TUT SUGI MISTERI TANAH PARA DEWA
PUSTAKA EKSPRESI
MISTERI TANAH PARA DEWA @ Tut Sugi Penerbit: Pustaka Ekpresi Jl. Diwang Kangin No.54 Br. Lodalang, Kukuh, Marga Tabanan, Bali HP: 082338722483 Email:
[email protected] Desain Sampul: Wahyudi Kaliaja Tata Letak: Tut Sugi Cetakan Pertama: Oktober 2015 ISBN: 978-602-7610-49-1
2
Untuk puteriku terkasih: Putu Prashanti Satya Devi
3
BUKU PERTAMA
CLARA
4
Pesawat Yang Aneh
M
alam turun perlahan menyebarkan gelap ke segenap ruang di bumi. Bulan yang bulatnya belum sempurna bertengger di langit sebelah timur pada ketinggian sekitar enam puluh derajat, menjelmakan lukisan alam dalam nuansa kuning dibalut kelembutan atmosfir yang hening menyejukkan. Senantiasa ada yang baru yang bisa kunikmati di pulau yang unik ini, yang melimpahiku dengan pengalaman yang tak akan pernah kulupakan.
5
Siapa yang dapat menyalahkanku kalau aku sampai berulang-kali bertandang ke sini? Naluri petualang yang ada pada diriku selalu merasa tertantang untuk menjelajahi setiap jengkal tanah para dewa yang menyimpan banyak misteri ini. Tiupan angin pantai membuat barisan pohonpohon kelapa tampak bagaikan sekelompok penari yang tengah mempertontonkan gerakan-gerakan yang gemulai, sementara permukaan laut bersepuh emas diterpa cahaya bulan. Sebenarnya aku enggan bergeser dari balkon hotel tempatku menginap, tetapi aku harus segera turun biar tidak ketinggalan acara buffet dinner, sebuah acara makan malam yang aku harapkan akan memberikan pengalaman yang berbeda. Waktu check-in tadi siang, salah seorang petugas di kantor depan menanyaiku apakah aku ingin ikut acara makan malam spesial. “Spesialnya apa?” tanyaku ingin tahu. “Anda akan menikmati makam malam di alam terbuka dengan santai sambil menikmati hiburan yang kami suguhkan.” “Hiburan macam apa?” “Tari Bali.” Karena kedengarannya menarik maka kuputuskan untuk mendaftar. * Kulihat orang-orang pada mengarahkan langkah menuju ke tempat diselenggarakannya acara 6
makan malam spesial itu. Sekitar lima puluh meter dari situ terbentang laut yang ombaknya tak pernah berhenti berdebur, seperti menyimpan misteri yang menantang untuk disingkap. Tanpa kusadari aku berdecak kagum ketika berdiri pada antrian, menunggu giliran mengambil makanan yang terhidang di atas meja panjang yang dilapisi kain bercorak kotak-kotak hitam putih menyerupai papan catur. Tiba-tiba seorang lelaki bule tanggung, mengenakan kaos oblong dan celana pantai, menyerobot di depanku tanpa basa-basi. Seketika aku tegur dia. “Hei, apa yang Anda lakukan?” Dia menoleh ke belakang sejenak lalu menyahut dengan cuek. “Saya kira Anda lebih suka melamun daripada ikut makan malam.” “Sialan! Anda datang dari negara mana sih?” “Bukan urusan Anda.” Aku tidak menyangka kalau ada orang arogan begini di tempat semacam ini. Namun aku berusaha menahan diri. Ya, memang bukan urusanku dari mana pun ia berasal. Mungkin ia datang dari negeriku juga. Pernah kudengar bahwa turis macam dia konon datang dari tataran bawah sehingga perilakunya pun menunjukkan kelasnya. Dan aku harus mafhum, halhal seperti itu sangat mungkin terjadi di lingkungan hotel yang tidak tergolong mewah ini. Ah, apa peduliku dengan semua itu? Setiap orang berhak menikmati hidupnya dengan caranya 7
sendiri, hanya saja aku tidak setuju dengan sikapnya yang tidak sopan itu. Keluar dari antrian dengan piring penuh, aku melangkah tertegun-tegun, menimbang-nimbang di mana sebaiknya duduk. Acara ini memang dibuat lain dari yang lain, mejanya tidak diberi nomor. Aku tidak mau duduk terlalu jauh dari panggung pertunjukan. Ketika kulihat sebuah meja kosong di bawah sebatang pohon waru, aku bergegas ke sana. Tetapi, dalam waktu yang sama seorang pria jangkung berwajah klimis, mengenakan baju barong yang pasti ia beli dari toko cinderamata, juga mengarahkan langkahnya ke situ. “Do you want this table?” tanyanya ketika kami sama-sama hendak meletakkan piring makanan. “Ya,”sahutku, “and you?” “Kalau tidak keberatan…?” “Oh, tidak. Bukankah meja ini cukup lebar untuk kita berdua?” “Tentu saja.” Ia mulai duduk. “Saya Michael,” ia memperkenalkan diri. “Nama Anda?” “Clara,” jawabku sambil menggeser kursi yang hendak kududuki. “Anda dari mana?” “London, dan Anda?” “Darwin.” “Hm, lumayan dekat dari Bali, masih bertetangga.” Aku tersenyum. “Ya, begitulah.” Seorang pelayan laki-laki muncul, mengenakan destar di kepala dan kain endek khas Bali warna biru. Ia mengucapkan permisi dengan ramah lalu 8
meletakkan toples kecil berisi gula di atas meja kami. Setelah ia berlalu, kami mulai bersantap, sementara gamelan mulai ditabuh di atas panggung. Panggungnya dibuat sekitar setengah meter lebih tinggi dari permukaan lantai tempat kami menikmati makan malam. Di bagian belakang panggung, tegak gapura khas Bali yang disebut candi bentar dengan berbagai bentuk hiasan dari janur yang pasti dibuat oleh tangan-tangan terampil pemuja keindahan. Laki-laki yang duduk di depanku tampak tergesa-gesa menyelesaikan makannya. Aku tidak tahu apakah karena ia begitu lapar atau ingin menikmati pertunjukan dengan perhatian penuh. Beberapa kali kudapati ia melemparkan pandang ke arah panggung. Tetapi karena belum ada penari yang muncul, akhirnya ia berpaling lagi padaku. “Anda pernah ke Bali sebelumnya?” “Ini kali yang keempat,” jawabku dengan nada bangga. “Bukan main. Untung saya tak kehilangan kesempatan untuk berada di sini.” “Kenapa?” “Saya baru habis ikut konferensi di Tokyo dan hampir terbujuk ikut seorang teman berkunjung ke tempat lain.” “Oh, rupanya saya sedang ngobrol dengan seorang pakar,” kataku menyanjung. “Saya hanya seorang dosen yang menjalankan tugas,” elaknya merendah.
9
Gamelan berhenti sejenak, seperti memberikan kesempatan kepada kami untuk menghela nafas panjang. Tabuh berikutnya terdengar begitu dinamis dan membangkitkan rasa riang. Beberapa saat kemudian muncul seorang penari wanita di atas panggung, mempertunjukkan gerakan-gerakan yang lincah dengan kostum yang berhiaskan manik-manik berwarna-warni. Michael tampak begitu terkesima. “Luar biasa,” pujinya. “Apa Anda bisa menggerakkan mata seperti itu?” tanyanya padaku. “Pasti bisa, kalau saya lahir di sini,” kilahku seraya tersenyum. “Oh, sebaiknya saya bikin beberapa foto. Maaf, saya mau ambil tustel sebentar.” Michael setengah berlari ke kamarnya. Selang beberapa lama ia kembali dengan nafas ngos-ngosan dan memperlihatkan wajah yang menyiratkan kebingungan. Di lehernya menggelantung sebuah kamera SLR warna hitam. “Apakah Anda baik-baik saja?” aku manatapnya sedemikian rupa seperti ada sesuatu yang aneh pada dirinya. “Ya,” sahut Michael cepat. “Saya baru saja melihat sesuatu yang luar biasa.” “Bali memang luar biasa,” tanggapku enteng. “Tapi ini beda. Saya bahkan ragu bilang pada Anda, kuatir Anda tidak percaya.” “Katakanlah, apa yang Anda lihat?” “Sebuah pesawat terbang yang aneh.”
10