UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCASARJANA
TESIS
KINERJA PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA (STUDI AKUNTABILITAS PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM KEBIJAKAN PENGENDALIAN BANJIR)
Diajukan oleh :
Nama : Rahmat Bayangkara NPM : 6 9 0 1 3 1 0 1 4 4 Program Studi : Ilmu Administrasi Kekhususan: Administrasi dan Kebijakan Publik
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Gun a Memperoleh Gelar Magister Sa ins (M.Si.) Dalam Ilmu Administrasi
JAKARTA 2003
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri, dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Penulis Tesis,
RAHMATBAYANGKARA
11
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM PASCASARJANA ABSTRAK
RAHMA T BAYANGKARA 690 131 0144 KINERJA PEMERlNTAH PROVINSI DKI JA¥.ARTA (STUDI AKUNTABILITAS PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM KEBIJAKAN PENGENDALIAN BANJIR) xv + 207 Halaman + 2 Tabel + 3 Gambar + 23 Lampiran Daftar Pustaka : 58 buku, 4 artikei, 22 lain-lain (Tahun 1968 sd. 2002) Akuntabilitas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir selalu menjadi sorotan publik setiap tahunnya, sehubungan dengan semakin meningkatnya luas daerah yang terkena banjir, lama surutnya banjir, dan meningkatnya kerugian yang diakibatkan banjir. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan meugevaluasi kint:rja Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir dan menjelaskan kendala Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Penelitian ini dilakukan di Dinas Pekerjaan Umum Pemprov DKI Jakarta, dengan menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi, observasi dan wawancara dengan informan yang mungkin di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mulai dari hierarki terendah sampai dengan yang tertinggi. Basis teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan publik. Salah satu pilihan kebijakan publik adalah kebijakan perkotaan yang terkait dengan kebijakan pelayanan lingkungan dalam hal proteksi publik dan lingkungan, seperti kebijakan pengendalian banjir. Upaya untuk pengendalian banjir telah banyak dilakukan, tetapi kejadian banjir tetap terulang dan cenderung semakin meningkat. Nampaknya masalah pengendalian banjir tidak cukup hanya diatasi dengan pendekatan teknologi, tetapi diperlukan juga pendekatan pendekatan kelembagaan. Pendekatan kelembagaan merupakan pendekatan yang sangat terkait dengan organisasi publik di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, serta tanggungjawabnya atas pelayanan yang diberikan. Oleh karena itu mengukur kinerja organisasi publik sangat diperlukan, agar dapat diketahui sampai dimana tingkat kinerjanya. Dengan demikian, mengetahui informasi mengenai kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir, menjadi hal yang sangat penting untuk dilihat tingkat akuntabilitasnya. Dalam penelitian ini, akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir yang akan diukur, adalah : 1) akuntabilitas aturan main; 2) akuntabilitas struktur dan proses; 3) akuntabilitas prasarana dan sarana; dan 4) 111
akuntabilitas anggaran. Berdasarkan hal tersebut, akan diklasifikasikan kinerja akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan ·pengendalian banjir, apakah termasuk dalam klasifikasi : sangat baik; baik; cukup; atau kurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja Pemprov DKI Jakarta dari akuntabilitas melaksanakan aturan main cenderung kurang, karena 13 sungai yang melintasi dan dominan menyebabkan banjir di Jakarta, menurut Pemprov DKI Jakarta bukan merupakan tanggungjawabnya, sehingga persepsi Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir, cenderung hanya sebatas membantu Pt>mt-rintah Pusat. Kinerja Pemprov DKI Jakarta dari akuntabilitas stuktur dan proses cenderung baik, karena sudah memiliki : 1) aturan dan prosedur yang jelas dalam bentuk tertulis; 2) tingkatan yang diberikan wewenang dan tanggungjawab untuk mengambi! keputusan dalam pengendalian banjir; dan 3) bagian yang secara khusus diandalkan untuk melaksanakan pengendalian dan penanggulangan banjir. Kinerja Pemprov DKI Jakarta dari akuntabilitas prasarana dan sarana pengendali banjir cenderung kurang, karena prasarana dan sarana dalam pengendahan banjir yang ada, sudah tidak sesuai lagi dengan debit banjir rencana periode ulang 25 tahunan yang ditetapkan. Sementara, bencana banjir pada tahun 2002, termasuk dalam kategori kejadian banjir yang hanya dapat diantisipasi dengan debit benjir rencana untuk periode ulang 50 tahunan. Di samping itu, prasarana dan sarana penunjang untuk pengendalian banjir dan penanggulangannya juga sudah banyak yang tua/lama. Kinerja Pemprov DKI Jakarta dari akuntabilitas anggaran untuk melaksanakan program dan kegiatan pengendalian banjir cenderung kurang, karena alokasi anggaran yang disediakan setiap tahunnya belum mencerminkan outcome yang dapat mengurangi/membatasi banjir dan akibat yang ditimbulka11nya. Sementara, kejadian banjir di masa mendatang diperkirakan akan cenderung terjadi dalam waktu yang lebih rapat dan lebih besar lagi. Dengan demikian, rekomendasi dan saran yang dapat penulis sampaikan adalah kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir perlu dipertajam lagi, mengingat akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta cenderung baik hanya dari aspek memiliki struktur dan proses untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya. Sementara di dalam pelaksanaan aturan main, penyediaan prasarana dan sarana, serta besamya alokasi anggaran untuk pengendalian banjir dan penanggulangannya, cenderung kurang. Hal itu berarti Pemprov DKI Jakarta harus : 1) memperbaiki aturan main yang ada, khususnya di dalam menegaskan batas kewenangan wilayah 13 sungai yang melintasi Jakarta; 2) meningkatkan kapasitas prasarana dan sarana pengendali banjir dan penanggulangarmya, sehingga dapat mengurangi/membatasi banjir dan akibat yang ditimbulkannya. Di samping itu, berbagai program dan kegiatan yang selama ini cenderung menggunakan pendekatan yang bersifat teknis, maka harus dikombinasikan dengan pendekatan non-teknis di dalam pengendalian banjir dan penanggulangannya; 3) memiliki alokasi anggaran yang lebih mencerminkan outcome untuk mengurangi/membatasi banjir dan akibat yang ditimbulkannya, sehingga menjadi lebih proporsional, dan sesuai dengan nilai aset yang akan dilindungi dari ancaman bahaya banjir.
lV
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILIVIU POLITIK DEPARTEMEN ILM.U ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA
LEIHBAR PERSETUJUAN TESIS
Judul Studi Mandiri
Kinerja
Pemerintah
Provinsi
DKI
Jakarta
(Studi
Akuntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dalam Kebijakan Pengendalian Banjir) Penyusun
Rahmat Bayangkara
NPM
690 131 0144
Program Studi
Ilmu Administrasi
Kekhususan
Administrasi dan Kebijakan Publik
Pembimbing Tesis:
( Dr. Bustanul Arifin )
v
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI PROGRAM PASCASARJANA
LEMBARPENGESAHAN Nama
Rahmat Bayangkara
NPM
690 131 0144
Program Studi :
Ilmu Administrasi
Kekhususan
Administrasi dan Kebijakan Publik
Judul Tesis
Kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Studi Akuntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dalam Kebijakan Pengendalian Banjir)
Telah dipertahankan di hadapan Sidang Penguji Tesis Program Studi Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, pada :
Hari
: Kamis
Tanggal : 22 Agustus 2003 Pukul
: 12.30 WIB
Dan dinyatakan LULUS PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua Sidang
: Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein
Pembimbing
: Dr. Bustanul Arifin ·
Penguji Ahli
: Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA
Sekretaris Sidang
: Drs. M. Riduansyah, M.Si.
Vl
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wa syukurillah berkat pertolongan Allah SWT, penulis berhasil menyelesaikan tesis ini. Penyusunan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si.) pada Ilmu Administrasi kekhususan Admnistrasi dan kebijakan Publik Program Pascasarjana
Fakulte~s
Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Penulis menjelaskan di dalam tesis ini tentang Kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berdasarkan studi akuntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir. Hal ini perlu diteliti mengingat semakin meluasnya daerah yang terkena banjir, lama surutnya banjir, dan meningkatnya kerugian yar.g diakibatkan banjir. Sebagai salah satu altematif yang dapat diandalkan untuk peningkatan kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir,
menurut hemat
penulis, akuntabilitas harus betul-betul dijadikan indikator yang utama agar kinerjanya terus meningkat. Untuk itu perlu ditelaah terlebih dahulu realitas yang terjadi pada DPU Provinsi DKI Jakarta sebagai unsur pelaksana (Pemprov DKI Jakarta) dalam pengendalian banjir dan genangan air, sehingga dapat ditemuk:m secara empirik kendala yang terjadi selama ini. Penulis sangat menyadari terdapat berbagai kekurangan dalam penulisan tesis ini, karena kemampuan penulis yang terbatas, sehingga hasil penulisan tesis ini masih kurang sempuma. Namun berkat kemauan, kerja keras dan bantuan banyak pihak, maka penulis dapat menjelaskan tentang kinerja Pemprov DKI Jakarta tersebut. Oleh karena itu, penulis membuka diri, mengharapkan saran dan masukan guna penyempumaan tesis ini. Akhimya pada kesempatan ini secara khusus penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, terutama kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein, selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi, Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Vll
2. Dr. Bustanul Arifin, selaku dosen pembimbing yang telah sudi untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan bimbingan dengan sabar dalam penyusunan tesis ini. 3. Semua Dosen dan Staf Sekretariat Program Pascasarjana, Kekhususan Administrasi dan Kebijakan Publik FISIP Universitas Indonesia yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan dan bantuan selama perkuliahan. 4. Andi Baso M, selaku Kepala Seksi Penyusunan Program Air dan Lingkungan DPU Provinsi DKI Jakarta, yang telah membantu penulis dalam memberikan data-data guna menunjang tesis ini. 5. Semua rekan sejawat mahasiswa Program Pascasarjana Studi Ilmu Administrasi FISIP-UI. 6. Semua rekan sejawat Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta dan Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta, yang telah ikut membantu penulis hingga selesainya penulisan tesis ini. 7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan serta dorongan bagi penyelesaian penulisan tesis ini. Selanjutnya, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada yang tercinta Baby Poemomo, Avradia Mayagita, Ayahanda Drs. H. R. Salahudin Permadi, lbunda Sri Utami, Papa, Mama, serta kakak dan adik-adik, yang senatiasa memberikan
semangat,
doa
yang
tiada
akhir
kepada
penulis,
hingga
terselesaikannya tesis ini. Semoga hasil penulisan tesis ini bermanfaat bagi Pemerintah dan masyarakat, serta pengembanganan ilmu pengetahuan. Demikian yang dapat penulis sampaikan, mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan. Semoga Allah SWT membalas kebaikan. kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini. Amin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta,
Agustus 2003 Penulis,
Rahmat Bayangkara
Vlll
DAFTARISI
Halaman JUDUL .......................................................... ............................... LEMBAR PERNYATAAN ORJSINALITAS ........................................... ABSTRAK ........................................................... .......................... LEMBAR PERSETUJUAN TESIS ........................................................ LEMBAR PENGESAHAN ........................................................... ...... KATA PENGANTAR....................................... ................................ DAFTARISI .......................................................... ........................ DAFTAR TABEL .......................................................... ................. DAFTAR GAMBAR............................................ ............................ DAFTARLAMPIRAN .......................................................... ........... BAB I
Xll Xlll XIV
: PENDAHULUAN.................................. .................... ........ I I.I. 1.2. I.3. 1.4.
BAB II
i ii iii v vi vii ix
Latar Belakang Masalah....................................... ........... ldentifikasi Masalah .......................................... ....... :..... Tujuan dan Kegunaan Penelitian.............................. .......... Sistematika Penulisan....... .... .. .. . . . . . . . .. .. . .. . .. . .... .. . .............
I 6 II I2
: KERANGKA TEORI.... .... .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .............. I5 2.1. Kebijakan Publik.................................. . . . .. .. .. .. . .. .. .. .. .. 2.I.I. Konsep Kebijakan Publik.................................... ... 2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik ..................................... 2.1.3. Peran Kebijakan Publik ......................................... 2.1.4. Pilihan kebijakan Publik........................................
I5 I5 I8 2I 24
2.2. Kebijakan Perkotaan dan Kebijakan Pelayanan Lingkungan...... 26 2.2.1. Konsep Kebijakan Perkotaan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ... . .. .. .. 26 2.2.2. Kebijakan Pelayanan Lingkungan.. .. .. .. .. .. .. .. .... .. .. .. .. . 30 2.3. Teori Banjir dan Teori Pengendalian Banjir............................... 33 2.3.I. Teori Banjir ......................................................... 33 2.3.2. Teori Pengendalian Banjir......................................... 35 2.4. Pendekatan Kelembagaan dan Organisasi Publik ........................ 39 2.4.1. Konsep Kelembagaan .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. ................ 39 2.4.2. Organisasi Publik .................................................. 42
IX
2.5. Kinerja Qrganisasi Publik ......... :.......................................... 52 2.5.1 Konsep Kinerja ................................................... 52 2.5.2. Ukuran Kinerja ....................................... ........ :...... 54 2.6. Akuntabilitas Organisasi Publik ........................................... 58 2.6.1. Konsep Akuntabilitas ................................................. 58 2.6.2. Ukumn Akuntabilitas ................................................. 63 2.7. Kerangka Konsep ................... ,....................................................... 67 BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 71 3 .I. Metode Pengumpulan Data .................................................. 71 3.1.1. Metode Penelitian ................................................ 71 3 .1.2. Jenis Penelitian ............................................................ 72 3.1.3. Nara Sutnber. ............................................................ 73 3.1.4. Data dan Informasi .................................................. 75 3.2. Metode Analisis Data ...................................................... 76 3.3. Definisi Konseptual dan Operasional .................................. 80 3.3 .I. Definisi Konseptual.. ............................................. 80 3.3.2. Definisi Operasional. ............................................ 83 3.4. Kerangka Analisis ........................................................ 85
BAB IV : GAMBARAN UMUM PENGENDALIAN BANJIR DI JAKARTA ............................................................................................ 89 4.1. Pengendalian Banjir di Jakarta .............................................. 4.1.1. Sejarah Pengendalian Banjir di Jakarta ............................ 4.1.2. Pembagian Wilayah AI iran ........................................ 4.1.3. Prosedur Operasional Pengedalian Banjir. ..........................
89 89 94 99
4.2. Keiembagaan dan Organisasi Pengendalian Banjir di Jakarta............................................................................ . . . . . ..... ... 106 4.2.1. Peraturan Perundang-undangan ............................... 106 4.2.2. Visi dan Misi .................................................... 110 4.3. Prasarana dan Sarana Pengendalian Banjir di Jakarta .............. 112 4.4. Sumber Daya Manusia .................................................. 113
X
BAB V
: ANALISIS AKUNT ABILITAS PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA I)ALAM KEBJ~JAKAN PENGENDALIAN BANJIR ................................ ,............................................................... 116 5.1. Aspek-aspek Akuntabilitas yang Dianalisis ...................... .- ... 116 5.2. Akuntabilitas Aturan 1v1ain dalam Pengendalian Banjir .......... 116 5.3. Akuntabilitas Struktur dan Proses dalam Pengendalian Banjir ..................................................................... 129 5.4. Akuntabilitas Prasar::ma da:1 Sarana ddam Pe:1gendalian Banjir ...................................................................... 141 5.5. Akuntabilitas Anggaran Untuk Pengendalian Banjir .............. !54 5.6. Hasil Skor Nilai 4 Kriteria Akuntabilitas ............................ 164
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 166 6.1. Kesimpulan .................................................................................. 166 6.2. Saran ............................................................................................. 168 DAFT AR PUSTAKA ...................................................................... 171
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS ............................................ 179 LAMP IRAN ................................................................................. 180
Xl
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1 :
Reb1pitulasi Angganm Pcmerini.C!h Provinsi DKI jakarta Dalam Kegiatan Penanggu!angan Banjir Tahun 2002 .................. 160
Tabel2
Total Skor Nilai 4 Kriteria Akuntabilitas Yang Dicapai oleh Pemprov DKI Jakarta Dalam Kebijakan Pengendalian Banjir ......... 165
Xll
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar!
Skema
Kinerja
Pemerint~h
Provinsi DKI Jaka.ta
Studi
Akuntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dalam kebijakan Pengendalian Banjir............................................................ 67 Gam bar 2 : Skema Metodologi Penelitian ............................................... 79 Gambar 3 : Skema Kerangka Analisis ................................................... 87
Xlll
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lamp iran 1
Pr!nsip Das(l_l Pengendalian Banjir DKI Jakarta .................... 180
Lampi ran 2
3 Kelompok Sub Wilayah Sungai .................................... 181
Lamp iran 3 :
Pembagian Wewenang Wilayah Sungai ............................. 182
Lampi ran 4:
Sistem Drainase Pengendalian Banjir di Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Bagian Tengah ................................... 183
Lamp iran 5 :
3 Wilayah AI iran di Bagian T engah .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. . .. .. . .. .. .. 186
Lamp iran 6 :
Tingkatan Kondisi Siaga Tinggi Muka Air......................... 187
Lampiran 7 :
Tingkat Kegawatan dan Penanggungjawab Pengendalian Banjir Wilayah Provinsi DKI Jakarta ................................ 188 -
Lampiran 8 :
Form Laporan Tentang Terjadi Bencana Banjir .................... 189
Lampiran 9 :
Form Laporan Lengkap Bencana Banjir ........................... 190
Lamp iran 10 :
Struktur Organisasi SATGAS PBP .................................. 192
Lampiran 11 :
Struktur Organisasi PBP di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta .............................................................. 193
Lampiran 12
Struktur Penanggung Jawab Pengendalian Banjir di Lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta .................... 194
Lampiran 13 :
Struktur Hubungan Koordinasi Satgas PBP Kimpraswil dan Satgas PBP Provinsi DKI Jakarta .... , ................................ 195
XlV
Lampiran 14 :
Rincian Anggaran Program dan Kegiatan Pengendalian Banjir DPU Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 ............................. 196
Lampiran 15
Rincian Memoranda Anggaran Pengendalian Banjir DPU Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 .................................... 198
Lamrirar. 16 :
Pe:der.gkapan Si&ga Bar1jir. ............................................ 201
Lampiran 17 :
Data Pompa Lama dan Bam Perwilayah ............................ 202
Lamp iran 18 :
Daftar Pintu Air Pengendali Banj ir ................................... 203
Lamp iran 19 :
Daftar Lokasi Pompa Pengendali dan Tahun Pembuatan ......... 204
Lamp iran 20 :
Persebaran Pegawai Menurut Latar Belakang Pendidikan ........ 205
Lampiran 21 :
Upaya Mengatasi Masalah Banjir dengan Tanggul ............... 206
Lampiran 22:
Peta Genangan Banjir Januari- Pebruari 1996 ..................... 207
Lamp iran 23 :
Peta Genangan Banjir Pebruari 2002 ................................. 208
Lamp iran 24 :
Surat Keterangan Izin Penelitian ...................................... 209
XV
BABI PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bencana baujir yang sering terjadi setiap tahunnya di Jakarta selalu rnenarik untuk. dikaji lebih clalam, sehubungan dengan semakin meluasnya daerah yang terkena banjir, lama surut terjadinya banjir, dan meningkatnya kerugian materiil maupun korban jiwa akibat terjadinya banjir. Keadaan tersebut
menjadikan
masalah
banjir
sebagai
prioritas
yang
perlu
dikendalikan, mengingat secara alamiah Jakarta memang merupakan Kota Banjir. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang berhulu di bagian selatannya (sungai alami maupun buatan), yaitu Sungai Mookevaart, Angke, Grogol, Krukut, Pesanggerahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Kalibaru Barat, Kalibaru Timur, Buaran, Jati Kramat dan Cakung. Hal itu tidak saja menambah titik rawan banjir pada bagian-bagian di kota Jakarta, tetapi juga pada dearah di sekitamya, seperti Bekasi dan Tangerang, baik berupa banjir kiriman dari daerah hulu maupun banjir setempat akibat adanya hujan lokal. Salah satu isu yang menyebabkan semakin rawannya banjir di Jakarta dan banyak diliput oleh media massa maupun didiskusikan berbagai pihak, baik di dalam pemerintahan maupun di luar, seperti LSM, para pakar dan pengamat adalah pemanfaatan kawasan resapan air. (Tim Advokasi Kebijakan Publik, 17 April 2002) Ini berarti ada persoalan-persoalan yang
1
2
terkait dengan tata ruang. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang dimaksud tata ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Akibat prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, persoalan tata ruang menjadi terabaikan. Tata ruang hanya dijadikan alat oleh para penguasa dan pengusaha untuk membangun sesuai dengan seleranya masing-masing, tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Campbell dalam Kusumawijaya (30 April 2002) menegaskan bahwa membangun berarti menjaga keseimbangan segitiga, agar titik beratnya tetap berada di tengah. Masing-masing sudut dari segitiga pembangunan tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan dan keadilan sosial. .?embangunan yang ideal akan selalu berada di tengah ketiga kekuatan itu. Esensi pembangunan yang ideal atau sustainable development adalah adil, menguntungkan dan sekaligus hijau. Pemanfaatan kawasan resapan air dari kawasan hijau lindung menjadi permukiman kelas atas oleh pengembang misalnya, merupakan konflik antara prioritas pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial, serta dapat menjadi masalah besar karena memicu konflik dengan kelestarian lingkungan. Selain membebani kota demi keuntungan segelintir orang, kontribusi
yang
diberikcm
terhadap
keseluruhan juga masih diragukan.
pertumbuhan
ekonomi
secara
3
Pemanfaatan kawasan parkir . a1r untuk pembangunan baildara Soekamo Hatta oleh P~merintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta misalnya, merupakan
konflik prioritas pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian
lingkungan. Kawasan ini merupakan hutan bakau dan rawa tempat tangkapan dan parkir jutaan meter kubik air yang kehilangan fungsinya. Luapan air sungai, hujan lokal dan pasang laut yang
bia~anya
ditangkap dan ditampimg
di kawasan ini sebelum akhimya menuju ke laut,
menjadi berkurang
sehingga menimbulkan genangan dan banjir besar akibat dikonversi menjadi Jalan Tol Sedyatmo. Hal ini berarti pemanfaatan kawasan resapan air dan parkir air yang dikonversi untuk pembangunan merupakan persoalan tata ruang. Perubahan fungsi dan peruntukan tersebut yang mengakibatkan semakin meningkatnya kejadian banjir, akan menyangkut pilihan-pilihan publik dan resiko hidup orang banyak, dalam arti lain hal ini menjadi persoalan kebijakan publik. Tata ruang yang berubah sebenamya tidak menjadi persoalan, tetapi yang penting adalah bagaimana perubahan itu diuji dalam ruang publik. Masyarakat sebagai objek dari kebijakan publik dapat memperdebatkan piiihan-pilihannya secara rasional, sekaligus memperoleh pengetahuan dan pengawasan atas penyelenggaraan kota dan wilayahnya. Penataan ruang di Jakarta sebenamya telah dimulai sejak penyusunan Rcncana Induk Jakarta tahun 1965-1985, yang sangat terkait dengan batas wilayah yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menetapkan batas wilayah perencanaan. Wilayah ini kini dikenal sebagai kawasan Jakarta-
4
Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Meskipun disadari bahwa wilayah perencanaan sebenamya tidak hanya terbatas pada batas-batas administrasi, tetapi juga mencakup daerah yang lebih luas sesuai tujuan dan skala perencanaan. Dalam Rencana Induk tersebut, diasumsikan bahwa pendekatan pemb3.ngunan yang ukan ditempuh tidak
memu~atkan
pembangunan di
dalam kota, yang potensial akan menimbulkan banyak beban bagi kota Jakarta, tetapi mengarahkan perkembangan kota ke segala arah. Proses perkembangnya, apa yang dikemukakan dalam Rencana lnduk tersebut tepat. Dalam waktu relatif singkat, perkembangan fisik kota Jakarta melampaui batas-batas administrasinya. Perkembangan fisik kota Jakarta terjadi bersamaan dengan Kota Administratif Depok, Kabupaten Bogor, Tangerang dan Bekasi yang berlangsung sangat cepat dan kini keadaannya menjadi sangat sulit dikelola, serta banyak terjadi penyimpangan di dalam kebijakan lokal penataan ruangnya. Yang dimaksud dengan penataan ruang dalam Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 adalah proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Harus diakui bahwa meskipun kejadian banjir merupakan fenomena alam akibat pemanasan global dampak dari emisi rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim, sehingga terjadi fenomena curah hujan yang di atas normal, namun curah hujan tersebut seharusnya tidak menimbulkan bencana banjir, apabila kebijakan lokal dalam penataan ruang benar-benar
5
memperhatikan perlunya kawasan resapan air dan parkir air (Safrudin, 30 April 2002). Beberapa wilayah resapan air banyak yang rusak dan menyusut khususnya bagian hulu. Soehoed (2002 ; 2) menegaskan bahwa penebangan hutan untuk pembangunan komplek-komplek permukiman di daerah hulu aliran snngai
~epe:rti
wilayah-wilayah selatan Jakarta, -umumnya di daerah
Jawa Barat dari tahun ke tahun- mengubah daya resapan tanah terhadap air, yang berperan penting sebagai peredam banjir,
sehingga mengakibatkan
semakin besamya banjir kiriman ke Jakarta. Bagian hilir Jakarta, pembangunan gedung dan permnkiman juga berkembang pesat, akibatnya ruang gerak air melalui sungai, saluran dan melalui resapan terns berkurang, bahkan alur-alur air mengalami berbagai macam rintangan, seperti pembangunan pada tebing-tebing sungai dan di jalur-jalur hijau (Soehoed 2002 ; 3). Adanya berbagai kepentingan untuk pengembangan wilayah dalam penataan ruang, khususnya di Jakarta merupakan problem yang harus dihadapi. Besamya kekuatan modal yang masuk ke Jakarta sehingga meningkatkan arus urbanisasi dan semakin bertambahnya jumlah penduduk yang menetap, membuat perkembangan permukiman di kawasan Jakarta dan sekitamya menjadi sangat cepat. Akibatnya, muncul kawasan-kawasan baru yang sering kurang terkendali dan cenderung memanfaatkan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang ada.
6
Salah satu kasus pemanfaatan kawasan resapan air dan parkir air yang sering mengemuka dan banyak dibicarakan di berbagai kalangan terutama hila musim hujan (banjir) tiba adalah keberadaan perumahan Pantai lndah Kapuk (PIK). Pembangunan PIK banyak dituding ikut memberikan andil yang cukup besar terhadap bencana banjir di kawasan sekitamya adalah karena
mengkonversi kawasan Hutan Angke Kapuk di Ke(.;amatan
Penjaringan seluas 831,61 Ha dari hutan bakau dan rawa alami seluas 1.144 Ha. Keadaan ini jelas merugikan masyarakat banyak dan menghilangkan
trust dari rakyat terhadap para pemimpinnya, terutama stapa yang bertanggung jawab atas kt!jadian banjir yang terjadi setiap tahunnya di Jakarta. Bertitik tolak dari kompleksitas masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
~elakukan
penelitian tentang Kinerja Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta (Studi Akuntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam Kebijakan Pengendalian Banjir).
1.2. ldentifikasi Masalah Upaya untuk mengendalikan banjir di Jakarta sebenamya telah banyak dilakukan, tetapi kejadian banjir tetap berulang meskipun pada tingkat curah hujan yang tidak begitu tinggi dan lama.
Masalah ini dihadapi bukan
semata-mata terletak pada hal-hal yang bersifat teknis, tetapi pada masalah kelembagaan dan_lemahnya kinerja kebijakan publik, khususnya menyangkut akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam pengendalian banjir di Jakarta,
7
sebagai konsekwensi atas penataan ruang, seperti hutan bakau dan rawa yang merupakan sumberdaya publik. Beberapa hal dapat diidentifikasi atas penataan ruang yang memanfaatkan Hutan Angke Kapuk menjadi kawasan permukiman PIK yang diiegalkan melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun I984 tentang Rencana
Umvm Tata Ruang DKI Jakarta 2005 (RUTR 2005) dan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun I999 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah DKI
Jakarta (RUTR 20 I 0) adalah sebagai berikut : I. Pada saat RUTR 2005 Angke
Kapuk)
disusun~
belum
kondisi kawasan hutan lindung (Hutan
tersentuh
oleh
kegiatan
pengembangan
permukiman, kecuali pembangunan jalan Tol Sediyatmo ke arab Bandara Intemasional
Cengkareng.
Kawasan
InI
berstatus
ditunda
pengembangannya, sambil menunggu kesiapan sarana dan prasarananya. Prioritas untuk memperoleh fasilitas layanan kota sangat kurang, karena itu pembangunan permukiman atas wilayah ini harus melengkapi dan memelihara sendiri sistem prasarananya. Kawasan Hutan Angke Kapuk merupakan retarding pond atau daerah parkir banjir yang berfungsi sebagai penampungan air dari daratan bila terjadi arus pasang laut, maupun karena kondisi alam lainnya. Risiko terjadinya banjir di kawasan ini setiap saat merupakan realitas yang tidak dapat dibantah. Pemanfaatan ruang atas kawasan Hutan Angke Kapuk mulai dari batas sebelah Barat sampai dengan Muara Angke dengan jarak I 00 meter dari
8
tepi pantai, ditetapkan sebagai hutan lindung. Dari batas hutan lindung sampai jalan lingk.ar utara, ditetapkan sebagai daerah pengembangan hutan wisata dan rekreasi dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan rekreasi/olah raga yang mempunyai dominasi ruang terbuka, seperti (misalnya: olah raga air, golf course dan sebagainya), serta sebagian lagi d3pat dibangun untuk Taman Wisata d\!ngan kepadatan peududuk rendah. Dengan demikian
RUTR 2005
selain
menginformasikan bahwa
pemanfaatan ruang di kawasan Hutan Angke Kapuk kurang cocok untuk permukiman, karena rawan banjir dan membahayakw penduduk karena berdekatan dengan lokasi lapangan terbang, namun ada celah yang sengaja dipersiapkan untuk pembangunan di kawasan tersebut. Hal ini berarti ada agenda yang tersembunyi dari perencanaan RUTR 2005
yang
dipersiapkan
permukiman PIK.
untuk
merekomendasikan
pembangunan
Arahan ini dapat ditafsirkan bahwa niat untuk
membangun kawasan itu sudah ada sebelum RUTR 2005 disyahkan, dan kegiatan olah raga yang mendominasi ruang terbuka (seperti lapangan Golf) juga sudah direkome11dasikan. Penetapan 100 meter sebagai kawasan hutan lindung jelas dapat dimanfaatkan oleh pengembang dalam memperluas pembangunan permukiman PIK. Penafsiran Taman Wisata dengan kepadatan penduduk rendah
dapat
diartikan
sebagai
permukiman PIK yang ada sekarang.
rencana
konsep
pembangunan
9
Pembangun~n
permukiman PIK yang memanfaatkan Hutan Angke
Kapuk bertentangan dengan sub bagian (4.14.4) dari Perda terse but yang menegaskan bahwa tanah atau lahan yang mempunyai potensi tinggi untuk menunjang ekosistem, perlu dipertahankan sebagai kawasan terbuka dengan kehidupan alam aslinya atau sebagai daerah hijau. Aspek
perenc~maan
pacta
p~doman
RUTR 2005 ini terkesan ada unsur
kolusi di dalamnya, karena terdapat klausul yang rinci untuk mendukung pembangunan permukiman PIK. lsi pedoman RU1R 2005 seperti pasal karet yang sangat elastis, khususnya makna sebagian lagi dapat dibangun tidak menjelaskan seberapa luas kawasan yang boleh dibangun, sehingga fungsi kawasan 1indung masih dapat diubah-ubah pemanfaatannya. 2. Pemanfaatan atas kawasan resapan dan parkir air Hutan Angke Kapuk melalui RU fR 2005 yang mengakibatkan banjir besar di Kecamatan Penjaringan pada perkembangannya temyata justru dilegalkan dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1999 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta (RUTR 2010).
Beberapa
pasal yang dapat diidentifikasi melegalkan hal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 7 menyebutkan bahwa kebijakan pengembangan tata ruang kota diprioritaskan ke arah Utara. Ini berarti kebijakan pengembangan tata ruang dalam RUTR 2005 yang mengarah pada wilayah di Timur - Barat, berubah menjadi ke arah Utara pada RUTR 2010. Kawasan PIK yang termasuk dalam Wilayah Pengembangan Utara dan pembangunannya
10
telah dilaksanakan, j adi bukan merupakan bep.tuk penyimpangan atas tata ruang. Pasal 32 menyebutkan bahwa Kecamatan Penjaringan termasuk wilayah yang akan dikembangkan untuk permukiman baru, terutama bagi masyarakat kelas menegah-atas. Hal ini berarti kawasan hutan Angke Kapuk dapat diperluas pengembangannya untuk permukiman dan merupakan bentuk kesengajaan yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta uniuk menutupi persoalan nyata atau masalah lingkungan yang dihadapi di sekitar kawasan PIK. Dengan demikian melalui RUTR 2010 ini berarti
bahwa kebijakan
pembangunan permukiman di kawasan retarding pond, dapat diubah fungsi dan peruntukannya setelah mendapat izin dari Pemprov DKI Jakarta. Pemprov DKI Jakarta telah melanggar sendiri terhadap struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah, propinsi dan
kotamadya atas
kawasan hutan lindung Angke Kapuk dan bekerjasama dengan pihak swasta dalam mengkonversi kawasan tersebut menjadi areal permukiman. Bagi Pengelola PIK, tidak ada yang salah dengan perubahan fungsi dan peruntukan lahan atas pemanfaatan kawasan resapan air, karena baik dalam RUTR 2005 maupun RUTR 2010 secara implisit membuka celah bagi
terwujudnya
pembangunan
kawasan
perumahan
PIK
dan
keberadaan mereka secara legal diakui melalui Perda tersebut. Pihak swasta cenderung progresif melihat peluang bisnis yang diberikan Pemprov melalui RUTR tersebut, karena keberadaan usaha pihak swasta
11
dilindungi oleh Peraturan. (Gubemur DKI Jakarta tidak berani mencabut izin permukiman PIK). Semua ini menunjukkan bahwa masalah penataan ruang di Jakarta yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, khususnya di dalam pemanfaatan kawasan parkir air yang tidak sesuai dngan peruntukkannya sehingga menimbuJkan hcncana banjir. Konversi Hutan Angke Kapuk menjadi kawasan permukiman PIK yang mengakibatkan semakin hebatn)'a banjir pada awal tahun 2002 menunjukkan bahwa kinerja Pemprov DKI Jakarta untuk mengendalikan banjir masih dipertanyakan. Berdasarkan hal
tersebut
di
atas,
maka penulis
membatasi
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir? 2. Apa saja kendala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk menjelaskan dan mengevaluasi kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir. 2. Untuk menjelaskan kendala Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir.
12
Adap~n
kegunaan
duri
proposal
tesis
ini
diharapkan
dapat
· memberikan m~mfaat bagi kehidupan praktis maupun akademis. Pertama, sebagai bahan masukan bagi Pemprov DKI Jakarta dalam penajaman kebijakan, terutama tanggungjawabnya sebagai pemilik otoritas di dalam pengendalian banjir di Jakarta. Kedua, secara akademis penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan studi kebijakan dengan melihat pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pengendalian banjir di Jakarta.
1.4. Sistematika Penulisan
Tesis ini disusun dalam enam bah, dengan sistematika sebagai berikut: Dalam bah I pendahuluan, akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah yang menguraikan isu penataan ruaug khususnya kawasan resapan dan parkir air yang dapat mengakibatkan kejadian banjir yang semakin meningkat. Uraian kemudian dilanjutkan dengan identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, serta sistematika
penulisan. Dalam bah II kerangka teori, akan dijeiaskan mengenai basis teori kebijakan publik, yang terdiri dari konsep kebijakan publik, tahapan kebijakan publik, peran kebijakan publik, dan pilihan kebijakan publik. Selanjutnya dalam kebijakan perkotaan dan kebijakan pelayanan lingkungan, akan dijelaskan mengenai konsep kebijakan perkotaan yang terkait dengan kebijakan pelayanan lingkungan. Uraian berikutnya, akan dijelaskan
13
mengenai teori banjir dan teori pengenda!ian banjir. Kemudian dalam pendekatan keiembagaan dan organisasi publik, akan dijelaskan mengenai konsep kelembagaan dan organisasi publik. Berikutnya dalam kinerja organisasi publik, akan dijelaskan mengenai konsep kinerja dan ukuran kinerja. Selanjutnya dalam akuntabilitas organisasi publik, akan dijelaskan mengenai konsep akuntabi!itas dan ukuran dari akuntabilitas. Terakhir, akan digambarkan krangka konsep dan keterangannya sebagai hasil dari kompilasi berbagai teori yang digunakan. Dalam bab III
metodologi penelitian,
akan dijelaskan mengena1
metode pengumpulan data yang terdiri dari, metode penelitian, Jems penelitian, nara sumber, serta data dan informasi. Selanjutnya akan dijelaskan mengenai metode analisis data yang digunakan. Kemudian akan dijelaskan mengenm definisi konsep dan operasional.
Ter.t(ahir, akan
dijelaskan
Jakarta
kerangka
analisis
kinerja
Pemprov
DKI
dalam
akuntabilitasnya melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Dalam bab IV gambaran umum pengendalian banjir di Jakarta, akan dijelaskan mengenai pengendalian banjir di Jakarta yang terdiri dari sejarah pengendalian banjir di Jakana, pembagian wilayah aliran sungai, dan prosedur operasional pengendalian banjir. Selanjutnya dalam kelembagaan dan organisasi pengendalian banjir di Jakarta, akan dijelaskan peraturan perundang-undangan yang melingkupi Pemprov DKI Jakarta serta visi dan misi Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Kemudian, akan dijelaskan
mengenai prasarana dan sarana
14
penunjang pengendali banjir yang ada di wilayah Jakarta. Terakhir, akan dijelaskan mengenai sumber daya manusia yang ada di Pemprov
DKI
Jakarta. Dalam bah V
analisis akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam
kebijakan pengendalian banjir, akan dijelaskan aspek-aspek akuntabilitas yang akan dianalisis, yaitu
analisis akuntabilitas aturan main dalam
pengendalian banjir, analisis akuntabilitas peng~ndaiian
struktur dan proses dan
banjir, analisis akuntabilitas prasarana dan sarana pengendali
banjir, dan analisis anggaran untuk pengendalian banjir, serta skor nilai akuntabilitas yang dihasilkan. Dalam bah VI kesimpulan dan saran, merupakan kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis bab-bab sebelumnya dan saran yang merupakan rekomendasi dari penulis bagi penajaman dan pelaksanaan kebijakan pengendalian banjir di Jakarta yang akan datang.
BABII KERANGKA TEORI
2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Konsep Kebijakan Publik Kebijakan pacta dasarny3 mernpakan ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dari aparatur pemerintah sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Tim Asistensi Pelaporan AKIP 2000 ; 23). Sedangkan Eulau dan Prewitt dalam Jones (1996 ; 47) menegaskan bahwa kebijakan merupakan keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan
repetitiveness tingkah-laku dari mereka yang membuat dan dari mereka yang mematur.i keputusan tersebut. Suatu
kebijakan
tergantung
pada
pola
keterlibatan
perilaku
kebijakan, karena dapat mempengaruhi keputusan pemerintah. Wahab (1997 ; 3) menegaskan bahwa kebijaksanaan adalah suatu tindakan berpola yang
mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan untuk melakukan st!suatu. Sedangkan Anderson (1978) dalam Wahab (1997 ; 2) merumuskan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.
15
16
Kebijakan dapat dibedakan sebagai kebijakan internal dan eksternal. Kebijakan internal (kebijakan manajerial), yaitu kebijakan yang hanya mempunyai kekuatan mengikat aparatur dalam organisasi pemerintahan sendiri, sedangkan kebijakan ekstemal (kebijakan publik), yaitu kebijakan yang mengikat masyarakat (Soetaryono 1999 ; 12). Untuk kepastian bagi pelaksanaannya, kebijakan sebaiknya tertulis. Kebijakan tertulis dapat berbentuk peraturan perundangan maupun yang tidak berbentuk peraturan perundangan, seperti sural edaran. Sutaryono (1999 ; 12) lebih lanjut menegaskan bahwa dalam menyusun kebijakan hendaknya: 1. 2. 3. 4.
Berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi; Konsisten dengan kebijakan lain yang berlaku; Berorientasi pada kepentingan umum; Jelas, tepat dan tidak menimbulkan kekaburan arti dan maksud; 5. Dirumuskan secara tertulis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu
pedoman tertulis yang dijadikan pegangan bagi aparatur pemerintah di dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan bersifat mengikat bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurut hemat penulis pengertian dasar mengenai kebijakan tersebut dapat dikaitkan dengan usaha aparatur pemerintahan dan masyarakat di dalam memacahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan masyarakat (publik).
Oleh karena itu, maka perlu
diketahui arti penting dari konsep kebijakan publik.
17
Studi kebijakan publik merupakan studi yang mempelajad tentang bagaimana peran kelompok kepentingan dan elit politik di dalam proses perumusan kebijakan pt:merintah (Dwiyanto 1995 ; 6). Menurut Arifin dan Didik (200 1 ; 7) kebijakan publik adalah suatu produk kompromis dari sekumpulan kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan bersama dan dibawa oleh para politisi dengan segala ambisi dan tujuannya dalam suatu proses transaksi politik. Kebijaksanaan publik adalah rangkaian panjang pilihan-pilihan yang kurang lebih berhubungan, termasuk keputusan untuk tidak berbuat, yang dibuat oleh kantor-kantor atau badan-badan pemerintah (Dunn 1988 ; 89). Sedangkan Cochran dan M:alone ( 1999 ; 1) menegaskan bahwa kebijakan publik adalah studi mengenai keputusan-keputusan pemerintah dan rencana aksi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Lebih lanjut Cochran dan Malone ( 1999 ; 12) mengatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk pengawasan pemerintah ·yang biasanya diekspresikan dalam suatu peraturan, keputusan atau perintah. Dari definisi-definisi tersebut di atas penulis menyimpulkan bahwa kebijakan publik merupakan produk kompromi diantara para elit politik/elit pemerintah pilihan untuk publik.
untuk memilih dan mengambi1 tindakan tertentu, termasuk tidak bertindak di da1am
memecahkan masalah-masalah
18
2.1.2. Tahapan Kebijakan Publik Menurut Dunn ( 1994 ; 22) untuk memecahkan masalah-masalah publik, ada beberapa tahap penting dalam proses pembuatan kebijakan publik, yaitu : penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Dalam setiap tahapan tersebut
selC~.lll
di5ertai dengan prosedur anaHsis kebijaka11 yang dimulai
dengan perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan penilaian.
Analisis
kebijakan
publik
adalah
aktivitas
meuciptakan
pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Dunn 1994 ; 1). Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, seorang analis kebijakan akan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan, serta program publik. Meuurut Stalling ( 1987) dalam Dwiyanto ( 1995 ; 7) pembuatan kebijakan pnblik merupakan suatu proses sosial. Proses itu merefleksikan interaksi antara pemerintah dan masyarakat, yang bisa dilihat dari kenyataan bahwa pejabat dan anggota birokrasi pemerintah, pendukung dan penentang kebijakan pemerintah itu adalah bagian dari anggota masyarakat. Suatu kebijakan publik menghenda!d adanya pengerahan sumberdaya (Wibawa dan kawan-kawan 1994 ; 3). Untuk mencapai tujuan kebijakan, pemerintah harus melakukan aksi atau tindakan berupa penghimpunan sumberdaya dan pengelolaan sumberdaya tersebut. Hasil yang diperoleh dari
19
aksi pertama disebut input kebijakan, dan aksi yang kedua disebut proses .
..
implementasi (kebijakan). lmplementasi kebijakan publik merupakan suatu tahapan dimana kebijakan yang telah diadopsi, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi tertentu dengan memobilisasi sumberdaya yang ada. Dunn ( 1988 ; 89) menegaskan bahwa implementas! kebijaksanaan adalah pelaksanaan dan pengarahan tindakan kebijaksanaan dalam jangka waktu tertentu. Dalam proses implementasi tersebut birokrasi pemerintah mengintepretasikan kebijakan menjadi program. Implementasi dari suatu kebijakan, menimbulkan konsekuensi (basil, dampak/efek atau akibat) yang dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu output dan dampak (Dunn 1984 ; 280). Output adalah barang dan jasa atau fasilitas lainnya yang diterima oleh sekelompok masyarakat tertentu, baik kelompok sasaran maupun kelompok lain yang bukan merupakan sasaran kebijakan. Sedangkan dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Randall dan Franklin (1982 ; 4) menegaskan bahwa implementasi adalah apa yang terjadi setelah peraturan dilalui oleh kewer1angan suatu program, kebijakan, atau beberapa jenis output yang nyata.
Definisi
implementasi tersebut mengacu pada aktivitas-aktivitas yang mengikuti statement-statement tentang program, tujuan dan hasil dari aparat pemerintah.
20
Tahap akhir dari proses kebijakan publik apabila dipandang sebagai suatu pola kegiatan yang beruiutan adalah evaluasi kebijakan. Suatu tindakan kebijakan tidak selalu dapat mewujudkan apa yang menjadi kehendak kebijakan (Wibawa dan kawan-kawan 1994 ; 8). Hal ini bisa saja terjadi, karena lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan, terganggunya implementasi, maupnP.. karena pengaruh dari berbagai kondisi lingkungan yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Pemerintah selaku pembuat kebijakan publik yang ingin agar tujuan kebijakannya tercapai, maka berkepentingan untuk menjaga proses implementasi kebijakannya sebaik mungkin, dan seandainya gagal, maka ingin mengetahui penyebab dari kegagalan tersebut. Karena alasan itulah evaluasi kebijakan perlu dilakukan. Manurut Dunn (1984 ; 358) evaluasi kebijakan dapat dilakukan sebelum kebijakan dilaksanakan (evaluasi summatif), maupun sesudah kebijakan dilaksanakan (evaluasi formatif). Evaluasi kebijakan perlu dilakukan untuk mengetahui empat aspek, yaitu : 1) proses pembuatan kebijakan; 2) proses implementasi; 3) konsekuensi kebijakan; dan 4) efektivitas dampak kebijakan (Wibawa dan kawan-kawan 1994 ; 9). Dunn (1984 ; 278) menegaskan bahwa evaluasi kebijakan memiliki empat fungsi, yaitu :
... Pertama eksplanasi, melalui evaluasi dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya; Kedua kepatuhan, melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh pelaku,
21
baik birokrasi maupun pelaku lain sesuai dengan standar dan prosedur yang ditetapkan; Ketiga auditing, melalui evaluasi dapat diketahui apakah output sampai kepada kelompok sasaran, serta tidak adakah penyimpangan dan kebocoran;Keempat accounting, dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial ekonomi dari kebij akan terse but. Seo!"ang
evalt~ator b~rusaha
mem.ber!kan
p~njclasan
tentang berbagai
fenomena kebijakan dan bermaksud memberikan rekomendasi kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan tentang apa yang perlu diambil terhadap kebijakan yang dievaluasinya (Wibawa dan kawan-kawan 1994 ; 10). Dari uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahapantahapan dari kebijakan publik diawali dengan adanya proses formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Dalam setiap proses dari tahapan-tahapan kebijakan dapat dilakukan analisis terhadap kebijakan mulai dari perumusan masalah, peramala..'l, rekomendasi, pemantauan, dan penilaian, agar apa yang menjadi tujuan dari kebijakan publik dapat mencapai sasaran sesuai dengan harapan pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah publik.
2.1.3. Peran Kebijakan Publik Kebijakan publik sangat diperlukan, mengingat semakin besar tuntutan masyarakat terhadap kualitas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Karakteristik tersebut dapat
dilihat dari
meningkatnya
modemitas yang semakin tinggi, kemajuan ilmu pengetahmm dan teknologi,
22
sehingga meningkatkan rasionalitas masyarakat. Masyarakat sebagai objek . dari kt:bijakan publik cenderung menjadi semakin kritis dalam menilai kebijakan pemerintah, yang umumnya lebih merefleksikan kepentingankepentingan dan nilai-nilai dari pejabat birokrasi, sehingga kurang menyentuh masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Kalau kebijakan publik diartikan sebagai tindakan pemerintah untuk memecahkan masalah-masalah publik, maka kebijakan publik dalam pengertian
seperti itu dapat diartikan sebagat output dari birokrasi
pemerintah, yang manifestasinya bisa berupa program atau proyek, peraturan perundangan dan sebagainya (Dwiyanto 1995 ; 10). Karena itu kebijakan publik melihat birokrasi pemerintah sebagai suatu konsep yang amat penting dalam mempengamhi agenda kebijakan dan bagaimana kebijakan itu dilaksanakan. Menurut Dwiyanto ( 1992 ; 6) pada dasamya kehidupan sosial terdiri atas dua lapisan : lapisan atas dengan jumlah yang sangat kecil yang selalu mengatur (elite politik), dan lapisan
bawah dengan jumlah yang sangat
besar sebagai yang diatur. Oleh karena itu isu-isu kebijakan yang akan masuk dalam agenda perumusan merupakan kesepakatan dan juga basil konflik yang terjadi diantara elite politik. Konflik diantara elite politik tersebut belum tentu mencerminkan suatu kelompok masyarakat yang diwakilinya. Karena sebagian besar masyarakat yang menjadi sasaran dari kebijakan pemerintah tidak memiliki
23
kekuatan untuk mempengaruhi dan menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda- politik di tingkat atas. Sementara itu, para pejabat pemerintah yang terdiri atas birokrasi
atau administrator hanya
menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas (pembuat kebijakan) ke bawah (masyarakat). Menurut Dwiyanto ( 1992 ; 7) pada dasamya para elite politik in gin mempertahankan status quo. Karena itu kebijakannya cenderung bersifat konservatit sehingga dalam kehidupan politik jarang terjadi kejutan-kejutan yang memungkinkan ketidaksepakatan masyarakat terhadap kebijakan yang muncul. Kalaupun terjadi perubahan-perubahan kebijakan, maka sifatnya
incremental (tambal sulam) dan trial-error, yang hanya mengubah atau memperbaiki kebijakan-kebijakan sebelumnya. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para elite politik tidak selalu berarti tidak mementingkan masalah publik. Sebab sampai drajat tertentu, elite politik tetap membutuhkan dukungan massa, sehingga mereka juga harus memuaskan sebagian kepentingan massa tersebut. (Dwiyanto 1992 ; 7). Hal ini berarti tanggungjawab untuk memecahkan masalah publik tetap dianggap terletak di tangan kelompok elite, dan bukan di tangan masyarakat sendiri. Namun nilai-nilai sikap dan pandangan elite sudah tentu sangat mempengaruhi kebijakan yang dihasilkan. Partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan publik maupun implemantasinya dengan demikian terasa terabaikan.
24
. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik mempunyai peran yang sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah publik.
Masyarakat
mengharapkan
sebagai
kebijakan
publik
objek yang
dari
kebijakan
berkualitas
publik,
dari
tentu
pemerintah.
Sedangkan pemerintah yang merupakan subjek dari kebijakan publik, tetap harus bertanggungjawab atas pi!ihan kebijakan publik yang diarr.bilnya.
2.1.4. Pilihan Kebijakan Publik
Pada dasamya kebijakan publik berhubungan dengan masyarakat, nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan, serta pilihan-pilihan dan altematifaltematif. Tantangan dasar dari kebijakan publik ini adalah fakta bahwa manusia tidak dapat memiliki semua apa yang diinginkannya, karena resources yang ada sangat terbatas, sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Isu utama dalam kebijakan publik dapat dilihat dari bagaimana memilih altematif terbaik untuk memecahkan masalah-masalah publik (Dwiyanto 1995 ; 7). Salah satu pilihan kebijakan publik yang digunakan pemerintah untuk memecahkan masaiah-masalah publik daiam
mencapat
kesejahteraan masyarakat adalah kebijakan perkotaan. Menurut Ilhami ( 1990 ; 17) umumnya masalah-masalah publik yang timbul di perkotaan adalah belum selesainya secara tuntas berperannya kota
25
sebagai pusat pelayanan bagi pengembangan wilayah sesuat dangan fungsinya. Beberapa penyebab yang dapat diutarakan disini adalah : I. Belum berperannya kota sebagaimana yang diharapkan (sebagai pusat pelayanan); 2. Besarnya sifat permasalahan perkotaan yang dihadapi; 3. Pelaksanaan kegiat~n pembangunan yang te!ah dihkukan belum mampu mengimbangi pertumbuhan penduduk dan perkembangan perkotaan. Masalah kurangnya fasilitas- fasilitas kota seperti perumahan, atr bersih, tempat pembuangan sampah, saluran drainase dan sarana lainnya, juga merupakan masalah perkotaaan yang sering dihadapi. Tingginya harga tanah dan langkanya lahan, mengakibatkan upaya pembangunan perkotaan juga mengalami kendala, sementara kebutuhan pembangunan untuk perumahan, fasilitas umum kota, dan kebutuhan lainnya semakin meningkat. Kendala lain yang sering muncul adalah keterbatasan kemampuan Pemerintah Daerah dan landasan hukum/peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, serta tidak sesuai lagi dengan masalah-masalah besar yang dihadapi di perkotaan. Dalam kegiatan pembangunan perkotaan, kadangkala terjadi pula kekurangterpaduan, karena pelaksanaan pembangunan perkotaan dilakukan secara sendiri-sendiri. Keadaan tersebut selain tidak mampu menyelesaikan permasalahan pcrkotaan secara tuntas, dapat pula menimbulkan masalah baru di perkotaan, seperti masalah lingkungan. Dari uraian . tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa salah satu pilihan kebijakan publik untuk memecahkan masalah publik adalah
26
kebijakan perkotaan yang terkait dengan fungsi pelayanan lingkungan. Untuk itu, maka akan dijelaskan lebih lanjut mengenai arti penting kebijakan perkotaan dan kebijakan pelayanan lingkungan.
2.2. Kebijakan Perkotaan dan Kebijakan Pelayanan Lingkungan 2.2.1. Konsep kebijakan Perkot3an Setidaknya ada tiga informasi penting yang dihasilkan dari penelitian yang berkaitan dengan kebijakan perkotaan (Blackman 1995; 166-194):
... pertama, mengetahui ruang lingkup pelayanan-pelayanan (services) yang dilakukan oleh pemerintah dan kebutuhankebutuhan (needs) masyarakat setempat; kedua, mengetahui masalah-masalah (issues) dan perubahan-perubahan (changes) yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam melakukan pelayanan-pelayanan umum; ketiga, mengetahui apa sebaiknya ukuran-ukuran (measures) yang mesti digunakan dalam menilai tujuan (objectives), target dan kinerja (performance) yang harus dicapai pemerintah. Menurut Blackman (1995 ; 223-248) kebijakan perkotaan adalah sebuah kebijakan mengenai pencapaian distribusi yang terbaik dari sumbersumber perkotaan yang ada untuk memperbaiki kesejahteraan. Sedangkan tujuan utama dari kebijakan perkotaan adalah pembangunan yang berkelanjutan dan mencegah kerusakan terhadap fungsi-fungsi yang mendukung kehidupan yang diberikan oleh lingkungan (Blackman 1995 ; 223-248). Brundtland Report dalam Soemarwoto ( i 992 ; 5) mendefinisikan pembangunan
berkelanjutan
atau
sustainable
development
pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan
sebagai
hari ini tanpa
27
mengurangi kemampuan generas1 yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.Untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka pertumbuhan ekonomi harus berkelanjutan. Artinya konsumsi terhadap sumberdaya yang dapat diperbaharui atau renewabilities tidak boleh melebihi tingkat generasinya, dan penggunaan sumherdaya yang tidak dapat diperbaharui atau nonrenewabilities hendaknya tidak boleh lebih cepat dari subsitusi-subsitusi yang bisa diperbaharui. Dalam membahas pertumbuhan ekonomi sekarang ini, penting mengaitkan kebijakan perkotaan
sangat
dengan kebijakan pelayanan
lingkungan pada tingkat pemerintah daerah. Mengingat pelaksanaan perekonomian lingkungan daerah dapat memberikan sedikit pengaruh pada praktek-praktek pembangunan ekonomi dari otoritas lokal. Namun menurut Barker (1993} dalam Balckman (1995 ; 223-248) tidak ada bukti bahwa negara-negara
dengan
kebijakan
pelayanan
lingkungan
yang
kuat
mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. Pembangunan
berkelanjutan juga
mempunyai
makna
bahwa
diperlukannya kapasitas lingkungan yang mampu untuk menyerap dampak atas pemanfaatan sumberdaya lingkungan yang ada. Mengingat pemanfaatan atas
sumberdaya secara
lingkungan.
berlebihan dapat
menimbulkan
kerusakan
28
Kerusakan
lingkungan
komponen-komponen
adalah
lingkungan
adanya
yang
tidak
beberapa berjalan
bagian
dari
sebagaimana
mestinya, sehingga terganggunya keseimbangan hubungan antara sub sistem dalam lingkungan tersebut (Nyoman 1991 ; 5). Untuk mencegah kerusakan lingkungan, maka diperlukan pengelolaan lingkungan hidup. Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian,
pemulihan~
dan pengembangan
lingkungan hidup. Hal itu berarti kebutuhan yang paling mendesak terhadap perubahan kebijakan
perkotaan adalah kebijakan yang didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan wawasan-wawasan
lingkungan jangka
peren~anaan
panJang,
antara
lain
jangka panjang, konservasi sumberdaya
lingkungan dan peraturan-peraturan pembangunan yang lebih tegas. Kebijakan lingkungan perkotaan adalah esensi dari sebuah paradigma kebijakan perkotaan secara keseluruhan (Blackman 1995 ; 223-248). Kebijakan lingkungan perkotaan dapat menambah dimensi distribusi lintas generasi ya11g memenuhi kcbutuhan-kebutuhan sekarang !anpa mengabaikat1 kemampuan generasi-generasi di masa mendatang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka dengan pengurangan atau penurunan kualitas sumberdaya yang ada.
29
Menurut Blackman (1995 ; 223-248) terdapat 8 elemcn inti untuk melihat keberhasilan kebijakan perkotaan, yaitu : 1. Demokrasi dan pertanggungjawaban pada local people; 2. Mengarahkan pelayanan yang bersifat langsung dan melalui kemitraan de11gan lembaga-lembaga lain untuk mt'r.c!ptRka!'. Engkungan yang schgt. gman, mc:tarik dan sustainable; 3. Kesempatan bagi warga kota untuk menyuarakan aspirasinya tentaug pelaycman-pelayanan publik; 4. Memperbaiki dan melindungi lingkungan; 5. Keadilan dan persamaan dalam akses terhadap sumberdaya, pelayanan dan kekuasaan; 6. Menciptakan keterkaitan antara lokal, regional dan nasional serta global; 7. Pelayanan bermutu tinggi, efisien dan efektif; 8. Kejelasan-nilai-nilai dan tujuan. Dengan demikian dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan perkotaan merupakan kebijakan mengenai pemanfaatan sumberdaya lingkungan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Dalam hal dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan atas pemanfaatan sumberdaya di perkotaan, maka diperlukan kebijakan pelayanan lingkungan yang dapat melindungi masyarakat dari dampak negatif kerusakan lingkungan. Salah satu dampak negatif kerusakan lingkungan adalah timbulnya bencana alam berupa banjir yang merugikan masyarakat dan membahayakan jiwa manusia. Oleh karena itu maka perlu dibahas lehih lanjut mcngenai kebijakan
pelayanan
lingkungan
yang
terkait
dengan
kebijakan
pengendalian banjir di perkotaan guna menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat.
30
2.2.2. Kebijakan Pelayanan Lingkungan Menurut Balackman (1995 ; 103-141) ada beberapa peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan-pelayanan terhadap proteksi publik dan Iingkungan. Dalam hal proteksi terhadap publik dan Iingkungan, pemerintah dapat melindungi masyarakat dari ancaman bencana yang mengakibatkan korhan jiwa, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas umum, serta gangguan terhadap tata kehidupan dan penghidupan masyarakat. Disamping itu pemerintah juga dapat melakukan berbagai macam kebijakan untuk menanggulangi bencana alam, seperti
bencana banjir yang terjadi di
perkotaan. Menurut Devas dan Rakodi ( 1993 ; 132-152) pelayanan perkotaan mengacu pada sekelompok aktifitas y..mg sangat penting dalam kinerja yang efisien dari operasi-operasi infrastruktur kota, seperti menyediakan sarana dan prasarana kota. Dalam kasus pelayanan lingkungan di perkotaan seperti pengendalian
banjir,
maka
sejumlah
besar
staf diperlukan
untuk
dipekerjakan dalam operasi skala besar yang dibiayai oleh negara maupun oleh organisasi-organisasi swasta/komersial. Pelayanan-pelayanan di perkotaan hanya dapat dicapai dengan dasar informasi yang dapat dipercaya dan mengetahui situasi perkotaan secara umum dimana pelayanan-pelayanannya dapat berjalan. Oleh kanma itu para menejer sektor publik harus mengetahui pertumbuhan penduduk, perubahan-
31
perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial, serta distribusi dan intensitas dari aktifitas-aktifitas utama perkotaan (Devas dan Rakodi 1993 ; 132-152). Berbicara mengenai pelayanan lingkungan berarti selalu terkait dangan kualitas. Kualitas pelayanan publik harus diatur/dikelola, dan harus dapat memberikan kesejahteraan bagi penduduk kota yang mencakup pe!hitungan bagaimana pelayanan tersebut dapat diberikan sesuai dengan pembiayaan dan tujuan kebijakan. Kualitas pelayanan berpengaruh dengan kebijakan, level-level luar dan staf-staf terlatih (Balckman 1995 ; I 03-141 ). Kualitas pelayanan publik dapC!t diinterepretasikan dalam bentuk pencapaian tujuan dan standar pele!yanan.
Pelayanan dan standar ini sering digambarkan sebagai
kebutuhan dari user di beberapa tingkatan, tetapi pencapaian terhadap hal t.!rsebut seharusnya bisa diukur karena dalam monitoring pelayanan berpengaruh pada biaya dan efisiensi. Menurut Blackman (1995 ; 103-141) dalam pelayanan puhlik jaminan kualitas harus memberikan alasan melebihi dari alasan ekonomi semata. Oleh karena itu keahlian profesional sering dipandang sebagai suatu jaminan kualitas, dengan mer1ingkatkan pelayanan masyarakat melalui pegawai-pegawai yang profesional. Jaminan kualitas tidak akan bekerja jika tidak memiliki staf yang mampu mengatur dan memberikan pelayanan. Staf harus dilibatkan secara
32
aktif dalam perencanaan dan_ mengimplementasikan ukuran-ukuran yang menjamin kualitas pelayanan mereka. Beberapa
kebijakan
kualitas
dalam
pelayanan
publik
harus
diinformasikan kepada staf garis depan dan publik. Karena strategi kualitas tidak mungkin berhasil apabila staf tidak merasa commit, tidak dilibatkan dan dictukung dalam menyediakan kualitas pelaya:1an yang baik. Salah pengertian, konflik dengan kebijakan ' atau regulasi dan kebutuhan yang tidak diharapkan, dapat mengakibatkan kegagalan pelayanan. Oleh karena itu menurut Blackman (1995 ; 103-141) diperlukan kualitas dan perhatian
customer dengan ukuran : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Standar performance Customer input Pelayanan informasi Melayani costumer dengan sopan santun Complain terhadap prosedur Ketergantungan akan pengesahan performance.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan pelayanan lingkungan adalah kebijakan yang terkait dengan pemberian layanan dalam sarana dan prasarana pengendali banjir. Untuk lebih jelasnya bentuk pelayanan pengendalian banjir yang diberikan, maka akan dibahas le.bih lanjut mengenai teori terjadinya banjir dan teori pengendalian banjir, sehingga bencana banjir dapat diatasi secara efektif dan efisien.
33
2.3. Teori Banjir dan Teori Pengendalian banjir 2.3.1. Teori Banjir Bencana banjir sebenamya tidak saja disebabkan karena fenomena alam yang berubah, tetapi dapat pula diakibatkan oleh tindakan manusia di dalam mengeksploitasi sumberdaya yang tidak diikuti dengan upaya konsenrasi.
Menurut Amsyari (1976 ; 72) peP-gertian tentang banjir
sebenamya tidak terlalu sulit, dan hampir semua orang sependapat bahwa : ... apabila daratan yang biasanya kering menjadi terbenam oleh air yang berasal dari sumber-sumber air (seperti : sungai, danau, dan laut) yang ada di sekitarnya, dan sifatnya tidak selamanya. Per definisi dikatakan :flood are caused by a body of water rising, swelling dan over flowing land, kurang lebih berarti bahwa banjir itu terjadi disebabkan karena air yang ada di dalam sumber air menjadi meningkat jumlahnya dan meluap menggenangi daratan di sekitamya. Banjir di suatu wilayah pada dasarnya merupakan akibat dari dua hal yaitu : (i) terjadinya luapan sungai; dan (ii) terjadinya genangan akibat tidak memadainya prasarana drainase yang ada (Inpasihardjo, I 0 Desember 1997). Sedangkan Tambunan (30 April 2002) menegaskan bahwa banjir di suatu wilayah dapat terjadi akibat dari perubahan pola penggunaan tanah yang menyimpang dari kaidah-kaidah keserasian tata ruang sehingga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan konservasi air dan tanah. Menurut Soehoed (2002 ; 2) banjir dapat terjadi karena berbagai faktor
atau gangguan dari daerah hulu.
penggundulan
hutan~
Akibat penebangan dan
maka besaran banjir akan meningkat di bagian hilir,
angka-angka banjir terbesar untuk masing-masing kurun waktu juga akan
34
meningkat pula, bahkan jadwal kejadiannya dapat lebih merapat lagi. Di bagian hilir, banjir dapat terjadi karena pesatnya pembangunan gedung dan bangunan yang mengakibatkan ruang gerak air melalui sungai, saluran dan melalui resapan mulai berkurang. Air hujan tidak dapat jalan oleh karena tidak diberi cukup peluang. Genangan dapat pula terjadi akibat hujan lokal di kota itu sendiri yang tidak diberi alur-alur pembnangan atau prasarana pembuangannya tidak memadai lagi atau tidak terpelihara dengan baik. Kelandaian suatu wilayah dapat pula menyebabkan terjadinya banjir. Salah satu akibat dari kelandaian wilayah ini adalah lebarnya daerah pantai dan timhulnya endapan di wilayah hilir dan daerah muara. Karena kelandaian ini, mudah sekali arus pasang merambat naik ke daratan menggenangi daerah pantai, lebih-lebih pada masa pasang tinggi air laut. Endapan dan pasang tinggi ini merupakan rintangan tambahan bagi turunnya air banjir menuju ke laut. Menurut Soehoed (2002 ; 3) akibat dari semua faktor-faktor tersebut di atas muka air meningkat dan air banjir melimpasi tanggul-tanggulnya. Peningkatan muka air ini bahkan dapat merambat ke arah hulu dan rnelimpah ke wilayah-wilayah kota yang lebih tinggi. Dari gambaran di atas menerangkan bahwa terjadinya banjir sebenamya tidak sesederhana pengertiannya, banyak sekali faktor yang patut diperhatikan, sesuai dengan kaidah ekologi. Dengan pendekatan ekologis, maka komponen-komponen utama dari mata rantai penyebab
35
terjadinya banjir akan erat berhubungan satu sama lain. Faktor utama mekanisme banjir tidak boleh melupakan hal-hal seperti bentuk, sumber air, asal penambahan volume air, kondisi fisik/anatomi dari sumber air dan pembuangan air yang melimpah. Hanya dengan cara memahami mata rantai yang banyak dan saling berkaitan satu sama lain, sehingga diketahui mana yang lebih dominan menjadi menyebabkan terjadinya suatu banjir, maka cara pengendaliannya akan dengan mudah untuk dikembangkan.
2.3.2. Teori Pengendalian Banjir Upaya untuk pengendalian banjir sebenamya dapat dilakukan dengan pendekatan teknologi yang memungkinkan, yaitu : 1. Pendekatan dengan membangun bangunan-bangunan pencegah banjir, seperti dengan membuat bangunan pengelak (diversion), penahan
(levee), memperlancar aliran (river improfment) dan bangunan peredam banjir (dams); dan 2. Pendekatan dengan tidak membangun bangunan pencegah banjir, seperti mencegah penggundulan hutan,
pemanfaatan
rawa dan melakukan
reboisasi serta membuat ruang terbuka hijau. Upaya teknis yang dilakukan untuk mengendalikan banjir adalah dengan penerapan prinsip pengaturan jumlah air di badan sungai dan mencegah air sampai di badan sungai. Konsep pengaturan air di dalam daerah aliran sungai (DAS) dapat dilakukan pada 3 tahap proses, yaitu:
36
1. Kelebihan _air hujan ditahan oleh pohon/vegitasi (interst:psi, stem flow dan evapotranspirasi); 2. Kelebihan air hujan ditahan oleh tanah (melalui proses inflitrasi dan perkolasi dan ditampung di aquifer); 3. · Kelebihan air hujan ditahan oleh badan air (mengendalikan jumlah aliran pennukaan/run off, bendungan, cek dam, sumur resapan., dan lain-lain). Disamping itu penerapan teknologi dalam pencegahan dan penurunan laju dan jumiah aliran permukaan juga dapat dilakukan dengan kegiatan pengaturan tata guna lahan atau land use management dan pengaturan pemanfaatan air atau water management. Pendekatan konservasi air dengan cara memasukkan sebanyak mungkin jumlah curah hujan ke dalam tanah merupakan pendekatan yang ramah lingkungan dan murah. Konservasi tanah dan air mempunyai efek yang ramah lingkungan karena air akan masuk ke dalam tanah. Selain mengurangi aliran permukaan tanah juga akan memperbaiki kondisi air tanah. Tim IPB (8 Mei 2002) menegaskan bahwa kegiatan konservasi tanah dan air di bagian hulu, serta pemberdayaan masyarakat merupakan kunci utama uutuk melakukan pendekatan ini. Upaya pengendalian banjir secara non teknis bisa diartikan sebagai kegiatan di luar sungai untuk mengatasi banjir di dataran banjir yang terlanjur berkembang (Basuki,
1998 ; 17-23 ). Hal ini dilakukan agar
kerugian yang ditimbulkan terhadap masyarakat menjadi sekecil mungkin.
37
Menururt Safrudin (30 April 2002) Ruang Terbuka Hijau juga memiliki fungsi sebagai pengendali banjir, utamanya dalam tata hidrologi dan reservasi air
tanah~
yang memiliki akses utama dalam menyernp dan
menampung kelebihan air permukaan, baik karena hujan, buangan limbah akitivitas manusia, maupun kiriman air permukaan dari arah hulu. Sedanekan GoJdsmith dan Nicholas (1993; 174) menegaskan bahwa upaya pengendalian banjir bisa dilakukan dengan mencegah penggundulan hutan lebih lanjut di daerah-daerah rembesan air atau catchment a,.ea dari sungaisungai besar. Suatu pemecahan masalah jangka panjang mengenai problemproblem banjir harus selalu meningkat lebih jauh dari sekedar menghentikan penggundulan hutan, yaitu perlu adanya program yang sistematis dan bersifat menyeluruh mengenai penanaman hutan kembali. Amsyari (1976 ; 8:.2-83) menegaskan bahwa upaya yang bisa dilakukan untuk mengendalikan banjir adalah dengan proses reboisasi, yakni penghijauan hutan kembali yang
gundul
dan
menciptakan
hutan-hutan
baru
sehingga
dapat
memperiambat aliran air, menyerapkan air ke dalam tanah dan memperkecil terjadinya erosi, yang pada gilirannya akan memperlambat terjadinya pendangkalan sungai sehingga d&ya tampung sungai akan relatif lebih besar, karena sementara sungai tersebut terns membuang aimya ke laut. Pengendalian banjir agar tidak menjadi masalah, berarti memberikan ruang yang cukup untuk air agar tidak meluap dan mengalir ke tempattempat lain yang dapat mengganggu kepentingan manusia (Sjarief, 26 Juni
38
2002). Karena itu pengendalian banjir bukan berarti harus selalu membuang air secepatnya ke laut, tetapi sedapat mungkin mengusahakannya agar tingkat kerugian atau resiko banjir bisa dicegah atau ditekan sekecil mungkin. Usaha monitoring yang ketat terhadap curah hujan juga perlu dilakukan terutama pada musim hujan. Curah hujan adalah faktor yang sulit dikontrol oleh manusia. Oleh karena itu perlu pengamatan yang teratur agar tidak terjadi hal-hal yang mempermudah terjadinya banjir. Teknologi pengendalian banjir dalam sejarahnya telah mengalami banyak perkembangan yang
semakin
efektif dan
efisien.
Dahulu
pengendalian banjir diartikan sebagai tindakan fisik-teknis menjauhkan air dari manusia, namun sekarang pengertian pengendalian banjir lebih berpusat kepada kegiatan mengurangi kerugian atau flood mitigation dengan banyak pilihan, bukan hanya lewat penyelesaian teknis semata (Soehoed 2002 ; 90). Mengingat banyaknya
program pengendalian banjir yang sudah
dilakukan dengan biaya yang tidak sedikit dan usaha yang besar untuk mengatasi banjir, tetapi kejadian banjir tetap berulang dan bahkan menimbulkan kerugian yang semakin besar, maka masalah yang dihadapi nampaknya bukan semata-mata persoalan teknis yang biasanya diatasi dengan
pendekatan
teknologi,
akan
tetapi
juga
terdapat
masalah
kelembagaan dan lemahnya kebijakan publik, khususnya yang menyangkut
39
lemahnya pertanggung-gugatan atau accountability. di dalam kebijakan pengendalian banjir. Menurut Tim IPB (8 Mei 2002) menegaskan bahwa: ... pendekatan teknis/teknologi yang dilakukan selama mt sebagai alternatif penanganan banjir umumnya bersifat jangka pendek, disamping itu menyebabkan biaya sosial dan finansial yang tinggi, sehingga apabila pendekatan ini kurang didukung oleh pendekatan-pendekatan sosial, ekonomi dan kelembagaan yang mantap, maka tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Umumnya kebijakan pengendalian banjir yang dilakukan selama ini dengan pendekatan teknologi, belum memasukan pendekatan kelembagaan sebagai unit analisisnya. Dengan pendekatan kelembagaan berarti organisasi publik yang melaksanakan fungsi dan tugas pengendalian banjir semestinya dapat dipertanggung-gugatkan di hadapan publik. Melihat dampak yang ditimbulkan akibat dari kejadian banjir yang semakin
besar, hal itu
memastikan bahwa sebenarnya telah terjadinya dis-orientasi tujuan dalam pengelolaan unit yang menangani banjir (Tim IPB, 8 Mei 2002). Untuk itu maka perlu dibahas lebih lanjut keterkaitan pendekatan kelembagaan di dalam organisasi publik.
2.4. Pendekatan Kelembagaan dan Organisasi Publik 2.4.1. Konsep Kelembagaan
Ddinisi kelembagaan mencakup dua demarkasi penting, yaitu konvensi atau convention dan aturan main atau rules of the game.
40
Kelembagaan
ada~ah
suatu aturan yang dikenal dan diikuti sel:ara baik oleh . ..
anggota masyarakat, yang memberi naungan atau liberty dan hambatan atau constraints bagi individu atau masyarakat (Commons dan Veblen dalam Arifin dan Didik 2001 ; 33). Kelembagaan kadang ditulis secara formal dan ditegakkan oleh aparat pemerintah, tetapi juga dapat tidak ditulis secara formal. Umumnya kelembagaan dapat dipredik3i atau predictable dan cukup stabil, serta dapat diaplikasikan pada situasi yang berulang. Dengan kata lain kelembagaan selain dianggap sebagai suatu konvensi atau keteraturan dalam tingkah laku manusia yang menghasilkan suatu tingkat kepastian prediksi dalam hubungan antar manusia, juga dapat dianggap sebagai seperangkat aturan main atau tata cara untuk
kelangsungan
sekumpulan kepentingan. Menurut Bromley ( 1989) dalam Arifin dan Didik (2001 ; 37)
kelembagaan adalah serangkaian hubungan keteraturan antara
beberapa orang yang menentukan hak, kewajiban atau tepatnya kewajiban menghargai orang lain, privilis dan tanggung jawab mereka dalam masyarakat atau kelembagaan tersebut. Hal itu berarti
kelembagaan
memerlukan otoritas ektemal seperti negara yang menegakkan konvensi dan aturan main dalam kehidupan masyarakat dan bertanggungjawab kepada masyarakat atau kelembagaan tersebut.
41
Kele~bagaan
berbeda dengan orgamsast, meskipun sama-sama
memiliki suatu struktur bagi interaksi antarmanusia (Arifin dan Didik 2001 ; 37). North (1990) dalam Arifin dan Didik (2001 ; 37-38) menegaskan bahwa organisasi adalah sekumpulan dari orang-orang yang mempunyat tujuan yang sama, sedangkan kelembagaan adalah aturan mam yang melingkupi organisasi tersebut. Dengan kata lain suatl! orgamst!st dapat berdiri sendiri dan eksis karena terdapat aturan main yang menentukan atau dejine perjaianannya.
Dengan demikian dalam hubungan antara kelembagaan dan organisasi terdapat dua aturan main, yaitu
( 1) men-difine suatu organisasi vs
organisasi lain yang ada; dan (2) mempertegas struktur internal dari organisasi tadi (Arifin dan Didik 2001 ; 38). Aturan yang pertama lebih menekankan pada aturan-aturan atau langkah-langkah yang harus diikuti agar organisasi tetap eksis dan tetap hidup, sedangkan aturan kedua lebih menekankan pada bagaimana pejabat atau pengurus orgaisasi diangkat, bagimana laporan keuangan itu harus ditulis dan disampaikan atau bagaimana keputusan administratif dapat dibuat dan dipatuhi dan sebagainya. Dalam istiiah sehari-hari, kedua aturan main itu
biasa disebut denga11
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Dari
uraian
tersebut
dapat
disimpu1kan
bahwa
pendekatan
kelembagaan adalah pendekatan yang menje1askan tentang aturan main atau tata cara yang melingkupi organisasi publik di dalam menentukan
42
perjalannya baik secara internal maupun ekstremal serta bertar.ggungjawab .1'
••
kepada masyarakat dan kelembagaan tersebut.
Karena objek yang akan
diteliti dalam penelitian ini adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai organisasi publik yang melaksanakan pengendalian banjir, maka akan dijelaskan lebih lanjut tentang konsep dari organisasi publik.
2.4.2. Organisasi Publik
Menurut Lubis dan Huseini (1987 ; 1) organisasi adalah sesuatu yang abstrak, sulit dilihat tetapi bisa dirasakan eksistensinya. Sifat abstrak menyebabkan organisasi bisa didefinisikan dengan berbagai cara. Secara umum organisasi dapat didefinisikan sebagai : ..... suatu kesatuan sosial dari sekelompok man usia, yang saling berinteraksi menumt suatu pola tertentu sehingga setiap anggota organisasi memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing, yang sebagai suatu kesatuan mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai batas-batas yang jelas, sehingga dapat dipisahkan secara tegas dari lingkungannya. (Lubis dan Huseini 1987 ; 1). Sedangkan menurut Wexley dan Yulk (1984) dalam Kasim (1983 ; 1) organisasi adalah suatu pola kerjasama antara orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara konseptual, organisasi terdiri dari komponen kerja, struktur, koordinasi, dan personil. Penelitian tentang organisasi cenderung untuk
43
mengukur dan menganalisis reaksi individu, kelompok dan orgamsas1 terhadap komponen organisasi itu sendiri (Ilyas 2001 ; 46). Menurut Lubis dan
Huseini (1987
; 8) dalam menganalisis
permasalahan organisasi dapat diketahui melalui dimensi struktural dan dimasi kontekstual, yaitu sebagai berikut: 1. Dimensi strnktural : Menggambarkan karakteristik internal suatu orgamsast, dan terdiri daridimensi-dimensi berikut : a. Formalisasi : menunjukkan tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam organisasi, yang menggambarkan perilaku serta kegiatan organisasi. b. Spesialisasi : menunjukkan drajat pembagjan pekerjaan dalam orgamsast. c. Standarisasi : menggambarkan drajat kesamaan dalam pelaksanaan kerja. d. Sentralisasi : menunjukkan pembagian kekuasaan menurut tingkatan (hirarki) dalam organisasi, antara lain ditunjukkan dengan jenis dan jumlah keputusan yang boleh ditetapkan pada setiap tingkatan. e. Hirarki : menggambarkan pembagian kekuasaan serta kekuasaan rentang kendali secara umum. (otoritas) f. Kompleksitas : menunjukkan banyaknya kegiatan (subsistem) dalam organisasi, dan terdiri dari : - Kompleksitas vertikal : menunjukkan jumlah tingkatan yang ada dalam organisasi. - Kompleksitas horisontal menunjukkan pembagian kegiatan secara horisontal, yaitu menjadi bagian-bagian yang secara vertikal berada pada tingkatan yang sama. g. Profesionalisme : menunjukkan tingkat pendidikan fonnal ataupun tidak formal rata-rata-yang dimiliki oleh anggota orgamsast. h. Konfigurasi : menunjukkan bentuk pembagian anggota organisasi ke dalam bagian-bagian, baik secara vertikal maupun horisontal. 2. Dimensi Kontekstual :
44
Menggambarkan karakteristik keseluruhan suatu orgamsas1, yang mencakup lingkungannya,,yang terdiri dari : a. Ukuran organisasi : menunjukkan jumlah anggota (personil) orgamsas1. b. Teknologi organisasi : menunjukkan jenis dan tingkatan teknologi dari sistem produksi organisasi. c. Lingkungan : menggambarkan keadaan semua elemen li:tgkungan terutama yang tcrJapat Ji luat batas-batas organisasi, terutama elemenelemen lingkungan yang berpengaruh te!"hadap organisasi. Menurut Laud dalam Berger (1994 ; 308-305) ada beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk
menentuk~n
kinerja organisasi, yaitu : (1)
struktur dan (2) proses. Struktur mengacu pada pola insterkasi formal antara individu-individu, kelompok-kelompok, dan fungsi-fungsi dalam sebuah organisasi. Aspek-aspek struktural sebuah organisasi mencakup aturan, kebijakan, hubungan komunikasi formal, bagan organisasi, job description, dan aturan kerja. Sturktur juga mengacu pada cara pendistribusian sumberdaya dan kewenangan ke seluruh bagian organisasi dan bagaimana tugas dan pola hubungan diorganisasikan. Sedangkan proses merupakan kumpulan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sebuah organisasi, mencakup perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dimana mated dan sumberdaya manusia dikoordinasikan untuk mencapai tujuan tertentu. Proses adalah apa yang dikerjakan organisasi dan kelompok.
45
T erdapat empat komponen dasar yang merupakan kerangka dalam memberikan definisi struktur organisasi (Child
1972 dalam Lubis dan
Huseini 1987; 120), yaitu: 1. Struktur organisasi memberikan gambaran mengenai pembagian tligas-tu.~as strta tanggungjG.wub kepada individu maupun bagian-bagian, pada suatu organisasi. 2. Struktur organisasi memberikan gambaran mengenai hubungan pelaporan ye!ng ditetapkan secara resmi dalam suatu organisasi. Tercakup dalam hubungan pelaporan yang resmi ini banyaknya tingkat hirarki serta besarnya rentang kendali dari semua pimpinan di seluruh tingkatan dalam organisasi. 3. Struktur organisasi menetapkan pengelompokan individu menjadi bagian dari organisasi, dan pengelompokan bagian-bagian tersebut menjadi bagian suatu organtsast yang utuh. 4. Struktur organisasi JUga menetapkan sistem hubungan dalam organisasi yang memungkinkan tercapainya komunikasi, koordinasi, dan pengintegrasian segenap kegiatan suatu organisasi, baik ke arab vertikal maupun horisontal. Struktur organisasi merupakan mekanisme pengendali yang mengatur organisasi. Dalam tatanan struk.'tllr organisasi, kebijaksanaan pengambilan keputusan dialokasikan ke berbagai posisi (Pfeffer 1981 ; 117). Jadi struktur orgamsast
menciptakan
kekuasaan
dan
wewenang
formal
dengan
mengkhususkan orang-orang tertentu untuk melaksanakan tugas pekerjaan khusus dan mengambil keputusan tertentu (Pfeffer dalam Meyer 1978 ; 2950).
Struktur organisasi umumnya digambarkan pada skema organisasi. Skema organisasi ini menggambarkan mengenai keseluruhan kegiatan serta proses yang terjadi pada suatu
orga.~isasi.
Mcnurut Gibson, Ivancevich dan
46
Donnelly ( 1989 ; 10) proses ad:tlah aktivitas yang memberi nafas kehidupan bagi stmktur organisasi. Untuk mewujudkan suatu organisasi yang baik dan efektif dan agar stmktur dan proses organisasi yang ada sehat dan efisien, maka perlu diterapkan beberapa prinsip atau azas di dalam organisasi. Menumt The Liang Gie dalam Rilvu Koho (2002 ; 209) secara pokok prinsip organise!si dapat dirinci sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemmusan tujuan denganjelas; Pembagian tugas pekerjaan; Delegasi kekuasaan; Tingkat pengawasan; Rentang kekuasaan dan kesatwm perintah; serta Tanggungjawab.
Tujuan organisasi hams dimmuskan dengan jelas karena mempakan landasan
selanjutnya
dalam
menentapkan
haluan,
bentuk
dan
kegiatanlpekerjaan yang akan dilaksanakan serta pejabat-pejabat yang akan melaksanakan (Riwu Kaho 2002 ; 21 0). Sedangkan Etzioni dalam Riwu Koho (2002 ; 21 0) menegaskan bahwa secara prinsip tujuan organisasi dapat dimmuskan sebagai suatu pernyataan tentang keadaan yang diinginkan dimana organisasi bermaksud untuk merealisasikan dan sebagai pernyataan tentang keadaan di waktu yang akan datang dimana organisasi secara kolektif mencoba untuk mewujudkannya. Dalam konteks organisasi publik, menumt hemat penulis organisasi publik sebaiknya juga hams memiliki unsur-unsur dan prinsip-prinsip organisasi sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas. Namun ada
47
beberapa asumsi normatif yang perlu dijadikan pedoman dalam memahami organisasidi sektor publik (Kasim 1983 ; 20), yaitu : 1. Organisasi (institusi) publik tidak sepenuhnya otonom tetapi dikuasai oleh faktor- faktor eksteri or; 2. Organisasi publik secara resmi (menurut hukum) diadakan untuk pelayanan masyaraka!; 3. Organisasi publik tidak dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar dengan merugikan organisasi publik yang lain; 4. Kesehatan organisasi publik diukur melalui : a. Kontribusinya terhadap tujuan politik; b. Kemampuan mencapai hasil yang maksimum dengan sumberdaya yang tersedia. 5. Kualitas pelayanan masyarakat yang buruk akan memberikan pengaruh politik yang negatif (merugikan). Menurut Suwandi (1999 ; 4)
organis~si
yang memiliki fungsi
pelayanan masyarakat atau Public Service function, fungsi pembangunan atau development function, dan fungsi perlindungan masyarakat atau
protective function,
dapat
dikategm ikan
sebagai
organisasi
publik.
Sedangkan Did in (200 1 ; 14) merumuskan bahwa organisasi publik adalah organisasi yang bertugas atau melaksanakan pekerjaan dalam urusan pemerintahan atau urusan pembangunan dan kemasyarakatan yang bertujuan memberikan pelayanan umum, khususnya dalam kaitannya dengan sektor publik dan barang publik. Organisasi publik seperti pemerintah merupakan suatu bentuk sistem organisasi sosial yang komplek dan sudah tertata dengan rapih, mempunyai prosedur, proses dan bentuk hubungan hirarki di antara
indi~tidunya.
Sturktur formal yang sudah mapan di dukung pula dengan bentuk hubungan
48
struktur informal. Kedua struktur tersebut, mengalokasi dan mengadapatasi berdasarkan tingkat status kekuasaan, prestise dan kepuasan dari setiap individu anggotanya. Organisasi publik merupakan bentuk organisasi dari sistem terbuka, karena secara rutin menerima masukan dari lingkungannya dan harus mengadopsi
perubahan
yang
didapat,
walC~upun
dilakukan
secara
konservatif. Secara evolusi, perubahan terhadap pengaruh lingkungan dilakukan secara bertahap, sedikit-demi sedikit (incremental), karena perubahan secara bertahap mudah dilaksanakan dan tidak menimbulkan gejolak. Pada organisasi publik, perubahan yang terjadi biasanya karena adanya perubahan lingkungan. Namun umumnya, setiap organisasi publik akan menolak munculnya suatu perubahan, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara drastis. Hal ini disebabkan individu dalam organisasi itu sendiri akan menolak adanya perubahan, karena akan merusak tatanan yang sudah lama berja!an (Heffron, 1989; 154). Pada suatu organisasi publik yang sudah disyahkan dengan UU, dilengkapi dengan peramran dan petunjuk pelaksana, maka perubahan biasanya sulit dilakukan, karena akan mengubah peraturan yang ada selama ini. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi yang berbentuk birokratis merupakan organisasi yang sulit untuk dirubah.
49
Menurut Weber (1947) dalam Lubis dan Huseini (1987; 74) bentuk organisasi
birokratis
merupakan
jenis
organisasi
yang
mempunyax
karakteristik yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri, baik untuk lembaga pemerintahan maupun organisasi usaha. Organisasi birokratis, menurut Weber, dapat menjamin tercapainya alokasi sumber yang terbatas pada sebuah masyarakat yang k0mpleks. Lebih lar.jut Weber dalam Lubis dan Huseini ( 1987 ; 74-75) mengemukakan bahwa ada 7 ciri yang dapat dijumpai pada sebuah organisasi birokratxs, yaitu : 1. Ada pengaturan ataupun pengorganisasian fungsi-fungsi resmi yang saling terikat, oleh aturan, yang menjadikan fungsi-fungsi resmi itu sebagai suatu kesatuan yang utuh. Peraturan dan prosedur operasi yang baku menyebabkan kegiatan organisasi dapat dilaksanakan dengan cara yang rutin dan pasti; 2. Adanya pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi. Setiap anggota organisasi mempunyai tugas yang jelas dan juga mempunyai wewenang yang seimbang dengan tugas yang harus dijalankan; 3. Adanya pengorganisasian yang mengikuti prinsip hirarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah diawasi dan diatur oleh tingkatan yang lebih tinggi, sehingga tersusun suatu hirarki otoritas yang runtut mulai dari tingkatan yang tertinggi hingga tingkatan terendah dalam organisasi; 4. Adanya sistem penerimaan dan penempatan karyawan yang didasarkan atas kemampuan teknis, tanpa memperhatikan sama sekali koneksi, hubungan keluarga maupun favoritisme; 5. Adanya pemisahan an tara pemilik alat produksi maupun administrasi dari kepemimpinan organisasi. Weber berpendapat bahwa pemisahan ini akan membuat organisasi tetap bersifat impersonal, yang dianggap penting untuk mencapai efisiensi; 6. Adanya objektifitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan suatu jabatan organisasi. Weber menyatakan bahwa pemegang suatu jabatan haruslah melakukan kegiatan secara obj ektif sesuai dengan tug as
50
yang harus dijalankannya, dan tidak menggunakan jabatannya untuk melayani kepentingan diri pribadi; 7. Kegiatan adaministrasi, keputusan-keputusan, dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis. Bentuk organisasi sebagaimana yang disebutkan Weber di atas merupakan bemuk yang ideal dari suatu organisasi birokratis (publik). Namun j<mmg organisasi publik yang dapat menjaiankan ke tujuh dimensi tersebut secara sempuma. Umumnya organisasi publik hanya menjalan tiga dari ketujuh dimensi yang ada, seperti hirarki otoritas, pembagian tugas dan penggunaan dokumen tertulis. Oleh karena itu tidak heran bila Smith (1997; 570) menegaskan bahwa organisasi publik memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Budaya berdasarkan peraturan, bukan berdasarkan manusia. Organisasi publik merupakan organisasi yang terstruktur berdasarkan peraturan, ketentuan dan kebijakan. Budaya ini diciptakan agar tak ada seorangpun yang akan membuat kesalahan, akan tetapi hal ini justru menyababkan tidak muncul inisiatif dan kreatifitas dian tara individunya. 2. Pengambilan keputusan yang terpusat. Setiap ide dan keputusan pada organisasi publik selalu timbul dari atas, hal ini menyebabkan organisasi publik sering disebut sebagai oraganisasi dengan manajemen yang pasif, karena tidak adanya pendelegasian wewenang dan tanggungjawab yang lebih bawah. 3. Kesuiitan dalam menyelesaikan masalah. Dalam organisasi publik tanggungjawab dan pengambilan keputusan selalu dilakukan oleh pihak manajemen atas. Akibatnya pengambilan keputusan menjadi terhambat. Seharusnya keputusan bisa didelegasikan dan dilakukan oleh orang yang paling dekat dengan pelayanan masyarakat, karena merekalah yang paling tahu masalah dan bisa segera melakukan tind~an. Semakin besar organisasi tersebut, maka semakin lama keputusan dapat diambil. 4. Cenderung menolak adanya perubahan.
51
Struktur dalam organisasi publik, sudah terbagi atas fungsi dan tingkatannya. Masing~inasing individu biasanya sudah mempunyai rincian tugas untuk sejuinlah pekerjaan. Adanya spesialisasi tersebut akan menyebabkan sulitmelakukan perubahan. Birokrasi dalam organisasi publik mempunyai self protecting mechanism, artinya karena oraganisasi publik didasarkan atas peraturan, maka mereka ak1n term: !Tiemur.bah p~raturaa dan ket~r.tu~,, :;ehingga makin sulit untuk melakukan perubahan. 5. Membentuk susunan dan ukuran kekuasaan. Individu di da!am organisasi publik secara tid3k langsung akan membentuk sistem kasta-kasta. Tingkatan hirarki ini akan membentuk bagaimana peranan seorang individu di dalam tingkatannya, kepada siapa saja dapat berbicara dan kepada siapa saja harus bergaul. Walaupun ketentuan ini sebenamya merupakan aturan yang tidak tertulis, akan tetap situasi ini nyata ada dan berJaku bagi setiap individu di dalam organisasi pubik. Di era globalisasi sekarang ini, karakteristik organisasi publik sebagaimana yang digambarkan Smith, tidak mungkin bisa dipertahankan. Organisasi publik dapat berkembang, kalau individunya bisa berhubungan dengan semua individu lainnya
baik
pada semua tingkatan. Aparat
pemerintah tidak lagi cukup mentaati aturan dan perintah, tetapi juga hams mempunyai ketajaman visi atas perubahan yang sedang berlangsung pada lingkungannya dan harus merupakan orang-orang yang profesional, tangguh dan berdedikasi tinggi. Tanpa semua itu tidak mungkin organisasi publik dapat menghadapi perubahan yang berjalan dengan cepat. Semua ini merupakan kewajiban pimpinan untuk dapat menciptakan situasi yang kondusif bagi kemajuan organisasi publik sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.
Karena pada akhimya
masyarakatlah yang akan menerima dampak atas pelayanan dari organisasi
52
publik. Maka sudah selayaknya organisasi publik bertanggungjawab tidak saja secara vertikal (peinerintah) tetapi juga horisontal (masyarakat). Mengacu dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Organisasi publik adalah unit organisasi yang memiliki struktur dan proses di dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya untuk memberikan pelayanan keparla masyarakat dalam sektor publik dan b
2.5. Kinerja Organisasi Publik 2.5.1. Konsep Kinerja Kinerja merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya. Menurut Rue dan Byars (1980) dalam Yudoyono (2001 ; 158) kinerja atau
performance adalah
tingkat pencapatan hasil atau the degree of
accomplishment. Atau dengan kata lain, kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi. Menurut Carol dan Schneier dalam Murphy dan Cleveland (1995 113) menegaskan bahwa kinerja adalah kualitas prilaku yang berorientasi pada tugas atau pekerjaan. Sedangkan Atmosudirdjo ( 1997 ; 11) berpendapat bahwa kinerja merupakan prestasi, drajat keberhasilan atau prestasi pelaksanaan organisasi. Kinerja juga bisa berarti kriteria yang digunakan untuk menilai organisasi. Suatu organisasi tentu menegaskan standar dan sasaran tertentu
53
yang mgm dicapai oleh para pelaksana organisasi. Jadi kinerja pada dasamya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran terse but. Menurut Dwiyanto (2002 ; 45) mengetahui informasi mengenm kinerja sangat diperlukan karena beberapa alasan :
... pertama, be.rguna dalam menilai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi publik dalam memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa; kedua, menciptakan tekanan bagi para pejabat penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-pembahan dalam organtsast; ketiga, benchmarking mudah dilakukan dan dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan. Kinerja organisasi publik tidak hanya bisa dilihat dari ukuran internal yang dikembangkan oleh organisasi publik atau pemerintah, seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya JUga hams dinilai dari ukuran ekstemal, seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi publik memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat (Dwiyanto 2002 ; 49). Dalam instansi pemerintah khususnya, penilaian kinerja sangat bcrguna untuk menilai kuantitas, kualitas
dan efisiensi pelayanan,
memotivasi para aparat pelaksana, memonitor para kontraktor, melakukan budget, mendorong pemerintah agar lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat yang dilayani, dan menuntut perbaikan dalam pelayanan publik (Hatry 1989 dalam Yudoyono, 2001 ; 157).
54
pengan melakukan peniiaian terhadap kinerja, organisasi dapat melakukan perbaikan atau meningkatkan kinerja organisasi (Donald & Lawton 1977 dalam Yudoyono 2001 ; 158). Untuk itu penilaian tersebut perlu dilakukan terus menerus melalui evaluasi terhadap kinerja organisasi. Berdasarkan dari
definisi-definisi
tersebut
di
atas penulis
berpendapat bahwa kinerja organisasi publik adalah tingkat keberhasilan yang dapat dicapai organisasi publik di dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya. Dengan demikian salah satu cara untuk menilai kinerja organisasi publik adalah dengan melakukan penilaian terhadap basil yang sudah dirapai dari organisasi publik dengan ukuran-ukuran yang telah disepakati bersama.
2.5.2. Ukuran Kinerja lndikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan (Tim Asistensi Pelaporan AKIP 2000 ; 9). Oleb karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur, serta dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (ongoing), maupun tahap setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post). Indikator kinerja digunakan pula untuk meyakinkan bahwa kinerja suatu organisasi menunjukkan kemajuan dalam rangka dan/atau menuju tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
55
Tolok ukur atau indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi untuk mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya melalui pengukuran yang seobyektif mungkin {Tim Asistensi pelaporan AKIP 2000 ; 21 ). Penekanan pengukuran kinerja pada instansi pemerintah adalah dengan cara membandingkan misi dan tujuan dengan capaiannya. Idealnya, pengukuran kinerja yang dipakai oleh instansi pemerintah disusun setelah adanya suatu konsensus dengan stakeholder dari organisasi tersebut. Menurut Thor (1995) dalam Armstrong dan Baron (1998; 273) ada 3 (tiga) prinsip yang mengatur pengembangan pengukuran kinerja sebagai alat untuk meningkatkan efektifitas organisasi :
1. What to measure is ultimately determained by what the customer considers important. 2. The customers needs are translated into strategic priorities and a strategic plan indicating what should be measured. 3. Supplying improvement teams with measured results of key strategic priorities contributes to further improvement by providing both team motivation and information on what works and does not work. 1. Apa yang diukur ditentukan oleh apa yang dianggap penting oleh masyarakat. 2. Kebutuhan masyarakat diartikan ke dalam prioritas-prioritas strategis dan sebuah rencana strategis yang menunjukkan pada apa yang harus diukur. 3. Memberikan hasil-hasil pengukuran prioritas-prioritas kunci yang strategis kepada tim untuk dikontribusikan bagi peningkatan lebih lanjut dengan mempersiapkan motivasi tim dan informasi pada pekerjaan dan bukan pekerjaan. Indikator-indikator berikut ini dapat digunakan untuk mengukur kinerja pemerintah lokal (The Audit Commission 1987 dalam Armstrong dan Baron 1998; 274):
56
a. productivity indicators that focus on the amount of work completed within a defined length of time b. utilisation rates that refer to the extent to wich available services are used- for example, occupancy rates ofschool places c. time targets that refer to the average time taken to carry out defined units ofwork- for example, the time to process appeals d. volume of service- for example, the nuber of housing repairs completed " demandlservic~ provi:;!o;;, tthich refer to such indicators as the number of nursery school places compared with the relevant child population. a. Indikator produktivitas, yang memfokuskan pada jumlah kerja dalam batas waktu tertentu; b. Tingkat penggunaan, yang mengacu pada perluasan dimana pelayananpelayanan digunakan - misalnya, tingkat hunian dari tempat-tempat sekoiah; c. Target waktu, yang mengacu kepada rata-rata waktu yang diambil untuk menentukan unit kerja misalnya, waktu untuk memproses pertimbangan-pertimbangan; d. Volume lay~mao- misalnya, jumlah perumahan yang diperbaiki; e. Permintaan/provisi layanan, yang mengacu kepada indikator-indikator terse but, seperti jumlah tempat-tempat penitipan anak. Zeithaml, Parasuraman dan Berry ( 1990) dalam Dwiyanto (2002 ; 51) menegaskan bahwa kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik, yakni melalui aspek fisik pelayanan yang
diberikan,
seperti
berbagai
fasilitas
kantor
pelayanan
yang
memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat. Kinerja dapat pula dilihat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan (Salim dan Woodward 1992 dalam Dwiyanto 2002 ; 50). Aspek ekonomi diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumberdaya yang seminimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi diartikan untuk menunjukkan suatu kondisi tercapainya perbandingan terbaik/ proporsional antara input
57
pelayanan dengan output pelayanan. Aspek efektivitas diartikan untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan 'yang telah ditentukan. Aspek persamaan pelayanan dilihat sebagai ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu bentuk pelayanan telah memperhatikan aspekaspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. Dwiyanto ( 1995 ; 48-49) menegaskan bahwa ada beberapa indikator yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi pubiik, yaitu : a. Produktivitas Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas umumnya dipahami sebagai rasio antara input dengan output. b. Kualitas Layanan Karena banyak muncul ketidakpuasan terhadap kualitas layanan organisasi publik, maka kepuasan masyarakat terhadap suatu layanan dapat dijadikan indikator kinerja birokrasi publik. c. Responsivitas Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas layanan dan mengembangkan program-progam pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Singkatnya responsivitas menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. d. Akuntabilitas Akuntabilitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Dengan asumsi bahwa para pejabat politik itu akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam kontek ini konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat banyak.
58
Mengacu
dari
pendapat-pendapat
di
Htas,
maka
penulis
menyimpulkan bahwa ukuran kinerja adalah indikator-indikator yang digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan organisasi publik di dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya.
2.6. Aktmtabilitas Organisasi Publik 2.6.1. Konsep Akuntabilitas Menurut Dwiyanto (2002 ; 55) akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma ekstemal yang ada di masyarakat atau dimiliki oleh para
stakeholders.
Nilai dan norma pelayanan
yang berkembang dalam
masyarakat tersebut diantaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orientasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa. Sedangkan Turner dan Hulme (1997; 122) menegaskan bahwa akuntabilitas merupakan faktor pendorong yang menimbulkan tekanan kepada aktor-aktor terkait untuk benanggungjawab atas pelayanan dan jaminan adanya kinerja pelayanan publik yang baik. Dalam
The Oxford Advance Learner's Dictionary akuntabilitas
diartikan sebagai required or expected to give an explanation for one's
action. Dengan kata lain, dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk
59
menyajikan dan melaporkan _segala !indak _tanduk dan kegiatannya kepada . pihak yang lebih tinggi atau atasannya. Sedangkan Deklarasi Tokyo (1995) dalam TIM Asistensi Pelaporan AKIP
(2000 ; 22) menetapkan definisi
akuntabilitas sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hai yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumberdaya serta pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya, dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban secara periodik (Tim Asistensi Pelaporan AKIP 2000 ; 23). Sedangkan menurut Mardiasmo (2002 ; 20) akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah atau agent untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak pemberi amanah atau principal yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Dalam
kontek
organisasi
pemerintah,
akuntabilitas
publik
merupakan pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan
60
tersebut. Pemerintah harus bisa menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu : ( 1) akuntabilitas vertikal, yakni pertanggungjawaban . kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjwaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR; dan (2) akuntabilitas horisontal, yakni pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Tuntutan akuntabilitas publik mengharuskan lembaga-lembaga sektor publik untuk lebih menekankan pada pertanggungjawaban horisontal, bukan hanya pertanggungjawaban vertikal. Menumt Ellwood ( 1993) dalam Mardiasmo (2002 ; 21) terdapat empat dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor publik, yaitu : 1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum atau accountability for probity and legality; 2. Akutabilitas proses atau process accountability; 3. Akuntabilitas program atau program accountability; 4. Akuntabilitas kebijakan atau policy accountability. Akuniabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan atau abuse ofpower. Sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam penggunaan sumberdaya publik.
61
Akuntabilitas proses terkait dengan apakah prosedur yang digunakan dalam meh1ksanakan tugas sudah cukup baik dalam hal kecukupan sistem informasi
akuntansi,
sistem
informasi
manaJemen,
dan
prosedur
administrasi. Akuntabilitas proses termanifestasikan melalui pemberian pelayanan publik yang cepat, responsif, dan murah biaya. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap pelaksana&n akuntabilitas proses dapat dilakukan, misalnya dengan memeriksa ada tidaknya mark up dan pungutan-pungutan lain di luar yang ditetapkan, serta sumber-sumber inefisiensi dan pemborosan yang menyebahkan mahalnya biaya pelayanan publik dan kelambanan dalam pelayanan. Pengawasan dan pemeriksaan akuntabilitas proses juga terkait dengan pemeriksaan terhadap proses tender untuk melaksanakan proyek-proyek publik. Yang hams dicermati dalam pemberian kontrak tender adalan apakah proses tender telah dilakukan secara fair melalui
Compulsory Competitive Tendering (CCT), ataukah
dilakukan melalui pola korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Menurut Yango dalam Tim AKIP (2000 ; 27) akuntabilitas proses memfokuskan pada informasi mengenai tingkat pencapaian kesejahteraan sosial atas pelaksanaan kebijakan dan aktivitas-aktivitas organisasi. Untuk itu perlu dipertimbangkan masalah etika dan moral pada setiap kebijakan pemerintah serta pelaksanaannya, dan bagaimana dampaknya pada kondisi sosial. Hai inilah yang sering kali dilanggar oleh pemerintahan yang bersifat otokratik, dimana rakyat tidak memiliki kuasa untuk melakukan penolakan
62
terhadap kebijakan pemerintah yang nyata-nyata merugikan mereka baik dari segi moril, bahkan kadang kala jiwa. Akuntabilitas program terkait dengan pertimbangan apakah tujuan dapat
ditetapkan
yang
dicapai
atau
tidak,
dan
apakah
telah
mempertimbangkan altematif program yang memberikan hasil yang optimal dengan biaya yang minimal. Sedangkan
Akuntabilitas kebijakan terkait
dengan pertanggungjawaban pemerintah, baik pusat maupun daerah, atas kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terhadap DPR/DPRD dan masyarakat luas. Tim Asistensi Pelaporan AKIP (2000 : 39) menegaskan bahwa akuntabilitas kebijakan membantu mengukur akibat dari programprogram yang berbeda satu dengan yang lainnya pada kelompok sasaran yang sama di dalam masyarakat. Menurut Maridasmo (2002 ; 227) dalam era reformasi dewasa ini,
policy audit juga telah menjadi tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan
adanya
pemerintah
tuntutan
sehingga
dilakukannya
masyarakat
dapat
transparansi melakukan
kebijakan
oleh
penilaian
dan
pengawasan, serta terlibat dalam pengambilan keputusan. Akuntabilitas sektor publik diruntut ·dapat menjadi alat perencaanaan dan pengendalian organisasi sektor publik secara efektif dan efisien, serta memfasilitasi terciptanya akuntabilitas publik. Berdasarkan dari
definisi-definisi tersebut di
atas
maka penulis
menyimpulkan bahwa akuntabilitas adalah perwujudan dari kewajiban
63
orgamsast
publik
untuk
mempertanggungjawabkan
pemanfaatan
sumberdaya yang dipercayakan kepadanya dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
2.6.2. Ukuran Akuntabilitas
Menurut Tvrner dan Hulme (1997 ; 122) banyak alat yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas, diantaranya : sistem pemilihan, pendelegasian
wewenang,
penerapan
norma-norma
yang
positif,
profesionalitas, program-program pelatihan, partisipasi masyarakat dan konsultasi, kebebasan informasi, public hearings,
laporan tahunan,
penganggaran, auditing, sistem informasi, penerapan standard, petunjuk program, dan umpan balik dari masyarakat. Tim Asistensi Pelaporan AKIP (2000 ; 37-39) menegaskan bahwa untuk mengimplementasikan akuntabilitas agar menjadi suatu sistem yang efektif, perlu dilakukan beberapa langkah penting, yaitu : a. Pemyataan yang jelas mengenai tujuan dan sasaran dari kebijakan dan program. Sistem akuntabilitas menekankan pada pengukuran hasil yang akan membantu memikirkan hal yang sebenamya diinginkan oleh pemimpin politik dan pembuat kebijakan pada saat mereka memutuskan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. b. Pola pengukuran tujuan Setelah tujuan dibuat dan hasil dapat diidentifikasikan, perlu ditetapkan suatu indikator kemajuan yang mengarah pada pencapaian tujuan dan hasil. c. Pengakomodasian sistem insentif
64
Suatu sistem insentif perlu disertakan dalam sistem akuntabilitas. Di dalam pengumpulan data mengenai hasil, sistem akuntabilitas akan menyediakan sistem insentif bagi para petugas pelayanan, menejer program, dan mungkin masyarakat yang dilayani. Suatu sistem insentif diharapkan akan merubah perilaku petugas dalam pelayanan publik. d. Pelaporan dan penggunaan data Sn~tn si'!t~m akuntabilites kine:ja akan dapat me!lghasi!kan data yaag cukup banyak. Informasi yang dihasilkan harus benar-benar berguna bagi para pemimpin, pembuat keputusan, manejer-menejer program, dan rnasyarakat. e. Pengembangan kebijakan dan manajemen program yang dikoordinasikan untuk mendorong akuntabilitas. Akuni:abiliras pada progam pelayanan publik membutuhkan banyak aktivitas dalam perencanaan dan koordinasi yang efektif agar akuntabilitas tersebut dapat terjaga. Dalam pelaksanaan akuntabilitas di lingkungan instansi pemerintah, TIM Asistensi Pelaporan AKIP (2000 ; 43), menyarankan untuk memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Harus ada komitmen dari pemimpin dan seluruh staf instansi untuk melakukan pengelolaan pelaksanaan misi agar akuntabel. b. Harus merupakan suatu sistem yang dapat menjamin penggunaan sumberdaya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Hams dapat menunjukkan tingkat pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. d. Hams berorientasi pada pencapaian visi dan misi serta hasil dan manfaat yang diperoleh. e. Harus jujur, obyektif, transparan, dan inovatif sebagai katalisator perubahan manajemen instansi pemerintah dalam bentuk pemukhtahiran metode dan teknik pengukuran kinerja dan penyususnan laporan akuntabilitas.
65
Plumptre T. (1981) dalam Tim. Asistensi Pelaporan AKIP (2000; 35) .
.
menegaskan bahwa untuk mencapai keberhasilan akuntabilitas diperlukan syarat-syarat sebagai berikut : a. Exemplary leadership Pemimpin yang ~e:1sitif, resporlsif dan akuntabel akan traa5paraa kepada bawahannya maupun masyarakat, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut dia akan me!akukan akuntabilitas yang dipraktekkan mulai dari tingkat yang paling bawah. b. Public Debete Sebelum kebijakan yang besar disyahkan seharusnya diadakan public debate terlebih dahulu untuk mendapatkan hasil yang maksimal. c. Coordination Koordinasi yang baik antara semua instansi pemerintah akan sangat baik bagi tumbuh kembangnya akuntabilitas. d. Autonomy Instansi pemerintah dapat melaksanakan kebijakan menurut caranya sendiri yang paling menguntungkan, efisien, dan efektif bagi pencapaian tujuan organisasi. Otonomi yang dimaksud adalah pada teknis pelaksanaan kebijakan, namun diusahakan agar masih tetap terpadu dengan kebijakan nasional. e. Explicitness and clarity Standar evaluasi kinerja harus diungkapkan secara nyata dan jelas sehingga dapat diketahui secara jelas apa yang harus diakuntabilitaskan.
f
Legitimacy and Acceptence Tujuan dan makna dari akuntabilitas harus dikomunikasikan secara terbuka kepada semua pihak sehingga standar dan aturannya dapat diterima semua pihak.
g. Negotiation IIarus dilakukan negosiasi nasional mengenai perbedaaan-perbedaan tujuan dan sasaran, tanggungjawab dan kewenangan setiap instansi pemerintah.
h. Educational campaign and publicity Perlu dibuatkan pilot project pelaksanaan akuntabilitas yang kemudian dikomunikasikan kepada seluruh masyarakat sehingga akan dapat
66
diperoleh ekspeklasi mereka dan bagaimana tanggapan mengenai hal tersebut.
i.
mereka
Feedback and evaluation Agar akuntabilitas dapat terus menerus ditingkatkan dan disempumakan maka perlu diperoleh infonnasi untuk mendapatkan umpan batik dari para pembaca/pemerima akuntabilitas serta dilakukan evaluasi perbaikanny~.
j.
Adaptation and Y"ecycl ing Perubahan yang terja.li di ru<:~syarakat aka!t m~.:tgaUb~nkan pcruhahen daiam akuntabilitas Sistt:m akuntahilitas harus secara t.erus menerus tanggap terhadav s~ttap pt:mhahan yang terjadi di masy:~rakat. Btrd&sarkan uraian !ersebut di atas, maka penuiis menyimpulkan
-bahwa ukuran akuntabilitas adalah penetapan standard yang digunakan urytuk menilai organisasi publik akuntabel atau tidak di da!arn mewberikan pdayanan kepada J.r.asyarakat. Dengan demikian
ak1~ntabi!itas
mempaka=I inilil<.stor yang sangat
atau tidak terhadap pengendali~m hanj1r di ibukc:tu. Jakarta yang hampir terjadi setiap tahunnya. Dalam penelitian ini, peJ?eliti mempunyai asumsi bahwa bidang kajian .pengendalian banjir adalah bidang pelayanan publik y~ng
dar.at dikt:rjakan 5ec::rra jangsung okh . reu~erint1h. Idcl}tifik3si
yang terdapa.t pada imi.t kerj& yang merupakau t.ons•l.t pcbks.aP,t dalam p~ng~nJal.!an
banjir d1 .I::l}arta. Selanjutnya dari hastl t(;tnmm itt•
dapat
menjadi.bah•m untuk n::eningkatkan pengendalian banjir yang lebih baik.
67
2. 7. ·Ker.angka Konsep Berdasarkan teori-teori yang telah dijelaskan,. maka. penulis mengkompilasi hasiJ teori tersebut ke dalam konsep-konsep yang berkaitan dengan sasaran yang akan diteliti. Kerangka konsep tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1 Skema Kilierja Pem~t·intah Provinsi DKI Jakaria (Studi Almntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dalam Kebijakan Pengendalian Banjir)
K=eb=i=ja::.::;k=an=P=ub=l=ik=~~
-I
K~bijakan Perkotaan
Kebijakan Pelayanan Lingkungan
C _______________] ______________ _j '
I
Pendekatan
(elembaga~
~rganisasi
~Publik
•
r---··---·- _ _ _ _ ___,
.
rr
I.
r-P~s~_]
St!"uktl!;=--1]
l=-==y=--::!
_____ j
L ..- - - - · - - -
[l__·-~, [.
Kinerja
•
Akuntabilitas
II II
68
Keterangan : Kebijakan
pubHk
merupakan
tindakan
yang
diambil
oleh
pemerintah, termasuk pilihan untuk tidak bertindak dalam memecahkan masalah-masalah publik. Mengingat pilihan-pilihan kebijakan publik sangat banyak, maka salah satu pilihan kebijakan yang dapat digunakan untuk mernecahkan masa!ah-masalah publik ada!ah kebijakan perkotann. Kebijakan perkotaan merupakan kebijakan yang memanfaatkan sumberdaya lingkungan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan
kerusakan
lingkungan.
karena
Namun
pemanfaatan
sumberdaya lingkungan kurang diikuti dengan upaya konservasi, maka kerusakan lingkungan tidak dapat dihindarkan, sehingga menimbulkan masalah pada lingkungan. Umumnya masalah-maf>alah publik yang timbul diperkotaan adalah belum berfungsinya kota sebagai pusat pelayanan. Dalam konteks dengan '
masalah lingkungan, maka diperlukan kebijakan pelayanan lingkungan untuk mengatasi masalah-masalah publik yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan, seperti terjadinya bancana banjir. Kebijakan pelayanan lingkungan merupakan kebijakan yang memberikan pelayanan terhadap proteksi publik dan lingkungan dari bencana alam. Salah satu pilihan kebijakan pelayanan lingkungan yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah adalah kebijakan pengendalian banjir dengan menyediakan sarana dan prasarannya. Upaya tersebut perlu
69
dilakukan mengingat dampak yang
ditimbulkan oleh banjir cender•mg
mengganggu aktivitas kehidupan masyarakat, menimbulkan kerusakan, kerugian harta benda dan bahkan jatuhnya korban jiwa. Usaha untuk mengendalikan banjir telah banyak dilakukan, namun kejadian banjir tetap berulang dan cenderung meningkatkan kerugian yang ditimhuikan. Hal ini menunjukkan ba!1wa upaya pengendalian banjir yang dilakukan selama ini melalui pendekatan teknologi belum cukup, tetapi diperlukan pula pendekatan kelembagaan untuk mengatasinya. Pendekatan kelembagaan adalah pendekatan yang menjelaskan bagaimana suatu aturan main atau tata cara yang ditulis secara formal ditegakkan dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengatur organisasiorganisasi yang ada dan secara internal mempertegas bagaimana organisasi tersebut harus menjalankan fungsi dan tugasnya serta bertanggungjawab kepada masyarakat dan kelembagaan tersebut. Hal ini berarti organisasi publik yang memiliki fungsi dan tugas mcmberikan pelayanan kepada masyarakat harus melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawabnya melalui struktur dan proses yang ada di dalam organisasi. Untuk mengatahui tingkat keberhasilan yang dapat dicapai oleh organisasi publik, maka diperlukan pengukuran kinerja dari unit organisasi publik yang melaksanakan fungsi dan tugas pengendalian banjir. Setelah kinerja unit organisasi publik dapat diketahui dalam penelitian ini terutama dalam hal bagaimana Pemprov DIG Jakarta mengendalikan banjir, maka
70
fokus kinerja pemerintah yang akan diteliti adalah pada tingkat akuntabilitasnya.
Karena hanya ukuran akuntabilitas yang dapat
menjelaskan bahwa sampai sejauhmana Pemprov DKI Jakarta itu mampu bertanggungjawab dalam pengendalian banjir.
BABIII METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Metode Pengumpulan Data 3.1.1. Metode Penelitian Panelitian sosi3l merupakan npaya untuk memahami realitas sosial secara sistematis yang berbasis pada data-data yang empiris. Realitas sosial ini dapat dipahami mdalui pilihan metodologi (kuantitatif atau kualitatit) yang akan digunakan peneliti sesuai dengan cara pandangnya dalam melihat, mendekati dan mengungkap realitas tersebut. Penentuan metodologi pcnelitian m1, sermg JUga disebut sebagai strategi untuk memecahkan masalah,
karena pada tahap 1m akan
mempersoalkan bagaimana masalah penelitian akan dipecahkan atau ditemukan jawabannya, seperti menentukan 1. Jenis penelitian yang akan digunakan; 2. Dari mana sumber data itu akan diperoleh; 3. Apa metode pengumpulan data yang akan digunakan; 4. Bagaimana metode analisis data yang akan dilakukan. Dalam penelitian Kinerja Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta (Studi Akuntabilitas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Dalam .Kebijakan Pengendalian Banjir)
penulis akan mengunakan pendekatan
kualitatif. Alasan penulis memilih pendekatan kualitatif adalah Pertama,
71
72
pendekatan ini lebih mudah menyesuaikan diri pada fenomeQa yang terjadi secara berhadapan dengan kenyataan ganda; Kedua, pendekatan ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara penulis dan responden; Ketiga, pendekatan ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yctng dihadapi; dan Keempat, pendekatan ini lebih menghendaki agar pengertian dan hasil interpretasi yang diperoleh dirundingkan dan disepakati oleh manusia yang dijadikan sumber data. Menurut Creswell (1994 ; 145) dalam Mated Perkuliahan Metode Penelitian Sosial
(200 1 ; 10) ada 6
asumsi utama dalam
metodologi
penelitian kualitatif, yaitu : 1. Peneliti memfokuskan perhatian pada proses dari pada hasil; 2. Peneliti kualitatif tertarik pada bagaimana manusia memaknai hidup, pengalaman, dan struktur kehidupannya; 3. Peneliti merupakan instrumen utama dalam pengumpulan data dan analisis; 4. Penelitian kualitatif melibatkan penelitian lapangan. Peneliti datang ke masyarakat yang ditelitinya, setting, site, atau institusi untuk mengamati serta merekap perilaku masyarakat yang ditelitinya dalam setting alaminya. 5. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif sehingga penelitinya harus memperhatikan proses, makna dan pemahaman melalui kata-kata atau gambar; 6. Proses dalam penelitian kualitatif bcrsifat induktif. Peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesa, dan teori dari data.
3.1.2. Jenis Penelitian
Berdasarkan pertanyaan dalam peneliticm ini, yaitu bagaimana
kinerja Pemrpov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir dan
73
apa saja kendala Pemrpov DKI Jakarta da/am melaksanakan pengenda/ian banjir, maka jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian studi kasus. Creswell (1994) dalam Materi Kuliah Metodologi Penelitian sosial (200 1 ; 5) menegaskan bahwa jika peneliti menitikberatkan studinya pada indentifikasi bagaimana proses yang terjadi dalam
suatu
lembaga,
kelompok, atau individu, maka jenis penelitian ini disebut sebagai studi kasus. Menurut Cassel dan Symon (1994 ; 208-227) teknik penelitian dengan menggunakan pendekatan studi kasus dapat dilakukan melalui : 1. Observasi partisipan aktif, dimana peneliti melakukan pekerjaan, untuk mengetahui langsung bagaimana praktek nyata di lokasi penelitian; 2. Observasi, tetapi peneliti tidak sebagai partisipan aktif; 3. Wawancara dengan semua informan yang mungkin, baik terstruktur maupun tidak terstruktur. Melalui penelitian ini, penulis akan berusaha untuk menganalisis bagaimana proses pengendalian banjir yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dan apa saja kendala yang hadapi dalam mengendalikan banjir di Jakarta. Setelah itu kedua hal tersebut dapat diketahui, kemudian penulis akan menganalisis sejauhmana akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir.
3.1.3. Nara Somber Irawan ( 1999 ; 78) menyatakan bahwa penelitian kualitatif t1dak mengenal adanya populasi dan sampel. Kalaupun ada kata sampe/, maka
74
sampel ini tidak bersifat mewakili populasi, tetapi lebih diperlakukan sebagai kasus yang mempunyai ciri khas tersendiri, yang tidak hams sama dengan ciri populasi yang diwakilinya. Sejalan dengan pendapat Irawan tersebut, untuk mendapatkan basil penelitian sebagaimana yang diharapkan, maka penulis memilih beberapa nara sumber dari para pejabat yang terkait dengan masalah penelitian sebagai informan penelitian.
Adapun beberapa nara sumber yang akan
dipilih adalah mulai dari hirarki yang terbawah sampat dengan yang tertinggi, antara lain : a) Kepala Seksi Pemeliharaan. dan Pengendalian Air DPU Prov DKI Jakarta, wewenang Mantri Pintu Air dan Petugas Rumah Pompa selaku pelaksana pengendali untuk Tingkat Siaga IV; b) Kepala Sub Dinas Peng(.mbangan Sumberdaya Air dan Pantai DPU Prov DKI Jakarta, wewenang Komandan Operasional untuk Tingkat Siaga III; c) Kepala Dinas Pekerjaan Umum Prov DKI Jakarta, Wewenang Komandan Umum untuk Tingkat Siaga II; dan d) Gubemur Prov DKI Jakarta sebagai Penanggungjawab Pengendalian Banjir Wilayah Prov DKI Jakarta untuk Tingkat Siaga I.
75
3.1.4. Data dan Informasi Dalam penelitian ini data dan informasi yang ·dibutuhkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Untuk itu metode pengumpulan data dan informasi yang akan digunakan adalah sebagai berikut : a. Metode Dokumentasi Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder, yaitu dcngan cara memperlajari berbagai dokumen dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan pengendalian banjir,
baik data
internal yang
dikumpulkan dari DPU Prov DKI Jakarta seperti laporan-laporan, petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan serta ketentuan-ketentuan lainnya, maupun data eksternal yang dikumpulkan dari pihak atau lembaga lainya, seperti literatur dan peraturan-peraturan perundangundangan yang berlaku. b. Metode observasi Metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui observasi langsung di lapangan untuk mengetahui secara langsung mekanisme pengendalian banjir yang dilakukan oleh Mantri Pintu Air, Petugas Rumah Pompa selaku pelaksana pengendali banjir. Menurut Kerlinger ( 1978) dalam Arikunto (1998; 231-234) menjelaskan bahwa metode observasi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh semua bentuk penerimaan data yang dilakukan dengan cara merekam kejadian, menghitungnya, mengukumya dan mencatatnya.
76
c. Metode Wawancara Metode ini digunakan untuk memperoleh data pnmer dengan cara melakukan teknik wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang dilakukan berdasarkan suatu pedoman dan catatan yang hanya berisi butir-butir atau pokok-pokok pemikiran mengenai hal yang akan ditanyakan pada waktu wawancara berlangsung. Tujuan penulis untuk melakukan teknik ini adalah agar penulis mempunyai kebebasan dalam hal bagaimana menanyakan dan merumuskan butir-butir atau pokokpokok yang tertera dalam pedoman wawancara kepada responden. Dengan berpegang pada pedoman wawancara ini, penulis dengan leluasa dapat menanyakan berbagai pertanyaan yang biasanya disertai dengan pertanyaan-pertanyaan lanjutan atau probing, agar jawaban yang diberikan responden lebih lengkap dan jelas dengan tujuan untuk memperkaya data dan informasi yang dibutuhkan.
3.2. Metode Analisis Data Sesuai dengan penelitian ini yang merupakan penelitian kualitatif, maka apabila data dan informasi yang ada telah terkumpul, maka kegiatan selanjutnya adalah mengolah data. Artinya setalah peneliti mengumpulkan data dan informasi, kemudian akan dilakukan proses reduksi dengan bantuan membuat ringkasan data dan kategori-kategori dalam upaya menemukan pola atas realitas atau gejala yang diteliti. Selanjutnya pola dari hasil temuan
77
tadi akan dianalisis secara kualitatif, yang menekankan pada unsur makna terhadap data dan informasi yang terjaring. Dengan kata lain makna yang terdapat dari jawaban responden dapat dibedakan dan diketahui kecenderungannya dari item pertanyaan yang telah diajukan.
Kecenderungan data yang dihasilkan dari analisis data ini,
selcmjutnya diinterpretasikan untuk
menjaw~b
permasalahan yang telah
dirumuskan. Berkaitan dengan hal tersebut Irawan (1999; 99) menegaskan bahwa anal isis data kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap data-data non ar.gka seperti basil wawancara, atau catatan laporan bacaan dari buku-buku, artikel, dan juga termasuk non tulisan seperti foto, gambar
atau film.
Karena data kualitatif membutuhkan deskripsi kenyal, maka analisis data, penjelasan, dugaan, penafsiran, pembahasan dan kesimpulan juga dilakukan secara kualitatif dalam bentuk narasi. Sementara informasi statistik atau data yang bersifat kuantitatif lainnya hanya digunakan sebagai pendukung. Sesuai dengan pendapat Miles dan Huberman (1984 ; 23), maka ada 4 tahap analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Tahap pengumpulan data melalui berbagai cara seperti studi dokumen, observasi, dan wawancara. 2. Data mentah yang terkumpul kemudian direduksi melalui proses pemilihan, pemusatan, penyerderhanaan, abstraksi dan transformasi. Beberapa teknik yang membantu dalam pereduksian data antara lain
78
adalah dengan membuat ringkasan data, cata,tan lapangan, pembuatan kode, pembuatan tema, kategori, klaster, partisi atau memo. 3. Tampilan data dilakukan dalam bentuk kata-kata yang dikenal sebagai teks naratif atas informasi, atau kejadian yang diamati. Tampilan data hanya sebagai pembantu dan acuan dalam proses pereduksian dan pemaknaannya. 4. Verifikasi dan penarikan kesimpulan. Pada tahap ini dilakukan pembahasan oleh auditor independen mengenai prosedur pengumpulan data dan cara penafsiran data untuk menguji reliabilitas (aspek dependabilitas) penelitian, dan pemeriksaan aspek objektifitas hasil penelitian (aspek konfirmabilitas) oleh sejawat untuk mendapat konsesus antar subjektif.
Pembahasan hasil dengan rekan sejawat merupakan
tahap akhir yang dilakukan dalam penelitian ini untuk meningkatkan objektifitas hasil penelitian. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan hasil penelitian. Data tersebut mungkin berasal dari wawancara,
catatan lapangan, dokumen
pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lainya.
79
Gambar2 Skema Metodologi Penelitian Permasalahan - Bagaimana kinerja Pemprov. DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir. - Apa s~ja kenda!a Pe.::nprov. DKI Jaka11a dalam mengendalikan banjir.
- Perlu penajaman kebijakan pengendalian banjir di DKI Jakarta. - Perlu akuntabilitas Pemprov. DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir.
Metodologi Penelitian - Menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk mengidentifikasi bagaimana proses yang terjadi dengan kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir dan kendala apa saja yang dihadapi. - Menentukan nara sumber yang bertanggungjawab dalam kebijakan pengendalian banjir. - Menggunakan metoda dokumentasi, observasi dan wawancara tidak terstruktur dalam mengumpulkan data primer dan sekunder mengenai kinerja DPU Prov. DKI Jakarta untuk mengukur varibel kelembagaan dari aspek aturan main, variabel organisasi dari aspek struktur dan proses, dan variabel fisik dari aspek fisik pelayanan yang diberikan, serta variabel anggaran dari aspek anggaran yang disediakan.
Analisis Data Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian data-data tersebut diolah dengan : - Mereduksi data melalui proses pemilihan, pemusatan, penyerderhanaan, abstraksi dan transformasi; Dengan bantuan teknik membuat ringkasan data dan kategori-kategori sehingga menemukan pola atas realitas atau gejala yang diteliti. - Menampilkan data dalam bentuk kata-:kata (narasi) yang berupa kutipan-kutipan data atas informasi atau kejadian yang diamati;
Melakukan verifikasi dan menarik kesimpulan
80
3.3. Definisi Konspetual dan Operasionai Dalam merumuskan definisi konseptual dan definisi operasional ini penulis mengacu pada pendapat Therese L. Baker (1994 ; 336-355) yang menjelaskan mengenai merubah konsep yang abstrak menjadi definisi operasional menuju spesifikasi pengukuran variabel.
3.3.1. Definisi Konseptual Definisi konseptual merupakan definisi yang perlu diamati. Definisi ini menggambarkan suatu abstraksi dari hal-hal di dalam variabel yang akan diamati melalui penelitian, maka konsep yang berhubungan dengan permasalahan kinerja Pemprov DKI Jakarta (studi akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir) adalah: 1. Kebijakan Pengendalian Banjir adalah tindakan yang dipilih dan diambil oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, termasuk pilihan untuk tidak bertindak dalam pengendalian banjir di Jakarta. 2. Pendekatan Kelembagaan adalah pendekatan yang menjelaskan tentang aturan main yang melingkupi Pemprov DKI Jakarta dalam menentukan perjalanan dan tanggungjawabnya kepada masyarakat dan kelembagaan terse but. Kelembagaan sebagai konsep kemudian diubah menjadi kelembagaan sebagai variabel. Untuk menuju vanast
derajat perbedaan dari
kelembagaan, berarti kelembagaan sebagai konsep diubah menjadi
81
variabel yang akan diukur, yaitu aspek aturan main atau tata cara yang digunak~m.
3. Organisasi publik adalah unit organisasi Pemprov DKI Jakarta yang memiliki struktur dan proses di dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam sektor publik dan barang publik. Organisasi puhlik sebagai konsep kemudian diubah menjadi organisasi publik sebagai variabel. Untuk menuju variasi derajat perbedaan dari organisasi publik,
berarti organisasi publik sehagai
konsep diubah menjadi variabel yang akan diukur, yaitu aspek struktur dan proses yang ada. 4. Kinerja Pemprov DKI Jakarta adalah tingkat keberhasilan Pemprov DKI Jakarta dalam memberikan aspek fisik pelayanan dan anggaran yang dialokasikan untuk pengendalian banjir di Jakarta. Kinerja sebagai konsep kemudian diubah menjadi kinerja sebagai variabel. Untuk menuju variasi derajat perbedaan kinerja, berarti kinerja sebagai konsep diubah menjadi variabel yang akan diukur, yaitu aspek tingkat fisik pelayanan yang diberikan dan anggaran yang dialokasikan. S. Akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta adalah perwujudan dari kewajiban
Pemprov DKI Jakarta untuk mempertanggungjawabkan pemanfaatan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk mengurangi daerah rawan banjir di Jakarta
82
Akuntabilitas sebagai konsep kemudian diubah menjadi akuntabilitas sebagai variabel. Untuk menuju variasi derajat perbedaan akuntabilitas, berarti akuntabilitas sebagai konsep diubah menjadi variabel yang akan diukur~
yaitu akuntabilitas aspek aturan main, akuntabilitas aspek
struktur dan proses, akuntabilitas aspek fisik pelayanan yang diberikan akuntC~bilitas
dan
aspek anggaran yang tersedia.
Sesuai dengan tujuan dalam penelitian m1, maka berdasarkan variabel-variabel yang akan diteliti, diharapkan dapat dilihat sejauhmana tingkat akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir di wilayah Jakarta. Untuk itu, perlu ditetapkan tolok ukur dari tingkat akuntabilitas yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Klasifikasi Sangat Baik
=
biia memenuhi 4 kriteria yang ada;
b. Klasifikasi Baik
=
bila memenuhi 3 kriteria yang ada;
c. Klasifikasi Cukup
=
bila memenuhi 2 kriteria yang ada;
d. Klasifikasi Kurang
=
bila memenuhi 1 kriteria yang ada;
lndikator yang digunakan untuk mengukur fakta- fakta bagaimana tingkat Akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam pengendalian banjir, adalah: 1. Melaksanakan aturan main yang melingkupi organisasi dalam kebijakan pengendalian banjir; 2. Memiliki struktur dan proses yang jelas dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir;
83
3. Memiliki prasarana dan sarana pengendali banjir yang sesuai dengan debit banjir rencana; 4. Memiliki anggaran yang memadai untuk melaksanakan program dan kegiatan
pengendalian
banjir
yang
dapat
diandalkan
untuk
mengurangi/membatasi banjir dan akibatnya.
3.3.2. Definisi Operasional Definisi operasional adalah petunjuk bagaimana merinci kegiatan penelitian dalam pengukuran variabel dan pengumpulan data yang akan diperoleh dalam penelitian. Berkajtan dengan variabel yang akan diukur dalam penelitian ini adalah : 1. Aturan main adalah ketentuan-ketentuan yang melingkupi Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir.
Aspek
aturan main akan dilihat dari : 1.1. Peraturan yang ada; 1.2. Hak yang dimiliki; 1.3. Kewajiban yang harus dilaksanakan; 1.4. Tanggung jawab yang harus dipenuhi baik kepada masyarakat maupun kepada kelembagaan tersebut. 2. Struktur dan proses Organisasi publik adalah keseluruhan kegiatan dan proses yang terjadi pada Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan
84
tugas dan fungsi pengendalian banjir. Aspek struktur dan proses akan dilihat dari : 2.1 Aspek Struktur : 2.1.1. Dimensi formalisasi; 2.1.2. Dimensi sentralisasi; 2.! .3. Dimensi kcmp!eksitas; 2.1.4. Dimensi profesionalisme; 2.2. Aspek Proses: 2.2.1. Visi dan misi, serta program dan kegiatan; 3. Fisik adalah fisik pelayanan yang diberikan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk mendukung operasional pengendalian banjir. pelayanan akan dilihat dari : 3 .1. Kesiapan sarana pengendali banjir, diantaranya: a. Perlengkapan siaga banjir; b. Data pompa perwilayah; c.
Daftar lokasi pompa pengendali;
d. Pintu Air pengendali; dan e.
Bahan banjiran.
3.2. Pekerjaan fisik yang dilakukan di daerah genangan. 3.3. Pekerjaan pengerukan lumpur.
Aspek fisik
85
4. Anggaran adalah alokasi anggaran yang ter:sedia oleh Pemprov DKI Jakarta setiap tahunnya untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Aspek anggaran akan dilihat dari : 4.1. Anggaran yang dialokasikan pada tahun 2002 4.2. Anggaran yang alokasikan pada tahun 2003 5. Ukuran akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjufrj(an klasifika:;i akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir di Jakarta. 6. Banjir adalah hila daratan yang biasanya kering menjadi terbenam oleh air yang berasal dari sumber-sumber air (seperti laut dan sungai). 7. Pengendalian banjir adalah memberikan ruang yang cukup untuk air baik yang berasal dari laut maupun dari sungai, agar tidak meluap dan mengalir ke tempat-tempat lain yang dapat mengganggu kepentingan manusta.
3.4. Kerangka Analisis Kerangka analisis ini disusun berdasarkan variabel-variabel yang akan diukur dari 4 aspek akuntabilitas yang terdiri dari : ( 1) aspek akuntabilitas aturan main yang melingkupi Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir; (2) aspek akuntabilitas struktur dan proses yang terjadi di Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir; (3) aspek akuntabilitas
86
prasarana dan sarana yang disediakan Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan pengendalian banjir; dan (4) aspek akuntabilitas anggaran yang disediakan Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan program dan kegiatan dalam kebijakan pengendalian banjir. Berdasarkan 4 aspek akuntabilitas tersebut, kemudian akan dilihat kencendP-rungan yang dapat dipenuhi oleh Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir di Jakarta. kecenderungan-kecenderungan
dari
.
.
masmg-masmg
aspek
Apabila tersebut
menunjukkan pada tujuan yang dapat mengurangi dan membatasi banjir serta akibatnya, maka Pemprov DKI Jakarta berarti memenuhi kriteria yang ditetapkan. Selanjutnya, dari masing-masing aspek akuntabilitas tersebut juga akan diberikan bobot penilaian atas indikator-indikator yang akan diukur. Adapun bobot nilai dari masing-masing aspek akuntabilitas adalah sebesar 25%. Dengan demikian, apabila Pemprov DKI Jakarta dapat memenuhi 4 kriteria secara keseluruhan, maka akan memiliki total nilai sebesar 100%. Untuk memberikan penilaian atas kinerja 4 aspek akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir, maka akan diklasifikasikan sebagai berikut (Gambar 3) : 1. Jika kriteria akuntabilitas dari 4 aspek tersebut dapat dipenuhi semua oleh Pemprov DKI Jakarta, maka kinerja akuntabilitasnya dapat diklasifikasikan SANGAT BAlK.
87
2. Jika kriteria akuntabjlitas dari 4 aspek tersebut hanya_ 3 aspek yang dapat dipenuhi oleh Pemprov DKI Jakarta, maka akuntabilitasnya dapat diklasifikasikan BAlK. 3. Jika kriteria akuntabilitas dari 4 aspek tersebut hanya 2 aspek yang dapat dipenuhi oleh Pemprov DKI Jakarta, maka akuntabilitasnya dapat diklasifika~ikan
CUKUP.
4. Jika kriteria akuntabilitas dari 4 aspek tersebut hanya I aspek yang dapat dipenuhi oleh Pemprov DKI Jakarta, maka akuntabilitasnya dapat diklasifikasikan KURANG.
Gambar3 Skema Kerangka Analisis Variabel Kelembagaan
Variabel Organisasi Publik
Variabel Fisik Pelayanan
Variabel Anggaran
,,
,,
,
,,
Kriteria 1 : Akuntabilitas Melaksanakan Aturan Main
Kriteria 2: Akuntabilitas Memiliki Struktur dan Proses
Kriteria 3: Akuntabilitas Memiliki Prasarana dan Sarana
Kriteria 4: Akuntabilitas Memiliki Anggaran
,,
I Memenuhi 1 Kriteria
Memenuhi 2 Kriteria
Memenuhi 3 Kriteria
Memenuhi 4 Kriteria
Akuntabilitas Cukup
Akuntabilitas Baik
Akuntabilitas Sangat Baik
~ Akuntabilitas Kurang
88
Sedangkan skor nilai atas hasil pembobotan yang dicapai oleh Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir, dari masingmasing klasifikasi penilaian kinerja akuntabilitas, akan diberi penilaian, sebagai berikut : 1. Klasifikasi Sang at Baik, dengan nilai
2. Klasifikasi Baik,
dengan nilai = 70- <85%
3. Klasifikasi Sangat Baik, dengan nilai 4. Klasifikasi Kurang,
85 - 100%
55-70%
dengan nilai = <55%
BABIV GAMBARAN UMUM PENGENDALIAN BANJIR Di JAKARTA
4.1. Pengendalian Banjir di Jakarta 4.1.1. Seja:rah Pengendalian Banjir di Jakarta Menurut sejarah, sejak dari zaman Vereineging Oost lndische Compagnie (VOC) yakni pada ahad ke 17, banjir dan genangan air sudah merupakan masalah di bagi Jakarta. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengendalikannya dengan membuat sudetan-sudetan dari sungai-sungai yang ada. Memasuki akhir abad ke-19, masalah banjir menjadi persoalan yang cukup berat bagi masyarakat Batavia pada waktu itu. Pengendalian banjir yang dilakukan pada awal abad ke-20 (19111920) atas gagasan Prof. lr. Van Breen, yakni dengan membuat saluran di bagian barat (Banjir Kanal Barat) mulai dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke adalah untuk melindungi Jakarta dari banjir Sungai Ciliwung. Keputusan pembuatan saluran ini dibuat Pemerintah Belanda untuk mengantisipasi adanya perubahan tata guna iahan (dari hutan menjadi kebun teh) pada daerah pegunungan di sekitar wilayah Bogor yang merupakan hulu Sungai Ciliwung (Kawasan Puncak). Pengendalian banjir di Jakarta mulai kembali ditangani lebih serius lagi dengan dibentuknya Komando Proyek (KOPRO) Pengendalian BANJIR
89
90
pada tahun 1965 dcngan wi1ayah kerja Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta. Mengingat kondisi pada saat itu, pengendalian banjir hanya dilakukan pada tempat-tempat tertentu dengan skala prioritas. Hasilnya pengendalian banjir tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pengendalian Sungai Cideng Bawah!Krukut Bawah/Sungai Duri untuk mengatasi genangan di Jakarta Kota (± 2.090 Ha), yaitu dengan mcmbangun Waduk Pluit (1966) dan merehabilitasi sungai di sekitamya. 2. Pengendalian Sungai Grogol untuk mengatasi genangan di daerah Grogol (± 100 Ha), yaitu dengan membangun Sungai Grogol (1968). 3. Pengendalian Sungai Cideng untuk mengatasi genangan banjir di daerah Setiabudi (± 310 ha). yaitu dengan membangun Waduk Setiabudi (1969) dan mengatasi genangan banjir di daerah Jalan Thamrin (± 185 Ha) dengan mengembangkan Waduk Melati. 4. Pengendalian Sungai Sekertaris untuk mengatasi genangan banjir di daerah Tomang Barat (± 150 Ha), yaitu dengan membangun Waduk Tomang (1971). Pada perkembanga.rmya KOPRO BANJIR berubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) Nomor 154/K.PTS/1972 tanggal 25 Mei 1972 dengan wilayah kerja DKI Jakarta dan kemudian menjadi seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (JABOTABEK) berdasarkan SK Direktur Jenderal Pengairan Nomor
91
105/K.PTS/1985 tanggal 3 April 1985. Pada dasamya, prinsip pengendalian banjir di Jakarta yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Aliran sungai yang masuk ke Jakarta, ditampung dan dikenda!ikan debit dan arahnya supaya tidak masuk wilayah tengah kota. Di tengah diarahkan melalui saluran Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur (rencan~).
di Bant diarahkan melalui saluran Cengkareng Drain dan di
Timur diarahkan melalui Cakung Drain. 2. Saluran-sa1uran drainase pada daerah yang mempunyai ketinggian yang cukup, maka alirannya digunakan sistem gravitasi atau air mengalir ke bawah. 3. Sedangkan untuk daerah yang rendah, sistem drainasenya menggunakan sistem polder, yaitu menampung air di tempat yang rendah dan dipompakan ke tempat yang lebih tinggi pada saluran pengendali. 4. Untuk mengurangi beban sungai terhadap debit air yang besar, maka dilakukan sudeten-sudetan untuk membagi beban kapasitas sungai. Menurut Sutiyoso dalam sambutannya pada Rapat Koordinasi Kesiapsiagaan
Menghadapi
Banjir di
hadapan
Menteri
Koordinasi
Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Menteri Permukimn dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil), Gubemur Provinsi (Prov) Jawa Barat, Gubemur Prov Banten dan Para Pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta (7 Januari .2003) menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta dalam menghadapi ancaman banjir hingga saat ini, baru sebatas membantu
92
warga Kota Jakarta yang. kebanjiran. Dengan kondisi geografi yang 40% luas wilayahnya berada di bawah permukaan laut dan dilalui oleh 13 sungai yang ada, Pemprov DKI Jakarta belum dapat mengendalikan banjir di Jakarta secara baik, sebelum berhasil dibangun Banjir Kanal Timur. Banjir Kanal Barat sudah dibangun Belanda 40 tahun yang lalu ( 1963 ), dan sesudah itu, Pemerintah tidak pemah mampu meneruskan Banjir Kanal Timur. Kalau kanal-kanal itu terbangun, akan terjadi semacam bangunan yang berbentuk tapal kuda, dan 13 sungai yang mengalir dapat dikendalikan lewat kanal ini, untuk dialirkan menuju ke laut secara langsung. ltulah konsep pengendalian banjir yang telah dirancang oleh Belanda, dan sudah diperbaharui oleh konsultan J epang (Lampi ran 1). Selanjutnya dalam sambutan Gubemur Prov DKI Jakarta, JUga disampaikan bahwa pada banjir besar bulan Januari 2002 yang lalu, Pemerintah Pusat melalui 7 (tujuh) menteri yang dipimpin Menko Kesra memberikan komitmen Pemerintah Pusat melalui Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas), untuk membiayai Proyek Banjir Kanal Timur (BKT) sebesar Rp.17 triliun. Dengan catatan bahwa Rp.l7 triliun merupakan total biaya pembangunan seluruh sistem pengandalian banjir di Jakarta dan Bogor, Puncak, Cianjur (Bopunjur). Sedangkan untuk Proyek BKTnya sendiri ± Rp.4,5 triliun (Rp.2 triliun untuk pembebasan tanah dan Rp.2,5 triliun untuk pembangunan fisiknya).
93
Pada Pidato· Pertanggungjawaban Gubemur Prov DKI Jakarta tahun 1997-2002 (18 Juli
2002 ; 31-33) Sutiyoso menegaskan bahwa
pengendalian banjir di Jakarta meliputi pengendalian di hulu sistem makro (di luar wilayah Prov DKI Jakarta) dan di hilir sistem makro dan mikro (di dalam wilayah Prov DKI Jakarta). Dengan sistem ini, penanganan banjir tidak berada pada satu tangan, selain Pemprev DKI J3kana juga ada Pemeritah Pusat dan Kota-kota!Kabupaten yang berada di daerah hulu sungai Bopunjur. Hal ini berarti, masalah koordinasi dan kerjasama antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta antara Daerah dengan Daerah menjadi hal yang sangat dominan. Dalam kaitannya dengan pengendalian banjir di hilir sistem makro, maka program
utama
yang
harus
diselesaikan
di
Jakarta
adalah
pembangunan BKT. Disamping itu juga perlu terus dilakukan normalisasi Sungai Ciliwung, Banjir Kanal Barat, Cengkareng Drain dan sungai-sungai lainnya. Khusus untuk BKT, Master Plan-nya sebenamya telah diselesaikan sejak 30 tahun yang lalu, namun karena biayanya sangat besar hingga akhir masa jabatan Gubemur (1997-2002), beium dapat direalisir. Dengan Angaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang terbatas, Pemprov DKI Jakarta hanya mampu mengalokasikan dana untuk menunjang sebagian kecil pembangunan sistem makro dan mikro berupa normalisasi saluran,
94
pengerukan,. pendalaman, pembangunan saluran dan waduk, pengadaan pompa dan rumah pompa, serta layanan pembersihan sampah di sungai .. Apabila Proyek BKT dan pengendalian sistem makro di hulu dan hilir, serta sistem mikro lainnya belum terealisasi, maka acaman banjir masih tetap ada. Oleh karena itu, sementara menunggu komitmen Pemerintah Pusat, terutama untuk membantu pembangunan BKT, Femprov DKI
Jakarta
melakukan
.
.
pers.apan-pers1apan
untuk
melaksanakan
pembangunan BKT. Langkah ini merupakan perwujudan dari kesungguhan dan tekad Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi banjir di lbukota.
4.1.2. Pembagian Wilayah Aiiran Mengingat penyabab banjir di Jakarta harus dilihat secara utuh dalam satu kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS), maka
upaya pengendalian
banjir di DKI Jakarta tidak terlepas dari DAS Ciliwung yang melintasi kota Jakarta. Sungai-sungai dan saluran-saluran yang berada di wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) kelompok SubWilayah Sungai (Lampiran 2), yaitu: 1. Sub-Wilayah Sungai Cisadane-Cidurian di Bagian Barat; 2. Sub-Wilayah Sungai Ciliwung dan sekitamya di Bagian Tengah; dan 3. Sub-Wilayah Sungai Bekasi-Cibeet di Bagian Timur. Sungai-sungai tersebut selain berada di daerah administrasi Pemprov. DKI Jakarta (yang t_erdiri atas 5 wilayah kota, yaitu Jakarta Barat, Jakarta
95
Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Utara dan Jakarta Timur), juga terletak di daerah
Kahup~t~!"!
d::!r:.
Kot::~
Tangerang, Kabupaten dan Kota Bekasi, Kota
Depok, serta Kabupaten dan Kota Bogor. Ini berarti sungai-sungai tersebut selain ada yang terletak di 2 wilayah provinsi (DKI Jakarta dan Jawa Barat), juga ada yang terletak di 3 (tiga) wilayah provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten). Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1982 tentang
Tata Pengaturan Air, khususnya Pasal 5 disebutkan bahwa wewenang atas wilayah sungai atau bagian-bagian dari wilayah sungai di dalam suatu daerah, dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah. Selanjutnya untuk sungai yang berada pada lebih dari satu daerah, wewenangnya tetap berada pada menteri yang bertanggungjawab dalam bidang pengairan. Hal ini berarti bahwa sebenamya secara teknis pengelolaan untuk 13 sungai ditambah dengan Cengkareng Drain dan Cakung Drain yang masuk wilayah DKI Jakarta menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Namun menurut informasi dari hasil wawancara, untuk pengelolaan ke-13 sungai dan Cengkareng Drain serta Cakung Drain,
pemah ada
kesepakatan antara Pemprov DKI Jakarta dengan Direktur Jenderal Pengairan pada tahun 1974 yang menyebuikan bahwa pengelolaan sungaisungai tersebut mulai dari batas hulu sampai dengan batas Banjir Kanal (sudah masuk wilayah Jakarta) adalah menjadi wewenang Pemerintah Pusat, sedangkan dari batas Banjir Kanal menuju ke hilir (laut) pengelolaannya
96
manjadi wewenang Pemrov DKI Jakarta. Bukti adanya surat kesepakatan itu tidak penulis dapatkan. Namun ada peta yang dibuat oleh DPU Prov DKI Jakarta yang menunjukkan adanya pembagian wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Prov DKI Jakarta tentang batas pengelolaan sungai-sungai yang masuk ke wilayah Jakarta (Lampiran 3). Berdasarkan hal tersebut di atas (PP Nomor 22 Tahun 1982) Aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta cenderung melihat bahwa masalah pengeudalian banjir memang bukan merupakan tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta, tetapi
menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pemprov
DKI Jakarta dalam hal ini sifatnya hanya membantu untuk mengelola dari sungai-sungai yang ada sesuai dengan kemampuannya. Dalam konteks pengendalian banjir di Jakarta, secara teknis Pemprov DKI Jakarta membagi sistem pcngendalian banjir menjadi 3 sistem pengendalian banjir, yaitu sistem drainase utama atau main drains, sistem drainase kedua atau secondary drains dan sistem waduk dan pompa. Daftar nama Pos Pengamat, Pintu Air, Pompa dan waduk yang berada di Sub Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane Bagian Tengah (lampiran 4). Mekanisme sistem pengendalian banjir dari 13 aliran air sungai yang masuk ke wilayah Jakarta adalah dengan memotong dan dibuangnya ke dalam
dua sistem main drains (Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal
Timur/rencana). Hujan lokal yang jatuh di wilayah Jakarta secara gravitasi dialirkan
masuk ke dalam sistem secondry drains, dan kemudian dari
97
secondary drains dibuang ke dalam main drains, lalu akhimya menuju ke
laut. Untuk daerah-daerah yang relatifrendah, dimana penyaluran air secara gravitasi tidak bisa dilakukan, maka digunakan sistem waduk dan pompa. Sejauh ini ketiga sistem darinase pengendalian banjir yang ada (main drains, secondary drains dan waduk serta pompa) di Jakarta belum tersedia
secara Jengkap, karena masalah biaya socio-engineering yang sangat tinggi. Disamping itu, temyata banyak juga prasarana dan sarana pengendali banjir yang dibangun pada era KOPRO Banjir yang sudah tidak berfungsi. Untuk memudahkan pengendalian banjir di wilayah Jakarta, maka sekarang ini sistem pengendalian banjir yang ada di Bagian Tengah (paling dominan menyebabkan banjir di lbukota), dibagi menjadi 3 (tiga) Wilayah Aliran, yaitu : Sistem Pengendalian Aliran Wilayah Barat, Sistem Pengendalian Alirar1 Wilayah Tengah dan Sistem Pengendalian Aliran Wilayah Timur (Lampiran 5). Dalam Sistem Pengendalian Aliran Wilayah Barat, aliran air dari hulu Sungai Pesanggerahan (Pos Pengamat Pesanggerahan di Sawangan, Jakarta Selatan) mengalir menuju IKPN Bintaro, kemudian ke Cengkareng Drain, Jakarta Barat lalu dibuang ke Iaut.
Dalam Sistem Pengendalian Aliran Wilayah Tengah, aliran air dari hulu Sungai Ciliwung (Pos Pengamat Katulampa, Ciawi), kemudian melalui Pos Pengamat Depok, lalu dialirkan menuju Banjir Kanal Barat melalui Pintu Air Manggarai, kemudian menuju ke laut. Sedangkan untuk Sistem
98
Pengendalian Aliran Wilayah Timur, aliran air dari hulu Sungai Sunter (Pos Pengamat Sunter Hulu, Jakarta Timur) dialirkan menuju Cakung Drain, lalu menuju ke laut. Khusus untuk pengendalian banjir yang disebabkan oleh pasang air laut, maka sistem pengendalian banjir digunakan sistem pompa dan waduk. Secara teknis pada saat
terj~di
pasang laut dan aliran air !aut masuk menuju
ke darat, pintu-pintu air yang ada akan ditutup. Sementara pintu air ditutup, aliran sungai yang masuk dari arah hulu ditampung ke dalam waduk dan dipertahankan sampai ketinggian muka air tertentu untuk kemudian dipompa dan dibuang ke laut. Dalam pembagian Sistem Pengendalian Aliran Wilayah ini temyata baru Aliran Wilayah Tengah yang memiliki Stasiun Pos Pengamat Tinggi Muka Air (TMA) yang terjauh, yaitu berada di hulu Katulampa (Ciawi). Kondisi ini memungkinkan aliran air yang berpotensi dapat mengakibatkan terjadinya banjir dari hulu Sungai Ciliwung yang melintasi Depok hingga Pintu Air Manggarai, dapat diinformasikan oleh Aparat kepada masyarakat antara 6 sampai 8 jam sebelumnya. Dengan waktu yang cukup lama, masyarakat
yang wilayahnya akan diialui banjir dari Aliran Wilayah
Tengah dapat menghindari ancaman bahaya banjir. Untuk Aliran Wilayah Barat, Stasiun Pos Pengamat TMA terjauh yang ada di hulu Sungai Pesanggerahan masih berada di Sawangan, Depok. Kondisi ini hanya memungkinkan aliran banjir yang akan masuk ke wilayah
99
Jakarta dapat diinformasikan oleh
Apar~t
kepada masyarakat antara 1
sampai dengan 2 jam sebelumnya. Sementara untuk Aliran Wilayah Timur, Stasiun Pengamat TMA terjauh yang ada di hulu Sungai Sunter sudah masuk wilayah Jakarta, sehingga informasi aliran banjir yang dapat diberikan Aparat kepada masyarakat tidak dapat diketahui dalam hitungan jam. Hal ini tentu sangat sulit bagi masyarakat untuk menghindar dari ancaman bahaya banjir, baik yang tinggal di Wilayah Aliran Timur, apalagi yang tinggal di wilayah Aliran Barat.
4.1.3. Prosedur Operasional Pengendalian Banjir
Sebagai salah satu upaya untuk mengendalikan banjir di wilayah kota Jakarta,
dan guna mengurangi/membatasi banjir serta akibat yang
ditimbulkannya, maka dibuat sistem informasi pengendalian banjir yang terintegrasi dari berbagai instansi terkait dalam bentuk prosedur operasi yang baku. Berikut adalah deskripsi prosedur operasi pengendalian banjir yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Pada prinsipnya setiap hari selama 24 jam, Pos Koman do (Posko) Banjir yang berada di Kantor DPU Prov DKI Jakarta melakukan kegiatan piket banjir guna mengamati dan melaporkan kejadian-kejadian yang berindikasi dapat mengakibatkan terjadinya banjir, tanggul longsor, overtopping dan lain-lain, kepada Pos Komado Satuan Tugas (Posko
Satgas) Penanggulangan Banjir, baik yang ada di tingkat Daerah (untuk
100
Siaga III, Siaga II dan Siaga 1), . maupun di tingkat Pusat, yaitu Satgas Proyek Induk Pengeinbangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (PIPWS-CC). Kegiatan tersebut antara lain memuat laporan-laporan sebagai berikut: 1. Laporan Tinggi
Muka Air (TMA) banjir dan perubahannya yang
terjadi; 2. Kondisi tanggul dan bangunan pengendali banjir lainnya; dan 3. Laporan cuaca dan curah hujan di lokasi pos-pos pengamat TMA. (Secara teknis setiap hari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) membantu Posko Banjir DPU Prov DKI Jakarta dengan mengirimkan ramalan cuaca melaluifax). Pada tingkat Pusat, Posko/Piket Pembantu (wilayah) tersedia di tiga lokasi, yaitu: pada Kantor Sub Proyek Sungai Ciliwung di Jakarta Selatan, Kantor Sub Proyek Sungai Cisadane di Jakarta Barat, dan Kantor Sub Proyek Sungai Bekasi di Bekasi. Pada tingkat Prov DKI Jakarta, Posko Piket Pengendalian Banjir Pekerjaan Umum (PU) tersedia di 5 (lima) Wilayah Kotamadya yang masing-masing berlokasi di Kantor Suku Dinas PU Wilayah K0tarnadya. Sedangkan pada tingkat Kecamatan, Posko Piket Pengendalian Banjir PU juga tersedia di seluruh Kantor Kecamatan yang berlokasi di wilayah Prov DKI Jakarta. Sec(lra umum piket banjir dilaksanakan selama periode mustm banjir. Khusus untuk Satgas DKI Jakarta, piket banjir dimulai pada bulan
101
September s/d bulan Maret tahun berikutnya selama 24 jam, yang dibagi menjadi 2 (dua) shift (shift I : 08.00-20.00 dan shift II : 20.00-08.00). Untuk ketentuan Tinggi Muka Air (TMA) banjir menurut keadaan siaga dapat dilihat dalam Tabel Tingkatan Kondisi Siaga Tinggi Muka Air (Lampiran 5). Secara teknis frekuensi pengamatan TMA banjir dan pemberitaannya dilakukan dan dilaporkan oleh Petugas Pengamat TMJ\ yang ada pada setiap (masing-masing) lokasi stasiun pengamat TMA dari hulu hingga hilir (Sub Wilayah Sungai Bagian Tengah) kepada Petugas Posko Banjir DPU Prov DKI Jakarta (3 orang setiap hari dan 8 orang pada saat memasuki musim banjir), dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pada keadaan Siaga IV (Aman) pengamatan TMA banjir dilakukan setiap 1 jam sekali dengan pemberitaan setiap 6 jam; 2. Pada keadaan Siaga III (Waspada) pengamatan 1MA banjir dilakukan setiap 1 jam sekali dengan pemberitaan setiap 3 jam; 3. Pada keadaan Siaga II (Bahaya) pengamatan TMA banjir dilakukan setiap 15 menit sekali dengan pemberitaan setiap 1 jam; dan 4. Pada keadaan Siaga I (Bencana) pengamatan TMA banjir dilakukan seiiap 5 menit sekaii dengan pemberitaan setiap 0,5 jam. Lokasi pengamatan TMA banjir yang dapat dipantau
secara
langsung oleh DPU Prov DKI Jakarta, hanya berada di Wilayah Sungai Ci1iwung-Cisadane Bagian Tengah, yang pada dasamya dibagi menjadi 3 (tiga) 1okasi (Lampiran 6), yaitu:
102
1. Loka"i stasiun pengamatan TMA pada sistem Aliran Wilayah Barat berada mulai dari paling hulu di Sungai Pesanggerahan (Pos Pengarnat Sawangan), menuju ke Sungai Grogol (di Pintu Air Pondok Pinang) dan di hilir menuju ke Cengkareng Drain (di Pintu Air Cengkareng); 2. Lokasi stasiun pengamatan TMA pada sistem Aliran wilayah Tengah berada
mulai
dari
paling
(di Pos Pengamat Katulampa, Ciawi),
hulu
Sungai
Ciliwung
menuju ke Pos Pengamat
Depok, dan di hilir menuju ke Pintu Air Manggarai,
kemudian
dialirkan melalui Banjir Kanal Barat menuju Pintu Air Pekapuran; 3. Lokasi stasiun pengamat T.AM pada sistem Aliran Wilayah Timur berada mulai dari paling hulu di Sungai Sunter (Sunter Hulu), menuju ke Pintu Air Pulogadung dan di hilir menuju ke Cakung Drain. Adapun penanggungjawab pengendalian banjir di wilayah Prov DKI Jakarta menurut tingkat kegawatannya (Lampiran 7), sebagai contoh pada Pos Katulampa adalah sebagai berikut : 1. Untuk Tingkat Siaga IV (Aman) penanggungjawab pengendalian banjir dengan TMA s/d 170 em atau Peilschaal pada pos pengamat di Katulampa adalah wewenang Mantri Pintu Air dan Petugas Rumah Pompa, selaku pelaksana pengendali untuk mengoperasikan sistem buka-tutup Pintu Air dan Rumah Pompa; 2. Untuk Tingkat Siaga III (Waspada) penanggungjawab pengendalian banjir dengan TMA 170-240 em pada pos pengamat di Katulampa,
103
wewenangnya beralih kepada Komandan Operasional, yang dalam hal ini dipegang oleh Kepala Subdinas Sumberdaya Air dan Pantai DPU Prov DKI Jakarta; 3. Untuk Tingkat Siaga II (Bahaya) penanggungjawab pengendalian banjir dengan TMA 240-310 em
pada Pos Pengamat Katulampa,
wewenangnya beralih kepada Komandan Umum, yang dalam hal ini dipegang oleh Kepala Dinas Prov DKI Jakarta; dan 4. Untuk Tingkat Siaga I (Bahaya) penanggungjawab pengendalian banjir dengan TMA >310 em pada Pos Pengamat Katulampa, wewenang beralih kapada Gubernur Prov DKI Jakarta. Dengan mengetahui perubahan-perubahan TMA yang berada di ketiga Aliran wilayah (Barat, Tengah dan Timur) pada stasiun pengamat TMA, maka DPU Prov DKI Jakarta dapat memberikan peringatan dini melalui Aparatnya
(sampai di tingkat Kelurahan) kepada masyarakat,
tentang kemungkinan akan terjadinya aneaman banjir. Disamping itu Aparat juga dapat instruksikan untuk mempersiapkan segala sesuatunya dalam rangka penanggulangannya. Upaya antisipasi penanggulangan banjir ini biasanya Satgas-satgas yang ada, akan diaktifkan pada tingkat kegawatan Siaga III (Waspada). Dalam upaya penanggulangan banjir di Jakarta, khususnya pada saat memasuki periode musim banjir, Pemprov DKI Jakarta melakukan
104
persiapan penanggulangannya melalui 3 (tiga) tahap siaga banjir berikut Inl:
1. Sebelum Terjadi Banjir,
Kegiatan ini meliputi : a. Pengecekan kondisi bangunan pengendali banjir, waduk beserta bangunan penunjangnya {pompa-pompa), pir.tu-pintu air, goronggorong dan lain-lain; b. Pengecekan dan pengadaan bahan banjiran, peralatan komunikasi, dan monitoring (peralatan hidrologi); c. Pengecekan/pengadaan perlengkapan piket banjir, alat-alat berat kendaraan inspeksi, perahu karet, dan lain-lain; d. Perhitungan/peramalan prakiraan terjadinya banjir; e. Koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka menghadapi penanggulangan bencana banjir; f. Penyusunan pedoman siaga banjir;
2. Selama/Saat Terjadi Banjir
Kegiatan ini meliputi: a. Perondaan dan Pengamatan atau walk throught; Kelompok masyarakat yang merupakari tenaga bantuan pada waktu banjir, diminta untuk melakukan perondaan dan pengamatan terhadap keadaan bangunan dan TMA sungai. Kegiatan inipun juga harus dilakukan oleh regu piket banjir dan juru/pengamat tinggi
105
muka air pada lokasi-lokasi pei!schaal (Pos Pengamat TMA) yang sudah ditentukan; b. Pemberitahuan Banjir Apabila muka air naik mencapai ketinggian atau tingkat bahaya tertentu, segera dikirim pemberitahuan banj ir kepada petugas ronda banjir untuk persiapan penanggulangannya; c. Penanggulangan Keberhasilan usaha penanggulangan yang dikerjakan menjelang saat
terjadinya
bencana
banjir
tergantung
pada
kecepatan
pelaksanaannya, terutama dalam hal pengerahan tenaga, kesiapan bahan dan peralatan yang digunakan dan pengambilan keputusan tentang saat dan j en is pekerj'aan penanggulangannya. d. Laporan Sementara Laporan tentang terjadinya (bencana) yang antara lain memuat waktu banjir, lokasi-lokasi genangan, luasnya kerusakan yang terjadi
dll,
segera
dibuat
dan
disampaikan
kepada
yang
berkompeten untuk penanganan lebih lanjut (Lampiran 8).
3. Setelah Terjadi Banjir Kegiatan ini meliputi : a. Perbaikan secara darurat terhadap kerusakan bangunan pengendali banjir, ini hendaknya dilakukan secepat mungkin dan diusahakan
i06
agar dapat bertahan setidak-tidaknya. sampai perbaikan
s~cara
permanen (penyempumaan) dapat dikerjakan. b. Mengadakan inventarisasi kerusakan bangunan, disusun prioritas perbaikannya dan dilaporkan kepada instansi terkait sesuai form laporan yang sudah ditentukan (laporan lengkap tentang kejadian bencam1 banjir) (Lampiran 9). c. Pengumpulan data dan usaha lain guna penanggulangan banjir berikutnya.
4.2. Kelembagaan dan Organisasi Pengendalian Banjir di Jakarta 4.2.1. Peraturan Perundang-undangan
Upaya Pemerintah dalam melaksanakan pengendalian banjir sebenamya telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor II Tahun I974 tentang Pengairan, khususnya dalam Bab VII Perlindungan, pasal I dan 2 yang menyebutkan bahwa bangunan-bangunan pengairan dilindungi dan dijaga agar memenuhi · fungsinya sebagai pengendalian daya rusak air terhadap daerah sekitamya. Selain itu dalam PP Nomor 22 Tahun I982 tentang Tata Pengaturan Air,
pasal 3I menyebutkan bahwa Pemerintah
sesuat
dan
dengan
menyelenggarakan
wewenang usaha
tanggungjawabnya
pengendalian
daya
rusak
.
.
masmg-masmg atr
terhadap
lingkungannya, dan masyarakat wajib membantu usaha pengendalian tersebut.
107
Dalam konteks pengendalian banjir yang bersumber dari
alimn
sungai, melalui PP Nomor 22 Tahun 1982 pasal 5 telah diatur pembagian wewenang atas wilayah sungai yang berada lebih dari satu Daerah adalah menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Ini berarti bahwa wewenang 13 sungai-sungai yang masuk ke wilayah Jakarta (karena berhulu di Provinsi Jawa Barat) tentu menjadi Pemerintah Pusat. Berdasarkan hasil wawancara, sesungguhnya pada tahun 1974 pemah ada kesepakatan antara Pemerintah Pusat (Dirjen Pengairan Depatemen PU) dan Pemprov DKI Jakarta mengenai pembagian wenangan atas wilayah sungai yang masuk ke wilayah Jakarta. Dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa untuk 13 sungai yang masuk ke Jakarta termasuk Cengkareng Drain dan Cakung Drain hingga batas Banjir Kanal ada1ah menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Sedangkan wilayah sungai dari batas Banjir Kanal ke hilir adalah menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta. Disamping ketentuan-ketentuan yang ada dalam upaya pengendalian banjir, juga terdapat ketentuan-ketentuan lain yang mengatur upaya penanggulangan terhadap bahaya banjir. Berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, Pasal 18 menyebutkan bahwa dalam rangka penanggulangan bahaya banjir pemerintah menetapkan tata cara dan pedoman penanggulangannya baik sebelum, selama dan sesudah terjadinya banjir. Pada pasal 19 menyebutkan bahwa
Gubemur Kepala Daerah
mengkoordinasikan penanggulangan bahaya banjir di daerahnya dan
108
mengikutsertakan Instansi Pemerintah dan masyarakat. Sedang pada pasal 20 menyebutkan bahwa Gubemur Kepala Daerah berwenang mengambil tindakan darurat guna pengamanan bahaya banjir. Agar lebih efektifnya penanggulangan bencana terhadap bahaya banjir, maka sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor Ill Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusar. Presiden Nomor 3 Tahun 1998 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan
Pengungsi (BAKORNAS-PBP), ditetapkan bahwa : untuk tingkat nasional dibentuk Bakomas PBP yang diketuai oleh Wakil Presiden; untuk tingkat provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana (SATKORLAK-PBP) yang diketuai oleh Gubemur; dan untuk tingkat Kabupaten/Kota, dibentuk Satuan Pelaksana
(SATLAK-PBP)
Berdasarkan dibentuk
yang
diketuai
oleh
Bupati/Walikota.
Keppres ter§ebut, maka pada tingkat Pemerintah Pusat
Satuan
Tugas
Penanggulangan
Bencana
dan
Pengungsi
(SATGAS-PBP) melalui SK. Menkimpraswil Nom or 61/KPTS/M/200 1 di lingkungan Departeman Kimpraswil (Lamp iran 10). Dalam konteks kelembagaan di tingkat Pemprov DKI Jakarta, maka melalui Keputusan Gubemur Prov DKI Jakarta Nomor 96 Tahun 2002 dibentuk Organisasi dan Tata Kerja SATKORLAK-PBP yang merupakan pengganti Surat Keputusan Gubemur Nomor 195 Tahun 1998. Struktur Organisasi PBP di lingkungan Pemprov DKI Jakarta ini, telah dibuat mulai dari tingkat provinsi sampai dengan tingkat kelurahan (Lamp iran 11 ).
109
Khusus untuk DPU Prov DKI _Jakarta, sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk
Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DKI Jakarta, dan berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubemur Prov DKI Jakarta Nomor 170 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinns Pekerjaan Umum Provinsi DKI
Jakarta, maka DPU Prov DKI Jakarta merupakan unsur pelaksana Pemerintah Daerah di bidang pekerjaan umum (PU), yang salah satu fungsinya adalah melaksanakan pengendalian banjir dan genangan air. Berdasarkan Perda Nomor 3 Tahun 2001 dan SK Gubernur Nomor 170 Tahun 2002 tersebut, susunan organisasi yang ada di lingkungan DPU Prov. DKJ Jakarta, bagian-bagian dan unit-unit
yang terkait dengan
pengendalian banjir di Jakarta, wewenangnya menyatu dengan jabatan struktural yang ada, mulai dari Kepala Dinas di tingkat provinsi sampai dengan Kepala Seksi di tingkat Kecamatan (Lampiran 12). dalam
kaitannya
dengan
tata
kerja,
DPU
Prov
Sedangkan
DKI
Jakarta
menyelenggarakan hubungan fungsional dengan Instansi terkait yang berhubungan dengan fungsinya. Dalam hal ini Kepala Dinas wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sikoronisasi, baik secara internal di lingkungan DPU maupun ekstemal dengan instansi lainnya. Termasuk dalam hal ini, hubungan koordinasi antara Satgas PBP Pemerintah
110
Pusat dan Satgas PBP Pemprov DKI Jakarta di dalam melaksanakan tugas pengendaiian dan penanggulangan banjir (Lampiran 13).
4.2.2. Visi dan Misi
Sesuai dengan Intruksi Presidan (Inpres) Nomor 7
Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kir?erja Instansi Pemerintah, DPU Prov DK! Jakarta telah memiliki perencanaan strategik yang ingin dicapai selama kurun waktu 1(satu) sampai dengan 5 (lima) tahun ke depan. Perencanaan strategik tersebut tertuang di dalam Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran yang meliputi kebijaksanaan, program dan kegiatan yang realistis untuk mengantisipasi perkembangan di masa depan. Dalam konteks untuk melaksanakan fungsi pengendaiian banjir dan genangan air, visi
yang dimiliki
D~->U
Prov DKI Jakarta adalah
mewujudkan prasarana dan sarana bidang pekerjaan umum yang berkualitas internasional, handal dan bermanfaat bagi masyarakat dalam rangka menuju Jakarta bebas banjir. Sedangkan misi yang ditetapkan adalah mewujudkan prasarana dan sarana pengendalian banjir dalam
rangka mengurangi lokasi dan luas genangan air!banjir. Untuk mengimplementasikan misi tersebut, maka tujuan yang telah ditetapkan pada tahun 2002 adalah : 1) Berkurangnya potensi Jakarta sebagai daerah rawan banjir; dan 2) Meningkatkan fungsi drainase kota.
111
Dalam mencapai tujuan-tujnan tersebut, maka sasaran yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut :· a. Sasaran dari tujuan berkurangnya potensi Jakarta sebagai daerah rawan banjir, adalah: - Berkurangnya daerah rawan banjir hingga 25% setiap tahunnya; - Rerkembangnya kemampuan prasarana dan sarana pengendalian banjir; b. Sasaran dari tujuan meningkatkan fungsi drainase kota, adalah: - Mempercepat aliran air dari saluran menuju tempat penampungan; - Memperkecil genangan di saluran, baik pada saat musim hujan maupun musim kemarau. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, DPU Prov DKI Jakarta telah menetapkan kebijaksanaan, program operasional, dan kegiatan atau aktivitas dengan memperhatikan sumber daya yang ada, serta keadaan lingkungan yang dihadapi. Adapun kebijaksanaan yang telah disepakati untuk
ditindaklanjuti
pada
tahap
program
dan
kegiatan
adalah
Kebijaksanaan Optimalisasi Pengendalian Banjir di Wilayah DKI Jakarta. Sedangkan serangkaian program-program strategik yang diperuntukkan bagi perbaikan, peningkatan, dan pembangunan baru, sarana dan prasarana fisik dalam rangka memperlancar mobilitas masyarakat di wilayah DKI Jakarta, secara garis besar tertuang dalam Program Pengendalian Banjir dan
Drainase.
Rincian
Kebijakasanaan
program
Optimalisasi
dan
kegiatan
Pengendalian
untuk
Banjir
melaksanakan tertuang
dalam
112
Anggaran Belanja Pembangunan DP:U Prov DKI Jakarta Tahun 2002 (lamp iran 14 ). Sedangkan upaya untuk melaksanakan pengendalian dan penanggulangan banjir pada Tahun Anggaran 2003 dapat dilihat pada Rekapitulasi Memoranda Anggaran 2003 Bidang Air dan Lingkungan DPU Prov DKI Jakarta (lampiran 15).
4.3. Prasarana dan Sarana Pengendalian Banjir di Jakarta Secara umum prasarana dan sarana pengendali banjir yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta (DPU Prov DKI Jakarta) terdiri dari karung pasir, kendaraan (truck, pick up dan alat berat), pintu air pengendali,
pompa
pengendali, rumah pompa, waduk, perahu karet, handy talky, teleponlfax, serta petugas (piket dan satgas ). Masing-masing prasarana dan sarana ini, selain berada di DPU Prov. DKI Jakarta, juga tersebar di Suku Dinas F U di 5 (lima) Wilayah Kotamadya. Disamping itu juga ada prasarana dan sarana yang dimiliki oleh PI-PWS-CC (Lampiran 16) . .Khusus untuk prasarana dan sarana pengendali banjir seperti bangunan-bangunan pengendali Pintu Air dan Pompa Pengendali Banjir yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta, temyata keadaannya banyak yang sudah tua/lama dan hanya sebagian kecil yang merupakan pengadaan atau pembangunan yang baru (Lampiran 17 dan 18). Pompa-pompa pengendali tersebut juga sudah ditempatkan di berbagai lokasi (Lampiran 19).
113
Berdasarkan hasil wawancara, prasarana dan sarana berupa bangunan pengendali banjir (Pintu Air dan tanggul) yang ada di wilayah Prov DKI Jakarta sekarang
ini hanya dirancang untuk mengatasi kejadian banjir
dengan periode ulang 25 tahunan. Sementara bencana banjir yang terjadi pada awal Pebruari 2002 merupakan kejadian banjir yang hanya bisa diatasi dengan
bC~.neunan
pengendali banjir untuk periode ulang 50 tahunan.
Disamping itu perkembangan wilayah kota Jakarta dan sekitamya (BODETABEK) dengan tingkat urbanisasi penduduk yang begitu tinggi dan luas lahan yang terbatas, serta mengalami pembangunan yang sangat pesat, juga mengakihatkan semakin tidak memadainya prasarana dan sarana pengendali banjir yang ada. Apalagi ditambah dengan tingkat kesadaran masyarakat yang masih sangat rendah, dimana masih banyak dari saudarasaudara kita yang tetap membuang sampahnya ke dalam sungai, mendirikan bangunan di bantaran sungai dan masih banyak lagi pelanggaran lainnya, baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan.
4.4. Somber Daya Manusia Secara kuantitatif, jumlah pegawai yang melaksanakan tugas pokok dan fungsi sehari-hari di DPU Prov. DKI Jakarta sampai dengan tingkat kecamatan adalah sebanyak 1852 orang. Dilihat dari sisi pendidikan, kondisi yang ada adalah pegawai dengan latar belakang pendidikan non teknik temyata lebih banyak dibandingkan dengan yang teknik. Sedangkan dari
114
sisi tingkat ,pendidikan, jumlah pegawai masih didominasi oleh pegawai yang memiliki tingkat pendidikan setingkat SLTA/STM ke bawah (Lampiran 20). Berdasarkan hasil wawancara, idealnya komposisi pendidikan yang seharusnya dimiliki di lingkungan DPU Prov. DKI Jakarta sebagai instansi yang bersifat teknis, pegawai yang mempunyai latar be!akang pendic!ikan teknik seharusnya lebih besar dari pada non-teknik dengan perbandingan 80 : 20. Selain itu dari sisi usia, pegawai yang ada sekarang ini rata-rata 5 sampai dengan 7 tahun lagi banyak yang akan memasuki usia pensiun (PNS pensiun pada usia 56 tahun). Hal ini berarti, rata-rata usia pegawai DPU Prov DKI Jakarta sebagian basar sudah mencapai 50 tahunan. Keadaan tersebut tentu tidak sesuai dengan beban tugas yang memerlukan kondisi fisik yang sehat dan kuat, untuk melaksanakan tugas pengedalian banjir yang memerlukan waktu 24 jam sehari. Apalagi untuk melaksanakan tugas dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir di lapangan. Disamping
itu, honor tambahan yang diterima bagi para petugas
yang sehari-harinya berada di lapangan untuk mengawasi dan menjaga serta mengoperasikan bangunan-bangunan dan pompa-pompa pengendali banjir juga sangat kecil. Yang lebih ironis lagi adalah banyak para petugas baik yang menjaga Stasiun Pos Pengamat Tinggi Muka Air (TMA), yang mengopreasikan Stasiun Pompa Air dan Pintu Air, maupun para Satgas PBP
115
yang akan bertugas rnenanggulangi kemungkinan terjadinya ancaman banjir, dalam kasus kejadian banjir bulan Pebruari 2002, rumah dimana para petugas tinggal juga diterjang banjir. Lalu bagaimana para petugas akan melaksanakan tugasnya dengan baik untuk menolong warga lain yang kebanjiran, sementara para petugas tersebut juga mengalaminya.
BABY ANALISIS AKUNTAHILITAS PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA DALAM KEBIJAKAN PENGENDALIAN BANJIR
5.1. Aspek-Aspek Akcnt!lbi!itas
y~ng
Dianalisis
Dalam bab ini akan menganalisis berbagai aspek tentang akuntabilitas Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Provinsi (Prov) DKI Jakarta sebagai unsur pelaksana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dalam melaksanakan fungsi pengendalian banjir di Jakarta sampai dengan penanggulangannya. Aspek pertama yang akan dianalisis adalah akuntabilitas aturan main yang melingkupi
Pemprov
DKI
Jakarta.
Aspek
kedua,
akan
dianalisis
akuntabilitas struktur dan proses yang terjadi di Pemprov DKI Jakarta. Aspek ketiga, akan dianalisis akuntabi litas prasarana dan sarana yang ada di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
Terakhir, aspek yang keempat, akan
dianalisis mengenai akuntabilitas anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta.
5.2. Akuntabilitas Aturan Main dalam Pengendalian Banjir Pemprov
DKI
Jakarta
dalam
melaksanakan
akuntabilitas
pengendalian banjir, tentu tidak terlepas dari peraturan dan perundangundangan yang melingkupinya. Peraturan dan perundang-undangan tersebut, selain akan menentukan perjalanan Pemprov DKI Jakarta, juga akan
116
117
menuntut tanggungjawabnya di dalam melaksanakan fungsi kebijakan pengendalian banjir di Jakarta. Ada beberapa peraturan yang melingkupi Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan
pengendalian banjir, diantaranya adalah
Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengafran pada pasal 13, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata
Pengaturan Air pada pasal 31. menegaskatl bahwa lembaga-lembaga wewenangnya,
dan
Pemerintah
Pada dasamya kedua peraturan ini Pus~t
badan-badan
bertanggungjawab
d311 Pemerintah Daerah serta
hukum untuk
tertentu
sesuai
dengan
menyelenggarakan
usaha
pengendalian daya rusak air, dan masyarakat wajib untuk membantu usaha tersebut. Ketentuan-ketentuan itu mencerminkan
bahwa sesungguhnya
tanggungjawab pengendalian ba...~jir selain berada pada Pemerintah Pusat dan instansi lainnya serta masyarakat, juga menjadi tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta. Dalam konteks pengendalian banjir yang terkait dengan wilayahwilayah sungai atau bagian-bagian dari wilayah sungai, melalui PP Nomor 22 Tahun 1982 tentmg Tata Pengaturan Air, pada pasal 5 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa wewenang wilayah sungai di dalam suatu Daerah dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah, yang dalam pelaksanaannya bertanggungjaw~b
kepada Menteri. Sedangkan pada ayat 3 disebutkan
118
bahwa wewenang atas wilayah sungai yang berada lebih dari satu Daerah adalah tetap berada pada Menteri. Berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2002 tersebut, sudah selayaknya setiap Pemprov DKI Jakarta bertanggungjawab atas wilayah-wilayah sungai dan bagian-bagiannya yang berada/melintas
di wilayahnya. Namun
kecer.derungan yang terjadi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta adalah lebih menekankan pada ayat 3, dari pada ayat 1 dan 2 dari pasal tersebut. Jadi 13 sungai yang berhulu di wilayah Jawa Barat dan melintasi kota Jakarta serta bagian-bagian dari sungai tersebut, (menyebabkan banjir di wilayah di Jakarta) bukan merupakan tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta, tetapi menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat. Pemprov DKI Jakarta dalam hal ini sifatnya hanya sebatas membantu Pemerintah Pusat. Kesan yang ada adalah Pemprov DKI Jakarta tanggungjawabnya untuk mengatasi masalah
seperti melepas
banjir di Jakarta, dan
menganggap sudah cukup hanya dengan membantu Pemerintah Pusat semampunya di dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir yang berada di wilayahnya. Disamping itu, mengingat wilayah pengendalian banjir di Jakarta (hilir) tidak dapat lepas dari kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berada di wilayah hulu dan tengahnya (Bogor, Puncak dan Cianjur), serta kewenangannya berada di Pemprov Jawa Barat, maka sikap Pemprov DKI Jakarta cenderung bersifat pragmatis di dalam menghadapi persoala..'l banjir di Jakarta. Sementara, wilayah aliran sungai yang masuk ke
119
Jakarta dan memberikan kontribusi terhadap kejadian banjir yang semakin meningkat, dianggap sebagai kendala-kendala dari pihak lain yang juga patut dimintakan pertanggungjawabannya atas kejadian banjir di Jakarta. Selain kesan yang muncul untuk menuntut tanggungjawab dari pihakpihakl lain dalam masalah banjir di Jakarta, Pemprov DKI Jakarta juga cenderung Iebih menuntut tar.ggungjawab kepada masya::-akat, yang pada umumnya pengetahuannya terbatas mengenai masalah banjir. Dengan mengatakan bahwa akibat rendahnya tingkat kesadaran masyarakat yang membuang sampahnya ke dalam sungai dan bermnkim di bantaran sungai, maka upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi masalah banjir semakin sulit dilakukan. Umumnya bangunan-bangunan yang ada di bantaran sungai selain ada yang tidak permanen, juga ada yang permanen dan kemungkinan besar juga sudah dilengkapi dengan sertifikat dan Izin Mendirikan Bangunan (1MB). Sementara itu tidak sedikit pula masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, namun kawasannya sudah dilengkapi dengan .prasarana dan sarana perkotaan, seperti jalan inspeksi di sepanjang sungai dan masuknya penerangan listrik, yang kesemuanya secara legal juga diberikan izin oleh Pemerintah. Pada dasamya, mendirikan bangunan untuk hunian di bataran sungai adalah dilarang. Alasannya adalah selain dapat menghambat aliran sungai, juga menimbulkan resiko yang setiap saat mengancam keselamatan jiwa
120
manusia yang tinggal di dalamnya. Ketentuan tentang larang ini telah diatur dalam PP Nomor 35 Tabun 1991 tentang sungai khususnya pada pasal 26 dan Peraturan I\1enteri (Pemren) PU Nomor 63/PRT/1993 tentang Garis
Sepadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai. Upaya untuk menertibkan permukian dan pertumbuhan bangunan di sepanjang bantaran sungai ini, menurut pengalaman yang sudah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta, temyata tidak mudah dan pertumbuhannya sulit dikendalikan. Menurut Maryono (8 Mei 2002) pengalaman yang ada di seluruh negara berkembangan (kasus ini telah terjadi
dimana-mana),
penertiban dan pengendalian bangunan tidak bisa dihindari dengan program apapun, apalagi di Indonesia yang rata-rata semua orangnya kebal hukum. Oleh karena itu tidak heran hila setiapkali terjadi banjir di wilayah DKI Jakarta, aturan main yang mengatur kewenangan 13 sungai dan berbagai pengalaman lain yang ada ini, selalu dijadikan alasan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk menuntut tanggungjawab dari pihak lain (Pemerintah Pusat terutama) dalam mengatasi masalah banjir. Sementara Pemeritah Pusat sendiri, · nampaknya tidak mampu berbuat banyak dalam mengatasi persoalan-persoalan dari aturan main yang melingkupinya. Hal itu dapat dilihat dari adanya upaya yang sudah dilakukan oleh Pemerintah Pusat, yaitu dengan dikeluarkannya berbagai Keputusan Presiden (Keppres) yang mengatur tentang tata ruang di daerah Bopunjur, yang terbukti tidak berjalan
121
dan tidak dapat dilaksanakan di lapangan, contoh Keppres Nomor 48 Tahun 1983 tentang Penertiban dan Pengendalian Pengembangan Kawasan
Puncak dan Keppres Nomor 79 Tahun 1985 tentang Penetapan Rencanan Umum Tata Ruang (RUTR) Kawasan Puncak, serta beberapa peraturan penujang lainnya, seperti SKB Menteri, dan lain sebagainya. D8lam kasus kejadian banjir di Jakarta,
Pemprov DKI Jakarta
sepertinya tidak mau melihat ke dalam, terutama adanya aturan main lain yang juga menjadi
kew~nanganuya
di dalarn mengatur tata ruang yang ada
di wilayahnya sesuai dengan peruntukannya. Temyata apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah yang justru sebaliknya, yaitu perencanaan tata ruang tersebut memang benar diatur oleh pemerintah, tetapi ada celah yang sengaja dibuat agar tata ruang itu dapat dimanfaatkan sekehendak hatinya. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Rencana
Umum
Tata
Ruang DKI Jakarta
(RUTR
2005),
telah
diinformasikan bahwa ada berbagai kawasan-kawasan tertentu yang statusnya tidak cocok untuk kawasan permukiman,
karena dinilai rawan
terhadap banjir, seperti Hutan Angke Kapuk. Namun apabila ada pihak yang ingin
memanfaatkan
kawasan
ini
untuk
permukiman, maka hams .
melengkapi dan memelihara sendiri sistem prasarana dan sarananya. Sedangkan Perda Nomor 6 Tahun 1999 tentang RUTR Wilayah DKI
Jakarta, yang diharapkan dapat mengembalikan kawasan yang sudah terbangun dan dapat memicu kejadian banjir yang lebih hebat, temyata
122
justru dilegalkan oleh Pemprov DKI Jakarta. Pada pasal 7 Perda Nomor 6 Tahun 1999 itu disebutkan bahwa kebijakan pengembangan tata ruang kota diprioritaskan ke arah Utara, ini berarti kebijakan tata ruang dalam RUTR 2005 yang mengarah ke Timur dan Barat berubah menjadi ke arah Utara pada RUTR 2010. Adanya keceP..derungan untuk memaP..faatkan kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dari Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) di masa lalu dan merupakan pilihan kebijakan Pemerintah, jelas menuntm adanya tanggungjawab dari pemerintah untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta. Dalam hal ini, berarti Pemprov DK! Jakarta yang memiliki unsur pelaksana
untuk
melaksanakan
fungsi
pengendalian
banjir dengan
memberikan prasarana dan sarananya yang memadai, tentu tidak boleh berpangku
tangan
dan
hanya
menyediakan
prasarana
dan
sarana
pengendalian banjir secara ala kadamya. Belum lagi yang terjadi baru-baru ini, seperti ngototnya Pemrov DKI Jakarta untuk melaksanakan reklamasi Pantai Utara (Pantura). Hal ini benarbenar mengherankan, belum selesai masalah banjir di Jakarta untuk dicarikan solusinya dalam mengantisipasi ancaman banjir yang akan datang, kawasan pantai yang memang merupakan tempatnya air, akan diurug untuk kepentingan masyarakat (katanya dan untuk masyarakat yang mana?) dan akan membuka tersedianya lapangan pekerjaan.
123
Selain itu. ada pula yang herargumen dengan mengatakan hahwa hila Proyek Pantura dapat dilaksanakan, maka Pemprov DKI Jakarta akan menenma
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup hesar, dimana
dananya akan dapat digunakan untuk mengatasi hanjir di Jakarta.
Apa
argumentasi semacam itu hisa dipegang, dan hila henar, herapa persen yang akan dialckasikan. Mengingat pengalaman yang ada selama ini, Pemprov DKI Jakarta dalam kehijakan pengedalian hanjir, nampaknya hanya kaya akan konsep dan program yang hagus-hagus, tetapi sar1gat miskin dalam implementasinya, apalagi untuk melakukan eksekusi apahila ada kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta sendiri. Di samping itu, aturan main yang menuntut akuntahilitas Pemprov DKI Jakarta secara internal juga telah diatur dari ketentuan-ketentuan yang ada, diantaranya adalah Peraturan Daerah (Perd1) Prov DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah Provinsi DKI Jakarta, pada Paragraf 11 Dinas Pekerjaan Umum, pasal 76 ayat 1 menyehutkan hahwa DPU mempunyai tugas melaksanakan pemhinaan, pengemhangan, dan pengaturan prasarana dan sara..1a bidang PU yang meliputi tata air, heserta hangunan pelengkapnya. Sedangkan pada ayat 2 menyehutkan hahwa untuk menyelenggarakan tugasnya tersehut DPU mempunyai fungsi pengendalian hanjir dan genangan air.
124
Pelaksanaan- terhadap Perda tersebut, juga telah diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan (SK) Gubemur Prov DKI Jakarta Nomor 170 Tahun 2002 tentang Organisasi dorz Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum
Provinsi DKI Jakarta. Dalam SK Gubemur tersebut mencerminkan bahwa, secara hirarki wewenang pengendalian banjir juga sudah diberikan dari tingkat provinsi sampai dengan wilayah. Mulai dari tingkat provinsi, dilaksanakan oleh Gubemur Prov DKI Jakarta, Kepala Dinas, Kepala Subdinas Pengembangan Sumber Daya Air dan Pantai, dan Kepala Seksi Pemeliharaan dan Pengendalian Air. Pada tingkat Kotamadya, dilaksanakan oleh Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum Tata Air, dan Kepala Seksi Pemeliharaan
Bangunan
Kecamatan Provinsi,
Air
Kotamadya.
Sedangkan
dilaksanakan oleh Kepala Seksi
pada
tingkat
Dinas Pekerjaan
Umum Tata Air. Dalam konteks penanggulangan bencana banjir, juga ada beberapa ketentuan-ketentuan
yang
melingkupi
Pemprov
DKI
Jakarta
untuk
melaksanakan penanggulangan bencana banjir, diantaranya adalah PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, dalam pasal 18, pasal 19 dan pasal 20. Dalam PP ini disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan tata cara dan penanggulangan
bahaya
banjir,
dan
Gubemur
Kepala
Daerah
mengkoordinasikan usaha penanggulangannya bersama dengan Instansi Pemerintah dan masyarakat, serta mengambil tindakan darurat guna keperluan pengamanan bahaya banjir.
125
Sclanjutnya, di dalam Keppres Nomor Ill Tahun
2001 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nom or 3 1 ahun 2001 tentang Badan Koordinasi
Nasional
Penanggulangan
Bencana
dan
Penanganan
Pengungsi, juga telah ditetapkan wadah untuk koordinasi penanggulangan bencana dan pengungsi (PBP).
Untuk tingkat nasional dibentuk Badan
Koordinasi Nasional (BAKORNAS) PBP yang diketuai oleh Wakil Presicien RI. Untuk tingkat provinsi, dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana (SATKORLAK) PBP Provinsi yang diketuai oleh Gubemur, dan untuk tingkat Kabupaten/K.ota dibentuk Satuan Pelaksana (SATLAK) PBP yang diketuai oleh Bupati/Walikota. Ketentuan-ketentuan tersebut mencerminkan bahwa sesungguhnya baik Pemerintah Pusat maupun Pemprov DKI Jakarta mempunyai tanggungjawab yang sama atas penanggulangan bencana banjir yang terJadi di Jakarta. Di samping itu, juga ada ketentuan-ketentuan lain yang melingkupi Pemprov DKI Jakarta untuk bertanggungjawab atas penanggulangan bahaya bencana banjir, diantaranya adalah SK Gubemur Prov DKI Jakarta Nomor 96 tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satuan
Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengunsi Daerah Khusus lbukota Jakarta (pengganti SK. Gub. No. 195/1998). Dalam SK ini telah diatur mengenai koordinasi kegiatan PBP di daerah, yang berpedoman pada kebijaksanaan Bakomas PBP, baik pada tahap sebelum,
126
selama dan
setelah
terjadinya
bencana,
yang
mencakup
kegiatan
pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam SK Gubernur tersebut secara hirarki dan rinci tugas PBP wewenangnya pada tingkat Prov dilaksanakan oleh SATKORLAK PBP yang diketuai oleh Gubemur Prov DKI Jakarta. Pada tingkat Kotamadya dilcl<.sanakan oleh SATLAK PBP, yang diketuai oleh VIalikotamadya Prov DKI Jakarta. Pada Tingkat Kecamatan dilaksanakan oleh Unit Operasional PBP, yang diketuai oleh Camat Prov DKI Jakarta. Sedangkan pada tingkat Kelurahan
dilaksanakan
oleh
Satuan
Perlindungan
Masyarakat
(SATLINMAS) PBP, yang diketuai oleh Lurah. Di samping itu, juga ada SK Gubemur Nomor 1230 Tahun 2002 tentang Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana dan Penanganan
Pengungsi Daerah Khusus lbukota Jakarta (pengganti SK. Gub. No. 222/1998), yang mengatur mengenai prosedur tetap PBP sebagai pedoman operasional penyelenggaraan PBP di Provinsi DKI Jakarta secara terkoordinasi dan terpadu.
Pada prinsipnya prosedur kerja PBP ini
dilaksanakan secara hirarki mulai dari tingkat yang paling bawah berturutturut hingga ke paling atas, yaitu mulai dari Satlinmas Kelurahan dan Unit Operasional PBP Kecamatan, Satgas PBP, Satlak PBP dan Satkorlak PBP, serta Bakomas dan Departemen terkait (dengan menggunakan sarana komunikasi yang ada). Prosedur kerja ini juga dilaksanakan mulai dari sebelum terjadinya bencana, saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya
127
bencana, yang m\!ncakup kegia(an pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Kenyataan itu mencerminkan bahwa sesungguhnya Pemprov DKI Jakarta dari aspek aturan main selalu berusaha untuk merespon aturan main yang ada di atasnya, untuk kemudian dibuat aturan main yang secara khusus melingkupi Pemprov DKI Jakarta di tingkat daerah untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir sampai dengan penanggulangannya. Upaya itu dapat dilihat dengan adanya berbagai Perda, dan SK Gub yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk menentukan langkah-langkah yang harus diikuti oleh organisasi maupun unsur pelaksana yang ditugaskan untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Namun di sisi akuntabilitas pelaksanaan terhadap aturan main yang ada, Pemprov DKI Jakarta lebih cenderung berkonotasi minim akuntabel di dalam pengendalian banjir dan penanggulangannya. Hal itu dapat dilihat dari sikap para aparatnya yang cenderung berpendapat bahwa Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan fungsi pengendalian banjir, sifatnya hanya membantu Pemerintah Pusat. Selain itu, Aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta juga iebih cenderung dan senang untuk menyebutkan bahwa kendala-kendala yang harus dihadapi dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir adalah berada di
luar batas kewenangannya.
Selanjutnya, Aparat juga lebih senang apabila dapat mengatakan bahwa
128
pelaksanaan pengendalian banjir di Jakarta juga merupakan tanggungjawab masyarakat. Sesungguhnya,
esenst
dari
akuntabilitas
aturan
mam
1m
penekanannya adalah bukan pada memiliki atau lengkap tidaknya dari aturan main yang ada, tetapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana menegakkan atu:an main yang ada dan mengimplementasikannya di lapangan. Hal itu tercermin
dari
pilihan-pilihan
kebijakan
pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya yang hanya ailaksanakan secara ala kadamya, bersifat membantu, rendahnya kesadaran masyarakat dan kewenangnyang ada di pihak lain. Sedangkan akuntabilitas kebijakan tata ruang yang terkait dengan semakin meningkatnya kejadian banjir, nampaknya tidak dijadikan landasan untuk meningkatkan akuntabilitasnya di dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya. Hal itu seharusnya merupakan tanggungjawab Pemprov DKI Jakarta,
sebagai
konsekuensi logis atas
banyaknya pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, atas izin Pemprov DKI Jakarta. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kinerja akuntabilitas Pemrpov DKI Jakarta dari aspek melaksanakan aturan main yang ada cenderung kurang, karena kebijakan pengendalian banjir yang dilaksanakan oleh Pemprov DKI Jakarta hanya disesuaikan dengan kemampuan yang ada atau disesuaikan dengan selera dari masing-masing pimpinannya.
129
5.3. Akuntabilitas Stru!dt_n· dan Proses dalam Pengenrlalian Banjir Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya, tentu memiliki struktur yang mengacu pada pola interaksi formal di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, serta memiliki proses di dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuannya. Melalui
struktur dan proses inilah sumberdaya yang d!
lingkungan Pemprov DKI
Jakarta dikoordinasikan
untuk mencapai
tujuannya (akuntabilitasnya) di dalam mengurangi/membatasi banjir dan akibat yang ditimbulkannya. Secara struktur,
akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam
melaksanakan fungsi pengendalian banjir dan penanggulangannya di Jakarta, akan dilihat dari berbagai dimensi. Pertama dimensi formalisasi, yang meliputi peraturan dan prosedur yang dijadikan acuan oleh Pemprov DKI Jakarta. Kedua dimensi sentralisasi, yang menunjukkan tingkatan di dalam Pemprov DKI Jakarta yang diberikan wewenang untuk pengambilan keputusan. Ketiga dimensi kompleksitas, yang mencakup kompleksitas vertikal yang menunjukkan pada jumlah tingkatan dalam Pemprov DKI Jakarta, dan kompleksitas horisontal yang menunjukkan pada banyaknya bagian dalam Pemprov DKI Jakarta. Keempat dimensi profesionalisme, yang menunjukkan pada tingkat pendidikan formal rata-rata yang dimiliki DPU Prov DKI Jakarta sebagai unsur pelaksana Pemprov DKI Jakarta dalam melaksankan fungsi pengendalian banjir dan genangan air.
i30
Pada dimensi formalisasi, peraturan-peraturan yang dijadikan acuan ·.·.
oleh Pemprov DKI Jakarta dalam pengendalian banjir cenderung disesuaikan dengan peraturan yang berlaku, diantaranya adalah : (a) UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, khususnya Bab VII mengenai Perlindungan, pada pasal 13; dan (b) PP Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air, khususnya pasal31 dan 32. Sedangkan peraturan yang
dijadikan acuan untuk penanggulangan bahaya banjir, Pemprov DKI Jakarta cenderung mengacu pada : (a) PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, khususnya pasal 18, 19 dan 20; (b) Keppres Nom or 111 Tahun 2001 tentang BAKORlvAS PBP; (c) Kepmen Kimpraswil Nomor 61/KPTS/M/2001
tentang Pembentukan Satgas PBP di lingkungan Kimpraswil; (d) Perda DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Daerah Provinsi DKI Jakarta, pada paragraf 11 pasal 75 dan 76 mengenai Dinas Pekerjaan Umum; (e) SK Gubemur Prov DKI Jakarta Nomor 170 Tahun
2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pekerjaan Umum Provinsi DKI Jakarta; (f) SK Gubemur Prov DKI Jakarta Nomor 96 Tahun 2002
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satkorlak PBP Daerah Khusus lbukota Jakarta; dan (g) SK Gubemur Nomor 1230 Tahun 2002
tentang Prosedur Tetap PBP Daerah Khusus lbukota Jakarta. Khusus untuk pengendalian banjir di Jakarta, Pemprov DKI Jakarta sudah memiliki prosedur di dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya
131
ancaman bahaya banjir. Upaya itu dapat dilihat dari adanya pengelompokan Sub Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane yang dibagi menjadi 3 bagian, yaitu Sub Wilayah Sungai Bagian Barat, Sub Wilayah Sungai Bagian Tengah dan Sub Wilayah Sungai Bagian Timur. Sedangkan
wilayah DKI Jakarta,
termasuk dalam Sub Wilayah Bagian Tengah yang meliputi Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, Untuk memudahkan pengendalian banjir di Jakarta, maka sistem pengendaiian banjir di Bagian Tengah di bagi lagi menjadi 3 Wilayah Aliran,
yaitu
Sistem
Pengendalian
Aliran
Wilayah
Barat,
Sistem
Pengendalian Aliran \Vilayah Tengah dan Sistem Pengendalian Aliran Wilayah Timur. Melalui pembagian wilayah aliran inilah, Pemprov DKI Jakarta dapat berkoordinasi, mengatur debit banjir yang ada, dan menginformasikan akan adanya ancaman bahaya banjir yang akan terjadi. Pada Sistem Pengendalian Banjir dari masing-masing Wilayah Aliran, umumnya sudah ditempatkan Stasiun Pengamat yang akan mengukur Tinggi Muka Air (TMA) dari wilayah paling hulu, tengah hingga hilir. Melalui stasiun pengamat TMA yang ada dari hulu hingga hilir, para petugas Pos Koman do (Posko) Banjir yang berada di Kantor DPU Prov DKI Jakarta, dapat menerima laporan selama 24 jam dari petugas jaga Pintu Air atau
Pos
Pengamat
TMA
setiap
harinya,
sesuai
dengan
tingkat
kegawatannya. Pada kondisi Siaga IV, pengamatan TMA dilakukan setiap 1 jam sekali dengan pemberitaan setiap 6 jam. Pada kondisi Siaga 111,
132
pengamatan TMA dilakukan setiap 1 jam sekali dengan pemberitaan setiap 3 jam. Pada kondisi Siaga II, pengamatan TMA dilakukan setiap 15 menit sekali dengan pemberitaan setiap 1 jam. Pada kondisi Siaga I, pengamatan TMA dilakukan setiap 5 menit sekali dengan pemberitaan setiap 0,5 jam.
Dengan prosedur pengamatan seperti itu, aliran air dari arah hulu yang menuju ke hilir, debitnya dapat diatur sesuai dengan kapasitas Pintu Air yang ada, dan apabila terjadi kenaikan debit air yang diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya banjir besar, maka perugas Posko Banjir di Kantor DPU Prov DKI Jakarta dapat melaporkan sesuai dengan kewenangannya, serta memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Informasi tingkat kegawatan itu dapat sebarluaskan melalui petugas-petugas Posko Banjir yang ada di tingkat wilayah Kotamadya, Kecamatan dan Kelurahan, sehingga masyarakat dapat menghidar dari ancaman bahaya banjir. Khusus untuk pengendalian banjir yang disebabkan oleh pasang air laut, sistem pengendalian banjir dilakukan dengan sistem buka tutup Pintu Air yang ada di bagian hilir, sehingga air laut tidak dapat masuk ke arah daratan. Sementara aliran air yang datang dari arah hulu ditampung ke dalam waduk untuk kemudian dipompa dan dibuang ke laut. Prosedur untuk mengoperasionalkan Pompa pengendali banjir dan waduk ini juga sudah ada, dan pengoperasiannya disesuaikan dengan kapasitasnya masing masing.
133
Dalam rangka penanggulangan bencana, prosedut: tetap PBP Prov DKI Jakarta juga sudah ditetapkan melalui SK- G~b Prov DKI Jakarta Nomor 1230 Tahun 2002. Prosedur ini merupakan pedoman bagi instansi terkait di lingkungan Pemprov DKI Jakarta dan para aparat pelaksananya yang ada di lapangan, untuk mempersiapkan kemungkinan terjadinya bahaya ancaman banjir,
mulai dari tahap sebelum terjadinya banjir, tahap saat
terjadinya banjir maupun tahap sesudah terjadinya banjir. Disamping itu, Buku Pedoman Gladi Lapangan PBP SATLAK PBP Kotamadya se DKI Jakarta juga telah disediakan. Buku ini menyajikan informasi tentang bagaimana cara menanggulangi banjir dan pengungsi di tinjau dari aspek manajemen, sehingga semua kegiatan yang dimulai dari koordinasi/tahap persiapan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan dapat dilaksanakan dengan baik, karena semua pejabat di lingkungan Kotamadya besertajajarannya telah memiliki persepsi yang sama. Berdasarkan dimensi formalisasi tersebut di atas,
maka Pemprov
DKI Jakarta sebagai organisasi publik yang berukuran besar dalam melaksanakan pengendalian banjir dan penanggulangannya di Jakarta, cenderung memiliki tingkat formalisasi yang tinggi. Hal itu ditujukan dengan tingkat penggunaan dokumen tertulis di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang memungkinkan para aparat bertindak seragam dan sesuai dengan ketentuan dan
kewenanga..~ya
yang sudah digariskan berdasarkan
struktur organisasi yang ada. Dalam arti lain, dapat diharapkan bahwa aparat
134
yang ada di tingkat bawahan dan berwenang unmk mengambil keputusan dalarh melaksankan pengendalian banjir, akan bertindakan ·sesuai dengan cara yang bisa disetujui oleh atasaP...nya pada tingkat yang iebih tinggi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta secara keseluruhan.
Pada
dimensi sentralisasi,
Pemprov
DKI
Jakarta
dalam
melaksanakan pengendalian banjir di Jakarta, juga telah menunjuk_lmn adanya berbagai tingkatan di dalam pemberian wewenang untuk mengambil keputusan. Berdasarkan pembagian Wilayah Aliran Sungai di Bagian Tengah, maka sesuai dengan tingkat kegawatannya, pengendalian banjir di Jakarta juga sudah ditentukan berdasarkan tingkatan-tingkatan yang ada, sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pada tingkat Siaga IV (Aman), wewenang pengendalian banjir ditentukan oleh Mantri Pintu Air dan Petugas Rumah Pompa. Pada tingkat Siaga III (Waspada) wewenang pengendalian banjir ditentukan oleh
Komandan Operasional, yang dalam
hal ini berada pada Kepala Subdinas Sumber Daya Air dan Pantai DPU Prov DKI Jakarta. Pada tingkat Siaga II (Bahaya) wewenang pengendalian banjir ditentukan oleh Komandan Umum, yang dalam hal ini berada pada Kepala Dinas Pekerjaan Umum Prov DKI Jakarta. Pada tingkat Siaga I (Bencana) wewenang pengendalian banjir ditentukan oleh Gubemur Prov DKI Jakarta (Lampiran 7). Dalam rangka penanggulangan bencana banjir di Jakarta, tingkat kewenangan untuk mengambil keputusanjuga sudah diatur melalui Keppres
135
Nomor Ill Tahun 2001 tentang BAKORNAS PBP dan SK Gub Prov DKI Jakarta Nomor 96 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja SATKORLAK
PBP
DKI Jakarta. Berdasarkan landasan peraturan-peraturan tersebut,
maka struktur organisasi PBP di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mencerminkan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta dengan dasar saling melengkapi (lampiran 13). Sedangkan
petugas-petugas
yang
akan
melaksanakan
tugas
penanggulangan bencana banjir, kewenangannya juga telah diatur sesuai dengan tingkatannya. Pada lingkungan di Pemerintah Pusat, kewenangan tersebut telah diatur melalui Kepmen Kimprswil Nomor 61/KPTS/M/2001 tentang Pembentukan Satgas PBP di lingkungan Kimpraswil. Pada tingkat Pusat, wewenang pengambilan keputusan berada pada SATGAS PBP Pusat/Dirjen
Sumberdaya
Air.
Pada
tingkat
Provinsi,
wewenang
pengambilan keputusan berada pada SATGAS PBP Provinsi/ Proyek lnduk Pengembangan Wilayah Sungai
Ciliwung Cisadane (PI-PWS-CC). Pada
tingkat Kabupaten!Kota, wewenang pengambilan keputusan berada pada SATGAS PBP Kabupaten!Kota/Bagian Proyek/Sub Proyek PWS-CC. Pada tingkat Kecamatan, wewenang pengambilan keputusan berada pada Unit Operasional
PBP
Kecamatan.
Pada
tingkat
Kelurahan,
wewanang
pengambilan keputusan berada pada Satlinmas PBP Kelurahan. Pada lingkungan di.Pemrov DKI Jakarta, kewenangan dalam upaya penanggulangan bencana banjir juga telah diatur melalui SK. Gub Prov DKI
136
Jakarta Nomor 96 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja SATKORLAK PBP DKI Jakarta. Pada tingkat Provinsi, wewenang
pengambilan keputasan berada pada SATKORLAK PBP Prov DKI Jakarta/Gubemur. Pada tingkat Kabupaten!Kota, wewenang pengambilan keputusan berada pada SATLAK PBP Kotamadya/para walikota. Pada tingkat kecamata..'l, wewenang pengambilan keputusan berada pada Unit Operasional
PBP
Kecamatan.
Pada
tingkat
Kelurahan,
wewenang
pengambilan keputusan berada pada Satlinmas PBP Keluraha..'l. Berdasarkan dimensi sentralisasi tersebut di atas,
maka Pemprov
DK! Jakarta dalam pengendaiian banjir dan penanggulangannya, cenderung memiliki tingkat sentralisasi yang rendah.
Hal itu sangat sesuai dengan
struktur organisasi Pemprov DKI Jakarta yang termasuk dalam kategori organisasi publik yang berukuran besar.
Secara struktur Pemprov DKI
Jakarta telah memiliki banyak tingkatan dan bagian yang dapat memberikan kewenangan pada tingkatan dan bagian yang ada dibawahnya, untuk mengambil
keputusan
di
dalam
pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya. Mengingat jumlah keputusan yang harus diambil dalam pengendalian dan penanggulangan banjir di wilayah DKI Jakarta sangat besar, maka tingkat sentralisasi yang rendah di lingkungan Pemprov DKI Jakarta cenderung menjadi sangat efektif bagi pimpinan yang ada di atasnya, untuk
137
mendelegasikan pengambilan keputusan dan kewenangannya kepada tingkat yang lebih rendah.
Pada dimensi kompleksitas, berdasarkan struktur organisasi yang ada di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, secara vertikal Pemprov DKI Jakarta cenderung memiliki berbagai tingkatan di dalam organisasi yang akan melaksanakan
fungsi
pengendalian
banjir
dan
pemmggulangannya.
Sedangkan secara horisontal juga terdapat bagian-bagian yang secara khusus untuk menangani pengendalian banjir dan penanggulangannya. Secara vertikal tingkatan orgamsast di lingkungan Pemprov DKI Jakarta
yang
melaksanakan
fungsi
pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya terdapat mulai dari tingkat Provinsi, Kotamadaya, dan Kecamatan. Sedangkan secara horisontal bagian-bagian yang secara khusus melaksanakan fungsi pengendalian banjir dan penanggulangannya juga sudah diatur di dalamnya. Pada tingkat Provinsi DKI Jakarta, bagian-bagian yang melaksanakan tanggungjawab
pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya,
secara
strukutral berada mulai dari : Gubemur, Kepala Dinas, Kasubdin PSDA dan Pantai, Kasie Pemeliharaan dan Pengendalian Air, Koordinator Pelaksana Dinas, dan Petugas Pelaksana Dinas. Pada tingkat Kotamadya, bagianbagian yang melaksanakan fungsi pengendalian banjir berada pada Kepala Suku Dinas Pekerjaan Umum (SDPU) Tata Air, Kepala Seksi Pemeliharaan Bangunan Air, Komandan Pelaksanan SDPU Tata Air, dan Petugas
138
Lapangan SDPU Tata Air. Pada tingkat Kccamatan, bagian-bagian yang melaksanakan fungsi pengendalian banjir berada pada Kepala Seksi Tata Air Kecamatan, Komandan Pelaksana Kecamatan, dan Petugas Lapangan Kecamatan. Berdasarkan dimensi kompleksitas tersebut di atas, maka Pemprov DKl Jakarta dalam mel8ksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya
di
Jakarta,
cenderung
menunjukkan
tingkat
kompleksitas yang besar. Hal itu tentu sangat sesuai dengan Pemprov DKI Jakarta sebagai organisasi publik yang berukuran besar, karena diikuti dengan adanya bagian-bagian yang secara khusus melaksanakan fungsi pengendalian banjir. Oleh karena itu, pembagian wewenang di lingkungan Pemprov DKI Jakarta cenderung menjadi
efektif untuk dilakukan
pengawasan, sehingga h(.sil pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan adanya berbagai bagian yang secara khusus melaksanakan pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya
tersebut,
juga
sudah
diantisipasi dengan adanya sejumlah tingkatan yang akan bertanggungjawab di dalam struktur organisasi. Hal ini menjadikan Pemprov DKI Jakarta efektif dalam mengurangi rentang kendali untuk
mela...~sanakan
fungsi
pengendalian banjir dan penanggulangannya mulai dari tingkat provinsi hingga ke tingkat kecamatan.
Pada dimensi profesionalitas, DPU Prov
D~I
Jakarta sebagai unsur
. pelaksana Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan fungsi pengendalian
139
banjir dan penanggulangannya sebenarnya sudah ditunjang dengan jumlah pegawai yang cukup banyak, yaitu 1852 orang. Namun di lihat dari sisi latar belakang pendidikan, maka banyak yang tidak sesuai dengan tugas dan fungsi dinas yang cenderung lebih bersifat teknis. Sedangkan dari sisi tingkat pendidikan, jumlah pegawai juga masih didominasi oleh pegawai yang memi!iki tingkat pendidikan setingkat SLT.t\/STM dan bahkan ada juga yang setingat SMP dan SD. Berdasarkan hasil wawancara, idealnya pegawai yang mempunyat latar belakang pendidikan teknik seharusnya lebih besar dari pada nonteknik dengan perbandingan 80 : 20. Selain itu dari sisi usia, banyak juga pegawai yang berusia lanjut (rata-rata 50 tahun). Keadaan ini tentu tidak sesuai dengan beban tugas yang memerlukan kondisi fisik yang sehat dan kuat, untuk melaksanakan kesiapsiagaan menghadapi bencana banjir di lapangan. Berdasarkan dimensi profesionalitas, maka kondisi karyawan di lingkungan Pemprov DKI Jakarta (DPU Prov DKI Jakarta) cenderung tidak memadai. Namun hal itu cenderung dapat diantisipasi oleh Pemprov DKI Jakarta melalaui
adanya
berbagai pelatihan-pelatihan yang bersifat
fungsional bidang ke PU-an atau dengan menerima tenaga kerja kontrak yang ada di unit lain di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Pelatihanpelatihan untuk petugas penjaga Pintu Air dan statiun pengamatan ti.nggi muka air juga selalu diadakan setiap tahunnya di lingkungan DPU Prov DKI
140
Jakarta. Di samping itu, adanya gladi lapangan yang dilaksanakan setiap tahunnya (bersama unit lain di lingkungan Pemprov DKI Jakarta), terutama dalam rangka persiapan memasuki musim banjir, juga sangat menunjang bagi para aparat yang akan bertugas di lapangan untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi lainnya. Secara proses, Pemprov DKI Jakarta juga sudah memiliki visi dan misi yang secara khusus ditujukan untuk mengatasi masalah banjir. Visi yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta sebagai wujud dari akuntabilitasnya dalam
melaksanakan
kebijakan
pengendalian
banjir
adalah
untuk
mewujudkan prasarana dan sarana bidang pekerjaan umum dalam rangka menuju Jakarta bebas banjir. Sedangkan misi yang ditetapkan Pemprov DKI Jakarta adalah mewujudkan prasarana dan sarana pengendalian banjir dalam rangka mengurangi lokasi dan luas genang banjir. Melalui visi dan misi itu tercermin bahwa sesungguhnya akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir sudah mempunyai tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu I sampai 5 tahun ke depan, yaitu berkurangnya potensi DKI Jakarta sebagai daerah rawan banjir. Adapun proses yang dilakukan
Pemprov DKI Jakarta untuk
mencapai tujuannya tersebut, dapat dilihat dari rincian program dan kegiatan dari kebijakan optimalisasi pengendalian banjir di Jakarta tahun anggran 2002, yang ditindaklanjuti melalui berbagai program dan kegiatan yang mengarah pada berkurangnya 78 titik daerah yang rawan banjir di wilayah
141
_Jakarta, seperti pengembangan sungai, situ/rawa dan pengendalian banjir (lampiran 14 dan 15). Berdasarkan analisis akuntabilitas struktur dan proses yang ada di lingkungan Pemprov DKI Jakarta secara keseluruhan,
maka sebagai
organisasi publik yang besar dalam melaksanakan fungsi pengendalian banjir dan penanggulangannya,
Pemprov DKI Jakarta cenderung sudah
memiliki struktur dan proses yang memadai untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Dalam arti Jain, Pemprov
DKI jakarta di daiam
melaksanakan fungsi dalam kebijakan pengendalian banjir, sudRh ditunjang dengan tingkat penggunaan dokumentasi tertu1is yang tinggi, tingkat sentralitas yang rendah dan kompleksitas yang besar sehingga, dianggap baik untuk mengatisipasi pelaksanaan kebijakan pengendalian banjir dan penanggu1angannya yang bersifat mu1tipihak.
Hal itu tentu akan dapat
menutupi kendala-kendala yang dihadapi Pemprov DKI Jakarta yang kekurangan dari dimensi profesionalitasnya, karena dapat berkerjasama dan berkoordinasi dengan unit lain yang ada di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.
5.4. Akuntabilitas Prasarana dan Sarana Pengendali Banjir Secara umum prasarana dan sarana pengendali banjir yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta, baik yang ada di DPU Prov DKI- Jakarta, maupun yang _berada di Suku Dinas (Sudin) Pekerjaan Umum (PU) di 5 (lima)
142
Wilayah Kotamadya, serta ditambah.
dengan yang dimiliki oleh Proyek
lnduk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (PI-PWS-CC), belum memadai untuk mengatasi banjir di Jakarta. Khusus untuk prasarana dan sarana pengendali banjir, seperti bangunan-bangunan pengendali dan pompa pengendali temyata banyak yang sudah tua/lama dan hanya sebagian kecil yang merupakan pengadaan atau pembangunan yang baru. Berdasarkan hasil wawancara di lingkungan Pemprov DKI Jakarta mengenai prasarana dan sarana bangunan
pengen~ali
banjir (Pintu Air,
bendungan) yang ada di Jakarta, temyata hanya dirancang untuk mengatasi debit banjir dengan periode ulang 25 tahunan. Sedangkan dari kejadian banjir besar yang terjadi pada bulan Pebruari 1996 merupakan kejadian banjir dengan periode ulang 25 tahunan (pasti sudah berkurang kapasitas dari prasarana dan sarana yang ada) dan pada bulan Pebruari 2002 merupakan kejadian banjir dengan periode ulang 50 tahunan. Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam melaksanakan usaha-usaha pengamanan terhadap banjir untuk suatu daerah, maka perencanaan bangunan-bangunan pengendali banjir selalu diarahkan pada tercapainya pengamanan sampai tingkat tertentu. Dalam hubungan ini dikenal apa yang disebut sebagai design flood atau banjir rencana, yang maknanya adalah sebagai berikut: Apabila diadakan pengamatan terhadap banjir secara terus menerus dalam jangka 1 tahun di suatu daerah, maka akan dapat dicatat bahwa
143
adanya kejadian banjir terbesar yang terjadi dalam jangka ten~ebut, misalnya saja debitnya tercatat 1.000 M3/det. Banjir iui dinamakan banjir maximum selama 1 tahun. Apabila jangka waktu pengamatan tersebut diperpanjang menjadi 5 tahun, maka selain akan terjadi banjir maximum 1 tahunan seperti tersebut di atas, juga akan terjadi banjir yang lebih besar melebihi banjir maksimurn 1 tahun tersebut, mis8lnya saja debitnya tercatat 2.000 M3/dt. Banjir ini dinamakan banjir maximum selama 5 tahun. Dengan demikian, apabila selama pengamatan terhadap banjir yang terjadi di Jakarta untuk periode ulang 25 tahunan debitnya tercatat sebesar 1.000 M3/dt,
ini
identik dengan pengertian
bahwa setiap tahun,
kemungkinan terjadinya debit banjir yang sama atau lebih besar dari 1.000 m3/dt adalah sebesar 4%. Demikian pula debit banjir periode ulang 100 tahunan sebesar 2.500 m3/dt adalah identik dengan pengertian bahwa pada setiap tahun, kemungkinan terjadinya debit banjir yang sama atau lebih besar dari 2.500 m3/dt adalah sebesar 1%. (Siswoko, 21 maret 2002). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berapapun tingkat pengendalian banjir yang direncanakan oleh Pemprov DKI Jakarta, setiap tahun tentu masih terdapat resiko/kemungkinan terjadinya banjir yang lebih besar lagi, dan dapat menimbulkan kerugian, serta dianggap sebagai resiko yang telah diperhitungkan atau calculated risk. Apakah Pemprov DKI Jakarta sudah memperhitungkan resiko atas kejadian banjir untuk periode ulang yang· lebih besar dari debit banjir
144
rencana 25 tahunan, dengan prasarana dan sarana pengendali banjir yang dimilikinya, hila suatu saat debit banjir rencana tersebut terlampaui. Berikut adalah kondisi alam yang paling sulit diprediksi dan merupakan sumber penyebab terjadinya banjir besar di Jakarta. Salah satu penyabab terjadinya banjir di Jakarta adalah karena meluapnya air sungai
y~ng
mc!intasi wilayah Jakarta. Secara almiah sungai
merupakan jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara yang dibatasi kanan kirinya oleh garis sempadan. Sungai mengalir dari hulu ke hilir dengan debit yang relatif kecil di hulu dan semakin ke hilir semakin membesar dengan adanya penambahan debit dari sepanjang pengalirannya. Kemiringan dasar sungai di hulu relatif curam dan semakin ke hilir menjadi semakin landai. Penampang palung sungai yang ada di bagian hulu relatif sempit dengan tebing yang dalam dan curam, di bagian tengah melebar dan semakin ke hilir semakin melebar dengan kedalaman palung sungai yang semakin dangkal. Kapasitas pengaliran palung sungai di bagian hilir pada umumnya sangat terbatas dan hanya mampu menampung debit aliran normal. Debit aliran aii· ini tidak konstan tetapi selalu berubah, baik disebabkan oleh pengaruh musim,
besamya curah hujan maupun kondisi Daerah Aliran
Sungainya (DAS) atau river basin. . Pada kondisi dimana debit sungai melebihi palung sungainya (disebut kondisi banjir), maka aliran sungai sebagian akan meluap dari palung sungai
145
dan menggenangi daerah di ka'lan dan kiri sungai yang merupakan dataran banjir atauj1ood piain. Dataran banjir ini bisa meliputi kawasan yang sangat luas, seperti yang ada di Jakarta, yang mana± 40% wilayahnya berada di dataran banjir dari 13 sungai yang melewati wilayah ini. Pada dataran banjir yang telah berkembang/dikembangkan seperti di kota Jakarta, yang antara lain digunakan untuk permukiman, industri, perdagangan, transportasi dan sebagainya, maka luapan sungai tersebut dapat menimbulkan masa/ah
banjir dan genangan. Genangan yang terjadi pada umumnya tidak hanya akibat luapan sungai, tetapi juga dapat diakibatkan aliran lokal/setempat yang tidak lancar mengalir masuk ke sarulan drainase atau ke sungai, serta akibat pembendungan di muara sungai pada saat laut pasang. Banjir bisa terjadi kapan saja; dengan besaran yang relatif masjh sulit untuk dihitung dan diperkirakan secara tepat dat1 akurat. Untuk melindungi dataran banjir terhadap terjadinya genangan sampai pada tingkat/besaran tertentu, umumnya ditempuh dengan kegiatan membangun bangunan pencegah banjir yang berada di sungai; seperti tanggul, bendungan, waduk retensi banjir, normalisasi alur sungai (pengerukan, penggalian, sudetan) pompa/polder, banjir kana!, saluran drainase, dan iain sebagainya. Kapasitas dari berbagai prasarana dan sarana bangunan-bangunan pengendali banjir tersebut di atas tentu didesain berdasarkan debit banjir .
.
rencana tertentu dan bukan untuk debit banjir yang terbesar. Tanggu.! misalnya, adalah bangunan yang ada di sungai dan memanjang di kiri-kanan
146
alur sungai. Lahan yang berada di antara kaki tanggul sebelah dalam dan palung disebut bantaran sungai. Bantaran sungai yang seolah-olah merupakan lahan kosong yang idle ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan palung sungainya, yang fungsinya secara keseluruhan merupakan tempat/wadah mengalimya debit sungai pada saat banjir. Setelah dibangun tanggul, maka lahan yang berupa dataran sungai banjir yang berada di luar tanggul masih tetap berupa dataran banjir. Status tersebut tidak berubah karena resiko tergenang oleh banjir masih tetap ada, yaitu apabila debit banjir yang terjadi melebihi kapasitas tanggul, atau apabila bangunan tanggul rusak atau jebol (lampiran 21 ). Di samping luapan air sungai yang menyebabkan banjir di Jakarta, curah hujan yang tinggi juga merupakan kondisi alamiah yang paling sulit diprediksi dan dapat menyebabkan terjadinya bencana banjir. Apalagi dengan tingkat curah hujan yang akan selalu tidak pasti dan cenderung bertambah besar berdasarkan periode ulangnya, tentu akan semakin menyulitkan pengendalian banjir yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan prasarana dan sarana yang terbatas, serta kebijakan pengendalian banjir yang lebih dominan ditempuh dengan hanya mengandalkan bangunan-bangunan pengendali banjir. Untuk itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Curah hujan terbesar yang terjadi dalam kala ulang 10 tahunan umumnya akan lebih besar dari curah hujan terbesar yang terjadi dalam 5
147
tahunan, begitu juga dengan curah hujan dalam kala ulang 25 tahunan akan lebih besar dari kala ulang 10 tahunan, dan kala ulang 50 tahunan lebih besar dari 25 tahunan, serta untuk kala ulang 100 tahunan lebih besar dari 50 tahunan, begitu seterusnya. Berikut adalah basil analisis frekuensi untuk data curah hujan maksimurn harian yang tercatat di stasiun pengamat Katulampa (Ciawi) dengan nilai curah hujan maksimum harian untuk periode ulang 5 tahunan adalah sebesar 164 mm; 10-tahunan sebesar 189 mm; 25-tahunan sebesar 220 mm; 50 tahunan sebesar 243 mm; dan 100 tahunan sebesar 266 mm (Pawitan , 8 Mei 2002). Sedangkan waktu pemusatan debit air sampai Pintu Air Manggarai tercatat antara 1,6 jam sampai 15,5 jam. Apabila di wilayah Ciliwung Hulu didapatkan bahwa nilai curah hujan harian lebih dari 50 mm dan curah hujan 3 harian melebihi 100 mm, maka curah hujan semacam itu dapat dikelaskan sebagai curah hujan deras yang dapat menghasilkan banjir di daerah hilimya. Hal itu berarti curah hujan yang akan terjadi di Jakarta dan sekitamya (DAS Cliwung) di masa-masa mendatang cenderung akan meningkat lebih tinggi lagi. Apabila prasarana dan sarana yang ada di wilayah Jakarta tidak dipelihara dengan baik dan ditingkatnya kinerjanya, dan pola penanganan banjir yang dilakukan tidak lebih cepat dari pola pemanfaatan ruang (pembangunan), serta Pemprov DKI Jakarta masih berpedoman hanya sebatas membantu Pemerintah Pusat, maka bisa dibayangkan bagaimana
148
kemungkinan kejadian banjir yang akan terjadi di masa yang akan datang, tentu akan lebih dahsyat lagi. Sementara itu instansi terkait yang selama ini menangani prakiraan cuara dan curah hujan, yaitu Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) temyata hanya dapat memberikan informasi untuk prakiraan cuaca dan curah hujan secara nasional dan bukan lokal. Sebagai perbandingan UP-tuk lebih jelasnya bagaimana
kapasitas
prasarana dan sarana pengendali banjir yang ada sekarang di DKI Jakarta, maka ada baik melihat dari periode musim banjir yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Pada peri ode musim banjir tahun 1996, tercatat dari arah hulu pada tanggal 6 dan 7 Januari 1996 di Stasiun Pos Pengamat Depok, Tinggi Muka Air (TMA) mencapai 435 CM (Siaga I> 350 CM). Sementara pada Pintu Air (P A) Manggarai tercatat TMA mencapai +970 CM (Siaga I > 850 CM). SeJaQgkan debit air yang ada di PA Manggarai mencapai > 500 M3/det (Max. 370 M3/det). Selanjutnya pada tanggal 10 Pebruari 1996 tercatat curah hujan di Stasiun BMG Priok, mencapai 231 mm, di stasiun BMG Kwitang tercatat 216 mm (curah hujan normal adalah 50 mmlhari) dan pada saat yang bersamaan terjadi pasang laut (Lampiran 22). Scdangkan pada periode musim banjir 2002, tercatat curah hujan dengan sifat di atas normal terjadi mulai dari hulu, tengah dan hilir DAS sebesar 100 mm sehari dan terns menerus, mulai dasarian I bulan Januari 2002 sampai dengan dasarian III bulan Pebruari 2002. (Antoro dan Fahmiza, 8 Mei 2002). Pada saat yang bersamaan air lautpun sedang pasang dengan
149
elevasi muka air laut tercatat mencapai + 1,90 M, sedangkan elevasi Master Plan Pengendalian Banjir Jakarta yang dirancang selama ini adalah 1,25 M. (Shoehoed, 2002).
Dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir pada
bulan Pebruari 2002 ini, tercatat adanya 78 titik daerah genangan di wilayah Kota Jakarta (Lampiran 23). Sementara itu dalam konteks penanggulangan bencana banjir, sarana dan prasarana penunjang untuk mengatisipasi penanggulangan bencana bahaya banjir juga masih kurang. Berdasarkan hasil obeservasi di lapangan, DPU Prov DKI Jakarta hanya. memiliki 3 buah perahu karet. Sedangkan berdasarkan hasil wawancara dijelaskan bahwa pada kunjungan Gubemur Prov DKI Jakarta dalam rangka persiapan menghadapi musim banjir 2003 ke instansi-instansi terkait yang ada di wilayah DKI Jakarta, jumlah perahu karet yang krsedia seluruhnya hanya 96 unit. Hal itu tentu tidak sebapding dengan jumlah warga yang akan ditolong dengan menggunakan
p~rahu
karet yang sangat terbatas. Sebagai
gambaran pada kasus kejadian banjir Pebruari 2002, berdasarkan hasil rekapitulasi lokasi rawan banjir di wilayah DKI Jakarta tercatat ada di 5 Wilayah Kotamadya, 38 Kecamatan, 138 Kelurahan dan 568 Rukun Warga. Sementara area yang tergenang air pada bulan Pebruari 2002 mencapai ± 16.041 ha (24,25%) yang membawa konsekuensi terjadinya arus pengungsi pada sekitar 107,140 kepala kelua,rga/384.296 jiwa (Sumber: Dinas Keamanan dan Ketertiban Prov DKI Jakarta).
150
Disamping perahu karet, perlengkapan lain yang digunakan menanggulangi
bahaya ancaman
banjir di
Jakarta
adalah
u~tuk
dengan
menyiapkan bahan banjiran berupa karung berisi pasir (80 m3/karung) yang berfungsi sebagai tanggul semantara yang membendung meluapnya aliran air sungai, apabila terjadi kebocoran pada tanggul atau terjadi tanggul jebol. Jumlah bahan banjiran yang tersedia di DPU Prov DKI Jakarta dan 5 Suku Dinas PU Wilayah Kotamadya, serta ditambah dengan milik PI-PWS-CC adalah 52.000 bh. Namun bahan banjiran inipun tidak begitu efektif dapat diandalkan untuk mengurangi banjir di Jakarta, terutama jika kejadian banjir yang akan diantisipasi adalah seperti kejadian banjir yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Dalam hal kesiapan pekerjaan pengerukan sungai untuk menghadapi kejadian banjir pada Januari 2003, volume lumpur yang bisa diangkat di berbagai lokasi berdasarkan kemampuan anggaran yang ada adalah total sebesar 204.110 m3. Bandingkan dengan proses pendangkalan sungai yang terjadi selama ini, akibat tidak terangkatnya sampah di kota Jakarta. Ratarata volume sampah sungai/sedimen perhari yang masuk ke sungai di wilayah DKI Jakarta adalah ± 1400 m3. 350m3 diantaranya dapat diangkat oleh petugas kebersihan, 650 m3 mengalir ke laut, dan sisanya
yang
mencapai 400 m3 tertinggal di a!ur sungai. Hal itu berarti dalam setahunnya sungai yang tersebar di wilayah Jakarta akan berkurang kapasitasnya untuk menampung pengaliran sungai
151
sekitar 146.900 m3. Ini mungkin masih bisa diantisipasi dengan volume pengerukan yang di lakukan oleh Pemerintah,
sep~rti
yang dilakukan pada
persiapan banjir 2003 (hila kontinyu). Akan tetapi bagaimana dengan pcrsebaran sampah sungai/sedimen sebanyak 650 m3/perhari yang terjadi di daerah muara, tidak diketahui secant pasti. Ini berarti dalam setahun pendangakan/pembendungan akibat volume sampah yang terjadi di muara akan mencapai ± 237.250. Berdasarkan kasus banjir yang terjadi pada Pebruari 1996 dan 2002, kejadian banjir besar selain diakibatkan oleh meluapnya air sungai dan curah hujan yang tinggi di hulu, tengah dan hilir, umumnya juga selalu diikuti dengan terjadinya pasang laut. Hal itu tentu akan semakin meningkatnya kejadian banjir di hilir wilayah Jakarta. Dalam konteks penanggulangan bencana banjir di Jakarta dengan sistem pembagian Aliran wilayah Barat, Tengah dan Timur, temyata baru Aliran Wilayah Tengah yang sudah memiliki prasarana dan sarana stasiun pos pengamat TMA yang terjauh berada di hulu Katulampa, sehingga aliran sungai yang akan masuk wilayah Jakarta dapat diketahui antara 6 sampai 8 jam sebelumnya. Sedangkan untuk wilayah Aliran Barat dan Timur karena prasarana dan sarana stasiun pos pengamat yang paling huJu masih terletak di wilayah Jakarta dan wilayah Depok, yaitu di Sunter Hulu untuk wilayah Timur dan di Sawangan untuk di wilayah Barat, maka prasarana dan sarana yang ada menjadi tidak efektif di dalam memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Infromasi aliran air sungai yang masuk ke wilayah Jakartd
152
har.ya dapat diketahui sekitar 1-2 jam sebelumnya. Dengan waktu yang cukup pendek tersebut sangat sulit bagi aparat di lapangan untuk menyebarluaskan informasinya secara cepat mengenai akan datangnya bahaya ancaman banjir yang memasuki wilayah Jakarta, terutama kepada masyarakat yang daerah rawan banjir. Sementara itu upaya Pemprov DKI Jakarta untuk mengendalikan banjir dengan cara yang bersifat teknis (dengan bangunan-bangunan pengendali banjir), sepertinya belum digabungkan dengan upaya yang nonteknis (tanpa bangunan-bangunan pengendalian banjir) secara terpadu dan menycluruh. Berbagai upaya non-teknis pengendalian banjir yang dapat dilakukan Pemprov DKI Jakarta, antara lain adalah pengaturan penggunaan/ pembudidayaan di dataran banjir yang menyesuaikan diri dengan adanya re~iko
tergenang banjir, prakiraan dan peringatan dini (sedang diupayakan),
penghijauan dan reboisasi, penataan ruang dan penggunaan lahan di DAS yang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air, penanggulangan banjir, sistem drainase permukiman yang berwawasan lingkungan, pengerukan, penetapan sepadan sungai, penegakan hukum, manajemen sampah padat, pengetasan kemiskinan, dan lain sebagainya. Upaya non-teknis ini sebenarnya merupakan domain masyarakat dan swasta, dengan pemerintah yang berperan besar sebagai fasilitator. Umumnya upaya ini terkait dengan wewenang instansi dan Pemerintah Daerah lain, serta melibatkan masyarakat luas. Namum
153
tampaknya upaya non-teknis ini, seperti dini!ai oleh Pemprov DKI Jakarta lebih sulit dan tidak menghasilkan income sebagaimana yang diharapkan dari program atau kegiatan pengendalian bajir secara teknis, sehingga upaya ini tidak begitu menarik bagi aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Semestinya hal ini merupakan esensi dari pengendalian banjir di wilayah Jakarta yang harusnya dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta secara terpadu dan menyeluruh, baik dengan pendekatan secara teknis maupun non-teknis serta kelembagaan, dan tidak bersifat persia! maupun sektoral. Berdasarkan hal tersebut atas, maka kecenderungan akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir dari aspek tersedianya prasarana dan sarana pengendali banjir adalah termasuk kurang. Hal itu terlihat dari kebijakan pengendalian banjir yang secara dominan ditempuh oleh Pemprov DKI Jakarta melalui pendekatan secara teknis, yaag terbukti selama ini dikenal sangat mahal dan tidak efektif dalam pengendalian banjir di Jakarta. Sementara itu, kebijakan pengendalian banjir yang cenderung memerlukan tingkat biaya lebih rendah dan ramah lingkungan, yaitu
dengan
cara-cara yang bersifat non-teknis dengan
menggunakan .pendekatan kelembagaan,
cenderung belum dijadikan
prioritas. Pemprov DKI Jakarta nampaknya cenderung tidak mau repot, apabila di dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian banjir melibatkan pihak masyarakat dan swasta. Sebaliknya, kebijakan pengendalian banjir yang
dilaksanakan
Pemprov
DKI
Jakarta
seharusnya
JUga
154
mempertimbangkan cara-cara yang bersifat non-teknis, mengingat masalah banjir di Jakarta merupakan domain antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam hal ini, Pemprov DKI Jakarta memfasilitasi
masyarakat
dan
swasta
untuk
seharusnya dapat
secara
bersama-sama
melaksanakan kebijakan pengendalian banjir di Jakarta.
5.5. Akuntabilitas Anggaran Untuk Pengendalian Banjir Anggaran yang secara khusus dialokasikan oleh
Pemprov DKI
Jakarta dalam upaya untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya di Jakarta memang merupakan kendala terbesar yang dihadapi. Selain karena biaya social-engineering yang tinggi, baik untuk pemeliharaan, pembelian dan pembangunan prasarana dan sarana pengendali banjir
serta penanggulangannya, juga dalam
setiap
proses
dalam
pelaksanaannya di lapangan terdapat efek samping di luar perhitungan dari yang direncanakan. Sebagai contoh bahwa pekerjaan pengerukkan sungai dengan volume tertentu, pada saat peket:iaan itu dilaksanakan disamping terjadi pengurangan lumpur maupun sampah di sungai, dalam waktu yang bersamaan juga berlangsung masuknya lumpur maupun sampah yang terbawa dari arah hulu. Dalam hal ini tidak hanya kesadaran masyarakat yang dituntut oleh Pemerintah untuk tidak membuang sampah ke dalam sungai, tetapi masyarakatpun berhak untuk menuntut Pemerintah agar konsisten dan
155
konsekuen serta selalu bersedia memberikan solusi terbaik atas keterlibatan masyarakat
untuk
berpartisipasi
di
dalam · pelaksanaan
kebijakan
pengendalian banjir dan penanggulangannya. Dalam hal m1 upaya pengendalian banjir secara non-teknis, seperti dengan menyediakan anggaran untuk memberikan penyuluhan atau untuk meningkatkan pengetahuan/ke'5ad!rra.t! masyarakat, sepertinya belum menjadi prioritas Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir, terutama bagi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Bandingkan dengan pendapat aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, yang mengatakan hahwa akibat sampah yang dibuang masyarakat ke dalam sungai, aliran air sungai menjadi terhambat, sehingga semakin meningkatkan kejadian banjir di bagian hilirnya. Sedangkan biaya untuk mengangkat sampah tersebut membutuhkan biaya yang sangat mahal. Namun, Pemprov DKI Jakarta pada kenyataannya, meskipun mahal tetap menganggarkan upaya pengendalian banjir yang dilakukan secara teknis tersebut setiap tahunnya. Di samping itu upaya untuk meningkatkan kesadaran Pemerintah Daerah di sekitar wilayah Jakarta yang juga merupakan institusi yang patut untuk
diminta
pertanggungjawabannya,
terutama
dampaknya
atas
pemberikan izin pemanfaatan lahan di wilayah BOPUNJUR yang kewenangannya berada di luar pada Pemprov DKI Jakarta, nampaknya juga
156
belum menjadi perhatian dari anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta. Bandingkan dengan tingkat kerugian akibat banjir yang terjadi di wilayah Jakarta setiap tahunnya. Berdasarkan laporan Japan International Corporation Agency (JICA), kerugian banjir yang dapat dihitung dengan uang setiap tahunnya di 3
~istem
aliran sungai, yaitu Cengkareng Drain,
terusan Banjir Banjir Barat dan Banjir Timur, mencapai kurang lebih Rp.400 milyar. Belum lagi yang tidak dapat dihitung dengan uang, seperti kecemasan penderitaan, dan bahkan kehilangan jiwa manusia. (Sumber : Shoehoed 2002). Selain itu bagaimana pula dengan tingkat kesadaran Pemerintah di lingkungan Pemprov DKI Jakarta sendiri yang lebih memfokuskan pada pembangunan yang bersifat fisik dengan memberikan izin atas pemanfaatan dataran banjir yang tanpa memperhatikan dampak lingkungan. Akibat pemanfaatan laban di dataran banjir di bagian hilir, kawasan itu menjadi semakin rawan terhadap banjir. Kondisi laban itu tidak berubah statusnya (tetap rawan banjir) sekalipun sudah dilengkapi dengan prasarana dan sarana pengendali banjir. Dalam konteks akuntabilitas anggaran Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir, umumnya anggaran yang dialokasikan, dipergunakan untuk pemeliharaan, pembelian, pembangunan prasarana dan sarana pengendali banjir yang cenderung lebih bersifat teknis.
157
Prasarana dan sarana ini selain dikenal sangat mahal, dan terbukti selama ini kurang efektif dan efisien, ~erta tidak ramah lingkungan dalam meng.atasi banjir di Jakarta, namun tetap diminati baik oleh sebagian besar masyarakat yang wilayahnya rawan banjir (pengetahuannya terbatas tentang banjir) dan aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta cenderung mengaminkannya. Umumnya kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangan yang dilakukan secara teknis oleh Pemprov DKI Jakarta, di tempat masyarakat tinggal (merupakan dataran banjir), selalu menghendaki wilayahnya untuk dilengkapi dengan bangunan pengendali banjir, sehingga masyarakat merasa aman dan terlindungi dari ancaman banjir, ini logis. Namun masyarkat umumnya tidak menyadari resiko yang akan tet:iadi bila prasarana dan sarana tersebut, sebenamya terbatas kapasitasnya dan pasti suatu saat akan terlampaui oleh debit banjir yang lebih besar dari yang direncanakan. Sementara itu, bagi instansi yang berwenang, meskipun upaya pengendalian banjir secara teknis tersebut, terbukti tidak dapat mangatasi banjir di Jakarta, namun umumnya aparat
lebih senang,
karena dapat
diusulkan sebagai proyek baru, dan semua tahu serta sadar bahwa adanya proyek baru berarti merupakan income bagi aparat. Untuk lebih jelasnya bagaimana sebenamya akuntabilitas anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta dalam upaya pengendalian banjir dan penanggulangannya, dapat dilihat dari rincian anggaran kebijakan optimalisasi pengendalian banjir (khusus banjir) pada Tahun Anggaran
158
2002, yaitu sebesar Rp.54.249.878.000,- (Sumber: Laporan Akuntabilitas Kinerja DPU Tahun 2002) dan Rekapitulasi Memoranda Tahun Anggaran 2003 Bidang Air dan Lingkungan DPU Prov DKI Jakarta (khusus banjir), yaitu sebesar Rp.342.169.499.665,-. Berdasarkan data yang ada dari kedua anggaran yang dialokasikan oleh Pemerintah Prov DIG
Jz,k~rta p~da
tahuan 2002 dan 2003 terscbut,
secara kasat mata, memang nampak adanya peningkatan anggaran yang dialokasikan untuk mengurangi banjir di Jakarta. Namun hal ini tidak berarti secara otomatis menunjukkan akan adanya peningkatan terhadap kinerja yang lebih signifikan terhadap akuntabilitas Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya. Biasanya, anggaran yang ada dan meningkat cukup signifikan 1m cenderung lebih bersifat politis, yaitu untuk menumbuhkan tingkat kepercayaan masyakarat kepada pemerintahnya. Hal itu dapat dibuktikan dari anggaran yang dialokasikan pada tahun 2002 sebelumnya, dimana pada kejadian banjir tahun 1996 upaya peningkatan itu tidak terjadi, sementara setelah terjadi banjir besar tahun 2002, baru anggaran itu lebih ditingkatkan lagi. Di samping itu, akuntabilitas anggaran Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir, temyata dari angka-angka yang dialokasikan untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya, sebenamya cenderung bukan merupakan anggaran yang secara riil akan
159
memberikan outcome
atas
berkurangnya daerah
rawan
banjir dan
bertambahnya kemampuan prasarana dan sarana pengendali banjir di wilayah Jakarta. Umumnya dalam setiap alokasi anggaran yang ada, didalamnya cenderung lebih memfokuskan pada sisi input dan output-nya. Artinya, seherapa besar input anggaran yang disediakan, sebesar itu pula output yang dapat dicapai (misalnya : apabila input anggaran yang ada adalah sebesar Rp.l milyar, maka output yang diltasiikan hanyaiah berupa statement yang menjelaskan "akan mengurangi terjadinya banjir"). Hal itu berarti alokasi anggaran yang ada tidak memperhitungkan beban yang harus ditanggung atas
pemanfaatan
memperhitungkan
tata
ruang
apakah
yang
output
terns tersebut
berlangsung, dapat
dan
tidak
mengantisipasi
meningkatnya debit banjir yang akan terjadi. Di samping itu, dari anggaran yang dialokasikan juga masih terdapat komponen-komponen biaya yang tidak mengarah kepada sisi outcome. Perhatikan tabel 1 berikut di bawah ini.
160
Tabell
REKAPITULASI ANGGARAN PEMPROV DKI JAKARTA .
-
DALAM KEGIATAN PENANGANAN BANJIR TAHUN 2002
No
KEGIATAN
BIAYA (DLM RIBUAN) 49.514.340
1
Anggaran Pembebasan Tanah
2
Anggaran Pembangunan fisik DPU DKI Jakarta
116.850.17
3
Anggaran Pintu Air
95.043.120
4.
Anggaran V./aduk
6.733.417
5
Anggaran Kajian dan Perencanaan
6.050.000
TOTAL BIAY A PENANGANAN
274.191194
Sumber : Bappeda Prov DKI Jakarta Umumnya anggaran yang ada dan dialokasikan setiap tahunnya oleh Pemprov DKI Jakarta untuk mengatasi banjir, seperti yang tertera pada tabel 1 di atas, masih dapat dipilah lagi ke dalam berbagai kegiatan-kegiatan yang bukan merupakan anggaran yang bersifat fisik untuk mengatasi banjir atau
outcome, misalnya program dan kegiatan yang bersifat kajian dan perencanaan dalam pengendalian banjir. Selanjutnya di dalam setiap anggaran yang berupa program dan kegiatan yang bersifat fisik juga masih dapat dipilah lagi ke dalam berbagai biaya lainnya yang bukan merupakan outcome, seperti adanya biaya proses lelang, biaya pendamping untuk unsur dinas teknis terkait, dan biaya pelaksanaan berupa adanya potongan-potongan pajak, serta berupa honor-
161
honor pelaksana yang bersifat resm1. Lebih dari itu biaya yang tidak · resmipun diperkirakan pasti _ada. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta yang menginformasikan bahwa sesungguhnya sangat sulit untuk memperoleh data-data dari Pemprov DKI Jakarta yang terkait dengan masalah kinerja, jangankan untuk orang yang berada di luar lingkungan Pemprov DKI Jakarta, untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di daiam lingk.ungan Pemprov DKI Jakarta 8endiri saja hai itu juga terjadi, apalagi ingin memperoleh data-data yang berkaitan dengan anggaran. Beruntung
rincian anggaran untuk tahun 2002 dan 2003 masih dapat
diperoleh. Hal itu menunjukkan bahwa dari sisi transparansi informasi terhadap data untuk anggaran kebijakan pengendalian banjir yang resmi dan merupakan hak publik saja, sudah sangat sulit untuk di dapat, apalagi untuk data anggaran yang bersifat tidak resmi. Seharusnya sebagai organisasi publik Pemprov DKI Jakarta dapat memberikan informasi kepada pihakpihak yang berkepentingan atas aktivitas dari kinerjanya tersebut, dan Pemerintah dalam hal ini harus dapat menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik. Nampaknya
akuntabilitas
anggaran
yang
dialokasikan
untuk
melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dan penanggulangannya di lingkungan Pemprov DKI Jakarta,
selama ini
hanya memberikan
162
pertanggungjawaban secara
v~rtikal
saja, yaitu keprrda otoritas yang lebih
tinggi, misalnya pertanggungjawaban DPU Prov DKI Jakarta kepada Pemerintah Daerah, dan pertanggungjawaban Pemcrintah Daerah kepada DPRD Prov DKI Jakarta yang belum tentu mencerminkan aspirasi dari masyarakatnya yang diwakilinya. Sementara
itu,
akuntabilitas
horisontal
yang
merupakan
pertanggungjawaban Pemprov DKI Jakarta kepada masyarakat luas tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Seharusnya tuntutan akuntabilitas horisontal lebih ditekankan oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai organisasi publik dan bukan hanya akuntabilitas vertikalnya saja. Selain
itu,
dalam
konteks
akuntabilitas
anggaran
untuk
penanggulangan bencana banjir di Jakarta, anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk prasarana dan sarana penunjang pengendalian banjir, seperti pembelian perahu karet misalnya, yang sudah diketahui sangat kurang dan tidak sebanding dengan warga masyarakat yang akan ditolong, tidak ditemukan dalam alokasi anggaran dari kedua tahun anggaran di unit organisasi yang merupakan pelaksana pengendali banjir dan genangan air , baik untuk tahun anggaran 2002 maupun tahun 2003.
Hai itu
mencerminkan bahwa anggaran untuk itu bisa saja memang tidak diusulkan oleh DPU Prov DKI Jakarta, atau mungkin juga sudah diusulkan, namun tidak disetujui oleh instansi berwenang yang terkait lainnya. Ini berarti upaya Pemprov DKI Jakarta dari sisi anggaran untuk memberi pertolongan
163
kepada masyarakat dengan perahu karet dalam penanggulangan beneana banjir, juga masih belum diprioritaskan. Lebih lanjut dalam konteks akuntabilitas anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta selama ini, jika dibandingkan dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan akibat banjir yang dikonversi dengan uang, maka akan terlihat bagaimana kontrasnya kerugian materiil maupun imateriil yang dialami oleh masyarakat yang terkena banjir, baik seeara langsung maupun tidak langsung. Pada kejadian banjir tahun I996 yang berlangsung selama 6 jam di wilayah Jakarta, kerugian akibat banjir (dalam rupiah) tersebut meneapai Rp.26, I milyar. Mungkin kerugian ini masih dinilai terlalu keeil oleh Pemprov DKI Jakarta, sehingga belum menjadi prioritas yang perlu dipertimbangkan. Namun hila dibandingkan dengan kejadian banjir pada tahun 2002, hal itu mungkin sangat berbeda. Bayangkan, akibat banjir tahun 2002 yang menimbulkan genangan selama I sampai 20 hari, dengan kedalaman genangan antara 60 s/d 80 em dan pada beberapa lokasi meneapai 600 em, dan meneakup wilayah yang lebih luas, serta merata mulai dari daerah Bekasi (Muara Sungai Citarum) s/d Kabupaten Tangerang (Sungai Cisadane), kerugian yang ditimbulkan seeara keseluruhan (dalam rupiah) meneapai Rp.9.888 triliun untuk wilayah DKI Jakarta. Sementara untuk daerah di sekitar Jakarta, berturut turut meneapai Rp.I75 miliar untuk Provinsi ·Banten dan Rp.I50 miliar untuk provinsi Jawa Barat. (Sumber: Depkinipraswil).
164
Apakah angka-angka tersebut dapat menyadarkan Pemprov DKI Jakarta dan masyarakat pada umumnya, bahwa Pemerintah sebagai penentu kebijakan sudah selayaknya memberikan anggaran yang lebih proporsional, apalagi dengan prioritas pembangunan di DKI Jakarta yang cenderung masih kurang di dalam memperhatikan dampak lingkungan. Hal itu sangat penting, mengingat setiap pilihan kebijakan yang akan diambil pemerintah sudah pasti akan berdampak pada segenab lapisan masyarakat secara keseluruhan dan bukan hanya masyarakat tertentu saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kecenderungan dari akuntabilitas anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta, masih jauh dari apa yang menjadi harapan publik. Dengan kondisi Jakarta yang 40% wilayahnya mempakan dataran banjir, sebenamya tidak ada istilah pengendalian banjir yang telah selesai. Kebijakan pengendalian banjir di Jakarta harus dilakukan dan diupayakan secara terus menerus dengan tingkat kecepatan lebih tinggi dari laju pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
5.6. Hasil Skor Nilai 4 Kriteria Akuntabilitas Berdasarkan atas analisis dari 4 kriteria akuntabilitas yang sudah ditetapkan, yaitu : melaksanakan aturan main, memiliki struktur dan proses yang jelas, memiliki prasarana dan sarana yang sesuai dengan debit banjir
165
rencana, dan memiliki anggaran yang memadai, maka hasil skor nilai dari masing-masing akuntabilitas tersebut, sebagai berikut :
Tabe12 Total Skor Nilai 4 Kriteria Akuntabilitas Yang Dicapai oleh Pemprov DKI Jakarta Dalam Kebijakan Pengendalian Banjir
No
I
Indikator yang dinilai
Kriteria
Melaksanakan aturan main
I. Melaksanakan Peraturo.n
2. Melaksanakan Hak
2
3
~
3. Melaksanakan Kewajiban 4. Akuntabilitas Kepada Masy 5. Akuntabilitas Kelembagaan dan I. Formalisasi Memiliki struktur proses yang jelas 2. Sentralisasi 3. Komleksitas 4. Profesionalitas 5. Visi, Misi, Kebijakan, Program dan Kegiatan Memiliki prasarana dan I. Sarana Pengendali Banjir sarana yang sesuai debit 2. Pekerjaan Fisik 3. Pekerjaan Pengerukan banj ir rencana Memiliki anggaran yang l. Alokasi Anggaran 2002 2. Alokasi Anggaran 2003 memadai
Nilai Capaian
2 5 2 2
Kesimpulan Hasil Penilaian 14
3
5 5 5
22
2
5 2 2 2 3
6
9
6
JUMLAH TOTAL SKOR NILAI YANG DIHASILKAN
51
Dengan demikian, karena jumlah total skor nilai yang dihasilkan oieh Pemprov DKI Jakarta berdasarkan 4 kriteria yang ditetapkan untuk menilai kinerjanya dalam kebijakan
p~ngendalian
banjir adalah sebesar 51%, maka.
sesuai dengan klasifikasi penilaian kinerja akuntabilitas tersebut, Pemprov DKI Jakarta akuntabilitasnya termasuk dalam klasifikasi Kurang.
BABVI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1. Akuntabilitas
kinerja
Pemerintah
Provinsi
DKI
jakarta
dalam
melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dari aspek aturan main, termasuk dalam klasifikasi kurang. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan Pemprov DKI Jakarta ya.'lg hanyCl. bersifat membantu Pemerintah Pusat di dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir. Disamping itu, Pemprov DKI Jakarta juga lebih cenderung untuk menyalahkan pihak lain (Pemerintah Provinsi Jawa Barat
dan
Masyarakat) sebagai kendala yang melemahkan kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pet~gendalian banjir. 2. Akuntabilitas kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir dari aspek memiliki struktur dan proses yang jelas, termasuk dalam klasifikasi baik. Hal ini dapat dilihat dari tingkat penggunaan dokumentasi tertulis yang tinggi, tingkat sentralitas yang rendah dengan adanya tingkatan yang diberikan wewenang utuk mengambil keputusan dan memiliki kompleksitas yang besar, dengan adanya banyak bagian yang secara khusus dapat diandalkan untuk mengantisipasi
pelaksanaan
kebijakan
pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya yang juga besar dan bersifat multipihak. Hal itu tentu akan menutupi kekurangan yang merupakan kendala bagi Pemprov
166
167
DKI Jakarta dari dimensi profesionalitasnya, melalui keriasama dan J
'
koordinasi yang dilakukan de-ngan unit lain yang ad(} di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. 3. Akuntabilitas
kinerja
Pemprov
DKI
Jakarta
dalam
kebijakan
pengendalian banjir dari aspek memiliki prasarana dan sarana pengendali banjir yang sesuai dengan debit banjir rencana, termasuk dalam klasifikasi kurang. Hal itu dapat dilihat dari bangunan-bangunan pengendali banjir yang kondisinya sudah lama/tua dan sudah tidak s~suai lagi dengan debit banjir rencana untuk periode ulang 25 tahunan. Sementara debit banjir terbesar yang terjadi pada bencana banjir Pebruari 2002, hanya dapat diantisipasi dengan prasarana dan sarana pengendali banjir untuk periode ulang 50 tahunan. Disamping itu kebijakan pengendalian banjir yang ditempuh Pemprov DKI Jakartl juga lebih cenderung menitikberatkan pada pendekatan secara teknis, yang terbukti selama
ini
tidak
efektif di
dalam
pengendalian
banjir
dan
penanggulangannya. 4. Akuntabilitas
kinerja
Pemprov
DKI
Jakarta
dalam
kebijakan
pengendalian banjir dari aspek memillki anggaran yang memadai untuk melaksanakan program dan kegiatan pengendalian banjir, termasuk dalam klasifikasi kurang. Hal itu dapat dilihat dari alokasi anggaran yang cenderung tidak mencerminkan outcome yang dapat mengurangi dan membatasi banjir serta akibat yang ditimbulkanya. Sementara, kejadian
108
banjir di masa mendatang diperkirakan akan cenderung terjadi dalam waktu yang lebih rapat dan lebih besar lagi. 5. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas kinerja Pemprov DKI Jakarta dalam kebijakan pengendalian banjir di Jakarta cenderung semakin lama akan semakin bertambah buruk. Hal itu dapat dilihat dari upaya yang rlilakukan Pemprov DKI Jakarta yang masih cenderung dalam
kebijakan
menggunakan pendekatan yang pengendalian
banjir
dan
bersifat teknis di
penanggulangannya.
Sementara itu penataan ruang yang selama ini diharapkan dapat membatasi atau mengurangi banjir dan dampak yang ditimbulkannya, temyata cenderung masih terns dimanfaatkan untuk pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
6.2. Saran 1. Aspek aturan main yang melingkupi akuntabilitas kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir, perlu lebih ditingkatkan lagi, khususnya dalam hal pembagian wewenang atas wilayah 13 sungai yang melintasi Kota Jakarta. Hal itu sangat penting untuk dilakukan mengingat persepsi yang muncul dari para aparat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, menjadi cenderung merasa bahwa bencana banjir yang terjadi di wilayah Jakarta adalah bukan merupakan tanggungjawabnya.
169
2. Aspek struktur dan proses yang terjadi di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, sekalipun sudah termasuk dalam klasifikasi baik akuntabilitas kinerjanya, namun masih perlu
dilakukan penyesuaian-penyesuaian,
mengingat dari aspek struktur masih terdapat kendala dari dimensi profesionalitasnya yang dapat menghambat di dalam pelaksanaan kebijakan
p~nger.dalian
banjir dan penanggulangannya. Disamping itu
dari aspek proses, program-program dan kegiatan-kegiatan optimalisasi pengendalian
banjir
yang
selama
m1
cenderung
menggunakan
pendekatan teknis saja, perlu dikombinasikan dengan pendekatan yang bersifat non-teknis dan pendekatan kelembagaan. 3. Aspek prasarana dan sarana yang disediakan Pemprov DKI Jakarta dalam melaksanakan kebijakan pengendalian banjir, perlu ditingkatkan lagi akuntabilitas kinerjanya, mengingat
kecenderungan debit banjir
rencana (periode ulang 25 tahunan) yang ada sekarang ini sudah tidak seusai lagi dengan debit banjir terbesar yang pemah terjadi pada tahun 2002. Sehingga wilayah DKI Jakarta sekarang ini membutuhkan prasarana dan sarana pengendali banjir dengan debit banjir rencana yang lebih iinggi lagi yaitu untuk periode ulang 50 t&hunan. 4. Aspek anggaran yang dialokasikan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk melaksanakan kebijakan pengendalian banjir, perlu ditingkatkan lagi akuntabilitas kinerjanya, sesuai dengan nilai aset yang akan dilindungi. Hal itu sangat penting untuk dilakukan mengingat nilai kerugian yang
170
diakibatkan oleh banjir sctiap tahunnya mencapai sebesar Rp.400 milyar (sumber : Japan International Cmporation Agency). Sedangkan bencana banjir yang terjadi pada bulan Pebruari 2002, nilai kerugian yang diakibatkan untuk wilayah Jakarta mencapai Rp.9.888 triliun (sumber Demkimpraswil ).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amsyari, Fuad (1976) Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta:Ghalian Indonesia. Arifin, Bustanul & Didik J. Rachbini (200 1) Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: Grasindo. Armstrong, Michael dan Angle Baron (1998) Performance Management. Wiltshire: The Cromwell Press. Baker, Therese L. (1994) Doing Social Research. (2nd. Ed) Singapore; McGrawHill Book Co. Blackman, Tim (1995) Urban Policy in Practice. London and New York: Routledge. Bromley, Daniel (1989) Economic Interests and Institutions. New York: Basil Blackwell. Cassel,
Catherine dan Symon Gillian (1994) Qualitative Organizational Research. London: Sage Publications.
Methods
in
Commons, John R (1968) The Legal Foundations of Capitalism. Madison: The University of Wisconsin Press. Cochran, Charles L dan Eloise F. Malone (1999) Public Policy Perspectives and Choises. New York: l\.fcgraw-Hiil Inc. Devas, Nick dan Carole Rakodi (1993) Managing Fast Growing Cities New Approaches to Urban Planning and lJanagement in The Third World. New York: Longman Scientific & Technical. Dunn, William N. (1988) Analisa Kebijaksanaan Publik. Hanindita Graha Widya; yogyakarta. Dunn, William N. (1981) Public Policy Analysis an Introduction. New Jersey: Prentice Hall International.
171
172
Dwiyanto, Agus ( 1992) Kebijksanaan Publik Proses dan Ana/isis. UGM Jurusan Ilmu Administrasi. ____, Agus, dkk. (2002) Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. UGM: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. Goldsmith, Edward & Nicholas Hildyard (1993) Dampak Sosial dan Lingkungan Bendungan Raksasa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Heffron, Florence (1989) Organization Theory and Public Organization - The Political Connection. New Jersey: Prentice. Hall International. Ilhami (1990) Strategi Pembangunan Perkotaan Di Indonesia. Surabaya : Usaha Nasional. Ilyas, Yaslis (200 1) Kiner}a Teori Penilaian dan Penelitian. UI: Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masayrakat. Irawan, Prasetya (1999) Logika dan Prosedur Penelitian. STIA-LAN Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. James L. Gibson. Ivancevich, Donnelly (1989) Organisasi, Prilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga Jilid 1 Edisi kelima. Jones, Charles 0 (1996) Pengatar Kebijo.kan Publik. Jakarta: Rajawali Pers. Korten, David C. (1993) Afenuju Abad ke-21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sinar Harapan. Lembaga Administrasi Negara dan BPKP (2000) Akuntabilitas dan Good Governance, modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Lubis, S. B. Hari dan Martani Huseini (1987) Teori Organisasi Suatu Pendekatan Makro. Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial : Universitas Indonesia. Kasim,
Azhar (1983) Pengukuran Efektivitas Dalam Organisasi. Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial.
UI: Pusat
Mardiasmo (2002) Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: ANDI. - - - - · ' (2002) Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. ANDI.
Yogyakarta:
173
Meyer, M. W. et al. (1978) Eni~ronments and Organizations. San Fransisco Mariun (1975) Asas-Asas Ilmu Pemeritahan. Yogyakarta: Fakultas Politik UGM. Murpphy, R. Kevin and Jeanette N. Cleveland (1995) Performance Appraisal. London: Sage Publications.
Sosial
Understanding
Nyoman, I. Beratha ( 1991) Pembangunan Desa Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara. Pfeffer, Jeffrey (1981) Power in Organitation. Marshfield Mass: Pitman Publishing. Rachbini, Didik J. ( 1996) Ekvnomi Politik Paradigma Teori dan Per~pektif Baru. Jakarta: CIDES. Randall,
B. Ripley Nelson.
(1985) Policy Analysis in Political Science. Chicago:
Riwu Kaho, Josef (2002) Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Siagian, Sondang P. (1986) Analisisi Serta Perumusan Kebijaksanaan dan Strategi Organisasi. Jakarta: Gunung Agung. Siagian, Sondang P. (1998) Manajemen Stratejik. Jakarta: Bumi Aksara. Smith, Gregory P. (1997) The New Leader: Bringing Creativity and Innovation to The Work Place. Kuala Lumpur: First Agency Publishing. Soehoed, A. R. (2002) Banjir Ibukota Tir.jauan Historis dan Pandangan ke Depan. Jakarta: Djambatan. Soemarwoto, Otto (1992) Indonesia Dalam Kancah Isu Lignkungan Global. Jakarta: Gramedia. Soetaryono, Retno ( 1999) Modul IV Integrated Envaironmental Management. Yogyakarta: Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Gajah Mada (PPLH-UGM). Stilwell, Frank (1995) Understanding Cities & Regions: Spatial Political Economy. Australia: Pluto Press.
174
Sunggono, Bambang (1994) Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: Sinar Grafika. Sutarto ( 1984) Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Maga University Press. The Liang Gie (ed) (1968) Kamus Administrasi. Jakarta: Gunung Agung. Thor G. G (1995) "Using Measurement to Reinforce Strategy" in H Rishner and C. Fay (eds), ThePerformance Imperative. San Francisco, Calif., Jossey Bass. Wahab, Solichin Abdul (1997) Ana/isis Kebijaksanaan dari Formulasi ke lmplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Whittaker, James B. (1996) The Govenrment Performance Results Act of 1993. Whashington DC: GAO. White D. Jay dan Adam B. Guy (1994) Research in Public Administration : Reflection on Theory and Practice. London : Sage Publications. Wibawa, Samodra (1994) Kebijakan Publik. Jakarta: Interrnedia. _ _ _, Samodra, dkk. (1994) Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Rajawali Perss. Winarno, Budi ( 1989) Teori Kabijakan Publik. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi-Studi Sosial Universitas Gajah Mada. Yudoyono, Bambang (2001) Otonomi Daerah Desentralisasi dan Pengembangan SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Zeithaml, Valarie A. A. Parasuraman & Leonard L. Berry (1990) Delivering Quality Service: Balancing Customer Percetions and Expectation. New York: The Free Press, Macmillan Inc. _ _ _, (2000) Himpunan Peraturan Tentarzg pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia (PPSML-UI). _ _ _, (2000) Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja lnstansi Pemerintah (AKIP). Jakarta: Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan, Universitas Indonesia (PPSML-UI).
175
_ _ _, (2001) Materi Perkulia~an Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Fisip UI. - - -, (2002) Penanggulangan Bencana Banjir di Propinsi DKI Jakarta.
Jakarta: Satuan Koordinasi Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Propinsi DKI Jakarta.
B. Artikel
Basnki, Rachmat Dwioao (1998) "Perancangan Sist~m Peringatan Dini Banjir Menggunakan Teknologi Mikro Elektronika", BPP Teknologi, no. LXXX, Vol. IV. Maret, hal. 17-23. Elwood, Sheila (Autumn 1993) ''Parish and Town Councils: Financial Accountability and Management", Local Govenrment Studies Vol. 19, pp. 368-386. Plumptre, T. (1981) "Prospectives on Accountability in the Public Sector", Bureau of Management Consultans, Supply and Service, Vol. 12. Suwandi, Made (2000) "Reaktualisasi Perencanaan Pembangunan Daerah (Antisipasi Pemda Mengisi Otonomi Luas)", Jurnal Pembangunan Daerah, No. 1/IV.
C. Makalah Seminar Antoro, Hendri dan Fahmiza (2002) "Sifat Hujan Bogor Periode 1995-2002 Pada DAS Ciliwung Cisadane Kaitannya Dengan Kejadian Banjir di Jakarta" Makalah dalam Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Mu!tipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta. Jakarta: Institut Pertanian Bogor dan Andersen!Prasetio Stategic Consulting, 8 Mei 2002. Kusumawijaya, Marco (2002) "Tinjauan Perspekstif Keterlibatan Publik" disampaikan dalam diskusi LP3ES, Banjir Jakarta: Penyimpangan Pemanfaatan Area Reapan Air "Masalah Tata Ruang atau Penegakan Hukum". Jakarta: 30 April 2002. Inpasihardjo, Koensatwanto (1997) "Polder Sebagai Pengendali Banjir di Jakarta: Permasalahan dan Kendala" Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-14 Persatuan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia. Jakarta: Biro Pengairan dan Irigasi BAPPENAS, 10-11 Desember 1997.
176
MRryono, Agus. (2002) "Hati-hati Dengan Mega Proyek Normalisasi Sungai Untuk Atasi Banjir Jakarta" Makalah dalam. Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu Di Era otonomi Daerah : Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta, Jakarta: IPB, 8-Mei 2002. Pawitan, Hidayat (2002) "Hidrologi DAS Ciliwung dan Andilnya Terhadap Banjir Jakart" lv!akalah dalam Lokakcrya Pf!nge!alaan DA.S Terpadu di Era Otonomi Daerah : Peningkaian Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKJ Jakarta. Jakarta: Institut Pertanian Bogor dan Andersen!Prasetio Stategic Consulting,8 Mei 2002. Safrudin, Ahmad (2002) "Melawan alam: Tinjauan Perspektif Lingkungan Hidup" Makalah dalam Diskusi Sehari Banjir Jakarta: Penyimpangan Pemanfaatan Area Resapan Air Masalah Tata Ruang atau Penegakan Hukum. Jakarta: 30 April2002. Siswoko, (2002) "Mampukah Prasarana dan Sarana Pengendali Banjir dan Sistem Drainase Membebaskan Dataran Banjir dari Ancaman Banjir dan Genangan" Makalah dalam Prosiding Peringatan Hari Air Sedunia 2002 dan Forum Air Sedunia II. Jakarta: 21 Maret 2002 Sjarief, Roestam (2002) "Kebijakan Pengelolaan Banjire di DKI Jakarta Dikaitkan dengan Regional BOPUNJlJR", Makalah dalam Diskusi Panel Krisis Air Tanah dan Antisipasi Benc.:ma Kemarau di DKI Jakarta. Jakarta:26juni2002. Tambunan, Rudi P. (2002) "Penyimpangan Pemanfaatan Area Resapan Air di DKI Jakarta dan Bopunjur: Tinjauan Permasalahan Kebijakan atau Implementasi RTRW" Makalah dalam Diskusi Sehari Banjir Jakarta: Penyimpangan Pemanfaatan Area Resapan Air Masalah Tata Ruang atau Penegakan Hukum. Jakarta: 30 April2002. Tim Advokasi Kebijakan Publik, "Banjir Jakarta : Penyimpangan Pemanfaatan Area Resapan Air, Masalah Tata Ruang atau Penegakan Hukum?" Kerangka Acuan Diskusi. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penemgan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), 17 April 2002, Tim IPB (2002) "Peningkatan Kapasitas Pengelolaan DAS Ciliwung untuk . Pengendalian Banj ir di lbukota Jakarta" Makalah dalam Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah : Peningkatan Kapasitas Multipihak dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta. Jakarta: Institut Pertanian Bogor dan Andersen!Prasetio Stategic Consulting. 8 Mei 2002.
177
D. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65. _ _ _ _ _ _ _ , Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115. , Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air. Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37.
-------
, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44.
-------
Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2005 (RUTR 2005). _ _ _ _ _ _, Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Umum Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta (RUTR 2010). _ _ _ _ _ _ _ _, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Bentuk Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Perangkat Daerah Dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi DKI Jakarta.
D. Tesis
Didin, Wahidin (2001) Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Proses Transformasi Organisasi Publik Dalam Pelaksanaan Desentralisasi Pembangunan Perkotaan. Administrasi dan Kebijakan Publik: Fisip UL Suharto, Rus (2000) Kajian Tentang Pengaruh Kepemimpian, Motivasi, dan Pola Komunikasi Terhadap Keberhasilan dan Protokol di Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. Administrasi dan Kebijakan Publik: Fisip UI.
E. Lain-lain
Provinsi DKI Jakarta, "Pidato Pertanggungjawaban Akhir Masa Jabatan Gubemur Provinsi DKI Jakrta Tahun 1997-2002", Juli 2002.
178
_ _ _ _ _ _ _ _, "Sambutan Gubemur Provinsi DKI Jakarta Pada Rapat Koordinasi Kesiapsiagaan Menghadapi Banjir", 7 Januari 2003. Laporan Akuntablitas Kinerja Dinas Pekerjaan Umum Tahun 2002.
RIWAYAT HIDUP SINGKAT PENULIS
1. DATA PRIBADI Nama Tempat Ta.1gga! Lahir Jenis Kelamin Kewarganegaraan Agama Pekerjaan
: : : : : :
Rahmat Bayangkara Jakart~. 11 Nopembei:' 1969 Laki-laki Indonesia Islam Pegawai Negeri Sipil Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta.
2. RIWAYAT PENDIDIKAN Sekolah Dasar SLTP SLTA Perguruan Tinggi
: SD Negeri 01 Pagi, Kelurahan Kedoya, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tahun 1982. : SMP Negeri 75 Jakarta, Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat, tahun 1985. : SMA Negeri 16 Jakarta, Palmerah, tahun 1988. : Sarjana Strata 1, Fisip, Hubungan Intemasional, Universitas Nasional Jakarta, tahun 1994.
3. RIWAYAT PEKERJAAN a. Staf Pimpinan Sub Keiompok Pengkaji Peneliti Sosial dan Budaya, Kantor Pengkajian Perkotaan dan Lingkungan DKI Jakarta, tahun 1996-1999. b. Staf Sub Bag Umum Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi DKI Jakarta, tahun 2000-2001. c. Staf Sub Bag Hukum dan Kepegawaian BPLHD Provinsi DKI Jakarta, sejak tahun 2002 sampai sekarang.
179
PRINS IP
PENG ENDA LIAf\I DKI JAKA RTA
D~L\.SAR
B Pif\[Jjl~
Banjir Kanal Timur !; 3
-o
@ :::l
13 \SllNGAJ YANG MASlJK KE \\'ILAYAH DKJ .JAKARTA
A
l'emerintah Dncrah Khusus Ibukota Jakarta
U
DllJAS PEKERJAAN UMUM Jl. Taman Jn:ibaru No. I Jakarta !0150
1-"
lfOI'\
·:.::~:::~f;:~.z~·:·
L a u l
1
0
J a w a
9 i 1 f
II 10 ]211m
Jolon Alttrnollp
Jolon Tot Jolon Ketelo ~ Bolo• SWS.ClllwvnoCi*odone
-
Bolo• Sub.SWS.
•
00
~k
.,
I; 3
'0
~r
.;''\•... •.,.,I
-
·-·-·-t_./
.._r''..."
'"·-·-...-..-...... _,
-.... ...... ._
QJ
SA1lJANWil.AYAH SUNGAI Pl. P'NS. CILIWUNG-CISADANE
:::J
N
SKEMA SISTEM PENGENDALIAN BANJIR DKI JAKARTA
~"\ .. X! ~;.l
iii c cv
,
::.::
gf··, 1Un·K.l~m1211 ·· llf ··
Vm
~
~=: ,~...
s - -ta ~)
"• I., I ;:- 'r~.
Jz~ l. :.: ;
G .IIC
m
~ :ac!
II
~n
=') t(!) ~~~ ~ ~-~ ~ ~
5 Sodetan Grogol -
1 ~ ~
~~ '
1
"';nanggrah:S [ 13] .
~!,
~~~
r
(!)
~
Kali Merupakan Kewenangan Pemerintah Pusat · Kali Merupakan Kewenangan Pemda DKI Jakarta Rencana Banjir Kana I Timur
17~~~·~~~~1
g;t ~ ', ,
I' ,. ;J
~
~
i,
,,
.-•
" ~ ~ ~
CD I
I
,:,: = c
C ·
~
·~ ,~
CD · l
~H
~ ~
I
.!:::
•..- n
! ffi]
•
)
'
=::;._..-., ;
~
.. ···:..I TlfJlllr ,,.,·
E.
Ill It •
:.!
"
K.T1
!I
O ':;
~ :s m
~
~
!'!. ~
;·
c
~
""' Gil
~· ~
0~
~:-:
~ -
-· ~ =""' 4)
··.._.
:s
I=~
~
i~ M .
-... ~
..
~·r
II
1!1
.L 1
:.!
~
Ill" I'J~'I!:"<"r.~~~~
~~ II
II
b; 3
"2. Ql ::3
0
Pcmcrint1h Daerah Khusus lbukota Jakarta
DINAS PEKERJAAN UMUM Jl. Tamnn Jiltibaro No. I Jnknrtn 10150
w
Lampiran: 4
SISTEM DRAINASE PENGEDALIAN BANJIR DI WILAYAH SUN GAl CILIWUNG-CISADANE BAGIAN TENGAH
1. Sistem Pengendalian Wilayah Barat 1.1. At/ain Drains 1.1.1. 1.1.2. 1.1.3. 1.1.4. 1.1.5.
Pos Pengamat Pesanggerahan (Pesanggerahan, Jaksel) PA Pondok lndah (Pes
1.2. Secondary Drains 1.2.1. 1.2.2. 1.2.3. 1.2.4. 1.2.5. 1.2.6. 1.2. 7.
PA Grogroi (Grogol Petamburan, Jakbar) P A Kalijodo (Penjaringan, Jakut) Syphon Telok Gong PA Polor (Kembangan, Jakbar) PA Flushing Kali Mookervart PA Apuran PA Bojong lndah (Cengkareng, Jakbar)
1.3. Waduk dan Pompa 1.3.1. 1.3.2. 1.3.3. 1.3.4. 1.3.5. 1.3.6. 1.3.7. 1.3.8. 1.3.9. 1.3.10.
Waduk Grogol (Grogol Petamburan, Jakbar) Waduk Tomang Barat (Grogol Petamburan, Jakbar) Waduk Rawa Kepa (Grogol Petamburan, Jakbar) Pompa Pondok Bandung (Grogol Petamburan, Jakbar) Pompa Telok Gong Waduk Jelmbar/ Wijaya Kusuma (Tambora, Jakbar) Pompa Waduk Komp. IKP~ (Pcsanggerahan, Jakscl) Waduk Komp. Hankam Slipi (Palmerah, Jakbar) Pompa Bojong Indah (Cengkareng, Jakbar) Pompa Waduk CBL/KFL
183
2. Sistem Pengendalian Wilayah Tengah 2.1. Main Drains 2. 1. 1. 2. 1.2. 2.1.3. 2.1.4. 2.1.5. 2.1.6. 2. 1. 7. 2.1.8.
Pos Pengamat Katulampa Pos Pengamat Depok PA Manggarai, Ciliwung, dan Banjir Kanal (Menteng, Jakpus) PA Karet (Tanah Abang, Jakpus) PA Istiqlal (Gambir, Jakpus) PA Tangki P A Air J embatan Merah (Sawah Besar, J akpus) PA Pekapuran
2.2. Secondary Drains 2.1.9. 2.1.10. 2.1.11. 2.1.12.
PA Kali Cideng (Gambir, Jakpus) PA Pasar Ikan (Penjaringan, Jakut) Pintu Syphon Pluit (Penjaringan, Jakut) PA Kali Duri Ledeng (Penjaringan, Jakut)
2.3. Waduk dan Pompa 2.3.1. 2.3.2. 2.3.3. 2.3.4. 2.3.5. 2.3.6. 2.3.7. 2.3.8. 2.3.9. 2.3.10. 2.3.11. 2.3.12. 2.3.13. 2.3.14. 2.3.15. 2.3.16. 2.3.17. 2.3.18.
Waduk Setiabudi Barat (Setiabudi, Jaksel) Waduk Setiabudi Timur (Setiabudi, Jaksel) Waduk ~.1elati (Tanah Abang, Jakpus) Pompa Istana (Gambir, Jakpus) Pompa Mangga Dua Abdad (Sawah Besar, Jakpus) Pompa Mangga Dua Raya (Sawah Besar, Jakpus) Waduk Pluit Barat (Penjaringan, Jakut) Pluit Timur (Penjaringan, Jakut) Pompa Bimoli Pompa Cideng (Gambir, Jakpus) Pompa Terowongan Duku Atas (Tanah Abang, Jakpus) Pompa Terowongan Manggarai (Tebet, Jaksel) Pompa Balaikota Pompa Muara Angke Pompa Ancol (Pademangan, Jakut) Pompa BPL Pluit Pompa BI Pompa Glodok (Tamansari, Jakbar)
184
3. Sistem Pengendalian Wilayah Timor 3. I. Main Drains
3.1.1 3 .1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5 3. 1. 6
PA Pulogadung (Pologadung, Jaktim) PA Sunter (Komp. Kodamar, Yos Sudarso, Jakut) PA Cakung Drain (Cakung, Jaktim) PA Rawa Badak (Koja, Jakut) Pus rengamat Sunter (Sunter hulu) Pos Pengamat Cipinang
3 .2. Seconda;y Drains
3.2.1. 3.2.2. 3.2.3. 3.2.4.
PA Ka1i Landak (Cilincing, Jakut) PA Roa l\1alaka PA Bendung Jago PA Koja
3.3. Waduk dan Pompa 3.3.1. 3.3.2. 3.3.3. 3.3.4. 3.3.5. 3.3.6. 3.3.7. 3.3.8.
Pompa Pulo Mas Pompa Sunter Utara (Kp. Bahari-Martadinata, Jakut) Pompa Terowongan 01 Panjaitan (Jatinegara, Jaktim) Pompa UPP Pompa Darurat Yos Sudarso Pompa Gaya Motor Sunter C (Jakut) Pompa Waduk Su..Titer Timur I (Jakut) Pompa Waduk Sunter Timur III (Jakut)
185
Lampiran: 5
J a w a
L a u l
;J 0
2 .. 6 6 10 12km
s
~~ 0
I c
KETEIU.'-:CAN:
l
~
Sub.Sistem Wii.Borot
;::,........
Sub.Sistem Wii.T en go
;-;,-......
Sul>.Sistem Wii.Timur
Jolon Utomo Jolon Tal Jolon Kereto f.f) i Botos Witoyoh DKI Botos Sub.SWS.
A
Gunung
•
Stosiun TMA
..... .
Daftar St.ation Pengamat T.M.A Sub.Sistim Borot No. Nom!l St.TMA
Sub.Sislim Tengoh No. Noma St.TMA
Sub.Sistim Timur No. Noma Sl.TMA
1 Sowangon
0
Bend.Kotu Lampo I
2 IKPN Bintoro
b d e
Oepok Sugu iomu P.A.Monqgaroi P.A.Korct
f
P.A.Istiqlct
J P.A.PondC'lc Pinong c
"
5
Kebon Jeruk · • Jem~
Porung
6 &joniJ
i
II
.'-. .. ) "' A G.Pcngrongo
Cipinong Hulu Sunter Hulu _
Ill P.A.Pulov
Codungl
IV P.A.Sunter
v
P.A.~·vk•.;./'9 o,..,.-~----LOKASl--ST.-ATlON--'NA----, StS'TD.t BII.OW4 TENQ}.H
7 P.A.Ce"9koreng 9 P.A.Pe·;copuron
PI.PWS. CII.JW\.JNG-CtS
186
TINGKAT KONDISI SIAGA TINGGI MUKA AIR
No I 1 2 3 4
5 6 7
00
...a
II I 2
3 4
5 6 7
Ill 1 2
3 4
5
Sub Sistem Sungai Sub Slstem Barat (Kali Pesanggrahan) Sawangan (K. Pesanggrahan) IKPN Bintaro PA. Pondok Pinang (K. Grogol) (K. Pesanggerahan) Kebon Jeruk Jebatan Parung (K. Angkc) Bojong (eengkarc.-:1g Drain) PA. eengkareng
Sub Sistem Tengah Bend. Katulampa (K. eiliwung) (K. eiliwung) Depok (K. eiliwung) Sugu Tamu PA. Manggarai (K. eiliwung) . PA. Karet (Banjir Kana!) PA. lstiqlal (eiliwung Lama) PA. Pekapuran
Sub Sistem Timur eipinang hulu Sunter Hulu PuloGadung PA K. Sunter PA eakung
(K. eipinang) (K. Sunter) (K. Sunter) (K. Sunter) (eakung Drain)
S I A GA I
> 350 em
II
250-300 em
150-250 em
Keterangan
IV
Ill
150 em 2. 3. 4. 5. 6.
> 310 em
270-310 em
190-270 em
190em
> 310 em > 350 em
240em 270-350 em
170-240 em 200-270 em
170em 200em
> 950 em > 600 em
850-950 em 550- 600 em
750-850 em 450-550 em
750em 450 em
Usulan Usulan Usulan Usulan Usulan
Baru Baru Baru Baru Baru
!
• 3. Usulan Baru -
6. Usulan Baru 7. Usulan Baru untuk pengukuran Tidal
> 250 em > 770em >400 em > 390 em
200-250 em 700-770 em 370-400 em 360-390 em
140-200 em 550- 700 em 340-370 em 270-360 em
140 em 550 em 340em 270 em
1. Usulan Baru 2. Usulan Baru
~
I
~
~
0\
TINGKAT KEGAWATAN DAN PENANGGUNG JAWAB PENGENDALIAN BANJIR WILAYAH PROPINSI DKI JAKARTA TINGKAT SlAGA I (BEN CAN A) WEWENANG GUBERNUR PROPINSI DAERAH KHUSUS ffiUKOTA JAKARTA
I KA~AII POSDEPOK
00 00
I
-
~ ~~
[2rrl IllI
[-Pr~JT(jt
-]
I swfiasuUI.u I
r_. ~!!'!~ ~~R _.I
1CENO~~N~~RAIII
~ I:+,!; I I=!I~
11Jf1
c!!J
SWili:R r;~~~o~ I Pll'ffilAIRJ
m
TINGKAT SlAG A II (BAHA YA) WEWENANG KOMANDAN UMUM
1121
~n~ IllI IllI llll
11:!:1 I l l I
TINGKAT SIAGA Ill (WASPADA) WEWENANG KOMANDAN OPERASIONAL
I l l I 11~1
IllI I l lI IllI 1121 IllI Ill I IQI
TINGKA T SlAG A IV (AMAN) PETUGAS RUMAH POMPA SELAKU PELAKSANA KENDALJ AIR, PINTU MANTRI WEWENANG
lltl I:!! I I:!!: I I:!: I I::!: I I"!=J SUMBER DPU PROV. DKI JAKRTA
11!:;;1 I
S/!'!tJ
r:-'
> ~ ......
s:
11!:1
..z
-....!
Lampira:1 : 8
FORM LAPORAN TENTANG TERJADI BENCANA BANJIR Nomor Lampi ran Perihal : Laporan Bencana Alam Sementara
I.
Bapak Direktur Jenderal Sumber Daya Air Di Jakarta
Jenis Bencana Waktu Kejadian Tempat Kejadian (I) Nama Sungai (2) Lokasi/Desa/Kec.
Sebab-sebab terjadi banjir a. b.
3.
Kepad~
Yth.
BENCANA a. b. c.
2.
Jakarta,
Sebab-sebab TMA pada peilschaal terdekat
Kerusakan dan Akibatnya a.
Luas Ge:nngan (1) Sawah (ha) (2) Pekarangan (ha) (3) Lain-lain
b. c.
Kerusakan Korban
4.
Langkah-langkah yang telah diambili sebelum terjadi bencana
5.
Tindakan Darurat yang diambil a. b. c.
Jenis Pekerjaan Biaya Bantuan lain Pemimpn Proyek PBP Cit-Cis
( .................................... )
Tembusan kepada Yth.: 1. Bpk. Direktur SDA Wilayah Tengah 2. Bpk. Kepala Dinas PU DKI Jakarta 3. Bapa Pemimpin Proyek Induk PWS-CC 4. Arsip Catatan : Dilaporkan sete1ah terjadi bencana
189
Lampiran:
9
FORM LAPORAN LENGKAP BENCANA BANJIR
Nomor Lamp iran Peri hal
I.
Jenis Bencana Waktu Kejadian Tempat Kejadian (1) Nama Sungai (2) Lokasi/Desa/Kec.
Data a. b.
3.
Yth.
BENCANA a. b. c.
2.
Laporan Bencana A!am (Laporan Lengkap)
Jakarta, Kepada Bapak Direktur Jenderal Sumber Daya Air Di Jakarta
Hydrolo~y!
Hidrometri
Sebab-sebab TMA pada peilschaal terdekat
Kerusakan dan Akibatnya a.
Curah Hujan (1) (2) (3) (4) (5)
b.
Stasiun ........................... , mm, Stasiun ........................... , mm, Stasiun ........................... , mm, Stasiun ........................... , mm, Stasiun ........................... , mm,
durasi durasi durasi durasi durasi
........................... jam ........................... jam ........................... jam ........................... jam ...........................jam
Debit Sungai
{1) Stasiun ........................... , TMA, ........................ Q = .................. m3/dt (2) Stasiun ........................... , TMA, ........................ Q = .................. m3/dt (3) Stasiun ........................... , TMA, ........................ Q = .................. m3/dt 4.
Sebab-sebab Terjadi Bencana
5.
Dampak Bencana a.
Luas, lama dan Kedalama genangan (dilampiri peta genangn) (I) Luas genangan ....................... ha, lama genangan .................jam, dan kcdalarnan genangan ................. m (2) Luas sawah yang tergenang .............. ha (3) Perrnukimnan ............... ha, terdiri dari: - Rumah ..................... buah - Prasarana urn urn lainnya .................... buah (4) Knwasan Industri .................... ha ( ................ buah pabrik) (5) Luas tegalan yang tergenang .......................... ha
b.
Lama berakhimya dampak bencana (1) Masyarakat, .............................. h:rri
190
(2) Lingkungan. .............................. hari
6.
Korban Prakiraan Peringatan Banjir a. Sistem prakiraan banjir b. Sistcm Pcringatan dini
7.
Tindakan Damrat a. Fisik b. Non Fisik
8.
Usulan Pemulihan Fisik a.
Ususlan Fisik ( 1) Rencana!Planing yang sudah ada (2) Percn~an tcknis/desain (3) Pclaksanaan
b.
Usulan Pcmbiayaan (1) APBN (2) APBD (3) Lainnya
Pemimpn Proyek PBP Cil-Cis
( .................................... )
Tembusan kepada Yth. : I. Bpk. Gubemur DKI Jakarta 2. Bpk. Bupati/Walikota 3. Bpk. Direktur SDA Wilayah Tengah 4. Bpk. Direktur PSDA 5. Bpk. Kepala Dinas PU DKI Jakarta 6. Bpk. Pcmimpin Proyck Induk PWS-CC
Catatan: ( l) Dilaporkan 7 hari setelah terjadi bencana (2) RAB usulan biaya pemulihan fisik terlampir.
191
Lamp iran : 10
STRUKTUR ORGANISASI SATGAS PBP DI LINGKUNGAN KIMPRASWIL
I
MENTER! KIMPRASWIL
I
SATGAS PENAGGUJA WAB BANJIR PUSAT Ketua I : Dirjen SDA Ketua II : Dirjen Prasarana Wilayah : Dirjen ICode Kema I!I : Dir. PPSDA Sekretaris I Sekretaris II : Dir. Bintek SDA Anggota : Dir Bintek PW dan Kodes Dir Bintek SDA, PW, Kocies
SEKRETARIAT
SATGAS PU-PBP PROVINSI/WS
I SATGAS PU-PBP KOTA I POSKO PU-PBP KECAMATAN
SATLINMAS PBP
192
Lampiran : 11
STRUKTUR ORGANISASI PBP DI LINGKUNGAN PEMPROV. DKl JAKRTA
.. SATKORLAK PBP/PROVINSI
I.
2.
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
Ketua Wakal wa:..:ali Waka Ill Waka IV Waka V Peiak Hari&n : Sekretaris Anggota
Gube~ur Prov. DKI Jakarta
I
Pangd m Jaya Kapolda Metro laya Panglima Armada Barat Pzngkop Angkatan Udara I Wagub Prov. DKI Jakarta Sekda Prov. DKI Jakarta Kadin Tramtib dan Linmas Prov. DKI Jakarta a. Unsur Vertikal/ TNI/Polri b. Unsur Pem Daerah c. Unsur Organisasi Profesi/Sosiai/Masyarakat
I TIM REAKSI CEPAT SATKORLAK
SATGASPBP SATKORLAK
I
SEKRETARIA T I
I
I
I
STAF
I
I TEKNIS I
I
SATLAK PBP/KOT AMADY A
1.
2.
3. 4. 5. 6.
7.
Ketua Wakal Waka II Waka III Pelaksana Harian Sekretaris Anggota
1 SATGAS PBP SATLAK
I
Walikotamadya Komandan Distrik Militcr Kepala Kepolisian Resort Wakil Walikota Sekretaris Kotamadya Kepala Suku Dinas Tramtib dan Linmas a. Unsur Teritorial a. Unsur Suku Dinas I Kantor b. Unsur Organisasi I Sosial/ Masyarakat
I
I SEKRETI ARIAT I
1 TIM REAKSI CEPAT SATLAK
I UNITOPS PBP KECAMATAN
SATLINMAS KELURAHAN
193
I
I STAF
I I
TEKNIS
I
STRUKTUR PENANGGUNG JAWAB PENGENDALIAN BANJIR Dl LINGKUNGAN DPU PROV. DKI JAKARTA
GUBERNUR PROV. DKI JAKRTA
KOMANDAN UMUM KADIN/\V AKADIN DPU PROV. DKI JAKARTA
1-------lllASS. TEKNIK & ADM ~--------------~
WKL. KOMANDAN UMUM KA. SUB DIN PSDA & PANTAI
KOMANDAN OPERSIONAL WILAYAH KA. SUDIN PU TAT A AIR KOTAMADYA
KOMANDAN PELAKSANA DIN AS KA. SIE PEMELIHARAAN DAN PENGEDALIAN AIR
W AKIL KOMAN DAN OPERASIONAL WILA YAH ~------
....
KA. SIE. PEMELIHAkAAN TATA AIR KOTAMADYA
KOORDINATOR PELAKSANA DINAS
KOMAN DAN PELAKSANA SDPU TATAAIR
DAN. LAK. KECAMATAN
PETUGAS LAPANGAN DIN AS
PETUGAS LAPANGAN SDPU TATA AIR
PETUGAS LAPANGAN KECAMATAN
194
Lampiran : 13
STRUKTUR HUBUNGAN KOORDINASI SATGAS PBP KIMPRASWIL & SATGAS PBP PROV DKI JAKARTA
TINGKAT PUSAT (Bencana Nasional)
ORGANISASI BAKORNAS PBP - -
- -
I I
Menteri Kimpraswil
Satgas PBP Pusat tDirjen
I PROVINSI (Siaga I)
SATKO R.LAKIGUB -
KAB/KOTA (Siaga II)
SATLAK PBP - -
KECAMATAN (Siaga Ill)
DESA (Siaga IV)
-- Satgas PBP
Pr~v
I PIPWSCC
- Satgas PBP I Bag Pro I Sub Pro
UNIT OPERASIONAL PBP- - Posko PBP Staf Proyek
SATLINMAS PBP- - -
Pokmas PBP I Staf Proyek
Keterangan : - - - - : Garis Komando : Garis Koordinasi
SUMBER DPU PROV DKI JAKARTA
195
RINCIAN ANGGARAN DAN KEGIATAN PENGENDALIAN BANJIR DPU PROPINSI DKI JAKARTATAHUN 2002
No
KEBIJAKSANAAN Optimalisasi Pengendalian Banjir di Wilayah DKI Jakarta
KEGIATAN
PROGRAM Pengembangan Sungai, Situ!Rawa dan Pengendalian Banjir
a. Pembangunan Waduk Rph KapukThp. I b. Pembangunan Waduk Halim PK c. Pembanguna:~ Crossing Rell KA Peiomll9nJtan II a. Pembangunan PA Kelapa Gadin~t
-
Perba•lan dan Pembangunan Jaringan lrigas•
10 0\
Pcrcnran:mn, PcmhanguMn, dan Pcrba1~an Sarana Dminase kola
b. Pembangun:m Waduk Kalicieres c. Nonnalisasi Saluran Bekasi Tene:ah d. Pembangunan Rumah Pompa Kali Item a. Pemeliharaan Jaringan lrie:asi 0 &. P b. J>engendalian Saluran lrjgpsi c. Pcrhaiknn Salumn lrigasi Cae:lak d. Perlengkapan Kerja 0 &. P lrie:asi a. Pcnyusunan Kegiatan Ridan2 Air Teknis 2003 b. Simulasi Bar.jir di Wilayah Aliran Barat
c. Penataan Banjir Kana! Barat
Penyediaan Lahan SDA
d. Pembangunan Pompa dan Pintu Air Jl. lndustri e. Pemb11nguna Koker Crossin!! Rei KA Pademanl!an f. Kajian Lokasi Dumping Site Pengendalian Hasil Pengerukan sungai, rawa dan waduk g Perbaikan Drainase Kali Baru Timur HEK Clti) a. Pembebasan Tanah K. Tanjungan dan Long sorage, serta K Kamal b. Pembebasan Tanah K. Krukut dan Kali Mampang
OUTPliT DANA INPUT 1,200,000,0CO Luas Waduk yang berhasil dilal-.ukan Tahap I
OliTCOI\IE Mepennudah pembangunan Y.aduk tahap berikutnya
KET 1.500 M2
Mampu menamp"ung limpah~n air IO.OOOM: saat musim hujan dari kapasitas yane: dioerkirakan I Bh 1,000,000,000 Crossing Rell KA yang dihcrhasil Mempennudah /memperl:mcar arus diban~tun I Unit (( emampuan meningkatkan daya 3,000,000,00C Pompa Air terpasang ll;lmna 1.500 M2 Kemampuan daya tampung air 688,897,000 Wnctuk yang berhasil ctiha11gun mcnine:kat 750M3 Kelancaran air pada saluran 750,000,000 Saluran yang berhasil menine:kat din01malisasikan 3 unit Pcningkatan kapasitas daya 11,058,600,000 Rurr.ah Pompa yang hcrhasil d:.ron~t dan dava hisap air kali dibangun 800M3 Menjamin kelancara arus air 400,000,00C Jumlah Jaringan lrigasi yang berhasil dioelihara I Paket Mempermud~h pengedalian 2()(1,000,000 SPiuran lrigasi yang Lerhasil saluran dikendalikan 175M3 Mcmpcrlancar a! iran air R5,1J7,00! Salman lrigasi yang l~rhasil diocrbaiki I Paket 100,000,000 Perlengkapan 0 &. P lrigasi yang Memepnnudah cara kerja disediakan l\1cnigkatakan kegaitan pcrcncaan I Paket 400,000,000 Laporan Pcnyusunan b.danl! air 2003 I Paket 1\!eingkatakan pemahaman dan 700,000,00C Terlaksananya Simul~i ketrampilan menj!hadapi bahaya baniir 400.000.000 Kawasan Banjir Kana! Barat yang Meningkatakan kewaspadaan dan I Paket rr.empennudah penangan banjir berhasil ditata 2,600,000,000 Luas Waduk yang berhasil dibangun
2,506,414,000 Pompa Air dan Pintu Air yang berhasil diban2un 826,1130,000 Koker Crossing yang ;,erhasil dib.1nt.un 600,000,000 Laporan Kaj ian
p<~da
Mcingkatnya aPJS air
I Paket
Meningkatnya aurs air
I Paket
Mcmpcnnucah penangan pcngedalian hasil Pengerukan
I Paket
3,030,000,000 Drainase yang berhasil diperbaiki Meningkatnya aurs air
s;
I paket
1,500,000,000 Pembebasan Tanah K1li dan Long Kesebatan lingkungan meningkat 9.500 M2 Storage yang berhasil dibangun 6,000,000,000 Kali yang berhasil clibcbaskan tanahnva
Meningkatnya arus air di kati
I Paket
s:: "tt
::0
)>
z
,.,......
No
KEDIJAKSANAAN
KEGIATAN
PROGRAM
Perencanaan Teknis Bargunan Air
Sarana dan Prasarana Thgkat Provinsi
c. Pembebasan Kali Banjir Kanal Timur Perencanaan Teknis Tata Air 2003 a. P.:ngadaan Dum Truck Besar I 0 Ton (5 unit) b. Pengadaan Dum Truck Kecii 4-6 Ton f 12 unit\ e. Pembanguna Koker Crossin!! Rei KA Pademanuan f. Kajian Lokasi Dumping Site Pengendalian Hasil Pengerukan sungai, rawa dan
OUTPUT DANA INPUT 12,000,000,000 Banjir Kana! Timur yar.g berhasil dibebaskan tanahnya 700,000,000 Laporan Rcncana Teknis Tata Air 2003 2,000,000,000 Tersediannya Dum TruC'k sesuai kaoaitas 2,904,000,00() Tersediannya Dum Truck scsuai kaoasi1as 826.830.000 Koker Crossing yang hcrhasil dihanl!un 600.000.000 Laporan Kajian
OUTCOME
KET
Kcmampuan mengendaliakan arus 31.000 M2 air (baniir\ I Bh Mcningkatakan dan · memeprmuadah penataan air 2003 Meperlancar pengangkutan
5 Unit
Mr.ningkatkan dan memperlancar oen11ankutan Mcningkatny1 aurs air
12Unit
Mcmpermudah penangan pengcdalian hasil Pengerukan
I Paket
I Paket
wfttlnl<
Pcnyediaan Lahan SDA
-
g Perbaikan Drainase Kali Baru Timur HEK Clti\ a. Pembebasan Tanah K. Tanjungan dan Long sorage,
3.030.000.000 Drainasc yang berhasil diperbaiki Meningkatnya aurs air 1.500.000.000 l'cmhebasan T:mah Kali dan Long Kcschatan lingkungan mcningkat Storage yang berhasil dibangun
I paket 9.500 M2
~"'rt" K K•m"l
\0
-..1
l'crcnc:'"ann Tcknis llangunan Air
Sarana dan Prasarana Tingkat Provinsi
b. Pembebasan Tanah K. Krukut dan Kali Mamnan11 c. Pembebasan Kali Banjir Ktmnl Timur Perencnnnnn Teknis Tat a Air 2003 a. Pengadaan Dum Truck Besar I0 Ton (5 unit\ b. Pengadaan Dum Truck Kecil 4-6 Ton ( 12 unit\ JUMLAH
6.000.000.000 Kali yang berhasil dibebaskan tanahnva 12.00::1.000.000 Banjir Kanal Timur yang berhasil dihc~asknn tanahnya 700.000.000 IA1Jmrnn Rencann Tckris Tnta Air 2003 2.000.000.000 Tersediannya Dum Truck sesuai kaoaitas 2.904.000.000 Tcrsediannya Dum Truck sesuai kanasitas 54,249,878,000
M~ningkatnya
arus air di kali
I Paket
Jl'.cmampuan mengendaliakan arus 31.000 M2 air (haniir) Mcningkatakan clan I Bh tll'!mcprmuadnh pen:rlaan arr 2003 Mcperlancar pengangkutan
5 Unit
Mcningkatkan dan mcmper'lancar ocnl!ankuta.l
12 Unit
RINCIAN MEMORANDA ANGGARAN PENGENDALIAN BANJIR DPU PROPINSI DKI JAKARTA TAHUN 2003
No. I
2
-
J
RINCIAN KEGIATAN
KEGIATAN Perenc:anaan Dan Kajian Prasarana, Sarana Bidang Air dan Lingkungan
I.
Perenc:anaan Teknis 2004
Penyediaan Lahan SDA
\0 00
--
I.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
----
2. 3. 4. I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. I 5. 16. 17. 18. 19. 20.
DIPDAL Perencanaan Drainase Kota Kajian Prasarana Sarana Penyusunan Kegiatan Bidang Air Teknis 2004 Kajian AMDAL Banjir Kanal Timur Kajian Sistem Tata Air blamic Center Kajian Karakteristik Banjir (Flood Forcasting) dan Early Warning Kajian dan Pendataan Hidrologi Provinsi DKI Jakarata Kajian Sistem Polder Marunda Kajian Pcncmpatan Patok Pcil Banjir 5 Wilayah Kota Penyusunan Perencanaan Pelcstarian Parkir Air Perencanaan Teknis Pengembangan Teknologi Perencanaan Tcknis Tata Air Perencanaan Teknis Pengcndalian Danjir Perencanaan Tekis Dumping Site Hasil Pcngcrukan Penertiban Banjir Kanal Darat dan Kali Angkc Pcmbcba.c;an Tanah Oanjir Knnnl Timur (Ltj) l,cncrtiban Saluran Gcdong Waduk Pluit Pembebasan Tanah Sentiong (Sunter Sclatan) Pcmbcba.c;nn Tannh Wnduk Ulujami Thp. I (l.tj) Pcmbcbnsnn Tnnah Wnduk Knli Apurnn (l.tj) Pcmbcba.c;an Tnnah Knli Tnnjungnn dan Knli Kamal (Ltj) Pcmbcbasan Tanah Waduk Suntcr hulu (Ltj) Pembebasan Saluran Phb. PIK Penggilingan (Ltj) Pcmbcba.c;an Tannh Salurnn Phb. Tcgal Amba (Ltj) Pembebasan Tanah kali Bang Lio (Ltj) Pembebasan Tanah Kali Cakung Lama (Ltj) Pembebasan Tanah Waduk Cimanggis (Ltj) Pembebasan Tanah Cilangkap (Ltj) Pembebasan Tanah Saluran Warung Jcngkol Tarace Waduk Pulo Raya Invent Kali Pcsanggrahan c.hm Wnduk Invent. Saluran Pademangan Pembcbcsan Tanah Kali Krukut dan 1nvcnt.Knli Mnrnpang Pcnertiban Kali Cipinang (Basuki R. Ngurah Rai)
\'OL 1,00 1.00 1.00 1,00 1,00 1,00 1,00 l,OO 1.00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 64 7.488
3.12 13.775 4 8.64
12 4 2.2 '3.84 7.6 8 10
3 1.00 1.00 1,00 1.39 700
SATLJAN LOKASI Paket Pakct Pnket Paket Prket PJket l'akct Paket P.1kct P:.ket Paket P.tkct Prket Pakct M2 KK M2 M2 M2 M2 M2 M2 M2 JV12 \12 M2 M2 \.-12 l'akct Pakct fakct M2 KK
DKI DKI DKI Utara DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI
u s s n
u T T B
u u T T
u s T
u s T
BESARNYA 322,000,000.00 500,000,000.0( 800,000,000.0C 200,000,000.0C 400,000,000.00 I00,000,000.00 250,000,000.00 200,000,000.00 200,000,000.00 I00,000,000.00 I ,050,000,000.00 750,000,000.00 300,000,000.00 15,000,000,000.00 50,000,000,000.00 9,360,000,000.00 2,600,000,000. 00 6,500,000,000.00 4.500,000,000.: 2, 700,000,000.0 7,000,000,000.0 ' 2,500,000,000.00 I,496,000,000.00 2,000,000,000.00 5,000,000,000.00 3,085, 775,361.00 3,800,000,000.00 ~ ?.: 2,430,000,000.00 "'0 ~0.000,000.00
200,000.000.00 I00,000,000.00 1,500,000,000.00 I,000,000,000.00
z~ ~
U"'
4
Ptngtmbangan Sungai Situ /Jbwa dan Ptngtndalian 9anjir
I.
2.
-
\0 \0
'.
'
5
Ptmeliharaan Sarana Dan Pengendalian Danji:
6
Ptningkatan Drainase Kota
Pra~arana
DIPDAL (4 Proyek) Koker Rell KA Pejompongan Saluran Nyiur Me1ambai Pompa Waduk Pluit Pompa K. Tanjungan Penambahan Pompa Wilayah Kota Jakarta Bru·at dan Perbaikan Sistem
30 200 1 1 2
3 3. Pembangunan Waduk Poglar 100 4. Pompa dan Rumah Pompa Waduk Sunter Utara 8 5. Pengadaan Pompa PPLG Kalimantan (8 Unit) 3 6. Pompa Waduk Pluit 3 7. Pintu Air Saluran IKIP (2 Unit) dan Pompa (0,75 m3/dt) 3 8. Penyel PA +Pompa Kali Tanjuangan (4 m3/dct) 44.915 9. Pembangunan Waduk dan Saluran Argo WST Cilangkap (8.953 m2) t : 4-5 m 10. Pembangunan Banjir Kana! Timur (L = 67.949 m]) t; 4-5 111 33:t.9.747 II. Pompa Wijaya Kusuma 2 12. Pompa Mangga Dua Abdad (Kap. I ,3 m3/dct) 2 13. Pompa Kapuk I 2 14. Pompa Kapuk II 2 15. Pcmasungnn Pompa Kali llcm (Kap. 0, 75 m3/dct) dan PA lll;nda Kali I llem (I x 2m2) 16. Pcnycmpurnaan Wnduk dan Pompa Kclapa Oading I I. Layanan Pembersihan Saluran Sistem AI iran Barat 39.71 2. Pemelihnraan Pompa dan Pitu Air 37 3. Op. Pompa, PA dan Perbaikan Rumah Pompa!Jaga I 4. Layanan Pemebersihan Saluran Sistem Aliran Tcngah I 5. Layanan Pcmbersihan Saluran AI iran Timur I 6. Pemeliharaan Saluran Makro/ SubMakro I I.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. I0. II. 12.
Sheet Pile dan Pengerukan Kali Angke Penyel. Sheet Pile Kali Item + Koridor Nonnalisasi Saluran Phb Islamic Center- Kali Bang Lio Penyel. Nonnalisasi Nyiur Mclan1bai Inlet IV A Saluran Tegal Amba Naonnalisasi Saluran Gcdong Wnduk Pluit Rehab Rumah jaga Depok +Turap Salurnn lnduk Cabang Tcngah Sa luran Kapuk Raya Turap Kali Jatikramat SisiBart Saluran Gunung Sahari
1.59<: 832,57 852.29 747,84 539,26 546,86 1.221.95 I 277.0R 62.0.60 716.08 380.31
lv12 M Unit Unit Unit M2 M2 Unit Unit Unit Unit M3
p
u
u
u B B
u DKI
u T
u T
631,935,606.00 391,430,644.00 4,612,414,272.00 2,543,219,478.00 2,415,000,000.00 I ,500,000,000.00 4,500,000,000.00 1,000,000,000.00 19,000,000,000.00 4,500,000,000.00 5,5CO,OOO,OOO.OO 2,000,000,000.00
M3 Unit Cnit Unit Unit Unit
DKI B
15,000,000,000.0C
p
3,200,000,000.0( I ,200,000,000.0( 1.200.000,000.0( 1.200,000,000.00
Pakct M3 Unit Pakct Pakct Pakct Pakct
lJ DKI DKI DKI DKI DKI DKI
M M M
u
M M
u u I'
p
u u u
M
T
M
u
Prkct
Jnbar
M M
lJ
rtf
T
M
p
s
2.ooo,ooo,oo~.oc
85,000,000.00 2,500,000,000.00 4,500,000,000.00 7,000,000,000.00 • 5,500,000,000.00 4,000,000,000.00 2,000,000,000.00 16,636,024,304.0'1 13,000,000,000.00 3.500,000,000.00 I ,200,000,000.00 2,000,000,000.00 I, 725,000,000.00 5,000,000,000.00 200,000,000.00 400.000.000.00 I,000.000.000.00 I,000,000,000.00 500,000,000.00
No.
7
Perbaikan Sarana Drainasc t\ul•
N
8
8
RmCIAN KEGIATAN
KEGIATAN
Penelitian dan Evaluasi Prasarana, Sarana Bidang Air Lingkungan
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. I. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. II. 12. 13. 14. 15. 16. I. 2. 3. 4. 5. 6.
- --
-~---
Phb. Penggilingan Long Storage kali Utan Kayu Penyelenggaraan Turap Tanggul Kapung Luar Batang SaluranKali Baru Bogor ffimur Dermaga Muara Angke Normalisasi Saluran Tanah Rendah Normalisasi dan Pen~erukan Kali Cipinang DIPDAL Pembangunan Sheet Pile Kali Item Pcmasangan Sheet Pile dan Pengerukan Waduk Pluit (Ltj) Pengerukan Waduk dan Saluran Phb Rawa Kepa Pengerukan Waduk Grogul Pengerukan Waduk Pulo Mas (Ltj) Pengerukan Anak Kali Ciliwung (Utara!Barat) Pengerukan Kali Cidcng Pengerukan Kali Besar/Asemka Pcngerukan Kali Krukut dan Kali Mampang Pcngerubn Kali Jelakeng Ul. Pakin s/d Waduk Pluit) Pengerukan Kali Sekretaris Pengerukan Kali Grogol Ala~ (Palmcrah) Pengerukan Waduk/LS dan Saluran Phb. Toll Scdyatmo Sisi Sd;>tan Pengeruknn Knli Citcgnl Alurfrnrajungnn +Kamal Pengcruknn Knli Duri (Batns Kodyn Jnkpus- Jakhar) Pengcrukan Kali Apuran (rlari Sumur Dor s/d ORR) Pcngerukan Kali Cakung Lama Pengerukan Kali Sunter Kresek + Saringan Pengerukan Kali Sodetan Sekrelaris dan Kali Mookervart Ata~ Pompa Mobile 200Lt/dt Cham Shaw /Gergaji Gensel 250 KV!. I. Tim uji Mutu lndepend Bidang Air 2. Evaluasi Efisiensi Pompa Pengendali Banjir 3. Evaluasi Sarana Prasarana Pengendali Banjir 4. Evaluasi Perubahan Fungsi Situ Rawa Badung 5. Updateing Sislem Data Base Bidang Air da:1 Tcknik Lingktmran JUMLAII TOTAL
--
VOL 80,72 251,65 183,74 430,28 279,11 375.20 1.020.78 I 400 11.434 11.76 31.593 34.808 59.78 31.593 24.535 28 382 18 777 31 593 9(..39 31.593 31.593 28.703 100.352 47.574 51.355 6 3 I I 00 1,00 1,00 1.00 1.00
SATuAN LOKASI T
M M M
u
M M
u
r.t
p
M Pakct M I'v'3 IV3 M3 l'v'3
T
p
T
p
u B D T
DKI
W3
I'
M3 tv'.3 I'v'3 M3 M3
B
1\AJ
M3 M3 M3 M3 M3 M3 Unit Ur.it U.1it Paket Paket Paket Pa\:et Paket
s L1
n B
u
n
B
D
u . u B DKI .DKI DKI DKI DKI DKI DKI DKI
BESAR:-1\'A 500,000,000.00 2,000,000,000.00 I,500,000,000.00 700,000,000.00 4,000,000,000.00 1,400,000,000.00 2.000,000,000.00 2,55o,OOO,OOO.OC 14,394,700,000.0( 500,000,000.0( 760,000,000.0( 2.000,000,000.0( 2,200.000,000.0C 2,5 50,000,000.00 2,000,000,000.0C I,560,000,000.0C I.800,000,000.00 I ,200,000,000.00 2,000,000,000.00 6,000,000,000.0C 2,000,000,000.0C 2,000,000,000.0C 1,820,000,000.00 4,250.000,000.00 3,250,000,000.00 3,225,000,000.00 2,500,000,000.00 15,000,000.00 55,000,000.00 300,000,000.00 300,000,000.00 300,000,000.0C 200,000,000.0C 200,000,000.0( 342,169,499,665.00
Lampiran : 16
PERLENGKAPAN SIAGA BANJIR
SDPU KELENGKAPAN
Karung Pasir
DPU
115.000
p
u
8
s
5.000
).000
5.000
7
5 11
T
PI-PWS-CC
JUML
5.000
5.000
12.000
52.000
10
3
2
7
6
-
39 35
-
I
3
I
Kendaraan: -Truck - Kijang
10 2
5
2 4
Alat Berat
2
-
-
Pompa
10
30
40
28
17
12
4
142
Perahu Karet
... .)
I
I
I
I
I
2
10
I
I
I
I
I
-
5 176
Take! HT
38
42
15
36
27
12
6
Telp/Fax
384
385
430
569
722
851
819
Petugas: _ Piket as 1
8 12
8 12
8 12
8 12
8 12
8 12
12
201
I
60 72
Lampiran : 17
DATA POMPA LAMA PERWILA YAH
STATIONER No
MOBILE
WILA\'AH
KET UNIT
M3/det
UNIT
M3/det
I
Jakarta Pusat
30
17,26
I
0,25
2
Jakarta Utara
40
93,80
I
0,25
3
Jakarta Barat
28
18,65
I
0,25
4
Jakarta Selatan
17
18,65
I
0,25
5
Jakarta Timur
12
8,61
I
0,25
6
DPU DKI JKT
-
-
10
2,55
127
156,86
15
3,75
I
DATA POMPA BARU 2002 PERWILAYAH
No
LOKASI
1
P. Ke1apa Gading
2
P. Pluit
3
P. Tanjungan
4
P. Kali Item
JMLH
KAPASITAS
TOTAL
WIL.
Unit
M3/det/unit
Kapasitas
SELESAI
u u u
2
2,00
4,00
2002
2
6,00
12,00
2003
3
4,00
12,00
2003
p
... .)
2,00
6,00
2002
2
0,75
1,50
2002
5
P. Industri
p
2
0,10
0,20
2002
6
P. Waduk Melati
p
4
1,74
6,96
2003
7
P. Tomang Barat
B
4
1,74
6,96
2003
8
P. Setia Budi Barat
2
1, II
2,22
2003
9
P. Setia Budi Timur
s s
3
1,74
5,22
2003
10
P. Bidara Cina
T
2
0,20
0,40
2002
11
P. Kebon Baru
T
4
0,20
0,80
2002
33
JUMLAH POMPA
58,26
SUMBER DPU PROV. DKI JAKRT A
202
Lampiran : 18
DAFTAR PINTU AIR PENGEDALI BANJIR No
Wil
Lokasi
Jml Unit
Th. Pemb.
Ket
p 2 Manggarai Banjir Kana! Manggarai Ciliwung I P 5 . KRret I llnit Pen!!olontor ~ Jati Baru -1 P 3 5 Jati Pin!!,gir _P_+- 8 --r6 Bendungan Jago I P 3 ~7--+-----~--~------p 3 ---- ----------Bendungan !ago II 8 Jembatan Mcrah 1 P 6 3 Unit Pen~glontor 1--::--+-:-~:-:-------- - - t. -r--------r---------'"""'---~ t--9~~1s_ti~·q~lla_I~-----------+-P___ l __T----+------------~ I0 Duri ledeng 3 1 U 1---'--t--='-"-'----'--'--......._________ . -___ t---------1 !I Sunter ' U 8 I 2 3
+=
I
-------1------
--+--------------------~
Rawa Malan_g Sungai Landak Sunter Kanan + Kiri
U
IS
Sunter Selatan
U
:~ ~~l~";~:sh;ng
r--19 20
_I
Kali Mati Pasar lkan
21
Grogol Citra Land 1-:-22__+-K~_~tl_ _____-~-
23 24 25 26
27 28 29 · 30 31
.: :. 3__+-------+--------------4 3 ---+---------+-~---------------1
U U
12 13 14
36
!
3
~ i- 4~ ·-1 - - - - - f- = = =~- =- ~-=- - - - - - i
i
!
U U
1
B
+~
~------t----------
3
I
~ B-- ~u--
__$-t_ --=--=---- __ __ i
Jembatan Dua -----:~ _ 3 1 Kali Jodo Barat B __ 2 _ _ _ _ Kali Jodo Tirimr ___i B 2 _ ------------1 Tangki 1 B I 2 Gajah Mada - - - - - - ; B _..;7-'--+---~·---------------
---=!
-=:l_s___
! ______________, t .-+~~gglontor -t----------;
Bali Matraman 2________ Minangkabau ______ ___ ~-- ____ 5 Warung Pedok J Sultan Agung - - - - 1 -<::---tr-·-~--
1---32-1-Polo Gadu~g
f--~-!--+-~~~- 31 ~--:------~=----=-=---=---
g
rT 6 ---+ ~ ---~------· ---'--_--- ---.
-+
__
--------r---------------;
Gang Kel0r _ _ _ t__l_·-+---~--+-------+----------------i Sub Jml Pintu Air Lama ..;:t-=_5_2=--+-----36 Kali ht!m -Up---- 3 ~_Ex_·T_a_ta A:. . : . :.:cir___--1 1 37 Pademangan Ex Tata Air I -Sub Jml Pmtu Air Baru ..____~t---··-Jumlah Total Pintu Air
35
±L
L---
203
I :____
Lampiran : 19
DAFTAR LOKASI POMPA PENGENDALI DAN TH PEMBUATAN
No
LOKASI
JMLH UNIT
KPSTAS (m3/dtk/unit)
p p p p p p p
4 6 2 2 7 3 3 3 6 2 8 2 4 3 4 2 6 3 2 2 3 5 6 3 3 3 I 3 3 107 2 I 2 I I 2 3 6 2 5 10
l,IU . 0,06 0,25 1,30 6,70 0,25 1,30 3,30 0,40 0,25 3,70 0,50 1,00 0,50 2,00 0,50 0,075 0,40 0,25 0,50 1,10 I, IJ 0,06 0,40 2,50 0,06 0,25 5,00 5,00
(.;5
94 96 81 86 87 94 93 7i 95 87 94 99 99 79 86 81 70 97 73 75 96 89 96 75 96 94 96 96
PI-PWS-CC PI-PWS-CC
0,50 0,50 0,10 0,25 0,25 0,50 0,25 2,50 0,50 0,25 0,25
99 99 99 99 99 99 99 99 99 99 99
Ex Tata Air Ex Tata Air Ex Tata Air Ex Tata Air Ex TataAir Ex Tata Air Ex Tata Air ExJUDP ExJUDP ExJUDP ExJUDP
Me lad Trw. Duku Atas Sumur Batu Mangga Dua Abdad Cideng lstana Merdeka Sunter Timur I Sunter Utara TelukGo:-tg GayaMotor Pluit Muara Angke Tomang Barat Grogol RawaKepa Pondok Bandung Slipi Hankam Jelambar Wijaya K. GangMacan Pinangsia Setiabudi Timur Setiabudi Barat Trw manggarai IKPN Bintaro Pulo Mas Trw. Dl Panjaitan Pom_pa Yos Sudarso Anco I Sunter Timur III Sub Jumlah Pompa Lama 30 Jati Pinggir 31 Kartini 32 Kwitang Rajawali 33 34 KapukMuara 35 Pondok Bandung II 36 BidaraCina 37 Sunter Selatan 38 Bimoli 39 Pompa Mobile SDPU 40. Pompa Mobile DPU Sub Jumlah Pompa Baru Jumlah Total Pompa '--· I 2 3 4 5 6 7 8 9 10 iI 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
I
WIL.
u u u u u B B B B B B B B
s s s s T T
u u u p p p p
u B T
u u p p
TH. BUAT
KET
-
I Unit Pglont~-
35 142
SUMBER DPU PROV. DKI JAKRTA
204
Lampiran : 20
PERSEBARAN PEGA\V AI ·· MENURUT LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
No.
1. 1 2 3 4
5 6
1 2
..
.J
4
5 6
Tingkat Pendidikan Teknik Sekolah Teknik Sekolah Tekik Menengah Dill s1 S2 S3 Jumlah Non Teknik Sekolah Dasat Sekolah Lanjutan Pertama Sekolah Lanjutan Atas Dill SI S2 Jumlah TOTAL
Jumlah 6~
555 83 144 16
5
872 259 134 425 36
99 27
980 1852
SUMBER DPU PROV. DKI JAKARTA
205
L.ampiran : 21 :.:=:.:::-:-:-: . :-: : :::: .... .
. ·.·.·.·.·.. ·.· ... ·.:..... : . : J : : :-· .. : .. : .
.· ··.L ·· : ::·r . .
.
~ .
l r
J.t
l
I i
sambaf1 -~- ._. '----. ~- - - ·: .•
:... . .. .
..
§J! ~~~AC
OdF.~~ 1::~~=~~ ~:1'-~~~~
I i
1
\•
. li ____
~~r.~:::-:: _ : _ ... ~ ___,
.
.
. ._,..
_____
.
. .·
; .. ;.;
. ......., ....____ _ _, . ................--.......................... .
206
PETA GENANGAN / BANJIR JANUARI-PEBRUARI1996 06 & 07 Januari 1996 :
1. Pos Depok 4.35 m (Siaga I > 3.50 m). 2. P.A. Manggrtr ai MAT +9.70 PP (Siaga I > 8.50 m). 3. P.A. Manggrtr ai Debit >500 m3/det (max. 370 m3/det). 10 Pebruari 1996 :
· ·KETERAN GAN
1. Curah hujan di Stasiun BMG Priok 231 mm. 2. Curah hujan di Stasiun BMG Kwitang 216 mm (Curah hujan normal 50nam/ hari). 3. Saat yang san1a terjadi pasang Iaut.
&;"
3
"0
~f
Genangan 10 Feb 96
-
D
Genangan 6 & 7 Jan 96
::I
I
0
DPU DKI JAKAR TA'
N N
PETALOKASI RAWANnAN~~/GENANGAN
[
DKIJAKARTA
-
t.oxAliii.AWAN Qt!I\"ANOAN
·--1 '1 N 0
it ·!~-··.· . ~I -~~--- : =-=~~-~~-... !I .......... ··-··"'"' --....... . ···-
00
., . . ..... -
+-
:?rt... !r.r t: .h_..... rru
. :-_;-:.-
· i ' -.:...· .:·~ ~ :~:.:::
.
,_..
+
....+.....
~""
, ...
.... .... , .... _..
~,
,,~"
.. ---
-'I!!!!!!!!
~-
-~-
••
-......
-
.
~
L
+
,./
.~~~ --· 1 .----· --- 5~
+
.I
-,
..........,.
":,..'!'•l'lllf"U>V.~ I
+
.....
-·
+
.,
IS
I5IIIIUll
I!
fliliii"---==--ltii~·
E
t=~~
I
~E:-11 :efibi:.fi
[1111:1-
l!lt- IUl~-'hi;.:-- l!if-
+ -
-;!;· · - · - -··
--=-
~~~ ~~
J.
.
-~--···-.
--
~-~~
:~
1--:c:::::... =:: ·~-~
ee;
~!::::..1.--
·~·A:. ·
~
----
:.::::-=
..
;e·~'l:l..-
=c:;:liS
(;
3
"'0
..., Q)
::::l
~
DPU DI
--~~ ·- -~ J[E;l_!J2 ~~ JAKARTA
N
w
PEMERINTAH PROPINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
DINAS PEKERJAAN UMUM Jl. Taman Jatibaru No. 1 Telp. 3803302- 3865546- 3845266 JAKARTA Kode Pos 10150
A 'T' S TTR u ~ rl.. ~
rl..l6
VJ:;'T'C'D A 1\.T~ A 1\.T ~"\..J.j ~ LJ~~rl..~...,
NOMOR
u
11~3/ ~~
I
Yang bawnda tangan cti bawal1 ini '!I..T ·~,... ·~ .&. .. l&&&&l4
l"''h"''t-"llon
JU.l.'Ut.CA11
d.engan lni menerangkan baiiwa : Nama
Rachmat Bayangkara
NPM
6901310144
Studi
llmu Administrasi
Kekhususan
Adm.inistrasi Publik Universitas Indonesia
Teiah seiesai meiaksanakan peneiitian - masaiah pengendaiian banjir di Ibukota" mulai dari tanggal 4 April 2003 sampai dengan 4 Juni 2003 di Dinas Peketjaan U .11um Propinsi DKI Jakarta. Demikian surat keterangan ini di buat untuk di pc1gunakan sebagaimana
mestinya.
Tembusan: !. Kepala DPU Prop. DKI Jakarta 2. Kepala Bagia.n Tata Usaha DPU Prop. DKI jakarta 3. Kepala Subdin PSDA & Pantai DPU Prop. DK.I Jakarta A v~ .. t .. Sul--din B;.&.U.""'a.. ..+....... ~DA np1r .... . nv1 T ... kc.w."""' .. ""' -x. ... .....".1-'u..&u. v ._, v ~ .a.vy ~ ~
.1..
.1.....'.&.~ ., ....
209