UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS BUDAYA STRATEGIS DALAM KERJA SAMA KONTRA-TEROR AS-UNI EROPA
TESIS
VITRI MAYASTUTI 1006743821
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAGISTER KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL JAKARTA 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS BUDAYA STRATEGIS DALAM KERJA SAMA KONTRA-TEROR AS-UNI EROPA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
VITRI MAYASTUTI 1006743821
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAGISTER KAJIAN TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL JAKARTA 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Walau tesis merupakan sebuah karya ilmiah, namun pada dasarnya ini juga merupakan proyek kreatif yang dimulai dengan satu ide kecil yang kemudian dipupuk dan diupayakan terus menerus dengan kerja keras dan perhatian yang dilandasi oleh cinta kasih hingga kemudian menjadi sesuatu yang berwujud. Sama halnya dengan sebuah proyek kreatif, maka tesis ini pun tak terlepas dari dukungan tim yang hebat sehingga apa yang tadinya hanya berupa corat-coret di dalam otak berubah menjadi satu tesis yang utuh. Berdasarkan kesadaran itu, maka saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dra. Dwi Ardhanariswari, M. Phil sebagai dosen pembimbing yang dengan ketelitian dan kehati-hatiannya selalu berhasil menarik saya kembali menjejak ke atas tanah setelah berkelana di alam ide yang liar. 2. Edy Prasetyono, Ph.D yang telah meluangkan waktunya untuk memeriksa dan memberi masukan yang sangat berarti bagi rancangan tesis saya. 3. Anggalia Putri yang mendorong saya sejak awal untuk lebih mendalami tentang budaya strategis sebagai alat analisis saat semuanya masih berupa ide kasar. 4. Melody Muchransyah yang telah menyempatkan diri membantu saya mencarikan bahan-bahan saat jurnal yang saya cari tak bisa ditemukan di Indonesia. 5. Sel teror saya, rekan-rekan seangkatan Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional FISIP UI 2010 yang selama ini menjadi teman diskusi yang saling menguatkan.
Selanjutnya, mengutip ucapan Winston Churchill saat pertama kali ingin membentuk pertahanan bersama Eropa pada tahun 1948, “Kita tak sedang membuat mesin, kita sedang menanam tanaman dan kita harus menunggu dan melihat sampai kita mengetahui tanaman apa ini nantinya,” saya berharap satu langkah kecil yang dimulai dari sebuah ide sederhana tentang hubungan budaya strategis dengan strategi kontra-teror ini akan semakin berkembang dan berbuah
iii Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Vitri Mayastuti Program Studi : Kajian Terorisme dalam Keamanan Internasional Judul : Analisis Budaya Strategis dalam Kerja Sama Kontra-teror AS-Uni Eropa Tesis ini berupaya mengetahui mengapa AS dan Uni Eropa mengalami kesulitan untuk melakukan kerja sama di bidang kontra-teror. Tesis ini kemudian berusaha melihat bagaimana suatu aktor keamanan menyusun strategi kontra-terornya melalui kacamata budaya strategis dan bagaimana budaya strategis yang tidak kompatibel di antara dua aktor keamanan ini akan menyulitkan mereka untuk bekerja sama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini adalah hanya ketika kedua aktor keamanan sama-sama merasa terancam identitasnya atau ketika kedua aktor keamanan sama-sama tak terancam identitasnya, maka mereka baru bisa melakukan kerja sama kontra-teror dengan lebih mulus. Kata kunci: Budaya strategis, kontra-teror, kerja sama, aktor keamanan
ABSTRACT Name Study Program Title
: Vitri Mayastuti : Terrorism in International Security Studies : Strategic Culture Analysis on US-European Union Counter-terrorism Cooperation
The purpose of this thesis is to explain why the US and European Union have difficulties to build cooperation in counter-terrorism. This thesis then tries to comprehend how a security actor builds its counter-terrorism strategy using strategic culture’s point of view and how strategic culture incompatibility would complicate these two security actors for cooperating in counter-terrorism. This research is using qualitative method and suggests that only when both security actors perceive their identity is under threat or only when both security actors don’t perceive their identity is under threat, then they can cooperate in counterterrorism more easily. Key words: Strategic culture, counter-terrorism, cooperation, security actor
vi Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………. LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………….. KATA PENGANTAR ………………………………………………....... LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………. ABSTRAK………………………………………………………………. DAFTAR ISI ……………………………………………………………. DAFTAR TABEL ………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… BAB 1 PENDAHULUAN ……………………………………………... 1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah …………………………………………........ 1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian ………………………………. 1.4 Tinjauan Pustaka ………………………………………………… 1.4.1 Kerja Sama Kontra-teror Multilateral …………………….. 1.4.2 Kerja Sama Kontra-teror AS dengan Negara-negara lain … 1.4.3 Kerja Sama Kontra-teror Uni Eropa dengan Negaranegara lain ……………………………………………........ 1.4.4 Kerja Sama Keamanan AS-Uni Eropa Di Luar Kerja Sama Kontra Teror ……………………………………....... 1.4.5 Uni Eropa Sebagai Aktor Keamanan…………………...... 1.4.6 Budaya Strategis sebagai Aspek Penting yang Memengaruhi Keputusan-keputusan Strategis …………… 1.5 Kerangka Konseptual ………………………………………........ 1.5.1 Aktivitas-aktivitas dalam Kontra-teror ………………........ 1.5.2 Budaya Strategis ………………………………………….. 1.6 Metodologi Penelitian ………………………………………....... 1.7 Asumsi Penelitian ……………………………………………….. 1.8 Sistematika Penulisan ………………………………………........ BAB 2 PERBEDAAN AS DAN UNI EROPA MENGENAI TERORISME DAN STRATEGI KONTRA-TEROR ……….……… 2.1 Pengalaman AS dan Eropa Dalam Menghadapi Terorisme ……... 2.1.1 Pengalaman AS Dalam Menghadapi Terorisme ……………. 2.1.2 Pengalaman Uni Eropa Dalam Menghadapi Terorisme ……. 2.2 Pendekatan Dalam Memandang Terorisme dan Penekanan Aktivitas Kontra-teror Pasca 11 September 2001 ………………… 2.2.1 Pendekatan Dalam Memandang Terorisme dan Penekanan Aktivitas Kontra-teror yang Dilakukan oleh AS ……………. 2.2.2 Pendekatan Dalam Memandang Terorisme dan Penekanan Aktivitas Kontra-teror yang Dilakukan oleh Uni Eropa …….. 2.3 Strategi Kontra-teror AS dan Uni Eropa ………………………… 2.3.1 Strategi Kontra-teror AS ……………………………………. 2.3.2 Strategi Kontra-teror Uni Eropa …………………………….
i ii iii v vi vii ix x 1 1 4 5 6 6 8 14 16 17 19 23 23 31 39 41 41
43 45 45 47 51 52 58 68 69 76
vii Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
BAB 3 ANALISIS BUDAYA STRATEGIS AS DAN UNI EROPA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP STRATEGI KONTRATEROR …………….…………………………………………………… 3.1 Identitas ………………………………………………………….. 3.1.1 Identitas AS ………………………………………………... 3.1.2 Identitas Uni Eropa ………………………………………… 3.2 Nilai-nilai ………………………………………………………… 3.2.1 Nilai-nilai AS ………………………………………………. 3.2.2 Nilai-nilai Uni Eropa ………………………………………. 3.3 Norma-norma ……………………………………………………. 3.3.1 Norma-norma AS …………………………………………... 3.3.2 Norma-norma Uni Eropa …………………………………... 3.4 Perceptive Lens ………………………………………………….. 3.4.1 Perceptive Lens AS ………………………………………… 3.4.2 Perceptive Lens Uni Eropa ………………………………… 3.5 Terorisme Menurut Analisis Budaya Strategis …………………... 3.5.1 Terorisme Menurut Budaya Strategis AS ………………….. 3.5.2 Terorisme Menurut Budaya Strategis Uni Eropa ………….. 3.6 Strategi dan Aktivitas Kontra-teror Menurut Analisis Budaya Strategis ………………………………………………………….. 3.6.1 Strategi dan Aktivitas Kontra-teror AS Menurut Analisis Budaya Strategis ……………………………………………. 3.6.2 Strategi dan Aktivitas Kontra-teror Uni Eropa Menurut Analisis Budaya Strategis …………………………………...
90 92 92 96 101 104 108 112 113 115 116 119 121 123 124 128 131 132 138
BAB 4 ANALISIS PENELITIAN ……………………………………. 4.1 Kerja Sama Kontra-teror AS dan Uni Eropa Menurut Analisis Budaya Strategis …………………………………………………. 4.2 Hubungan Antar Elemen Pembentuk Budaya Strategis ………….
150
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………... 5.1 Kesimpulan ………………………………………………………. 5.2 Saran ……………………………………………………………...
161 161 162
DAFTAR REFERENSI ………………………………………………..
164
150 156
viii Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Perbedaan Pendekatan dalam Melihat Terorisme Antara AS dan Uni Eropa ………………………………….
67
Perbedaan Penekanan Aktivitas Kontra-teror Antara AS dan Uni Eropa ………………………………….
68
Perbedaan Strategi Kontra-teror dan Aktivitas Kontra-teror AS dan Uni Eropa ……………………………….................
89
Tabel 3.1
Perbedaan Aspek Identitas AS dan Uni Eropa …………….
100
Tabel 3.2
Nilai-nilai AS dan Uni Eropa ………………………….......
112
Tabel 3.3
Perbedaan Norma-norma antara AS dan Uni Eropa ……….
117
Tabel 3.4
Perbedaan Perceptive Lens antara AS dan Uni Eropa ……..
123
Tabel 3.5
Perbedaan Budaya Strategis AS dan Uni Eropa di Bidang Kontra-teror ………………………………………………
147
Ketidaksesuaian Kerja Sama Kontra-teror AS dan Uni Eropa ……………………………………………………
156
Tabel 2.2 Tabel 2.3
Tabel 4.1
ix Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Letak Intelijen dalam Strategi Kontra-teror …………….
26
Gambar 1.2
Perbedaan Aktivitas Defensif dan Ofensif ……………...
28
Gambar 1.3
Input Budaya Strategis ………………………………….
38
Gambar 2.1
Strategi Operasional “Defeat” ………………………….
71
Gambar 2.2
Strategi Kontra-teror Uni Eropa ………………………..
86
Gambar 2.3
Peran Uni Eropa dan Negara Anggota Dalam Strategi Kontra-teror …………………………………………….
87
Gambar 2.4
Struktur Organisasi Operasional Kontra-teror Uni Eropa
88
Gambar 3.1
Kuadran Hard Power dan Use of Force ………………..
102
Gambar 3.2
Posisi AS dan Uni Eropa di Kuadran Hard Power dan Use of Force ……………….……………………………
111
Gambar 3.3
Tahapan Strategi Kontra-teror AS ……………………...
136
Gambar 3.4
Tahapan Strategi Kontra-teror Uni Eropa ………………
144
Gambar 4.1
Lingkaran Konsentris Elemen Pembentuk Budaya Strategis ………………………………………………...
159
Kerangka Pengaruh Budaya Strategis Terhadap Strategi Kontra-teror AS dan Uni Eropa ………………………...
160
Gambar 4.2
x Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Semenjak peristiwa 11 September, dunia menghadapi jenis ancaman baru, yaitu terorisme global. Walau terorisme telah muncul sejak lama, namun tingkat ancaman ini menjadi lebih besar karena didorong oleh globalisasi perdagangan, migrasi dan perjalanan, serta transfer informasi yang menyebabkan disparitas ekonomi dan persaingan ideologi menjadi sangat tajam dan memudahkan serangan oleh para pelaku yang memiliki pemikiran yang sama.1 Dengan demikian, negara-negara pada saat ini, ditengah derasnya arus globalisasi yang membuat kekuatannya cenderung melemah dengan munculnya aktor non-negara, ditantang untuk mampu memberikan keamanan kepada warganya terhadap jenis ancaman yang tak membedakan korbannya ini. Pendekatan dalam ilmu keamanan internasional tidak berusaha memahami apa akar penyebab terorisme, melainkan hanya memandangnya sebagai salah satu isu dalam keamanan tradisional.2 Ilmu keamanan internasional hanya membedakan aktornya,
yaitu
aktor
negara
dan
aktor
sub-negara3
dan
kemudian
mempertanyakan bagaimana peran negara dalam menanganinya melalui tindakan kontra-teror tradisional. Negara berusaha mengidentifikasi dan menahan kelompok-kelompok teror sebelum mereka berhasil melakukan aksinya atau juga disebut 1% doctrine dan cenderung pre-emptive dan apabila usaha itu gagal dan akhirnya terjadi serangan, negara mendeteksi, menahan dan akhirnya mengadili para tersangka. Selain itu negara berusaha meningkatkan keamanan dengan memberikan perlindungan kepada target-target yang dianggap vital. Selain itu, negara juga dapat melakukan pendekatan taktis dengan melakukan tindakan yang 1
Jeff Victorrof, “The Mind of Terrorist: A Review and Critique of Psychological Approach,” The Journal of Conflict Resolution 49:1 (Februari 2005), hlm. 3. 2 Baca lebih lanjut tipologi keamanan tradisional dan non-tradisional dalam Allan Collins, Contemporary Security Studies, New York: OUP, 2007. 3 Paul Rogers, “Terrorism,” dalam Paul D. Williams (ed.), Security Studies: An Introduction, Oxon: Routledge, 2008, hlm. 174.
1 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
2
lebih militeristik dan terbuka terhadap kelompok-kelompok yang diduga akan melakukan aksi teror, terutama apabila sudah diketahui lokasi fisik mereka di suatu tempat tertentu.4 Namun ternyata globalisasi memberikan tantangan tersendiri dalam masalah keamanan karena dengan globalisasi, pemisahan antara politik domestik dan internasional menjadi berkurang. Selain itu, pemisahan antara keamanan internal dan eksternal juga menjadi kabur.5 Masalah domestik bisa berubah menjadi masalah internasional atau sebaliknya. Dengan demikian, dalam menghadapi aksi teror yang semakin mengglobal pasca peristiwa 11 September, negara-negara mau tidak mau harus saling bekerja sama. Ditambah lagi, para pelaku dan jaringan mereka sudah melintasi batas negara dan pelakunya bisa saja memiliki kewarganegaraan yang berbeda dengan negara yang menjadi sasarannya. Yang menarik adalah kerja sama kontra-teror antara Uni Eropa dan AS terlihat seperti mengalami kesulitan untuk bergerak dengan mulus pada tataran pelaksanaan padahal mereka telah lama bekerja sama di berbagai bidang dan memiliki sistem politik yang sama (demokrasi Barat). Selain itu, mereka juga memiliki kesamaan karakteristik ancaman nasional seperti yang tertuang dalam US National Strategy tahun 2002 dan European Security Strategy tahun 2003, termasuk penekanan pada terorisme internasional, senjata pemusnah massal dan negara gagal. Namun walau ada tendensi kerja sama kontra-teror yang ekstensif antara Uni Eropa dan AS, dialog di antara keduanya tentang bagaimana sebaiknya menangani terorisme dan penyebabnya seperti percakapan antara orang bisu.6 Uni Eropa dan AS masih memiliki ketidaksepakatan tentang “sifat yang akurat dari ancaman teror, metode terbaik untuk mengelola ancaman ini dan akar penyebab terorisme” dan terlebih lagi mereka gagal untuk “memahami atau menerima posisi masing-masing.”7 Lebih lanjut lagi, Byman dan Shapiro mengatakan hal yang 4
Ibid., hlm. 175. Jean Marie Guehenno, “The Impact of Globalization on Strategy,” Survival. 40:4 (1998-1999), hlm. 7. 6 Jonathan Laurence, “The US-EU Counter-Terrorism Conversation: Acknowledging a Two-way Threat,” US-Europe Analysis Series 44 (Februari 2010), hlm. 3. 7 Daniel Byman dan Jeremy Shapiro, “Bridging the Transatlantic Counter-terrorism Gap,” The Washington Quarterly 29:4 (Autumn 2006), hlm. 35-50. 5
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
3
menghambat kerja sama antara AS dan Uni Eropa di antaranya preferensi AS untuk menggunakan istilah “War on Terror” dan memprioritaskan pendekatan yang militeristis.8 Bagi Uni Eropa, berperang melawan sesuatu yang abstrak adalah hal yang sulit diterima.9 Keberatan Uni Eropa ini selanjutnya tercermin dalam pernyataan Javier Solana sebagai pimpinan menteri luar negeri Uni Eropa dalam KTT Uni Eropa di Brussel pada Maret 2004 dengan berkata, “Eropa tak sedang berperang.”10 Hal lain di mana AS dan Uni Eropa memiliki ketidaksepakatan adalah metode penanganan dalam menghadapi terorisme dan landasannya.11 Laurence berkata, AS dan Uni Eropa akan terus memiliki ketidaksepakatan dalam beberapa hal, misalnya praktik-praktik yang dilakukan AS seperti extraordinary rendition, penahanan rahasia, penyiksaan, pengadilan secara adil dan targeted killing.12 Salah satu contohnya adalah masalah para tawanan warga negara Uni Eropa di Guantanamo yang mengundang sikap keras dari Uni Eropa. Masalah menjadi semakin pelik saat AS melakukan penahanan dan interogasi secara tak manusiawi di Guantanamo dan tempat-tempat lainnya yang tak memenuhi standar hukum Uni Eropa dan mengundang kritik yang pedas dari para pejabat Uni Eropa. Tony Karon di majalah Times menulis, “Sekutu pun memiliki batasnya dan negara kuat seperti AS juga masih tetap membutuhkan teman.”13 Uni Eropa juga mengkritik pendekatan AS yang tak menempatkan para tersangka teror ini sebagai tawanan perang atau pelaku tindak kriminal melainkan “kombatan yang tak sah” (unlawful combatant). Para pejabat Uni Eropa dan ahli hukum internasional berpendapat tak
8
Ibid., hlm. 43-45. Uni Eropa juga enggan menggunakan istilah “perang” karena dikhawatirkan akan mencederai kebebasan sipil dan membuat negara dalam keadaan darurat yang permanen. Ibid., hlm. 43. 10 “Explosives theft linked to Madrid bomb,” The Guardian 23 Maret 2004,
, diakses tanggal 7 Juni 2012. 11 Laurence, Op. Cit., hlm. 6. 12 Ibid. 13 Tony Karon, “Why Guantanamo Has Europe Hopping Mad,” Time, 24 Januari 2002, , diakses tanggal 19 Desember 2011. 9
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
4
ada kategori seperti itu dalam hukum internasional dan menuntut AS agar memperlakukan mereka sebagai tawanan perang atau kriminal.14 Intensi mereka untuk bekerja sama di bidang kontra-teror terus mengalami hambatan. AS memiliki pandangan bahwa Uni Eropa suka mengalah dan tak mampu atau tak bersedia untuk melakukan tindakan tegas terhadap ancaman teror.15 Sementara itu Uni Eropa beranggapan AS suka berperang, berusaha keras untuk melindungi apa pun terhadap semua ancaman yang bisa dipikirkannya dan tak ragu untuk menggunakan kekuatan militernya sebagai tanggapan terhadap provokasi yang remeh temeh sehingga menurut Uni Eropa, AS kemungkinan akan sulit memenangkan hati dan pikiran dunia Islam saat mereka menangkap dan membunuh teroris.16 Berdasarkan hal tersebut, menemukan titik temu di antara keduanya agar bekerja sama dengan baik akan menjadi sebuah tantangan tersendiri. 1.2 Perumusan Masalah Tulisan ini berupaya menemukan apa penyebab kendala dalam kerja sama kontra-teror antara Uni Eropa dan AS. Selain dianggap lebih murah dibandingkan dengan keamanan nasional karena negara-negara yang terlibat selain memiliki kepentingan yang sama yaitu melindungi warganya dari serangan teror global, kerja sama yang mereka lakukan juga membuat mereka dapat saling berbagi beban. Selain itu,
kerja sama juga dianggap bisa meningkatkan rasa saling
percaya dan predictability. Tesis ini juga akan melihat perbedaan perilaku dua aktor keamanan, yaitu AS dan Uni Eropa dalam menyusun strategi kontraterornya. Dengan demikian, pertanyaan riset yang diajukan adalah “walau ada kesamaan kepentingan, ideologi dan persepsi ancaman, mengapa AS dan Uni Eropa masih mengalami kesulitan dalam menjalankan kerja sama di bidang kontra-teror?”
14
Ibid. Byman dan Shapiro, Op. Cit., hlm. 45. 16 Ibid. 15
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
5
1.3 Tujuan dan Signifikansi Penelitian Melalui penelitian ini, penulis ingin mengetahui penyebab yang membuat kerja sama kontra-teror AS dan Uni Eropa mengalami kesulitan walau mereka sudah melakukan kerja sama di bidang keamanan sejak berpuluh tahun yang lalu. Runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya perang dingin menimbulkan pergeseran persepsi ancaman, dari yang sebelumnya ancaman tunggal berupa negara beralih menjadi ancaman dari aktor non-negara, salah satunya adalah kelompok teror global. Selanjutnya, sesuai dengan perumusan masalah yang telah diajukan di atas, maka penelitian ini ingin memahami permasalahan di atas dengan meneliti beberapa hal, yaitu:
Perbedaan sudut pandang antara AS dan Uni Eropa dalam memandang terorisme itu sendiri.
Perbedaan sudut pandang tentang terorisme itu dipengaruhi oleh budaya strategis yang dibentuk dari pengalaman, sejarah dan keyakinan.
Perbedaan budaya strategis tersebut akhirnya melahirkan strategi kontra-teror yang berbeda satu sama lain.
Selanjutnya, penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi kajian keamanan internasional dan kajian terorisme, terutama bagi mereka yang tertarik menggunakan pendekatan kultural dalam memahami bagaimana keputusan dan kebijakan suatu aktor, baik aktor negara atau non-negara dipengaruhi oleh budaya yang mereka miliki. Signifikansi penelitian ini adalah mengingat AS menganggap Uni Eropa sebagai aktor keamanan yang patut diperhitungkan, maka kesulitan yang dihadapi dalam kerja sama kontra-teror AS dan Uni Eropa dan pemahaman mengenai apa yang menjadi penyebab hambatan dalam kerja sama tersebut adalah hal yang cukup penting. Selain itu, karena terorisme global memberikan ancaman secara global pula, maka upaya untuk mengurangi atau bahkan mengeliminasi hambatan
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
6
dalam kerja sama antar negara pada akhirnya bisa menghasilkan sebuah bentuk kerja sama yang lebih mapan dan berkelanjutan. 1.4 Tinjauan Pustaka 14.1 Kerja Sama Kontra-teror Multilateral Sesaat setelah peristiwa 11 September 2001, berbagai negara mengutuk serangan tersebut dan menyatakan bahwa kerja sama antar negara dalam melawan terorisme harus diperkuat. PBB sendiri merespons dengan mengeluarkan Resolusi 1373 pada 28 September 2001 di mana terorisme dianggap sebagai “salah satu ancaman serius terhadap perdamaian dan keamanan internasional”17 dan mewajibkan negara-negara anggotanya agar membekukan aset dan para pendukungnya, tak mengizinkan mereka bepergian dan mendapatkan tempat persembunyian,
mencegah
rekrutmen
teroris
dan
pasokan
senjata
dan
meningkatkan kerja sama antar negara di bidang pertukaran informasi dan penuntutan kriminal.18 Setelah peristiwa 11 September berbagai upaya dilakukan oleh negara untuk mengembangkan respons yang lebih terkoordinasi untuk melawan terorisme, baik di tingkat regional maupun global, secara bilateral maupun multilateral. Di tingkat global, PBB bertindak sebagai pemimpin dalam menggalang kerja sama secara multilateral dengan membentuk Counter-terrorism Committee sesuai dengan mandat dari Resolusi 1373 (2001) yang tugasnya adalah membantu negara anggota untuk menerapkan langkah-langkah kontra-teror di dalam negerinya dan memonitor langkah-langkah mereka dalam melawan terorisme. Beberapa negara yang sebelum peristiwa 11 September 2001 mengabaikan masalah terorisme dalam perundangan mereka, kini diwajibkan untuk menerapkan langkah-langkah untuk mendefinisikan ancaman tersebut dan pada saat yang bersamaan membentuk basis bagi tindakan domestik yang konkret melawan terorisme dan memajukan kerja sama internasional dalam mencegah dan menekan terorisme. 17
PBB, “Security Council Unanimously Adopt Wide-ranging Anti-terrorism Resolution; Calls for Suppressing Financing, Improving International Cooperation, Resolution 1373 (2001), Also Creates Committee to Monitor implementation, 28 September 2001,” , diakses tanggal 29 November 2011. 18 Ibid.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
7
Kerja sama multilateral di bawah payung PBB ini dibahas dalam buku International Cooperation in Counter-terrorism: The United Nations and Regional Organization in the Fight Against Terrorism yang disunting oleh Giuseppe Nesi. Melalui buku ini pula, kita bisa melihat betapa pentingnya suatu negara untuk menjalin kerja sama dengan negara lainnya dalam menghadapi ancaman terorisme mengingat pelakunya bisa berasal dari berbagai negara dan beroperasi secara trans-nasional sehingga bisa saja negara yang menjadi sasaran berbeda dengan negara asal si pelaku. Dalam buku ini pula, terorisme dianggap sebagai kejahatan internasional seperti yang tercermin dalam Resolusi 1373 (2001) sehingga kerja sama multialteral yang terbentuk adalah dengan melalui penguatan badan-badan penegak hukum, baik itu kepolisian, komunitas intelijen, imigrasi dan lain sebagainya dan semua itu dilakukan sesuai dengan hukum nasional yang selaras dengan
hukum
internasional,
termasuk
norma-norma
universal
seperti
penghormatan terhadap HAM. Pentingnya kerja sama secara multilateral juga dibahas dalam buku Uniting Against Terror: Cooperative Non-military Responses to the Global Terrorist Threat yang disunting oleh David Cortright dan George A. Lopez. Namun buku ini menekankan bahwa kerja sama kontra-teror antar negara tak seharusnya hanya difokuskan pada upaya-upaya militeristik seperti yang diajukan oleh AS. Menurut Cortright dan Lopez, kerja sama non-militer atau yang juga disebut sebagai strategi kontra teror strategis merupakan langkah yang tak kalah pentingnya untuk melawan ancaman global tersebut Aspek-aspek kerja sama nonmiliter kontra-teror itu di antaranya adalah kerja sama di bidang hukum, ekonomi, politik dan militer mengingat ruang lingkup operasi organisasi teror global seperti Al-Qaeda yang begitu meluas di hampir 60 negara dan semakin terdesentralisasi dan bergerak secara mandiri.19 Buku ini selanjutnya berargumen bahwa PBB adalah organisasi yang relevan dan penting dalam melawan terorisme karena
19
David Cortright dan George A. Lopez (ed.), Uniting Against Terror: Cooperative Non-military Responses to the Global Terrorist Threat, Cambridge, Mass: MIT, 2007, hlm. 2.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
8
perannya sebagai sumber utama legitimasi politik internasional dan kewenangan legal bagi berbagai negara.20 1.4.2 Kerja Sama Kontra-teror AS dengan Negara-negara lain Tak lama setelah peristiwa 11 September 2001, para pejabat tinggi AS dalam pemerintahan Presiden George W. Bush, di antaranya Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Penasihat Keamanan Nasional Condoleezza, Jaksa Agung John Ashcroft dan Presiden Bush sendiri menggunakan istilah “War on Terror” dan kemudian diubah menjadi “Global War on Terror.”21 Bersamaan dengan itu, pemerintah AS pun merespons aksi teror tersebut dengan berbagai cara, baik cara yang bersifat militeristik maupun dengan cara-cara yang lebih lunak. C. Christine Fair dalam buku The Counter Coalitions: Cooperation with Pakistan and India, menulis tentang pentingnya koalisi kontra-teror yang dilakukan AS di kawasan Asia Selatan dengan melibatkan dua negara penting, yaitu Pakistan dan India. Bagi AS kemitraan ini sangat strategis terutama untuk mendukung operasi militernya di Afghanistan. Selain membahas tentang perkembangan bentuk kerja sama yang dilakukan AS dengan kedua negara itu, buku ini juga membicarakan tentang potensi Kashmir yang berpotensi mengganggu upaya AS untuk bekerja sama dengan Pakistan dan India. Selama ini Pakistan adalah sekutu penting bagi AS yang memberikan dukungan terhadap operasi militer AS di Afghanistan dengan menyediakan akses terhadap pangkalan, pelabuhan dan ruang udaranya. Dalam jangka panjang, tidak jelas bagaimana Islamabad bisa menjadi mitra yang aktif dalam upaya kontrateror AS karena masalah Kashmir dan India dan stabilitas di bidang sosial, ekonomi dan politik yang belum mapan.22 Selain itu, AS menganggap Pakistan sebagai ancaman karena negara itu basis operasi yang memungkinkan Al-Qaeda memiliki kekuatan yang bisa mengancam kepentingannya, baik di dalam maupun 20
Ibid. Thomas Michael McDonnell, The United States, International Law and Struggle against Terrorism, Oxon: Routledge, 2010, hlm. 36. 22 C. Christine Fair, The Counter Coalitions: Cooperation with Pakistan and India, Santa Monica: RAND, 2004, hlm. 6. 21
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
9
luar negeri.23 Fakta bahwa Pakistan menjadi basis operasi bagi Al-Qaeda mendorong AS menggunakan strategi kontra-teror yang lebih keras terhadap negara itu. Fair sendiri menulis, Islamabad tak memiliki pilihan selain mendukung AS dalam Global War on Terror atau Pakistan berisiko mengalami nasib yang sama seperti pemerintahan Taliban di Afghanistan.24 Di sisi lain, AS juga harus menjaga hubungan yang baik dengan India dan menurut Fair, India adalah sekutu jangka panjang AS di bidang kontra-teror walau selama ini nyaris tak terlalu menonjol karena tertutup oleh kerja sama AS dengan Pakistan yang berbatasan langsung dengan Afghanistan. Kerja sama kontra-teror AS-India terutama bergerak di bidang bantuan logistik dan dukungan intelijen dan menurut Fair, kerja sama kontra-teror yang lebih bersifat militeristik ini didorong bukan semata-mata karena alasan ancaman terorisme per se, namun lebih karena kepentingan strategis dalam kerja sama militer antara AS-India25 dan adanya keinginan untuk mengelola instabilitas politik di kawasan Asia Pasifik.26 Selain memiliki kerja sama militer dengan Pakistan dan India untuk menghadapi Taliban dan Al-Qaeda di Afghanistan, AS juga menggalang kerja sama dengan pemerintah Filipina untuk melawan kelompok Abu Sayyaf yang dianggap memiliki keterkaitan dengan Al-Qaeda. Tulisan Larry Niksch yang berjudul Abu Sayyaf: Target of Philippines-US Anti-Terrorism Cooperation membahas tentang keterlibatan militer AS dalam membantu pemerintahan Arroyo untuk memberantas kelompok Abu Sayyaf di selatan Filipina dan Pulau Basilan di Mindanao. Dalam tulisan ini, Niksch membahas keseriusan pemerintah AS dalam mengucurkan dana dan pasukannya dalam membantu pemerintah Filipina memerangi kelompok Abu Sayyaf sebagai imbalan terhadap dukungan Manila dalam Global War on Terror yang dilancarkan oleh AS. Dalam kerja sama militer AS-Filipina, Niksch juga membahas kesulitan yang dihadapi oleh kedua negara di lapangan, seperti beratnya medan, kurangnya perlengkapan yang dimiliki militer Filipina dan tingginya korupsi di dalam tubuh militer Filipina sendiri. 23
Ibid., hlm. 20. Ibid., hlm. 17. 25 Ibid.,hlm. 77. 26 Ibid.,hlm. 83. 24
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
10
Dalam kerja sama kontra-teror AS dan Filipina ini, Niksch membahas bagaimana militer AS terjun langsung dalam memberantas kelompok Abu Sayyaf, seperti operasi Balikatan pada tahun 2002 dan operasi di Pulau Jolo dan Mindanao Barat pada tahun 2006. Menurut Niksch kerja sama militer melawan Abu Sayyaf ini membangkitkan kembali aliansi Filipina-AS yang melemah terutama setelah penutupan pangkalan militer AS di Filipina pada tahun 1993. 27 Posisi penting Filipina di mata AS juga terlihat dari komentar Presiden Bush yang menyatakan bahwa Filipina sekutu utama di luar NATO,28 sebuah status yang membuat Filipina menerima bantuan persenjataan dan pelatihan militer dan AS. Dengan demikian, operasi militer bersama ini dinilai sukses karena berhasil menewaskan beberapa pemimpin kunci Abu Sayyaf dan melemahkan kapabilitas kelompok tersebut. Akibat kerja sama yang erat antara militer AS dan Filipina yang menyediakan pelatihan dan peralatan operasional yang lebih memadai, militer Filipina berhasil menewaskan pimpinan Abu Sayyaf, Abu Solaiman pada tahun 2007 dan berhasil mengidentifikasi mayat Kadaffy Janjalani, pimpinan puncak Abu Sayyaf yang sepertinya tertembak oleh militer Filipina dalam pertempuran di Jolo pada September 2006.29 Kerja sama militer antara AS dan Filipina dalam menghadapi Abu Sayyaf sesungguhnya bukan hal yang mengejutkan karena kedua negara itu telah lama menjalin hubungan kerja sama militer. Namun sepertinya, kerja sama kontra-teror AS dan Filipina yang lebih militeristik ini diambil karena Filipina berusaha mengambil momentum peristiwa 11 September 2001 untuk mendapatkan bantuan militer dari AS, terutama dalam bentuk persenjataan dan pelatihan untuk menghadapi kelompok-kelompok ekstrem dan AS yang berusaha memperbaiki hubungan dengan Filipina setelah ditutupnya pangkalan militer AS di Filipina pada tahun 1993.30 Pentingnya posisi Filipina bagi AS, tercermin dalam pernyataan dari Presiden Bush saat Presiden Arroyo melakukan kunjungan
27
Larry Niksch, Abu Sayyaf: Target of Philippine-US Anti-Terrorism Cooperation, Washington DC: Congressional Research Service, 2007, hlm. 14. 28 Ibid., hlm. 14. 29 Ibid., hlm. 8 30 Ibid.,hlm. 14.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
11
kenegaraan ke AS dengan mengatakan bahwa Filipina adalah sekutu yang penting di luar NATO31 dan dengan demikian memungkinkan Filipina untuk mendapatkan persenjataan dan pelatihan militer yang canggih. Selain itu, adanya hubungan antara Abu Sayyaf dan Jemaah Islamiyah yang memiliki jaringan di Asia Tenggara dan menggunakan wilayah Filipina selatan sebagai lokasi latihan dan jalur transportasi bagi teroris dan bahan peledak, membuat AS menganggap kerja sama militer dengan Filipina sebagai cara yang efektif untuk melemahkan kekuatan kelompok-kelompok teror di kawasan tersebut.32 Namun ternyata kerja sama kontra-teror AS tak hanya bersifat militeristik semata. Dalam kerja sama kontra teror AS dan Cina, misalnya, terlihat AS lebih berhati-hati untuk tidak serta merta mengirimkan pasukannya untuk membasmi kelompok teror. Bentuk kerja sama kontra teror yang lebih lunak ini dibahas dalam tulisan Anthony H. Cordesman yang berjudul US and Chinese Cooperation in Counterterrorism in the Middle East and Central Asia: Finding Ways to Move Forward. Dalam tulisan ini, Cordesman menyoroti betapa pentingnya Cina sebagai mitra untuk bekerja sama di bidang kontra-teror untuk menangkal kelompok-kelompok teror di daerah Asia Tengah dan Asia Selatan. Hal ini tercermin dari laporan tahunan Departemen Luar Negeri AS mengenai terorisme pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa letak geografis Cina yang strategis dan komitmen negara tersebut dalam memerangi terorisme membuat AS berkepentingan untuk menjalin kerja sama dengan negara tersebut.33 Cordesman selanjutnya memaparkan bentuk-bentuk kerja sama seperti apa saja yang selama ini dikembangkan oleh AS dan Cina. Bentuk kerja sama itu diantaranya kerja sama di bidang intelijen, kerja sama di bidang diplomasi, bantuan ekonomi sebagai bagian dari strategi kontra-teror dan kerja sama untuk melawan terorisme maritim34 dan dengan demikian pendekatan yang digunakan oleh AS bisa dibilang lebih lunak dibandingkan negara-negara lain. Namun
31
Ibid. Ibid., hlm. 15. 33 Anthony H. Cordesman, US and Chinese Cooperation in Counterterrorism in the Middle East and Central Asia, Washington, DC: CSIS, 2011, hlm. 7. 34 Ibid., hlm. 20-26. 32
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
12
demikian Cordesman berpendapat, walau seruan untuk mengadakan kerja sama di bidang kontra-terorisme adalah hal yang mudah, mewujudkannya jauh lebih sulit. AS dan Cina memiliki banyak alasan untuk bekerja sama di bidang kontra-teror, namun keduanya memiliki sistem politik dan nilai-nilai yang berbeda. Selain itu, mereka juga memiliki perbedaan persepsi ancaman mengenai terorisme.Walau demikian, Cordesman menyimpulkan bahwa AS dan Cina masih sepakat mengenai beberapa aspek yang dianggap sebagai ancaman terorisme. 35 AS juga mengakui bahwa Cina menghadapi ancaman terorisme internal dan eksternal, seperti ancaman teroris dari negara-negara di Asia Tengah, negara-negara lainnya di sepanjang perbatasan Cina, ancaman dalam bentuk pembajakan di sepanjang jalur perdagangan Cina dan ancaman terorisme yang sama di Timur Tengah seperti yang dialami oleh AS.36 Yang menarik Cordesman juga berkata, walau AS dan Cina memiliki pandangan yang berbeda mengenai Uighur dalam beberapa aspek, namun AS juga mengakui skala umum ancaman terorisme terhadap Cina di daerah itu dan menggolongkan beberapa aktivitas yang terjadi di Uighur sebagai aksi terorisme.37 Kerja sama kontra-teror yang cenderung lebih lunak yang dilakukan oleh AS tak lain disebabkan oleh sifat hubungan antara AS dan Cina yang lebih diwarnai dengan persaingan. Walau dalam berbagai bidang lainnya, seperti misalnya di bidang ekonomi, kedua negara ini bersaing, namun dalam hal ini mereka menghadapi ancaman yang sama, yaitu ancaman terorisme sehingga mereka menganggap penting untuk bekerja sama di bidang-bidang di mana mereka tidak bersaing, seperti misalnya di bidang intelijen, pengetatan aturan tentang pendanaan teror dan kerja sama dalam mencegah terorisme maritim. Kerja sama di bidang-bidang tersebut selanjutnya diharapkan akan membangun rasa saling percaya di antara kedua negara. Selain itu, AS dan Cina juga memiliki kepentingan yang sama, yaitu menjamin keamanan rakyatnya dan infrastrukturnya dari ancaman terorisme. Kerja sama ini juga terbentuk karena kepentingan
35
Ibid., hlm. 5. Ibid. 37 Ibid., hlm. 5-6. 36
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
13
bersama, yaitu jaminan pasokan energi yang sangat vital bagi perekonomian mereka.38 Bentuk kerja sama yang lebih lunak tak hanya dilakukan AS dengan Cina. Hal yang sama juga dilakukan AS dengan Arab Saudi. Dalam laporan yang disusun oleh Government Accountability Office (GAO) pada September 2009 yang berjudul US Agencies Report Progress Countering Terrorism and Its Financing in Saudi Arabia, but Continued Focus on Counter Terrorism Financing Efforts Needed memperlihatkan bidang-bidang kerja sama apa saja yang dilakukan oleh kedua negara dan apa tantangan yang masih harus dihadapi oleh pemerintah Arab Saudi dalam upaya kontra-terornya. Dalam temuan badan ini, strategi pemerintah AS untuk bekerja sama dengan Arab Saudi di bidang kontra-teror menggunakan hubungan diplomatik dan kerja sama keamanan yang sudah ada untuk membentuk koalisi kontra-teror yang aktif dengan memperkuat kemampuan pemerintah Arab Saudi untuk melawan terorisme dan mencegah dukungan dana ke kelompokkelompok ekstrem.39 Tujuan tersebut tertuang dalam Mission Strategic Plans (MSP) Departemen Luar Negeri AS dari tahun 2006 hingga tahun 2009. MSP berisi tentang beberapa bidang kerja sama yang dilakukan pemerintah AS dengan Arab Saudi yang lebih difokuskan pada pemberian pelatihan kepada pemerintah Arab Saudi, terutama untuk meningkatkan kapabilitas investigasi badan-badan penegak hukum,40 memperkuat institusi keuangan Arab Saudi dan mengawasi penerapan regulasi yang berhubungan dengan kontra-teror.41 Selanjutnya, walau pemerintah AS melihat kemajuan yang telah dilakukan oleh Arab Saudi untuk mencegah pendanaan teror, namun pemerintah AS masih mengkhawatirkan kemampuan warga negara Arab Saudi dan organisasi amal yang masih bisa mendukung terorisme di luar Arab Saudi. GAO juga menyampaikan bahwa pemerintah AS menganggap kemampuan penegakan hukum pemerintah Arab Saudi masih terbatas dan melihat peran kurir dalam 38
Ibid., hlm. 9. U.S. Government Accountability Office, US Agencies Report Progress Countering Terrorism and Its Financing in Saudi Arabia, but Continued Focus on Counter Terrorism Financing Efforts Needed, Washington, DC: U.S. Government Accountability Office, 2009, hlm. i. 40 Ibid., hlm. 10. 41 Ibid., hlm. i. 39
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
14
membawa dana yang dibutuhkan oleh kelompok teror sebagai tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah Arab Saudi untuk mencegah pendanaan teror42 sehingga dengan demikian pemerintah AS memandang kerja sama di antara keduanya masih harus terus dilanjutkan. AS merasa kerja sama kontra-teror dengan Arab Saudi adalah hal yang penting karena AS memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap minyak dari Arab Saudi.43 Beberapa serangan ke instalasi minyak di Saudi Arabia dianggap mengancam kepentingan AS di negara tersebut. Oleh karena itulah penekanan kerja sama kontra-teror di antara kedua negara lebih difokuskan pada pengetatan pendanaan teror agar aktivitas kelompok teror melemah.44 1.4.3 Kerja Sama Kontra-teror Uni Eropa dengan Negara-negara lain Saat kabar serangan teroris terjadi di New York dan Washington DC sampai ke Eropa, reaksi yang diberikan Uni Eropa terjadi dengan cepat. Para 11 September 2001, troika kebijakan luar negeri Uni Eropa yang terdiri dari menteri luar negeri yang menjabat sebagai presiden Foreign Affairs Council di Council of European Union, European Commission dan perwakilan Common Foreign and Security Policy (CFSP) yang diwakili oleh Javier Solana, menyampaikan duka yang mendalam dan berjanji akan mendukung AS.45 Pernyataan Uni Eropa tersebut menunjukkan bahwa organisasi supranasional tersebut memberikan reaksi yang cepat, pesan yang disampaikan menyentuh dan sekali lagi Eropa berbicara dalam satu suara.46 Reaksi Uni Eropa terhadap terorisme yang menganggapnya sebagai kejahatan luar biasa sehingga diperlukan penguatan badan-badan hukum, penegakan hukum dan perundangan dan penghormatan terhadap HAM sesuai Resolusi PBB 1373 (2001) selanjutnya mendasari beberapa hal yang dilakukan organisasi tersebut
42
Ibid., hlm. 26. Ibid., hlm. 20. 44 Ibid., hlm 9. 45 John Peterson, “Europe, America and 11 September,” Irish Studies in International Affairs 13 (2002), hlm. 26. 46 Gareth Harding, “Europe stands united to support US,” European Voice 13-19 September 2001, hlm. 23. 43
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
15
untuk mengembangkan kerja sama dengan berbagai pihak. Dalam tulisan Frank Umbach (2004) yang berjudul EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Beginning of the 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism menunjukkan bahwa Uni Eropa menganggap serius untuk bekerja sama dengan organisasi regional lainnya, seperti misalnya ASEAN. Menurut Umbach, kerja sama Uni Eropa dan ASEAN memiliki makna yang strategis dan mencerminkan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keamanan.47 Dalam kerja sama antar regional ini juga terlihat preferensi Uni Eropa yang lebih memfokuskan kerja sama kontra-teror dengan menghormati HAM, good governance, memperkuat badan penegak hukum dan memandang upaya kontra-teror sebagai bagian dari konsep comprehensive security.48 Pendekatan yang sama juga terlihat dalam kerja sama antara Uni Eropa dengan negara-negara di kawasan Maghreb seperti Aljazair, Tunisia dan Maroko. Untuk mencegah terjadinya spill over ancaman terorisme dari kawasan Maghreb ke negara-negara Eropa, Uni Eropa mengembangkan kerja sama dengan negaranegara di kawasan tersebut di bidang reformasi peradilan, kepolisian, sistem penjara dan keamanan perbatasan. Menurut Lisa Watanabe dalam EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for a More Comprehensive Approach, kerja sama kontra-teror antara kedua kawasan ini berada dalam kerangka yang disebut sebagai European Neighboorhod Policy (ENP) yang bertujuan untuk memajukan nilai-nilai umum seperti penegakan hukum, good governance, penghormatan terhadap HAM dan hubungan bertetangga yang baik.49 Dengan demikian, bentuk kerja sama kontra-teror yang dilakukan antara Uni Eropa dan negara-negara Maghreb ini pun lebih bersifat legal institusional di mana Uni Eropa berperan untuk membantu negara-negara Afrika utara agar menerapkan resolusi PBB 1267 (1999) dan 1373 (2001) yang meminta negaranegara anggota PBB untuk melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan 47
Frank Umbach, “EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Beginning of the 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism,” Panorama: Insight into Southeast Asian and European Affairs (2004), hlm. 11. 48 Ibid. 49 Lisa Watanabe, EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for a More Comprehensive Approach, Jenewa: GCSP, 2011, hlm. 2.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
16
kemampuan di bidang penegakan hukum dalam melawan terorisme di tingkat nasional, regional dan global.50 Dalam skala yang lebih luas, sesuai dengan kebijakan luar negeri Uni Eropa tahun 2004 yang tertuang dalam European Neighborhood Policy (ENP), Uni Eropa juga mengembangkan kerja sama kontra-teror regional dengan negaranegara tetangganya yang melibatkan 16 negara tetangga seperti Aljazair, Amernia, Azerbaijan, Belarus, Mesir, Georgia, Israel, Yordania, Lebanon, Libya, Moldova, Maroko, Otoritas Palestina, Suriah, Tunisia dan Ukraina yang menekankan pada kerja sama di bidang hukum, penguatan badan-badan penegak hukum dan pengelolaan perbatasan.51 Secara spesifik, Limor Nobel (2008) meneliti tentang kerja sama Uni Eropa dan Israel dalam kerangka ENP dalam tulisannya yang berjudul Israel-EU Cooperation on Counter-terrorism dan menunjukkan bahwa Uni Eropa memang memiliki preferensi untuk memajukan nilai-nilai bersama dalam kerja sama kontra terornya seperti persamaan, aturan hukum dan penghormatan terhadap HAM. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa bentuk kerja sama yang dilakukan oleh Uni Eropa konsisten dengan negaranegara di kawasan lainnya. 1.4.4 Kerja Sama Keamanan AS-Uni Eropa Di Luar Kerja Sama Kontra Teror Ada alasan kenapa kerja sama keamanan antara AS dan Uni Eropa tak begitu berkembang. Salah satu alasan adalah mentalitas “NATO lebih utama” yang dimiliki oleh militer AS sehingga menghambat kerja sama di tingkat pemerintah. Namun demikian, kerja sama keamanan AS dan Uni Eropa atau Work Plan yang ditandatangani tahun 2007 tak urung mengukuhkan keaktoran Uni Eropa sebagai aktor keamanan dan beberapa pejabat Eropa berharap kerja sama ini akan
50
Ibid. Uni Eropa, “European Neighborhood Policy Strategy Paper, 2004,” <ec.europa.eu/world/enp/pdf/strategy/strategy_paper_en.pdf>, diakses tanggal 21 Desember 2011. 51
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
17
membuka jalan untuk terciptanya kerja sama militer AS-Uni Eropa, sesuatu yang selama ini tidak diinginkan oleh Pentagon.52 Dalam Work Plan 2007 tersebut, kedua belah pihak menetapkan bidang-bidang kerja sama keamanan yang ingin dikembangkan. Bidang-bidang kerja sama keamanan tersebut pada dasarnya lebih menekankan pada pencegahan, stabilisasi dan rekonstruksi dalam pengelolaan konflik.53 Menurut Daniel Korski dalam tulisannya yang berjudul A New Agenda for US-EU Security Cooperation, selama ini sudah ada keinginan yang kuat untuk mengembangkan kerja sama keamanan yang lebih praktis antara AS dan Eropa, tak hanya di dalam kerangka NATO, namun juga antara AS dan Uni Eropa. Menurut Korski ada beberapa pertimbangan tersendiri kenapa kerja sama AS dan Uni Eropa dianggap lebih menguntungkan ketimbang melalui kerangka NATO, terutama karena Uni Eropa bukan pelaksana militer tingkat tinggi sehingga kerja sama tersebut akan memungkinkan sumber daya di tingkat pemerintah dan masyarakat ikut berperan dalam penegahan konflik. Korski juga berpendapat, keunggulan Uni Eropa dibandingkan NATO dalam pengelolaan konflik adalah kemampuan Uni Eropa dalam pembangunan institusi sipil dan potensi untuk menggabungkan aset sipil dan militer.54 1.4.5
Uni Eropa Sebagai Aktor Keamanan
Setelah Perang Dingin, Uni Eropa diharapkan untuk memainkan peran penting di bidang politik dan keamanan. Para pejabat Uni Eropa beberapa kali menyebut Uni Eropa ini sebagai aktor global. Bahkan dalam European Security Strategy 2003, dokumen itu menyebut bahwa Uni Eropa adalah aktor global dengan menyebutkan kekuatan ekonomi dan instrumen yang dimilikinya, baik di bidang
52
Daniel Korski, et. al., A New Agenda for US-EU Security Cooperation, Madrid: FRIDE, 2009, hlm. 7. 53 Uni Eropa, “US-EU Technical Dialogue and Increased Cooperation in Crisis Management, 2007,” <eeas.europa.eu/us/docs/eu_us_crisis_management_work_plan_en.pdf>, diakses tanggal 21 Desember 2011. 54 Korski, Op. Cit., hlm. 1.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
18
ekonomi, hukum, diplomasi dan militer yang menurut European Security Strategy 2003 sebagai fakta dan bukan hanya cita-cita.55 Beberapa ahli menulis tentang keaktoran Uni Eropa di bidang politik dan keamanan. Salah satunya adalah Asle Toje dalam bukunya yang berjudul America, the EU and Strategic Culture: Renegotiating the Transatlatic Bargain. Dalam bukunya ini, Toje menyimpulkan bahwa Uni Eropa adalah aktor keamanan dengan menggunakan definisi aktor keamanan dari Christopher Hill. Menurut Hill, aktor keamanan membutuhkan “identitas yang jelas dan sistem pembuatan keputusan yang mandiri.” Dengan kata lain, pengembangan keaktoran bisa dilihat sebagai proses yang terdiri dari tiga dimensi yang saling terkait, yaitu keberadaan, kesempatan dan kapabilitas.56 Namun demikian, Toje berargumen bahwa kriteria di atas tak bisa sepenuhnya dipandang sebagai sesuatu yang absolut. Menurut Toje, keaktoran tak bisa dianggap sebagai konsep yang statis, melainkan standar di mana proses perubahan dalam kebijakan luar negeri Uni Eropa bisa dimonitor.57 Tulisan lain yang juga membahas tentang Uni Eropa sebagai aktor keamanan adalah tulisan Pernille Rieker yang berjudul The EU as a Security Actor: The development of political and administrative capabilities. Dalam tulisannya Rieker berusaha memahami bagaiman Uni Eropa berfungsi sebagai aktor keamanan dengan memfokuskan pada kapasitas politik dan tata pemerintahannya. Tulisan ini juga membahas tentang peran Uni Eropa di politik internasional dan terutama difokuskan pada External Relations dan juga Common Foreign and Security Policy (CFSP) and European Security and Defence Policy (ESDP).58 Menurut Rieker, bila Uni Eropa menjadi aktor keamanan yang semakin penting, kita akan melihat kapabilitas politik dan tata pemerintahan yang semakin menguat. Tulisan ini juga ingin mengetahui sampai sejauh mana Uni Eropa 55
Council of European Union, A Secure Europe in a Better World: European Security Strategy, Brussel: Council of European Union, 12 Desember 2003, hlm. 1. 56 Asle Toje, America, the EU and Strategic Culture: Renegotiating the Transatlantic Bargain, Oxon: Routledge, 2008, hlm. 10. 57 Ibid., hlm. 11. 58 Pernille Rieker, The EU as a Security Actor: The Development of Political and Administrative Capabilities, Oslo: Norwegian Institute of Internasional Affairs, 2007, hlm. 5.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
19
mengembangkan kapabilitas ini dalam kaitannya dengan kebijakan keamanan dan apakah akan meningkat seiring berjalannya waktu. Sementara itu, Kamil Zwolski dalam tulisannya yang berjudul The European Union as a Security Actor: Moving Beyond the Second Pillar berargumen bahwa literatur tentang kajian keamanan kontemporer yang digunakan untuk membahas Uni Eropa sebagai aktor keamanan selama ini menggunakan pemahaman yang sempit.59 Menurut Zwolski, kajian keamanan sudah mengakui isu-isu keamanan non-tradisional, seperti misalnya perubahan iklim. Namun literatur tentang Uni Eropa sebagai aktor keamanan sering kali hanya menghubungkan keamanan hanya dengan isu-isu keamanan tradisional seperti yang dibahas dalam Common Foreign and Security Policy (CFSP) dan European Security and Defence Policy (ESDP). Karena demikian, dalam tulisan ini Zwloski berupaya beranjak lebih jauh lagi dengan tak hanya melihat Uni Eropa sebagai aktor keamanan di bidang tradisional belaka, namun juga di bidang-bidang non-tradisional dengan menggunakan pendekatan yang lebih holistik. 1.4.6
Budaya Strategis sebagai Aspek Penting yang Memengaruhi
Keputusan-keputusan Strategis Konsep budaya strategis pertama kali muncul dalam kaitannya dengan kajian keamanan modern terutama mengenai penggunaan senjata nuklir antara AS dan Uni Soviet melalui tulisan Jack Snyder yang berjudul Soviet Strategic Culture: Implications for Limited Nuclear Operation. Dalam tulisannya ini, Snyder mengemukakan argumen politik-kultural ke dalam kajian keamanan modern dengan mengembangkan teori budaya strategis untuk menafsirkan strategi militer Uni Soviet. Snyder berargumen, elit memiliki budaya strategis yang unik yang berkaitan dengan masalah keamanan-militer yang merupakan manifestasi opini publik yang lebih luas dan disosialisasikan ke dalam bentuk pemikiran strategis yang khas. Selanjutnya Snyder menulis, “sebagai hasil dari proses sosialisasi ini, serangkaian keyakinan, sikap dan pola perilaku yang berkaitan dengan strategi
59
Kamil Zwolski, “The European Union as a Security Actor: Moving Beyond the Second Pillar,” Journal of Contemporary European Research 5:1 (2009), hlm 82.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
20
penggunaan nuklir menjadi semi-permanen sehingga menempatkannya di tingkat “budaya” ketimbang hanya sekadar kebijakan.60 Dengan demikian, Snyder berargumen bahwa keputusan-keputusan strategis yang dibuat oleh Uni Soviet dalam penggunaan nuklir dipengaruhi oleh sesuatu yang lebih bersifat kultural sehingga membedakannya dengan strategi yang digunakan oleh AS. Selanjutnya, dalam pengambilan keputusan strategis mengenai nuklir saat melawan AS selama Perang Dingin, Snyder berpendapat bahwa para pemimpin Uni Soviet dan ahli strateginya tidak bebas budaya dan ahli game theory-nya tidak bebas-prasangka. Bahkan bila mereka bebas budaya dan bebas prasangka sekali pun, demikian menurut Snyder, game theory tak mampu memberikan satu solusi yang tepat untuk sebuah masalah yang rumit dan tak bisa diprediksi seperti keputusan untuk menggunakan senjata nuklir.61 Snyder kemudian menggunakan kerangka budaya strategisnya ini untuk menafsirkan perkembangan doktrin nuklir Uni Soviet dan AS sebagai produk konteks organisasional, historis dan politik yang berbeda serta keterbatasan teknologi yang ada. Menurutnya, perbedaan konteks budaya yang berbeda ini membuat pembuat keputusan AS dan Uni Soviet menanyakan pertanyaan yang berbeda mengenai penggunaan senjata nuklir dan selanjutnya menemukan jawaban yang khas. Snyder kemudian meramalkan bahwa militer Uni Soviet akan memiliki preferensi penggunaan kekuatan yang pre-emptive dan ofensif dan asalnya bisa ditemukan dari sejarah Uni Soviet yang merasa tak aman dan kepemimpinan yang otoriter. Akhirnya, Snyder berargumen karena budaya strategis bersifat semi permanen, maka masalah dan perkembangan baru takkan dikaji secara obyektif, namun dikaji dengan menggunakan persepsi yang dimiliki oleh budaya strategisnya.62 Pembahasan mengenai budaya strategis dalam kaitannya dengan penggunaan senjata nuklir sebagai sebuah keputusan strategis juga ditulis oleh Colin Gray dalam tulisannya yang berjudul National Style in Strategy: The American 60
Jack Snyder, Soviet Strategic Culture: Implications for Limited Nuclear Operation, Santa Monica: RAND, 1977, hlm. 8. 61 Ibid., hlm. 4. 62 Ibid., hlm. v.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
21
Example. Gray berpendapat bahwa gaya nasional AS yang khas berakar dari pengalaman historis tertentu dan memengaruhi pembuatan strategi yang diambil oleh negara itu. Walau Gray juga berargumen bahwa gaya nasional memiliki akar historis dan antropologis, dia lebih terfokus pada hubungan antara gaya nasional dan dampaknya terhadap pilihan kebijakan tertentu. Menurutnya, budaya strategis adalah “pola pikir dan tindakan yang berkaitan dengan kekuatan yang berasal dari persepsi pengalaman historis nasional, aspirasi suatu negara tentang perilaku yang seharusnya dilakukan dalam hubungannya dengan kepentingan nasionalnya dan budaya serta cara hidup bangsanya.63 Dengan demikian, budaya strategis “menyediakan tempat bagi pembahasan dan perdebatan tentang strategi apa yang harus digunakan” dan “bertindak sebagai penentu pola kebijakan strategis tertentu.”64 Sama seperti Snyder, Gray juga berpendapat bahwa budaya strategis bersifat semi permanen dan memengaruhi kebijakan keamanan. Selanjutnya, menurut Gray, gaya nasional berasal dari pemikiran budaya strategis suatu negara dan hal inilah yang membedakan satu negara dengan negara lainnya.65 Berbagai literatur di atas menunjukkan bahwa kerja sama antar negara untuk menghadapi suatu masalah keamanan internasional tertentu adalah sebuah pertimbangan yang logis. Melalui berbagai literatur di atas juga terlihat bahwa kerja sama dalam menghadapi terorisme dilakukan berbagai negara di berbagai tingkatan, baik di tingkat bilateral maupun multilateral dan di tingkat nasional, regional
maupun
global.
Selain
itu,
berbagai
literatur
tersebut
juga
memperlihatkan bahwa penanganan dan strategi kontra-teror masing-masing negara bisa berbeda-beda, tergantung pada kondisi dan persepsi ancaman yang mereka miliki. Berbagai literatur yang membahas tentang kerja sama kontra-teror yang
dilakukan
AS
memperlihatkan
bahwa
negara
adidaya
tersebut
menggabungkan strategi kontra-teror yang keras dan lunak, tergantung pada kondisi dan pertimbangan strategis yang dimilikinya. Sementara itu, Uni Eropa di sisi lain cenderung lebih konsisten di mana organisasi tersebut lebih
63
Colin S. Gray, “National Style in Strategy: The American Example,” International Security 6:2 (Autumn, 1981), hlm. 22. 64 Ibid. 65 Ibid.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
22
mengedepankan pendekatan legal-formal dengan terus memajukan penguatan badan-badan hukum, penegakan hukum dan penghormatan terhadap HAM. Banyaknya literatur yang membahas tentang kerja sama kontra-teror yang dilakukan AS dan Uni Eropa dengan berbagai negara dan organisasi internasional menunjukkan bahwa topik tersebut memang penting dan menarik untuk diteliti. Namun demikian penelitian yang khusus membahas tentang kerja sama kontrateror AS dan Uni Eropa sebagai aktor keamanan masih menjadi topik pembahasan baru dan menarik untuk dilakukan, terutama karena bentuk kerja sama di antara mereka belum tertuang dalam suatu bentuk kesepahaman dan perjanjian yang lebih mantap, berbeda dengan kerangka kerja sama AS dan NATO yang sudah lebih mapan. Selain itu, walau kebutuhan untuk bekerja sama di bidang kontra-teror di antara keduanya adalah pertimbangan yang logis, namun tulisan-tulisan di atas memberikan gambaran bahwa pertimbangan strategis tak selalu berdasarkan sesuatu yang rasional dan dalam hal inilah kajian budaya strategis bisa membantu memahami dinamika kerja sama kontra-teror antara AS dan Uni Eropa. Walau kajian budaya strategis sudah berusia lebih dari 30 tahun, namun kajian tersebut masih terfokus pada penggunaan senjata nuklir mengingat kajian ini adalah warisan dari masa Perang Dingin. Namun demikian, pembahasan tentang kajian budaya strategis untuk memahami perilaku suatu negara (atau organisasi supranasional) dalam menyusun strategi kontra terornya adalah sesuatu yang masih baru. Dengan demikian, berbagai bacaan di atas menunjukkan bahwa kajian budaya strategis masih memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang mengingat tantangan keamanan yang dihadapi oleh suatu negara menjadi semakin kompleks di tengah-tengah melemahnya kapabilitas negara akibat globalisasi dan munculnya aktor-aktor non-negara seperti kelompok teror. Selain itu, mengingat “budaya juga bisa berevolusi, beradaptasi dan bahkan berubah drastis bila suatu
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
23
bangsa mengalami pengalaman yang traumatis,”66 maka memahami apakah peristiwa mengejutkan seperti serangan 11 September 2011 bisa membentuk budaya strategis suatu bangsa saat memandang ancaman trans-nasional seperti terorisme global dan bagaimana kaitannya dengan kerja sama kontra-teror dengan negara lain yang memiliki budaya strategis yang berbeda akan menjadi sebuah kajian yang sangat menarik. 1.5 Kerangka Konseptual 1.5.1
Aktivitas-aktivitas dalam Kontra-teror
Respons pemerintah terhadap terorisme pada dasarnya terdiri dari anti-teror dan kontra-teror. Anti-teror lebih bersifat defensif dan didukung oleh penguatan hukum pidana yang berkaitan dengan terorisme di mana terorisme itu sendiri dianggap sebagai kejahatan. Sementara, kontra-teror lebih bersifat ofensif dan merupakan strategi dengan kekerasan yang ditujukan kepada teroris agar tak bisa menggunakan taktik terorisme dan dengan demikian dari perspektif kontra-teror, terorisme tak lain hanyalah taktik dan bukan ideologi. Teror dan kontra-teror pada dasarnya adalah dua sisi mata uang yang berbeda. Walau kedua sisi mata uang itu berbeda, namun pada kenyataannya, mereka berasal dari tindakan yang sama: keduanya
adalah
tindakan
yang
melibatkan
kekerasan
yang
berusaha
memengaruhi perkembangan dan situasi politik.67 Peter Sederberg berpendapat bahwa terorisme bisa dilihat dari tiga perspektif, yaitu masalah militer, masalah kriminal atau bisa dilihat sebagai penyakit yang bisa diberantas.68 Apa pun perspektif yang dimiliki oleh negara, pada akhirnya, negara harus merespons ancaman tersebut melalui langkah-langkah keamanan
66
Colin S. Gray, “Out of Wilderness: The Prime Time for Strategic Culture,” dalam Jeannie L. Johnson, Kerry M. Kartchner dan Jeffrey L. Larsen (ed.), Strategic Culture and Weapon of Mass Destruction: Culturally Based Insights into Comparative National Security Policy Making, New York: Palgrave Macmillan, 2009, hlm. 227-228. 67 Samuel Peleg, Fighting Terrorism in the Liberal State, Amsterdam: IOS, 2006, hlm. vi. 68 Peter Sederberg, “Global Terrorism: Problems of Challenge and Response,” dalam Charles Kegley (ed.), The New Global Terrorism, New York: Prentice Hall, 2002, mengutip dari Alan Collins, Contemporary Security Studies, New York: OUP, 2007, hlm. 290.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
24
atau strategi kontra-teror yang melibatkan upaya pencegahan, respons terhadap serangan dan kerja sama internasional.69 Walau demikian, proses untuk memformulasikan strategi dalam melawan terorisme membutuhkan upaya pendefinisian ancaman yang jelas agar kemudian negara bisa menentukan aktivitas-aktivitas apa yang harus dilakukannya. Selanjutnya, tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat keputusan akan menentukan aktivitas kontra-teror yang harus ia tekankan. Dalam bukunya yang berjudul The Counter-terrorism Puzzle: A Guide for Decision Makers, Boaz Ganor menyebutkan ada tiga tujuan dalam aktivitas kontra-teror, yaitu mengeliminasi terorisme,
yaitu
dengan
menghancurkan
organisasi
teroris
itu
sendiri,
menyingkirkan dorongan agar teroris tak bisa menyerang dan menggunakan kekerasan terhadap negara dan warganya atau menyelesaikan isu yang kontroversial mengingat motif di balik terorisme bernuansa politis sehingga solusinya harus berbentuk keputusan politik.70 Sementara itu, tujuan yang kedua adalah meminimalisir kerusakan yang disebabkan oleh terorisme seperti misalnya mengurangi jumlah serangan dan/atau jumlah korban, mencegah jenis-jenis serangan tertentu, misalnya bom bunuh diri, mengurangi kerusakan properti yang lain sebagainya.71 Tujuan yang ketiga adalah mencegah eskalasi terorisme berdasarkan dua tujuan: (1) Memastikan konflik tak menyebar dengan cara menghentikan perkembangan organisasi teror dengan menghambat rekrutmen, mencegah organisasi agar tidak mendapat pencapaian politis di dunia internasional, mencegah dukungan dari negara-negara asing dan mengurangi intensitas sasaran dan upaya politis organisasi tersebut; (2) Memastikan cakupan serangan yang mereka lakukan tak bertambah dengan cara mencegah peningkatan jumlah serangan dan/atau korban dan menghentikan jenis serangan yang lebih serius.72
69
Collins, Op. Cit., hlm. 303. Boaz Ganor, The Counter-terrorism Puzzle: A Guide for Decision Makers, New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2005, hlm 25. 71 Ibid. 72 Ibid,. hlm. 25-26. 70
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
25
Menurutnya, tujuan yang diprioritaskan oleh pembuat keputusan sering kali berubah-ubah sesuai dengan tingkat ancaman yang diberikan oleh teroris, hambatan dari komunitas internasional, hubungan multilateral dengan negaranegara lain dan situasi politik di negara itu sendiri.73 Ganor sendiri mengakui bahwa aktivitas kontra-teror lebih didominasi oleh komponen militer, bersamasama dengan langkah-langkah politik dan sosial ekonomi. Walau demikian, seberapa jauh dominasi kompo nen militer tersebut, dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran. Aliran pemikiran pertama adalah yang berpikiran tindakan militer akan menghancurkan terorisme, sementara aliran pemikiran kedua, tindakan militer justru akan meningkatkan dan memperparah terorisme. Sementara, aliran yang berada di tengah-tengahnya berpikiran tindakan militer dan tindakan politis harus digabungkan untuk menghasilkan kebijakan kontra-teror yang ditujukan untuk mengeliminasi masalah.74 Selanjutnya, menurut Ganor, pembuat keputusan harus bijak dalam menerapkan kerangka kerja agar memiliki kebijakan kontra-teror yang fleksibel di mana kebijakan tersebut memungkinkan transisi yang cepat dari satu taktik ke taktik yang lain sesuai dengan kebutuhan. Kebijakan tersebut harus memungkinkan pembuatan kebijakan, pada waktu yang berbeda, untuk melakukan penekanan khusus kepada berbagai aktivitas kontra-teror penting, seperti aktivitas intelijen, aktivitas ofensif, aktivitas defensif, penggentaran, aktivitas penghukuman, legislasi, kesadaran publik dan kerja sama internasional.75 Menurut Ganor, aktivitas intelijen adalah langkah awal dalam seluruh aktivitas kontra-teror yang lain.76 Menurutnya, intelijen dasar terdiri dari mengumpulkan informasi tentang struktur organisasi teroris, aktivitas mereka, siapa saja aktivisnya, hirarki, sumber daya, ideologi, bantuan dari state sponsor terrorism, dan membuat database yang penting di mana badan intelijen bisa menganlisis dan memahami intelijen taktis.77 Persyaratan awal untuk tindakan operasional apa pun adalah memiliki intelijen taktis, sesuai dengan aktivitas ofensif, defensif atau legislasi dan penghukuman. Dalam tindakan ofensif, intelijen taktis akan 73
Ibid., hlm. 26-27. Ibid., hlm. 38. 75 Ibid., hlm. 48. 76 Ibid., hlm. 49. 77 Ibid., hlm. 49-50. 74
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
26
diterjemahkan menjadi informasi yang dibutuhkan bagi operasi militer. Sementara itu dalan tindakan defensif, intelijen taktis menjadi intelijen preemptive yang merupakan cara untuk menggentarkan serangan teroris tertentu. Selanjutnya, dalam aktivitas legislasi dan penghukuman, intelijen taktis adalah elemen yang esensial untuk menemukan tersangka, membawa mereka ke depan pengadilan dan menuntut mereka dan selanjutnya akan menimbulkan penggentaran legal. Secara ringkas, Ganor menggambarkan aktivitas intelijen dan kaitannya dengan aktivitas operasional (ofensif, defensif dan legal dan penghukuman) ke dalam tabel berikut ini.
Gambar 1.1 Letak Intelijen dalam Strategi Kontra-teror Sumber: Boaz Ganor, The Counter-terrorism Puzzle: A Guide for Deficion Makers, New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2005, hlm. 49.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
27
Selanjutnya, Ganor berpendapat, aktivitas ofensif adalah elemen penting dalam strategi kontra-teror dan aktivitas ini dilakukan oleh petugas keamanan terhadap teroris dan dilakukan di wilayah di mana teroris berada dan beroperasi. Tujuan yang ingin dicapai dalam aktivitas ini adalah mencegah serangan teroris dengan cara mengganggu organisasi teror dan infrastrukturnya pada tahap awal sehingga mereka tak bisa mempersiapkan, merencanakan, melatih teroris, mempersiapkan bahan peledak dan senjata dan aktivitas pendukung lainnya.78 Tujuan kedua adalah mengganggu aktivitas rutin organisasi dan tujuan ini bisa dicapai dengan membunuh pemimpin dan aktivitis top organisasi sehingga terjadi perebutan kekuasaan di antara aktivis lainnya untuk menggantikan tempatnya atau dengan cara menghancurkan infrastruktur organisasi yang akan memaksa mereka untuk mengalokasikan sumber daya, tenaga dan waktu untuk memperbaiki situasi seperti sebelumnya.79 Tujuan ketiga adalah pembalasan dendam dan penghukuman di mana suatu negara menggunakan kekuatan untuk membalas dendam dan menghukum mereka yang terlibat dalam serangan teror. Sementara tujuan keempat adalah penggentaran yang berjalan bersamaan dengan tujuan ketiga di mana mereka yang bertanggung jawab atas terorisme akan membayar mahal atas tindakannya sementara yang lainnya akan mendapatkan pelajaran. Tujuan yang kelima adalah menghancurkan moral aktivis dan pendukung organisasi teror dan tujuan yang terakhir adalah untuk meningkatkan moral masyarakat.80 Sementara itu, aktivitas ketiga yang tak kalah pentingnya adalah aktivitas defensif yang merupakan elemen vital dalam kontra-teror dengan tujuan utama untuk menggagalkan serangan teroris, entah dengan mencegah mereka untuk memasuki suatu negara, dengan menemukan dan menahan teroris dalam perjalanan mereka menuju target atau dengan meminimalkan potensi kerusakan dari serangan. Untuk mencapai tujuan ini, petugas keamanan melakukan patroli, menyergapan, memasang penghalang jalan dan memperkuat langkah-langkah keamanan fisik seperti membangun pagar, ranjau darat, detektor logam, sensor, 78
Ibid., hlm. 102. Ibid., hlm. 104. 80 Ibid., hlm. 104-105. 79
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
28
radar, detektor untuk bahan peledak dan senjata kimia, kamera CCTV dan lainnya.81
Untuk
membedakan
aktivitas
defensif
dan
ofensif,
Ganor
menjelaskannya secara ringkas dalam bentuk tabel seperti di bawah ini.
Gambar 1.2 Perbedaan Aktivitas Defensif dan Ofensif Sumber: Boaz Ganor, The Counter-terrorism Puzzle: A Guide for Deficion Makers, New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2005, hlm. 142.
Sementara itu, aktivitas keempat yang tak kalah pentingnya adalah penggentaran. Yang dimaksud penggentaran menurut Wallach adalah ancaman terhadap lawan untuk mencegahnya melakukan langkah-langkah tertentu atau bila ia tetap melakukannya, maka tindakan tersebut akan menimbulkan pembalasan yang fatal. Agar mendapatkan hasil yang diharapkan, negara harus memastikan musuhnya memahami kerugiannya akan jauh lebih besar dari apa yang ia
81
Ibid., hlm. 141dan 143.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
29
dapatkan.82 Selanjutnya, menurut Ganor, penggentaran bisa dibagi ke dalam tiga bentuk, yaitu penggentaran ofensif yang ditujukan agar organisasi teror mengurungkan terorisme dan berhenti melakukan serangan teror sepenuhnya atau serangan teror tertentu, penggentaran defensif di mana organisasi teror merasa upayanya untuk melakukan serangan akan gagal atau sulit untuk berhasil karena negara melakukan pengamanan secara lebih ketat dan penggentaran legalpenghukuman yang ditujukan untuk menggentarkan para aktivis agar tak melakukan aktivitas teror karena kerasnya UU dan hukuman yang akan mereka terima.83 Aktivitas kelima dan keenam saling berkaitan, yaitu aktivitas legislasi dan penghukuman. Menurut Ganor, UU dan regulasi kontra-teror bisa diklasifikasikan menjadi lima jenis.84 1. Legislasi yang melarang terorisme, UU yang menjelaskan terorisme dan organisasi teror dan melarang warga untuk terlibat dalam organisasi teror, aktivitas terorisme, bantuan, dukungan, dorongan dan hasutan untuk melakukan tindakan semacam itu; 2. Legislasi yang mengatur pengaturan hukum untuk menuntut tersangka teroris; 3. Legislasi yang mendefinisikan jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap tindak pidana terorisme dan seberapa berat jenis hukuman itu dengan menetapkan hukuman minimum bagi mereka yang dihukum melakukan tindak pidana ini; 4. Legislasi yang mewajibkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya kontra-teror yang berkaitan dengan keamanan dan langkah-langkah defensif, seperti misalnya pelaporan pendanaan suatu yayasan; 5. Legislasi yang memberikan kewenangan khusus kepada petugas kamanan dalam konteks upaya kontra-teror, seperti misalnya kewenangan untuk melakukan penggeledahan, surveillance, penyadapan dan lain sebagainya. 82
Yehudah Wallach, Millitary Theories and their Development in the 19th and 20th Centuries Third Edition, Ma’arachot: Ministry of Defense Publications, 1980, hlm. 331, 334. 83 Ibid., hlm. 68, 93. 84 Ibid., hlm. 183.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
30
Aktivitas
keenam
yang
berkaitan
dengan
legislasi
adalah
aktivitas
penghukuman yang bertujuan untuk menjauhkan orang-orang yang berbahaya dari masyarakat dan membalas dendam terhadap mereka yang bertanggung jawab dan terlibat dalam melakukan serangan karena telah membuat kerusakan dalam masyarakat, membuat bingung organisasi teror sehingga pimpinan dan aktivisnya sibuk memecahkan masalah dan tak punya waktu atau cara untuk menjalankan aksinya dan yang terakhir untuk menggentarkan yang lainnya agar tidak melakukan aktivitas yang sama.85 Selanjutnya menurut Ganor jenis penghukuman ada dua, yaitu penghukuman ofensif dan penghukuman yudisial. Penghukuman ofensif adalah hukuman terhadap pimpinan atau aktivis organisasi teror atau hukuman terhadap state sponsor terrorism dengan menggunakan cara-cara yang ofensif dengan tujuan memberikan hukuman terhadap mereka yang bertanggung jawab atas serangan teror dan membalas tindakan mereka, untuk menggentarkan partner mereka atau menghancurkan moral mereka dan meningkatkan moral masyarakat yang terkena serangan teror.86 Sementara itu, penghukuman yudisial adalah hukuman terhadap teroris yang telah tertangkap sebelum melakukan aksinya, saat akan melakukan serangan atau setelah serangan dan menghukum kolaboratornya, komandannya, dan semua yang terlibat dalam tindakan teror tersebut. Hukuman yudisial ini juga dilakukan sebagai bagian dari proses hukum sesuai dengan UU yang berlaku di suatu negara.87 Sementara itu, dalam aktivitas kesadaran publik, pemerintah harus memiliki kebijakan yang edukatif dan informatif yang ditujukan kepada sikap publik terhadap terorisme, mengurangi tingkat kecemasan yang irasional dan membantu memperkuat moral dan memperkuat rasa aman yang dirasakan oleh individu dalam menghadapi ancaman.88 Menurut Ganor, kebijakan ini harus diarahkan ke tiga bidang utama, yaitu media, sistem politik dan masyarakat secara umum.
85
Ibid., hlm. 202. Ibid., hlm. 203. 87 Ibid. 88 Ibid., hlm. 270. 86
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
31
Aktivitas terakhir yang tak kalah pentingnya adalah kerja sama internasional dalam menghadapi terorisme. Menurut Ganor, bidang kerja sama yang harus digalakkan oleh semua negara secara internasional adalah menciptakan platform normatif-legal yang sama dalam melawan terorisme, kerja sama bilateral dan multilateral dalam membagi informasi intelijen dan pengalaman di bidang aktivitas ofensif dan defensif dan yang ketiga adalah membentuk kerangka kerja bersama secara internasional untuk melawan terorisme.89 1.5.2
Budaya Strategis
Perkembangan istilah “budaya strategis” dan penggunaannya dalam riset keamanan modern dan kebijakan pertahanan dimulai dengan tulisan Jack Snyder pada akhir tahun 1977 tentang pemikiran strategis Uni Soviet yang menurutnya adalah serangkaian keyakinan umum, sikap dan pola perilaku elit militernya yang dilihat berdasarkan budayanya.90 Menurutnya, rasionalisme dan game theory dalam Hubungan Internasional tak mampu menjelaskan kenapa beberapa negara tertentu memiliki perilaku yang khas dan berbeda satu sama lain. Selanjutnya, pada tahun 1981, ahli strategi Colin S. Gray berpendapat bahwa gaya nasional yang berbeda yang berakar dari pengalaman sejarah pada akhirnya membentuk karakteristik khas dalam pembuatan strategi suatu negara seperti AS dan Uni Soviet.91 Selanjutnya, ia mendefinisikan budaya strategis sebagai cara berpikir dan bertindak dengan memperhitungkan kekuatan, yang berasal dari persepsi terhadap pengalaman historis suatu bangsa, persepsi tentang diri sendiri dan pengalamanan yang khas yang membentuk suatu masyarakat.92 Selanjutnya, Snyder, bersama-sama dengan Colin Gray dan Ken Booth, dianggap sebagai ahli budaya strategis generasi pertama yang meneliti kaitan antara budaya strategis dan
89
Ibid., hlm. 278. Jack Snyder, Op. Cit., hlm. 8-9 91 Colin S. Gray, “National Style in Strategy: The American Example,” Op.Cit., hlm. 21. 92 Ibid., hlm. 22. 90
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
32
kebijakan senjata nuklir dan beranggapan bahwa budaya strategis adalah pengaruh yang semi permanen terhadap kebijakan keamanan.93 Kajian budaya strategis ini kemudian semakin berkembang pada tahun 1990-an seiring dengan semakin majunya paradigma konstruktivisme. Salah satu tulisan tentang budaya strategis yang mewakili generasi kedua yang muncul akibat berkembangnya paradigma konstruktivisme ini adalah tulisan Bradley S. Klein yang berjudul Hegemony and Strategic Culture: American Power Projection and Alliance Defence Politics. Dalam tulisannya, Klein sangat terpengaruh dengan teori-teori konstruktivis internasional kritis saat meneliti budaya strategis. Hasil dari konsepsi budaya strategis tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana budaya strategis membentuk perilaku strategis tertentu. Sama pentingnya, bagaimana
perilaku
strategis
tersebut
membentuk
identitas
komunitas
keamanan.94 Selain itu, Klein menggunakan istilah komunitas keamanan untuk mengakui fungsi perilaku strategis yang konstitutif dan komunitas yang terbentuk tak harus berupa negara. Selanjutnya, perilaku strategis di sini dilihat sebagai praktik-praktik yang mewakili tempat di mana budaya strategis beroperasi dan di mana budaya strategis dihasilkan. Dampak dari pemahaman tentang hubungan antara budaya dan perilaku sangat signifikan. Dengan demikian, Edward Lock kemudian berpendapat, secara umum, pendekatan ini membuat kita tak lagi mencari karakteristik yang asli dan abadi dari budaya strategis komunitas tertentu. Sebaliknya, pendekatan ini mendorong kita untuk menganalisis bagaimana komunitas dan hubungan antar mereka terbentuk melalui praktik-praktik yang berkaitan dengan perilaku strategis.95 Dengan kata lain, alih-alih menganggap biasa komunitas keamanan yang sudah ada secara alamiah (terutama berupa negara) dan bertanya bagaimana atribut komunitas tertentu (atau budaya strategisnya) memengaruhi perilakunya, generasi kedua ini berargumen untuk memeriksa praktik-praktik strategis yang membentuk berbagai komunitas dan 93
Jeffrey S. Lantis, “Strategic Culture: From Clausewitz to Constructivism,” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defense Threat Reduction Agency, 2006, hlm. 7 (Mimeographed). 94 Bradley S. Klein, “Hegemony and Strategic Culture: American Power Projection and Alliance Defence Politics,” Review of International Studies 14 (1988), hlm. 133. 95 Edward Lock, “Refining Strategic Culture: Return of the Second Generation,” Review of International Studies 36 (2010), hlm. 687.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
33
hubungan antar mereka.96 Para ahli dari generasi kedua, seperti Klein dan Lock berpendapat, pendekatan seperti itu menawarkan manfaat secara praktis dalam meneliti strategi politik dan menjadi lebih kritis daripada pendekatan yang sudah ada atau dengan kata lain, pendekatan ini memberikan pandangan yang segar mengenai praktik-praktik strategis yang selama ini sering diabaikan.97 Buku yang ditulis oleh Alastair Iain Johnston yang berjudul Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in Chinese History dianggap sebagai ahli budaya strategis yang mewakili generasi ketiga. Kajian yang ia lakukan ini difokuskan untuk meneliti keberadaan dan karakter budaya strategis Cina dan keterkaitan yang kausal dalam penggunaan kekuatan militer untuk melawan ancaman dari luar. Johnston berpendapat bahwa budaya strategis sebagai lingkungan ide yang membatasi pilihan perilaku sehingga seseorang bisa memprediksi tentang budaya strategis suatu negara.98 Namun Johnston menggunakan beberapa pendekatan yang tidak lazim dalam kajian budayanya ini. Pertama, ia memilih periode Dinasti Ming (1368-1644) sebagai fokus pengujian teorinya di masa kini. Kedua, ia menggunakan pendekatan metodologis yang menunjukkan perbedaan yang jelas antara variabel independennya, yaitu orientasi kultural dan variabel dependennya, yaitu strategi militer. Menurutnya, “Cina menunjukkan kecenderungan penggunaan militer yang terkendali, bersifat defensif akibat tekanan politis dan minimalis; dan semua ini berakar dari keahlian ahli strategis kuno dan perasaan superioritas saat memandang dunia luar.”99 Terakhir, Johnston berkesimpulan bahwa ada dua budaya strategis Cina yang sedang beroperasi. Budaya strategis pertama adalah serangkaian asumsi dan peringkat preferensi simbolis atau ide. Sementara itu, budaya strategis kedua adalah tataran operasional yang mencerminkan budaya strategis hard realpolitik
96
Ibid. Ibid. 98 Alastair Iain Johnston, Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in Chinese History, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1995, hlm. 36. 99 Ibid., hlm 1. 97
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
34
yang beranggapan cara terbaik untuk menghadapi ancaman keamanan adalah menyingkirkannya dengan cara penggunaan kekuatan.100 Pada dasarnya para ahli budaya strategis yang mewakili generasi ketiga, terutama seperti Johnston, mengkritik pendekatan yang digunakan oleh para ahli dari generasi pertama. Menurutnya, pendekatan yang digunakan oleh generasi pertama tak bisa diuji dan lebih terfokus pada perkembangan teori-teori budaya strategis yang tak bisa difalsifikasi.101 Yang menjadi fokus perhatian teori budaya strategis dari generasi ketiga adalah perbedaan antara budaya strategis dan perilaku negara. Johnston menggunakan pendekatan ini untuk memisahkan budaya strategis sebagai variabel independen lalu mengukur hubungannya dengan perilaku negara. Dengan demikian, budaya strategis dan perilaku strategis tetap berada dalam jarak yang “sehat” dan pengaruh antara keduanya bisa diuji secara ilmiah.102 Berbeda dengan pandangan Johnston, Gray berpendapat perilaku strategis tak bisa dipisahkan dari pemikiran budaya strategis karena perilaku seperti itu tak terelakkan lagi terbawa oleh orang-orang yang tersosialisasi dalam budaya (encultured).103 Menurut Gray, ketidakmampuan untuk memisahkan budaya dari perilaku selanjutnya membuat peneliti tidak mungkin memisahkan sebab dan akibat dan dengan demikian, tidak memungkinkan penggunaan metode positivis terhadap analisis budaya strategis. Dampak dari pendekatan ini terhadap kajian budaya strategis ada dua. Pertama, berdasarkan argumen dari Martin Hollis dan Steve Smith, Gray berpendapat, karena budaya dan perilaku tak bisa dipisahkan, maka metode yang digunakan adalah metode yang membantu peneliti untuk memahami dan bukannya menjelaskan perilaku strategis. Dengan demikian, analisis budaya strategis harus didorong oleh keinginan untuk menafsirkan makna perilaku strategis dan bukannya upaya untuk menjelaskan penyebab perilaku
100
Ibid., hlm. x. Ibid., hlm. 1-31. 102 Lock, Op. Cit., hlm. 689. 103 Colin S. Gray, Modern Strategy, Oxford: Oxford University Press, 1999, hlm. 135. 101
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
35
tersebut.104 Kedua, Gray berpendapat bahwa teori budaya strategis tak bisa menerima pengujian teori komparatif yang biasanya dilakukan oleh para ahli positivis.105 Dalam perkembangannya, terjadi perdebatan antara para ahli dari generasi pertama dan generasi ketiga. Perdebatan tersebut akhir-akhir ini semakin menghangat saat beberapa ahli lainnya meneliti perkembangan European Security and Defence Policy yang kemudian digantikan oleh Common Security and Defence Policy melalui kajian budaya strategis. Beberapa ahli yang memakai pendekatan yang digunakan oleh Johnston dari generasi ketiga, seperti misalnya Sten Rynning dalam tulisannya yang berjudul The European Union: Towards a Strategic Culture, berargumen bahwa Eropa kurang memiliki budaya strategis yang kuat. Penelitiannya itu didasarkan pada pentingnya perbedaan antara budaya dan perilaku secara konseptual.106 Hal yang senada juga diungkapkan oleh Wyn Rees dan Richard J. Aldrich. Dalam tulisannya yang berjudul Contending Cultures of Counterterrorism: Transatlantic Divergence or Convergence? Rees dan Aldrich berpendapat budaya strategis Eropa sulit untuk dipahami karena Eropa terdiri dari berbagai negara dengan sejarah dan pengalaman tentang terorisme yang berbeda.107 Selain itu, menggunakan budaya strategis untuk memahami strategi kontra-teror dianggap sesuatu yang sulit karena kaburnya perbedaan antara keamanan internal dan eksternal.108 Sementara itu, ahli yang menggunakan pemikiran Gray dari generasi pertama adalah Christoph Meyer dalam tulisannya yang berjudul Convergence Towards a European Strategic Culture? A Constructivist Framework for Explaining Changing Norms. Meyer memiliki pandangan yang lebih positif mengenai
104
Colin S. Gray, “Strategic Culture as Context: The First Generation of Theory Strikes Back,” Review of International Studies 25 (1999), hlm. 49-50. 105 Ibid., hlm. 53. 106 Sten Rynning, “The European Union: Towards a Strategic Culture,” Security Dialogue 34: 4 (2003), hlm. 479-496. 107 Wyn Rees dan Richard J. Aldrich, “Contending Cultures of Counterterrorism: Transatlantic Divergence or Convergence?,” International Affairs 81:5 (2005), hlm. 911. 108 Ibid., hlm. 907.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
36
potensi munculnya budaya strategis Eropa yang koheren109 dan mendukung pendekatan yang digunakan oleh Gray. Dengan demikian, walau beberapa ahli terus menggunakan teori budaya strategis untuk mengkaji fenomena-fenomena Hubungan Internasional kontemporer, karya Johnston dan Gray tetap menjadi dasar yang penting dalam kajian budaya strategis. Dengan demikian, berdasarkan berbagai perbedaan pandangan yang dimiliki para ahli budaya strategis generasi pertama, kedua, dan ketiga, alat analisis yang digunakan dalam tesis ini akan menggunakan budaya strategis generasi pertama yang berdasarkan pada pemikiran Colin S. Gray. Selain itu, agar budaya strategis ingin mendapat kredibilitas, budaya strategis harus memiliki elemen yang jelas sebagai acuan analisis. Beberapa elemen yang memengaruhi kebijakan keamanan tak selalu tepat apabila dimasukkan ke dalam kerangka budaya strategis. Seperti yang disampaikan oleh Colin S. Gray, agar elemen itu bisa diterima sebagai bagian dari “budaya,” maka variabel itu harus memiliki sifat yang bertahan lama. Budaya juga tak hanya berupa opini, sikap terkini atau pergeseran pola perilaku.110 Hampir semua ahli budaya strategis mencurahkan perhatiannya untuk menyoroti aspek budaya nasional yang memainkan peran dalam memengaruhi kebijakan keamanan. Seperti yang kita ketahui, budaya nasional mencakup banyak elemen. Sesuai dengan kerangka pemikiran ahli budaya strategis generasi pertama, Jeannie L. Johnson kemudian menentukan elemen-elemen apa saja dari budaya nasional tersebut yang paling menonjol dalam memengaruhi kebijakan keamanan suatu negara yang kemudian membentuk budaya strategisnya yang unik. Johnson sendiri berpendapat budaya strategis adalah serangkaian keyakinan, asumsi dan cara berperilaku yang berasal dari pengalaman bersama dan narasi yang diterima bersama (baik secara lisan maupun tulisan) yang membentuk
109
Christoph Meyer, “Convergence Towards a European Strategic Culture? A Constructivist Framework for Explaining Changing Norms,” European Journal of International Relations 11: 4 (2005), hlm. 523-549. 110 Colin S. Gray, “Out of Wilderness: The Prime Time for Strategic Culture,” Op.Cit, hlm. 228.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
37
identitas kolektif dan hubungannya dengan kelompok lain, dan menentukan tujuan dan cara yang tepat untuk mencapai tujuan keamanan.111 Dengan demikian, menurut Johnson,112 beberapa elemen budaya nasional yang dianggap bisa bertahan lama sebagai pembentuk budaya strategis suatu negara adalah: 1. Identitas yang bisa dijabarkan sebagai cara suatu negara-bangsa melihat dirinya sendiri yang terdiri dari ciri-ciri karakter nasionalnya, peran yang diinginkannya di tingkat regional dan global dan persepsinya mengenai takdir akhirnya. 2. Nilai-nilai adalah analisa cost-benefit, faktor material dan/atau ide yang menjadi prioritas dan lebih dipilih dibandingkan faktor-faktor lainnya. 3. Norma-norma adalah cara berperilaku yang diterima dan diharapkan. 4. Perceptive lens adalah keyakinan (baik yang benar maupun yang keliru) dan pengalaman atau kurangnya pengalaman yang memengaruhi bagaimana cara negara tersebut melihat dunia. Selanjutnya untuk mempersempit parameter budaya strategis, Johnson membagi level analisis budaya strategis ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat nasional dan organisasional. Sementara itu, Mahnken melangkah lebih jauh dengan membaginya menjadi tiga tingkat, yaitu di tingkat nasional, di tingkat organisasional dan di tingkat sub-organisasional.113 Seberapa dalam level analisis yang digunakan oleh seorang peneliti, Johnson berpendapat, budaya di tingkat nasional akan menentukan konteks bagi pembentukan budaya organisasional (dan
111
Jeannie L. Johnson, “Strategic Culture: Methodologies for Research Program,” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defence Threat Reduction Agency, 2006, hlm. 5 (Mimeographed). 112 Johnson, Op. Cit., hlm. 11-14. 113 Mahnken secara spesifik menyebutkan militer sebagai aktor keamanan di tingkat organisasional sehingga ia membagi budaya strategis di tingkat nasional, militer dan masing-masing angkatan di dalam militer. Baca Thomas G. Mahnken, “United States Strategic Culture,” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defense Threat Reduction Agency, 2006, hlm. 4 (Mimeographed).
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
38
budaya sub-organisasional).114 Dengan demikian, memahami budaya nasional yang berkaitan dengan masalah keamanan adalah langkah awal untuk memahami budaya strategis di level berikutnya. Selanjutnya, secara ringkas, model yang akan digunakan untuk menganalisa budaya strategis AS dan Uni Eropa adalah sebagai berikut:
Gambar 1.3 Input Budaya Strategis Sumber: Jeannie L. Johnson, “Strategic Culture: Methodologies for Research Program,” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defense Threat Reduction Agency, 2006, hlm. 15 (Mimeographed).
114
Johnson, Op. Cit., hlm. 8.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
39
1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif di mana analisis dan hasil penelitiannya disusun dalam tulisan naratif untuk kemudian analisis tersebut digunakan untuk membuat kesimpulan. Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa AS dan Uni Eropa mengalami kesulitan dalam melakukan kerja sama di bidang kontra-teror melalui analisis budaya strategis. Adapun, analisis budaya strategis yang penulis jadikan acuan dalam pembuatan tesis ini adalah analisis budaya strategis generasi pertama seperti yang digagas oleh Gray dan dilakukan di tingkat nasional/supranasional. Melalui penelitian ini, penulis berharap menemukan pemahaman baru mengenai aspekaspek strategis dalam penentuan kebijakan kontra-teror antara AS dan Uni Eropa dan menemukan karakteristik rasionalitas yang berlangsung pada kedua aktor keamanan tersebut. Setelah penulis mengadaptasikan konsep-konsep yang sesuai dengan kebutuhan
penulisan,
penulis
akan
melakukan
operasionalisasi
dengan
menghubungkan konsep-konsep yang ada dengan data yang tersedia. Dalam upaya untuk merumuskan sebuah konsep baru, peneliti akan mengkaji data-data kualitatif berupa dokumen resmi dari pemerintah, jurnal ilmiah, buku dan lain sebagainya. Data-data tersebut bisa bersifat data primer yang merupakan data langsung dari sumber resmi seperti dokumen pemerintah atau bisa bersifat sekunder yang berupa tulisan ilmiah yang menganalisa topik serupa yang didapatkan dari jurnal ilmiah, buku, surat kabar dan data-data lainnya yang ditemukan melalui internet. Proses penelitian kualitatif ini selanjutnya bisa dibagi menjadi enam tahap115: 1. Pembuatan pertanyaan sebagai titik awal penelitian. Penulis menyusun pertanyaan yang valid dan akan membantu penulis dalam pencarian literatur, menentukan data apa yang harus dikumpulkan dan mencegah penulis agar tidak melenceng dari penelitian yang direncanakan. 115
Alan Bryman, Social Research Methods Third Edition, Oxford: OUP, 2008, hlm. 370.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
40
2. Menentukan konsep-konsep dan mengoperasionalisasikannya ke dalam topik yang dibahas. Konsep budaya strategis generasi pertama dan kontra-teror strategis dan taktis akan bertindak sebagai panduan bagi penulis dan menjadi referensi umum dalam mendalami bukti-bukti empiris yang tersaji tentang masalah yang diteliti. 3. Pengumpulan data yang relevan melalui studi literatur. Penulis akan mengumpulkan data kualitatif yang berkaitan dengan masalah yang ditelaah berupa tulisan-tulisan di jurnal ilmiah, dokumen resmi dari pemerintah dan buku-buku yang kemudian secara induktif digunakan untuk menajamkan pemahaman mengenai permasalahan. 4. Analisis dan penafsiran data. Dalam menganalisis dan menafsirkan data-data kualitatif yang sudah dikumpulkan, penulis akan menggunakan analisis tematis yaitu analisis yang menekankan pada apa apa yang dikatakan dan bukan pada bagaimana hal itu dikatakan116 untuk menemukan pola-pola yang muncul berupa kesamaan dan perbedaan antara AS dan Uni Eropa berdasarkan empat elemen pembentuk budaya strategis sesuai dengan konsep budaya strategis yang digunakan penulis sebagai panduan. 5. Pembentukan kerangka konseptual. Penulis akan membentuk konsep baru atau menambahkan konsep yang sudah ada mengenai bagaimana budaya strategis memengaruhi kerja sama di bidang kontra-teror antara AS dan Uni Eropa berdasarkan data-data yang ditemukan. Pembentukan konsep itu sendiri disusun berdasarkan data yang tersedia dan menjadi bagian yang integral saat penulis menganalisis data tersebut.
116
Ibid., hlm. 555.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
41
6. Penulisan kesimpulan penelitian. Berdasarkan kerangka konseptual yang terbentuk, penulis kemudian akan menyusun kesimpulan penelitian dan kemudian menyajikan hasil penelitian yang kredibel dan valid. 1.7
Asumsi Penelitian
Berdasarkan beberapa kerangka konseptual yang menjadi panduan penulis dalam penelitian, penulis membuat beberapa asumsi dasar yang akan bertindak sebagai panduan dalam memulai penelitian ini: 1. Saat mengambil keputusan strategis dalam kebijakan kontra-terornya, suatu negara dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sarat nilai dan budaya. 2. Budaya strategis adalah aspek penting dalam penentuan strategi kontrateror dan terbentuk melalui pengalaman, sejarah dan keyakinan. 1.8
Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun menjadi lima bab dengan pembagian sebagai berikut: 1. Bab 1 adalah bagian pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, kerangka konseptual, metodologi penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian dan sistematika penelitian. 2. Bab 2 berisi tentang ancaman terorisme pada saat ini dan langkah-langkah kontra-teror yang dilakukan AS dan Uni Eropa. Selain itu, bab ini juga berisi perbedaan aspek-aspek strategi kontra teror yang dilakukan kedua aktor tersebut. 3. Bab 3 berisi tentang budaya strategis yang menjadi penyebab perbedaan strategi kontra-teror antara AS dan Uni Eropa. 4. Bab 4 berisi analisis penelitian. Selanjutnya, karena budaya strategis antara AS dan Uni Eropa tidak kompatibel, saat mereka terlibat dalam
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
42
kerja sama kontra teror yang lebih intensif keduanya mengalami kesulitan untuk saling memahami dan menerima posisi masing-masing. 5. Bab 5 berisi kesimpulan mengenai penelitian ini dan saran yang bisa digunakan oleh mereka yang tertarik untuk menggunakan analisis budaya strategis dalam mengkaji strategi kontra-teror. Bab ini juga berisi saran kebijakan bagi pemerintah Indonesia dalam menyusun strategi kontraterornya.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
BAB 2 PERBEDAAN AS DAN UNI EROPA MENGENAI TERORISME DAN STRATEGI KONTRA-TEROR
Peristiwa 11 September 2001 adalah sebuah peristiwa yang semakin menunjukkan perbedaan pandangan antara AS dan Uni Eropa. Sebelumnya, kedua belah pihak sempat terlibat dalam perbedaan pendapat mengenai Protokol Kyoto, pertahanan rudal, rogue state (terutama terhadap Irak dan Korea Utara) dan masalah di Timur Tengah. Lalu terjadilah peristiwa 11 September 2001 yang mengundang simpati dari para pemimpin Uni Eropa di mana mereka secara kompak menyatakan keprihatinan dan berjanji akan mendukung AS. Namun tak lama kemudian, perbedaan pandangan pun mulai bermunculan dari beberapa ibu kota di negara-negara Uni Eropa. Dari London, pernyataan awal Tony Blair mengesankan bahwa Inggris bertekad untuk mendukung Perang melawan Terorisme yang dilancarkan AS. Sementara itu, sikap politik dari Paris perlahan mulai menjauh dari solidaritas terhadap AS seperti yang digariskan oleh Uni Eropa. Hal ini terutama disebabkan oleh akan diadakannya pemilu kurang dari enam bulan lagi sehingga Presiden Jacques Chirac memilih untuk lebih memperhatikan dukungan publik yang semakin menurun terhadap perang ke Afghanistan yang dilancarkan AS.117 Di lain pihak, Berlin dan Roma berjuang untuk menunjukkan solidaritas dengan Washington walau berhadapan dengan sentimen negatif dari masyarakat terhadap kebijakan luar negeri AS yang bersifat unilateral. Sementara itu, pemerintah Italia di bawah Silvio Berlusconi yang baru berusia kurang dari empat bulan, terlihat ingin memberikan dukungan penuh terhadap pemerintahan Bush walau sekaligus juga berusaha menjaga jarak. Di negaranegara kecil Uni Eropa seperti Austria, Finlandia dan Yunani pada umumnya 117
Peterson, Op. Cit., hlm. 26-27.
43 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
44
sejak awal menentang tindakan militer dan beranggapan bahwa kebijakan luar negeri AS memberikan efek negatif terhadap negara mereka.118 Dengan demikian, upaya militeristik yang dilakukan AS sebagai respons terhadap peristiwa 11 September 2001 dengan menyerang Afghanistan harus dijalankan sendirian dan semakin mengentalkan keyakinan AS bahwa ia tak bisa bergantung kepada negara lain untuk melindungi kepentingannya, terutama saat kelangsungan hidupnya dalam bahaya. Berbeda dengan respons AS yang cepat dan tegas terhadap terorisme, respons Uni Eropa cukup berjalan lambat dan mengesankan bahwa Uni Eropa tak mampu membuat keputusan dengan segera, terutama keputusan yang membutuhkan respons yang bersifat militeristik. Namun walau memiliki keterbatasan seperti itu dan walau respons masing-masing negara beragam, namun pada dasarnya negaranegara di Eropa memiliki kesamaan dalam penanganan terorisme pasca peristiwa 11 September, yaitu tukar-menukar data intelijen, kerja sama antar kepolisian dan pembangunan kembali Afghanistan pasca perang.119 Perbedaan yang mewarnai hubungan AS dan Uni Eropa dalam merespons ancaman terorisme ini selanjutnya akan kita telusuri berdasarkan penekanan aktivitas kontra-teror di tingkat nasional/supranasional yang dipilih oleh AS dan Uni Eropa yang pada dasarnya mencerminkan pendekatan mereka saat memandang terorisme itu sendiri. Ada pun yang dimaksud aktivitas kontra-teror adalah seperti yang dijelaskan oleh Boaz Ganor, yaitu intelijen, aktivitas ofensif, aktivitas defensif, penggentaran, aktivitas penghukuman, legislasi, kesadaran publik dan kerja sama internasional dan sudah dibahas dengan lebih lengkap dalam kerangka pemikiran di Bab 1. Namun sebelum membahas perbedaan penekanan aktivitas kontra-teror antara AS dan Uni Eropa, terlebih dahulu kita akan melihat perbedaan pengalaman keduanya dalam menghadapi terorisme.
118 119
Ibid., hlm. 28. Ibid.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
45
2.1 Pengalaman AS dan Uni Eropa Dalam Menghadapi Terorisme 2.1.1 Pengalaman AS Dalam Menghadapi Terorisme Dalam sejarahnya, AS pernah mengalami serangan terorisme domestik. AS pernah mengalami peristiwa terorisme dari Weather Underground pada akhir 1960-an dan awal 1970-an,120 pengeboman yang dilakukan kelompok-kelompok religius ekstrem, serangan terhadap klinik aborsi dan aksi teror yang dilakukan oleh Earth Liberation Front dan Animal Liberation Front.121 Namun seranganserangan semacam itu dilakukan secara sporadis dan terlokalisir dan AS tak pernah harus menghadapi serangan teror yang berkelanjutan yang dilakukan oleh satu kelompok tertentu.122 Pengeboman Gedung Federal Oklahoma pada tahun 1995 oleh sekelompok milisi anti pemerintah adalah serangan teroris besar yang dilakukan oleh warga Amerika. Peristiwa itu didahului oleh serangan Bom di World Trade Center pada tahun 1993. Bom itu berhasil menimbulkan kerusakan yang serius, namun gagal merubuhkan menara kembar tersebut. Serangan itu dilakukan oleh organisasi Islamis dan dianggap sebagai serangan teror berukuran besar yang pernah dilakukan oleh kelompok transnasional. Karena hanya sedikit serangan teroris di wilayah AS, ada pemikiran di kalangan pemerintah AS bahwa wilayahnya cukup aman. Dengan demikian, peristiwa 11 September 2001 memberikan pukulan yang cukup keras kepada AS. Dari tahun 1980-an dan 1990-an, hanya 871 warga AS yang tewas akibat terorisme.123 Dalam peristiwa 11 September 2001, 2.783 orang tewas sehingga
120
Christopher Hewitt, Understanding Terrorism in America: From The Klan to al Qaeda, London: Routledge, 2003, hlm. 18. 121 Wyn Rees, Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative, Oxon: Routledge, 2006, hlm 60. 122 Ibid. 123 John Prados, America Confronts Terrorism: Understanding The Danger and How to Think About It : A Documentary Record, Chicago: Ivan Dee, 2002, hlm. 3.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
46
membuat peristiwa ini menjadi serangan teroris terbesar di dunia.124 Terlebih lagi, serangan itu terjadi di ibu kota dan kota yang penting bagi AS. Serangan ini juga menghancurkan simbol ekonomi dan mempermalukan militernya. Tak ada serangan yang bisa menandingi peristiwa ini sejak serangan ke Pearl Harbor pada tahun 1941 dan serangan itu dilakukan oleh pemerintah asing terhadap kekuatan militer AS, bukan oleh aktor transnasional terhadap warga sipil. AS lebih banyak mengalami kasus terorisme sebagai masalah di luar negeri dan bukannya kelompok yang berkembang di dalam negeri. Selama tahun 1980an dan 1990-an, AS mengalami serangkaian serangan teror terhadap warga negaranya, properti dan kepentingannya. Di antaranya adalah pengeboman kedutaan AS dan kompleks Marinir di Beirut pada tahun 1983, pengeboman sebuah diskotek yang sering dikunjungi militer AS di Berlin pada tahun 1986, pengeboman Khobar Towers di Arab Saudi pada tahun 1996, dan pengeboman beberapa kedutaan AS di Afrika pada tahun 1998. Sampai tahun 1998, dari 273 serangan teror yang terjadi pada tahun itu, 40% di antaranya ditujukan kepada AS.125 AS menjadi terbiasa melihat terorisme sebagai fenomena yang terjadi di luar negeri. Pengalaman ini menjadi hal penting dalam respons yang diberikan AS, yaitu mengandalkan instrumen kebijakan yang bersifat eksternal dalam menghadapi ancaman tersebut. Pengalaman ini juga memengaruhi sikap AS terhadap terorisme di Eropa. AS menganggap serangan teror yang terjadi di Eropa sebagai masalah domestik dan tak menganggapnya sebagai ancaman bersama. AS memiliki pengalaman yang terbatas dalam membantu negara-negara Eropa yang mengalami masalah terorisme dan tak berpikir untuk bekerja sama dengan mereka. Selain itu, mengingat AS menganggap terorisme adalah fenomena yang terjadi di luar negeri, AS lebih menekankan pada pengamanan kepentingannya di luar negeri dari ancaman terorisme internasional. Namun setelah peristiwa 11 September dan wilayah AS ternyata tak sepenuhnya kebal dari ancaman terorisme membuat 124
Rees, Loc. Cit. Departemen Luar Negeri AS, “Patterns of Global Terrorism 1999,” , diakses tanggal 3 Maret 2012. 125
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
47
pemerintah AS menyadari bahwa respons yang dilakukannya selama ini di luar negeri ternyata belum cukup. AS kemudian mulai merencanakan operasi militer terhadap Al-Qaeda di Afghanistan dan ini dianggap sebagai langkah pertama dalam perang melawan terorisme. Selain itu, AS juga mulai mengembangkan strategi untuk mempertahankan wilayahnya dan ini merupakan langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya dalam sejarah Amerika. 2.1.2 Pengalaman Uni Eropa Dalam Menghadapi Terorisme AS dan Uni Eropa sama-sama menghadapi ancaman terorisme dan menyadari bahwa dirinya adalah target potensial. Namun mereka memiliki pengalaman historis yang berbeda dalam menghadapi fenomena ini dan hal ini memengaruhi bagaimana mereka merespons ancaman tersebut. Bahkan di antara negara-negara Uni Eropa sendiri, pengalaman dalam menghadapi terorisme berbeda-beda dari satu negara ke negara lain dan hal ini melahirkan sikap yang beragam pula. Beberapa negara Uni Eropa, seperti Belanda dan Belgia cukup beruntung tak pernah mengalami kasus terorisme di dalam negerinya. Sementara di beberapa negara lainnya, seperti Perancis, Spanyol, Inggris, Italia dan Jerman pernah mengalami ancaman terorisme. Spanyol menderita seragan dari kelompok teror ETA dari Basque sampai kelompok itu mengalami kemunduran dan berubah menjadi kekerasan yang sporadis sepanjang tahun 1990-an.126 Inggris mengalami ancaman terorisme dari Provisional Irish Republican Army (PIRA) sampai Perjanjian Good Friday pada tahun 1998. Sementara itu, Perancis yang mendukung pemerintah Aljazair dalam konflik bersenjata dengan Armed Islamic Group (GIA) juga mengalami ancaman terorisme di wilayahnya, terutama pada tahun 1995 dan 1996. Di sisi lain, Jerman juga mengalami ancaman terorisme sebagai hasil dari besarnya komunitas Kurdi dan Turki, namun aksi mereka mengalami penurunan pada tahun 1990-an. Menurut Chalk, “Hanya negara-negara yang pernah mengalami beratnya masalah
126
Peter Chalk, West European Terrorism and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic, Basingstoke: Macmillan, 1996, hlm. 66.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
48
yang ditimbulkan oleh terorisme yang berhasil mengembangkan kesadaran untuk memiliki upaya yang lebih komprehensif.”127 Walau pengalaman beberapa negara Uni Eropa berbeda-beda, namun kebijakan kontra-teror Uni Eropa sebelum peristiwa 11 September 2001 bisa dilacak sejak awal tahun 1970-an saat European Political Cooperation dibentuk128 yang merupakan wadah untuk mengkoordinasikan kebijakan luar negeri negara-negara anggota. Namun demikian, Uni Eropa yang waktu itu masih berbentuk European Community mengalami kesulitan untuk mensinergikan kebijakan kontra-terornya karena negara-negara anggota khawatir kebijakan tersebut akan memengaruhi otonominya untuk menghadapi terorisme secara independen dan baru mulai mendapat perhatian yang lebih serius pada pertengahan tahun 1980-an saat organisasi ini berubah menjadi European Common Market.129 Saat itu, negara-negara Uni Eropa memiliki wadah berupa Grup TREVI (Terrorisme, Radicalisme, Extrémisme et Violence Internationale) yang dibentuk pada tahun 1976 sebagai forum diskusi dan kerja sama kepolisian dan intelijen. Dalam kerangka TREVI ini para Menteri Kehakiman dan Dalam Negeri negaranegara Uni Eropa menyusun sistem untuk menghadapi ancaman teror. Bidang yang
menjadi
fokus
utama
adalah
tukar-menukar
informasi
intelijen,
mengumpulkan kelompok teror yang masuk daftar hitam, menganalisis ancaman teror dari luar negeri, mengkaji kelompok teror tertentu dan mempermudah penahanan dan penuntutan teroris.130 Dengan demikian, berdasarkan sejarahnya, negara-negara Uni Eropa telah terbiasa melakukan kerja sama di bidang penegakan hukum dalam menghadapi ancaman terorisme. Hal ini terlihat dari kerangka kerja TREVI yang kemudian menjadi basis pembentukan Justice and Home Affairs yang menjadi salah satu pilar Uni Eropa berdasarkan Maastricht Treaty pada tahun 1993 sebelum akhirnya berada di bawah ruang lingkup Council of European Union berdasarkan Lisbon 127
Ibid., hlm. 118 Bures dan Ahern, Op. Cit, hlm. 188 129 Ibid., hlm. 189. 130 Ibid. 128
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
49
Treaty pada tahun 2009. Walau Uni Eropa sudah melakukan berbagai upaya untuk menghadapi ancaman teror, namun sebelum peristiwa 11 September 2001 kemajuan yang dicapai sangat lambat.131 Pengalaman Uni Eropa dalam menghadapi terorisme ini kemudian melahirkan persepsi bahwa masalah terorisme adalah masalah dalam negeri. Hanya aksi teror yang dilakukan oleh kelompok Black September dari Palestina pada tahun 1970an yang memengaruhi Uni Eropa secara lebih luas. Hal ini berunjung pada perbedaan pendekatan dalam menangani terorisme saat masing-masing negara memformulasikan metode dan prioritasnya. Hal ini kemudian membuat negaranegara Uni Eropa enggan untuk bekerja sama. Beberapa negara Uni Eropa kadang menolak untuk mengekstradisi orang-orang yang dituduh melakukan aksi teror berdasarkan alasan bahwa kejahatan itu bersifat politis.132 Sebelum peristiwa 11 September 2001, Uni Eropa juga terlihat enggan untuk terlalu dekat dengan AS untuk bekerja sama di bidang kontra-teror karena AS menjadi target utama oleh kelompok-kelompok Islam ekstrem di berbagai negara. Menurut Uni Eropa, terorisme adalah harga yang harus dibayar AS karena aktivitasnya di Timur Tengah dan dukungannya yang terbuka kepada Israel. Selain itu, negara-negara Uni Eropa tak ingin membahayakan akses mereka terhadap minyak dari Timur Tengah.133 Sikap Uni Eropa terhadap ancaman terorisme internasional berubah setelah peristiwa 11 September 2001. Ada keinginan dari Uni Eropa untuk memengaruhi respons yang dilakukan oleh AS. Negara-negara Uni Eropa khawatir upaya kontra-teror yang dilakukan AS yang cenderung unilateral akan menjauhkannya dari negara-negara Uni Eropa yang sudah lama menjadi sekutunya.134 Faktor lainnya yang mengubah sikap Uni Eropa adalah modus operandi para pelaku peristiwa 11 September 2001.135 Kehebatan mereka dalam merancang dan melakukan serangan serta jumlah korban tewas yang ditimbulkan cukup membuat 131
Ibid., hlm. 190. Rees, Op. Cit., hlm. 57 133 Ibid. 134 Ibid., hlm. 57-58 135 Ibid., hlm. 58. 132
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
50
negara-negara Uni Eropa yang tak pernah mengalami ancaman terorisme seperti Belanda dan Belgia menjadi lebih waspada. Menurut Den Boer, dampak peristiwa 11 September 2001 adalah “Perubahan pola pikir Uni Eropa terhadap terorisme yang berubah dari terorisme berbasis negara menjadi terorisme global.”136 Uni Eropa menyadari bahwa dirinya cukup rapuh terhadap terorisme yang dilakukan kelompok Islam ekstrem. Beberapa pelaku dalam peristiwa 11 September 2001 tinggal di Hamburg dan itu menggambarkan bahwa Eropa adalah lingkungan yang ramah bagi kelompok ekstrem dalam mempersiapkan operasinya. Para tersangka teroris secara berturut-turut ditangkap di Spanyol, Inggris, Perancis, Belgia dan Italia dan polisi menemukan bahwa serangan di Eropa berhasil digagalkan.137 Bila ada keraguan tentang keseriusan ancaman terorisme di Eropa, maka keraguan itu dipatahkan oleh serangan di jaringan kereta di Madrid pada 11 Maret 2004 yang menewaskan lebih dari 200 orang dan serangan pada 7 Juli 2005 di London yang menewaskan lebih dari 40 orang.138 Pengeboman di Madrid adalah bukti adanya kaitan antara Al-Qaeda dengan kelompok Islam ekstrem di negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair dan Maroko. Spanyol mungkin menjadi sasaran karena mendukung perang di Afghanistan dan Irak yang dipimpin oleh AS. Pengemboman di London menunjukkan radikalisasi yang terjadi di kalangan kelompok Muslim yang lahir dan besar di Inggris. Penemuan sel teror di beberapa kota di negara-negara Uni Eropa membuat masalah imigran Muslim yang tinggal di Eropa menjadi perhatian. Di Belanda ada satu juta Muslim, di Inggris ada 1,5 juta, di Jerman lebih dari 4 juta dan di Perancis ada 6 juta imigran Muslim.139 Beberapa dari mereka telah berbaur, mendapatkan pekerjaan yang baik dan memiliki kehidupan yang layak. Namun 136
Monica den Boer, “The EU Counterterrorism Wave: Window of Opportunity or Profound Policy Transformation?,” dalam Marianne Van Leuween (ed.), Confronting Terrorism. European Experiences, Threat Perceptions and Policies, Den Haag: Kluwer Law International, 2003, hlm. 191. 137 Thérèse Delpech, “International Terrorism and Europe,” Chailot Paper No. 56, Paris: European Union Institute for Security Studies, Desember 2002, hlm. 16-20. 138 Rees, Op. Cit., hlm. 58. 139 Ibid.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
51
imigran lainnya, terutama yang berasal dari negara-negara miskin seperti Pakistan dan Aljazair mengalami perlakuan yang diskriminatif dan berjuang untuk mendapatkan kesempatan kerja. Upaya untuk mempertahankan budaya dan agama adalah cara mereka untuk mengekspresikan identitas mereka, namun sebagian melangkah lebih jauh lagi dengan menolak konsep integrasi. 140 Hal ini menimbulkan ketidakpuasan bagi masyarakat setempat yang menafsirkan kesalehan yang diekspresikan secara terbuka dalam bentuk aturan berbusana yang Islami itu sebagai penolakan terhadap nilai-nilai lokal. Para imigran Muslim yang tak berhasil meraih kesejahteraan di negara barunya menjadi begitu teralienasi dan mudah tergoda untuk bersimpati terhadap pesanpesan yang disebarkan oleh kelompok Islam ekstrem. Selain itu, Perang Melawan Teror yang dilancarkan AS menimbulkan sentimen anti-AS yang semakin kuat sehingga menimbulkan apa yang disebut oleh Roy sebagai “diasporic radicalization” di kalangan imigran Muslim.141 Menyadari hal tersebut, negara-negara Uni Eropa berusaha melokalisir kelompok ekstrem agar tak memengaruhi komunitas Muslim secara luas. Uni Eropa pada dasarnya menyadari kerapuhannya dari ancaman terorisme. Perbatasannya yang terbuka, tradisi imigrasi yang sudah ada sejak lama, diberlakukannya pasar tunggal dan badan penegak hukum dan sistem hukum yang beragam membuatnya menjadi target yang mudah bagi serangan kelompok teror. Saat negara-negara Uni Eropa tak lagi bisa membedakan antara keamanan internal dan eksternalnya, mereka terpaksa untuk bekerja sama dan berusaha menemukan cara-cara baru untuk menghadapi tantangan tersebut. 2.2 Pendekatan Dalam Memandang Terorisme dan Penekanan Aktivitas Kontra-teror Pasca 11 September 2001 Kontra-teror pada dasarnya adalah pantulan cermin dari terorisme. Keduanya sama-sama aktivitas yang menggunakan kekerasan dan ditujukan untuk meraih 140
Walter Laqueur, “The Terrorism to Come: Rules of Law and Warfare Do Not Apply,” Policy Review 126, (1 Agustus 2004), < http://www.hoover.org/publications/policy-review/article/7371>, diakses tanggal 3 Maret 2012. 141 Olivier Roy, “EuroIslam: The Jihad Within,” The National Interest 71 (Spring 2003), hlm 64.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
52
legitimasi dari masyarakat dengan mendelegitimasi pihak lawannya. Dengan demikian untuk memahami penekanan aktivitas kontra-teror yang diambil oleh suatu negara, pertama-tama kita harus melihat terlebih dulu pendekatan yang mereka gunakan dalam melihat terorisme itu sendiri. Ganor mengatakan bahwa pemerintah yang berbeda mungkin menggunakan langkah-langkah kontra-teror yang sama, seperti aktivitas ofensif, defensif dan penghukuman, namun walau demikian ada perbedaan mengenai sejauh mana langkah-langkah ini digunakan, penentuan waktu untuk aktivitas tersebut dan aktivitas apa yang lebih mereka tekankan.142 Selanjutnya, setelah kita melihat pendekatan terhadap terorisme yang dimiliki oleh AS dan Uni Eropa, baru kemudian terlihat perbedaan pada penekanan aktivitas kontra-terornya. Secara ringkas, pendekatan yang diambil AS terhadap terorisme lebih bersifat perang, eksternal dan proaktif sehingga aktivitas kontrateror yang lebih ditekankan adalah aktivitas ofensif yang didukung oleh aktivitas intelijen yang lebih bersifat operasional dan pre-emptive dan penggentaran yang bersifat ofensif dan defensif. Sementara itu, pendekatan yang diambil oleh Uni Eropa dalam menghadapi terorisme adalah lebih melihatnya sebagai suatu tindak kejahatan, internal dan reaktif. Dengan demikian, aktivitas kontra-teror yang lebih menonjol dan ditekankan oleh Uni Eropa adalah aktivitas legislasi dan penghukuman ditambah dengan aktivitas yang cenderung defensif dan aktivitas penggetaran yang bersifat defensif dan legal dengan aktivitas intelijen yang lebih bersifat criminal-punitive dan pre-emptive. 2.2.1 Pendekatan Dalam Memandang Terorisme dan Penekanan Aktivitas Kontra-teror yang Dilakukan oleh AS Begitu terjadi peristiwa 11 September 2001, AS memberikan respons yang cepat terhadap ancaman terorisme yang dialaminya. Sejak peristiwa 11 September, terutama saat pemerintahan Presiden Bush, AS menganggap ancaman yang diberikan oleh kelompok teror global seperti Al-Qaeda merupakan ancaman
142
Ganor, Op. Cit., hlm. 45.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
53
keamanan nasional dan global, sebuah ancaman yang menuntut diberlakukan keadaan darurat perang untuk mencegah serangan di masa depan.143 Seperti Perang Dingin yang berlangsung selama 45 tahun, perang global melawan teror, menurut perspektif resmi pemerintah AS adalah perang yang akan berlangsung dalam waktu yang tak bisa ditentukan.144 Mengingat posisinya sebagai negara adidaya, peristiwa 11 September 2001 memaksa AS melakukan langkah tegas dan Presiden George W. Bush membicarakan tentang retaliasi sebagai indikasi yang jelas bahwa AS akan melaksanakan operasi militer untuk menuntut balas terhadap serangan yang telah dilakukan Al-Qaeda di wilayah AS. Dengan demikian, AS pun mencurahkan sebagian besar sumber dayanya untuk pendekatan yang lebih bersifat militeristis. Kenyataannya, pemerintahan Bush terus menegaskan bahwa upaya AS sebelum peristiwa 11 September 2001 relatif tak efektif dalam menghadapi ancaman terorisme karena mereka selama ini terlalu mengandalkan pendekatan penegakan hukum.145 Selain itu, AS merasa tidak terlalu yakin dengan keefektifan PBB sebagai lembaga internasional dalam merespons ancaman terorisme. Dalam pidato di depan Kongres pada tanggal 20 September 2001, Presiden Bush membicarakan tentang kesempatan untuk mengubah dunia.146 Pada hari yang sama Dewan Keamanan PBB meloloskan dua resolusi, yaitu mengutuk terorisme dan mendirikan Committee on Counterterrorism (CTC). Namun badan internasional itu tak mampu membuat definisi yang pasti mengenai terorisme sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa efektif badan tersebut menghadapi ancaman global
ini.
Berdasarkan
keprihatinan
seperti
itu,
AS
pun
akhirnya
mengesampingkan PBB dan membentuk sendiri koalisi multi-nasional untuk melawan terorisme dan memastikan keamanan nasionalnya terlindungi.
143
Cortright dan Lopez, Op. Cit., hal. 2. Carlos Echeverría Jesús, “Terrorism and Homeland Security,” dalam Natividad Fernández Sola dan Michael Smith (eds.), Perceptions and Policy in Transatlantic Relations: Prospective Visions From the US and Europe, Oxon: Routledge, 2009, hlm. 162. 145 Cortright dan Lopez, Op. Cit., hal. 1. 146 George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Washington DC, 20 September 2001, < http://articles.cnn.com/2001-09-20/us/gen.bush.transcript_1_joint-sessionnational-anthem-citizens?_s=PM:US>, diakses tanggal 6 Maret 2012. 144
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
54
Pada dasarnya, secara ringkas pendekatan AS terhadap ancaman terorisme bisa digambarkan menjadi tiga kata: perang, eskternal dan proaktif. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, AS melihat upaya melawan terorisme sebagai perang. National Security Strategy 2006 bahkan memulai tulisannya dengan berkata, “Amerika sedang berperang.”147 Dengan demikian, pemerintah AS lebih mengandalkan upaya kontra-terornya pada Departemen Pertahanan dan militernya dalam mengganggu jaringan teroris dan menangkap atau membunuh para pelaku. Al-Qaeda dianggap sebagai aktor non-negara yang mengancam keamanan nasional dan para pejabat AS secara konsisten menyatakan bahwa perang ini berbeda dari konflik militer konvensional dengan aktor negara, walau tetap merupakan konflik bersenjata. Kedua, pendekatan AS lebih menekankan pada pendekatan eksternal. Bagi AS, jaringan Al-Qaeda yang berada di berbagai negara, termasuk pemerintahan Taliban di Afghanistan yang melindungi Al-Qaeda, membuat AS beranggapan bahwa ancaman terorisme ini adalah ancaman yang berasal dari luar. Dengan demikian, pendekatan yang diambil AS selalu konsisten, yaitu melawan musuh dan mendorongnya keluar dari perbatasannya. Pendekatan berupa pertahanan dengan menyerang seperti itu sejalan dengan kebijakan keamanan nasional AS sejak akhir Perang Dingin. Seperti yang dikatakan Dan Hamilton, “Walau terjadi peristiwa 11 September 2001 di wilayah AS, naluri alamiah dari sebuah negara yang dikelilingi oleh dua samudra masih tetap melawan musuhnya di luar negeri sehingga ia tak harus melawannya di teritorinya.”148 Ketiga, pendekatan AS lebih bersifat proaktif. Dari perspektif institusional, AS kemudian membentuk Department of Homeland Security (DHS) dan melakukan reformasi besar-besaran di dalam komunitas intelijen untuk lebih siap dalam
147
Pemerintah AS, The National Security Strategy, Washington DC: White House, Maret 2006, hlm. i. 148 Daniel Hamilton, “Introduction: Transforming Homeland Security: A Road Map for the Transatlantic Alliance,” dalam Esther Brimmer (ed.), Transforming Homeland Security: US and European Approaches, Washington, DC: Center for Transatlantic Relations, 2006, hlm. xiii.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
55
menghadapi ancaman di masa depan.149 Pada bulan Mei 2003, AS juga membentuk Proliferation Security Initiative (PSI) yang bertujuan “untuk menciptakan pendekatan yang lebih dinamis, kreatif dan proaktif untuk mencegah penyebaran ke atau dari negara dan aktor non-negara yang berkaitan dengan proliferasi senjata pemusnah massal.”150 Selain itu, pendekatan proaktif lainnya yang dilakukan AS adalah mempromosikan reformasi dan demokrasi di Timur Tengah dan beranggapan bahwa kesempatan ekonomi dan demokrasi adalah hal yang dibutuhkan untuk menangkal ideologi radikal. AS juga menyadari bahwa masalah Israel dan Palestina bisa menjadi alasan bagi beberapa pihak di Timur Tengah untuk menggunakan cara-cara kekerasan dan memicu radikalisme. Hal ini ditegaskan dalam National Counter-terrorism Strategy 2003 yang menyatakan bahwa “Menemukan solusi dalam konflik Israel-Palestina adalah komponen penting dalam memenangkan perang pemikiran. Tak ada masalah lainnya selain konflik Israel-Palestina yang begitu memengaruhi persepsi AS di mata dunia Muslim.”151 Dengan demikian, sesuai dengan pendekatan yang diambil AS dalam menghadapi terorisme seperti yang dijabarkan di atas, maka aktivitas kontra-teror yang lebih ditekankan oleh AS adalah aktivitas-aktivitas yang lebih bersifat ofensif dengan melakukan tindakan militeristis seperti menyerang Afghanistan, melakukan operasi khusus di kawasan di mana anggota Al-Qaeda berada, melaksanakan
targeted
killing
terhadap
Osama
Bin
Laden,
hingga
mengembangkan kerja sama kontra-teror di kawasan Asia Selatan dan negaranegara lain di mana Al-Qaeda dan organisasi lain yang berafiliasi dengannya berada. Aktivitas yang bersifat ofensif ini tak lain bertujuan untuk mengganggu aktivitas organisasi teror tersebut dengan membunuh dan menangkap dan menghancurkan sel, jaringan dan infrastruktur mereka, membalas dendam dan memberi pelajaran terhadap Al-Qaeda, sekaligus menunjukkan bahwa AS mampu 149
David T. Armitage, Jr., “US and EU Efforts to Fight Terrorism: Same Ends, Different Means – Or Same Means, Different Ends?,” makalah yang disampaikan dalam European Union Studies Association Conference, Montreal, Kanada, Mei 17-19 2007, hlm. 6. 150 Departemen Luar Negeri AS, “Proliferation Security Initiative,” , diakses tanggal 6 Maret 2012. 151 Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism,Washington DC: White House, Februari 2003, hlm. 24.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
56
mengambil langkah tegas dan keras kepada mereka yang berani melakukan aksi teror terhadap AS sehingga menimbulkan efek penggentaran. Selain itu, aktivitas ofensif yang dilakukan AS juga bertujuan untuk menghancurkan moral para anggota Al-Qaeda dan pendukungnya yang masih tersisa sehingga melemahkan perjuangan mereka selanjutnya. Aktivitas ofensif ini juga penting untuk dilakukan pemerintah AS untuk menunjukkan kepada rakyatnya bahwa pemerintah mampu melakukan sesuatu untuk menjamin keamanan dan keselamatan mereka. Selanjutnya, semua aktivitas ofensif ini pada akhirnya diharapkan akan mencegah Al-Qaeda untuk kembali melakukan serangan terhadap AS. Namun demikian, aktivitas ofensif yang dilakukan oleh AS takkan bisa tepat sasaran dan berjalan dengan mulus apabila tidak didukung oleh intelijen operasional yang baik. Hal ini disadari AS dengan melakukan reformasi dan perbaikan dalam komunitas intelijennya. Intelijen operasional ini diperlukan karena menyediakan informasi yang membantu militer dalam menemukan lokasi di mana teroris berada sekaligus mengidentifikasi organisasi teror dan teroris yang berada di sana. AS juga ingin komunitas intelijennya terus memberikan penilaian ancaman selain juga membuat laporan mengenai peta kekuatan, baik yang dimiliki oleh kelompok teror dan yang tak kalah pentingnya adalah sumber daya yang dimiliki AS di kawasan tersebut. Mengingat pentingnya intelijen operasional sebagai pendukung aktivitas ofensif yang dilakukan AS, maka negara tersebut melakukan reformasi struktural dalam komunitas intelijennya dengan membentuk Director of National Intelligence (ODNI) pada tahun 2004 untuk memobilisasi komunitas intelijen yang lebih terintegrasi dan memudahkan pembagian informasi. ODNI dibentuk oleh Kongres dan bertugas mengkoordinasikan komunitas intelijen yang besar dan rumit, menentukan kebikan, mengelola anggaran National Intelligence Program dan memastikan integrasi di seluruh komunitas intelijen. ODNI juga mendukung 15 Mission and Support Activities seperti National Counterterrorism Center,
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
57
National Intelligence Council, National Counterprofeliteration Center dan Intelligence Advanced Research Project Activity.152 Salah satu keberhasilan kerja intelijen yang mendukung aktivitas ofensif yang dilakukan AS adalah targeted killing terhadap Osama Bin Laden di wilayah Pakistan. Hal ini juga menunjukkan integrasi dan kerja sama antara intelijen militer dan intelijen sipil, serta antara pasukan operasi khusus dan intelijen yang semakin baik.153 Walau demikian, AS masih mengalami tantangan dalam mengembangkan human intelligence dalam mendukung upaya kontra-terornya154 dan walau merupakan aktivitas yang penting, komunitas intelijen terancam mengalami pemotongan dana yang cukup besar untuk tahun fiskal 2013.155 Selanjutnya, selain aktivitas ofensif yang berdasarkan pada pendekatan AS yang lebih eksternal dan proaktif, penggentaran ofensif dan defensif yang dilakukan AS pada dasarnya juga ditujukan agar serangan teror tak lagi terjadi di wilayahnya. Langkah penggentaran ofensif pertama kali dilakukan AS melalui pidato Bush di hadapan Kongres pada tanggal 20 September 2001 dengan berkata, “You are with us, or you are with terrorist” dan mengancam pemerintahan Taliban agar tak lagi melindungi para anggota Al-Qaeda di Afghanistan dan kemudian benar-benar melakukan operasi militer begitu pemerintahan Taliban tak mengindahkan ancamannya. Serangan ke Afghanistan juga menjadi peringatan156 152
Office of Director National Intelligence, Question and Answers on The Intelligence Community Post 9/11, Washington DC: Office of Director National Intelligence, 2 Mei 2011, hlm. 4. 153 Cheryl Pellerin, Officials: Defense-Intelligence Integration Strongest Since 9/11, Washington DC: American Forces Press Service, 8 September 2011, , diakses tanggal 27 Maret 2012. 154 Mengenai tantangan dan kesulitan yang dihadapi AS di bidang human intelligence, baca Richard A. Best, Jr., Intelligence to Counter Terrorism: Issues for Congress, Washington DC: Congressional Research Service, 27 Mei 2003. 155 Walter Pincus dan Greg Miller, “Federal Budget 2013: Intelligence Agencies Would Get 4.4 Percent Less.” Washington Post 13 Februari 2012, , diakses tanggal 27 Maret 2012. 156 Penggentaran yang dilakukan suatu negara dimulai dari tingkatan terendah yaitu peringatan, pengutukan, embargo budaya, embargo diplomatik, boikot ekonomi, persidangan terbuka bagi pemimpin negara musuh hingga puncaknya adalah tindakan ofensif. Untuk mengetahui lebih banyak tentang sanksi yang bisa dijatuhkan oleh suatu negara terhadap state sponsors of terrorism, baca Boaz Ganor, The Counter-terrorism Puzzle: A Guide for Decision Makers, New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2005, hlm 79-92.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
58
dan bagian dari penggentaran ofensif yang dilakukan AS kepada pihak-pihak yang memberikan dukungan kepada terorisme. Upaya untuk mencegah agar aksi terorisme tak terjadi di wilayahnya dengan cara-cara yang proaktif tak hanya dilakukan AS melalui aktivitas penggentaran ofensif saja, tapi juga dengan melakukan penggentaran defensif, baik yang melibatkan sipil dengan konsep homeland security dan melibatkan militer dengan konsep homeland defense.157 Pembentukan Departement of Homeland Security dan Proliferation Security Initiative adalah salah satu bentuk upaya penggentaran defensif sipil yang dilakukan AS yang bertujuan untuk mencegah serangan teror dengan mempersulit teroris mencapai sasaran yang diinginkannya di wilayah AS melalui identifikasi dini dan netralisasi. Selain itu, proses pemberian visa yang lebih hati-hati, pengamanan di bandara dan dermaga yang semakin ketat, pemeriksaan imigrasi yang semakin ditingkatkan, sekaligus pengamanan terhadap obyek vital yang semakin sulit ditembus akan memberikan efek penggentaran kepada teroris saat ingin menjalankan rencananya sehingga membuat mereka merasa aksinya itu takkan berhasil atau akan mengalami kegagalan. Sementara itu, Department of Defense bertanggung jawab untuk melakukan penggentaran defensif yang lebih bersifat militeristik di mana militer digunakan untuk melindungi kedaulatan, teritori, penduduk domestik dan infrastruktur pertahanan penting melawan ancaman eksternal dan agresi dari teroris.158 Semua aktivitas defensif ini kemudian didukung oleh aktivitas intelijen pre-emptive dengan koordinasi berada di tangan ODNI 2.2.2 Pendekatan Dalam Memandang Terorisme dan Penekanan Aktivitas Kontra-teror yang Dilakukan oleh Uni Eropa Berbeda dengan AS, Uni Eropa cenderung tak melihat terorisme sebagai perang, melainkan sebagai tantangan jangka panjang yang harus dikelola.159 157
US Joint Chiefs of Staff, Homeland Defense. Washington DC: US Joint Chiefs of Staff, 12 Juli 2007, hlm. viii-ix. 158 Mengenai jenis ancaman dan cakupan operasional yang menjadi tanggung jawab militer dalam konsep homeland defense, baca US Joint Chiefs of Staff, Homeland Defense, Ibid. 159 Rees, Op. Cit., hlm. 72
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
59
Menurut pandangan mereka, kekuatan militer adalah instrumen yang tak efektif dalam menghadapi terorisme. Pengalaman mereka yang panjang dalam melawan terorisme di dalam negerinya telah meyakinkan negara-negara Uni Eropa bahwa kekuatan bersenjata adalah alat yang tak memuaskan dan cenderung membabi buta saat melawan target yang sulit ditemukan dan dibedakan. Menurut pandangan mereka, kekuatan militer hanya mampu memberikan solusi yang sederhana dan apabila terjadi kesalahan akan sulit untuk diperbaiki. Selain itu, Uni Eropa melihat kekuatan bersenjata sebagai pilihan terakhir dan ini terbentuk karena pengalaman historis mereka. Setelah melewati dua perang dunia yang meluluhlantakkan wilayahnya, negara-negara Uni Eropa berusaha untuk menjauhi konflik. Mereka kemudian mencapai sifat postmodern dan berusaha
memecahkan
perbedaan
melalui
negosiasi
dan
berusaha
mengembangkan organisasi internasional untuk menemukan aturan yang disepakati bersama.160 Pemulihan hubungan antara Perancis dan Jerman adalah bukti bagaimana negara-negara Eropa telah melampaui persaingan militer yang dulunya mewarnai kawasan ini. Mereka juga mengetahui dari pengalaman pahit betapa sulitnya untuk mencapai perdamaian yang memuaskan bahkan setelah permusuhan berhasil dihentikan. Menurut Rees, Archik, Armitage dan Cortright dan Lopez, negara-negara Uni Eropa menganggap terorisme sebagai masalah penegakan hukum dan bukannya masalah yang harus diselesaikan oleh militer.161 Kebijakan kontra-teror yang dikeluarkan oleh Uni Eropa adalah dengan melihat terorisme sebagai sesuatu yang hanya bisa dihadapi dengan strategi yang komprehensif dan pada dasarnya mengakui sifat ancaman terorisme yang kompleks. Dengan demikian, Uni Eropa melihat instrumen utama untuk melawan terorisme adalah dengan menggunakan instrumen sipil, yaitu kerja sama di bidang penegakan hukum, mengadili para
160
Mengenai sifat negara premodern, modern dan postmodern, baca Robert Cooper, The Breaking of Nations: Order and Chaos in the Twenty First Century, Atlantic Books: London, 2003. 161 Rees, Op. Cit., hlm. 72; Kristin Archik, Europe and Counterterrorism: Strengthening Police and Judicial Cooperation, Washington DC: Congressional Research Service Report, 23 Agustus 2004, hlm. 22; Armitage, Op. Cit., hlm. 7; Cortright dan Lopez, Op. Cit., hlm. 7.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
60
teroris di pengadilan pidana dan berbagi data intelijen.162 Dengan demikian penegakan hukum dan mengadili pelaku hanya akan dilakukan setelah pelanggaran terjadi dan membutuhkan pembuktian yang teliti dan menghormati batas-batas yuridiksi. Hal ini tentu berbeda dengan preferensi AS untuk memprioritaskan pendekatan militeristik. Dengan demikian, secara ringkas pendekatan yang digunakan oleh Uni Eropa dalam menghadapi ancaman terorisme adalah memandangnya sebagai kejahatan, internal dan reaktif. Bagaimana Uni Eropa melihat terorisme sebagai tindak pidana bisa kita lihat dari dokumen-dokumen yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang berkaitan dengan terorisme. Dalam EU Action Plan on Combating Terrorism dan EU Counterterrorism Strategy, terlihat bahwa organisasi ini lebih menekankan pada legislasi untuk mengkriminalkan terorisme. Selain itu, sesuai dengan pengalamannya bahwa ancaman terorisme adalah masalah dalam negeri, pendekatan terorisme sebagai tindak pidana domestik masih terasa kental dalam EU Counterterrorism Strategy di poin “Pursue” di mana Uni Eropa akan “memperkuat kemampuan nasional untuk menghadapi terorisme.”163 Selain itu, berbeda dengan AS yang cenderung unilateral, Uni Eropa beranggapan terorisme adalah masalah yang bisa diselesaikan melalui “konsensus internasional lewat PBB atau badan internasional lainnya dan dicapai dengan dialog dan perjanjian.”164 Dengan demikian, walau Uni Eropa melakukan banyak hal dalam mengejar, mengganggu dan membongkar jaringan teroris, namun Uni Eropa juga terkesan percaya dengan berhasil mencapai kesepakatan internasional di bidang kontra-teror akan cukup untuk menghentikan aksi terorisme. Kedua, berbeda dengan AS di mana strategi kontra-terornya sangat dipengaruhi oleh dimensi eksternal, Uni Eropa lebih terfokus pada dimensi internal. Badan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kontra-teror bukan Departemen Pertahanan seperti yang dilakukan oleh AS, melainkan Home Affairs di bawah
162
Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Brussel: 30 November 2005. 163 Ibid., hlm. 14. 164 Ibid.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
61
European Commission yang bertugas mengkoordinasi Departemen Dalam Negeri dan Kehakiman di masing-masing negara anggota sebagai pelaksana sehari-hari. Sementara itu, badan yang bertugas untuk membentuk kebijakan kontra-teror di Uni Eropa adalah Justice and Home Affairs di bawah Council of European Union. Departemen Dalam Negeri dan Kehakiman, bersama-sama dengan badan intelijen di tingkat negara anggota, adalah ujung tombak dalam upaya menghadapi ancaman terorisme. Selain itu, peran militer seperti yang tertuang dalam Common Security and Defence Policy (CSDP) memiliki hubungan yang sangat kecil dengan kontra-teror. Dalam pandangan Common Foreign and Security Policy (CFSP) yang merupakan dasar dalam pembentukan CSDP, CSDP lebih menekankan pada stabilisasi konflik regional, rekonstruksi, penjaga perdamaian dan misi kemanusiaan.165 Terakhir, pendekatan kontra-teror Uni Eropa bisa dikategorikan sebagai reaktif di mana organisasi ini melakukan berbagai upaya tak lama setelah serangan dan kemudian pelaksanaan berikutnya terganjal oleh pertimbangan politik. Upaya kontra-teror Uni Eropa baru membuat kemajuan terutama karena serangan atau percobaan serangan teroris, di antaranya adalah peristiwa 11 September 2001 di AS, pengeboman Madrid pada tahun 2004, pengeboman London pada tahun 2005 dan rencana terorisme pada bulan Agustus 2006 di Inggris.166 Sebelum peristiwa 11 September 2001, Uni Eropa tak memiliki definisi bersama atau hukuman yang standar bagi tindak pidana terorisme. Namun peristiwa yang terjadi di AS itu menyadarkan negara-negara anggota Uni Eropa dan bertindak dengan cukup cepat. Negara-negara anggota menyepakati definisi bersama untuk terorisme. Mereka membuat daftar bersama untuk organisasi teror dan segera membekukan aset-aset mereka. Mereka sepakat untuk memperkuat European Police Office (Europol) dan menerapkan European Arrest Warrant (EAW) yang berlaku di seluruh negara anggotanya. Bagaimana negara-negara Uni Eropa menegosiasikan EAW berbeda dari sebelumnya. Para negara anggota 165
Council of European Union, Conceptual Framework on The European Security and Defense Policy (ESDP) Dimension of the Fight Against Terrorism, Brussel: Council of European Union, 18 November 2004, hlm. 4. 166 Armitage, Jr., Op. Cit., hlm. 11.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
62
sering berkonsultasi dengan AS. Sebelumnya, saat membahas Mutual Legal Assistantance Treaties (MLAT), negara-negara Uni Eropa berkonsultasi secara internal dan tak melibatkan AS.167 Selanjutnya pada Desember 2003, Uni Eropa membuat European Security Strategy (ESS) yang berisi ancaman utama bagi Uni Eropa, yaitu terorisme, penyebaran senjata pemusnah massal, konflik regional dan etnis, negara gagal dan kejahatan terorganisir. Namun walau semua pencapaian ini cukup mengesankan, momentum untuk terus melaksanakannya tak lama kemudian pun menyurut. EAW yang disepakati pada bulan Desember 2001 baru diterima oleh seluruh negara anggota pada tahun 2004. Selanjutnya, masih terjadi masalah. Pada Februari 2005, European Commission mencatat sebelas dari 25 negara anggota membuat kesalahan saat mentransfer legislasi surat perintah penangkapan ke hukum nasional.168 Perbedaan budaya dan birokrasi antara penegak hukum dan badan intelijen menjadi masalah dalam kerja sama. Selain itu, masalah lain yang dimiliki oleh Uni Eropa dalam menyusun daftar teroris adalah CP 931 WP169 harus mencapai suara bulat dan itu berarti satu negara bisa membuat kelompok teror tertentu tidak dimasukkan ke daftar teroris. Pengeboman yang terjadi di Madrid bulan Maret 2004 kembali mendorong negara-negara Uni Eropa mengkoordinasikan upaya kontra-terornya. Uni Eropa kemudian membentuk Counterterrorism Coordinator dan menunjukkan Deputi Menteri Dalam Negeri Belanda, Gijs De Vries sebagai ketuanya. 170 Sesuai kewenangannya, De Vries merampingkan instrumen kontra-teror Uni Eropa, menilai ancaman teroris di Eropa dan memonitor implementasi legislasi yang
167
Ibid., hlm. 12. Ibid. 169 Sebelumnya disebut Clearing House, kelompok kerja yang dibentuk oleh Council of European Union dan terdiri dari negara anggota Uni Eropa, European Commission dan Secretary General of Council European Union ini bertugas untuk membuat daftar teroris. Kelompok kerja tersebut berada di bawah Committee of Permanent Representatives. Mengenai tugas dan kewenangan kelompok kerja ini, baca Christina Eckes, EU Counterterrorism Policies and Fundamental Rights: The Case of Individual Sanctions, Oxford: OUP, 2009 dan Iain Cameron, “Blacklisting and Financial Sanction Against Suspected Terroris,” dalam Hans Born, Ian Leigh dan Aidan Wills (eds.), International Intelligence Cooperation Accountability, Oxon: Routledge, 2011. 170 Armitage, Jr., Op. Cit., hlm. 13. 168
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
63
dimandatkan Uni Eropa kepada negara-negara anggotanya. Namun De Vries hanya mendapat staf dan anggaran yang terbatas. Selain itu, ia tak memiliki kewenangan operasional.171 Setelah ia mundur pada tahun 2007, Situation Center (SITCEN) mendapat tambahan tanggung jawab untuk memberikan informasi dan analisis ancaman terorisme di wilayah Uni Eropa. Walau demikian, unit tersebut kecil dan hanya berisi para ahli yang dikirimkan oleh para negara anggota. Pengeboman London pada Juli 2005 adalah serangan lain yang menyadarkan negara-negara Uni Eropa. Fakta bahwa pelaku bom bunuh diri ini lahir dan besar di Inggris membuat Uni Eropa menjadi lebih waspada. Negara-negara anggota kemudian menyepakati Counterterrorism Strategy pada November 2005. Hal yang paling menonjol dari strategi ini adalah perlunya melawan radikalisasi dan rekrutmen teroris.172 Selanjutnya, pada Desember 2005, Uni Eropa menerbitkan Action Plan on Combating Terrorism yang berisi matriks aktivitas yang mendetail, tujuan yang harus dicapai, tenggat waktu dan badan Uni Eropa apa yang harus menanganinya. Walau Action Plan ini sangat detail dan berorientasi pada target yang jelas, Raphael Bossong berpendapat bahwa Uni Eropa akan tetap mengalami kesulitan dalam penerapannya karena Uni Eropa bukan organisasi yang bersifat top-down dalam memaksakan suatu keputusan saat terjadi konflik kebijakan.173 Selanjutnya, melihat pendekatan Uni Eropa yang menganggap terorisme sebagai kejahatan, maka aktivitas kontra-teror yang dilakukan oleh organisasi tersebut lebih ditekankan pada aktivitas legislasi dan penghukuman. Hal ini terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Justice and Home Affairs dan Council of European Union yang menggelar rapat khusus pada tanggal 20 September 2001 dan 21 September 2001 yang kemudian menghasilkan EU Plan Action on Combating Terrorism yang mengikat negara-negara anggota untuk memperkuat kerja sama di bidang penegakan hukum dan menegaskan komitmen 171
Ibid. Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm. 6-7. 173 Raphael Bossong, “The Action Plan on Combating Terrorism: A Flawed Instrument of EU Security Governance,” Journal of Common Market Studies 46:1 (2008), hlm. 33-34. 172
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
64
Uni Eropa untuk mengembangkan instrumen legal di tingkat internasional. Plan Action itu sendiri menjadi dasar bagi pembentukan EU Framework Decision on Combating Terrorism yang disetujui pada tahun 2002 yang berisi tentang definisi terorisme, tindakan seperti apa yang dianggap sebagai pelanggaran tindak pidana terorisme dan hukuman seperti apa yang harus dijatuhkan, baik kepada perseorangan maupun kelompok. Kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa di bidang kontra-teror seperti yang disebut di atas selanjutnya mengikat seluruh negara anggotanya untuk memiliki kerangka hukum yang sesuai dengan dokumen-dokumen tersebut. Selain itu, negara-negara anggota yang selama ini tak merasa memiliki ancaman terorisme yang
besar,
terpaksa
memperkuat
perundang-undangannya
dengan
mengkriminalkan aksi terorisme dan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari hukuman pidana biasa. Dengan demikian, aktivitas legislasi yang ditekankan oleh Uni Eropa bertujuan untuk membentuk UU tindak pidana terorisme yang lebih pasti dan bukan UU darurat pengganti UU pidana yang sudah ada. Selanjutnya, aktivitas di bidang legislasi ini diikuti dengan aktivitas penghukuman. Dalam aktivitas legislasi, Uni Eropa menentukan bahwa terorisme adalah tindak pidana dan dengan demikian pelakunya akan dikenakan hukuman. Seberapa besar tindak pidana yang dilakukan pelaku maka akan menentukan seberapa besar hukuman yang diterima. EU Framework Decision on Combating Terrorism sendiri mewajibkan negara-negara anggota untuk memberikan hukuman yang seragam bagi pelanggaran tindak pidana terorisme dengan ancaman penjara minimal selama 15 tahun bagi mereka yang memimpin kelompok teror dan hukuman penjara minimal selama delapan tahun bagi mereka yang terlibat dalam kelompok teror.174 Langkah penghukuman ini di antaranya ditujukan untuk menjauhkan orangorang yang berbahaya dari masyarakat dan kemudian Uni Eropa memastikan 174
Pasal 5 ayat 3 Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism. Council of European Union, Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism, Brussel: Council of European Union, 2002, hlm. 3.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
65
bahwa masyarakat terjamin keselamatannya; membuat para pelaku bertanggung jawab atas kerusakan yang telah mereka buat terhadap masyarakat dan pada akhirnya menggentarkan yang lainnya agar tak melakukan tindakan yang sama. Dengan demikian, berbeda dengan AS yang melakukan penggentaran ofensif, Uni Eropa terlihat lebih mengutamakan penggentaran yang bersifat legal dan didukung oleh penghukuman yang bersifat yudisial, yaitu hukuman terhadap teroris yang telah tertangkap sebelum melakukan aksinya, saat melakukan tindak kriminal atau setelah melakukan tindakan kriminal sesuai dengan proses hukum berdasarkan undang-undang yang berlaku. Langkah penghukuman ini tentu takkan berjalan dengan baik apabila tidak didukung oleh intelijen yang lebih bersifat criminal/punitive yang bertujuan untuk memudahkan aparat di lapangan untuk menangkap dan mengadili teroris. Dengan demikian, kerja intelijen yang dilakukan oleh negara-negara anggota Uni Eropa lebih ditujukan untuk menemukan bukti-bukti yang diperlukan di persidangan untuk menuntut teroris. Hal ini pun disadari oleh Uni Eropa sehingga respons pertama yang dilakukan oleh Justice and Home Affairs pada tahun 2001 adalah mengikat seluruh negara anggota melalui Plan Action agar mereka melakukan penguatan dan kerja sama di bidang penegakan hukum dan intelijen melalui wadah Europol. Walau Europol tak memiliki kewenangan supranasional untuk melakukan penyelidikan sendiri, melakukan penggeledahan atau menangkap tersangka, Europol memiliki kewenangan untuk meminta kepolisian negaranegara anggota Uni Eropa untuk melakukan penyelidikan. Selain itu, Europol juga bertugas untuk membuat Analysis Work Files (AWF) terhadap teroris yang dikerjakan oleh unit khusus di bawah Europol bernama Counter Terrorist Task Force. AWF sendiri adalah instrumen yang khas Europol di mana analisis dikerjakan bersama-sama dengan spesialis kejahatan terorganisir dan terorisme untuk mengumpulkan intelijen pidana.175 Counter Terrorist Task Force yang terdiri dari petugas polisi dan intelijen dari negara-negara anggota selanjutnya bertugas mengumpulkan semua informasi dan data intelijen yang berkaitan dengan ancaman terorisme, menganalisisnya dan melakukan analisis operasi dan 175
Europol, “Our People,” , diakses tanggal 29 Maret 2012.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
66
strategis yang diperlukan dan kemudian merancang penilaian ancaman berdasarkan informasi yang diterima.176 Berdasarkan penilaian ancaman itu, Europol setiap tahunnya menerbitkan Annual Terrorism Situation and Trend Report (TE-SAT) untuk dilaporkan kepada Parlemen Eropa agar Uni Eropa mampu membuat langkah-langkah yang diperlukan selanjutnya. Selanjutnya, berbeda dengan aktivitas ofensif yang dilakukan oleh AS, aktivitas kontra-teror Uni Eropa cenderung bersifat defensif. Hal ini lebih dipengaruhi oleh pendekatan Uni Eropa yang memandang terorisme sebagai masalah internal. Sesuai dengan pilar Prevent dalam strategi kontra teror Uni Eropa, aktivitas defensif ditujukan untuk mencegah serangan teroris dengan cara mengidentifikasi dan menangkap teroris saat menuju sasaran, mencegah akses untuk menyerang target dan meminimalkan kerusakan dari serangan dan kemudian menangkap pelaku tindak pidana terorisme itu untuk selanjutnya dihadirkan ke depan pengadilan. Kemudian, berbeda dengan AS yang memiliki pemikiran tentang homeland defense177 yang lebih bersifat militeristik di mana militer digunakan untuk menjaga kedaulatan, teritori, penduduk domestik dan infrastruktur pertahanan penting, Uni Eropa hanya menekankan pada aktivitas defensif yang lebih bersifat sipil dengan melibatkan kepolisian dan departemen yang terkait. Sementara itu, tugas untuk mengkoordinasikan perlindungan terhadap obyek vital178 dipegang oleh masing-masing menteri di European Commission dengan tanggung jawab pelaksanaan berada di masing-masing 176
Oldrich Bures dan Stephanie Ahern, “The European Model of Building Regional Cooperation Against Terrorism,” dalam David Cortright dan George A. Lopez (eds.), Uniting Against Terror: Cooperative Non-Military Response to the Global Terrorist Threat, Cambridge, Massachusetts: the MIT Press, 2007, hlm. 197. 177 US Joint Chiefs of Staff, Op. Cit., hlm. viii. 178 Yang dimaksud dengan obyek vital (critical infrastructure) menurut Uni Eropa adalah instalasi dan jaringan listrik; komunikasi dan teknologi informasi; keuangan (perbankan, sekuritas dan investasi); pelayanan kesehatan; makanan; air (bendungan, penyimpanan, perawatan dan jaringan air); transporasi (bandara, dermaga, kendaraan umum, rel kereta api dan jaringan transportasi massal dan sistem pengendali lalu lintas; produksi, penyimpanan dan transportasi bahan-bahan berbahaya (bahan kimia, biologis, radiologi dan nuklir; obyek vital milik pemerintah (layanan penting, fasilitas milik pemerintah, jaringan informasi, aset dan monumen bersejarah). European Commission, Communication from the Commission to the Council and the European Parliament Critical Infrastructure Protection in the Fight against Terrorism, Brussel: European Commission, 20 Oktober 2004.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
67
negara
anggota.
Selanjutnya,
untuk
mengkoordinasikan
upaya
aktivitas
defensifnya dalam menjaga perbatasan, analisis risiko, bantuan teknis dan operasional untuk negara anggota dan manajemen perbatasan eksternal, Uni Eropa membentuk Frontex (Frontières extérieures) yang berkantor pusat di Warsawa dan mulai beroperasi sejak bulan Oktober 2005. Upaya defensif ini pada akhirnya ditujukan untuk menimbulkan penggentaran defensif bagi teroris untuk melakukan aksinya karena semua bidang operasional sudah dibagi habis di mana kepolisian bersama masing-masing departemen bertanggung jawab terhadap bidang tugasnya sendiri-sendiri. Selanjutnya, aktivitas defensif sipil ini didukung dengan intelijen pre-emptive yang ditujukan untuk memberikan peringatan dan memungkinkan petugas keamanan
untuk
mengamankan
target
dan
melakukan
langkah-langkah
pencegahan lainnya. Kerja intelijen ini pun berada di wilayah sipil di bawah Europol yang terdiri dari perwakilan kepolisian dan dinas intelijen masing-masing negara anggota. Selanjutnya, untuk merangkum perbedaan antara AS dan Uni Eropa dalam melihat terorisme dan penekanan aktivitas kontra-teror, dapat dilihat pada Tabel 2.1 dan tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.1 Perbedaan Pendekatan Dalam Melihat Terorisme Antara AS dan Uni Eropa
Perbedaan Pendekatan
AS
Uni Eropa
Perang
Kejahatan
Eksternal
Internal
Proaktif
Reaktif
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
68
Tabel 2.2 Perbedaan Penekanan Aktivitas Kontra-teror Antara AS dan Uni Eropa Perbedaan Aktivitas
AS
Uni Eropa
Ofensif
Legislasi
Penghukuman (yudisial)
Defensif Intelijen operasional
Intelijen criminal/punitive
Intelijen pre-emptive
Intelijen pre-emptive
Penggentaran ofensif
Penggentaran legal
Penggentaran defensif
Penggentaran defensif (sipil)
(militeristik dan sipil)
2.3 Strategi Kontra-teror AS dan Uni Eropa Sebagai bagian dari respons yang diberikan oleh AS dan Uni Eropa terhadap terorisme sesuai dengan pandangan yang mereka miliki terhadap terorisme sehingga mewarnai perbedaan aktivitas kontra-teror yang dimiliki oleh keduanya, AS dan Uni Eropa selanjutnya merumuskan strategi kontra-terornya agar aktivitas kontra-terornya mencapai keberhasilan. AS pertama kali membuat strategi kontraterornya pada 2003 sementara Uni Eropa baru menyusun strategi kontra-terornya pada tahun 2005. Melalui strategi ini pula, kedua belah pihak berusaha memastikan bahwa tujuan kontra-terornya tercapai dalam cara-cara yang terukur
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
69
sesuai dengan aktivitas kontra-teror yang menjadi prioritasnya. Namun, mengingat perbedaan penekanan aktivitas kontra-teror antara AS dan Uni Eropa yang begitu nyata, strategi kontra-teror mereka pun menjadi begitu berbeda. 2.3.1 Strategi Kontra-teror AS Sesuai dengan pendekatan yang dimiliki oleh pemerintah AS, bahwa kontrateror adalah perang dan akan berlangsung dalam waktu yang tidak bisa ditentukan, maka strategi yang dibutuhkan dalam memenangkan perang ini pun adalah strategi yang bisa bertahan dalam waktu lama. Selain itu, kemampuan AS untuk memenangkannya akan sangat tergantung kepada kemampuan strategi kontra-terornya untuk beradaptasi terhadap perubahan dan sifat ancaman terorisme yang selalu berubah sesuai dengan kondisi dan keadaan global. Dengan demikian, kebijakan yang dinamis dan adaptif tersebut harus didasari dengan pemikiran kontra-teror yang saksama yang akan secara efektif memberantas tak hanya ancaman kekerasan seperti terorisme, namun juga masalah yang fundamental di bidang politik, sosial, ekonomi dan ideologi. Hal ini yang juga disadari oleh AS dalam menyusun strategi kontra-terornya yang mengalami perbaikan dan penambahan selama dua kali, yaitu pada tahun 2006 dan 2011 walau pada dasarnya masih berlandaskan pada National Strategy for Combating Terrorism yang dikeluarkan tahun 2003 pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush. Selain itu, sesuai dengan pendekatan AS yang bersifat eksternal, strategi kontra-terornya pun dirancang agar peperangan ini takkan terjadi di wilayahnya. Hal ini kemudian berkaitan dengan pendekatannya yang proaktif sehingga strategi kontra-teror AS disusun agar serangan tersebut tidak sempat terjadi di wilayah AS karena sudah terlebih dahulu diredam di luar perbatasannya dengan bekerja sama dengan negara-negara sahabat di kawasan di mana ancaman teror itu terjadi. Dengan demikian, strategi kontra-teror AS seperti yang tercantum dalam National Strategy for Combatting Terrorism 2003 dan lebih dikenal sebagai 4D adalah Defeat, Deny, Diminish dan Defend. Selain itu, untuk mendukung strategi kontra-terornya agar tidak melenceng dari sasaran, AS juga memberikan
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
70
definisi mengenai terorisme yang jelas. Menurut National Strategy for Combatting Terrorism 2003, yang dimaksud dengan terorisme adalah “kekerasan yang direncanakan dan dimotivasi oleh alasan politis yang dilakukan terhadap nonkombatan oleh kelompok sub-nasional atau klandestin.”179 Selanjutnya, yang dimaksud strategi kontra-teror poin “Defeat” adalah AS dan mitra-mitranya akan mengalahkan organisasi teror global dengan menyerang tempat mereka berlindung, menyerang pemimpinnya, komandonya, kendali dan komunikasinya, dan dukungan material dan keuangannya. Langkah ini akan menghancurkan moral teroris dan mengganggu kemampuan mereka untuk merencanakan dan melaksanakan serangan. Sebagai hasilnya, demikian menurut dokumen ini, langkah ini akan memaksa organisasi teror untuk menyebar dan kemudian
mengkonsolidasikan
diri
di
kawasannya
untuk
memperbaiki
komunikasi dan kerja sama.180 Saat organisasi ini menyebar dan mengalami penurunan, AS akan bekerja sama dengan negara-negara sahabat di kawasan untuk menerapkan upaya yang terkoordinasi untuk menekan, mengetatkan dan mengisolasi para teroris.181 Begitu upaya kontra-teror di kawasan berhasil melokalisir ancaman, AS akan membantu negara tersebut mengembangkan instrumen militer, penegakan hukum, politik dan keuangan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas ini.182 Selanjutnya, menurut National Strategy for Combatting Terrorism 2003, upaya ini tak harus dilakukan satu demi satu, melainkan secara kumulatif di seluruh kawasan sehingga hasil yang diinginkan bisa dicapai. Dengan demikian, poin “Defeat” sangat menggambarkan aktivitas kontra-teror AS yang cenderung ofensif yang didukung oleh intelijen operasional dan hal ini bisa dilihat dari strategi operasionalnya seperti yang dijabarkan melalui gambar berikut ini.
179
Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism, Op. Cit., hlm. 1. Ibid., hlm. 11. 181 Ibid. 182 Ibid. 180
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
71
Gambar 2.1 Strategi Operasional “Defeat” Sumber: Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism, Washington DC: White House, Februari 2003, hlm. 13.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
72
Dalam poin “Deny,” pemerintah AS menggolongkan beberapa kategori negara yang dianggap mendukung atau menghambat strategi kontra-terornya. Sikap pemerintah AS terhadap terorisme adalah menolak bantuan, dukungan dan perlindungan terhadap terorisme dengan memastikan negara-negara menerima tanggung jawab mereka untuk bertindak terhadap ancaman internasional ini di wilayah kedaulatan mereka. AS juga menjadikan resolusi PBB 1373 mengenai terorisme dan 12 konvensi dan protokol PBB lainnya mengenai kontra-teror sebagai kerangka acuannya dan berharap negara-negara lain juga memiliki komitmen untuk melakukan hal yang sama. Menurut National Strategy for Combatting Terrorism 2003, AS membagi empat kategori negara berdasarkan kesediaan dan kemampuannya dalam memberantas terorisme. Bila sebuah negara memiliki kesediaan dan memiliki kemampuan, AS akan menguatkan kembali kemitraan yang sudah ada dan membentuk
kerja
sama
yang
baru
dalam
melawan
terorisme
dan
mengkoordinasikan tindakannya untuk memastikan negara tersebut juga melaksanakan upaya kontra-teror yang setara. Sementara itu, bila suatu negara lemah namun memiliki kemauan, AS akan mendukung negara tersebut sepenuhnya dalam upaya mereka membangun institusi dan kapabilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan di wilayahnya dan memberantas terorisme saat ancaman itu muncul. Sedangkan bila sebuah negara enggan untuk melawan terorisme, AS akan bekerja sama dengan negara-negara sahabat untuk meyakinkan negara tersebut untuk mengubah kebijakannya dan memenuhi kewajibannya di tingkat internasional. Namun bila sebuah negara tak bersedia, AS akan bersikap tegas untuk melawan ancaman yang mereka berikan dan pada akhirnya memaksa negara tersebut untuk tak lagi mendukung terorisme.183 Dengan demikian, sesuai dengan poin “Deny,” AS melakukan penggentaran ofensif untuk memastikan bahwa negara-negara lain mendukung upaya kontra-terornya atau mereka akan mendapat ganjaran yang keras.
183
Ibid., hlm 11-12.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
73
Dalam poin “Diminish”, AS berusaha mengatasi kondisi yang ingin dieksploitasi oleh teroris dengan mendorong komunitas internasional agar memfokuskan upaya dan sumber dayanya di wilayah yang paling berisiko. AS juga akan mempertahankan momentum dari respons kontra-teror yang sudah dimulai sejak peristiwa 11 September 2001 dengan bekerja sama dengan mitramitranya di luar negeri dan berbagai forum internasional agar terus memprioritaskan upaya kontra-teror sebagai agenda internasional.184 Yang terakhir, sesuai dengan pendekatan AS yang bersifat eksternal dan proaktif, poin “Defend” menggariskan pemerintah AS untuk mempertahankan wilayah AS, warga negaranya dan kepentingannya di dalam negeri dan di luar negeri dengan secara
proaktif melindungi
teritorinya dan memperluas
pertahanannya agar AS bisa mengidentifikasi dan menetralkan ancaman sedini mungkin.185 Dengan demikian, dua poin terakhir menggambarkan aktivitas kontra-teror AS berupa penggentaran defensif baik bersifat militer maupun sipil yang didukung oleh intelijen yang bersifat pre-emptive. Lebih jauh lagi, dalam strategi kontra-terornya, AS menetapkan tujuan yang harus dicapai oleh setiap poin tersebut. Bila mengkaji strategi kontra-teror AS, terlihat bahwa negara tersebut sangat menekankan aspek “Defeat” karena ini adalah ujung tombak dari ketiga sasaran lainnya. Sasaran poin “Defeat” adalah teroris dan organisasinya dan agar bisa mengalahkan mereka, AS akan menggunakan jalur diplomasi, ekonomi, informasi, penegakan hukum, militer, keuangan intelijen, dan berbagai instrumen kekuatan lainnya baik secara langsung maupun tak langsung. Selain itu, sesuai dengan pendekatannya yang bersifat proaktif, AS menyatakan takkan menunggu teroris menyerang lalu baru akan meresponsnya dan akan terus menyerang dan menghancurkan kemampuan teroris untuk bertindak dan memaksa pendukung terorisme untuk berhenti mendukung mereka. Selain itu, langkah proaktif AS lainnya adalah dengan memprioritaskan
184 185
Ibid., hlm 12. Ibid.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
74
agar kelompok teror takkan mendapatkan kesempatan untuk mengakses teknologi, terutama teknologi senjata pemusnah massal.186 Dengan demikian, tujuan yang harus dicapai AS dalam poin “Defeat” adalah mengidentifikasi
teroris
dan
organisasi
teror;
menemukan
teroris
dan
organisasinya; dan kemudian menghancurkan teroris dan organisasinya. Dalam tujuan ini, AS menekankan pentingnya peran intelijen dalam mengidentifikasi teroris dan organisasi teror, memetakan komando dan kendali mereka dan infrastruktur pendukungnya dan kemudian memastikan AS memiliki distribusi intelijen yang meluas, tak hanya di tingkat federal, negara bagian dan lokal, namun juga hingga ke negara-negara sekutunya. Tugas intelijen ini juga diprioritaskan untuk mencegah kelompok-kelompok teror yang memiliki jangkauan global untuk mendapatkan dan menggunakan senjata pemusnah massal. Intelijen juga diperlukan AS dalam menemukan teroris dan organisasinya dan dalam hal ini AS menyadari bahwa ia tak boleh hanya mengandalkan intelijen teknis, namun juga jenis intelijen lain yang dibutuhkan untuk masuk ke dalam organisasi teror, menemukan persembunyian mereka dan menghancurkan rencana dan operasi mereka. Jenis intelijen yang dimaksud itu adalah intelijen manusia yang harus digalang melalui kerja sama dengan negara-negara sahabat mengingat keunggulan yang mereka miliki di daerah mereka sendiri. Baru setelah berhasil mengidentifikasi dan menemukan lokasi mereka, AS menggunakan kekuatan apa pun yang dibutuhkan untuk mengganggu, membongkar dan menghancurkan kemampuan mereka melakukan tindakan teror. Kemudian, tujuan “Defeat” yang terakhir adalah strategi ofensif yang agresif untuk menyingkirkan kemampuan yang memungkinkan teroris untuk hidup dan beroperasi dengan menyerang tempat persembunyian mereka; pimpinan mereka; komando, kendali dan komunikasi mereka; dukungan material dan finansial mereka. Sementara untuk poin “Deny,” tujuan yang ingin dicapai oleh AS mengakhiri dukungan negara terhadap terorisme; membentuk dan menjaga standar akuntabilitas internasional mengenai pemberantasan terorisme; memperkuat dan 186
Ibid., hlm. 15.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
75
mempertahankan upaya internasional untuk melawan terorisme; mencegah dan menghancurkan dukungan material bagi teroris; dan menghancurkan tempat bersembunyi dan tempat para teroris berlindung. Dalam poin ini, AS melibatkan komunitas intelijen, Departemen Pertahanan, Departemen Luar Negeri dan bekerja sama dengan negara-negara sahabat sesuai dengan kategori yang telah ditentukan dalam poin ini. Selanjutnya, di poin “Diminish,” AS berusaha menggabungkan pendekatan yang keras di dua poin sebelumnya dengan pendekatan yang lebih lunak dengan mengakui bahwa ada masalah sosial dan politik yang melatarbelakangi ancaman terorisme. Tujuan yang ingin dicapai dalam poin ini adalah bermitra dengan komunitas internasional untuk memperkuat negara lemah dan mencegah kemunculan kembali terorisme dan memenangkan perang ide. Dalam pandangan AS, negara lemah bisa menjadi ancaman tersendiri bagi AS mengingat negara tersebut bisa menjadi tempat persembunyian kelompok teror. Dengan demikian, AS melakukan upaya yang dirancang untuk mengidentifikasi dan mengurangi kondisi yang menyebabkan munculnya negara lemah dan negara gagal sebagai tujuan utama kebijakan luar negerinya. AS juga akan bekerja sama dengan negara-negara lain untuk menghapuskan kondisi yang memicu terorisme dan memberikan bantuan kepada negara-negara lain sesuai sikap mereka terhadap terorisme. Selain itu, dalam upayanya memenangkan perang ide, AS menyatakan bahwa tindakan terorisme adalah sesuatu yang ilegal dan akan memastikan kondisi dan ideologi yang mendukung terorisme takkan bisa berkembang di negara mana pun. Pada poin “Defend,” terlihat jelas pendekatan AS yang proaktif di mana menurut National Strategy for Combatting Terrorism 2003, “pertahanan yang terbaik
adalah
penyerangan
yang
bagus.
Dengan
memperbaiki
dan
mengkoordinasi indikasi dan peringatan ancaman, kita akan bisa mendeteksi rencana teroris sebelum rencana itu matang.”187 Selanjutnya, untuk menjalankan strategi tersebut, AS memiliki tujuan yang harus dicapai yaitu membentuk
187
Ibid., hlm. 24.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
76
National Strategy for Homeland Security; memiliki kesadaran matra; memperkuat langkah-langkah guna memastikan integritas, kehandalan dan ketersediaan infrastruktur fisik dan informasi yang penting baik di dalam negeri maupun di luar negeri; mengintegrasikan langkah-langkah untuk melindungi warga negara AS di luar negeri; dan memastikan kapabilitas manajemen keadaan darurat yang terintegrasi. Menyadari wilayahnya, baik di udara, laut, darat dan di dunia maya rapuh terhadap serangan teroris yang bisa terjadi kapan saja, AS melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu membentuk suatu badan yang bertanggung jawab untuk memobilisasi dan mengorganisir badan-badan pemerintah dalam mengamankan wilayah AS dari serangan teroris yang bernama National Strategy for Homeland Security.188 Selanjutnya badan-badan pemerintah yang berkoordinasi dengan National Strategy for Homeland Security di antaranya adalah FBI, CIA, Departemen Pertahanan, Coast Guard, Departemen Luar Negeri, Imigrasi dan penjaga perbatasan, dan Departemen Kehakiman. Selanjutnya, rekomendasi dari National Strategy for Homeland Security dan National Strategy for Combatting Terrorism saling melengkapi dan menguatkan. Dengan demikian, sesuai dengan pendekatan AS terhadap terorisme yaitu perang, eksternal dan proaktif, strategi AS adalah menjaga wilayahnya dan memperluas pertahanannya hingga ke luar negeri. 2.3.2 Strategi Kontra-teror Uni Eropa Uni Eropa adalah sebuah contoh keberhasilan kerja sama regional yang sampai saat ini menjadi model untuk kerja sama regional di kawasan lain. Berkembang dari sebuah organisasi fungsional bernama European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1951, kini Uni Eropa merupakan sebuah organisasi supranasional yang menaungi 27 negara anggotanya dengan bidang kerja sama yang semakin meluas, tak hanya di bidang ekonomi, melainkan juga kini ke bidang penegakan hukum dengan dibentuknya Justice and Home Affairs (JHC) pada tahun 1993. Badan ini kemudian memperkenalkan langkah-langkah hukum
188
Ibid., hlm. 25.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
77
yang inovatif untuk menyatukan seluruh anggotanya agar memiliki strategi kontra-teror yang komprehensif.189 Kerja sama kontra-teror sudah dimulai sebelum peristiwa 11 September, namun karena Uni Eropa memandang terorisme hanya di tingkat politis,190 hal ini membuat mereka tak ingin segera meratifikasi konvensi Europol dan langkahlangkah kontra-teror lainnya di antara negara-negara anggotanya. Tak diragukan lagi, peristiwa 11 September menjadi sebuah momentum bagi Uni Eropa untuk segera mengkonsolidasikan dan mempercepat kerja sama di antara badanbadannya. Pasca peristiwa 11 September, Uni Eropa, melalui Justice and Home Affairs mengadopsi instrumen dan langkah-langkah kontra teror di lima bidang yang disusun dalam Action Plan 2001, yaitu memperkuat kerja sama polisi dan badan yudisial; mengembangkan instrumen hukum internasional; mengakhiri pendanaan gerakan teror; memperkuat keamanan udara; dan mengkoordinasikan tindakan global Uni Eropa terhadap aksi teror.191 Salah satu dampak dari penerapan Rencana Aksi ini adalah rencana ini mengikat anggota Uni Eropa ke dalam sebuah strategi kontra-teror jangka panjang dan pergantian kepemimpinan takkan bisa mengubah agenda kontra-teror Uni Eropa berdasarkan prioritas negara asalnya. Dan begitu Rencana Aksi ini diterapkan, Uni Eropa segera memperkenalkan European Arrest Warrant; memperkuat kerja sama di antara badan penegak hukum di Eropa dan berbagi data intelijen melalui Europol; memperkuat kerja sama badan yudikatif melalui Eurojust dan mempermudah penuntutan di negara-negara anggotanya melalui sinergi yang mantap; menetapkan definisi umum tentang terorisme; identifikasi tersangka aksi teror dan pembekuan aset-aset mereka; dan menjadikan strategi ini
189
Bures dan Ahern, Op. Cit., hlm. 192. Anastassia Tsoukala, “Democracy against Security: The Debates about Counterterrorism in European Parliament, September 2001-June 2003,” Alternatives: Global, Local, Political 29: 4 (Agustus-Oktober 2004), hlm. 429. 191 Council of European Union, “Conclusions and Plan of Action of Extraordinary European Council Meeting on 21 September 2001,” , diakses tanggal 17 Maret 2012. 190
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
78
sebagai standar bagi seluruh anggotanya, termasuk beberapa anggota yang baru masuk.192 Yang menarik adalah definisi terorisme antara Uni Eropa ternyata tak jauh berbeda dengan definisi terorisme yang dibuat oleh AS.193 Upaya untuk menyatukan definisi terorisme di antara negara-negara Uni Eropa dimulai pada bulan Desember 2001 saat Council of European Union mencapai kesepakatan dalam Framework Decision on Combating Terrorism. Keputusan ini kemudian disetujui pada bulan Juni 2002. Dokumen ini pada dasarnya menjelaskan tindakan terorisme dan kelompok teror. Pasal satu menjabarkan definisi terorisme yang terdiri dari tiga bagian yang terdiri dari konteks tindakan, tujuan tindakan dan tindakan tertentu yang dilakukan. Menurut Framework Decision on Combating Terrorism yang dimaksud terorisme adalah (1) terorisme harus mengandung “tindakan yang disengaja … yang sesuai dengan sifat atau konteksnya bisa secara serius merugikan negara atau organisasi internasional.”194 (2) tindakan ini harus dilakukan dengan tujuan “mengintimidasi masyarakat” atau “memaksa pemerintah atau organisasi internasional” agar bertindak atau tak bertindak atau “merusak kestabilan atau menghancurkan struktur fundamental di bidang politik, konstitusional, ekonomi atau sosial di suatu negara atau organisasi internasional”195 (3) dan tindakan itu terdiri dari delapan jenis tindakan yang berupa “serangan terhadap nyawa seseorang hingga menyebabkan kematian; serangan terhadap integritas fisik seseorang; penculikan atau penyanderaan; menyebabkan kehancuran yang besar terhadap pemerintah atau fasilitas
publik, sistem transportasi, fasilitas
infrastruktur, termasuk sistem informasi, platform yang diletakkan di landas kontinen, tempat publik atau properti pribadi yang kemungkinan membahayakan nyawa
manusia
atau
menghasilkan
kerugian
ekonomi
192
yang
besar;
Bures dan Ahern, Op. Cit., hlm. 192-212. Dorine Dubois, “The Attacks of 11 September: EU-US Cooperation against Terrorism in the Field of Justice and Home Affairs,” European Foreign Affairs Review 7 (2002), hlm. 326. 194 Council of European Union, Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism, Op.Cit., hlm. 2 195 Ibid. 193
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
79
pengambilalihan pesawat, kapal atau alat transportasi publik lainnya; membuat, memiliki, mendapatkan, memindahkan, memasaok atau menggunakan senjata, bahan peledak, atau senjata nuklir, biologis atau kimia, juga riset dan pengembangan senjata biologis dan kimia; melepaskan zat berbahaya atau menyebabkan
kebakaran,
ledakan
atau
banjir
dengan
dampak
yang
membahayakan nyawa manusia; dan mengintervensi atau mengganggu pasokan air, listrik dan sumber daya alam lainnya dengan dampak yang membahayakan nyawa manusia.”196 Dengan demikian, berdasarkan Framework Decision on Combating Terrorism, maka seluruh negara Uni Eropa juga bisa menghukum pelaku tindak pidana terorisme dengan hukuman yang lebih berat daripada tindak pidana biasa. Council of European Union kemudian mengesahkan European Union Counterterrorism Strategy pada tahun 2005 yang terdiri dari empat pilar yaitu Prevent, Protect, Pursue dan Respond. Menurut dokumen ini, Uni Eropa memiliki komitmen strategis, yaitu “melawan terorisme secara global sambil menghormati HAM dan membuat Eropa lebih aman dan memungkinkan warganya untuk hidup di daerah yang bebas, aman dan berkeadilan.”197 Menurut European Union Counter-terrorism Strategy, yang dimaksud “Prevent” adalah mencegah orang mengambil jalan terorisme dengan menangani berbagai faktor atau akar penyebab yang memicu radikalisasi dan rekrutment, baik di Eropa dan di seluruh dunia.198 Dengan demikian poin Prevent ditujukan untuk melawan radikalisasi dan rekrutmen kelompok teror seperti Al-Qaeda dan kelompok-kelompok yang terinspirasi olehnya. Selain itu, sesuai dengan pendekatan Uni Eropa terhadap terorisme yang lebih bersifat internal, maka tantangan untuk melawan radikalisasi dan rekrutmen teroris “terutama berada di negara anggota, baik di tingkat nasional, regional dan lokal.”199 Namun demikian, kontribusi Komisi Eropa di bidang ini adalah menyediakan kerangka kerja yang
196 197
Ibid. Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm.
3. 198 199
Ibid. Ibid., hlm. 8.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
80
penting untuk mengkoordinasikan kebijakan nasional, berbagi informasi dan menentukan good practice dalam menanganinya.200 Selanjutnya, prioritas utama dalam poin “Prevent” adalah:201 1. Mengembangkan
pendekatan
bersama
untuk
mengetahui
dan
menangani masalah perilaku, terutama penyalahgunaan internet; 2. Menangani masalah penyebaran kebencian dan rekrutmen, terutama di tempat-tempat penting, misalnya penjara, tempat pelatihan keagamaan atau tempat ibadah dengan menerapkan UU yang membuat perilaku ini sebagai pelanggaran; 3. Mengembangkan strategi media dan komunikasi untuk menjelaskan kebijakan Uni Eropa dengan lebih baik; 4. Memajukan pemerintahan yang baik, demokrasi, pendidikan dan kemakmuran ekonomi melalui program bantuan Komunitas dan Negara Anggota; 5. Mengembangkan dialog antar budaya di dalam dan di luar Uni Eropa; 6. Mengembangkan kosa kata yang non-emosional untuk membahas masalah tersebut; 7. Terus melakukan riset, berbagi analisis dan pengalaman dalam upaya untuk memajukan pemahaman kita mengenai masalah ini dan kemudian mengembangkan respons kebijakan. Dengan demikian, poin “Prevent” dalam strategi kontra-teror Uni Eropa menggambarkan aktivitas kontra-teror yang bersifat defensif yang didukung oleh intelijen pre-emptive. Sementara itu, yang dimaksud dengan “Protect” adalah “melindungi warga negara dan infastruktur dan mengurangi kerapuhan Uni Eropa terhadap serangan,
200 201
Ibid. Ibid., hlm. 9.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
81
termasuk dengan memperbaiki keamanan di perbatasan, transporasi dan infrastruktur vital.”202 Selain itu, walau negara anggota memiliki tanggung jawab sepenuhnya untuk meningkatkan perlindungan obyek-obyek vital, saling ketergantungan di bidang keamanan perbatasan, transportasi dan infrastruktur lintas perbatasan membutuhkan tindakan kolektif Uni Eropa yang efektif. Dengan demikian, di bidang-bidang di mana rezim keamanan di tingkat Uni Eropa berlaku, seperti keamanan perbatasan dan keamanan transportasi, Uni Eropa dan European Commission memainkan peran penting dalam membentuk standar. Selain itu, kerja sama antara negara anggota dengan bantuan badan-badan Uni Eropa akan memberikan kerangka kerja yang penting di mana negara anggota bisa mengkoordinasikan kebijakan mereka, berbagi informasi mengenai respons yang dikembangkan di tingkat nasional, menentukan good practice dan bekerja sama untuk mengembangkan ide-ide baru. Sementara itu, untuk perlindungan perbatasan eksternal, badan yang bertugas untuk menjaganya adalah European Borders Agency atau Frontex. Frontex berperan untuk menyediakan penilaian risiko sebagia upaya untuk memperkuat pengendalian dan pengawasan perbatasan eksternal Uni Eropa. Selain itu, dibentuk pula Visa Information System dan Schengen Information System yang akan memastikan pejabat yang berwenang berbagi dan mengakses informasi yang dibutuhkan dan bila diperlukan, menghentikan individu yang ingin masuk ke wilayah Schengen. Dengan demikian, prioritas penting dalam “Protect” adalah:203 1. Melakukan perbaikan keamanan dalam pembuatan paspor Uni Eropa dengan memperkenalkan biometrik; 2. Membentuk Visa Information System (VIS) dan Schengen Information System generasi II (SISII);
202 203
Ibid., hlm 3. Ibid., hlm. 11.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
82
3. Mengembangkan analisis risiko melalui Frontex terhadap perbatasan eksternal Uni Eropa; 4. Menerapkan standar bersama yang disepakati di bidang penerbangan sipil, pelabuhan dan keamanan maritim; 5. Menyepakati program Uni Eropa di bidang perlindungan infrastruktur; 6. Memanfaatkan aktivitas riset Uni Eropa. Dengan demikian, poin “Protect” dilakukan dengan upaya untuk menimbulkan penggentaran yang bersifat defensif. Poin ketiga dalam strategi kontra-teror Uni Eropa adalah “Pursue” yaitu mengejar dan menyelidiki teroris di wilayah Uni Eropa dan secara global; menghambat perencanaan, perjalanan dan komunikasi; mengganggu jaringan pendukung mereka; menghentikan pendanaan dan akses ke bahan peledak; dan membawa pelaku tindak pidana terorisme ke muka hukum.204 Sekali lagi, tanggung jawab utama untuk menjaga keamanan Uni Eropa secara keseluruhan berada di tangan negara anggota. Namun demikian Uni Eropa akan mendukung upaya negara anggota untuk mengganggu operasi terorisme dengan mendorong pertukaran informasi dan intelijen antara negara anggota, menyediakan analisis ancaman bersama dan memperkuat kerja sama di bidang penegakan hukum. Sementara itu, di tingkat nasional, pejabat yang berwenang harus memiliki instrumen yang diperlukan untuk mengumpulkan dan menganglisis data intelijen dan mengejar serta menyelidiki teroris. Dengan demikian, negara anggota harus memperbarui kebijakan dan UU-nya apa bila diperlukan sesuai dengan yang digariskan oleh Uni Eropa. Negara anggota kemudian akan melaporkan bagaimana
mereka
memperbaiki
kapabilitas
nasionalnya
sesuai
dengan
rekomendasi yang diberikan oleh Uni Eropa. Selain itu, negara-negara anggota juga harus mengembangkan pemahaman bersama mengenai ancaman agar bisa mengembangkan kebijakan bersama untuk 204
Ibid., hlm. 3.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
83
meresponsnya. Penilaian dari Joint Situation Center, berdasarkan kontribusi dari badan
keamanan
nasional
dan
intelijen
serta
Europol
akan
terus
menginformasikan keputusan yang tepat dan sesuai dengan kebijakan Uni Eropa. Hal lain yang penting dalam poin “Pursue” adalah diberlakukannya European Arrest Warrant yang menjadi instrumen yang penting dalam mengejar dan menyelidiki teroris lintas batas. Selain itu, Uni Eropa juga memberlakukan European Evidence Warrant yang memungkinkan negara anggota untuk mendapatkan barang bukti dari negara Uni Eropa mana saja untuk membantu mendakwa tersangka teroris. Negara anggota juga bisa meningkatkan kerja sama dan pertukaran informasi secara lebih mudah antar badan kepolisian dan yudisial melalui Europol dan Eurojust. Negara anggota juga bisa membentuk Joint Investigation Team bila terjadi penyelidikan lintas batas. Selain itu, untuk memuluskan kerja sama antar negara anggota, Uni Eropa mewajibkan negara anggotanya untuk menerapkan langkah-langkah di tingkat Uni Eropa yang telah disepakati selain juga meratifikasi Perjanjian dan Konvensi internasional untuk memastikan repons legislative yang tepat. Dengan demikian prioritas penting dalam “Pursue” adalah:205 1. Memperkuat kapabilitas nasional untuk melawan terorisme; 2. Memanfaatkan sepenuhnya Europol dan Eurojust untuk memudahkan kerja
sama
antar
badan
kepolisian
dan
yudisial
dan
terus
mengintegrasikan penelianan ancaman dari Joint Situation Centre ke dalam pembuatan kebijakan kontra-teror di tingkat nasional; 3. Mengembangkan pengakuan putusan yudisial lebih jauh, termasuk dengan mengadopsi European Evidence Warrant; 4. Memastikan penerapan dan evaluasi sepenuhnya perundangan yang ada selain juga ratifikasi Perjanjian dan Konvensi internasional; 5. Mengembangkan ketersediaan informasi penegakan hukum; 205
Ibid., hlm. 14-15.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
84
6. Mencegah akses teroris terhadap senjata dan bahan peledak, dari komponen bahan peledak rakitan hingga bahan peledak dari kimia, biologi, radiologi dan nuklir. 7. Mencegah pendanaan teror, termasuk dengan menerapkan perudangan yang disepakati untuk mencegah penyelewengan dana di sektor nirlaba dan mengkaji kinerja Uni Eropa secara keseluruhan di bidang ini; 8. Memberikan bantuan teknis untuk memperkuat kapabilitas negaranegara di luar Uni Eropa. Dengan demikian, poin “Pursue” menggambarkan aktivitas kontra-teror Uni Eropa yang berupa aktivitas legislasi dan penghukuman yang didukung oleh intelijen yang bersifat criminal/punitive dan diharapkan akan menimbulkan penggentaran legal. Sementara itu yang dimaksud dengan “Respond” adalah mempersiapkan Uni Eropa dalam semangat solidaritas untuk mengelola dan meminimalisir konsekuensi serangan teroris dengan meningkatkan kapabilitas untuk menghadapi kondisi pasca serangan, koordinasi respons dan kebutuhan korban.206 Menurut EU Counter-terrorism Strategy, Uni Eropa harus mampu menghadapi serangan begitu serangan itu terjadi dan mengakui bahwa serangan itu bisa memberikan dampak ke seluruh wilayah Uni Eropa. Dalam merespons serangan tersebut, Uni Eropa menganggapnya sama dengan bencana alam, karena teknologi atau buatan manusia dan dengan demikian sistem respons yang dikembangkan untuk mengelola konsekuensi bencana alam juga bisa digunakan untuk meredakan efek terhadap masyarakat setelah serangan teroris. Dalam merespons keadaan darurat yang disebabkan oleh terorisme, Uni Eropa masih tetap mengandalkan negara anggota yang memainkan peran penting untuk merespons keadaan darurat itu di wilayahnya. Walau demikian, Uni Eropa memastikan bahwa organisasi tersebut secara kolektif dan didukung oleh badanbadannya, termasuk Komisi Eropa, memiliki kapabilitas untuk merespons
206
Ibid., hlm. 3.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
85
keadaan darurat yang ekstrem apabila satu negara anggota tak mampu menanganinya dan serangan tersebut membahayakan Uni Eropa secara keseluruhan. Selanjutnya, apabila suatu keadaan darurat memberikan efek yang lintas batas, harus ada operasi bersama, informasi kebijakan, media koordinasi dan dukungan operasi bersama dengan menggunakan semua sumber daya yang ada, termasuk sumber daya militer. Uni Eropa selanjutnya berfungsi untuk melakukan koordinasi agar respons yang diberikan efektif dan efisien. Dengan demikian prioritas utama dalam “Respons” adalah207: 1. Menyepakati EU Crisis Coordinaton Aggrements dan mendukung prosedur operasionalnya; 2. Merevisi
perundangan
tentang
Communty
Mechanism
untuk
instrumen
untuk
perlindungan warga sipil; 3. Mengembangkan
penilaian
risiko
sebagai
meningkatkan kapabilitas untuk merespons serangan; 4. Meningkatkan koordinasi dengan organiasi internasional dalam mengelola respons serangan teroris dan bencana lainnya; 5. Berbagi best practice dan mengembangkan pendekatan untuk memberikan bantuan kepada korban terorisme dan keluarga mereka. Dengan demikian, poin “Respond” menggambarkan aktivitas defensif yang dilakukan Uni Eropa, terutama upaya untuk meminimalisasi kerusakan apabila serangan benar-benar terjadi.
207
Ibid., hlm. 16.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
Gambar 2.2 Strategi Kontra-teror Uni Eropa Sumber: Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Brussel: 30 November 2005, hlm. 3.
86 Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Gambar 2.3 Peran Uni Eropa dan Negara Anggota Dalam Strategi Kontra-teror Sumber: Council of Europan Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Brussel: 30 November 2005, hlm. 4.
87 Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Gambar 2.4 Struktur Organisasi Operasional Kontra-teror Uni Eropa Sumber: Council of Europan Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Brussel: 30 November 2005, hlm. 5.
88 Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
89
Selanjutnya Tabel 2.3 di bawah ini menunjukkan perbedaan strategi kontrateror AS dan Uni Eropa serta aktivitas kontra-teror yang mereka tekankan.
Tabel 2.3 Perbedaan Strategi Kontra-teror dan Aktivitas Kontra-teror AS dan Uni Eropa Strategi Kontra-teror
Aktivitas Kontra-teror
AS
AS
Defeat
Deny
Diminish
Uni Eropa
Prevent
Protect
Pursue
Uni Eropa
Ofensif
Defensif (sipil)
Intelijen operasional
Intelijen preemptive
Penggentaran
Penggentaran
ofensif
defensif (sipil)
Penggentaran defensif (militer dan sipil)
Legislasi
Intelijen preemptive
Intelijen criminal/puniti ve
Penghukuman (yudisial)
Penggentaran legal Defend
Respond
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Defensif (sipil)
Universitas Indonesia
BAB 3 ANALISIS BUDAYA STRATEGIS AS DAN UNI EROPA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP STRATEGI KONTRA-TEROR
Perbedaan antara AS dan Uni Eropa dalam memandang ancaman terorisme dan strategi untuk menghadapinya mewarnai kurang harmonisnya hubungan kerja sama di antara keduanya dan semua ini berangkat dari suatu pengalaman yang sama sekali berbeda. Walau demikian, pada dasarnya akar cara pandang Eropa pada masa kini yang terejawantahkan melalui institusi Uni Eropa, bisa dilacak hingga ke abad Pencerahan. Sama halnya, AS pun adalah anak abad Pencerahan. Pada masa awal AS didirikan, para tokoh pendirinya adalah mereka yang sangat memercayai keunggulan akal dan nalar. AS adalah tanah harapan bagi para tokoh Pencerahan dari Eropa yang putus asa dengan kondisi di kampung halamannya dan memandang AS sebagai satu tempat “di mana akal dan kemanusiaan” bisa “berkembang lebih cepat dibandingkan tempat lain.”208 Walau pada dasarnya AS dan Eropa memiliki akar yang sama, namun pada satu titik keduanya berpisah dan membentuk budaya yang berbeda melalui pengalaman mereka yang berbeda.209 Jurang perbedaan antara AS dan Uni Eropa yang memiliki akar historis ini semakin melebar seiring berakhirnya Perang Dingin. Jaminan keamanan dari AS dalam menghadapi Uni Soviet semasa Perang Dingin membuat negara-negara Uni Eropa berharap keamanannya akan tetap terjaga melalui balance of terror antara AS dan Uni Soviet sehingga ia bisa lebih memfokuskan diri untuk mengembangkan ekonominya dan jaminan sosial bagi warganya. Alih-alih melihat runtuhnya Uni Soviet sebagai kesempatan untuk memperluas cakupan strategisnya, Uni Eropa justru menggunakan
208
Robert R. Palmer, The Age of the Democratic Revolution: A Political History of Europe and America, 1760-1800, Princenton, 1959, hlm. 242, mengutip dari Robert Kagan, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order, Vintage Books: New York, 2004, hlm. 9. 209 Titik di mana keduanya terpisah adalah saat keduanya memiliki pandangan yang berbeda mengenai hubungan antara negara dan agama dan bagaimana suatu negara-bangsa terbentuk. Lebih lanjut baca Gret Haller, The Limit of Atlanticism: Perception of State,Nation and Religion in Europe and United States, Berghahn Books: New York, 2007, hlm. 16-66.
90 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
91
kesempatan ini untuk memajukan perdamaian dan kerja sama. Bagi Uni Eropa, runtuhnya Uni Soviet tak hanya berarti hilangnya musuh strategis, namun berakhirnya Perang Dingin juga dianggap sebagai waktu untuk berhenti memikirkan strategi dan mengisi masa damai ini dengan semakin memfokuskan diri pada kemakmuran dan dialog. Sementara itu, AS dengan kekuatan militernya yang besar tak lagi memiliki pesaing untuk mengimbanginya dan melihat berakhirnya Perang Dingin tak serta-merta berakhirnya masa untuk berhenti memikirkan strategi karena ancaman dari aktor negara dan aktor non-negara masih tetap ada. Munculnya ancaman dari penyebaran senjata pemusnah massal, rouge state (atau dalam pandangan Uni Eropa, tak ada rouge state. Yang ada hanyalah failed state) dan terorisme membuat AS harus memastikan kapabilitasnya masih tetap unggul dalam menghadapi semua itu. AS dan Uni Eropa tak hanya memandang dunia secara berbeda, mereka berdua bahkan tak hidup di dunia yang sama. Robert Kagan menulis, “Amerika berasal dari Mars dan Eropa berasal dari Venus: Hanya segelintir hal yang mereka sepakati dan mereka semakin sulit untuk saling memahami.”210 Dengan demikian, dalam menjelaskan permasalahan yang dihadapi oleh AS dan Uni Eropa di bidang kerja sama kontra-teror ini kita akan mengalami kesulitan apabila hanya melihatnya dari aspekaspek yang materialistis semata karena sesungguhnya di balik itu langkah-langkah keamanan dan perilaku negara/organisasi supranasional ini terbentuk melalui proses yang encultured dan telah berlangsung sejak lama. Dengan memahami budaya yang melatarbelakangi pilihan strategis seperti yang tercermin dari perilaku suatu negara/organisasi supranasional dalam menghadapi ancaman tertentu, maka barulah kita bisa melihat bahwa pilihan tersebut adalah sesuatu yang “rasional.” Dengan demikian, rasionalitas itu harus dipahami dalam konteks kultural. Masalah yang dihadapi oleh AS dan Uni Eropa dalam kerja sama kontra-teror pun tak luput dari aspek-aspek budaya tersebut. Ancaman dan permasalahan yang mereka hadapi sesungguhnya sama, yaitu terorisme, namun bagaimana mereka memandangnya dan bagaimana mereka meresponsnya melalui strategi kontra-teror menjadi masalah 210
Robert Kagan, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order, Vintage Books: New York, 2004, hlm. 3.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
92
tersendiri saat mereka melakukan kerja sama. Dan semua itu akan dijelaskan melalui analisis budaya strategis sesuai model yang dibuat oleh Johnson yang telah dibahas dengan mendetail pada Bab 1. Penulis akan menggunakan empat elemen pembentuk budaya strategis, yaitu identitas, nilai-nilai, norma-norma dan perceptive lens agar lebih bisa memahami rasionalitas di balik pilihan-pilihan strategis antara AS dan Uni Eropa dalam menghadapi ancaman terorisme melalui analisis budaya strategis yang dilakukan di tingkat nasional/supranasional. 3.1 Identitas Menurut Johnson, identitas adalah bagaimana sebuah negara-bangsa melihat dirinya sendiri. Lebih lanjut lagi, Johnson menjelaskan identitas terdiri dari ciri-ciri karakter nasionalnya, peran yang diinginkannya di tingkat regional dan/atau global dan persepsinya mengenai takdir akhirnya.211 Namun demikian, penulis melihat bahwa karakter nasional suatu bangsa adalah salah satu aspek identitas yang cukup memengaruhi strategi kontra terornya. Sebagian besar ahli berpendapat bahwa negara-bangsa adalah aktor yang egois dan hanya mengejar kepentingannya sendiri. Dengan demikian, negara-bangsa sebagai aktor yang rasional akan selalu berusaha mencapai tujuan pribadinya dan bukan tujuan universal. Namun alih-alih menerima asumsi bahwa negara-bangsa hanya mengejar power seperti yang diajukan oleh kelompok neo-realisme (dan terutama dikaitkan dengan kekuatan di bidang militer dan ekonomi), analisis budaya strategis beranggapan bahwa negara mungkin memiliki tujuan yang beragam berdasarkan pemahaman normatif mereka mengenai siapa mereka dan peran seperti apa yang ingin mereka mainkan.212 3.1.1 Identitas AS Untuk memahami apa yang dimaksud dengan budaya strategis AS, kita harus melihat bagaimana AS berpikir dan bertindak dalam menggunakan kekuatannya melalui 211 212
Johnson, Op. Cit., hlm. 11. Ibid.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
93
persepsi berdasarkan pengalaman historisnya, cita-citanya dan bagaimana ia melihat dirinya untuk menjawab pertanyaan “Sebagai bangsa Amerika, siapa saya? Bagaimana saya seharusnya merasa, berpikir dan berperilaku?” sehingga semua ini kemudian menghasilkan sesuatu yang khas dan membedakannya dengan negara-bangsa yang lain. Aspek identitas ini selanjutnya membantu AS untuk mengenali siapa dirinya saat berhubungan dengan bangsa lain. Sesuai dengan model yang dibuat oleh Johnson, maka penulis pertama kali akan berusaha menemukan ciri-ciri karakter nasional AS yang bisa dirangkum secara ringkas menjadi: AS memiliki sedikit pengalaman hidup bersama konflik sehingga terbiasa dalam kondisi invulnerable dan tak ingin berkompromi bila itu berkaitan dengan keamanan nasionalnya.213 AS juga cenderung cepat menggunakan kekuatan militernya begitu terprovokasi. Berikutnya. identitas AS dibentuk berdasarkan ide berupa eksepsionalisme Amerika dan idealisme demokrasi liberal.214 Faktor geografis dan sejarah telah membentuk budaya strategis AS. Sepanjang sejarah AS, negara itu menikmati keamanan tanpa harus berusah payah. Dibentengi oleh Samudra Atlantik dan Pasifik, AS tumbuh sebagai negara yang maju di lingkungan yang aman. Pengalaman AS yang terlindung sehingga memungkinkannya berkembang di lingkungan yang aman membuatnya menjadi tak sabar terhadap ancaman. Hal ini selanjutnya membuat AS cenderung cepat menggunakan kekuatan bersenjatanya begitu terprovokasi. 215 Berbeda dengan Eropa yang pernah menjadi tempat terjadinya dua perang dunia dan perang-perang yang terjadi pada abad-abad sebelumnya antar negara-negara Eropa, AS hanya sekali mengalami konflik internal. Budaya strategis AS kemudian dibentuk oleh periode damai yang berlangsung lama dan diwarnai hanya oleh sekali perang internal,
213
Cooper, Op. Cit., hlm. 45. Mahnken, Op. Cit., hlm. 4 215 Mahnken menyebutnya sebagai deviasi norma perdamaian di mana walau pun AS pada dasarnya cinta damai, namun saat terprovokasi, AS akan mengerahkan seluruh sumber dayanya dan berperang dengan intensitas yang tinggi. Baca Mahnken, Op. Cit., hlm. 7-8. 214
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
94
yaitu Perang Saudara yang terjadi pada tahun 1861–1865 yang dianggap sebagai perang suci kekuatan baik melawan kekuatan jahat.216 Kurangnya pengalaman AS hidup bersama ancaman membuatnya menginginkan keamanan yang paripurna217 dan dengan demikian, AS cenderung tak sabar dalam menghadapi konflik dan ingin segera membereskannya sebelum konflik itu berkembang lebih jauh. Sikap AS ini terlihat dari kecenderungannya yang ingin dengan cepat menggunakan kekuatan bersenjatanya saat berhadapan dengan ancaman. Hal ini selanjutnya membentuk nilai-nilai bahwa kekuatan militer adalah penjamin utama keamanannya.218 Selanjutnya, identitas AS dibentuk oleh pemikiran dan keinginannya untuk menyebarkan pemikiran tersebut.219 Dua pemikiran yang menjadi inti dari identitas AS adalah eksepsionalisme Amerika dan idealisme demokrasi liberal. Konsep eksepsionalisme Amerika pada dasarnya adalah negara itu merasa dirinya berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Secara umum eksepsionalisme Amerika adalah keyakinan bahwa “AS berbeda dari negara-negara maju lainnya karena asal usulnya yang unik, kredo nasionalnya, evolusi historisnya dan institusi politik dan keagamaannya yang berbeda.”220 Istilah “eksepsionalisme Amerika” pertama kali ditulis oleh Alexis de Tocqueville yang berkata bahwa AS memiliki posisi yang istimewa di antara bangsa-bangsa lain karena ini adalah negara kaum imigran dan demokrasi modern pertama.221 Karena merasa dirinya spesial dan menjadi panutan bagi bangsabangsa lainnya, AS menganggap serangan terhadap dirinya adalah pembangkangan terhadap prinsip-prinsip universal dan abadi yang dimiliki oleh masyarakat dunia.
216
Ibid., hlm. 6. Atau Cooper menyebutnya “invulnerable.” Cooper, Op. Cit., hlm. 45 218 Cooper, Op. Cit., hlm. 52. 219 Mahnken, Op. Cit., hlm. 6. 220 Harold Hongju Koh, “America's Jekyll-and Hyde Exceptionalism,” dalam Michael Ignatieff (ed.), American Exceptionalism and Human Rights, Princeton: Princeton University Press, 2005, hlm. 225. 221 Johannes Thimm, “American Exceptionalism – Conceptual Thoughts and Empirical Evidence,” makalah untuk Rapat Kelompok Riset Internationale Politik DVPW, Darmstadt, Jerman, 13-14 Juli 2007, hlm. 3. 217
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
95
Eksepsionalisme inilah yang menjadi karakteristik utama dalam identitas AS dan bangsa Amerika saat berhubungan dengan bangsa lainnya. Pemikiran lain yang membentuk identitas AS adalah idealisme demokrasi liberal. Berbeda dengan pemikiran bahwa demokrasi liberal cenderung lebih mencintai perdamaian, namun pada kenyataannya karakter ini sering kali mendorong AS untuk menggunakan kekuatannya terhadap aktor yang dianggapnya tidak liberal dan tak demokratis karena dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup demokrasi liberal yang merupakan identitas yang melatarbelakangi eksistensi AS sebagai suatu bangsa. Idealisme ini pula yang menjadi bagian dari proses pembentukan identitas AS saat melihat negara-bangsa lain di luar perbatasannya.222 Dorongan untuk mengubah sistem internasional sesuai dengan idealisme demokrasi liberal sangat kuat di dalam sejarah Amerika dan apabila digabungkan dengan eksepsionalisme Amerika, maka AS merasa sebagai panutan dunia memiliki tanggung jawab moral untuk menyebarkan demokrasi dan memiliki tugas suci untuk melawan kekuatan jahat yang berniat untuk menggagalkan AS dalam menjalankan tanggung jawabnya ini.223 Selain itu, mengingat AS menganggap dirinya superior dibandingkan negara-negara lainnya karena menganut nilai-nilai kebebasan dan demokrasi, maka hal ini membuatnya merasa harus mengambil tanggung jawab untuk memimpin negara-negara lainnya dalam upaya mereka untuk mencapai tujuan demokrasi liberal ini. Hal ini membuat AS merasa tindakannya sesuai dengan kepentingan kemanusiaan secara luas di mana AS bertindak sebagai panutan bagi kebajikan. Hal ini kemudian membuat AS
222
Theo Farrell, “Strategic Culture and America Empire,” SAIS Review 25:2 (Summer-Fall 2005), hlm. 10-12. 223 Hal ini terlihat dalam National Security Strategy 2002, Pidato George W. Bush di Hadapan Kongres pada tanggal 20 September 2001, Pidato George W. Bush di Hadapan Kongres pada tanggal 20 Januari 2004 dan National Security Strategi 2010. Pemerintah AS, The National Security Strategy, Op. Cit., hlm. i-iii; George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. Cit., 20 September 2001; George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Washington DC, 20 Januari 2004, , diakses tanggal 3 Juni 2012; Pemerintah AS, National Security Strategy, Washington DC: White House, Mei 2010, hlm. iii. Lihat juga Kagan, Op. Cit., hlm. 87-88 dan 152.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
96
merasa nilai-nilai dan institusinya adalah yang terbaik dan dunia harus mengubah dirinya sesuai model yang disediakan oleh Amerika dan bukan sebaliknya.224 3.1.2 Identitas Uni Eropa Walau akar budaya strategis Uni Eropa bisa dilacak hingga abad Pencerahan dan memiliki sejarah yang panjang, namun budaya strategis ini adalah hasil dari sejarah Eropa yang terjadi baru-baru ini. Budaya strategis Uni Eropa menggambarkan kesadaran untuk beranjak dari masa lalu, penolakan terhadap sisi buruk Machtpolitik dan ini adalah cerminan keinginan negara-negara Uni Eropa yang besar dan bisa dipahami untuk tak pernah ingin kembali lagi ke masa lalunya. Sejarah Eropa sendiri diwarnai oleh konflik berkepanjangan dan perang yang mengubah tatanan sosial dan politiknya. Masa terburuk dalam sejarah Eropa adalah pada abad ke-14, selama dan setelah Perang Seratus Tahun, pada abad ke-17 saat terjadi Perang Tiga Puluh tahun dan paruh pertama abad ke-20 di mana terjadi dua kali Perang Dunia yang menghancurkan Eropa. Bila Perang Dunia I sangat melemahkan Eropa, maka
Perang
Dunia
II
menghancurkan
Eropa
sebagai
kekuatan
global.
Ketidakmampuan mereka selepas perang untuk mempertahankan kekuatannya di luar negeri untuk menjaga wilayah koloninya di Asia, Afrika dan Timur Tengah memaksa mereka untuk mundur secara besar-besaran setelah selama lima abad menguasai dunia.225 Seperti yang dikatakan Gray walau pada dasarnya budaya strategis adalah hal yang semi permanen, namun “budaya juga bisa berevolusi, beradaptasi dan bahkan berubah drastis bila suatu bangsa mengalami pengalaman yang traumatis.”226 Hal yang sama juga terjadi kepada Eropa di mana pengalaman yang sangat traumatis ini sedikit banyak memengaruhi budaya strategis Uni Eropa yang dibentuk pasca Perang Dunia II. Pengalaman pahit yang didapat melalui peperangan tersebut membuat negara-negara Uni Eropa tak lagi berambisi terhadap kekuatan militer. Mereka bahkan tak 224
Hal ini terlihat dalam National Security Strategy 2002, National Security Strategy 2006, National Security 2010 dan National Strategy for Combating Terrorism 2003, terutama dalam poin “Deny”. 225 Kagan, Op. Cit., hlm. 16-17. 226 Gray, “Out of Wilderness,” Op. Cit., hlm. 227-228.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
97
menginginkan power politic seperti yang telah membuat mereka menderita selama berabad-abad. Pandangan seperti inilah yang tak dimiliki oleh AS karena pengalaman historis di antara keduanya sangat berbeda.227 Cikal bakal pembentukan Uni Eropa sendiri dimulai dengan didirikannya European Coal and Steel Community yang bertujuan untuk menghapuskan kemungkinan terjadinya perang di antara negara anggotanya dengan mengumpulkan industri beratnya. Pemikiran yang melandasi upaya ini adalah negara yang menyatukan industri baja dan batu baranya tak bisa saling berperang karena bahan mentah untuk berperang kini dimiliki bersama.228 Perang Dingin yang berlangsung selama lima puluh tahun juga memberi pelajaran kepada negara-negara Uni Eropa bahwa perang adalah sesuatu yang sia-sia dan absurd. Pengalaman ini membuat mereka menandatangani Treaty on Conventional Armed Forces in Europe di mana lebih dari 50.000 peralatan militer berat seperti tank, senjata artileri, helikopter dan lain sebagainya dihancurkan berdasarkan kesepakatan bersama.229 Upaya untuk melemahkan diri yang dilakukan secara sadar oleh negara-negara Uni Eropa ini berdasarkan keyakinan bahwa untuk mempertahankan diri, suatu negara juga harus siap menghancurkan dirinya sendiri.230 Pengalaman buruk dan kekhawatiran Eropa akan kembali terseret dalam perang adalah ciri yang dominan dalam karakter Uni Eropa dan mencerminkan perilaku aktor yang menolak kekuatan militer sebagai solusi suatu permasalahan dan beralih kepada aturan hukum untuk menyelesaikannya. Hal ini selanjutnya melahirkan nilai-nilai Uni Eropa bahwa aturan, dan bukannya kekuatan militer, adalah penjamin utama keamanan. Selain itu, penolakan untuk menggunakan kekuatan militer dan pengalaman yang panjang hidup bersama konflik, membuat Uni Eropa cenderung lebih berhati-hati dalam menghadapi ancaman.231 Alih-alih dengan cepat menggunakan kekuatan militer secara 227
Kagan, Op. Cit., hlm. 55. Cooper, Op. Cit., hlm. 33. 229 Ibid., hlm. 27. 230 Ibid. 231 Menurut Cooper, Uni Eropa memasuki tahap postmodern di mana mereka telah melepaskan keinginan untuk menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah sehingga saat berhadapan dengan ancaman, Uni Eropa cenderung lebih berhati-hati dan menahan diri. Cooper, Op. Cit., hlm.26-37. 228
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
98
gegabah dan kembali terseret dalam perang yang tak berkesudahan, Uni Eropa cenderung lebih suka menahan diri dan berupaya mencari titik temu melalui negosiasi dan kesabaran. Selain itu, berdasarkan pengalamannya, begitu kekuatan militer digunakan, maka upaya untuk mengembalikan hubungan yang normal seperti sebelumnya bisa berlangsung sangat panjang dan berliku. Dengan demikian, pengalaman yang terbentuk selama perang-perang yang panjang dan traumatis itu membentuk suatu identitas Uni Eropa yang lebih matang232 saat menghadapi konflik. Selain itu, pengalaman pasca Perang Dunia II dan terbentuknya Uni Eropa memberikan pelajaran tersendiri bagi negara-negara Uni Eropa. Kunci keberhasilan perbaikan hubungan antara Perancis dan Jerman dan selanjutnya melahirkan integrasi yang semakin dalam di antara 27 negara anggota Uni Eropa pada awalnya dimulai dari diplomasi, negosiasi, kesabaran, pembentukan hubungan ekonomi dan politik, penggunaan bujukan ketimbang sanksi, mencari kompromi ketimbang berkonfrontasi, tak tergesa-gesa dan menghilangkan ambisi untuk lebih kuat dari yang lainnya.233 Dengan demikian, keberhasilan cara-cara non-militer itu membentuk ciri karakter Uni Eropa yang tak hanya lebih sabar terhadap ancaman, namun juga hati-hati dalam memandang suatu permasalahan. Selain itu, berbeda dengan AS di mana identitasnya dibentuk oleh pemikiran, identitas Uni Eropa terbentuk melalui pengalaman dan sejarah bersama. Negara-negara anggota Uni Eropa adalah penyintas, pelaku dan korban perang. Uni Eropa bisa saja dibentuk sebagai upaya untuk menghindari perang, namun apabila memang satu negara ingin berperang, maka ia bisa saja mencari jalan untuk berperang dan menghancurkan mekanisme di dalam organisasi tersebut. Pada kenyataannya, tak satu pun negara anggota Uni Eropa yang ingin menghancurkannya dan ingin berperang. Pengalaman sebagai penyintas, pelaku dan korban perang tersebut mengajarkan banyak hal kepada negara-negara Uni Eropa bahwa penggunaan kekerasan sebagai solusi permasalahan adalah jalan yang paling merugikan. Hal ini kemudian tercermin saat negara-negara Uni Eropa memiliki sengketa, baik sengketa kecil maupun sengketa perbatasan yang lebih 232 233
Atau menurut Cooper tahap post-modern. Cooper, Ibid. Kagan, Op. Cit., hlm. 58.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
99
besar, kekuatan militer tak menjadi pilihan solusi dan beralih kepada aturan hukum dan ternyata itu membawa keberhasilan. Sebagian besar aturan di dalam sistem Uni Eropa dipatuhi sendiri oleh negara-negara anggotanya tanpa ada paksaan atau ancaman denda. Mereka melakukan hal itu karena mereka berkepentingan untuk membuat sistem kolektif ini berfungsi.234 Dinamika dalam organisasi ini pun pada akhirnya melahirkan kesamaan pengalaman dan sejarah yang sama sekali baru daripada sebelumnya dan berujung pada terbentuknya identitas yang baru, Uni Eropa. Identitas kekamian yang baru inilah yang menyebabkan mengapa Inggris, Perancis dan Jerman tak ingin berperang lagi walau pernah bermusuhan beratus-ratus tahun sebelumnya. Cooper menyebut identitas kekamian yang baru ini sebagai “redefinisi kekamian.”235 Identitas baru ini pun pada akhirnya melahirkan nilai-nilai yang baru, nilai-nilai yang menolak kekerasan dan mengutamakan negosiasi yang akan dibahas lebih dalam di bagian berikutnya. Secara ringkas perbedaan AS dan Uni Eropa dalam aspek identitas bisa dilihat dalam tabel berikut.
234 235
Cooper, Op. Cit., hlm. 30. Ibid., hlm. 151.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Tabel 3.1 Perbedaan Aspek Identitas AS dan Uni Eropa Identitas Ciri-ciri karakter nasional
Kategori
AS
Uni Eropa
Pengalaman hidup bersama
Sedikit pengalaman sehingga
Pengalaman lama sehingga
konflik
terbiasa dalam kondisi
cenderung berhati-hati dan
invulnerable dan tak ingin
lebih menahan diri saat
berkompromi saat menghadapi
menghadapi ancaman.
ancaman. Sikap terhadap konflik
Inti pembentuk identitas
Cepat bertindak dan
Sabar saat menghadapi konflik
menggunakan kekuatan
dan tak terburu-buru untuk
bersenjata begitu terprovokasi.
mengambil keputusan.
Berdasarkan pemikiran:
Berdasarkan pengalaman dan
eksepsionalisme Amerika dan
sejarah bersama.
idealisme demokrasi liberal.
100 Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
101
3.2 Nilai-nilai Menurut Johnson, yang dimaksud nilai-nilai adalah analisis untung/rugi, faktor material dan/atau pemikiran yang lebih diprioritaskan dan dipilih dibandingkan yang lainnya.236 Senada dengan Johnson, Hofstede menggambarkan nilai-nilai sebagai “kecenderungan umum untuk memilih cara tertentu dibandingkan cara yang lainnya.”237 Untuk menjawab faktor apa yang menentukan suatu negara memilih cara tertentu dibandingkan cara-cara lainnya, Toje menyatakan bahwa budaya strategis menyediakan kerangka pikir bagaimana suatu aktor menggunakan kekuatannya dan seberapa besar kapabilitas hard power-nya untuk menjadi acuan dalam pembentukan kebijakannya.238 Dengan demikian, menurut penulis ada dua aspek penting yang membentuk nilai-nilai suatu negara saat memilih satu cara tertentu dan bukan cara-cara lainnya. Dua aspek penting itu adalah hard power dan use of force. Berdasarkan dua aspek tersebut penulis kemudian membuat empat kuadran untuk membagi besar/kecil hard power yang dimiliki oleh suatu negara dan seberapa besar/kecil kecenderungan suatu negara menggunakan kekuatannya. Dengan demikian, kita bisa melihat mengapa suatu negara memiliki nilai-nilai tertentu dan lebih bersifat unilateral, sementara yang lainnya lebih bersifat multilateral. Kuadran itu bisa dilihat dalam tabel di bawah ini.
236
Johnson, Op. Cit., hlm. 12. Geert H. Hofstede, Culture Consequence’s: Comparing Values, Behaviors, Institutions, and Organizations across Nations Second Edition, Sage Publications: Thousand Oaks, California, 2001, hlm. 5. 238 Asle Toje, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal,” European Foreign Affairs Review 10 (2005), hlm. 122. 237
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
102
Gambar 3.1 Kuadran Hard Power dan Use of Force
Multilateral Pimpinan Geng
Berkuasa
Berpengaruh
Unilateral Rambo
II
I
High Hard Power/ Low Use of Force
High Hard Power/ High Use of Force
Bartender
Berandal
III
IV
Low Hard Power/ Low Use of Force
Low Hard Power/ High Use of Force
Di kuadran I, suatu aktor memiliki hard power yang besar dan penggunaan kekuatan yang besar pula. Aktor tersebut memiliki nilai-nilai seperti Rambo di mana ia akan cenderung bertindak secara unilateral bukan hanya karena ia mau, namun juga karena ia bisa. Aktor di kuadran I ini didukung oleh kekuatan militer yang besar dan persenjataan tercanggih pada saat ini. Rambo cenderung akan mengesampingkan hukum internasional apabila hal tersebut menghambat atau mengancam keamanan nasionalnya dan akan bertindak secara unilateral. Aktor seperti Rambo masih memiliki pemikiran bahwa penjamin terpenting bagi keamanannya adalah kekuatan. Oleh karena itu, Rambo akan tetap mengembangkan kekuatan militernya agar keamanannya bisa terus terjaga. Sementara itu, di kuadran II, aktor ini memiliki hard power yang cukup besar namun memilih untuk tidak terlalu menggunakannya. Walaupun ia memiliki kekuatan militer yang relatif lebih besar dibandingkan negara lain, ia berusaha membuat agar kekuatannya itu tak terlihat menakutkan sehingga tak membuat negara-negara lainnya merasa terancam. Aktor di kuadran II ini memiliki nilai-nilai seperti Pimpinan Geng. Alih-alih menggunakan kekuatan militernya yang besar, Pimpinan Geng lebih memilih
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
103
untuk menggalang kesepakatan dengan negara-negara lain melalui cara-cara multilateral. Keinginannya untuk membangun kerja sama dengan pihak-pihak lain mengalahkan hasratnya untuk bergerak secara unilateral dan menggunakan kekuatan militernya. Oleh karena itu, cara yang dipakai pun adalah melalui negosiasi dan bujukan ketimbang ancaman dan paksaan. Aktor di kuadran I dan II walau memiliki perbedaan use of force, namun memiliki kesamaan, yaitu keduanya memiliki kekuatan yang besar. Dengan demikian, persamaan nilai-nilai yang mereka miliki adalah mereka aktor yang berkuasa. Baik secara sendiri seperti Rambo maupun bersama-sama seperti Pimpinan Geng, keduanya adalah aktor yang ingin mendominasi dan menentukan agenda yang harus diprioritaskan dan dijalankan oleh yang lainnya. Aktor di kuadran III adalah aktor yang memiliki hard power yang rendah dan sama sekali tak ingin menggunakan kekuatannya. Aktor di kuadran III ini memiliki nilai-nilai seperti yang dimiliki oleh Bartender. Satu-satunya senjata yang ia miliki adalah alat pembuka botol dan ia sama sekali tak tertarik dan bahkan berusaha menghindari masalah apa pun yang akhirnya akan menyeretnya ke dalam kekerasan. Keahliannya dalam berhubungan dengan berbagai pihak membuatnya disukai banyak orang sehingga cara-cara multilateral adalah cara yang paling dipilihnya. Selanjutnya, walau tak memiliki kekuatan militer yang besar, ucapan Bartender sering dianggap serius oleh pihak
lain.
Walau
demikian,
uang
bukan
masalah
bagi
Bartender
untuk
mengembangkan keahliannya dalam memegang senjata atau membeli pistol terbaru, namun ia lebih memilih untuk memperluas usahanya karena Bartender berpikiran, “Setelah melewati satu hari yang melelahkan, pada akhirnya semua orang hanya ingin minum.” Terakhir, di kuadran IV adalah aktor yang memiliki hard power yang relatif lebih kecil, namun ia memiliki keinginan yang besar untuk menggunakan kekuatan dalam menyelesaikan masalah yang ia hadapi. Aktor di kuadran IV ini memiliki nilai-nilai seperti Berandal yang lebih memilih bertindak unilateral dan mengingat kekuatannya yang lebih kecil, maka perilakunya yang berisiko itu dianggap membahayakan
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
104
perdamaian internasional. Berbeda dengan Rambo yang didukung oleh persenjataan dengan teknologi terkini, Berandal hanya didukung oleh persenjataan yang didapatnya dari perdagangan ilegal, senjata rakitan dan apabila senjata apa pun tak tersedia, bom bunuh diri. Namun demikian, kesamaan Berandal dengan Rambo adalah mereka samasama berbicara dengan bahasa kekuatan saat berhadapan dengan ancaman. Aktor di kuadran III dan IV, walau memiliki perbedaan use of force, namun keduanya memiliki hard power yang kecil. Dengan demikian, persamaan nilai-nilai di antara keduanya adalah mereka aktor yang berpengaruh. Baik secara sendiri seperti Berandal maupun bersama-sama seperti Bartender, aktor di kuadran III dan IV berusaha membuat pengaruh di sekitarnya. Yang terakhir, Selanjutnya, berdasarkan empat kuadran di atas, kita akan melihat nilai-nilai seperti apakah yang dimiliki oleh AS dan Uni Eropa dan mengetahui cara apa yang lebih dipilih dibandingkan cara-cara yang lain melalui data-data kualitatif yang tersedia. Selain itu, perbedaan tersebut akan menjelaskan bagaimana pilihan ini dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut oleh aktor tersebut sesuai dengan preferensi subyektifnya. 3.2.1 Nilai-nilai AS Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya Uni Soviet, AS tak lagi memiliki pesaing. Dengan jumlah personel militer aktif sebesar 1.455.552 personel pada Februari 2012239 dan didukung oleh persenjataan tercanggih di dunia, AS menempatkan dirinya sebagai negara terkuat di bidang militer pada saat ini. Selain itu, walau anggaran pertahanan cenderung tetap, namun persentasenya terus di atas 3%240 sehingga AS masih mengalahkan negara-negara lainnya. Selain itu, walau Perang Dingin telah usai, 239
United States Office of the Under Secretary of Defense for Acquisition, Technology, and Logistics, “Armed Forces Strength Figures for February 29, 2012,” , diakses tanggal 23 April 2012. 240 Pada tahun 2011, AS menghabiskan 711 milyar dolar atau 4,7% dari total PDB-nya dan membuatnya berada di posisi pertama dalam daftar negara-negara dengan anggaran militer terbesar. Lihat SIPRI, “The 15 Countries With the Highest Military Expenditure in 2011,” , diakses tanggal 23 April 2012.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
105
strategi dan kekuatan AS masih tetap berdasarkan pada pemikiran bahwa AS harus berperang dan menang dalam dua perang di wilayah yang berbeda secara simultan.241 Pemikiran seperti ini tak pernah ditinggalkan oleh militer dan pimpinan politiknya yang percaya AS harus siap untuk berperang di Semenanjung Korea dan Teluk Persia.242 Oleh karena itu, belanja pertahanan AS masih tetap yang tertinggi di dunia hingga mencapai 41% dari belanja pertahanan di seluruh dunia243 sehingga dengan demikian tak ada kekuatan konvensional di dunia yang bisa berperang secara terbuka melawan AS dan menang. Kekuatan militer yang tiada bandingnya ini yang membuat AS memiliki cara untuk mengukur risiko dan ancaman secara berbeda. Selain itu, AS juga mendefinisikan keamanan secara berbeda dan memiliki tingkat toleransi terhadap keamanan secara berbeda pula dibandingkan negara-negara lain yang lebih lemah. Dengan demikian, negara dengan kekuatan militer yang besar seperti AS cenderung akan menganggap kekuatan sebagai alat yang penting dalam hubungan internasional.244 Kekuatan militer yang besar juga membuat AS menjadi tak sabar saat berhadapan dengan ancaman.245 Mengingat ia memiliki kekuatan yang besar dan bisa menggunakannya, AS cenderung memiliki sikap bisa melakukan sesuatu dan secara proaktif menjaga keamanan nasionalnya. Oleh karena itulah ancaman sekecil apa pun harus bisa ditangkal sedini mungkin sebelum berkembang terlalu besar. Sikap proaktif ini juga merupakan cara AS untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dirinya adalah negara adidaya yang bisa melakukan langkah tegas terhadap ancaman apa pun. Oleh karena itulah negara kuat seperti AS cenderung menggunakan cara-cara yang lebih unilateral. Walau bagaimana, di dunia yang anarkis, negara besar selalu takut aturan akan membatasi mereka daripada anarki itu sendiri.246 Di dunia yang anarkis, 241
Kagan, Op. Cit., hlm. 26. Ibid. 243 SIPRI, Loc.Cit. 244 Cooper, Op. Cit., hlm. 47. 245 Kagan, Op. Cit., hlm. 29-30 246 Ibid., hlm. 38. 242
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
106
negara kuat seperti AS akan mengandalkan kekuatan militernya untuk menjamin keamanan dan kemakmurannya.247 Namun demikian, pemikiran bahwa AS semata-mata lebih menyukai cara-cara unilateral tak sepenuhnya benar. Pada dasarnya, secara prinsip AS juga mendukung tindakan multilateral di bawah kerangka PBB yang merupakan badan yang ia ciptakan sendiri. AS juga akan memiliki kemungkinan untuk berhasil bila ia memiliki sekutu. Namun fakta tetap ada bahwa AS bisa bertindak secara unilateral dan telah melakukannya beberapa kali dan berhasil. Masalahnya saat ini adalah AS memang bisa melakukannya sendirian dan tak mengherankan apabila negara adidaya seperti AS tetap ingin menjaga kemampuannya agar bisa tetap seperti itu. Selain itu, integritas teritorial, penjagaan perbatasan dan supremasi negara sebagai aktor satu-satunya pemegang kekuatan dan use of force masih menjadi sesuatu yang dijunjung tinggi di AS sehingga dengan demikian konsep kedaulatan menurut AS adalah sesuatu yang absolut.248 Berikutnya, mengingat tak ada kekuatan konvensional di dunia yang bisa memenangkan perang melawan AS, ancaman yang membuat AS lebih waspada adalah ancaman di atas dan di bawah perang konvensional. Di satu sisi adalah ancaman dari senjata pemusnah massal dan di sisi lain adalah terorisme.249 Dengan demikian, fokus keamananan AS adalah perang melawan terorisme dan kampanye untuk mencegah penyebaran senjata pemusnah massal. Negara-negara yang mendukung dan membantu AS akan mendapatkan perlindungan. Mereka yang ingin mendapatkan senjata pemusnah massal untuk dirinya sendiri atau membantu teroris adalah musuhnya.250 Berdasarkan pembahasan di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa nilai-nilai yang dimiliki AS adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh aktor yang berada di kuadran I. Dengan kekuatan militer terbesar di dunia, maka AS memiliki hard power yang tinggi. Dengan didukung kekuatannya yang besar ini, AS juga memiliki keinginan yang besar untuk menggunakannya sebagai penjamin keamanan nasionalnya sehingga dengan demikian, 247
Ibid. Cooper mengkategorikan AS sebagai negara modern di mana kedaulatan masih dianggap sebagai sesuatu yang absolut. Cooper, Op. Cit., hlm. 44-50. 249 Ibid., hlm. 45-46. 250 Ibid., hlm. 46. 248
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
107
AS memiliki use of force yang juga tinggi. Nilai-nilai yang dimiliki aktor di kuadran I dengan high hard power/high use of force adalah nilai-nilai yang diwarnai keberdayaan dalam menangani masalah tanpa bantuan dari pihak lain. Hal inilah yang menjelaskan kecenderungan AS untuk berjalan sendiri tanpa mengindahkan aturan internasional saat hal tersebut dianggap menghambat upayanya dalam melakukan sesuatu terhadap ancaman yang dihadapinya. Farrell menggambarkan kecenderungan AS untuk mengabaikan hukum internasional ini sebagai ambivalensi AS di mana di satu sisi AS menciptakan aturan hukum melalui piagam PBB. Namun demikian pada saat yang sama, AS berkali-kali mengabaikan kewajibannya berdasarkan hukum internasional, terutama saat melakukan tindakan unilateral untuk melindungi keamanan nasional AS.251 Hal lain mengapa AS cenderung mengabaikan hukum internasional adalah masih begitu sakralnya konsep kedaulatan bagi AS. AS tak bisa menerima bagaimana hukum internasional semakin menjadi aturan legal yang bersifat “supranasional.”252 Hal ini bisa kita pahami dari perjanjian-perjanjian internasional yang cenderung menuntut masingmasing negara untuk melepaskan sebagian dari kedaulatan mereka agar mencapai aturan legal supranasional seperti mengalihkan kapabilitasnya untuk menegakkan hukum kepada mahkamah internasional atau lembaga arbitrasi. Melepaskan sebagian dari kewenangan seperti ini sangat sulit bagi AS, karena berdasarkan sejarahnya, AS dibentuk agar tak ada satu badan yang memonopoli kekuatan politik untuk berbicara atas nama rakyat.253 Selain itu, sebagai negara terkuat di dunia, AS tak punya alasan untuk takut dengan negara lain dan dengan demikian AS hanya punya sedikit alasan untuk memikirkan aspek keamanan berdasarkan kerapuhan bersama seperti yang terjadi pada masa Perang Dingin. Hal ini yang kemudian membuat AS merasa tak perlu menegosiasikan posisinya di bidang keamanan dengan negara-negara lain. Sebaliknya, dunia justru dibentuk oleh kebijakan keamanan AS di mana selanjutnya negara-negara lain akan bereaksi terhadap 251
Farrell, Op. Cit., hlm. 9. Haller, Op. Cit., hlm. 48. 253 Ibid. 252
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
108
AS, merasa takut kepada AS, hidup di bawah perlindungan AS, merasa iri dan tak suka terhadap AS, berkomplot melawan AS atau tergantung kepada AS. 3.2.2 Nilai-nilai Uni Eropa Uni Eropa yang terdiri dari 27 negara anggota adalah sebuah kisah keberhasilan integrasi ekonomi dengan proyeksi PDB mencapai 17.070,011 juta dolar pada tahun 2012254 dan menempatkannya menjadi kekuatan ekonomi pertama di dunia.255 Keberhasilan Uni Eropa dalam menyatukan negara-negara anggotanya ke dalam integrasi ekonomi membuatnya menjadi kekuatan ekonomi yang pantas diperhitungkan sehingga mampu sejajar dengan AS dan negara-negara maju lainnya untuk menegosiasikan perdagangan dan keuangan internasional. Masalahnya adalah bila akhir Perang Dingin memulai era di mana kekuatan ekonomi lebih penting daripada kekuatan militer, seperti yang diharapkan oleh Eropa dan AS, maka Uni Eropa akan membentuk tatanan dunia seperti halnya yang dilakukan AS. Namun ternyata berakhirnya Perang Dingin tak berarti mengurangi pentingnya kekuatan militer dan Uni Eropa menyadari bahwa kekuatan ekonomi tak sama dengan kekuatan strategis dan geopolitik. AS tetap menjadi raksasa militer, jauh melampaui Uni Eropa. Kenyataannya, pasca Perang Dingin kita melihat bukannya meningkatnya kekuatan Eropa, namun semakin menurunnya kekuatan Eropa sehingga relatif lebih lemah dibandingkan AS. Hal ini terlihat dari ketidakmampuan Eropa dalam menangani konflik-konflik etnis yang terjadi di Balkan dan semakin memperlihatkan jurang antara AS dan negara-negara Eropa di bidang teknologi militer dan kemampuan untuk berperang.256 Beberapa konflik tersebut semakin menunjukkan bahwa kemampuan militer Eropa, baik secara individu maupun kolektif untuk mengirimkan pasukan yang besar ke daerah konflik di luar kawasannya adalah hal yang sulit tercapai. Walau tiga negara besar anggota Uni Eropa, seperti Inggris, Perancis dan Jerman masing-masing 254
IMF, “World Economic Outlook Database, April 2012,” , diakses tanggal 23 April 2012. 255 Ibid. 256 Kagan, Loc. Cit.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
109
duduk di peringkat 4, 5 dan 9 dalam daftar negara-negara dengan belanja pertahanan terbesar di dunia,257 namun itu bukan cerminan kekuatan militer Uni Eropa. Uni Eropa sangat hati-hati untuk menggunakan militer negara-negara anggotanya dan harus melalui mekanisme yang panjang di Council of European Union. Selain itu, menurut Common Foreign and Security Policy yang mengatur Common Security and Defense Policy, militer Uni Eropa hanya bisa diturunkan untuk mencegah munculnya kembali failed states, mengembalikan aturan dan pemerintahan sipil, mengatasi krisis kemanusiaan dan mencegah konflik regional.258 Kemampuan militer Uni Eropa yang terbatas itu pada akhirnya membuat tentaranya hanya berperan sebagai penjaga perdamaian, terutama setelah AS melakukan langkah-langkah tegas dengan operasi militer dan berhasil menstabilkan keadaan. Perbedaan kemampuan militer ini akhirnya memunculkan istilah “AS yang membuat makan malam, sementara [Uni] Eropa yang mencuci piring.”259 Namun pemikiran bahwa negara-negara Uni Eropa takkan menyelesaikan masalah di antara mereka dengan kekuatan militer membuat Uni Eropa tak merasa harus meningkatkan kemampuan militernya dan lebih memilih untuk terfokus untuk terus mempertahankan kestabilan kawasan agar ekonominya terus memberikan kemakmuran bagi negara-negara anggotanya. Negara-negara Eropa kini telah meninggalkan pemikiran bahwa kekuatan militer adalah penjamin utama keamanan. Sebaliknya, Uni Eropa beranggapan untuk memiliki lingkungan yang aman, yang dulunya berdasarkan sekat-sekat yang memisahkan, kini dibentuk berdasarkan keterbukaan, transparansi dan kerapuhan bersama.260 Bagi Uni Eropa penjamin utama keamanan adalah aturan hukum
257
SIPRI, Loc. Cit. Council of European Union, Conceptual Framework on The European Security and Defense Policy (ESDP) Dimension of the Fight Against Terrorism, Brussel: Council of European Union, 18 November 2004, hlm. 4. 259 Kagan, Op. Cit., hlm. 23. 260 Cooper, Op. Cit., hlm. 30. 258
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
110
di mana dunia diatur oleh aturan main yang disepakati bersama tanpa membedakan negara kecil dan negara besar.261 Apa yang terjadi pada Uni Eropa ini pada dasarnya menunjukkan low hard power dan keinginan yang kecil untuk menggunakan use of force sehingga dengan demikian nilai-nilai yang dimiliki Uni Eropa adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh aktor di kuadran III. Nilai-nilai yang dimiliki Uni Eropa tersebut adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh aktor dengan kekuatan militer yang lemah dan keinginan yang kuat untuk membangun kerja sama multilateral dengan negara-negara lain dalam kerangka hukum internasional (low hard power/low use of force). Ketidaktertarikkan Uni Eropa untuk menggunakan militernya dalam menyelesaikan masalah terutama terbentuk melalui pengalamannya selama ini. Koherensi dan penyatuan antara negara-negara Uni Eropa dalam wadah organisasi supranasional itu ternyata berhasil meredam konflik di antara negara-negara yang sebelumnya pernah bermusuhan. Pengalaman yang menghasilkan kisah sukses ini seperti sebuah keajaiban bagi negara-negara Uni Eropa sehingga nilai-nilai yang tumbuh (dan kemudian diinstitusionalisasikan melalui kerangka Uni Eropa) adalah nilai-nilai yang menjunjung dialog dan negosiasi, mengutamakan proses dan kesabaran daripada memaksakan hasil yang cepat, dan lebih menekankan pada hubungan ekonomi yang lebih erat. Nilai-nilai seperti keterbukaan dan transparansi yang dijunjung tinggi oleh Uni Eropa juga mengisyaratkan bahwa kedaulatan tak lagi dipandang sebagai sesuatu yang absolut karena menurut Uni Eropa keamanan tercapai melalui transparansi dan transparansi akan menghasilkan saling ketergantungan.262 Dengan demikian, kemungkinan negaranegara tersebut akan menggunakan kekuatan untuk menyelesaikan masalahnya menjadi lebih kecil.
261
Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 24 Maret 2003, menteri luar negeri Jerman, Joschka Fischer berkata, “Harus ada aturan untuk mengatur perilaku semua negara dan aturan ini harus diterapkan kepada negara besar, negara sedang dan negara kecil.” Kagan, Op. Cit., hlm. 118-119. 262 Cooper, Op. Cit., hlm. 37.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
111
Secara ringkas, gambar dan tabel di bawah ini akan memperlihatkan posisi AS dan Uni Eropa dalam kuadran hard power/use of force dan nilai-nilai seperti apa yang lebih didahulukan oleh masing-masing pihak.
Gambar 3.2 Posisi AS dan Uni Eropa di Kuadran Hard Power dan Use of Force
Multilateral
Berkuasa
Berpengaruh
Pimpinan Geng
AS
II
Rambo
High Hard Power/Low Use of Force
High Hard Power/ High Use of Force
Uni Eropa
Berandal
I
Bartender
IV
III
Low Hard Power/High Use of Force
Low Hard Power/Low Use of Force
Universitas Indonesia
Unilateral
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
112
Tabel 3.2 Nilai-nilai AS dan Uni Eropa
Kategori
Nilai-Nilai
AS
Uni Eropa
Cara bertindak
Unilateral
Multilateral
Penggunaan kekuatan militer
Diutamakan
Dihindari
Kecepatan bertindak
Proaktif dan cepat
Mengutamakan proses dan kesabaran
Ketaatan terhadap hukum
Cenderung sering
Menjunjung aturan hukum
mengabaikan hukum internasional
Pandangan tentang kedaulatan
Absolut
Tak lagi dipandang absolut
3.3 Norma-norma Menurut Johnson, norma-norma adalah bentuk perilaku yang diterima atau diharapkan.263 Dengan demikian meneliti norma-norma yang dimiliki suatu aktor akan menjelaskan kenapa cara tertentu untuk mencapai tujuan dianggap sebagai hal yang tak bisa diterima walau secara rasional itu adalah cara yang efektif. Selain itu norma-norma juga membantu aktor membedakan antara perilaku “normal” dan abnormal” dan
263
Johnson, Op. Cit., hlm. 12.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
113
melegitimasi tindakan mereka dan tindakan pihak lain.264 Menurut Farrell (2005) norma-norma dalam budaya strategis selanjutnya memberikan panduan teknis dan aturan moral bagi suatu aktor untuk melakukan tindakan militer dan hal ini bisa ditemukan dengan mudah dalam doktrin militernya, kebijakan nasionalnya dan hukum internasional.265 Kemudian dengan kata lain, norma-norma membatasi use of force yang diambil suatu aktor sekaligus memberikan landasan moral bagi aktor tersebut untuk menggunakannya. Selanjutnya, kita akan melihat norma-norma apa yang dimiliki oleh AS dan Uni Eropa yang menjadi panduan dan batasan bagi kedua aktor tersebut dalam penggunaan kekuatan militer yang dimilikinya. 3.3.1 Norma-norma AS Aspek-aspek yang membentuk norma-norma yang dianut oleh AS lebih bersifat individual.266 Hal ini tercermin dari norma-norma yang membatasi dan melandasi tindakan AS adalah idealisme demokrasi liberal yang menekankan pada kebebasan individu. Pada dasarnya idealisme demokrasi liberal yang dianut oleh AS menekankan pada kebebasan, demokrasi dan liberalisme ekonomi.267 Dengan demikian, penggunaan kekuatan hanya bisa dibenarkan apabila sejalan dengan idealisme tersebut dan sesuatu dianggap “abnormal” apabila kekuatan digunakan oleh pihak-pihak yang menurut AS tak memiliki ideologi demokrasi liberal sehingga pihak tersebut dianggap sebagai kekuatan jahat. Pada dasarnya idealisme demokrasi liberal tersebut membatasi AS dalam menggunakan kekuatan militernya karena demokrasi liberal menekankan solusi damai untuk menyelesaikan masalah. Di tingkat internasional, demokrasi berfungsi lewat 264
Neta C.Crawford, “Changing Norms of Humanitarian Intervention,” makalah yang disampaikan dalam International Studies Association Conference 1994, Washington DC, 1 April 1994, hlm. 4–5. 265 Farrell, Op. Cit., hlm. 10 266 Haller, Op. Cit., hlm. 46. 267 Hal ini dinyatakan dalam sambutan George W. Bush dalam Strategi Keamanan Nasional AS tahun 2002. Pemerintah AS, The National Security Strategy, Washington DC: White House, September 2002, hlm. iv.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
114
institusi internasional untuk menengahi perselisihan antar negara dengan cara-cara damai. Namun demikian, walau institusi internasional penting, kesamaan identitas memberikan dasar agar bisa terjadi democratic peace. Hanya di antara negara-negara yang memiliki ideologi demokrasi liberal, perang menjadi hal yang tak terpikirkan karena mereka saling percaya.268 Namun pada saat yang bersamaan, demokrasi liberal yang dianut AS juga memberikan landasan moral bagi negara tersebut untuk menggunakan kekuatan militernya. Liberalisme bisa memicu perang antara negara demokrasi liberal dengan non-demokrasi liberal karena negara demokrasi liberal seperti AS cenderung tak percaya dengan negara-negara yang dianggapnya tak demokratis.269 Dengan demikian, AS cenderung akan menggunakan kekuatan militernya terhadap negara atau aktor yang menunjukkan ciri-ciri yang tak demokratis dan tak liberal. Selain itu, AS juga cenderung lebih mudah menggunakan kekuatan militernya apabila ia harus berhadapan dengan aktor dari ras atau etnis yang berbeda dengan dirinya. Farrell mengatakan, Perbedaan ras dan etnis bisa mengurangi keengganan dalam penggunaan kekuatan militer oleh negara-negara [demokrasi liberal] dan komunitas lainnya. Melawan musuh yang dianggap sebagai mahluk yang lebih rendah, apa saja bisa terjadi. Sementara melawan musuh yang “beradab,” negara demokrasi liberal akan cenderung menahan dirinya agar tak menggunakan kekuatan militernya.270 Norma-norma yang terbentuk melalui aspek-aspek individu ini selanjutnya melahirkan pragmatisme terhadap hukum internasional di mana hukum internasional harus dibaca dan ditafsirkan melalui kacamata prinsip-prinsip yang dianut AS sendiri, yaitu idealisme demokrasi liberal dan bukan sebaliknya. AS tahu bahwa hukum adalah hal yang sangat penting namun hanya dalam kaitannya untuk menjamin kebebasan.271 Dengan demikian, berdasarkan hal tersebut di atas hanya AS dan AS sendiri yang bisa menghentikan atau memulai tindakan militernya.
268
Farrell, Op. Cit., hlm. 4-5. Ibid., hlm. 5. 270 Ibid., hlm. 6. Tanda kutip ditambahkan oleh penulis. 271 Farrel, Op. Cit., hlm. 9; Kagan, Op. Cit., hlm. 90; Haller, Op. Cit., hlm. 40-51. 269
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
115
Pragmatisme dalam memandang hukum internasional ini selanjutnya membuat pendekatan yang memungkinkan hukum ditafsirkan sesuai dengan kenyataan yang dihadapi oleh AS dengan menciptakan ruang normatif tambahan bagi dirinya sendiri dalam kaitannya dengan penggunaan kekuatan militer.272 Contoh konsep preemptive strike dan unlawful combatant adalah salah satu bentuk dari pragmatisme dalam memandang hukum internasional mengingat kedua konsep tersebut bukan hanya tak dikenal dalam hukum internasional, namun praktik yang dilakukan berdasarkan konsep tersebut juga melanggar aturan dalam hukum internasional. 3.3.2 Norma-norma Uni Eropa Berbeda dengan AS, aspek-aspek yang membentuk norma-norma yang dianut oleh Uni Eropa lebih bersifat kolektif.273 Maka norma yang membatasi dan melandasi penggunaan kekuatan militer oleh Uni Eropa adalah aturan main yang disepakati bersama seperti yang tercermin dalam hukum internasional. Oleh karena itu, Uni Eropa tidak akan menggunakan kekuatan militernya apabila tidak memiliki landasan legal formal sesuai hukum internasional. Dengan demikian, berbeda dengan AS, sesuatu dianggap “abnormal” apabila suatu aktor bertindak di luar aturan hukum tersebut. Selain itu, bagi Uni Eropa, suatu aktor hanya akan dianggap menyimpang apabila organisasi internasional seperti PBB menyatakan aktor tersebut melanggar hukum internasional. Dengan demikian, sanksi yang dijatuhkan melalui mekanisme aturan hukum ini menjadi landasan bagi Uni Eropa untuk melakukan tindakan tertentu. Selain itu, Uni Eropa ingin menunjukkan legitimasi tindakannya dengan mengupayakan dukungan internasional secara luas. Dengan demikian, penggunaan kekuatan militer harus melalui persetujuan PBB. Inilah yang disebut oleh Uni Eropa sebagai tindakan yang sah Berbeda dengan AS yang melihat hukum sebagai instrumen untuk menjamin kebebasan,
Uni
Eropa
melihat
hukum
sebagai
instrumen
untuk
menjamin
perdamaian.274 Menurut Uni Eropa, melalui hukum, maka lahirlah aturan dan dari 272
Farrell, Op. Cit., hlm. 9-10. Haller, Op. Cit., hlm. 44 dan 46. 274 Ibid., hlm. 50. 273
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
116
aturan maka lahirlah perdamaian. Uni Eropa beranggapan hukum dan bukannya kekuatan militer yang seharusnya mengatur dunia sehingga dengan demikian, siapa pun yang melanggar hukum harus diperlakukan sebagai kriminal.275 Dengan demikian, hukum dalam tradisi Uni Eropa adalah koridor di mana seseorang bergerak dan hukum adalah sesuatu yang pasti dan bisa diandalkan,276 berbeda dengan AS yang menafsirkan hukum sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. Selain itu, menurut Uni Eropa, hukum internasional adalah cerminan menghilangnya pembagian yang kaku antara urusan domestik dengan urusan luar negeri277 di mana masing-masing negara kemudian menyerahkan sebagian dari kedaulatannya untuk tunduk kepada aturan internasional sehingga pada akhirnya perdamaian tercapai. Oleh karena itulah Uni Eropa menganggap penting organisasi internasional seperti PBB sebagai wadah bagi negara-negara mencari solusi secara damai. Di dalam mekanisme PBB lah menurut Uni Eropa, negara-negara bisa merumuskan konvensi dan aturan main yang disepakati bersama untuk merespons permasalahan tertentu. Dengan demikian, berbeda dengan AS di mana pertimbangan untuk menggunakan kekuatan militer hanya berdasarkan aspek-aspek individu, Uni Eropa hanya akan menggunakan kekuatan militernya berdasarkan aspek-aspek kolektif.278 Hanya dengan melalui persetujuan kolektif, entah itu di tingkat regional melalui Uni Eropa atau di tingkat global melalui PBB, suatu tindakan militer dianggap sah. Legitimasi suatu tindakan hanya dicapai melalui jalur-jalur kolektif di mana setiap negara, baik kecil atau besar, memiliki posisi yang sama sesuai aturan hukum.279
275
Cooper, Op.Cit., hlm. 31. Haller, Op. Cit., hlm. 44. 277 Cooper, Loc. Cit. 278 Hal ini tergambar dalam mekanisme pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keamanan di Council of European Union dan sikap Uni Eropa bahwa PBB adalah instrumen penting dalam melawan terorisme. Council of European Union, “Policies,” , diakses tanggal 3 Juni 2012; Uni Eropa, “EU Statement - United Nations: Informal plenary on UN Global Counter-Terrorism Strategy,” New York, 21 Mei 2012, , diakses tanggal 3 Juni 2012. 279 Hal ini terutama berasal dari pengalaman Eropa yang panjang dalam menghadapi konflik sehingga negara-negara Uni Eropa khawatir akan munculnya satu kekuatan yang memenangkan perang dan menerapkan hegemoni di Eropa. Cooper, Op. Cit., hlm. 9. 276
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
117
Perbedaan norma antara AS dan Uni Eropa ini pada akhirnya membuat khawatir negara-negara Uni Eropa, terutama ketika melihat sepak terjang AS saat menghadapi ancaman. Tindakan AS yang berada di luar koridor hukum ini dikhawatirkan akan mendestabilisasikan tatanan internasional yang justru ingin dibangun oleh Uni Eropa. Perbedaan norma-norma ini justru semakin mengukuhkan keyakinan Uni Eropa hanya sistem hukum internasional melalui mekanisme di DK PBB yang mampu mengekang unilateralisme AS atau dalam istilah Kagan “menjinakkan dan membuat hegemoni AS menjadi beradab.”280 Dari perspektif Uni Eropa, AS mungkin hegemon yang baik, tapi tindakannya yang “gegabah” itu menghambat terbentuknya tatanan internasional yang lebih kondusif bagi keamanan Uni Eropa sehingga dengan demikian secara obyektif berbahaya. Oleh karena itulah Uni Eropa semakin ingin lebih memberdayakan PBB dan bersikeras agar AS hanya bisa bertindak apabila mendapat persetujuan dari DK PBB. Dengan demikian, secara ringkas perbedaan norma-norma antara AS dan Uni Eropa bisa dirangkum ke dalam tabel seperti di bawah ini. Tabel 3.3 Perbedaan Norma-norma antara AS dan Uni Eropa
Kategori
Norma-norma
AS
Pembentukan norma-norma
Norma-norma yang dianut
Uni Eropa
Melalui aspek-aspek
Melalui aspek-aspek
individu
kolektif
Idealisme demokrasi
Hukum
liberal
Pandangan tentang hukum
280
Penjamin kebebasan
Penjamin perdamaian.
Robert Kagan, “One Year After: A Grand Strategy for the West?,” Survival 44:4 (2002), hlm. 138.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
118
3.4 Perceptive Lens Menurut Johnson, perceptive lens adalah keyakinan, baik yang benar atau yang keliru dan pengalaman atau kurangnya pengalaman yang mewarnai bagaimana suatu aktor memandang dunia.281 Seperti yang kita ketahui, perilaku berdasarkan pada persepsi terhadap kenyataan, bukan kenyataan itu sendiri. Persepsi terhadap fakta, sejarah, citra suatu bangsa di luar negeri, motivasi pihak lain, kapabilitas kepemimpinan dan sumber daya nasional dan pemikiran lain yang berkaitan dengan keamanan memainkan peran penting dalam membentuk apa yang disebut oleh suatu rezim sebagai kebijakan luar negeri yang rasional.282 Johnson selanjutnya menyatakan bahwa mitos nasional memainkan peran yang penting dalam pembentukan perceptive lens.283 Mitos nasional pada dasarnya adalah cerita yang menyederhanakan, mendramatisir dan secara selektif menceritakan kisah masa lalu suatu bangsa dan posisinya di dunia ini dan takdir akhirnya, sebuah kisah yang menjelaskan makna kontemporernya melalui (re)konstruksi masa lalunya. 284 Tak penting apakah mitos adalah fakta atau fiksi. Nilainya bukan terletak pada akurasi historisnya, melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan penafsiran bersama tentang dunia.285 Selanjutnya, sesuai dengan pemahaman tentang perceptive lens di atas, penulis selanjutnya akan melihat bagaimana perceptive lens yang dimiliki AS dan Uni Eropa dalam memandang dunia.
281
Johnson, Op. Cit., hlm. 13. Ibid. 283 Jeannie L. Johnson, “Conclusion: Toward a Standard Methodological Approach,” dalam Jeannie L. Johnson, Kerry M. Kartchner dan Jeffrey L. Larsen (eds.), Strategic Culture and Weapon of Mass Destruction: Culturally Based Insights into Comparative National Security Policy Making, New York: Palgrave Macmillan, 2009, hlm. 253. 284 Duncan S. A. Bell, “Mythscapes: Memory, Mythology, and National Identity,” British Journal of Sociology 54:1 (Maret 2003), hlm. 75. 285 Hellmot Lotz, “Myth and NAFTA: The Use of Core Values in U.S. Politics,” dalam Valerie M. Hudson (ed.), Culture and Foreign Policy, Boulder, CO: Reinner, 1997, hlm. 73. 282
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
119
3.4.1 Perceptive Lens AS Persepsi keamanan AS diwarnai oleh fakta bahwa AS selalu melihat dirinya sebagai bangsa spesial dengan misi khusus untuk menyelamatkan peradaban.286 Pertimbangan moral dan religius juga selalu memainkan peran yang penting saat AS melihat dunia. Hal ini terutama dipengaruhi oleh keyakinan bahwa bangsa Amerika adalah orangorang pilihan Tuhan.287 Eksepsionalisme Amerika bahwa Amerika adalah bangsa yang istimewa dan bangsa pilihan Tuhan untuk menyelamatkan dunia adalah mitos nasional yang diperlukan AS untuk memberikan penafsiran yang sama tentang dunia bagi para imigran yang datang ke Amerika dalam membentuk bangsa baru yang terpisah dari leluhurnya di Eropa.288 Variasi lain bagi mitos nasional ini di antaranya adalah pemikiran bahwa AS adalah kota di atas bukit, harapan terakhir umat manusia, suar di atas bukit, bangsa yang sangat diperlukan (indispensable nation) dan pemikiran yang tercantum dalam Manifest Destiny. Keyakinan seperti ini selalu muncul dalam pidato presiden AS dan para pejabatnya, terutama saat AS menghadapi krisis. Pemikiran bahwa AS adalah bangsa yang istimewa dengan misi istimewa dan tanggung jawab istimewa ini dapat dilihat dalam berbagai dokumen kebijakan resmi seperti dokumen keamanan seperti US National Security Strategy (2002, 2006 dan 2010), pidato presiden dan tindakan yang diambil para presiden AS selama ini.289 Mitos nasional bahwa Amerika adalah bangsa istimewa pilihan Tuhan pada akhirnya melahirkan persepsi terhadap dunia yang cenderung biparsial. Apabila kebajikan adalah citra diri Amerika, maka harus ada kejahatan karena kedua kategori ini tergantung satu 286
Fraser Cameron, “Transatlantic Differences on Security Perceptions and Responses,” dalam Stefan Gänzle dan Allen G. Sens (eds.), The Changing Politics of European Security: Europe Alone?, Palgrave Macmillan: Basingstoke, UK, 2007, hlm. 68. 287 Haller, Op. Cit., hlm. 20 288 Ibid. 289 Pemerintah AS, US National Security Strategy 2002, Op. Cit., hlm. iii; Pemerintah AS, US National Security Strategy 2006, Op. Cit., hlm. i-ii; Pemerintah AS, US National Security Strategy 2010, Op. Cit., hlm. ii; George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. cit., 20 September 2001; George W. Bush, “Pidato George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. Cit., 20 Januari 2004; Barrack Obama, “Pidato Presiden Obama tentang Guantanamo dan Terorisme,” Washington DC: 21 Mei 2009, , diakses tanggal 3 Juni 2012.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
120
sama lainnya. Saat melihat dunia luar, bagi AS kejahatan terus menerus dilekatkan kepada orang atau negara dan pada akhirnya semakin mengukuhkan misi nasionalnya untuk menerapkan kebajikan di dunia.290 Persepsi ini kemudian membuat AS melihat dunia cenderung dalam perspektif hitam-putih, kebaikan-kejahatan, negara demokratisnondemokratis, the west and the rest. Cara pandang yang biparsial ini di mana AS menjadi panutan bagi kebajikan akan membuat AS harus terus mencari pihak lain, baik perseorangan maupun negara, yang dianggapnya jahat.291 Hal ini dilakukannya, selain untuk memberikan rasa jati diri sebagai bangsa Amerika, tapi juga agar dunia menjadi sesuatu yang lebih sederhana dan mudah dipahami olehnya. Selanjutnya, berbeda dengan pandangan Kagan bahwa AS hidup dalam kenyataan sementara Uni Eropa hidup dalam idealisme, penulis berpendapat bahwa mitos nasional tersebut tak hanya membuat AS melihat dunia secara sederhana, namun juga cenderung idealistis. Keyakinan bahwa Amerika adalah bangsa istimewa yang memiliki misi istimewa untuk menyelamatkan peradaban sesungguhnya didorong oleh keyakinan yang bersifat idealistis dengan tujuan idealistis seperti menghapuskan kejahatan di muka bumi dan mengubahnya agar mengikuti model yang disediakan oleh AS.292 Keyakinan bahwa Amerika adalah bangsa istimewa dengan institusi terbaik di dunia juga mencerminkan pandangan AS yang biparsial saat berhadapan dengan sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Selain itu, keyakinan bahwa perjuangannya bukan semata-mata bukan bagi bangsa Amerika sendiri, melainkan bagi umat manusia juga membuat AS terlibat dalam perang-perang yang sesungguhnya tak perlu.293 Kuatnya pertimbangan moral dan religius dalam memandang dunia juga menyulitkannya untuk memahami permasalahan melampaui ukuran baik dan buruk.
290
Haller, Op. Cit., hlm. 47. Ibid. 292 Mahnken, Op. Cit., hlm. 6-7. 293 Ibid., hlm. 9. 291
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
121
3.4.1 Perceptive Lens Uni Eropa Mengingat tak banyak tulisan mengenai perspective lens Uni Eropa dan karena perspective lens Uni Eropa tak segamblang AS, maka penulis berusaha menemukan perspective lens Uni Eropa melalui berbagai contoh. Persepsi keamanan Uni Eropa lebih diwarnai oleh keyakinan bila sistem yang ada sekarang menghasilkan kerusakan yang tak bisa diterima, maka sistem tersebut tak berfungsi dengan baik. 294 Keyakinan akan sistem tersebut yang mendorong bangsa Eropa lebih menitikberatkan pada pembentukan sistem begitu sistem yang lama terbukti tak berfungsi. Dengan demikian, menurut Uni Eropa, perang adalah akibat dari sistem yang tak bekerja. Perang Tiga Puluh tahun yang berakhir dengan perjanjian Westphalia pada tahun 1648 mengakhiri sistem negara berdasarkan agama dan dimulainya sistem bernegara-bangsa modern yang mengutamakan kedaulatan. Perang-perang berikutnya yang terjadi di Eropa dan berpuncak pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II menunjukkan bahwa sistem balance of power ternyata gagal dipertahankan.295 Kedaulatan yang dianggap sakral dan nasionalisme yang dipertahankan melalui kekerasan akhirnya membawa kesengsaraan bagi negara-negara Eropa karena mereka kembali terseret dalam peperangan. Sementara itu, Perang Dingin adalah bentuk lain dari balance of power. Berbeda dengan perangperang sebelumnya yang lebih berupa perang teritorial, Perang Dingin adalah perang pemikiran. Namun demikian perang seperti itu tak berarti bebas korban. Perang Dingin tetap saja berbahaya bagi perdamaian dan kemenangan blok Barat tak berarti mengakhiri sistem balance of power yang terbukti beberapa kali pernah gagal sebelumnya.296 Sejarah Eropa yang diwarnai oleh perang-perang yang panjang dan meruntuhkan tatanan sosial dan politik ini membuat Uni Eropa berkeinginan membentuk sistem yang bisa menghindari perang. Berdasarkan sejarahnya, begitu perang selesai, Eropa akan memfokuskan perhatiannya pada pembentukan sistem baru agar kestabilan tercapai dan perdamaian bisa dipertahankan. Selain itu, sebagai bangsa yang matang, negara-negara 294
Cooper, Op. Cit., hlm. 4. Ibid., hlm 16. 296 Ibid., hlm. 14 295
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
122
Uni Eropa sudah tak terlalu memandang sakral lagi kedaulatan. Terlebih lagi, perangperang yang terjadi pasca 1648 dipengaruhi oleh keinginan yang kuat dari negaranegara Eropa untuk mempertahankan kedaulatan dan nasionalismenya melalui kekerasan dan mencerminkan gagalnya sistem balance of power. Dengan demikian mitos yang muncul pasca Perang Dunia II dan terinstitusionalisasi ke dalam Uni Eropa seperti yang bisa kita lihat dalam dokumen-dokumen resmi, termasuk European Security Strategy 2003 dan pidato-pidato pejabat Uni Eropa adalah bila negara-negara tak lagi mengedepankan nasionalisme yang sempit dan kedaulatan tak lagi absolut, maka sistem baru, sistem yang mereka sebut sebagai multilateralisme yang efektif ini bisa berjalan dan hasilnya adalah perdamaian.297 Berbeda dengan persepsi AS yang cenderung biparsial dalam melihat dunia, berdasarkan pengalamannya ini, pandangan Uni Eropa cenderung lebih kompleks dalam melihat dunia. Saat ingin membentuk struktur, bangsa Eropa harus mempertimbangkan berbagai segi dan kepentingan. Selain itu, bagi Uni Eropa, dunia bukan sesuatu yang sederhana seperti kebaikan dan kejahatan, hitam dan putih, teman dan lawan, melainkan berbagai aspek sosial, politik, keamanan, stabilitas regional dan lain sebagainya.298 Selanjutnya, mengingat Uni Eropa cenderung memandang dunia secara kompleks, maka pandangannya pun cenderung lebih realistis. Uni Eropa tak merasa memiliki misi suci yang idealistis untuk mengubah dunia agar seperti dirinya dan sebaliknya berupaya memahami dengan mencari titik temu melalui diplomasi dan negosiasi.299 Pada akhirnya pandangan yang realistis dalam melihat dunia ini menimbulkan sikap yang 297
Council of European Union, A Secure Europe in a Better World: European Security Strategy, Op. Cit., hlm. 9; Javier Solana, Pidato European Union High Representative for Common Foreign and Security Policy Javier Solana dalam Annual Conference of the Institute for Security Studies of European Union, Paris, 26 September 2005, , diakses tanggal 3 Juni 2012; Benita Ferrero-Waldner, "Effective Multilateralism: Building for A Better Tomorrow," Pidato European Commissioner for External Relations and European Neighbourhood Policy Benita FerreroWaldner dalam Rapat Pejabat Tinggi Uni Eropa dan PBB, Barcelona, Spanyol, 14 April 2009, , diakses tanggal 3 Juni 2012. 298 Council of European Union, A Secure Europe in a Better World: European Security Strategy, Op. Cit., hlm. 2-5. 299 Cooper, Op. Cit., hlm. 43-44. Pragmatisme Uni Eropa juga terlihat dalam Action Plan 2001. Council of European Union, “Conclusions and Plan of Action of Extraordinary European Council Meeting on 21 September 2001,” Op. Cit., hlm 1-5.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
123
pragmatis dan berusaha mencari jalan yang paling mungkin untuk dicapai daripada memaksakan diri untuk mencapai hasil yang sempurna.300 Secara ringkas, perbedaan perceptive lens antara AS dan Uni Eropa bisa dirangkum ke dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.4 Perbedaan Perceptive Lens antara AS dan Uni Eropa
Kategori
Perceptive Lens
AS
Uni Eropa
Cara melihat dunia
Biparsial
Kompleks
Pandangan
Idealistis
Realistis/pragmatis
3.5 Terorisme Menurut Analisis Budaya Strategis Budaya strategis pada dasarnya membantu kita untuk memahami mengapa suatu aktor keamanan memiliki perilaku tertentu dalam hubungannya dengan pihak lain dan cenderung memilih cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan keamanannya. Dalam hal ini, kita akan melihat bagaimana budaya strategis memengaruhi cara pandang suatu aktor dalam melihat terorisme yang kemudian melahirkan strategi kontra-teror yang khas dan pada akhirnya menentukan aktivitas kontra-teror tertentu.
300
Toje, Op. Cit., hlm. 147.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
124
3.5.1 Terorisme Menurut Budaya Strategis AS AS tak berubah pada 11 September 2001, sebaliknya ia semakin menjadi dirinya sendiri. Mengingat peristiwa 11 September adalah peristiwa pertama dalam sejarah AS di mana suatu aktor non-negara yang menyerang wilayahnya dalam skala yang masif, maka AS pun melakukan tindakan yang tak pernah ia lakukan sebelumnya dengan menyatakan bahwa AS berperang melawan terorisme dengan istilah yang disebut sebagai Global War on Terror. Sikap seperti ini pada dasarnya menunjukkan ciri karakter nasional AS yang cepat menggunakan kekuatan bersenjata begitu terprovokasi sehingga begitu ancaman terorisme muncul, apa lagi dalam skala yang begitu besar seperti peristiwa 11 September 2001, maka alih-alih mempertimbangkan berbagai segi dan faktor, AS tanpa butuh waktu lama langsung menyatakan perang, bukan kepada negara, rezim, kelompok bersenjata atau pemberontak. AS menyatakan perang pada sesuatu yang sulit dijabarkan karena terorisme tak bisa dilihat atau disentuh. Sikap AS yang tegas dan cepat ini juga mencerminkan pengalaman negara yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang aman. Karena AS tak berpengalaman AS dalam menghadapi ancaman terorisme di dalam negerinya yang dilakukan secara terus menerus oleh satu kelompok tertentu seperti yang digambarkan di Bab 2 pada halaman 45 hingga 47, membuat AS terbiasa dalam kondisi invulnerable sehingga AS tak ingin berkompromi dengan keamanan nasionalnya. Menurut AS, ancaman sekecil apa pun, apalagi ancaman ini berhasil melakukan serangan ke wilayahnya, harus segera diberantas secepat mungkin dan cara yang paling mungkin untuk melakukan semua itu adalah dengan menggunakan kekuatan militer.301 Oleh karena itulah, tak lama setelah AS menyatakan perang terhadap terorisme, AS menyerang Afghanistan yang dianggapnya bertanggung jawab menyembunyikan pimpinan Al-Qaeda yang menurutnya adalah dalang di balik peristiwa 11 September 2001. AS menggunakan paksaan dan ancaman kepada pemerintahan Taliban302 dan begitu hasil yang diinginkannya tak segera tercapai, yaitu 301
National Security Strategy 2002 menulis, “Amerika akan bertindak melawan ancaman yang mulai muncul itu sebelum sepenuhnya berkembang” dan “satu-satunya jalan menuju perdamaian dan keamanan adalah jalan berisi tindakan.” Pemerintah AS, National Security Strategy 2002, Op. Cit., hlm. ii. 302 George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. Cit., 20 September 2001.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
125
Osama bin Laden diserahkan kepada AS, AS dengan cepat mengandalkan kekuatan militernya yang besar itu untuk menghukum pemerintahan Taliban dan menyerang Afghanistan. Namun walau demikian, hal yang paling terpukul dalam peristiwa 11 September 2001 adalah pemikiran yang menjadi identitas AS yang paling utama, yaitu eksepsionalisme Amerika dan idealisme demokrasi liberal. Bagaimana AS merasa terorisme sebagai serangan terhadap demokrasi liberal terlihat dalam National Strategy for Combating Terrorism 2003 yang berbunyi: Serangan teroris pada 11 September 2001 di Washington DC., New York City dan Pennsylvania adalah tindakan perang melawan AS … dan ide inti masyarakat yang beradab … Dunia harus merespons dan melawan kejahatan ini yang berniat untuk mengancam dan menghancurkan kebebasan dan cara hidup kita. Kebebasan dan rasa takut sedang berperang.303 National Strategy for Combating Terrorism 2003 juga menegaskan bahwa terorisme adalah serangan terhadap prinsip-prinsip demokrasi liberal yang dianutnya. “Kami takkan pernah lupa bahwa kami pada akhirnya memperjuangkan nilai-nilai demokrasi fundamental dan cara hidup.”304 Sementara itu, bagaimana AS melihat terorisme menyerang eksepsionalisme AS dapat kita baca dalam National Security Strategy 2002 yang berbunyi, “Peristiwa 11 September mengajarkan kepada kita … Afghanistan bisa menjadi ancaman yang besar bagi kepentingan nasional kita sebagai bangsa yang kuat.”305 Pada dasarnya, identitas adalah inti dari eksistensi suatu aktor dan AS merasa identitasnya berada dalam bahaya sehingga sebagai pihak yang terancam kelangsungan hidupnya, AS akan memprioritaskan penggunaan kekuatan militernya. AS merasa kebebasan, demokrasi dan ekonomi liberal yang menjadi identitas utama AS ini dalam bahaya. Dalam menghadapi ancaman terorisme, AS merasa kebebasannya sedang dipertaruhkan. 303
Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism, Op. Cit., hlm. 1. Ibid., hlm. 2. 305 Pemerintah AS, National Security Strategy 2002, Op. Cit., hlm. ii. 304
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
126
Sikap AS yang cepat dalam menggunakan militernya ini selanjutnya ditopang oleh nilai-nilai yang dimiliki AS. Sebagai negara adidaya pemenang Perang Dingin, AS menjadi satu-satunya negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia. Nilai-nilai AS sebagai negara yang kuat dan bisa melakukan sesuatu untuk mengatasi ancaman yang dihadapinya, membuatnya mudah menggunakan kekuatan militernya. Mengingat terorisme adalah ancaman di bawah kemampuan AS untuk menghadapinya secara konvensional,306 maka AS pun merasa harus proaktif untuk menangkalnya sebelum berkembang menjadi ancaman yang lebih besar lagi, seperti misalnya kemungkinan AlQaeda mendapatkan senjata pemusnah massal dari rogue states. Keputusan AS untuk dengan mudah untuk menggunakan kekuatan militernya dalam menghadapi terorisme juga didukung oleh nilai-nilai bahwa keamanan nasionalnya adalah hal yang paling utama karena AS masih beranggapan kedaulatan adalah hal yang absolut, bahkan apabila hal itu bertentangan dengan hukum internasional.307 Tindakannya yang cenderung mengabaikan hukum internasional ini dikarenakan AS merasa terorisme adalah ancaman di depan mata sementara hukum internasional dianggap menghambat AS untuk bergerak secara leluasa untuk menangani ancaman tersebut. Karena tindakan AS yang cenderung cepat dan mengesampingkan hukum internasional yang kadang memakan waktu, AS dianggap bersikap unilateral di mana AS akan mengambil tindakan apa pun yang diperlukan tanpa harus dibatasi oleh apa pun, termasuk oleh hukum internasional. Selain itu, AS juga tak ingin hukum internasional
di
bidang
kontra-teror
terlalu
bersifat
supranasional
sehingga
mensyaratkan AS untuk melepaskan sebagian dari kedaulatannya dan tunduk kepada otoritas yang lebih tinggi seperti misalnya PBB. Hal ini sulit dilakukan oleh AS terutama karena berdasarkan sejarahnya, negara adidaya tersebut dibentuk berdasarkan
306
Cooper, Op. Cit., hlm. 45-46. Hal ini bisa terlihat dalam National Strategy for Combating Terrorism 2003 yang berbunyi, “Namun bila diperlukan, kami takkan ragu untuk bertindak sendirian, untuk menjalankan hak kami untuk mempertahankan diri, termasuk bertindak secara pre-emptive melawan teroris agar tak membahayakan bangsa dan negara kami.” Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism 2003, Op. Cit., hlm. 2. 307
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
127
keyakinan bahwa tak boleh ada satu institusi yang bisa memonopoli kekuatan politik untuk berbicara atas nama rakyat.308 Keinginan AS untuk menggunakan kekuatan militernya tanpa dibatasi oleh apa pun juga sejalan dengan norma-norma yang dimilikinya, yaitu hal yang membatasi atau melandasi penggunaan kekuatan militernya adalah prinsip-prinsip yang dimilikinya sendiri, yaitu idealisme demokrasi liberal dan hukum dibuat untuk menjamin kebebasannya. Menurutnya, Al-Qaeda bukan aktor demokratis sehingga dengan demikian Al-Qaeda tak dibenarkan melakukan serangan terhadap negara demokratis seperti AS. Selain itu, mengingat Al-Qaeda secara ras dan keyakinan berbeda dengan AS, maka tindakan yang dilancarkan AS terhadap Al-Qaeda dan mereka yang berafiliasi dengannya pun cenderung keras. Perlakuan tak manusiawi terhadap tawanan di Guantanamo bisa menjelaskan hal ini.309 Pragmatisme AS dalam memandang hukum internasional dengan membuat ruang normatif tambahan dan memperkenalkan istilah baru berupa unlawful combatant adalah landasan bagi AS untuk menahan seseorang tanpa tuntutan dan waktu yang jelas di Guantanamo. 310 Dengan demikian, perceptive lens yang dimiliki AS dalam memandang terorisme pun adalah sesuatu yang biparsial. Kalimat dalam pidato Presiden Bush di depan Kongres yang paling terkenal, “Either you are with us or with the terrorist”311 dengan tepat menggambarkan persepsi yang dimiliki AS terhadap terorisme. Kuatnya 308 309
Haller, Op. Cit., hlm. 48. Center for Constitutional Rights misalnya, memberikan catatan mengenai perlakuan tak manusiawi
yang dilakukan AS terhadap tawanan di Guantamo, terutama yang berkaitan dengan diskriminasi rasial, agama dan kewarganegaraan para tawanan. Center for Constitutional Rights, “Statement on United States’s
Engagement
with
Universal
Periodic
Review
Process
(UPR),”
, diakses tanggal 3 Juni 2012. Anthea Roberts juga menyoroti diskriminasi ras, kewarganegaraan dan agama yang dilakukan AS terhadap tawanan Guantanamo. Anthea Roberts, “Righting Wrongs or Wronging Rights? The United States and Human Rights Post-September 11,” EJIL 15:4 (2004), hlm. 723. 310
Amnesty International, “Harbeas Corpus,” , diakses tanggal 3 Juni 2012. 311 George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. Cit., 20 September 2001.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
128
pertimbangan moral dalam memandang ancaman teroris juga mendorong AS membuat simplifikasi dengan melekatkan Al-Qaeda sebagai kekuatan jahat yang berbahaya bagi umat manusia.312 Selain itu, pandangan AS yang idealis membuatnya berkeyakinan bahwa ancaman terorisme hanya akan berakhir begitu terorisme tak ada lagi 313 dan idealisme demokrasi liberal adalah cara yang tepat untuk menghentikan penyebaran terorisme.314 Budaya strategis AS yang khas ini pada akhirnya yang menimbulkan pendekatan terhadap terorisme yang bersifat perang, proaktif dan eksternal karena teroris yang disasarnya adalah aktor dengan identitas yang berbeda, baik secara ras, keyakinan dan ideologi. 3.5.2 Terorisme Menurut Budaya Strategis Uni Eropa Uni Eropa memiliki pandangan yang berbeda dalam memandang terorisme. Uni Eropa memiliki pengalaman yang panjang hidup bersama konflik dan terbiasa menghadapi ancaman, terutama ancaman terorisme yang berkelanjutan di dalam negerinya dan dilakukan oleh satu kelompok tertentu. Berdasarkan pengalamannya tersebut, seperti yang dijabarkan di Bab 2 pada halaman 47 hingga 51, Uni Eropa tahu, menggunakan kekuatan militer secara terburu-buru takkan memadamkan serangan teror. Selain itu, bagi Uni Eropa karena identitasnya dibentuk berdasarkan pengalaman dan sejarah bersama, maka serangan teror tak dianggap sebagai serangan terhadap identitasnya sehingga pendekatan yang ia ambil pun berbeda dengan AS. Setelah peristiwa 11 September 2001 terjadi dan satu hari setelah pidato Presiden Bush di hadapan Kongres pada 20 September 2001, European Council menggelar rapat darurat pada tanggal 21 September 2001 untuk menganalisis situasi internasional setelah serangan teror di AS dan dampaknya terhadap Uni Eropa dan mengeluarkan EU Plan of Action on Combating Terrorism. Dalam dokumen ini, Uni Eropa memilih untuk memperkuat kerja sama di bidang kepolisian dan hukum. Dalam dokumen ini sama
312
Pemerintah AS, National Security Strategy 2002, Op. Cit., hlm. 5. Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism 2003, Op. Cit., hlm. 1; George W. Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. Cit., 20 September 2001. 314 Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism 2003, Op. Cit., hlm. 30. 313
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
129
sekali tak disebut-sebut bahwa serangan tersebut adalah serangan terhadap kebebasan dan masyarakat beradab seperti yang disampaikan oleh AS. Selain itu, nilai-nilai Uni Eropa yang mengutamakan multilateral juga tergambar dalam Action Plan ini. Menurut dokumen ini untuk melawan terorisme Uni Eropa harus menguatkan kerja sama dengan AS, Rusia dan negara-negara sahabat di Arab dan dunia Muslim berdasarkan resolusi PBB yang relevan.315 Nilai-nilai Uni Eropa yang menghindari penggunaan kekuatan militer dan memilih keterbukaan dan transparansi untuk mencapai tujuan keamanan juga ditekankan dalam Action Plan di mana semua negara harus terintegrasi ke dalam sistem keamanan dunia yang berkeadilan, berkemakmuran sebagai prasyarat bagi terbentuknya komunitas yang kuat dan berkelanjutan untuk melawan terorisme.316 Selain itu, berbeda dengan AS yang cenderung curiga dengan entitas lain yang berbeda secara ras, ideologi dan keyakinan dan bisa dengan mudah menggunakan kekuatan militernya begitu mereka dirasa mengancamnya, Uni Eropa memilih untuk berhati-hati dan menekankan penegakan hukum dan melawan sentimen nasionalis, rasis dan xenofobi dan menjunjung toleransi.317 Bagi Uni Eropa, serangan teror yang terjadi di AS lebih ditujukan untuk menghancurkan stabilitas, sesuatu yang menurut norma-norma yang dianut oleh Uni Eropa adalah pelanggaran terhadap tatanan internasional yang dibentuk melalui hukum internasional. Oleh karena itulah Uni Eropa dalam Action Plan mengajak komunitas internasional untuk memajukan forum multilateral melalui dialog dan negosiasi untuk membangun perdamaian, aturan hukum dan toleransi.318 Pernyataan ini sejalan dengan norma-norma yang dianut Uni Eropa di mana norma-norma dibentuk melalui aspekaspek kolektif melalui dialog dan negosiasi dengan memajukan badan internasional seperti PBB. Melalui dialog dan negosiasi tersebut, maka akan muncul kesepakatan dan kerja sama yang berlandaskan hukum internasional akan membentuk suatu sistem yang
315
Ibid., hlm. 3. Ibid. 317 Ibid., hlm. 4. 318 Ibid. 316
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
130
pada akhirnya akan melahirkan perdamaian, sesuatu yang menurut Uni Eropa ingin dihancurkan oleh teroris. Namun walau demikian, dalam Action Plan, terlihat Uni Eropa tak kehilangan kepercayaan kepada negara-negara anggota PBB untuk tetap memaksimalkan
badan
internasional
tersebut
untuk
mempertahankan
tatanan
internasional yang berkeadilan dan berkemakmuran sebagai alat untuk melawan terorisme yang ingin menghancurkannya.319 Oleh karena itulah, Uni Eropa terlihat begitu teguh untuk menggunakan hukum internasional dan kerja sama multilateral dan bukannya kekuatan bersenjata untuk menghadapi ancaman terorisme. Dengan demikian, sesuai dengan Action Plan yang disusun oleh European Council, terlihat posisi Uni Eropa yang realistis dalam memandang ancaman terorisme. Hal ini juga disebabkan karena Uni Eropa melihat dunia secara lebih kompleks bahwa ancaman terorisme tak semata-mata serangan terhadap ide-ide seperti kebebasan dan demokrasi, melainkan sesuatu yang lebih rumit dari itu. Sehingga dalam Action Plan, Uni Eropa menyerukan agar ancaman terorisme ini dihadapi melalui pendekatan yang terkoordinasi dan multi-disipliner.320 Selanjutnya, langkah-langkah pragmatis yang dilakukan Uni Eropa dalam menghadapi terorisme seperti yang tertulis dalam Action Plan adalah berusaha menghentikan pendanaan teror, menggalakkan kerja sama di bidang kepolisian dan hukum, mengembangkan instrumen hukum internasional dan mengkoordinasikan upaya kontra-terornya, baik di tingkat regional dalam wadah Uni Eropa maupun di tingkat global melalui PBB. Dalam dokumen ini, sama sekali tak disebutkan tujuan-tujuan yang idealistis, seperti mempertahankan kebebasan dan menyelamatkan peradaban. Sebaliknya, Action Plan menyebutkan langkah-langkah konkrit yang bisa segera dilakukan negara-negara anggotanya dalam menghadapi terorisme di wilayahnya masing-masing sesuai dengan yang digariskan oleh Uni Eropa.321 Langkah-langkah konkrit ini kemudian dijabarkan lagi dalam European Union Framework of Decision on Combating Terrorism yang disahkan tahun 2002 dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan terorisme, apa saja pelanggaran yang bisa dimasukkan sebagai tindak pidana terorisme dan hukuman minimal bagi pelakunya. 319
Ibid., hlm. 3. Ibid., hlm. 1 321 Ibid., hlm. 1-3. 320
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
131
Kerangka kerja ini pun mengikat negara-negara anggotanya sehingga menjadi standar hukum bagi Uni Eropa dalam menangani terorisme. Budaya strategis seperti ini yang selanjutnya melahirkan pendekatan Uni Eropa yang memandang terorisme sebagai kejahatan, internal dan reaktif, bukan sebagai perang, eksternal dan proaktif. 3.6 Strategi dan Aktivitas Kontra-teror Menurut Analisis Budaya Strategis Setelah kita melihat bagaimana terorisme dilihat dari kacamata budaya strategis AS dan Uni Eropa, kita akan mempelajari bagaimana strategi dan aktivitas kontra-teror menurut analisis budaya strategis. Bila kita bandingkan, AS dan Uni Eropa sama-sama memiliki empat poin dalam strategi kontra-terornya. Strategi kontra-teror AS adalah Defeat, Deny, Diminish dan Defend.322 Sementara, Uni Eropa memiliki strategi kontra-teror berupa Prevent, Protect, Pursue dan Respond.323 Selanjutnya, berdasarkan keempat poin tersebut, penulis menyusun empat tahapan dalam strategi kontra-teror, yaitu tahapan pertama adalah Pendobrak. Tahapan ini adalah tahapan pertama dan terpenting yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang paling mendesak agar tahapan-tahapan lainnya bisa dijalankan. Dalam hal ini, analisis budaya strategis akan menjelaskan mengapa poin tertentu dalam strategi kontra-teror AS dan Uni Eropa berada dalam tahapan ini dan bukannya poin-poin lainnya. Sementara itu tahapan kedua adalah Penguat. Hanya apabila Pendobrak telah berhasil melaksanakan fungsi dan tugasnya, Penguat dibutuhkan untuk semakin menekankan strategi kontrateror masing-masing aktor agar tujuan keamanan mereka bisa tercapai. Selanjutnya, tahapan ketiga adalah tahapan Penyeimbang. Strategi kontra-teror suatu aktor hanya akan berhasil apabila ia menggabungkan unsur-unsur yang mendesak dengan unsurunsur penyeimbang yang dianggap akan melengkapi strategi kontra-terornya. Terakhir, strategi kontra-teror AS dan Uni Eropa hanya akan bisa berjalan dan terus berlangsung apabila ditopang oleh tahapan keempat, tahapan Penegak. Tahapan terakhir ini, walau berada paling terakhir, mirip seperti fondasi yang akan menahan dan mempertahankan
322 323
Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism 2003, Op. Cit. Council of European Union, The European Union Counter-terrorim Strategy 2005, Op. Cit.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
132
tahapan-tahapan sebelumnya. Analisis budaya strategis kemudian akan membantu kita untuk memahami mengapa satu poin berada di tahapan tertentu dan bukan sebaliknya. 3.6.1 Strategi dan Aktivitas Kontra-teror AS Menurut Analisis Budaya Strategis Selanjutnya pendekatan AS terhadap terorisme yang dipengaruhi oleh budaya strategisnya ini melahirkan strategi kontra-teror yang juga sama khasnya. Strategi kontra-teror AS seperti yang tercantum dalam National Strategy for Combating Terrorism 2003 terdiri dari empat poin, yaitu Defeat, Deny, Diminish dan Defend seperti yang sudah dibahas di Bab 2 pada halaman 69 hingga 76. Tahap pertama menurut tahapan strategi kontra-teror, poin “Defeat” berada dalam tahap Pendobrak. Mengingat AS merasa bahwa identitasnya terancam, maka ia memilih untuk memprioritaskan penggunaan aspek-aspek militeristis untuk mengalahkan ancaman terorisme tersebut agar eksistensinya terjaga. Dengan demikian, poin “Defeat” adalah komponen penting yang harus dilakukannya terlebih dahulu sebelum poin-poin lainnya bisa dijalankan. Poin Defeat memprioritaskan aspek militeristik dan bertujuan untuk mengalahkan organisasi teroris global dengan menyerang tempat mereka berlindung, menyerang pemimpinnya, komandonya, kendali dan kominikasinya, dan dukungan material dan keuangannya.324 Hal ini mencerminkan karakter nasional AS yang cepat bertindak begitu terprovokasi dan keinginannya untuk terus memiliki kondisi yang invulnerable seperti yang selama ini dialaminya. Poin “Defeat” juga memperlihatkan nilai-nilai yang beranggapan bahwa penggunaan kekuatan militer adalah hal penting dalam mencapai tujuan keamanannya, terutama karena identitasnya sebagai negara yang beradab dan memiliki idealisme demokrasi liberal yang menjunjung tinggi kebebasan berada dalam ancaman. Hal ini terlihat dalam pernyataan National Strategy for Combating Terrorism 2003 yang berkata, serangan teroris pada 11 September 2001 … adalah perang melawan AS dan sekutu-sekutunya dan melawan pemikiran masyarakat yang beradab … Dunia harus merespons dan melawan kejahatan yang berniat
324
Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism 2003, Op. Cit., hlm. 11.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
133
mengancam dan menghancurkan kebebasan dan cara hidup kita. Kebebasan … sedang berperang.325 Walau dalam National Strategy for Combating Terrorism 2003 disebutkan bahwa pemerintah AS akan bekerja sama dengan negara-negara sahabat di kawasan untuk menerapkan upaya yang terkoordinasi untuk menekan, mengetatkan dan mengisolasi pada teroris,326 bukan berarti AS akan bertindak secara multilateral. Bagi AS bekerja sama dengan negara lain berarti berupaya menarik dan meraih dukungan sekutunya agar mendukung kebijakan keamanannya.327 Pengesahan dari PBB memang diinginkan, namun tak berarti itu hal yang penting. Selain itu, walau National Strategy for Combating Terrorism menyebutkan akan menggunakan Resolusi PBB 1373 untuk “memperkuat kerja sama internasional dan menggalang dukungan untuk menekan negara-negara yang tak memenuhi tanggung jawab internasionalnya,”328 namun “fondasi ini tak bisa mencegah dibentuknya coalitions of willing nations untuk melaksanakan tugas di atas dan di luar persyaratan Resolusi PBB 1373 dan konvensi dan protokol internasional di bidang kontra-teror”329 Menurut National Strategy for Combating Terrorism 2003, AS tetap bebas untuk menekankan azas resiproksitas dalam kebijakan
kontra-terornya.330
AS
akan
tetap
memprioritaskan
perlindungan
kepentingannya dan membantu negara-negara yang mendukung kebijakannya, termasuk mendukung sekutunya. Dengan demikian, pernyataan dalam National Combating Terrorism 2003 itu menunjukkan norma yang dimiliki AS, di mana hukum dibuat untuk menjamin kebebasannya dan hukum internasional ditafsirkan melalui kacamata idealisme demokrasi liberal. Selain itu, sikap AS seperti yang tertuang dalam National Strategy for Combating Terrorism 2003 itu mencerminkan nilai-nilai yang dianut AS bahwa kedaulatan adalah hal yang utama. Sehingga dengan demikian, apabila kebebasannya terancam oleh aksi-aksi terorisme, maka AS akan lebih memprioritaskan keamanannya tanpa harus secara ketat terikat dengan konvensi dan protokol yang 325
Ibid., hlm. 1. Ibid., hlm. 11. 327 Kagan, Op. Cit., hlm. 144. 328 Ibid., hlm. 19. 329 Ibid. 330 Ibid. 326
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
134
mengatur tentang kontra-terorisme. Terakhir, poin “Defeat” juga menunjukkan perceptive lens AS yang biparsial. Bagi AS ada ancaman terhadap kebebasannya, maka sesuai dengan citra dirinya sebagai negara yang mewakili kebaikan, teroris adalah kekuatan jahat yang harus dihadapi dengan berbagai cara.331 Dalam tahap kedua, poin “Deny” berada dalam tahap Penguat. Hanya setelah AS melaksanakan poin “Defeat” dengan melakukan tindakan militeristis yang kuat untuk memastikan dirinya mampu mengatasi ancaman terorisme yang membahayakan identitasnya, maka AS membutuhkan Penguat untuk semakin menekankan poin “Defeat”. Pada dasarnya, poin “Deny” menekankan pada kategorisasi negara-negara di dunia sehingga memperjelas siapa kawan dan lawan menurut AS. Hal ini sejalan dengan karakter nasional AS, yaitu idealisme demokrasi liberal yang cenderung lebih percaya dengan negara-negara yang berideologi sama sehingga tercipta democratic peace. Dalam poin ini, negara-negara yang menurut AS mendukung terorisme adalah Iran, Irak, Suriah, Libya, Kuba, Korea Utara, and Sudan332 dan AS akan menggunakan paksaan agar mereka mengikuti standar yang diberikan AS dalam memberantas terorisme. Dengan demikian standar yang diberikan AS itu merupakan cerminan eksepsionalisme Amerika di mana negara-negara yang berbeda dengan dirinya harus mengikuti model yang dimiliki AS, yaitu kebebasan, demokrasi liberal dan ekonomi liberal. Sampai negara-negara tersebut mengubah dirinya dan mengikuti idealisme demokrasi liberal, baru AS menghapuskannya dari daftar negara yang dianggap membantu teroris dan akan memberinya bantuan bila kemampuannya dalam memberantas terorisme masih dirasa lemah. Dalam menghadapi negara-negara yang berbeda ini pun, AS menunjukkan nilai-nilai yang dimiliki sebuah negara yang kuat. AS memberikan ancaman dan paksaan bagi negara-negara tersebut agar mengubah dirinya agar mengikuti standar yang ditetapkan oleh AS di mana standar tersebut adalah standar yang berdasarkan prinsip-prinsip yang dimiliki AS sendiri, bukan norma-norma berdasarkan hukum internasional. Dengan demikian perceptive lens yang dimiliki AS pun terlihat biparsial saat berhadapan dengan negara-negara tersebut. Karena mereka
331 332
Ibid., hlm. 1-2 Ibid., hlm. 18.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
135
dianggap tak demokratis, AS menempatkan mereka sebagai pihak lawan walau belum tentu mereka memiliki hubungan langsung, baik secara ideologis dan organisasi dengan Al-Qaeda. AS juga terlihat idealistis dengan menginginkan negara-negara tersebut memiliki prinsip-prinsip demokrasi liberal seperti dirinya tanpa memperhitungkan bahwa masing-masing negara tersebut memiliki pandangan tersendiri yang khas karena AS beranggapan prinsip-prinsipnya itu adalah prinsip-prinsip yang universal yang berlaku di mana saja tanpa terkecuali.333 Selanjutnya, tahap ketiga atau Penyeimbang adalah poin “Diminish.” Poin ini merupakan penyeimbang bagi dua tahapan sebelumnya yang cenderung keras dan tegas. Hal ini diperlukan AS agar strategi kontra-terornya lebih komprehensif dan tak hanya memprioritaskan aspek-aspek yang militeristis belaka. Dalam poin “Diminish” AS berpikiran bahwa dengan prinsip-prinsip idealisme demokrasi liberal seperti kebebasan individu, mendemokratisasi negara-negara “non-demokratis” di Timur Tengah dan diterapkannya ekonomi liberal akan menghasilkan kemakmuran akan menyelesaikan masalah yang memunculkan terorisme. AS beranggapan, dirinya harus memenangkan “perang pemikiran” dengan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan ekonomi liberal saat berhadapan dengan terorisme.334 National Strategy for Combating Terorrism 2003 menulis, “Dunia di mana nilai-nilai seperti ini dianut sebagai standar, tanpa terkecuali, akan menjadi obat paling mujarab untuk melawan penyebaran terorisme.”335 Terakhir, tahap keempat adalah poin “Defend” yang merupakan tahap Penegak. Strategi kontra-teror AS hanya akan berhasil apabila AS mampu mempertahankan wilayahnya, obyek vitalnya baik di dalam negeri dan di luar negeri serta kepentingannya di seluruh dunia. Poin “Defend” ini merupakan fondasi bagi poin-poin berikutnya karena apa gunanya AS mampu mengalahkan dan menyerang Al-Qaeda di mana saja apabila pertahanannya tak kuat.
333
Pandangan bahwa demokrasi adalah sesuatu yang universal terlihat dalam National Security Strategy 2002. Pemerintah AS, National Security Strategy 2002, Op. Cit., hlm i dan ii. 334 Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism 2003, Op. Cit., hlm. 23. 335 Ibid., hlm. 30.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
136
Dalam poin “Defend” memperlihatkan AS sebagai aktor keamanan yang tak memiliki pengalaman dalam menghadapi terorisme di dalam negeri yang dilakukan oleh satu kelompok secara terus menerus, AS ingin terus memiliki kondisi yang invulnerable. AS selama ini berpikiran wilayahnya kebal terhadap ancaman apa pun. Namun begitu peristiwa 11 September 2001 terjadi, AS baru menyadari ternyata wilayahnya masih bisa ditembus. AS kemudian ingin memiliki keamanan yang paripurna. Oleh karena itulah AS mengembangkan strategi untuk mempertahankan wilayahnya dan menjadi langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya dalam sejarah AS dengan membentuk Department of Homeland Security yang melibatkan elemen sipil sesuai dengan konsep homeland security dan juga melibatkan militer sesuai dengan konsep homeland defense seperti yang sudah dibahas di Bab 2 pada halaman 58. Pembentukan badan ini juga mencerminkan nilai-nilai AS yang proaktif dalam menghadapi ancaman agar mencapai keamanan yang paripurna. Selanjutnya, gambar di bawah ini akan menjelaskan tahapan strategi kontra-teror AS.
1. Pendobrak
2. Penguat
3. Penyeimbang
4. Penegak
“Defeat”
“Deny”
“Diminish”
“Defend”
Gambar 3.3 Tahapan Strategi Kontra-teror AS
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
137
Tahapan strategi kontra-teror AS di atas mencerminkan keinginan AS untuk memiliki keamanan yang idealistis dan paripurna. AS berusaha keras agar ancaman terorisme takkan pernah terjadi dan teroris takkan pernah mampu melakukan serangan kembali. Dengan demikian, ini menggambarkan perceptive lens AS yang idealistis. Keinginan untuk mencapai tujuan keamanan yang paripurna ini terlihat dalam pidato Presiden George W. Bush di hadapan Kongres pada 20 September 2001 di mana ia berkata, “Perang melawan teror dimulai dengan Al-Qaeda, namun itu tak berhenti di sana. Ini takkan berhenti sampai semua kelompok teror global ditemukan, dihentikan dan dikalahkan.”336 Dengan demikian, berdasarkan tahapan ini, terlihat bahwa strategi kontra-teror AS cenderung berbentuk linear di mana seluruh strategi kontra-terornya dikerahkan agar AS mencapai tujuan keamanan yang paripurna. Dengan demikian berdasarkan strategi kontra-teror di atas, terlihat aktivitas kontrateror yang lebih ditekankan oleh AS. Tahap pertama, yaitu tahap Pendobrak adalah “Defeat.” Mengingat AS mudah menggunakan kekuatan militernya begitu terprovokasi dan merasa kebebasan yang merupakan ciri karakter nasional yang membentuk identitasnya terancam, maka aktivitas kontra-teror yang dilakukan AS sesuai dengan poin “Defeat” adalah aktivitas-aktivitas yang ofensif dan didukung oleh intelijen operasional agar bisa membidik teroris secara tepat. Aktivitas ofensif yang cenderung militeristik ini pun juga lebih dipilih karena AS memiliki nilai-nilai sebagai negara yang memiliki kekuatan militer yang besar dan ingin memanfaatkannya agar AS mencapai keamanan yang paripurna. Adapun apabila aktivitas ofensif seperti operasi militer yang terbuka maupun operasi intelijen yang tertutup dianggap menyalahi hukum internasional, AS memiliki nilai-nilai yang berkeyakinan bahwa kedaulatan adalah hal yang absolut, sehingga pertimbangan untuk melindungi kepentingannya, keamanan nasional, warga negara dan obyek vitalnya adalah hal yang paling utama. Aktivitas ofensif ini sendiri menurut AS sejalan dengan norma-norma idealisme demokrasi liberal yang dimilikinya. Hanya saat kebebasan terancam oleh keberadaan kelompok teror yang non-demokratis, maka kekerasan bisa dibenarkan. 336
George W Bush, “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Op. Cit., 20 September 2001.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
138
Pada tahap kedua, yaitu Penguat, poin “Deny” yang menekankan ancaman terhadap negara-negara non-demokratis yang dianggapnya mendukung terorisme dan berisi aktivitas penggentaran ofensif kembali menegaskan nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki AS bahwa ia memiliki kekuatan untuk melakukan ancaman tersebut dan bisa menggunakannya tanpa harus terikat oleh hukum internasional. Selain itu, aktivitas penggentaran ofensif ini mencerminkan perceptive lens AS yang idealistis karena AS berpikiran dengan memberikan ancaman akan melakukan tindakan tegas kepada negaranegara yang dianggapnya mendukung terorisme, maka negara-negara tersebut akan menghentikan dukungan mereka. Namun apabila sesungguhnya negara tersebut tak memiliki hubungan langsung dengan Al-Qaeda, maka penggentaran ofensif ini bisa kontra-produktif. Tahap ketiga dan keempat, yaitu tahap Penyeimbang pada poin “Diminish” dan tahap Penegak pada poin “Defend”, AS menekankan aktivitas penggentaran defensif, baik bersifat sipil maupun militer dan didukung oleh intelijen pre-emptive dan ini menggambarkan keinginan AS untuk memiliki keamanan yang paripurna. Hal ini memperlihatkan nilai-nilai di mana AS harus proaktif dalam menghadapi terorisme di mana saja, baik di wilayahnya maupun kepentingannya di luar negeri. 3.6.2 Strategi dan Aktivitas Kontra-teror Uni Eropa Menurut Analisis Budaya Strategis Berdasarkan pendekatan Uni Eropa terhadap terorisme yang dilatarbelakangi oleh budaya strategisnya yang khas ini selanjutnya melahirkan strategi kontra-teror yang berbeda dengan aktor-aktor keamanan lainnya. Setelah European Council menyusun Action Plan pada 21 September 2001 dan diikuti dengan pembuatan European Union Framework Decision on Combating Terrorism pada 13 Juni 2002, Uni Eropa melanjutkan upaya kontra-terornya dengan menyusun strategi kontra-teror yang mengikat seluruh negara anggotanya. Dengan demikian, pada akhirnya 27 negara anggota Uni Eropa memiliki strategi kontra-teror yang seragam. Strategi kontra-teror Uni Eropa itu terdiri dari Prevent, Protect, Pursue dan Respond.337
337
Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
139
Berdasarkan tahapan strategi kontra teror, tahap pertama adalah poin “Pursue” yang merupakan Pendobrak. Tahap ini merupakan tahap terpenting dan paling mendesak yang harus dilakukan Uni Eropa. Uni Eropa menyadari dirinya tak bisa hanya mengandalkan upaya-upaya pencegahan dan perlindungan agar wilayahnya aman dari ancaman terorisme sehingga dengan demikian poin “Pursue” adalah poin terpenting dalam strategi kontra-teror Uni Eropa untuk menindak tegas para pelaku teror.338 Namun mengingat Uni Eropa adalah aktor keamanan yang memiliki pengalaman yang panjang dalam menghadapi ancaman terorisme yang berkelanjutan oleh satu aktor tertentu dan telah lama bekerja sama dalam menghadapinya seperti yang sudah dibahas dalam Bab 2 pada halaman 47 hingga 51, Uni Eropa memandang terorisme sebagai tantangan jangka panjang yang harus dikelola.339 Uni Eropa menyadari bahwa kekuatan bersenjata adalah alat yang tak memuaskan dan cenderung membabi buta saat melawan target yang sulit ditemukan dan dibedakan340 sehingga dengan demikian Uni Eropa lebih memprioritaskan elemen sipil sebagai ujung tombak strategi kontra-terornya. Hal ini terlihat dalam poin “Pursue” yang menekankan pada penguatan aspek-aspek sipil, yaitu kepolisian dan hukum untuk melawan terorisme. Ini juga sejalan dengan nilai-nilai Uni Eropa, yaitu menjujung aturan hukum sebagai penjamin utama keamanannya. Uni Eropa beranggapan, serangan teror yang merupakan upaya destabilisasi tatanan hanya bisa dilawan dengan tatanan juga, yaitu kekuatan hukum dan peraturan.341 Dengan demikian, penggunaan kekuatan untuk mengejar pelaku teror yang digunakan oleh kepolisian harus sesuai aturan hukum agar bukti-buktinya bisa disajikan di persidangan. Hanya pada saat hukum ditegakkan, maka tatanan bisa dipertahankan. Penegakan hukum ini juga mencerminkan norma-norma yang di miliki Uni Eropa di mana Uni Eropa hanya bisa melakukan tindakan tegas, seperti menyita, menangkap, menghukum pelaku teror bila hal itu sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.342 Hal yang sama juga terjadi di tingkat global, di mana Uni Eropa hanya bisa terlibat dalam upaya 338
Hal ini terlihat dalam Action Plan di mana kerja sama di bidang penegakan hukum adalah hal yang diprioritaskan oleh Uni Eropa. Council of European Union, “Conclusions and Plan of Action of Extraordinary European Council Meeting on 21 September 2001,”Op. Cit. 339 Rees, Op. Cit., hlm. 72. 340 Ibid. 341 Cooper, Op. Cit., hlm. 31. 342 Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm. 12.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
140
kontra-teror yang dilandasi oleh hukum internasional dan disetujui oleh PBB. 343 Bagi Uni Eropa, pelaku aksi teror adalah pelanggar aturan dan dengan demikian, ia harus diadili dan dihukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Nilai-nilai multilateralisme dan norma-norma yang dilandasi oleh hukum internasional ini juga terlihat dalam poin “Pursue” di mana Uni Eropa bertekad untuk memastikan penerapan sepenuhnya dan evaluasi terhadap UU yang ada serta meratifikasi perjanjian internasional dan Konvensi yang berkaitan dengan kontra-teror.344 Tahap kedua adalah poin “Protect” yang merupakan Penguat dan ditujukan untuk memperkuat tahap Pendobrak yang merupakan tahap yang paling mendesak untuk dilakukan. Poin “Protect” menekankan pada upaya untuk “melindungi warga negara dan infrastruktur dan mengurangi kerapuhan Uni Eropa terhadap serangan, termasuk dengan memperbaiki keamanan di perbatasan, transportasi dan infrastruktur vital.”345 Dengan demikian, Uni Eropa mengakui wilayahnya rapuh terhadap serangan teror. Namun yang menarik, poin “Protect” ini sama sekali tak melibatkan aspek-aspek militer di dalamnya. Sebaliknya, poin “Protect” justru memperkuat aktor-aktor sipil untuk menjalankan pengamanan, seperti Kementerian Transportasi untuk internal Uni Eropa dan Frontex untuk pengamanan perbatasan eksternal.346 Ini menunjukkan nilai-nilai yang dianut oleh Uni Eropa, yaitu menghindari penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan keamanannya. Namun dalam upaya melindungi obyek vitalnya ini, semua negara anggota Uni Eropa harus tetap mempertahankan keterbukaan dan keleluasaan bergerak dari satu negara ke negara lain.347 Dengan demikian, mereka pun harus berkoordinasi satu sama lain dan berbagi laporan keamanan terkini mengenai potensi ancaman terorisme di wilayahnya. Hal ini juga sejalan dengan nilai-nilai Uni Eropa bahwa kedaulatan tak lagi dipandang sebagai hal yang absolut sehingga integrasi administrasi
343
Rees, Op. Cit., hlm. 74. Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm.14. 345 Ibid., hlm. 3. 346 Armitage, Op. Cit., hlm. 11. 347 Council of European Union, “Justice and Home Affairs,” , diakses tanggal 8 Juni 2012. 344
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
141
di antara negara-negara anggotanya bisa dimungkinkan.348 Maka ancaman terorisme di suatu negara akan dengan cepat disebarkan ke negara-negara anggota lainnya melalui mekanisme Counterterrorism Coordinator sehingga kemudian ditindaklanjuti oleh masing-masing negara sesuai dengan cakupan yuridiksinya.349 Poin “Protect” juga menggambarkan perceptive lens Uni Eropa yang realistis. Uni Eropa menyadari pergerakan teroris sangat elusif sehingga dengan demikian, ruang gerak mereka pun harus dipersempit dengan mempersulit mereka untuk mendekati sasaran dan hal ini hanya bisa dilakukan apabila seluruh negara anggota Uni Eropa mau bekerja sama untuk bertanggung jawab dalam mengamankan wilayahnya.350 Selain itu, yang menarik, Uni Eropa juga meminta negara-negara anggotanya agar memanfaatkan aktivitas riset untuk mengetahui kerapuhan infrastruktur dan menemukan cara terbaik untuk melindunginya tanpa mengabaikan nilai-nilai keterbukaan yang selama ini menjadi ciri khas Uni Eropa.351 Hasil riset ini kemudian bisa ditindaklanjuti agar Uni Eropa memiliki pemetaan wilayahnya yang rapuh terhadap serangan teror. Tahap ketiga dalam tahapan strategi kontra-teror adalah poin “Prevent” yang merupakan tahap Penyeimbang atau komponen yang menyeimbangkan tahap pendobrak untuk mencapai tujuan keamanannya. Uni Eropa ingin menyeimbangkan strategi kontra-terornya di mana ia tak ingin hanya mengejar pelaku teror, namun juga ingin mengetahui akar penyebab terorisme agar ia bisa bisa menyusun langkah-langkah keamanan yang dibutuhkan. Cara ini dipilih oleh Uni Eropa yang pernah mengalami beratnya masalah yang ditimbulkan oleh terorisme sehingga memiliki kesadaran agar upaya kontra-terornya lebih komprehensif.352 Poin “Prevent” juga mencerminkan nilai-nilai yang dianut Uni Eropa, yaitu mengutamakan proses dan kesabaran daripada memaksakan hasil yang cepat. Uni Eropa 348
Cooper, Op. Cit., hlm. 36. Council of European Union, “EU Counter-terrorism Coordinator,” , diakses tanggal 8 Juni 2012. 350 Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm. 4. 351 Ibid., hlm 11. 352 Chalk, Op. Cit., hlm. 118. 349
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
142
berupaya memahami mengapa seseorang terlibat dalam terorisme atau menjadi radikal. Dalam memahami terorisme, maka Uni Eropa membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan proses dengan berusaha mengembangkan dialog antar budaya, baik di dalam Uni Eropa maupun di luar Uni Eropa.353 Selain itu, agar tak mudah menstigmatisasi kelompok tertentu sehingga pada akhirnya memicu radikalisme, Uni Eropa
dalam
poin
Prevent
juga
mengajak
negara-negara
anggotanya
agar
mengembangkan istilah yang netral dalam membahas masalah terorisme ini.354 Uni Eropa juga ingin mengembangkan penelitian, analisis bersama dan berbagi pengalaman di antara negara-negara anggotanya agar bisa memahami lebih jauh masalah terorisme dan mengembangkan kebijakan yang tepat. Sikap seperti ini pada dasarnya dilandasi oleh perceptive lens Uni Eropa yang memandang terorisme sebagai sesuatu yang kompleks sehingga dibutuhkan pemahaman yang komprehensif agar bisa menghasilkan respons yang lebih menyeluruh.355 Tahap keempat adalah poin “Respond” merupakan tahap Penegak bagi poin-poin sebelumnya. Komponen ini hanya akan dilakukan oleh Uni Eropa begitu komponenkomponen sebelumnya tak berhasil menangkal ancaman terorisme. Uni Eropa adalah aktor keamanan yang sudah sering mengalami serangan terorisme di wilayahnya dan dilakukan oleh satu kelompok tertentu secara berkelanjutan seperti yang sudah dibahas dalam Bab 2 pada halaman 46 hingga 50. Dengan demikian, Uni Eropa belajar, walau telah terjadi serangan, ia harus mampu bangkit lagi dan kembali stabil dengan segala sumber daya yang ia miliki. Poin “Respond” selanjutnya adalah strategi yang ditujukan agar Uni Eropa bisa kembali tegak begitu terjadi serangan teror. Uni Eropa menyadari, secanggih apa pun upaya untuk mengejar, melindungi dan mencegah pelaku teror, selalu saja ada ruang bagi mereka untuk melakukan serangan. Dengan demikian, Uni Eropa merasa penting untuk mampu meresponsnya. Komponen Penegak seperti yang tercermin melalui poin “Respond” ini selanjutnya menunjukkan resiliensi Uni Eropa terhadap ancaman teror di mana pelaku teror dikejar, wilayahnya dilindungi, ancaman 353
Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm.9. Ibid. 355 European Commission, “Fight Against Terrorism,” , diakses tanggal 8 Juni 2012. 354
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
143
teror dicegah dan mampu merespons begitu terjadi serangan agar Uni Eropa bisa kembali mengejar pelaku, terus melindungi obyek vitalnya dan mencegah terorisme agar aksi teror tak terjadi lagi. Poin “Respond” juga memperlihatkan nilai-nilai multilateral yang dimiliki Uni Eropa. Poin ini mencakup upaya yang dilakukan oleh negara-negara Uni Eropa apabila serangan teror benar-benar terjadi di wilayahnya melalui koordinasi dan bekerja sama apabila suatu negara mengalami kesulitan.356 Selain itu karena kedaulatan tak lagi dipandang absolut di antara negara-negara Uni Eropa, maka poin ini memungkinkan Uni Eropa untuk ikut terlibat apabila skala serangan itu begitu besar sehingga satu negara tak bisa menghadapinya sendirian dan Uni Eropa bisa bertindak sebagai koordinator apabila serangan itu terjadi di beberapa negara atau yuridiksi. Selain itu, poin
“Respond”
juga
melibatkan
aspek-aspek
yang
komprehensif
karena
memperhitungkan pemulihan pasca serangan, termasuk menangani korban aksi terorisme dan keluarga mereka.357
356 357
Council of European Union, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Op. Cit., hlm. 15-16. European Commission, “Fight Against Terrorism,” Op. Cit.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
144
Gambar 3.4 Tahapan Strategi Kontra-teror Uni Eropa
Berdasarkan tahapan strategi kontra-teror ini, Uni Eropa memandang tujuan keamanan secara realistis. Berdasarkan pengalamannya, Uni Eropa menyadari bahwa ancaman teror akan ada dan selalu ada dan dengan demikian Uni Eropa memilih untuk memikirkan strategi yang berkelanjutan untuk memastikan resiliensinya dalam menghadapi ancaman terorisme. Selain itu, berdasarkan tahapan ini, terlihat bahwa strategi kontra-teror Uni Eropa berbentuk sirkular di mana bila satu poin tak berhasil menahan ancaman terorisme, masih ada poin lainnya yang menyangganya. Bahkan bila terjadi kemungkinan yang terburuk, Uni Eropa masih memiliki strategi untuk kembali pulih agar bisa memulai lagi strategi kontra-terornya dari awal. Kemudian, setelah kita melihat strategi kontra-teror yang mencerminkan budaya strategisnya, kita akan beralih melihat aktivitas kontra-teror yang dilakukan Uni Eropa. Sesuai dengan analisis budaya strategis, aktivitas ini pun tak terlepas dari budaya strategis yang dimilikinya.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
145
Tahap pertama yang merupakan Pendobrak adalah poin “Pursue” yang lebih menekankan pada aktivitas legislasi, penghukuman yang bersifat yudisial dan didukung oleh intelijen yang bersifat criminal/punitive yang ditujukan agar memberikan penggentaran legal menunjukkan nilai-nilai Uni Eropa yang menjunjung aturan hukum sebagai penjamin utama keamanannya. Kerja sama di bidang hukum dan kepolisian yang menjadi fokus dalam poin ini juga sesuai dengan nilai-nilai multilateral dan norma-norma Uni Eropa yang terbentuk melalui aspek-aspek kolektif.358 Melalui aktivitas kontra-teror tersebut, Uni Eropa berusaha mensinkronkan seluruh hukum dan peraturan negara-negara anggotanya agar memiliki standar yang sama sesuai dengan yang digariskan oleh Uni Eropa.359 Tahap kedua, yaitu Penguat adalah poin “Protect” menekankan pada aktivitas penggentaran defensif yang bersifat sipil dan mencerminkan nilai-nilai Uni Eropa untuk menghindari penggunaan kekuatan militer seperti yang dibahas dalam Bab 3 pada halaman 111. Uni Eropa menyadari, teroris akan membidik obyek-obyek vitalnya dan mudah bergerak, terutama karena perbatasannya yang begitu terbuka. Oleh karena itu, ruang gerak mereka harus dipersulit dengan penjagaan yang lebih ketat yang melibatkan seluruh negara anggotanya. Namun demikian, berdasarkan nilai-nilai yang dianutnya itu, aktivitas penggentaran defensif yang dilakukan Uni Eropa ini hanya melibatkan elemen-elemen sipil seperti Kementerian Transportasi dan Frontex. Tahap ketiga, yaitu Penyeimbang
adalah point “Prevent” di mana Uni Eropa
menekankan pada aktivitas defensif yang didukung oleh intelijen pre-emptive dan mencerminkan karakter Uni Eropa yang tak tergesa-gesa mengambil keputusan sebelum
358
Kagan, Op. Cit., hlm. 144; Heller, Op. Cit., hlm. 46. Bab dua pada halaman 60-61 menggambarkan contoh-contoh seperti dengan disahnya Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism, negara-negara Uni Eropa kini memiliki standar yang seragam mengenai definisi terorisme dan hukuman minimal terhadap teroris. Memiliki kebijakan yang standar dalam menghadapi terorisme kembali ditekankan dalam European Union CounterTerrorism Strategy. Negara-negara Uni Eropa juga sepakat untuk membuat daftar bersama mengenai organisasi teror, memperkuat Europol dan menerapkan European Arrest Warrant yang berlaku di seluruh negara anggotanya. Lihat Armitage, Op. Cit., hlm. 11-12. 359
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
146
memastikan apa yang sedang dihadapinya.360 Aktivitas defensif ini juga mencerminkan nilai-nilai Uni Eropa yang menghindari penggunaan kekuatan militer. Tahap keempat, yaitu Penegak adalah poin “Responds” yang menekankan pada aktivitas defensif yang menekankan pada elemen sipil. Aktivitas ini juga menunjukkan nilai-nilai Uni Eropa yang menghindari kekuatan militer. Berikutnya, tabel di bawah ini menggambarkan perbedaan budaya strategis AS dan Uni Eropa dalam memandang terorisme, strategi kontra-teror dan aktivitas kontraterornya.
360
Kagan, Op. Cit., hlm. 5.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
Tabel 3.5 Perbedaan Budaya Strategis AS dan Uni Eropa di Bidang Kontra-teror
Budaya Strategis
Strategi
AS
UE
Tantangan bagi identitas
Tantangan bagi tatanan dan aturan
Defeat
Karakter: Tak berpengalaman
Pursue
Tahap I: Pendobrak
Nilai-nilai: Aktivitas
Ofensif Intelijen operasional
Nilai-nilai: Menjunjung Hukum
Militer diprioritaskan Kedaulatan absolut
Norma-norma: Idealisme demokrasi liberal Perceptive lens: Biparsial
Karakter: Berpengalaman
Legislasi Penghukuman (yudisial) Norma-norma: Hukum Intelijen criminal/punitive Penggentaran legal
147 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
Budaya Strategis
Strategi
AS
UE
Tantangan bagi identitas
Tantangan bagi tatanan dan aturan
Deny
Karakter:
Protect
Mengindari penggunaan militer Kedaulatan tak lagi absolut
Identitas berupa idealisme demokrasi liberal dan eksepsionalisme Amerika Tahap II: Penguat
Nilai-nilai:
Nilai-nilai: Kekuatan militer penting Aktivitas
Penggentaran ofensif
Norma-norma:
Penggentaran defensif (sipil)
Perceptive lens: Realistis
Idealisme demokrasi liberal
Perceptive lens: Biparsial
148 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
Tahap IV: Penegak
Tahap III: Penyeimbang
Budaya Strategis
Strategi
Aktivitas
AS
UE
Tantangan bagi identitas
Tantangan bagi tatanan dan aturan
Diminish
Prevent
Penggentaran defensif (sipil dan militer)
Norma-norma: Idealisme demokrasi liberal
Defensif Intelijen preemptive
Intelijen preemptive Strategi
Defend
Aktivitas
Penggentaran defensif (sipil dan militer) Intelijen preemptive
Karakter: Berpengalaman Nilai-nilai: Mengutamakan proses dan kesabaran
Perspective lens: Kompleks
Nilai-nilai:
Respond
Karakter: Berpengalaman
Defensif
Nilai-nilai: multilateral
Proaktif
149 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
BAB 4 ANALISIS PENELITIAN
4.1 Kerja Sama Kontra-teror AS dan Uni Eropa Menurut Analisis Budaya Strategis Analisis yang mengatakan masalah yang menghambat kerja sama kontra-teror AS dan Uni Eropa terletak dari perbedaan pendekatan legal-institusional di antara keduanya di mana AS menggunakan pendekatan extra-legal sementara Uni Eropa lebih legal-formal361 sesungguhnya baru menyentuh permukaan. Selain itu, analisis lain yang dilakukan Robert Kagan yang berkata bahwa perbedaan budaya strategis antara Uni Eropa dan AS lebih disebabkan oleh kapabilitas militernya juga baru menjelaskan sebagian perbedaan budaya strategis di antara keduanya. Menurut Kagan, karena militer AS lebih kuat dan mampu melakukannya sendirian, maka AS lebih unilateral. Sementara, keterikatan Uni Eropa terhadap perjanjian, aturan hukum dan multilateralisme disebabkan karena kelemahannya dan pemikirannya yang terlalu utopis. Menurutnya, aturan ada untuk melindungi mereka yang lemah dan karena itulah Uni Eropa menyukainya.362 Namun apa yang terjadi sesungguhnya lebih dalam dari itu dan memiliki akar historis yang cukup panjang. Walau demikian, semua perbedaan ini tertutupi oleh Perang Dingin dan semakin mengemuka dan semakin tajam begitu peristiwa 11 September 2001 terjadi. Sesungguhnya, intensi untuk bekerja sama di bidang kontra-teror di antara keduanya cukup kuat. Begitu peristiwa 11 September 2001 terjadi, Uni Eropa sesuai dengan Action Plan, menyerukan solidaritas dan kerja sama dengan AS sebagai butir pertama rencana kerjanya di bidang kontra-teror. Mereka juga menyatakan akan bekerja sama di bidang kontra-teror melalui EU-U.S. Declaration on Combating Terrorism pada tahun 2004 yang semakin dipererat
361 362
Cortright dan Lopez, Op. Cit. Kagan, Op. Cit., hlm. 37-39.
150 Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
151
melalui EU-U.S. Declaration on Counterterrorism pada 2010. Namun demikian, hubungan kerja sama kontra-teror di antara keduanya terus mengalami masalah dan beberapa kali diwarnai silang pendapat mengenai sifat ancaman terorisme, bagaimana seharusnya menangani ancaman terorisme dan mereka pada dasarnya sulit memahami posisi satu sama lain. Apabila kita menggunakan analisis neorealisme, maka jelas keduanya memiliki kepentingan yang sama, yaitu melawan ancaman terorisme. Namun demikian, analisis neorealisme gagal memahami mengapa walau memiliki kepentingan yang sama dan telah berkali-kali bekerja sama di berbagai bidang sebelumnya baik di bidang keamanan maupun non-keamanan, namun hal itu tak menjamin hubungan kerja sama di bidang kontra-teror antara AS dan Uni Eropa bisa berjalan dengan mulus. Hanya dengan menggunakan analisis budaya strategis kita bisa memahami bagaimana budaya strategis yang sama sekali berbeda dalam memandang terorisme pada akhirnya melahirkan strategi dan aktivitas kontra-teror yang sama sekali berbeda dan kemudian memunculkan hambatan dalam melakukan kerja sama. Perbedaan budaya strategis yang paling mendasar ini adalah pandangan tentang terorisme itu sendiri. AS beranggapan terorisme adalah serangan terhadap indentitasnya. Identitas sebagai inti dari eksistensi suatu aktor adalah sesuatu yang tak bisa dikompromikan sehingga apabila ada ancaman yang berniat untuk menghancurkannya, maka AS akan memprioritaskan tindakan militer dengan semua sumber daya yang dimilikinya. Di sisi lain, Uni Eropa tak merasa eksistensinya dalam bahaya dan melihat terorisme sebagai ancaman terhadap tatanan dan aturan dunia, sesuatu yang selama ini dicoba dibangun oleh Uni Eropa untuk menghindari pengalaman pahitnya sebagai penyintas, korban dan pelaku perang. Hal mendasar inilah yang pada akhirnya membuat strategi kontra-teror di antara keduanya sulit untuk dipertemukan sehingga kemungkinan untuk bekerja sama dengan mulus menjadi relatif kecil. Seperti yang bisa kita lihat, mengingat AS merasa eksistensinya terancam, maka strategi kontra-terornya pun lebih menekankan pada aspek-aspek yang militeristis, sementara Uni Eropa karena merasa tatanan dan aturan yang menjadi
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
152
taruhannya, maka lebih menekankan pada aspek-aspek sipil seperti penegakan hukum. Melihat dari dua aspek yang berbeda ini, maka akan sulit dicari titik temu di antara AS dan Uni Eropa dalam bekerja sama di bidang kontra-teror. Tuntutan agar Uni Eropa lebih memperhatikan aspek-aspek militeristik dalam strategi kontra-terornya adalah permintaan yang sulit dipenuhi karena pengalaman sejarah mengajarkan, Uni Eropa lebih memilih untuk hidup dalam dunia yang dikendalikan
oleh
hukum
daripada
militer.
Sebaliknya,
berharap
AS
mengedepankan aspek-aspek sipil dalam strategi kontra-terornya juga bukan sesuatu yang mudah karena AS meyakini keamanannya hanya bisa dipertahankan melalui kekuatan bersenjata. Pandangan bahwa AS dan Uni Eropa sulit melakukan kerja sama di bidang kontra-teror karena ketimpangan kekuatan yang dimiliki keduanya seperti yang dikemukakan Kagan sesungguhnya merupakan sebuah penyederhanaan. Alasan mengapa AS dan Uni Eropa memilih untuk memiliki dan menggunakan atau tidak memiliki dan tidak menggunakan kekuatan lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dimiliki oleh keduanya. Kenyataannya, nilai-nilai AS dan Uni Eropa jauh dari kompatibel bila tak ingin disebut berseberangan. AS masih mengedepankan hard power sebagai instrumen untuk mencapai tujuan keamanannya. Sebagai negara yang tak memiliki pengalaman dalam menangani ancaman teror di wilayahnya yang dilakukan oleh satu kelompok secara terus menerus, AS juga cenderung lebih mudah menggunakan kekuatannya apabila merasa terancam apalagi oleh entitas dengan ideologi, identitas, ras dan keyakinan yang berbeda seperti AlQaeda. Sementara itu, Uni Eropa yang telah melalui pengalaman konflik yang panjang menyadari, kekuatan militer tak selalu memberikan hasil yang diinginkan sehingga negara-negara anggota Uni Eropa sudah tidak lagi mengandalkan kekuatan militer sebagai penjamin keamanannya. Uni Eropa berkeyakinan kerapuhan bersama dan keterbukaan adalah cara untuk mencapai tujuan keamanannya. Oleh karena itulah cara-cara yang dikedepankan oleh Uni Eropa cenderung lebih multilateral dengan mendorong kerja sama kontra-teror seperti yang digariskan oleh PBB. Sebaliknya, AS lebih mengedepankan cara-cara unilateral di mana AS merasa dirinya tak bisa dan tak boleh dibatasi oleh institusi apa pun, bahkan oleh negara-negara sekutunya. Selain itu, karena masih sakralnya
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
153
kedaulatan bagi AS, maka AS tak ingin hukum internasional yang mengatur tentang kontra-teror bersifat semakin bersifat supranasional di mana AS harus tunduk dan terikat kepada otoritas yang lebih tinggi seperti PBB. Di sisi lain, bagi Uni Eropa, pemikiran bahwa kerapuhan bersama dan keterbukaan adalah cara yang paling tepat untuk mencapai tujuan keamanan bukan didasarkan oleh pemikiran utopis dan idealistis seperti yang dituduhkan Kagan kepada Uni Eropa. Pemikiran tersebut didasarkan pada pengalaman bersama melalui wadah Uni Eropa yang mengedepankan multilateralisme hingga kini berhasil meredam konflik di antara negara-negara anggotanya yang bahkan sebelumnya terlibat perang selama ratusan tahun. Dengan demikian, berdasarkan nilai-nilai yang sangat berseberangan ini, sulit dicari titik temu antara AS dan Uni Eropa untuk bekerja sama dalam menangani ancaman terorisme. Bagi AS, bergantung kepada institusi internasional PBB atau negara-negara lainnya dalam menjalankan strategi kontra-terornya adalah sesuatu yang berisiko, mengingat ancaman terorisme sendiri adalah ancaman yang mendesak dan ada di depan mata. Mekanisme dan prosedur multilateral yang harus mempertimbangkan masukan dan kepentingan dari berbagai pihak dirasakan akan menghambat kecepatan dan keleluasaan AS dalam menjalankan strategi kontra-terornya. Sementara itu, berharap Uni Eropa lebih unilateral juga sesuatu yang mustahil mengingat organisasi ini dibentuk justru untuk menghindari ekses yang disebabkan ambisi negara-negara anggotanya saat ingin mendahulukan kepentingan nasionalnya tanpa mengindahkan reaksi dari negara-negara lainnya. Meminta Uni Eropa lebih unilateral juga berarti melupakan inti identitas organisasi itu sendiri, yaitu konsensus dan multilateralisme. Selanjutnya, pandangan bahwa AS lebih extra-legal sementara Uni Eropa cenderung legal formal dalam melakukan tindakan kontra-terornya belum sepenuhnya menjelaskan sesuatu yang lebih besar di baliknya. Sikap AS yang cenderung mengesampingkan hukum internasional, tak lain karena dibentuk oleh pandangan AS yang beranggapan bahwa hukum semestinya dibuat untuk memastikan kebebasannya sesuai dengan prinsip demokrasi liberal yang dianutnya, termasuk keleluasaan AS dalam melakukan upaya kontra-terornya.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
154
Sementara Uni Eropa beranggapan bahwa hukum dibuat untuk menjamin lahirnya perdamaian melalui terbentuknya aturan dan tatanan. Kedua pandangan ini terbukti sulit dicarikan titik temunya karena keduanya memiliki norma-norma yang amat berseberangan. AS memiliki norma-norma yang dibentuk berdasarkan prinsip yang dianutnya sendiri sementara Uni Eropa memiliki norma-norma yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya, melanjutkan kritik terhadap Kagan, penulis berkesimpulan bahwa tak tepat bila dikatakan bahwa Uni Eropa terjebak dalam surga postmodernism dan hidup
mengawang-awang di
mengutamakan
kekuatan
sebagai
alam
idealisme ketika
satu-satunya
instrumen
memilih
tak
keamanannya.
Sebaliknya, Uni Eropa tampak menyadari betul bahwa kekuatan yang terlalu eksesif tak hanya kontra-produktif terhadap tujuan keamanan itu sendiri, namun juga membahayakan tatanan dunia. Oleh karena itulah Uni Eropa selalu mendesak agar tindakan kontra-teror yang dilakukan oleh AS dilandasi oleh aturan yang disepakati bersama berupa hukum internasional. Semua ini dibentuk bukan berdasarkan pemikiran yang idealis seperti keinginan untuk membentuk dunia yang sempurna sesuai dengan aliran pemikiran tertentu, melainkan dibentuk oleh pengalaman dan sejarah yang panjang. Hal lain yang menyulitkan kerja sama kontra-teror antara AS dan Uni Eropa adalah keinginan AS untuk mencapai tujuan keamanan yang paripurna. Sebagai negara yang tak berpengalaman dalam menghadapi ancaman terorisme di wilayahnya yang dilakukan oleh satu kelompok tertentu secara terus menerus, AS berharap wilayahnya takkan pernah lagi menjadi sasaran serangan teror. Keinginan
ini
juga
mencerminkan
perceptive
lens
AS
yang
cukup
menyederhanakan masalah di mana AS beranggapan bahwa ancaman teror takkan pernah ada lagi apabila tak ada lagi teroris di muka bumi. Uni Eropa di sisi lain, karena lebih berpengalaman dalam menghadapi terorisme menyadari secanggih apa pun dan sekuat apa pun instrumen yang digunakan untuk menangkal terorisme, masih selalu terbuka ruang kemungkinan bagi pelaku teror untuk melakukan aksinya. Akibatnya dalam kondisi apa pun Uni Eropa harus mampu merespons dan kembali normal begitu terjadi serangan. Bila kita melihat
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
155
perceptive lens Uni Eropa ini, maka bisa kita simpulkan bahwa Uni Eropa cenderung memiliki resiliensi yang lebih tinggi daripada AS. Resiliensi untuk bangkit kembali setelah terjadi serangan teror yang telah berkali-kali menyerangnya (termasuk pengalaman mampu bangkit kembali setelah dua kali perang dunia) kemudian menjadi tulang punggung kekuatan Uni Eropa dalam menghadapi ancaman terorisme. Kekuatan ini pula yang membuat Uni Eropa cenderung memandang tujuan keamanan secara realistis. Dengan demikian, strategi kontra-teror Uni Eropa cenderung menginginkan tujuan keamanan yang lebih mungkin dicapai dan dilengkapi dengan langkah-langkah yang lebih kongkrit. Hal ini terutama diperlukan sebagai panduan bagi negara-negara anggotanya agar mereka bisa memiliki upaya kontra-teror yang tersinkronisasi dan seragam. Dengan mempertimbangkan empat aspek yang menghambat kerja sama kontrateror antara AS dan Uni Eropa, yaitu perbedaan pandangan terhadap terorisme, metode penanganan, landasan legitimasi dan tujuan keamanan yang semuanya ini dipengaruhi oleh budaya strategis yang berbeda, maka penulis menyimpulkan bahwa kerja sama kontra-teror antara AS dan Uni Eropa akan sulit dilakukan. AS dan Uni Eropa boleh saja memiliki kepentingan yang sama untuk melawan terorisme, keduanya boleh saja menyebut dirinya Barat, keduanya boleh saja menganggap dirinya berideologi demokrasi liberal, namun perbedaan budaya strategis di antara keduanya ternyata seluas dan sedalam Samudra Atlantik yang memisahkan mereka. Perbedaan budaya strategis yang sangat kontras ini pada akhirnya sulit dijembatani dan kini kita pun semakin jelas melihat bahwa AS dan Uni Eropa telah memilih jalan sejarahnya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kesimpulan mengenai bagaimana kerja sama AS dan Uni Eropa di bidang kontra-teror akan sulit untuk berjalan mulus menurut analisis budaya strategis bisa dirangkum ke dalam tabel berikut ini.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
156
Tabel 4.1 Ketidaksesuaian Kerja Sama Kontra-teror AS dan Uni Eropa AS
Uni Eropa
Pandangan terhadap
Tantangan terhadap
Tantangan terhadap
terorisme
identitas
aturan dan norma
Metode penanganan
Memprioritaskan kekuatan
Memprioritaskan
militer
penegakan hukum
Landasan legitimasi
Idealisme demokrasi liberal
Hukum internasional
Tujuan keamanan
Paripurna
Realistis
4.2 Hubungan Antar Elemen Pembentuk Budaya Strategis Dalam menganalisis kerja sama kontra-teror antara AS dan Uni Eropa ini, penulis mengacu pada model yang disediakan oleh Jeannie L Johnson.363 Dalam upayanya agar budaya strategis bisa dipelajari, Johnson berupaya menemukan elemen-elemen yang berhubungan dengan formulasi rasionalitas kebijakan keamanan yang dimiliki aktor keamanan tertentu. Johnson melakukan ini dengan tujuan agar bisa ditemukan rancangan desain yang membuat analisis budaya strategis menjadi lebih mudah digunakan oleh mahasiswa biasa atau analis kebijakan.364 Melalui model tersebut dan mengacu pada analisis perilaku AS dan Uni Eropa dalam penelitian ini, penulis kemudian menyimpulkan bahwa elemen identitas berada di inti pembentuk budaya strategis dan merupakan elemen yang tak bisa dinegosiasikan karena identitas menyangkut eksistensi yang dimiliki oleh suatu aktor keamanan. Saat suatu aktor ingin mencapai tujuan keamanannya melalui cara-cara dan pilihan tertentu, aktor tersebut pertama-tama memperhitungkan 363 364
Johnson, Op. Cit. Ibid., hlm. 10.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
157
siapa dirinya, bagaimana dirinya seharusnya berpikir dan merasa saat melihat ancaman tersebut. Bagaimana suatu aktor memandang dirinya itulah yang kemudian menentukan nilai-nilai apa yang harus dikedepankan dan mana yang tidak. Setelah aktor tersebut menentukan nilai-nilai seperti apa yang bisa dikompromikan dan nilai-nilai apa yang harus diutamakan, selanjutnya barulah aktor tersebut memikirkan apa landasan dan batasan dalam melakukan tindakan keamanan sesuai dengan nilai-nilai yang ia miliki tadi. Landasan dan batasan tersebut adalah norma-norma yang ia miliki yang menjadi koridor baginya untuk melakukan tindakan keamanan yang harus ia kedepankan sesuai dengan nilai-nilai yang ia miliki. Terakhir, seluruh perilaku dan pilihan yang dilakukan oleh suatu aktor bisa dirangkum ke dalam perception lens yang dimiliki oleh aktor tersebut. Bagaimana ia melihat dirinya sendiri, peran apa yang harus ia mainkan, bagaimana ia
harus
bertindak dan berdasarkan apa selanjutnya
akan
mencerminkan bagaimana ia melihat dunia. Dalam mengkaji kerja sama kontra-teror AS dan Uni Eropa dengan menggunakan analisis budaya strategis, penulis kemudian berkesimpulan, apabila suatu aktor merasa identitas yang merupakan inti utama budaya strategisnya yang sedang terancam oleh terorisme, maka aktor tersebut cenderung akan bersikap keras dan militeristik. Sebaliknya, apabila suatu aktor melihat bahwa yang diserang oleh teroris bukan identitasnya, maka strategi kontra-terornya pun cenderung lebih komprehensif karena didasari oleh pemahaman tentang apa sesungguhnya akar penyebab ancaman yang sedang ia hadapi. Hal ini tentu berbeda dengan aktor yang merasa identitasnya yang sedang terancam. Ancaman tersebut dirasa berada di depan mata sehingga ia harus merespons dengan cepat untuk mendapatkan hasil yang secepat mungkin, dalam hal ini dengan menggunakan kekuatan militer. Dengan demikian, ketika kedua aktor tersebut harus bekerja sama, prioritas yang mereka miliki pun akhirnya tak berkesesuaian. Di satu pihak, aktor yang merasa terancam identitasnya akan mengedepankan cara-cara yang cepat, sehingga menimbulkan pemikiran dari pihak yang lainnya bahwa aktor tersebut
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
158
bertindak terlalu terburu-buru dan “gegabah.” Sebaliknya, aktor yang merasa terancam identitasnya tersebut menganggap mitranya yang merasa tak terancam identitasnya itu terlalu lamban dan kurang responsive terhadap ancaman yang sudah ada di depan mata. Selain itu, karena aktor yang merasa terancam identitasnya itu menginginkan hasil yang cepat, maka prosedur yang disyaratkan harus terpenuhi melalui aturan internasional dirasa membatasi keleluasaannya dalam merespons ancaman teror yang sedang membahayakan eksistensinya itu. Sementara itu mitranya justru berpikir, prosedur harus dipenuhi terlebih dahulu agar tindakannya bisa terukur dan akuntabel. Perbedaan prioritas itulah yang kemudian menyulitkan keduanya saat bekerja sama. Dari aspek ini, penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya ketika kedua aktor sama-sama merasa terancam identitasnya atau saat kedua aktor sama-sama tidak merasa terancam identitasnya, maka keduanya baru bisa bekerja sama dengan mulus. Persepsi ancaman ini tentu harus dipahami berdasarkan elemen pembentuk budaya strategisnya. Gambar di bawah ini selanjutnya akan menggambarkan lingkaran konsentris pembentuk budaya strategis, di mana elemen indentitas berada di inti lingkaran dan diikuti dengan elemen nilai-nilai, norma-norma dan perceptive lens di lingkaran terluar.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
159
Identitas Nilai-nilai Norma Perceptive Lens
Gambar 4.1 Lingkaran Konsentris Elemen Pembentuk Budaya Strategis
Sebagai penutup, penulis akan membuat rangkuman bagaimana budaya strategis memengaruhi strategi kontra-teror AS dan Uni Eropa sehingga keduanya sulit bekerja sama seperti yang bisa dilihat di halaman berikut.
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Gambar 4.2 Kerangka Pengaruh Budaya Strategis Terhadap Strategi Kontra-teror AS dan Uni Eropa 160 Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Sejak kemunculan analisis budaya strategis pada tahun 1970-an, budaya strategis telah membantu para peneliti untuk memahami perilaku negara saat memilih cara tertentu, terutama kepemilikan senjata nuklir, untuk mencapai tujuan keamanannya. Melalui analisis budaya strategis pula, kita bisa memahami sesuatu yang sulit dijabarkan melalui analisis neo-realis sehingga dengan demikian, analisis budaya strategis dianggap sebagai pelengkap bagi teori dalam Hubungan Internasional. Namun demikian, analisis budaya strategis untuk memahami strategi kontrateror adalah sesuatu hal yang baru. Penelitian ini membuktikan bahwa namun analisis budaya strategis mampu menjelaskan mengapa suatu aktor keamanan memilih cara-cara tertentu dalam strategi kontra-terornya dalam menghadapi ancaman terorisme. Tulisan ini juga menemukan bahwa elemen identitas merupakan elemen yang tak bisa dinegosiasikan dalam pembentukan strategi kontra-teror suatu aktor keamanan sehingga apabila aktor keamanan tersebut merasa identitasnya terancam oleh terorisme, maka strategi kontra-terornya pun berbeda dengan aktor keamanan yang tak merasa identitasnya terancam. Hal yang menarik lainnya adalah bagaimana budaya strategis bisa digunakan untuk menjelaskan prioritas dalam komponen-komponen pembentuk strategi kontra-teror yang dimiliki suatu aktor keamanan. Komponen pembentuk strategi kontra-teror ini kemudian mencerminkan aktivitas kontra-teror seperti apa yang diprioritaskan oleh aktor keamanan tersebut dalam menghadapi ancaman terorisme. Berdasarkan penelitian ini, maka bisa kita simpulkan bahwa perbedaan budaya strategis antara AS dan Uni Eropa yang mendasar menyebabkan mereka
161 Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
162
mengalami kesulitan dalam melakukan kerja sama di bidang kontra-teror walau mereka memiliki intensi yang kuat untuk melakukan kerja sama. Selanjutnya, walau tulisan ini memberikan beberapa temuan yang menarik, namun tulisan ini masih merupakan penelitian awal bagi kajian budaya strategis dalam menganalisis strategi kontra-teror. Dengan demikian, penulis berharap temuan-temuan dalam tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi peneliti berikutnya yang ingin mendalami kajian terorisme dengan menggunakan analisis budaya strategis sebagai alat analisisnya agar kajian ini semakin berkembang di masa yang akan datang. Selain itu, mengingat pembentukan budaya strategis Uni Eropa masih merupakan proses yang cukup dinamis, maka penulis berharap peneliti berikutnya menemukan temuan-temuan baru di lapangan agar semakin menajamkan temuan yang ada dalam penulisan ini. Selanjutnya, karena penelitian ini masih berada di tingkatan nasional/supranasional, maka penulis berharap peneliti berikutnya akan melanjutkan temuan dalam penelitian ini ke tingkatan organisasional atau bahkan lebih jauh lagi ke tingkatan sub-organisasional. 5.2. Saran Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi ke dalam penyusunan kebijakan strategi kontra-teror pemerintah Indonesia. Sesuai dengan tahapan strategi kontra-teror yang penulis susun pada bab 3, diharapkan pemerintah Indonesia bisa menggunakan tahapan-tahapan tersebut untuk menajamkan strategi kontra-terornya menjadi empat tahapan yang penting. Dalam tahap pendobrak, pemerintah Indonesia dapat menentukan strategi apa yang hendak diprioritaskan untuk dilakukan terlebih dulu saat ancaman terorisme sedang terjadi. Selanjutnya, tahap pendobrak itu ditekankan lagi melalui tahap penguat yang ditujukan untuk mendukung tahap pendobrak. Selanjutnya, agar strategi kontra-teror Indonesia menjadi lebih komprehensif, maka pemerintah Indonesia harus memikirkan strategi yang bisa melengkapi strategi yang sudah digariskan dalam tahapan pendobrak dan penguat sebelumnya. Strategi pelengkap inilah yang berada di tahap penyeimbang. Terakhir, agar strategi kontra-teror Indonesia bisa
Universitas Indonesia
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
163
berkelanjutan, maka pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan strategi yang menjadi fondasi dasar strategi kontra-terornya seperti yang tergambar dalam tahap penguat. Saran berikutnya adalah pemerintah Indonesia juga diharapkan untuk mempertimbangkan strategi kontra-terornya apabila hendak bekerja sama dengan AS dan Uni Eropa. Mengingat Indonesia memiliki sifat yang bebas-aktif, maka pemerintah Indonesia harus memanfaatkan keunggulan yang dimiliki dari masingmasing aktor keamanan tersebut agar kepentingan nasional Indonesia bisa tercapai, yaitu terjaminnya keamanan nasional yang melindungi seluruh warga negara dan kepentingan Indonesia, baik di dalam negeri maupun di luar negeri dari ancaman terorisme global. Dengan demikian, analisis budaya strategis dalam kaitannya dengan kontrateror
ini
diharapkan
akan
membantu
pemerintah
Indonesia
dalam
mengembangkan kerja sama di bidang kontra-teror dengan AS dan Uni Eropa. Mengingat budaya strategis AS di bidang kontra-teror cenderung memprioritaskan elemen-elemen yang militeristik, maka hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh pemerintah Indonesia dalam memperkuat militer kita dalam menghadapi ancaman terorisme yang berasal dari luar negeri. Sementara itu, karena budaya strategis Uni Eropa di bidang kontra-teror lebih menekankan aspek-aspek sipil dan penegakan hukum, maka pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan hubungan kerja sama kontra-teror Uni Eropa dan Indonesia melalui kerja sama yang berkaitan dengan kepolisian, penegakan hukum, intelijen sipil, imigrasi dan beacukai, good governance dan penegakan HAM. Dengan demikian, melalui kerja sama dengan kedua aktor keamanan tersebut, maka diharapkan strategi kontra-teror Indonesia akan lebih komprehensif karena menggabungkan dua pendekatan yang dimiliki oleh AS dan Uni Eropa.
Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
Universitas Indonesia
164
Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal Ilmiah Archik, Kristin, Europe and Counterterrorism: Strengthening Police and Judicial Cooperation, Washington DC: Congressional Research Service Report, 23 Agustus 2004. Bell, Duncan S. A., “Mythscapes: Memory, Mythology, and National Identity,” British Journal of Sociology 54:1 (Maret 2003), hlm. 63-81. Berenskoetter, Felix Sebastian, “Mapping the Mind Gap: A Comparison of US and European Security Strategies,” Security Dialogue 36:1 (2005), hlm. 7192. Best Jr., Richard A., Intelligence to Counter Terrorism: Issues for Congress, Washington DC: Congressional Research Service, 27 Mei 2003. Boer, Monica den, “The EU Counterterrorism Wave: Window of Opportunity or Profound Policy Transformation?,” dalam Marianne Van Leuween (ed.), Confronting Terrorism. European Experiences, Threat Perceptions and Policies, Den Haag: Kluwer Law International, 2003. Booth, Ken, Strategy and Ethnocentrism, New York: Holmes and Meier, 1979. Bossong, Raphael, “The Action Plan on Combating Terrorism: A Flawed Instrument of EU Security Governance,” Journal of Common Market Studies 46:1 (2008), hlm. 27-48. Bures, Oldrich dan Stephanie Ahern, “The European Model of Building Regional Cooperation Against Terrorism,” dalam David Cortright dan George A. Lopez (eds.), Uniting Against Terror: Cooperative Non-Military Response to the Global Terrorist Threat, Cambridge, Massachusetts: the MIT Press, 2007. Bryman, Alan, Social Research Methods Third Edition, Oxford: OUP, 2008. Byman, Daniel dan Jeremy Shapiro, “Bridging the Transatlantic Counterterrorism Gap,” The Washington Quarterly 29:4 (Autumn 2006), hlm. 3550. Cameron, Fraser, “Transatlantic Differences on Security Perceptions and Responses,” dalam Stefan Gänzle dan Allen G. Sens (eds.), The Changing Politics of European Security: Europe Alone?, Palgrave Macmillan: Basingstoke, UK, 2007, hlm. 67-83.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
165
Cameron, Iain, “Blacklisting and Financial Sanction Against Suspected Terroris,” dalam Hans Born, Ian Leigh dan Aidan Wills (eds.), International Intelligence Cooperation Accountability, Oxon: Routledge, 2011. Chalk, Peter, West European Terrorism and Counter-terrorism: The Evolving Dynamic, Basingstoke: Macmillan, 1996. Collins, Alan, Contemporary Security Studies, New York: OUP, 2007. Cooper, Robert, The Breaking of Nations: Order and Chaos in the Twenty First Century, Atlantic Books: London, 2003. Cordesman, Anthony H., US and Chinese Cooperation in Counterterrorism in the Middle East and Central Asia, Washington, DC: CSIS, 2011. Cortright, David dan George A. Lopez (eds.), Uniting Against Terror: Cooperative Non-military Responses to the Global Terrorist Threat, Cambridge, Mass: MIT, 2007. Crawford, Neta C., “Changing Norms of Humanitarian Intervention,” makalah yang disampaikan dalam International Studies Association Conference 1994, Washington DC, 1 April 1994, hlm.1–23. Delpech, Thérèse, “International Terrorism and Europe,” Chailot Paper No. 56, Paris: European Union Institute for Security Studies, Desember 2002. Dubois, Dorine, “The Attacks of 11 September: EU-US Cooperation Against Terrorism in the Field of Justice and Home Affairs,” European Foreign Affairs Review 7 (2002), hlm. 317–335. Eckes, Christina, EU Counterterrorism Policies and Fundamental Rights: The Case of Individual Sanctions, Oxford: OUP, 2009. Fair, C. Christine, The Counter Coalitions: Cooperation with Pakistan and India, Santa Monica: RAND, 2004. Farrell, Theo, “Strategic Culture and America Empire.” SAIS Review 25:2 (Summer-Fall 2005), hlm. 3-18. Ganor, Boaz, The Counter-terrorism Puzzle: A Guide for Deficion Makers, New Brunswick, NJ: Transaction Publishers, 2005. Guehenno, Jean Marie, “The Impact of Globalization on Strategy.” Survival 40:4 (1998-1999), hlm. 5-19. Gray, Colin S., “National Style in Strategy: The American Example.” International Security 6:2 (Fall 1981), hlm. 21-47. ____________, Modern Strategy, Oxford: Oxford University Press, 1999. ____________, “Strategic Culture as Context: The First Generation of Theory Strikes Back,” Review of International Studies 25 (1999), hlm. 49-69.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
166
____________, “Out of Wilderness: The Prime Time for Strategic Culture,” dalam Jeannie L. Johnson, Kerry M. Kartchner dan Jeffrey L. Larsen (eds.), Strategic Culture and Weapon of Mass Destruction: Culturally Based Insights into Comparative National Security Policy Making, New York: Palgrave Macmillan, 2009, hlm. 221-241. Haller, Gret, The Limits of Atlanticism: Perception of State, Nation and Religion in Europe and United States, Berghahn Books: New York, 2007. Hamilton, Daniel, “Introduction: Transforming Homeland Security: A Road Map for the Transatlantic Alliance,” dalam Esther Brimmer (ed.), Transforming Homeland Security: US and European Approaches, Washington, DC: Center for Transatlantic Relations, 2006. Harding, Gareth, “Europe Stands United to Support US.” European Voice 13-19 September 2001, hlm. 20-28. Hewitt, Christopher, Understanding Terrorism in America: From The Klan to al Qaeda, London: Routledge, 2003. Hofstede, Geert H., Culture Consecquence’s: Comparing Values, Behaviors, Institution, and Organizations Across Nations Second Edition, Sage Publications: Thousand Oaks, California, 2001. Hollis, Martin dan Steve Smith, Explaining and Understanding International Relations, Oxford: Oxford University Press, 1990. Jesús, Carlos Echeverría, “Terrorism and Homeland Security,” dalam Natividad Fernández Sola dan Michael Smith (eds.), Perceptions and Policy in Transatlantic Relations: Prospective Visions From the US and Europe, Oxon: Routledge, 2009. Johnson, Jeannie L., “Strategic Culture: Methodologies for Research Program.” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defense Threat Reduction Agency, 2006, hlm. 1-25 (Mimeographed). ________________, “Conclusion: Toward a Standard Methodological Approach,” dalam Jeannie L. Johnson, Kerry M. Kartchner dan Jeffrey L. Larsen (eds.), Strategic Culture and Weapon of Mass Destruction: Culturally Based Insights into Comparative National Security Policy Making, New York: Palgrave Macmillan, 2009, hlm. 243-257. Johnston, Alastair Iain, Cultural Realism: Strategic Culture and Grand Strategy in Chinese History, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1995. Kagan, Robert, “One Year After: A Grand Strategy for the West?,” Survival 44:4 (2002), hlm. 135-139. ___________, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order, Vintage Books: New York, 2004.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
167
Klein, Bradley S., “Hegemony and Strategic Culture: American Power Projection and Alliance Defence Politics,” Review of International Studies 14 (1988), hlm. 133-148. Koh, Harold Hongju, “America’s Jekyll and Hyde Exceptionalism,” dalam Michael Ignatieff (ed.), American Exceptionalism and Human Rights, Princeton: Princeton University Press, 2005. Korski, Daniel, et. al., A New Agenda for US-EU Security Cooperation, Madrid: FRIDE, 2009. Lantis, Jeffrey S., “Strategic Culture: From Clausewitz to Constructivism,” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defense Threat Reduction Agency, 2006, hlm.1-31 (Mimeographed). Laqueur, Walter, “The Terrorism to Come: Rules of Law and Warfare Do Not Apply.” Policy Review 126, (1 Agustus 2004), , diakses tanggal 3 Maret 2012. Laurence, Jonathan, “The US-EU Counter-Terrorism Conversation: Acknowledging a Two-way Threat,” US-Europe Analysis Series 44 (Februari 2010), hlm. 1-11. Lock, Edward, “Refining Strategic Culture: Return of the Second Generation,” Review of International Studies 36 (2010), hlm. 685-708. Lotz, Hellmot, “Myth and NAFTA: The Use of Core Values in U.S. Politics,” dalam Valerie M. Hudson (ed.), Culture and Foreign Policy, Boulder, CO: Reinner, 1997, hlm. 73-98. Mahnken, Thomas G., “United States Strategic Culture,” Comparative Strategic Cultures Curriculum Project, US Defense Threat Reduction Agency, 2006, hlm. 1-25 (Mimeographed). McDonnell, Thomas Michael, The United States, International Law and Struggle against Terrorism, Oxon: Routledge, 2010. Meyer, Christoph, “Convergence Towards a European Strategic Culture? A Constructivist Framework for Explaining Changing Norms,” European Journal of International Relations 11:4 (2005), hlm. 523-549. Nesi, Guiseppe, International Cooperation in Counter-terrorism: The United Nations and Regional Organization in the Fight Against Terrorism, Aldershot, UK: Ashgate, 2006. Niksch, Larry, Abu Sayyaf: Target of Philippine-US Anti-Terrorism Cooperation, Washington DC: Congressional Research Service, 2007. Nobel, Limor, Israel-EU Cooperation on Counter terrorism, Tel Aviv: IEPN, 2008.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
168
Palmer, Robert R., The Age of the Democratic Revolution: A Political History of Europe and America, 1760-1800. Princenton, 1959, mengutip dari Robert Kagan, Of Paradise and Power: America and Europe in the New World Order, Vintage Books: New York, 2004. Peleg, Samuel, Fighting Terrorism in the Liberal State, Amsterdam: IOS, 2006. Peterson, John, “Europe, America and 11 September,” Irish Studies in International Affairs 13 (2002), hlm. 23-42. Prados, John, America Confronts Terrorism: Understanding The Danger and How to Think About It : A Documentary Record, Chicago: Ivan Dee, 2002. Rees, Wyn, Transatlantic Counter-terrorism Cooperation: The New Imperative, Oxon: Routledge, 2006. Ress, Wyn dan Richard J. Aldrich, “Contending Cultures of Counterterrorism: Transatlantic Divergence or Convergence?,” International Affairs 81:5 (2005), hlm. 905-923. Rieker, Pernille, The EU as a Security Actor: The Development of Political and Administrative Capabilities, Oslo: Norwegian Institute of International Affairs, 2007. Rogers, Paul, “Terrorism,” dalam Paul D. Williams, Security Studies: An Introduction, Oxon: Routledge, 2008. Roberts, Anthea, “Righting Wrongs or Wronging Rights? The United States and Human Rights Post-September 11,” EJIL 15:4 (2004), hlm. 721-749. Roy, Olivier, “EuroIslam: The Jihad Within,” The National Interest 71 (Spring 2003), hlm. 63–73 Rynning, Sten, “The European Union: Towards a Strategic Culture,” Security Dialogue 34:4 (2003), hlm. 479-496. Sederberg, Peter, “Global Terrorism: Problems of Challenge and Response,” dalam Charles Kegley (ed.), The New Global Terrorism, New York: Prentice Hall, 2002, mengutip dari Alan Collins, Contemporary Security Studies, New York: OUP, 2007. Snyder, Jack, Soviet Strategic Culture: Implications for Limited Nuclear Operation, Santa Monica: RAND, 1977. Toje, Asle, “The 2003 European Union Security Strategy: A Critical Appraisal,” European Foreign Affairs Review 10, (2005), hlm. 117–133. _________, America, The EU and Strategic Culture: Renegotiating the Transatlantic Bargain, Oxon: Routledge, 2008. Tsoukala, Anastassia, “Democracy against Security: The Debates about Counterterrorism in European Parliament, September 2001-June 2003,”
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
169
Alternatives: Global, Local, Political 29: 4 (Agustus-Oktober 2004), hlm. 426-235. Umbach, Frank, “EU-ASEAN Political and Security Dialogue at the Beginning of the 21 Century: Prospect of Interregional Cooperation on International Terrorism,” Panorama: Insight into Southeast Asian and European Affairs (2004), hlm. 9-22. Victorrof, Jeff, “The Mind of Terrorist: A Review and Critique of Psychological Approach,” The Journal of Conflict Resolution 49:1 (Februari 2005), hlm. 3-42. Wallach, Yehudah, Millitary Theories and their Development in the 19th and 20th Centuries Third Edition, Ma’arachot: Ministry of Defense Publications, 1980. Watanabe, Lisa, EU-Maghreb Counter-terrorism Cooperation: The Need for a More Comprehensive Approach, Jenewa: GCSP, 2011. Zwolski, Kamil, “The European Union as a Security Actor: Moving Beyond the Second Pillar,” Journal of Contemporary European Research 5:1 (2009), hlm. 82-96. Dokumen Resmi Center for Constitutional Rights, “Statement on United States’s Engagement with Universal Periodic Review Process (UPR),” , diakses tanggal 3 Juni 2012. Council of European Union, “Conclusions and Plan of Action of Extraordinary Council Meeting on 21 September 2001,” European , diakses tanggal 17 Maret 2012. _________, Council Framework Decision of 13 June 2002 on Combating Terrorism, Brussel: 2002. _________, A Secure Europe in a Better World: European Security Strategy, Brussel: Council of European Union, 12 Desember 2003. __________, Conceptual Framework on The European Security and Defense Policy (ESDP) Dimension of the Fight Against Terrorism, Brussel: Council of European Union, 18 November 2004. _________, The European Union Counter-Terrorism Strategy, Brussel: 30 November 2005. _________, “Policies,” , diakses tanggal 3 Juni 2012.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
170
_________, “Justice and Home Affairs,” , diakses tanggal 8 Juni 2012. _________, “EU Counter-terrorism Coordinator,” , diakses tanggal 8 Juni 2012. Departemen Luar Negeri AS, “Patterns of Global Terrorism 1999,” , diakses tanggal 3 Maret 2012. _______________________, “Proliferation Security Initiative,” , diakses tanggal 6 Maret 2012. Europol, “Our People,” , diakses tanggal 29 Maret 2012. European Commission, Communication from the Commission to the Council and the European Parliament - Critical Infrastructure Protection in the Fight against Terrorism, Brussel: European Commission, 20 Oktober 2004. __________________, “Fight Against Terrorism,” , diakses tanggal 8 Juni 2012. IMF,
“World Economic Outlook Database, April 2012,” , diakses tanggal 23 April 2012.
PBB, “Security Council Unanimously Adopt Wide-ranging Anti-terrorism Resolution; Calls for Suppressing Financing, Improving International Cooperation, Resolution 1373 (2001) Also Creates Committee to Monitor Implementation, 28 September 2001,” , diakses tanggal 29 November 2011. Pemerintah AS, National Strategy for Combating Terrorism, Washington DC: White House, Februari 2003. ____________, The National Security Strategy, Washington DC: White House, September 2002. ____________, The National Security Strategy, Washington DC: White House, Maret 2006. ____________, National Security Strategy, Washington DC: White House, Mei 2010.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
171
SIPRI, “The 15 Countries With the Highest Military Expenditure in 2011,” , diakses tanggal 23 April 2012. Uni
Eropa, “European Neighborhood Policy Strategy Paper, 2004,” <ec.europa.eu/world/enp/pdf/strategy/strategy_paper_en.pdf>, diakses tanggal 21 Desember 2011.
________, “US-EU Technical Dialogue and Increased Cooperation in Crisis Management, 2007,” <eeas.europa.eu/us/docs/eu_us_crisis_management_work_plan_en.pdf>, diakses tanggal 21 Desember 2011. _________, “EU Statement - United Nations: Informal plenary on UN Global Counter-Terrorism Strategy,” New York, 21 May 2012, , diakses tanggal 3 Juni 2012. US Joint Chiefs of Staff, Homeland Defense, Washington DC: Staf Gabungan AS, 12 Juli 2007. US Government Accountability Office, US Agencies Report Progress Countering Terrorism and Its Financing in Saudi Arabia, but Continued Focus on Counter Terrorism Financing Efforts Needed, Washington, DC: U.S. Government Accountability Office, 2009. US Office of the Under Secretary of Defense for Acquisition, Technology and Logistic, “Armed Forces Strength Figures for February 29, 2012,” , diakses tanggal 23 April 2012. Makalah Armitage Jr., David T., “US and EU Efforts to Fight Terrorism: Same Ends, Different Means – Or Same Means, Different Ends?,” makalah yang disampaikan dalam European Union Studies Association Conference, Montreal, Kanada, Mei 17-19 2007, hlm. 1-27. Thimm, Johannes, “American Exceptionalism – Conceptual Thoughts and Empirical Evidence,” makalah untuk Rapat Kelompok Riset Internationale Politik DVPW, Darmstadt, Jerman 13-14 Juli 2007, hlm. 1-20. Pidato Bush, George W., “Pidato Presiden George W. Bush di Hadapan Kongres,” Washington DC, 20 September 2001, , diakses tanggal 6 Maret 2012.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
172
______________, “Pidato Presiden George W. Bush di hadapan Kongres,” Washington DC, 20 Januari 2004, , diakses tanggal 3 Juni 2012. Ferrero-Waldner, Benita, "Effective multilateralism: Building for a Better Tomorrow," Pidato European Commissioner for External Relations and European Neighbourhood Policy Benita Ferrero-Waldner dalam Rapat Pejabat Tinggi Uni Eropa dan PBB, Barcelona, Spanyol, 14 April 2009, diakses , tanggal 3 Juni 2012. Obama, Barrack, “Pidato Presiden Obama tentang Guantanamo dan Terorisme,” Washington DC, 21 Mei 2009, , diakses tanggal 3 Juni 2012. Solana, Javier, Pidato European Union High Representative for Common Foreign and Security Policy Javier Solana dalam Annual Conference of the Institute for Security Studies of European Union, Paris, 26 September 2005, , diakses tanggal 3 Juni 2012. Artikel Internet Amnesty International, “Harbeas Corpus,” , diakses tanggal 3 Juni 2012. Karon, Tony, “Why Guantanamo Has Europe Hopping Mad,” Time 24 Januari 2002,, diakses tanggal 19 Desember 2011. Pellerin, Cheryl, Officials: Defense-Intelligence Integration Strongest Since 9/11. American Forces Press Service, 8 September 2011, , diakses tanggal 27 Maret 2012. Pincus, Walter dan Greg Miller, “Federal Budget 2013: Intelligence Agencies Would Get 4.4 Percent Less,” Washington Post 13 Februari 2012, , diakses tanggal 27 Maret 2012. “Explosives theft linked to Madrid bomb.” The Guardian 23 Maret 2004, , diakses tanggal 7 Juni 2012.
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012
173
Universitas Indonesia Analisa Budaya..., Vitri Mayastuti, FISIP UI, 2012