TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA KONSEP TEKNOLOGI PENDIDIKAN Oleh Prof.Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc. Pendahuluan Tumbuh dan berkembangnya suatu konsep tidak akan terlepas dari konteks dimana konsep itu dapat tumbuh, serta apa dan bagaimana awal perkembangan konsep itu sendiri. Misalnya konsep “sekolah” yang merupakan lembaga khusus untuk menyelenggarakan pendidikan akan dapat tumbuh bilamana konteks masyarakat memungkinkannya (adanya kebutuhan yang dirasakan oleh anggota masyarakat, adanya tenaga professional yang mengelola dsb.). Dalam bahasa keseharian, konteks dapat dianalogikan dengan “lahan”, dan awal konsep rumusan konsep dianalogikan dengan “benih”. Sehingga lahan yang masih kosong dapat ditumbuhkan benih di dalamnya. Setiap konsep tentu memerlukan “istilah” atau “nama” yang diciptakan sebagai lambang untuk mengidentifikaksi konsep yang dimaksud (seperti misalnya istilah “sekolah”), dan untuk mengkomunikasikan gagasan yang ada di dalamnya. Istilah itu harus menunjukkan “gagasan” yaitu gambaran mental mengenai sesuatu gejala, dan harus pula mewakili adanya sejumlah “rujukan” yaitu gejala konkrit yang dapat dikenal dengan penginderaan. Sedangkan gagasan mengarahkan (memberikan batasan) pada sejumlah kenyataan yang terdapat dalam rujukan. Oleh Ogden dan Richard seperti dikutip Mayer dan Greenwood (1984) konsep itu dijelaskan dengan segitiga acuan yang digambarkan sebagai berikut : Gagasan
menunjukkan
mengacu
Istilah
Rujukan mewakili
Segitiga Acuan Konsep (Ogden dan Richard dikutip oleh Mayer dan Greenwood) Istilah “sekolah” menunjukkan gagasan adanya kegiatan pendidikan yang terstruktur dan diselenggarakan secara profesional. Istilah itu mewakili sejumlah rujukan yang terdiri atas gedung dengan segala fasilitasnya (kursi, meja, papan-tulis dsb.), siswa, guru, pengelola (kepala sekolah), tenaga tatausaha, kurikulum, proses belajar-
1
pembelajaran, dana operasional dll. Gagasan itu sendiri mengacu pada sejumlah rujukan yang telah diidentifikasi mewakili istilah. Dalam makalah ini akan dibahas konteks tumbuhnya konsep teknologi pendidikan dengan membahas perkembangan pendidikan dan teknologi, dilanjutkan dengan pembahasan perkembangan konsep teknologi pendidikan itu sendiri di mancanegara dan Indonesia. Perkembangan Pendidikan Pendidikan telah berlangsung sejak awal peradaban dan budaya manusia. Bentuk dan cara pendidikan itu telah mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan zaman dan tuntutan kebutuhan. Pada awal perdabaan, para orangtua bersama kelompoknya bertanggung jawab dalam mendidik anak-anak mereka hingga mencapai kedewasaan. Bila orangtua atau keluarganya hidup dengan bertani, maka anakanaknya juga diajar bertani melalui pengalaman langsung. Demikian juga kalau orangtuanya berdagang, maka anak-anaknya juga diajar berdagang. Pada masa itu belum ada program pendidikan yang dilaksanakan di luar lingkungan keluarga atau kelompok oleh orang-orang di luar keluarga/kelompok, atau pendidikan yang terstruktur. Kapan pendidikan yang terstruktur mulai dilaksanakan, dan apa tujuan dan caranya ? Tidak ada yang dapat memastikan kapan pendidikan terstruktur dimulai. Dokumen tertulis mengenai perkembangan pendidikan sejak awal peradaban lebih banyak berdasarkan pendapat para sejarawan yang mengkaji perkembangan kebudayaan Barat. Dalam kurun waktu yang berbeda beberapa penulis seperti Thomson (1951), Saettler (1968), Ashby (1972), serta Ornstein dan Levine (1981) bependapat tentang awal pendidikan terstruktur dimulai pada sekitar tahun 500 SM oleh kaum Sufi (Sophist). Mereka ini disebut sebagai “penjaja pengetahuan” (knowledge peddlers – Saettler), atau “guru pengelana” (wandering teachers – Ornstein & Levine), karena mereka menawarkan pendidikan secara berkeliling, dan tidak menenetap di suatu tempat. Oleh Ashby, berlangsungnya pendidikan yang dilaksanakan oleh kaum Sufi itu dinyatakan sebagai terjadinya revolusi pertama dalam bidang pendidikan. Revolusi ini terjadi dengan diserahkannya pendidikan anak dari orangtua kepada orang lain yang berprofesi sebagai “guru”. Beberapa tokoh “guru pengelana” tersebut adalah Socrates (469 – 399 SM), Plato (439 – 347 SM), dan Aristoteles (384 – 322 SM). Socrates diketahui sebagai seorang filsuf yang mengajarkan bagaimana cara memperoleh kebenaran, keindahan dan kebajikan. Cara mengajar terutama dilakukan dengan dialog lisan berdasarkan suatu masalah yang ada dalam kehidupan keseharian. Dengan dialog tersebut pada akhirnya akan dapat diperoleh hakekat tentang kebenaran, keindahan dan kebajikan. Cara dialog sampai sekarang masih banyak digunakan, dan bahkan seringkali disebut sebagai metode Socratic. Salah seorang murid Socrates yang terkenal adalah Plato. Kalau Socrates mengajar secara lisan dengan dialog, Plato menulis buku Protagoras, Republic, dan Laws. Plato berpendapat bahwa kebenaran, kebajikan, keindahan dan keadilan adalah bersifat universal. Karena kebenaran itu bersifat universal, maka pendidikanpun harus
2
bersifat universal. Kenyataan hanya dapat dipahami melalui intelektualitas, karena itu pendidikan harus menekankan pada pengembangan intelektualitas. Kesempatan mengikuti pendidikan yang diselenggarakan oleh Plato terbatas pada mereka yang mempunyai intelektualitas terpilih. Pendidikan ini dilaksanakan secara berjenjang, mulai dengan belajar musik, membaca, menulis dan senam. Setelah itu sastra dan atletik (untuk menanamkan disiplin dan karakter). Pada jenjang terakhir mempelajari matematik, geometri, astronomi, dan metafisika. Menurut pendapat Plato manusia akan dianggap baik dan terhormat apabila perilakunya sesuai dengan konsep ideal tentang kebajikan dan keadilan. Salah seorang murid Plato yang terkenal adalah Aristoteles. Aristoteles ini juga dikenal sebagai tutor raja Iskandar Agung (Alexander the Great). Dia mendirikan lembaga pendidikan yang disebut Lyceum. Kecuali itu ia banyak menulis buku dalam berbagai subyek seperti fisika, astronomi, zoology, boani, logika, etika, dan metafisika. Manusia dianggapnya sebagai mahluk yang rasional, karena itu mempunyai kemampuan untuk mengamati dan memahami hukum alam yang mengatur kehidupan. Manusia yang terdidik mampu menerapkan pikirannya dalam perilaku etik dan politik. Tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, dan karena itu kehidupan yan baik adalah keselarasan. Aristoteles menekankan perlunya pendidikan sebagai landasan perkembangan kebudayaan. Kalau pendidikan diabaikan, maka masyarakat akan terpuruk. Oleh karena itu dia menganjurkan adanya kewajiban bersekolah. Isi pelajaran di sekolah tidak jauh berbeda dengan pendapat gurunya, Plato. Ke tiga tokoh yang disebut di muka, dapat dikatakan para pendahulu (nenekmoyang) pendidikan. Perkembangan budaya selanjutnya telah melahirkan pendidikan yang lebih terstruktur dalam bentuk sekolah dengan kurikulum tertentu. Berikut ini ditampilkan beberapa tokoh pendidikan dengan berbagai gagasan dan konsep yang mereka kemukakan. Tokoh-tokoh ini sengaja dipilih karena dalam pembahasan kemudian dapat dianggap bahwa gagasan dan konsepnya dapat dianggap sebagai lahan persemaian pembaharuan pendidikan, atau tumbuhnya bidang-bidang spesialisasi baru dalam pendidikan termasuk teknologi pendidikan. Pembahasan tentang tokoh-tokoh ini lebih banyak didasarkan pada buku Ornstein dan Levine. Jan Komensky (Comenius 1592 –1970) seorang pendidik yang berasal dari Moravia, dan memperoleh pendidikan tinggi di Jerman. Lomensky berpendapat bahwa : 1) lingkungan sekolah harus didasarkan pada prinsip pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar, dengan memperbolehkan berbagai kegiatan yang sesuai; 2) pengajaran harus berlangsung dalam suasana yang menyenangkan, antara lain dengan menggunakan bahasa yang dikenal dan mempresentasikan obyek yang dikenal pula. Pendapatnya ini antara lain diwujutkan dengan ditulisnya bukau Orbis Sensalium Pictus (Dunia dalam Gambar). Buku tersebut lebih banyak merupakan buku pelajaran bahasa, dengan memberikan rangsangan visual berupa gambar (misalnya gambar seseorang sedang memancing ikan) dengan penjelasan atas masing-masing obyek dalam gambar tersebut dengan istilah Latin dan bahasa keseharian. Perlu diperhatikan bahwa Komensky menekankan pada perlunya ada rangsangan indera untuk belajar.
3
Jean Jacques Rousseau (1712 - 1778) adalah seorang ilmuwan dan politisi Perancis kelahiran Swiss, yang banyak menaruh perhatian pada filsafat sosial dan pendidikan. Rousseau dikenal dengan suatu buku novel yang ditulisnya dengan judul Emile. Dalam buku itu dituliskan gagasan dan penda-patnya. Dia berpendapat antara lain bahwa masyarakat telah memenjarakan anggotanya melalui serangkaian lembaga. Anak-anak harus dibebaskan dari penjara yang paling menekan, yaitu sekolah yang mengharuskan anak untuk menerima gagasan, kebiasaan dan perilaku yang telah ditentukan sebelumnya. Lingkungan alam merupakan guru paling baik. Pengetahuan berkembang melalui penginderaan dan perasaan. Oleh karena itu Rousseau menganjurkan adanya kebebasan dan kemajuan, semua aturan yang membatasinya harus ditiadakan. Johann Pestalozzi (1747 – 1827) adalah seorang pendidik Swiss yang pendapatnya cenderung mendukung Rousseau. Dia sependapat dengan Rousseau bahwa pada hakekatnya semua manusia itu terlahir dengan baik, tetapi dapat rusak tertular oleh masyarakat yang koruptif, yang tercermin antara lain dengan sekolah tradisional yang membosankan dengan hanya menekankan pada pengulangan dan penghafalan. Sekolah tradisional harus dirombak; perombakan ini akan mampu menjembatani perubahan social. Belajar menurut Pestalozzi terjadi karena adanya rangsangan penginderaan. Ia juga berpendapat bahwa pembelajaran harus mengikuti perkembangan alamiah : konkrit ke abstrak, lingkungan dekat ke jauh, mudah ke sukar, gradual dan kumulatif. Friedrich Froebel (1782 – 1852) merupakan seorang pendidik Jerman yang sangat dikenal dengan konsep pendidikan bagi anak usia dini yang disebut “kindergarten”. Yang agak mengherankan kita adalah bahwa Froebel memulai karirnya sebagai seorang rimbawan, kimiawan, dan kemudian sebagai kurator musem, sebelum akhirnya terjun dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan Pestalozzi, Froebel menekankan pada perlunya perubahan dalam cara mengajar. Cara mengajar yang sebaiknya adalah yang berbasis pada aktivitas diri, karena itu perlu diciptakan dan dikelola lingkungan yang sesuai (termasuk bermain, menyanyi, menggambar, berkarya dsb. pada saat anak mulai mengikuti pendidikan). Kecuali itu pendidikan harus berlangsung dengan memperhatikan harga-diri siswa, dan dengan memberikan contoh mengenai nilai-nilai luhur yang perlu dijunjung. Johann Herbart (1776 – 1841) adalah seorang filsuf Jerman yang dikenal dengan kontribusinya dalam bidang pendidikan moral dan metodologi pembelajaran. Menurut Herbart, tujuan akhir pendidikan adalah perkembangan moral. Manusia pada dasarnya merupakan mahluk yang baik, tetapi kalau moral dan pengetahuannya tidak dikembangkan, maka mereka cenderung membuat kesalahan. Oleh karena itu ada dua kelompok ajaran yang perlu diberikan adalah pengetahuan dan etika. Proses pendidikan menurut Herbart sebaiknya berlangsung dalam lima tahap : persiapan, presentasi, asosiasi, sistematisasi, dan aplikasi. Proses ini juga berlaku untuk pendidikan guru; setiap guru perlu mampu menjawab pertanyaan : Apa yang telah diketahui oleh siswa ? Pertanyaan apa yang seharusenya saya ajukan ? Peristiwa apa yang harus saya
4
kaitkan ? Kesimpulan apa yang harus ditarik ? Bagaimana siswa menerapkan apa yang telah mereka pelajari ? Herbert Spencer (1820 – 1903) adalah seorang teoritisi social Inggris yang mencoba menyesuaikan teori evolusi biologis dari Darwin dengan teori sosiologi dan pendidikan. Spencer berpendapat bahwa manusia berkembang melalui serangkaian tahapa evolusi, mulai sederhana menjadi kompleks, dari seragam menjadi beragam. Masyarakat yang semula cenderung homogen, berkembang menjadi masyarakat yang kompleks yang ditandai dengan beragamnya tugas dan tanggungjawab yang menuntut keahlian yang sesuai. Karena itu pendidikan harus dikembangkan sesuai dengan bakat dan tuntutan lingkungan. Menurut pendapatnya, individu yang paling kuat dalam satu generasi akan selamat (survival of the fittest), oleh karena itu pendidikan harus dikembangkan manusia mampu bertahan hidup, mampu menguasai kegiatan secara efisien, dan mampu meningkatkan efektivitas kinerja dalam hidup. John Dewey (1859 – 1952) dianggap sebagai Bapak pendidikan Amerika Serikat. Sebelumnya, praktek pendidikan di AS didasarkan pada konsep dan gagasan yang dilahirkan oleh ahli-ahli dari Eropa. Menurut Dewey, pendidikan merupakan proses sosial dimana anggota masyarakat yang belum matang (terutama anak-anak) diajak ikut partisipasi dalam masyarakat. Tujuan pendidikan adalah memberikan kontribusi dalam perkembangan pribadi dan sosial seseorang, melalui pengalaman dan pemecahan masalah yang ber-langsung secara reflektif. Dewey juga terkenal dengan metode ilmiah yang dikenal dengan metode reflektif (reflective method). Metode itu berlangsung dengan langkah-langkah berikut : 1) Pemelajar (learner) mempunyai peng-alaman langsung dari keterlibatannya dalam suatu kegiatan yang diminati; 2) Berdasarkan pengalaman tersebut pemelajar mempunyai masalah khusus yang merangsang pikirannya; 3) Pemelajar mempunyai atau mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut; 4) pemelajar mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi tentatif untuk memecahkan masalah; dan 5) Pemelajar menguji kemungkinan dengan jalan menerapkannya untuk memecakan masalah. Dan dengan demikian pemelajar akan menemukan sendiri keabsahan temuannya. Ivan Illich (1926 – 1990) adalah seorang imam Katolik yang semula bertugas membina umat pastoral warga Puerto Rico di kota New York. Ia merupakan kritikus pendidikan yang dianggap radikal. Sewaktu dia bertugas di Mexico, dia meluncurkan pendapatnya tentang masyarakat bebas sekolah (deschooling society). Menurut pendapatnya, selama ini pendidikan di sekolah telah membelenggu perkembangan pribadi dan masyarakat, oleh karena itu kalau masyarakat mau maju harus dibebaskan dari sekolah, masyarakat akan berkembang melalui jaringan belajar. Belajar berlangsung sepanjang hayat, karena itu mitos bahwa belajar hanya berlangsung di sekolah adalah keliru. Belajar yang sebenarnya berlangsung lebih banyak di luar sekolah dan tanpa arahan guru. Obyek untuk pendidikan atau sumber untuk memperoleh pengetahuan adalah perpustakaan, laboratorium, workshops, galeri seni, dan lain-lain dimana ada tempat dan sarana yang memungkinkan untuk belajar. Paulo Freire ( ? – 1997) adalah seorang ahli pendidikan Brazilia, dan pernah menjabat sebagai sekretaris Departemen Pendidikan Kota Sao Paolo. Dalam posisinya
5
itu dia telah berusaha menerapkan teori dan konsep pendi-dikannya, yang banyak menghadapi tantangan dari mereka yang berpandangan konservatif. Menurut Freire pendidikan adalah usaha memanusiakan manusia, tujuan pendidikan adalah pembebasan yang permanen. Pembebasan permanen ini berlangsung dalam dua tahap : pertama tahap kesadaran akan penindasan, dan kedua membangun kemantapan dengan aksi budaya yang membebaskan. Untuk itu semua pihak harus berpartisipasi dalam pendidikan. Freire sangat prihatin dengan makin lebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sementara itu dia mengamati bahwa sekolah telah menjadi elitis, dan terisolasi dengan masyarakat. Prinsip dasar pendidikan menurut Freire adalah belajar bertolak dari realitas yang nyata, kemudian dibawa dalam program pembelajaran, dan akhirnya kembali ke realitas nyata dengan praksis baru. Ki Hajar Dewantara (1889 – 1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprakarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman Siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat pendidikannya “tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada”. Dewantara mengklasifikasikan tujuan pendidikan dengan istilah “tri-nga” (tiga “nga” – “nga” adalah huruf terakhir dalam abjad Jawa Ajisaka). “Nga” pertama adalah “ngerti” (memahami atau aspek intelektual), “nga” kedua “ngrasa” (merasakan atau aspek afeksi), dan “nga” ketiga adalah “nglakoni” (mengerjakan atau aspek psikomotorik). Rumusan ini telah dilakukan sekitar 20 tahun sebelum Bloom dkk. merumuskan taksonomi tujuan pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Dewantara, adalah hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang terpelajar dengan rakyat. Mohammad Syafei (1896 – 1969) seorang tokoh pendidikan yang mendirikan sekolah Kayutanam di Sumatera Barat. Dasar pendidikan menurut Syafei adalah : berpikir secara logis dan rasional dan meninggalkan cara berpikir mistik dan takhayul; isi pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; dan kegunaan hasil pendidikan untuk kemajuan masyarakat. Pendidikan harus berhasil menanamkan rasa percaya diri dan berani bertanggung jawab. Menurut Syafei masyarakatlah yang menilai lulusan dan memberikan “ijazah” atau pengakuan, jadi tidak perlu mengikuti aturan pemerintah (zaman penjajahan Belanda) yang mendidik secara elitis untuk kepentingan penjajahan. Teori, konsep dan prinsip pendidikan yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan adanya sejumlah masalah pendidikan yang telah ada sejak ratusan tahun sebelum Masehi, yang sampai sekarang belum terpecahkan. Hal inilah yang merupakan lahan untuk tumbuhnya pemikiran dan gerakan baru. Perkembangan Teknologi Menurut Iskandar Alisyahbana (1980) teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu, karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Jadi sejak awal peradaban, sebenarnya telah ada teknologi, meskipun istilah “teknologi” belum digunakan. Istilah “teknologi” berasal dari “techne” atau cara dan “logos” atau pengetahuan. Jadi secara harfiah teknologi dapat diartikan
6
dengan pengetahuan tentang cara. Pada awal peradaban misalnya, manusia memasak makanan dengan memanggang di atas api kayu bakar. Kemajuan peradaban kemudian dilakukan pemanggangan dengan api arang, dengan api kompor minyak tanah, kompor gas, kompor listrik dan oven microwave. Perkembangan ini menunjukkan teknologi dengan sarana yang berbeda dalam memproses makanan. Pengertian teknologi sendiri menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut : Jaques Ellul (1967:xxv) memberi arti teknologi sebagai "keseluruhan metode yang secara rasional mengarah dan memiliki ciri efi-siensi dalam setiap bidang kegiatan manusia." Iskandar Alisyahbana (1980:71) mendefinisikan teknologi sebagai "cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindera dan otak manusia. Sedangkan Baiquni (1979:49) mengartikan teknologi sebagai "hasil penerapan sistematik dari sains, yang merupakan himpunan rasionalitas insani kolektif, untuk memanfaatkan hidup dan mengendalikan gejala-gejala di dalam proses produktif yang ekonomis". Romo Mangun (sebutan popular dari Y.B. Mangunwijaya ;1983) mengutip pendapat John Kenneth Galbraith yang memberi arti teknologi sebagai penerapan sistematis dari pengetahuan ilmiah atau pengetahuan yang teratur untuk tugas-tugas yang praktis. Sumitro Djojohadikusumo yang juga dikutip Romo Mangun, mengartikan hakekat teknologi sebagai pengetahuan yang sistematik disertai dengan penerapan hasil pengetahuan sebagai kegiatan dalam perkembangan masyarakat. AECT dalam buku The Definition of Educational Technology (1977) mengutip pendapat Hoban yang menyatakan bahwa “teknologi bukanlah sekedar mesin dan orang. Teknologi merupakan perpaduan yang kompleks dari organisasi manusia dan mesin, idee, prosedur, dan pengelolan.”. Sedangkan Finn dikutip dengan pernyataannya bahwa “Teknologi mencakup proses, sistem, pengelolaan dan mekanisme kontrol, baik yang mengangkut manusia maupun bukan manusia, dan lebih dari itu adalah merupakan suatu cara memandang permasalahan ditinjau dari sudut kepentingan, kesulitan, kelayakan teknis pemecahannya, dan nilai ekonomi.” Teknologi merupakan sistem yang diciptakan oleh manusia untuk sesuatu tujuan tertentu. la merupakan perpanjangan dari kemampuan manusia. la dapat kita pakai untuk menambah kemampuan kita menyajikan pesan, memproduksi barang lebih cepat dan.lebih banyak, memproses data lebih banyak, memberikan berbagai macam kemudahan, serta untuk mengelola proses maupun orang. Teknologi dapat dibedakan menjadi dua macam. Yang pertama dan yang lazim kita kenal adalah teknologi fisik atau mekanik yang ditandai oleh mesin, alat dan perangkatnya. Yang kedua kurang sekali di kenal sebagai teknologi, yaitu teknologi sosial yang merupakan tatanan atau acuan yang ditetapkan oleh orang lain dalam mengorganisasikan manusia dan lingkungan-nya, serta hal-hal yang mengatur tugas, fungsi, wewenang dan kekuasaan. Teknologi tidak mengandung nilai dalam dirinya sendiri; semuanya tergantung bagaimana manusia merancangnya, memanfaatkannya, dan menerimanya. Teknologi yang berhasil memperingan kerja badan manusia, dilain pihak dapat menyebabkan
7
pengangguran dan kejemuan kerja. Teknologi kedokteran yang berhasil mengurangi angka kematian serta memperpanjang usia manusia, dapat menyebabkan kesulitan mencari makan dan timbulnya kesulitan hidup pada usia lanjut. Teknologi, karena sifatnya, mencampuri (mengintervensi) urusan manusia dengan 1ingkungannya, serta secara konseptual mencampuri peranan orang daiam dunianya. Keberhasilan atau kegagalan orang dalam dunia yang digelutinya dapat disebabkan oleh teknologi yang dipakai atau dihadapinya. Jadi nilai segala bentuk teknologi tergantung pada kegunanaannya bagi umat manusia serta akibatnya bagi diri dan lingkungannya. Dengan mengambil analogi dari bidang industri barang dan jasa, dapat kita ketahui bahwa penerapan teknologi telah memungkinkan produksi lebih banyak, dengan kualitas yang lebih baik, dan biaya satuan produksi yang lebih rendah. Namun hal itu dicapai secara kolektif (tidak individual), dengan adanya pembagian tanggung jawab, diversifikasi peranan, perencanaan yang cermat, yang semuanya mengacu pada totalitas produksi yang lebih ekonomis. Memang perkembangan itu juga membawa korban dengan digantikannya tenaga kerja manusia yang kurang efisien dengan mesin. Namun perlu diingat bahwa tenaga kerja yang digantikan itu adalah yang kurang serasi dengan keseluruhan proses produksi dan yang secara ekonomis kurang bermanfaat untuk dilatih-ulang. Butir-butir pelajaran yang terkandung dalam teknologi dapat disimpulkan meliputi hal-hal berikut : 1. Diperlukan pendekatan yang bersistem secara menyeluruh. Tidak hanya sistem mikro yang diperhatikan, namun juga sistem meso dan makro. Tiap sistem merupakan bagian dari sistem yang lebih luas (sistem jantung merupakan bagian dari sistem peredaran darah, yang merupakan bagian dari sistem tubuh). 2. Perlu adanya diversifikasi tanggung jawab dan bersamaan dengan itu adanya spesialisasi yang senantiasa ditingkatkan. Sebelum digunakan teknologi masingmasing unit boleh dikatakan mempunyai tanggung jawab yang sama dan seragam, namun setelah digunakan teknologi tanggung jawab itu menjadi berbeda. Sejalan dengan perbedaan tanggung jawab itu diperlukan adanya spesialisasi yang semakin lama semakin tajam. 3. Perlu ada koordinasi yang baik dalam artian waktu dan gerak. Ada hubungan antar komponen, ada kesinambungan dalam tatakerja, dan ada ketergantungan satu sama lain. Dengan koordinasi yang baik, maka pengawasan dapat pula , dilakukan dengan baik. Mata rantai yang kurang berfungsi dapat segera diketahui dan dilakukan perbaikan terhadapnya. Koordinasi ini makin mengarah pada skala yang lebih besar dan lebih kompleks. 4. Perlu adanya disiplin yang tinggi, terlebih-lebih disiplin internal yang didasarkan pada rincian tugas dan tanggung jawab yang telah ditentukan dan/atau telah disepakati. Disiplin ini pada awalnya mungkin perlu dipaksa-kan dari luar, atau dilakukan dengan pengawasan yang ketat. Pengawasan ini terus diperlukan meskipun telah terbentuk disiplin internal, namun dengan tingkat keketatan yang berbeda.
8
5. Perlu adanya pengelolaan yang lebih terbuka dan tidak birokratis. Ciri pengelolaan ini adalah berkurangnya hirarki, bertambahnya ketangkasan, pendelegasian wewenang lebih besar, ketergantungan lebih besar pada informasi, dan bertambahnya kreativitas dan inovasi. Butir-butir tersebut di atas tidak merupakan daftar yang tuntas, lagipula tidak merupakan butir-butir lepas yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dan ada kalanya tumpang tindih. Teknologi memang belum dapat kita man-faatkan sedemikian rupa sehingga timbul penemuan sosial (social invention), meskipun teknologi itu telah menghasilkan perubahan sosial. Dengan demi-kian teknologi itu tidak dapat dituntut tanggung jawabnya bila terjadi sesuatu akibat negative; manusia pengembang dan pengguna teknologilah yang harus bertanggung jawab. Perkembangan Awal Teknologi Pendidikan Teknologi Pendidikan sebagai suatu disiplin keilmuan, pada awalnya berkembang sebagai bidang kajian di Amerika Serikat. Meskipun demikian menurut beberapa penulis Amerika Serikat diakui bahwa para pendahulu atau nenek-moyang (forefathers) teknologi pendidikan kebanyakan berasal dari luar Amerika Serikat. Kalau kita berpegangan kepada konsep teknologi sebagai cara, maka awal perkembangan teknologi pendidikan dapat dikatakan telah ada sejak awal peradaban, dimana orangtua mendidik anaknya dengan cara memberikan pengalaman langsung serta dengan memanfaatkan lingkungan. Saettler berpendapat bahwa sumber tumbuhnya teknologi pendidikan dapat ditelusuri sampai kaum Sufi, dengan cara mereka “menjajakan pengetahuannya.” Bahkan menurutnya cara dialog seperti dilakukan oleh Socrates sampai sekarang masih digunakan sebagai metode pemecahan masalah (problem-solving method). Secara eksplisit Saettler menganggap bahwa Komensky merupakan pionir teknologi pendidikan dengan pendapat perlunya visualisasi dalam pengajaran, yang tertuang dalam bukunya Orbis Sensalium Pictus. Demikian juga dengan Rousseau, Pestalozzi, Froebel yang menekankan perlunya rangsangan indera untuk meningkatkan efektivitas belajar. Prosedur pengajaran yang dinyatakan oleh Herbart, juga dapat dikatakan sebagai awal dari apa yang kita kenal sekarang sebagai desain pembelajaran. Pemuka pendidikan lain juga dapat dianggap memberikan kontribusi tumbuhnya teknologi pendidikan, seperti misalnya heterogenitas pemelajar yang perlu dilayani dengan program pendidikan yang sesuai (sekarang berkembang menjadi belajar individual dan bebas), cara belajar aktif, belajar dari lingkungan (sekarang dikembangkan menjadi belajar berbasis aneka sumber), kebebasan dalam belajar (sekarang menjadi belajar terbuka), belajar memecahkan masalah (sekarang berkembang menjadi belajar berbasis masalah), serta adanya partisipasi dari warga masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Gerakan untuk mengembangkan teknologi pendidikan sebagai bidang kajian di Amerika Serikat dimotori oleh James D. Finn (1915 – 1969), seorang Gurubesar tetap dalam bidang pendidikan di University of Southern California (USC), dan Gurubesar
9
tamu di Michigan State dan Syracuse University. Finn dianggap sebagai “Bapak” teknologi pendidikan. Karya-karya terpilihnya sejak tahun 1949 hingga 1969 dihimpun oleh Ronald J. McBeath dalam buku Extending Education Through Technology – suatu referensi klasik yang diterbitkan oleh AECT pada tahun 1972. Pembahasan dalam makalah ini merupakan rangkuman dari pendapat James D.Finn yang dihimpun oleh Ronald J. McBeath, buku Paul Saettler ‘The History of Educational Technology” (1968), laporan hasil kajian team AECT untuk perumusan definisi teknologi pendidikan yang dipimpin oleh Dr. Kenneth H. Silber yang diterbitkan oleh AECT “The Definition of Educational Technology” (1977), buku yang diterbitkan AECT “Instructional Technology : The Definition and Domains of the Field” (1994) dan ditulis oleh Barbara B. Seels dan Rita C. Richey sebagai hasil rumusan dari Komisi Definisi dan terminology AECT, serta tulisan Alan Januszewski dalam bukunya “Educational Technology – The Development of a Concept” (2001) Menurut Finn, tahun 1920an adalah awal perkembangan teknologi pendidikan. Istilah dan definisi formal pertama yang berhubungan dengan teknologi pendidikan pada saat itu adalah “pengajaran visual”. Yang dimaksud dengan pengajaran visual adalah kegiatan mengajar dengan menggunakan alat bantu visual yang terdiri dari gambar, model, objek atau alat-alat yang dipakai untuk menyajikan pengalaman konkrit melalui visualisasi kepada siswa. Tujuan penggunaan alat bantu visual adalah untuk : 1) memperkenalkan , menyusun, memperkaya atau memperjelas konsep-konsep yang abstrak, 2) mengem-bangkan sikap yang diinginkan, dan 3) mendorong timbulnya kegiatan siswa lebih lanjut. Alat bantu visual umumnya diklasifikasikan mulai dari tingkat kekonkritannya sampai dengan tingkat yang makin abstrak. Aliran pengajaran visual disamping berusaha membuat konkrit konsep yang abstrak juga menambahkan dua gagasan tambahan yang masih bermanfaat hingga sekarang. Yang pertama adalah gagasan untuk meng-klasifikasikan jenis alat-alat bantu visual, dan yang kedua menekankan pentingnya pengintegrasian bahan visual ke dalam kurikulum, dan bukannya dipakai secara terpisah-pisah. Kelemahan aliran tersebut adalah karena hanya mengutamakan bahan itu sendiri, dan kurang memperhatikan desain, pengembangan, produksi, evaluasi dan pengelolaan bahan itu. Kegiatan-kegiatan tersebut bukannya tidak dipertim-bangkan, melainkan dianggap kurang penting, karena perhatian dipusatkan kepada bahan itu sendiri. Kelemahan lain adalah adanya anggapan bahwa bahan visual merupakan "alat bantu" dan bukan merupakan suatu yang mampu membawakan unit ajaran itu sendiri. Dengan timbulnya rekaman suara dan film bersuara, aliran pengajaran visual diperluas dengan menambahkan suara, sehingga berkembang menjadi pengajaran audio-visual yang merujuk pada beberapa macam perangkat keras yang dipakai guru untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman melalui mata dan telinga. Sekalipun pembelajaran audiovisual menambahkan komponen audio ke dalam aliran pengajaran visual, namun penambahan konseptual hanya sedikit. Aliran ini tetap mempertahankan rentangan (continuum) abstrak - konkrit (dengan bahan audiovisual pada ujung yang lebih konkrit) serta mengklasifikasikan jenis pengalaman. Penuangan konsep yang paling nyata terdapat dalam Cone of Experience (Kerucut Pengalaman) oleh Edgar Dale
10
pada tahun 1954. Aliran ini juga masih menekankan bahwa bahan audiovisual perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum. Aliran pengajaran audiovisual juga masih mengandung dua kelemahan yang terdapat pada aliran yang mendasarinya, yaitu lebih menaruh perhatian kepada bahan daripada proses pengembangan bahan itu, dan tetap meman-dang bahan audiovisual sebagai alat bantu guru dalam pengajaran. Meskipun demikian, penelitian tentang efektivitas bahan audiovisual serta jenis bahan mana yang paling efektif untuk keperluan pengajaran mulai banyak dilakukan. Pada akhir Perang Dunia II, mulai timbul suatu kecenderungan baru dalam bidang audiovisual ke arah dua kerangka konseptual baru yang paralel, yaitu teori komunikasi dan konsep sistem awal. Orientasi teknologi pendidikan pada komunikasi, mengubah kerangka teori bidang itu. Perhatian tidak lagi dipusatkan kepada "bendabenda", melainkan kepada seluruh proses komunikasi informasi mulai dari sumber (baik itu guru maupun bahan) sampai ke penerima atau sasaran (si-belajar). Untuk dapat menggambarkan seluruh proses ini, orientasi komunikasi menambahkan konsep kedua yang dapat diterapkan pada definisi yang berlaku pada waktu itu, yaitu pemanfaatan model yang dinamis. Model yang diciptakan teoritisi komunikasi merupakan model proses yang dinamis, yaitu menunjukkan unsur-unsur yang terlibat dalam proses itu dan saling hubungan di antaranya. Jadi melibatkan lebih banyak komponen dari pada sekedar bahan yang dipakai untuk menyajikan pesan. Sementara transisi dari pengajaran audiovisual ke komunikasi berlangsung, secara paralel berlangsung pula transisi lain yang terpisah namun ada kaitannya, yaitu perkembangan ke konsep sistem awal. Suatu sistem dapat didefinisikan sebagai rangkain komponen-komponen yang mempunyai tujuan tertentu. Arti penting dari sistem adalah pengertian adanya : a) komponen-komponen dalam sistem, b) integrasi kompornen-kompcnen itu, dan c) peningkatan efisiensi sistem. Konsep sistem dalam teknologi pendidikan menganggap sistem sebagai produk yang lengkap, tersusun dan terintegrasi sedemikian rupa hingga memungkinkan terjadinya pembelajaran. Usaha untuk merumuskan definisi teknologi pendidikan secara terorganisasikan dimulai pada tahun 1960. Hingga sekarang definisi teknologi pendidikan telah berkembang lima kali. Pengembangan definisi pertama dilakukan oleh the Technological Development Project dari The National Education Association. Pada tahun 1963 disahkan definisi yang pertama sebagai berikut : Komunikasi audiovisual yalah cabang teori dan praktek pendidikan, khususnya yang berkepentingan dengan rancangan dan pemanfaatan pesan yang mengendalikan proses belajar. Kegiatan ini meliputi perencanaan, produksi, seleksi, pengelolaan dan pemanfaatan komponen-komponen sistem dan seluruh sistem instruksional. Tujuan praktisnya yaitu efisiensi pemanfaatan setiap metoda dan media komunikasi yang dapat menyumbang pengem-bangan potensi si-belajar secara penuh. Team perumus definisi ini dipimpin oleh Donald P. Ely – gurubesar di Syracuse University (saya sangat bersyukur karena Prof.Ely adalah penasehat akademik saya sewaktu saya kuliah di Syracuse University pada tahun 1961 – 1963). Program studi
11
keahlian pada waktu itu disebut Audiovisual Communication Department. Definisi ini merupakan suatu perubahan penting dalam paradigma atau pola berpikir dalam teknologi pendidikan, yaitu dari penekanan pada bahan audiovisual sebagai alat bantu yang memberikan pengalaman konkrit, ke arah penekanan pada proses komunikasi untuk keperluan belajar, dan pemanfaatan sistem instruksional yang lengkap, dan pengembanagn potensi pemelajar secara optimal. Definisi ini juga memicu perubahan nama dari Department of Audio Visual Instruction (DAVI) menjadi the Association for Educational Communication and Technology (AECT). Dengan berubahnya kerangka teori secara menyeluruh, definisi ini beserta teori serta model yang mendukungnya, telah menghasilkan konsep baru teknologi pendidikan yang penting artinya bagi definisi yang berlaku sekarang. Orientasi bidang ini yang semula terietak pada "benda, indera, dan ujud konkrit", digantikan dengan konsep proses. Menurut Donald P. Ely. konsep proses menentukan saling hubungan antara peristiwa sebagai sesuatu yang dinamik dan berkelanjutan. Semua unsur dalam proses saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu komunikasi audiovisual telah mensintesiskan konsep-konsep komunikasi, sistem, unsur-unsur atau komponen sistem dan rancangan sistem. Model komunikasi audiovisual ini menekankan bahwa si-belajar merupakan bagian integral dari proses teknologi pendidikan, dan dengan membawa konsep dari teori belajar ke dalam model komunikasi unsur yang berupa respons dari si-belajar serta evaluasi dari respons tersebut. Model ini mengidentifikasikan dan mendefinisikan komponen-komponen khusus, dan tidak sekedar menyebutkan adanya komponen itu dalam sistem instruksional. Menurut Ely, komponen-komponen khusus itu adalah : • Pesan-pesan, yalah informasi yang ditransmisikan - isi dan artinya • Instrumentasi - media, menunjukkan sistem transmisi (bahan - dan peralatan yang tersedia untuk menyampaikan pesan) tertentu. • Orang, menunjukkan personal yang diperlukan untuk mengawasi atau membantu transmisi informasi atau presentasi. • Metoda adalah spesifikasi dan tehnik yang diperlukan untuk presentasi yang efektif • Lingkungan menunjukkan batasan atau pensyaratan dari kondisi tertentu dalam situasi instruksional. Meskipun definisi ini menggambarkan suatu perubahan paradigma yang penting bagi teknologi pendidikan, dan mensintesiskan bagian terbesar dari konsep-konsep yang berasal dari orientasi sebelumnya, serta memperkenalkan banyak konsep baru di bidang itu, namun bukan tanpa kelemahan. Kelemahan yang paling nyata terletak pada penggunaan nama untuk bidang itu yang tidak konsisten. Definisi memakai istilah "audiovisual communications", "audio visual", "educational communications", dan "instructional technology" silih berganti. Ini menyebabkan timbulnya keragu-raguan akan nama yang sesungguhnya dari bidang yang bersangkutan. Definisi Komunikasi Audiovisual ini kemudian berkembang dengan menggunakan acuan Pendekatan Sistem dan Pengembangan Instruksional. Usaha kedua untuk mendefinisikan teknologi pendidikan dilakukan oleh the Commission on
12
Instructional Technology yang dipimpin oleh Sidney Tickton pada tahun 1970. Definisi teknologi instruksional yang dirumuskan adalah : Teknologi Instruksional adalah suatu cara yang sistematik untuk merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi keseluruhan proses belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuan khusus komunikasi dan belajar pada manusia, serta dengan mempergunakan kombinasi sumber belajar insani dan non-insani, agar lerjadi pembelajaran yang lebih efektif. Meskipun laporan yang disusun oleh Komisi tersebut di atas dikritik secara luas, namun laporan itu mengandung banyak konsep yang serasi dengan definisi yang berkembang kemudian. Yaitu diantaranya : • Ditekankannya bahwa teknologi pendidikan sebagai proses, bukannya sebagai media atau peralatan; dengan demikian konsep dari teori komunikasi dan pembelajaran terprogram memperoleh dukungan. • Ditegaskannya bahwa teknologi pendidikan menggunakan konsep dan pendekatan sistem dalam pembelajaran, dan hal ini berarti lebih mementingkan proses daripada produk. Konsep itu menuntut adanya dampak "sinergistik" yaitu adanya nilai tambah yang timbul sebagai akibat penggabungan segala fungsi dan sumber ke dalam proses yang sistematik. • Dipandangnya teknologi pendidikan sebagai pemanfaatan sumber-sumber manusiawi dan non-manusiawi. Dengan demikian ditegaskan bahwa orang merupakan bagian dalam teknologi pendidikan. • Dianggapnya produk teknologi pendidikan sebagai sumber-sumber yang dapat digunakan untuk memperbaiki pengajaran. Laporan ini yang pertama kali menggunakan istilah "sumber belajar" untuk menunjukkan produk teknologi pendidikan. • Ditunjukkannya bahwa teknologi pendidikan berlandaskan pada teori belajar dan komunikasi. Definisi kedua ini belum dianggap lengkap sehingga pada tahun 1972 Komisi Definisi dan Terminologi AECT mengeluarkan definisi baru yang ketiga. Teknologi pendidikan adalah suatu bidang yang berkepentingan dengan memfasilitasi belajar pada manusia, melalui usaha sistematik dalam identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan peman-faatan berbagai macam sumber belajar serta dengan pengelolaan atas keseluruhan proses tersebut. Definisi ketiga ini menunjukkan hal-hal baru/berbeda seperti : teknologi pendidikan sebagai suatu bidang ; proses memfasilitasi belajar dan bukan kendali belajar; dan penggunaan nama/istilah teknologi pendidikan. Namun karena dianggap tidak memberikan ketetapan tentang teori dan profesi, maka dilakukan usaha perbaikan selanjutnya. Pada tahun 1975 AECT membentuk Komisi Defnisi dan Terminologi yang dipimpin oleh Dr. Kenneth H. Silber dengan anggota sebanyak 26 orang. Laporan Komisi ini diterbitkan oleh AECT “The Definition of Educatinal Technology” pada tahun 1977. (Terjemahan dalam bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 1986).
13
Definisi tahun 1977 yang merupakan definisi keempat, meliputi 16 bagian yang diharapkan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang saling berkaaitan, sebab satu bagian saja tidak akan dapat memberikan penjelasan yang memadai. Definisi tersebut sbb.: Teknologi pendidikan adalah proses yang kompleks dan terpadu yang melibatkan orang, prosedur, idee, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah, mencarai jalan pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan maslah yang menyangkut semua aspek belajar manusia. Pemecahan masalah terjelma dalam bentuk sumber belajar yang dirancang, dipilih dan/atau digunakan untuk keperluan belajar, dan yang terdiri dari pesan, orang, bahan, perlatan, teknik, dan latar (lingkungan). Proses analisis masalah merupakan fungsi pengembangan pendidikan dalam bentuk riset/teori, desain, produksi, evaluasi-seleksi, logistik, pemanfaatan, dan penyebarluasan. Proses pengarahan dan koorinasi merupakan fungsi pengelolaan pendidikan yang meliputi pengelolaan organisasi dan personil. Beberapa dari ke enambelas bagian tersebut adalah : • Istilah “teknologi pendidikan” dibedakan dengan “teknologi instruksional” ; yang terakhir merupakan bagian dari yang pertama. Teknologi instruksional berkepentingan dengan kegiatan belajar yang bertujuan dan terkendali. Proses pemecahan masalah merupakan komponen sistem instruksional. • Teknologi pendidikan dapat membentuk teori karena adanya gejala khusus yang menjadi perhatian, orientasim sistematika, identifikasi kesenjangan, yang melahirkan startegi baru melalui riset, prediksi dan prinsip • Teknologi pendidikan memiliki teknik intelktual yang unik dan tidak digunakan pada bidang lain, yaitu pendekatan yang sistematik yang menimbulkan efek sinergistik • Teknologi pendidikan merupakan suatu profesi dengan adanya pendidikan khusus, organisasi profesi dan aktivitas-aktivitas yang dilakukanannya. • Teknologi pendidikan beroperasi dalam konteks masyarakat yang lebih luas, dengan sikap kemandirian dan kebebasan intelektual, meniadakan hal-hal yang bersifat klise, dan berpihak pada kepentingan manusia dalam memenuhi tujuan hidup. • Teknologi pendidikan bergerak dalam keseluruhan bidang pendidikan, dan mengusahakan terciptanya keseimbangan dan hubungan kerjasama yang selaras dengan berbagai profesi pendidikan lain. Definisi resmi AECT yang keempat ini masih dianggap mempunyai kelemahan, diantaranya adalah : tidak adanya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan proses kompleks dan terpadu; keraguan dalam merumuskan definisi hingga harus dinyatakannya dalam 16 bagian; penggunaan istilah pendidikan yang meluas sehingga dapat merambah obyek formal ilmu pendidikan yaitu “pribadi”; penjelasan tentang pendidikan yang lebih banyak mengarah pada proses pendidikan di sekolah; dan keraguan tentang status keilmuannya yang menyatakan “dapat membentuk teori”; dan
14
tidak adanya ketentuan bahwa semua komponen harus dikelola dan diawasi agar sistem itu beroperasi secara efektif dan efisien. Hal-hal ini semua mempersulit pengakuan dan komunikasi dengan bidang kajian atau disiplin keilmuan lain. AECT membentuk suatu komisi Definisi dan Terminologi pada tahun 1990 yang dipimpin oleh Barbara B. Seels, dengan 21 orang anggota. Setelah bekerja selama tiga tahun, komisi ini merumuskan definisi dan terminologi baru yang merupakan definisi kempat. Laporan komisi diterbitkan dalam buku “Instrucksional Technology. The Definition and Domains of the Field” (1994), dengan penulis akhir Barbara B. Seels dan Rita C, Richey. Terjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Ikatan profesi Teknologi Pendidikan Indonesia (IPTPI) sebagai Seri Pustaka Teknologi Pendidikan 12 pada tahun 2000. Definisi kelima tahun 1994 adalah sbb.: Teknologi Pembelajaran adalah teori dan praktek dalam desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, serta penilaian proses dan sumber untuk belajar. Komponen dalam definisi adalah : • Teori dan praktek; • Kawasan desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian; • Proses dan sumber; • Untuk keperluan belajar Setiap kawasan memberikan kontribusi kepada pengembangan teori dan praktek yang menjadi landasan keilmuan, dan sebaliknya teori dan praktek juga dijadikan pegangan dalam pengembangan kawasan. Tiap kawasan tersebut berdiri sendiri, meskipun saling berkaitan sebagai sesuatu kegiatan yang sistematik. Untuk sementara ini pengembangan definisi dan terminologi sudah danggap cukup karena telah menunjukkan adanya teori yang digunakan dan dikembangkan, sebagai prasyarat untuk setiap disiplin keilmuan, dan perlunya profesi dalam mempraktekkan proses pada setiap kawasan; dan focus kepada kepentingan setiap orang untuk belajar. Arah pertumbuhan teknologi instruksional menurut Finn sesuai dengan teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan dari masyarakat tradisional ke kebudayaan teknologi tinggi, yaitu : 1. masyarakat tradisional - i1mu dan teknologi tidak tersedia, atau tidak secara teratur dan sistematik diterapkan; 2. pra-kondisi untuk tinggal landas - ada perubahan psikolo-is dan politis di masyarakat,yang menyebabkan orang dan lembaga bersedia menerima teknologi, dan pada saat mana telah terbentuk modal dasar masyarakat yang diperlukan; 3. tinggal landas - massa kritis prakondisi tercapai, dan beberapa inovasi teknologi yang berlangsung bertindak sebagai stimulus untuk berpikir teknologis; 4. beranjak dewasa - dipergunakannya proses teknologi yang lebih canggih dan rumit, sementara itu investasi masyarakat dalam piranti (tools) sebanyak 10 –20 % ; dan 5. konsumsi massa yang tinggi - masyarakat menerapkan proses dan sumber teknologi dimana saja untuk setiap kesempatan.
15
Kembali pada Segitiga Acuan dari Ogden dan Ricard yang telah ditampilkan di muka, dapatlah disimpulkan bahwa : 1. Istilah yang digunakan Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pembelajaran 2. Gagasannya adalah agar setiap orang mampu mengembangkan diri secara optimal dengan memperoleh kesempatan belajar melalui berbagai proses dan sumber 3. Dengan rujukan : • Proses yang sistemik dan sistematik • Aneka sumber yang dikembangkan dan/atau digunakan untuk belajar • Bertolak dari bebagai teori yang relevan dan kenyataan empirik • Adanya nilai tambah dalam mencapai tujuan kegiatan • Bersifat inovatif karena harus menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan Perkembangan di Indonesia Perkembangan teknologi pendidikan di Indonesia boleh dikatakan mengikuti perkembangan yang ada di Amerika Serikat. Sepeti halnya yang terjadi di AS, perkembangan tersebut dapat dikatakan dimulai dengan diguna-kannya media atau alat peraga untuk menunjang kegiatan pengajaran. Bedanya adalah kalau di Amerika dengan demokrasi liberalnya memungkinkan tumbuh-nya pemikiran dan tindakan oleh masyarakat, maka di Indonesia dengan demokrasi terpimpinnya mengharuskan restu pemerintah untuk mengembang-kan pemikiran dan kegiatan. Sejak awal kemerdekaan Indonesia, penggunaan media komunikasi sudah merupakan suatu alternatif pilihan. Pada saat itu jumlah sekolah masih sangat terbatas, dan di samping itu banyak pelajar yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena mereka itu memilih unruk mengikuti perjuangan fisik. Sekolah yang adapun kurang befungsi sebagaimana yang diharapkan. Namun adanya program siaran radio pendidikan saat itu terutama dianggap sebagai tindakan darurat untuk mengatasi masalah yang ada. Pada tahun 1951 diselenggarakan "school broadcasting" sebagai suatu usaha periritisan meliputi daerah Jakarta, Bandung, Bogor dan Cirebon. Pada saat itu dibentuk Panitia Penyelenggara school broadcasting . yang diketuai oleh Sadarjoen Siswomartojo (Kepala Djawatan Pendidikan Masjarakat Ke-menterian PPK), dengan sekretaris dari RRI, dan anggota yang mewakili AD, AURI, ALRI, Kepala Jawatan Pengajaran, Inspektur Jenderal Pengajaran, dan Kepala Bagian Penerangan Kementerian PPK. Bertindak sebagai pelindung dan penasehat panitia ini adalah Commodore Soerjadarma (Kepala Staf AURI). Pada tahun 1955 didirikan BKTPG (Balai Kursus Tertulis Pendidikan Guru) di Bandung; suatu lembaga yang bertugas menyelenggarakan kursus tertulis bagi calon guru SD guna menyongsong program perluasan kesem-patan belajar yang lebih berkualitas. Lembaga ini telah berkembang fungsinya, dan setelah mengalami masa pasang surut, sekarang ini menjadi Pusat Peng-embangan Penataran Guru Tertulis. Pada saat yang hampir bersamaan (tidak diperoleh data yang pasti) telah didirikan TAC
16
(Teaching Aid Center = Balai Alat Peraga Pendidikan) di Bandung dengan cabang antara lain di Malang. Lembaga ini bertugas memproduksi dan mengkoordinasikan ketersediaan alat peraga pengajaran untuk sekolah-sekolah. Suatu kebijakan berskala nasional sebenarnya sudah ditetapkan dalam REPELITA I. Dalam rumusan program pembangunan pendidikan ditetapkan untuk "... digunakan media massa : radio dan televisi untuk peningkatan mutu sekolah dasar..." (RI,1970:361). Rumusan kebijakan itu memang berorientasi- kan pada media, namun tindakan yang dilakukan kemudian mengarah pada pengertian sistem karena diperlukannya mengkaji semua kmponen yang berkaitan, termasuk sumberdaya manusianya. Pada tahun 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan kebijakan untuk mengembangkan siaran pendidikan secara bertahap melalui perintisan. Perintisan kemudian dilaksanakan di tiga daerah, yaitu DKI Jakarta, D.I.Yogyakarta, dan Jawa Tengah. Perintisan tersebut setelah dinilai pada tahun 1974, diputuskan untuk digunakan bagi kegiatan penatarn guru di 11 propinsi yang jumlah gurunya banyak dan yang kondisi geografisnya menyulitkan transportasi dan komunikasi. Pengembangan media massa untuk pendidikan selanjutnya, ternyata kurang mendapat perhatian kebijakan dalam pembangunan pendidikan lebih lanjut. Pada tahun 1974 Presiden Suharto sebenarnya telah mencanangkan penggunaan satelit komunikasi domestik untuk penyebaran pendidikan. Tetapi pernyataan kebijakan Presiden ini tidak mendapat tanggapan konkrit. Yang tumbuh dan berkembang hingga sekarang adalah pendidikan tenaga ahli teknologi pendidikan dan pengembangan sistem serta strategi pembelajaran yang bersifat inovatif. Pada tahun 1973 dalam rangka kerjasama INNOTECH mulai diujicoba suatu sistem instruksional nontradisional yang dikenal sebagai SD PAMONG. (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orangttua daN Guru). Dalam sistem ini dikembangkan dan digunakan bahan belajar berupa modul cetakan untuk keperuan belajar mandiri, belajar kelompok dengan tutorial sebaya, dan pendayagunaan narasumber yang ada di lingkungan. Rapat koordinasi teras Departemen Pendidikan dan Kebudayaan meng-gariskan kebijakan pengembangan teknologi komunikasi untuk pendidikan dan kebudayaan pada tahun 1975 sebagai berikut : • Kegiatan harus bertolak dari kebijakan pendidikan yang sudah ada; • Rencana kegiatan dikembangkan dari hasil analisis kebutuhan; • Diprioritaskan program pemerataan mutu pendidikan; • Dalam mengadakan pembaharuan di sekolah harus dimulai dari titik pangkal strategis yaitu guru; • Media yang dikembangkan dan digunakan harus telah terbukri efektif; • Dibentuknya unit kerja yang akan menangani dan memanfaatkan teknologi komunikasi untuk pendidikan dan kebudayaan; • Pengembangan tenaga melalui latihan dalam berbagai aspek teknologi pendidikan; • Pengembangan program teknologi pendidikan pada perguruan tinggi; Pendidikan keahlian teknologi pendidikan dimulai pada tahun 1976 pada jenjang S1 dan tahun 1978 pada jenjang S2 dan S3. Mayoritas dosen yang mengajar
17
didatangkan dari A.S. melalui bantuan teknis dari USAID. Kurikulum dan tenaga dosennya dikoordinasikan oleh Syracuse University dalam suatu konsorsium UCIDT (University Consotium of Instructional Development and Technology). Para dosen tersebut tentu saja membawa konsep-konsep yang berkembang di AS. Kecuali itu sekitar 80 tenaga dosen Indonesia dalam kurun waktu lima tahun, yang dikirim ke luar Negeri (AS, Inggris, Australia) sebagai inti untuk pengembangan program teknologi pendidikan lebih lanjut. Perkembangan konsep teknologi pendidikan tersebut diawali dengan adanya alat peraga yang digunakan oleh tiap-tiap guru secara individual dalam rangka kegiatan pengajarannya. Kemudian disediakannya berbagai media pengajaran oleh lembaga yang khusus mendapat tugas pembuatan dan penyediaan media (seperti yang dilakukan oleh TAC). Para guru diharapkan menggunakan media yang tersedia sebagai bagian integral dari program belajar – mengajar. Perkembangan kemudian masih terbatas dalam lingkup pendidikan sekolah, namun teknologi pendidikan tidak hanya berupa media, tetapi jua gergabagi startegi yang diperlukan agar siswa belajar aktif. Namun dengan pertimbangan bahwa belajar itu terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa dan apa saja, maka konsep pendidikan di sekolah harus diperluas, hingga lingkungan luar sekolah, termasuk di lembaga masyarakat, lembaga pelatihan, lembaga kerja, lembaga ibadah, bahkan oleh pribadi. Sedang kegiatannya dapat berupa teknologi pembelajaran atau teknologi kinerja. Perkembangan penerapan konsep teknologi pendidikan di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut : TEKNOLOGI PEMBELAJARAN & KINERJA
TEKNOLOGI PENDIDIKAN/ PEMBELAJARAN
MEDIA PENGAJARAN
PERAGAAN AJARAN (AV)
Perkembangan Penerapan Konsep Teknologi Pendidikan/Pembelajaran
18
Konsep-konsep yang telah ditumbuhkan melalui program pendidikan dan penelitian, kemudian di adaptasi dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Meskipun demikian gagasan dan rujukan yang terkandung dalam istilah teknologi pendidikan atau teknologi pembelajaran tetap dipertahankan, yaitu : agar setiap orang mampu mengembangkan diri secara optimal dengan memperoleh kesempatan belajar melalui berbagai proses dan sumber, dengan rujukan : Proses yang sistemik dan sistematik; Aneka sumber yang dikembang-kan dan/atau digunakan untuk belajar; Bertolak dari bebagai teori yang relevan dan kenyataan empirik ; Adanya nilai tambah dalam mencapai tujuan kegiatan; Bersifat inovatif karena harus menyesuaikan dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan; dan ditambah dengan Pendekatan isomeristik yang menggabungkan berbagai pemikiran atau disiplin keilmuan. Perkembangan terminologi dalam bidang teknologi pendidikan bahkan telah menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan. Istilah “pembelajaran” yang berfokus pada kondisi dan kepentingan pemelajar (learner centered) untuk menggantikan istilah “pengajaran” yang teacher centered, mulai diperkenalkan sejak tahun 1973, telah dipakai secara meluas, bahkan telah diakomodasikan dan bahkan dikuatkan dalam perundangan (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003). Demikian pula istilah “sumber belajar”, dan berbagai macam strategi pembelajaran. Sistem dan strategi pembelajaran yang pada hakekatnya merupakan penerapan konsep universal dalam konteks Indonesia telah juga berkembang. Beberapa bentuk sistem dan strategi pembelajaran yang berkembang adalah : • Sistem SMP Terbuka dan Universitas Terbuka yang telah berkembang ke seluruh pelosok, dan merupakan bagian integral sistem pendidikan nasional; • Berkembangnya berbagai strategi belajar dan pembelajaran yang inovatif seperti belajar berbasis masalah, belajar berbasis aneka sumber, pembelajaran elaboratif, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis komputer, pembelajaran melalui televisi siaran (tvedukasi) dan lain-lain. Jelaslah bahwa konsep teknologi pendidikan telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Namun ibarat tanaman yang telah tumbuh dan berkembang, tetapi tidak dirawat, dipupuk dan diremajakan, maka tanaman itu akan dapat mati, demikian pula konsep. Terserah kepada mereka yang merasa dirinya sebagai teknolog pendidikan/pembelajaran untuk mempunyai komitmen dalam merawat, memupuk dan meremajakan konsep dan penerapannya.
19
Daftar Pustaka Ashby,Eric dalam The Fourth Revolution : Instructional Technology in Higher Education. A Report of the Carnegie Commission on Higher Education. New York: McGraw-Hill Book Co.,1972 Alisyahbana, Iskandar. Tekonologi dan Perkembangan. Jakarta: Yayasan Idayu. 1973 Association for Educational Communications and Technology. Definisi Teknologi Pendidikan (terjemahan). Jakarta : PAU-UT - CV Rajawali, 1986 Association for Educational Communications and Technology. Teknologi Pembelajaran: Definisi dan Kawasannya (terjemahan). Jakarta : IPTPI. 1994 Baiquni,A. Masalah pengendalian Efek Sampingan Teknologi. Dalam Prisma. 6 Juni 1979 Ellul, Jaques. The Technological Society (terjemahan dari bahasa Perancis). New York: Alfred A. Knopf. 1967 Januszewski, Allan. Educational technology : The Development of a Concept. Englewood: CO: Libraries Unlimited Inc. 2001 Mangunwijaya, Y.B.M.. Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jakrta: Yayasan Obor Indonesia. 1983 Mayer, Robert R. dan Greenwood, Ernest. Rancangan Penelitian Keijakan Sosial. (Terjemahan). Seri Pustaka Teknologi Pendidikan. Jakarta : C.V. Rajawali. 1984 Ornstein, Allan C. and Levine, Daniel U. Foundations of Education. Second Edition. Palo Alto, CA : Houghton Mifflin Co. 1981 Freire, Paulo. Pendidikan Masyarakat Kota (Terjemahan). Yogyakarta: LkiS. 2003 Saettler, Paul. A History of Instructional Technology. New York: McGraw-Hill Book Co. 1968 Tickton,Sidney G.(ed) To Improve Learning. Vol I Part I A Report by the Commission on Instructional Technology. New York: R.R.Bowker Co.,1970 Thompson, Merritt M. The History of Education. New York: Barnes and Noble Inc. 1963
Makalah ini merupakan penulisan ulang dari Bab II Monograf Teknologi Pendidikan, 1989
20