BAB I PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Permasalahan
Permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini dilatarbelakangi oleh adanya keprihatinan penulis dan juga sebagian jemaat Gereja lokal seperti GKJ ( Gereja Kristen
W D
Jawa ) di wilayah urban seperti wilayah Pondok Gede yang notabene merupakan daerah pinggiran kota yang menghubungkan antara Jakarta dan Bekasi sebagai daerah pembantu bagi Jakarta. Keprihatinan ini terkait dengan sudah tidak nampak lagi jemaat GKJ Pondok Gede yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka, sudah banyak
K U
diantara mereka yang tidak lagi mengerti bahasa Jawa, dan juga budaya unggah-ungguh atau basa-basi dan lain-lain.
Sikap Gereja lokal seperti GKJ Pondok Gede yang berada di wilayah urban yang kental (banyak menggunakan unsur budaya Jawa) kini terlihat kian hari kian memudar dan tidak lagi menghidupi budaya tersebut. Hal ini terlihat pada presentase kehadiran mereka
@
ketika ibadah berbahasa Jawa yang sangat sedikit. Hal ini dibuktikan dengan data yang ada yakni dari 80 orang responden sampel 55 orang lebih senang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar ibadah, sedangkan 13 orang dari sampel itu lebih senang menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam peribadatan dan sisanya yakni 12 orang sampel memilih keduanya.1 Penulis berpendapat bahawa hal ini disebabkan adanya perpindahan dari generasi awal (nenek moyang) yang menetap pada daerah asal yang menghidupi dan mengerti dengan budaya Jawa. Kemudian melahirkan sebuah generasi baru yang diharapkan dapat meneruskan budaya dari generasi awal tersebut.
1
Hasil dari kuisioner yang diberikan kepada jemaat GKJ Pondok Gede dengan jumlah sampel atau responden sebesar 80 orang dan dibagi dalam bentuk klasifikasi usia dari umur 11-56± tahun.
1
Namun pada kenyataannya, beberapa generasi baru tersebut mencoba keluar dari pakem2 yang ada yang dahulu dibuat oleh generasi awal. Generasi pertama di wilayah urban yang terkesan tetap mempertahankan identitasnya sebagai seseorang yang berasal dari budaya Jawa. Generasi berikutnya hanya mempertahankan identitas kelokalannnya dengan tidak menghilangkan bahasa daerah ataupun yang lainnya. Generasi ini tidak mengerti dengan makna serta maksud dari apa yang telah dibuat oleh nenek moyang mereka. Hal ini disebabkan karena mereka telah berada di wilayah urban yang notabene memiliki keberagaman budaya di dalam wilayah tersebut. Hal ini dapat dicontohkan melalui masih ada ibadah dengan bahasa Jawa namun banyak jemaat yang tidak hadir ketika diadakan
W D
ibadah dengan bahasa Jawa. Hal ini membuat penulis beranggapan bahwa mereka terkesan seperti takut kehilangan identitasnya dan dianggap kehilangan orientasi mereka sebagai gereja lokal yang berlatar belakang budaya.
Wilayah urban secara antropologis dapat diartikan Di dalam Kamus Lengkap
K U
Inggris – Indonesia / Indonesia - Inggris suntingan S. Wojowasito dan W.J.S. Poerwodarminto (1972), rural diartikan ”seperti desa, seperti di desa” dan urban diartikan “dari kota, seperti di kota”. Rural yang secara umum di terjemahkan menjadi “Perdesaan” bukanlah desa (village).demikian pula urban atau yang umum diterjemahkan menjadi perkotaan, juga bukan kota (town, city). Konsep suburban atau rurban sering diberi arti
@
atau diterjemahkan dengan “pinggiran kota”. Yang lebih tepat, suburban adalah merupakan bentuk antara (in-between): antara rural dan urban. Dilihat sebagai suatu lingkungan daerah, maka daerah suburban merupakan daerah yang berada di antara atau di tengahtengah daerah rural dan urban. Jika dilihat sebagai suatu komunitas, maka suburban merupakan kelompok komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah antara rural dan urban. Pinggiran kota dalam arti batas terluar dari sebuah kotapraja disebut urban fringe atau country side.3 Wilayah ini biasanya membentuk budaya baru yang terdiri dari pencampuran budaya lokal dengan
2
3
Pakem dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai aturan yang diharapkan oleh para leluhur ini bisa dilanjutkan oleh penerusnya. Edi Indrizal, Memahami Konsep Pedesaan Dan Tipologi Desa Di Indonesia, diakses melalui http://fisip.unand.ac.id/media/rpkps/EdiIndrizal/M3.pdf pada taggal 8 Agustus 2014
2
berbagai macam budaya dari daerah lain. Wilayah urban memiliki satu budaya awal dari masyarakat terdahulu yang sudah lama menetap di wilayah tersebut. Walaupun demikian, jumlah warga asli tersebut berbanding jauh dengan masyarakat pendatang. 4 Ketika kita berada dalam wilayah urban tersebut, kita akan menemukan sebuah permasalahan yang kemungkinan terdapat dalam sebuah Gereja. Di mana di dalam wilayah urban tersebut terdapat banyak Gereja dengan latar belakang etnik tertentu dan budaya tertentu. GerejaGereja yang berada di wilayah tersebut berlandaskan latar belakang budaya tertentu. Namun masyarakat yang membuat Gereja lokal yang berada di wilayah urban ini terkesan tidak menghidupi budaya lokal tersebut. Hal ini dilandasi dengan adanya latar belakang
W D
dari gereja lokal itu terbentuk. Cotohnya latar belakang GKJ Pondok Gede ini terbentuk karena adanya kesamaan latar belakang budaya dan agama yang menginginkan adanya suasana yang sama seperti yang ada pada kampung halaman mereka. Masyarakat ini hanya mempertahankan identitas dan ciri khas dalam Gereja lokal tersebut. Kemungkinan hal ini
K U
yang menyebabkan Gereja Jawa yang berada di wilayah urban tidak lagi dapat menghidupi makna budayanya. Kemungkinan lainnya ialah generasi kedua yang berada jauh dari budaya dan tempat asal budaya tersebut mencoba mengintepretasikan ulang pemaknaan mengenai hidup dalam budaya mereka tersebut sesuai dengan keadaan dan konteks mereka sekarang.
@
Penulis mengambil konteks budaya Jawa dan mengambil konteks Gereja lokal yakni Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang berada di daerah perkotaan dan merupakan wilayah urban sebagai kajian untuk melihat pergeseran dan kebutuhan pembentukan budaya Jawa baru tersebut. Gereja Kristen Jawa yang akan diangkat ialah Gereja Kristen Jawa Pondok Gede. GKJ Pondok Gede memiliki jemaat sebagian besar dari masyarakat Jawa. Namun mereka sudah tidak lagi menghidupi kebudayaan Jawa dan bahkan sudah meninggalkan kebudayaan tersebut. Hal ini disebabkan sudah banyak sekali orang-orang yang tidak fasih berbahasa Jawa. Alasan lainnya adalah perbedaan jumlah jemaat ketika beribadah menggunakan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia. Hal ini sangat penting sebab gereja
4
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta, Kanisius, 2002
3
yang memiliki latar belakang budaya khususnya budaya Jawa seharusnya gereja dapat menjadi bagian dalam mempertahankan sebuah kebudayaan. Penulis menganggap bahwa Gereja tersebut pantas untuk dijadikan objek penelitian sebab Gereja tersebut sudah jarang jemaat yang menghidupi kebudayaan Jawa dan bahkan meninggalkannya. Kehidupan sebagai orang Jawa yang penulis sebutkan dalam permasalahan bukan sekedar tetap menggunakan bahasa tradisional serta mampu memainkan alat musik tradisional. Namun kehidupan sebagai orang Jawa yang mengerti mengenai etika serta tradisi Jawa yang kini mulai menghilang di dalam kehidupan jemaat tersebut atau mungkin adanya perubahan pemahaman serta perubahan dari budaya lama ke perubahan budaya baru.
2.
W D
Rumusan Permasalahan
K U
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan sebelumnya, penulis menemukan beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Bagaimana pemahaman jemaat Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pondok Gede mengenai budaya Jawa terkait dengan identitas mereka sebagai orang Jawa
@
yang memiliki budaya Jawa serta Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa (PPAGKJ)? b.
Bagaimana GKJ Pondok Gede menyikapi dirinya yang merupakan sebuah komunitas orang Jawa yang berada di wilayah urban dipinggir Jakarta?
c.
3.
Bagaimana Misi kontekstual dilakukan dalam konteks GKJ Pondok Gede?
Batasan Permasalahan
Dalam hal ini, penulis mencoba memberi batasan terhadap penulisan ini dengan terfokus pada sebuah Gereja Jawa yang berbasis dalam ajaran atau pemahaman budaya Jawa. Budaya Jawa yang penulis maksud tidak hanya pemahaman mengenai alat musik, pakaian 4
adat atau bahkan bahasa saja yang biasa ditunjukkan oleh jemaat dalam perayaan hari besar keagamaan Gereja, melainkan pemahaman mereka sebagai jemaat mengenai pemahaman tentang hidup orang Jawa serta ajaran mengenai falsafah hidup orang Jawa. Hal ini pada awalnya penulis yakini bahwa orang Jawa dan juga keturunannya masih memegang dan mengerti adat istiadat kebudayaan Jawa mereka. Peran misiologi yang kontekstual menolong GKJ Jemaat Pondok Gede sebagai salah satu contoh Gereja Jawa yang berada di tanah urban yang masih memegang budaya Jawa. Hal ini ditunjukkan oleh masih banyak orang yang memahami ajaran budayanya meskipun mereka berada di daerah urban dan sudah lama menetap di daerah tersebut.
4.
W D
Tujuan Penulisan
K U
Melalui tulisan ini, penulis berharap para pembaca dapat mempelajari pemaknaan dan pemahaman yang muncul dalam gereja yang berbasis pada budaya yang berada di wilayah urban. Satu hal yang menjadi tujan penulisan ini adalah penerjemahan kembali tentang makna budaya Jawa dalam jemaat GKJ Pondok Gede serta menentukan misi Gereja yang cocok bagi konteks Gereja lokal yakni GKJ Pondok Gede yang berada di daerah urban.
5.
@
Pemilihan Judul
Dengan melihat pada uraian permasalahan tersebut di atas, penulis memilih judul:
Identitas Baru Kejawaan Di GKJ Pondok Gede dalam Rangka Misi Kontekstual di Wilayah Urban
5
6.
Landasan Teori
6.1.
Pemaknaan Budaya
Penulis mencoba memberi batasan mengenai pemaknaan budaya secara umum berdasarkan pengertian
Pemaknaan
Budaya.
Definisi
kebudayaan
menurut
Koentjaraningrat
sebagaimana dikutip oleh Budiono K. adalah “menurut antropologi, kebudayaan adalah
W D
seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”.5 Pengertian tersebut berarti pewarisan budaya-budaya leluhur melalui proses pendidikan. Beberapa pengertian kebudayaan berbeda dengan pengertian di atas, yaitu:
a.
K U
Kebudayaan adalah cara berpikir dan cara merasa yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia yang membentuk kesatuan sosial (masyarakat) dalam suatu ruang dan waktu.
b.
Kebudayaan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan kepercayaan
@
seni, moral, hukum, adat serta kemampuan serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
c.
Kebudayaan merupakan hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya yaitu masyarakat yang menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan yang terabadikan pada keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia yaitu kebijaksanaan yang sangat tinggi di mana aturan kemasyarakatan terwujud oleh kaidah-kaidah dan nilai-nilai sehingga denga rasa itu, manusia mengerti tempatnya sendiri, bisa menilai diri dari segala keadaannya.6
5
6
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan: Proses Realitas Manusia, Jalasutra, Yogyakarta, 2010 John Fiske. Cultural and Communication Studies, Yogyakarta, Jalasutra. 2010
6
Pengertian kebudayaan tersebut mengispirasi penulis untuk menyimpulkan bahwa; akal adalah sumber budaya. Karena setiap manusia berakal, maka secara tidak langsung manusia memiliki sebuah budaya yang identik dengan manusia lain dan sekaligus membedakannya dengan makhluk hidup lain. Dengan akal manusia mampu berfikir, dan menciptakan nilai-nilai budaya yang membawa manusia kepada ketinggian peradaban. Makna yang sama juga diutarakan oleh Suratno Pardi yang mengatakan bahwa kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin ( akal budi ) manusia, yang keberadaannya
W D
dapat diterima dan diakui oleh masyarakat pada masanya.7
Dengan demikian, budaya dan kebudayaan telah ada sejak manusia berpikir, berkreasi dan berkarya sekaligus menunjukkan bagaimana pola berpikir dan interpretasi manusia terhadap lingkungannya. Dalam kebudayaaan terdapat nilai-nilai yang dianut
K U
masyarakat setempat dan hal itu memaksa manusia berperilaku sesuai budayanya. Antara kebudayaan satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam menentukan nilai-nilai hidup sebagai tradisi atau adat istiadat yang dihormati. Adat istiadat yang berbeda tersebut, antara satu dengan lainnya tidak bisa dikatakan benar atau salah, karena penilaiannya selalu terikat pada kebudayaan tertentu.
@
Kebudayaan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang, begitu pula sebaliknya. Di dalam pengembangan kepribadian diperlukan kebudayaan, dan kebudayaan akan terus berkembang melalui kepribadian tersebut. Sebuah masyarakat yang maju, kekuatan penggeraknya adalah individu-individu yang ada di dalamnya. Tingginya sebuah kebudayaan masyarakat dapat dilihat dari kualitas, karakter dan kemampuan individunya. Manusia dan kebudayaan adalah dua hal yang saling berkaitan. Manusia dengan kemampuan akalnya membentuk budaya, dan budaya dengan nilai-nilainya menjadi landasan moral dalam kehidupan manusia. Seseorang yang berperilaku sesuai nilai-nilai budaya, khususnya nilai etika dan moral, akan disebut sebagai manusia yang berbudaya. Selanjutnya, perkembangan diri manusia juga tidak dapat lepas dari nilainilai budaya yang berlaku. 7
Suratno Pardi, Masyarakat Jawa dan Budaya Barat, Adiwacana, Yogyakarta, 2013. p. v
7
Kebudayaan dan masyarakatnya memiliki kekuatan yang mampu mengontrol, membentuk dan mencetak individu. Apagi manusia di samping makhluk individu juga sekaligus makhluk sosial, maka perkembangan dan perilaku individu sangat mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan. Atau boleh dikatakan, untuk membentuk karakter manusia paling tepat menggunakan pendekatan budaya.8 Dalam pandangan yang serupa, LeviStrauss mengatakan bahwa budaya merupakan sebuah proses pemahaman bukan hanya untuk memahami alam atau realitas eksternal, melainkan juga sistem sosial yang
W D
merupakan bagian dari identitas sosial sekaligus identitas sosialnya. 9 Pernyataan yang serupa juga dikatakan oleh Prior dengan mengatakan bahwa dengan pengertian yang seperti itu, kebudayaan terus berkembang dan di dalamnya terkandung sifat serta hakikatnya, yaitu dinamis. Sifat dan hakikat kebudayaan yang dinamis itu sangat kuat dan
K U
itu yang harus memperoleh tekanan.
Dari pemahaman itu penulis berpendapat bahwa ketika manusia itu hidup dalam sebuah komunitas pastinya manusia tersebut membentuk sebuah budaya baru yang secara bersama-sama mereka bentuk di daerah tersebut dan ketika mereka keluar dari komunitasnya hijrah ke tempat lain yang tentunya telah ada kebudayaan sebelumnya
@
pastilah ada sebuah benturan. Benturan-benturan ini yang disebut dengan shock culture. Ketika manusia lain dari komunitas yang memiliki paham yang sama dengan manusia tersebut hadir maka mereka akan membentuk sebuah komunitas baru bedasarkan apa yang mereka alami di tempat baru dengan benturan-benturan yang mereka alami dengan budaya yang mereka bawa.
Hal ini membentuk mereka dan memaksa mereka membentuk kebudayaan baru atau merubah sedikit budaya mereka dan menyesuaikan dengan budaya yang ada. Inilah yang penulis lihat ketika GKJ Pondok Gede berada di wilayah urban ini. GKJ Pondok Gede sebagai suatu komunitas Kristen yang memiliki latar belakang budaya Jawa harus
8
9
http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-budaya-dan-kebudayaan.html diakses 20.50, tanggal 7/2/2014 Fiske, John, Cultural and Communication Studies, Jalasutra, Yogjakarta, 2010, p. 167
jam
8
hidup di tengah budaya urban yang majemuk mengakibatkan mereka dipaksa untuk merubah dan membentuk budaya baru atau mempertahankan budayanya yang ada karena itu adalah identitas mereka. Penulis merasa GKJ Pondok Gede masih bingung menentukan karakter diri mereka. Sehingga misi yang mereka bawa melalui budaya mereka tidak tersampaikan. Hal ini membuat suatu problematika baru yang muncul akibat adanya perpindahan orang dari satu budaya ke budaya yang lain selain menimbulkan shock culture juga akan berdampak pada permasalahan globalisasi yang dikembangkan pada era zaman orde baru dimana masyarakat Indonesia itu disebar ke seluruh pelosok negeri sehingga banyak percampuran budaya perubahan budaya dan keanekaragaman budaya. Tidak hanya
W D
itu juga globalisasi mencakup hadirnya kerjasama dengan antara budaya timur dengan budaya barat yang menyebabkan perubahan pola pikir kita. Hal ini menyebabkan budaya yang kita miliki sebelumnya berubah bentuk menyesuaikan dengan keadaan yang dialami.
6.2.
Budaya Jawa
K U
Dalam rangka mendalami budaya Jawa serta makna apa saja yang terkandung di dalam budaya Jawa, penulis mencoba mencari tahu tentang pengertian dasar dari apa itu budaya Jawa. Secara garis besar orang Jawa sendiri memaknai Budaya Jawa dengan sebuah
@
perumpamaan yaitu tentang keselarasan antar satu substansi dengan substansi lainnya substansi yang saya maksudkan disini adalah agama, budaya, dll. Unsur yang paling kental tentang pemaknaan budaya Jawa ialah “kejawen”.
Kata “Kejawen” berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yg berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan). Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen merupakan bagian dari agama
lokal
Indonesia.
Seorang
ahli antropologi Amerika
Serikat,
Clifford
Geertz pernah menulis tentang agama Jawa atau dalam bahasa lainnya adalah Kejawen. "Agami Jawi", sebagaimana yang dikemukakan oleh Harsja Bachtiar (1973), memang benar bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah karena tidak didasarinya akan adanya Agama Jawa. Lebih lanjut Bachtiar mengidentifikasi Agama Jawa sebagai 9
pemujaan leluhur. Sumber yang digunakan adalah kepustakaan yang ditulis oleh para sarjana Belanda. Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Geertz pada orang Jawa di Suriname (1976). Diperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya yang dinamakan Agama Jawa bukanlah agama pemujaan leluhur. Tetapi, berintikan pada prinsip utama yang dinamakan sangkan paraning dumadi.10 Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu: konsep mengenai eksistensi manusia di alam semesta beserta segala isinya ; dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Kedua hal ini menyangkut konsep-konsep wadah dan isi, serta ekuilibrium dan ketidakteraturan unsur-unsur yang ada dalam isi sesuatu wadah.11 Hal ini membuktikan bahwa kejawen bukanlah sebuah agama dan juga bukan
W D
sebuah kebudayaan melainkan sebuah kepercayaan yang bukan berdasarkan penghormatan kepada leluhur melainkan pada Sang pencipta alam semesta yang hadir melalui alam semesta itu sendiri.
6.3.
K U
Pandangan Gereja Kristen Jawa Terhadap Budaya Jawa.12
Dalam perkembangan peradaban manusia seperti sekarang ini perubahan pandangan dan perubahan pola pikir pun terkadang ikut berubah mengikuti peradaban yang ada. Hal ini seperti ketika kita berbicara mengenai budaya Jawa pada kehidupan peradaban Jawa
@
sendiri berkembang seturut dengan perkembangan peradaban di dunia. Di mana pada zaman dahulu masih jarang sekali percampuran suku, kepercayaan atau sebagainya. Seiring perkembangan peradaban manusia khususnya manusia Jawa muncul sebuah peradaban baru yakni globalisasi. Menurut sebagian masyarakat Jawa, globalisasi merupakan ancaman terbesar bagi punahnya budaya Jawa terhadap generasi muda. Hal ini dikarenakan sudah banyak anak muda yang tidak mengerti bahasa Jawa dan mau belajar bahasa Jawa. Maka berdasarkan inilah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ), nampaknya juga didasari oleh anggapan bahwa globalisasi dapat menjadi ancaman bagi kelangsungan identitas Jawa. 10
11
.
12
Geertz, Clifford. Abangan, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1989. p. xii Geertz, Clifford. Abangan, diterjemahkan oleh Aswab Mahasin, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1989. p. xii Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2005.
10
Pemasalahan globalisasi yang penulis maksud di sini tidak hanya permasalahan datangnya peradaban budaya barat saja tetapi persebaran penduduk yang dicanangkan pemerintah orde baru. Hal ini menyebabkan percampuran budaya yang ada semakin kental terasa apa lagi ketika berada di wilayah urban seperti Jakarta. Banyak orang-orang dari daerah Jawa Tengah yang berurbanisasi ke daerah tersebut demi mencoba peruntungannya dan mengadu nasibnya untuk mengubah tingkat kehidupannya. Percampuran antar suku dan urbanisasi inilah kiranya yang menjadikan percampuran pemahaman antara satu budaya dengan budaya lain. Percampuran budaya dalam wilayah urban inilah yang kiranya membentuk suatu kebudayaan baru. Perubahan
W D
dan percampuran budaya dari zaman ke zaman tentunya membuat Gereja-Gereja yang berbasis budaya ini segera membentengi identitas mereka dengan berbagai cara agar mereka dapat disebut Gereja etnis yang dalam hal ini Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ). Namun hal ini tidak lantas selesai karena perubahan ini sulit dihidari. Demi
K U
mempertahankan identitas itu banyak GKJ melakukan antisipasi dengan membangkitkan kembali tradisi Jawa dalam berbagai bentuk dan simbol, baik pada arsitektur gedung Gereja, liturgi, bahasa pengantar ibadah, serta musik-musik tradisional di berbagai aktivitas pelayanan Gereja. Bahkan tidak banyak Gereja yang memberikan syarat wajib yakni dengan harus mampu berbahasa daerah sebagai sebuah syarat menjadi seorang pendeta.
@
Sementara itu ada yang memiliki pemahaman bahwa GKJ harus menjadi “ benteng terakhir “ budaya Jawa.13 Berangkat dari pemaknaan budaya secara umum penulis mencoba mengerucutkan permasalahan mengenai pemaknaan budaya Jawa. Menurut Sujamto pemaknaan mengenai budaya Jawa merupakan hasil dari sebuah perpaduan dua atau lebih paham. Sampai seberapa jauh pertemuan itu atau perpaduan itu, dan sejak kapan hal itu terjadi di Jawa.14 Sujamto juga menambahkan bahwa budaya Jawa memiliki ciri-ciri seperti [1] religius, [2] non doktriner, [3] toleran, [4] akomodatif, [5] optimistik. Dari pernyataan inilah maka budaya Jawa dapat bergabung dengan agama manapun dan dapat menjadi sebuah spritualisme baru mengenai tata hidup orang Jawa itu sendiri. 13
14
Artikel Djoko Prasetyo Adi Wibowo, Murid, Sahabat, Pelayan; Mengkomunikasikan Injil Berasama dengan Konteks GKJ Masa Kini, p. 96. Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa, Dahara Prize, Semarang. p.14
11
Budaya Jawa sendiri memiliki pemakanaan tersendiri mengenai Sang Ilahi. Sujamto mengatakan bahwa Kejawen memiliki sifat yang sangat religius. Orang Jawa pada umumnya percaya tentang adanya Tuhan. Dalam pandangan dasar pandangan Kejawen yang murni, Tuhan dihayati sebagai yang Dat Yang Maha Kuasa yang tidak dapat digambarkan bagaimana wujud dan keadaannya.15 Hal lain jika kita melihat dari fakta sejarah terbentuknya sebuah Gereja yang dinamakan GKJ (Gereja Kristen Jawa) ini. Jika kita tinjau dari lahirnya Gereja Kristen Jawa, Gereja ini lahir dan besar dalam budaya bangsa Eropa yakni Belanda yang kala itu menjajah Indonesia. Pada kala itu para misionaris Belanda mendirikan sekolah tinggi teologia dan menyebarkan dogma dan ajaran
W D
kekristenan kepada masyarakat Jawa yakni sebelum tahun 1900 Gereja ini membentuk kemajelisan dan mandiri. Dilihat secara cakupan luas wilayah pengajaran yang tesebar dari daerah Sumatra Selatan(GKSBS), Jawa Tengah (GKJ), Jawa Timur (GKJW).16 Kata Jawa dalam Gereja Kristen Jawa, memiliki maksud dan arti sebagai sebuah
K U
bentuk penandaan sebuah identitas. Dalam sejarah yang cukup panjang , sebelum menjadi Gereja Kristen Jawa atau disingkat GKJ, Gereja itu bernama Gereja Kristen Jawa Tengah Selatan. Kenapa mesti disebut Jawa Tengah Selatan, karena ada Gereja lain yang menggunakan nama Gereja Kristen Jawa Tengah Utara (GKJTU) Selain GKJ dan GKJTU. Kata Jawa ini sendiri digunakan untuk menentukan di mana letak mereka dalam hal ini
@
daerah teritorial mereka. Selain itu juga terkait dengan zending Gereja masing-masing di mana para misionaris itu berasal. Seperti kita ketahui bahwa penyebaran ajaran Kristen itu tidak hanya dibawa oleh bangsa Belanda pada masa penjajahan tetapi juga ada bangsa lain seperti Portugis, Prancis, dan Spanyol yang masing-masing dari mereka juga membawa para misionaris dalam penyebaran ajaran kekristenan dan membentuk denominasi atau teritorial untuk membatasi persebaran dan juga agar Indonesia kala itu tidak dapat bersatu. Setidaknya sejak tahun 1984 GKJ sudah bertekad menyusun Ajaran GKJ. Setelah melalui proses yang panjang, dalam Sidang Sinode terbatas tahun 1996 diputuskan Pokokpokok Ajaran Gereja Kristen Jawa. Alasan diputuskannya PPA GKJ itu sangat signifikan. 15
16
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa, Dahara Prize, Semarang. p.48 Dr. Th, Den End, Van dan Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Carita Jilid 2: Sejarah Gereja Di Indonesia 1860-an – sekarang, BPK. Gunung Mulia, Jakarta , 2008 . p. 235-236
12
Disebutkan di pengantar buku itu, ajaran yang selama ini diberlakukan adalah warisan dari GKN (Gereformeerde Kerken in Nederland), hal ini ditunjukan dalam pemberlakuan kitab Piwulang Agami Kristen yang merupakan terjemahan dari Katekhismus Heidelberg pada tahun 1931. Gereja yang mengutus penginjil yang mewartakan Injil ke tanah Jawa sehingga lahirlah GKJ.17 Namun sebagai Gereja yang mandiri GKJ menyadari perlunya menyusun Ajaran Gereja sendiri”. Kalimat tersebut mengungkapkan sebuah tekad GKJ untuk melakukan kontekstualisasi Injil (bahasa teologis sebelumnya indigenousasi atau pempribumian). Tekad itu memang secara eksplisit diungkapkan secara runtut: Pertama, sebagai Gereja
W D
yang mandiri, dewasa. GKJ harus menentukan sendiri ajarannya; kedua, sesuai dengan status dan sifat mandiri atau dewasanya, warisan yang diterima itu harus ditanggapi dengan sikap kritis; ketiga, kekritisan itu dilakukan dengan cara mempertanyakan warisan itu berdasar Alkitab. Kalau ternyata warisan itu ada yang tidak sesuai dengan penafsiran yang
K U
bertanggungJawab terhadap Alkitab, maka warisan itu perlu diubah dan diganti. Sedang yang sesuai tetap dipertahankan; keempat, GKJ menyadari bahwa tantangan yang dihadapi adalah konkret, sehingga ajaran itu juga harus dapat menjadi pegangan yang relevan dalam menjawab atau menyiasati tantangan konkret itu.18
Mencermati alasan lahirnya PPA GKJ, tersirat suatu harapan terjadinya
@
kontekstualisasi Injil dalam budaya Jawa. Paling tidak di sana dapat ditemukan sikap GKJ terhadap kebudayaan (Jawa), tempat GKJ tumbuh dan berkembang, atau hubungan antara Injil dan Kebudayaan (Jawa). harapan tersebut dijawab dalam PPA yang terdiri dari 310 pertanyaan dari tema-tema yang disediakan untuk 28 minggu yakni pada bagian pertanyaan minggu ke-18. Yakni dalam bagian bagaimana GKJ menyikapi sekularisme yang didalamnya terdapat masalah kebudayaan khususnya budaya Jawa. Perjumpaan antara Gereja dan kebudayaan, serta sikap GKJ terhadap Kebudayaan (Jawa) muncul dalam Tata Gereja GKJ Pasal 39, yang berbunyi: “Gereja dapat menerima bentuk-bentuk budaya atau adat istiadat dengan: (1) mengeluarkan makna religius
17 18
Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2005. p.vii. Padmono SK .S.Si, artikel pribadi Adat dan Budaya di GKJ: Padangan GKJ terhadap Budaya Jawa: sebuah catatan kritis.
13
filsafatinya yang bertentangan dengan Injil; (2) memberi makna religius yang baru sesuai dengan Injil”.19 Setelah PPA itu berlaku kurang lebih 8 tahun, baru dalam edisi revisi PPA dicantumkan sikap GKJ terhadap kebudayaan. Pada minggu ke-16 dengan pokok Sikap Terhadap Kebudayaan, ada 5 tanya-Jawab.
-
-
-
-
-
Pertanyaan 159: apakah kebudayaan itu? Jawab: “Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dihasilkan manusia dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan yang paling modern meliputi segala kegiatan manusia, sistem nilai dan hasilnya. Pertanyaan 160: kebudayaan meliputi apa saja? Jawab: “Kebudayaan meliputi pembuatan perkakas-perkakas dan cara-cara penggunaannya, bahasa dan adat istiadat, agama dan kepercayaan, penetapan nilai-nilai dan pengubahannya, ilmu pengetahuan dan filsafat, serta aneka ragam kesenian”. Pertanyaan 161, “Bagaimana orang percaya memahami kebudayaan?”. Jawab: “Kebudayaan sebagai hasil cipta dan karya manusia dalam melaksanakan “tugas kebudayaan” yang diberikan Allah sejak penciptaan tidak lepas dari cedera manusiawi. Oleh karena itu, kebudayaan mengandung kelemahan dan penyimpangan”. Pertanyaan 162, “Bagaimana sikap orang percaya terhadap kebudayaan?” Jawab: “Sikap orang percaya terhadap kebudayaan adalah: (1) menghargai; (2) bersikap kritis; dan (3) memperbaiki kesalahan. Pertanyaan 163, “Apakah tujuan orang percaya memperbaiki dan menggunakan kebudayaan?” Jawab: “Tujuannya adalah agar kebudayaan dapat dipulihkan arahnya bagi kemuliaan Tuhan, bukan bagi keagungan manusia”. 20
W D
K U
Dalam pengertian ini saya memahami pengklasifikasian kebudayaan ini menjadi 2 macam
@
klasifikasi diantaranya; [1] kebudayaan tampak secara fisik ( perkakas, bahasa, alat musik ), [2] kebudayaan yang tidak tampak secara fisik ( pengajaran adat istiadat, nilai-nilai moral dan filsafat ). Dari beberapa poin itu GKJ sebagai kumpulan orang percaya dengan ajaran Yesus Kristus menggumuli hal tersebut dengan berlandasakan pada ayat dalam kitab suci dan juga ajaran serta dogma yang para misionaris mereka ajarkan dulu. Oleh sebab itu, GKJ sebagai jemaat Allah mencoba menjelaskan bagaimana mereka menyikapi sebuah budaya khususnya budaya Jawa. Dari hasil tanya-Jawab yang ada pada pokok-pokok ajaran GKJ ini, GKJ sendiri (jemaat) mencoba mengkritisi dan menjelaskan bagaimana
19
20
Padmono SK .S.Si, artikel pribadi Adat dan Budaya di GKJ: Padangan GKJ terhadap Budaya Jawa: sebuah catatan kritis. Sinode GKJ, Pokok-Pokok Ajaran Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2005, p. 59-60.
14
ajaran itu dipahami oleh mereka dan sikap bagaimana yang mereka ambil dalam menyikapi kebudayaan mereka sendiri yakni budaya Jawa. Dalam artikel yang ditulis oleh Padmono SK, S.Si. tentang pandangan GKJ terhadap budaya Jawa. Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa setiap manusia hidup dalam komunitasnya. Komunitas manusia itu di dalam upaya mengembangkan kehidupan selalu berusaha menggapai kehidupan yang lebih baik. Dalam upayanya itu kebudayaan manusia pun terus berkembang. Ini sesuai dengan hakikat kebudayaan itu sendiri. Ketika jaman berubah dan tuntutan serta tantangan manusia pun berubah, kebudayaan yang “lama” yaitu yang dihasilkan sebelum terjadi perubahan itu, akan ditinggalkan karena
W D
sudah tidak mampu menjawab tantangan jaman lagi. Sebagai contoh, nelayan yang hidup dari mencari ikan di sungai tentu akan mengajarkan kepada anaknya bagaimana menangkap ikan. Tetapi di hulu sungai itu dibangun bendungan dan sungai di daerah sang nelayan tidak lagi mengalir seperti sebelumnya, apakah anak nelayan itu masih bisa
K U
mempertahankan “kebudayaan” yang diajarkan ayahnya? Tentu tidak! Sang anak tentu harus menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, dengan demikian mengembangkan kebudayaan yang lain.
Dalam kasus seperti itu, apakah kebudayaan sang nelayan salah? Kebudayaan sang nelayan telah menjawab tantangan zamannya, dan kebudayaan itu berkembang karena
@
tantangan zaman juga berubah. Dari hal tersebut, kita tidak dapat mengatakan salah pada sebuah kebudayaan. Seperti halnya Injil berkembang dalam kebudayaan Yunani dan Yahudi, maka tidak ada yang salah dengan kebudayaan itu, baik itu kebudayaan Yunani atau Yahudi.21
Sebagai perangkat dan piranti kehidupan serta tata nilai, kebudayaan selalu relevan dengan zamannya. Apabila ada nilai-nilai baru yang lebih relevan dengan zamannya, maka nilai lama yang ada tidak dapat dikatakan sebagai kebudayaan yang salah. Begitu proses perjumpaan terjadi pada semua agama dan kepercayaan yang datang ke sebuah wilayah manusia yang telah mapan dengan kebudayaannya. Betapapun bentuk tata nilai itu, siapapun juga termasuk orang percaya (Gereja) dengan kekristenannya tidak dapat
21
Padmono SK .S.Si, artikel pribadi pandangan GKJ terhadap budaya Jawa.
15
mengatakan bahwa kebudayaan (Jawa), tempat tumbuh dan berkembangnya Injil adalah salah hanya karena yang mengembangkan adalah manusia yang menurut ajaran kristen memiliki kesalahan manusiawi. Kesalahan disini ialah agama menganggap kebudayaan merupakan suatu bentuk kesalahan karena tidak ada kehadiran Allah. Banyak contoh di Kitab Suci, hasil budi daya manusia (yang cedera itu) yang dipakai oleh Tuhan. Sistem pemerintahan kerajaan misalnya. Ketika orang Yahudi meminta raja, Tuhan pada awalnya memang murka, tetapi Tuhan mengizinkan kemudian memakai bentuk pemerintahan itu sebagai alat dan sarana Allah menyelamatkan manusia. Bahkan Tuhan sendiri yang menahbiskan (mengurapi) rajanya.Sistem pemerintahan yang
W D
dipilih oleh bangsa Israel adalah kerajaan, untuk menjawab tantangan zaman. Mereka mengakui YHWH sebagai Allah, tetapi mereka menginginkan pemimpin yang nyata, yang dapat mengatur sekaligus membawa kehidupan yang lebih baik. 22 Kendati mereka diingatkan bahwa keberadaan raja yang mereka kehendaki (1 Samuel 10:17-27), tetapi
K U
bangsa itu memilih rajanya dengan melakukan undian. Ini sebuah kebudayaan baru bagi bangsa itu. Mereka akan memiliki seorang raja, bukan sekadar seorang pengadil (hakim). GKJ Pondok Gede sebagai kelompok yang telah mengenal ajaran Kristen pastinya menyikapi dirinya sebagai orang Kristen yang memiliki budaya jawa. GKJ Pondok Gede sendiri tidak hanya berbicara mengenai ajaran Kristen itu saja melainkan bagaimana
@
kekristenan yang mereka bawa berdialog dengan kejawaan mereka sebagai sebuah budaya. Sebagai orang yang telah mengenal Allah dan juga memiliki budaya Jawa. GKJ Pondok Gede lantas tidak harus menghilangan kejawaan mereka dan beralih menjadi Kristen murni. Menurut pendapat Pdt. Em. Siman Widyatmanta, M.Th. bahwa kalau orang hanya bertolak dari bunyi ayat dalam Alkitab, sebagai indikator murid Tuhan Yesus yang setia menjadi tidak benar, karena maksudnya orang harus mengesampingkan masalah-masalah yang bersifat jasmaniah dalam mengejar serta mengutamakan soal-soal rohani.23
22
23
Kehidupan manusia di timur tengah pada waktu itu masih berbentuk klan-klan yang saling menyerang. Bangsa Israel menginginkan sebuah pemerintahan dalam rangka menghadapi bangsabangsa itu. Pdt. Em. Siman Wdyatmanta, M. Th, artikel Sikap Kristiani Terhadap Pandangan Hidup Masyarakat Jawa, dalam buku Serba-Serbi Di sekitar Kehidupan Orang Jawa: sebagai konteks berteologi, (editor: Pdt Dr. Yusak Tridarmanto), Taman Pustaka Kristen, Yogyakarta, 2012. p. 116
16
Kenyataan itu membuktikan bahwa tidak ada kebudayaan yang dapat dikatakan salah atau cedera, walaupun dihasilkan oleh manusia (yang cedera). Ketika Injil Yesus Kristus sampai ke Jawa setelah melalui berbagai proses pembudayaan. Dari Yahudi ke Yunani dan kemudian berinteraksi dengan kebudayaan Eropa. Dari perjalanan itu kita dapat melihat bahwa proses inkulturasi Injil membuahkan paham protestantisme yang rasional, individualistik, serta materialistik. Apakah kebudayaan-kebudayaan dengan berbagai corak dan karakternya itu dapat dikatakan cedera dan oleh karena itu harus dipulihkan? Karena itu kekristenan sebagai nilai yang berdasarkan Injil tidak nisbi terhadap kebudayaan.
W D
Ketika datang ke Jawa, kekristenan yang bercorak “barat” itu harus berhadapan dengan sebuah sistem tata nilai Jawa yang antara lain mengutamakan harmoni, kental dengan spiritualisme, kurang menghargakan materi dan seterusnya. Sebenarnya corak spiritualisme seperti yang ada di Jawa itu pernah hidup subur di Yunani dan cukup
K U
berpengaruh pada awal kekristenan. Namun corak yang seperti itu justru dikikis habis oleh protestantisme Barat.24 Hal sejalan dengan pendapat dari para tim peneliti Drs. Soeparman, dkk mengenai pengaruh budaya Jawa bagi kehidupan agama Kristen yang kental dengan budaya barat.
Dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa sepanjang sejarah keberadaan umat
@
Tuhan di Bumi, spiritualitas tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan etnis silih berganti. Injil atau jiwa kekristenan hanya bisa lepas dari budaya dalam pangkal meta-empiriknya yang super natural-numerus.25 Hal ini ditunjukan ketika paham monotheisme dalam ajaran Kristen berlawanan dengan ajaran agama Jawa (Kejawen) yang politheisme yang masih menyembah arwah nenek moyang. Kekristenan jelas menentang keras ketika ada masyarakat penganut agama Kristen yang masih menjalankan penyembahan kepada arwah nenek moyang.26
24
25
26
Padmono SK .S.Si, artikel pribadi Adat dan Budaya di GKJ: Padangan GKJ terhadap Budaya Jawa: sebuah catatan kritis. Drs. Soeparman, dkk. Unsur-unsur Adat Budaya Jawa Dalam Pembinaan Kehidupan Umat Kristen di Surakarta (Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Protestan Pada Perguruan Tinggi Jakarta, 1993/1994). p. 44. Ibid. p. 51
17
7.
Metodologi Penelitian
Berbicara mengenai penelitian lapangan dalam ilmu teologi seperti saat ini menurut penulis hal ini tidak dapat dipisahkan dengan pemahaman teologi praktis yang terus berkembang di
kalangan
teolog akademis.
Penelitian
ini
dimaksudkan
untuk
mengumpulkan sebanyak mungkin data dari jemaat. Metode yang dipakai dalam mengumpulkan informasi ialah metode kualitatif yang terdiri dari percakapan dengan narasumber atau wawancara dan juga angket/ kuisioner. Berdasarkan penyataan di atas,
W D
maka penulis mencoba dengan cara mengajukan sebuah dengan kuisioner kepada setiap warga Gereja.
Tujuan kuisioner tersebut untuk mengetahui kuantitas dan mengetahui sampai mana mereka sebagai warga Gereja berbudaya Jawa menghidupi kebudayaan Jawa
K U
tersebut serta demi mengetahui misi apa yang pantas bagi Gereja GKJ Pondok Gede di tengah daerah urban. Dalam hal ini penulis mencoba menggunakan sampel dengan sebagai pelengkap untuk mengetahui seberapa besar kecenderungan mereka memahami budaya mereka. Di sini proses dilakukan dengan mencari kemungkinan dalam setiap responden mengenai permasalahan yang sedang sedang saya teliti. Sampel ini di buat secara acak
@
(random) kepada setiap jemaat yang mewakilinya dengan total 80 responden dari jumlah jemaat dalam Gereja tersebut dengan berdasarkan klasifikasi usia,tingkat pendidikan, dan lama mereka tinggal di wilayah urban.
8.
Sistematika Penulisan
Bab I
Pendahuluan
18
Penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan penulisan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II
Pemaknaan Budaya Jawa dalam konteks GKJ Pondok Gede
Penulis akan memaparkan pengertian budaya secara khusus berdasarkan etimologinya dan mencoba mengkerucutkannya dalam Budaya Jawa. Sampai sejauh mana budaya Jawa itu berkembang
W D
serta di maknai dalam Gereja Kristen Jawa Khususnya GKJ Pondok Gede. Bagaimana jemaat GKJ Pondok Gede tersebut menghidupi kejawaan mereka di tengah wilayah urban. Penulis juga akan memaparkan apa fungsi dan manfaat budaya Jawa itu sendiri dalam
K U
kehidupan mereka bergereja serta kecenderungan budaya baru yang muncul berdasarkan dari hasil penelitian dari GKJ Pondok Gede.
Bab III
Identitas dan Misi Interkultural
@
Penulis akan memaparkan tinjauan secara teologis dari segi misi Gereja dalam hal ini misi GKJ serta pemahaman identitas dari GKJ Pondok Gede selaku Gereja lokal yang berada di wilayah urban.
Bab IV
Misi Interkultural oleh Jemaat Urban melalui Pembentukan
Identitas Kejawaan Baru di GKJ Pondok Gede
Penulis akan memaparkan beberapa sikap yang seharusnya diambil oleh GKJ Pondok Gede sendiri dalam menyikapi keberedaan budayanya yakni budaya Jawa di tengah wilayah urban. Bagaimana sikap jemaat GKJ tersebut dan apa misi kontektual yang pantas bagi mereka dilihat dari keberadaan dan pemaknaan kembali budaya Jawa 19
tersebut yang disesuaikan dengan keberadaan mereka yang berada di wilayah urban.
Bab V
Penutup
Penulis memaparkan kesimpulan akhir dari tulisan ini.
W D
@
K U
20