TRI KAYA PARISUDHA SEBAGAI KONTROL SOSIAL PRILAKU REMAJA DALAM KEHIDUPAN BERMASYARAKAT DI ERA GLOBALISASI DAN MODERNISASI
Oleh : Anak Agung Raka Asmariani*)
Abstract In social life, community, there is hope of harmony and social balance in the form of social order. To embody the regularity in society required the authority that controls the behavior of the individual. Either in the form of institutions, norms, values that are abstracted as social control. In social life, the individual is always expected by the surrounding society to behave or conformist behavior expected by the community so that all societies will always attempt to shape and control all the behavior of the individuals involved in the community as a whole, through lack of adherence to values and norms that have been set. When there is a behavior individuals who no longer adhere to the values and norms that have been set then came the behavior deviant. With the guidelines of the reference in the Act and interact among fellow human beings as members of society, then the harmony and functionality of rights. Religion is something very vital in the behaviour of the society. Discretion is needed of the field in all aspects of life. Religion feel responsible for the existence of norms of decency which is well done in the community. Choose a religion decency norms of good and confirmed that, as a rule that exemplary, and reject bad rule for abandoned as ban (Donder and Wisarja, 2008: 5). Religion can use a reference frame which has the book of Holy order. Should always be able to provide a response to all the changes that occur in the environment around (Sudibya, 1994: 8). Tri Kaya Parisudha is one part of on teachings of hinduism, Tri Kaya Parisudha derived from a Tri which means three, Kaya which means motion and Parisudha it means sacred, so Tri Kaya Parisudha mean - three the works that are sacred. There are three unmannerly man to be purified, which is thinking of being clean and holy (manacika), said right (wacika), will do what is upright (kayika), so Tri Kaya Parisudha was an attempt to purification and cleansing over what we did. Keyword : Tri Kaya Parisudha, Society, Control
*) Anak Agung Rak Asmariani, S.Ag., M.Fil.H., adalah Ketua Program Studi Filsafat Timur Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar.
I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki budaya dan adat istiadat yang sangat kental terhadap prilaku manusia pada umumnya. Budaya timur yang berlandaskan pada etika dan tata susila pada umumnya dalam sebuah kehidupannya. Pulau Bali selain dikenal dengan keindahan alamnya, juga dikenal dengan prilaku masyarakatnya yang ramah, dan memiliki sopan santun yang tinggi terhadap orang lain yang harus selalu dipertahankan untuk menuju ke dalam sebuah kehidupan yang harmonis. Pada zaman sekarang ini kemampuan seseorang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi tingkat derajat material kehidupan seseorang (Donder,2004:11). Sebaliknya sangat minim jumlah orang yang menyadari bahwa semua itu menimbulkan sebuah pengaruh yang begitu besar bahkan berdampak terhadap sebuah kehidupan ada yang berdampak positif dan ada pula yang membawa dampak negatif. Dampak positifnya adalah berpengaruh pada perkembangan dan kemajuan. Dampak negatif berupa pola kehidupan masyarakat yang menjadi konsumtif, sikap individualistik, gaya hidup kebarat-baratan, dan terjadinya kesenjangan sosial. Perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi transpormasi dan komunikasi memungkinkan terjadinya mobilitas penduduk dan pertukaran informasi yang sangat pesat diantara masyarakat dunia. Kondisi ini membawa akibat terjadinya kegiatan silang budaya dengan intensitas yang tinggi antara penduduk, dan antara negara yang satu dengan lainnya. Dan kita harus mampu menyaring yang baik yang sesuai
dengan budaya kepribadian yang hendaknya harus terus dikembangkan. Terkadang prilaku yang kurang baik (amoral) dan tidak bertata susila dapat masuk ke dalam kehidupan karena begitu besarnya pengaruh dari luar. Begitu juga dengan prilaku siswa mendapat pengaruh yang begitu besar yang lebih mengarah kepada arah yang negatif. Prilaku seorang siswa mengalami sebuah kemerosotan dalam pergaulan, dalam proses menuntut ilmu, berhubungan dengan gurunya, dengan orang tuanya bahkan dalam hubungan sosial dengan masyarakat. Realita yang ada pada zaman sekarang ini adalah seorang siswa kebayakkan mencemooh gurunya yang seharusnya mereka hormati. Beribu-ribu, berjuta-juta orang yang menjadi siswa dan mahasiswa tetapi sangat langka yang menunjukkan sebuah perilaku yang baik, karena banyak siswa pada zaman modern seperti sekarang ini berperilaku tidak bermoral, minum-minuman keras, memakai narkotika, berhubungan seksual dengan bebas, tidak hormat kepada guru, kepada orang tua dan kepada orang yang lebih tua. Fenomena-fenomena yang terjadi sungguh bertentangan dengan ajaran agama Hindu. Agama Hindu dengan sumber ajaran kitab sucinya Weda selalu mengarahkan dan menuntun umatnya berprilaku sesuai dengan kaidah-kaidah yang dituntun oleh agama. Masalah kehidupan tidak mungkin bisa lepas dari pengaruh pergaulan dan pengalaman karena itu merupakan masalah yang alami dan bersifat abadi. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi agama merupakan pengarah atau penuntun yang baik agar tidak terjadi
penyimpangan karena pada kenyataannya pengetahuan agama dan pengetahuan teknologi saling melengkapi. Seperti apa yang dinyatakan oleh Albert Einstein bahwa “ilmu tanpa agama adalah pincang dan agama tanpa ilmu adalah buta”(Surpi,2005:3). Agama merupakan sesuatu yang sangat pital dalam perilaku masyarakat. Sangat diperlukan tata susila dalam segala bidang aspek kehidupan. Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya normanorma susila yang baik yang dilakukan di masyarakat. Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang baik yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang patut diteladani, dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan/tabukan (Donder, 2008:5). Masing – masing agama dapat menggunakan kerangka acuan yang terdapat dalam kitab sucinya. Harus selalu dapat memberikan respon terhadap segala perubahan yang terjadi dalam lingkungan sekitar (Sudibya, 1994:8). Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menghormati setiap orang, sikap ini telah ditunjukan oleh seorang awatara agung jaman dwapara yuga yakni Sri Rama dan memiliki moralitas yang dapat menjadi contoh bagi umat manusia. Sri Rama menunjukan rasa hormat yang luar biasa terhadap ibu beliau, ayah, paman,bahkan kepada tukang kebun sekalipun. Beliau menegakkan kebajikan walaupun kesulitan dalam melakukannya namun beliau tidak pernah mengeluh. Hal ini sangat bertentang dengan kehidupan anak muda dikalangan siswa zaman sekarang yang identik dengan kehidupan berhura-hura dan glamor bahkan sebuah sikap mulia dan bijak
tidak ada tempat bagi siswa yang berjiwa modern. Sikap dan rasa hormat sesungguhnya tertata dengan baik pada masyarakat Bali pada umumnya dimana telah ditanamkan sejak kecil untuk memanggil kakak pada orang yang usianya lebih tua. Tetapi pergeseran terus terjadi dan nilai – nilai ini pun semakin surut bahkan diabaikan. Keberadaan kitab suci dan pustaka – pustaka suci adalah sebagai sarana dan upaya untuk mengarahkan umatnya untuk berbuat dan bertindak yang benar. Salah satu kitab yang dimiliki oleh umat Hindu adalah Manawa Dharmasastra. Manawa Dharmasastra merupakan dokumen tertua di dunia yang secara ekplisit mencantumkan hubungan guru dan siswa. Banyak sekali nilai – nilai ajaran moral yang terkandung didalamnya yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup yang bisa dijadikan sebagai alat pengendali dalam sebuah proses kehidupan bagi orang – orang yang mempelajarinya secara mendalam. II. PEMBAHASAN 2.1 Tri Kaya Parisudha Tri Kaya Parisudha merupakan salah satu bagian dari pada ajaran agama Hindu, tri kaya parisudha berasal dari kata tri yang artinya tiga, kaya yang artinya gerak dan parisudha artinya suci, jadi tri kaya parisudha berarti tiga perbuatan yang suci. Ada tiga prilaku manusia yang harus disucikan, yaitu berpikir yang bersih dan suci (manacika), berkata yang benar (wacika), berbuat yang jujur (kayika), jadi tri kaya parisudha adalah sebuah upaya pembersihan dan penyucian atas perbuatan kita.
2.1.1 Penyucian terhadap Pikiran (Manacika) Penyucian terhadap pikiran (manacika) inilah tindakan yang harus diprioritaskan, karena pada dasarnya semua hal berdasarkan atas sebuah pemikiran. Pikiran menjadi dasar dari perilaku kita yang lainnya (perkataan dan perbuatan), dari pikiran yang murni akan terpantul serta terpancarkan sinar yang menyejukan orang-orang disekitar kita, sebaliknya pikiran yang keruh akan membuat keruwetan terhadap semua urusan dalam kehidupan ini. Bila pandangan kita sempit dan gelap, semua akan menjadi sumpek dan pengap. Sebaliknya bila pandangan kita terang, segala hal akan tampak jelas sejelas-jelasnya. Ibarat orang yang sedang mengenakan kacamata, penampakan yang diterima oleh mata amat tergantung pada kebersihan dan warna lensa kacamata itu sendiri. Pandangan kotor akan menampakan objek kotor dan tidak murni dimata kita. Untuk menyucikan pikiran perlu memperbaiki pandangan terlebih dahulu. Untuk memperbaiki pandangan diperlukan pemahaman yang baik dan mencukupi tentang falsafah ajaran agama yang dapat dipelajari dari kitab suci dan bimbingan guru. Ada tiga pengendalian pikiran yang harus dilakukan dalam usaha menyucikan pikiran. Dalam pustaka kekawin Ramayana sargah 1.4 disebutkan : “ ragadi musuh mapara, ri hati ya tong wanya tan madoh ring awak “……. Artinya : hawa nafsu dan lain – lainnya adalah musuh yang dekat.
di dalam hati tempatnya tidak jauh dari diri sendiri. Kehidupan manusia dihadapkan dengan berbagai masalah dalam kesempatan hidupnya. Masalah – masalah itu akan bisa dihadapi, bila hati atau pikiran dapat dikendalikan terhadap hawa nafsu – hawa nafsu yang mempengaruhinya. Pikiranlah yang merupakan pangkalnya perbuatan. Dari pikiran yang terkendali baik, akan menimbulkan perbuatan yang baik dan dari pemikiran yang buruk akan menimbulkan perbuatan yang tidak baik. Ajaran manacika parisudha menuntun manusia untuk berpikir yang baik, berusaha menolong dirinya dengan mengendalikan pikirannya sebelum akan berkata – kata dan berbuat. Mereka yang kuat mengendalikan pikirannya sehingga tidak mengumbar hawa nafsunya akan lebih mudah mencapai cita – citanya. Mereka tidak banyak digoda atau diperbudak oleh hawa nafsunya. Demikian sebaliknya mereka yang kurang mampu mengendalikan hawa nafsunya sulit akan mencapai cita – citanya sebab itu diperbudak, pikirannya terbelenggu hingga lupa apa yang dilakukan. Dalam hubungan ini ada benarnya nasihat orang – orang tua kita yang sering berpesan “Pikirkan baik – baik terlebih dahulu sebelum akan berbuat, jangan sampai keburu nafsu, sebab apa yang telah lewat sulit akan dikejar“. Contoh lain dapat kita ambil dari cerita Arjuna Wiwaha, dimana Arjuna berhasil melaksanakan tapanya, karena pikirannya terkendali kuat, melawan berbagai macam godaan nafsu. Rasa marah atau krodha yang sering dapat dirasakan oleh setiap
orang. Berpangkal pada pikiran dan hal itu patut dikendalikan agar kita tidak sampai kehilangan rasa keseimbangan dalam diri. Apabila kita tidak kuat mengendalikan pikiran inilah kemudian yang dapat menimbulkan sakit, bingung, marah, benci, stress, gila, tidak ingin makan dan minum, tidur akibat pikirannya terganggu. Ada tiga hal penerapan dari penyucian pikiran seperti yang disebutkan dalam Sarasamuscaya sebagai berikut : 1. Tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal 2. Tidak berpikiran buruk terhadap orang lain 3. Tidak mengingkari hukum karma phala 2.1.2 Penyucian terhadap Perkataan (Wacika) Perkataan yang baik, manis di dengarkan oleh setiap orang. Perkataan itu patut timbul dari hati yang tulus, lemah lembut penyamapaiannya dan menyenangkan hati pendengarnya. Untuk dapat berkata yang baik patut dipikirkan terlebih dahulu. Terlanjurnya berkata – kata akan sulit ditarik kembali. Kata – kata merupakan sarana komunikasi yang paling cepat diterima di dalam pergaulan, perhubungan, pendidikan, penyuluhan, penerangan dan lain sebagainya. Pustaka manusmrta IV. 256 menyatakan perkataan itu menguasai segala sesuatu yang disebutkan sebagai berikut : “Warcyartha niyatah sarve wang mule wagwinih srtah, tam ta yah stenayedwacam sah sarwate
yakrnnatah”. Maksudnya : Segala sesuatu dikuasai oleh perkataan, perkataanlah akar dan asal sesuatu orang tidak jujur dalam kata – kata, sesungguhnya tidak jujur dalam segalanya. Mengeluarkan kata – kata patut disadari sebab ada empat hal yang akan diperoleh seperti dinyatakan dalam pustaka nitisastra dalam bentuk kekawin pada sargah V sebagai berikut : Wasita nimittanta menemu laksmi Wasita nimittanta pati kepangguh Wasita nimittanta menemu duhka Wasita nimittanta menemu mitra Artinya : Oleh perkataan engkau akan mendapat kebahagiaan Oleh perkataan engkau akan mendapat kematian Oleh perkataan engkau akan mendapat kesusahan Oleh perkataan engkau akan mendapat sahabat Perkataan yang baik diusahakan untuk akawe suka wong len yaitu : Mengusahakan kesenangan untuk orang lain, karena orang lainlah yang akan mendengar dan merasakannya. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum dikeluarkan karena perkataan merupakan alat yang penting bagi kita, guna menyampaikan segala isi hati dan maksud seseorang. Dari kata – kata kita dapat pula memperoleh suatu pengetahuan, mendapatkan suatu hiburan, serta nasehat – nasehat yang sangat berguna baik bagi kita maupun
orang lain. Dengan kata – kata, orang dapat membuat susah orang lain. Sebagai contoh pelaksanaan wacika parisudha dalam kehidupan sehari – hari, ada empat hal yang disebutkan yaitu : Ada empat pengendalian terhadap perkataan yang patut dikendalikan : 1. Tidak suka mencaci maki orang lain 2. Tidak berkata-kata kasar terhadap orang lain 3. Tidak memfitnah orang lain 4. Tidak ingkar janji atau berkata bohong
2.1.3 Penyucian terhadap Perbuatan atau Perilaku (Kayika) Kayika parisudha adalah perbuatan atau laksana yang baik merupakan pengamalan dari pikiran dan perkataan yang baik. Perbuatan yang baik dapat dilakukan dari adanya pengendalian pada tingkah laku, utamanya terhadap himsa karma yaitu perbuatan menyakiti, menyiksa, atau membunuh mahluk yang tidak berdosa/bersalah. Himsa karma hanya diperkenankan untuk keperluan yadnya. Pedoman tata susila menuntun kita kearah menyatukan dan tidak memecah belah. Adapun yang dituntut adalah perasaan manusia kearah keselarasan antara sesama manusia dan mahluk hidup lainnya. Sifat – sifat manusia menyelaraskan untuk berbuat baik adalah menekankan menjalankan dharma, untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat. Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku dan berbuat. Dalam melakukan perbuatan, jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran
kebenaran maka sudah tentu perbuatan yang dilakukan adalah baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan yang baik dan benar disebut tri kaya parisudha. Setiap orang selagi ia masih hidup, selamanya ia akan berbuat dan melakukan suatu perbuatan. Dengan berbuat berarti telah melakukan karma, dari perbuatan karma inilah akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam masa kehidupan sekarang ini berarti mempersiapkan untuk kehidupan yang akan datang. Oleh sebab itu, orang – orang yang sadar akan hal ini, akan berusaha dalam kehidupan ini berbuat yang baik daripada masa – masa terdahulu. Sebab setiap orang mengharapkan adanya kehidupan yang baik dan lebih menyenangkan di masa – masa yang akan datang. Sebagai contoh pelaksanaan tri kaya parisudha dalam kehidupan sehari – hari yaitu : Tidak menyiksa atau membunuh mahluk lain misalnya : menyakiti hewan hingga mati dipakai dalam permainan. Tidak melakukan kecurangan terhadap harta benda, termasuk benda – benda yang tidak habis untuk di curi. Seperti : udara, air dan lain sebagainya secara paksa untuk memenuhi keinginannya. Tidak melakukan pemerkosaan / berzinah tekanan atau paksaan terhadap orang yang lebih lemah dan menuruti hawa nafsu, misalnya berjudi, minum – minuman keras, narkotika, dan lain sebagainya.
Demikian beberapa hal yang harus dikendalikan yang terdapat didalam ajaran tri kaya parisudha yang patut diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam menciptakan hubungan yang baik antara sesama mahluk ciptaan Tuhan. Tri kaya parisudha adalah bagian dari ajaran etika (susila agama Hindu), timbulnya kata tri kaya parisudha berasal dari sebuah semboyan yang berbunyi “Paropakaran punya ya, papaya, para piadanam” yang mempunyai pengertian yaitu : Tiga gerak atau perbuatan yang harus disucikan. Di zaman sekarang ini sangat sulit untuk menemukan orang yang berbudi pekerti luhur, oleh sebab itu kita harus selalu mananamkan ajaranajaran kebaikan kepada anak kita, adik kita atau terhadap semua orang sedini mungkin. Dengan adanya pikiran yang baik akan timbul perkataan yang baik sehingga mewujudkan perbuatan yang baik dan akan menuntun manusia menuju pada kedamaian. Tri kaya parisudha merupakan salah satu ajaran yang sangat penting dalam memupuk peilaku remaja masa kini di era globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat sehingga teori konsistensi ini dapat disepadankan dengan teori tri kaya parisudha dalam membedah permasalahan perilaku remaja masa kini dalam kehidupan bermasyarakat di era globalisasi dan modernisasi. 2.2 Perilaku Dalam sebuah buku yang berjudul “Perilaku Manusia” Drs. Leonard F. Polhaupessy, menguraikan perilaku adalah sebuah gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang
berjalan, naik sepeda, dan mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu, misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas, ini sebuah bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseoang duduk diam dengan sebuah buku ditangannya, ia dikatakan sedang berperilaku. Ia sedang membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebenarnya perilaku ada dibalik tirai tubuh, didalam tubuh manusia. Dalam buku lain diuraikan bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh – tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktifitas masing – masing. Sehingga yang dimaksud perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo, 2003:114). Skiner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus –
Organisme – Respon. Skiner membedakan adanya dua proses. 1. Respondent respon atau reflexsive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut electing stimulation karena menimbulkan respon – respon yang relativ tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent respon ini juga mencakup perilaku emosinal misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan mengadakan pesta, dan sebagainya. 2. Operant respon atau instrumental respon, yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforce, karena memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. Perilaku merupakan sebuah cerminan dari budaya adat istiadat dari mana seseorang berasal bahkan prilaku adalah cerminan dari kepribadian seseorang akan tetapi pada jaman modern sekarang ini dimana perkembangan jaman dan kemajuan teknologi sudah merambah keseluruh belahan nusantara sehingga sangat sulit dibedakan mana orang yang baik dan
mana sesungguhnya orang jahat bahkan tidak bisa dibedakan mana orang yang berpendidikan dan mana orang yang tidak berpendidikan semua itu tidak bisa diukur dengan cerminan perilaku lagi. Perilaku berkaitan dengan sikap yang mana dalam tri kerangka agama Hindu itu sendiri termasuk pada susila. Perilaku yang dilandasi dengan susila dan sopan santun menjadi cerminan yang baik dalam ajaran agama Hindu, dan merupakan kontrol terhadap perilaku remaja dewasa ini dalam aktivitas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku yang baik tidak hanya menjadi cerminan yang baik trhadap kepribadian yang dimiliki seseorang akan tetapi perilaku yang baik dapat mengantarkan manusia menuju pintu kebahagiaan diakhirat yang mana dalam ajaran agama Hindu disebut dengan moksha. Di dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya penampilan fisik-material yang menjadi sebuah acuan agar seseorang dihormati dan disegani akan tetapi ketatan dan kepatuhan, rasa hormat dan bakti, menganut norma keagamaan akan membawa manusia untuk menjadi terkesan lebih terhormat, akan tetapi jika seseorang hanya penampilannya saja yang mewah memiliki harta yang berlimpah sedangkan prilakunya tidak baik justru akan lebih terkesan rendah tingkat pengalamannya (widana,2011:195). Prilaku merupakan dasar dari pengendalian diri, dan merupakan busana yang terindah yang dimiliki oleh seseorang karena perilaku bukan barang dagangan yang dapat dimiliki asalkan kita punya uang, akan tetapi prilaku adalah sebuah sikap pengendalian diri seperti yang telah
dijelaskan didalam kitab niti sataka, 80 ditegaskan bahwa; Busana kekayaan adalah kebaikan hati, busana keberanian adalah lidah yang terkendali, busana pengetahuan adalah kedamaian hati, busana kepandaian adalah kerendahan hati, busana kekayaan adalah penghabisan harta untuk mendidik putra, busana tapa adalah meninggalkan kemarahan, busana kebesaran adalah memaafkan, busana dharma adalah tidak menipu. Dan akhirnya sifat-sifat atau prilaku yang baik adalah inti dari semua busana (Somvir,2011). Berdasarkan yang telah diuraikan dalam uraikan dalam sloka diatas maka prilaku adalah busana yang terindah yang dimiliki oleh setiap orang dan tidak dengan gampang diperoleh dipasaran manapun karena perilaku yang baik hanya akan diperoleh dari hasil pengendalian diri seseorang. Prilaku yang baik yang dalam ajaran agama hindu disebut dengan susila merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Perilaku merupakan ciri atau cerminan dari kepribadian seseorang. 2.3 Perilaku Remaja Masa Kini Globalisasi dan modernisasi memberikan implikasi dalam kehidupan sosial masyarakat baik nilai positif maupun nilai negatif. Segala tindakan dan pembangunan manusia pasti mempunyai dua sisi yang berbeda yang disebut dengan rwa bhineda yang disebut dengan oposisi biner yaitu dua hal yang berbeda yang saling berdampingan. Kedua faktor nilai yaitu baik dan buruk dalam kehidupan
manusia tidak bisa dihilangkan, ada yang hanya dikendalikan nilai negatifnya, dan dikembangkan nilai positifnya. Dalam perkembangan jaman globalisasi dan modernisasi serta pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan terjadinya degradasi moral dikalangan remaja masa kini dalam bertingkah laku. Perilaku remaja masa kini cendrung lebih banyak mengarah menyimpang dari ajaran agama. Begitu banyak hal yang telah ditinggalkan oleh para remaja dewasa ini sesuai dengan perkembangan jaman. Seperti halnya, remaja dewasa ini sudah tidak memandang siapa lawan bicaranya, apakah yang diajak berbicara itu adalah orang yang lebih tua atau orang tua. Mereka terlihat begitu acuh - tak acuh dalam menyikapi hidup ini. Bahkan remaja sekarang ini jarang yang tahu bagaimana seharusnya mereka berperilaku dalam kehidupan ini, rasa hormat terhadap orang tua, guru dan orang yang lebih tua tidak lagi dimiliki, hampir 85 persen para remaja berperilaku seperti itu dan bahkan mereka tidak memiliki rasa malu terhadap orang lain sehingga mereka menganggap boleh berprilaku sesuai keinginan mereka karena tidak ada larangan. Degradasi moral dipengaruhi oleh adanya sifat material yang kapitalisme dan fetitisme yang bahkan menuju kolonialisme. Ideologi materialisme, konsumtifisme, dan kapitalisme berusaha menguasai pasar termasuk kebutuhan hidup. Tidak ada satu masyarakat yang statis dalam arti absolut. Setiap masyarakat selalu mengalami transpormasi dan fungsi waktu, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret yang sama.
Kalau dicermati pada waktu yang berbeda baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern meskipun dengan laju perubahan yang variasi (Widana,2011:80). Penyebab perubahan (sulaiman,2007:45) menyatakan bahwa masyarakat dan kebudayaan dimanapun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai hubungan dengan masyarakat lainnya. Terjadinya perubahan disebabkan karena : 1) sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, dan 2) tempat perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Dalam transformasi budaya tentunya akan terjadi pase transisi yang oleh solaeman (2007:47-48) lebih jauh dikatakan akan ditandai dengan beberapa peristiwa perubahan kebudayaan, 1) cultural lag, yaitu perbedaan (gap, kesenjangan, ketertinggalan) antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat; 2) cultural survival, yaitu suatu konsep yang tetap ajeg semata-mata hanya landasan adat istiadat; 3) cultural complict, yaitu pertentangan kebudayaan yang muncul akibat relatifnya kebudayaan itu sendiri, dan seperti dikemukan oleh Ogburn (dalam suparlan,2007:119) biasanya selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudyaan material dengan non material ; dan 4) culture shok yaitu guncangan kebudayaan, semacam benturan atau keterkejutan atas terjadinya transpormasi budaya lain/baru atau asing/luar.
2.4 Perspektif Perilaku Menyimpang: Efektivitas Kontrol Sosial dalam
Pengendalian Perilaku Individu dan Upaya Institusional NilaiNilai dalam Masyarakat Dalam kehidupan sosial, masyarakat terdapat harapan harmoni dan keseimbangan sosial yang berupa keteraturan sosial. Untuk mewujudkan keteraturan dalam masyarakat diperlukan otoritas yang mengendalikan perilaku individu. Baik berupa institusi, norma, nilai yang diabstraksikan sebagai kontrol sosial. Dalam kehidupan sosial, individu selalu diharapkan oleh masyarakat sekitarnya untuk berperilaku konformis atau perilaku yang diharapkan oleh masyarakat Sehingga semua masyarakat akan selalu berupaya untuk membentuk dan mengontrol semua perilaku dari individu-individu yang terlibat dalam sistem masyarakat secara keseluruhan, melalui adanya kepatuhan terhadap nilai dan norma yang telah ditetapkan. Ketika ada perilaku individu yang tidak lagi mematuhi nilai dan norma yang telah ditetapkan maka muncullah perilaku menyimpang. Dengan adanya pedoman yang menjadi acuan dalam bertindak dan berinteraksi antar sesama manusia sebagai anggota masyarakat, maka keharmonisan dan fungsi dari masing - masing hak dan kewajibannya akan dapat terwujud dalam konteks nyata. Pelanggaran terhadap norma dapat mengganggu equilibrium sosial, membuat kehidupan sosial tidak menentu, menciptakan ketegangan dan sampai pada mengakibatkan konflik. Seseorang yang suka berjudi dan mabuk-mabukan dapat dijadikan contoh. Pendapatan yang berkurang karena si ayah menggunakan gajinya untuk taruhan berjudi, menyebabkan si
istrilah yang harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup anak-anaknya. Anak-anak menjadi malu untuk masuk sekolah karena belum membayar SPP. Akibatnya keluarga tersebut selalu dalam situasi yang tegang karena suami dan istri selalu ribut menyalahkan satu sama lain, sehingga suasana dalam keluarga itu tidaklah seperti yang diharapkan oleh anak-anaknya malahan kondisi konflik yang selalu muncul dalam keluarga. Selain itu, kehidupan sosial mengajari kita untuk saling mempercayai satu sama lain. Kita harus punya keyakinan bahwa orang lain akan memainkan perannya sesuai dengan peraturan, dan demikian pula keyakinan orang lain terhadap diri kita. Tetapi ketika orang lain tidak berperilaku sesuai dengan apa yang kita yakini maka kita akan merasa bahwa usaha kita itu sia-sia sehingga tidak jarang kita menjadi malas untuk berperilaku sesuai dengan aturan. Artinya perilaku menyimpang dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat. Contoh yang mungkin sering diperhatikan dalam masyarakat adalah tindak korupsi yang dilakukan oleh elit politik yang ternyata banyak pelakunya tidak dikenakan tindakan hukum karena aparat penegak hukum kalah dari sudut kekuasaan yang dimiliki oleh kalangan elit politik. Hal tersebut menyebabkan sebagian masyarakat tidak lagi percaya terhadap kemampuan aparat hukum untuk dapat menanggulangi tindak korupsi. Equilibrium masyarakat akan tercipta manakala pranata sosial sebagai kontrol sosial dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam perpektif ini kontrol sosial akan menjadi hal esensial dalam pembentukan perilaku individu dalam masyarakat. Namun demikian, kontrol
sosial tidak selamanya dapat mengendalikan perilaku individu secara efektif. Untuk meningkatkan efektifitasnya diperlukan upaya-upaya sosio-psikologis untuk menanamkan dan menginternalisasikan pranata sosial dalam anggota masyarakat. Pemahaman perspektif ini bertolak dari paradigma fakta sosial. Fakta sosial bersifat eksternal, umum (general), dan memaksa (coercion). Fakta sosial mempengaruhi tindakantindakan manusia. Tindakan individu merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial, serta bagaimana orang mendefinisikan situasi. Asumsi yang mendasari adalah bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif dalam membangun dunia sosialnya sendiri. Karakteristik fakta sosial ini adalah: Pertama bersifat eksternal terhadap individu, yang mencakup cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang berasal dari luar kesadaran individu. Kedua Bersifat memaksa, artinya cara bertindak, berpikir dan berperasaan tersebut merupakan sesuatu yang memaksa, membimbing, mendorong dan mempengaruhi individu. Walaupun demikian sifat “memaksa” tidak selalu berkonotasi negatif. Ketiga bersifat umum atau berada dalam seluruh masyarakat. Perspektif ini menempatkan pranata sosial sebagai hal esensial dalam mengontrol perilaku masyarakat. Asumsi dasar dalam perspektif perilaku menyimpang adalah: Nilai Sosial merupakan instrumen untuk memelihara keberaturan sistem Nilai sosial terinternalisasi dan digunakan sebagai pedoman perilaku melalui proses sosialisasi
Masyarakat teratur kalau warganya conform terhadap nilai Masalah sosial muncul kalau banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai Prinsip: conformity vs deviation Pelanggaran atas nilai-nilai dianggap sebagai penyimpangan. Misalnya, dalam sebuah masyarakat terdapat nilai-nilai yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pelanggaran akan nilainilai (pranata sosial) tersebut dianggap sebagai penyimpangan dan pada level tertentu akan mengganggu keteraturan masyarakat secara keseluruhan. Pada level inilah penyimpangan tersebut menjadi masalah sosial. Nilai-nilai yang berlaku diperoleh dari consensus masyarakat. Nilai-nilai tersebut di tanamkan dengan sosialisasi dan internalisasi secara turun temurun sehingga pelanggaran atas nilai tersebut akan dikenakan sanksi, baik sanksi-sanksi baik yang bersifat konservasi maupun coersif. Kontrol sosial sesungguhnya merupakan breakdown dari pranata sosial, bentuk fungsional dari pranata sosial. Untuk memahami control sosial diperlukan pemahaman akan pranata sosial. Pranata sosial merupakan sistem norma yang bertujuan untuk mengatur tindakan maupun kegiatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokok dan bermasyarakat bagi manusia. Secara spesifik, Soerjono Soekanto merumuskan pranata sosial sebagai iembaga kemasyarakatan adalah himpunan norma-norma dari segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok didalam kehidupan masyarakat. Selo Soemarjan & Soelaeman Soemardi, Semua norma-
norma dari segala tingkat yang berkisar pada suatu keperluan pokok dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu kelompok yang diberi nama lembaga kemasyarakatan. Secara konseptual kontrol sosial dapat diartikan sebagai: techniques and strategies for preventing deviant human behaviour in any society. Teknik dan strategi untuk mencegah penyimpangan perilaku individu dalam masyarakat. Dalam dictionary of sociology dijelaskan: practices developed by social groups of all kinds which enforce or encourage conformity and deal with behaviour which violates accepted norms. sosciologists distinguish two basic processes of social control 1. Internalization of norm and value, the proses of sosialization is concerned with learning acceptable ways of acting as taken - for – granted unquestioned imperative or as social routines 2. The use of sanctions with regard to rule-breakrers and non conforming acts. Sanction may be positive – rewarding conforming conduct, or negative – punishing non conformity,to norm by process ranging from informal sanction like telling off ridiculing or ostracism, to formal sanctions like a yellow card, a prison sentence, or execution. Merupakan praktek-praktek yang dikembangkan oleh masyarakat dalam rangka menciptakan keteraturan sosial, terutama berkaitan dengan pelanggaran norma-norma yang telah diterima dalam masyarakat. kontrol sosial dapat dikembangkan melaui:
1. Internalisasi norma dan nilai, proses yang berkaitan dengan pemasyarakatan yang diterima dari belajar cara-cara bertindak tanpa dipertanyakan dan dianggap sebagai rutinitas sosial. 2. Penggunaan sanksi yang berkaitan dengan aturan – “merusak” dan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan. Sanksi dapat bernilai positif – menguntungkan menyesuaikan perilaku, atau negatif menghukum -ketidaksesuaian, untuk norma dengan proses mulai dari sanksi informal seperti kata ejekan atau pengucilan, sanksi formal seperti kartu kuning, hukuman penjara, atau eksekusi. Pada dasarnya kontrol sosial dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, setidaknya terdapat empat tipe: 1. Kontrol Pasif: conformity terhadap nilai dan norma sosial. Internalisasi melalui sosialisasi. Jenis kontrol ini berfungsi membangun keberaturan sosial 2. Kontrol Aktif: proses untuk mengimplementasikan tujuan dan nilai. Proses yang kontinyu di mana nilai diterapkan dan keputusan diambil. Ada sanksi dan reaksi terhadap pelanggaran. Jenis ini berfungsi membangun integrasi sosial 3. Kontrol Sosial Informal: kontrol melalui proses sosialisasi dan internalisasi atau melalui tekanan sosial. Efektif dalam kelompok primer (kelompok kecil, akrab dan bersifat informal)
4. Kontrol Sosial Formal: diberlakukannya aturan dan hukum formal dan bentuk sanksi secara resmi, atau kontrol sosial melalui power. Efektif dalam kelompok sekunder (impersonal, formal, berdasar kepentingan) Pada prakteknya kontrol sosial dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat, ruang lingkup yang dinaungi oleh kontrol sosial tersebut. Sebagai alternatif, kontrol sosial dapat diwujudkan dengan: 1. Sistem hukum koersif (pelarangan): pelarangan mutlak. 2. Indoktrinasi (informasi) 3. Pembatasan: jenis, tempat, pengguna dan waktu 4. Substitusi yang ekivalen Permasalahan mendasar adalah bagaimana agar kontrol sosial dalam berbagai wujudnya dapat efektif mengendalikan perilaku anggota masyarakat. Setidaknya terdapat beberapa pandangan mengenai hal ini: Penerapan secara ketat konsep reward and punishment, konsep ini dikembangkan oleh George Homans (teori keterulangan perilaku), bahwa perilaku akan cenderung diulang-ulang apabila terdapat reward dalam perilaku tersebut. Begitu juga sebaliknya, perilaku akan cenderung tidak diulang lagi apabila dalam perilaku tersebut dikenakan sanksi/hukuman bagi pelakunya. Penerapan hukum koersif tidak akan efektif, apabila tidak diberlakukan
dengan ketat sanksi yang menyertainya Perilaku menyimpang dalam tataran tertentu akan sangat efektif apabila diterapkan pembatasan, misalnya alkoholisme, pelacuran dan lain-lain. Penerapan ini mempunyai fungsi rehabilitasi, preventif dan kuratif sekaligus. Rehabilitasi dimaksudkan untuk membatasi penyebaran penyimpangan tersebut. Dengan demikian akan berfungsi mencegah penularan kepada unsur yang masih normal (preventif) dan kemudian dapat di-include-kan upaya-upaya treatment di dalam lokasi tersebut. Misalnya lokalisasi, lokasi/tempat tertentu yang disediakan untuk bermabukan seperti di Australia. Check and balance atas lembaga formal dengan lembaga informal sebagai pelaksana kontrol sosial. Misalnya peningkatan peran media. Dalam konteks ini biasanya ditujukan pada pengendalian perilaku otoritas tertentu dalam masyarakat. Misalnya mengawasi penyimpangan pejabat (korupsi, praktek peradilan dan lain-lain). Untuk jangka panjang, diperlukan peningkatan signifikansi peran lembagalembaga sosial seperti keluarga, institusi pendidikan, pranata politik. Mengembangkan stigma-stigma tertentu dalam masyarakat. misalnya stigma tentang konsep “tindakan memalukan”. Dengan menanamkan konsep tindakan
perilaku memalukan maka anggota masyarakat akan merasa malu untuk melakukan perilaku tertentu. 2.5 Tri Kaya Parisudha sebagai Kontrol Sosial Perilaku Remaja Masa Kini di era Globalisasi dan Modernisasi Agama merupakan kontrol sosial prilaku remaja masa kini di era globalisasi dan modernisasi dalam kehidupan bermasyarakat, yang dapat membawa manusia menuju sebuah kehidupan yang harmonis, seperti yang ditekankan oleh seorang sosiolog yaitu Jurner, ia mengatakan bahwa dlam memahami fungsi sosial agama bagi masyarakat, para sosiolog agama menempatkan agama sebagai perekat sosial yang merekat potensi-potensi antagonistic antara individu atau sebagai candu sosial yang menekankan konflik kepentingan antara kelompok kelompok yang cenderung antagonistic (Jurner,2006:189). Seperti yang dikatakan Jurner dewasa ini sifat antagonistic telah mmenjadi virus yang mematikan diantara manusia, karena adanya konflik-konflik yang dilatar belakangi oleh kepentingan dan ambisi pribadi. Masyarakat yang mempunyai sifat antagonistic dan mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok adalah masyarakat yang tidak memahami nilai-nilai ajaran agama, yang dalam ajaran agama Hindu ada ajaran tat twam asi yang dalam hal ini dinyatakan bahwa kita semua adalah mahluk ciptaan Tuhan yang harus dilindungi dan saling melindungan antara yang satu dengan yang lain dan hubungan keharmonisan antara yang satu dengan yang lain. Disini akan muncul sebuah pertanyaan, apakah
falsafah tat twam asi cukup untuk diketahui oleh masyarakat dalam mengontrol prilaku? Apakah yang harus dilakukan oleh umat manusia agar manusia dapat mengontrol tingkah laku dan saling menghormati antara yang satu dengan yang lain? Sudah tentu jawabannya adalah falsafah tat twam asi belum cukup untuk mengontrol prilaku remaja dewasa ini. Tri Kaya Parisudha merupakan bagian dari ajaran agama Hindu yang dapat dijadikan kontrol sosial dikalangan remaja masa kini di era globalisasi dan modernisasi dalam kehidupan bermasyarakat, menuju keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Di dalam ajaran tri kaya parisudha ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan oleh umat manusia yang dapat menimbulkan dosa dan merugikan orang lain. tri kaya parisudha terdiri dari tiga bagian yaitu ; manacika (pikiran), wacika (perkataan), kayika (perbuatan atau perilaku). Seperti yang sudah dijelaskan bahwa tri kaya parisudha adalah tiga perbuatan yan disucikan sehingga dapat dikatakan bahwa tri kaya parisudha dpat dijadikan kontrol sosial di kalangan remaja masa kini di era globalisasi dan modernisasi dalam kehidupan bermasyarakat, karena jika perbuatan itu tidak disucikan atau diarahkan menuju perbuatan yang benar dan berbudi luhur maka seseorang tidak akan dapat hidup dengan tentram dan harmonis dalam sebuah masyarakat karena pada dasarnya manusia adalah mahluk yang egois selalu ingin menjadi yang terbaik dari orang lain, dan tidak boleh dikalahkan ataupun disalahkan. Disinilah konsep ajaran tri kaya parisudha memegang peranan yang terpenting.
III. PENUTUP Tri Kaya Parisudha adalah bagian dari ajaran agama Hindu yang berasal dari kata tri yang berarti tiga, kaya yang berarti gerak atau perbuatan dan parisudha yang berarti penyucian jadi tri kaya parisudha adalah tiga perbuatan yang harus di sucikan yang terdiri dari tiga bahagia yaitu penyucian terhadap pikiran, penyucian terhadap perkataan dan penyucian terhadap perbuatan. Pikiran adalah kontrol dari semua gerak, ketika pikiran seseorang baik, atau seseorang sedang memikirkan tentang sesuatu hal yang baik maka seseorang akan berkata yang baik dan perkataan yang baik akan menghasilkan perbuatan yang baik yang berasal dari pikiran yang baik. Sehingga dikatakan bahwa pikiran adalah control daro gerak manusia. Dan jika ajaran tri kaya parisudha ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka akan tercipta sebiah keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat dan benegara tertentunya. Dan teori tri kaya parisudha yang dipakai membedah masalah prilaku dalam penulisan ini dapat disepadankan dengan teori konsistensi karena dimana teori konsistensi lebih melihat faktor internal sebagai pemicu perubahan, yang pada dasarnya bertujuan untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Teori ini disebut sebagai balance theory (Fitz Heider), congruity theory (Osgood & Tannenbaum), cognitive dissonance theory (Festinger), dan reactance theory (Brohm) dengan intisari pemikiran yang serupa, yaitu pilihan sikap terbaik
biasanya adalah yang paling cocok dan dapat memberikan kestabilan pada diri seseorang. (Djiwandono, 2002 : 135) kestabilan inilah yang melahirkan keharmonisan, keseimbangan dan ketenangan batin pada diri seseorang.
DAFTAR PUSTAKA Donder, I Ketut. 2004. Sista pedoman menjadi siswa mulia. Denpasar Bali Post. Donder, I Ketut dan Wisarja, I Ketut.2008. Studi Agama-agama (Bahan Ajar). Djiwandono, 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: T Grasindo. Hamilton, Malcomm, 1995. The Sociology of Religion Teoritical and Comparative Perspectives. London: Routledge. Jurner, S. Bryan, 2006. Agama dan teori social.rangka-Pikir
sosiologi dalam membaca eksistensi Tuhan diantara gelegar Ideolgi-ideologi Kontemporer. Yogyakarta: Ircisod. Kadjeng, I Nyoman, 1993. Sarasamuccaya. Jakarta: Hanuman Sakti. Magnis-Suseno, 1985. Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius. Soelaiman, M. Munandar, 2007. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung; PT. Refika Aditama. Somvir, 2005. Niti Sataka,100 Sloka Tentang Etika dan Moralitas (Terjemahan), Denpasar: Panakom. Surpi, 2005. Melahirkan generasi berkarakter dewata kiat sukses siswa menurut Hindu. Denpasar, Pustaka Bali Post.