Pustaka 157 157
Pustaka Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, xi + 370 halaman. Buku ini ditulis oleh ‘Bapak’ Arkeologi Islam Indonesia yang beberapa waktu lalu telah berpulang ke hadirat Allah, yaitu Dr Uka Tjandrasasmita (8 Oktober 1930 – 22 Mei 2010). Tampaknya buku ini berniat mempertegas buku sebelumnya yang disusun oleh penulis yang sama, Penelitian Arkeologi Islam dari Masa ke Masa. Buku ini merupakan susunan dari 23 makalah yang terpilih dari 200 lebih makalah lokal, nasional dan internasional. Buku ini menyajikan suatu corak historiografi Islam Indonesia dengan menggunakan pendekatan arkeologi. Sebelumnya, sejarah Islam Indonesia lebih sering ditulis dengan bersandar pada buktibukti tertulis semata, sementara bukti-bukti berupa artefak atau material cenderung terlupakan. Di buku ini, sisa-sisa peninggalan masa lampau Islam yang terabaikan itu justru menjadi sumber utama bagi historiografi. Didasarkan pada bukti-bukti arkeologis, penulisan sejarah Islam Indonesia memperoleh fondasi yang kuat untuk menjelaskan masuknya Islam ke Nusantara, terbentuknya watak kosmopolitanisme dan dinamika lokal yang terjadi, sampai berlangsungnya proses akulturasi budaya. Diperkaya oleh khazanah naskah Nusantara yang sangat kaya, arkeologi Islam menjadi suatu bidang kajian yang dapat dipertanggungjawabkan untuk merekonstruksi sejarah umat Islam Indonesia. Arkeologi menjadi tumpuan untuk penelitian prasejarah, tetapi juga pada masa-masa setelah itu, seperti pada kasus sejarah awal masuknya Islam ke Nusantara. Arkeologi juga disebut “anthropology of the past”, khususnya sejarah yang berkaitan dengan material culture yang, sekali lagi, sangat penting dalam merekonstruksi “sejarah total” (total history). Uka Tjandrasasmita adalah arkeolog pertama yang berani menerobos masuk ke wilayah kajian sejarah yang sebelumnya jarang disentuh: arkeologi Islam. Ia memiliki bekal yang cukup untuk melakukannya: keahlian bidang arkeologi, penguasaan berbagai
158 158 ¢u¥uf, Vol. 3, No. 1, 2010 bahasa penunjang, kejelian dan ketajaman analisis seorang peneliti sejarah. Menyebutnya sebagai pelopor arkeologi Islam di Indonesia adalah bagian upaya menghargai ketekunannya sebagai seorang penulis. Arkeologi Islam Nusantara terdiri dari empat bagian. Bagian pertama membahas hubungan Nusantara pada masa lalu dengan negara-negara asing seperti Tiongkok, Portugis, Arab, dan lainnya. Bagian pertama lebih menitikberatkan pada sejarah masuknya Islam ke Nusantara serta hubungannya dengan negara-negara luar yang sudah memiliki peradaban lebih lama. Analisis pada bagian ini dan juga bagian lainnya menggunakan data-data arkeologis. Pada bagian dua, buku ini mulai masuk ke kajian wilayahwilayah Nusantara, mulai Cirebon, Banten, Batavia, Jambi dan beberapa kota lainnya. Persinggungan antara arkeologi dengan pernaskahan dibahas pada bagian tiga, terutama subbab berjudul “Jejak Arkeologi Islam dalam Naskah Islam Nusantara”. Naskah Nusantara memuat informasi lebih banyak daripada sastra yang bersifat terbatas. Naskah mengandung hal-hal yang terdapat dalam disiplin ilmu seperti agama, sejarah, adat istiadat, obat-obatan, teknologi dan informasi lain. Studi arkeologi Islam perlu menggunakan naskah-naskah Islam, terutama naskah-naskah yang berisi peristiwa sejarah dan aktivitas budaya masyarakat pada masa lampau. Naskah-naskah seperti riwayat atau babad, hikayat dan tambo yang seharusnya digunakan untuk studi arkeologi Islam di Indonesia, biasanya merupakan produk dari periode pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Islam. Naskah juga secara tersurat maupun tersirat memberitakan juga letak suatu bangunan berada. Naskah Sajarah Banten dan Hasanuddin menerangkan tempat kuburan raja-raja Kesultanan Banten; naskah Babad Tanah Jawi dan Babad Demak menjelaskan posisi makam sultan Demak; dan dari naskah Hikayat Aceh dan Hikayat Bustanussalatin diketahui tempat makam sultan Aceh. Begitu juga tempat atau situs makam raja dari kerajaan lain di Nusantara dapat diketahui dari informasi yang tergambar dalam naskah-naskah yang ditulis oleh masyarakat lokal. Contohnya, Hikayat Banjar, Hikayat Hitu, Hikayat Kutai, Syair Kerajaan Bima, dan Hikayat Talo. Pada bagian empat, bagian terakhir buku, dipaparkan tentang dinamika pembentukan dan pewarisan kebudayaan Islam di Nusantara. Mengenai Aceh, penulis memaparkan bahwa masjid, sekolah
Pustaka 159 159
dan pasar betul-betul menjadi pusat interaksi antarbangsa, antara lain dengan orang Arab dan Persia. Bahkan dikatakan bahwa di dalam tentara Aceh terdapat orang-orang dari Turki, Malabar, Abessinia, Luzon dan Borneo. Selain itu juga dipaparkan tentang dinamika institusi kebudayaan di Indonesia antara lain dinamika berdirinya Museum Nasional, Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, dan lain-lain.[] Abdul Hakim * Syamsul Munir Amin, Sayyid Ulama Hijaz, Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani, Yogyakarta: LKiS, xiv + 128. Sosok Syaikh Nawawi sebagai—menurut istilah Prof. Abdurahman Mas`ud—an intellectual master of the pesantren tradition, senantiasa menarik untuk ditulis. Nama Syaikh Nawawi sangat melekat di kalangan kiai dan santri di Indonesia, karena hampir semua kiai di Jawa memiliki genealogi intelektual yang sama-sama bermuara pada Syaikh Nawawi. Karya-karyanya menjadi khazanah dan mutiara berharga bagi intelektual Islam di Nusantara. Naskah buku ini pada awalnya merupakan skripsi penulis. Kemudian selama lebih dari 15 tahun disempurnakan dengan sumbersumber lebih akurat. Pada bagian pertama buku ini dibahas tentang situasi Banten pada masa awal pembentukan kesultanan Islam Banten hingga masa kelahiran Syaikh Nawawi. Syaikh Nawawi lahir di Banten pada tahun 1230 H (1814 M), putra dari Kiai Umar Tanara yang masih memiliki garis keturunan dari Sultan Maulana Hasanuddin dan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sebelum berangkat ke Mekah untuk belajar, Nawawi kecil sudah berguru kepada beberapa ulama di Jawa, antara lain ayahnya sendiri Kiai Umar serta kepada Raden Haji Yusuf (pemimpin sebuah pesantren di Purwakarta). Nawawi berangkat ke Mekah pada usia 15 tahun, 2 tahun sepeninggal ayahandanya tercinta. Sempat pulang dan menetap beberapa tahun di Banten. Kemudian karena tidak cocok dengan situasi lingkungan saat itu, pada tahun 1855, ia kembali berangkat ke Mekah dan menetap di sana hingga akhir hayatnya (hlm. 24).
160 160 ¢u¥uf, Vol. 3, No. 1, 2010 Abad ke-18 hingga awal abad ke-20 merupakan era emas hubungan intelektual antara Nusantara dengan Timur Tengah. Sebeum Syaikh Nawawi belajar di Mekah, banyak ulama Nusantara yang juga belajar di sana, antara lain Syaikh Muhmmad Arsyad alBanjari (Kalimantan), Syaikh Daud bin Abdullah al-Fatani, Syaikh Ahmad Khatib, dan Syaikh Abdussamad al-Falimbani. Syaikh Nawawi berguru kepada ulama besar Hijaz di antaranya Syaikh Sayyid Ahmad an-Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib al-Hambali, Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbalaweni, dan Abdul Hamid ad-Daghestani. Syaikh Nawawi menguasai berbagai bidang ilmu keagamaan yang tidak hanya ia ajarkan, tetapi juga ia tuangkan dalam bentuk buku. Buku-buku karyanya mencapai jumlah lebih dari 100 buah kitab. Karya Syaikh Nawawi banyak digunakan di banyak lembaga pendidikan, baik di Nusantara maupun Timur Tengah. Dalam bidang tafsir, karya monumentalnya adalah Tafsīr al-Munīr li Ma‘ālim at-Tanzīl (dikenal Tafsīr al-Munīr). Karya tafsir ini yang kemudian menjadikan Syaikh Nawawi bergelar Sayyid Ulama Hijāz. Karya Syaikh Nawawi dalam bidang tasawuf dan akhlak di antaranya Sullām at-Taufīq, Na¡ā’i¥ al-‘Ibād, Mi¥bāh as-Salām, Sullām al-Fu«alā’, Syar¥ Murāqī al-‘Ubūdiyah. Dalam bidang fiqih Syaikh Nawawi menulis buku Syar¥ as-Sulām, Nihāyat azZain fi Irsyād al-Mubtadi’īn, al-Wa¡ī ‘ala Fat¥ al-Qarīb, Sullām at-Taufīq, ‘Uqūd al-Lujjain. Syaikh Nawawi juga menulis karya dalam bidang teologi, yakni Fat¥ al-Majīd. Selain menulis buah pikirannya sendiri, Syaikh Nawawi juga mensyarah kitab-kitab karya ulama besar Islam seperti milik Ibnu Hajar. Kehidupan Syaikh Nawawi di Mekah, seperti dikemukakan di atas, ada pada bagian kedua buku ini. Pada bagian ketiga, dibahas ketokohan Syaikh Nawawi baik terlihat dari perannya dalam bidang pendidikan, tulisan-tulisannya maupun ketokohan murid-muridnya. Di antara ulama Nusantara yang pernah berguru kepadanya adalah K.H. Hasyim Asy‘ary, K.H. Ahmad Dahlan, Kiai Kholil (Bangkalan), Kiai Asnawi (Caringin, Banten), Kiai Asnawi (Kudus), Kiai Mahfudz (Termas, Pacitan), Kiai Wasit (Cilegon), Kiai Nasihin (Tangerang), Kiyai Asy‘ari (Bawean) Abd. Sattar al-Dahlawi (India). Bagian terakhir buku membahas tentang pikiran-pikiran Syaikh Nawawi tentang dakwah.
Pustaka 161 161
Buku ini juga menuliskan beberapa fakta yang jarang diketengahkan oleh penulis lain, yaitu fakta bahwa Syaikh Nawawi adalah seorang penghafal Al-Qur'an. Tidak ada sumber tertulis yang memberitakan hal ini kecuali Snouck Hurgounje. Ia diutus secara khusus oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk mempelajari pergerakan orang-orang Indonesia di Timur Tengah. Salah satunya adalah Syaikh Nawawi. Selama enam bulan pengamatannya, ia menuliskan bahwa selain mendalami Al-Qur'an secara sempurna, Syaikh Nawawi juga menghafalnya (hlm. 46). [] Abdul Hakim * Syihabuddin Qalyubi, Stilistika Al-Qur'an, Makna di Balik Kisah Ibrahim, Yogyakarta: LKiS, 2009, xiv + 258. Kisah dalam Al-Qur'an termuat dalam 35 surah dan sebanyak 1.600 ayat. Kisah-kisah tersebut menggunakan bahasa yang sangat variatif – perintah ataupun ajaran moral disampaikan secara tidak langsung sehingga pesan yang disampaikan kepada manusia sebagai penikmat sekaligus sasaran kisah ini akan lebih mengena. Sayangnya, ayat-ayat yang hampir mendominasi isi Al-Qur'an ini kurang mendapat perhatian peneliti dibandingkan perhatian mereka terhadap ayat-ayat hukum, teologi, dan lainnya. Al-Qur’an adalah teks yang mengandung sesuatu yang dapat memikat pembaca atau pendengarnya. Tanpa paksaan dogmatis yang menganjurkan orang untuk mengimaninya pun, faktor inheren dalam Al-Qur'an itu sendiri sudah memikat. Meskipun Al-Qur'an memiliki daya pikat yang kuat terhadap pendengar dan pembacanya, banyak orang yang tidak mampu menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Ketidakmampuan ini akan menghalangi pembaca untuk memahami kandungan Al-Qur'an. Padahal, sebagai hudan (petunjuk), seharusnya Al-Qur'an tidak hanya menjadi bahan bacaan semata, tetapi juga dipahami, dinikmati dan diamalkan. Hal ini merupakan problem tersendiri. Untuk mengatasi problem itu diperlukan seperangkat ilmu, salah satunya adalah stilistika. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa yang digunakan dalam karya sastra. Ilmu ini dipopulerkan oleh Charless Bally (1865-1947) murid dari pelopor aliran strukturalisme, Ferdinand de Saussure (1857-1913). Stilistika juga berbeda dengan balāgah dan kritik sastra. Objek kajian stilistika dan kritik sastra
162 162 ¢u¥uf, Vol. 3, No. 1, 2010 satu, yaitu karya sastra. Hanya saja, stilistika menghilangkan kajian historis dan konteks sosial politik dari suatu karya sastra. Stilistika Al-Qur'an adalah ilmu yang digunakan dalam sastra Al-Qur'an. Stilistika berusaha mendapatkan jawaban, mengapa pengarang dalam mengekspresikan dirinya justru memilih caranya yang khas? Apakah pemilihan cara tersebut untuk mencapai tujuan tertentu? Dan efek apa yang dapat ditimbulkannya terhadap makna? Sebagai sebuah disiplin ilmu, stilistika memiliki kekurangan dan kelebihan. Kelebihannya, yaitu dapat menguak aspek-aspek keindahan teks dengan berusaha memahami kandungan teks. Selain itu, stilistika juga dapat memperlihatkan pikiran penulis, makna kata, dan konteks suatu teks. Adapun kekurangannya terjadi pada pengambilan sampel yang terkadang tidak representatif, sehingga tidak sampai pada konklusi yang benar-benar menggambarkan karya sastra secara keseluruhan. Kekurangan itu bisa dikurangi dengan berprinsip pada kaidah le style est l’homme meme (gaya adalah orangnya itu sendiri). Studi stilistika menjelaskan preferensi penggunaan lafal atau struktur bahasa sehingga bisa diketahui ciri-ciri stilistika (stylistic features) yang membedakan antara satu karya dengan karya lainnya. Cara ini dapat bersifat fonologis, leksikal, diksi dan frekuensi penggunaan lafal tertentu. Objek kajian ini bertumpu pada bentuk cara pemaparan gagasan, peristiwa, atau suasana tertentu pada sebuah karya sastra dengan mengkaji potensi-potensi bahasa yang dieksploitasi pengarang untuk tujuan tertentu. Buku ini pada awalnya adalah disertasi. Pembahasan pada buku ini disajikan dalam empat bab. Pada bab pertama, pembaca akan diajak menyelami wacana stilistika sebagai sebuah disiplin ilmu. Bab kedua memaparkan stilistika unsur-unsur pembentuk wacana kisah Ibrahim, juga membahas aspek leksikal, gramatikal, gaya bahasa retoris dan kiasan, serta kohesi. Bab ini merupakan aplikasi teori yang dibahas sebelumnya. Setelah tuntas pembahasan mengenai kisah Ibrahim berdasarkan unsur-unsur pembentuk wacananya, dilanjutkan dengan wacana kisah Ibrahim secara keseluruhan pada bab berikutnya. Bab ketiga berisi stilistika wacana kisah Ibrahim. Bab ini meliputi gaya pemaparan kisah, gaya dialog, dan gaya repetisi. Pada bab ini kisah Ibrahim juga dianalisis secara menyeluruh
Pustaka 163 163
sehingga diperoleh informasi tentang kekhasan kisah Ibrahim secara keseluruhan. Bab keempat penutup. [] Abdul Hakim * W.P. Groenevelt, Nusantara dalam Catatan Tionghoa, (Penerjemah: Gatot Triwira), Depok: Komunitas Bambu, 2009, xxiv + 216 hlm. Buku ini adalah terjemahan sebuah naskah tua. Pertama kali muncul sebagai sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Verhandelingen van he Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Proceeding of the Batavian Society of Arts and Sciences) Jld. XXXIX, tahun 1880. Naskah ini kemudian terkenal dengan titel Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled fom Chinese Sources. Sebelum Asia Timur ditemukan oleh orang Eropa, sangat sedikit diketahui informasi mengenai sejarah, geografi dan penduduknya. Narasi-narasi tidak lengkap para pengelana Arab pada abad kesembilan, catatan perjalanan Marco Polo dan Ibnu Batutah merupakan karya awal yang terpenting. Namun, di tengah minimnya data sejarah, terdapat kekaisaran Tiongkok dengan kebudayaannya yang kuno. Kekaisaran ini belum pernah terputus dan memiliki literatur lengkap dalam berbagai subjek. Literatur ini sama tuanya dengan kekaisaran Tiongkok dan diturunkan dari generasi ke generasi tanpa terputus. Literatur ini merupakan sumber pengetahuan Asia Timur, khususnya Nusantara, yang ingin dicari. Tidak seperti kawasan terdekat dengan Tiongkok, Nusantara mendapatkan perhatian yang terlambat. Hal ini dikarenakan lokasinya cukup jauh dari Tiongkok, tidak terlalu dikenal dan kurang mendapat tempat dalam literatur geografi Tiongkok. Setelah Tiongkok mengenal daerah di dekatnya, barulah informasinya bertambah. Buku ini dikhususkan untuk mencari data sejarah mengenai kepulauan Jawa, Sumatra, Bali dan Borneo (Kalimantan). Pengumpulan data-data terkait wilayah tersebut dilakukan dengan penerjemahan tujuh buah buku catatan Cina dan pengkajian 17 buku lainnya (tidak diterjemahkan). Di antaranya, pertama, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra), buku ini terbit pada tahun 1416, ditulis oleh Ma Huan. Dalam kata pengantarnya,
164 164 ¢u¥uf, Vol. 3, No. 1, 2010 ia menyatakan bahwa ia dikirim bersama Zheng He (Cheng Ho) ke negeri-negeri asing pada 1413, karena ia bisa menerjemahkan buku-buku berbahasa asing. Ma Huan adalah seorang Tiongkok muslim dan bisa berbahasa Arab. Kedua, Xingcha Shenglan (Catatan Umum Perjalanan di Lautan), terbit pada 1436, ditulis oleh Fei Xin. Dalam waktu 20 tahun ia empat kali dikirim ke luar negeri bersama Zheng He. Penulis buku kedua ini juga seorang muslim dan ahli bahasa Arab. Ketiga, Fo Go Ji (Catatan Negara-negara Buddhis), ditulis oleh seorang Budhis bernama Faxia. Pada tahun 400 ia melakukakn perjalanan darat dari Tiongkok menuju India untuk mencari buku-buku agama Buddha. Ia kembali ke Tiongkok melalui lautan dan singgah di Srilanka dan Jawa. Buku-buku lainnya, yaitu Hai Yu (Berita tentang Lautan), tahun 1537; Dong Xi Yang Kao (Telaah Samudra Timur dan Barat), tahun 1618; Taiping Huanyu Ji (Geografi Dunia), tahun 976-983. Catatan pertama tentang Jawa ditemukan dalam catatan perjalanan seorang biksu bernama Faxian. Dalam perjalanan pulangnya melalui lautan, ia mengunjungi Jawa pada tahun 414 (h. 11). Dalam catatannya, ia menjelaskan bahwa Jawa adalah sebuah pulau yang berjarak 90 hari pelayaran. Di negara ini banyak para penyembah berhala dan penganut Hindu, tetapi sedikit sekali penganut Buddha. Setelah tinggal selama lima bulan, Faxian melanjutkan perjalanannya. Ejaan “Jawa” dalam catatannya adalah Ya-va-di. Nama ini, yang ditulis Jabadiu oleh Ptolemaeus, mungkin merupakan kependekan dari Yava Dwipa (h. 11). Hal penting lainya, yaitu hubungan negara Jawa dengan Tiongkok. Tiap masa tertentu negara Jawa harus mengirimkan upeti kepada kekaisaran Tiongkok. Pengingkaran kewajiban ini bisa berakibat pembumihangusan negara Jawa. Catatan Yingya Shenglan meceritakan bahwa penduduk Jawa terdiri atas tiga kelompok. Pertama, kaum muslim yang datang dari barat dan menetap di sini. Pakaian dan makanan mereka bersih dan layak. Kedua, orang Tionghoa yang datang dari Guangdong, Zhangzhou dan Quanzhou (dekat Fujian dan Xiamen). Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan menetap di Jawa. Apa yang mereka makan dan gunakan juga sangat bagus. Banyak di antara mereka yang memeluk agama Islam dan menjalankan ajarannya. Kelompok ketiga adalah penduduk pribumi. Mereka sangat jelek dan kotor. Kepala mereka tidak pernah dikeramas dan mereka bepergian dengan telanjang kaki; percaya takhayul; negara mereka
Pustaka 165 165
disebut negara setan dalam buku-buku Buddhis; makanan mereka sangat kotor seperti ular, semut dan segala macam serangga; mereka memelihara anjing dalam rumah dan tidur serta makan bersama mereka (h. 68). Selain catatan tentang Jawa ada juga tentang Bali. Negara ini mulai dikenal dalam catatan Tiongkok abad ke-7. Bali disebut dengan Dva-ba-dan terletak di selatan Kamboja dan berjarak dua bulan perjalanan laut. Negara ini terletak di sebelah timur Jawa dan sebelah barat Ma-li-ju. Mereka memiliki huruf yang mereka tulis di atas daun patra (lontar). Terkait adat-istiadatnya, dijelaskan bahwa jika salah seorang warganya meninggal dunia, mereka mengisi mulutnya dengan emas dan mengenakan gelang emas di kaki dan tangannya. Setelah memberikan minyak kamper, kapur barus dan minyak wangi lainnya, mereka menumpuk kayu bakar dan membakar jenazahnya (h. 82).[] Abdul Hakim. * Mahir al-Munajjad, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer (terj. Munāqasyāt al-Iskāliyah al-Manhajiah fi alKitāb wa al-Qur’ān: Dirāsah Naqdiyah), Yogyakarta: eLSAQ Press, Cetakan I, Mei 2008, xiii + 184 hlm. Diskursus seputar metodologi penafsiran Al-Qur’an tak mengenal kata usai. Hal ini dikarenakan, pertama, keyakinan bahwa AlQur’an adalah ¡ālih li kulli zamān wa makān (relevan bagi setiap ruang dan waktu). Kedua, bahwa Al-Qur’an selalu menampilkan pemaknaan (sisi lain) yang berbeda dengan penafsiran sebelumnya. Hal inilah kiranya, yang menjadikan para sarjana muslim termotivasi untuk terus menawarkan metodologi-metodologi baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Pada tahun 1990-an, dunia pemikiran Islam, khususnya di Timur Tengah, diguncangkan dengan terbitnya sebuah buku yang sangat kontroversial karya Muhammad Syahrur, yaitu al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu‘ā¡irah. Buku tersebut mencoba menawarkan metodologi baru dalam menafsirkan Al-Qur’an, khususnya dalam rangka merespon problematika kontemporer, seperti teologi, hukum, gender, politik, dan HAM. Persentuhannya dengan berbagai persoalan yang sensitif terkait konsep-konsep pemaknaan Al-
166 166 ¢u¥uf, Vol. 3, No. 1, 2010 Qur’an serta gagasan yang relatif berbeda dengan mainstream pemikiran sarjana muslim sebelumnya telah memancing pro dan kontra. Buku ini merupakan salah satu respon terhadap karya Syahrur tersebut. Yang menarik dari buku ini, bahwa Munajjad mencoba konsisten mengkritisi karya Syahrur melalui perspektif dan metodologi yang digunakan Syahrur sebagaimana yang dipaparkan dalam pengantar bukunya. Munajjad juga mencoba melacak kembali postulat-postulat pengetahuan yang dirujuk Syahrur sehingga buku tersebut dapat dikaji secara objektif, kritis, dan komperhensif dengan tetap menjaga hak-hak ilmiahnya. Hal inilah yang membedakan buku ini dengan kritikus-kritikus Syahrur sebelumnya yang cenderung parsial dan bertumpu pada produk pemikiran, bukan metode yang melingkupi pemikiran tersebut, sehingga kritik-kritik tersebut tampak lemah di hadapan argumentasi Syahrur. Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menguraikan dengan singkat namun padat mengenai bangunan pemikiran dan metodologi Syahrur. Beberapa poin penting yang dideskripsikan dalam bagian ini antara lain, pemaknaan kembali konsep a©©ikr yang oleh Syahrur tidak sekadar dipahami sebagai nama lain dari Al-Qur’an, tetapi sebagai landasan epistimologi bahwa memahami Al-Qur’an adalah mungkin; pembahasan tentang dialektika alam dan manusia, salah satu tema kontroversial yang disoroti adalah pembedaan Syahrur tentang konsep al-basyar dan al-insān; dan penjelasan tentang umm al-kitāb yang dimulai dengan penjelasan dasar-dasar teori fiqh baru dengan menggunakan alat bantu analisis matematis (persamaan fungsi) yang dipakai sebagai pijakan teori batas dalam tasyrī’, ibadah, dan posisi hukum maksimal dan minimal; pembahasan mengenai berbagai keinginan manusia (as-syahwāt al-insāniyah). Syahrur membedakan antara syahwat dan garīzah. Garīzah adalah kesenangan tanpa sadar yang bersumber pada kebutuhan fisiologis saja, sedangkan syahwat adalah kesenangan yang tumbuh dari pengetahuan/episteme sosial. Pada bagian kedua buku ini, Munajjad mencoba melengakapi pembahasan kajianya dengan menampilkan kutipan-kutipan kritik yang pernah disampaikan oleh para sarjana muslim sebelumnya, antara lain, Naim al-Yaqi, Muhammad Said Ramadhan al-Buti, Syauqi Abu Khalil, Nasr Hamid Abu Zaid, dan Salim al-Jabi. Namun, ragam kritik tersebut, sebagaimana telah disampaikan,
Pustaka 167 167
masih banyak bertumpu pada produk pemikiran, bukan metodologi yang melingkupi karya Syahrur tersebut. Pada bagian ketiga buku ini Munajjad mencoba mengurai kesesatan metodologi pembacaan Syahrur serta kerancuan-kerancuan pemikirannya. Uraian tersebut dimulai dengan pemetaan acuan metodologis Syahrur dalam karyanya, sebagai berikut: (1) merujuk secara umum kepada linguistik Arab; (2) bersandar kepada aliran linguistik Abu ‘Ali al-Farisi yang diperbaharui oleh al-Jurjāni dan Ibnu Jinni; (3) bersandar pada syair Arab jahiliyah; (4) merujuk pada produk linguistik modern dan menolak sinonimitas dalam bahasa; (5) menjadikan kamus Maqāyis al-Lugah sebagai rujukan utama, namun tidak mengabaikan kamus lain; (6) mengasumsikan ajaran Islam selalu relevan di setiap tempat sepanjang zaman; (7) seluruh informasi Al-Qur’an dapat dipahami; dan (8) lebih menghargai sikap kritis-logis daripada sikap antipati-emosional. Selanjutnya, Munajjad menjadikan acuan metodologis tersebut sebagai focus kritiknya, sehingga ditemukan 15 kerancuan metodologi Syahrur, sebagai berikut, (1) perusakan karakter dalam sistem bahasa Arab; (2) ketidakmampuan dalam membaca kamus dan memahaminya serta melakukan penafsiran kata-kata dengan salah; (3) kontradiksi dengan kamus Maqāyis al-Lugah karya Ibn Faris dan mengabaikan kamus-kamus lain; (4) pemalsuan informasi dan klaim terhadap data yang tidak ada; (5) kontradiksi terhadap teori al-Jurjāni tentang sistem bahasa; (6) pengabaian ilmu saraf dan percabangan kata yang ditokohkan oleh Ibn Faris dan Ibn Jinni; (7) kontradiksi terhadap data-data dari syair jahiliyah; (8) melecehkan rasionalitas pembaca dan mengabaikan metode ilmiah; (9) memanipulasi karakter ilmiah dan kebenaran terhadap hipotesa dan proposisi tertentu; (10) berangkat dari pemikiran marxisme dan memaksa ayat-ayat Al-Qur’an untuk meligitimasi pendapatnya; (11) menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai kamuflase terhadap pemikiran dan pendapatnya, memporak-porandakan formasi bahasa dalam ayat dan makna yang disertakan dari luar konteknya; (12) memanfaatkan ilmu matematika dan istilah-istilah teknologi untuk memengaruhi inferioritas pembacanya; (13) meletakkan dasar teori fiqh secara rapuh; (14) menetapkan kesimpulan terlebih dahulu sebelum melontarkan hipotesa dan memaparkan berbagai proposisi yang saling tidak berhubungan dan tidak dapat dinalar; serta (15)
168 168 ¢u¥uf, Vol. 3, No. 1, 2010 tidak memiliki kepercayan ilmiah dan tidak adanya referensi yang jelas. Meskipun buku ini berusaha mengajak pembacanya untuk antipati terhadap karya Syahrur, namun hal tersebut hanyalah sekadar opini pribadi penulisnya, yang mungkin benar atau salah. Selama berpijak pada argumen ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, para pembaca boleh sependapat atau tidak.[] Bagus Purnomo