Transformasi Digital Kompas From Newspaper to News Brand Johanes Heru Margianto 210221003 Abstract Information technology, mainly those based on computers and the Internet, has nowadays developedrapidly. The development of IT has led to the term of what we call as media convergence. It means the merging of various functions, which was previously separated, into a single platform. Convergence cannot besolely understood as the technology development. It has brought impact to the audiences and the media industry. For the media, the Internetserves as a new platform where all convergence dimensions meet.Kompas daily as the print media industry has continued to adapt to the technological developments since 1986. It was the first timeKompasequipped it’s newsroom with the computers to support its journalistic works. The never ending adaptation efforts havebrought Kompas into a brand new entity. The identity has trasformed from newspaper to newsbrand. Kompas now is known as credibel news, not only newspaper. Media convergence has allowed Kompas, as a credible news, to tell stories to its readers using a variety of media, such as print, online and television. Now the readers can enjoy the stories consist of text, video, audio, graphics and multimedia, through personal computers, laptops, tablets and smart phones. However the media convergence brings a set of obstacles and challenges. Up to now, Kompas is still struggling to overcome the obstacles and challenges. Keywords: media digital transformation, media convergence, journalism
1
1. latar belakang Menjelang akhir tahun 2012, majalah berita mingguan berpengaruh Newsweek menyampaikan pengumuman mengejutkan. Majalah itu memutuskan untuk menghentikan edisi cetaknya setelah 80 tahun keberadaanya. Newsweek memutuskan beralih ke format digital untuk menyasar pembaca online melalui tablet, smartphone, dan desktop. (Daily Beast, 2012). Alasannya, situasi zaman berubah. Pembaca kini mendapatkan lebih banyak informasi dari Internetnet melalui dekstop, tablet, dan smartphone. Di pihak lain, para pengiklan juga mulai bergeser mengalokasikan uang iklan mereka ke media alternatif yang lebih murah yaitu media online. Kisah Newsweek yang menghentikan edisi cetaknya dan hanya terbit dalam edisi online bukan kisah pertama. Sebelumnya, majalah US News & World Report juga sudah menghentikan edisi cetaknya pada 2011 dan fokus ke digital (Kompas.com-b, 2012). Keputusan yang sama juga dilakukan harian Seattle Post Intelegencier di Amerika yang menerbitkan edisi cetak terakhirnya pada 16 Maret 2009 (Seattle PI, 2009). Tidak sampai dua minggu, The Christian Science Monitor juga mengumumkan penutupan edisi cetaknya pada 27 Maret 2009 (The Christian Science Monitor, 2009). Catatan ini masih bisa diperpanjang dengan kisah serupa yang terjadi padaChicago Tribune, Los Angeles Time, The Rocky Mountain News, Philladephia Inquiry, Baltimore Examiner, Kentucky Post, King Country Journal, Cincinnati Post, Union City Register Tribune, Halifax Daily News, Albuquerque Tribune, South Idaho Star, San Juan Star. Sebagian koran-koran itu masih bisa dinikmati secara online, sebagian lagi betul-betul tutup (Nawawi, 2012). Perkembangan teknologi, utamanya komputer dan Internet, berdampak luar biasa pada industri media cetak. Seperti disebutkan di atas, perkembangan itu mengubah cara orang mengonsumsi informasi dan juga mengubah alokasi kue iklan dari cetak ke Internet. Menurut catatan Internet World Stats (2012), pengguna Internet di dunia memang meningkat tajam. Sejak tahun 2000 hingga 30 Juni 2012 pertumbuhan Internet di dunia mencapai 566,4 persen Tercatat, pengguna Internet di dunia per 30 Juni 2012 sebanyak 2,4 miliar pengguna atau mencapai 34,3 persen populasi dunia. Pada tahun 2000 pengguna Internet tercatat hanya 360,9 juta pengguna. Perubahan ini mau tak mau mendorong industri media cetak untuk ikut berubah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Harian Kompas sebagai media terbesar di Indonesia tak lepas dari perubahan ini. Pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi Harian Kompas menghadapi era digital yang ditandai dengan kehadiran internet? Mengapa Kompas sebagai brand melakukan ekstensi 2
entitas dalam wujud digital kompas.com dan Kompas TV serta hadir dalam berbagai platform medium digital seperti telepon seluler, tablet, personal computer, televisi? 2. Tinjauan pustaka 2.1. Perkembangan teknologi dan konvergensi Kehadiran personal komputer pada pertengahan tahun 1980-an diyakini banyak kalangan sebagai pijakan baru bagi perkembangan berbagai inovasi media, kebudayaan dan teknologi yang kemudian dikenal sebagai “media baru” (Lister, Dovey, Giddings, Grant, & Kelly, 2009). Media baru adalah berbagai perangkat yang secara konseptual merujuk pada penyebaran informasi secara digital (Smith & Hendricks, 2010). Sebagian besar perangkat baru yang asosiatif dengan media baru merujuk pada teknologi komputer (Pavlik, 1998). Mulanya beragam perangkat digital memiliki fungsi tunggal dan terpisah. Misalnya, telepon adalah alat untuk menelepon, berbeda dengan radio yang berfungsi untuk menangkap siaran radio, berbeda pula dengan televisi untuk menonton televisi. Dalam perkembangannya, teknologi memampukan fungsi-fungsi itu menyatu dalam sebuah perangkat. Penggabungan berbagai macam fungsi ini kerap dipahami sebagai konvergensi.Istilah konvergensi pertamakali dicetuskan oleh Nicholas Negroponte pada 1979 (Grant & Wilkinson, 2009). Dengan istilah itu, ia ingin menunjukkan persinggungan berbagai jenis media seperti industri broadcast dan gambar bergerak, cetak dan industri penerbitan, serta industri komputer. Pasca-istilah itu dikenalkan, makna persinggungan beragam media berkembang luas seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi dan komputer. Sejak tahun 1990-an, istilah konvergensi selalu dilekatkan pada segala hal terkait perkembangan teknologi digital, integrasi teks, bilangan, gambar, dan suara. Internet menawarkan ruang yang paling maksimal terjadinya kovergensi dan cara media dibuat, diproduksi, dan dikonsumsi (Briggs & Bourke, 2002, hal. 267). Perspektif konvergensi pun multidimensional, tidak hanya dipahami semata-mata sebagai penggabungan beragam fungsi teknologi berbasis komputer, tapi juga mengenai implikasi yang mengikutinya yaitu perubahan kultur masyarakat, industri, hingga regulasi yang mengatur soal itu (Dwyer, 2010, hal. 5). Diskusi tentang konvergensi tidak hanya soal teknologi medium, tapi
juga soal bagaimana khalayak berinteraksi dengan medium itu
(Smith & Hendricks, 2010, hal. 6). Bahkan, lebih jauh juga soal perubahan sosial, kultural, dan ekonomi. (Dwyer, 2010, hal. 8).
3
2.2. Industri media dan konvergensi Seiring dengan perkembangan teknologi yang membawa beragam perubahan di segala lini yang berujung pada beragam penyatuan fungsi atau konvergensi, industri media pun dituntut untuk berubah, menyesuaikan diri. Kenapa industri media harus menyesuakan diri? Pertama, karena audiens media berubah. Cara masyarakat masa kini mengonsumsi informasi berubah. Teknologi melahirkan generasi-generasi baru yang disebut oleh Winograd dan Hais (2008) sebagai generasi milenial yaitu mereka yang lahir setelah tahun 1984. Winograd dan Hais (2008) melukiskan generasi milenial sebagai, “a technologically savvy generation that relies heavily on new media technologies to obtain information ranging from the news and weather to communicating with peers via text messaging and social networking.”(Winograd & Hais, 2008). Generasi baru ini jarang membaca media cetak. Hidup mereka tergantung dan berpusat di Internet yang mereka akses melalui beragam perangkat teknologi yang mereka miliki. Perubahan generasi ini berdampak pada menurunnya oplah surat kabar, pemirsa televisi, dan pendapatan iklan (Dwyer, 2010, hal. 3). Kedua,
karena naturnya
sebagai entitas bisnis, media sebaga industri selalu berusahan mencari cara-cara baru dalam menjangkau audiens dan menjaga dan meningkatkan keuntungan bisnisnya (Dwyer, 2010, hal. 18). Sebagai industri dan sesuai dengan logika industri, media secara natural selalu berusaha mencari peluang-peluang baru untuk meningkatkan kapital mereka (Smith & Hendricks, 2010, hal. 9). Berhadapan dengan situasi zaman, ancaman, dan peluang yang ada, kita menyaksikan media-media tradisional perlahan tapi pasti mengembangkan diri mereka memasuki medium digital dan mengintegrasikannya dalam beragam praktik konvergensi (Dwyer, 2010, hal. 47). Teknologi digital memadatkan informasi dan memungkinkan teks, grafis, foto, dan audio berjalan lintas platform. Digitalisasi media dan tekonologi komunikasi dipandang sebagai alasan yang bersifat imperatif di balik aksi konvergensi ini (Lawson-Borders, 2006, hal. 6). Platform yang terintegrasi itu hanya mungkin terjadi di online. Hanya media online yang memungkinkan terjadinya konvergensi atau penyatuan beragam media yang ada apakah itu radio, televisi, atau cetak (Lawson-Borders, 2006, hal. 4) Menurut Dwyer (2010), setidaknya ada tiga pilihan yang dilakukan industri media dalam upayanya membangun platform online yang integratif yaitu membangun outlet baru sendiri dan merekonsolidasi unit bisnis secara internal, melakukan akusisi, dan merger. Setelah
memiliki
semua
platform
yang
dibutuhkan
langkah
selanjutnya
adalah
mengintegrasikan semua sesuai dengan kebutuhan korporasi. Konkretnya, korporasi media tradisional yang semula berbasis surat kabar, misalnya, mengembangkan sayap-sayap bisnis 4
digital baru dengan membangun televisi dan mengintegrasikan semua media mereka dalam medium online. Begitu juga, korporasi media yang semula berbasis televisi, mengembangkan divisi digitalnya dan meramu sebuah media baru yang integratif dalam medium online. 2.3.Tantangan konvergensi Dari perspektif jurnalistik, konvergensi dimengerti sebagai praksis berbagi dan promosi lintas konten dari beragam media melalui kolaborasi ruang redaksi dan kemitraan (Brooks, Kennedy, Moen, & Ranly, 2004, hal. 15). Menurut Larry Pryor, guru besar Annenberg School for Communication University of Southern California, konvergensi dalam perspektif jurnalisme mengambil tempat di ruang redaksi ketika para awak redaksi bekerjasama memproduksi beragam konten untuk beragam platform medium demi menjangkau audiensnya dengan penyajian konten yang interaktif dalam skala waktu 24 jam selama tujuh hari (Quin & Filak, 2005, hal. 4). Penjelasan itu memaktubkan, kunci konvergensi adalah “working together” awak redaksi di ruang redaksi dalam memproduksi beragam konten untuk berbagai platform. Pada praktiknya, konvergensi dalam praksis redaksional tidak semudah definisinya. James Gentry, guru besar William Alen White School of Journalism and Mass Communications pada University of Kansas mengatakan, mudah atau sulitnya penerapan konvergensi tergantung dari sejumlah faktor yang melingkupi media-media yang ingin melakukan konvergensi antar mereka. (Quin & Filak, 2005, hal. 15). Ia membuat tabel yang menjelaskan faktor-faktor pada dua kutub pelaksanaan korvergensi: faktor yang memudahkan dan faktor yang menyulitkan. Faktor-faktor itu dipandangnya sudah memberikan penjelasan sehingga ia tidak menguraikannya secara rinci. (lihat tabel 2.1). Tabel 2.1 “Easy” versus ‘Difficult” Convergence “Easy” Convergence Central to organization’s strategy Commited and focused leadership Culture of innovation and risk taking Coordinating structure Same ownership Sames values Aligned system and procesess Cable television partnerships
“Difficult” Convergence Not central; secondary or worse Other leadership priorities “Always done it this way” No coordinating structure Different ownership Different values System not alligned Partnerships with over-the-air 5
Past succeses together Culture flexible or similiar Collocated Lack of unions
Broadcaster Previous problems or no relationship Culture not flexible or similiar Located some distance apart Presence of strong unions
Sumber: Convergent Journalism, Quin & Filak (2005)
2.4. Kerangka konseptual Teknologi membawa dampak yang luar biasa di segala lini kehidupan manusia. Teknologi tak bisa dipahami sebagai teknologi semata-mata, tapi juga meyangkut kultur masyarakat. Teknologi membawa perubahan budaya di dalam masyarakat. Bagi industri media, perkembangan teknologi yang diikuti dengan beragam bentuk konvergensi tak pelak berpengaruh sangat signifikan, tidak hanya bagi industri, tapi juga pada wajah jurnalisme. Perubahan masyarakat yang disebabkan oleh perkembangan teknologi mau tak mau menuntut pula media sebagai industri dan sebagai jurnalisme untuk berubah. Praktik konvergensi pun terjadi pada industri media dan jurnalisme. Internet merupakan ruang yang memungkinkan kovergensi itu terjadi. Platform industri media cetak, televisi, kemudian mengembangkan dirinya dalam sebuah tatanan baru yang integratif dalam platform Internet. Internet juga menjadi ruang bagi menyatunya semua tradisi jurnalime tradisional dalam sebuah wajah jurnalisme baru yang lebih integratif, atraktif, dan interaktif, menyatukan teks, foto, gambar, video, audio, grafis, dan interaksi pembaca. 3. Prosedur penelitian 3.1. metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititatif. Menurut Moleong (2012), penelitian kualitatif dimaksudkan untuk memahami fenomena atau gejala sosial yang dialami subyek penelitian secara menyeluruh dengan cara deskripsi pada suatu konteks khusus dengan memanfaatkan metode ilmiah. Demi pemahaman yang menyeluruh atas suatu gejala sosial, penelitian kualitatif tidak bisa didasarkan pada pengalaman tunggal individu, melainkan harus juga mempertimbangkan jalinan relasi antar individu dan pandangan mereka yang terlibat dalam satu kelompok sosial (Flick, Kardorff, & Steinke, 2004). 3.2. Desain penelitian
6
Desain penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Menurut Bungin (2010), penelitian deskriptif
desain
kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai
kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu. Format deskriptif kualitatif umumnya dilakukan pada penelitian dengan pendekatan studi kasus. Menurut Yin (2012), penelitian studi kasus dipilih untuk menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa’. Penelitian ini ingin mengungkap fenomena ekstensi brand Kompas yang semula hanya dikenal sebagai surat kabar, kini dikenal pula sebagai media online dalam kompas.com dan media broadcast dalam KompasTV. Penelitian ini ingin menjawab pertanyaan “mengapa” brand Kompas mengalami ekstensi dan “bagaimana” proses ekstensi itu terjadi. 3.3. Obyek penelitian Obyek penelitian ini adalah brand media Kompas yang terdiri dari Harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV. Kompas dipilih sebagai obyek penelitian ini karena: a.
Kompas merupakan brand media surat kabar terbesar di negeri ini. Sebagai media, Kompas dikenal sangat berpengaruh dalam membentuk opini dan mendorong kebijakan publik. Apa yang dilakukan Kompas dalam beradaptasi dengan era baru digital saat ini akan menjadi lesson learned bagi media-media cetak di Indonesia yang saat ini juga tengah bergulat dengan persoalan yang sama.
b.
Secara internal, apa yang terjadi saat ini merupakan babak baru dalam perjalanan Kompas yang selama 48 tahun sejak berdiri pada 29 Juni 1965 dikenal sebagai brand surat kabar. Kompas sendiri perlu sebuah catatatan atas babak baru tersebut yang kelak dapat menjadi lesson learned di kalangan internal institusi.
3.5. Metode pengumpulan data Pengumpulan data dalam penelitian studi kasus dapat diambil dari berbagai sumber informasi (Wimmer & Domminick, 2011 dan Yin, 2012). Menurut Bungin (2010), berdasarkan manfaat empiris, pengumpulan data kualitatif yang paling independen terhadap semua metode pengumpulan data dan teknik analisis data adalah metode wawancara mendalam, observasi partisipasi, dan bahan-bahan dokumenter. Teknik pengumpulan data
7
yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi partisipan, dan dokumen. 3.6. Metode analisis data Selanjutnya, analisis data dilakukan dengan mengembangkan sebuah deskripsi atas data yang dikumpulkan ke dalam urutan kronologis (Yin, 2012). Pembentangan peristiwaperistiwa dalam ke dalam suatu kronologi memungkinkan peneliti untuk menentukan peristiwa-peristiwa kausal yang mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa lain. Dalam hal ini, hasil pengumpulan data terhadap tiga unit analisis yaitu Harian Kompas, kompas.com, dan Kompas TV akan disusun dalam sebuah kerangka deskriptif berdasarkan urutan waktu atau kesejarahan (life history). Dengan pemahaman melalui life history, seorang peneliti akan memperdalam pengertiannya secara kualitatif, mengenai detail persoalan yang sedang dipelajarinya dari orang, kelompok atau masyarakat tertentu, yang tidak dapat diperoleh dari sekadar wawancara, observasi atau dengan menggunakan kusioner. (Bungin, 2010). 4. Hasil penelitian Pendiri Harian Kompas, Jakob Oetama, dalam sebuah rapat kerja internal Harian Kompas tahun 2009 pernah berucap, perubahan adalah jati diri media. Artinya, media harus terbuka terhadap perubahan demi menyesuaikan dirinya dengan perkembangan zaman. (Sugiya, 2012). Sebagai media, Harian Kompas pun tak luput dari perubahan itu. Perubahan demi perubahan terjadi sejak Harian Kompas hadir pada 28 Juni 1965. Di era digital ini, perubahan pun tak henti terjadi seperti kita lihat dalam paparan berikut ini. 4.1. Kompas Online, kesadaran digital pertama Perubahan pertama yang terjadi pada Kompas terkait perkembangan teknologi komputer dan Internet adalah hadirnya Kompas Online atau KOL pada 14 September 1995. Domainnya belum dotcom, tapi co.id. www.kompas.co.id. NinokLeksono yang pada tahun 1996 menjabat sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, mengungkapkan, saat itu ada kesadaran digital di jajaran manajemen Harian Kompas memandang Internet sebagai peluang untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Sebelum hadirnya Internet, secara tradisional, Harian Kompas didistribusikan melalui jasa ekspedisi. Namun, luasnya wilayah Indonesia membuat Harian Kompas tidak pernah sampai pada hari yang sama di wilayahwilayah luar Jawa. Di luar negeri, di Eropa atau Amerika, Harian Kompas bahkan tiba beberapa minggu kemudian. Internet membuka ruang bagi konten Harian Kompas dinikmati 8
pada hari yang sama oleh siapapun di manapun. (Leksono, 2013). Saat itu KOL belum berorientasi bisnis. KOL hadir semata-mata sebagai ekstensi Harian Kompas di Internet. Kontennya pun sepenuhnya merupakan replikasi dari Harian Kompas. Bedanya, KOL memiliki edisi Bahasa Inggris dan Belanda untuk menjangkau pembaca yang lebih luas. Pada tahun 1998, konten KOL berkembang, tidak lagi hanya menghadirkan replika konten Harian Kompas, tapi juga mulai menghadirkan berita-berita update yang dinamis. James Luhulima, editor pertama KOL menceritakan, wartawan Harian Kompas saat itu diminta untuk tidak hanya menulis berita untuk Harian Kompas, tapi juga membuat beritaberita update untuk KOL. (Luhulima, 2013). Laman yang berisi konten-konten berita update dinamai Kompas Online Plus. Desain laman depan KOL berubah. Laman depan memberikan pilihan kepada pembaca untuk mengakses Kompas Online atau Kompas Online Plus. Jika mengklik Kompas Online maka pembaca mendapatkan Kompas Online seperti versi sebelumnya. Sementara, jika mengklik Kompas Online Plus pembaca akan mendapatkan halaman lain yang berisi berita-berita update. Kompas Online Plus gagal berkembang. Tidak banyak wartawan Harian Kompas yang bekontribusi terhadap konten Kompas Online Plus. Para wartawan enggan untuk menulis sebelum waktu deadline mereka pada sore atau malam hari. Akibatnya, Kompas Online Plus kekurangan pasokan berita atau gagal menghadirkan pemberitaan update. Ada tiga alasanyang dapat dikemukakan sebagai penyebab kegagalan ini yaitu kultur kerja dan kurangnya sumber daya manusia yang menangani. Kultur kerja. Wartawan Harian Kompas terbiasa menulis untuk cetak yang notabane siklus kerjanya adalah mengikuti deadline cetak yang terperiodesasi harian. Menurut Leksono (2013) dan Luhulima (2013), kultur kerja wartawan cetak adalah menulis berita di malam hari setelah liputan pada siang hari. Kultur kerja ini berbeda dengan karakteristik medium baru online yang menuntut wartawan menulis setiap saat selepas terjadinya peristiwa yang disebut Leksono sebagai continous deadline yaitu deadline berkelanjutan. Media online tidak terikat periodesasi terbit seperti halnya media cetak. Media online dapat meng-update beritanya setiap saat. Pavlik (2001) mengungkapkan, dinamika berita adalah salah satu ciri khas dalam media online. Ini yang membedakannya dengan media sebelumnya, utamanya suratkabar. Kurangnya sumber daya manusia yang menangani. Menurut Leksono (2013), waktu itu tidak ada desk khusus di redaksi yang menangani pemberitaan update di online. Tenaga yang ada waktu itu hanya mereka yang membuat halaman HTML untuk diunggah ke laman
9
Kompas Online. Seluruh sumber daya jurnalis di redaksi Harian Kompas bekerja untuk edisi cetak. Meski gagal menghadirkan berita-berita update KOL yang mulai hadir pada tahun 1995 dipandang berhasil mencapai tujuan awalnya yaitu memperluas audiens Harian Kompas. Berita-berita Harian Kompas yang tadinya baru bisa dibaca beberapa jam kemudian di kota lain, atau bahkan tidak pernah dinikmati oleh orang-orang di luar negeri yang haus akan informasi Indonesia, sejak saat itu tidak lagi terjadi. Pada saat yang bersamaan, semua pembaca di seluruh dunia dapat menikmati berita-berita Indonesia terbaru. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat kunjungan KOL yang tinggi. Tingginya akses ini ditunjukkan oleh keberhasilan Kompas Online mencapai peringkat 39 situs web di seluruh dunia yang paling banyak diakses (Leksono, 1998). 4.2. Era Kompas Cyber Media Kegagalan menghadirkan berita update tidak menghentikan langkah Kompas Gramedia mengembangkan Kompas di Internet. Cara baru yang ditempuh adalah dengan mendirikan perusahaan sendiri yang fokus menangani pengelolaan konten Kompas di Internet. Artinya, pengelolaan Kompas di Internet “dicabut” dari ruang redaksi Harian Kompas. Pada 6 Agustus 1998 Kompas Gramedia mendirikan perusahaan baru pengelola Kompas di Internet yaitu PT Kompas Cyber Media atau KCM. Hadirnya perusahaan baru itu mengindikasikan bahwa Kompas di Internet tidak lagi sekadar “added value” kepada pembaca dengan menghadirkan replikasi konten Harian Kompas, tapi juga berorientasi komersil mencari keuntungan. Transformasi baru terjadi. Kompas di Internet menjadi sayap bisnis baru Kompas Gramedia. Internet tidak lagi hanya dipandang sebagai peluang untuk menjangkau audiens lebih luas, tapi juga peluang bisnis. Ninok Leksono ditunjuk sebagai direktur utamanya. Media online KCM dalam konsepsi Leksono digagas berbeda dibanding media online yang dikembangkan detik.com yang juga hadir dalam waktu hampir bersamaan. Detik.com tayang pertama kali di Internet ada 9 Juli 1988 (Anggoro, 2012). Jika detik.com sejak awal mendasarkan diri pada “kecepatan”, KCM mendasarkan diri pada pendalaman dan keluasan konten Harian Kompas. Pertama-tama KCM tidak mengejar kecepatan dalam continous deadline. News update itu adalah manakala ada yang penting (baru update). KCM adalah perluasan atau ektensi dari Harian Kompas (Leksono, 2013). Sebagai sebuah entitas bisnis, KCM gagal memenuhi misinya: mendapatkan keuntungan. Keuntungan finansial adalah pondasi bagi sebuah bisnis. Media sebagai industri, 10
seberapa pun besar idealisme yang diembannya, tidak mungkin bertahan jika ia tidak bisa mandiri menghidupi dirinya sendiri. G.B. Dealey, pendiri Dallas Morning News dan pemilik Bello Corporation, korporasi media raksasa di Amerika Serikat menyatakan, bisnis yang baik adalah pondasi bagi industri media. Tanpa pondasi itu, cita-cita dan idealisme media untuk melayani publik tidak akan tercapai. (Segura, 2008, hal. 270). Pavlik (2001) juga menekankan hal serupa. Bisnis yang menguntungkan adalah hal penting bagi jurnalisme. Tanpa bisnis yang menguntungkan, media tidak bisa memperjuangkan idealismenya dalam menyajikan karya-karya jurnalistik yang baik. Setidaknya ada empat alasan yang dikemukakan Leksono (2013) sebagai faktor kegagalan ini. Pertama, sebagai media online, KCM tidak mampu tampil sebagai rujukan informasi utama. Media online yang seharusnya menampilkan immediacy news (Quin & Filak, 2005, hal. 27) ketika terjadi sebuah peristiwa tidak mampu diperankan oleh KCM. Kontennya kalah cepat, kalah menarik, dan kalah banyak dibanding detik.com. Hal ini dapat terlihat dari posisi rangking KCM sebagai media berita yang di pengujung tahun 2006 menduduki peringkat 32 di alexa, jauh di bawah detik.com yang berada di rangking 9. Di atas KCM, Detik memiliki saluran berita lain di antaranya detiknews.com, detikhot.com, dan detiksport.com. Kedua, kurangnya sumber daya manusia di KCM. Ketidakmampuan KCM menjadi rujukan informasi utama disebabkan antara lain oleh kurangnya sumber daya manusia. Jumlah awak redaksi KCM saat itu hanya 17 orang untuk menangani seluruh konten yang ada. Jumlah itu jauh di bawah detik.com. Minimnya sumber daya manusia juga terjadi di departemen IT, Sales dan Marketing, serta kreatif. Ketiga, infrastruktur KCM saat itu juga tidak memadai. Keluhan yang sering disampaikan pembaca adalah betapa susahnya membuka situs KCM saat itu. Hal ini disebabkan oleh perangkat keras teknologi yang tidak mampu mendukung layanan yang baik. Keempat, sedikit banyak, KCM masih menganut mindset jurnalisme cetak yang mengandalkan kekompletan ketimbang kecepatan. Pakem jurnalistik Harian Kompas yang normatif tidak mampu menarik pembaca. KCM mendahulukan berita penting, ketimbang menarik. Soal mindset ini juga menjadi kritik CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo. Menurut Adiprasetyo (2013), KCM selama ini tidak mampu menghadirkan naturnya sebagai media online. Meski mengusung identitas sebagai media online pengelola KCM masih menggunakan mindset media cetak. Meski gagal memenuhi misinya mendapat keuntungan, KCM tetap memiliki arti penting. Pertama, KCM berhasil memperluas khalayak pembaca Harian Kompas, utamanya 11
pembaca-pembaca baru yang berkerumun di Internet seiring dengan bertumbuhnya pengguna Internet di Indonesia. KCM berhasil mengatasi hambatan geografis dalam sirkulasi Harian Kompas. KCM juga meluaskan audiens Kompas secara demografis. Pembaca KCM menurut data internal 2007, berusia di bawah 40 tahun. Usia dominan adalah 20-40 (75 persen), sisanya berusia 16-20 (25 persen). Sementara pembaca Harian Kompas menurut Media Kit Kompas (2012), mayoritas pembaca Harian Kompas berusia di atas 35 tahun, sebanyak 59,9 persen Kedua, KCM juga berhasil menjadi ekstensi Harian Kompas dengan menghadirkan konten-konten baru yang tidak ada di Harian Kompas, lepas dari soal apakah konten-konten itu diminati pembaca atau tidak. Mereka yang ingin membaca edisi cetak Harian Kompas di KCM mendapatkan pula konten-konten update lain seperti artikel-artikel kesehatan, teknologi, olahraga, entertainment. KCM juga berhasil menyajikan berita-berita update terkini yang perwujudannya gagal dilakukan di masa Kompas Online Plus, meski tidak tidak secepat dan semasif detik.com. Dengan berita-berita update itu, audiens tidak lagi perlu menunggu terbitnya edisi Harian Kompas esok hari. 4.3. Kompas.com, Kompas TV dan era konvergensi Pada tahun 2008, Internet semakin populer di Indonesia. Situasi bisnis juga membaik usai dotcom bubbles pada 2002. Sejumlah situs berita online kembali bermunculan. Di antaranya adalah Okezone.com milik grup MNC yang tayang pada 2006 lalu disusul Viva.co.id milik grup Bakrie yang tayang pada 2007. Seiring dengan pertumbuhan pengguna Internet, cara masyarakat mengonsumsi informasi pun berubah. Masyarakat tidak lagi mengonsumsi informasi hanya dari media cetak. Pada tahun 2000, ketika Internet semakin populer, Dony Budi Utomo, Koordinator ICTwatch mencatat, mulai ada peralihan signifikan terhadap akses informasi media. Internet tidak lagi menjadi sumber sekunder setelah koran dan majalah, tapi sebaliknya, Internet mulai menjadi sumber utama informasi.(Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012). Tren ini juga seiring dengan berkembangkan teknologi telepon seluler yang semakin pintar. Situasi ini disadari penuh oleh manajemen Kompas Gramedia. Muncullah tekad untuk menghadirkan “Kompas” di setiap saluran informasi yang diakses publik. 4.3.1. Kompas.com dan Kompas TV Kompas Gramedia melakukan evaluasi menyeluruh terhadap KCM karena catatan bisinisnya yang buruk. Pada 29 Mei 2008, KCM mengubah identitas brandnya menjadi Kompas.com. Belajar dari kegagalan KCM, Kompas.com memiliki misi menjadi perusahaan 12
media nomer satu di Indonesia dan menguntungkan secara bisnis. Konsep konten Kompas.com berubah drastis. Jika di era KCM konsepnya tidak mengejar kecepatan, maka di era Kompas.com berita-berita KCM begitu dinamis dan cepat. Investasi baru dikucurkan. Sumber daya manusia ditambah. Sinergi dengan unit-unis bisnis lain di internal Kompas Gramedia dikembangkan untuk mendapatkan konten-konten pengisi Kompas.com. Disadari, berita-berita KCM tidak banyak diminati pengguna Internet karena pengelolanya masih menerapkan mindset atau cara pandang media cetak, tidak cepat dan bentuk beritanya panjang dan komplet (Adiprasetyo, 2013). Media online karena mediumnya dituntut untuk menghadirkan berita-berita yang cepat dalam continous deadline. Berita-berita pendek, tidak sekomplet media cetak, tapi terus berkelanjutan. (Leksono, 2013). Kompas.com juga mengembangkan berita-berita yang menarik, tidak melulu penting seperti konten Harian Kompas. Selain itu, Kompas.com juga memasuki ranah konten yang selama ini “tabu” yaitu berita-berita “gossip” mengenai selebriti Indonesia dan lebih lugas dalam mengulas soal seksualitas. Di era KCM pemberitaan kompas.com tidak pernah masuk ke wilayah kehidupan pribadi para artis dan seksualitas. Hal ini seturut dengan kebijakan editorial Harian Kompas yang memang tidak menceburkan diri pada porsi pemberitaan macam itu. Gaya penulisan Kompas.com pun berbeda dengan Harian Kompas. Kompas.com lebih “nakal”, lebih lugas, berbeda dengan Harian Kompas yang “santun”. Gaya jurnalisme Kompas.com menimbulkan reaksi keras dari sejumlah kalangan di Harian Kompas dan dipandang merusak kredibilitas Kompas. Pemimpin Redaksi Kompas.com Taufik Mihardja (2013) mengatakan, pilihan gaya yang berbeda ini mau tak mau dilakukan karena segmen pembaca Kompas.com dan Harian Kompas berbeda. Mediumnya juga berbeda. Pembaca Kompas.com mayoritas berusia 25-35 tahun. Sementara, pembaca Harian Kompas mayoritas berusia lebih dari 35 tahun. Benturan nilai antara konten Kompas.com dan Harian Kompas terjadi secara diametral Selain itu, berita-berita Kompas.com juga dilengkapi dengan multimedia. Ada grafis dan video. Mihardja (2013) mengatakan, salah satu karakteristik medium Internet adalah terbukanya ruang bagi hadirnya konten-konten multimedia. Konvergensi medium dalam wujud mutimedia hanya dimungkinkan terjadi di Internet (Lawson-Borders, 2006, hal. 4). Mihardja (2013) menyebut konten di kompas.com lebih colourful. Kompas.com sebenarnya representasi dari sebuah misi besar Kompas Gramedia untuk mengembangkan sebuah bentuk baru identitas Kompas yang sejak berdirinya pada tahun 1965 dikenal sebagai surat kabar. Misi baru itu adalah membawa Kompas sebagai newsbrand bukan lagi sebagai surat kabar. Adiprasetyo menegaskan, tahun 2008 adalah tahun 13
dimulainya tranformasi digital, secara khusus bagi Kompas, dan secara umum bagi seluruh produk KG yang berbasis cetak. Apa artinya from newspaper to news brand? Artinya, kata “Kompas” yang selama ini identik dengan surat kabar bertransformasi menjadi makna baru yaitu berita yang kredibel, terpercaya. Kompas adalah berita yang kredibel. Berita yang kredibel itu tidak lagi hanya ditemukan di surat kabar bernama Kompas, tapi di semua platform medium baru yang mengusung nama itu. (Adiprasetyo, 2013). Misi ini didasari oleh perkembangan teknologi yang membawa perubahan gaya hidup masyarakat. Menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, Kompas melakukan perubahan tersebut yang secara praktis dirumuskan dalam konsep 3M (baca: triple M) yaitu multichannel, multiplatform, dan multimedia. Tentang ini pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama menjelaskan. Perilaku yang begitu dinamis dalam cara orang memperoleh informasi mendorong Kompas melakukan "revolusi" internal. Karena itu, sejak awal tahun 2010-sesuai tema korporat "Membawa KG ke Dunia Digital"-Kompas menerapkan kebijakan 3M (triple M)multichannel, multiplatform, dan multimedia. Singkatnya, konten Kompas harus bisa dibaca melalui segala wahana (kertas, komputer, televisi, mobile phone, dan lain-lain). Bentuk konten yang akan di-deliver ke berbagai jenis media tidak hanya berupa teks dan foto, tetapi juga grafis, video, atau gabungan dari semuanya.(Oetama, 2010). Untuk melengkapi kehadiran brand Kompas di setiap saluran informasi yang diakses publik, Kompas Gramedia meluncurkan Kompas TV pada 9 September 2011 dengan konsep TV berjaringan. Menurut Oetama (2010), kehadiran TV adalah keharusan sebab Kompas dalam wujud 3M adalah niscaya dan mutlak. “Bukan besok, tetapi hari ini. Kompas masa depan hadir secara multimedia.” (Oetama, 2010). Dengan hadirnya TV, Kompas hadir di tiga saluran informasi yang paling banyak diakses publik: cetak, online, dan televisi. Oetama (2012), memimpikan tiga entitas itu saling bekerjasama dalam konsep 3M untuk menyebarkan informasi lebih luas, lebih kaya, dan lebih komplet. Sadar akan perubahan, Kompas telah mengembangkan media digital melalui Kompas.com, media online, dan Kompas TV sebagai penyedia konten. Sasarannya adalah untuk menciptakan sinergi media sebagai bagian dari upaya Kompas untuk mempertahankan bisnis kita dan idealisme untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat kita. (Oetama, 2012). 4.3.2. Konvergensi Oetama memang tidak menyebut sepatah katapun tentang konvergensi. Tapi, menyimak seluruh gagasannya, secara substansial apa yang menjadi visi Oetama adalah 14
konvergensi media. Ia menginginkan konvergensi media yang ia sebut sebagai 3M terjadi pada Kompas dalam tiga entitasnya. Secara sederhana, dengan kebijakan 3M (multichannel, multiplatform, dan multimedia) konten Kompas harus bisa dibaca melalui segala wahana (kertas, komputer, televisi, mobile phone, dan lain-lain). Bentuk konten yang akan di-deliver ke berbagai jenis media tidak hanya berupa teks dan foto, tetapi juga grafis, video, atau gabungan dari semuanya. Seluruh gagasan Oetama ini sealur dengan beragam penjelasan soal konvergensi sebagaimana diuraiakan di atas. Menurut Larry Pryor, guru besar Annenberg School for Communication University of Southern California, konvergensi dalam perspektif jurnalisme mengambil tempat di ruang redaksi ketika para awak redaksi bekerjasama memproduksi beragam konten untuk beragam platform medium demi menjangkau audiensnya dengan penyajian konten yang interaktif dalam skala waktu 24 jam selama tujuh hari. (Quin & Filak, 2005, hal. 4). Penjelasan itu memaktubkan, kunci konvergensi adalah “working together” awak redaksi di ruang redaksi dalam memproduksi beragam konten untuk berbagai platform. Pandangan Larry Pryor sejalan dengan pandangan Oetama di atas. “Kompas telah mengembangkan media digital melalui Kompas.com, media online, dan KompasTV sebagai penyedia konten. Sasarannya adalah untuk menciptakan sinergi media sebagai bagian dari upaya Kompas untuk mempertahankan bisnis kita dan idealisme untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat kita (Oetama, 2012). Oetama mengingingkan agar tiga entitas itu bersinergi, “working together”. 4.3.3. Tantangan konvergensi Pada praktiknya, konvergensi tidak semudah definisinya. Sejumlah faktor yang ditemukan dalam studi ini sebagai penghambat 3M adalah faktor historis, mindset, dan benturan nilai. a. Faktor historis. Sejak pengelolaan online dicabut dari redaksi Harian Kompas dan dikembangkan dalam perusahaan sendiri yaitu PT Kompas Cyber Media, membuat dua entitas ini berkembang sendiri-sendiri. Tidak ada interaksi dan relasi yang terbangun. Masing-masing merasa asing dan tidak ada rasa saling memiliki. Kompas.com mengembangkan model kontennya sendiri yang berbeda dengan Harian Kompas. Akibatnya, kerjasama sulit dibangun. Dalam tabel Gentry, situasi ini membuat pelaksanaan konvergensi berada pada kutub yang menyulitkan karena tidak ada relasi yang terbangun sebelumnya atau “no relationship” 15
(lihat tabel Gentry). Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo menggambarkan situasi ini sebagai berikut: Sebetulnya kalau saya lihat lebih kepada problem, dan sampai sekarang pun masih terasa, perubahannya pada tahun 1998 bahwa Kompas Online, KCM, dan Kompas.com, itu sebetulnya menurut saya sama saja, problematikanya adalah sebagian dari temanteman yang berasal dari jurnalisme cetak menganggap KCM dan sekarang Kompas.com itu masih sesuatu yang asing, sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda, sesuatu yang liar dibandingkan dengan Kompas Cetak itu sendiri. Dalam artian memang dari sisi jurnalismenya banyak berbeda, dari organisasinyapun berbeda, kemudian dari sisi rasa memilikinya pun belum terlalu kuat. Itulah yang menggambarkan perjalanan KompasOnline, Kompas Cyber Media, dan Kompas.com masih dalam problematika itu. (Tanuredjo, 2013) Faktor historis ini pun diakui oleh Pempin Redaksi Harian Kompas Rikard Bagun dalam wawancara dengan Sugiya (2012). ...untuk sementara sulit melakukan konvergensi. Kenapa? Karena ini lahir dari sejarahnya sendiri-sendiri. Mereka (Kompas.com dan Kompas TV) bukan derivasi utuh turunan (Harian) Kompas, sehingga sinergi. (Sugiya, 2012, hal. 155). Demikian pula, kehadiran Kompas TV sebagai entitas terpisah sedikit banyak juga memunculkan gap yang sama meski benturan antara dua entitas tersebut tidak terlalu mengemuka. b. Mindset. Mindset adalah soal acara pandang. Persoalan mindset mengemuka sejak Kompas mencoba menyajikan layanan berita-berita update ala online pada era Kompas Online Plus tahun 1998. Layanan berita update itu mengandaikan perubahan cara kerja wartawan. Mereka yang terbiasa bekerja dalam ritme surat kabar yaitu menulis berita pada sore atau malam hari, amat sulit untuk membuat berita dalam ritme kerja continous deadline (Leksono, 2013). Dari sisi konten dan gaya jurnalismenya, tidak semua gaya jurnalisme Harian Kompas dapat diterapkan sepenuhnya pada medium baru online dan televisi. Di satu pihak disadari bahwa medium baru memerlukan cara-cara baru dalam menciptakan konten dan mempraktikkan gaya jurnalistik, namun di pihak lain cara-cara baru itu disadari juga berkembang di luar “taste Kompas” yang cenderung normatif dan santun. Kompas.com dipandang “lebih nakal” dalam pilihan berita, isu, dan gaya bahasa. Demikian pula, tayangan televisi yang mengedepankan unsur dramatik kerap berbenturan dengan kesantunan “taste” Harian Kompas. Pebenturan ini memunculkan pandangan bahwa medium baru justru malah 16
melemahkan kredibilitas Kompas. Perbedaan cara pandang ini menyulitkan terjadinya konvergensi. c. Benturan nilai. Persoalan benturan nilai menjadi titik ketidaksepakatan yang berpengaruh pada relasi tiga entitas, utamanya antara Harian Kompas dan kompas.com. Kompas.com dipandang tidak merepresentasikan nilai-nilai atau “taste” HarianKompas yang telah dibangun hampir setengah abad. Praktik jurnalistik dan pilihan konten yang dilakukan kompas.com dipandang oleh sebagian pihak di Harian Kompas justru melemahkan brand Kompas. Menilik bagan Gentry, upaya mencapai cita-cita news brand menjadi sulit ketika nilai pada masing-masing medium berbeda. Seperti dijelaskan di atas, perbedaan nilai itu disebabkan oleh tidak adanya relasi yang terbangun secara historis dalam perjalanan Kompas.com sejak KCM. Tidak ada panduan tertulis atas pemahaman nilai-nilai itu. Dalam praktiknya, nilai-nilai itu ditularkan dalam interaksi di ruang redaksi. Kemandirian ruang redaksi dan latar belakang para wartawan kompas.com dan Kompas TV yang berasal dari sejumlah media turut beperan dalam soal ini. 5. Kesimpulan dan saran Transformasi Kompas dari identitasnya sebagai sebuah surat kabar menjadi brand terjadi sebagai jawaban Grup Kompas Gramedia akan perkembangan zaman. Perkembangan teknologi membawa perubahan gaya hidup masyarakat dan lansekap bisnis. Peluang-peluang baru terbuka. Perubahan demi perubahan yang terjadi terkait kehadiran Internet dan perkembangan teknologi akhirnya membawa Kompas yang semula merupakan identitas surat kabar menjadi brand, berita yang kredibel. Kredibilitas artinya terpercaya, berita yang benar, tidak bohong, berimbang, independen, selalu menyajikan fakta. Kehadiran Kompas masa kini dilakukan dengan strategi 3M: multimedia, multichannel, dan multiplatform. Artinya, Kompas sebagai berita yang kredibel hadir di setiap saluran informasi yang diakses masyarakat masa kini, tidak hanya hadir dalam saluran kertas berupa surat kabar, tapi juga melalui aneka saluran elektronik seperti komputer, laptop, tablet, telepon seluler, dan televisi. Tidak hanya itu, cara penyajian berita yang kredibel itu pun berkembang, tidak lagi hanya teks dan foto seperti lazimnya sebuah surat kabar, tapi juga dalam bentuk-bentuk lain seperti grafis, video, atau gabungan semuanya dalam sebuah sajian yang interaktif. Dalam upayanya untuk hadir di semua platform medium baru, Kompas Gamedia menempuhnya dengan mendirikan perusahaan-perusahaan baru yang terpisah dari Harian Kompas sebagai induknya. PT Kompas Cyber Media didirikan untuk menangani Kompas 17
versi Internet. Sementara, PT Gramedia Media Nusantara adalah perusahaan yang mengelola Kompas versi broadcast atau televisi. Relasi tiga entitas itu dicita-citakan berjalan dalam strategi 3M yaitu kerja bersama (working together) antara awak redaksi di tiga entitas itu dalam memproduksi konten bagi semua platform. Namun praktik ideal konvergensi itu belum terwujud. Ada sejumlah hambatan yang membuat konvergensi belum mencapai bentuknya yang ideal. Studi ini mendapatkan, tiga hambatan yang mengemuka adalah faktor historis, benturan nilai, dan mindset. Berdasarkan sejumlah temuan dalam penelitian ini, ada sejumlah rekomendasi yang diajukan penulis baik dalam ranah akademis maupun praktis. Secara akademis, keterbatasan penelitian ini adalah minimnya eksplorasi terhadap dinamika di Kompas TV terkait relasinya dengan dua entitas lainnya yaitu Harian Kompas dan Kompas.com. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan unit pengamatan Kompas TV untuk mengeksplorasi dinamika yang terjadi di sana. Sementara, secara praktis, perlu ditingkatkan kerja bersama antara masing-masing platform agar interaksi terjadi makin intens. Dengan interaksi yang intens, komunikasi akan terbangun lebih baik. Dengan demikian, kiranya titik kompromi dalam menyelesaikan persoalan dapat ditemukan.
Pustaka Seattle PI. (2009, Maret 16). Retrieved November 2, 2012, from www.seattlepi.com: http://www.seattlepi.com/business/article/Seattle-P-I-to-publish-last-edition-Tuesday1302597.php# The Christian Science Monitor. (2009, Maret 27). Retrieved November 2, 2012, from www.csmonitor.com: http://www.csmonitor.com/Commentary/Opinion/2009/0327/p09s01-coop.html Daily Beast. (2012, Oktober 18). Retrieved November 1, 2012, from www.thedailybeast.com: http://www.thedailybeast.com/articles/2012/10/18/a-turn-ofthe-page-for-newsweek.html Internet World Stats. (2012, Juni 30). Dipetik Desember 29, 2012, dari www.internetworldstats.com: http://www.internetworldstats.com/list2.htm Kompas.com-b. (2012, Oktober 20). Retrieved November 1, 2012, from www.kompas.com: http://internasional.kompas.com/read/2012/10/20/19230432/Keputusan.Newsweek.Ta k.Berarti.Industri.Majalah.Cetak.Berakhir 18
Media Kit Kompas. (2012). Jakarta: Kompas. Adiprasetyo, A. (2013, Februari 7). Wawancara dengan Agung Adiprasetyo. (J. H. Margianto, Pewawancara) Anggoro, S. (2012). Detikcom: Legenda Media Online. Yogyakarta: MocoMedia. Briggs, A., & Bourke, P. (2002). A Social History of the Media: From Gutenberg to the Internet. Cambridge: Polity. Brooks, B., Kennedy, G., Moen, D., & Ranly, D. (2004). Telling the Story: The Convergence of print, broadcast and online media (2nd ed.). Boston: Bedford/St. Martin's. Bungin, B. (2010). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana. Dwyer, T. (2010). Media Convergence. New York: McGraw-Hill. Flick, U., Kardorff, E. v., & Steinke, I. (2004). A Companion to Qualitative Research. London: Sage. Ghony, M. D., & Almanshur, F. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: ArRuzz Media. Grant, A., & Wilkinson, J. (2009). Understanding Media Convergence: The State of the Field. New York: Oxford University Press. Kriyantono, R. (2010). Teknis Praktif Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana. Lawson-Borders, G. (2006). Media Organizations and Convergence. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates. Leksono, N. (1998, Agustus 6). Kompas Cyber Media Layanan Informasi Aktual di Internet. Harian Kompas, hal. 6. Leksono, N. (2013, Januari 14). Wawancara dengan Ninok Leksono. (J. H. Margianto, Pewawancara) Lister, M., Dovey, J., Giddings, S., Grant, I., & Kelly, K. (2009). New Media, A Critical Introduction 2nd ed. London: Routledge. Luhulima, J. (2013, April 30). Wawancara dengan James Luhulima. (J. H. Margianto, Interviewer) Mihardja, T. (2013, Mei 17). Wawancara dengan Taufik Mihardja. (J. H. Margianto, Pewawancara) Moleong, L. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nawawi, I. (2012, Oktober 21). Hidayatullah. Retrieved November 2, 2012, from www.hidayatullah.com: http://www.hidayatullah.com/read/25510/21/10/2012/mediacetak-berguguran,-bagaimanakah-nasib-media-islam?.html
19
Nugroho, Y., Putri, D., & Laksmi, S. (2012). Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: CIPG dan HIVOS. Oetama, J. (2010, Juni 28). Merajut Nusantara, Menghadirkan Indonesia. Harian Kompas, p. 1. Oetama, J. (2012, April 10). The Future of Newspaper: Symbiosis of Creativity and Technology. Kompas Suplemen WAN-IFRA. Jakarta: Harian Kompas. Pavlik, J. (1998). New Media Technology: Cultural and Commercial Perspectives. Boston: Allyn and Bacon. Quin, S., & Filak, V. (2005). Convergent Journalism, an Introduction. Oxford: Focal Press. Segura, J. G. (2008). Belo, From Newspaper to New Media. Austin: University of Texas Press. Smith, S., & Hendricks, J. A. (2010). Ne Media, New Technology, New Ideas or New Headaches. Dalam J. A. Hendricks (Penyunt.), The Twenty First Century Media Industry, Economic and Managerial Implications in the Age of New Media (hal. 3). Plymouth: Lexington Books. Sugiya, A. (2012, Juni). Strategi Transformasi Konvergensi Media: Studi Kasus Grand Strategy Harian Kompas. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Tanuredjo, B. (2013, Mei 10). Wawancara dengan Budiman Tanuredjo. (J. H. Margianto, Interviewer) Wimmer, R. D., & Dominick, J. R. (2011). Mass Media Research. Boston: Wardsworth. Winograd, M., & Hais, M. (2008). Millenial Makover: MySpace, You-Tube, and the Future of Americans Politics. New Brunswick: Rutgers University Press. Yin, R. K. (2012). Studi Kasus, Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.
20
