Umrah Haris Abdullah
Berangkat umrah bisa menghapuskan dosadosa yang lalu. Bisa membersihkan harta yang telah habis digunakan dan yang kini masih tersimpan. Bisa mengabulkan apa yang dicita-citakan. Dan bisa-bisa yang lainnya. Begitu yang aku dengar dari seorang ustaz di TV. Ah, tampaknya umrah adalah solusi yang tepat! Pagi-pagi sekali aku bangun. Mempersiapkan berkas-berkas kelengkapan berangkat ke tanah suci, lantas meneriaki Pak Juna, sopir pribadiku. “Ya, Juragan,” sambut Pak Juna. “Siapkan mobil, aku mau jalan!” “Ya, Juragan,” sahutnya sambil pamit dengan jalan bak undur-undur. Tiga menit kemudian Pak Juna muncul. “Mobil sudah siap, Juragan.” “Bagus. Jalan!” Pak Juna kembali menjelma undur-undur sambil menenteng koper yang selalu kubawa ke kantor. “Silakan, Juragan,” kata Pak Juna sambil membukakan pintu mobil. Pak Juna mematung sesaat setelah kedua tangannya memegang setir. 1
“Jalan, Goblok!” “Maaf, ke mana, Juragan?” “Aku mau pergi umrah. Ke kantor biro perjalanan umrah, dong!” “Maaf, yang di mana, Juragan?” “Dasar otak udang! Ya, yang di sekitar sini lah. Tolol!” “Baik, Juragan.” Pak Juna berjalan dengan kecepatan sedang, sesuai dengan kehendakku. Setengah jam kemudian mobil berhenti di depan kantor biro perjalanan haji dan umrah. Dari plang namanya, tentu ke-islam-islaman: “Ar-Rahmah”. Kalau tidak salah, itu berarti rahmat. Aha! Ini yang aku cari! “Silakan, Juragan,” Pak Juna membukakan pintu. Dari depan pintu, tampak seorang wanita manis berkerudung hijau sedang melayani klien yang mungkin mau daftar haji atau umrah, atau tur ke Timur Tengah, sebab dari banner yang kubaca juga menyediakan layanan rekreasi. Di samping klien itu mungkin anaknya tengah asyik menonton acara di TV yang terletak tepat di belakang wanita berkerudung hijau itu. Ada yang menarik dari perilaku anak si klien, dia tak menghiraukan ibunya yang telah usai mendaftar dan mengajaknya pulang, si anak klien justru mendengusdengus sambil meminta ibunya membatalkan rencana keberangkatannya. Terang saja si klien marah tak keruan. Dia sudah menabung sekian tahun untuk merealisasikan rencananya, tiba-tiba harus batal hanya gara-gara permintaan anaknya yang hatinya tersentuh oleh tayangan acara di TV. Percekcokan ibu dan anak itu pun terjadi begitu sengit sampai akhirnya seorang satpam datang 2
mengamankan sedangkan seorang pegawai melerai dan mencoba menengahi. Tentu saja itu bukan masalahku. Acara di TV, kisah wong cilik atau wong gede, sama saja. Di samping wanita manis itu, ada lelaki berpeci hitam dengan pakaian senada tersenyum ke arahku. “Assalamualaikum, Bapak. Silakan, ada yang bisa kami bantu?” sapa lelaki itu seraya melambaikan tangannya sambil mempersilakanku duduk di kursi pendaftar. “Ya, mau daftar umrah,” kataku, begitu pantat mendarat di kursi klien. “Oh, baik, Bapak. Atas nama siapa?” “Raden Pradiro Wicaksono Mangun Harjo,” jawabku mantap. Lelaki itu tampak merenung sesaat. “Heh! Jangan bengong. Aku tahu kamu merenungi namaku yang aduhai itu bukan?” Dia tersenyum. “Mana formulirnya? Biar aku sendiri yang ngisi!” “Baik, Bapak Raden,” “Buset! Kamu kira aku keluarga Unyil, dipanggil Pak Raden segala?” “Oh, maaf, Bapak. Saya kebingungan mau panggil apa. Jadinya ya itu,” dia terkekeh. “Ya sudah, aku maafkan. Tapi lain kali panggil aku, Juragan. Ngerti?” “Baik, Bapak Juragan.” “Haduh, tolol banget sih kamu! Masak pakai ‘Bapak’ segala? ‘Juragan’ saja, cukup.” “Baik, Juragan.” “Nah....” Aku isi formulir sejelas-jelasnya lalu tanda tangan. 3
“Berapa duit?” “Tergantung Juragan mau umrahnya paket apa? Mau plus atau reguler?” “Kalau plus?” “Tiga puluh juta. Dengan tur ke negara-negara Timur Tengah atau Eropa. Terserah Juragan maunya ke mana.” Aku mengerti. “Kalau reguler?” “Itu cuma umrah, Juragan. Dua puluh juta saja.” “Aku ambil yang plus.” “Tujuan negara yang dikunjungi?” “Turki.” “Mau bayar langsung atau diangsur?” “Buset! Ya, langsung lah!” “Baik, Juragan. Silakan.” Setelah bayar, kuteriaki Pak Juna. Dia datang menghamba, dengan sigap meraih koper. “Ke kantor!” “Baik, Juragan.” Kecepatan sedang memang selalu melenakan. Tapi tiba-tiba pikiranku tertuju pada apa yang harus dilakukan nanti di tanah suci. “Pak Juna. Kamu, kan, tahu sedikit-sedikit soal agama. Aku tanya nih, teknis umrah itu bagaimana?” “Umrah, Juragan?” “Pakai nanya lagi. Iya dong, umrah. Masa ke pasar?” “Oh, itu sih yang penting niat dulu, Juragan.” “Maksudmu?” “Apa pun itu, hal baik yang mau kita lakukan, harus berdasarkan niat yang baik.” “Hmm….” 4
“Luruskan niat, Juragan.” “Kamu kira niatku bengkok?” “Bukan begitu, Juragan. Tapi niat kita harus sematamata karena Allah.” “Iya, niat karena Allah. Biar Dia banyakin hartaku, diriku, jabatan....” “Maaf, Juragan,” potong Pak Juna tiba-tiba. Aku diam seketika. “Kalau Juragan mau umrah, niatkan untuk Allah. Tanpa pamrih.” “Eh? Jadi aku niat pamrih sama Allah maksud kamu?” “Bukan, Juragan. Tapi umrah itu untuk Allah, bukan untuk kita.” “Lah? Lantas kalau buat Allah, buat aku mana? Aku, kan sudah ngeluarin duit banyak buat ke tanah suci?” “Iya, Juragan. Tapi Allah tidak butuh duit kita, Juragan.” “Ah, kamu! Lantas Allah butuh apa dari kita?” “Tak butuh apa-apa, Juragan.” “Masa sih?” “Allah pemilik segalanya, Juragan.” Aku terkesiap. “Allah itu Mahatahu, apa yang dibutuhkan hambaNya.” Aku dibuatnya diam. Tumben. “Makanya aku mau umrah juga. Aku banyak kebutuhan.” “Yang diinginkan Juragan belum tentu itu yang dibutuhkan Juragan.” “Lantas?” 5
“Yang dibutuhkan Juragan adalah ketenangan batin.” Kali ini aku seperti dihipnotis. “Juragan, sekali lagi mohon maaf. Dengan umrah, berarti kita datang kepada Allah dengan menyambut panggilan-Nya. Kalau hamba sudah datang, Allah akan menjamu hamba-Nya dengan sebaik mungkin.” Aku masih terhipnotis. “Juragan, umrah itu amal yang tinggi. Perlu harta dan tenaga yang banyak. Sangat disayangkan kalau yang diminta hanya sekadar harta banyak dan diri yang sehat.” “Lantas apa dong?” “Iman, Juragan. Dan amal yang baik. Semoga Allah beri Juragan hidayah yang banyak.” Aku dibuatnya terpojok ke sudut yang paling angker. Tiba-tiba terbayang: anak-anak, istri, jabatan, ladang bisnis, kolega, rumah, diriku.... “Maaf, Juragan….” “Tak perlu! Bawa aku ke tempat tadi!” “Ke mana, Juragan?” “Ke kantor biro perjalanan umrah tadi.” “Baik, Juragan.” Pak Juna patah balik. Kecepatan mobil kupinta dipercepat. Sesampainya di kantor biro perjalanan umrah, sepasang ibu dan anak tadi masih tetap pada perdebatan mereka di depan meja si gadis berkerudung hijau, tapi lelaki yang tadi masih tetap tersenyum menyambut. “Ada yang bisa kami bantu, Juragan?” “Iya, kubatalkan umrah plusnya. Yang reguler saja.” “Oh....” 6
Lelaki itu lantas mengambil berkas yang tadi sempat kulengkapi, berikut dengan formulirnya. “Kalau begitu, ini sisa lebih uang yang Juragan bayarkan.” “Tidak, kamu simpan saja.” “Tidak bisa, Juragan. Ini bukan hak saya.” “Kalau begitu, kamu pikirin saja, mau diapakan duit itu. Terserah!” “Sekali lagi, tidak bisa, Juragan.” “Kamu berani bantah?” “Maaf, Juragan. Uang ini bukan hak kami.” “Lantas hak siapa?” Dia diam. Aku terpekur. “Kalau begitu, kasih saja sama Pak Juna. Mana tahu dia mau pergi umrah denganku. Nanti kutambahi kekurangannya.” Pak Juna kupanggil. Aku ajak dia duduk di samping menghadap lelaki itu. “Ya, Juragan?” “Kamu ikut aku umrah!” Pak Juna tampak terharu. Di kedua manik matanya ada sebiji air yang hendak jatuh, dan memang jatuh. Dia tak mengusapnya, malah mengarahkannya padaku. “Kamu mau tidak?” desakku. Pak Juna menggeleng. “Kamu tak mau umrah denganku?” “Bukan, Juragan. Itu bukan hak saya.” “Aku sudah ikhlaskan buat kamu. Jadi, ini hak kamu.” “Tidak, Juragan. Itu bukan hak saya.”
7
Seketika hatiku membara. Tidak mungkin nasibku seperti ibu dan anak tadi yang recok soal berangkat atau tidak berangkat. Lalu kami, aku, Pak Juna, dan lelaki itu recok soal hak? “Ah, kalian! Lelaki ini bilang bukan haknya, kamu juga bilang begitu. Lantas ini hak siapa?” “Hak rakyat, Juragan,” serentak mereka menjawab. Tiba-tiba saja dada bergemuruh, pandanganku lamur meski pakai kacamata. Kepala pening luar biasa. Aku merasa kesemutan di sekujur tubuh, kaku dan tak bisa bergerak. Lidah juga seolah mengeras tergigiti gigi sendiri yang bergemertak. Aku seperti tak memiliki tulang barang sebatang. Tubuhku ambruk di antara alam nyata dan maya. Samar, berkepala-kepala mengerumuniku. Suara-suara bergemuruh menggaungi gendang telinga, jelas dan tajam. Kaku kumemandang ke sela-sela kosong di antara kepala yang berkerumun, menyelusup ke sebuah tayangan di TV. Kupicingkan mata sepicing-picingnya, hingga sanggup kusimpulkan bahwa tayangan itu adalah sebuah berita ekslusif dari sebuah stasiun TV yang khusus menyajikan berita. Pendengaranku menjadi sangat tajam, sedangkan mata terus kupicingkan, ada namaku dipanggil seseorang di dalam TV. Tayangan itu tiba-tiba saja membuat pening di kepala makin menjadi. Namun sempat kuberkhayal, andai saja sekarang sedang umrah. Tentu aku bisa, bisa, dan bisa segala hal yang aku inginkan. *** Bandung, 25 Oktober 2013 8
Kado Ulang Tahun untuk Yu Siti Vina N. Istighfarini
Sudah lama aku ingin memberi sebuah kado di ulang tahunnya. Bertahun-tahun, selalu saja ada halangan yang membuatku tak bisa bertandang ke rumahnya saat dia berulang tahun, sehingga kado itu masih terbungkus rapi di dalam laci kamarku. Terkadang tampak melambailambai ingin segera diambil saat aku membuka laci itu. “Sabarlah, dua bulan lagi,” kataku menenangkan kado itu. Sebenarnya masalah sepele yang membuatku tak sempat memberikan kado di ulang tahunnya. Tak lain karena dia pun tak tahu persis kapan hari lahirnya. Maklum, di tahun lima puluhan, orang tua dari bayi-bayi yang baru lahir jarang mengingat apalagi mencatat kapan tanggal lahir anak mereka. Akta kelahiran pun sering kali diurus ketika anak mereka hendak masuk ke sekolah. Jelas, sudah banyak yang lupa kapan tepatnya anak mereka lahir. “Anakku Komar, sudah mampu beli Avanza!” bibirnya mulai bersenandung di hadapan ibuku. “Ya alhamdulillah, gajinya gede. Jadi bisa beli mobil. Kan enak, ke mana-mana nggak kepanasan,” lanjutnya 9
berkomat-kamit. Ibuku hanya mengulum senyum. “Anakku Yatmi, habis dibelikan suaminya gelang, kalung, sama cincin baru. Itu bukan yang mas kawin, lho. Lain lagi. Ya, walau cuma jadi pengusaha pabrik plastik, Alhamdulillah dia bisa bikin keluarganya bahagia, makmur,” dia melanjutkan. “Lha anakmu Susi kok mbrindil?” Pertanyaan pendek menghunjam ke jantung ibuku. Susi adalah kakakku. Memang, tiap kali Mbak Susi berkunjung ke rumah ibuku, dia tak tampak memakai perhiasan layaknya Yatmi, kecuali hanya cincin kawin yang melingkar di jari manisnya. Entah yang lain dia simpan, ataukah suaminya memang belum membelikan. Wanita… identik dengan perhiasan, menyulut Yu Siti mempersoalkan topik ini. “Ya belum, Yu. Masih ditabung mungkin uangnya,” balas ibuku menutupi kehampaannya. Yu Siti adalah teman akrab ibuku di kampung. Walau usianya terpaut sekitar sepuluh tahun, namun karena letak rumahnya berdampingan, maka sering kali ibuku berkunjung ke rumah Yu Siti, dan demikian pula Yu Siti. Sebenarnya aku kurang suka jika ibuku terlalu akrab dengan Yu Siti. Ibuku sering kali mengeluh tentang nasib kepada anak-anaknya, gara-gara Yu Siti. *** “Tuh, lihat Yu Siti! Si Komar dah bisa beli Avanza, lha kamu, motor aja butut!” keluh ibuku. Aku tak bisa menimpali perkataannya. Hati ibuku masih berlebihan menilai hidup dari sudut pandang kekayaan. Empat tahun lalu aku menikahi Arofah, seorang gadis desa sarjana agama. Orang tuanya memang bukanlah orang yang kekurangan. Terbukti bahwa Arofah bisa 10