ULUL ALBAB: KONSEP AL-QUR’AN TENTANG INTELEKTUALISME Oleh: A Khudori Soleh
Ulul Albab adalah istilah khusus yang dipakai al-Qur’an untuk menyebut sekelompok manusia pilihan semacam intelektual. Istilah Ulul Albab 16 kali disebut dalam al-Qur’an. Namun, sejauh itu al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan secara deinitive konsepnya tentang ulul albab. Ia hanya menyebutkan tanda-tandanya saja. Karena itulah, para mufassir kemudian memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang ulul albab. Imam Nawawi, misalnya, menyebut bahwa ulul albab adalah mereka yang berpengetahuan suci, tidak hanyut dalam derasnya arus. Dan yang terpenting, mereka mengerti, menguasai dan mengamalkan ajaran Islam. Sementara itu, Ibn Mundzir menafsirkan bahwa ulul albab sebagai orang yang bertaqwa kepada Allah, berpengetahuan tinggi dan mampu menyesuaikan diri di segala lapisan masyarakat, elit ataupun marginal. Sarjana, Ilmuwan dan Intelektual. Sebelumnya melihat tanda-tanda atau ciri-ciri ulul albab yang disampaikan al-Qur’an, ada baiknya kita diskusikan pengertian istilah-istilah ini. Dalam bahasa Indonesia ada tiga istilah yang hampir sama tapi sangat jauh berbeda artinya; sarjana, ilmuwan dan intelektual. Sarjana diartikan sebagai orang yang telah menempuh jenjang perguruan tinggi dengan menggondol gelar sarjana. Jumlahnya amat banyak, karena setiap tahun perguruan tinggi selalu memprodoksi sarjana. Ilmuwan adalah mereka yang mendalami ilmunya, kemudian berusaha mengembangkannya, baik dengan pengamatan atau analisa sendiri. Dalam berbagai kesempatan, seorang ilmuwan terkadang berbicara dengan bahasa yang universal dan terkesan asing, sehingga sulit dipahami umatnya. Dari sekian sarjana, hanya beberapa yang menjadi ilmuwan. Lainnya hanya sebuk dalam kegiatan-kegiatan rutin. Adapun intelektual adalah mereka yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan-kebutuhan praktis. Maksudnya, intelektual adalah orang yang menggarap sekaligus menggabungkan antara teori dengan operasionalnya berdasarkan gagasan-gagasan normatif. Kaum intelektual adalah mereka yang berusaha membentuk lingkungan dan masyarakatnya dengan gagasan-gagasan analisis dan normatif.
Ali Syariati memberi istilah intelektual dengan Rausyanikr yang artinya pemikir yang tercerahkan. Rausyanikr tidak hanya menemukan kenyataan atau menyajikan fakta sesuai apa adanya seperti kerja ilmuwan tetapi berusaha menemukan kebenaran sekaligus memberikan penilaian terhadap sesuatu bagaimana seharusnya. Selain itu, rausyaikr tidak bersikap netral dalam pekerjaannya sebagaimana ilmuwan. Rausyanikr terjun langsung melibatkan diri pada idiologi. Ia adalah "fa'il" (penentu dan pelaku) sejarah, bukan "maf'ul" (objek) sejarah. Terjemahan yang paling tepat untuk rausyanikr, mungkin, adalah intelektual dalam arti yang sebenar-benarnya. Menurut Jalaluddin Rahmad intelektual bukan sekedar sarjana atau ilmuwan. Intelektual adalah orang yang benar-benar merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakat dan bangsanya, menangkap aspirasinya, kemudian merumuskan dan menawarkan strategi serta alternatif pemecahannya. Sudah barang tentu, dalam hal ini mereka ikut terjun langsung dalam pelaksanaannya, bukan sekedar menyodorkan konsep. Kaum intelektual sangat dekat dengan umatnya, sehingga segala kebutuhan dan kesusahan umat dapat diketahui dengan jelas. Dengan begitu, konsepkonsep penyelesaian yang disodorkan benar-benar bisa menemui sasaran. Tegasnya, intelektual bukan sekedar orang yang hanya dapat berbiacara di mimbar dan seminar atau kerja di belakang meja, melainkan orang yang mempunyai konsep sekaligus mampu mengaplikasikannya. Dalam Islam, seorang intelektual bukan sekedar orang yang sanggup melahirkan gagasan-gagasan normatif dan aplikasinya, tetapi sekaligus juga memahami ajaran dan sejarah agamanya. Artinya, intelektual muslim harus menguasai ajaranajaran agamanya. Ciri-Ciri Ulul Albab. Ciri-ciri ulul albab yang disebut dalam al-Qur’an adalah, pertama, bersungguh-sungguh menggali ilmu pengetahuan. Menyelidiki dan mengamati semua rahasia wahyu (al-Qur’an maupun gejala-gejal alam), menangkap hukum-hukum yang tersirat di dalamnya, kemudian menerapkannya dalam masyarakat demi kebaikan bersama. "Sesungghnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi ulul albab" (QS, Ali Imran, 190). Menurut Ibn Katsir, selain mampu memahami fenomena alam dengan segenap hukumnya yang menunjukan tanda-tanda keagungan, kemurahan dan rahmat Ilahy, ulul albab juga seorang yang senantiasa berdzikir dan berpikir, yang melahirkan
kekuatan intelektual, kekayaan spiritual dan keluhuran moral dalam dirinya. Ibn Salam isikawan muslim yang mendapatkan hadiah Nobel tahun 1979 menyatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat dua perintah; tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan serta memikirkan semua kejadian yang timbul dalam alam semesta, kemudian menangkap hukum-hukumnya yang dalam bahasa modern dikenal dengan istilah science. Sedang tasyakur adalah memanfaatkan segala nikmat dan karunia Allah dengan akal pikiran, sehingga nikmat tersebut semakin bertambah yang kemudian dikenal dengan istilah teknologi. Ulul Albab menggabungkan keduanya; memikirkan sekaligus mengembangkan dan memanfaatkan hasilnya, sehingga nikmat Allah semakin bertambah (Jalaluddin Rahmad, 1988, 213). "Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih"(QS, Ibrahim, 7). Manusia akan mampu menemukan citra dirinya sebagai manusia, serta mampu menaklukkan jagat raya bila mau berpikir dan berdzikir. Berpengetahuan tinggi serta menguasai teknologi. "Jika kamu mampu menembus (melintasi) penjuruu langit dan bumi, maka lintasilah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (teknologi)" (QS, Ar-Rahman, 33). Kedua, selalu berpegang pada kebaikan dan keadilan. Ulul Albab mampu memisahkan yang baik dari yang jahat, untuk kemudian memilih yang baik. Selalu berpegang dan mempertahankan kebaikan tersebut walau sendirian dan walau kejahatan didukung banyak orang. "Tidak sama yang buruk (jahat) dengan baik (benar), meskipun kuantitas yang jahat mengagumkan dirimu. Bertaqwalah hai ulul albab, agar kamu beruntung" (QS, Al-Maidah, 100) Dalam masyarakat, Ulul Albab tampil bagai seorang "nabi". Ia tidak hanya asyik dalam acara ritual atau tenggelam dalam perpustakan; sebaliknya tampil dihadapan umat. Bertabligh untuk memperbaiki ketidakberesan yang terjadi di tengahtengah masyarakat, memberikan peringatan bila terjadi ketimpangan dan memprotesnya bila terjadi ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan. Ketiga, teliti dan kritis dalam menerima informasi, teori, proporsisi ataupun dalil yang dikemukakan orang lain. Bagai sosok mujtahid, ulul albab tidak mau taqlid pada orang lain, sehingga ia tidak mau menelan mentah-mentah apa yang diberikan orang lain, atau gampang mempercayainya sebelum terlebih dahulu mengecek kebenarannya. "Yang mengikuti
perkataan lalu mengikuti yang paling baik dan benar, mereka itulah yang diberi petunjuk oleh Allah, dan mereka itulah ulul albab" (QS, Az-Zumar, 18). Keempat, sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu. Sejarah adalah penafsiran nyata dari suatu bentuk kehidupan. Dengan memahami sejarah kemudian membandingkan dengan kejadian masa sekarang, ulul albab akan mampu membuat prediksi masa depan, sehingga mereka mampu membuat persiapan untuk menyambut kemungkinankemungkinan yang bakal terjadi. Sampai pada ciri-ciri ini, ulul albab tidak ada bedanya dengan intelektual yang lain. Tapi bila dilanjutkan, maka ada nilai tambah yang dimilikinya yang tidak dimiliki oleh seorang intelektual biasa. Yakni, kelima, rajin bangun malam untuk sujud dan rukuk dihadapan Allah swt. Ulul Albab senansiasa "membakar" singgasana Allah dengan munajadnya ketika malam telah sunyi. Menggoncang Arasy-Nya dengan segala rintihan, permohonan ampun, dan pengaduan segala derita serta kebobrokan moral manusia di muka bumi. Ulul Albab sangat "dekat" dengan Tuhannya. "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung), ataukah orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Tuhannya. Katakanlah: 'Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?'. Sesungguhnya, hanya ulul albab yang dapat menerima pelajaran"(QS, Az-Zumar, 9). Keenam, tidak takut kepada siapapun, kecuali Allah semata. Sadar bahwa semua perbuatan manusia akan dimintai pertanggungan jawab, dengan bekal ilmunya, ulul albab tidak mau berbuat semena-mena. Tidak mau menjual ilmu demi kepentingan pribadi (menuruti ambisi politik atau materi). Ilmu pengetahuan dan teknologi ibarat pedang bermata dua. Ia dapat digunakan untuk tujuan-tujuan baik, tapi bisa juga digunakan dan dimanfaatkan untuk perbuatan-perbuatan yang tidak benar. Tinggal siapa yang memakainya. Ilmu pengetahuan sangat berbahaya bila di tangan orang yang tidak bertanggung jawab. Sebab, ia tidak akan segan-segan menggunakan hasil teknologinya untuk menghancurkan sesama, hanya demi menuruti ambisi dan nafsu angkara murkanya. Dengan demikian, ulul albab bukan sekedar ilmuwan atau intelektual. Dalam diri ulul albab terpadu sifat ilmuwan, sifat intelektual dan sekaligus sifat orang yang dekat dengan Allah. Atau dalam terjemahan UIN Malang, di istilahkan dengan intelek professional yang ulama dan ulama yang intelek profesional. Dalam dunia pendidikan dewasa ini, kita sangat mengharapkan
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks