Sudjadi Tjipto. R Tubuh Laki-Laki dalam Busana Perempuan Jawa, Analisis Semiotika Poster Angkring Kampungan “Mbok Brewok”
Tubuh Laki-Laki dalam Busana Perempuan Jawa Analisis Semiotika Poster Angkring Kampungan “Mbok Brewok”
Sudjadi Tjipto. R Sekolah Tinggi Seni Rupa dan Desain Visi Indonesia
Abstrack The power between male and female community is termed by the equality gender. In general, study of the equality gender discussed about the inequality which being charged by the female community, because they wanted to enter the male community domination ‘area’. On the first impression of Angkring Kampungan “Mbok Brewok” poster, showed an unordinary thing which is visualize a ‘beardy’ man figure using a complete women Javanese costume. It is used as the attraction element of a culinary promotion media. This article discussed the ‘unordinary’ visual appearance of “Mbok Brewok” poster, which is using Barthes’s semiotics analysis theory. This theory used to reveal the myth inside the poster. At the end, it is conclude that the myth is refers to the men invasion, because they protested that their area had been ‘corrupted’ by the female community. Keywords: Semiotics, Myth, Poster, Angkringan
145
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Pendahuluan Dalam makalah ini akan dibahas aplikasi analisis semiotika Barthes pada sebuah poster Angkring Kampungan Brewok yang sempat didokumentasikan pada sebuah pameran buku di Yogyakarta pada awal April 2011 (kini usaha angkringan telah tutup). Angkringan Kampungan Brewok adalah sebuah rumah makan tradisional yang menggunakan konsep angkringan sebagai strategi penjualannya. Didirikan oleh Muhammad Ichsan Zulkarnain (35 th) alias Dobleh seorang alumnus jurusan teater ISI Yogyakarta. Dobleh sebelum membuka usaha kuliner sempat malang-melintang bekerja pada departemen artistik beberapa PH (Production House) di Jakarta. Angkringan pada stan kuliner pameran buku ini merupakan pengembangn usaha warung angkringan mbok brewok yang berpusat di Jl. Parangtritis Km 7 Yogyakarta. Warung Mbok Brewok berinterior gaya Jawa dengan konsep yang terbuka mejadikan tempat yang pas untuk makan atau sekedar nongkrong. Konsumen setia didominasi mahasiswa, seniman dan budayawan. Teori Analisis Semiotika Barthes Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan menghasilkan makna bertingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan
146
konotasi (konotation). Denotasi diartikan sebagai hubungan penanda dan pertanda yang bersifat eksplisit, langsung dan pasti. Dalam hal ini bentuknya berupa makna yang tampak. Konotasi adalah hubungan penanda dan pertanda yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Kemudian Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya yaitu makna-makna yang bersifat konvensional yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pengkodean Barthes adalah pengkodean makna-makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang alamiah (Piliang, 2003: 261) lebih jelasnya digambarakan pada skema berikut :
Gambar 1. Skema sederhana alur teori denotas/konotasi Roland Barthes (sumber Piliang, 2003: 262)
Tata urutan pembahasan elemen desain secara keilmuan desain komunikasi visual dilakukan dengan mengutamakan elemen desain yang paling menarik perhatian (eye catching) terlebih dahulu kemudian baru kemudian dibahas elemen desain yang lain. Urutan dimulai dengan menganalisa elemen foto yang meliputi pose dan aksesoris, kemudian elemen teks/ kalimat iklan, dan terakhir unsur warna
Sudjadi Tjipto. R Tubuh Laki-Laki dalam Busana Perempuan Jawa, Analisis Semiotika Poster Angkring Kampungan “Mbok Brewok”
yang digunakan Mengutip pendapat Hoed bahwa perbedaan teori semiotika dalam teori strukturalisme Peirce dan Eco yang bersifat tertutup, sedangkan teori konotasi Barthes memberikan kebebasan kognisi manusia untuk berperan aktif dalam hal ‘representasi’ dan ‘interpretasi’(Hoed, 2008: 44). Yasraf Amir Piliang dalam kata pengantar tulisan Tinarbuko (2009) tentang Semiotika Komunikasi Visual menegaskan bahwa dalam semiotika komunikasi visual melekat fungsi komunikasi, yaitu fungsi penyampai pesan (sender) dalam hal ini adalah warung angkring “Mbok Brewok” kepada penerimanya (receiver) yaitu calon konsumen. Kemudian yang juga perlu diperhatikan adalah “muatan lokal” semiotika seperti aneka “kode cultural” (cultural codes) yang bersifat indigenous, yang hidup dalam masyarakat dan kebudayaannya, dalam konteks makalah ini adalah masyarakat dan kebudayaan Jawa khususnya Yogyakarta. Didalamnya terdapat kode-kode tentang mitos-mitos (keperkasaan, kecantikan), plesetan (figure of speech), dan kode gender (maskulinitas, femininitas). Pemaknaan Denotasi Makna denotasi dalam poster warung angkring “Mbok Brewok” adalah foto seorang pria brewokan berkaca mata minus, bergincu merah dengan pemerah pipi dan bersanggul Jawa (konde) berkebaya modern warna hijau muda dengan hiasan manik-manik serta menggenakan bawahan kain kebaya motif Sido
Luhur. Pose “Mbok Brewok” duduk pada sebuah kursi kayu hitam dengan tangan kiri mengelus-elus brewoknya, sementara tangan kanan memegang ujung kursi. Posisi tubuh “Mbok Brewok” condong ke samping kiri dengan pandangan mata menatap kedepan, mulut terkatup dan raut muka tenang/santai. Aksesori yang dikenakan; kacamata minus oval dengan bingkai berwarna emas, dua ating-anting besar bertatahkan berlian imitasi yang tersemat pada kedua belah telinga, bros berbentuk bunga bersegi lima berwarna emas dengan taburan manik-manik yang dipasang pada tengah kebaya. Tangan kiri menggenakan jam tangan kulit besar berbingkai persegi berwarna putih.
Gambar 2. Poster Angkringan Kampungan “Mbok Brewok“ (Dok. 1 April 2011)
147
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
Gambar 3. Pembagian Analisis Semiotika
Foto mbok brewok berlatar belakang motif abstrak berwarna coklat kemerahan. Keseluruhan foto terbingkai dalam sebuah pigura oval ber-outline putih. Berurutan di bawah foto tercantum tulisan “Angkringan” dengan memakai huruf English Script berwana kuning ber-outline hitam, selanjutnya tulisan kampungan menggunakan huruf script yang lebih tebal (bold) dengan warna jingga yang dibuat timbul (tiga dimensi) ber-outline berlapis berwarna kuning dan hitam yang diberi shadow (bayangan) berwarna kuning. Tulisan “Mbok Brewok” dengan tanda kutip menggunkan jenis huruf script yang sama dengan tulisan kampungan yang berwarna kuning, bergaris hitam dan diberikan shadow (bayangan) putih. Slogan promosi warung berbahasa asing (Inggris) “Seating Creative People” dengan
148
jenis huruf Arial Bold berwarna kuning ber-outline hitam. Dibawah tertulis Open Dialy : 19.00 – 04.00 WIB menggunakan huruf Arial Bolt berwarna putih. Di bagian bawah tertulis alamat lengkap warung angkring “Mbok Brewok” menggunakan huruf Arial Bold, berwarna putih dengan latar belakang hitam sebagai bingkainya. Tata letak (layout) seluruh elemen, foto dan tulisan (tipografi) adalah rata tengah (center) dengan latar belakang warna merah jambu (pink). Pemaknaan Konotasi Poster tersebut berhasil menarik perhatian setiap orang (calon konsumen) yang lewat. Mereka terpengarah melihat sesuatu yang dirasa “ganjil”, yaitu seorang laki-laki brewokan berkebaya seperti wanita Jawa. Pada pose di dalam foto dengan brewok, dan janggutnya sosok tersebut “tetap terlihat” sebagai laki-laki maskulin yang menggenakan kebaya. Makna yang diperlihatkan bahwa seorang lelaki juga mahir dalam urusan masak-memasak, mengelola warung makan (Angkringan) tidak kalah cekatan dengan perempuan. Pose “Mbok Brewok” mencerminkan seorang laki-laki penuh wibawa. Posisi tubuhnya yang condong ke kiri mencerminkan sikap optimis seorang laki-laki dalam menjalani hidup. Gerakan tangan kiri mengelus-elus jenggot mengek-
Sudjadi Tjipto. R Tubuh Laki-Laki dalam Busana Perempuan Jawa, Analisis Semiotika Poster Angkring Kampungan “Mbok Brewok”
spresikan bahwa ia sedang berpikir atau menerawang, apabila dihubungkan dengan kacamata yang dikenakan mencitrakan bahwa ia seorang yang cerdas/ terpelajar. Pemakaian model jam tangan wanita yang sedang tren mengindikasikan bahwa “Mbok Brewok” orang yang mengikuti perkembangan mode dan menghargai waktu, tetapi jam tangan yang digunakan pada pergelangan tangan kiri semakin menegaskan bahwa ia memang seorang lelaki tulen bukan seorang wanita. Makna kalimat “Angkring” merujuk pada warung angkringan murah-meriah khas Jogja yang menyediakan hidangan “spesial” berupa sego kucing (sebungkus nasi dengan lauk yang sedikit). Makna kampungan berati daerah pedesaan, “ndeso” atau udik, padanan dari sesuatu yang masih bersifat alami, keramahan, kekeluargaan. Pada sisi yang lain “Kampungan” juga diartikan sebagai sesuatu yang norak, naif, tetapi menggandung kesan jujur, sederhana dan apa adanya. Kalimat “Mbok Brewok” merujuk pada kata “mbok” yang merupakan panggilan (umum) seorang wanita di Jawa. “Mbok” dapat diartikan seorang ibu atau pembantu wanita setengah tua yang telah kita anggap sebagai keluarga sendiri. Makna “Mbok” memiliki makna; melayani dengan tulus dan mahir dalam mengolah masakan. Kata “Brewok” berkonotasi pada kumis dan jenggot yang
menyatu, merupakan simbol maskulinitas (kejantanan) seorang laki-laki, jadi pemaknaan dari “Mbok Brewok” adalah laki-laki gagah perkasa berkebaya yang pandai memasak dan mampu menyamai keterampilan seorang wanita. Kalimat “Open Dialy : 19.00 – 04.00 WIB” merujuk pada jam buka Angkring Kampungan “Mbok Brewok” yang tidak lazim. Angkringan buka pada saat sebagian orang telah tertidur, tentu menarik minat sebagian orang yang suka “nongkrong” atau menghabiskan waktu sampai dengan pagi (subuh). Slogan “Seating creative pople” berarti tempat nongkrong/makan orang-orang kreatif, kalimat ini merupakan analogi yang diambil dari kebiasaan orang “jajan” di angkringan (ngangkring), bebas untuk berdiskusi tanpa mengenal batas umur, status sosial dan waktu. Letak angkringan yang berada di kawasan kampus mahasiwa/seniman (ISI Yogyakarta) memberikan bayangan dalam benak konsumen bahwa mereka akan bertemu dengan seniman/budayawan kreatif yang akan menularkan pola pikir kreatif. Tata letak desain (layout) yang konvensinal (center/rata tengah), memberikan kesan kesederhanaan dan keteraturan. Layout tersebut memudahkan pembaca memahami informasi yang tertera. Pada sisi pewarnaan, kebaya “Mbok Brewok” yang berwarna hijau muda memberikan
149
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
kesan segar, sedangkan kain kebaya yang berwarna coklat tua memberikan kesan matang. Latar poster yang berwarna merah muda memberikan kesan feminim dan kelembutan, tetapi bertenaga. Warna jingga pada kalimat “Kampungan” memberikan kesan energi kreatif, sedangkan warna kuning pada kalimat “Mbok Brewok” memberikan harapan akan kejayaan/ kemakmuran. Kalimat “dialy open” serta alamat angkring kampungan “Mbok Brewok” yang berwarna putih dengan latar hitam memberikan kejelasan informasi bagi para pengunjung. Pemaknaan Mitos Relasi antara makna denotasi dan konotasi di atas menghasilkan mitos-mitos yang tidak tampak di permukaan. Mitos yang muncul dari foto “Mbok Brewok” tersebut sebenarnya mencerminkan konsep maskulinitas, bahwa laki-laki selalu lebih unggul dibandingkan dengan perempuan. Sosok laki-laki yang menggenakan kebaya perempuan Jawa, lengkap dengan asesoris penunjangnya tidak secara otomatis mengubah Ichsan alis “Mbok Brewok” menjadi seorang perempuan, ia tetap seorang laki-laki tulen yang meminjam baju perempuan untuk melaksanakan tujuan tertentu. Hal ini merupakan konsep patriaki dalam kebudayaan Jawa, bahwa laki-laki dapat menjelma menjadi perempuan,
150
tetapi tidak sebaliknya. Pose foto “Mbok Brewok” memperkuat dominasi patriaki tersebut. Laki-laki yang (kelihatan) cerdas digambarkan berpangku tangan mengamati bawahannya (perempuan) yang sedang bekerja, hal ini dijelaskan dengan gerakan mengelus-elus jenggot yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang perempuan. Dari hasil penelitiannya tentang iklan di televisi, Widyatama menarik simpulan bahwa dalam struktur kekuasaan, laki-laki distereotipkan sebagia pihak yang mengusai, dan perempuan distereotipkan sebagai pihak yang dikuasia, bahkan merasa “siap dan rela” untuk dikuasai laki-laki (Widyatama 2006: 144). Jam tangan menunjukkan bahwa setiap detik waktu sangat berharga bagi “Mbok Brewok” , laki-laki pemilik warung, setiap detik dapat berati rupiah (uang). Perihal tersebut didukung dengan waktu pelayanan Angkring “Mbok Brewok” mulai pukul: 19.00 – 04.00 WIB. Waktu yang ditentukan tersebut seolah-olah membujuk orang untuk mengkonsumsi (makanan) pada saat umumnya orang beristirahat. Tentu bukan merupakan sebuah kebiasaan baik dalam pandangan kesehatan. Slogan “Seating Creative People” merupakan bujukan gaya hidup konsumerisme, bahwa apabila ingin dicap sebagai orang kreatif harus makan ke angkring kampungan “Mbok Brewok”, apabi-
Sudjadi Tjipto. R Tubuh Laki-Laki dalam Busana Perempuan Jawa, Analisis Semiotika Poster Angkring Kampungan “Mbok Brewok”
la konsumen makan di tempat lain berarti mereka bukan golongan manusia kreatif. Tata letak desain yang rata tengah (center) diperkuat oleh bentuk bingkai foto yang oval tidak hanya memperlihatkan kesederhanaan tetapi di balik itu segala sesuatu harus dalam satu garis komando sang pemimpin yaitu “Mbok Brewok”, yang notabene adalah seorang laki-laki. Bahwa laki-laki dicitrakan mampu menguasai bidang usaha yang umumnya dijalankan oleh wanita. Bingkai berbentuk oval juga menyimbolkan golongan bangsawan/ningrat. Dalam sejarah desain grafis bentuk bingkai oval masuk dalam kategori gaya “victorian style”, yaitu gaya desain yang dipengaruhi oleh kerajaan, ketika ratu victoria berkuasa di Inggris. Jadi sebenarnya “Mbok Brewok” menempatan dirinya bukan sebagai seorang pelayan tetapi penguasa (kaum bangsawan/priyayi Jawa) yang harus dilayani bukan melayani. Warna kebaya hijau muda yang berkonotasi dengan kesegaran sebenarnya adalah alat yang digunakan untuk memperkuat kewajaran agar tampak lebih natural/alami, sebab warna hijau memberikan efek segar dan tampak lebih muda. Sedangkan warna latar merah muda merupakan warna yang identik dengan wanita yang dipinjam “Mbok Brewok”(laki-laki) untuk memberikan kesan feminim guna menutupi bentuk “kelaki-lakiannya”.Warna jingga pada kali-
mat “Kampungan” dipinjam untuk mengaburkan realitas bahwa kampung halaman saat ini hanyalah sebuah mitos belaka. Kampung halaman yang ideal saat ini hanya terdapat dalam benak orang, realitas kampung sekarang identik dengan kemiskinan, bukan lagi kemakmuran/ketentraman seperti yang dilukiskan dahulu. Latar belakang alamat berwarna hitam dengan tulisan putih sebenarnya merupakan bentuk penegasan agar setiap orang dating ke Angkringan “Mbok Brewok” untuk makan di sana (mengkonsumsi). Simpulan Didapatkan kesimpulan bahwa bentuk dominasi laki-laki pada kaum perempuan tidak sebatas berada pada wilayah kekuasaan laki-laki saja, seperti bidangbidang yang membutuhkan kekuatan fisik, tetapi mulai memasuki wilayah (invasi) “kekuasaan” kaum perempuan yang identik dengan kelembutan. Realitas di lapangan pada umumnya dilakukan oleh laki-laki yang dilahirkan dengan jiwa perempuan (banci/waria) tetapi dalam kajian poster angkring kampungan “Mbok Brewok” kita mendapatkan fakta menarik bahwa laki-laki dengan segala atribut kemaskulinannya (brewokan, gagah, berpose mengelus brewok, jam tangan dipergelangan tangan kiri) memperlihatkan kekuasaannya untuk menginvasi wilayah
151
Kreatif. Jurnal Desain Komunikasi Visual. Vol. 2/ No. 2/ Oktober 2014
kekuasaan perempuan (masak-memasak, berdandan, penjual warung makan/angkringan) dengan “memimjam” gaya feminim seorang wanita Jawa (berkebaya, anting-anting, bros, warna merah jambu). Kepustakaan Darmaprawira, Sulasmi. 2002. Warna, Teori dan Kreativitas Penggunaannya. Bandung: Penerbit ITB Handayani, Chistina S, et al. 2004.Kuasa Wanita Jawa.Yogyakarta: LKiS Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: FIB UI Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra Rustan, Surianto. 2009. Layout, Dasar dan Penerapannya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Rustan, Surianto. 2010. Font & Tipografi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Yogyakarta: Jalasutra Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media Pressindo
152