“TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL Lee Yeon
∗
Pengantar: Masa Kebangkitan Wanita Pengarang Indonesia, 1970-an an 2000-an Dalam usaha menelusuri perjalanan wanita pengarang Indonesia dalam sejarah sastra Indonesia modern, dapat dijumpai adanya dua periode subur, yaitu masa booming dengan munculnya sejumlah wanita pengarang dengan karya-karyanya yang ikut menyemarakkan perkembangan kesusastraan Indonesia. Kedua masa itu adalah dekade tahun 1970-an dan tahun 2000-an. Tentu saja, tetap ada wanita pengarang dalam khazanah sastra Indonesia di luar kedua masa tersebut. Akan tetapi, wanita pengarang dalam masa selain kedua masa itu dapat dikatakan sebagai tidak begitu produktif dalam menghasilkan karya; sebagian besar hanya menghasilkan sekadar satu atau dua karya saja. Setidaknya masalah yang berkaitan dengan karya wanita pengarang tidak banyak dibicarakan dalam dunia sastra Indonesia sebagaimana yang terjadi pada kedua masa itu.1 * Hankuk University of Foreign Studies 1 Th. Sri Rahayu Prihatmi menyatakan bahwa hasil sastra pengarang wanita tidak banyak jumlahnya. Dia juga menegaskan bahwa jumlah karya mereka tidak banyak karena mereka kurang produktif. Th. Sri Rahayu Prihatmi, Pengarangpengarang Wanita Indonesia: Seulas Pembicaraan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977),
Pada tahun-tahun 1970-an muncul puluhan wanita pengarang dan karyakaryanya. Dunia sastra Indonesia pada masa itu cukup semarak diwarnai oleh karya-karya mereka. 2 Sementara, pada tahun 2000-an, lagi-lagi, wanita pengarang dan karya-karyanya menonjol sekali bahkan kemudian dianggap sangat problematik di dalam maupun di luar dunia sastra.3
hlm.9. Berkenaan dengan wanita pengarang Indonesia, pendapat semacam ini sudah tidak asing lagi; malahan terasa lazim karena pendapat senada banyak dikemukakan oleh pengamat sastra Indonesia yang lain. 2 Pada awal tahun 1970-an bermunculan banyak majalah wanita yang memuat cerpen dan cerita bersambung karya wanita pengarang dengan tema-tema mengenai dunia wanita. Sementaraitu, hadir pula banyak wanita pengarang dan karya-karya mereka dalam dunia sastra Indonesia. Para wanita pengarang itu, antara lain, Canny R. Talibonso, Enny Sumargo, Aryanti, Ike Soetopo, La Rose, Lastari Fardhani Sukarno, Marga T, Marianne Katoppo, Mira W., NinaPane, Nh. Dini, Pipit Senja, Prasanti, Titie Said W.S., Titis Basino, Totilawati Titrawasita, V.Lestari, dan lain-lain. Yang istimewa pada tahun 1970-an itu adalah bahwa wanita tidak hanya mulai menulis, melainkan jumlah karya para wanita pengarang pun semakin meningkat.Menurut data yang dikumpulkan oleh Tineke Hellwig dalam penelitiannya, 800 terbitan dancetakan ulang pertama, hampir 40 persen adalah hasil karya wanita pengarang. Dan juga, diantara buku-buku yang laris (dengan cetakan sebanyak 5000 eksemplar atau lebih) 47 persen ditulis oleh wanita pengarang. Sementara dari buku-buku best sellers (jumlah cetakan 10.000 eksemplar atau lebih), 56 persen di antaranya adalah karya wanita pengarang. Tineke Hellwig, In the Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia. Terj. Rika Iffati Farikha (Jakarta: Desantara, 2000), hlm. 199 3 Pada tahun 2000-an, wanita pengarang dan karya-karya mereka kembali menonjol, bahkan menjadi pembicaraan di dalam maupun di luar dunia sastra. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi banyak perubahan di dunia sastra Indonesia. Salah satu perubahan itu adalah munculnya para wanita pengarang, khususnya dari angkatan muda dengan karya-karya merekayang dapat dianggap “menawarkan kebaruan,” “laris di pasaran,” dan mempertanyakan masalah emansipasi atau kesetaraan jender. Alia Swastika, “Perempuan dalam Sastra Indonesia: Perjalanan dari obyek ke Subyek,” Kompas, 18 Desember 2004.
28 東南亞硏究 23 권 1 호
Kedua masa tersebut memberi sumbangan besar dalam memperkaya khazanah sastra Indonesia. Wanita pengarang pada kedua masa itu jauh lebih dominan dalam dunia sastra Indonesia jika dibandingkan dengan masa yang lain. Terutama, perempuan terlihat sangat jelas dalam posisinya sebagai pembaca, sebagai tokoh dalam karya sastra, dan juga sebagai pengarang pada kedua masa itu. Dengan demikian, kedua masa itu dapat diungkapkan sebagai “kebangkitan” wanita pengarang, bahkan dapat dikatakan juga sebagai “Masa Wanita Pengarang,” yang mempunyai makna cukup besar dalam sejarah sastra Indonesia modern. Ditinjau dari makna atau pentingnya kedua “masa wanita pengarang” dalam dunia sastra Indonesia modern itu, penelitian mengenai kedua masa itu, khususnya perbandingan kedua masa, akan merupakan penelitian yang niscaya penting dan menarik. Juga, jika ditinjau dari kenyataan bahwa pada umumnya
wanita
pengarang
cenderung
mengemukakan
sekaligus
menggarap segala persoalan yang berkaitan dengan kaum wanita melalui karya mereka, sangat mungkin ditemukan persoalan atau tema yang tidak berbeda esensinya di dalam karya-karya mereka, meskipun berbeda latar belakang waktu antara kedua masa itu. Mengingat hal-hal tersebut, dapat muncul sederetan pertanyaan seperti berikut. Apa yang dipaparkan oleh wanita pengarang dari kedua masa yang berbeda itu? Apakah ada atau dapat ditemukan persoalan yang sama dalam karya-karya mereka pada kedua masa itu? Jika terdapat persamaan masalah yang diajukan oleh wanita pengarang dari kedua masa itu, pertanyaan berikutnya adalah, apakah juga terdapat perbedaan atau perubahan pada cara menyampaikan atau mewujudkan persoalan tersebut dari wanita pengarang yang berbeda masanya itu? Hellwig, dalam penelitiannya mengenai citra perempuan dalam sastra Indonesia, menyatakan bahwa para wanita pengarang juga menempatkan tokoh-tokoh perempuan pada kedudukan subordinate, tidak berbeda
“TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
29
dengan pria pengarang, meskipun kadang-kadang terdapat usaha serta sikap yang bertentangan dengan segala tindasan serta ketidakadilan yang melingkupi mereka. Berdasarkan pada hasil penelitiannya dari pembahasan terhadap delapan karya wanita pengarang yang diterbitkan pada 1970-an dan dua karya wanita pengarang yang diterbitkan pada 1980-an, dia berkesimpulan bahwa wanita pengarang melukis perempuan bukan sebagai makhluk yang mandiri dan bebas, melainkan hanya dalam kaitannya dengan kaum pria. Juga, ia menyatakan bahwa kerangka berpikir tradisional yang mengakar masih terlihat tegas dan ideologi yang berorientasi pada pria terus dikuatkan sendiri oleh para wanita pengarang itu. Menurutnya, hal itu sangat mungkin karena para wanita pengarang itu merasa harus menyesuaikan diri dengan norma lelaki supaya memperoleh tanggapan serius dan agar dibaca.4 Berkaitan dengan hal itu dapat muncul sebuah pertanyaan lagi, seperti, apakah pada zaman sekarang ini tokohtokoh perempuan dalam karya-karya wanita pengarang masih terikat pada posisi sama, yaitu subordinate, setelah hampir tiga puluh tahun berlalu? Penelitian ini, dengan demikian, diharapkan akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan–pertanyaan tersebut dengan membandingkan dua karya wanita pengarang dari kedua masa itu, yaitu Pada Sebuah Kapal, karya Nh. Dini, yang diterbitkan pada tahun 1973 dan Saman, karya Ayu Utami, yang diterbitkan pada tahun 1997. Dipilihnya karya dari kedua pengarang tersebut terutama dilihat dari realita yang ada, bahwa dari sudut kualitas karya kedua wanita pengarang itu dapat dikatakan mendapat penilaian yang umumnya baik dari para pengamat sastra, dan dari sisi lain, kedua karya tersebut telah mampu mencuri perhatian banyak pengamat
4
Hellwig., op.cit., hlm. 236-249
30 東南亞硏究 23 권 1 호
sastra sebagai bahan komentar atau kajian mereka.5
“Tubuh Perempuan” dan Keperawanan Perempuan Sejauh ini tubuh perempuan, sebagai tema, dalam karya wanita pengarang, bukanlah sesuatu yang baru. Tubuh perempuan itu, sebenarnya, telah mendapat banyak perhatian dari sejumlah wanita pengarang, sehingga berulang kali muncul dalam karya-karya mereka sejak dulu. Mengapa wanita
pengarang
memperhatikan
tubuh
perempuan?
Salah
satu
penyebabnya adalah karena perempuan tidak memiliki hak sepenuhnya atas tubuhnya dalam konteks budaya yang berakar pada nilai-nilai patriarki yang bersifat maskulin, meskipun tubuh adalah bagian yang paling dekat dengan diri sendiri serta juga milik sendiri. Mengenai pertanyaan, seperti, “Kalau kita lihat pada wanita pengarang 5
Di antara sejumlah wanita pengarang pada periode 1970-an, Nh, Dini dapat disebut sebagai wanita pengarang yang paling produktif, karena jumlah karya yang dihasilkan pada periode itu mencapai 7 buah novel. Novel-novelnya mendapat perhatian dan sambutan hangat dari masyarakat. Di antara karyakaryanya, novel Pada Sebuah Kapal mencuri banyak perhatian dari masyarakat. Th. Sri Rahayu Prihatmi menyatakan bahwa novel Pada Sebuah Kapal merupakan karya Nh, Dini yang paling unik dan menarik, baik ditinjau dari segi tema ataupungaya penyajian. Th. Sri Rahayu Prihatmi, “Nh. Dini Yang Unik, Bebas dan Menarik,” Basis,Oktober 1974. Sebetulnya novel tersebut mengalami cetak ulang sebanyak 12 kali sampai saat ini. Sementara Saman, karya Ayu Utami dapat dikatakan menggemparkan sekaligus banyak mempengaruhi dunia sastra Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan bahwa novel itumengalami cetak ulang sebanyak 7 kali selama 3 bulan (April-Juni 1998) setelah diterbitkan.Novel karya Ayu Utami ini juga menjadi pemenang pertama Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 1997. “TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
31
muda pada zaman sekarang, ada satu titik tentang seksualitas perempuan yang mejadi tema pokok. Kenapa harus dimulai dari tubuh? Melani Budianta menyatakan, “Perempuan cenderung tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, karena dalam wacana-wacana lama, fungsi seksualitas perempuan dekat dengan melahirkan anak atau mereproduksi dan kemudian hidupnya diabaikan untuk membesarkan anak. Gerak perempuan sudah menunjukkan bahwa semua orang berhak atas tubuhnya. Tubuh perempuan bukan sesuatu yang tabu, tetapi sesuatu yang positif di mana perempuan berhak untuk mengapresiasi tubuhnya sendiri. 6 Oleh karena itu, tubuh perempuan merupakan persoalan yang tidak dapat dielakkan, terutama jika mereka ingin memaparkan masalah kaum perempuan melalui karyanya. Demikianlah, tubuh perempuan, terutama pada karya wanita pengarang bukan yang berarti ‘muka,’ ‘telinga,’ dan berbagai bagian ‘tubuh’ lainnya, tetapi sesuatu yang menyiratkan sebuah konotasi. Dengan kata lain, tubuh perempuan lebih merujuk pada kungkungan dan paradoks yang melingkupi kehidupan kaum perempuan. 7 Oleh karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tubuh perempuan sering digunakan sebagai sesuatu yang memperlihatkan realitas yang mengungkung kaum wanita secara simbolis atau implisit. Berkenaan dengan masalah tubuh perempuan, satu dari persoalan yang paling sering muncul dalam karya wanita pengarang adalah persoalan keperawanan yang dianggap sebagai kesucian perempuan yang wajib dijaga sampai masa perkawinan. Penyebab dipersoalkannya hal ini karena di dalam persoalan itu terdapat ketidaksetaraan gender yang sangat 6
”Wacara dalam “Merekam Penulis Perempuan dalam Sejarah Kesusastraan.” Wawancara. Jurnal Perempuan, No. 30. 2003. 7 Loekito Medy, “Perempuan & Sastra Seksual,” Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2003), hlm. 133.
32 東南亞硏究 23 권 1 호
menonjol dalam sikap masyarakat yang mempersoalkan keperawanan pada kaum perempuan, sedangkan hal sama jarang, atau bahkan hampir tidak dipersoalkan pada kaum laki-laki.
“Tubuh Perempuan” dalam Pada Sebuah Kapal (1973) dan Saman (1997) Secara nyata, keperawanan merupakan salah satu tema utama yang diajukan dalam karya wanita pengarang pada tahun 1970-an. 8 Dalam kaitannya dengan hal itu, di antara karya-karya wanita pengaranag yang diterbitkan pada 1970-an terdapat sebuah karya yang memperlihatkan keluarbiasaan atau keberanian terhadap persoalan keperawanan perempuan; karya itu adalah Pada Sebuah Kapal (1973) karya Nh. Dini. Apa yang dimaksud “keberanian” terhadap persoalan keperawanan perempuan tersebut adalah bahwa Sri, tokoh utama dalam karya itu rela “menyerahkan dirinya” kepada pacarnya sebelum menikah, walaupun dia cukup menyadari bahwa perbuatannya itu justru berlawanan dengan konvensi atau norma sosial. Oleh karena itu, peristiwa itu dalam karya tersebut dianggap sebagai sesuatu yang “sensasional,” jika ditinjau dari sikap masyarakat yang kukuh menganggap penting persoalan keperawanan perempuan pada latar belakang waktu dalam karya itu. Aku tidak menunggu saat perkawinan kami lagi seperti kebanyakan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Saputro telah
8
Para wanita pengarang Indonesia pada tahun 1970-an menulis dengan topik mengenai kaum perempuan. Cinta, keperawanan, pernikahan, keluarga, dan posisi janda muda merupakan tema yang berulang kali muncul. Hellwig., op.cit., hlm.203. “TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
33
kembali. Dan aku mencintainya. Apa lagi yang mesti kami tunggu saling melumat satu dengan lainnya, memasabodohkan hukum yang hanya dibikin oleh abad-abad terakhir.9
Pada kutipan di atas, Sri kelihatan tidak mempedulikan norma-norma moral yang berhubungan dengan keperawanan perempuan dalam masyarakat dan juga terlihat pada tidak terdapatnya ketegangan mental padanya ketika peristiwa itu terjadi. Sri dalam keadaan tersebut kelihatan sangat tegas; setidaknya tidak kelihatan ragu-ragu pada keputusannya. Malahan, pada kalimat terakhir dalam kutipan di atas dijumpai bahwa dia bersikap menolak terhadap norma-norma ‘yang hanya dibikin oleh manusia abad-abad terakhir,’ Pada awalnya, keputusan Sri untuk berani berhubungan seks dengan pacarnya itu sebelum menikah dapat memberikan gambaran bahwa dia mempunyai hak atas tubuhnya. Akan tetapi, tidak lama kemudian ternyata kesadaran terhadap hak atas tubuhnya sendiri hanya separuh saja, karena dia menjadi terganggu dan merasa tegang sebagai akibat dari kehilangan keperawanannya setelah pacarnya meninggal dunia. Kenyataan itu menunjukkan bahwa dia rela menyerahkan diri kepada pacarnya karena ia yakin akan menikah dengan pacarnya itu. Dengan demikian, kematian pacarnya mengakibatkan dua penderitaan kepadanya. Yang pertama adalah penderitaan akibat dari meninggalnya sang kekasih, sedangkan yang kedua, adalah penderitaan dari ketakutannya karena dia akan dianggap rendah dalam lingkungan masyarakat sebab telah kehilangan kesuciannya.
9
Nh. Dini, Pada Sebuah Kapal (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm.120
34 東南亞硏究 23 권 1 호
Aku kawin dengan dia karena aku suka kepadanya dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda-pemuda di negeriku menganggap seorang wanita yang telah kehilangan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah.10
Rasa kehilangan kesucian serta ketakutannya akibat dari kehilangan itu justru menunjukkan bahwa dia sangat terikat pada norma-norma moral dalam masyarakat, sekaligus berarti bahwa dia pun juga tidak menghargai tubuhnya yang telah kehilangan keperawanannya. Tubuhnya, bagi Sri, bukan miliknya sendiri melainkan sesuatu yang dimiliki bersama oleh norma-norma masyarakat, sehingga dia tidak mempunyai hak yang sepenuhnya atas tubuh sendiri. Dalam ketegangan itu Sri sangat memerlukan sesuatu yang dapat melindungi harga dirinya yang dianggap rendah oleh masyarakat. Apa yang dibutuhkannya itu, kemudian dapat dipenuhi melalui pernikahannya dengan Charles, walaupun sesungguhnya dia tidak mencintainya. Sebelum kawin dia telah mengetahui aku pernah mencintai dan memberikan keperawananku kepada orang lain. Orang-orang Barat kebanyakan tidak berkeberatan akan masih suci atau tidaknya seorang perempuan yang menarik hatinya yang akan dikawinnya.11
Meskipun apa yang ingin dilepaskannya adalah hanya ketakutan, ternyata, sebagai akibatnya dia juga melepaskan haknya atas tubuhnya sendiri dalam konvensi masyarakat. Secara keseluruhan, kehilangan keperawanan justru memberikan
10 11
ibid., hlm. 154 ibid., hlm. 150 “TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
35
dampak yang sangat besar, sekaligus merupakan suatu titik peralihan pada kehidupannya. Dampak tersebut dapat dikatakan bernuansa agak negatif dalam karya itu, karena Sri sama sekali tidak merasa berbahagia dalam kehidupan pernikahannya dengan Charles yang tidak dicintainya. Tubuh Sri dapat diinterpretasi sebagai korban yang ditinggalkan oleh pemiliknya, karena dia telah melepaskan haknya atas tubuh dalam konvensi masyarakat. Pada Sebuah Kapal, dengan demikian, hanya merekam saja realita yang mengungkung tubuh perempuan, meskipun terdapat keberanian terhadap masalah keperawanan perempuan. Sebagaimana halnya dalam realita yang nyata, tokoh perempuan dalam karya itu tidak berhak pada tubuhnya sendiri. Sementara itu, terdapat pula adanya kehilangan keperawanan pada seorang perempuan yang sangat “menakjubkan” dalam Saman (1997), karya Ayu Utami, seperti kutipan di bawah ini. Tapi, sehari sebelumnya aku dibuang ke kota asing tempat tinggal saat ini, aku segera mengambil keputusan. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kusukai. Malam terakhir itu, di bawah bulan warna jambon, aku berjingkat ke pawon, dan kurenggut ia dengan sendok teh. Ternyata cuma sarang laba-laba merah. Kusimpan ia dalam kotak perak Jepara dan kuberikan kepada anjing. Dia memang pengantara pesan-pesan rahasia antara aku dan raksasa.12
Jika masalahnya dibandingkan dengan Pada Sebuah Kapal, pada Saman cara kehilangan keperawanan sangat berbeda. Shakuntala, salah seorang tokoh perempuan dalam karya itu, tidak menyerahkan keperawanannya 12
Ayu Utami, Saman (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), hlm. 121
36 東南亞硏究 23 권 1 호
kepada laki-laki, melainkan “merusaknya” dengan sengaja, sebagaimana terdapat di kutipan di atas. Pada tindakannya dalam kutipan tersebut dapat dijumpai konotasi, karena tindakannya yang sangat “liar” itu dapat diinterpretasi sebagai sikap perlawanan yang kuat terhadap realitas yang mengungkung hak perempuan atas tubuhnya sendiri. Melalui tindakan itu, dia memperlihatkan bahwa hak atas tubuhnya-termasuk keperawanansepenuhnya ada padanya sendiri. Selain peristiwa itu, Shakuntala juga memaparkan haknya atas tubuhnya sendiri melalui menari. Sejak lama kutemukan hidupku adalah menari. Bukan di panggung melainkan di sebelah ruang dalam diriku sendiri. Entah berdinding atau tanpa batas tempat itu suwung tanpa ada pengunjung. Di sana aku menari tanpa musik mengiringi. Musik itu ada, aku bisa mendengar roceh dan rebab. Tapi ia bermain sendiri-sendiri, seperti aku: menari sendiri. Kami penuh dalam diri masing-masing, tidak mengisi satu sama lain, apalagi melengkapi upacara penyambutann tamu-tamu sultan atau turis keraton. Di luar sana barangkali ada penonton yang datang sedikit demi sedikit; apa peduliku dan para penabuh gamelan itu? Aku menari sebab aku sedang merayakan tubuhku. Tetapi kelimun itu mengira aku adalah bagian bagi mereka. Ini menimbulkan persoalan. Mereka bertepuk dan menami aku ; Si Penari. Lalu orang-orang menegakkan panggung di alun-alun serta menggantung petromaks tinggi-tinggi, dan menafsirkan bahwa si Penari harus sintal dan lentur supaya geraknya menjadi untuk hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin, tidak boleh terlalu lambat biar tak mengundag kantuk. Maka, di pentas ramai itu ia pun seorang ledek; meloggok untuk memuaskan penonton tayub yang menuntut. Ronggeng. Gandrung. Si Penari tak lagi merayakan tubuhnya. Tubuh
“TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
37
itu bukan miliknya lagi. Seperti seorang istri yang tidak memiliki badannya. Karena itu aku selalu kembali ke ruang dalam diriku sendiri, di mana penari dan penabuh bermain sendiri-sendiri. 13
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa Shakuntala merasa atau menikmati haknya sepenuhnya atas tubuhnya sendiri, karena ditolak menjadi hanya Si Penari saja yang merupakan “bagian dari perayaan bagi mereka.” Menurutnya, “Si Penari tak lagi merayakan tubuhnya, karena tubuh itu bukan miliknya lagi. Seperti seorang istri yang tidak memiliki badannya” Hal tersebut memperlihatkan bahwa dia bersikap menolak terhadap norma masyarakat yang berkaitan dengan penari wanita, yaitu “si Penari harus sintal dan lentur supaya geraknya menjadi untuk hadirin, tidak boleh terlalu bertenaga agar feminin, tidak boleh terlalu lambat biar tak mengundag kantuk.” Oleh sebab itu, dia menari sendiri, menari untuk sendiri, dan menari untuk merayakan tubuhnya sendiri dengan bebas, karena tubuhnya merupakan miliknya sendiri tanpa gangguan dari apapun. Sementara itu, apa yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa tidak ada perubahan pada kedua konteks sosial dalam kedua karya tersebut, yaitu nilai-nilai dan norma-norma moral terhadap keperawanan perempuan sama sekali tidak berubah. Sebagai contoh, dalam Pada Sebuah Kapal, ibu Sri menekankan pentingnya kesucian anak-anak perempuan selama mereka belum menikah. Seperti halnya Sri dalam Pada Sebuah Kapal, Shakuntala dalam Saman juga diberi nasihat agar harus menahan keperawanannya sebelum menikah, seperti kutipan di bawah ini. Waktu orang tuaku mendengar bahwa aku pacaran dengan seorang raksasa
13
di
dalam
ibid., hlm. 125-126.
38 東南亞硏究 23 권 1 호
hutan,
mereka
memberi
nasehat
kedua.
Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau punya satu seperti hidung. Karena itu jangan pernah diberikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah.14
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kedua tokoh perempuan tersebut berada dalam konteks sosial yang sama, setidaknya dari perspektif terhadap keperawanan perempuan. Namun, dalam konteks sosial yang sama, ditemukan perbedaan pada cara menghayati tubuhnya sendiri dari kedua tokoh itu. Sri dalam Pada Sebuah Kapal melepaskan haknya atas tubuh dalam konvensi masyarakat, sedangkan Shakuntala dalam Saman merayakan tubuhnya sendiri dengan penuh kesadaran terhadap haknya atas tubuhnya sendiri.
Kesimpulan: Unsur Seksualitas dan Tubuh Perempuan dalam Karya Wanita Pengarang Satu dari antara sejumlah fenomena yang paling luar biasa dalam dunia sastra pada zaman sekarang adalah bahwa wanita pengarang dan karyakaryanya mendapat perhatian yang sangat besar serta hangat dari masyarakat. Seringkali masalah karya wanita pengarang diperbincangkan di dalam maupun di luar dunia sastra. Sesungguhnya, mengenai wanita pengarang dan karya-karyanya pada zaman sekarang ini tidak sedikit resensi dan makalah yang di media cetak yang disampaikan di depan forum ilmiah. Dalam kaitan ini terhadap pertanyaan, seperti, “Mengapa keberadaan pengarang wanita dan karyanya dipermasalahkan sekarang? 14
ibid., hlm. 121 “TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
39
Dalam hal ini Sapardi Djoko Damono menyatakan, “Itu berkaitan dengan unsur ‘seksualitas’ dalam sejumlah fiksi yang ditulis oleh mereka. Karena hal itu justru bertentangan dengan nilai-nilai, dan norma-norma moral dalam masyarakat.”15 Sebagimana pernyataan tersebut, dari segala ulasan terhadap masalah berkaitan dengan wanita pengarang, soal yang paling banyak diperbincangkan antara lain adalah unsur seksualitas yang tentu kaitannya dengan tubuh perempuan dalam karya-karya wanita pengarang. Sementara, kenyataan tersebut juga memperlihatkan bahwa seksualitas merupakan hal yang sangat dijauhkan bahkan ditabukan dari kaum wanita sebagai sesuatu yang layak dikemukakan secara terbuka di depan, malahan di lingkungan kreatif, yaitu penciptaan karya sastra. Oleh karena itu, unsur seksualitas dalam karya-karya wanita pengarang itu menimbulkan banyak tanggapan dari masyarakat, sekaligus merupakan salah satu sifat yang membedakan dari karya-karya wanita pengarang sebelumnya. Berkenaan dengan hal ini Faruk menyatakan seperti berikut. Pada tahun 1960-an dan 1970-an bukannya tidak terdapat penulis novel wanita yang berani menggambarkan secara terbuka persoalan seksualitas dan aktivitas seksual. Nh. Dini dan La Rose mempunyai keberanian yang demikian, Namun, penulis-penulis sebelumnya menempatkan seksualitas dan aktivitas seksual masih dalam bingkai perasaan yang halus, cinta yang tulus dan sejenisnya. Berbeda dengan novelis generasi Ayu sendiri dan Nova, seks di tangan mereka, seakan-akan menjadi sebuah dunia tersendiri yang bisa terlepas sama sekali bingkai cinta seperti itu.16 15
16
Sapardi Djoko Damono, “Meninjau Perempuan dalam Sastra,” Prosa, No. 4 (Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia, 2004), hlm. 181-182 Faruk, “ Novelis Wanita dan Budaya Populer,” Prosa, No. 4 (Jakarta: PT. Metafor Intermedia Indonesia, 2004), hlm. 121.
40 東南亞硏究 23 권 1 호
Dalam kaitannya dengan masalah seksualitas, bagaimanapun, satu unsur yang tidak terlepas dari masalah tersebut adalah tubuh perempuan. Hal itu disebabkan karena seksualitas yang pada umumnya selalu mengacu pada tubuh. Lagi-lagi dalam karya wanita pengarang, ungkapan seksualitas bukan semata-mata aktivitas seksual yang fisik saja, tetapi juga ekspresi mengenai tubuh perempuan yang terpasung oleh norma-norma masyarakat. Dengan demikian, jika terdapat perbedaan atau perubahan pada cara menghayati tubuh perempuan dalam karya-karya wanita pengarang, hal itu sangat mungkin memperlihatkan juga adanya perubahan, terutama pada kesadaran kaum wanita sendiri terhadap tubuh mereka. Berhubungan dengan hal itu, dapat dijumpai kenyataan yang niscaya berarti pada Saman, karya Ayu Utami. Dalam karya itu, tubuh perempuan bukan tubuh yang terusak atau dikorbankan oleh konvensi sosial, tetapi tubuh yang didekonstruksi oleh perempuan sendiri. Pada kenyataan tersebut ditemukan bahwa perempuan mulai menuntut secara aktif hak atas tubuhnya, Shakuntala merayakan tubuhnya sendiri dengan penuh kesadaran terhadap haknya atas tubuhnya sendiri, berbeda denga sikap Sri yang pasif, yang tidak melepaskan tubuhnya dari konvensi sosial.
“TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
41
Budianta, Melani. “ Merekam Penulis Perempuan dalam Sejarah Kesusastraan,” Wawancara. Jurnal Perempuan, No. 30, 2003. Damono, Sapardi, “Meninjau Perempuan dalam Sastra,” Prosa, No.4, 2004. Dini, Nh. Pada Sebuah Kapal. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. Faruk. “ Novelis Wanita dan Budaya Populer,” Prosa, No.4, 2004. Hellwig, Tineke. In the Shadow of Change: Citra Perempuan dalam Sastra Indonesia, ter. Rika Iffati Farikha. Jakarta: Desantara, 2003. Leokito, Medy. “Perempuan & Sastra Seksual,” Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2003. Prihatmi, Th. Sri Rahayu. “ Nh. Dini Yang Unik, Bebas dan Menarik,” Basis, Oktober 1974. _________________. Pengarang-pengarang Wanita Indonesia: Seulas Pembicaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.1977. Utami, Ayu. Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003
42 東南亞硏究 23 권 1 호
ABSTRACT
"Women body" in the works of Indonesian Women Authors: A Comparison between Saman and Pada Sebuah Kapal Lee Yeon (Hankuk University of Foreign Studies)
In the effort to trace down the journey of Indonesian women authors in the history of Indonesian modern literature, there are two important periods, namely the booming era of the emerge of some Indonesian authors with their works that brighten the development of Indonesian literature. The two periods are the decade of the year 1970s and the year 2000s. Looking at the important of those two eras of women authors in the Indonesian modern literature, the research about those two eras, especially the comparison between the two eras, are definitely important and interesting. Also, if observing from the fact that generally women authors inclined to express every issues related with women through their works, very possible to find the issue or theme that have no difference in the essence inside their works, eventhough there are difference of time background between those two eras. This research is an effort of comparing between Pada Sebuah Kapal by Nh. Dini that published in 1973 and Saman by Ayu Utami from the perspective of women body that expressed in those two works. As conclusion of this research, it's found out the fact that definitely important in Saman by Ayu Utami. In that work, women body is not damaged or sacrified by social convention, but rather a body that deconstructed by the women itself. In that reality, it is found that women start to demand actively their rights of their own body. 'Shakuntala celebrates her own body with fully awareness
“TUBUH PEREMPUAN” DALAM KARYA WANITA PENGARANG INDONESIA: SEBUAH PERBANDINGAN ANTARA SAMAN DENGAN PADA SEBUAH KAPAL
43
of her rights of her own body, while Sri with her pasive atitude won't let go her body from social convention.'
Key Words: women body, Indonesian Women Authors, social convention, women’s rights of their own body
▸ 논문접수일 2013. 03. 28 ▸ 논문심사일 2013. 05. 07 ▸ 게재확정일 2013. 05. 24
44 東南亞硏究 23 권 1 호