TRANSMIGRASI SEBAGAI PEMBENTUK FORMASI SOSIAL KAPITALIS DI DAERAH TUJUAN (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)
SOFYAN SJAF
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Transmigrasi Sebagai Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Maret 2006 Sofyan Sjaf NIM: A152030061
ABSTRAK SOFYAN SJAF. Transmigrasi Sebagai Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY dan IVANOVICH AGUSTA. Program transmigrasi di usianya kurang lebih 50 tahun memberikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya. Disatu sisi, tak dapat dipungkiri bahwa program transmigrasi telah berhasil memberikan akses kepemilikan tanah berbasis keluarga kepada komunitas transmigran yang dulunya sebagian besar sebagai petani gurem dan tunakisma di daerah asalnya. Akan tetapi pada sisi yang lain, perihal kegagalan produksi seringkali kita dengarkan karena mereka – komunitas transmigran– yang ditempatkan pada daerah-daerah yang mempunyai kondisi alam atau lahan marjinal, seperti lahan kering, lahan gambut berawa, dan lain-lain. Perihal yang terakhir cenderung mendorong berlangsungnya penetrasi kapitalisme yang efektif di daerah tujuan transmigrasi. Penelitian ini mengangkat permasalahan bagaimana berlangsungnya pembentukan formasi sosial yang di dalamnya terdapat moda produksi terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production) pada komunitas transmigran di Wanaraya? Sementara itu tujuan penelitian adalah menjelaskan kondisi infrastruktur yang mempengaruhi pembentukan formasi sosial, perubahan organisasi produksi dan akibat dari perubahan organisasi tersebut sehingga mampu menggerakkan nilai/norma (suprastrukur), dan memahami persoalan atau dampak sosial akibat dari transmigrasi itu sendiri. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengambil kasus komunitas transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: (1) tahap pra-penelitian, berupa kunjungan lapangan di mana penelitian dilaksanakan. Pra penelitian dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing pada tanggal 28–30 Agustus 2004 dan 17–18 September 2004; dan (2) tahap penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2005 berlokasi di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya dapat dilihat dari berlangsungnya sejarah komunitas transmigran yang terbagi ke dalam tiga periode, yaitu: (1) periode behuma; (2) periode “pasang” (1978–1983) dan periode “surut” (1984–2005). Masing-masing periode tersebut menunjukkan moda produksi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adapun moda produksi tersebut dicirikan dengan usaha atau kegiatan produksi yang terdiri dari: moda produksi subsistensi, moda produksi komersil, dan moda produksi kapitalis. Moda produksi subsistensi dapat dilihat pada usaha produksi behuma komunitas lokal, dimana organisasi produksinya berbasis keluarga inti. Meskipun demikian, hubungan faktor produksi sudah menunjukkan gejala hierarki antara petani penggarap dan pembekal desa sehingga sebagian dari suplus produksi diserap oleh pembekal desa. Adapun produksi komersil tercermin pada usaha
produksi padi-sawah pasang surut komunitas transmigran yang berorientasi nilai guna dan nilai tukar (periode 1978 – 1983). Organisasi produksinya berbasis keluarga inti, namun terdapat tenaga kerja di luar keluarga inti yang diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja berdasarkan kepentingan kebutuhan tenaga kerja berbasis tolong menolong. Dengan demikian, struktur hubungan produksinya cenderung egaliter dan sifatnya hubungan produksinya non-eksploitatif karena penyerapan surplus produksi sepenuhnya dilakukan oleh keluarga inti. Selain itu, moda produksi komersil dicerminkan dengan usahatani lainnya (seperti sayuran, kacang tanah, dan usaha ternak sapi) dan usaha selain pertanian. Organisasi produksinya sudah melibatkan keluarga luas (kerabat terdekat) dan di luar keluarga inti sehingga menunjukkan struktur hubungan produksi pseudohierarki (transportasi klotok) dan hierarki yang cenderung eksploitasi (usaha produksi sayuran dan kacang tanah, usaha ternak sapi, dan usaha bengkel elektronik/sepeda motor). Surplus produksi diserap oleh keluarga inti sebagai pemilik usaha. Sedangkan moda produksi kapitalis hadir pada periode “surut” (1984–2005). Moda produksi pada periode “surut” ini tercermin pada usaha produksi membatang dan padi-sawah pasang surut. Modal (kapital) adalah alat produksi utama dari kedua usaha produksi tersebut untuk membayar upah/sewa tenaga kerja yang terlibat dalam usaha produksi tersebut. Untuk usaha produksi membatang organisasi produksinya perusahaan skala kecil yang tidak berbadan hukum dan dipimpin seorang bos batang, sedangkan organisasi produksi padisawah pasang surut merujuk usaha keluarga yang bertindak sebagai petani pemilik modal yang mengupah tenaga kerja sekaligus sebagai pengusaha penyedia teknologi usaha produksi tersebut (pupuk, kapur, dan traktor tangan). Dengan demikian, struktur hubungan produksi adalah struktur hierarki antara pemilik modal dan pekerja (petani upahan) yang memberikan kontribusi terhadap melemahnya basis ikatan tolong menolong antar sesama komunitas transmgiran. Tampilnya moda produksi kapitalis yang dominan terhadap dua moda produksi lainnya di komunitas transmigran Wanaraya mempertegas transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Ini diawali dari tergesernya sistem produksi behuma ekstensif yang identik dengan kegiatan produksi komunitas lokal dan sekaligus mensubsidi lahan kepada komunitas transmigran dengan sistem produksi sawah pasang surut yang intesif. Kondisi ini, kemudian mendorong terjadinya jurang metabolik (metabolic gap) yang melanggengkan penetrasi kapitalisme dengan watak kapitalismenya di Wanaraya melalui berbagai usaha produksi. Selain itu, dominasi moda produksi kapitalis dapat pula dilihat dari produksi subsistensi yang dilakukan oleh komunitas lokal telah mensubsidi lahan produksi kepada komunitas transmigran untuk melakukan usahatani sawah pasang surut intensif yang berorientasi nilai guna (use-value) dan nilai tukar (exchange-value). Selanjutnya produksi padi-sawah pasang surut mensubsidi pemenuhan kebutuhan pangan baik untuk pelaku produksi komersil selain pertanian maupun pelaku produksi kapitalis itu sendiri.
TRANSMIGRASI SEBAGAI PEMBENTUK FORMASI SOSIAL KAPITALIS DI DAERAH TUJUAN (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan)
SOFYAN SJAF
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
Nama NIM
: Transmigrasi Sebagai Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan) : Sofyan Sjaf : A152030061
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Fredian Tonny, MS. Ketua
Ir. Ivanovich Agusta, M. Si. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. M.T. Felix Sitorus, MS.
Tanggal Ujian: 2 Maret 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M. Sc.
Tanggal Lulus:
Dipersembahkan kepada Kedua orang yang mendidik dan membesarkanku: ayah Drs. H. Sjafiuddin Daud (almarhum) dan ibu Hj. Nurpati
PRAKATA Alhamdulillahirobbil’alamiin ! Akhirnya penulisan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB selesai juga. Banyak pihak yang telah memberi kontribusi penyelesaian studi ini sehingga dalam prakata ini penulis merasa sangat perlu memberi ucapan terima kasih.
Pertama kali ucapan terimakasih yang setulusanya penulis sampaikan
kepada Komisi Pembimbing yaitu Ir. Fredian Tonny, MS. (sebagai ketua) dan Ir. Ivanovich Agusta, M. Si. (sebagai anggota) atas bimbingan mereka kepada penulis selama proses pengerjaan tesis ini. Penulis sadari bahwa mereka berdua dengan caranya masing-masing telah mengajarkan penulis untuk belajar konsisten dan tertib dalam menggunakan paradigma atau teori dalam ilmu-ilmu sosial. Ucapan terimakasih dan penghargaan setulusnya kemudian penulis sampaikan kepada kedua orang yang telah mendidik dan membesarkan penulis yaitu ayah Drs. H. Sjafiuddin Daud (almarhum) dan Ibu Hj. Nurpati. Lebih sekedar itu, mereka berdua secara tidak langsung telah menanamkan prinsipprinsip memahami makna hidup ini dalam diri penulis. Khusus kepada ayah Drs. H. Sjafiuddin Daud (almarhum), penulis selalu berdoa semoga Allah SWT memberikan maqom tertinggi sesuai dengan kesabaran dan keikhlasan sewaktu hidup yang almarhum contohkan kepada penulis. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. MT. Felix Sitorus, MS. sebagai Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa pada program studi yang dipimpinnya. Penulis sadari bahwa kesempatan belajar yang beliau berikan telah mengantarkan penulis menemukan minat studi yang terpendam dalam diri penulis selama ini. Kepada seluruh staf pengajar pada Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB, penulis ucapkan terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis baik di dalam maupun di luar berlangsungnya perkuliahan. Tak lupa kepada Dr. Sajogyo, penulis menaruh rasa hormat dan simpatik yang dengan caranya sendiri menunjukkan kepada “generasi cucu” (termasuk penulis) sosok guru sejati yang sudah jarang ditemukan di republik ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Kendari atas kesempatan belajar yang diberikan, dan kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memungkinkan penulis memperoleh dukungan dana BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional selama kurang lebih satu setengah tahun. Ucapan yang sama juga penulis sampaikan kepada Dr. Muladno sebagai guru sekaligus sahabat dengan caranya sendiri telah mengupayakan bantuan dana kepada penulis pada tahun-tahun pertama penulis menempuh pendidikan S2.
Penulis sadari ketika berinteraksi dengan beliau
banyak hal yang penulis pelajari terutama bagaimana menjadi seorang intelektual praksis dan bersahaja dengan kapasitas ilmu yang dimilikinya. Demikian pun dengan Ir. Hj. Maskamian Andjam, MM., penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dana kepada penulis selama melaksanakan penelitian di Kalimantan Selatan. Kepada informan dan responden penulis di Wanaraya dengan tidak menyebut satu per satu, ucapan terimakasih penulis sampaikan atas informasi dan data yang diberikan sesuai kebutuhan penelitian. Tak lupa ucapan terimakasih kepada Bapak Panji beserta keluarga yang telah berkenaan meminjamkan satu kamar di rumahnya sebagai tempat penulis untuk menyelesaikan catatan lapangan dan beristirahat disaat merasa lelah. Secara khusus saya berterimakasih kepada Dr. Endriatmo Soetarto, atas kesediaan dan komitmennya sebagai dosen penguji luar komisi pada saat penulis menjalani ujian sidang untuk meraih gelar Magister Sains.
Juga terimakasih
penulis sampaikan kepada kanda Hasbullah Syaf, SP., M. Si. yang dengan caranya sendiri telah membantu penulis dan Ir. La Ode Safuan, MP., Dr. Ir. Takdir Saili, M. Si., teman-teman HIWACANA SULTRA (khususnya Nur Arafah, SP., M. Si., Bahdat, S. Si., M. Si., Bahar, S. Pi., Rsudin, S. Pt., Muhammad Syahdan, S. Pi., M. Si., Laode Muh. Yasin, S. Pi., dan lain-lain), serta teman-teman sepermainan dan seperjuangan di Kendari (Syamsul Anam Ilahi, SE., Andi Ikhwan, S. Sos., M. Si., Ali Sahri, SP., dan Farid Sabara, A. Md.) yang terus menanyakan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan S2 sehingga dapat memikirkan “agenda hidup” ke depan yang tak kalah pentingnya.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih atas segala dukungan dan bantuan langsung maupun tidak langsung kepada seluruh keluarga di Kendari (Om Umar beserta keluarga, Mamanya Darma beserta keluarga, Mamanya Inung beserta kedua keponakanku (Inung dan Ko’o), Kak Erna, Kak Mukti, dan Adik Aisyah yang selalu memberi senyum dan setia menemani Mama Aji sepeninggal almarhum ayah). Begitupun penulis ucapkan terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya selama ini kepada teman-teman kuliah di Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB (Heru Purwandari, Kalbi R., Rokhani, Purnomo, Taya Toru, Pardamaean, Jeter, Jean, Rita, Agustina, dan Witrianto). Akhirnya, kepada teman-teman penulis yang tak dapat disebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih atas masukan, saran, dan kritikannya saat bersama penulis. Banyak hal berarti yang telah mereka berikan kepada penulis, tetapi secara khusus penulis sebutkan di sini yaitu Ir. Budi Baik Siregar, M. Si., Mohammad Shohibuddin, M. Si., dan Ir. Laksmi Savitri, M. Si., ketiganya teman dan sahabat di Sajogyo Inside (sa!ns) yang banyak memberikan waktu dan perhatiannya kepada penulis serta bersama-sama membangun sa!ns sebagai gerakan ideologis, Muhammad Ruslan, S. Pi. sebagai sahabat sekaligus teman diskusi berbagai tema mulai dari politik, religi, sastra sampai dengan tema-tema yang bersifat pribadi. Kemudian kepada pegiat sa!ns, khususnya Yuni, Astrid, Handa, Dini, Lili, Mastin, Feny, Lutfi, dan Dian, serta adik-adik HMI Cabang Bogor, khusunya Musahidin, La Ode Rusyamin, Rukmiati, Topik, Wandi, Fatur, dan Umi Wahyuni, penulis ucapkan terima kasih atas perhatian, komitmen, kebersamaan dan pencerahan dalam melakukan aktivitas yang produktif untuk perubahan ke arah yang lebih baik.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Kendari pada tanggal 3 Oktober 1978 dari ayah Drs. H. Sjafiuddin Daud (almarhum) dan ibu Hj. Nurpati. Penulis anak ketiga dari tiga bersaudara. Pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, penulis selesaikan di kota kelahiran. Pada tahun 1996, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Teknologi Hasil Ternak (THT), Jurusan Ilmu Produksi Ternak (IPT), Fakultas Peternakan IPB dan menamatkannya pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis diterima untuk melanjutkan studi pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Sekolah Pascasarjana IPB dengan bantuan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) selama satu tahun enam bulan yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional, Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK). Selama mengikuti program Magister Sains (S2), penulis aktif sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI), Tim Sinkronisasi Rancangan UndangUndang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Tim Evaluasi Pembangunan Peternakan, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI), staf Ketua Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) IPB, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HIWACANA) Sulawesi Tenggara, dan pegiat di Yayasan Sajogyo Inti Utama. Selain itu, penulis memberikan materi perkuliahan Peraturan Perundangan dan Hukum Agraria di Fakultas Peternakan IPB. Penulis menjadi editor buku berjudul “Dari Kandang Memandang Dunia” yang ditulis Dr. Muladno dengan kata pengantar Emha Ainun Nadjib dan memprakarsai dilakukannya Diskusi Seri Peternakan (DisNak) sebagai bahan masukan untuk Rencana Strategis Pembangunan Peternakan pemerintahan SBY-JK yang diselenggarakan oleh PB ISPI.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................
xv
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................... Rumusan Masalah ................................................................................. Tujuan ................................................................................................... Kegunaan ...............................................................................................
1 6 8 8
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
9
Pendekatan Teoritis................................................................................ Formasi Sosial (Social Formation).................................................. Moda Produksi (Mode of Production)............................................. Perubahan Sosial dalam Dimensi Teknologi dan Eknonomi........... Komunitas Transmigran...................................................................
9 9 14 18 23
Kerangka Pemikiran...............................................................................
27
METODE PENELITIAN...........................................................................
30
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ Teknik Pengumpulan Data .................................................................... Teknik Analisis Data .............................................................................
31 33 35
SEJARAH KOMUNITAS TRANSMIGRAN WANARAYA.................
37
Periode Behuma..................................................................................... Periode “Pasang” (1978 – 1983)............................................................ Periode “Surut” (1984 – 2005)...............................................................
39 43 52
Ikhtisar...................................................................................................
68
MODA PRODUKSI SUBSISTEN.............................................................
72
Artikulasi Usaha Produksi Behuma....................................................... Artikulasi Kegiatan Produksi Membatang............................................. Ikhtisar...................................................................................................
74 76 78
MODA PRODUKSI KOMERSIL.............................................................
79
Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut............................................. Artikulasi Usahatani Sayuran dan Kacang Tanah.................................. Artikulasi Usaha Ternak Sapi................................................................ Artikulasi Usaha Produksi Selain Pertanian..........................................
80 86 88 93
Ikhtisar...................................................................................................
97
MODA PRODUKSI KAPITALIS.............................................................
99
Artikulasi Usaha Produksi Membatang................................................. Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut............................................. Ikhtisar...................................................................................................
101 104 109
TRANSMIGRASI DAN FORMASI SOSIAL KAPITALIS...................
111
Transmigrasi: “Sesat Pikir” yang Menciptakan Jurang Metabolik........ Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan: Dominasi Peran Kelas Kapitalis Pinggiran....................................................................... Ikhtisar...................................................................................................
114 121 126
KESIMPULAN DAN IMPLENTASI KEBIJAKAN...............................
129
Simpulan................................................................................................ Implementasi Kebijakan........................................................................
129 135
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................
138
LAMPIRAN.................................................................................................
142
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Artikulasi Moda Produksi Menurut Khan............................................ 2 Perbandingan Konsep Komunitas ala Marxis dan Selain Marxis........ 3 Fokus Desa yang Diamati Sehubungan dengan Pertanyaan Penelitian.............................................................................................. 4 Fokus Pengamatan dan Teknik Pengumpulan Data............................. 5 Ciri-ciri Periode Behuma (sebelum tahun 1978)................................. 6 Penggunaan Alat Produksi Disetiap Tahap Usahatani Sawah Pasang Surut Produksi.......................................................................... 7 Ciri-ciri Periode “Pasang” Komunitas Transmigran (1978–1985)......................................................................................... 8 Perbandingan Luas Wilayah Desa Berdasarkan Penduduk Lokal, Transmigran, dan Lokal dan Transmigran........................................... 9 Waktu Tanam dan Produktivitas Beberapa Jenis Komoditas Pertanian di Wanaraya......................................................................... 10 Karakteristik Produksi Komoditas Pertanian di Wanaraya.................. 11 Ciri-ciri Periode “Surut” Komunitas Transmigran (1986– 2005)....... 12 Artikulasi Usaha Produksi Behuma...................................................... 13 Artikulasi Usaha Produksi Membatang................................................ 14 Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut........................................... 15 Artikulasi Usahatani Sayuran dan Kacang Tanah................................ 16 Artikulasi Usaha Ternak Sapi.............................................................. 17 Artikulasi Usaha Produksi Transportasi Klotok dan Bengkel Elektronik/Sepeda Motor..................................................................... 18 Artikulasi Usaha Produksi Membatang................................................ 19 Jumlah Petani Pemilik dan Penggarap Berdasarkan Desa di Wanaraya, Tahun 2002........................................................................ 20 Jumlah Petani Pemilik Berdasarkan Desa di Wanaraya, Tahun 2002........................................................................................... 21 Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut........................................... 22 Persentasi Penduduk Menurut Golongan Rumah Tangga.................... 23 Perbedaan Sistem Produksi Perladangan dan Sistem Produksi Padi-Sawah...........................................................................................
15 26 32 34 42 47 51 53 59 61 65 75 77 85 87 91 95 102 105 106 108 115 118
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Formasi Sosial Masyarakat.................................................................. Moda Produksi Kapitalis Menurut Marx (Watson 1977)..................... Kerangka Pemikiran Formasi Sosial Komunitas Transmigran............ Peta Lokasi Penelitian.......................................................................... Proses Pembentukan Struktur Sosial Komunitas Transmigran di Wanaraya.......................................................................................... Distribusi Tenaga Kerja dalam Keluarga Inti saat Tahap Menanam pada Usahatani Sawah Pasang Surut................................... Usaha Produksi Ternak Sapi Komunitas Transmigran di Wanaraya.............................................................................................. Organisasi Produksi Usaha Ternak Sapi Pada Komunitas Transmigran Wanaraya........................................................................ Usaha Produksi Transportasi Klotok Milik Salah Seorang Anggota Komunitas Transmigran........................................................ Petani Pemilik-Penggarap dalam Tahap Menanam Pada Usaha Produksi Padi-Sawah Pasang Surut......................................................
12 17 29 31 55 81 90 93 94 107
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Peta Pulau Kalimantan......................................................................... 2 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Wanaraya per Bulan............. 3 Penduduk Kecamatan Wanaraya pada Tahun-tahun Tertentu, 1980 – 2004.......................................................................... 4 Penduduk Kecamatan Wanaraya Menurut Jenis Pekerjaan, Tahun 2002........................................................................................... 5 Potensi dan Fungsi Lahan Sawah Pasang Surut di Wanaraya............. 6 Produktivitas Beberapa Komoditas Pertanian di Wanaraya, Tahun 1999 – 2002............................................................................... 7 Penduduk Kecamatan Wanaraya per Desa pada Tahun-tahun Tertentu, 1980 – 2004.......................................................................... 8 Jenis Rumput dan Kandungan Nilai Nutrisi......................................... 9 Catatan Refleksi dalam Pengumpulan Data di Lapangan....................
143 144 144 144 145 145 146 147 148
PENDAHULUAN Latar Belakang Program transmigrasi di usianya kurang lebih lima puluh tahun memberikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya.
Tak dapat
dipungkiri bahwa keberhasilan program transmigrasi karena dapat memberikan akses atas lahan/tanah kepada komunitas transmigran 14 yang dulunya sebagian besar tergolong petani gurem dan tunakisma. Meskipun tidak terdapat data dalam angka berapa besarnya jumlah petani gurem dan tunakisma yang mengikuti program transmigrasi, akan tetapi berdasarkan sumber yang terpercaya bahwa pada hakekatnya transmigrasi direkrut diantara petani tanpa lahan, penyewa lahan kecil, buruh tani, dan buruh harian lainnya (Levang 2003:66, MacAndrew dan Rahardjo 1979). Adapun kegagalan program transmigrasi seringkali diidentikan dengan ketidakmampuan lahan berproduksi optimal karena mereka –komunitas transmigran– ditempatkan pada daerah-daerah yang mempunyai kondisi alam yang mempunyai ekologi lahan marjinal, seperti lahan kering, lahan gambut berawa, dan lain-lain. Tahun 1978, menjelang berakhirnya Pembangunan Lima Tahun (Pelita) tahap I, Pemerintahan Orde Baru mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa secara sengaja maupun tidak sengaja untuk menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Transmigran dari Pulau Jawa tersebut tidak lain adalah satu dari sekian komunitas transmigran di Indonesia yang menceritakan berlangsungnya pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Merujuk teori formasi sosial ala Stzompka (1994) bahwa pembentukan formasi sosial yan terjadi pada komunitas transmigran menunjukkan kontradiksinya pada level tertentu. Kontradiksi dapat dilihat dari lingkungan sosial eksternal (kondisi alam) yang bersifat turun temurun dengan kekuatan produksi yang tersedia.
14
Studi
Komunitas transmigran dalam tulisan ini didefinisikan sebagai penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial.
Heeren 15 menunjukkan bahwa kondisi lahan di luar Jawa yang memiliki tingkat kesuburan relatif kurang menyebabkan pilihan penduduk Lampung Tengah untuk melakukan
usahatani
perladangan
berpindah.
Masih
dimungkinkannya
perladangan berpindah oleh penduduk Lampung Tengah dikarenakan kepadatan penduduk yang masih relatif kurang dan kepemilikan tanah yang berbasis marga. Kedata-ngan para transmigran asal BRN 16 ke Lampung Tengah sebagai tujuan daerah transmigran menyebabkan terjadinya konflik kepemilikan tanah antara penduduk asli dengan para transmigran tersebut. Demikianpun studi yang dilakukan Levang 17 menunjukkan kondisi alam yang ditandai dengan lahan yang sering digenangi air (ekologi lahan gambut berawa) atau lahan bertekstur histosol 18 memberikan pilihan atas alat produksi (teknologi) yang digunakan orang Banjar dalam mengusahakan lahan gambut berawa tersebut. Sebagai misal, varietas padi yang digunakan untuk melakukan usahatani adalah varietas padi yang mempunyai siklus panjang (6–10 bulan) sehingga panen sawah pasang surut hanya dapat dilakukan 1 kali setiap tahunnya yang berbeda dengan panen padi sawah di Pulau Jawa. Demikian pun dengan teknologi pengelolaan lahan yang menggunakan tajak, taju, dan ani-ani. Aktivitas yang dilakukan orang Banjar tersebut, oleh kaum positivist yang mengidap paham moderniasasi dianggap tidak efisein karena membutuhkan tenaga kerja dan waktu yang panjang sehingga diperlukan teknologi yang lebih intensif.
Kehadiran transmigran dengan membawa pengalaman bertani dari
daerah asalnya berupa teknik produksi yang intensif –varietas unggul, pemupukan, penyiangan, dan panen dua kali– ternyata mengalami kontradiksi
15
H. J. Heeren: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta 1979, hal. 87 – 91. BRN adalah singkatan dari Biro Rekonstruksi Nasional merupakan lembaga pemerintah yang berfungsi mengorganisasi dan memimpin rehabilitasi prajurit-prajurit yang dimobilisasi. Tujuan BRN adalah penciptaan kesempatan kerja bagi berbagai kelompok veteran untuk merintis jalan kembali bagi mereka secara teratur ke kehidupan sosial masyarakat biasa, serta untuk memanfaatkan tenaganya untuk membangun negaranya kembali. 17 Patrice Levang: Ayo ke Tanah Sabrang, Jakarta 2003. 18 Menurut Harjowigeno (1993:251) bahwa jenis tanah histosol terbentuk bila produksi dan penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di tempat-tempat yang selalu digenangi air sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat. Oleh karena itu, dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik. Selanjutnya, Harjowigeno mengatakan bahwa jenis tanah histosol ini mudah terbakar ketika drainasinya mengalami perbaikan. 16
dengan kondisi alam atau ekologi di daerah tujuan sehingga seringkali terjadi kegagalan dalam produksi padi-sawah pasang surut. Kegagalan produksi sawah pasang surut yang dialami komunitas transmigran mengkibatkan tidak sedikit dari mereka meninggalkan pemukiman baru yang disediakan pemerintah. Umumnya alasan mereka –para transmigran– meninggalkan daerah tujuan adalah kurangnya keterampilan teknik usahatani sawah pasang surut dan kekurangan modal dalam peng-usahaan padi-sawah pasang surut tersebut. Meskipun demikian, diantara mereka yang bertahan karena berbekal kecakapan bertani di daerah asal dan kemauan belajar dari teknik orang Banjar.
Dua faktor tersebut menyebabkan terjadinya “revolusi” dalam
berproduksi sehingga mendorong berlangsungnya kekuatan produksi yang permanen. Meskipun demikian, determinasi ekologi lahan gambut berawa yang miskin unsur hara mendorong terjadinya penurunan produksi padi dari 200–300 kaleng/ha/tahun menjadi 10–50 kaleng/ha/tahun. 19 Penurunan produksi padi ini dikarenakan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan menghilang dengan cepat di lahan Kalimantan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah.
Selain itu, drainasi yang terlalu dangkal tidak dapat
melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah. 20 Menurut mereka yang berperspektif ekologi Marxis bahwa kejadian seperti demikian akan menciptakan jurang metabolik (metabolic gap), yaitu kehancuran keadaan-keadaan kewujudan manusia yang ditentukan oleh alam. Jurang metabolik tersebut, kemudian mendorong terwujudnya watak kapitalisme di daerah tujuan yang semakin memperkuat dominasi peran kelas kapitalis pinggiran (periferi capitalism class). Ketergantungan lahan pada input teknologi tinggi menyebabkan peranan kapital tidak dapat dihindari komunitas transmigran dalam pengusahaan lahan pasang surut. Pentingnya peranan kapital dalam pengusahaan padi-sawah pasang surut tersebut kemudian mendorong perubahan pada hubungan produksi.
19
Kasus
Data yang disajikan merujuk pada kasus yang dipilih oleh penulis selama melakukan penelitian pada komunitas transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. 20 Patrice Levang: Op.cit, hal. 165.
komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan sistem pertukaran tenaga kerja berbasis kebutuhan tenaga kerja (tolong menolong) yang pernah dilakukan sesama komunitas transmigran kemudian digantikan dengan sistem sewa/upah tenaga kerja. Menjual tenaga kerja oleh sebagian anggota komunitas transmigran tidak lain dimaksudkan untuk mendapatkan modal yang selanjutnya dengan modal tersebut diperuntukkan memenuhi keberlanjutan usahatani sawah pasang surut. Dalam kondisi seperti ini, pembentukan struktur kelas baru dalam komunitas transmigran tidak dapat dihindari. Studi Girsang (1996) menunjukkan bahwa introduksi teknologi sawah intensif pada komunitas transmigran di Desa Waihatu menyebabkan terbaginya komunitas transmigran ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu: (1) lapisan atas, rumah tangga yang mempunyai modal pangan dan modal cadangan pengembangan usaha serta mempunyai lahan luas; (2) lapisan tengah, rumah tangga yang hanya mampu mencukupi modal cadangan pangan dan berlahan sempit serta tidak tergolong miskin; dan (3) lapisan bawah adalah rumah tangga yang tidak berlahan dan tergolong miskin. Perbedaan struktur sosial komunitas transmigran Waihatu di atas, kemudian mendorong berlangsungnya moda produksi kapitalis yang eksploitatif. Kekuatan produksi berupa modal, lahan yang luas, dan teknologi pasca produksi (penggilingan) yang dimiliki oleh lapisan atas dengan mudah memperoleh surplus produksi melalui penyewaan lahan, sewa tenaga kerja, meminjamkan modal, dan mengambil keuntungan melalui penggunaan mesin penggilingan terhadap lapisan tengah dan bawah pada komunitas transmigran tersebut. Komunitas transmigran Wanaraya sebagai kasus pilihan dalam studi ini menunjukkan bahwa komunitas transmigran terbagi ke dalam dua struktur sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap.
Berbeda dengan
komunitas transmigran di Desa Waihatu, umumnya kelas sosial komunitas transmigran Wanaraya memiliki lahan minimal 2 hektar yang diperoleh dari pemerintah. Sementara itu, program bantuan pinjaman yang diberikan pemerintah kepada komunitas transmigran di Wanaraya berupa usaha ternak sapi, ternyata tidak serta merta memperbaiki struktur ekonomi petani pemilik-penggarap sebagai kelas terendah pada komunitas transmigran. Sebaliknya, bantuan pinjaman
tersebut semakin memperkuat posisi kelas pemodal terhadap kelas petani pemilikpenggarap. Kekuatan produksi yang berbeda diantara dua struktur sosial komunitas transmigran di atas, selanjutnya mendorong terjadinya hubungan produksi yang eksploitatif, dimana surplus produksi yang hasilkan oleh petani pemilikpenggarap diserap oleh petani pemilik modal. Merujuk argumentasi sebelumnya, setidaknya transmigrasi merupakan upaya mendorong berlangsungnya struktur masyarakat kapitalis yang cenderung menciptakan ketimpangan sosial, konflik antar suku bangsa, dan kemiskinan.
Kondisi ini secara tidak disadari telah
bertentangan dengan tujuan dari program transmigrasi, yaitu peningkatan kesejahteraan yang dapat dicapai melalui pemberian lahan kepada petani miskin dari Jawa, Madura, dan Bali (Jambal), pemanfaatan lahan yang dianggap tidur di luar Pulau Jambal melalui pembangunan, dan pembauran antar suku bangsa. Studi formasi sosial tentang komunitas transmigran yang akan diuraikan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kelemahan-kelemahan transmigrasi, dimana perbedaan kondisi alam (ekologi lahan hambut berawa) antara daerah asal dengan daerah tujuan ternyata telah mendorong perbedaan kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi antar sesama komunitas transmigran. Walaupun setiap keluarga transmigran mendapatkan tanah yang relatif luas (minimal 2 hektar/keluarga) di daerah tujuan untuk berproduksi, namun determinasi ekologi lahan bambur berawa yang miskin unsur hara ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi sebagian besar keluarga komunitas transmigran di Wanaraya. Hal ini disebabkan artikulasi produksi baik pertanian maupun non pertanian menuntut peranan kapital yang tidak kecil sehingga mendorong berkembangnya struktur kelas komunitas transmigran yang semulanya hanya terdapat petani pemilik-penggarap menjadi petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Hadirnya dua kelas sosial tersebut, kemudian memberikan efek terhadap perubahan hubungan produksi antar sesama anggota komunitas transmigran, dimana tergantikannya hubungan produksi yang didasarkan atas kepentingan tolong-menolong menjadi hubungan produksi yang eksploitatif.
Hubungan
produksi eksploitatif ini, kemudian mendorong pembentukan nilai-nilai individual
yang berorientasi keuntungan dalam kegiatan produksi baik pertanian maupun non pertanian.
Petani pemilik modal melakukan akumulasi modal dengan cara
mengekstrak surplus produksi yang dihasilkan petani pemilik-penggarap melalui sistem upah tenaga kerja, pinjaman teknologi (pupuk dan kapur), dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial antara petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Setidaknya tulisan ini hendak menjelaskan bagaimana berlangsungnya pembentukan formasi sosial di daerah tujuan pada komunitas transmigran Wanaraya. Formasi sosial muncul dari berlangsungnya moda produksi yang di dalamnya terdapat kekuatan produksi dan hubungan produksi, kemudian menggerakkan suprastuktur (nilai atau norma/aturan) suatu komunitas atau masyarakat. Rumusan Masalah Sudah menjadi kenyataan bahwa kondisi alam (ekologi lahan gambut berawa) di Pulau Kalimantan yang ditanami padi-sawah pasang surut mempunyai keterbatasan. Menurut Levang 21 bahwa keterbatasan sawah pasang surut tersebut dapat dilihat dari kemampuan produksinya yang hanya menghasilkan dua sampai tiga ton padi per hektar selama tiga tahun pertama dan setelah itu hasilnya mulai menurun dengan cepat. Sehubungan dengan itu, kasus komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan penurunan produksi padi dapat mencapai dua puluh lima persen kaleng per hektar dari produksi optimal yang pernah dicapai. Penelitian
dengan
tema
pembentukan
formasi
sosial
komunitas
transmigran ini membatasi definisi komunitas sebagai penduduk yang sengaja atau tidak sengaja didatangkan oleh pemerintah melalui program transmigrasi untuk menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya. Penduduk yang sengaja didatangkan atau tidak sengaja didatangkan tersebut berasal dari latar belakang sosial-budaya beragam dan melakukan berbagai usaha produksi (usahatani, usaha transportasi klotok, usaha bengkel, dan membatang) di lokasi pemukiman baru. Dengan usaha produksi tersebut, komunitas transmigran mempunyai organisasi produksi yang relatif beragam dan ditandai hubungan produksi yang tidak setara 21
Patrice Levang: ibid.
dikarenakan struktur sosial yang berbeda sehingga mempunyai ciri khas dari moda produksi. Permasalahan penting untuk dipelajari dari komunitas transmigran di Wanaraya adalah berlangsungnya moda produksi sepanjang 27 tahun terakhir. Moda produksi tersebut terus berkembang berdasarkan kontradiksi, dimana kontradiksi pertama terjadi antara lingkungan (alam) di daerah tujuan dengan pengalaman produksi komunitas transmigran di daerah asal yang kemudian mendorong kekuatan produksi yang permanen (alat produksi, manusia dan kecakapannya, pengalaman-pengalaman dalam proses produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja). Selanjutnya kekuatan produksi permanen tersebut mendorong hubungan dalam berproduksi antar sesama komunitas transmigran. Hubungan produksi yang tercipta dapat dilihat dari berlangsungnya organisasi produksi komunitas transmigran di Wanaraya. Kekuatan produksi dan hubungan produksi (moda produksi)
tersebut
kemudian
menggerakkan
suprastruktur
(nilai
atau
aturan/norma) komunitas transmigran di Wanaraya. Untuk itu, bagaimana berlangsungnya pembentukan moda produksi komunitas transmigran di Wanaraya?
Kemudian bagaimana terjadinya perubahan organisasi produksi?
Lalu bagaimana perubahan yang terjadi sebelumnya menggerakkan suprastruktur (nilai atau norma/aturan) komunitas transmigran di Wanaraya? Kekuatan produksi sebagai cerminan faktor-faktor produksi (tanah, teknologi, modal, tenaga kerja, dan kecakapan) yang dimiliki oleh komunitas transmigran mempengaruhi kepentingan antar struktur kelas sosial yang ada di dalam komunitas transmigran itu sendiri.
Kepentingan tersebut dipengaruhi
perbedaan terhadap akses atau penguasaan (kepemilikan) faktor-faktor produksi yang kemudian menentukan perbedaan struktur kelas sosial, dimana struktur kelas tertinggi lebih mudah mengakses atau menguasai faktor-faktor produksi dibandingkan dengan struktur kelas terendah. Dalam konteks komunitas transmigran di Wanaraya, disatu sisi kelas sosial tertinggi dengan mudah mengakses atau menguasai faktor-faktor produksi dan disisi lain kelas sosial terendah teralienasi dalam penguasaan faktor-faktor produksi sehingga solidaritas antar sesama anggota komunitas transmigran
semakin rendah. Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana berlangsungnya proses teralienasinya kelas sosial terendah pada komunitas transmigran di Wanaraya sehingga melemahnya solidaritas komunitas transmigran di Wanaraya? Tujuan Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan, khususnya komunitas transmigran di Wanaraya. Sementara itu, secara khusus penelitian ini ditujukan untuk: 1. Menjelaskan kondisi infrastruktur (alam, modal/ekonomi, dan teknologi) mempengaruhi berlangsungnya pembentukan moda produksi (kekuatan produksi dan hubungan produksi) sebagai cerminan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya; 2. Menjelaskan perubahan organisasi produksi dan akibat dari perubahan yang terjadi tersebut sehingga mampu menggerakkan suprastruktur (nilai atau norma/aturan) dan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya; dan 3. Mengetahui terjadinya ketimpangan sosial yang terjadi akibat dari penempatan para transmigran di daerah tujuan, khususnya komunitas transmigran di Wanaraya. Kegunaan Sesuai dengan rincian masalah dan tujuan studi, yaitu menjelaskan berlangsungnya pembentukan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Hasil studi ini diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah kajian sosiologis komunitas transmigran yang mempunyai ciri khas dari moda produksi yang terbentuk dan diharapkan dapat menghasilkan rumusan saran-saran praktis bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan sosial yang terjadi pada komunitas transmigran dan pengembangan lahan produksi marjinal.
TINJAUAN PUSTAKA
Studi tentang transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan, diawali dengan pendekatan teoritis dan hasil kajian empiris tentang perubahan sosial yang terjadi pada komunitas tersebut. Pendekatan teoritis ini berguna sebagai landasan teoritis penulis untuk menganalisa fakta-fakta lapangan yang berkaitan dengan terbentuknya dan berubahnya formasi sosial pada komunitas transmigran.
Pembentukan formasi sosial dapat dilihat dari
berlangsungnya moda produksi (mode of production) terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production), yang kemudian menggerakkan suprastuktur (ideologi, budaya dan politik) dalam masyarakat. Pendekatan Teoritis Formasi Sosial (Social Formation) Istilah formasi sosial (social formation) merupakan istilah yang seringkali diidentikan dengan berlangsungnya moda produksi (mode of production) dalam suatu komunitas atau masyarakat oleh mereka yang beraliran “Marxis” (Sztompka 2004; Clammer 2003; Sairin et. al 2002; Setiawan 1999; Budiman 1995; dan Plattner 1989). Adapun definisi formasi sosial adalah gejala dimana dua atau lebih moda produksi hadir bersamaan dalam masyarakat dan salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya.
Moda produksi yang dominan berfungsi seperti
penerang utama yang memberi pengaruh kepada moda produksi lainnya dan mengubah sifat-sifat utama dari moda produksi lainnya (Budiman 1995). Atau dengan kata lain, apabila moda produksi feodal mendominasi suatu komunitas atau masyarakat dalam waktu tertentu, maka dapat dipastikan bahwa formasi sosial yang terbentuk adalah formasi sosial feodal, demikian pun dengan pembentukan formasi sosial kapitalis merupakan dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi lainnya dalam suatu komunitas/masyarakat. Selain definisi formasi sosial yang dikemukan oleh Budiman tersebut, Kahn mengemukakan formasi sosial dengan merujuk pembagian moda produksi
yang berlangsung pada masyarakat Minangkabau, yaitu moda produksi subsisten, moda produksi komersil, dan moda moda produksi kapitalis (Sitorus 1999). Ketiga moda produksi tersebut menurut Kahn memiliki keterkaitan integratif tetapi dalam bentuk yang bersifat asimetris, dimana produksi kapitalis tampil sebagai moda produksi yang dominan sedangkan dua moda produksi lainnya pada posisi resisten. Curahan waktu kerja pada moda produksi subsisten menyumbang kepada moda produksi komersil dan kepada buruh upahan dalam perusahaan kapitalis. Tetapi curahan waktu kerja yang diserap produksi komersil dari produksi subsisten tadi dalam kenyataannya dialihkan langsung ke moda produksi kapitalis melalui suatu proses pertukaran yang timpang. Barang yang dihasilkan produksi komersil dijual ke pasaran (domestik dan ekspor) dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa moda produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh moda produksi subsisten. Sebagai indikatornya Kahn menunjuk antara lain upah buruh yang lebih rendah dari total biaya reproduksi buruh (Sitorus 1999: 17–18). Teori atau konsep formasi sosial yang diuraikan tersebut, merupakan tingkat tertinggi bangunan teori Marx (Sztompka 2004), dimana dalam produksi sosial kehidupan manusia memasuki hubungan tertentu yang sangat diperlukan dan terlepas dari kemauan mereka.
Selanjutnya hubungan produksi yang
berkaitan dengan tahap perkembangan kekuatan produksi material mereka yang mana keseluruhan hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat sebagai basis nyata membangun suprastruktur dan tempat menghubungkan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Atas dasar ini, maka formasi sosial selalu mengalami perubahan yang bersifat otodinamis, terus menerus, dan dari dalam yang mana perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan, dan ketegangan di dalam struktural. Formasi sosial juga merujuk pada perubahan formasi kelas dalam masyarakat kapitalis karena moda produksi kapitalis menguasai moda produksi yang lainnya (subsisten dan komersil). Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Girsang (1996) pada komunitas transmigran di Desa Waihatu menunjukkan bahwa penguasaan atas tanah dalam proses produksi pertanian menyebabkan komunitas transmigran terbagi ke dalam lapisan atas, tengah, dan bawah, dimana
masing-masing lapisan sosial tersebut mempunyai pola produksi dan relasi produksi yang berbeda satu sama lainnya. Sehubungan dengan kasus komunitas transmigran di Wanaraya, maka dapat digambarkan bahwa kelas pemilik modal menunjukkan penguasaannya terhadap kelas petani pemilik-penggarap sehingga membentuk formasi kelas, dimana kelas pemilik modal menempatkan dirinya pada posisi teratas pada basis sosio-ekonomi komunitas transmigran. Strasser dan Randall (1981) menyatakan perubahan sosial merupakan perubahan ekonomi masyarakat, dimana terjadinya perubahan formasi kelas dalam masyarakat kapitalisme, akibat timbulnya pertentangan kelas antara masyarakat yang mempunyai alat produksi dengan golongan proletar.
Perubahan ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi yang
akhirnya memunculkan masyarakat tanpa kelas. Lebih jauh Sztompka (2004) menjelaskan bahwa perubahan formasi sosial terjadi di tiga tempat yang berbasis kontradiksi, yaitu: pertama, diperbatasan antara masyarakat dan lingkungan (alam) seperti kontradiksi yang terus muncul antara tingkat perkembangan teknologi tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh kondisi
sosial
maupun
kondisi
biologis.
Kontradiksi
ini
mendorong
perkembangan permanen dalam kekuatan produksi; kedua, kontradiksi lain muncul antara tingkat teknologi yang dapat dicapai dan organisasi produksi yang ada, yang tak sesuai dengan kekuatan produksi yang tersedia. Kontradiksi ini mendorong terjadinya perubahan progresif dalam hubungan produksi; dan ketiga, kontradiksi terakhir muncul antara hubungan produksi yang baru terbentuk dan sistem politik tradisional. Dalam kondisi seperti ini, pranata hukum dan ideologi (suprastruktur) tak lagi berfungsi membantu substruktur ekonomi. Kontradiksi ini menyebabkan terjadinya transformasi rezim politik dan tatanan hukum masyarakat. Oleh karena adanya kontradiksi internal dan tekanan terus-menerus ke arah penyelesaiannya, maka masyarakat dengan sendirinya menampakkan kecenderungan terus menerus pula ke arah perubahan.
Uraian yang telah
dijelaskan sebelumnya secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1. Realitas fisik (kondisi) alam Wanaraya dengan tekstur lahan histosol (lahan gambut berawa) mendorong terjadinya interaksi antara alam dan manusia dalam bentuk tindakan rasional manusia memanfaatkan alam untuk usaha
produksi.
Sebelum kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya, terdapat
komunitas lokal (penduduk beretnis Banjar) yang melakukan usaha produksi behuma berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan berikutnya yang berorientasi subsiten (nilai-guna).
Usaha produksi ini masih memungkinkan karena
kepemilikan lahan bersifat komunal yang dapat dimanfaatkan oleh setiap keluarga komunitas lokal melalui persetujuan kepala padang dan pembekal.
Politik dan suprastruktur legal (ideologi)
Bentuk kesadaran sosial (seni, kesusasteraan, religi)
Formasi Sosial
3 Hubungan Produksi
Moda Produksi
2 Kekuatan Produksi 1 Alam
Keterangan: 1
2
3
Kekuatan utama dialektika
Gambar 1. Formasi Sosial Masyarakat (Sztompka 1994). Selain itu, kondisi alam Wanaraya menentukan jenis alat produksi yang digunakan untuk melakukan usaha produksi behuma, seperti tajak, taju, ani-ani, parang, dan varietas bibit padi lokal (padi siam). Demikian pun dengan tenaga kerja dalam usaha produksi sebatas keluarga inti saja, seperti ayah, ibu, dan anak yang sudah dewasa (baik laki-laki maupun perempuan). Atau dengan kata lain, sifat fisik (kondisi) alam Wanaraya mendorong perkembangan permanen moda produksi subsisten, dimana kekuatan produksi (seperti penggunaan alat produksi dan unit produksi berasal dari keluarga inti) dan hubungan produksi yang tercipta terkesan egaliter dan tidak bersifat eksploitatif. Berbeda ketika hadirnya komunitas transmigran pada tahun 1978, perubahan terjadi pada kepemilikan lahan yang tidak lagi bersifat komunal melainkan didasarkan atas kepemilikan bersifat pribadi, dimana masing-masing Kepala Keluarga (KK) komunitas (baik komunitas lokal maupun komunitas
transmgiran) mendapatkan lahan dari pembagian pemerintah.
Selain itu,
perubahan juga terjadi pada usaha produksi, yaitu dari usaha produksi behuma berpindah-pindah ke usaha produksi sawah pasang surut yang menetap. Meskipun demikian, sangat disadari oleh komunitas transmigran bahwa sifat fisik alam Wanaraya yang ditandai dengan lahan bertekstur histosol tidak memungkinkan pengalaman atau kecakapan usaha produksi sawah yang pernah dilakukan di daerah asal mereka – pulau Jawa – diterap-kan di Wanaraya. Kondisi seperti di atas menyebabkan terjadinya kontradiksi pada kekuatan produksi, dimana alat produksi (teknologi) seperti pacul yang biasa digunakan pada tahap penggemburan tanah tidak memungkinkan digunakan pada lahan bertekstur histosol untuk usahatani sawah pasang surut. Begitupun dengan tenaga kerja dalam pengelolaan sawah pasang surut menuntut penggunaan tenaga kerja tambahan di luar keluarga inti karena ketidakmampuan anggota (keluarga) komunitas transmigran untuk mengelola lahan secara sendiri. Dengan demikian, kesadaran komunitas transmigran terhadap kondisi alam
Wanaraya
menyebabkan
terjadinya
“revolusi
teknologi”
dimana
tergantikannya teknologi pacul dengan teknologi tajak di dalam tahapan produksi lacak dan hadirnya sistem pertukaran tenaga kerja dalam pengelolaan usahatani sawah pasang surut yang didasarkan atas kepentingan kebutuhan yang sama akan tenaga kerja antara sesama komunitas transmigran. Meskipun terdapat tenaga kerja di luar keluarga inti tersebut, namun bukan berarti hubungan produksi yang tercipta bersifat eksploitatif. Melainkan hubungan produksinya cenderung egaliter karena tenaga kerja yang diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja didasarkan atas tindakan tolong menolong yang disesuaikan dengan kebutuhan anggota komunitas transmigran. Selanjutnya sifat fisik (kondisi) alam Wanaraya dengan lahan histosol yang kurang subur dan resisten terhadap kebakaran ini mendorong terjadinya perubahan permanen pada kekuatan produksi dan hubungan produksi. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan produksi berupa modal memainkan peranan yang cukup penting dalam usaha produksi sehingga terciptanya struktur hubungan produksi yang hierarki dan terkesan eksploitatif antar sesama komunitas transmigran. Uraian yang telah dijelaskan sebelumnya memberikan gambaran
bahwa untuk memahami formasi sosial, maka terlebih dahulu perlu memahami berlangsungnya
moda
produksi
yang
kemudian
mempengaruhi
atau
menggerakkan suprastruktur (ideologi, politik dan budaya) suatu komunitas atau masyarakat. Moda Produksi (Mode of Production) Bagi kalangan Marxis, teori tentang moda produksi (mode of production) mempunyai titik penekanan yang berbeda-beda dalam menafsirkan moda produksi yang terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production). Merujuk penelitian yang telah dilakukan oleh Kahn di Minangkabau, moda produksi didefinisikan berdasarkan pembagian moda produksi ke dalam tiga bagian, terdiri dari: pertama, produksi subsisten (subsistence production), yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti antara pekerja yang bersifat egaliter; kedua, produksi komersil (petty commodity production), yaitu usaha pertanian atau luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi merujuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan hubungan sosial antara pekerja (umumnya anggota keluarga/kerabat) bersifat egaliter tetapi kompetitif; dan ketiga, produksi kapitalis (capitalist production), yaitu usaha padat-modal berorientasi pasar dimana hubungan mencakup struktur majikanburuh atau “pemilik modal-pemilik tenaga” (Sitorus 1999). Tidak sampai disitu saja, Kahn menunjukkan artikulasi moda produksi subsisten, komersil, dan kapitalis yang masing-masing mempunyai perbedaan kekuatan produksi dan hubungan produksi (penjelasan secara rinci artikulasi moda produksi yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1). Selain teori moda produksi menurut Kahn, terdapat teori lain tentang moda produksi yang kekuatan produksinya diartikulasikan sebagai basis material produksi, mencakup: alat-alat produksi (teknologi), manusia dengan kecakapannya, pengalaman-pengalaman produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja. Sementara itu, hubungan produksi merupakan hubungan kerjasama atau pembagian kerja (hubungan ekonomi dan sosial) antara manusia yang terlibat dalam proses produksi ekonomi (produsen dan non-produsen).
Hubungan-
hubungan produksi tersebut ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan
produksi, struktur kelas yang tercipta dalam masyarakat dan tuntutan efisiensi produksi (Jary and Jary 2000; Agusta 2000; Magnis Suseno 1998; Watson 1997). Tabel 1. Artikulasi Moda Produksi Menurut Kahn. Artikulasi Moda Produksi Moda Produksi Kekuatan Produksi Hubungan Produksi Subsisten Tanah sebagai alat Terbatas keluarga inti, produksi, keluarga hubungan antara sebagai unit produksi, pekerja bersifat anggota egaliter. keluarga/kerabat sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan padi sebagai produk utama Komersil Tanah dan non-tanah Hadirnya gejala sebagai alat produksi, eksploitasi suplus individu sebagai unit melalui ikatan kerabat produksi, individu dekat, hubungan sosial dan anggota keluarga antara pekerja bersifat sebagai tenaga kerja egaliter, tetapi utama (buruh upahan kompetitf (dimana langka), dan komoditi pekerja memiliki hasil ekspor/konsumsi kerjanya untuk lokal sebagai produk dipertukarkan sebagai utama komoditi). Kapitalis Modal sebagai alat Majikan-buruh, dimana produksi, perusahaan majikan sebagai sebagai unit produksi, pemilik modal buruh upahan sebagai sedangkan buruh tidak tenaga kerja utama, memiliki alat produksi dan komoditi (kecuali menjual tenaga ekspor/konsumsi yang menghasilkan domestik sebagai nilai), surplus nilai produk utama. diserap pemilik modal.
Orientasi Usaha subsisten
Pasar
Pasar
Sumber: Kahn dalam Sitorus (1999).
Selanjutnya, bekerjanya moda produksi tersebut dapat dicermati dari dua bentuk moda produksi, yaitu: (1) moda produksi pra-kapitalis (pre-capitalist mode of production) merupakan bentuk dari ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis dan dalam beberapa masyarakat muncul secara terus menerus bersama moda produksi kapitalis. Adapun ciri-ciri moda produksi pra-kapitalis adalah komunisme primitif, kuno, asiatik, dan feodal.
Selain itu, moda produksi pra-kapitalis juga dapat dilihat dari kekuatan politik yang digunakan untuk mengekstrak surplus ekonomi, tidak merdeka, dan tidak didasarkan pada pekerja upah bebas; dan kedua, moda produksi kapitalis (capitalist mode of production) merupakan bentuk ekonomi yang dicirikan oleh modal (kapital) dimiliki dan diawasi sendiri, serta pekerja dibeli dengan pembayaran upah oleh kapitalis. Adapun tujuan produksi dalam moda produksi kapitalis adalah menciptakan keuntungan dari penjualan komoditas dalam pasar bebas yang kompetitif, bersifat dinamis dan ini memberi dasar pada kompetisi akumulasi modal (Jary and Jary 2000; Agusta 2000). Berkaitan dengan moda produksi kapitalis di atas, menurut Watson (1997) bahwa terdapat kekuatan produksi kapitalis yang terdiri dari tanah, tenaga kerja, modal, dan hubungan produksi yang merujuk pada hubungan kapitalis antara borjuis dan proletar.
Sementara itu, hubungan produksi yang tercipta antara
borjuis dan proletar sudah didasari atas konflik, dimana salah satu mengeksploitasi yang lainnya. Adapun ciri khusus dari moda produksi ini adalah modal dimiliki oleh kapitalisme, pekerja dibeli dengan sistem upah, dan tujuan produksi untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan barang.
Untuk
memahami secara ringkas moda produksi kapitalis menurut Marx disajikan pada Gambar 2. Tulisan dari hasil penelitian ini menitikberatkan pada pembentukan formasi sosial pada komunitas transmigran di Wanaraya. Komunitas trans-migran tersebut mempunyai basis materi lahan marjinal (lahan bertekstur histosol) yang diperoleh dari pembagian pemerintah, dimana masing-masing keluarga komunitas transmigran menerima kurang lebih 2 ha tanah.
Pembagian tanah ini
diperuntukkan sebagai lahan pemukiman (disitilahkan lahan 1) dan lahan persawahan (distilahkan lahan 2) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari. Tenaga kerja untuk pengusahaan kebutuhan produksi tersebut berasal dari keluarga inti dan terkadang antar sesama anggota komunitas saling bekerjasama dalam bentuk pertukaran tenaga kerja.
Jika organisasi produksi merupakan
cerminan dari struktur sosial komunitas transmigran didasarkan atas kepemilikan lahan dan tenaga kerja sewa atau upah, maka untuk kasus komunitas transmigran
di Wanaraya dapat dipastikan bahwa pada awal-awal komunitas transmigran menetap di daerah tujuan (Wanaraya) tidak mempunyai perbedaan kelas sosial antar satu dengan lainnya.
Ideologi, Agama, Politik, dan Institusi Budaya
Hubungan produksi (kapitalisme/ Pekerja)
Kekuatan produksi (tanah, tenaga kerja, dan investasi modal)
Kontradiksi
Gambar 2. Moda Produksi Kapitalis Menurut Marx (Watson 1997). Keterbatasan lahan produksi (lahan histosol) yang diperoleh komunitas transmigran dari pemerintah mempunyai pengaruh terhadap kekuatan produksi, hubungan produksi, dan nilai/norma komunitas transmigran dikare-nakan kondisi lahan histosol (gambut berawa) daerah tujuan berbeda dengan daerah asal komunitas transmigran, maka pengusahaan usahatani sawah sangat ditentukan oleh penggunaan alat produksi dan tenaga kerja. Kontradiksi antara kondisi alam dengan pengalaman bertani sawah komunitas transmigran di daerah asal menyebabkan terjadinya “revolusi” produksi usahatani sawah yang ditandai dengan penggunaan teknologi produksi yang digunakan pada tahapan produksi, seperti teknologi pacul digantikan oleh teknologi tajak dalam tahapan lacak (penggemburan tanah) usahatani sawah pasang surut. Sementara itu, teknologi pacul yang melekat dengan pengalaman bertani komunitas transmigran diperuntukkan untuk mengelola lahan yang relatif tinggi (lahan 1). Sementara itu, ketidakmampuan tenaga kerja dari keluarga inti dalam tahapan produksi usahtani sawah tertentu (seperti tahap lacak dan tahap
menanam) dan terbatasnya modal milik keluarga komunitas transmigran menyebabkan hadirnya pertukaran tenaga kerja antara sesama anggota keluarga komunitas transmigran.
Pertukaran tenaga kerja antar keluarga komunitas
transmigran tersebut didasarkan atas kepentingan yang sama untuk melakukan pengelolaan usatani sawah pasang surut mendorong hubungan produksi yang egaliter dengan sifatnya yang non-eksploitatif sehingga masih bertahannya nilai/norma tolong menolong antar sesama komunitas transmigran. Namun, hubungan yang cenderung eksploitatif kemudian hadir ketika terjadinya penurunan kesuburan lahan yang ditandai dengan penurunan produksi padi dari 200–300 kaleng/ha/tahun menjadi 10–50 kaleng/ha/tahun 22. Penurunan produksi padi tersebut disebabkan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan menghilang dengan cepat di lahan Kalimantan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah. Selain itu, drainase yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah (Levang 2003). Dalam kondisi seperti di atas, investasi modal pada lahan gambut berawa mempunyai peranan yang cukup penting untuk melanjutkan usahatani sawah pasang surut. Atau dengan kata lain, modal diperuntukkan untuk membeli sarana produksi (seperti pupuk dan kapur) dan upah tenaga kerja. Hadirnya upanisasi tenaga
kerja
dikarenakan
memudarnya
pertukaran
tenaga
kerja
dan
kecenderungan anggota komunitas transmigran mengupahkan tenaga kerjanya untuk memperoleh modal guna membeli sarana produksi tersebut. Dengan demikian, pada aras struktur sosial terdapat kelas pemilik modal (petani pemilik modal) dan kelas petani pemilik-penggarap pada komunitas transmigran.
Begitupun pada aras suprastruktur komunitas transmigran
mengalami pergeseran dari basis kebutuhan tenaga kerja dengan tolong menolong menjadi individual yang didasari oleh kepentingan untuk memperoleh uang tunai (modal). Perubahan Sosial dalam Dimensi Teknologi dan Ekonomi Teknologi
merupakan
perwujudan
kemampuan
memanfaatkan alam melalui kegiatan-kegiatan produktif. 22
1 kaleng ekuivalen dengan 20 liter.
manusia
untuk
Dalam hal ini,
teknologi adalah alat untuk mencapai pemenuhan kebutuhan manusia. Teknologi juga dapat diartikan sebagai suatu cara atau rancangan alat bagi suatu tindakan yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat dalam upaya mencapai suatu hasil. Arti teknologi sendiri dapat menunjuk pada alat produksi dan teknik penggunaannya (Rogers 1983: 12; ESCAP 1984: 3). Dalam kajian Marxis, teknologi merupakan bagian dari kekuatan produksi yang di dalamnya juga terdapat tanah, manusia dan kecakapannya, serta pembagian teknis kerja. Menurut Weilland (1988) teknologi dapat dipilah ke dalam tiga bentuk, yaitu: (1) teknologi modern, yang mempunyai ukuran kecil sampai ukuran yang besar; (2) teknologi tradisional, yang mempunyai ukuran workshop kecil; dan (3) teknologi rumah tangga, dengan tenaga kerja satu orang hingga rumah tangga secara luas. Berbagai studi tentang peran teknologi dalam suatu masyarakat menunjukkan kemampuannya melakukan perubahan pada level masyarakat (community) maupun level keluarga (family). Ogburn (Harper 1989: 57–58) mengatakan bahwa inovasi teknologi setidaknya dapat menyebabkan perubahan dalam tiga hal, yaitu: (1) inovasi teknologi dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan; (2) teknologi baru dapat merubah interaksi antar manusia; dan (3) teknologi dapat menimbulkan masalah-masalah baru. Studi yang dilakukan Yosep (1996) dan Dyah W.I.KR. (1997) menunjukkan bahwa masuknya teknologi sawah dapat merubah kekuatan produksi berkaitan dengan pembagian kerja dan penggunaan tenaga kerja di luar keluarga inti menyebabkan hadirnya masalah-masalah baru berupa kebutuhan modal untuk mengupah tenaga kerja. Selain itu, permasalahan yang ditimbulkan dari masuknya teknologi sawah di komunitas transmigran adalah introduksi varietas unggul pada sistem produksi sawah. Penggunaan varitas unggul bisa jadi meningkatkan produksi padi, namun disisi lain teknologi ini membutuhkan curahan kerja yang cukup tinggi. Dua kondisi yang kontradiktif ini setidaknya dialami oleh keluarga inti23 komunitas transmigran. Akibat dari reduksi keluarga luas menjadi keluarga inti yang terjadi di komunitas transmigran kemudian dihadapkan dengan curahan kerja dalam 23
Keluarga inti merupakan sasaran operasionalisasi dalam program transmigran yang dapat di lihat dari alokasi sumber daya lahan, alokasi fasilitas dan jasa-jasa sosial serta target dalam realisasi program transmigran.
usahatani yang meningkat menyebabkan penggunaan tenaga kerja sewaan atau bersama-sama anggota kerabat atau anggota lainnya dalam sistem sosialnya mengembangkan pola gotong royong (Yosep 1996). Demikian pun dengan studi yang dilakukan oleh Dyah W.I.K.R. (1997) pada masyarakat Tulem di Propinsi Irian Jaya menunjukkan introduksi teknologi sawah menyebabkan perubahan yang dapat dilihat dari kembalinya peran laki-laki dalam bidang ekonomi, keamanan dan kesejahteraan dalam jaminan sosial. Selain itu, introduksi teknologi tersebut ternyata merubah kepemimpinan laki-laki yang berorientasi perang (bigman-war) berubah menjadi orientasi ekonomi dengan peningkatan hasil pertanian (bigman-agriculture). Setidaknya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yosep dan Dyah W.I.K.R. berkaitan dengan introduksi teknologi menyebabkan perubahan kekuatan dan hubungan produksi, serta orientasi nilai tersebut menunjukkan bahwa teknologi sebagai salah satu prime mover perubahan di dalam sistem sosial, seperti perubahan kebudayaan dan struktur sosial (Ponsioen 1969). Sementara itu, perubahan kebudayaan oleh teknologi dapat dilihat dari penjelasan Krysmanski dan Tjaden (Stasser dan Rendall 1981). Krysmanski dan Tjaden mengatakan kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan kultur dimana implementasi dan penjelmaan proses sosial yang mendasari realitas sosial di masyarakat. Proses sosial ini berlangsung dalam formasi sosial, dimana teknologi memegang peranan penting dalam bekerjanya moda produksi suatu masyarakat.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah moda produksi
mengalami peralihan waktu yang cukup lama dari satu moda produksi ke moda produksi yang lainnya, misalnya peralihan dari moda produksi feodal ke moda produksi kapitalis.
Pada waktu peralihan ini mengakibatkan terjadinya
percampuran atau pertemuan dari dua atau lebih moda produksi. Percampuran atau pertemuan dua moda produksi ini disebut formasi sosial. Berbeda dengan teknologi, peranan ekonomi lebih dominan berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial. Perubahan struktur sosial dapat dikaji dari mekanisme perubahan sosial dengan perspektif materialisme. Perspektif materialisme mengemukakan bahwa kekuatan produksi (force of production) adalah pusat dalam perubahan sosial. Kekuatan produksi dalam pandangan Marx
adalah teknologi dan modal yang dapat menciptakan hubungan produksi yang berlangsung dalam suatu masyarakat. Untuk menjelaskan pandangannya, Marx mengilustrasikan bagaimana kincir angin memunculkan masyarakat feodal, dan mesin uap memunculkan masyarakat kapitalis industri. Jadi perspektif materialisme menekankan bahwa bentuk kelas ekonomi merupakan anatomi dasar masyarakat, sedangkan ide-ide, ideologi, nilai-nilai, struktur politik muncul dalam hubungannya dengan ekonomi. Perubahan dalam kekuatan produksi (teknologi) akan mengikis basis dari sistem ekonomi yang sudah lama yang kemudian membuka kemungkinan baru. Selanjutnya, Marx mengatakan bahwa perubahan dalam masyakarat kapitalis industri terjadi karena dislokasi (kontradiksi) antara kekuatan produksi dan hubungan produksi (Lauer 2000; Harper 1989). Berkaitan dengan hal di atas, Johnson (1988) menjelaskan bahwa Marx lebih menekankan tingkat struktur sosial, bukan kenyataan sosial budaya, dan menekankan saling ketergantungan yang tinggi antar struktur sosial dan kondisi material dimana individu berada. Jika tidak terjadi keseimbangan dalam moda produksi, maka akan menimbulkan perubahan dalam hubungan produksi, seperti halnya pembagian kerja, perubahan dalam struktur kelas, perubahan dalam hubungan kelas, munculnya kelas baru atau memudarnya kelas lama dan terjadi perubahan sosial lainnya yang berkaitan dengan masalah tersebut. Masuknya berbagai teknologi (seperti teknologi sawah pasang surut, teknologi peternakan, dan lain sebagainya) di Wanaraya menunjukkan terjadinya gejala perubahan formasi sosial sebagai dampak dari terjadinya penurunan kesuburan lahan yang mengakibatkan produksi sawah pasang surut mengalami penurunan. Selanjutnya Johnson (1988) menambahkan bahwa kemampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup tergantung keterlibatannya dalam hubungan sosial dengan orang lain untuk mengubah lingkungan material melalui kegiatan produktifnya.
Hubungan sosial yang elementer ini membentuk infrastruktur
ekonomi masyarakat, yang kemudian diikuti dengan perkembangan pembagian kerja dan mengharuskan adanya sistem pertukaran.
Proses pertukaran yang
disertai dengan perbedaan alamiah antara satu dengan yang lainnya akan
menimbulkan perbedaan dalam pemilikan kekuatan produksi, dan ini merupakan dasar pokok untuk pembentukan kelas sosial. Sistem pertukaran yang dikemukakan oleh Johnson (1988) dalam bahasa Lenski (Sanderson 2000) adalah kerjasama. Kerjasama ini terjadi jika terdapat kesamaan dasar untuk mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang. Walaupun demikian, jika kondisi tidak memungkinkan maka konflik dan perbedaan struktur sosial akan terjadi. Jika terjadi surplus produksi, perebutan untuk menguasainya tidak dapat dihindari, dan surplus produksi akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Jadi, surplus ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya struktur sosial. Semakin besar surplus produksi, semakin senjang pula struktur sosial yang terjadi. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi masyarakat. Dengan demikian, ada hubungan
erat
antara
derajat
perkembangan
teknologi
dengan
derajat
perkembangan struktur sosial dimana kemajuan teknologi menyebabkan surplus ekonomi terjadi dan perebutan surplus produksi melahirkan perbedaan struktur sosial (Sanderson 2000). Demikian halnya dengan komunitas transmigran pada awal-awal menempati Wanaraya sebagai daerah tujuan, dimana hanya terdapat satu struktur sosial komunitas transmgiran yaitu petani pemilik-penggarap. Kerjasama antar sesama anggota komunitas transmigran saat itu masih dimungkinkan dalam pengusahaan sawah pasang surut. Adanya kerjasama tersebut disebabkan kondisi alam dan keterbatasan kemampuan tenaga kerja keluarga inti dalam kegiatan produksinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini, kemudian mendorong kerjasama dalam bentuk sistem pertukaran tenaga kerja antar sesama anggota komunitas transmigran dalam tahap tertentu (seperti tahap melacak) yang tidak didasarkan atas modal. Akan tetapi, dalam perjalanannya seiring dengan keterbatasan lahan gambut berawa menyebabkan terjadinya perubahan dari sistem pertukaran tenaga kerja ke sistem upanisasi. Hadirnya upanisasi ini disebabkan keharusan anggota komunitas transmigran untuk membeli pupuk dan kapur guna keberlanjutan usahatani sawah pasang surut sebagai sumber pangan keluarga komunitas transmigran. Kondisi inilah yang menyebabkan berkembangnya struktur sosial
komunitas transmigran ke dalam dua kelas sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Berkembangnya struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya didasarkan atas penguasaannya terhadap faktor-faktor produksi, dimana anggota komunitas yang menguasai teknologi (seperti pupuk dan kapur) adalah mereka yang termasuk kelas petani pemilik modal. Kelas pemilik modal ini menyediakan pupuk dan kapur dalam bentuk pinjaman kepada kelas sosial lainnya (petani pemilik-penggarap), serta meyewa tenaga kerja untuk mengelola lahan produksinya.
Apabila petani pemilik-penggarap tidak mampu membayar
pinjaman pupuk dan kapur kepada petani pemodal, maka petani pemilikpenggarap dapat menggantikannya dengan tenaga kerja untuk menggarap lahan petani pemilik modal. Dengan demikian, terjadi sistem pertukaran yang tidak seimbang antar anggota komunitas transmigran atau dengan kata lain kelas pemilik modal mengekstrak surplus produksi berupa tenaga kerja yang dimiliki oleh kelas petani pemilik-penggarap. Komunitas Transmigran Definisi tentang komunitas transmigran dalam tulisan ini merujuk pada konsep komunitas ala Marxis, walaupun demikian tetap memperhatikan konsep komunitas selain Marxis, seperti konsep komunitas yang dikemukakan Wilkinson (1996). Untuk mengetahui konsep komunitas ala Marxis, dapat dilihat ketika berlangsungnya moda produksi pra-kapitalis (pre-capitalist mode of production). Pra-kapitalis merupakan bentuk dari ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis dan dalam beberapa masyarakat muncul secara terus menerus bersama moda produksi kapitalis yang mempunyai ciri-ciri komunisme primitif, kuno, asiatik, dan feodal (Jary and Jary 2000; Agusta 2000). Adapun komunitas yang mempunyai ciri-ciri komunisme kuno terlihat pada moda produksi kekerabatan, dimana identitas kekerabatan seseorang akan mengontrol semua akses kehidupannya (seperti kekayaan produksi, perlindungan hukum, dukungan sosial dan agama dan sebagainya).
Berkaitan dengan itu,
simbol dianalogikan sebagai hubungan biologis seperti perkawinan, keturunan lineal, keturunan affinal (melalui perkawinan), dan aktivitas-aktivitas individu terorganisasi kedalam tingkah laku kelompok. Kelompok-kelompok kerabatan
seperti keluarga secara luas, silsilah keturunan, dan marga yang menentukan organisasi produksi. Ketidaksamaan utama di dalam masyarakat komunisme kuno berdasarkan antara senior dan yunior atau laki-laki dan wanita atau lebih abstrak seperti apakah seorang lebih dekat pada suatu keturunan gaib (Plattner 1989). Berkaitan dengan moda produksi kekerabatan ini, Wolf (Plattner 1989) membaginya ke dalam dua bagian, yaitu sumberdaya tersedia lebih luas bagi siapa saja dengan keahlian tertentu dan akses sumberdaya terstruktur melalui kelompok kekerabatan yang terorganisasi. Pimpinan dalam kelompok kekerabatan dirangking berdasarkan prestise dan kekuasaan, dimana pemimpin tertinggi (ningrat) dapat mengorganisasi secara baik pekerjaan dan perdagangan. Atau dengan kata lain adanya kelas-kelas ekonomi dalam kelompok terdefinisikan secara jelas dan mempunyai akses perbedaan nyata terhadap kekayaan produksi. Kondisi ini kemudian menyebabkan perbedaan-perbedaan hubungan dalam tingkat kehidupan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat komunisme kuno yang didasarkan atas dominasi senior atas yunior, dominasi lakilaki atas wanita, dan keeratan geneologi terhadap “pendiri” patrilineal atau matrilineal. Sementara itu, komunisme asiatik (moda produksi asiatik) merupakan moda produksi tersentralisasi dimana putusan elit adalah kekuatan penuh untuk melakukan kontrol sebagian sumberdaya penting dalam produksi. Akibat dari kekuatan yang dimiliki oleh elit ini kemudian membatasi kekuatan tuan besar lokal maupun perkembangan organisasi politik lokal.
Sedangkan komunisme
feodal (moda produksi feodal) merupakan moda produksi terfragmentasi yang menghasilkan suatu kekuatan sentral yang relatif lemah dan berhubungan kuat dengan tuan-tuan besar lokal. Dalam kondisi seperti ini secara jelas menggambarkan pentingnya aliansi lokal, perjuangan golongan yang bersifat endemik dan strategi golongan elit tingkat tinggi (Wolf dalam Plattner 1989). Meskipun demikian, konsep komunitas ala Marxis yang bertolak pada prakapitalis ternyata mengalami berbagai faktor yang mencegah terjadinya perkembangan kesadaran kelas (consciousness of class) 24. Adapun faktor yang 24
Menurut Lukacs (Ritzer dan Goodman, 2004:173) bahwa kesadaran kelas adalah sifat sekelompok orang yang secara bersama menempati posisi serupa dalam sistem produksi. Selanjutnya konsep kesadaran kelas secara tersirat menyatakan keadaan sebelumnya, yang dikenal
dimaksud, pertama, terlepasnya negara dari ekonomi sehingga mempengaruhi strata sosial; dan kedua, kesadaran mengenai status (prestise) cenderung menutupi kesadaran kelas (Lukacs dalam Ritzer dan Goodman 2004). Selanjutnya Lukacs berpendapat bahwa kesadaran kelas hanya dapat tercapai oleh masyarakat kapitalis, dimana orang akan menyadari ketidaksadaran mereka akan pengaruh dari kapitalisme sehingga pada titik tertentu akan tercipta kesadaran dan pada tahap ini menjadi arena pertarungan ideologi antara pihak yang berupaya menyembunyikan ciri masyarakat yang berkelas dan pihak yang berupaya menampakkannya (Ritzer dan Goodman 2004: 174). Berbeda dengan konsep komunitas ala Marxis di atas, menurut Wilkinson (1996) sebagai penganut non-marxis bahwa untuk mengukur keberadaan suatu komunitas, setidaknya memenuhi tiga unsur kriteria, yaitu: (1) komunitas adalah ekologi lokal (the community as local ecology), dimana ekologi lokal menjadi dasar terbentuknya komunitas sebagai suatu organisasi kolektif yang menempati suatu wilayah kecil dan anggotanya berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari; (2) komunitas adalah masyarakat lokal yang merupakan organisasi sosial kehidupan (the community as an organization of social life), dimana organisasi sosial kehidupan memiliki struktur, seperti: kelompok-kelompok, perusahaan, agen-agen dan fasilitas-fasilitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Oleh karena itu, dapat dikatakan sebagai suatu struktur yang holistik dan global; dan (3) komunitas sebagai tindakan-tindakan kolektif (the community as collective action) yang menunjukkan identitas serta solidaritas anggota komunitas. Dengan demikian, perbandingan kriteria konsep komunitas sebagaimana telah disebutkan dan diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2. Merujuk pada Tabel 2 perbandingan konsep komunitas ala Marxis dan selain Marxis terlihat gambaran kesamaan dan ketidaksamaan pendefinisian tentang konsep komunitas. Kesamaan definisi komunitas antara mereka yang beraliran marxis dengan non-marxis adalah suatu dianggap komunitas, jika menempati lokasi atau wilayah tertentu. Ikatan kekerabatan atau ikatan geneologi baik kalangan marxis dan non-marxis mempunyai kontribusi terhadap
dengan sebagai kesadaran palsu. Artinya, kelas-kelas dalam masyarakat kapitalis umumnya tidak menyadari kepentingan kelas mereka yang sebenarnya.
pembentukan suatu komunitas dan terkadang kekerabatan merupakan basis organisasi produksi atau organisasi sosial komunitas itu sendiri. Tabel 2. Perbandingan Konsep Komunitas ala Marxis dan Selain Marxis. Teori Komunitas Wolf Lukacs Wilkinson Ciri-ciri (1). Ikatan kekerabatan (2). Organisasi produksi (3). Hubungan sosial (hubungan produksi) yang tidak setara (4). Menempati lokasi atau wilayah tertentu (5). Kesadaran (consciousness) (6). Mempunyai struktur sosial
√ √ √
√
√ -
√
-
√
√
√ √
√
Meskipun demikian, terdapat ketidaksamaan pendefinisian komunitas antara mereka yang berlairan marxis dengan non-marxis terletak pada hubungan sosial atau hubungan produksi. Bagi mereka yang beraliran marxis, hubungan produksi sebagai cerminan hubungan sosial seringkali menggambarkan hubungan ketidaksetaraan antara anggota komunitas yang satu dengan lainnya dalam mengakses sumber-sumber kehidupan. Hal ini disebabkan dalam sistem sosial terdapat perbedaan struktur sosial dalam suatu komunitas. Selanjutnya perbedaan struktur sosial tersebut, kemudian menciptakan kesadaran pada masing-masing kelas sosial yang ada.
Berbeda dengan mereka yang non-marxis, walaupun
terdapat perbedaan struktur sosial dalam suatu komunitas, namun masih terdapat solidaritas dalam wujud tindakan kolektif antara sesama anggota komunitas. Sesuai dengan tema dan tujuan penelitian ini, serta berdasarkan beberapa konsep komunitas yang telah diuraikan sebelumnya dan hubungannya dengan subyek penelitian, maka komunitas transmigran dapat didefinisikan sebagai penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Merujuk pada definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, komunitas transmigran di Wanaraya merupakan suatu komunitas dimana penduduknya
sengaja atau tidak sengaja didatangkan oleh pemerintah melalui program transmigran untuk menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya. Selain itu, mereka yang sengaja didatangkan atau tidak sengaja didatangkan tersebut berasal dari daerah yang berbeda dan melakukan berbagai usaha produksi (usahatani, usaha transportasi klotok, usaha bengkel, dan membatang) di lokasi pemukiman baru tersebut sehingga mempunyai ciri khas organisasi produksi dan moda produksi (kekuatan produksi dan hubungan produksi). Kerangka Pemikiran Penelitian tentang transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan dilatarbelakangi oleh kondisi alam yang ditandai dengan keterbatasan lahan bertekstur histosol (lahan gambut berawa). Untuk memahami pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan dalam hal ini komunitas transmigran di Wanaraya, maka terlebih dahulu memahami berlangsungnya moda produksi komunitas transmigrasi sebagai cerminan dari organisasi produksi. Konsep moda produksi (Watson 1997, Magnis Suseno 1998, Kahn dalam Sitorus 1999, Jary dan Jary 2000, dan Agusta 2000) merujuk pada berlangsungnya kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production), dimana kekuatan utamanya terletak pada dialektika. Komunitas transmigran yang diteliti merupakan penduduk yang sengaja atau tidak sengaja didatangkan oleh pemerintah untuk menempati daerah tujuan atau lokasi pemukiman baru di Wanaraya yang berasal dari latar belakang sosialbudaya beragam dan mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam serta ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara karena perbedaan struktur sosial. Umumnya, mereka –anggota komunitas transmigran– yang menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya sebagian besar keluarga yang berasal dari petani gurem atau buruh tani sewaktu di daerah asalnya (Heeren 1979, Mubyarto 1988, Ahmad dan Soegiharto 2003). Transmigrasi dengan wujudnya berupa pemberian lahan seluas dua hektar oleh pemerintah kepada masing-masing keluarga komunitas transmigran, disatu sisi dapat diartikulasikan sebagai bentuk “keberpihakan” pemerintah kepada para transmigran yang tadinya sebagian besar sebagai petani gurem atau tunakisma di
daerah asal dengan memberikan akses atau penguasaan atas lahan di daerah tujuan.
Namun, disisi lain dapat pula diartikulasikan sebagai wujud dari
kepentingan pemerintah untuk mendorong komunitas transmigran melakukan usaha produksi pertanian atau usahatani sawah pasang surut yang intensif menggantikan usahatani ekstensif (behuma) yang pernah dilakukan komunitas lokal. Berkaitan dengan itu, Singarimbun 25 mengutarakan bahwa dalam praktek program transmigrasi hampir semua transmigran disalurkan ke dalam aktivitas pertanian sehingga tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan pemenuhan tenaga kerja di daerah penerima. Setidaknya kondisi di atas menunjukkan indikasi terjadinya penyeragaman usaha produksi di daerah tujuan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk penetrasi teknologi sawah pasang surut. Akan tetapi dalam perjalanan, teknologi sawah pasang surut diperhadapkan dengan kondisi alam daerah tujuan atau lokasi transmigran di Wanaraya yang didominasi lahan histosol (lahan gambut berawa). Lahan yang miskin unsur hara tersebut menyebabkan terjadinya kontradiksi antara pengalaman bertani di daerah asal dengan di daerah tujuan dan usaha produksi lainnya. Tidak sampai disitu saja, kontradiksi juga dapat dilihat dari perubahan penggunaan teknologi dan kemampuan modal yang dimiliki oleh keluarga komunitas transmigran untuk mengelola usahatani sawah pasang surut, serta berkembangnya usaha produksi selain pertanian (seperti usaha transportasi klotok, elektronik dan bengkel, dan membatang). Usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran tersebut berkaitan dengan tenaga kerja yang terlibat dan kemampuan modal sebagai bentuk dari kekuatan produksi. Lahan histosol yang miskin unsur hara, tenaga kerja, modal, teknologi, dan pengalaman bertani merupakan kekuatan produksi yang kemudian mendorong perkembangan hubungan produksi berbasis kontradiksi antara anggota komunitas transmigran.
Hubungan
produksi ini, kemudian mempengaruhi norma atau
aturan yang berlaku pada komunitas transmigran di Wanaraya. Adapun kekuatan produksi dan hubungan produksi (moda produksi) tersebut dapat dilihat dari organisasi produksi sebagai cerminan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Selain itu, hubungan produksi antara anggota komunitas transmigran 25
Masri Singarimbun “Kata Pengantar” dalam buku H. J. Heeren, Transmigrasi di Indonesia, 1979, hal. IX – X.
ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan produksi, struktur kelas yang tercipta dalam masyarakat dan tuntutan efisiensi produksi (Jary and Jary 2000; Agusta 2000; Magnis Suseno 1998; Watson 1997). o Distribusi lahan o Teknologi sawah pasang surut o Modal
Transmigrasi
Usaha produksi Emansipasi/ Kesadaran Kekuatan produksi Lokasi/Daerah Tujuan
Hubungan produksi
Suprastruktur ideologi (norma dan aturan)
Organisasi produksi
Formasi sosial: o Ikatan kelembagaan o Struktur sosial
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Formasi Sosial Komunitas Transmigran.
Usaha produksi, kekuatan dan hubungan produksi sebagai cerminan organisasi produksi, dan berlangsungnya norma atau aturan merupakan satu kesatuan
dalam
wujud
formasi
sosial
komunitas
transmigran
yang
menggambarkan ikatan kelembagaan dan struktur sosial yang berlangsung. Dalam kaitannya dengan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya, petani pemilik modal menempati kelas sosial teratas yang mempunyai akses atau penguasaan terhadap faktor-faktor produksi dibandingkan dengan petani pemilikpenggarap sebagai kelas sosial terendah yang teralienasi terhadap akses atau penguasaan atas faktor-faktor produksi. Dengan kata lain pembentukan formasi sosial kapitalis yang berlangsung di daerah tujuan merupakan bentuk dari emansipasi atau kesadaran dari pelaksanaan transmigrasi yang selama ini berlangsung di Wanaraya.
METODE PENELITIAN
Penelitian bertema transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan menggunakan metode kualitatif untuk menggali data yang bersifat subyektif dan historis serta sebagai panduan mencari responden (petani pemilik modal, petani pemilik-penggarap, penyuluh, dan petugas teknis yang terlibat dalam proyek transmigrasi dan pemerintah daerah). Penggunaan metode kualitatif ini berguna untuk melihat secara detail dan mendalam pembentukan formasi sosial komunitas transmigran.
Sementara itu, strategi
penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu suatu proses pengkajian dan pengumpulan data secara mendalam dan detail seputar kejadian khusus sebagai “kasus” yang dipilih (Neuman 1994; Nisbet dan Watt 1994). Strategi studi kasus diterapkan
pada
komunitas
transmigran
sesuai
keterwakilannya
dalam
permasalahan teoritis, yaitu infrastruktur Wanaraya (alam, teknologi, dan modal/ekonomi) menyebabkan perubahan moda produksi dari berlangsungnya usaha produksi dan selanjutnya menentukan formasi sosial komunitas transmigran. Pemilihan strategi studi kasus yang diterapkan pada komunitas transmigran untuk menelaah secara mendalam ciri khas komunitas transmigran, kekuatan produksi, hubungan produksi yang mencerminkan relasi sosial, dan perubahan organisasi produksi dan orientasi nilai, kemudian menganalisisnya sebagai kesatuan komunitas transmigran (Arensberg dan Kimball 1972). Sedangkan untuk menelaah pembentukan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya, peneliti melihat empat hal, yaitu: (1) moda produksi yang berlangsung dengan menggali informasi dari petani pemilik modal, petani pemilik-penggarap, penyuluh, petugas teknis, keluarga petani, dan pejabat setempat di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala; (2) tahap atau proses produksi dengan menggali informasi dari petani pemilik modal, dan petani pemilik-penggarap; (3) komunitas transmigran dengan melihat perubahan yang terjadi di tingkat rumah tangga atau keluarga komunitas transmigran; dan (4) perubahan desa dengan menggali informasi dari tokoh-tokoh masyarakat. Sementara itu, studi historis
dimaksudkan untuk memahami kejadian-kejadian yang terjadi sesuai dengan urutan sejarahnya (Eggan 1952 dan Anskersnit 1987). Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian formasi sosial komunitas transmigran dilaksanakan dalam dua tahap penelitian, yaitu: (1) pra-penelitian, dengan melakukan kunjungan lapangan dimana penelitian dilaksanakan, yaitu masing-masing pada tanggal 28–30 Agustus 2004 dan 17–18 September 2004. Tahap ini bertujuan untuk melihat berlangsungnya berbagai usaha produksi sebagai cerminan moda produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran Wanaraya; dan (2) penelitian lapangan yang dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2005 berlokasi di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Berkaitan dengan lokasi penelitian tersebut dan definisi komunitas yang digunakan dalam penelitian ini, maka dari 13 desa yang berada di Wanaraya ditetapkan 5 desa yang menjadi fokus penelitian, yaitu: Sidomulyo, Kolam Makmur, Kolam Kanan, Babat Raya, dan Roham Raya (Gambar 4).
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian.
Penetapan lima desa di Wanaraya sebagai lokasi penelitian yang telah dilaksanakan didasarkan atas kepentingan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan sehingga tercapainya tujuan penelitian.
Adapun pertanyaan umum
sebagai permasalahan penelitian yang diajukan dan fokus desa yang diamati dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini. Tabel 3. Fokus Desa yang Diamati Sehubungan dengan Pertanyaan Penelitian. No.
Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimana proses berlangsungnya kontradiksi antara alam (kondisi fisik) dengan teknologi dan modal sehingga mempengaruhi sistem sosial komunitas transmigran? Bagaimana proses teralienasinya kelas sosial terendah dalam penguasaan faktorfaktor produksi di komunitas transmigran?
Sidomulyo, Kolam Kanan, dan Babat Raya.
3.
Bagaimana berlangsungnya moda produksi komunitas transmigran di Wanaraya?
Sidomulyo, Kolam Kanan, Kolam Makmur, dan Babat Raya.
4.
Bagaimana terjadinya perubahan organisasi produksi yang kemudian mampu menggerakkan suprastruktur (nilai atau norma/aturan)?
Sidomulyo, Kolam Kanan, Kolam Makmur, Babat Raya, dan Roham Raya.
2.
Fokus Desa yang Diamati
Sidomulyo dan Kolam Kanan.
Selain itu, pemilihan lokasi (desa) penelitian sebagai kasus didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: (1) kedekatan jarak desa komunitas lokal dengan komunitas transmigran untuk kepentingan menjawab dimensi sejarah komunitas; (2) empat desa yang didominasi oleh komunitas transmigran (Kolam Kanan, Kolam Makmur, Sidomulyo, dan Babat Raya) merupakan desa sasaran masuknya berbagai teknologi sehingga memunginkan peneliti untuk menelusuri sejauhmana pengaruh teknologi terhadap pembentukan formasi sosial; dan (3) pengalaman peneliti melakukan beberapa kegiatan di komunitas tersebut yang mengakibatkan peneliti mengenal responden dan informan secara dekat, sehingga dimungkinkan tingkat kedalaman, validitas dan reliabitas data dapat tinggi (Sitorus 1998).
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan berpartisipasi, wawancara mendalam, penelusuran dokumen, dan studi riwayat hidup yang merupakan pengalaman kehidupan individu tertentu sebagai warga masyarakat yang diteliti (Denzin 1989). Dari
teknik
pengumpulan
data
tersebut,
penulis
mengharapkan
terkumpulnya dua jenis kelompok data, yaitu data sekunder dan data primer. Data sekunder berupa data statistik dan survei, meliputi: karakteristik kependudukan, pertanian, peternakan, industri dan jasa di Wanaraya yang diperoleh dari Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dokumen Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Kuala, dan dokumen pemerintah Kecamatan Wanaraya. Sedangkan data primer berupa wawancara mendalam yang diperoleh dari responden sebagai pemberi keterangan tentang dirinya sendiri dan informan sebagai pemberi keterangan tentang orang lain (lihat Tabel 4) dengan menggunakan teknik bola salju (Agusta 1997). Wawancara mendalam yang diperoleh dari responden dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang hipotesa pengarah penelitian dan riwayat hidup lengkap dari subyek penelitian. Riwayat hidup yang akan dilihat mencakup: (1) riwayat hidup rumah tangga, meliputi: kekuatan produksi, hubungan produksi, dan suprastruktur (agama dan norma/aturan); dan (2) sejarah komunitas transmigran menyangkut organisasi produksi, sistem sosial-budaya, struktur kerja dalam moda produksi, dan pembentukan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Riwayat hidup juga digunakan untuk menelusuri latar belakang sosial keluarga komunitas transmigran terhadap pilihan usaha produksi serta berbagai fenomena yang terjadi di dalamnya. Selain itu, peneliti juga berpartisipasi dan mengamati kegiatan produksi sehari-hari responden dan informan (Castley dan Kumar 1988; Mulder 1984), serta menanyakan arti kegiatan yang dilakukan menurut responden dan informan tersebut.
Tabel 4. Fokus Pengamatan dan Teknik Pengumpulan Data. Nama
Status
Suyud S.
Responden
Muhni
Informan
Sa’ad
Sist. Produksi
Fokus Pengamatan (Unit) Proses Komunitas Sejarah Desa Produksi Transmigran*)
Teknik**)
Camat Wanaraya Mantan Pamong desa
WM
Responden
Tokoh masyarakat
RH, WM
Sumadi
Responden
Pembekal desa
WM
Arjo K.
Responden
RT
WM
Marsinah
Responden
RT
RH, WM
Jumari
Responden
RT
WM
Anwar H.
Responden
RT
WM
Sunarno
Responden
RT
WM
Rakimin
Responden
Petani pemilikpenggarap
RH, PB, WM
Nono
Responden
Petani pemilik modal
RH, WM
Supyiah
Responden
Petani pemilikpenggarap
RH, PB, WM
Suharto
Responden
Petani pemilikpenggarap
RH, WM
Panji S.
Informan
Petugas teknis pet.
WM, PB
Haryono
Responden
Pegawai BPP
WM
Harnadir
Responden
WM, PB
Mantan WM petugas proy. Pet. Keterangan: *) RT = Rumat Tangga; **) WM = Wawancara Mendalam; RH = Riwayat Hidup; dan PB = Pengamatan Berpartisipasi.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data dilakukan sesuai dengan metode penelitian yang digunakan, yaitu metode analisis data kualitatif.
Dari data primer dan data
sekunder yang terkumpul 26, selanjutnya dilakukan pengkodean ke dalam beberapa topik terdiri dari: (1) perubahan moda produksi; (2) moda produksi di komunitas transmigran Wanaraya, meliputi: kekuatan produksi (penguasaan tanah, teknologi, distribusi tenaga kerja, dan pengalaman bertani), dan hubungan produksi (batas sosial produksi, struktur hubungan produksi, dan sifat hubungan produksi); (3) perubahan organisasi produksi komunitas transmigran; (4) perubahan orientasi ajaran dan norma atau aturan; dan (5) dampak sosial yang terjadi akibat penetrasi faktor-faktor produksi. Selain itu pula, data primer dan data sekunder dianalisis dengan menelaah keseluruhan data yang tersedia. Untuk kejadian sosial disusun menurut urutan sejarahnya untuk menentukan hubungan antar faktor dalam pembentukan formasi sosial komunitas transmigran (Marshall dan Rossman 1989; Miles dan Huberman 1992) sebagai bagian penting yang membangun hipotesis di lapangan. Selanjutnya, urutan sejarah kejadian dimanfaatkan untuk membuat matriks perbandingan (mencari persamaan dan perbedaan) munculnya kejadian tertentu sebagai akibat dan kejadian lainnya sebagai sebab (Agusta 1997). Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan penulis, masuknya berbagai teknologi sebagai akibat terjadinya perubahan pola produksi, hubungan produksi, dan suprastruktur komunitas transmigran di Wanaraya yang secara keseluruhan dikatakan sebagai faktor-faktor pembentuk formasi sosial komunitas transmigran. Setelah didapatkan akibat-sebab dari suatu kejadian kemudian dibandingkan dengan dugaan hubungan antar topik menurut hipotesis atau kerangka teori yang kemudian ditarik kesimpulan tentang hubungan kejadian-kejadian sosial tersebut (Schwandt 1996). Penarikan kesimpulan awalnya bersifat sementara yang selanjutnya didiskusikan dengan responden, informan dan pembimbing tesis (Creswell 1994). Kesimpulan sementara tersebut, kemudian didiskusikan kembali kepada
26
Data yang terkumpul tetap mengacu pada topik penelitian, yaitu transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan.
responden, informan dan pembimbing tesis untuk melihat sejauhmana interprestasi mereka terhadap kesimpulan sementara peneliti. Jika interprestasi yang diungkapkan oleh responden, peneliti dan pembimbing tesis menunjukkan kesesuaian dengan temuan peneliti, maka menjadi kesimpulan tetap.
SEJARAH KOMUNITAS TRANSMIGRAN WANARAYA
Pada bagian ini, kesejarahan komunitas transmigran di Wanaraya ditinjau dari perspektif materialistik, dimana infrastruktur (kondisi alam, teknologi, dan ekonomi/modal) menentukan berlangsungnya moda produksi, perubahan struktur sosial, dan suprastruktur (norma/nilai) komunitas transmigran pada setiap periode. Berbicara tentang sejarah, maka dimensi waktu memainkan peranan penting untuk melihat sejaumana terjadinya perubahan yang dialami komunitas transmigran di Wanaraya. Perubahan tersebut berupa perubahan yang terjadi pada pada ranah infrastruktur, struktur sosial (organisasi produksi dan kelas sosial), dan sistem nilai (suprastruktur) komunitas transmigran. 27 Sepanjang kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya dengan usaha produksi yang dikembangkan dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode penting untuk diketahui. Adapun ketiga periode tersebut adalah (1) periode behuma yang dilakukan oleh komunitas lokal yang berakhir pada tahun 1977 28; (2) periode “pasang” komunitas transmigran berlangsung sepanjang tahun 1978–1983; dan (3) periode “surut” komunitas transmigran berlangsung sepanjang tahun 1986– 2005. Pembagian tiga periode kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya tersebut, didasarkan atas apa yang dialami dan dirasakan oleh komunitas transmigrasi ketika menempati pemukiman baru (daerah tujuan) di Wanaraya. Sebelum kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya (tahun 1978), sudah terdapat komunitas lokal yang sejak lama menetap di Wanaraya. Komunitas lokal yang dimaksud adalah penduduk beretnis Banjar yang bermigrasi ke Wanaraya karena di daerah asal mereka tidak memungkinkan untuk melakukan usaha produksi behuma dan membatang.
Menurut pengakuan Sa’ad
sebagai responden peneliti bahwa jumlah penduduk yang menetap di Wanaraya saat itu relatif kecil, yaitu kurang lebih 10–15 Kepala Keluarga (KK) yang 27
Sejarah komunitas transmigran Wanaraya dalam tulisan ini merujuk pada tulisan Kartodirdjo yang berjudul “Pendekatan ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah” diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 1992. 28 Berdasarkan penggalian informasi yang peneliti lakukan terhadap responden tetua (orang yang dianggap tua) di komunitas lokal bahwa kepastian kurung waktu (periode) keberadaan komunitas lokal di Wanaraya tidak ketahui. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan dan ingatan tetua bernama Sa’ad bahwa ia bersama ayahnya sudah ada di Wanaraya semenjak Jepang ada di Kalimantan Selatan.
masing-masing terdiri dari 5–9 orang per KK.
Adapun pertambahan jumlah
penduduk komunitas transmigran hingga mencapai angka 2.730 jiwa 29 disebabkan dua hal, yaitu (1) hubungan perkawinan antara sesama komunitas lokal; dan (2) migrasi dalam bentuk transmigrasi lokal dari daerah tertentu di Kalimantan Selatan ke Wanaraya. Usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas lokal sebelum kehadiran komunitas transmigran adalah behuma dan membatang.
Behuma merupakan
istilah atau bahasa Banjar dari bertani sawah yang dilakukan keluarga komunitas lokal dengan cara berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan lainnya. Umumnya, lahan yang digunakan adalah lahan banyu atau lahan yang digenangi air 30 di sekitar tempat tinggal komunitas lokal. Sementara itu, membatang adalah usaha produksi menumbang kayu (menebang pohon) di hutan oleh komunitas lokal disekitar lokasi pemukiman mereka. Biasanya usaha produksi tersebut dilakukan ketika anggota komunitas lokal akan membuka lahan untuk
usaha produksi
behuma. Usaha produksi behuma dan membatang disekitar Wanaraya ini kemudian berhenti ketika lokasi ini dijadikan sebagai daerah tujuan transmigran oleh pemerintah. Behuma sebagai cerminan teknologi ekstensif dalam memanfaatkan alam tergantikan dengan teknologi intensif (menetap) dalam wujud usahatani sawah pasang surut yang dilakukan komunitas transmigran sebagai implementasi Proyek Pembangunan Pertanian Pasang Surut (P4S) dengan sistem irigasi pasang surut. 31 Meskipun demikian, dalam hal tahapan (proses) usahatani behuma tidak begitu saja tergantikan, malah sebaliknya alat produksi (teknologi) usahatani behuma sedikit banyak mempengaruhi berlangsungnya moda produksi komunitas transmigran di Wanaraya.
29
Berdasarkan jumlah penduduk di dua desa yang didominasi komunitas lokal (Roham Raya dan Tumih) yang dicatat oleh Mantri Statistik Wanaraya pada tahun 2004. 30 Bandingkan dengan sistem perladangan di tanah daratan (lahan kering) yang dilakukan oleh Orang Kantu’ di Kalimantan Barat (Michael R. Dove: Sistem Perladangan di Indonesia (Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat, Yogyakarta 1988). 31 Rofiq anwar dan Saraswati Soegiharto (Editor Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro): Transmigrasi di Usia Kelima Puluh, Jakarta 2003, hal. 86.
Periode Behuma Periode behuma yang berlangsung hingga tahun 1977 sepenuhnya dimaksudkan untuk menjelaskan moda produksi subsisten melalui usaha produksi behuma dan membatang. Usaha produksi ini sangat terkait erat dengan kondisi alam Wanaraya yang mempunyai perbedaan tekstur lahan dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana umumnya lahan di Wanaraya dikategorikan sebagai lahan bertekstur histosol (gambut berawa). Menurut Hardjowigeno (1983) bahwa jenis tanah histosol terbentuk bila produksi dan penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di tempat-tempat yang selalu digenangi air sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat.
Oleh karena itu,
dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik. Sebelum Wanaraya ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah tujuan transmigran, terdapat satu desa komunitas lokal yang pembentukannya didasarkan atas ikatan kekerabatan, yaitu Handil Bambangin yang berarti kerabat dari bambangin.
Di sekitar desa tersebut terdapat sungai ulak yang bermuara ke
Sungai Barito sebagai sarana yang menghubungkan Wanaraya dengan daerah lainnya di Kalimantan Selatan. Selain itu, wilayah ini pula dikenal sebagai hutan tropis yang ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti mahang, tapung, terantang, dan galam. Berbagai jenis pohon yang tumbuh subur di Wanaraya tersebut berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat terjadinya laju pembusukan (dekomposisi) dan pemulihan tanah sehingga masih banyaknya terdapat humus sebagai unsur penting dari kesuburan tanah. Selain itu, hutan tropis yang tumbuhi berbagai jenis pohon dengan tinggi kurang lebih 4 meter berfungsi sebagai perlindungan tanah dari cahaya matahari langsung dan menjaga kelembaban “tanah kurus” sebagaimana istilah bagi tanah yang kurang unsur haranya. 32
32
Geertz memetakan tiga ciri ekologi perladangan yang memiliki hutan tropis. Ketiga ciri sistematik tersebut, sebagai berikut: (1) Ekosistem umum, yaitu suatu ekosistem yang terdapat aneka jenis kehidupan, sehingga energi yang dihasilkan oleh sistem itu dibagikan di antara berbagai jenis yang relatif besar jumlahnya, masing-masing dengan individu yang relatif kecil jumlahnya, (2) perbandingan kuantitas zat makanan yang tersimpan dalam bentuk-bentuk yang hidup dengan zat makanan yang tersimpan di dalam tanah, pada kedua ekosistem itu sangat tinggi, dan (3) berfungsi sebagai pelindung terhadap kehidupan lainnya (Cliford Geertz: Involusi Pertanian (Proses Perubahan Ekologi di Indonesia), Jakarta 1983, hal. 16 – 25).
Kondisi alam yang ditandai hutan tropis yang masih lebat dan jenis tanah histosol disekitar Wanaraya, kemudian dimanfaatkan oleh komunitas lokal untuk melakukan usaha produksi behuma dan membatang yang masing-masing berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, bahan bakar, dan bahan bangunan rumah, serta untuk mendapatkan uang tunai. Sebagaimana ungkapan responden peneliti bernama Sa’ad yang sudah berumur kurang lebih 80 tahun: “Sebelum hadirnya para transmigran, kami melakukan usaha bertani dan membatang. Kami bertani belum ada teman, kemudian dua tahun setelah itu baru ada teman. Cara bertani kami berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan lainnya. Biasanya, 1 hektar atau 30 borong kami kerjakan dengan tiga kali berpindah, pertama, 10 borong, kedua, 5 borong, dan ketiga, 15 borong. Begitupun dengan membatang kami lakukan di sekitar Wanaraya karena beberapa jenis pohon, seperti: mahang, tapung, terantang, dan galam masih tersedia banyak”. Dua usaha produksi tersebut dilakukan secara berurutan, dimana sebelum membuka lahan untuk behuma, terlebih dahulu dilakukan menumbang kayu (menebang pohon) untuk membuka lahan tersebut. Dengan demikian, terlihat siklus waktu yang terpola selama 1 tahun untuk membatang dan behuma, dimana waktu membatang dilakukan antara bulan Mei – Agustus setiap tahunnya, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk behuma disesuaikan dengan tahapan produksinya, yaitu: (1) menugal dilakukan bulan Oktober – Desember; (2) melacak berlangsung pada bulan Desember – Maret; (3) menanam dilakukan pada bulan April; dan (4) memanen dilakukan pada bulan Agustus atau September. Dalam melakukan usaha produksi behuma dan membatang di atas, lahan yang digunakan adalah lahan yang kepemilikannya bersifat komunal. Sebelum membuka lahan, masing-masing KK komunitas lokal diwajibkan melapor kepada seorang Gusti sebagai pembekal (kepala) desa. Pembekal desa ini kemudian menunjuk kepala padang 33 untuk membagikan lahan kepada KK komunitas lokal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing KK tersebut untuk melakukan usaha produksi behuma. Usaha produksi behuma tersebut, kemudian disesuaikan dengan tahap produksinya, sedangkan membatang dilakukan oleh komunitas lokal antara waktu setelah tahap menanam sampai dengan panen tiba. 33
Kepala padang adalah salah seorang komunitas lokal yang dituakan dan atas persetujuan pembekal desa (seorang Gusti) mempunyai wewenang membagikan lahan kepada masing-masing KK.
Menumbang kayu (menebang pohon) di hutan Wanaraya disesuaikan dengan luas lahan untuk behuma dan tenaga kerja yang tersedia. Umumnya, komunitas lokal menebang pohon seluas 10 borong (1/3 ha) per tahun dengan menggunakan alat produksi parang besar dan tenaga kerja keluarga inti (terutama ayah dan anak laki-laki yang sudah dewasa). Berbeda dengan tahap behuma, komunitas lokal mengenal empat tahap dalam membatang, terdiri dari: (1) menumbang kayu (menebang pohon) menggunakan parang yang beratnya 5–6 kg; (2) memotong kayu menjadi beberapa bagian dengan ukuran tertentu dengan alat produksi yang sama; (3) melarutkan kayu ke tepi sungai ulak dengan tali; dan (4) menjual hasil batangan kepada pengumpul dengan menggunakan klotok 34. Biasanya kayu yang dijual tersebut, tergantung dari jenisnya dengan harga berkisar antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 15.000 per batang. Empat tahap membatang di atas, dilakukan sebagian besar laki-laki (baik ayah maupun anak laki-laki yang sudah dewasa) yang berasal dari keluarga inti. Keluarga inti sebagai organisasi produksi membatang menunjukkan bahwa usaha produksi yang bias gender, dimana dominasi peran laki-laki atas perempuan dalam setiap tahap membatang. Berbeda dengan organisasi produksi membatang, peran laki-laki tidak lagi mendominsi dalam tahap produksi behuma, melainkan terjadi distribusi (pembagian) tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga inti. Dalam tahap menugal, tenaga kerja terdiri dari ayah, ibu, dan biasanya dibantu oleh anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa dengan menggunakan teknologi tradisional, seperti: varietas padi lokal (padi siam). Sementara itu, tahap lacak menggunakan alat produksi tajak 35 dengan tenaga kerja yang menangani tahap ini adalah ayah dan anak laki-laki dewasa, sedangkan tahap menanam, alat yang digunakan adalah taju 36 dan parang dengan tenaga kerja, terdiri dari: ayah, ibu, anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa.
34
Adapun tahap panen, setiap tahunnya dapat menghasilkan panen
Klotok adalah istilah lain untuk transportasi air yang digunakan oleh komunitas lokal. Tajak merupakan alat produksi yang digunakan oleh petani lokal untuk membersihkan lahan dan menggemburkan lapisan atas tanah. 36 Semacam pisau yang dibuat dari kayu dimana memiliki ujung yang runcing. 35
sebanyak 67 kaleng per 10 borong (1/3 ha) dengan tenaga kerja sebagian besar dilakukan oleh perempuan pada masing-masing KK komunitas lokal. Tabel 5. Ciri-ciri Periode Behuma (sebelum tahun 1978). Usaha Produksi Komunitas Lokal Komponen Bagian Behuma Membatang Infrastruktur
Kondisi alam
Teknologi
Modal
Struktur Sosial
Organisasi produksi
Kelas sosial Suprastruktur
Orientasi
Lahan bertekstur histosol (gambut berawa), terdapat sungai ulak, dan masih tersedianya hutan tropis yang ditumbuhi oleh beberapa jenis pohon (seperti mahang, tapung, terantang, dan gelam) Parang besar (menumbang Padi lokal (menugal), tajak kayu), parang (memotong dan parang (melacak), taju, kayu dengan ukuran parang, varietas lokal (menanam), ani-ani (panen). tertentu), tali (melarutkan kayu ke tepi sungai), dan klotok (menjual kayu). à Kayu dijual di pasar à Hasil produksi padi domestik seharga Rp. dikonsumsi oleh keluarga. 10.000 – 15.000/batang. à 5–10 kaleng/panen dari hasil produksi diserahkan à Uang penjualan kayu diperuntukan membeli kepada pembekal desa. kebutuhan keluarga à Sistem upah tenaga kerja lainnya, seperti: pakaian, tidak ada. minyak kelapa, kopi, gula, à Lahan berasal dari dan tembakau. pembagian pembekal desa dan bibit padi disediakan à Selain itu, sebesar Rp. 3.000 – Rp. 5.000/batang sendiri. Sarana produksi, diserahkan kepada seperti parang, tajak, anipembekal desa sebagai ani dibeli, sedangkan taju pajak. dibuat sendiri. à Upah tenaga kerja tidak ada. Keluarga inti, dimana Keluarga inti, dimana terdapat pembagaian kerja tenaga kerja didominasi antara laki-laki dan oleh laki-laki. perempuan setiap tahap produksi. Pembekal sebagai penguasa lahan dan petani penggarap. Subsisten (pemenuhan kebutuhan pangan keluarga)
Selain untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, juga mendapatkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarga lainnya.
Perbedaan lain dari dua usaha produksi (behuma dan membatang) di atas, dapat pula dilihat dari orientasi produksi. Usaha produksi behuma bagi komunitas lokal ditempatkan sebagai komoditas yang berorientasi pemenuhan kebutuhan
pangan keluarga (subsisten), sedangkan membatang untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dan bahan bangunan bagi keluarga komunitas lokal dan mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan keluarga lainnya, seperti membeli pakaian, gula, kopi, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sa’ad: “...behuma dari satu lahan ke lahan berikutnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga kami. Untuk mencukupi kebutuhan lainnya, kami menjual kayu ke kota”. Selain untuk kebutuhan pangan keluarga, hasil produksi behuma juga diperuntukkan kepada Gusti (pembekal desa) sebanyak 5–10 kaleng/panen. Demikianpun dengan usaha membatang, hasil penjualan kayu setiap keluarga komunitas lokal dikenakan pajak sebesar Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 per batang oleh pembekal desa. Dengan demikian, kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi surplus produksi oleh pembekal desa dalam dua usaha produksi yang dilakukan oleh anggota komunitas lokal. Meskipun demikian, karena organisasi produksi berbasis keluarga inti, kepemilikan tanah yang bersifat komunal, dan tersedianya bibit padi lokal yang diproduksi sendiri oleh komunitas lokal menyebabkan modal tidak begitu berperan dominan pada usaha produksi behuma dan membatang. Modal hanya diperuntukkan memenuhi beberapa alat produksi yang berkaitan dengan tahap produksi tertentu yang dilakukan oleh komunitas lokal, seperti: tajak, parang, dan ani-ani (uraian singkat dapat dilihat pada Tabel 5). Periode “Pasang” (1978 – 1983) Periode “pasang” ditandai dengan kehadiran komunitas transmigran dan penetrasi sawah pasang surut sebagai perwujudan teknologi intensif di Wanaraya sebagai daerah tujuan. 37 Kondisi fisik Wanaraya yang dulunya hutan berubah menjadi hamparan unit pemukiman transmigran dalam bentuk ray 38 yang dibatasi oleh sungai-sungai tersier sebagai saluran irigasi sawah pasang surut. Keberadaan
37
Pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke Kalimantan (program transmigran) oleh pemerintah orde baru merupakan suatu pendekatan untuk mengatasi masalah penyebaran penduduk dan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan di Indonesia. 38 Ray adalah rukun tetangga (RT) yang terdiri dari 10–15 KK, dimana masing-masing KK mempunyai luas lahan 20 x 500 meter. Biasanya dalam 1 ray terdapat 1–3 RT, namun ini tidak mutlak karena jumlah RT tergantung dari kepadatan penduduk.
ray secara tidak langsung merupakan dasar pembentukan desa-desa komunitas transmigran di Wanaraya atau dengan kata lain definisi desa komunitas transmigran dapat merujuk pada kumpulan ray yang saling berdekatan antar satu dengan lainnya. Meskipun demikian, jumlah ray antar satu desa dengan desa lainnya berbeda-beda dikarenakan kepadatan penduduknya yang berbeda (semakin padat jumlah penduduk suatu desa, semakin banyak jumlah ray di desa tersebut). Sebagai contoh, Desa Babat Raya yang hanya mempunyai 4 ray memiliki kepadatan penduduk 158,6 Jiwa/Km2. Berbeda dengan Desa Kolam Kanan yang mempunyai kepadatan penduduk 302,8 Jiwa/Km2 dengan jumlah ray sebanyak 12, dan Desa Sidomulyo dengan kepadatan penduduk 739,5 Jiwa/Km2 mempunyai 20 ray (kepadatan penduduk di Wanaraya secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 7). Berbeda dengan komunitas transmigran, pembentukan desa-desa komunitas lokal yang awalnya merujuk pada kekerabatan mengalami perubahan yang tidak lagi didasarkan oleh kekerabatan, melainkan mengikuti pembentukan desa-desa komunitas transmigran yang didasarkan atas ray. Kondisi ini dikarenakan terjadinya transmigrasi lokal dan hubungan perkawinan antar sesama komunitas lokal. Selain itu, kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya menyebabkan perubahan pada kepemilikan lahan dan usahatani. Pada periode behuma telah dijelaskan bahwa kepemilikan tanah sebelum hadirnya komunitas transmigran lebih bersifat komunal yang diatur oleh pembekal desa yang kemudian dibagikan oleh kepala padang.
Namun, kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya
berimplikasi pada kepemilikan tanah yang tidak lagi bersifat komunal, melainkan kepemilikan tanah diperuntukkan kepada masing-masing KK. Dengan demikian, peranan pembekal desa dalam hal pembagian tanah digantikan oleh Pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya komunitas transmigran yang dipindahkan ke Wanaraya tersebut, mendapatkan pembagian lahan dari pemerintah masing-masing seluas 2 ha per KK. Pembagian lahan tersebut diperuntukkan sebagai lahan pemukiman dengan luas 1 hektar (dikenal dengan istilah lahan 1) dan lahan persawahan seluas 1 hektar (dikenal dengan istilah lahan 2).
Berkaitan dengan itu, kehadiran
komunitas transmigran di Wanaraya dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu disatu sisi program transmigran memberikan akses lahan kepada para transmigran yang sewaktu di daerah asal sebagai petani gurem atau tunakisma, namun disisi lain “merampas” lahan komunitas lokal yang dikelola oleh pembekal desa sehingga tidak jarang terjadinya konflik antara komunitas lokal dengan komunitas transmigran. Konflik antara komunitas lokal dengan transmigran di Wanaraya yang bersumber dari kepemilikan lahan berupa klaim lahan persawahan (lahan 2), dimana terjadi perebutan lahan 2 antara komunitas lokal dengan komnitas transmigran. Komunitas lokal menganggap bahwa lahan sawah milik komunitas transmigran yang didapatkan dari pembagian pemerintah merupakan tanah komunal milik komunitas lokal yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan adat. Menurut ketentuan hukum adat bahwa hak milik penuh penebang pertama tidak dapat diwariskan. Setelah perambah hutan pertama meninggal, hanya kebun yang dapat dibagi di antara ahli waris.
Semua petak hutan yang tidak ditanami
diwariskan sanak saudara dan hanya digunakan untuk perladangan padi (Levang 2003: 96). Konflik tersebut menunjukkan persoalan kepemilikan lahan masih kontemporer sebagai penyebab terjadinya konflik antar komunitas transmigran (pendatang) dengan komunitas lokal sehingga diperlukan penyelesaian yang serius agar tidak berimplikasi pada tumbuhnya konflik yang bersifat laten antar dua komunitas tersebut. Selain perubahan pada kepemilikan lahan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, periode “pasang” menunjukkan perubahan usaha produksi dari behuma yang mencerminkan teknologi ekstensif ke usahatani sawah pasang surut sebagai cerminan teknologi intensif. Meskipun demikian, kondisi alam Wanaraya ternyata tidak serta merta bersesuaian dengan pengalaman bertani yang pernah dilakukan komunitas transmigran di daerah asal. Lahan gambut berawa (lahan histosol) ternyata menuntut penyesuaian budaya bertani yang dilakukan oleh komunitas lokal. Keberadaan sungai sekunder sebagai saluran irigasi yang dibuat oleh pemerintah untuk mengairi areal persawahan, ternyata tidak mudah dapat diatur
penggunaanya karena tergantung oleh gerakan pasang dan surutnya air laut. 39 Demikian pun dengan teknologi pacul yang biasa digunakan oleh komunitas transmigran pada tahap melacak dalam usahatani sawah digantikan dengan tajak. Penggunaan alat produksi tajak ini disebabkan karena jenis tanah berupa gambut berawa (istilah komunitas lokal: tanah banyu) mempunyai perbedaan dengan jenis tanah di daerah asal komunitas transmigran yang umumnya berjenis ultisol. Perbedaan di atas, kemudian menyebabkan terjadinya “krisis” pengalaman berproduksi pada lahan gambut berawa. Krisis ini kemudian mendorong tidak sedikit komunitas transmigran meninggalkan pemukiman baru mereka yang diberikan pemerintah. Meskipun angka pasti tentang jumlah transmigran yang meninggalkan Wanaraya tidak penulis peroleh, namun dapat dipastikan bahwa alasan mendasar bagi mereka yang meninggalkan daerah tujuan (lokasi transmigrasi) karena kurangnya pengetahuan teknik usahatani sawah pasang surut yang dimiliki komunitas transmigran tersebut. Walaupun demikian, bagi mereka –komunitas transmigran– yang tidak meninggalkan Wanaraya (bertahan hidup) dengan bekal pengalaman bertani di daerah asal dan kemauan belajar dari teknik bertani komunitas lokal memberikan kecapakan tersendiri dalam mengusahakan lahan gambut berawa tersebut. Kecapakapan usahatani tersebut dapat dilihat dari penggunaan alat produksi (teknologi) yang digunakan oleh komunitas transmigran. Untuk tanah yang lebih tinggi (tidak digenangi air) komunitas transmigran menggarapnya dengan menggunakan teknologi pacul, sedangkan untuk lahan persawahan mengikuti teknologi yang digunakan komunitas lokal, terkecuali pada tahap panen menggunakan sabit (celurit). Dengan demikian, kontradiksi yang terjadi menyebabkan perubahan permanen kekuatan produksi pada usahatani sawah pasang surut, seperti penggunaan alat produksi (tajak, taju, varietas padi lokal/unggul, celurit untuk lahan persawahan dan pacul untuk lahan yang tidak digenangi air), pengalaman
39
Keberadaan sungai kerukan (sungai sekunder) tersebut, tidak hanya berperan sebagai saluran irigasi untuk mengairi sawah pasang surut milik petani. Akan tetapi lebih dari itu, sungai sekunder dimanfaatkan oleh komunitas transmigran untuk kebutuhan pribadi, seperti: mandi, mencuci, membuang hajat, dan sumber air minum.
berproduksi, dan pembagian teknis kerja pada keluarga inti. Situasi ini sebagaimana diungkapkan oleh Nono saat peneliti wawancarai: “Di sini kami bertani menggambungkan pengalaman sewaktu di Jawa dan pengalaman bertani yang dilakukan oleh penduduk lokal. Sebagai contoh, untuk menggarap tanah yang tinggi teknik dari Jawa yang kami pakai, sedangkan untuk lahan persawahan kami meniru asli teknik penduduk lokal, disitulah keuntungannya”. Selanjutnya, penggunaan alat produksi tersebut disesuaikan dengan tahap produksi sawah pasang surut, dimana pada tahap nugal teknologi yang digunakan adalah bibit padi lokal (padi siam) yang mempunyai siklus panjang (6–10 bulan), tahap melacak menggunakan teknologi tajak, tahap menanam menggunakan taju dan parang, dan tahap panen menggunakan teknologi celurit (sabit). Tabel 6 menunjukkan penggunaan alat produksi disetiap tahap usahatani sawah pasang surut. Tabel 6. Penggunaan Alat Produksi Disetiap Tahap Usahatani Sawah Pasang Surut. Tahap Produksi
Alat Produksi
Nugal
Varietas padi lokal (padi siam) yang bersiklus panjang 6–10 bulan Tajak Taju dan parang Celurit (sabit)
Lacak Tanam Panen
Panen 1 kali/tahun
Sementara itu, organisasi produksi sawah pasang surut komunitas transmigran yang berbasis keluarga inti menunjukkan belum terhierarki komunitas transmigran ke dalam beberapa kelas sosial.
Jika penggolongan kelas sosial
merujuk pada pola penggarapan lahan, yaitu pekerjaan dengan menggunakan tenaga sendiri (self employment), mengupah buruh, dan berburuh atau menjadi buruh, maka ketika berlangsungnya periode “pasang” hampir semua komunitas transmigran tergolong ke dalam pola penggarapan menggunakan tenaga sendiri (self employment) atau petani pemilik-penggarap. Untuk itu, setiap berlangsungnya tahap produksi sawah pasang surut tersebut ditemukan distribusi peran anggota keluarga komunitas transmigran. Distribusi peran yang dilakukan oleh anggota keluarga tersebut sangat ditentukan berat atau ringannya tahap produksi. Biasanya, jika tahap produksi dianggap berat
maka peran yang dominan diberikan kepada laki-laki (ayah dan anak laki-laki dewasa). Sebaliknya, keterlibatan perempuan (ibu dan anak perempuan dewasa) sangat dimungkinkan tahap produksi yang dianggap ringan.
Adapun tahap
produksi yang dianggap ringan adalah nugal, panen, dan menanam sedangkan lacak termasuk tahap produksi yang berat. Kondisi seperti ini diungkapan oleh Supyiah: “Lacak membutuhkan tenaga yang harus kuat karena lahan yang harus dilacak dengan menggunakan tajak begitu luas. Ini tidak mungkin dilakukan oleh perempuan. Tapi untuk menanam biasanya ibu terlibat dan anak-anak perempuan kami yang sudah dewasa, meskipun sangat jarang. Untuk nugal dan panen memang sering dilakukan oleh kebanyakan perempuan disini”. Walaupun demikian, bukan berarti keterlibatan kaum laki-laki dan perempuan dalam setiap tahap produksi tersebut tidak bersifat fleksibel, akan tetapi disini yang dilihat adalah dominasi peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga inti. Perempuan bisa saja melakukan tahapan lacak yang tidak seperti biasanya dilakukan oleh umumnya perempuan dalam keadaan tertentu (misal salah satu anggota keluarga yang laki-laki sakit). Distribusi tenaga kerja dalam keluarga inti menunjukkan artikulasi tenaga kerja dalam keluarga inti pada periode “pasang” didasarkan atas dominasi jenis kelamin, dimana jika tahap produksi dianggap berat maka peran laki-laki lebih dominan dan sebaliknya jika tahap produksi dianggap ringan peran lebih didominasi perempuan. Meskipun batasan sosial usaha produksi sawah pasang surut pada periode “pasang” sangat ditentukan oleh keluarga inti, namun bukan berarti tenaga kerja di luar keluarga inti tidak diperlukan. Akan tetapi, terdapat tenaga kerja di luar keluarga inti yang ditentukan oleh berlangsungnya pertukaran tenaga kerja. Terjadinya pertukaran tenaga kerja antar sesama keluarga komunitas transmigran lebih bersifat tolong menolong yang didasarkan atas kebutuhan tenaga kerja tambahan. Mereka yang punya kepentingan atau kebutuhan tersebut, kemudian membentuk kelompok tidak formal yang terdiri dari 10–20 orang. Kelompok yang terbentuk tersebut dengan sendirinya bubar setelah penggarapan lahan semua anggota kelompok selesai. Dalam kondisi seperti ini, dapat dipastikan belum
terjadinya penyerapan surplus produksi tenaga kerja karena antar sesama anggota komunitas transmigran saling mempertukarkan tenaga kerjanya. Selanjutnya, pertukaran tenaga kerja yang dilakukan tersebut tidak selalu dengan orang yang sama dalam satu kelompok. Jika saja, terdapat salah satu anggota kelompok yang telah membangun kesepakatan mempunyai kepentingan mendesak (seperti dalam kondisi sakit) dan tidak dapat ikut penggarapan lahan berikutnya, maka tenaga kerja bisa digantikan dengan orang lain yang ditunjuk langsung oleh anggota kelompok yang berhalangan tersebut sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab antar sesama anggota kelompok. Sementara itu, media yang biasanya digunakan untuk melakukan pertukaran tenaga kerja tersebut adalah institusi arisan atau yasinan. 40 Periode “pasang” juga ditandai dengan produksi padi yang mencapai 200– 300 kaleng/ha (kurang lebih 2,5–3,0 ton). Produksi padi yang dihasilkan tersebut, kemudian diutamakan untuk kebutuhan pangan keluarga. 41 Meskipun demikian, terdapat surplus produksi padi yang dijual ke pasar pengumpul untuk mendapatkan uang tunai sebanyak 100 kaleng/tahun. Uang tunai yang didapatkan tersebut, tidak lain digunakan untuk membeli keperluan sarana produksi tertentu (seperti tajak dan parang) dan memenuhi kebutuhan keluarga, seperti minyak tanah, minyak goreng, perabot rumah tangga, pakaian, teh, kopi, dan gula. Berbeda dengan orientasi uang tunai yang didapatkan dari usahatani sawah pasang surut, kehadiran ternak sapi pada periode “pasang” diperoleh dari Proyek Pengembangan Peternakan Daerah Transmigran (P3DT).
Peruntukkan ternak
sapi oleh pemerintah kepada petani pemilik-penggarap sebagai usaha tambahan dalam bentuk sistem bagi hasil antara pemerintah dan keluarga komunitas transmigran (petani pemilik-penggarap).42 40
Namun sebagian besar komunitas
Institusi arisan dan yasinan merupakan bentuk pertemuan yang diselenggarakan untuk membicarakan kendala teknis yang dihadapi oleh anggota komunitas transmigran dalam usahatani sawah pasang surut, dimana tolong menolong antar sesama komunitas transmigran sebagai jalan keluarnya. Selain itu, institusi ini juga berperan sebagai transaksi atau pertukaran tenaga kerja dalam tahapan proses produksi usahatani sawah pasang surut. Pertukaran tenaga kerja ini tidak dalam bentuk pemberian upah, melainkan saling menggantikan tenaga kerja dalam proses produksi antar anggota kelompok yang bergabung. 41 Biasanya hasil produksi sawah pasang surut oleh setiap keluarga komunitas transmigran yang disimpan untuk kebutuhan pangan keluarga sebanyak 70–100 kaleng atau disesuaikan dengan banyaknya anggota keluarga. 42 Sistem bagi hasil antara pemerintah dengan petani pemilik dan penggarap saat itu adalah sistem bagi hasil dengan pola 1:2, artinya setiap petani yang menerima dan menjalankan P3DT
transmigran langsung menjual ternak sapi tersebut untuk membeli kebutuhan yang dianggap mewah saat itu, seperti generator, TV, membangunan rumah, dan lain sebagainya. Apa yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa sepanjang periode “pasang” (1978–1983) telah terjadi perubahan usaha produksi, kondisi alam, teknologi, struktur sosial, kepemilikan lahan, organisasi produksi, dan orientasi produksi. Sebelum hadirnya komunitas transmigran, komunitas lokal yang sudah lama menetap di Wanaraya melakukan usaha produksi behuma dan membatang untuk
memenuhi
kebutuhan
subsisten
keluarga
komunitas
transmigran.
Kepemilikan lahan yang diusahakan tersebut bersifat komunal yang dikuasai oleh pembekal desa sehingga komunitas lokal berperan hanya sebagai petani penggarap pada lahan tersebut. Adapun surplus produksi behuma dan membatang sebagian diserahkan kepada pembekal, yaitu masing-masing sebesar 5–10 kaleng sekali panen dari behuma dan Rp. 3.000 sampai dengan 5.000 per batang dari penjualan kayu. Namun semenjaknya hadirnya komunitas transmigran di Wanaraya terjadi perubahan dalam hal kepemilikan lahan, dimana masing-masing KK komunitas mendapatkan 2 ha lahan untuk usahatani sawah pasang surut. Kepemilikan lahan yang didapatkan dari pembagian lahan oleh pemerintah tersebut, kemudian merubah struktur sosial komunitas dari petani penggarap menjadi petani pemilikpenggarap. Selain itu, perubahan terjadi dengan kondisi alam Wanaraya, dimana hutan tropis tergantikan dengan hamparan pemukiman transmigran dan lahan sawah pasang surut. Hutan tropis yang habis di sekitar Wanaraya tersebut menyebabkan kegiatan produksi membatang tidak lagi dilakukan oleh komunitas lokal. Tidak itu saja, periode ini juga ditandai dengan sungai sekunder (sungai kerukan) sebagai saluran irigasi yang mengairi lahan sawah pasang surut. Selain bibit padi varietas lokal, komunitas transmigran juga menggunakan bibit varietas unggul yang mempunyai siklus pendek dengan tujuan agar dapat melakukan panen sebanyak dua kali per tahunnya.
diberikan 1 ekor sapi betina produktif. Kemudian dalam jangka 5 tahun berikutnya, petani diharuskan mengembalikan 2 ekor anak sapi (baik Jantan maupun Betina) kepada pemerintah.
Tabel 7. Ciri-ciri Periode “Pasang” Komunitas Transmigran (1978 – 1983). Usaha Produksi Komponen Bagian Sawah Pasang Surut Ternak Sapi Infrastruktur
Kondisi alam
Teknologi
Modal
Struktur sosial
Organisasi produksi
Kelas sosial Suprastruktur
Nilai/norma Orientasi
Curah hujan berubah tiap bulannya(lampiran 2); pH tanah 4,2-5,9; lapisan tanah atas < 150 cm, ketinggian tempat kurang 750 m dpl, suhu rata-rata berkisar antara 260C – 270C, kemiringan lahan < 8%, terdapat sungai sekunder (sungai kerukan), hutan tropis tergantikan dengan pemukiman dan hamparan sawah pasang surut. Padi lokal dan padi unggul (menugal), Kandang ternak dan tajak dan parang (melacak), taju, tali sebagai pengikat parang, varietas lokal dan unggul ternak. (menanam), ani-ani dan sabit (panen). à Ternak diperoleh à Hasil produksi padi 200 – 300 dari bantuan kaleng/ha/tahun. pemerintah. à Surplus produksi sebanyak 100 kaleng dijual kepada pengumpul. à Ternak langsung à Sewa tenaga kerja tidak ada karena untuk membeli berasal dari keluarga inti. kebutuhan yang à Lahan dimiliki oleh masing-masing dianggap mewah, KK yang berasal dari pembagian seperti: generator, pemerintah. TV à Menggunakan varietas bibit padi lokal dan unggul yang disediakan sendiri. à Surplus produksi diinvestasikan untuk alat produksi, seperti: parang, tajak, ani-ani, dan sabit. Selain itu membeli kebutuhan keluarga lainnya, seperti minyak tanah, baju, prabot rumah tangga, dan lain-lain Keluarga inti. à Keluarga inti, dimana terdapat distribusi TK antara laki-laki dan perempuan. à Pertukaran TK antar sesama anggota komunitas kerja melalui intitusi arisan dan yasinan. Hanya terdapat petani pemilik-penggarap. Umumnya komunitas belum terhierarki ke dalam beberapa kelas sosial. Tolong menolong berbasis kepentingan kebutuhan tenaga kerja Subsisten dan mendapatkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarga lainnya.
Individual. Pasar (komersil) untuk membeli kebutuhan mewah.
Umumnya, organisasi produksi komunitas transmigran saat itu berbasis keluarga inti yang di dalamnya terdapat distribusi atau pembagian tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, tenaga kerja di luar keluarga
inti dapat diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja antar sesama anggota komunitas transmigran melalui institusi arisan dan yasinan. Terjadinya pertukaran tenaga kerja karena sesama anggota komunitas transmigran mempunyai kepentingan yang sama (tolong menolong) dalam pemenuhan tenaga kerja untuk menggarap lahan sawah pasang surut. Perubahan dapat pula dilihat dari orientasi produksi, dimana selain untuk kebutuhan subsisten keluarga, surplus produksi dari komoditas padi sawah pasang surut dijual kepada pengumpul untuk memperoleh uang tunai. Uang tunai yang didapatkan tersebut, kemudian diperuntukkan membeli kebutuhan keluarga lainnya, seperti minyak tanah, baju, teh, kopi, gula, dan perabot rumah tangga. Berbeda dengan usahatani, hadirnya usaha ternak yang diperuntukkan sebagai usaha tambahan tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Hal ini dikarenakan sebagian besar komunitas transmigran lebih berorientasi komersil untuk membeli kebutuhan yang dianggap mewah saat itu (ciri-ciri priodesasi “pasang” dapat dilihat pada Tabel 7). Periode “Surut” (1984 – 2005) Meskipun distribusi lahan di Wanaraya menyebabkan wilayah yang didominasi komunitas transmigran lebih luas dibandingkan wilayah komunitas lokal, yaitu masing-masing 25,5 km2 (68%) dan 8,50 km2 (22,7%), serta wilayah yang ditempati oleh dua komunitas (lokal dan transmigran) seluas 3,5 km2 atau 9,3% dari jumlah luas wilayah Wanaraya secara keseluruhan (lihat Tabel 8), akan tetapi yang terpenting pada periode “surut” adalah gejala penurunan kesuburan lahan bertekstur histosol dan hadirnya berbagai usaha produksi selain pertanian yang dilakukan oleh komunitas transmigran. Terjadinya penurunan kesuburan lahan tersebut tidak lain dikarenakan beberapa sebab, antara lain: (1) unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran hutan menghilang dengan cepat di lahan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah; (2) lahan yang tidak digarap dapat mencegah oksidasi, tetapi menyebabkan perkembanganbiakan gulma; dan (3) drainasi yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah (Levang 2003: 165). Akibat dari kurang suburnya lahan gambut berawa tersebut
menyebabkan menurunnya produksi padi sawah pasang surut dari rata-rata 200 kaleng/ha/tahun sampai dengan 50 kaleng/ha/tahun. Dengan kata lain selama lima tahun komunitas transmgiran Wanaraya, produksi padi sawah pasang surut hanya mencapai ¼ kaleng/ha dari produksi optimal sebelum terjadinya penurunan kesuburan lahan histosol.
Kondisi ini sebagaimana dikatakan Muhni kepada
peneliti: “Pada tahun awal menempati Wanaraya, produksi padi milik petani disini mampu mencapai 200 – 300 kaleng/ha, namun selang 5 tahun semenjak wilayah ini dibuka sebagai daerah transmigrasi hingga saat ini produksi padi terus menurun hingga mencapai produksi 50–100 kaleng/ha saja”. Penurunan produksi padi tersebut mempunyai implikasi pada perubahan struktur sosial dan usaha produksi yang dilakukan oleh anggota komunitas transmigran di Wanaraya. Perubahan struktur sosial merujuk pada hubungan produksi yang terjadi atas penguasaan alat produksi (teknologi) dan modal antar sesama komunitas anggota transmigran dalam usaha produksi.
Sebab utama
terjadinya perubahan struktur sosial komunitas transmigran adalah “krisis” lahan sawah pasang surut yang marjinal. Tabel 8. Perbandingan Luas Wilayah Desa Berdasarkan Penduduk Lokal, Transmigran, dan Lokal dan Transmigran. Penduduk
Desa
Luas Wilayah (Km2)
Total (Km2)
Persentasi (%)
Lokal
Tumih Roham Raya
4,5 4,0
8,5
22,7
Transmigran
Babat Raya Kolam Kiri Kolam Makmur Simpang Jaya Waringin Kencana Pinang Habang Surya Kanta Sumber Rahayu Dwi Pasari Sidomulyo Kolam Kanan
3,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,5 2,0 3,5
25,5
68,0
3,5
9,3
37,50
100
Lokal dan transmigran
Jumlah Sumber: Mantri Statistik Wanaraya Tahun 1997 (diolah).
Untuk mengembalikan kesuburan lahan marjinal tersebut, dibutuhkan teknologi yang memadai (seperti perbaikan saluran drainasi sekunder yang dangkal, pupuk, dan kapur).
Disatu sisi, perbaikan drainasi sekunder yang
mengalami pendangkalan merupakan hal yang tidak memungkinkan dilakukan komunitas transmigran karena membutuhkan teknologi canggih untuk mengeruk drainasi yang dangkal tersebut.
Namun disisi lain, hal yang memungkinkan
adalah memberikan kapur untuk menetralisasi kandungan asam pada lahan dan memberikan pupuk untuk kesuburan lahan. Tentunya penyediaan kapur dan pupuk membutuhkan modal yang tidak sedikit, dimana pengusahaan 1 hektar lahan sawah pasang surut membutuhkan modal Rp. 400.000 sampai dengan Rp. 500.000 dan belum termasuk upah tenaga kerja.
Sementara itu, produksi padi sawah pasang surut yang mencapai 50
kaleng/ha tidak memungkinkan dijual karena hanya dapat mencukupi kebutuhan subsisten keluarga komunitas transmigran selama setahun. Dalam kondisi seperti demikian, memenuhi kebutuhan ekonomi lainnya dan modal dalam pengusahaan sawah pasang surut, keluarga komunitas transmigran yang laki-laki dan masih relatif muda (berumur 15–35 tahun) lebih memilih keluar dari wilayah Wanaraya (seperti Banjarmasin, Banjarbaru, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) untuk melakukan usaha membatang dan sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan. Meskipun demikian, tidak semua keluarga komunitas transmigran mampu melakukan usaha membatang dan sebagai buruh pabrik dan bangunan. Dengan demikian, terjadi perbedaan dalam hal kepemilikan modal antar sesama komunitas transmigran. Selanjutnya modal yang diperoleh dari usaha membatang dan sebagai buruh tersebut diperuntukkan mencukupi kebutuhan lain keluarga (seperti membeli perabot rumah tangga, TV, radio, dan menyekolahkan anak), melakukan usahatani sawah pasang surut, usahatani selain sawah pasang surut (seperti sayuran, kacang tanah, ubi jalar, dan ubi kayu), membeli ternak sapi, membeli lahan sawah pasang surut di luar Wanaraya, dan membeli pupuk dan kapur untuk kembali dijual kepada petani.
Akan tetapi, mereka yang tidak mampu atau
mempunyai modal untuk melakukan usahatani sawah pasang surut mengupahkan (menjual) tenaga kerjanya kepada keluarga komunitas transmigran lainnya yang
mempunyai modal. Kondisi ini terjadi disebabkan untuk menjaga keberlangsungan usahatani sawah pasang surut. Sebagai contoh dalam usahatani sawah pasang surut, mereka –keluarga komunitas transmigran– yang memiliki modal meminjamkan pupuk dan kapur kepada keluarga komunitas transmigran yang tidak mempunyai modal. Pengembalian modal dalam bentuk produksi beras, dimana peminjaman 1 kwintal pupuk dikembalikan sebanyak 10 kaleng beras saat panen usai. 43 Dengan demikian terjadi surplus produksi yang diserap oleh keluarga komunitas pemilik modal terhadap keluarga komunitas transmigran yang tidak memiliki modal. Krisis Lahan Marjinal
Akumulasi Teknologi Kelangkaan/kekurangan modal komunitas transmigran untuk melakukan usahatani sawah pasang surut Usaha mencari/menambah modal dari luar Wanaraya, seperti menjual tanah di daerah asal, membatang, dan sbg buruh pabrik/bangunan
Terjadi perbedaan kepemilikan modal antara sesama komunitas transmigran
Perbedaan kemampuan memproduksi usahatani sawah pasang surut, usahatani lainnya, dan usahatani selain pertanian
Terjadi surplus produksi ekonomi
Terbentuknya dua struktur kelas sosial komunitas transmigran, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik dan penggarap.
Gambar 5.
43
Proses Pembentukan Struktur Sosial Komunitas Transmigran di Wanaraya.
Ketika penelitian ini berlangsung antara bulan Mei sampai dengan Juli 2005, harga 1 kwintal pupuk sebesar Rp. 108.000. Jika keluarga komunitas transmigran membayar dengan 10 kaleng beras (sama dengan 20 liter beras) yang mana harga 1 kaleng beras adalah Rp. 39.000, maka pembayaran pinjaman 1 kwintal pupuk sebesar Rp. 390.000. Dari pembayaran pinjaman pupuk tersebut, dipastikan keluarga komunitas yang memiliki modal mendapatkan keuntungan kurang lebih sebesar Rp. 282.000 atau 261%.
Terjadinya ekstrak surplus produksi di atas menyebabkan terhierarkinya komunitas transmigran ke dalam dua struktur kelas sosial, yaitu: (1) petani pemilik modal, yaitu petani yang memiliki luas lahan di atas 2 ha, tidak menggunakan tenaga kerja sendiri (keluarga inti) untuk menggarap lahan persawahan, mengupah tenaga kerja di luar keluarga inti untuk mengerjakan lahannya, dan memiliki ternak sapi lebih dari 3 ekor; dan (2) petani pemilikpenggarap, yaitu petani yang memiliki luas lahan 2 ha, mengerjakan lahan persawahan dengan tenaga kerja sendiri, menyewakan tenaga kerjanya di lahan milik petani pemilik modal, dan tidak memiliki ternak sapi. Proses pembentukan struktur kelas sosial komunitas transmigran di Wanaraya dapat dilihat pada Gambar 5. Proses pembentukan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya dengan sendirinya menunjukkan perbedaannya dengan teori surplus Lenski dan teori kelangkaan tentang pembentukan stratifikasi sosial. Teori surplus Lenski menganggap bahwa surplus ekonomi disebabkan oleh kemajuan teknologi, sedangkan teori kelangkaan menganggap bahwa surplus produksi ekonomi disebabkan tekanan jumlah penduduk yang tinggi. Tekanan jumlah penduduk yang tinggi tersebut, selanjutnya menyebabkan kemajuan teknologi dan kelangkaan tanah untuk melakukan cocok tanam (Sanderson 2003: 159–160). Untuk kasus komunitas transmigran bahwa proses pembentukan struktur sosial (stratifikasi sosial) disebabkan oleh “krisis” lahan marjinal (lahan gambut berawa) yang terus mengalami penurunan kesuburan.
Akibat dari terjadinya
penurunan tingkat kesuburan lahan tersebut menyebabkan padi sawah pasang surut mengalami penurunan produksi hingga ¼ kaleng/ha dari produksi optimal yang mencapai angka 200 kaleng/ha. Disatu sisi, penurunan produksi padi-sawah pasang surut yang disebabkan keterbatasan lahan marjinal bertekstur histosol (gambut berawa) menuntut teknologi yang memadai untuk mengembalikan kesuburan lahan.
Akan tetapi pada sisi lain, harapan dari surplus produksi
ekonomi yang diperoleh dari usahatani sawah pasang surut tersebut ternyata tidak memungkinkan sebagaian besar anggota komunitas transmigran untuk membeli pupuk dan kapur dikarenakan usahatani sawah pasang surut hanya mampu
memenuhi kebutuhan subsisten keluarga komunitas transmigran. Dengan demikian terjadi kelangkaan modal pada komunitas transmigran di Wanaraya. Kelangkaan modal hanya dapat dipenuhi oleh komunitas transmigran melalui usaha mencari atau menambah modal dari luar wilayah Wanaraya yang kemudian dari modal yang didapatkan tersebut anggota komunitas transmigran melalukan berbagai usaha produksi di Wanaraya. Meskipun demikian, ternyata tidak semua anggota komunitas transmigran mampu mencari atau menambah modal disebabkan oleh beberapa hal, antara lain latar belakang para transmigran (petani gurem dan petani tanpa lahan), kondisi fisik yang tidak memungkinkan, dan tidak adanya uang tunai yang digunakan untuk transportasi dan bekal di daerah tempat berusaha (di luar wilayah Wanaraya). Berkaitan dengan latar belakang para transmigran, ternyata sangat mempengaruhi perbedaan kemampuan mengakumulasi modal (mengumpulkan modal) yang selanjutnya digunakan untuk usaha produksi selain usahatani sawah pasang surut di Wanaraya. Bagi mereka yang tergolong petani gurem di daerah asal, tambahan modal dapat diperoleh dengan cara menjual lahan/tanah yang dimiliknya di daerah asal yang kemudian diinvestasikan ke usaha produksi selain usahatani sawah pasang surut dan juga digunakan sebagai modal awal untuk menjadi buruh pabrik/bangunan di luar wilayah Wanaraya. Sementara itu, mereka yang tergolong transmigran dengan latar belakang sebagai petani tanpa lahan tambahan modal sangat ditentukan oleh kondisi fisik dan cadangan modal yang tersisa untuk menjadi buruh batang dan pabrik/bangunan di luar wilayah Wanaraya. Perbedaan mencari atau menambah modal di atas, kemudian mendorong perbedaan dalam hal kepemilikan modal antara sesama komunitas transmigran dan terjadinya akumulasi teknologi oleh kelas sosial tertentu sehingga terjadi perbedaan dalam hal kemampuan untuk melakukan usahatani sawah pasang surut dan jenis usaha selain pertanian. Mereka –petani pemilik-penggarap– yang tidak mempunyai tambahan modal disebabkan keterbatasan kondisi fisik dan cadangan modal yang ada, akhirnya hanya mampu meminjam pupuk dan kapur serta menjual tenaga kerjanya kepada petani pemilik modal untuk menjaga kesinambungan pertanian sawah pasang surut sebagai kebutuhan subsisten yang
harus selalu dipenuhi. Dengan demikian, terjadi penyerapan surplus produksi oleh anggota komunitas yang memiliki modal terhadap mereka yang tidak memiliki modal sehingga terbentuknya struktur sosial yang permanen. Selain terjadinya perubahan struktur sosial, periode “surut” juga menunjukkan perubahan usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran. Adapun perubahan tersebut dapat dilihat dari hadirnya berbagai usahatani lainnya (seperti ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan sayuran), usaha ternak sapi, membatang, memburuh, usaha bengkel elektronik, dan bengkel sepeda motor. Walaupun demikian lahan sawah pasang surut masih tetap diusahakan oleh komunitas transmigran di Wanaraya dalam jumlah yang relatif lebih kecil dibandingkan usahatani lainnya.
Ini dapat dilihat dari rata-rata pengusahaan
usahatani sawah pasang surut baik varietas padi lokal maupun varietas padi unggul, yaitu masing-masing sebanyak 0,7 orang/ha dan 1,1 orang/ha. Rendahnya pengusahaan usahatani sawah pasang surut disebabkan komoditas ini membutuhkan modal yang cukup besar, dimana setiap tahunnya keluarga komunitas transmigran mengeluarkan uang Rp. 400.000 sampai dengan Rp. 500.000. Produktivitas usahatani sawah pasang surut untuk komoditas padi unggul sebanyak 2,59 ton/ha atau sebesar Rp. 4.403.000/kg per tahun, sedangkan komoditas padi lokal sebanyak 1,68 ton/ha atau sebesar Rp. 2.520.000/kg per tahun untuk komoditas padi lokal. Berbeda dengan komoditas padi tersebut, usahatani umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) merupakan komoditas yang banyak diusahakan disebabkan pengusahaan kedua komoditas ini tidak membutuhkan modal yang besar untuk membeli pupuk dan kapur. Adapun rata-rata pengusahaan komoditas ubi kayu adalah 17,5 orang/ha dengan produktivitas 9 ton/ha atau sebesar Rp. 2.700.00/kg per tahun dan komoditas ubi jalar rata-rata diusahakan oleh 19,4 orang/ha dengan produktivitas mencapai 2,78 ton/ha atau sebesar Rp. 1.668.000/kg per tahun (uraian dapat dilihat Tabel 9).
Tabel 9. Waktu Tanam dan Produktivitas Beberapa Jenis Komoditas Pertanian di Wanaraya. Jumlah Luas No. Komoditas Waktu Tanam Orang Rata-rata Produksi Harga Tanam (Jiwa) (Org/Ha) (Ton) (Rp/Kg) (Ha) 1. 2.
Ubi kayu Ubi jalar
3.
Padi unggul
4.
Padi lokal
5.
Kacang tanah Sayuran
6.
Sepanjang tahun Oktober s/d Juli tahun berikutnya Januari s/d Maret dan Oktober s/d Desember Oktober s/d Agustus tahun berikutnya Oktober s/d Juli tahun berikutnya Oktober s/d Agustus tahun berikutnya
Produktivitas (Ton/Ha)
Produktivitas (Rp/Kg)
31 18
542 350
17,5 19,4
279 50
300 600
9,00 2,78
2.700.000 1.668.000
251
276
1,1
650,7
1700
2,59
4.403.000
4.564
3.126
0,7
7.656,6
1500
1,68
2.520.000
45
105
2,3
4,4
-
0,10
-
34
128
3,8
-
-
-
-
Sumber: BPL Wanaraya Tahun 2002 (diolah); Keterangan: untuk komoditas kacang tanah dan sayuran tidak diketahui produktivitasnya dikarenakan data yang tersedia tidak ditemukan.
Penjelasan di atas menunjukkan usahatani yang dilakukan oleh komunitas transmigran mempunyai karekteristik masing-masing komoditas.
Setidaknya
karekteristik komoditas yang diusahakan tersebut tergantung dari besar kecilnya modal yang dibutuhkan dan struktur kelas sosial yang terlibat dalam pengusahaan komoditas tersebut. Sehubungan dengan itu, komoditas ubi kayu dan ubi jalar di Wanaraya sebagian besar diusahakan oleh mereka yang tergolong petani pemilikpenggarap disebabkan tidak diperlukannya modal untuk memproduksi komoditas tersebut. Berbeda dengan dua komoditas sebelumnya, komoditas padi unggul yang diproduksi pada lahan sawah pasang surut membutuhkan modal sebesar Rp. 400.000 sampai dengan Rp. 500.000 untuk membeli pupuk urea sebanyak 100 kg/ha (2X), pupuk SP36 sebanyak 50 kg/ha (1X), dan kapur. Selain untuk membeli pupuk dan kapur tersebut, diperlukan modal tambahan untuk menyewa tenaga kerja, dimana besarnya sewa tenaga kerja tergantung kesepakatan antara petani pemilik modal dengan petani pemilikpenggarap yaitu berkisar antara Rp. 12.000 per hari sampai dengan Rp. 15.000 per hari. Dengan demikian, kelas sosial yang terlibat dalam produksi komoditas ini adalah petani pemilik modal. Sementara itu, petani pemilik-penggarap hanya terlibat pada usahatani sawah pasang surut untuk varietas padi lokal disebabkan tuntutan pemenuhan kebutuhan subsisten keluarga. Adapun pengusahaan lahan sawah pasang surut untuk varietas padi lokal menggunakan tenaga kerja keluarga inti sebagai basis unit produksinya. Sementara itu, pengusahaan komoditas kacang tanah diperlukan modal sebesar Rp. 450.000 sampai dengan Rp. 500.000 untuk membeli pupuk urea sebanyak 100 kg/ha (2X), pupuk SP36 sebanyak 50 kg/ha (1X), dan pupuk KCl 25 kg/ha, sedangkan komoditas sayuran membutuhkan modal sebesar Rp. 400.000 untuk membeli pupuk urea dan pupuk kandang. Besarnya modal yang diperlukan dalam pengusahaan komoditas kacang tanah dan sayuran menyebabkan usaha produksi ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang tergolong petani pemilik modal. Tabel 10 menunjukkan karekteristik komoditas pertanian dengan struktur kelas komunitas transmigran yang memproduksi.
Tabel 10. Karakteristik Produksi Komoditas Pertanian di Wanaraya. Karakteristik No. Modal Struktur Kelas Komoditas 1.
Ubi kayu
Tidak diperlukan modal untuk membeli pupuk dan kapur.
Dominan diproduksi oleh kelas petani pemilik-penggarap. Dominan diproduksi oleh kelas petani pemilik-penggarap.
2.
Ubi jalar
Tidak diperlukan modal untuk membeli pupuk dan kapur.
3.
Padi unggul
Dibutuhkan modal sebesar Rp. Diproduksi oleh kelas 400.000 s/d Rp. 500.000 untuk petani pemilik modal. membeli urea sebanyak 100 kg/ha (2X), SP36 sebanyak 50 kg/ha (1X), dan kapur.
4.
Padi lokal
Dibutuhkan modal sebesar Rp. 400.000 s/d Rp. 500.000 untuk membeli urea sebanyak 100 kg/ha (2X), SP36 sebanyak 50 kg/ha (1X), dan kapur.
Diproduksi oleh petani pemilik modal dan petani pemilikpenggarap.
5.
Kacang tanah
Diproduksi oleh kelas petani pemilik modal
6.
Sayuran
Dibutuhkan modal sebesar Rp. 450.000 s/d Rp. 500.000 untuk membeli urea sebanyak 100 kg/ha (2X), SP36 sebanyak 50 kg/ha (1X), dan KCl 25 kg/ha. Dibutuhkan modal sebesar Rp. 400.000 untuk membeli pupuk urea dan pupuk kandang.
Diproduksi oleh kelas petani pemilik modal
Selain yang telah disebutkan sebelumnya, usaha ternak sapi merupakan komoditas yang diusahakan komunitas transmigran yang tergolong petani pemilik modal. Usaha ternak sapi sebenarnya sudah ada semenjak periode “pasang” yang berasal dari pinjaman atau bantuan yang diberikan pemerintah pusat atau daerah, meskipun tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. 31
Untuk wilayah
Wanaraya, usaha ternak sapi berasal dari beberapa proyek pemerintah, seperti Proyek Pengembangan Peternakan Daerah Transmigrasi (P3DT), Bantuan Presiden (Banpres), Anggaran Penda-patan dan Belanja Daerah (APBD) I dan 31
Berdasarkan wawancara mendalam yang peneliti lakukan dengan Panji dan Harnadir mengatakan ternak sapi di Kalimantan Selatan dapat dilacak dari tiga periode, yaitu: (1) periode kolonial atau sapi onderneming (tahun 30-an); (2) periodisasi pengembangan sapi oleh pemerintahan Orde Lama (tahun 1945–1970); dan (3) periode sapi proyek oleh pemerintahan Orde Baru (tahun 1971 – 1998).
APB II. 32 Meskipun usaha ternak sapi ini sepenuhnya berasal dari pemerintah, namun pengusahaan komoditas ini merupakan pilihan anggota komunitas transmigran disebabkan faktor alam Wanaraya yang mempunyai potensi untuk tumbuhnya berbagai jenis rumput lokal yang dapat dijadikan sebagai hijauan pakan ternak (lihat Lampiran 8). 33 Akan tetapi, kehadiran usaha ternak sapi ini ternyata tidak mampu meningkatkan ekonomi keluarga komunitas transmigran yang tergolong kelas sosial terendah. Sebaliknya yang terjadi adalah pengambilan surplus produksi oleh kelas petani pemilik modal terhadap kelas petani pemilik-penggarap. Kondisi ini dapat dilihat selama berlangsungnya organisasi produksi usaha ternak sapi melalui sistem gaduhan dan sistem persentasi (penjelasan lebih rinci pada Bab Moda Produksi Komersial). Sistem gaduhan dan sistem persentasi mempunyai perbedaan dalam hubungan produksi. Dalam sistem gaduhan hubungan produksi yang tercipta adalah hubungan produksi antara petani pemilik modal dengan petani pemilikpenggarap, sedangkan sistem persentasi hubungan produksi yang tercipta adalah hubungan produksi antara pemerintah (pihak pemberi peminjam ternak sapi) dengan petani pemilik modal, sedangkan pertani pemilik-penggarap teralienasi dari hubungan produksi yang tercipta tersebut. Basis tenaga kerja usaha ternak sapi adalah keluarga inti, tenaga kerja di luar keluarga inti biasanya berlangsung dalam sistem gaduhan. Usaha produksi lainnya yang berkembang pada periode “surut” adalah membatang dan buruh pabrik atau bangunan. Untuk membatang dilakukan oleh 32
P3DT menerapkan sistem bagi hasil dengan pola 1:2, artinya setiap petani yang menerima dan menjalankan P3DT diberikan 1 ekor sapi Bali betina produktif. Kemudian dalam jangka 5 tahun berikutnya, petani diharuskan mengembalikan 2 ekor anak sapi Bali (baik Jantan maupun Betina) kepada pemerintah. Sapi Banpres (tahun 1988) menerapkan sistem yang sama dengan P3DT. Namun mempunyai perbedaan dalam pengembaliannya, dimana ternak masih layak akan terus dikembangkan, sedangkan ternak yang tidak layak lagi dijual dan uangnya dikembalikan kepada negara. Sedangkan Sapi APBD I dilakukan pada tahun 1994 dengan menerapkan sistem yang sama dengan sistem sebelumnya. Namun, mereka yang mendapatkan ternak ini diharuskan bergabung dalam kelompok tani yang sudah ada. Untuk APBD II (tahun 2001 sampai saat ini) menerapkan sistem persentais yang berbeda dengan sistem sebelumnya. Pola sistem persentasi adalah petani diberikan 1 ekor sapi Bali betina Dara (siap kawin), kemudian dalam jangka 5 tahun mengembalikan 1 ekor Sapi Bali (baik Jantan maupun Betina) kepada pemerintah ditambah 24% 30% bunga dari harga pokok sapi yang diberikan. 33 Sulistyaningsih (2001) melaporkan bahwa beberapa beberapa jenis pakan ternak dengan kandungan nutrisi tinggi yang tumbuh di alam Wanaraya, seperti petungan, adas-adas, udulan, pring-pringan, dan lain-lain.
komunitas transmigran antara bulan Mei sampai dengan bulan Agustus setiap tahunnya atau setelah tahap menanam pada usahatani sawah pasang surut. Sebagian besar mereka yang terlibat dalam membatang adalah laki-laki yang tergolong masih muda dalam keluarga inti komunitas transmigran.
Keadaan
seperti ini dikarenakan kegiatan ini tergolong pekerjaan yang memerlukan tenaga fisik yang kuat. Mereka yang terlibat dalam usaha ini hanya sebatas sebagai tenaga sewa di bawah seorang pimpinan membatang yang disebut bos batang 34. Bagi mereka yang mengikuti membatang terlebih dahulu diwajibkan mendaftarkan diri kepada bos batang, atau sebaliknya bos batang membuka informasi kebutuhan tenaga kerja kegiatan membatang pada waktu-waktu tertentu. Setiap periode membatang, mereka yang terlibat dalam kegiatan ini diberikan uang muka oleh bos batang sebelum berangkat ke lokasi membatang sebesar Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000.
Kemudian uang tunai tersebut
diperuntukkan bagi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan, sedangkan uang dari kegiatan membatang diberikan setelah menjalankan pekerjaannya.
Dalam
perjalanan ke lokasi, tenaga kerja membatang tergabung dalam satu rombongan yang terdiri dari 2–4 orang yang kemudian diantar langsung oleh bos batang ke lokasi dan menempati rumah penginapan (basecamp) selama kegiatan membatang. Selama di lokasi, mereka diberi lagi pinjaman sebanyak Rp. 200.000 sampai dengan Rp. 300.000 per bulan untuk keperluan kebutuhan hidup seharihari, seperti sabun mandi/cuci, minum kopi/teh, dan rokok. Adapun pekerjaan membatang dibagi ke dalam empat tahap, yaitu menumbang kayu, memotong kayu sesuai ukuran yang ditentukan, menguda, dan melarutkan kayu ke sungai.
Pada tahap menumbang kayu digunakan alat
produksi berupa parang dan geregaji tangan yang disediakan sendiri oleh pembatang atau geregaji mesin yang disediakan oleh bos batang.
Setelah
menumbang kayu, proses selanjutnya adalah memotong kayu sesuai ukuran yang ditentukan.
Waktu yang dibutuhkan pembatang di dalam hutan (lokasi
membatang) disesuaikan dengan kemampuan pembatang, biasanya selama 1–2 bulan. Selama waktu tersebut, pembatang bisa memperoleh 50 kubik kayu per orang. Kayu yang diperoleh dari tahap sebelumnya, kemudian diangkut sampai 34
Bos batang merupakan istilah untuk orang yang memiliki modal dalam kegiatan produksi membatang.
ke sungai yang terdekat atau dikenal dengan tahapan menguda.
Biasanya
menguda dilakukan dengan cara menarik kayu sampai ke tempat penumpukan sementara dengan menggunakan tali. Tali yang berfungsi untuk menarik kayu dililitkan ke tubuh pembatang yang berjalan melewati parit (sungai kecil).
Untuk menyelesaikan tahap ini,
pembatang membutuhkan 2–3 hari sampai kayu berada di tempat penumpukan dekat sungai. Tahap terakhir dari kegiatan produksi membatang adalah melarutkan kayu ke tepi sungai besar (pelabuhan) yang disepakati dan selanjutnya diterima oleh bos batang. Setelah menyelesiakan empat tahap membatang ini, pembatang menerima upah dari hasil pekerjaannya berkisar antara Rp. 2.000.000 sampai dengan Rp. 3.000.000 per orang upah yang diberikan tersebut sudah termasuk potong pinjaman uang tunai sebelum berangkat membatang kepada bos batang.
Dengan demikian, hubungan produksi antara pembatang (tenaga kerja
membatang) dengan bos batang merupakan hubungan produksi eksploitatif, dimana terjadi penyerapan surplus produksi oleh bos batang dari hasil membatang yang dilakukan oleh komunitas transmigran. Seperti halnya membatang, pekerjaan memburuh (buruh pabrik/bangunan) dilakukan di luar wilayah Wanaraya oleh kebanyakan laki-laki yang tergolong berusia muda.
Namun, perbedaanya terletak pada pola rekrutmen tenaga kerja
yang akan bekerja sebagai buruh tersebut. Kebanyakan mereka yang menjadi buruh pabrik dan bangunan terlebih dahulu mencari informasi secara sendirisendiri atau mendengar kabar dari kerabat terdekat yang juga berasal dari Wanaraya yang bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan di beberapa daerah, seperti Banjarmasin, Banjarbaru, dan lain-lain. Dikarenakan untuk menjadi buruh pabrik/bangunan sangat tergantung oleh informasi yang diperoleh, maka tentunya waktu untuk menjadi seorang buruh pabrik/bangunan tidak seperti halnya dengan membatang. Jika kegiatan membatang mempunyai waktu terpola, dimana kegiatan ini dilakukan setelah usainya tahapan menanam dalam sistem produksi sawah pasang surut, namun berbeda ketika mereka menjadi buruh pabrik atau buruh bangunan yang sangat tergantung dengan kesepakatan kontrak dengan pihak pabrik atau mandor bangunan dimana tempat mereka menjadi buruh tersebut.
Tabel 11. Ciri-ciri Periode “Surut” Komunitas Transmigran (1984 – 2005). Komponen Infrastruktur
Bagian Kondisi alam
Teknologi
Modal
Struktur Sosial
Organisasi produksi Kelas sosial
Suprastruktur
Nilai/norma
Orientasi
Penjelasan Terjadi krisis lahan marjinal yang ditandai dengan penurunan kesuburan lahan dengan produksi padi hanya mencapai 5% dari produksi optimal (200 – 300 kaleng/ha). Selain itu, krisis lahan marjinal menyebabkan banyak lahan persawahan yang tidak dikelola (ditinggalkan) sehingga ditumbuhi oleh alang-alang. Juga terjadi pendangkalan pada saluran drainasi akibat dari tumbuhnya rumput berjenis purun tikus. Disesuaikan dengan usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran. Sebagai contoh, penyediaan pupuk urea, SP36, dan kapur untuk lahan sawah pasang surut (baik padi lokal maupun padi unggul), penyediaan pupuk urea, SP36, dan KCl untuk pengusahaan komoditas kacang tanah, dan penyediaan pupuk urea dan pupuk kandang untuk pengusahaan komoditas sayuran. Modal yang diperoleh dari hasil mencari modal di luar wilayah Wanaraya diperuntukkan bagi usahatani lainnya (seperti sayuran dan kacang tanah), membeli pupuk dan kapur yang kemudian dijual kembali, dan membeli lahan di luar wilayah Wanaraya yang masih berdekatan. Sistem sewa/upahan (usahatani sawah), sistem gaduhan dan sistem persentasi (usaha ternak), keluarga (transportasi dan bengkel) dan perusahaan (membatang dan memburuh). Komunitas transmigran terbagi ke dalam dua kelas sosial, yaitu: petani pemilik pemodal dan petani pemilikpenggarap. Melemahnya tolong menolong antar sesama komunitas transmigran dan tergantikan dengan individualisme untuk memperoleh modal sebesar-besanya. Sebagian besar orientasi usaha produksi adalah ekonomi dalam arti usaha produksi yang dilakukan untuk mendapatkan modal (kapital).
Berbeda dengan dua kegiatan produksi sebelumnya, usaha produksi nonpertanian dilakukan di wilayah Wanaraya oleh sebagian besar petani pemilik modal. Untuk usaha transportasi klotok di Wanaraya, dari 65 klotok yang tersebar di empat desa (Kolam Kiri, Kolam Kanan, Sidomulyo, dan Kolam Makmur) 35 sebagian besar dikuasai oleh komunitas lokal, sedangkan usaha bengkel elektronik dan sepeda motor dikuasai oleh komunitas transmigran. Dari lima desa yang menjadi fokus penelitian ini, terdapat 2 bengkel sepeda motor dan 1 bengkel elektronik yang keseluruhannya dimiliki oleh komunitas transmigran. 35
Sumber data dari Kecamatan Wanaraya dalam Angka tahun 1997.
Tenaga kerja usaha transportasi klotok adalah laki-laki (suami atau anak laki-laki dewasa) yang bertindak sebagai pengusaha kolotok sekaligus sebagai “supir” klotok.
Terkadang tenaga kerja di luar keluarga inti komunitas
transmigran juga terlibat dalam usaha ini. Walaupun demikian, tenaga kerja dari luar keluarga inti ini didasarkan atas pertimbangan ikatan atau hubungan kekerabatan, seperti kemanakan suami atau istri pemilik klotok, adik atau saudara kandung pemilik klotok, dan sepupu sekali. Berbeda dengan usaha transportasi klotok, sebagian besar yang terlibat dalam usaha bengkel elektronik dan sepeda motor adalah anggota komunitas transmigran yang pernah mengikuti program pelatihan yang dilaksanakan oleh Departemen Sosial dan Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja serta belajar melalui lembaga pelatihan di ibu kota propinsi, Banjarmasin.
Meskipun
demikian, bukan berarti komunitas transmigran yang menggeluti perekonomian tersebut tidak mempunyai lahan persawahan, melainkan sebagian besar dari mereka adalah petani pemilik modal yang memberikan upahan kepada petani pemilik-penggarap untuk mengelola lahan pertanian mereka.
Sebagaimana
pengakuan yang diutarakan oleh Sunarno 36: “Saya mempunyai tanah seluas 6 ha yang masing-masing berasal dari pecahan KK seluas 2 ha dan 4 ha lainnya dibeli dari penduduk transmigran yang meninggalkan Wanaraya. Namun, sekarang hanya 2 hektar yang produktif untuk digarap sebagai lahan sawah dan kebun rambutan. Penggarapan lahan tersebut tidak saya lakukan sendiri, melainkan memberikan upah kepada petani yang mau menggarap lahan tersebut”. Usaha bengkel elektronik dan sepeda motor merupakan perwujudan kegiatan produksi berskala individu/rumahan. Dibandingkan usaha transportasi klotok, hadirnya usaha ini relatif masih muda, yaitu pada akhir tahun 90-an ketika listrik sudah masuk di desa-desa di Wanaraya dan infrastruktur jalan sudah memadai untuk pengendara sepeda motor. Umumnya, usaha ini berada disekitar pekarang rumah pemilik bengkel elektronik maupun sepeda motor yang pemiliknya ikut serta sebagai tenaga kerja dalam usaha ini, mereka yang terlibat
36
Sunarno adalah generasi kedua yang saat ini lebih memfokuskan pada pekerjaan di sektor jasa elektronik. Wawancarai dilakukan oleh penulis pada tanggal 10 Mei 2005 bertem-pat di kediaman beliau.
dalam tenaga kerja dari luar keluarga pemilik usaha direkrut berdasarkan keterampilan di bidang elektronik atau mesin (tergantung jenis usahanya). Beberapa usaha produksi yang telah diuraikan sebelumnya menunjukkan bahwa periode “surut” yang ditandai dengan semakin menurunnya kesuburan lahan bertekstur histosol (gambut berawa), dimana produksi padi yang hanya mencapai 5% (10–50 kaleng/ha) dari produksi optimal yang pernah dicapai keluarga komunitas transmigran pada periode “pasang”. Dengan demikian, disatu sisi krisis lahan bertekstur histosol menyebabkan kelangkaan dan kekurangan modal komunitas transmigran, namun pada sisi yang lain mendorong penyediaan teknologi yang memadai untuk melakukan usahatani sawah pasang surut. Kelangkaan modal dan tuntutan penyediaan teknologi mendorong anggota komunitas mencari modal dengan cara ke luar wilayah Wanaraya untuk bekerja sebagai tenaga kerja membatang dan sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan. Akan tetapi tidak semua usaha ini dapat dilakukan anggota komunitas transmigran sehingga mendorong perbedaan dalam kepemilikan modal. Modal yang didapatkan dari usaha membatang dan sebagai buruh pabrik atau bangunan diinvestasikan untuk membeli pupuk dan kapur yang kemudian dijual atau dipinjamkan kepada petani, membeli ternak sapi, mengusahakan sawah pasang surut, mengusahakan usahatani lainnya (seperti sayuran dan kacang tanah), dan usaha selain pertanian yang mempunyai nilai komersil. Namun bagi mereka –anggota komunitas transmigran– yang tidak mempunyai modal untuk mengusahakan lahan sawah pasang surut, modal dapat diperoleh dengan cara menjual tenaga kerja dan meminjam pupuk serta kapur kepada anggota komunitas transmigran yang mempunyai modal.
Dengan
demikian terjadi penyerapan surplus produksi ekonomi oleh anggota komunitas transmigran yang memiliki modal terhadap anggota komunitas transmigran yang tidak memiliki modal. Kondisi ini kemudian menyebabkan terbaginya struktur sosial komunitas transmigran ke dalam dua kelas sosial yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap.
Ikhtisar Sejarah komunitas transmigran di Wanaraya tidak lepas dari berbagai pertentangan (kontradiksi) semenjak kehadirannya di Wanaraya hingga saat ini. Sebelum penempatan para transmigran di Wanaraya, terdapat komunitas lokal yang beretnis Banjar melakukan usaha produksi behuma. Behuma yang berarti bertani padi dilakukan secara berpindah-pindah oleh komunitas lokal dari satu lahan ke lahan lainnya.
Dimungkinkannya bercocok tanam secara berpindah
tersebut disebabkan jumlah penduduk yang masih sedikit dan kondisi lahan bertekstur histosol (gambut berawa). Lahan yang diusahakan oleh komunitas lokal untuk behuma tersebut merupakan lahan komunal yang penguasaannya di bawah seorang Gusti sebagai pembekal desa bekerjasama dengan kepala padang yang bertugas membagikan lahan kepada keluarga komunitas lokal. Umumnya komunitas lokal membutuhkan lahan seluas 10 borong atau 1/3 hektar per tahun untuk behuma. Sebelum kegiatan behuma, komunitas lokal mengawali dengan kegiatan membatang atau menumbang pohon yang selanjutnya digunakan sebagai lahan behuma. Adapun yang terlibat dalam kegiatan produksi ini sepenuhnya laki-laki dari keluarga inti komunitas lokal. Kayu yang diperoleh dari membatang tersebut dijual ke pasar domestik dengan harga yang berkisar antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 15.000 per batang.
Surplus produksi
membatang sebanyak Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 per batang diserahkan kepada pembekal desa sebagai penguasa lahan di sekitar Wanaraya. Sementara itu, kegiatan behuma dilakukan sesuai dengan tahapannya, yaitu menugal, melacak, menanam, dan panen. Berlangsungnya empat tahap dalam kegiatan behuma ini merupakan pengalaman bertani komunitas lokal yang disesuaikan dengan kondisi alam yang didominasi oleh lahan gambut berawa. Behuma dilakukan oleh keluarga inti komunitas lokal yang di dalamnya terdapat distribusi (pembagian) tenaga kerja berdasarkan jenis kelamin. Umumnya lakilaki mendominasi tahap menugal disebabkan pada tahap ini membutuhkan fisik yang kuat, sedangkan perempuan mendominasi tahap panen.
Sementara itu,
keterlibatan laki-laki dan perempuan pada tahap menugal dan menanam. Surplus produksi sepenuhnya untuk kebutuh-an pangan keluarga, meskipun demikian sebanyak 5–10 kaleng padi setiap panen diserahkan kepada pembekal desa.
Penempatan para transmigran di Wanaraya pada tahun 1978 (periode “pasang”) menyebabkan perubahan pada infrastruktur (alam, teknologi, dan modal), kepemilikan lahan, dan organisasi produksi. Penguasaan lahan tidak lagi di bawah pembekal desa dan bersifat komunal, melainkan lahan disekitar Wanaraya dikuasai oleh pemerintah yang kemudian didistribusikan kepada keluarga komunitas transmigran masing-masing seluas 2 hektar. Kepemilikan lahan seluas 2 hektar tersebut menunjukkan sebagian besar komunitas transmigran adalah petani pemilik-penggarap.
Kondisi ini tidak jarang menyebabkan
terjadinya konflik antara komunitas lokal dengan komunitas transmigran. Dengan demikian perubahan kepemilikan lahan menyebabkan terhentinya kegiatan behuma sebagai cerminan teknologi ekstensif yang kemudian digantikan dengan usahatani sawah pasang surut yang lebih intensif. Teknologi irigasi yang ditandai dengan sungai sekunder (sungai kerukan) berperan penting sebagai drainasi persawahan komunitas transmigran yang ditanami jenis padi lokal dan padi unggul. Pengalaman bertani yang berbeda dengan daerah asal komunitas transmigran menyebabkan komunitas transmigran mengalami “krisis” dalam hal pengalam berproduksi pada lahan bergambut. Krisis yang terjadi ini, kemudian mendorong tidak sedikit anggota komunitas transmigran meninggalkan pemukiman baru mereka.
Akan tetapi mereka –
komunitas transmigran– yang bertahan berbekal pengalaman bertani dan belajar dari teknik bertani komunitas lokal memberikan kecakapan tersendiri dalam mengusahakan lahan gambut berawa tersebut. Kondisi ini kemudian mendorong perubahan permanen pada ke-kuatan produksi komunitas transmigran, seperti pengguna-an alat produksi (tajak, taju, varietas padi lokal/unggul, celurit untuk lahan persawahan dan pacul untuk lahan yang tidak digenangi air), pengalaman berproduksi, dan pembagian teknis kerja pada keluarga inti. Sementara itu, organisasi produksi usahatani sawah pasang surut berbasis keluarga inti di dalamnya terdapat distribusi tenaga kerja. Distribusi tenaga kerja ini seperti halnya dengan behuma, namun perbedaannya terletak pada keterlibatan sudah melibatkan tenaga kerja di luar keluarga inti. Keterlibatan tenaga kerja tersebut melalui pertukaran tenaga kerja berbasis tolong menolong antara sesama anggota komunitas transmigran dengan kepentingan yang sama, yaitu kebutuhan
akan tenaga kerja tambahan. Pada periode “pasang” lahan sawah pasang surut dapat memproduksi padi sebnyak 200–300 kaleng/ha dan surplus produksinya diperuntukkan bagi kebutuhan pangan keluarga dan dijual kepada pedagang pengumpul, dimana 70–100 kaleng/ha disimpan untuk kebutuhan pangan dan selebihnya 100 kaleng dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga lainnya, seperti membeli baju, minyak tanah, minyak kelapa, sabun, perabot rumah tangga, teh, kopi, dan gula Kesuburan lahan marjinal (gambut berawa) atau krisis lahan menandai periode “surut”, dimana lahan sawah pasang surut hanya mampu memproduksi padi 5% dari produksi optimal yang pernah dicapai (rata-rata 50 kaleng/ha). Kondisi ini pada satu sisi menyebabkan diperlukan penetrasi teknologi yang memadai untuk mengembalikan kesuburan lahan dan pada sisi yang lain terjadi kelangkaan modal keluarga komunitas transmigran untuk memenuhi penyediaan teknologi tersebut.
Kelangkaan modal ini ditempuh komunitas transmigran
dengan cara membatang dan sebagai buruh pabrik atau bangunan di luar wilayah Wanaraya, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Banjarmasin, dan Banjarbaru. Meskipun demikian tidak semua keluarga komunitas transmigran ternyata mampu melakukan hal yang sama tersebut. Oleh karena itu perbedaan dalam usaha mencari modal tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan kepemilikan modal antar keluarga komunitas transmigran.
Mereka –keluarga komunitas transmigran– yang tidak mampu
memperoleh modal dari luar Wilayah Wanaraya mengupahkan atau menyewakan tenaga kerjanya untuk mendapatkan modal agar usahatani sawah pasang surut sebagai penyedia kebutuhan subsisten keluarga tetap terjaga. Dengan demikian pada periode “surut” komunitas transmigran terstruktur ke dalam dua kelas sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Hadirnya dua struktur kelas tersebut, mendorong perbedaan dalam usaha produksi. Untuk usahatani sawah pasang surut dengan jenis padi unggul, usaha ternak sapi, usahatani sayuran, perdagangan, dan jasa yang mempunyai nilai-tukar (exchange value) sebagian besar didominasi oleh petani pemilik modal, sedangkan komoditas yang mempunyai nilai-guna (sawah pasang surut jenis padi lokal dan komoditas umbi-umbian) dilakukan oleh mereka yang tergolong ke
dalam kelas sosial petani pemilik-penggarap.
Mereka –kelas petani pemilik
modal– mendominasi usaha produksi yang mempunyai nilai-tukar dikarenakan kemampuan menyediakan modal dan teknologi dalam pengusahaan usaha produksi tersebut dan tidak jarang menyerap surplus produksi berupa tenaga kerja dan penyediaan teknologi kepada petani pemilik-penggarap.
MODA PRODUKSI SUBSISTEN
Merujuk penelitian yang dilakukan oleh Kahn di Minangkabau bahwa moda produksi subsisten menghasilkan padi untuk pemenuhan subsistensi atau dengan kata lain dalam pemikiran Marx bahwa moda produksi subsistensi ini menghasilkan barang yang memiliki “nilai-pakai” atau use-value (Sitorus 1999). Untuk kasus penelitian komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan moda produksi subsistensi berlangsung pada periode behuma sebelum tahun 1978 yang ditandai dengan kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya. Pada bagian sebelumnya telah dikemukkan bahwa sejarah usaha produksi komunitas transmigran tidak lepas dari usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas lokal yang sudah ada sebelum komunitas transmigran menempati wilayah Wanaraya sebagai daerah tujuan. Untuk itu, komoditas padi melalui behuma merupakan komoditas yang mencirikan moda produksi subsisten berlangsung sepanjang periode behuma.
Sebagaimana telah diuraikan pada
bagian terdahulu bahwa usaha produksi behuma yang dilakukan oleh keluarga komunitas lokal sebagai petani penggarap merupakan cerminan teknologi ekstensif (berpindah-pindah) dari satu lahan ke lahan berikutnya. Ini dimungkinkan karena masih tersedianya hutan tropis yang dapat dijadikan sebagai lahan produksi behuma dan kepadatan penduduk yang relatif sedikit. Tahap produksi behuma dibagi ke dalam 4 tahap, yaitu menugal (Oktober sampai dengan Desember), melacak (Desember sampai dengan Maret), menanam (April), dan panen (Agustus atau September). Selanjutnya lahan yang digunakan untuk melakukan usaha produksi behuma adalah lahan yang kepemilikannya bersifat komunal di bawah penguasaan seorang Gusti sekaligus sebagai pembekal desa. Mereka keluarga komunitas lokal –yang akan menggunakan lahan tersebut diwajibkan melapor kepada pembekal desa dan selanjutnya pembekal desa menunjuk kepala padang untuk membagikan lahan kepada petani penggarap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masingmasing mereka dalam pengusahaannya. Setelah pembagian lahan diperoleh, terlebih dahulu dilakukan kegiatan membatang (menebang kayu) di hutan tropis Wanaraya dengan tujuan untuk menyediakan lahan produksi behuma tersebut.
Kegiatan produksi membatang ini secara tidak langsung berkaitan dengan kepemilikan lahan komunal, dimana menurut catatan Levang 37 tentang kepemilikan lahan komunal di daerah Kalimantan Selatan bahwa hak milik penuh penebang tidak dapat diwariskan dan hanya dapat digunakan untuk perladangan berpindah. Rata-rata lahan yang digunakan untuk kegiatan produksi membatang oleh komu-nitas lokal seluas 10 borong (1/3 hektar) per tahunnya yang disesuaikan dengan kemampuan menggarap lahan untuk usaha produksi behuma. Berbeda dengan tahap behuma sebelumnya, komunitas lokal mengenal empat tahap dalam membatang, terdiri dari: (1) menumbang kayu (menebang pohon) menggunakan parang yang beratnya 5–6 kg; (2) memotong kayu menjadi beberapa bagian dengan ukuran tertentu dengan alat produksi yang sama; (3) melarutkan kayu ke tepi sungai ulak dengan tali; dan (4) menjual hasil membatang ke pasar domestik dengan menggunakan klotok. Besarnya harga kayu yang dijual tersebut sangat tergantung dari jenisnya berkisar antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 15.000 per batang. Organisasi produksi membatang adalah keluarga inti yang dilakukan oleh laki-laki baik ayah maupun anak laki-laki yang sudah dewasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa organisasi produksi membatang didominasi oleh peran laki-laki terhadap perempuan. Berbeda dengan organisasi produksi membatang, peran laki-laki tidak lagi mendominsi dalam tahap behuma, melainkan telah terjadi distribusi (pembagian) tenaga kerja antara laki-kali dan perempuan dalam keluarga inti.
Adapun
distribusi tenaga kerja dalam keluarga inti tersebut, sebagai berikut: pada tahap menugal, tenaga kerja yang terlibat adalah ayah, ibu, dan biasanya dibantu oleh anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa dengan menggunakan teknologi padi bervarietas lokal (padi siam). Pada tahap lacak teknologi yang digunakan adalah tajak dengan tenaga kerja yang terlibat adalah ayah dan anak laki-laki dewasa.
Keterlibatan ayah dan anak laki-laki yang sudah dewasa
disebabkan tahap ini membutuhkan fisik atau tenaga yang relatif kuat. Sementara itu, pada tahap menanam menggunakan teknologi taju, padi lokal, dan parang dengan tenaga kerja yang terlibat antara lain ayah, ibu, anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa. Panen padi dari usaha produksi 37
Patrice Levang: Ayo ke Tanah Sabrang, Jakarta 2003, hal. 96.
behuma ini mencapai 67 kaleng per 10 borong (1/3 hektar) setiap tahunnya dengan tenaga kerja sebagian besar dilakukan oleh perempuan pada masingmasing KK komunitas lokal. Orientasi produksi dari dua usaha produksi (behuma dan membatang) di atas mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Usaha produksi behuma bagi komunitas lokal ditempatkan sebagai komoditas yang berorientasi pemenuhan kebutuhan subsisten atau nilai-guna (use-value), sedangkan kegiatan membatang selain pemenuhan bahan bakar dan bangunan rumah juga sebagai komoditas yang berorientasi pasar atau nilai tukar (exchange-value) untuk mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan, seperti membeli pakaian, gula, kopi, dan lain-lain. Pemenuhan kebutuhan subsisten sebagaimana orientasi produksi behuma menunjukkan bahwa surplus produksi behuma disamping untuk keluarga komunitas lokal itu sendiri, juga untuk untuk pembekal desa.
Terjadinya
penyerapan surplus produksi oleh pembekal desa sebanyak 5 kaleng sampai dengan 10 kaleng per sekali panen. Demikian pun dengan kegiatan produksi membatang, hasil penjualan kayu setiap keluarga komunitas transmigran dikenakan pajak oleh pembekal desa sebesar Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 per batang oleh pembekal desa. Artikulasi Usaha Produksi Behuma Untuk mengartikulasikan usaha produksi behuma dalam suatu formasi sosial terletak pada dua aspek, pertama, aspek kekuatan produksi (force of production) yang terdiri dari alat produksi, unit produksi, dan tenaga kerja utama; dan kedua, hubungan produksi (relation of production) yang terdiri dari batas sosial hubungan produksi, struktur hubungan produksi, dan sifat hubungan produksi (Kahn dalam Sitorus 1999: 142). Dua aspek di atas, kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis artikulasi usaha produksi behuma yang pernah hadir dalam kesejarahan Wanaraya (periode
behuma).
Alat
produksi
utama
behuma
adalah
lahan
yang
kepemilikannya bersifat komunal, dimana penguasaannya di bawah seorang Gusti atau pembekal desa. Sementara itu, alat produksi lainnya berupa teknologi tajak,
taju, parang, dan padi lokal adalah teknologi tradisional yang dimiliki oleh masing-masing keluarga anggota komunitas lokal yang mayoritas sebagai petani penggarap. Dengan demikian, akses atas tanah petani penggarap sepenuhnya dikuasai oleh pembekal desa, namun teknologi untuk melakukan kegiatan produksi behuma sepenuhnya dikuasai oleh petani penggarap. Perbedaan akses atas lahan antara petani penggarap dengan pembekal desa menyebabkan struktur hubungan produksi yang tercipta adalah struktur hubungan yang terhierarki antara pembekal desa sebagai penguasa tanah “patron” dengan petani penggarap sebagai “klien”.
Meskipun surplus produksi sepenuhnya
diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pemenuhan pangan keluarga, akan tetapi karena pembekal desa memonopoli penguasaan lahan sebagai alat produksi utama maka terjadi penyerapan penyerapan surplus produksi sebanyak 5 sampai dengan 10 kaleng padi per sekali panen oleh pembekal desa.
Kondisi ini
dikarenakan hubungan produksinya yang terhierarki sehingga cenderung bersifat eksploitatif. Tabel 12. Artikulasi Usaha Produksi Behuma. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Produksi Kekuatan Produksi
Struktur Hub. Produksi
Sifat Hub. Produksi
Alat produksi
Lahan atau tanah merupakan alat produksi utama yang dikuasai oleh pembekal desa, sedangkan teknologi produksi, seperti tajak, taju, parang, dan bibit varietas padi lokal dikuasai oleh petani penggarap.
Hierarki antara pembekal desa dan petani penggarap.
Cenderung eksploitatif karena surplus produksi sebanyak 5 – 10 kaleng padi/panen diserap oleh pembekal desa.
Organisasi (unit) produksi
Keluarga inti, namun terdapat distribusi antar sesama keluarga inti.
Terhierarki berdasarkan jenis kelamin di dalam keluarga inti.
Cenderung eksploitatif karena suplus produksi melalui tenaga kerja diserap oleh sebagian pembekal desa.
Tenaga kerja utama
Keluarga inti
-
-
Sementara itu, gejala “upanisasi” tenaga kerja pada usaha produksi behuma sama sekali tidak ditemukan karena tenaga kerja utama usaha produksi behuma sepenuhnya dilakukan keluarga inti sebagai organisasi (unit) produksi yang
sekaligus menunjukkan batas sosial hubungan produksinya. Walaupun demikian, di dalam keluarga inti terdapat distribusi tenaga kerja sesuai dengan tahap produksi behuma. Adapun distribusi tenaga kerja tersebut, sebagai berikut: (1) tahap menugal, dimana tenaga kerja yang terlibat adalah ayah, ibu, dan biasanya dibantu oleh anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa; (2) tahap melacak, tenaga kerja yang terlibat adalah ayah dan anak laki-laki dewasa; (3) tahap menanam, dimana tenaga kerja yang terlibat adalah ayah, ibu, anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa; dan (4) tahap panen, tenaga kerja yang terlibat sebagian besar perempuan pada masing-masing KK komunitas lokal. Meskipun organisasi produksi berbasis keluarga inti, yang mana terjadi penyerapan surplus produksi oleh keluarga inti, akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa surplus produksi juga diekstrak oleh pembekal desa. Dengan demikian, dapat dipastikan terdapat hierarki dalam struktur hubungan produksi yang juga berarti terjadi kecenderungan eksploitatif dalam hal tenaga kerja (uraikan singkat artikulasi usaha produksi behuma dapat dilihat pada Tabel 12). Artikulasi Kegiatan Produksi Membatang Seperti halnya dengan usaha produksi behuma yang dijelaskan di atas, alat produksi utama membatang adalah lahan disebabkan kegiatan produksi ini tidak dapat dipisahkan dengan tahap produksi behuma. Umumnya, kegiatan produksi membatang dilakukan pada lahan yang sama untuk produksi behuma, dimana petani penggarap sebelum memulai produksi behuma melakukan penebangan pohon sesuai kemampuan dan kebutuhan dalam pengusahaan lahan, yaitu seluas 10 borong atau 1/3 hektar. Seperti halnya behuma, akses atas lahan dikuasai oleh pembekal desa sedangkan alat produksi lainnya berupa teknologi pemotong (parang), tali, dan klotok dimiliki oleh masing-masing petani penggarap. Perbedaan akses atas lahan tersebut menyebabkan struktur hubungan produksi yang tercipta adalah struktur hubungan yang terhierarki antara pembekal desa sebagai penguasa tanah sebagai “patron” dengan petani penggarap sebagai “klien”. Berbeda dengan behuma, surplus produksi diorientasikan untuk dua hal yaitu bahan untuk membangun rumah sebagai penjelmaan nilai-guna (use-value) dan mendapatkan uang tunai (exchange-value). Uang tunai yang diperoleh dari
kegiatan produksi membatang tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan keluarga, seperti minyak kelapa, tembakau (rokok), sabun, dan baju. Oleh karena itu, usaha produksi memba-tang ini merupakan cerminan dari usaha yang berorientasi selain nilai guna, juga berorientasi nilai tukar. Penyerapan surplus produksi dilakukan oleh pembekal desa tetap ada, seperti halnya usaha produksi behuma. Besarnya surplus produksi yang diserap oleh pembekal desa tersebut adalah tiga ribu rupiah sampai dengan lima ribu rupiah per batang. Dengan demikian, hubungan produksi yang terhierarki dan terjadinya penyerapan surplus produksi oleh pembekal desa menyebabkan kegiatan produksi ini cenderung eksploitatif. Tabel 13. Artikulasi Usaha Produksi Membatang. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Struktur Hub. Produksi Produksi Kekuatan Produksi Alat produksi
Organisasi (unit) produksi
Tenaga kerja utama
Lahan atau tanah sebagai alat produksi utama yang dikuasai oleh pembekal desa, sedangkan teknologi produksi, seperti parang, tali, dan klotok dikuasai oleh petani penggarap. Keluarga inti, namun peran didominasi oleh laki-laki (ayah dan anak laki-laki yang sudah dewasa).
Keluarga inti
Sifat Hub. Produksi
Hierarki antara pembekal desa dan petani penggarap.
Cenderung eksploitatif karena surplus produksi sebanyak Rp. 3.000 – Rp. 5.000 /batang diserap oleh pembekal desa.
Terhierarki dalam keluarga inti yang didasarkan atas jenis kelamin.
Cenderung eksploitatif karena surplus produksi melalui tenaga kerja diekstrak oleh pembekal desa.
-
-
Organisasi (unit) produksi membatang adalah keluarga inti yang juga sebagai tenaga kerja utama. Jika dalam usaha produksi behuma terdapat distribusi tenaga kerja, namun pada membatang tenaga kerja didominasi oleh laki-laki (seperti ayah dan anak laki-laki dewasa) disebabkan dalam setiap tahap membatang dibutuhkan fisik yang kuat.
Oleh karena itu, struktur hubungan
produksi cenderung egaliter di dalam keluarga inti meskipun terhierarki berdasarkan jenis kelamin. Surplus produksi dari kegiatan produksi membatang
diekstrak oleh pembekal desa melalui tenaga kerja sehingga cenderung bersifat eksploitatif (uraian singkat artikulasi usaha produksi behuma dapat dilihat pada Tabel 13). Ikhtisar Artikulasi dari dua usaha produksi pada periode behuma yang telah diuraikan di atas merupakan cerminan dari berlangsungnya moda produksi subsisten di wilayah Wanaraya. Meskipun demikian, gejala surplus produksi oleh pembekal desa kepada petani penggarap – keluarga komunitas lokal – dan penjualan hasil membatang ke pasar domestik menunjukkan bentuk ekonomi komunitas transmigran di Wanaraya yang secara histori mendahului kemunculan produksi komersial maupun kapitalis. Ciri-ciri utama yang dapat dilihat dari artikulasi dua usaha produksi di atas adalah tenaga kerja utama berasal dari keluarga inti yang sekaligus sebagai organisasi (unit) produksi, kekuatan politik (pembekal desa) digunakan untuk menyerap surplus produksi yang diperoleh petani penggarap, dan belum terdapatnya tenaga kerja dalam bentuk upah. Dengan demikian, moda produksi subsisten yang berlangsung pada periode behuma di Wanaraya merupakan bentuk ekonomi yang sudah menampakkan gejala kemunculan komersil. Moda produksi seperti ini dalam bahasa Jary dan Jary (2000) disebut moda produksi pra-kapitalis, dimana bentuk ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis atau dapat dilihat dari kekuatan politik yang digunakan untuk mengekstrak surplus ekonomi, tidak merdeka, dan tidak didasarkan pada pekerja upah bebas.
MODA PRODUKSI KOMERSIL
Moda produksi komersil tampil semenjak tahun 1978 ketika hadirnya komunitas transmigran di Wanaraya. Definisi komunitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Sehubungan dengan itu, moda produksi komersil pada komunitas transmigran di Wanaraya dapat dilihat dari berlangsungnya sistem ekonomi yang diartikulasikan dalam bentuk usaha produksi. Usaha produksi komunitas transmigran di Wanaraya merujuk pada dua periode sebagaimana telah dijelaskan dibagian awal tulisan ini, yaitu periode “pasang” (1978–1983) dan periode “surut” (1978–1983). Pada periode “pasang” usaha produksi sawah pasang surut tampil sebagai usaha produksi yang dominan pada komunitas transmigran di Wanaraya, sedangkan periode “surut” usaha produksi yang dilakukan komunitas transmigran adalah usahatani lainnya (seperti sayuran dan kacang tanah), usaha ternak sapi, dan usaha produksi selain kedua usaha sebelumnya yaitu usaha transportasi klotok, usaha bengkel elektronik dan sepeda motor. Berkaitan dengan itu, moda produksi komersil adalah moda produksi yang menghasilkan komoditas untuk kepentingan pasar domestik (nilai tukar/exchangevalue). Moda produksi komersil “mirip” dengan moda produksi kapitalis, akan tetapi kedua moda produksi ini mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan mendasar tersebut adalah ciri dominan yang tampil pada moda produksi komersil, yaitu peranan modal relatif lemah, tenaga kerja umumnya berasal dari lingkungan luar keluarga/kerabat, dan organisasi produksinya relatif sederhana menunjuk pada organisasi produksi keluarga/ru-mah tangga (Kahn dalam Sitorus 1999). Walaupun demikian, menarik untuk dipertanyakan adalah apakah komoditas komersil selamanya ditujukan untuk kepentingan pasar domestik? Ataukah dapat pula ditujukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan keluarga (nilai-guna)?
Dengan merujuk pada kasus pilihan studi, dua pertanyaan tersebut akan diuraikan pada bagian ini. Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut Meskipun cerita tentang kegagalan program transmigrasi seringkali kita dengarkan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa program transmigran telah berhasil memberikan akses kepemilikan lahan kepada mereka –petani– yang dulunya sebagai buruh tani atau tunakisma di daerah asalnya. 38 Berkaitan dengan itu, akses terhadap tanah/lahan diperoleh komunitas transmigran Wanaraya melalui pembagian lahan oleh pemerintah masing-masing seluas 2 hektar per Kepala Keluarga (KK).
Pembagian dua hektar lahan tersebut diperuntukkan
sebagai lahan pekarangan seluas 1 hektar (lahan 1) dan selebihnya sebagai lahan persawahan (lahan 2). Dengan demikian terjadi perubahan dalam hal kepemilikan lahan di Wanaraya, dimana pada periode behuma kepemilikan lahan bersifat komunal di bawah penguasaan pembekal desa, namun sebaliknya semenjak periode “pasang” kepemilikan lahan berbasis keluarga. Mereka yang mendapatkan lahan tersebut merupakan transmigrasi yang tergolong generasi ayah yang kepemilikan lahannya dapat ditransfer kepada generasi anak. Transfer hak milik atas tanah tersebut diberikan sesuai dengan sistem paternalisme yang dianut oleh sebagian besar komunitas transmigran, dimana keturunan laki-laki yang sudah menikah diberikan lahan seluas 1 ha. Pemberian tanah seluas satu hektar tersebut ditujukan sebagai bekal anak laki-laki ketika membentuk keluarga baru yang lepas dari ketergantungan orang tua. Perihal penjelasan di atas menunjukkan bahwa alat produksi utama usahatani sawah pasang surut adalah lahan atau tanah. Dikarenakan masingmasing keluarga komunitas transmigran di Wanaraya mendapatkan lahan seluas 2 hektar, maka dipastikan belum terdapatnya hierarki struktur kepemilikan lahan yang berbeda antara sesama komunitas transmigran sehingga tidak memungkinkan terjadinya penyerapan surplus produksi antar anggota komunitas 38
Berdasarkan Unit Pemukiman Teknis (UPT) terdapat 54% sampai 66% transmigran yang sama sekali tidak mempunyai lahan di daerah asalnya. Mereka –para transmigran– yang memiliki lahan di daerah asalnya rata-rata 25 are dan jarang mencapai 50 are dengan jenis lahan kering yang tanpa irigasi (Levang 2003: 65). Berkaitan dengan itu, rata-rata responden dalam penelitian ini mengaku bahwa di daerah asalnya mereka hanya memiliki lahan 0,25 – 0,5 hektar.
transmigran. Demikian pun dengan penguasaan teknologi sawah pasang surut sepenuhnya oleh keluarga komunitas transmigran yang mana penggunaanya sangat tergantung dari tahap produksi.
Pada tahap nugal, teknologi yang
digunakan berasal bibit padi lokal (padi siam) dan padi unggul (IR6) yang diproduksi sendiri oleh komunitas transmigran. Untuk tahap melacak teknologi yang digunakan adalah tajak dan parang, sedangkan tahap menanam mengunakan taju dan parang serta ani-ani dan sabit (celurit) merupakan teknologi saat panen. Sementara itu, tenaga kerja utama usahatani sawah pasang surut adalah keluarga inti yang merupakan organisasi (unit) produksi sekaligus unit konsumsi dalam usahatani tersebut. Walaupun demikian, terdapat distribusi tenaga kerja yang berdasarkan jenis kelamin, dimana tahap produksi melacak dan menanam yang dianggap berat dikerjakan oleh laki-laki (ayah dan anak laki-laki dewasa). Sebaliknya, perempuan (ibu dan anak perempuan dewasa) sebagian besar terlibat dalam tahap produksi menugal dan panen yang dianggap ringan.
Gambar 6. Distribusi Tenaga Kerja dalam Keluarga Inti saat Tahap Menanam pada Usahatani Sawah Pasang Surut.
Meskipun demikian, bukan berarti tenaga kerja tambahan di luar keluarga inti tidak diperlukan. Beratnya penggarapan lahan persawahan pasang surut, seringkali menyebabkan tenaga kerja yang berasal dari keluarga inti tidak mampu menyelesaikan proses produksi sawah pasang surut sehingga timbul kesadaran antar sesama anggota komunitas transmigran untuk saling menukarkan tenaga
kerjanya. Pertukaran tenaga kerja tersebut, diorganisasi melalui kelompok yang terbentuk secara non-formal berdasarkan kebutuhan atau kepentingan yang sama antar anggota komunitas transmigran dan institusi arisan dan yasinan sebagai media berlangsungnya pertukaran tenaga kerja. Umumnya pertukaran tenaga kerja tersebut dilakukan pada tahap melacak, dimana tenaga kerja yang terlibat di dalamnya sebanyak 10 orang yang dapat menyelesaikan penggarapan lahan seluas 1 hektar lahan dalam waktu 5 hari. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa semakin banyak jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam tahap melacak, maka semakin cepat penyelesaian tahap lacak. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tahap melacak membutuhkan waktu 1–2 bulan lamanya. 39 Walaupun demikian, pertukaran tenaga kerja tidak selamanya selalu dengan orang yang sama dalam satu kelompok. Dengan demikian, jika terdapat sepuluh orang yang berkelompok tersebut telah membangun kesepakatan, namun dalam perjalanannya satu orang diantaranya sakit atau mempunyai kepentingan yang mendesak dan tidak dapat ikut dalam penggarapan pada lahan berikutnya, maka bisa digantikan dengan orang lain yang ditunjuk langsung oleh anggota kelompok yang sakit atau mempunyai kepentingan tersebut. Disebabkan kepentingan kebutuhan tenaga kerja tambahan sebagai basis pertukaran tenaga kerja dan bergantinya orang yang terlibat selama pertukaran tenaga kerja menyebabkan tidak semua petani ikut bergabung atau membentuk kelompok pertukaran tenaga kerja tersebut. Salah satu alasan keengganan petani untuk bergabung dalam kelompok pertukaran tenaga kerja karena tidak semua anggota kelompok yang terlibat dalam pertukaran tenaga tersebut ikut serta lagi dalam penggarapan lahan berikutnya. Terjadinya pertukaran tenaga kerja tersebut mempunyai keuntungan bagi anggota komunitas transmigran, dimana persoalan 39
Proses pertukaran tenaga kerja pada tahap melacak dapat dicontohkan sebagai berikut: apabila terdapat tenaga kerja terdiri 10 orang, maka antar sesama mereka (anggota komunitas) menentukan kesepakatan untuk memulai penggarapan lahan. Setelah kesepakatan diperoleh, kemudian penggarapan lahan dimulai pada lahan pemilik I, kemudian berpindah ke lahan pemilik II, dan seterusnya sampai lahan pemilik X selesai. Biasanya, waktu yang dibutuhkan dengan tenaga kerja sebanyak 10 orang tersebut adalah kurang lebih 5 hari per pemilik lahan (seluas 1 ha), sehingga total waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penggarapan lahan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 10 orang sebanyak 50 hari (1,5 bulan) atau terkadang lebih. Dalam tahap melacak setiap tuan rumah (pemilik yang digarap lahannya) berkewajiban menyediakan konsumsi (makan siang dan kue) untuk tenaga kerja tersebut.
tenaga kerja dapat diatasi dengan sendirinya tanpa mengeluarkan biaya atau upah yang dialokasikan untuk tenaga kerja. Meskipun demikian, bukan berarti anggota komunitas transmigran yang mendapat giliran penggarapan lahannya tidak mengeluarkan biaya sedikit pun, akan tetapi biaya tetap dikeluarkan untuk keperluan konsumsi pekerja, seperti makan siang, minuman kopi/teh, kue, dan rokok. Adapun mereka yang terlibat dalam pertukaran tenaga kerja pada tahap melacak lebih didominasi oleh laki-laki disebabkan pada tahap ini dibutuhkan kondisi fisik atau tenaga yang kuat. Khusus untuk kegiatan panen padi, tenaga kerja yang terlibat dalam tahapan ini adalah perempuan. Berbeda dengan pertukaran tenaga kerja yang telah diuraikan di atas, tenaga kerja yang terlibat pada tahap panen lebih didasarkan atas panggilan dari ibu (istri) dari petani pemilik-penggarap. Mereka –tenaga kerja panen– yang dipanggil oleh istri dari petani pemilik-penggarap tersebut, umumnya mempunyai ikatan dari daerah asal yang sama dengan istri petani pemilik-penggarap tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti laki-laki sama sekali tidak terlibat dalam tahap panen, akan tetapi panggilan sebagaimana yang dimaksud tersebut juga ditujukan kepada suami dari istri yang dipanggil. Selanjutnya mereka –tenaga kerja– yang terlibat pada tahap panen ini diberi upah setelah berlangsungnya panen. Adapun upah tenaga kerja yang diberi tersebut bukan dalam wujud uang (monetisasi), melainkan dalam bentuk padi yang beragam mulai dari 1 sampai 5 kaleng per orang oleh petani pemilikpenggarap. Adapun jumlah tenaga kerja di luar keluarga inti yang terlibat selama berlangsungnya tahap panen padi berkisar antara 3–5 orang per hektar termasuk istri pemilik lahan. Dua organisasi produksi sebagaimana telah dijelaskan di atas menunjukkan ciri khas dari struktur hubungan produksi usahatani sawah pasang surut pada periode “pasang”. Untuk pertukaran tenaga kerja yang umumnya berlangsung pada tahap melacak menunjukkan struktur hubungan produksinya yang belum terhierarki atau tidak terdapat “majikan” yang memberikan upah atau sewa kepada “buruh” yang menjual atau menyewakan tenaga kerjanya. Sedangkan pertukaran tenaga kerja pada tahap panen padi menunjukkan struktur hubungan produksinya
berbasis upah atau terdapat gejala pseudo-hierarki yang cenderung eksploitatif antara pemilik usaha produksi dengan tenaga kerja yang terlibat. Selanjutnya periode “pasang” yang ditandai dengan kesuburan lahan histosol yang belum berkurang memberikan produksi padi yang dapat mencapai 200–300 kaleng/ha. Dari produksi padi ini, setiap KK komunitas transmigran menyimpan sebanyak 70–100 kaleng atau 1/3 dari produksi untuk konsumsi pangan (subsisten) keluarga per tahunnya, dan selebihnya 2/3 dari produksi dijual ke pedagang pengumpul. Banyaknya surplus produksi yang dijual dibandingkan untuk konsumsi pangan keluarga tersebut menunjukkan orientasi padi bagi komunitas transmigran adalah komersil yang kemudian dapat diartikulasikan sebagai moda produksi komersil.40 Selain itu, kedatangan komunitas transmigran di Wanaraya yang disertai dengan pembagian lahan seluas 2 hektar (1 hektar lahan persawahan dan 1 hektar lahan pekarangan), tidak lain menunjukkan artikulasi penyeragaman usaha produksi, yaitu usahatani sawah pasang surut.
Setidaknya pada aras makro,
kondisi seperti ini berlangsung pada tahun 70-an dan 80-an dimana dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Soeharto yang berorientasi swasembada beras. Akibat dari kebijakan tersebut, maka mendapatkan uang tunai dengan terus menerus bagi komunitas transmigran hanya dapat dilakukan melalui penjualan beras. Uang tunai yang diperoleh dari penjualan beras tersebut, selanjutnya diperuntukkan membeli kebutuhan-kebutuhan keluarga lainnya, seperti sabun, gula, kopi, minyak goreng, garam, teh, rokok, perabot rumah tangga, dan pakaian. Selain itu, uang tunai yang diperoleh tersebut juga diperuntukkan untuk membeli alat produksi usahatani sebagai investasi, seperti tajak, taju, parang, dan lain sebagainya. Uraian yang dikemukakan di atas menunjukkan arti penting beras dilihat dari fungsi ekonominya sebagai konsumsi pangan (subsisten) dan bahan untuk mendapatkan kebutuhan keluarga lainnya, serta investasi pada usahatani sawah pasang surut. Walaupun demikian, arti penting beras tidak hanya sebatas fungsi ekonomi saja, melainkan mempunyai fungsi sosial dan religi antar sesama
40
Bandingkan dengan temuan Sitorus (1999: 130) pada masyarakat Balige yang menunjukkan bahwa mereka –masyarakat Balige– yang mayoritas tergolong petani kecil melakukan penjualan padi yang diperoleh dari surplus produksi diutamakan untuk kepentingan pemenuhan subsisten (konsumsi pangan), bukan untuk kepentingan komersil (dijual).
komunitas transmigran.
Kondisi ini dapat digambarkan melalui peristiwa
syukuran anggota komunitas transmigran dan pembangunan tempat ibadah (masjid). Sebagai misal, jika seorang keluarga komunitas melaksanakan “aqiqah anak” sebagai wujud syukur kepada Tuhan, maka keluarga tersebut mengundang keluarga lain sesama komunitas transmigran. Sebagai wujud solidaritas antar sesama komunitas transmigran tersebut, keluarga yang diundang biasanya membawa beras, demikian pun sebaliknya. Tabel 14. Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Struktur Hub. Produksi Produksi Kekuatan Produksi Alat produksi
Organisasi (unit) produksi
Tenaga kerja utama
Lahan atau tanah dikuasai oleh masing-masing keluarga komunitas transmigran, sedangkan teknologi produksi disesuaikan dengan tahap produksi yang dikuasai oleh petani pemilik-penggarap. à Keluarga inti, dimana terdapat distribusi tenaga kerja (TK) sesuai tahap produksi (pada melacak TK yang terlibat didominasi laki-laki dan tahap panen didominasi perempuan); à Keterlibatan TK di luar keluarga inti melalui pertukaran TK. Pertukaran TK pada melacak berbasis kepentingan keburuhan TK, sedangkan pertukaran TK pada panen berbasis upah dalam bentuk padi sebanyak 1 – 3 kaleng. Keluarga inti dan tenaga di luar keluarga inti.
Sifat Hub. Produksi
Tidak terdapat hierarki.
Non-eksploitatif karena belum terdapat penyerapan surplus produksi.
Untuk TK keluarga inti dan pertukaran TK pada tahap lacak struktur hub. produksinya belum terhierarki (egaliter). Sedangkan struktur hub. produksi pertukaran TK pada tahap penen menunjukkan pseudo-hierarki.
Non-eksploitatif karena suplus produksi sepenuhnya untuk kebutuhan pangan keluarga. Sekaligus menunjukkan gejala kecenderungan eksploitatif.
-
-
Setidaknya, peristiwa tersebut memberikan artikulasi bahwa selain fungsi ekonomi, beras mempunyai nilai tukar dalam fungsi sosial. Demikian pun dengan aktivitas agama (religi), padi/beras merupakan usahatani yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan usahatani lainnya. Setiap pembangunan tempat ibadah
(masjid), sumbangan yang diberikan oleh komunitas transmigran senatiasa diberikan dalam bentuk padi/beras kepada panitia penyelenggara pembangunan masjid tersebut (secara singkat artikulasi usahatani sawah pasang surut dapat dilihat pada Tabel 14). Artikulasi Usahatani Sayuran dan Kacang Tanah Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa usahatani sayuran dan kacang tanah merupakan komoditas yang diproduksi pada periode “surut” oleh keluarga komunitas transmigran di Wanaraya.
Dua komoditas tersebut
menunjukkan struktur kelas dalam pengusahaannya, dimana diproduksi oleh mereka –komunitas transmigran– yang tergolong petani pemilik modal. Selanjutnya pengusahaan dua komoditas tersebut disebabkan oleh besarnya modal yang dikeluarkan untuk memproduksi komoditas tersebut.
Untuk komoditas
sayuran dan kacang tanah membutuhkan modal sebesar Rp. 400.000 sampai Rp. 500.000 per siklus produksi (belum termasuk upah tenaga kerja). Modal tersebut diperlukan untuk membeli pupuk yang diperuntukkan menambah kesuburan lahan bertekstur histosol. Dengan demikian, alat produksi utama usahatani sayuran dan kacang tanah ini adalah modal. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa modal sebagai alat produksi utama bukan lahan atau tanah untuk dua komoditas tersebut? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan argumentasi bahwa pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya baik kelas petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap masingmasing mempunyai lahan minimal seluas 2 hektar sehingga lahan bukan sebagai alat produksi utama dalam usahatani sayuran dan kacang tanah. Oleh karena itu, perbedaan
kepemilikan
modal
kemudian
mendorong
perbedaan
dalam
kemampuan akses terhadap teknologi, dimana petani pemilik modal dengan modal yang dimiliknya lebih mampu mengakses teknologi dibandingkan petani pemilik-penggarap. Atau dengan kata lain terdapat kesenjangan akses teknologi antara kedua kelas sosial tersebut.
Adapun teknologi usahatani sayuran dan
kacang tanah adalah pupuk urea, SP36, KCl, dan pupuk kandang. Organisasi (unit) produksi komoditas sayuran dan kacang tanah adalah keluarga komunitas transmigran yang memiliki modal. Sementara itu, mereka –
petani pemilik-penggarap– yang tidak mempunyai modal cenderung sebagai tenaga kerja dalam proses produksi komoditas sayuran dan kacang tanah yang didominasi oleh petani pemilik modal sehingga struktur hubungan produksi yang terbentuk adalah petani pemilik modal sebagai penguasa teknologi (majikan) dan petani pemilik-penggarap sebagai tenaga kerja (buruh). Adapun upah atau sewa yang diberikan oleh petani pemilik modal kepada petani pemilik-penggarap yang bertindak sebagai tenaga kerja sebesar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 15.000 per kepala per hari kerja yang dimulai dari jam 08.00 – 15.00 WITA. Tabel 15. Artikulasi Usahatani Sayuran dan Kacang Tanah. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Struktur Hub. Produksi Produksi Kekuatan Produksi Alat produksi
Modal digunakan untuk menyediakan teknologi (pupuk urea, SP36, KCl, dan pupuk kandang).
Organisasi (unit) produksi
Keluarga dalam hal ini petani pemilik modal. TK di luar keluarga inti direkrut melalui sistem upah/sewa.
Tenaga kerja utama
Tenaga kerja (TK) di “Majikan” dan luar keluarga inti “buruh”
Petani pemilik modal sebagai kelas yang mampu mengakses teknologi, sedangkan petani pemilik-penggarap sebagai kelas yang memp. tidak akses terhadap teknologi Petani pemilik modal sebagai “majikan” dan petani pemilikpenggarap sebagai “buruh”
Sifat Hub. Produksi Terdapat kesenjangan terhadap akses teknologi.
Petani pemilik modal mengupah TK petani pemilikpenggarap sebesar Rp. 12.000 s/d Rp. Rp. 15.000 Eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal melalui TK.
Upah atau sewa tenaga kerja ini tergantung kesepakatan antara petani pemilik modal dengan petani pemilik-penggarap, jika saja petani pemilikpenggarap sepakat dengan upah sebesar Rp. 12.000 per hari, maka ia berhak mendapatkan konsumsi berupa makan siang dan kue. Sementara itu, jika petani pemilik-penggarap sepakat dengan upah sebesar Rp. 15.000 per hari, maka petani pemilik modal tidak akan memberikan konsumsi sama sekali dan ini berarti
konsumsi (makan siang) ditanggung sendiri oleh petani pemilik-penggarap tersebut. Meskipun upah tenaga kerja umumnya berkisar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 15.000, akan tetapi terdapat pula petani pemilik modal yang memberikan upah hingga Rp. 20.000 per hari.
Dalam kondisi seperti ini, dimungkinkan
bekerjanya sistem pasar dalam tenaga kerja dimana adanya penawaran dan permintaan (suplay–demand) tenaga kerja antara petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Disatu sisi petani pemilik-penggarap menyodorkan tenaga kerjanya kepada petani pemilik modal untuk menggarap lahan tersebut, dan disisi lain petani pemilik modal menawar upah ke petani pemilik-penggarap. Sebagaimana informasi yang peneliti peroleh dari Nono sebagai petani pemilik modal. “Nono termasuk transmigran yang sukses menurut sebagian besar penduduk di Wanaraya. Kesuksesan Nono dimata transmigran lainnya dilihat dari fisik rumah, mobil yang dimiliki, dan jumlah ternak sapi yang melebihi 5 ekor. Dalam kasus ini, Nono sebagai petani pemilik modal yang tidak menggarap lahannya, melainkan mengupahkan kepada petani pemilik-penggarap bernama Rakimin. Berkaitan dengan petani pemilikpenggarap, Nono mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu Rakimin menawarkan tenaganya untuk mengelola lahan yang dimilikinya. Menurut Nono bahwa Rakimin sudah lama sebagai petani yang diupah di lahan miliknya. Biasanya Nono memberikan upah ke Rakimin sebesar Rp. 20.000,00/hari yang berbeda dengan pemberian upah dari orang lain sehingga Rakimin betah menggarap lahan milik Nono”. Urian di atas menunjukkan bahwa struktur hubungan produksi yang tercipta adalah hierarki antara “majikan” dan “buruh”. “Majikan” diwakili oleh petani pemilik modal yang mempunyai modal untuk mengupah “buruh” yang diwakili oleh petani pemilik-penggarap. Dengan demikian, hubungan produksi bersifat eksploitasi dimana penyerapan surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal terhadap petani pemilik-penggarap yang menyewakan tenaga kerjanya.
Artikulasi Usaha Ternak Sapi
Usaha ternak sapi sudah tampil semenjak periode “pasang” yang berasal dari bantuan pemerintah. Meskipun demikian, usaha yang organisasi produksinya berbasis keluarga ini lebih berkembang pada periode “surut”.
Perbedaan
pengusahaan komoditas sapi oleh komunitas transmigran pada dua periode tersebut dapat dilihat dalam hal kepemilikan ternak dan tenaga kerja yang terlibat. Pada periode “pasang” kepemilikan ternak dikuasai oleh petani pemilikpenggarap yang berarti tenaga kerja utamanya berasal dari keluarga inti tersebut. Dengan demikian, merujuk pada tenaga kerja utama komoditas tersebut berarti organisasi produksinya berbasis keluarga inti. Distribusi tenaga kerja dalam keluarga inti didasarkan atas kegiatan pengusahaan komoditas ini, seperti dalam penyediaan hijauan pakan ternak dilakukan oleh ayah atau anak laki-laki yang dewasa, sedangkan ibu dan anak perempuan dewasa menyediakan air minum untuk ternak sapi tersebut. Hasil yang diperoleh diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga lainnya, seperti: membeli generator, membeli TV dan radio, membangun rumah, menyekolahkan anak, dan lain sebagainya. Walaupun pada periode “pasang” komoditas ini sudah berorientasi komersil (nilai tukar), namun belum terlibatnya tenaga kerja di luar keluarga inti menunjukkan struktur hubungan produksinya bersifat egaliter dimana seluruh surplus produksinya diserap oleh keluarga inti tersebut. Berbeda dengan periode “pasang”, terbentuknya dua struktur kelas sosial komunitas transmigran menyebabkan kepemilikan ternak pada periode “surut” lebih didominasi oleh petani pemilik pemodal.
Didominasinya kepemilikan
ternak oleh petani pemilik modal tersebut menunjukkan keterlibatan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga inti. Adapun organisasi (unit) produksi sebagai perwujudan hubungan produksi dapat dilihat berlangsungnya sistem gaduhan ternak dan sistem persentasi. Alat produksi utama dalam usaha ternak sapi ini adalah jumlah kepemilikan ternak.
Sementara itu, teknologi yang digunakan
berupa kandang ternak disekitar pemukiman (berada dibelakang atau disamping rumah) anggota komunitas transmigran, tali nilon untuk mengikat sapi, Inseminasi Buatan (IB) untuk reproduksi tenak sapi, obat-obatan untuk kesehatan ternak.
Untuk dua teknologi terakhir disediakan oleh tenaga teknis sebagai perpanjangan tangan pemerintah atau Dinas Peternakan. Pada sistem gaduhan ternak terdapat kesepakatan antara petani pemilik modal dengan petani pemilik-penggarap, dimana petani pemilik modal menyediakan ternak sapi, sedangkan petani pemilik-penggarap
menyediakan
kandang, memberi pakan dan minum, melakukan pengasapan pada malam hari, memelihara dan menjaga kesehatan ternak, serta melakukan kontrol masa birahi ternak.
Selain kesepakatan tersebut, sistem gaduhan yang berlangsung juga
tergantung dari umur sapi yang digaduh.
Gambar 7. Usaha Produksi Ternak Sapi Komunitas Transmigran di Wanaraya.
Jika yang digaduh oleh petani pemilik-penggarap adalah sapi dara (sapi yang belum pernah beranak), maka pola pembagian yang berlaku adalah pembagian anak, dimana tahun pertama (siklus beranak pertama) anak yang diperoleh diperuntukkan kepada petani pemilik modal sebagai pemilik ternak, kemudian siklus beranak kedua diperuntukkan kepada penggaduh (petani pemilikpenggarap). Kondisi tersebut berbeda dengan ternak sapi yang sudah pernah beranak, dimana pola pembagiannya didasarkan atas harga anak sapi yang diperoleh dari induk yang digaduh oleh petani pemilik-penggarap tersebut. Pola pembagiannya adalah “satu-satu”, artinya keuntungan yang diperoleh dari penjualan sapi dibagi sama antara petani pemilik modal dengan petani pemilikpenggarap. Meskipun terdapat kesepakatan sebagaimana diuraikan sebelumnya,
akan tetapi keterlibatan pihak di luar keluarga inti menunjukkan batas sosial usaha ternak terdiri dari keluarga (pemilik ternak) dan orang di luar keluarga inti (penggaduh ternak). Tabel 16. Artikulasi Usaha Ternak Sapi. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Produksi Kekuatan Produksi
Struktur Hub. Produksi
Alat produksi
Alat produksi utama adalah kepemilikan ternak. Teknologi yang digunakan antara lain: kandang ternak, IB, tali nilon, dan obat-obatan.
Petani pemilik modal sebagai “majikan ternak” dan petani pemilikpenggarap sebagai “buruh ternak”
Organisasi (unit) produksi
Keluarga komunitas transmigran. Dinamika organisasi produksinya dapat dilihat dari berlangsungnya sistem gaduhan dan sistem persentasi.
Petani pemilik modal sebagai “majikan ternak” dan petani pemilikpenggarap sebagai “buruh ternak”
Tenaga kerja utama
Keluarga inti dan tenaga kerja di luar keluarga inti.
-
Sifat Hub. Produksi à Dalam sistem gaduhan “buruh ternak” tereksploitasi oleh “majikan ternak” à Dalam sistem persentasi “buruh ternak” teralienasi untuk mengakses kepemilikan ternak. Terjadinya surplus produksi bertingkat menyebabkan “buruh ternak” sebagai sasaran kelas yang tereksploitatif
-
Kondisi seperti ini merujuk pada struktur hubungan produksi yang hierarki antara pemilik ternak dan penggaduh ternak atau “majikan ternak” dan “buruh ternak” yang berarti terjadinya eksploitasi dimana surplus produksi sepenuhnya diserap oleh pemilik ternak dalam bentuk tenaga kerja. Sementara itu, sistem persentasi ternak hanya berlangsung untuk kelas petani pemilik modal dengan pemerintah. Sistem ini berlangsung dengan cara petani pemilik modal diberikan 1 ekor sapi betina dara (siap kawin) oleh pemerintah, kemudian dalam jangka 5 tahun kemudian (semenjak pemberian) petani diharuskan mengembalikan 1 ekor ternak sapi (jantan atau betina) kepada pemerintah ditambah 24%-30% bunga dari harga pokok sapi yang diberikan tersebut. Kewajiban petani pemilik modal dalam sistem ini adalah memelihara ternak sapi, meliputi: menyiapkan kandang, memberi pakan dan minum, menjaga
kesehatan, kontrol masa birahi ternak, dan mengembalikan ternak dan bunga pinjaman yang telah disepakati dalam perjanjian. Menarik untuk dicermati dari sistem persentasi ternak ini adalah tealienasinya kelas petani pemilik-penggarap untuk mengakses sistem persentasi dari pemerintah.
Teralienasinya petani
pemilik-penggarap dalam sistem persetasi ternak karena sebagian besar mereka – petani pemilik-penggarap– tidak terlibat dalam struktur desa maupun kelompok tani-ternak yang ada, padahal jalur untuk mendapatkan pinjaman ternak dari pemerintah diperoleh melalui pemerintahan desa dan kelompok tani-ternak tersebut (Gambar 9). Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Panji S. (PS): “Sistem persentasi yang diterapkan tersebut diberikan kepada mereka yang sudah mempunyai kelompok tani-ternak. Jadi mereka yang tidak bergabung dalam kelompok tersebut tidak akan pernah mendapatkan pinjaman ternak”. Meskipun batasan sosial hubungan produksi adalah keluarga petani pemilik modal, akan tetapi dalam sistem ini terjadi penyerapan “surplus produksi bertingkat” dimana kelas sosial yang menjadi sasaran diekstrak surplus produksi adalah petani pemilik-penggarap. Penyerapan surplus produksi pertama berlangsung dari pemerintah terhadap petani pemilik modal dan kedua, petani pemilik modal terhadap petani pemilik-penggarap. Sebenarnya surplus produksi yang kedua ini, merupakan “perpanjangan” surplus produksi yang diperoleh pemerintah terhadap petani pemilik-penggarap karena “pinjaman ternak” yang diberikan kepada petani pemilik modal tersebut, diteruskan oleh petani pemilik modal dalam sistem gaduhan. Kondisi di atas, dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan struktur sosial antara petani pemilik modal dengan petani pemilik-penggarap
dalam sistem
persentasi, dimana dengan hubungan sosial yang tercipta antara pemerintah dengan petani pemilik modal mengakibatkan petani pemilik modal lebih mudah mengakses sistem persentasi, dibandingkan petani pemilik-penggarap yang cenderung teralienasi dari akses terhadap sistem persentasi. Hasil produksi dari komoditas ternak sepenuhnya berorientasi pasar (komersil), akan tetapi penggunaan hasil penjualan ternak sangat tergantung dari struktur kelas sosial di dalam komunitas transmigran itu sendiri.
Pemerintah Pusat Pemerintah Daerah
Petani pemilik modal Petani pemilik dan penggarap
Gambar 8.
Organisasi Produksi Usaha Ternak Sapi pada Komunitas Transmigran di Wanaraya
Untuk petani pemilik modal hasil penjualan ternak diperuntukkan membeli kebutuhan sekunder dan mewah, seperti: TV, sepeda motor, generator, menyekolahkan anak, dan lain sebagainya, sedangkan bagi petani pemilik penggarap, hasil yang didapatkan dari gaduhannya diperuntukkan memenuhi kebutuhan primer keluarga, seperti: membeli sabun, minyak goreng, minyak tanah, perabot rumah tangga, dan tambahan modal untuk pembelian pupuk dan kapur dalam usahatani padi lokal di lahan sawah pasang surut. Artikulasi Usaha Produksi Selain Pertanian Usaha produksi selain pertanian yang dilakukan oleh anggota komunitas transmigran berorientasi komersil adalah usaha transportasi klotok dan bengkel elektronik dan sepeda motor. Usaha produksi ini dilakukan oleh sebagian besar komunitas transmigran yang berada di desa Sidomulyo, Kolam Makmur, dan Kolam Kiri. Alat produksi utama transportasi klotok adalah jasa transportasi yang merupakan usaha keluarga komunitas transmigran, sedangkan tenaga kerja yang terlibat dalam usaha produksi ini adalah laki-laki (suami atau anak laki-laki dewasa) sebagai pengusaha kolotok sekaligus sebagai “supir” klotok.
Terkadang mereka yang tidak terlibat langsung dalam usaha ini, mengambil tenaga kerja di luar keluarga inti komunitas transmigran. Walaupun demikian, tenaga kerja yang diambil dari luar keluarga inti ini didasarkan atas pertimbangan ikatan atau hubungan kekerabatan, yaitu saudara kandung atau anak dari saudara kandung pemilik klotok. Kondisi seperti ini didasarkan atas tenaga kerja dari kalangan kerabat terdekat tersebut lebih dapat dipercaya, dibandingkan dengan tenaga kerja yang sama sekali tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pemilik klotok. Untuk sementara waktu, di wilayah Wanaraya transportasi air berjenis klotok ini belum ditemukan dalam bentuk usaha yang dijalankan dengan perusahaan kecil atau besar sehingga belum tepat untuk dikatakan sebagai produksi kapitalis.
Gambar 9.
Usaha Produksi Transportasi Klotok Milik Salah Seorang Anggota Komunitas Transmigran
Sementara itu, usaha bengkel elektronik dan sepeda motor merupakan perwujudan kegiatan produksi berskala individu/rumahan. Hadirnya usaha ini bermula dari program pelatihan yang pernah dilaksanakan oleh pemerintah (Dinas Sosial dan Dinas Tenaga Kerja) dan diikuti oleh pemilik usaha bengkel. Kehadiran usaha ini di Wanaraya tergolong relatif masih muda, jika dibandingkan usaha transportasi kolotok, yaitu pada akhir tahun 90-an ketika listrik masuk di desa-desa di Wanaraya dan infrastruktur jalan desa sudah memadai untuk pengendara sepeda motor. Umumnya, usaha ini berada disekitar pekarang rumah pemilik bengkel elektronik maupun sepeda motor.
Berbeda dengan usaha klotok, selain pemilik ikut serta sebagai tenaga kerja dalam usaha ini, mereka yang terlibat dalam tenaga kerja dari luar keluarga pemilik usaha direkrut berdasarkan keterampilan di bidang elektronik atau mesin (tergantung jenis usahanya).
Berkaitan dengan struktur sosial komunitas
transmigran yang ada saat ini, maka pemilik usaha bengkel tergolong ke dalam kelas petani pemilik modal. Tentunya orientasi usaha bengkel elektronik dan sepeda motor adalah komersil sehingga lebih tepat digolongkan sebagai produksi komersil. Tabel 17. Artikulasi Usaha Produksi Transportasi Klotok dan Bengkel Elektronik/Sepeda Motor. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Struktur Hub. Sifat Hub. Produksi Produksi Produksi Kekuatan Produksi Alat produksi
Organisasi (unit) produksi
Tenaga kerja utama
Keluarga inti Jasa transportasi bertindak sebagai klotok dan jasa pemilik dan pekerja. perbaikan barang elektronik dan sepeda motor atau mesin yang dimiliki oleh pemilik usaha à Transportasi klotok: à Transportasi klotok: keluarga luas egaliter/pseudodimana keluarga inti hierarki antara (pemilik usaha) dan anggota keluarga kerabat luas sebagai inti dengan keluarga tenaga kerja; luas; à Bengkel à Bengkel elektronik/sepeda elektronik/sepeda mototr keluarga motor: hierarki (individu) dan orang antara pemilik usaha lain sebagai tenaga sebagai “atasan” dan kerja. tenaga kerja sebagai “bawahan” Individu dan anggota keluarga luas (usaha klotok); dan individu dan orang lain di luar keluarga untuk usaha bengkel elektronik/sepeda motor.
Eksploitatif, dimana surplus diserap oleh pemilik usaha produksi.
Eksploitatif, dimana surplus diserap oleh pemilik usaha produksi.
-
Urian di atas menunjukkan bahwa ciri khas dari dua produksi ini adalah organisasi (unit) produksinya berbasis keluarga, akan tetapi membutuhkan tenaga
kerja di luar keluarga inti. Meskipun demikian, berbeda dengan usaha komersil sebelumnya dimana usaha produksi selain pertanian ini mempunyai batas sosial hubungan produksi yang terpola ke dalam 2 bagian, yaitu: (1) masih mempunyai ikatan kekerabatan dengan pemilik usaha (masih dalam lingkup keluarga luas); dan (2) sama sekali tidak mempunyai ikatan kekerabatan dengan pemilik usaha atau dengan kata lain tergantung dari kecakapan tenaga kerja yang terlibat. Dengan demikian, struktur hubungan produksinya pun terpola menjadi dua bagian, yaitu: (1) egaliter/pseudo-hierarki, dimana tidak terdapat struktur “majikan” dan “buruh”, akan tetapi terdapat penyerapan surplus produksi yang dilakukan anggota keluarga inti kepada pekerja yang berasal dari keluarga luas tersebut (terlihat pada usaha transportasi klotok); dan (2) struktur hierarki, dimana terdapat struktur “majikan/atasan” dan “buruh/bawahan” dimana terjadinya penyerapan surplus produksi oleh pemilik usaha sebagai majikan/atasan terhadap buruh/bawahan dalam bentuk tenaga kerja (terlihat pada usaha bengkel elektronik/sepeda motor. Dengan demikian, hubungan produksi yang tercipta dari usaha selain pertanian yang dilakukan oleh komunitas transmigran bersifat eksploitatif. Struktur hubungan produksi pada usaha produksi selain pertanian (transportasi klotok dan bengkel elektronik dan sepeda motor) dengan sendirinya menunjukkan perbedaan dengan pendapat Kahn. Menurut Kahn 41 bahwa tenaga kerja upahan atau buruh dalam moda produksi komersil (petty commodity) pada industri logam di Padang Lawas –Sumatera Barat– berasal dari luar keluarga inti nangkodoh 42 yang umumnya sebagai petani. Kondisi seperti ini kemudian menggambarkan struktur hubungan produksi yang tercipta adalah “majikan” dan “buruh”, dimana nangkodoh bertindak sebagai “majikan” dan petani sebagai “buruh”. Namun, pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan bahwa tenaga kerja dalam moda produksi komersil diperoleh melalui ikatan kekerabatan dan di luar keluarga inti yang direkrut berdasarkan kecakapan terhadap usaha. Akibat dari terlibatnya tenaga kerja yang berasal dari keluarga luas pada usaha transportasi klotok, maka dengan sendirinya struktur hubungan 41 42
Sjafri Sairin et. al.: Pengantar Antropologi Ekonomi, Jakarta (2002), hal. 154 – 160. Seorang pimpinan industri logam tradisional yang juga disebut pandai kepala.
produksi yang tercipta adalah egaliter atau pseudo-hierarki yang mana surplus produksinya diserap oleh keluarga inti sebagai pemilik usaha terhadap tenaga kerja yang berasal dari keluarga luas tersebut. Ikhtisar Moda produksi komersil pada komunitas transmigran Wanaraya tampil dalam wujud komoditas padi sawah pasang surut, komoditas sayuran dan kacang tanah, komoditas sapi, dan usaha produksi selain pertanian (transportasi klotok dan bengkel elektronik/sepeda motor). Untuk kasus penelitian komunitas transmigran Wanaraya, hampir semua usaha produksi berorientasi nilai tukar (exchange-value), namun terdapat satu untuk usaha produksi selain berorientasi nilai tukar juga berorientasi nilai guna (use-value) yaitu usaha produksi sawah pasang surut. Tampilnya komoditas padi sawah pasang surut yang berorientasi nilai ganda (nilai tukar dan nilai guna) tersebut didasarkan atas orientasi surplus produksi, dimana sepertiga dari produksi sawah pasang surut (sebanyak 70 kaleng sampai 100 kaleng) disimpan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga (subsisten) dan lainnya yaitu dua per tiga (sebanyak 200 kaleng) dijual ke pedagang pengumpul. Orientasi nilai ganda pada komoditas padi disebabkan komoditas ini merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh uang tunai keluarga komunitas transmigran pada saat berlangsungnya periode “pasang”. Merujuk pada empat usaha produksi yang telah dijelaskan sebelumnya, maka artikulasi moda produksi komersil menunjukkan ciri-cirinya sebagai berikut: pertama, kekuatan produksi: tanah dan non-tanah sebagai alat produksi utama, umumnya teknologi dikuasai oleh petani pemilik modal disebabkan kepemilikan modal lebih besar dibandingkan petani pemilik-penggarap, organisasi produksi berbasis keluarga atau rumah tangga dimana tenaga kerjanya berasal dari individu dari keluarga inti dan sudah melibatkan tenaga kerja di luar keluarga inti yang berasal dari keluarga luas (kerabat) sampai dengan orang lain. Keterlibatan tenaga kerja di luar keluarga inti biasanya dalam sistem upah atau sewa tenaga kerja.
Kedua, hubungan produksi yang tercipta dari pseudo-hierarki (surplus produksi diserap oleh keluarga inti terhadap keluarga luas) sampai dengan hierarki antara petani pemilik sebagai “majikan atau atasan” dan tenaga kerja sebagai “buruh atau bawahan”.
Perbedaan ini kemudian menunjukkan perbedaan
terhadap akses teknologi, dimana petani pemilik modal lebih mudah mengakses teknologi dibandingkan petani pemilik-penggarap disebabkan perbedaan modal yang dimiliki antar kedua kelas sosial tersebut. Dengan demikian sifat hubungan produksinya adalah eksploitatif, dimana terjadinya ekstraksi surplus produksi yang dilakukan kelas petani pemilik modal (pemilik usaha) terhadap petani pemilik-penggarap (tenaga kerja yang terlibat dalam sistem produksi). Dan ketiga, umumnya orientasi usaha produksi adalah nilai tukar (komersil/pasar), akan tetapi dalam kondisi tertentu berorientasi nilai ganda (selain berorientasi nilai tukar juga berorientasi nilai guna) sebagaimana ditunjukkan oleh komoditas padi sawah pasang surut pada saat periode “pasang”.
MODA PRODUKSI KAPITALIS
Meskipun mempunyai kesamaan dengan moda produksi komersil yang menghasilkan komoditas berorientasi nilai tukar (exchange-value), namun moda produksi kaptilasi berbeda dengan moda produksi komersil dalam hal peranan modal relatif kuat, tenaga kerja terutama berasal dari luar keluarga/kerabat, dan organisasi produksinya relatif kompleks (umumnya menunjuk pada unit produksi berupa perusahaan skala kecil sampai besar). Atau dengan kata lain, menurut Sitorus (1999) bahwa komersil tidak dengan sendirinya kapitalis, sebaliknya kapitalis dengan sendirinya juga komersil. Moda produksi kapitalis pada komunitas transmigras Wanaraya tampil pada periode “surut” (1984–2005).
Setidaknya periode ini ditandai dengan
kesuburan lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) yang terus mengalami penurunan sehingga menyebabkan produksi padi milik petani hanya mencapai ¼ kaleng/ha dari produksi optimal yang pernah dicapai yaitu 200 kaleng/ha.
Menurut Levang 43 bahwa menurunnya kesuburan lahan gambut
berawa dikarenakan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran hutan menghilang dengan cepat di lahan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah, lahan yang tidak digarap dapat mencegah oksidasi, tetapi menyebabkan perkembanganbiakan gulma, dan drainasi yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah. Untuk itu, diperlukan upaya mengembalikan kesuburan lahan persawahan tersebut. Adapun upaya yang ditempuh dengan cara penyediaan teknologi yang memadai, namun pada sisi lain, penyedian teknologi tersebut memerlukan kapital yang cukup besar yang harus disediakan keluarga komunitas transmigran. Sementara itu, untuk menyediakan teknologi tersebut tidak dimungkinkan diperoleh dari usahatani sawah pasang surut. Adapun besarnya biaya produksi di luar tenaga kerja dalam usahatani sawah pasang surut dapat mencapai Rp. 1.716.000. 44 Dengan demikian, diperlukan upaya lain untuk menyediakan kapital tersebut guna memenuhi kebutuhan teknologi usahatani sawah pasang surut. 43
Patrice Levang: Ayo ke Tanah Sabrang, Jakarta 2003, hal. 165. Hitungan biaya produksi ini merupakan angka ideal yang meliputi: penyedian kebutuhan kapur untuk 1 hektar lahan sebanyak 3 ton seharga Rp. 1.500.000, dan kebutuhan pupuk selama 44
Umumnya, tuntutan kapital dalam penyediaan teknologi tersebut dipenuhi keluarga komunitas transmigran dengan cara mencari pekerjaan di luar wilayah Wanaraya. Tujuan mencari kerja tersebut tidak lain agar usahatani sawah pasang surut dapat dilakukan kembali sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pangan (subsisten) keluarga dan kebutuhan keluarga lainnya. Sebagaimana informasi yang penulis dapatkan dari Sumadi dan Mardinah. “Sumadi adalah transmigrasi umum asal Lamongan yang ikut program transmigrasi di Wanaraya semenjak tahun 1978. Alasan ikut transmigrasi karena di daerah asalnya ia tidak mempunyai lahan untuk bertani. Saat peneliti mewancarai, Sumadi sebagai pembekal desa Babat Raya. Menurut Sumadi bahwa desa Babat Raya kebanyakan ditinggali perempuan karena laki-lakinya bekerja di kota sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan. Biasanya mereka pergi selama 6–7 bulan, kemudian pulang dan menetap 1 bulan, kemudian pergi lagi. Kebanyakan laki-laki yang keluar dari desa ini mempunyai tujuan mencari modal di kota lalu membawanya pulang ke desa untuk menambah modal usahatani”. “Mardinah ikut program transmigrasi bersama orang tuanya. Umur Mardinah saat peneliti wawancarai adalah 35 tahun dan mempunyai 2 orang anak perempuan. Yang tertua sudah duduk di bangku SMA, sementara yang kecil masih berumur 5 tahun. Saat peneliti wawancarai, Mardinah ditemani 2 orang anaknya tersebut, sementara suami beliau masih di luar Wanaraya bekerja sebagai buruh bangunan kurang lebih 6 bulan. Suami Mardinah bekerja sebagai buruh bangunan untuk menambah penghasilan keluarga. Dan semenjak ditinggal suaminya tersebut, Mardinah mengelola sendiri lahan persawahannya dan sesekali dibantu oleh anaknya yang sudah dewasa”. Adapun jenis pekerjaan di luar wilayah Wanaraya tersebut adalah membatang dan buruh pabrik atau buruh bangunan. Akan tetapi, sesuai dengan tema yang diangkat dalam tulisan ini, maka aktivitas buruh pabrik dan buruh bangunan tidak akan dijelaskan di dalam tulisan ini dikarenakan aktivitas produksi tersebut lebih dominan unsur pelakunya (majikan) berada di luar komunitas transmigran. Berkaitan dengan pembahasan pada bagian ini, maka komoditas yang termasuk ke dalam produksi kapitalis adalah membatang dan usahatani sawah pasang surut.
setahun 200 kg seharga Rp. 216.000. Jadi besarnya modal yang harus disediakan oleh petani adalah Rp. 1.716.000.
Artikulasi Usaha Produksi Membatang Usaha produksi membatang dilakukan oleh anggota keluarga komunitas transmigran yang tergolong ke dalam kelas sosial petani pemilik-penggarap. Alat produksi utama dari usaha produksi ini terletak pada modal yang dimiliki oleh “majikan” atau “bos batang”. Bagi mereka –petani pemilik-penggarap– pada komunitas transmigran Wanaraya, usaha produksi menebang kayu tersebut merupakan usaha alternatif mendapatkan modal yang diperlukan untuk melakukan usahatani sawah pasang surut dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga. Usaha produksi membatang merupakan usaha dalam bentuk perusahaan berskala sedang di bawah seorang pimpinan bernama bos batang, sedangkan mereka yang terlibat dalam usaha membatang (keluarga anggota komunitas transmigran) sebagai tenaga kerja atau buruh membatang. Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha membatang adalah laki-laki (ayah atau anak laki-laki dewasa) yang berumur di bawah 35 tahun yang berasal dari keluarga inti. Keterlibatan laki-laki yang berumur di bawah 35 tahun ini karena kegiatan produksi membatang membutuhkan tenaga atau fisik yang kuat sehingga tidak memungkinkan keterlibatan kaum perempuan dalam usaha produksi ini. Umumnya usaha produksi membatang dilakukan setelah tahap menanam sampai dengan panen padi sawah pasang surut. Atau dengan kata lain, usaha ini dilakukan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan oleh anggota keluarga komunitas transmigran. Sebelum ke lokasi membatang, tenaga kerja (pembatang) yang sudah mendaftar dan bersedia ikut membatang diberikan pinjaman uang tunai oleh bos batang sebesar Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 untuk keperluan kebutuhan keluarga pembatang selama ditinggal pergi. Sebelum ke lokasi membatang, mereka –pembatang– tergabung dalam satu rombongan yang terdiri dari 2 sampai 4 orang yang kemudian diantar langsung oleh bos batang ke lokasi dan menempati rumah penginapan (basecamp) selama membatang. Pinjaman uang oleh bos batang diberikan lagi kepada pembatang selama di lokasi, yaitu sebesar Rp. 200.000 sampai dengan Rp. 300.000 per bulan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sabun mandi/cuci, minum kopi/teh, dan rokok.
Kegiatan produksi membatang terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu: menumbang kayu, memotong kayu sesuai ukuran yang ditentukan, menguda, dan melarutkan kayu ke sungai. Untuk menempuh lokasi membatang yang letaknya agak berjauhan dengan penginapan (basecamp), maka pembatang menggunakan klotok sebagai alat transportasi. Pada bagian menumbang kayu, digunakan alat produksi berupa parang dan geregaji tangan yang disediakan sendiri oleh pembatang. Jika pembatang menggunakan geregaji mesin (senso), maka biasanya alat produksi tersebut disediakan dari pihak bos batang. Tabel 18. Artikulasi Usaha Produksi Membatang. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Produksi Kekuatan Produksi Alat produksi
Organisasi (unit) produksi
Tenaga kerja utama
à Modal merupakan alat produksi utama dimiliki oleh bos batang dan pembatang sebagai tenaga kerja upahan. à Teknologi tradisional seperti parang dan tali disediakan atau dikuasai oleh pembatang, sedangkan teknologi modern seperti senso dikuasai oleh bos batang. Perusahaan skala sedang yang tidak mempunyai badan hukum, dimana bos batang bertindak sebagai pimpinan dan pembatang sebagai karyawan (tenaga kerja upahan). Tenaga kerja upahan atau buruh (pembatang).
Struktur Hub. Produksi
Sifat Hub. Produksi
Bertindak sebagai pemilik modal adalah bos batang dan pembatang sebagai tenaga kerja upahan.
Eksploitatif, dimana surplus produksi dalam bentuk tenaga kerja diserap oleh bos batang.
Struktur hubungan yang hierarkis, dimana bos batang bertindak sebagai “majikan” dan pembatang sebagai “buruh.
Eksploitatif, dimana surplus produksi dalam bentuk tenaga kerja diserap oleh bos batang.
-
-
Setelah menumbang kayu, proses selanjutnya adalah memotong kayu sesuai ukuran yang ditentukan. Waktu yang dibutuhkan pembatang di dalam hutan (lokasi membatang) disesuaikan dengan kemampuan pembatang, biasanya selama 1 sampai 2 bulan. Selama waktu tersebut, pembatang dapat memperoleh 50 kubik kayu per orang. Kayu yang diperoleh dari tahapan sebelumnya ini, kemudian diangkut sampai sungai yang terdekat atau dikenal dengan tahapan
menguda. Biasanya menguda dilakukan dengan cara menarik kayu sampai ke tempat penumpukan yang menggunakan tali. Tali yang berfungsi untuk menarik kayu dililitkan ke tubuh pembatang yang berjalan melewati parit (sungai kecil). Untuk menyelesaikan tahapan ini, pembatang membutuhkan dua sampai tiga hari sampai kayu berada di tempat penumpukan dekat sungai. Tahapan terakhir dari usaha produksi membatang ini adalah melarutkan kayu ke tepi sungai besar (pelabuhan) yang disepakati dengan menggunakan klotok dan selanjutnya diterima oleh bos batang. Setelah menyelesaikan empat tahapan usaha produksi membatang ini, pembatang menerima upah hasil kerjaannya dari bos batang. Adapun upah yang diperoleh pembatang selama 1 sampai 2 bulan berkisar antara 2 sampai dengan 3 juta per orang sudah termasuk potong pinjaman uang tunai pembatang kepada bos batang. Setidaknya uraian di atas menggambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan artikulasi usaha produksi membatang yang dilakukan oleh komunitas transmigran.
Artikulasi sebagaimana yang dimaksud merujuk pada kekuatan
produksi dan hubungan produksi dari membatang, dimana alat produksi utamanya adalah modal. Dalam hal ini, yang bertindak sebagai pemilik modal adalah bos batang dan tenaga kerja yang diupah adalah petani pemilik-penggarap. Tindakan petani pemilik-penggarap untuk menjadi tenaga kerja upahan pada membatang karena kebutuhan akan modal untuk menjaga keberlangsungan usahatani sawah pasang surut sehingga pemenuhan kebutuhan pangan anggota keluarga dapat terjaga. Sedangkan jenis teknologi parang dan tali disediakan pembatang dan teknologi lainnya, seperti senso dan klotok yang disediakan oleh bos batang sehingga terdapat perbedaan penguasaan teknologi antara pembatang dan bos batang. Perusahaan dengan skala sedang yang tidak mempunyai badan usaha merupakan bentuk organisasi produksi membatang sekaligus batas sosial, dimana bertindak sebagai pemilik perusahaan adalah bos batang dan pembatang sebagai tenaga kerja yang diupah. Tenaga kerja upahan merupakan tenaga kerja utama membatang sehingga stuktur hubungan produksinya terhierarki antara bos batang yang bertindak sebagai “majikan” dan pembatang yang bertindak sebagai “buruh”. Struktur hubungan produksi yang hierarkis ini menunjukkan bahwa
hubungan produksi yang eksploitatif dimana tenaga kerja yang dimiliki oleh pembatang diserap oleh bos batang. Artikulasi Usatani Sawah Pasang Surut Berbeda dengan periode “pasang”, usahatani sawah pasang surut yang berlangsung pada periode “surut” merupakan usaha produksi atau komoditas yang sangat tergantung dengan kekuatan modal dalam produksinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alat produksi utama usahatani sawah pasang surut adalah modal.
Pertanyaannya kemudian adalah mengapa tanah tidak dikategorikan
sebagai alat produksi utama pada usahatani sawah pasang surut tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya kita dapat merujuk pada struktur kelas sosial pada periode “surut”. Telah dijelaskan pada bagian awal dalam tulisan ini bahwa krisis lahan marjinal (lahan histosol atau gambut berawa) di Wanaraya merupakan penyebab utama yang menentukan perbedaan struktur kelas sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Dengan demikian terjadi perubahan struktur kelas sosial komunitas transmigran, dimana pada awalnya hanya terdapat petani pemilik-penggarap kemudian menjadi dua kelas sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Pada dasarnya dua kelas sosial tersebut sama-sama memiliki lahan, akan tetapi yang membedakannya terletak pada kemampuan memproduksi lahan atau dengan kata lain hadirnya dua kelas sosial pada komunitas transmigran sangat tergantung dari besar kecilnya modal yang dimiliki oleh masing-masing kelas tersebut. Merujuk pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan jumlah kelas petani pemilik-penggarap lebih banyak dibandingkan kelas petani pemilik di Wanaraya, yaitu masing-masing sebesar 93% atau (2.938 orang) dan 7% atau sebanyak 221 orang.
Dari empat desa komunitas transmigran di
Wanaraya yang menjadi fokus penelitian penulis menunjukan gejala semakin banyaknya jumlah petani (petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap) suatu desa, maka semakin banyak pula kelas petani pemilik-penggarap di desa tersebut. Ini dapat dilihat daru jumlah petani di desa Sidomulyo sebanyak 11, 11% dari jumlah petani secara keseluruhan, kemudian diikuti Kolam Kanan
(9,97%), Kolam Makmur (7,50%), dan Babat Raya sebanyak 6,36% atau 201 orang (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19). Tebel 19. Jumlah Petani Pemilik-penggarap Berdasarkan Desa di Wanaraya, Tahun 2002. Pemilik-Penggarap Jumlah Petani No. Desa -------------------------orang-------------------------1. 2. 3. 5. 4. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sidomulyo Kolam Kanan Sumber Rahayu Kolam Kiri Surya Kanta Kolam Makmur Pinang Habang Simpang Jaya Babat Raya Waringin Kencana Dwi Pasari Tumih Roham Raya Jumlah
351 (11,11) 315 (9,97) 292 (9,24) 255 (8,07) 252 (7,98) 237 (7,50) 234 (7,41) 226 (7,15) 201 (6,36) 178 (5,63) 152 (4,81) 126 (3,99) 119 (3,77)
377 (11,93) 334 (10,57) 312 (9,88) 268 (8,48) 287 (9,09) 261 (8,26) 234 (7,41) 226 (7,15) 221 (7,00) 178 (5,63) 175 (5,54) 147 (4,65) 139 (4,40)
2.938 (93,00)
3.159 (100)
Sumber: BPP Kec. Wanaraya Tahun 2003 (Diolah). Keterangan: Angka dalam tanda kurung menunjukkan persentasi.
Berbeda dengan sebelumnya, banyaknya jumlah petani tidak serta merta diikuti dengan bertambahnya jumlah petani pemilik disetiap desa-desa Wanaraya. Namun sebaliknya, kosentrasi petani pemilik mempunyai persentasi yang lebih kecil dari besarnya persentasi petani secara keseluruhan.
Kosentrasi petani
pemilik yang sedikit tersebut (rata-rata di bawah 1 persen) disebabkan tidak semua petani mempunyai kemampuan modal yang sama untuk menyediakan teknologi guna melakukan aktivitas produksi. Empat desa yang menjadi fokus penelitian ini menunjukkan perbedaannya dengan
banyaknya
jumlah
petani
pemilik-penggarap
sebelumnya.
Desa
Sidomulyo mempunyai 0,82 persen petani pemilik dari 11,93 persen jumlah petani secara keseluruhan, kemudian diiukuti masing-masing Kolam Makmur sebesar 0,76 persen, Babat Raya (0,63 persen), dan Kolam Kanan sebesar 0,60 persen. Setidaknya apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang keberadaan petani pemilik dan petani pemilik-penggarap menentukan berlangsungnya moda
produksi kapitalis yang berlangsung di Wanaraya (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tebel 20. Jumlah Petani Pemilik Berdasarkan Desa di Wanaraya, Tahun 2002. Petani Pemilik Jumlah Petani No. Desa --------------------------orang------------------------1. 2, 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Surya Kanta Sidomulyo Kolam Makmur Dwi Pasari Tumih Sumber Rahayu Babat Raya Roham Raya Kolam Kanan Kolam Kiri Pinang Habang Simpang Jaya Waringin Kencana Jumlah
35 (1,11) 26 (0,82) 24 (0,76) 23 (0,73) 21 (0,66) 20 (0,63) 20 (0,63) 20 (0,63) 19 (0,60) 13 (0,41) -
287 (9,09) 377 (11,93) 261 (8,26) 175 (5,54) 147 (4,65) 312 (9,88) 221 (7,00) 139 (4,40) 334 (10,57) 268 (8,48) 234 (7,41) 226 (7,15) 178 (5,63)
221 (7,00)
3.159 (100)
Sumber: BPP Kec. Wanaraya Tahun 2003 (Diolah). Keterangan: Angka dalam tanda kurung menunjukkan persentasi.
Seiring dengan perbedaan dari dua kelas sosial tersebut berimplikasi terhadap perbedaan penguasaan atas alat produksi utama (modal), dimana teknologi (pupuk dan kapur) lebih dikuasai oleh mereka yang tergolong petani pemilik modal sedangkan petani pemilik-penggarap cenderung terlalienase dari teknologi.
Mereka –petani pemilik modal– dalam penyediaan teknologi
sebagaimana dimaksud berperan sebagai pemilik usaha distribusi pupuk dan kapur yang bersatu dengan rumah pemilik usaha yang kemudian dipinjamkan kepada petani pemilik-penggarap. Umumnya pinjaman pupuk yang diberikan oleh petani pemilik modal biasanya dikembalikan atau dibayar oleh petani pemilik-penggarap dalam bentuk beras sebanyak 10 kaleng setelah tahap panen selesai. Pembayaran dalam bentuk beras tersebut secara tidak langsung menunjukkan terjadinya penyerapan surplus produksi oleh petani pemodal terhadap petani pemilik-penggarap.
Sebagai
contoh, petani pemilik-penggarap menggunakan pupuk urea sebanyak 200 kg per hektar dalam setiap musim pengusahaan padi-sawah pasang surut.
Harga urea sebanyak 100 kg (1 kwintal) sewaktu penelitian berlangsung adalah Rp. 108.000, yang berarti petani pemilik-penggarap harus mengeluarkan modal untuk urea sebesar Rp. 216.000 per hektar. Dikarenakan petani pemilikpenggarap tidak mempunyai modal dalam bentuk uang tunai untuk membeli pupuk, maka mereka meminjam telebih dahulu pupuk urea tersebut kepada petani pemilik modal.
Gambar 10. Petani Pemilik-Penggarap dalam Tahap Menamam.
Pengembalian kemudian akan dilakukan sewaktu selesainya tahap panen, dimana pinjaman 1 kwintal dihargakan dengan 10 kaleng beras (harga rata-rata per kaleng beras adalah Rp. 39.000). 45 Dalam kondisi seperti ini, petani pemilik modal mendapat keuntungan sebesar Rp. 174.000 atau 80,5% yang diperoleh dari selisih harga pupuk urea yang sebenarnya dengan harga pupuk saat pengembalian dalam bentuk beras sebanyak 10 kaleng tersebut. Dengan demikian, disatu sisi penguasaan atas teknologi (pupuk dan kapur) oleh petani pemilik modal dan pada sisi lain teralienasinya petani pemilik-penggarap dalam penguasaan teknologi tersebut menyebabkan terjadinya penyerapan surplus produksi dari petani pemilik modal kepada petani pemilik-penggarap. Selain itu, surplus produksi dapat juga diperoleh petani pemilik modal dalam penggunaan traktor tangan.
Umumnya traktor tangan dimiliki petani
pemilik modal yang digunakan pada tahap tertentu, yaitu tahap melacak. Berbeda 45
Harga yang dicantumkan dalam tulisan ini merujuk pada harga yang berlaku ditingkat petani sewaktu penelitian ini berlangsung, yaitu pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005.
dengan tenaga manusia, mesin traktor dapat menyelesaikan tahap lacak selama 1 jam untuk 1 galur 46 dengan sewa traktor tangan berkisar Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 100.000 per hektar dimana petani pemilik-penggarap bertindak sebagai pemakai traktor tangan tersebut. Jika petani pemilik-penggarap menginginkan penggunaan traktor tangan selama tahapan proses produksi hingga siap tanam, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik lahan sebesar Rp. 550.000. Tabel 21. Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut. Hub. Produksi Batas Sosial Hub. Struktur Hub. Produksi Produksi Kekuatan Produksi Alat produksi
Organisasi (unit) produksi
Tenaga kerja utama
Sifat Hub. Produksi
àModal merupakan alat produksi utama yang dikuasai oleh petani pemilik modal. àDengan modal yang dimiliki tersebut, petani pemilik modal dapat menguasai teknologi (pupuk, kapur, dan traktor tangan). Perusahaan skala kecil (rumah tangga) yang tidak mempunyai badan hukum, dimana petani pemilik modal sebagai pemlik usaha dan petani pemilikpenggarap sebagai tenaga kerja upahan.
Bertindak sebagai pemilik modal adalah petani pemilik modal dan pembatang sebagai tenaga kerja upahan.
Eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal melalui pinjaman pupuk dan kapur kepada petani pemilik-penggarap.
Struktur hubungan yang hierarkis, dimana petani pemilik modal sebagai “majikan” dan petani pemilikpenggarap sebagai “buruh”.
Eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal melalui sewa tenaga kerja dan sewa traktor tangan kepada petani pemilikpenggarap.
Tenaga kerja upahan atau buruh.
-
-
Dibandingkan penggunaan tenaga kerja manusia, penggunaan traktor tangan lebih efisien dalam hal waktu dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petani pemilik-penggarap. Perbandingan ini dapat dilihat dari penggunaan traktor tangan dalam melacak hanya membutuhkan waktu 3 hari per hektar sedangkan penggunaan tenaga kerja manusia sebanyak 2 orang membutuhkan 1 bulan per hektar, begitupun biaya yang dikeluarkan lebih efisien sebanyak 23,6 persen dari selisih sewa tenaga kerja sebanyak 2 orang selama 30 hari (Rp. 720.000) dan sewa traktor tangan sebesar Rp. 550.000. Akan tetapi kepemilikan
46
1 galur istilah lain dari 1 petak yang berukuran 100 m x 2 m (p x l).
traktor tangan tersebut menyebabkan teralienasinya tenaga kerja petani pemilikpenggarap untuk memperoleh modal tambahan dari sistem sewa atau upah tenaga kerja kepada petani pemilik modal. Penjelasan di atas menunjukkan organisasi produksi produksi pada usahatani sawah pasang surut adalah perusahaan skala kecil (rumah tangga) yang tidak mempunyai badan usaha. Sebagaimana perusahaan rumah tangga, maka terdapat struktur hubungan produksi antara petani pemilik modal sebagai “majikan” dan petani pemilik-penggarap sebagai “buruh” yang dieksploitasi (secara singkat artikulasi usahatani sawah pasang surut dapat dilihat pada Tabel 21). Ikhtisar Moda produksi kapitalis pada komunitas transmigran di Wanaraya tampil pada periode periode “surut” (1984 – 2005). Moda produksi kapitalis ini merujuk pada usaha produksi membatang dan usahatani sawah pasang surut yang berorientasi berorientasi untuk mendapatkan uang tunai sebagai tambahan modal bagi kebutuhan keluarga komunitas transmigran.
Modal tampil sebagai alat
produksi utama sekaligus menunjukkan moda produksi kapitalis komunitas transmigran di Wanaraya. Modal digunakan pemilik modal untuk mengupah tenaga kerja dari dua usaha produksi yang telah disebutkan sebelumnya.
Selain itu, modal juga
diorientasikan oleh pemilik modal untuk menguasai teknologi sehingga dengan penguasaan atas faktor produksi, petani pemilik modal dapat melakukan ekstrak surplus produksi yang dihasilkan oleh petani pemilik-penggarap.
Selain itu,
organisasi produksi pada moda produksi kapitalis berupa perusahaan dengan skala rumah tangga (keluarga) hingga sedang yang tidak berbadan hukum, seperti organisasi produksi pada usahatani sawah pasang surut dan membatang. Bentuk perusahaan tersebut merujuk pada usaha produksi membatang yang dipimpin oleh bos batang dan petani pemilik modal sebagai pemilik usaha distribusi pupuk dan kapur untuk usahatani sawah pasang surut. Tenaga kerja dalam moda produksi ini sepenuhnya dilakukan dalam bentuk sewa yang diberikan oleh petani pemilik modal kepada petani petani pemilik-penggarap.
Atau dengan kata lain, siapa yang mempunyai modal, maka dialah yang memiliki tenaga kerja.
Dengan demikian, struktur hubungan produksinya dapat
diidentifikasi berupa struktur hubungan produksi yang terhierarki antara “majikan” dengan “buruh”. Struktur hubungan produksi tersebut, memungkinkan terjadinya eksploitatif, dimana penyerapan surplus produksi dilakukan oleh pemilik modal terhadap petani pemilik-penggarap.
TRANSMIGRASI DAN FORMASI SOSIAL KAPITALIS
Transmigrasi di Indonesia semakin mempertegas ciri khas yang memperlihatkan keidentikannya dengan pembentukan formasi sosial kapitalis, dimana terjadinya eksploitasi kelas pemilik modal terhadap kelas pekerja di daerah tujuan, khususnya daerah tujuan bertipe ekologi perladangan. Program pemindahan penduduk dari Pulau Jawa keluar Pulau Jawa ini, pertamakali dikenal –tepatnya tahun 1905– dengan istilah program koloni yang diprakarsai oleh Pemerintahan Kolonial.
Penduduk yang dipindahkan tersebut diorientasikan
sebagai tenaga kerja perkebunan (buruh perkebunan) dengan menggunakan sistem Bawon 47.
Dalam hal ini, Pemerintahan Kolonial bertindak sebagai penguasa
sekaligus kelas pemilik modal, sedangkan penduduk yang dipindahkan bertindak sebagai kelas pekerja di perkebunan milik Pemerintahan Kolonial saat itu. Meskipun berbeda dari tujuannya 48 dengan program koloni, transmigrasi oleh sebagian ilmuwan sosial 49 dikatakan program yang tidak orisinil –kebijakan yang lahir tidak dari pemerintahan Indonesia– menunjukkan hal yang sama dengan program koloni, dimana penduduk yang dipindahkan tersebut sebagain besar bermata pencaharian sebagai petani yang strukturnya terhierarki dan cenderung bersifat eksploitatif antara petani pemilik modal dan petani pemilikpenggarap. Kondisi seperti ini sebagaimana diuraikan sebelumnya, dimana kelas petani pemilik modal (periferi capitalism) mengeksploitasi kelas petani pemilikpenggarap melalui teknologi (pupuk dan kapur) dan tenaga kerja. 47
Sistem bawon adalah sistem Jawa tradisional untuk mempekerjakan buruh dengan imbalan sebagaian dari hasil panen. Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan kolonial – Belanda – memanfaatkan sistem bawon kepada para transmigran baru untuk membantu transmigrasi terdahulu. Transmigrasi baru ini didatangkan sebelum panen datang dan diberikan imbalan tempat tinggal sementara, bahan pangan dan sebagian dari panen. Menurut MacAndrew dan Rahardjo (1979) bahwa penerapan sistem ini merangsang peningkatan arus transmigrasi dan mengurangi biaya yang dikeluarkan pemerintah. 48 Perbedaan antara program koloni dengan transmigrasi terletak pada tujuannya, dimana program koloni lebih kepada penyediaan tenaga kerja (buruh) perkebunan, sedangkan tujuan program transmigrasi dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) menyebarkan penduduk dari Pulau Jawa, Bali, dan Madura yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi ke luar Pulau Jawa (seperti Sulawesi, Kalimantan, Irian Jaya, Maluku, dan lain-lain) yang kepadatannya rendah; (2) sarana pengembangan Sumberdaya Manusia demi pemerataan pembangunan di pulau lain (selain Pulau Jawa termasuk Bali dan Madura); dan (3) kenaikan tingkat hidup, pertumbuhana produksi pertanian, keamanan nasional, dan integrasi nasional. 49 Lihat Kampto Utomo (1975), H. J. Heeren (1979); MacAndrew dan Rahardjo (1979), dan M. Otten (1986).
Tidak
bermaksud
berpanjang
lebar
mengungkapkan
kesejarahan
transmigrasi di Indonesia (disebabkan bukan fokus dari penelitian), tulisan ini ingin menggambarkan bahwa transmigrasi yang selama ini dijadikan kebijakan Pemerintahan Orde Baru ternyata telah mendorong pembentukan formasi sosial kapitalis sebagaimana kasus yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu komunitas transmigrasi di Wanaraya.
Sebagai daerah tujuan, Wanaraya seperti halnya
dengan daerah tujuan transmigrasi lainnya adalah kelanjutan program transmigrasi yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru. 50 Sepanjang Pemerintahan Orde Baru, mereka yang ikut transmigrasi adalah sebagian besar penduduk Pulau Jawa yang diidentifikasi berasal dari latar belakang petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (Levang 2003). Dari sudut pandang penerapan land reform (agraria), transmigrasi merupakan bentuk komitmen Pemerintahan Orde Baru untuk mendistribusikan atau memberikan akses lahan/tanah di luar Pulau Jawa kepada petani gurem, buruh tani, atau patani tanpa lahan yang berasal dari Jawa.
Lahan yang diberikan kepada keluarga
tersebut, masing-masing seluas dua hektar yang terdiri dari 1 hektar untuk lahan pekarangan dan 1 hektar lainnya untuk lahan persawahan. Sepintas memang terlihat bahwa transmigrasi merupakan kebijakan populis dari Pemerintahan Orde Baru yang memberikan akses lahan kepada mereka – petani– yang tidak mempunyai lahan (di bawah rata-rata 0,5 hektar) sehingga mempunyai lahan untuk berusahatani di lahan sendiri.
Tentunya, kebijakan
pemerintah tersebut memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka –petani gurem, buruh tani, dan tunakisma– disebabkan lahan seluas 2 hektar yang diperoleh dari pemberian pemerintah dapat memberikan peningkatan status sosial dari petani tanpa lahan menjadi petani pemilik lahan. Namun pertanyaannya kemudian adalah apakah kebijakan populis tersebut mampu meningkatkan taraf/tingkat hidup dan pertumbuhan produksi pertanian sebagian besar para transmigran di luar Pulau Jawa? Studi penulis pada komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan terjadinya perbaikan tingkat hidup dan pertumbuhan produksi pertanian pada 50
Pelaksanaan transmigrasi dengan memindahkan penduduk Pulau Jawa ke Wanaraya sebagai daerah tujuan dilakukan Pemerintahan Orde Baru pada pembangunan lima tahun (pelita) tahap kedua.
komunitas transmigran, namun sesuatu yang kondisinya bersifat sementara saja dan sebaliknya transmigrasi sebagai alat efektif penetrasi kapitalisme di daerah tujuan.
Studi monumental yang pernah dilakukan oleh Clifford Geertz yang
diterbitkan sekitar tahun 1960-an tentang Involusi Pertanian dapat menjadi acuan untuk melihat perbedaan basis ekologi antara “Indonesia Dalam” dengan “Indonesia Luar” 51, dimana “Indonesia Dalam” yang diwakili oleh Pulau Jawa lebih didominasi ekologi padi-sawah, sedangkan “Indonesia Luar” yang diwakili pulau di luar Jawa lebih didominasi ekologi perladangan. Dalam hal ini Geertz mengatakan: “...secara umum pembagian itu berguna untuk memisahkan dua macam ekosistem dengan dua macam dinamik yang berlainan – satu berpusat pada perladangan dan yang lain pada persawahan – dan dapat dipergunakan untuk memahami perbedaan yang menyolok dalam kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah, dan produktivitas pertanian”. 52 Perbedaan ekologi di atas, sangatlah ditentukan jenis atau tekstur tanah yang dominan di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. Seyogyanya perbedaan dua ekologi tersebut tidak bisa disamakan, akan tetapi bila terjadi “pemaksaan” untuk disamakan, maka dapat dipastikan yang terjadi adalah hadirnya kesenjangan ekologi atau dalam istilah ekologi Marxis disebut jurang metabolik (metabolic gap). Jurang metabolik adalah kehancuran keadaan-keadaan kewujudan manusia yang ditentukan oleh alam.
Kehancuran ini terjadi karena terjadi pemisahan
keadaan abadi bagi interaksi antara manusia dengan alam, dimana keadaankeadaan kewujudan manusia ditentukan oleh alam (Foster 2002). Kaitannya dengan program transmigrasi yang mendistribusikan lahan di luar Pulau Jawa sebagai faktor produksi (alat produksi) utama kepada para transmigran menunjukkan betapa pembangunanisme telah mendorong terjadinya jurang metabolik tersebut.
Jurang metabolik ini sebenarnya tidak hanya
menggeser sistem produksi perladangan penduduk lokal yang dianggap merusak lingkungan dan tidak efisien dan kemudian menggantikannya dengan sistem 51
Sebenarnya penulis tidak sepakat dengan Geertz tentang pembedaan Indonesia dengan istilah “Indonesia Dalam” dan “Indonesia Luar” karena pembedaan ini menunjukkan pandangan yang etnosentris. Meskipun demikian, penulis sepakat dengan pembedaan ekologi dominan antara Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. 52 Clifford Geertz: Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta 1983, hal. 14-15.
produksi padi-sawah sebagai cerminan teknologi intensif yang dianggap lebih efisien.
Akan tetapi lebih dari itu, transmigrasi yang menciptakan jurang
metabolik telah mendorong pembentukan formasi sosial kapitalis sehingga pencapaian tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan bagi sebagian besar para transmigran dapat dikatakan sesuatu tidak memungkinkan. Perlakuan yang sama antara dua basis ekologi yang berbeda di atas, sangat disadari karena antara tahun 70-an hingga akhir 90-an di bawah Pemerintahan Orde Baru paham modernisasi merupakan mainstream pembangunan disegala dimensi, termasuk transmigrasi sebagai agenda penting Pemerintahan Orde Baru. Bagian berikut pada tulisan ini, akan diuraikan bagaimana transmigrasi melalui distribusi atau pembagian lahan dan penerapan sistem produksi padi-sawah di daerah tujuan merupakan bentuk dari program atau kebijakan “sesat pikir” yang menciptakan jurang metabolik sehingga mendorong proses pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Transmigrasi: “Sesat Pikir” yang Menciptakan Jurang Metabolik Implementasi pemikiran yang tidak didasarkan atas logika memadai dalam menentukan proses penempatan penduduk Jawa, Madura, dan Bali (Jambal) yang berkelebihan ke luar Pulau Jambal atau lebih dikenal dengan istilah transmigrasi adalah “sesat pikir”. Pertanyaan kritis tentang program transmigrasi adalah apakah suatu keharusan penduduk Jambal yang dianggap mempunyai kelebihan penduduk dipindahkan ke luar Pulau Jambal? Jika pun harus dipindahkan apakah perlu dilakukan perubahan secara fundamental di daerah tujuan berkaitan dengan penetrasi sistem produksi yang berbeda dari perspektif ekologinya? Menjawab pertanyaan pertama, Levang (2003: 71) dengan studi yang telah dilakukannya dengan jelas mengatakan bahwa kepulauan Jambal tidak kelebihan penduduk. Walaupun demikian, Levang menganggap program transmigrasi tetap penting karena dapat memberikan lahan kepada mereka –petani– yang berlatar belakang sebagai petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (tunakisma). Ia kembali menambahkan bahwa pemberian lahan kepada petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan merupakan motif dasar dari para transmigran untuk menjamin hidupnya, dimana keterbatasan lahan karena kepadatan penduduk yang
terus meningkat di Pulau Jawa menyebabkan mereka –petani marjinal (petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan)– tidak memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup sehingga transmigrasi dianggap sebagai solusi yang tepat, meskipun perlu pembenahan di sana-sini. Sebenarnya kepadatan penduduk yang terus meningkat dan hubungannya dengan terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan tersebut (lihat Tabel 22) yang terbiasa dengan sistem produksi persawahan bukan berarti harus dipindahkan ke luar Pulau Jawa, sehingga golongan petani yang dimaksud mempunyai luasan lahan yang memadai untuk berusaha tani. Akan tetapi, perlu dilihat faktor utama penyebab terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan. Tabel 22. Persentasi Penduduk Menurut Golongan Rumah Tangga. 53 Jumlah Penduduk No. Golongan Rumah Tangga 1975 1993 1. Buruh Tani 11,7 10,0 2. Petani Gurem (< 0,5 ha) 22,2 27,3 3. Pengusaha Pertanian (0,5-1 ha) 12,0 6,2 4. Pengusaha Pertanian (> 1 ha) 13,7 6,4 5. Bukan Pertanian Golongan Rendah di Desa 14,7 8,9 6. Bukan Angkatan Kerja di Desa 3,0 1,6 7. Bukan Pertanian Golongan Atas di Desa 6,0 13,0 Sumber: Biro Pusat Statistik: Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 1993. Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1996:108.
Berkaitan dengan hal di atas, menurut Wiradi (1984) bahwa faktor utama penyebab terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (tunakisma) di pedesaan Jawa adalah terdapatnya ketimpangan penguasaan atas lahan/tanah, dimana terdapat sebagian atau sekelompok orang saja yang menguasai tanah. Untuk itu, menurut Wiradi langkah atau jalan yang tepat untuk mencegah
terjadinya
ketimpangan
penguasaan
tanah
adalah
melakukan
perombakan susunan penguasaan tanah, atau land reform. Meskipun agenda land
53
Dikutip dari tulisan Dr. Sajogyo berjudul “Petani dan Kemiskinan” dalam buku “Pemberdayaan Perekonomian Rakyat Dalam Kancah Globalisasi” yang diterbitkan oleh Yayasan Sajogyo Inti Utama (sa!ns) tahun 2005. Pengutipan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan terjadinya peningkatan buruh tani yang diiringi dengan peningkatan pengusaha pertanian di desa.
reform ini sangat dimungkinkan di Indonesia, namun menurut Wiradi bahwa semuanya sangat ditentukan oleh kemauan politik pemerintah yang berkuasa. 54 Untuk itu, penduduk yang berlebih di Pulau Jawa tidak perlu dipindahkan ke luar Pulau Jawa, melainkan diperlukan kebijakan industrialisasi perdesaan yang telebih dahulu dilakukan land reform sehingga petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan yang terus meningkat tiap tahunnya dapat berkurang dengan sendirinya dan dapat ikut serta dalam program industrialisasi perdesaan tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintahan Jepang 55 yang kepadatan penduduknya terus meningkat namun dapat terhindar dari kemandegan pertanian (involusi pertanian dalam istilah Geertz). Terhidarnya Jepang dari kemandegan pertanian (involusi pertanian) tersebut disebabkan keberhasilannya menuntaskan terlebih dahulu land reform sebelum melakukan industrialisasi pedesaan (Wertheim 1997). Tichelman
56
Wertheim menambahkan dengan merujuk pendapat Ritjof
bahwa keberhasilan Jepang tersebut sangat ditentukan oleh cara
menanggulangi faktor-faktor penghambat yang terkandung dalam latar belakang agrikultural dan politisnya. Sebaliknya dengan Indonesia, untuk mencegah terjadinya kemandegan pertanian
(involusi
pertanian)
di
Pulau
Jawa,
Pemerintahan
Indonesia
memberlakukan kebijakan transmigrasi sebagai “model baru” dari pelaksanaan land reform agar kepadatan penduduk di Pulau Jawa berkurang dan sekaligus memberikan akses terhadap lahan yang masih luas di luar Pulau Jawa kepada golongan petani Jawa yang marjinal dalam penguasaan lahan, namun mayoritas dalam jumlah.
54
Gunawan Wiradi (1984) dalam tulisannya yang berjudul “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria” pada buku “Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa” disunting oleh Sediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Diterbitkan PT. Gramedia, Jakarta (1984). 55 Pelaksanaan reforma agrarian (land reform) sangat ditentukan oleh kekuatan atau penguasa yang memberi dukungan terhadap kebijakan ini. Untuk itu, keberhasilan agenda land reform pemerintahan Jepang sangat terkait erat dengan tipe kombinasi antara pemerintah negara setempat dengan tentara pendudukan. Dengan bantuan dan tekanan dari pemerintah AS, maka penguasa setempat melaksanakan reforma agraria dengan drastis. Tanah-tanah kelebihan dibagikan kepada buruh tani atau penyakap dengan pembayaran ganti rugi kepada pemilik semula (Wiradi 1984: 319). 56 Menurut Tichelman sebagaimana dirujuk oleh Wertheim (1997) bahwa kemandegan pertanian (involusi pertanian) di Asia Tenggara hingga kini disebabkan oleh berlangsungnya moda produksi asiatik, dimana tanah/lahan sebagai alat produksi utama dalam usaha produksi pertanian dikuasai/dimiliki oleh seseorang.
Berdasarkan temuan dari penelitian yang penulis lakukan pada komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan transmigrasi sebagai alat yang efektif untuk merombak struktur penguasaan tanah yang didominasi pembekal desa di luar Pulau Jawa sebagaimana ciri dari moda produksi asiatik yang berlangsung di negara-negara Asia Tenggara.
Meskipun pemerintah berhasil melakukan
perombakan struktur penguasaan tanah yang dimonopoli pembekal desa tersebut, akan tetapi persoalan utamanya ternyata bukan terletak pada dominasi struktur penguasaan tanah oleh pembekal desa, melainkan terletak pada kondisi lahan – ekologi lahan gambut berawa– marjinal yang jauh berbeda dengan daerah asal transmigran (Pulau Jawa). Sehubungan dengan di atas, kebijakan pemerintah tentang transmigrasi yang memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke daerah tujuan (seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua) sebenarnya memiliki kelemahan mendasar berkaitan dengan pendekatan yang digunakan selama ini. Kelemahan tersebut terletak pada penetrasi sistem produksi padi-sawah yang sebenarnya jauh berbeda dengan kondisi ekologi daerah asal komunitas transmigran –sebagaimana diungkapkan oleh Geertz yang membedakan tipe ekologi dominan antara Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa). Umumnya daerah tujuan transmigrasi merupakan daerah yang sudah dihuni komunitas lokal dengan aktivitas produksi perladangannya. Alasan mendasar dilakukannya aktivitas produksi perladangan tersebut disebabkan determinasi kondisi alam yang ditandai dengan ekologi lahan marjinal (lahan gambut berawa). Kemudian aktivitas perladangan ini diidentikkan dengan logika produktivitas (hasil produksi yang dicapai) berupa produksi hasil per unit tenaga kerja. Logika ini menekankan bahwa sistem perladangan sebagaimana tercermin dari aktivitas produksi komunitas lokal di daerah tujuan atau daerah pedalaman Indonesia menggunakan tenaga kerja yang cenderung sedikit, luas lahan relatif banyak, dan input teknologi rendah sehingga modal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan produksi relatif sedikit. Namun berbeda dengan logika di atas, kedatangan komunitas transmigran di beberapa daerah tujuan transmigrasi tidak dapat dipisahkan dengan penetrasi sistem produksi padi sawah yang identik dengan logika produksi per luas lahan.
Sistem produksi padi sawah sebagaimana tercermin di Pulau Jawa ditandai dengan kelangkaan terhadap lahan (luas lahan menyempit), tenaga kerja upah meningkat, dan input teknologi besar yang mendorong peranan modal relatif besar dan sangat menentukan. Dengan demikian, menurut Dove 57 bahwa perbandingan dua logika tersebut menunjukkan bahwa sistem perladangan menghasilkan produktivitas yang tinggi per unit tenaga kerja, dan sebaliknya menghasilkan produktivitas yang rendah per unit tanah (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 23). Tabel 23.
Pembeda
Perbedaan Sistem Produksi Perladangan dan Sistem Produksi PadiSawah. Sistem Produksi Perladangan Padi-Sawah
Teknologi Tenaga Kerja
Input teknologi rendah Tenaga kerja upahan rendah
Input teknologi tinggi Tenaga kerja upahan tinggi
Lahan/tanah
Luas lahan yang tersebar banyak
Kelangkaan lahan (luas lahan sangat sedikit)
Modal
Peranan modal rendah
Peranan modal tinggi
Produksi
Produksi per unit tenaga kerja tinggi, tapi produksi per unit tanah sedikit
Produksi per unit tanah (ha) tinggi, tapi produksi per unit tenaga kerja rendah.
Perbedaan dua logika di atas, jelas dideterminasi perbedaan alam (ekologi lahan) antara Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Berkaitan dengan kebijakan transmigrasi yang sengaja maupun secara tidak sengaja mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa (khusunya Kalimantan), lebih bertendensi pada logika produksi hasil per unit tanah. Atau dengan kata lain bahwa anggapan yang dibangun selama ini adalah tanah merupakan faktor produksi (alat produksi) utama yang dibutuhkan bagi mereka –para transmigran– untuk melakukan usaha produksi di luar Pulau Jawa adalah anggapan yang “sesat pikir”. Ini didasarkan atas realitas kondisi ekologi di daerah tujuan (khususnya Pulau Kalimantan) yang berbeda de-ngan daerah asal para transmigran. 58 57
Michael R. Dove: op.cit., hal. 466. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mencatat sebagian besar tanah-tanah yang memiliki tingkat kesuburan paling rendah,seperti jenis tanah histosol, entisol, dan vertisol banyak terdapat di 58
Selain itu, pembukaan lahan dengan penebangan hutan secara besarbesaran untuk hamparan pemukiman dan lahan pertanian para transmigran di luar Pulau Jawa –khususnya Kalimantan– menyebabkan kehancuran keberadaan manusia yang ditentukan oleh interaksinya dengan alam.
Sistem produksi
behuma (bercocok tanam dengan berpindah-pindah) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh komunitas lokal di Wanaraya merupakan perwujudan interaksi antara manusia dengan alam. Sistem produksi behuma sebagai pemasok utama kebutuhan subsisten komunitas lokal di Wanaraya sangat tergantung dengan kesuburan lahan yang ditentukan ketersediaan humus yang berasal dari berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang hidup, kemudian mati dan membusuk di atas tanah hutan. Sementara itu, keberadaan hutan yang masih tersedia dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh (seperti mahang, terantang, dan lain sebagainya) di Wanaraya berfungsi untuk menjaga kelembaban yang tinggi sehingga mendorong percepatan terjadinya laju pembusukan (dekomposisi) berbagai jenis bahan organik. Dengan kata lain sistem produksi behuma oleh komunitas lokal, sangat ditentukan oleh hutan yang memberikan jaminan atas ketersediaan sumbersumber humus untuk kesuburan lahan.
Kehadiran komunitas transmigran di
Wanaraya merupakan implementasi kebijakan transmigrasi Pemerintahan Orde Baru yang tidak dapat dipisahkan dengan habisnya secara perlahan-lahan hutan di sekitar Wanaraya karena penebangan hutan secara besar-besaran untuk kepentingan pemukiman dan lahan persawahan untuk para transmigran. Dalam kondisi seperti ini, transmigrasi mendorong resiliesi/daya lenting ekologi gambut terputus; akibat pergeseran pola pengusahaan dari ekstensif (sistem produksi behuma) ke intensif atau menetap (sistem produksi padi-sawah pasang surut). Pergeseran ekologis tersebut ternyata kontradiktif dengan prinsip keberlanjutan produksi di Wanaraya. Ini ditandai oleh kerusakan lahan/tanah bertekstur histosol dan peristiwa kebakaran lahan yang meng-uras potensi kesuburan lahan.
Fakta ini semakin mempertegas gejala jurang metabolik
(metabolic gap), dimana sesat pikir dalam tata interaksi antara manusia dengan Pulau Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Sumatera. Sementara itu, tanah subur berjenis andisol banyak terdapat di Pulau Jawa dan daerah-daerah yang memiliki gunung berapi (Puslit Tanah dan Agroklimat, Jakarta 2000).
alam membawa kehancuran yang tidak hanya menyingkirkan keberadaan komunitas lokal, akan tetapi juga menghadapkan komunitas transmigran Wanaraya pada masa depan hampir yang marginal di sektor pertanian. “Sesat pikir” dalam transmigrasi memunculkan empat watak kapitalisme di Wanaraya. Pertama, mewujudkan “jurang yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala “behuma hilang, sawah terancam” dan mengancam keberadaan komunitas lokal dan transmigran; kedua, sebagai konsekuensi pertama dan yang utama dari jurang tersebut, kedua komunitas dihadapkan pada dilema ekonomi kapitalisme
dimana
intensifikasi
merupakan
pilihan
tunggal
dalam
mempertahankan produksi yang keberlanjutan terancam. Intensifikasi merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi kekuatan modal (kapitalis) ke dalam sistem produksi padi-sawah pasang surut. Ketiga, petani menjadi sekedar operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding dengan rantai kapitalis. Manfaat produksi lebih banyak ditentukan dan diserap industri pupuk dan industri kapur berskala besar, yang bertidak sebagai pemasok faktor produksi utama petani di lahan gambut berawa; dan keempat, konsolidasi kapitalis, dimana kerjasama antara kapitalisme sentral (central capitalism) yang diwakili oleh industri pupuk dan kapur yang berskala sedang sampai besar dengan kapitalisme pinggiran (periferi capitalism) yang diwakili oleh petani pemilik modal semakin meluas dan menguat.
Keempat watak
kapitalisme tersebut, selanjutnya mendapat tanggapan emansipasitoris dari kalangan petani, dengan mengembangkan alternatif usaha produksi yang tidak berbasis input teknologi tinggi dan bermodal besar, seperti usaha produksi umbiumbian. Apa yang hendak dijelaskan dari uraian di atas adalah bahwa kebijakan pemerintah membagikan lahan kepada para transmigran ternyata tidak serta merta memperbaiki struktur ekonomi dan kesejahteraan komunitas transmigran. Sebaliknya, yang terjadi adalah penguatan struktur sosial yang eksploitatif terhadap petani pemilik-penggarap di dua komunitas, melalui peran petani pemilik modal. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, kehadiran modal dalam usaha produksi komunitas transmigran adalah sebagai ciri pokok pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Dalam konteks ini dominasi moda produksi
kapitalis terhadap moda produksi lainnya (moda produksi subsisten dan moda produksi komersil) saling terintegrasi satu sama lainnya, sebagaimana yang terjadi pada komunitas transmigran di Wanaraya. Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan: Dominasi Peran Kelas Kapitalis Pinggiran Telah dikemukakan bahwa pembagian lahan seluas 2 hektar kepada keluarga transmigran di daerah tujuan adalah tindakan yang berdasar “sesat pikir”, dimana meletakkan logika produktivitas yang menempatkan lahan sebagai faktor produksi atau alat produksi utama.
Dengan logika ini, sampai akhir
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) tahap II (1978/1979) Pemerintahan Orde Baru telah memindahkan 18.800 jiwa penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Kalimantan. Sehungan dengan itu, Wanaraya merupakan satu dari sekian daerah tujuan transmigrasi yang terletak di Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Juga telah disebutkan bahwa keterkaitan moda produksi kapitalis dengan dua moda produksi lainnya (moda produksi subsisten dan moda produksi komersil) dapat dilihat dari distribusi atau pembagian lahan dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi pelaku dua moda produksi. Sebelum kedatangan komunitas transmigran di Wanaraya, sistem produksi behuma yang diikuti dengan membatang merupakan satu-satunya sistem produksi yang dilakukan komunitas lokal berorientasi subsisten. Faktor produksi utama untuk melakukan usaha produksi tersebut adalah tanah atau lahan bersifat komunal yang kepemilikannya dikuasai pembekal desa sebagai cerminan dari moda produksi asiatik. Perubahan kemudian terjadi ketika kebijakan transmigrasi pemerintahan Orde Baru (1978/1979), dimana kepemilikan lahan atau tanah tidak lagi dikuasai oleh pembekal desa, melainkan lahan dikuasai pemerintah yang selanjutnya didistribusikan kepada para keluarga transmigran masing-masing seluas 2 hektar (1 hektar untuk pekarangan dan 1 hektar untuk lahan persawahan pasang surut). Dengan demikian, di satu sisi transmigrasi berhasil memberikan akses lahan sebagai faktor produksi utama kepada komunitas transmigran, namun disisi lain telah menyingkirkan usaha produksi behuma yang ekstensif dan menggantikannya dengan usahatani sawah pasang surut yang intensif. Hal ini
dapat dilihat ketika periode “pasang” (1978–1983), dimana sistem produksi sawah pasang surut sebagai cerminan teknologi intensif oleh komunitas transmigran mencapai produksi sebanyak 200–300 kaleng per hektar. Usaha produksi ini tampil sebagai komoditas yang berorientasi nilai guna (use-value) sekaligus nilai tukar (exchange-value) untuk mendapatkan uang tunai. Tergesernya sistem produksi behuma oleh sistem produksi sawah pasang surut yang intensif menunjukkan bahwa behuma yang berorientasi subsisten telah mensubsidi komunitas transmigran secara tidak langsung melalui kepemilikan lahan sebagai alat produksi utama. Tergesernya sistem produksi behuma membawa kenyataan bahwa produksi padi-sawah pasang surut hanya mampu bertahan selama kurang lebih lima tahun dan terus mengalami penurunan produksi hingga mencapai rata-rata 10–50 kaleng per hektar. Penurunan produksi padi-sawah pasang surut yang terjadi pada periode “surut” disebabkan beberapa hal, antara lain unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan menghilang dengan cepat di lahan Kalimantan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah dan drainasi yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah. Kondisi seperti ini, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya diartikulasikan sebagai “kegagalan” mengarahkan transformasi sistem produski dari produksi behuma eksentif ke produksi persawahan intensif. Penyebab utama “kegagalan” mengarahkan transformasi sistem pro-duksi tersebut
adalah
“kesesatan
berfikir”
yang
menempatkan
alat
produksi
(lahan/tanah) sebagai satu-satunya yang dapat menyelesaikan persoalan se-makin meningkatnya jumlah petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan di Pulau Jambal. Untuk mengurangi kepadatan penduduk yang tinggi tersebut, selama ini dikembangkan
asumsi
penyelesaiannya
dengan
cara
memindahkan
dan
mendistribusikan lahan kepada golongan petani tersebut ke Pulau luar Jambal yang dianggap masih mempunyai lahan luas dan belum tergarap dengan optimal. Sementara itu, determinasi ekologi lahan gambut berawa –khususnya Pulau Kalimantan– yang pernah menyatu dengan sistem produksi komunitas lokal tidak dijadikan sebagai landasan mendasar untuk mengarahkan transformasi sistem produksi di daerah tujuan, khususnya di Wanaraya.
Alhasil, kondisi yang terjadi di atas memberikan kontribusi terciptanya jurang metabolik di daerah tujuan, dimana kapital (modal) memainkan peranan penting untuk mempertahankan keberlangsungan sistem produksi sawah pasang surut sebagai satu-satunya usaha yang mampu memenuhi kebutuhan subsisten keluarga komunitas transmigran. Persoalan krisis lahan marjinal dan kelangkaan kapital yang dialami oleh komunitas transmigran di Wanaraya menyebabkan pemenuhan kapital untuk menjaga keberlangsungan usaha produksi sawah pasang surut hanya dapat diperoleh dengan cara keluar wilayah Wanaraya sebagai tenaga kerja membatang dan buruh pabrik atau bangunan. Walaupun demikian, ternyata tidak semua komunitas transmigran dapat melakukan hal yang sama karena dihadapkan dengan berbagai keterbatasan, diantaranya kondisi fisik dan ketersedian uang tunai yang tidak memadai untuk transportasi dan kebutuhan hidup ditempat kerja. Perbedaan kemampuan mencari sumber kapital menyebabkan berkembangannya struktur kelas komunitas transmigran, dimana pada awalnya hanya terdapat satu kelas sosial (petani pemilik-penggarap) menjadi petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Perbedaan struktur kelas di atas, kemudian mempengaruhi perbedaan atas kemampuan melakukan usaha produksi untuk memperoleh surplus ekonomi, dimana petani pemilik modal sebagai kelas kapitalis pinggiran (periferi capitalism class) cenderung memproduksi komoditas yang berorientasi komersil, seperti usahatani sayuran, kacang tanah, padi unggul, ternak sapi dan usaha produksi selain pertanian (transportasi klotok dan bengkel elektronik/sepeda motor), sedangkan petani pemilik-penggarap hanya mampu memproduksi padi-sawah pasang surut varietas lokal dan umbi-umbian (ubi jalar dan ubi kayu). Singkatnya perbedaan tersebut, terletak pada kemampuan penguasaan modal sebagai faktor produksi utama dalam tiap usaha produksi. Tidak sekedar itu, surplus ekonomi kelas petani pemilik modal tak hanya diperoleh dari usaha produksi komersil melainkan melalui ekstrak produksi dalam bentuk keuntungan peminjaman pupuk dan kapur kepada petani pemilikpenggarap dan tenaga kerja disetiap usaha produksi. Untuk itu, petani pemilik modal (periferi capitalism class) sebagai pelaku usaha produksi komersil menentukan pembentukan formasi sosial kapitalis di Wanaraya.
Umumnya,
pelaku usaha produksi komersil (kelas kapitalis penggiran) pada komunitas transmigran adalah anggota keluarga. Pemenuhan pangan harian mereka praktis bersumber dari hasil produksi padi-sawah pasang surut, bukan dari hasil penjualan barang atau jasa yang diproduksi dan ditawarkannya. Kebutuhan pangan (beras) harian tidak pernah diperhitungkan sebagai komponen biaya produksi dan diperhitungkan dalam penentuan harga jual barang, sehingga tidak jarang harga barang atau jasa dari usaha produksi tersebut lebih murah dari semestinya. Biaya reproduksi pelaku usaha produksi komersil tersebut, tidak ditanggung oleh perusahaan keluarga tersebut melainkan dari usaha produksi padi sawah pasang surut. Demikian pun dengan usaha produksi kapitalis, dimana keterbatasan lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) menyebabkan ketergantungan lahan terhadap teknologi pupuk dan kapur sebagai prasyarat utama melakukan usahatani sawah pasang surut.
Berkaitan dengan struktur sosial komunitas
transmigran Wanaraya, terbentuknya dua kelas sosial berpengaruh terhadap kemampuan penyediaan dan pemenuhan teknologi pupuk dan kapur. Bagi petani pemilik modal (kelas kapitalis pinggiran), pupuk dan kapur dengan mudah diperoleh karena selain memiliki kapital, juga bertindak sebagai pengusaha distribusi pupuk dan kapur yang tidak lain merupakan peranjangan tangan kelas kapitalis sentral.
Produksi yang dihasilkan dari padi-sawah pasang surut,
kemudian lebih diorientasikan untuk dijual dan sebagian kecil dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan keluarga. Dengan demikian, pola ganda usaha produksi yang dilakukan kelas kapitalis pinggiran (petani pemilik modal) di Wanaraya semakin memperkokoh perannya dibandingkan kelas petani pemilik-penggarap. Berbeda dengan kelas kapitalis pinggiran, petani pemilik-penggarap sebagai kelas pekerja dalam sistem produksi padi-sawah pasang surut hanya dapat memenuhi atau menyediakan teknologi (pupuk dan kapur) dengan cara mengutang kepada petani pemilik modal dan dikembalikan setelah panen. Oleh karena itu, hasil produksi padi-sawah pasang surut yang diperoleh petani pemilikpenggarap sepenuhnya diperuntukkan membayar utang (10–15 kaleng per panen) dan kebutuhan pangan keluarga (sebanyak 35 kaleng per panen).
Meskipun
pembagian telah dilakukan petani pemilik-penggarap, akan tetapi hasil produksi
padi-sawah pasang surut setiap tahunnya untuk kebutuhan pangan keluarga sebenarnya tidaklah mencukupi disebabkan rata-rata setiap keluarga yang terdiri 4–5 orang membutuhkan beras 70 kaleng per tahunnya untuk dikonsumsi. Untuk menutupi kekurangan kebutuhan pangan keluarga petani pemilikpenggarap –sebanyak 35 kaleng per tahun– dan kebutuhan lainnya sepenuhnya dengan cara menggarap lahan kelas kapitalis pinggiran dan sebagai buruh membatang. Adapun upah yang diperoleh petani pemilik-penggarap dari petani pemilik modal sebanyak Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 15.000 per hari. Upah yang diberikan tersebut, tidak termasuk perhitungan biaya yang dikeluarkan kelas pekerja (petani pemilik-penggarap) untuk sarapan pagi, makan siang, dan makan malam karena telah disediakan oleh petani pemilik-penggarap. Sehingga beras untuk kebutuhan pangan bersumber dari usahatani sawah pasang surut dan upah yang didapatkan dari petani pemilik modal. Seperti halnya menggarap lahan milik petani pemilik modal (periferi capitalism class), usaha produksi membatang oleh sebagian besar petani pemilikpenggarap diorientasikan untuk mensubsidi usahatani sawah pasang surut, membayar utang, dan mencukupi kebutuhan keluarga lainnya. Meskipun hasil yang diperoleh cukup besar (total keseluruhan yang didapatkan berkisar dari Rp. 3.000.000 sampai dengan Rp. 4.000.000), namun pemenuhan pangan selama membatang tetap bersumber dari hasil produksi padi sawah pasang surut. Kondisi seperti di atas memberikan gambaran bahwa usaha membatang oleh sebagian besar laki-laki dalam keluarga petani pemilik-penggarap disubsidi oleh kebutuhan subsisten yang dihasilkan dari usahatani sawah pasang surut. Apa yang hendak diuraikan disini adalah bahwa kapitalisme melalui kelas kapitalis pinggiran (petani pemilik modal) semakin mempertegas perannya di Wanaraya. Setidaknya peran kapitalisme melalui kelas kapitalis pinggiran tersebut dapat diidentifikasi ke dalam tiga peran, pertama, akumulasi kapital melalui penguasaan terhadap usaha produksi yang berlangsung di Wanaraya, kedua, dengan akumulasi kapital sebagai alat produksi utama disetiap usaha produksi menyebabkan kemampuan kelas kapitalis pinggiran untuk mengestrak surplus produksi dalam bentuk tenaga kerja dan keuntungan yang diperoleh dari pinjaman teknologi (seperti pupuk dan kapur ) kepada kelas petani pemilik-penggarap yang mayoritas,
dan ketiga, mendorong terjadinya suksesi kapitalisme ke arah yang lebih lanjut di di Wanaraya. Ikhtisar Kebijakan transmigrasi di satu sisi merupakan kebijakan populis yang memberikan akses kepemilikan lahan kepada petani gurem atau tunakisma dari Pulau Jawa dengan menempatkannya di daerah tujuan (lokasi transmigran) yang terletak di luar Pulau Jawa, namun disisi yang lain telah menciptakan jurang metobolik (metabolic gap) yang sistem produksi behuma sebagai perwujudan pola produksi komunitas lokal.
Oleh karena itu, transmigrasi sebagai alat efektif
pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Transmigrasi sebagai program yang menyebarkan penduduk Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa merupakan bentuk dari kebijakan “sesat pikir”, dimana artikulasinya dapat dilihat dari logika produktivitas yang menempatkan determinasi lahan sebagai faktor produksi (alat produksi) utama sehingga tak dapat dipungkiri bahwa transmigrasi adalah alat efektif penetrasi kapitalisme di luar Pulau Jawa. Setidaknya, kasus yang terjadi pada komunitas transmigran Wanaraya menunjukkan bahwa lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) yang marjinal terus mendorong masuknya kapital dalam rangka penyediaan teknologi pupuk dan kapur sebagai prasyarat utama keberlangsungan usaha produksi sawah pasang surut.
Memakai perspektif ekologi Marxis
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mempertegas telah terjadinya pemutusan kewujudan manusia dengan alamnya, dimana ekologi lahan gambut berawa yang melekat dengan sistem atau pola produksi behuma yang ekstensif tergeser oleh sistem produksi sawah yang intensif telah menciptakan jurang metabolik. Jurang metabolik yang terjadi tersebut ditandai dengan watak kapitalisme pada komunitas transmigran Wanaraya, yaitu mewujudkan “jurang yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala “behuma hilang, sawah terancam” dan mengancam keberadaan dua komunitas di Wanaraya, penerapan teknologi intensif merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi kekuatan modal (kapitalis) ke dalam sistem produksi padi-sawah pasang surut, petani menjadi sekedar
operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding dengan rantai kapitalis, dan terkonsolidasinya kapitalis atau dengan kata lain terjadinya kerjasama antara periferi capitalism dengan central capitalism. Semakin menguatnya peran kapitalisme di daerah tujuan, dimana petani pemilik modal dengan penguasaannya terhadap modal sebagai alat produksi utama mampu melakukan penyerapan surplus ekonomi produksi dalam berbagai bentuk, seperti perluasan usaha produksi, pinjaman pupuk dan kapur, serta tenaga kerja.
Atau dengan kata lain keberadaan petani pemilik-penggarap menjadi
sasaran kelompok tereksploitasi baik dalam hubungan produksi maupun hubungan faktor produksi. Uraian di atas, setidaknya menunjukkan bahwa transmigrasi merupakan penyebab pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Adapun formasi sosial kapitalis yang dimaksud adalah formasi yang dibentuk dari dominasi moda produksi kapitalis terhadap dua moda produksi lainnya (moda produksi subsisten dan moda produksi komersil) melalui usaha produksi yang tumbuh dan berkembang akibat dari terjadinya gap metabolic di daerah tujuan transmigran. Kondisi seperti ini dapat dijelaskan dari terjadinya pergeseran atau penyingkiran produksi subsisten yang dilakukan oleh komunitas lokal, dimana lahan sebagai alat produksi utama untuk melakukan sistem produksi behuma ekstensif telah mensubsidi komunitas transmigran untuk menyelenggarakan sistem produksi sawah pasang surut yang berorientasi nilai guna dan nilai tukar untuk menda-patkan uang tunai. Tidak itu saja, ternyata produksi padi-sawah pasang surut telah mensubsidi kebutuhan pangan harian pelaku produksi komersil yang berasal dari anggota keluarga, sehingga tidak jarang harga komoditas atau jasa yang diproduksi lebih murah karena biaya reproduksi tenaga kerja tidak pernah diperhitungkan.
Demikian pun dengan produksi kapitalis yang tetap
tergantung pada hasil produksi padi-sawah pasang surut pada komunitas transmigran di Wanaraya. Setidaknya, apa yang telah diuraikan sebelumnya sangat berkaitan erat dengan dominasi peran kelas kapitalis pinggiran di Wanaraya, meliputi: akumulasi kapital melalui penguasaan terhadap usaha produksi, kemampuan kelas kapitalis pinggiran untuk mengestrak surplus produksi dalam bentuk tenaga kerja
dan keuntungan yang diperoleh dari pinjaman teknologi (seperti pupuk dan kapur) kepada kelas petani pemilik-penggarap yang mayoritas, dan mendorong terjadinya suksesi kapitalisme ke arah yang lebih lanjut di daerah tujuan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Artikulasi transmigrasi secara sepintas dapat dilihat dari kebijakan populis Pemerintahan Orde Baru yang mendistribusikan atau membagikan lahan kepada petani gurem dan tunakisma di luar Pulau Jawa. Namun sebenarnya yang terjadi adalah transmigrasi merupakan alat kapitalisme yang efektif di daerah tujuan di luar Pulau Jawa.
Kondisi seperti ini dapat
dijelaskan pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya. Penelitian yang telah dilakukan pada komunitas transmigran di Wanaraya, diperoleh gambaran bahwa program transmigrasi mempunyai implikasi terhadap dua hal, pertama, transmigrasi berhasil memberikan akses lahan sebagai faktor produksi (alat produksi) utama yang dibutuhkan oleh komunitas transmigran yang sebagian besar sebagai petani gurem atau tunakisma di daerah asal, dan kedua, menggeser sekaligus menyingkirkan sistem produksi behuma yang ekstensif dan menggantikannya dengan sistem produksi sawah pasang surut yang intensif. Berkaitan dengan implikasi terakhir, menyebabkan terjadinya jurang metabolik (metabolic gap) yang mendorong penetrasi kapitalisme di daerah tujuan. Penetrasi kapitalisme ini diawali dengan disubsidinya komunitas transmigran dalam bentuk lahan produksi behuma oleh komunitas lokal untuk melakukan sistem produksi sawah pasang surut. Dikarenakan lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) yang mempunyai tingkat kesuburan relatif kurang menyebabkan tidak sedikit diantara mereka –komunitas transmigran– meninggalkan daerah tujuan.
Sebaliknya,
mereka yang tetap bertahan di daerah tujuan disebabkan bekal pengalaman bertani yang dimiliki sewaktu di daerah asal dan kemauan belajar menyebabkan terjadinya “revolusi” berproduksi. Akan tetapi dominasi kapital dalam usaha produksi menyebabkan terjadinya perbedaan penguasaan atas faktor-faktor produksi antara sesama anggota komunitas transmigran.
Uraian di atas, dapat dilihat dari kesejarahan yang berlangsung di Wanaraya.
Sebelum kedatangan komunitas transmigran hingga tahun 1977,
terdapat komunitas lokal yang melakukan behuma dengan ciri moda produksi subsisten yang berorientasi pemenuhan kebutuhan keluarga atau nilai-guna (usevalue). Sementara itu, untuk memperoleh uang tunai, komunitas lokal melakukan kegiatan produksi membatang yang mengikuti siklus sistem produksi behuma. Lahan yang digunakan untuk produksi behuma dan membatang adalah lahan komunal yang kepemilikannya di bawah penguasaan pembekal desa yang secara tidak langsung menunjukkan ciri khas moda produksi asiatik. Selanjutnya kedatangan komunitas transmigran menandai periode “pasang” yang berlangsung dalam kurung waktu 1978 sampai dengan 1983, dimana usahatani sawah pasang surut dan usaha produksi ternak sapi tampil sebagai cerminan moda produksi komersil.
Meskipun demikian, tampilnya usaha
produksi ternak sapi tidak mengalami perkembangan sebagaimana usahatani sawah pasang surut dikarenakan komoditas tersebut tidak diusahakan secara serius sebagaimana usahatani sawah pasang surut.
Sebagian besar komunitas
transmigran pada periode ini sebagai petani pemilik-penggarap, dimana organisasi (unit) produksinya berbasis keluarga inti, namun tenaga kerja di luar keluarga inti tetap dibutuhkan yang diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja. Terjadinya pertukaran tenaga kerja tersebut, didasarkan atas kepentingan kebutuhan tenaga kerja antar sesama anggota komunitas transmigran atau dengan kata lain tolong menolong merupakan basis terbentuknya pertukaran tenaga kerja tersebut. Pertukaran tenaga kerja pada periode “pasang” menunjukkan belum teralienasinya anggota komunitas transmigran terhadap faktor-faktor produksi sehingga arti komunitas sebagai kesatuan solidaritas antar sesama anggotanya belum memudar disebabkan belum terdapatnya lapisan sosial yang dirugikan atau dengan kata lain komunitas transmigran masih terstruktur ke dalam satu kelas sosial. Berbeda dengan dua periode sebelumnya, periode “surut” (1984–2005) ditandai dengan hadirnya dua moda produksi secara bersamaan, yaitu moda moda produksi komersil dan moda produksi kapitalis. Periode ini pula ditandai dengan hadirnya dua kelas sosial komunitas transmigran, yaitu petani pemilik modal
(periferi capitalism) dan petani pemilik-penggarap. Komoditas pertanian seperti sayuran dan kacang tanah dan ternak sapi mencirikan moda produksi komersil yang berorientasi pasar domestik dibandingkan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga. Organisasi produksinya sudah melibatkan pihak di luar keluarga inti, dimana struktur hubungan produksinya adalah struktur yang terhierarki antara petani pemilik modal sebagai “majikan” dengan petani pemilik-penggarap sebagai “buruh”. Berarti, artikulasi hubungan produksi kedua usaha produksi tersebut bersifat eksploitatif. Sementara itu, moda produksi komersil lainnya merujuk pada usaha selain pertanian seperti transportasi klotok dan bengkel elektronik/sepeda motor. Alat produksi utama dua usaha produksi tersebut adalah jasa transportasi dan perbaikan elektronik atau sepeda motor yang organisasi produksinya sudah melibatkan orang di luar keluarga inti.
Meskipun diantara kedua usaha produksi tersebut
mempunyai perbedaan dalam batas sosial hubungan produksi.
Jika usaha
transportasi klotok melibatkan tenaga kerja di luar keluarga inti adalah kerabat terdekat, maka tidak demikian halnya usaha bengkel elektronik/sepeda motor yang melibatkan orang luar di luar keluarga inti berdasarkan keterampilan atau kemampuan yang dimiliki oleh tenaga kerja tersebut. Dengan demikian, struktur hubungan produksi untuk usaha produksi pertama menunjukkan pseudo-hierarki antara anggota keluarga inti dengan keluarga luas, sedangkan usaha produksi kedua lebih kepada struktur hubungan produksi pemilik usaha sebagai “atasan” dan tenaga kerja di luar keluarga inti sebagai “bawahan”. Artikulasi dua usaha produksi tersebut merujuk pada sifat hubungan yang eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh pemilik usaha. Hal yang sama dengan komoditas sebelumnya, usahatani sawah pasang surut pada periode “surut” tampil sebagai komoditas yang organisasi produksinya sudah melibatkan tenaga kerja di luar keluarga inti. Namun perbedaannya terletak pada modal (kapital) dalam pengusahaan komoditas padi-sawah pasang surut yang lebih besar sehingga alat produksi utamanya terletak pada modal. Peranan petani pemilik modal tidak hanya dalam bentuk pemilikan lahan yang memberi upah kepada petani pemilik-penggarap, akan tetapi juga bertindak sebagai pengusaha distribusi pupuk dan kapur, serta pemilik traktor tangan. Dengan demikian,
surplus produksi padi-sawah pasang surut oleh petani pemilik modal diserap melalui beberapa bentuk, seperti tenaga kerja kerja, pembayaran pupuk, kapur, dan traktor. Artikulasi usahatani sawah pasang surut menunjukkan berlangsungnya moda produksi kapitalis, dimana peranan modal cukup penting. Moda produksi kapitalis lainnya dicirikan oleh kegiatan produksi membatang yang dilakukan oleh komunitas transmigran seusai tahap panen. Kegiatan produksi ini dilakukan selama 2–3 bulan di luar Wanaraya melalui organisasi produksi berupa perusahaan berskala kecil dan tidak berbadan hukum di bawah pimpinan bos batang. Alat produksi utama dalam kegiatan membatang adalah modal untuk memberi upah kepada tenaga kerja membatang. Dengan demikian, struktur hubungan produksi yang tercipta adalah hierarki antara bos batang sebagai “majikan” dan pembatang sebagai “buruh” dengan sifat hubungannya yang eksploitatif. Apa yang hendak dijelaskan dari uraian di atas adalah bahwa tampilnya dominasi peran kelas petani pemilik modal atau kelas kapitalis pinggiran (periferi capitalism class) di Wanaraya karena terjadinya jurang metabolik (metabolic gap) yang menampilkan watak kapitalismenya di Wanaraya dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) mewujudkan “jurang yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala “behuma hilang, sawah terancam” dan mengancam keberadaan dua komunitas di Wanaraya; (2) penerapan teknologi intensif merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi kekuatan kapitalis ke dalam sistem produksi padisawah pasang surut; (3) petani menjadi sekedar operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding dengan rantai kapitalis; dan (4) terkonsolidasinya kapitalis atau dengan kata lain terjadinya kerjasama antara periferi capitalism dengan central capitalism Dalam kondisi seperti itu, komunitas transmigran yang tergolong kelas petani pemilik-penggarap teralienasi terhadap faktor-faktor produksi sehingga solidaritas sosial antar sesama anggota komunitas semakin menurun.
Arti
komunitas semakin memudar karena petani pemilik-penggarap sebagai lapisan bawah dalam sistem sosial komunitas transmigran tereksploitasi dalam usaha produksi oleh petani pemilik modal sebagai lapisan atas. Atau dengan kata lain,
petani pemilik-penggarap dalam setiap usaha produksi yang berlangsung di Wanaraya selalu dirugikan oleh petani pemilik modal. Selanjutnya, merujuk pada tiga moda produksi di atas dipastikan bahwa moda produksi kapitalis mendominasi dua moda produksi lainnya, yaitu moda produksi subsisten dan moda produksi komersil sehingga membentuk formasi sosial kapitalis. Produksi subsisten komunitas lokal secara tidak langsung telah mensubsidi lahan produksi yang digunakan oleh komunitas transmigran untuk melakukan usahatani sawah pasang surut yang berorientasi nilai guna (use-value) sekaligus nilai tukar (exchange-value) untuk mendapatkan uang tunai. Orientasi produksi padi-sawah pasang surut sebagai nilai-guna dan nilai tukar tersebut, kemudian mensubsidi pelaku –sebagian besar kelas petani pemilik modal atau kelas kapitalis pinggiran– usaha produksi komersil selain pertanian yang sebagian besar berasal dari anggota keluarga. Kebutuhan pangan harian pelaku tersebut bersumber dari hasil produksi padi-sawah pasang surut, bukan dari hasil penjualan barang atau jasa yang diproduksi dan ditawarkannya. Sehingga kebutuhan pangan harian tidak pernah diperhitungkan sebagai komponen biaya produksi atau dengan kata lain biaya reproduksi pelaku usaha produksi komersil tidak ditanggung oleh perusahaan keluarga tersebut, melainkan dari usaha produksi padi-sawah pasang surut. Untuk produksi kapitalis, baik pemilik usaha maupun tenaga kerja atau “buruh” pemenuhan kebutuhan pangan tetap bersumber pada produksi padi-sawah pasang surut. Dalam usaha produksi padi-sawah pasang surut, petani pemilik modal mempunyai pola ganda usaha atau pada satu sisi bertindak sebagai pengusaha distribusi pupuk dan kapur sebagai perpanjangan tangan industriindustri pupuk dan kapur berskala sedang hingga besar (central capitalism), namun pada sisi yang lainnya memperoleh sumber kebutuhan pangan dari pengusahaan padi-sawah pasang surut. Sementara itu, petani pemilik-penggarap dari hasil produksi sawah pasang surut yang diperoleh diperuntukkan membayar utang pupuk dan kebutuhan pangan keluarga. Meskipun demikian, kebutuhan pangan keluarga tersebut sebenarnya tidak mencukupi kebutuhan pangan keluarga petani pemilik-penggarap.
Selanjutnya kekurangan kebutuhan pangan keluarga petani pemilikpenggarap, hanya dapat dipenuhi dengan cara menggarap lahan petani pemilik modal dan menjadi buruh dalam kegiatan produksi membatang. Akan tetapi sebagai tenaga kerja upah pada lahan milik petani pemilik modal, untuk sarapan pagi, makan siang, dan makan malam dilakukan di rumah petani pemilikpenggarap. Demikian pun dengan kegiatan produksi membatang yang dilakukan petani pemilik-penggarap diperuntukkan mensubsidi usahatani sawah pasang surut, membayar utang, dan mencukupi kebutuhan keluarga. Selama membatang yang sebagian besar dilakukan oleh laki-laki dalam keluarga komunitas transmigran disubsidi oleh kebutuhan pangan yang dihasilkan dari usahatani sawah pasang surut. Meskipun demikian, penulis sangat sadari bahwa apa yang telah diuraikan sebelumnya
merupakan
hasil
penelitian
yang
mempunyai
keterbatasan
(kekurangan) dan perlu lebih lanjut dilakukan penelitian yang lebih komprehensif. Dikarenakan penelitian ini menggunakan perspektif materialistik dan hanya membatasi pada keberadaan komunitas transmigran selama berada di daerah tujuan, maka dapat dipastikan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan nilai atau etos kapitalistik yang melekat pada anggota komunitas transmigran sewaktu di daerah asal tidak tergali lebih jauh oleh penulis yang dimungkinkan mempunyai relevansi ketika di daerah tujuan. Demikianpun dengan keberadaan komunitas lokal dalam penelitian ini hanya dilihat sebagai faktor histori usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran di Wanaraya. Untuk itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan yang berlainan, seperti apakah formasi sosial kapitalis yang terbentuk di daerah tujuan merupakan bentuk lain dari formasi sosial kapitalis komunitas transmigran yang sudah inheren di daerah asal dan sejauhmana transmigrasi dapat dikatakan sebagai bentuk program “Jawanisasi”, melanggar HAM, dan sebagainya. Ini tidak lain dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hadir ketika program transmigrasi dijadikan sebagai kebijakan pemerintah Indonesia.
Implikasi Kebijakan Terhitung semenjak tahun 1950 hingga sekarang –kurang lebih lima puluh enam
tahun–
ketika
kata
“transmigrasi”
digunakan
sebagai
kebijakan
Pemerintahan Indonesia mempunyai tujuan yang sangat beragam. Namun, tujuan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga hal, yaitu (1) menyebarkan penduduk; (2) sarana pengembangan sumberdaya manusia demi pembangunan di pulau-pulau lain (di luar Pulau Jawa); dan (3) kenaikan tingkat hidup, pertambahan produksi pertanian, keamanan nasional, dan integrasi nasional (Heeren 1979, MacAndrew dan Rahardjo 1979, dan Levang 2003,). Dari ketiga tujuan di atas, mungkin hanya tujuan pertama yang dapat dikatakan berhasil karena dua tujuan lainnya memberikan “segudang” pertanyaan apakah transmigrasi sudah mencapai tujuan sebagaimana yang telah dirumuskan tersebut?
Penelitian yang mengambil tema tentang “Transmigrasi Sebagai
Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan: Studi Kasus Komunitas Transmigran di Wanaraya, Kabupaten
Barito Kuala, Propinsi Kalimantan
Selatan” menyampaikan beberapa informasi yang mempunyai implikasi bagi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan program transmigrasi dikemudian hari. Setidaknya implikasi kebijakan ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa catatan penting kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penelitian
ini
memperoleh
gambaran
bahwa
meskipun
program
transmigran berhasil memberikan akses kepemilikan lahan kepada para transmigran yang dulunya petani gurem atau tunakisma, namun bukan berarti dengan sendirinya menunjukkan terjadinya perubahan struktur ekonomi para transmigran ke arah yang lebih baik.
Determinasi lahan bertekstur histosol
(ekologi lahan gambut berawa) yang dipaksakan oleh penetrasi sistem produksi sawah pasang surut yang intensif meyebabkan terjadinya jurang metobalik (metabolic gap), sehingga watak kapitalisme dengan ciri khasnya tampil di Wanaraya. Selanjutnya, watak kapitalisme ini menciptakan berbagai persoalan baru berupa kesenjangan struktur sosial komunitas transmigran antara kelas kapitalis pinggiran (perifer capitalism class) diwakili oleh petani pemilik modal dengan kelas pekerja yang diwakili oleh petani pemilik-penggarap. Semua ini
dapat dilihat dari berlangsungnya formasi sosial kapitalis pada komunitas transmigran di Wanaraya. Dapat dipastikan bahwa ujung dari kesenjangan sosial ini adalah lahirnya kemiskinan yang dialami oleh komunitas transmigran. Untuk itu, berkaitan dengan kebijakan pemerintah tentang pemberian lahan kepada petani gurem atau tunakisma dalam bentuk program transmigran, maka seyogyanya tidak hanya melihat dari dimensi teknis (lahan yang belum teroptimalkan penggarapannya). Akan tetapi lebih memperhatikan kelayakan bentuk program yang akan diterapkan nantinya sehingga dapat terhindar dari efek atau dampak sosial yang tidak diharapkan dari program yang memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, sebagaimana yang terjadi pada komunitas transmigran di Wanaraya. Selain itu, penetrasi teknologi dalam bentuk bantuan atau pinjaman oleh pihak pemerintah atau lembaga lainnya untuk membantu perubahan struktur ekonomi komunitas transmigran harus memperhatikan struktur sosial yang berlangsung dalam suatu komunitas atau masyarakat.
Merujuk pada kasus
komunitas transmigran di Wanaraya sebagai lokasi berlangsungnya penelitian ini, ditemukan bahwa kelas petani pemilik-penggarap cenderung teralienasi dalam kepemilikan faktor-faktor produksi, seperti ketidakmampuan atau ketergantungan dalam penydiaan atau pemenuhan teknologi usahatani, ketidakmampuan menyediakan modal, dan ketidakmampuan memiliki ternak sapi. Teralienasinya petani pemilik-penggarap terhadap faktor-faktor produksi yang utama tersebut menyebabkan terciptanya eksploitasi surplus produksi oleh kelas petani pemilik modal (kelas kapitalis pinggiran) terhadap petani pemilikpenggarap. Untuk itu, dikemudian hari diharapkan bantuan atau bentuk pinjaman yang diberikan oleh pemerintah, lembaga donor, dan lain sebagainya sebaiknya lebih diorientasikan kepada lapisan kelas sosial terendah (misalnya petani pemilik-penggarap), bukan malah sebaliknya kepada kelas kapitalis pinggiran dengan kemampuannya mengakumulasi kapital. Merujuk pada kasus penelitian ini, terlihat bahwa jenis bantuan atau pinjaman yang diberikan oleh beberapa pihak –termasuk bantuan dari pemerintah– lebih diorientasikan kepada kelas petani pemilik modal daripada kelas petani pemilik-penggarap. Terakhir, agar tidak terciptanya eksploitasi surplus pro-duksi oleh kelas sosial tertentu terhadap
kelas sosial lainnya di komunitas transmigran, maka diperlukan distribusi usaha produksi yang memperhatikan kondisi lingkungan (ekologi dominan), ekonomi (modal), dan teknologi lokasi transmigran dan lebih diorientasikan kepada kelas sosial terendah dalam komunitas transmigran.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, I.
2000. Sosiologi Industri Analisis Agribisnis. Program Diploma Manajemen Agribisnis (MAB). Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Agusta, I. 1997. Respon Komunitas Terhadap Industrialisasi Desa: Studi Kasus Desa Kedungdowo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus, Propinsi Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ahmad, R. & Soegiharto, S. (Editor Tjondronegoro, S.M.P.). Transmigrasi di Usia Kelima Puluh. Jakarta:
2003.
Anskersnit, F.R. 1987. Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-Pendapat Modern Tentang Filasafat Sejarah. Terjemahan dari Denken Over Geishiedenis, Eea Overzicht Van Moderne Geischiedfilosofiche Oprattingen. Jakarta: Gramedia. Budiman, A. 1995. Teori-Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia. BPP Kecamatan Wanaraya. 2002. Data Potensi Pertanian Kecamatan Wanaraya. . 1999. Data Potensi Pertanian Kecamatan Wanaraya. Castley, DJ. & K. Kumar. 1988. The Colletion, Analysis and Use of Monitoring and Evaluation Data. The John Hopkins University Press. Baltimore. Clammer, John. 2003. Neo-Marxisme Antropologi: Studi Ekonomi Politik dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Sadasiva. Creswell, JW. 1994. Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. SAGE Publications. Denzin, NK. 1989. Interpretive Biography: Qualitative Research Method Series 17. SAGE Publication. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru.
2002.
Laporan Tahunan.
Dyah, W.I.KR. 1997. Teknologi Pertanian Sawah dan Perubahan Organisasi Sosial: Studi Kasus Masyarakat Desa Tulem, Kecamatan Kurulu, Kabupaten Jaya Wijaya – Irian Jaya [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. ESCAP. 1984. Technology for Development. United Nation. Tokyo – Japan. Foster, John Bellamy. 2002. Ekologi Marx dalam Perspektif Bersejarah. Jurnal International Socialism, Jilid 96 [diterjemahkan oleh Muhammad Salleh]. Geertz, Cliford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia (diterjemahkan oleh S. Supomo). Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Girsang, Wardis. 1996. Dinamika Penguasaan Lahan dan Strategi Rumah Tangga di Desa Transmigran: Kasus di Desa Transmigran Waihatu, Kecamatan Kairatu, Seram Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi
Maluku [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. Harper, Charles L. 1989. Exploring Social Change. New Jersey: Prentice Hall. Hardjono, J. 1982. Transmigrasi: Dari Kolonisasi sampai Swakarsa. Jakarta: PT. Gramedia. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta: Akademika Pressindo (edisi pertama). Heeren, H. J. 1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Hiyami, Y. dan Masao Kikuchi. 1987. Dilema Eknomi Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Jary, D. and J. Jary 2000. Collins Dictionary of Sociology. Herper Collins Publisher. JICA dan BAPPENAS. 1998. The Development Study Comprehensive Regional Development Plan for Eastren Part of Kalimantan (SCRDP-Kaltengbar). Koentjaraningrat. 1998. Pengantar Antropologi: Pokok-pokok Etnografi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Lauer, Robert H. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Levang, Patrice. 2003. Ayo ke tanah Sabrang: Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Long, Norman. 1987. Sosiologi Pedesaan. Jakarta: PT Bina Aksara. Lyon, Larry. 1980. The Community in Urban Society. The Dorsey Press. Chicago. Nisbet, J. dan Watt, J. 1994. Studi Kasus: Sebuah Panduan Praktis (disadur oleh L. Wilardjo). Jakarta: PT. Gramedia. MacAndrew, C. dan Rahardjo. 1979. Pemukiman di Asia Tenggara, Transmigrasi di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Magnis Suseno, F. 1998. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Persilisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia. Mantri Statistik Wanaraya. 2004. Wanaraya dalam Angka. Wanaraya: Diterbitkan Kantor Kecamatan Wanaraya. . 1997. Wanaraya dalam Angka. Wanaraya: Diterbitkan Kantor Kecamatan Wanaraya.. Maijor Polak, JBAF. 1985. Sosiologi: Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta: PT. Ichtiar Baru.
Marshall, C. and GB. Rossman 1989. Newburry Park, CA.
Design Qualitative Reseach.
SAGE.
Milles, MB. & AM. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan dari Analyzing Qualitative Data. A Sorce Book for New Methods. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Mubyarto. 1991. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES (Cetakan Ketiga). Otten, M. 1986. Transmigrasi: Indonesian Resettlment Policy, 1965–1985. Copenhagen: International Work Group for Indigenous Affairs All Right Reserved. Pattner, Stuart (ed.). 1989. Economic Antropologi. California: Stanford University Press. Ponsioen, J. A. 1969. The Analysis of Social Change Reconsidered: A Sociological Study. Mouton, The Hague – Paris. Ritzer, G. dan Goodman, D. J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana (Edisi Pertama). Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun: Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya. Rogers, Everet M. 1983. Diffusion of Innovation. Thirt Edition. The Free Press, Collier Macmillan Publisher. New York. Saad, M. 1984. Masalah Integrasi Sosial di Daerah Transmigrasi Kempas Jaya Propinsi Riau [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. Sairin, Sjafri et. al. 2002. Pengantar Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Sajogyo dan Martowijoyo, Sumantoro, penyunting. 2005. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat dalam Kancah Globalisasi. Bogor: Penerbit Yayasan Sajogyo Inti Utama (sa!ns). Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Sjaf, S. et. al. 2004. Laporan Kegiatan Pelatihan Pemurnian Sapi Bali Berbasis Petani-Peternak. Dilaksanakan Pada Tanggal 17-18 September 2004 di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Propinsi Kalimantan Selatan. Siregar, Budi Baik. 2004. Modal Sosial Komunitas Perladangan: Kasus Komunitas Kanarakan, Kecamatan Bukit Batu, Kota Palangkaraya [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. Sitorus, MT Felix. 2004. Tiga Jalur Reforma Agraria: Konsep dan Prakteknya di Indoensia, 1960 – 2004. Bogor, 14 – 15 September 2004.
Sitorus, MT. Felix et al, penyunting. 2002. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan Akatiga. Sitorus, MT. Felix. 1999. Pembentukan Golongan Pengusaha Lokal di Indonesia: Penguasa Tenun dalam Masyarakat Batak Toba [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. Sitorus, MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Diterbitkan oleh Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian IPB. Sulistyaningsih. 2001. Laporan Akhir Penyusunan Rencana Detail Pengolahan Pakan Ternak Alternatif di Desa Sidomulyo, Kabupaten Barito Kuala. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan. Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada. Sztompka, Piotr. 1994. The Sociology of Social Change. Publishers.
Oxford: Blackwell
Tjondronegoro, S. M. P. dan Wiradi, Gunawan, penyunting. 1984. Dua Abad Penguasaan Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. Utomo, Kampto. 1975. Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Wai Sekampung (Lampung). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Watson, T. 1997. Sociology, Work and Industry. London. Routledge and Vengan Paul. Wertheim, Wim F. 1997. Third World Whence and Wither? Ira Iramanto, Penerjemah; Het Spinhuis. Widjaja-Adhi et al. 2000. Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agriklimat. Bogor: Balitbang Deptan. Wilkinson, Kennett P. 1986. In Search of The Community in The Changing Countryside dalam Graham Cow (ed). 1996. The Sociology of Rural Communities: Volume II. An Elgar Reference Collection. Cheltenham, UK. Yosep, Sombuk M. 1996. Pengaruh Program Transmigran dan Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Struktur Keluarga dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tradisional Irian Jaya [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor. Yunilisiah. 1996. Pola Penguasaan Tanah dan Kualitas Hidup Rumah Tangga Petani di Desa Transmigrasi: Studi di Desa Transmigrasi Marga Sakti, Kecamatan Padang Jaya, Kabupaten Bengkulu Utara, Propinsi Bengkulu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana IPB, Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Peta Pulau Kalimantan.
Lampiran 2 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Wanaraya per Bulan. Bulan
Curah Hujan (mm)
Hari Hujan (hh)
136,5 mm 269,6 mm 218,1 mm 229,2 mm 82,45 mm 149,4 mm 77,8 mm 50,1 mm 54,1 mm 128,9 mm 259,9 mm 251,2 mm
14 12 13 8 6 6 6 4 4 7 13 15
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Sumber: BPP Kecamatan Wanaraya 2003.
Lampiran 3 Penduduk Kecamatan Wanaraya pada Tahun-tahun Tertentu, 19802004. Luas Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Tahun Komunitas Wilayah Penduduk Pria Wanita P+W 2 (Km ) (Jiwa/Km2) 1980
Lokal Transmigran
8,50 29,00
-
-
-
-
1997
Lokal Transmigran
8,50 29,00
930 5.519
909 1.839 5.316 10.835
223,66 390,67
2004
Lokal Transmigran
8,50 29,00
1.229 5.242
1.400 2.730 5.606 11.033
330,77 398,20
Sumber: Mantri Wanaraya Tahun 1997 – 2004 (diolah).
Lampiran 4 Penduduk di Wanaraya Menurut Jenis Pekerjaan, Tahun 2002. Jumlah Persetasi No. Jenis Pekerjaan (Jiwa) (%) 1. 2.
3. 4.
Petani Pengusaha: - Pedagang - Pengusaha Ternak - Pengusaha Perkebunan - Lain-lain Jasa PNS/TNI/POLRI Jumlah
7.803
91,00
142 8 282 185 155 8.575
1,66 0,09 3,29 2,16 1,81 100
Sumber: Mantri Statistik dan BPP Kec. Wanaraya Tahun 2003 (Diolah).
Lampiran 5 Potensi dan Fungsi lahan Sawah Pasang Surut di Wanaraya. Lahan Sawah Pasang Surut (Ha) No. Desa Potensi (%) Fungsi (%) % F/P 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pinang Habang Dwi Pasari Roham Raya Waringin Kencana Kolam Makmur Surya Kanta Simpang Jaya Kolam Kiri Kolam Kanan Tumih Sumber Rahayu Sidomulyo Babat Raya Total
450 (7,3) 425 (6,9) 956 (15,5) 450 (7,3) 440 (7,1) 734 (11,9) 350 (5,7) 263 (4,3) 452 (7,3) 93 (1,5) 960 (15,6) 386 (6,3) 196 (3,2) 6.155 (100)
450 (9,8) 425 (9,3) 866 (18,9) 400 (8,7) 386 (8,4) 625 (13,6) 275 (6,0) 196 (4,3) 283 (6,2) 43 (1,0) 480 (10,5) 123 (2,7) 47 (0,6) 4.582 (100)
100,0 100,0 90,6 88,9 87,7 85,1 78,6 74,5 62,6 50,5 50,0 31,9 13,3 74,4
Sumber: BPP Wanaraya Tahun 2002 (diolah).
Lampiran 6 Produktivitas Beberapa Komoditas Pertanian di Wanaraya, Tahun 1999–2002. Produktivitas (Ton/Ha) Rata-rata Komoditas (Ton/Ha) 1998 1999 2000 2001 2002 Ubi kayu Ubi jalar Padi unggul Padi Lokal Kedelai Jagung
10,0 7,5 3,1 2,7 0,8 0,4
9,0 7,0 3,0 2,1 0,7 0,4
10,0 7,5 3,0 2,1 0,8 0,3
Sumber: BPP Wanaraya Tahun 1998 – 2002 (diolah).
15,4 9,7 2,8 1,8 0,9 0,5
9,0 5,0 3,1 2,7 0,9 0,5
10,7 7,3 3,0 2,3 0,8 0,4
Lampiran 7 Penduduk Kecamatan Wanaraya per Desa pada Tahun-tahun Tertentu, 1980 – 2004. Luas Jumlah Penduduk Kepadatan Tahun Desa Wilayah (Jiwa) Penduduk 2 (Km2) Pria Wanita P+W (Jiwa/Km ) 1980
Tad
tad
Tad
tad
tad
1997
Sidomulyo Kolam Makmur Kolam Kiri Sumber Rahayu Surya Kanta Pinang Habang Roham Raya Simpang Jaya Kolam Kanan Waringin Kencana Dwi Pasari Babat Raya Tumih
2,00 2,50 2,50 2,50 2,50 2,50 4,00 2,50 3,50 2,50
747 718 583 554 563 460 710 429 553 358
732 693 603 516 539 427 681 420 507 346
1479 1411 1186 1070 1102 887 1391 849 1060 704
739,50 564,40 474,40 428,00 440,80 354,80 347,75 339,60 302,85 281,60
2,50 3,50 4,50
267 287 220
265 268 228
532 555 448
212,80 158,57 99,56
Sidomulyo Kolam Makmur Surya Kanta Roham Raya Kolam Kiri Pinang Habang Sumber Rahayu Waringin Kencana Simpang Jaya Kolam Kanan Dwi Pasari Tumih Babat Raya
2,00 2,50 2,50 4,00 2,50 2,50 2,50 2,50
688 762 615 878 475 520 512 412
623 762 782 995 688 529 307 404
1311 1524 1397 1975 1163 1049 1013 816
655,50 609,60 558,80 493,75 465,20 419,60 405,20 326,40
2,50 3,50 2,50 4,50 3,50
292 489 248 351 229
523 467 261 405 260
815 947 509 755 489
326,00 270,57 203,60 167,78 139,71
2004
Sumber: Mantri Statistik Wanaraya Tahun 1997 dan 2004 (diolah).
tad
Lampiran 8 Jenis Rumput dan Kandungan Nilai Nutrisi. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Jenis Rumput Lokal Petungan Adas-adas Gabusan/Udulan Kembangan/Kabur Kanginan Pring-Pringan Abangan Pahitan Kerpaan Jagungan Banta
Nilai Nutrisi (%) BK PK**) TDN***) *)
19,10 88,28 75,95 87,83 84,66 58,25 80,55 83,70 41,52 86,36
7,25 10,00 10,12 8,88 11,00 11,12 12,00 11,25 10,81 8,75
45,45 48,40 49,52 46,38 52,22 52,22 52,20 51,85 59,61 50,51
Sumber: Sulistyaningsih (2001). Keterangan: *) BK = Bahan Kering; **) PK = Protein Kasar; ***) TDN = Total Digestible Nutrien (Total Nutisi yang Tercernakan).
Lampiran 9 Catatan Refleksi dalam Pengumpulan Data di Lapangan. “Transmigrasi Sebagai Pembentuk Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan” adalah judul tesis penulis yang menitikberatkan pada dinamika atau proses sosial kehadiran komunitas transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tulisan ini, sengaja membatasi definisi komunitas transmigran sebagai penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Berkaitan dengan tema tesis tentang pembentukan formasi sosial di atas, dimana komunitas transmigran sebagai subyek penelitian, maka pertanyaan penting yang diajukan dalam penelitian ini meliputi empat hal, yaitu: (1) bagaimana proses berlangsungnya kontradiksi antara alam dengan teknologi dan modal sehingga mempengaruhi sistem sosial? (2) Bagaimana proses teralienasinya kelas sosial terendah dalam penguasaan faktor-faktor produksi di komunitas transmigran? (3) Bagaimana berlangsungnya moda produksi komunitas transmigran di Wanaraya? dan (4) Bagaimana terjadinya perubahan organisasi produksi yang kemudian mampu menggerakkan suprastruktur (nilai atau norma/aturan)? Untuk menjawab pertanyaan di atas, penulis melakukan penelusuran literatur (studi dokumentasi) berkaitan dengan kesejarahan desa dan tema penelitian, serta pengamatan terfokus pada berlangsungnya sistem produksi/usaha produksi, proses produksi, komunitas transmigran, dan sejarah desa yang diteliti. Oleh karena penelitian sosial diperuntukkan menjawab permasalahan yang diajukan tersebut serta keterkaitannya dengan pengataman yang dilakukan penulis, maka peran responden dan informan (tineliti) disesuaikan dengan teknik pengumpulan datanya. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: wawancara mendalam, riwayat hidup, pengamatan berpartisipasi, dan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) untuk menguji kebenaran (kesahihan) data yang diperoleh dari responden dan informan peneliti. Meskipun penulis telah menyusun dengan rapi pengkatagorian pertanyaan yang disesuaikan dengan sumber informasi yang akan diperoleh, namun sangat disadari bahwa keterbatasan dekomentasi yang tersedia berkaitan dengan lokasi penelitian menyebabkan penulis mengalami hambatan untuk melakukan penelusuran kesejarahan Wanaraya. Sebagai misal, untuk menceritakan sejarah komunitas transmigran Wanaraya, penulis menghadapi hambatan keterbatasan dokumentasi yang tersedia baik pada desa-desa komunitas lokal maupun desadesa komunitas transmigran sehingga praktis kesejarahan desa bersumber dari
responden dan informan peneliti. Kondisi seperti ini sangat dimungkinkan terjadinya “kelalaian” responden atau informan untuk mengingat kembali beberapa peristiwa penting berkaitan dengan tema penelitian. Disamping itu, hal yang dianggap penting dan harus dikatakan dalam catatan refleksi ini adalah pengalaman penulis ketika bersentuhan dengan tineliti. Sebagaimana determinasi lahan bertekstur histosol yang membutuhkan penetrasi kapital (modal) tempat dimana komunitas transmigran bermukim, seringkali penelitian yang dilakukan di lokasi ini (termasuk ketika penulis melakukan penelitian) diidentikkan atau dianggap sebagai “proyek pembangunan” sehingga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden dijawab dan diakhiri dengan pernyataan “permohonan bantuan” bagi komunitas tersebut. Dalam kondisi seperti di atas, dimungkinkan jawaban atas pertanyaan yang penulis ajukan oleh sebagian responden tidak didasarkan atas “kesadaran” posisi responden dalam struktur sosial komunitas transmigran, melainkan terjadinya disorientasi kebutuhan dasar yang sesungguhnya oleh mereka yang tergolong ke dalam kelas sosial terendah (petani pemilik-penggarap). Kondisi ini seperti terlihat pada temuan penulis pada usaha produksi ternak sapi, dimana bantuan dari pihak pemerintah terkadang menyebabkan kelas sosial terendah menjadi sasaran ekstrak surplus produksi oleh kelas sosial teratas (petani pemilik modal). Walaupun demikian, terdapat sebagian responden yang juga menyadari bahwasanya lahan marjinal di Wanaraya sangat memungkinkan terjadi eksploitatif oleh kelas petani pemilik modal terhadap petani pemilik-penggarap, sebagaimana diungkapkan sosok perempuan yang tidak kenal lelah bernama Mardinah, “..........mereka terlalu tinggi mengambil keuntungan dari peminjaman pupuk kepada kami”.