilan Asing mempunyai kekuatan Eksekutorial untuk dapat dilaksanakan secara langsung di Indonesia dan apakah karena adanya Putusan asing yang tidak dilaksanakan dapat dijadikan alasan Termohon dinyatakan pailit”. 4. Yang selanjutnya menjadi pertimbangan adalah apakah benar secara hukum Pemohon adalah Pihak Kreditor yang berhak mengajukan Pailit dan termohon adalah Debitor yang mempunyai hubungan hukum dengan pemohon
sehingga
mempertimbangkan
dapat bahwa
dimintakan Pemohon
pailit. (OCBC
Majelis
Hakim
Securities.Pte.Ltd)
mendasarkan diri sebagai kreditor berdasarkan putusan The High Court of The Republic of Singapore tanggal 1 Juli 2009 dengan menyatakan antara lain (dengan terjemahan dari Penerjemah Bersumpah) : “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat benar – benar membayar penggugat... (..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..)” Sehingga pemohon dalam petitumnya telah menuntut dengan menyatakan Termohon lalai melaksanakan isi putusan dalam perkara No. S870/2008/D. Majelis Hakim menimbang, bahwa demikian pula Pemohon mengajukan Kreditor Lain (CIMB GK.Pte.Ltd) yang berdasarkan pada putusan The High Court of The Republic of Singapore tanggal 5 Maret 2009 dalam perkara No. S966/2008/F yang menyatakan antara lain : “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat harus membayar kepada penggugat... (..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..)” Majelis Hakim menimbang, bahwa dari terjemahan amar putusan The High Court of The Republic of Singapore No. S870/2008/D secara tersurat maupun
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
63
tersirat bahwa Tergugat incasu Manwani Santosh Tekchand sudah membayar sejumlah uang kepada penggugat dengan adanya kata-kata
“benar-benar
membayar kepada penggugat” maka dalil-dalil Pemohon mendasarkan diri sebagai Kreditor dari Termohon berdasarkan lampiran bukti berupa putusan No. S870/2008/D adalah tidak beralasan menurut Hukum.
5. Bahwa dikarenakan dalil Pemohon didasarkan pada adanya dua putusan The High Court of The Republic of Singapore di lain hal Termohon menyangkal adanya hubungan hukum dengan Pemohon sehingga Majelis Hakim masih memerlukan verifikasi terhadap hal-hal sebagai berikut : a. Apakah ada surat panggilan untuk menghadiri persidangan bagi Tergugat dalam hal ini Termohon? b. Apakah
putusan
tersebut
telah
diberitahukan
kepada
Tergugat/Termohon Pailit?
3.2 Analisis Yuridis Manwani Santosh Tekchand adalah pihak yang berdasarkan putusan dari The High Court of The Republic of Singapore diwajibkan untuk membayar sejumlah
uang
kepada
OCBC
Securities.Pte.Ltd
(berdasarkan
putusan
No.870/2008/D) dan CIMB-GK Securities.Pte.Ltd (berdasarkan putusan No. 966/2008/F). Kewajiban membayar di dalam kedua putusan ini pada dasarnya timbul dari utang yang berasal dari dua Perjanjian Derivatif : a. Margin Agreement antara Manwani Santosh Tekchand dengan OCBC Securities.Pte.Ltd; dan b. Margin Agreement antara Manwani Santosh Tekchand dengan CIMBGK Securities.Pte.Ltd.147 Permohonan pailit terhadap Manwani Santosh Tekchand oleh OCBC Securites.Pte.Ltd adalah permohonan pailit yang diajukan berdasarkan putusan
147
Hasil wawancara dengan Bapak Ahmad Irfan Arifin, Senior Associate pada kantor
hukum Lubis, Santosa & Maramis (salah satu kuasa hukum pihak Pemohon Pailit dan Kreditor Lain) yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 22 Juni 2012.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
64
The High Court of The Republic of Singapore tersebut diatas. Artinya putusan pengadilan asing dijadikan dasar untuk menentukan apakah seseorang dapat dikualifikasikan sebagai debitor dan karenanya dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Pengajuan permohonan pailit itu sendiri baru dapat dikabulkan apabila telah terbukti memenuhi unsur-unsur yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU mengatur mengenai syaratsyarat kepailitan, sedangkan Pasal 8 ayat (4) mengatur mengenai Pembuktian Sederhana. Uraian dari unsur-unsur kedua pasal tersebut dalam kaitannya dengan 2 (dua) putusan pengadilan asing yang dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan pailit terhadap Manwani Santosh Tekchand adalah sebagai berikut :
1. Syarat Minimal 2 (dua) atau Lebih Kreditor Syarat mengenai keharusan adanya dua atau lebih kreditor dikenal sebagai concursus creditorium yang juga ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Faillissementsverordening.148 Salah satu unsur terpenting pada Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU dalam hal seorang debitor hendak dipailitkan adalah harus terpenuhinya unsur bahwa debitor punya dua atau lebih kreditor. Definisi kreditor menurut UUK-PKPU adalah : “Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang -Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.”149 Putusan The High Court of The Republic of Singapore Nomor S870/2008/D menyatakan bahwa Tergugat/Termohon Pailit Manwani Santosh memiliki utang yang
harus
dibayarkan
kepada
Penggugat/Pemohon
Pailit
OCBC
Securities.Pte.Ltd. Di dalam Permohonan Kepailitan OCBC Securities terhadap Manwani Santosh Tekchand, Pemohon berdalil bahwa Termohon juga memiliki utang lain kepada pihak kreditur lain, yaitu CIMB-GK SECURITIES Pte.Ltd (Kreditur lain), suatu badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Singapura dan berkedudukan di 50 Raffles Place #19-00 Singapore Land Tower Singapore 048623. Di dalam putusan The High Court of The Republic of Singapore tanggal 5
148
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 53.
149
Indonesia, op.cit., Pasal 1 ayat (2).
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
65
Maret 2009 Nomor S966/2008/F dinyatakan bahwa Tenggugat Manwani Santosh Tekchand yang (Termohon Pailit) harus membayar kepada Pemohon (CIMB Securities Pte.Ltd). Dalam putusannya, Majelis Hakim memutuskan untuk menolak permohonan pailit Pemohon OCBC Securities kepada Termohon Manwani Santosh. Majelis Hakim menimbang, bahwa dari terjemahan amar putusan The High Court of The Republic of Singapore No. S870/2008/D secara tersurat maupun tersirat bahwa Tergugat incasu Manwani Santosh Tekchand sudah membayar sejumlah uang kepada penggugat dengan adanya kata-kata
“benar-benar membayar kepada
penggugat” maka dalil-dalil Pemohon mendasarkan diri sebagai Kreditor dari Termohon berdasarkan lampiran bukti berupa putusan No. S870/2008/D adalah tidak beralasan menurut Hukum. Dari pertimbangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Majelis Hakim menganggap utang Manwani Santosh Tekchand terhadap OCBC Securities.Pte.Ltd berdasarkan Putusan The High Court of The Republic of Singapore No. S870/2008/D itu tidak terbukti secara hukum. Yang perlu dicermati adalah di dalam kedua putusan The High Court of The Republic of Singapore tersebut baik No. S870/2008/D (Dengan Penggugat OCBC Securities Pte.Ltd) maupun No. S966/2008/F (Penggugat CIMB-GK.Pte.Ltd) terdapat kata-kata : “..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..” Walau kedua putusan tersebut pada dasarnya memerintahkan hal yang sama, di dalam terjemahan resmi oleh Penerjemah Tersumpah atau Sworn Translator terdapat perbedaan terjemahan, dimana terjemahan resmi Putusan No. S870/2008/D (Dengan Penggugat OCBC Securities.Pte.Ltd dan Tergugat Manwani Santosh Tekchand) menyebutkan : “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat benar – benar membayar penggugat... (..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..)” Sedangkan terjemahan resmi putusan No.966/2008/F dengan Penggugat CIMB Securities.Pte.Ltd dan Tergugat Manwani Santosh Tekchand menyebutkan:
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
66
“...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat harus membayar kepada penggugat... (..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..)” Dapat dilihat bahwa terdapat kata – kata “No appearance having been entered by the Defendant herein. It is this day adjudged that the Defendant pays the Plaintiffs” pada putusan No.870/2008/D dan putusan No.966/2008/F persis sama. Namun dalam terjemahan resmi yang dihadirkan di pengadilan terdapat perbedaan yang memiliki akibat hukum tidak terpenuhinya salah satu syarat kepailitan, yaitu terdapat dua atau lebih kreditor. Pemohon mengajukan putusan No.870/2008/D yang menyatakan adanya kewajiban dari Tergugat/Termohon Pailit untuk membayar sejumlah uang kepada Penggugat/Pemohon Pailit sebagai dasar pembuktian adanya utang dan hubungan hukum sebagai debitor dan kreditor diantara keduanya. Terjemahan resmi yang diajukan mematahkan pembuktian tersebut sehingga tidak terbukti adanya utang diantara keduanya. Sebenarnya pembuktiannya akan menjadi lebih mudah apabila Pemohon Pailit mengajukan perjanjian yang dapat membuktikan adanya hubungan debitor dan kreditor diantara keduanya sebagai dasar permohonan pailit daripada mengajukan putusan No.870/2008/D sebagai dasar gugatan. Hal itu juga berlaku untuk kreditor lainnya, yaitu CIMB-GK Securities.Pte.Ltd. Debitor dalam kepailitan adalah debitor yang harus memiliki minimal 2 (dua) atau lebih kreditor sesuai dengan apa yang dipersyaratkan oleh Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU. Pemohon Pailit dalam pengajuan permohonan pailitnya mengikutsertakan kreditor lain, yaitu CIMB-GK Securities.Pte.Ltd. Kedudukan CIMB-GK Securities.Pte.Ltd sebagai kreditor dapat dilihat dari Putusan The High Court of The Republic of Singapore No.966/2008/F dimana Termohon Pailit diperintahkan untuk membayar sejumlah uang kepada Pemohon Pailit. Oleh karena itu CIMB-GK Securities.Pte.Ltd menurut penulis telah memenuhi kriteria sebagai kreditor walaupun hal tersebut masih dapat diperdebatkan karena “adanya utang” didasarkan dari putusan peradilan asing yang mewajibkan Termohon Pailit membayar sejumlah uang kepada Pemohon
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
67
Pailit. Pasal 436 Reglement op de Bugerlijke Rechtsvordering (Rv). Indonesia berpendirian bahwa pada dasarnya putusan pengadilan asing tidak dapat dilaksanakan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali berkenaan dengan pembiayaan yang telah dikeluarkan untuk penyelamatan kapal yang memuat barang (averij-grosse). Namun perkara-perkara yang bersangkutan dapat diajukan, diperiksa dan dapat diputuskan lagi di muka Pengadilan Indonesia, dan putusan asing merupakan sebuah akta yang dikeluarkan lembaga yang berwenang (dalam hal ini The High Court of The Republic of Singapore) sehingga dapat dijadikan salah satu alat bukti.
2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang pada dasarnya merupakan kewajiban yang dimiliki oleh debitor untuk melakukan pembayaran sejumlah yang kepada kreditor. Secara sempit definisi utang adalah kewajiban yang timbul dari perjanjian utang piutang, sedangkan definisi utang secara luas adalah kewajiban yang timbul dari perjanjian – perjanjian lain. Pasal 1 ayat (6) UUK-PKPU memberikan definisi utang: 150 “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang – undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.” Terdapat dua pendapat yang berbeda mengenai salah satu syarat kepailitan yaitu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Ada yang berpendapat bahwa unsur “jatuh waktu” dan “dapat ditagih” sebagai satu kesatuan. Sebaliknya ada pendapat yang mengatakan bahwa keduanya memiliki pengertian yang berbeda dan tidak dapat disatukan. Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU menyatukan kedua unsur tersebut, dapat dilihat dari kata “dan” diantara kata “jatuh waktu” dan “dapat ditagih”.151 Apabila berpendapat bahwa kedua unsur tersebut sebagai suatu kesatuan, maka harus menggantungkan pada perjanjian yang mendasari hubungan 150
Indonesia, Op. cit., Pasal 1 ayat (6).
151
Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., hal. 57.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
68
hukum di antara debitor dan kreditor. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan yaitu apabila tidak diatur secara jelas kapan suatu perjanjian jatuh waktu, maka akan lebih sulit untuk diputuskan apakah kreditor telah dapat menagihnya atau belum. Sedangkan apabila berpendapat bahwa unsur “jatuh waktu” dan “dapat ditagih” bukan merupakan suatu kesatuan maka diperbolehkan untuk melakukan suatu penagihan meskipun utang tersebut belum jatuh waktu (jika diatur dalam perjanjian). Pendapat ini tentu saja lebih menguntungkan kreditor apabila ternyata dalam hubungan perikatannya dengan debitor tidak didasari perjanjian yang mengatur mengenai jangka waktu. Seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, bahwa hubungan di antara Pemohon Pailit dan Kreditor lain dengan Termohon Pailit adalah sebagai debitor dan kreditor yang terikat oleh hubungan utang piutang. Permohonan Pailit terhadap Manwani Santosh Tekchand adalah permohonan pailit yang diajukan berdasarkan putusan pengadilan asing, yaitu putusan The High Court of The Republic of Singapore No.870/2008/D (OCBC Securities melawan Manwani) dan No.966/2008/F (CIMB Securities melawan Manwani). Dalam kedua putusan tersebut, Manwani Santosh Tekchand sebagai tergugat diwajibkan untuk membayar sejumlah uang kepada masing-masing penggugat, yang keduanya didasarkan oleh utang yang muncul dari sebuah perjanjian derivatif. SK Direktur BI No. 28/119/KEP/DIR, tanggal 29 Desember 1995 memberikan definisi mengenai derivatif : “Suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan suatu turunan dari nilai dari instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi, equity, dan indeks, baik yang diikuti degan pergerakan atau tanpa pergerakan dana/instrumen”152 Terlepas dari persoalan apakah kewajiban yang dinyatakan dalam putusan pengadilan asing itu hanya bisa diakui oleh pengadilan Indonesia sebagai utang termohon atau tidak, yang jadi menjadi permasalahan adalah mengenai apakah kewajiban tersebut jika diakui sebagai utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih.
152
Bank Indonesia, SK Direktur BI No. 28/119/KEP/DIR, 29 Desember 1995.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
69
Dalam pertimbangan hukum dan fakta dalam Putusan Pengadilan Indonesia (permohonan pailit terhadap Manwani Santosh Tekchand) terdapat fakta bahwa OCBC Securities Pte.Ltd dan CIMB-GK Securities Pte.Ltd sudah melakukan penagihan terhadap utang Manwani Santosh Tekchand. Majelis Hakim secara eksplisit mempertimbangkan adanya fakta bahwa OCBC Securities Pte.Ltd dan CIMB-GK Securities Pte.Ltd sudah melakukan penagihan utang, sehingga dalam hal memang benar kewajiban dalam Putusan Asing tersebut diakui sebagai utang maka secara implisit putusan Pengadilan Indonesia mengakui fakta bahwa utang Manwani Santosh Tekchand sebagai debitur telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Walaupun dapat dikatakan bahwa debitor memiliki utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih, namun menurut penulis ada satu hal yang menjadi masalah. Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan bahwa : “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.” Melihat ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU ini dapat disimpulkan bahwa sebuah perkara kepailitan menganut sistem pembuktian yang sederhana. Apabila kita melihat bahwa pada kenyataannya perkara kepailitan Manwani Santosh Tekchand ini Kreditor menjadikan sebuah putusan pengadilan asing sebagai dasar dari permohonan pailit. Walaupun putusan pengadilan asing yang dijadikan dasar dari permohonan pailit tersebut didasari oleh utang Termohon Pailit Manwani Santosh Tekchand yang berasal dari dua buah perjanjian derivatif (antara Termohon Pailit dan Pemohon Pailit yang berujung pada keluarnya putusan The High Court of The Republic of Singapore No.870/2008/D dan antara Termohon Pailit dan Kreditor lain yang berujung pada keluarnya putusan The High Court of The Republic of Singapore No. 966/2008/F) namun pembuktian adanya utang menjadi tidak sederhana. Apabila Pemohon Pailit menginginkan persyaratan pembuktian sederhana itu terpenuhi, seharusnya yang dijadikan dasar gugatan bukan putusan pengadilan asingnya melainkan perjanjian derivatifnya. Berhubungan dengan perkara kepailitan Manwani Santosh Tekchand ini, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah Putusan Pengadilan Asing yang
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
70
telah memutus bahwa seorang debitor diwajibkan membayar utang kepada kreditor dapat dijadikan dasar kepailitan terhadap debitor tersebut di Indonesia. Artinya adalah apakah putusan pengadilan asing ini dapat diterima secara formil dan materiil sebagai bukti yang sah dan konklusif tentang adanya utang dan hubungan antara debitor dan kreditor. Apabila dilihat dari aspek formil, menurut penulis Putusan Pengadilan Asing merupakan sebuah alat bukti yang sah. Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) menyebutkan beberapa alat bukti : a. Alat Bukti Surat; b. Alat Bukti Saksi; c. Alat Bukti Persangkaan; d. Alat Bukti Pengakuan; e. Alat Bukti Sumpah. Alat bukti surat menurut Sudikno Mertokusumo adalah:153 ”Segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan merupakan akta. Sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta bawah tangan.154 Pasal 165 HIR memberikan definisi mengenai akta otentik : “Surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya, yaitu tentang segala hal, yang tersebut dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja, tetapi yang tersebut kemudian itu hanya sekedar yang diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok dalam akta itu.”
153
Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hal. 49
154
Ibid.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
71
Pasal 1868 KUHPerdata menjelaskan lebih lanjut mengenai akta otentik:155 “Suatu akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.” Wirjono Prodjodikoro juga memberikan definisi mengenai akta otentik sebagai :“Surat yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti oleh atau di muka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu.” 156 Kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat yang terdapat pada akta otentik, merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan yang terdapat padanya. Apabila salah satu kekuatan itu cacat mengakibatkan akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat. Oleh karena itu untuk melekatkan nilai kekuatan yang seperti itu pada akta otentik, harus terpenuhi kekuatan pembuktian :157 a. Kekuatan Bukti Luar Suatu akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti luar dan harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik. b. Kekuatan Pembuktian Formil Kekuatan pembuktikan formil yang melekat pada akta otentik dijelaskan Pasal 1871 KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan penanda tangan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu, segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta otentik, dianggap
155
Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang – undangan RI (Internusa, Jakarta,
1992), hal. 585. 156
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia (Sumur, Bandung, 1975),
157
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
hal. 108. Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Sinar Grafika, Jakarta, 2006) hal. 566 – 567.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
72
benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. c. Kekuatan Pembuktian Materiil Mengenai kekuatan pembuktian materiil akta otentik menyangkut permasalahan benar atau tidaknya keterangan yang tercantum di dalamnya. Oleh karena itu, kekuatan pembuktian materiil merupakan persoalan pokok akta otentik. Dari penjelasan yang ada di atas dapat diambil kesimpulan bahwa putusan pengadilan asing sudah memenuhi syarat formil sebagai suatu akta otentik karena memenuhi unsur “dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.”. Dengan demikian apabila hanya melihat sebatas syarat formilnya saja, maka putusan pengadilan asing dapat dijadikan alat bukti yang sah dan konklusif di pengadilan Indonesia. Walaupun putusan pengadilan sudah memenuhi syarat formil sebagai suatu akta otentik, namun tidak serta merta dapat diterapkan menjadi alat bukti di dalam pengadilan. Ada syarat-syarat materiil yang juga harus dipenuhi. Dalam Pasal 436 Rv, dijelaskan dengan tegas bahwa putusan pengadilan asing tidak dapat diakui dan tidak dapat dieksekusi oleh putusan pengadilan Indonesia. Bunyi ketentuan Pasal 436 Rv adalah sebagai berikut :158 “1. Di luar keadaan-keadaan yang disebutkan dalam pasal 724 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan Undang-undang lain, maka putusan-putusan Hakim negeri asing tidak dapat dijalankan di dalam wilayah hukum Negara Indonesia; 2. Perkara-perkara yang bersangkutan dapat diajukan, diperiksa, dan dapat diputuskan lagi di muka pengadilan Indonesia; 3. Dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan pada ayat (1), putusanputusan hakim negeri asing hanya dapat dijalankan sesudah dibuatkan suatu permohonan dan terdapat izin dari hakim di Indonesia, dimana putusan itu harus dijalankan; 4. Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranya tidak akan diperiksa kembali.”
158
Wirjono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 74.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
73
Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan teritorial (principle of territorial sovereignty), berarti keputusan Hakim Asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah Negara lain atas kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara Indonesia dan Negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan keputusan-keputusan asing di wilayah Republik Indonesia.159 Ada beberapa pengecualian terhadap ketentuan pasal 436 Rv, salah satunya adalah Pasal 724 KUHD yang mengatur mengenai averij grosse (Biaya yang diperlukan dan kerugian yang diderita oleh kapan, barang muatan, atau anak buah kapal harus dibebankan kepada dan dipertanggungjawabkan oleh kapal, upah-upah pengangkutan dan barang muatan seluruhnya). Menurut ayat terakhir pasal ini, dimungkinkan mengadakan perhitungan dan pembagian averij grosse di luar wilayah Indonesia. Apabila diadakan di luar Indonesia, dan kemudian dijatuhkan putusan meskipun itu putusan Hakim Asing atau berdasarkan wewenang kekuasaan asing, putusan itu mengikat untuk diakui dan dieksekusi oleh pengadilan Indonesia. Ada pengecualian lain terhadap ketentuan Pasal 436 Rv, yaitu dengan suatu konvensi yang diratifikasi menjadi undang-undang di Indonesia (sebagai contoh pengakuan atas putusan kepailitan diantara beberapa negara termasuk Indonesia, yang berdampak dikesampingkannya ketentuan Pasal 436 Rv), atau dengan asas resiprositas (timbal balik). Hanya dengan kedua cara ini larangan Pasal 436 Rv bisa ditembus. Dilihat dari syarat-syarat formilnya, putusan pengadilan asing memang merupakan sebuah akta otentik. Namun apabila dilihat dari syarat-syarat materiilnya putusan pengadilan asing tidak serta merta dapat diterapkan dan dijadikan alat bukti yang sah dan konklusif di pengadilan Indonesia. Putusan pengadilan asing memang merupakan sebuah akta otentik namun untuk dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan Indonesia sudah diatur secara khusus di dalam Pasal 436 Rv sehingga berlaku asas “Lex specialis derogat lex generali” atau hukum yang berlaku khusus mengenyampingkan hukum yang berlaku umum. Pada kesimpulannya, putusan pengadilan asing secara materiil memang 159
Adrian Sutedi, Op. cit., hal. 158.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
74
merupakan akta otentik yang dapat diterima sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, namun secara materiil tidak mengikat sehingga hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
75
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis yuridis pada bab-bab sebelumnya, penulis telah memperoleh jawaban atas pokok permasalahan yang mendasari penulisan ini, penulis menyimpulkan sebagai berikut: 1. Permohonan
pailit
dengan
register
26/Pailit/2010/PN.NIAGA.JKT.PST
perkara
merupakan
Nomor
permohonan
: pailit
berdasarkan putusan pengadilan asing, dengan OCBC Securities.Pte.Ltd sebagai pihak pemohon, Manwani Santosh Tekchand sebagai pihak termohon, dan CIMB-GK Securities Pte.Ltd sebagai kreditor lain. Menurut Pemohon, Termohon memiliki utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih kepada Pemohon berdasarkan Putusan High Court of The Republic of Singapore No.: S870/2008/D, di samping Termohon mempunyai satu Kreditur Lain selain Pemohon, yaitu CIMB-GK Securities Pte.Ltd yang juga berdasarkan Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan yag sama melalui Putusan No. S966/2008/F. Pemohon telah berkali-kali
menagih
kepada
Termohon
agar
segera
melunasi
kewajibannya, namun Termohon tetap tidak melakukan pembayaran atau melunasi kewajibannya sehingga Termohon terbukti mempunyai utang yang telah jatuh waktu dan belum dibayar kepada Pemohon. Termohon juga memiliki utang kepada pihak CIMB-GK SECURITIES Pte.Ltd yang merupakan Kreditur Lain yang timbul berdasarkan isi Putusan yang dikeluarkan pada tanggal 5 Maret 2008 oleh The High Court Of The Republic Of Singapore dalam perkara S966/2008/F antara pihak Kreditur Lain. Dalam hal ini CIMB-GK SECURITIES Pte.Ltd sebagai Penggugat dan Termohon selaku Tergugat. Setelah
mempertimbangkan
alasan-alasan
yang
dikemukakan
oleh
Pemohon Pailit dan tanggapan-tanggapan yang diajukan oleh Termohon Pailit, Majelis Hakim Niaga akhirnya memutus untuk :
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
76
1. Menolak Permohonan Pernyataan Pailit Pemohon; 2. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.411.000,-. Ada beberapa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara ini. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah apakah benar secara hukum Pemohon adalah Pihak Kreditor yang berhak mengajukan pailit dan termohon adalah Debitor yang mempunyai hubungan hukum dengan pemohon
sehingga
mempertimbangkan
dapat bahwa
dimintakan Pemohon
pailit. (OCBC
Majelis
Hakim
Securities.Pte.Ltd)
mendasarkan diri sebagai kreditor berdasarkan putusan The High Court of The Republic of Singapore tanggal 1 Juli 2009 dengan menyatakan antara lain (dengan terjemahan dari Penerjemah Bersumpah) : “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat benar – benar membayar penggugat... (..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..)” Sehingga pemohon dalam petitumnya telah menuntut dengan menyatakan Termohon
lalai
melaksanakan
isi
putusan
dalam
perkara
No.
S870/2008/D. Majelis Hakim menimbang, bahwa demikian pula Pemohon mengajukan Kreditor Lain (CIMB GK.Pte.Ltd) yang berdasarkan pada putusan The High Court of The Republic of Singapore tanggal 5 Maret 2009 dalam perkara No. S966/2008/F yang menyatakan antara lain : “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat harus membayar kepada penggugat... (..No appearance having been entered by the Defendant herein. IT IS THIS DAY ADJUDGED that the Defendant pays the Plaintiffs..)” Dari terjemahan amar putusan The High Court of The Republic of Singapore No. S870/2008/D secara tersurat maupun tersirat bahwa Tergugat incasu Manwani Santosh Tekchand sudah membayar sejumlah uang kepada penggugat dengan adanya kata-kata “benar-benar membayar kepada penggugat” maka dalil-dalil Pemohon mendasarkan diri sebagai
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
77
Kreditor dari Termohon berdasarkan lampiran bukti berupa putusan No. S870/2008/D adalah tidak beralasan menurut Hukum. Termohon menyangkal adanya hubungan hukum dengan Pemohon sehingga Majelis Hakim masih memerlukan verifikasi atas ada atau tidaknya surat panggilan untuk menghadiri persidangan bagi Tergugat/Termohon Pailit dan
apakah
putusan
tersebut
telah
diberitahukan
kepada
Tergugat/Termohon Pailit. Mengenai syarat kepailitan lainnya yaitu tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih, dalam pertimbangan hukum dan fakta dalam Putusan Pengadilan Indonesia (permohonan pailit terhadap Manwani Santosh Tekchand) terdapat fakta bahwa OCBC Securities Pte.Ltd dan CIMB-GK Securities Pte.Ltd sudah melakukan penagihan terhadap utang Manwani Santosh Tekchand. Majelis Hakim secara eksplisit mempertimbangkan adanya fakta bahwa OCBC Securities Pte.Ltd dan CIMB-GK Securities Pte.Ltd sudah melakukan penagihan utang, sehingga dalam hal memang benar kewajiban dalam Putusan Asing tersebut diakui sebagai utang maka secara implisit putusan Pengadilan Indonesia mengakui fakta bahwa utang Manwani Santosh Tekchand sebagai debitur telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Putusan The High Court of The Republic of Singapore Nomor S870/2008/D menyatakan bahwa Tergugat/Termohon Pailit Manwani Santosh
memiliki
Penggugat/Pemohon
utang Pailit
yang OCBC
harus
dibayarkan
Securities.Pte.Ltd.
kepada
Di
dalam
Permohonan Kepailitan OCBC Securities terhadap Manwani Santosh Tekchand, Pemohon berdalil bahwa Termohon juga memiliki utang lain kepada pihak Kreditur Lain, yaitu CIMB-GK SECURITIES Pte.Ltd (Kreditur Lain). Di dalam putusan The High Court of The Republic of Singapore tanggal 5 Maret 2009 Nomor S966/2008/F dinyatakan bahwa Tenggugat Manwani Santosh Tekchand yang (Termohon Pailit) harus membayar kepada Pemohon (CIMB Securities Pte.Ltd). Dalam putusannya, Majelis Hakim menolak permohonan pailit Pemohon OCBC Securities kepada Termohon Manwani Santosh. Majelis Hakim
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
78
menimbang, bahwa dari terjemahan amar putusan The High Court of The Republic of Singapore No. S870/2008/D secara tersurat maupun tersirat bahwa Tergugat incasu Manwani Santosh Tekchand sudah membayar sejumlah uang kepada penggugat dengan adanya kata-kata “benar-benar membayar kepada penggugat” maka dalil-dalil Pemohon mendasarkan diri sebagai Kreditor dari Termohon berdasarkan lampiran bukti
berupa
putusan No. S870/2008/D adalah tidak beralasan menurut Hukum. Dari pertimbangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Majelis Hakim menganggap utang Manwani Santosh Tekchand terhadap OCBC Securities.Pte.Ltd berdasarkan Putusan Singapura tersebut tidak terbukti secara hukum. Putusan The High Court of The Republic of Singapore No. S870/2008/D dan No. S966/2008/F pada dasarnya memerintahkan hal yang sama, di dalam terjemahan resmi oleh Penerjemah Tersumpah terdapat perbedaan terjemahan, dimana terjemahan resmi Putusan No. S870/2008/D (Dengan Penggugat OCBC Securities.Pte.Ltd dan Tergugat Manwani Santosh Tekchand) menyebutkan : “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat benar – benar membayar penggugat...” Sedangkan terjemahan resmi putusan No.966/2008/F dengan Penggugat CIMB Securities.Pte.Ltd dan Tergugat Manwani Santosh Tekchand menyebutkan: “...Dengan tanpa dihadiri oleh Tergugat pada hari ini telah diputuskan bahwa tergugat harus membayar kepada penggugat... Padahal keduanya merupakan terjemahan dari kata-kata “No appearance having been entered by the Defendant herein. It is this day adjudged that the Defendant pays the Plaintiffs”. Hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya salah satu syarat kepailitan, yaitu memiliki dua atau lebih kreditor seperti yang disebutkan dalam salah satu pertimbangan Majelis Hakim.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
79
Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU menyebutkan bahwa sebuah perkara kepailitan menganut sistem pembuktian yang sederhana. Putusan pengadilan asing yang dijadikan dasar dari permohonan pailit tersebut didasari oleh utang Termohon Pailit Manwani Santosh Tekchand yang masing-masing berasal dari perjanjian derivatif, namun pembuktian adanya utang menjadi tidak sederhana.
2. Yang menjadi pokok permasalahan kedua adalah apakah Putusan Pengadilan Asing yang telah memutus bahwa seorang debitor diwajibkan membayar utang kepada kreditor dapat dijadikan dasar kepailitan terhadap debitor tersebut di Indonesia. Artinya adalah apakah Putusan Pengadilan Asing ini dapat diterima secara formil dan materiil sebagai bukti yang sah dan konklusif tentang adanya utang dan hubungan antara debitor dan kreditor. Pasal 164 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) menyebutkan beberapa alat bukti, salah satunya adalah alat bukti surat (akta).Akta sendiri dibagi menjadi akta otentik dan akta bawah tangan.160 Pasal 1868 KUHPerdata memberikan definisi akta otentik: “akta otentik ialah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.”161 Putusan pengadilan asing sudah memenuhi syarat formil sebagai suatu akta otentik karena memenuhi unsur “dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat.”. Dengan demikian apabila hanya melihat sebatas syarat formilnya saja, maka putusan pengadilan asing dapat dijadikan alat bukti yang sah dan konklusif di pengadilan Indonesia.
160
Sudikno Mertokusumo, Op. cit., hal. 49
161
Engelbrecht, Op. cit., hal. 585.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
80
Walaupun putusan pengadilan sudah memenuhi syarat formil sebagai suatu akta otentik, namun tidak serta merta dapat diterapkan menjadi alat bukti di dalam pengadilan. Ada syarat-syarat materiil yang juga harus dipenuhi. Dalam Pasal 436 Rv, dijelaskan dengan tegas bahwa putusan pengadilan asing tidak dapat diakui dan tidak dapat dieksekusi oleh putusan pengadilan Indonesia. Ada beberapa pengecualian terhadap ketentuan Pasal 436 Rv, antara lain dengan suatu konvensi yang diratifikasi menjadi undang-undang di Indonesia (sebagai contoh pengakuan atas putusan kepailitan diantara beberapa negara termasuk Indonesia, yang berdampak dikesampingkannya ketentuan Pasal 436 Rv), atau dengan asas resiprositas (timbal balik). Dilihat dari syarat-syarat formilnya, putusan pengadilan asing memang merupakan sebuah akta otentik. Namun apabila dilihat dari syarat-syarat materiilnya putusan pengadilan asing tidak serta merta dapat diterapkan dan dijadikan alat bukti yang sah dan konklusif di pengadilan Indonesia karena ketentuan Pasal 436 Rv mengatur secara khusus sehingga berlaku asas “Lex specialis derogat lex generali” atau hukum yang berlaku khusus mengenyampingkan hukum yang berlaku umum. Pada kesimpulannya, putusan pengadilan asing secara materiil memang merupakan akta otentik yang dapat diterima sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, namun secara materiil tidak mengikat sehingga hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan majelis hakim.
4.2 Saran Mengingat putusan pengadilan asing secara materiil memang merupakan akta otentik yang dapat diterima sebagai alat bukti yang sah di pengadilan, namun secara materiil tidak mengikat sehingga hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal itu menyebabkan pengajuan permohonan pailit dengan putusan asing sebagai dasar permohonan pailit seperti kasus permohonan pailit Manwani Santosh Tekchand oleh OCBC Securities Pte.Ltd menjadi sulit untuk dikabulkan. Namun hal ini bukan berarti kasus seperti permohonan pailit Manwani Santosh Tekchand tidak dapat diselesaikan.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
81
Ada 2 (dua) hal yang dapat dilakukan oleh Pemohon Pailit dan/atau Kreditor Lain sebagai proses penyelesaian utang : a. Relitigasi, mengonstantir dan memeriksa ulang fakta-fakta yang diajukan sebelumnya (pada proses peradilan Singapura dalam studi kasus Manwani Santosh). Tujuannya adalah untuk mendapatkan ganti rugi; b. Pengajuan kembali permohonan pailit, namun dengan surat utang (dalam hal ini perjanjian derivatif masing-masing antara Manwani Santosh Tekchand dengan OCBC Securities Pte.Ltd dan CIMB-GK Securities Pte.Ltd) sebagai dasar permohonan pailit.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
82
DAFTAR REFERENSI
Adolf, Huala. Hukum Perdagangan Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Algra, N.E. Inleiding tot Het Nederlands Privaatrecht. Groningen: Tjeenk Willink. Anisah, Siti. Perlindungan Kepentingan Kreditor dan Debitor dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Yogyakarta: Total Media, 2008.
Arifin, Ahmad Irfan. Wawancara mengenai substansi kasus di kantor hukum Lubis, Santosa & Maramis yang dilakukan pada hari Jumat tanggal 22 Juni 2012. Ashopa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2001. Baird, Douglas G. Cases Problems, and Materials on Bankruptcy, Boston. USA : Little, Brown and Company, 1985. Bank Indonesia, SK Direktur BI No. 28/119/KEP/DIR, 29 Desember 1995. Engelbrecht, Himpunan Peraturan Perundang – undangan RI. Internusa, Jakarta, 1992. Fuady, Munir. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2010. Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Buku IV. Bandung: Alumni, 1989. Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Bandung: Bina Cipta, 1987. Harahap, Yahya. Hukum Acara Perdata : Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar Grafika, Jakarta, 2006. Harris, Freddy. Kumpulan Materi Hukum Kepailitan (Buku Ajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Magister Kenotariatan). 2004.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
83
Hikmah, Mutiara. Aspek – aspek Hukum Perdata Internasional dalam Perkara – perkara Kepailitan. Jakarta : Refika Aditama, 2007. Hukum Online : “Suba Dipailitkan Akibat Kesepakatan Diam-diam” http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17394/suba-dipailitkan-akibatkesepakatan-diamdiam diakses tanggal 12 Mei 2012. Indonesia. Undang – Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban pembayaran Utang.
Indonesia. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Group, 2006.
Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, cet.1. Jakarta: PT Alumni, 2007. Istiqomah, Makalah. Relevansi Hukum Kepailitan dalam Transaksi Bisnis Internasional, 2007. Jono, Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Longdong, Tinneke Louise Tugeh. Asas Ketertiban Umum dan Konvensi New York 1958. Bandung: PT Karya Kita, 2004. Longdong, Tinneke Louise Tugeh. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing dan Permasalahannya: Suatu Tinjauan dan Permasalahannya. Bandung: PT Karya Kita, 2004. Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Mahadi, Falsafah Hukum : Suatu Pengantar, Alumni : Bandung, 2003. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty : Yogyakarta 2006. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar. Yogyakarta : Liberty, 1996.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
84
Muljadi, Kartini. Actio Pauliana dan Pokok-Pokok tentang Pengadilan Niaga, dalam Lontoh, Rudhy A. et.al, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Alumni, Bandung, 2001. Muljadi, Kartini. Actio Pauliana dan Pokok – Pokok tentang Pengadilan Niaga. Bandung : Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti : Bandung, 2000. Septiana, Arini Dyah. “Analisis Yuridis Kepailitan Perseorangan Yang Terikat Hubungan Kekerabatan (Studi Kasus Putusan Pailit Leo Kusuma Wijaya)” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2011). Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan : Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008. Silvany, Tjoetiar. “Analisis Yuridis Terhadap Putusan Pailit PT ADAM SKYCONNECTION AIRLINES No: 26/PAILIT/2008/PN.Niaga.JKT.PST” (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2009). Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan : Memahami Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2009. Soekanto, Soerjono. Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris. Jakarta : IND-HIL-CO, 1990. Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : RajaGrafindo, 1994. hal. Soekardono. Hukum Dagang Indonesia Jilid 1. Jakarta: Soeroenga, 1960. Suherman, E. Faillissement (Kepailitan). Bandung: Binacipta, 1988. Sriyanto, Aria Pratama. “Pemohon Pernyataan Pailit” http://www.geocities.com/ariyanto_eks79/hukum_bisnis.htm, diunduh 12 Maret 2012. Suryana, Daniel. Kepailitan Terhadap Badan Usaha Asing oleh Pengadilan Niaga Indonesia. Bandung : Pustaka Sutra, 2007. Sutedi, Adrian, Hukum Kepailitan. Jakarta: Ghalia, 2009. Tumbuan, Fred B.G. “Mencermati Makna Debitor, Kreditor, dan Undang – Undang Berkaitan Dengan Kepailitan”, Dalam : Yuhassarie, Emmy. Undang – Undang Kepailitan dan Perkembangannya. Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, 2005.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.
85
UNCITRAL Model Law on Cross-Border Insolvency with Guide to Enactment, A/CN.9/442 at 15. Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Widjaja, Gunawan. Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit. Jakarta : Forum Sahabat, 2007.
Universitas Indonesia Keberlakuan prinsip..., Gilang Mohammad Santosa, FH UI, 2012.