Transmisi Pengetahuan dan Nilai Budaya Masyarakat Indonesia Ditinjau dari Ajaran Kanuragan Jawa 1 Jean-Marc de Grave (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales de Paris) Abstract This article deals with systems of transmission of knowledge. The author looks into the kanuragan of the Javanese and its transformation into a modern form, along with the consequences of this transformation. Traditional kanuragan instruction is primarily oral and centers on intermediary roles and social intercourse, and it is conducted in space that is cosmographically meaningful. In contrast, modern individualistic instruction—rooted in early Greek philosophy and events in the European Middle Age—is highly formalized and linked to economic concerns, leading to an individualism with little regard for one’s surroundings. The author suggests that the Javanese kanuragan has been partially transformed by this modern system. Thus, the transmission of knowledge is increasingly divorced from the transmission of morals and affect that form the basis of one’s actions and social relationships. The author also notes that scholars would gain much from understanding the kanuragan in their efforts to understand current Indonesian Society. Dalam disertasi doktoral saya yang akan segera diterbitkan (de Grave 2000), telah diuraikan bahwa sistem transmisi ajaran kanuragan dalam konteks tradisional merupakan suatu sistem acuan pada masyarakat Jawa. Ada berbagai alasan mengapa kanuragan tidak menonjol dan tidak menarik perhatian para peneliti. Pertama, transmisi ajaran tersebut pada jaman dulu bersifat sangat rahasia. Walau pada masa kini ajarannya jauh lebih terbuka, sifat rahasia tersebut masih mempengaruhi tingkah laku 1
Tulisan ini merupakan hasil revisi dari makalah yang disajikan dalam Sesi ‘Pariwisata dan Pengembangan Budaya’ dalam Seminar ‘Memasuki Abad ke-21: Antropologi Indonesia Menghadapi Krisis Budaya Bangsa’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
penganutnya. Karena tingkah laku itu berhubungan langsung dengan kewibawaan, kita dapat belajar banyak dari ajaran kanuragan itu dalam upaya memahami masyarakat Indonesia dewasa ini. Kedua, sistem tersebut kurang memperoleh perhatian, karena ajaran itu tidak cocok dengan ideologi sistem pendidikan dan keilmuan Barat modern. Keempat sub-bab dalam tulisan ini akan menyajikan ulasan mengenai kedua alasan tersebut. Pertama, akan saya deskripsikan perihal ajaran k a n u r a g a n , dan apakah perbedaan sifat-sifat pokok kanuragan tradisional dari kanuragan modern.2 Kedua, 2
Dari sudut pandang orang Jawa, k a n u r a g a n menyangkut pula kegiatan pencak silat dan tenaga dalam. Untuk lebih jelasnya, saya akan menggunakan istilah itu dalam arti yang sama.
71
akan saya jelaskan secara diakronis sistem transmisi pengetahuan di Barat, dan bagaimana pengetahuan itu menjadi terpisah dari sistem pergaulan setempat. Acuan itu dilakukan untuk memahami unsur-unsur yang mempengaruhi sifat transmisi kanuragan modern, karena sistem pendidikan dipengaruhi oleh nilai-nilai pokok masyarakat setempat. Hal terakhir inilah yang merupakan tema dari sub-bab ketiga dan keempat. Dalam kedua sub-bab itu akan saya uraikan keterbatasan dari pengaruh ideologi-ideologi universal dalam suatu masyarakat. Ideologi di sini berarti ‘sistem nilai suatu masyarakat’ seperti yang dikemukakan Louis Dumont (1966, 1991), dan bukan ideologi politik. Sistem pendidikan Barat merupakan hasil dari suatu proses yang memang khusus. Hasil dari proses itu perlu dibandingkan dengan yang lain untuk dapat dipahami. Hasil perbandingan dengan nilai-nilai pokok ajaran kanuragan menunjukkan bahwa bilamana orang mau menegaskan keuniversalan sistemnya, dia juga harus mengemukakan syarat-syarat dari universalitas tersebut, yaitu keterbatasannya.3
Ajaran kanuragan tradisional dan kanuragan baru4 Dalam mempelajari kanuragan, dua hal pokok harus dihayati sebagai dasar dari praktek 3
Untuk memahami sudut perbandingan antarsistemsistem nilai masyarakat, agar dapat lebih memahami relativitas dari pendekatan universal, lihat de Coppet (1991, 1992). 4
Perbandingan ini merupakan hasil penelitian selama beberapa tahun dengan sumber pokok yang diperoleh dari perguruan-perguruan pencak silat Tunggal Hati Seminari, Merpati Putih, perguruan tenaga dalam Marga Luyu, perguruan kanuragan Trah Tedjokusuman, dan beberapa perguruan, guru dan sesepuh lain (lihat de Grave 1993, 1994, 1996a, 1996b, 1996c, 2000). Saya juga menggunakan beberapa bahan pustaka seperti: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1978), Djadjadiningrat (1936), Djoemali (1959), Liok An
72
kanuragan, yakni: pertama, penyatuan tekad dan gerak; kedua, penempatan dan pengarahan diri dalam ruangan bebas terbuka. Dalam hal pertama, jangan sampai pikiran lebih menonjol dari gerakan. Gerakan harus disertai oleh suatu niat yang bersifat tidak rasional, tetapi lebih bersifat naluriah dengan catatan bahwa naluri itu bisa, dan harus diarahkan untuk memperoleh suatu kemurnian. Kedua, kita harus memahami diri kita sendiri dalam hubungan dengan bumi, langit, ruang dan waktu; dan jangan sampai keterikatan tersebut putus. Keterputusan itu menandakan pula keterputusan dengan jagad gedhé, d a n mengakibatkan kelesuan atau kesengsaraan kita di tengah alam semesta. Dengan demikian, dalam kanuragan Kejawèn, kita sering menghormati keempat saudara halus kita, atau sadulur papat kita.5 Merekalah yang menjaga keseimbangan kita dengan bumi dan alam semesta. Karena itu, saudara halus yang paling dekat yang disebut ari-ari, harus ditanam dalam tanah. Dalam pencak silat atau tenaga dalam, kita juga belajar untuk dapat menghadapi keempat mata angin guna menyerap kekuatan bumi dan kosmos melalui gerak dan pernafasan yang diajarkan. Keseimbangan yang diperoleh dengan cara demikian harus dipertahankan dan disalurkan dalam masyarakat dengan beberapa cara yang berbeda-beda, tetapi yang saling terkait. Misalnya, dengan cara menjaga mutu hubungan antarindividu atau antargolongan; menjaga keamanan dengan sebisa mungkin tanpa menggunakan kekerasan; dan menjaga kesehatan dengan menggunakan kekuatan alam yang diperoleh dalam praktek.
Djien (1935), Lombard (1973, 1977, 1990), Maryono (1998), Onghokham (1984), dan Yoe Kiong (1960). 5
Yang disebut sadulur papat adalah ari-ari, kawah, pusar dan darah yang ada pada saat seseorang lahir.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Dalam mewujudkan tingkah laku ini, kita pun dapat menemukan rasa ‘kasih sayang’ (welas asih) yang diimbangi dengan keempat jenis perasaan pokok yang lain, yaitu: ‘kesucian’ (mutmainah), ‘kemarahan’ (a m a r a h ) , ‘ k e s e r a k a h a n ’ ( s u f i a h ) , dan ‘keborosan’ (lauamah). Keseimbangan semacam ini menjadi tujuan dari ajaran kanuragan yang asli. Jika tujuan itu tercapai, ia mampu mengubah kekuatan-kekuatan dasar manusia itu menjadi kekuatan masing-masing, berturut-turut sesuai dengan urutannya: rasa kasihan, semangat, ingin belajar/ingin mengerti, dan ingin mempertahankan kehidupan. Lagilagi, keseimbangan lima unsur itu tidak terlepas dari keseimbangan antara jagad gedhé: tempat (kelima penjuru wètan, kidul, kulon, lor, tengah dengan lima warnanya6 ) dan waktu (kelima pasaran legi, paing, pon, wagé, kliwon), dengan jagad alit (panca indera, kelima unsur anasir, kelima saudara halus manusia dengan lima warna yang juga sama, kelima saudara Pandawa dalam wayang). Di sini terlihat bahwa ajaran itu ternyata tidak terlepas dari suatu laku (suatu kawruh laku yang dihubungkan dengan istilah lakon dalam pewayangan), yang berpusat pada rasapangrasa sebagai unsur pertengahan antara tingkatan-tingkatan yang disusun secara hirarkis: dari mikrokosmos ke makrokosmos. Keterikatan antara puasa, tapabrata, semedi, latihan gerak, dst., dengan rasa pangrasa dan penguasaan tingkah laku, dapat ditujukan untuk menjamin kualitas sistem interaksi di dalam masyarakat, dalam keterikatannya dengan jagad gedhé. Sifat pokok dari ajaran tersebut adalah transmisi, yang sebagian besar bersifat lisan. 6
Warna masing-masing pada kelompok Trah Tedjokusuman yang saya teliti di Yogyakarta adalah: putih, merah, kuning, hitam dan yang kelima merupakan campuran dari empat warna tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Dalam proses pengalihan ajaran yang mengutamakan pada perantaraan dan pergaulan (asisten, sub-asisten, dll., serta gotong royong antartingkat dan antarmurid), sifat paling pokok adalah keterikatan dengan lingkungan setempat. Tempat ajarannya— padepokan atau tempat tinggal gurunya— tidak bersifat netral. Tempat-tempat lain yang dikunjungi dalam proses belajar—seperti tempat-tempat laku, bertapa yang khusus, atau tempat peziarahan—juga sangat bernilai dilihat dari segi kosmografis. Di samping itu, tempattempat sakral jaman dahulu, seperti Borobudur, mejadi tidak berarti lagi dari segi sosio-ritual dan sosio-agama. Dalam ajaran bela diri modern, ada beberapa unsur ajaran tradisional yang dipertahankan, tetapi adaptasinya dalam suatu konteks baru telah banyak mengubah unsur-unsur tersebut. Banyak perguruan yang berkembang dalam bentuk asosiasi atau organisasi yang kemudian berskala besar. Sifat asosiasi yang dianjurkan oleh pemerintah sangat terikat dengan fakta bahwa ajaran pokok yang disampaikan mulai menjadi sulit untuk dipertahankan sebagai suatu ajaran yang bertujuan mengungkapkan sangkan paraning dumadi, asal-usul dan tujuan dari kehidupan. Pola kedudukan asosiatif formal atau resmi terjadi, karena kewajibankewajiban tertentu muncul menggantikan sifat saling melengkapi dari kegiatan-kegiatan tradisional. Kegiatan-kegiatan tradisional itu digantikan oleh kegiatan-kegiatan yang menjadi khusus dan saling terpisah (proses spesialisasi). Tentu saja, dalam proses ini, kemampuan dasar manusia yang digunakan juga mengalami perubahan. Secara singkat, daripada seorang guru harus mengajarkan kepada muridnya agar rasa-pangrasa nya menjadi matang, seorang pelatih kini harus 7
Mengenai tinjauan paralel yang menyangkut hal bahasa, lihat Bonneff (1997).
73
mengingatkan kepada muridnya bagaimana agar daya pikirnya tidak melebihi rasa nalurinya. Dari pembinaan dasar ini akan berkembang suatu usaha ‘retradisionalisasi’ dari kegiatankegiatan yang ada.7 Konteks ajaran kanuragan tersebut berlangsung sebagai berikut. Sesepuh atau guru senior harus diwakili oleh pelatih-pelatih yang ada di tingkat lokal. Pelatih-pelatih tersebut tidak atau kurang berpengalaman dalam hal pergaulan seperti guru-guru masa lalu yang berkelana pada masa mudanya untuk menuntut ilmu. Karena itu, sering terjadi bahwasanya seorang pelatih menjadi kurang matang dalam hal menurunkan ilmu. Hal itu memang bukan karena kesalahannya sendiri, melainkan karena kelemahan sistem baru tersebut. Sifat pokok dari sistem baru tersebut adalah rasionalisasi dan formalisasi dari bentuk ajaran. Dalam ajaran itu, adat lisannya, walaupun masih menonjol, menjadi terancam. ‘Rasa’ sebagai unsur penting dari ajaran semakin tidak nampak. Unsur rasa ini sudah dianggap lain, karena praktek-praktek yang diajarkan telah diarahkan ke kesejahteraan tubuh, yaitu pengertian modern seperti ‘olah raga’ dan ‘kesehatan’; atau pengertian modern dari kompetisi. Pengertian ini timbul karena adanya pemisahan antara nilai dan aksi yang mengandung nilai tersebut. Di samping itu, tempat latihannya bersifat netral: ruangan apa pun boleh digunakan, sehingga beberapa perguruan dapat mengadakan latihan di tempat yang sama (pada jam yang berbeda). Ini merupakan fenomena yang penting, karena membuktikan bahwa di samping sifat khusus dari perguruan-perguruan yang ada (yaitu tidak boleh ikut latihan pada perguruan-perguruan lain), ada pengertian baru mengenai tempat. Tempat yang netral tersebut akan merendahkan nilai perguruan, karena kehilangan sifat lokalitasnya. 74
Dengan kata lain, dari sudut hukum modern yang berlaku, lokalitasnya sudah bersifat netral dan dapat diperjualbelikan. Sebaliknya, adat setempat yang masih hidup– secara sadar atau tidak sadar–mengandung anggapan adanya suatu pandangan holistik yang berhubungan dengan sifat hirarkis dari nilai-nilai yang tersusun antara jagad alit dan jagad gedhé. Dalam anggapan ini, yang juga terikat dengan unsur rasa sebagai dasar dari ajaran dan penilaian, suatu tempat (suatu tempat latihan, misalnya) atau seseorang (seorang pelatih, misalnya), tidak bisa dianggap netral. Dia pasti mempunyai suatu tempat atau kedudukan tertentu dalam susunan aneka variasi dari alam semesta.
Ajaran modern individualistis: pembentukan dan sifat pokoknya Apa yang dianggap sebagai filsafat oleh filosof-filosof Yunani kuno seperti Pythagores, Socrates atau Plato—menurut ahli sejarah filsafat Yunani Pierre Hadot (1995)—tidaklah pernah terlepas dari suatu perilaku tapa brata (ascetism). Di kemudian hari, pada zaman imperial Yunani, dan melalui pengaruh kristianisasi pada zaman pertengahan di Eropa, perilaku ascetismnya semakin tidak berarti lagi. Ajarannya menjadi semakin formal dan semakin berbentuk tulisan daripada lisan, hingga mencapai puncak formalnya pada zaman modern. Louis Dumont mencatat bahwa mulai pada masa Santo Agustinus (jaman pertengahan), rasa iman pada diri sendiri harus melalui rasionalitas, tidak bertumpu pada perasaan.8 8
Bagi Dumont (1991), hal ini merupakan suatu langkah besar dari beralihnya agama sebagai bidang kegiatan ke bidang politik. Bidang politik ini kemudian mengambil alih sifat-sifat pokok dari bidang agama. Setelah Revolusi Perancis, proses ini dilanjutkan oleh peralihan bidang politik ke bidang ekonomi dengan cara yang sama, yaitu pengambilan unsur-unsur transenden untuk membenarkan pengutamaan dari bidang baru tersebut.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Di satu pihak kita menemukan bahwa seorang penganut agama formal: agama Kristen, semakin bisa berhubungan secara langsung dengan Tuhannya tanpa melewati suatu sistem ritus masyarakat. Di pihak lain— melalui rasionalisasi dari ajaran dan implikasi yang semakin erat antara Gereja dan kekuasaan duniawi—hubungan tersebut semakin bersifat moral, yaitu semakin terarah ke suatu pengertian normatif (yang belum tentu rasional dalam arti sebenarnya) daripada suatu pengertian perasaan. Secara singkat, menjauhnya ajaran agama dari pengertian rasa tersebut menjadi semakin dalam melalui proses revolusi anti ‘orde lama’ (monarki/kerajaan), dan melalui pengutamaan pada ilmu-ilmu modern. Kita harus menyadari bahwa proses ini berakar juga pada zaman Romawi di Eropa (yaitu sebelum Masehi), dan berlangsung selama delapan belas abad lebih sampai revolusi Perancis (1789). Selama periode itu, jatuh korban tidak terhitung jumlahnya sampai ajaran agama terpisah secara resmi dari ajaran sekuler pada awal abad kedua puluh ini. Dalam konteks sekuler ini, terjadi pemisahan yang radikal antara kelakuan dan pikiran. Dalam pemisahan itu, orang menemukan kesulitan yang semakin rumit dalam mewujudkan tingkah laku yang sesuai dengan buah pikirannya. Kesulitan ini disebabkan oleh tertutupnya kesadaran mengenai unsur rasa, karena rasa tidak diungkapkan lagi. Keterlibatan rasa dalam aksi tidak pula dipentingkan. Akibat langsung dari hal ini adalah tidak jelasnya kedudukan dari pikiran sebagai suatu kemampuan, karena pikiran terpisah dari aksi/ tingkah laku. Pikiran tidak dianggap lagi sebagai suatu kelakuan. Orang pun mulai percaya bahwa mereka bisa mendapatkan 9
Perlu dicatat di sini bahwa penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan membantah asumsi tentang adanya pengetahuan yang murni. Mulai dibuktikan bahwa dasar proses transmisi pengetahuan itu sama
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sesuatu yang murni, terlepas dari pengaruhpengaruh lain, dan menghasilkan suatu pengetahuan yang dianggap ‘suci’ oleh penganutnya. Pengetahuan itulah yang kemudian dinamakan pengetahuan ilmiah.9 Pelajaran yang diperoleh melalui akal sangat terikat dengan formalisasi dari suatu ajaran normatif yang bertujuan menghasilkan sesuatu yang egaliter: sama untuk semuanya. Tetapi, dalam kenyataan jelaslah bahwa yang menurunkan ilmu (seorang guru sekolah, misalnya) kurang memberikan kemudahan bagi tercapainya kemajuan, baik bagi seorang murid yang pandai maupun bagi seorang murid yang kurang pandai. Keterlibatan seorang pelatih pencak silat dalam usaha ini menjadi terbatas, karena kewajibannya untuk menaati sifat normatif yang dianjurkan oleh mereka yang berkedudukan di pusat. Bila dalam bela diri selalu ada seorang asisten atau lebih (walaupun menurut penelitian saya kegunaan dari asisten tersebut semakin kurang dimanfaatkan), dalam ajaran modern normatif, seorang guru harus menangani suatu kelas seorang diri. Walau demikian, terdapat perbedaan antara Barat— terutama Perancis—dengan Indonesia. Di Indonesia, masih ditemukan kehadiran seorang asisten. Di Perancis, tidak ada asisten di sekolah-sekolah formal. Timbullah pertanyaan dalam diri saya: mengapa murid-murid yang pandai tidak langsung dimanfaatkan untuk membantu proses pengajaran seperti yang terjadi dalam ajaran tradisional? Pertama, teman-temannya yang kurang pandai akan sangat terbantu. Mereka pasti akan lebih mudah memahami penjelasan dari seseorang yang bentuk rasanya saja, baik dalam konteks modern maupun konteks holistik. Bedanya adalah bahwa penonjolan norma linguistik menyembunyikan tahap-tahap dari proses transmisi yang berlangsung dalam ajaran modern (cf. Bloch 1998). Penyembunyian itulah yang menghasilkan kepercayaan tidak ilmiah tersebut.
75
mirip miliknya sendiri. Kedua, murid yang pandai itu juga akan belajar dan meningkatkan pengalaman dari perannya sebagai perantara dalam proses transmisi ilmu. Kematangannya akan terbentuk secara lebih cepat dan dapat lebih berguna bagi masyarakatnya. Dari jenis ajaran modern seperti dipaparkan di atas (walaupun terdapat beberapa perkecualian seperti metode Piaget misalnya), saya menyimpulkan bahwa sistem ini tidak cocok untuk anak-anak muda yang mengekspresikan diri melalui rasa. Mereka sulit untuk berkembang menjadi matang. Sifat egaliter yang diinginkan tidak bisa tercapai. Yang justru tercapai adalah uniformisasi atau penyeragaman para murid. Suatu sistem yang sifat hirarkisnya alamiah dan tidak terformalisasikan secara kaku—seperti gambaran di atas—lebih mendekati tujuan egaliter yang diharapkan. Sistem yang kaku itulah yang menghalangi tercapainya kualitas yang baik dalam hubungan antara guru dan murid, dan hubungan antarmurid. Hal itu membuat orang menjadi terbiasa untuk bertingkah laku secara individualis, untuk tidak peduli dengan lokalitas dan lingkungan hidupnya. Dia menolak kejadian-kejadian yang dianggap berada di luar tinjauan khusus/spesialisasinya, atau yang berada di luar ideologi masyarakat modern 10 . Dalam hal inilah, terlihat adanya pengaruh pengutamaan kegiatan ekonomi. Seseorang yang tidak dibayar, tidak atau kurang berhak untuk berpartisipasi dalam aksi (aksi mengajar atau aksi apapun juga). Dengan demikian, dapat dicermati bahwa anak-anak muda tidak dianggap bernilai sebagai warga masyarakat 10
Walau tinjauan filsafat modern dapat menguraikan segala sesuatu, ia sangat dibatasi oleh kekhususan dari kemampuan-kemampuan yang dianggapnya sah (melalui keterpisahan antara nilai dan tingkah laku), dan oleh pengutamaan pada rasio sebagai alat investigasi.
76
yang utuh karena belum produktif dalam sistem produksi. Karena mereka tidak dianggap bernilai, kematangan mereka—kalau ditinjau dari segi kriteria-kriteria tidak individualis— pasti akan terhambat bahkan bisa menjadi rusak. Bila tingkah laku/aksi kita menjadi terbatas (yaitu kalau nilai tertinggi terletak pada anggapan moral dan bukan pada anggapan rasa dalam tingkah laku), akan ditemukan banyak kesulitan dalam hal kemampuan untuk mengukur atau menilai keterbatasan kita sendiri dalam tujuan memperbaiki diri. Kesimpulan lain ialah adanya keterikatan erat antara norma-norma pendidikan (rasional dan normatif), sifat hubungan masyarakat, dan penonjolan pada kegiatan ekonomi. Kesimpulan ini dapat menimbulkan implikasi yang mendalam, sehingga perlu diperhatikan secara serius.
Nilai-nilai pokok masyarakat dan pengarahan perilaku Suatu sistem pendidikan yang menutupi unsur rasa dalam ajarannya, tidak akan terarah lagi dalam dimensi yang nyata. Sifat dari keempat penjuru dan pusatnya menjadi abstrak, karena orang tidak terikat lagi dengan lokalitasnya, dan dengan sistem pergaulan masyarakat melalui perasaan.11 Sistem pendidikan tidak pula terfokus pada masalah pengarahan kehidupan. Apa yang paling bernilai dalam perjalanan duniawi, hanyalah unsur produktif dari sistem ekonomi. Berbagai bentuk hubungan dengan nenek moyang, keturunan, siklus-siklus kosmos, dimensi kedewaan dan dimensi ketuhanan pun menjadi terputus. Pengabdian terhadap negara tidak lagi melalui kualitas dari hubungan-hubungan dalam masyarakat. Kualitas ini harus 11
Dalam hal ini, lokalitas telah direlativisir oleh pengaruh negara/kekuasaan.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
dikorbankan. Tingkah laku seorang individu modern tidak lagi terarah melalui suatu sistem hubungan yang menguraikan secara jelas nilainilai pokok dan organisasinya dalam masyarakat. Misalnya, dalam sistem representasi nilai Jawa, kita temukan dua nilai pokok dharma ksatria atau manunggaling kawula Gusti.12 Kedua nilai tersebut berletak pada cara berhubungan antar sesama. Nilai tersebut mengungkapkan suatu cara menjalin hubungan yang luhur dan menerangi sistem hubungan antarorang dan antartingkatan. Sistem tersebut merupakan suatu keseluruhan yang tidak lepas dari jagad gedhé. Hal tersebut berbeda dengan nilai-nilai Pancasila (Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, Keadilan sosial) yang menekankan pada suatu tujuan yang luas sekali. Ia tidak memberi pengarahan—selain pengarahan moral yang terpisah dari aksi—mengenai ‘bagaimana bentuk hubungan antarsesama itu dapat dihayati dan dirasakan secara homogen oleh semua warga negara?’ Sistem nilai tersebut terakhir mirip dengan sistem ideologi Barat yang telah menyengsarakan warganya sendiri. Dengan kata lain, sistem nilai masyarakat modern memang seimbang dengan sistem pendidikan yang berfokus pada tujuan. Sifat tujuan ini tidak holistis tetapi formal dan pragmatis. Dengan demikian, sistem nilai serupa itu merugikan mutu pelaksanaan dan pembinaan hubungan antar warga masyarakatnya. Akibat dari kekurangjelasan dalam sistem modern mengenai bagaimana kondisi sebelum kehidupan duniawi dan sesudahnya, kita temukan tabu-tabu yang tidak diungkapkan 12
Kita menemukan nilai-nilai tersebut pada isi ajaran perguruan-perguruan bela diri, kanuragan, kebatinan dan pada sistem representasi kejawen. Lihat de Grave (1997, 2000; lihat juga Kuntara 1990 dan Zoetmulder 1990).
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
secara eksplisit. Contohnya ada tabu mengenai hierarki di balik ‘individu modern’ egalitaris. Untuk mempertahankan kepentingan dari sifat individualistis dengan nilai egalitarisnya, semua hubungan hierarkis harus disembunyikan dengan memakai istilah-istilah seperti ‘stratifikasi sosial’ atau ‘saling membantu demi kesejahteraan umum’ (walaupun dalam kenyataan sering berubah menjadi perbudakan yang nyata, secara paksa ataupun paksa,1 3 dan kesejahteraan di luar batas dari golongangolongan atas tertentu, seperti yang terjadi di Barat). Dalam anggapan modern, hierarki itu sama dengan ketidakadilan, paksaan, bahkan kekerasan. Melalui hukum modern yang berlaku, sifat-sifat tabu tersebut dapat dikurangi pada tingkat raga, kecuali dalam kegiatan ekonomi. Namun, secara simetris hirarki itu berkembang pada tingkat moral, tempat orang menjadi lebih bebas untuk melakukan ketidakadilan dan paksaan (secara moral). Akibatnya, dalam masyarakat tersebut, hubungan sehari-hari menjadi kompetitif dan keras. Dalam kenyataan, aplikasi dari nilai egaliter yang begitu dibanggakan oleh negara-negara ‘liberal’ sebenarnya tidak mungkin bertahan secara utuh. Bila menginginkan kejelasan, ketepatan dan kejujuran, seharusnya mereka mengatakan: ‘egaliterisme itu ada pada tingkattingkat tertentu dan pada jenis-jenis hubungan 13
Selain kondisi pekerjaan para buruh di pabrik besarbesaran (yang merupakan sejenis perbudakan kalau dilihat dari kondisi pekerjaan, walaupun mereka dibayar), kita menemukan pula perbudakan yang sungguh dari anak-anak kecil sampai remaja di beberapa negara seperti Maroco, India atau di Amerika selatan untuk memproduksikan barang atau produk ekspor bahkan bisa terjadi di negara-negara ‘berkembang’ dalam keadaan gelap; sudah diperkirakan bahwa sekitar seratus juta anak sedang diperbudakan di seluruh dunia. Lagi-lagi terdapat prostitusi anak-anak yang dipermudahkan oleh perbedaan gaya dan tingkat hidup antara Barat dan Timur.
77
tertentu’ saja. Dalam model masyarakat mereka, egaliterisme sebenarnya tidak ada, misalnya pada kegiatan ekonomi. Di samping itu, seseorang yang tidak produktif dalam bidang ekonomi (karena bidang ini menjadi menonjol), dianggap kurang bernilai secara keseluruhan. Dengan demikian, anak muda dan orang tua yang rata-rata justru kurang produktif dari sudut ekonomi, tidak dihargai bila dibandingkan dengan mereka yang berada dalam lingkup masyarakat tradisional. Kegiatan-kegiatan dan kegotongroyongan pada tingkat lokal dalam sistem tradisional, mengandung pula unsur perlombaan. Tetapi, perlombaan itu terwujud dalam kaitan dengan akibat yang terjadi dalam melaksanakan suatu aksi. Bila timbul suatu pertentangan yang menonjol, pertentangan tersebut dapat meledak menjadi perkelahian atau perang. Namun, dalam kasus ini, kegiatan yang memiliki nuansa perlombaan sangat jelas kedudukannya. Ratarata kegiatan tersebut tidak terletak pada kegiatan lain selain ‘perang’. Unsur tegang dalam pergaulan sehari-hari tidak menonjol seperti yang terdapat dalam sistem hubungan masyarakat individualis. Apalagi, akibat dari perang dalam suatu sistem tradisional, tidaklah mengancam lingkungan hidup, atau nyawanyawa makhluk hidup dalam skala besarbesaran. Suatu sistem yang berlangsung demikian dalam caranya menghormati siklus-siklus ksmos, berjalan secara otokritis. Bila sistem itu mengancam keseimbangan alam semesta secara berlebihan, dia menciptakan suatu mekanisme yang mengurangi atau menghapuskan ancaman tersebut. Bentuk mekanismenya biasanya dalam wujud perang : perang antarsuku atau antarkerajaan. Karena keterikatannya yang bersifat hierarkis dan mementingkan keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos, sistem semacam itu berjalan sebagai suatu totalitas : 78
masyarakat sebagai suatu keseluruhan terlibat dalam hubungannya dengan jagad gedhé. Sistem dalam masyarakat tradisional berbeda dari sistem masyarakat moderen. Pada jaman pertengahan di Eropa—seperti yang telah digarisbawahi oleh Max Weber (1967)— dalam negara-negara yang didominasi oleh agama kristen (yang sudah dapat menaklukkan kepercayaan setempat), mulai muncul golongan-golongan korporasi. Golongangolongan korporasi itu berdiri sendiri di tengah masyarakat atas dasar kegiatan ekonomis tertentu dan atas dasar keterikatannya dengan ajaran moral normatif kristen. Di situ, kita dapat melihat awal mula tumbuhnya spesialisasi beragam kegiatan, yang sekaligus disertai dengan berkembangnya ajaran moral dan sektor ekonomi. Hingga kini, spesialisasi dari kegiatankegiatan yang ada berkembang terus, dan keterpisahannya dengan ajaran moral semakin mendalam. Kegiatan baru yang dapat menggantikan ajaran moral dari agama normatif adalah hukum. Namun, kelemahannya adalah bahwa hukum tidak ikut serta dalam aksi. Hukum lebih bersifat ancaman bagi mereka yang melanggar aturan. Golongan-golongan tersebut semakin tidak peduli dengan moralitas dan dalam konteks sekuler, referensinya menjadi hukum konvensional. Jika suatu penemuan baru belum diuraikan penggunaannya dalam hukum, orang tidak mau berusaha melakukan suatu introspeksi moral. Hal itu sering terlihat dalam hal jual beli/sesuatu yang bersifat komersial— pengusaha-pengusaha sering berusaha untuk menghindari larangan-larangan yang berlaku dengan melakukan tipu muslihat—yang sebenarnyanya membuktikan bahwa sistem hukum moral tidak berharga bagi mereka. Persaingan dalam bidang ekonomi politis terletak pada kemampuan untuk menghindari aturan-aturan yang ada. Tujuan persaingan tersebut adalah memastikan kepentingan ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
sendiri atas kelompok-kelompok saingannya.
Peralihan nilai-nilai masyarakat di Indonesia Kalau kita amati kejadian di Indonesia, kita melihat bahwa nilai individualis modern memasuki wilayah Indonesia melalui pengaruh Islam dan Eropa, terutama Belanda. Keduaduanya—dengan cara yang berbeda—sangat mempengaruhi sistem-sistem holistis (tradisional) setempat dan mengembangkan perdagangan di wilayah-wilayah yang agak luas. Dalam bidang pendidikan, pengaruhnya sangat kuat. Pertama, atas tradisi lisan setempat yang mengalami suatu kemunduran. Sistem pendidikan yang satu mewajibkan penduduk mengenali bacaan dan tulisan arab. Sementara sistem yang lainnya, mewajibkan latinisasi dan memperkenalkan sistem ajaran modern di kalangan-kalangan tertentu, seperti di kalangan para priyayi modern. Para priyayi ini merupakan satu contoh yang baik dari permulaan penyilangan dua sistem pendidikan. Mereka masih mempertahankan adat leluhurnya dalam batasan tertentu, dan sekaligus menyerap gaya pendidikan Belanda. Tetapi, seperti yang terjadi di kalangan keraton Jawa Tengah, suatu unsur pokok sudah berkurang dalam ajaran tradisionalnya, yaitu pembentukan watak melalui ajaran kanuragan asli. Berkurangnya ajatan tersebut tidak terlepas dari tujuan utama yang ingin dicapai, yakni perebutan pimpinan keraton. Apakah sifat dan nilai dari ajaran tersebut sudah hilang? Tentu saja tidak. Tetapi, penyilangan dari sistem pendidikan itu menunjukkan bahwa bentuk ajaran tersebut menjadi lain. Pengaruh rasionalisasi sudah masuk dalam praktek berperang. Orang tidak mencari dukungan dari para dewa atau dari kekuatan-kekuatan alam secara terbuka seperti masa lalu. Penyerapan ilmu, aji dan tenaga ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
dalam, tidak menonjol lagi sekalipun masih ada. Di balik itu semua, pola tingkah laku yang bersangkutan masih sangat tertanam dalam kehidupan dan pergaulan umum. Untuk mereka yang masih berada pada tingkat kanoman suatu ajaran kanuragan, biasanya akan tertarik oleh kekuasaan tanpa mementingkan nilai luhur yang harus disertakan. Di samping nilai luhur dharma ksatria, nafsu akan kekuasaan tersebut sering berubah dan menjadi menonjol, sehingga orang bisa menganggap dirinya ksatria, sesepuh, ataupun pandhita jika ia merupakan orang yang sombong. Padahal, dalam kenyataannya, orang tersebut tidak lebih dari seorang jago-jagoan yang tujuannya hanya ingin berkuasa. Keinginan akan kekuasaan ini sebetulnya merupakan suatu sifat individualistis dan bukan merupakan sikap modern. Orang mementingkan diri sendiri lebih daripada kepentingan masyarakatnya. Tetapi, jika sikap ini hendak dipertahankan dalam konteks modern sebagai tingkah laku biasa, pada suatu konteks holistis, ada syaratnya. Sifat individualistis itu tidak bisa dipertahankan sendiri. Sifat tersebut harus dipertahankan dalam suatu kelompok yang mirip dengan korporasi-korporasi pada jaman pertengahan di Eropa (dan yang masih bertahan sampai sekarang dalam suatu bentuk yang berubah). Sifat kelompok ini akan menjadi lebih tertutup, dan dia akan menganggap dirinya otonom daripada kelompok-kelompok lain. Tetapi, kelompok tersebut sering lupa bahwa otonomi hanya berada pada tingkat moral saja. Mereka mungkin lupa pula kalau tidak bisa berdiri sendiri tanpa kerjasama dengan kelompok-kelompok lain.14 Bagaimana kelompok seperti itu bisa muncul dalam masyarakat? Bertolak dari perbedaan konsepsi dan sistem transmisi ilmu 14
Inspirasi dari analisa ini bersumber pada karya Louis Dumont (1966).
79
yang sudah diuraikan, terlihat cukup jelas bahwa tantangan yang luar biasa dihadapi seseoran—yang hidup dalam suatu konteks holistis tempat keterikatan secara keseluruhan merupakan hal yang dominan— mengadaptasikan diri dengan nilai-nilai individualistis yang dianjurkan dalam Pancasila. Orang ini akan mencari perlindungan dalam satu kelompok yang bisa mengungkapkan aspirasinya sebagai individu, entah kelompok yang paling dekat karena tidak ada yang lain, atau kelompok yang ideologinya tidak terlalu jauh dari perasaannya sendiri. Namun, kenyataanya terletak di sini: pemimpin-pemimpin negara mengira bahwa penduduk-penduduk yang sudah terbiasa dengan suatu pola tingkah laku yang berakar jauh sebelum Masehi, akan mampu meninggalkan pola kebiasaan tersebut, hanya karena diperintah untuk melaksanakannya dalam waktu yang singkat.15 Dalam hal ini pun, Indonesia tidak terhindar dari kesulitan umum untuk mendirikan suatu sistem demokrasi. Akibatnya, tumbuhlah kelompok-kelompok yang mencari keuntungan untuk kepentingan diri sendiri melalui lobi-lobi ekonomi, politis, agama, atau campuran dari tiga unsur ini. Yang bertanggung jawab adalah mereka yang hendak mencari keuntungan dari pengalihan dan penerapan suatu sistem ekonomi moderen di Indonesia, dengan menumbuhkan nilai-nilai individualis, tanpa mengetahui ataupun peduli pada akibatnya.16 Perlu pula ditambahkan satu catatan lagi berkenaan dengan peralihan bidang pokok, sebagai ungkapan dari kekuasaan di Indonesia. Dalam keruntuhan kewibawaan Mataram, 15
Untuk mengukur sifat rumit dan akar-akar dari kepaksaan ini, lihat Ricklefs (1981) dan Soekirno (1998). 16
Perlu dicatat di sini bahwa kemampuan para ilmuwan sosial kurang dimanfaatkan, baik di negara Barat maupun di Timur dalam kasus-kasus seperti krisis sosioekonomi yang parah. Titik berat ini perlu dirumuskan.
80
jelaslah bahwa motivasi pertama dari orangorang Belanda menetralisir pengaruh dari kraton, adalah agar VOC dapat melakukan perdagangan dengan tenang. Peristiwaperistiwa sejarah pada zaman itu—yaitu antara zaman Sultan Agung dan jaman penjajahan Jepang—menunjukkan terjadinya perpaduan antara kewibawaan sebagai pemimpin perang dan kewibawaan karena kekayaan duniawi.17 Satu contoh jelas dari terjadinya hubungan antara kegiatan ekonomi dan kanuragan adalah sumbangan pendirian padepokan pencak silat Taman Mini oleh konglomeratkonglomerat ekonom besar Indonesia yang didominasi oleh Soeharto dan para pengikutnya. Selain mantan presiden RI sendiri dan anaknya Bambang Trihatmojo yang mengaku sebagai pengurus-pengurus besar urusan pencak silat, terdapat juga almarhumah Ibu Tien Soeharto, yang menghibahkan tanahnya sebagai lokasi berdirinya bangunan itu. Menantunya, Prabowo Soebianto, mengetuai pembangunan padepokan tersebut. Lambang pokok dari padepokannya adalah setangkai padi besar yang terbuat dari logam. Lambang itu ditempatkan di tengah ruangan museum padepokan dengan motto terkenal ‘Padi semakin matang semakin menunduk.’ Melalui kasus ini, terlihat adanya penyalahgunaan kekuasaan pusat atas inti masalah berlandaskan filsafat. 17
Di luar negeri observasi-observasi mengenai hubungan antara filsafat bela diri atau strategi militer dengan strategi perdagangan sudah diuraikan. Di Cina atau di Rusia, sudah tercatat pengaruh dari SunTzu ahli strategi perang yang hidup pada jaman Cina klasik dua puluh lima abad yang lalu. Di Jepang terdapat karya seorang samurai, Miyamoto Musashi (abad XVI), yang sangat mempengaruhi strategi komersial jepang dan beberapa pengusaha-pengusaha barat juga. Di Jepang, ada juga pusat-pusat latihan khusus untuk kader-kader yang tidak mampu mengeluarkan prestasi bagus; di situ mereka dilatih bela diri. Di Indonesia pun kader-kader negara sering menjadi kader-kader dari perguruan beladiri pencak silat atau tenaga dalam.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Penutup Ajaran bela diri di Barat sudah lama tidak dianggap penting lagi, sehingga tidak ada usaha untuk mengerti bentuk masyarakat Barat dari sudut unsur kewibawaan dan perang. Unsur ini tidak diakui lagi, bahkan menjadi tabu. Walaupun demikian, unsur tersebut masih hidup dalam sistem kompetisi yang berlaku di sana secara umum. Sistem kompetisi yang demikian menonjol dalam kegiatan ekonomi dan mempengaruhi hampir seluruh bidang kegiatan yang ada, terutama sistem pendidikan. Terhadap sifat tertutup dan khusus dari sistem tersebut, kita harus berlaku waspada. Oleh karena itu, kita wajib menelaah kembali sistemsistem pendidikan tradisionil yang ada dan belajar sesuatu dari mereka. Dalam sistem pergaulan masyarakat tradisional, kita selalu menemukan suatu usaha untuk hidup seimbang dalam dimensi ruang dan waktu lokal, sebagai ungkapan dari ruang dan waktu kosmik yang bersifat universal. Sedangkan dalam sistem pergaulan individualistik modern, sifat universalnya telah dianggap sebagai dasar dari semua kegiatan. Sifat tersebut mengancam semua aktivitas yang bersifat lokal tanpa mengakui sifat perusaknya. Sistem individualistik modern mementingkan keterpisahan nilai dari aksi bersifat khusus dan elitis. Sistem semacam itu memaksa orang untuk mengikuti jalurnya atau dia menyingkirkan mereka. Dengan demikian, saya mengusulkan agar Hak Asasi Manusia yang merupakan hasil dari ideologi individualis dapat didampingi oleh Hak Asasi Masyarakat yang tujuannya adalah membela hak masyarakat tradisional untuk
mempertahankan struktur masyarakatnya tanpa harus merasa cemas dari tekanan luar. Mereka yang ingin tetap di wilayah masyarakatnya, dapat merasa aman dengan pola kehidupan budayanya Sementara yang ingin ke luar, diperbolehkan juga. Saya ambil contoh suku Baduy, di mana dapat ditemukan ‘Baduy dalam’ yang terlindung dari pengaruh luar dan ‘Baduy luar’ yang bebas menerima pengaruh luar. Saya yakin bahwa penerapan hak-hak semacam itu, dapat menetralisir dampak ketegangan baik di dalam negeri maupun pada tingkat dunia. Apalagi jika hal itu dapat melindungi kemusnahan bermacam budaya manusia dan lingkungan hidupnya. Indonesia merupakan satu negara yang cocok sekali untuk dijadikan contoh dari gagasan ini. Negara-negara yang dianggap berkembang (dari sudut ekonomis), tetapi dari aspek lainnya ternyata jauh lebih berkembang daripada negara-negara industri, mempunyai tanggung jawab yang sangat penting dalam hal globalisasi. Mereka mempunyai hak untuk menolak kesombongan dari negara-negara yang memaksakan globalisasi melalui penanaman ideologinya. Negara-negara tersebut memiliki ideologi yang memisahkan semua yang ada atas alasan kesejahteraan, tetapi dalam kenyataannya mereka tidak peduli terhadap ancaman-ancaman ekologis besar seperti polusi, radiasi, kenaikan tingkat laut karena pencairan gunung-gunung es, dan lainlain. Menciptakan Hak Asasi Masyarakat jauh bersifat lebih demokratis daripada HAM dan dapat mengurangi akibat buruk dari globalisasi tersebut.
Kepustakaan Bloch, M. 1998 How We Think They Think - Anthropological Approaches to Cognition, Memory, and Literacy. Oxford: Westview Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
81
Bonneff, M. 1997 ‘La Langue et la Culture Javanaises: Entre Modernisation et Retraditionalisation’, Archipel 53:29-60. de Coppet, D. 1991 ‘The Society as an Ultimate Value and the Socio-cosmic Configuration’, Ethnos (3-4):140150. 1992 ‘Comparison, a Universal for Anthropology. From “Re-presentation” to the Comparison of Hierarchies of Values’, dalam A. Kuper (peny.) Conceptualizing Societies . E.A.S.A., London: Routledge. Hal. 59-74. de Grave, Jean-Marc 1993 Le Pencak Silat en Indonésie - Une expérience à Célèbes - Sud. Mémoire de DREA, Inst. Nat. des Langues et Civilisations Orientales. 1994 ‘Les Arts Martiaux Indonésiens à Java - Pencak Silat et Tenaga Dalam. Mémoire de DEA en Anthropologie Sociale. Paris: EHESS. 1996a ‘Pengamatan Mengenai Unsur Seni dalam Bela Diri Khas Indonesia Dibandingkan dengan Unsur-unsur Lainnya’, Bulletin Antropologi 20:1-10. 1996b ‘Une Ècole Catholique de Pencak Silat - Tunggal Hati Seminari’, Archipel 52: 65-75. 1996c ‘Une Ècole de Pencak Silat Prise sur le Vif’, Images d’Archipel 52:77-93. 1997 Comparaison des Activités et des Valeurs Ultimes de Trois Ècoles Javanaises de Pratiques Martiales (Yogyakarta-Java Centre). Tesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Paris: EHESS. 2000 (akan diterbitkan) ‘Pratique et Système de Valeurs du Kanuragan Yogyakartanais - Java Centre’, Archipel/l’Harmattan (Praktek dan Sistem Nilai Kanuragan Yogyakarta - Jawa Tengah). Dumont L. 1977 Homo Aequalis - Genèse et Èpanouissement de l’idéologie Èconomique. Paris: Gallimard. 1979 (1966) Homo Hierarchicus - Le système des Castes et ses Implications. Paris: Gallimard. 1991 Essais sur l’individualisme - Une Perspective Anthropologique sur l’idéologie Moderne. Points Seuil. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1977-78 Aliran-aliran Pokok Pencak Silat Jawa Barat. Jakarta: Depdikbud. Djadjadiningrat, A.A. 1936 Kenang-kenangan Pangeran Aris Achmad Djadjadiningrat. Jakarta: Balai Poestaka. Djoemali, M. 1959 Pentjak Silat Diteropong dari Sudut Kebangsaan Indonesia. Yogyakarta: PP dan K. Hadot, P. 1995 Qu’est-ce que la Philosophie Antique. Paris : Gallimard. Kuntara, W. 1990 Arjunawiwaha - Transformasi Teks Jawa Kuno Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa . Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Liok An Djien 1935 Doea Djago Silat di Java . Semarang: Ho Kim Yoe.
82
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
Lombard, D. 1973 ‘De la Signification du Film Silat’, Archipel 5:213-230. 1977b ‘Les Maîtres de Silat d’origine Chinoise’, Archipel 14:33-41. 1990 ‘Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire Globale’, Editions de l’EHESS (trois vol.). Maryono, O’ong 1998 Pencak Silat - Merentang Waktu . Yogyakarta: Pustaka Palajar. Onghokham 1984 ‘The Jago in Colonial Java’, dalam Turton dan Tanabe (peny.) Seri Ethnological Studies Osaka; History and Peasant Consciousness in South-East Asia. Osaka: National Museum of Ethnology. Hal. 327-343. Ricklefs, M. C. 1981 A History of Modern Indonesia c. 1300 to the Present . London: Mac Millan. Soekirno, I. 1998 Sciences Fondamentales, Enseignement des Mathématiques et Pays en Développement: Retrospective et Perspective – Le Cas de l’Indonésie de l’époque Coloniale aux Premiers Temps de l’indépendance: 1818-1965. Tesis Ph.D. tidak dipublikasikan. Nantes: Université de Nantes. Weber, M. 1967 L’éthique Protestante et l’esprit du Capitalisme.Plon. Yoe Kiong, Liem 1960 Ilmu Silat, Sedjarah, Teori dan Praktek. Malang: Penyebar. Zoetmulder, P. 1990 Manunggaling Kawula Gusti . Jakarta: PT Gramedia.
ANTROPOLOGI INDONESIA 61, 2000
83