TRADISI PINGIN PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (Study Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: NURUL HIDAYAH 211 11 005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI‟AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA (IAIN) SALATIGA 2015
ii
iii
iv
v
MOTTO “PERTAHANKAN SESUATU YANG HARUS KAMU PERJUANGKAN SAMPAI KAMU BENAR-BENAR MENDAPATKANNYA” “JANGAN PERNAH BERHENTI BERMIMPI, KARENA MIMPI MEMBERI ASA DAN HARAPAN DALAM MENJALANI KEHIDUPAN” “BELAJAR MENGALAH SAMPAI SEORANGPUN TIDAK BISA MENGALAHKANMU, BELAJAR MERENDAH SAMPAI TIDAK SEORANGPUN BISA MERENDAHKANMU” PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan buat : 1. Kedua orang tua saya ayahanda Turmuji dan ibunda Samiyem ynag tidak pernah henti-hentinya memberikan motifasi kepada saya untuk tetap selalu menimba ilmu dan do‟anya yang tidak putus-putus mereka panjatkan guna kesuksesan anaknya. 2. Kedua Kakakku Nurul Inayah dan Nurul Fauziah yang selalu memberikan semangat dan dorongan moral dan spriritual, dan adikku tercinta Ida Fauziah yang selalu ada buat saya dalam keadaan apapun. 3. Sahabat-sahabatku Siti nuraini, Irinna Ika Wulandari, Rosalina Ardhiarini dan kak oelya busromun yang sudah menemani selama 4 tahun ini dan berjuang bersama dalam keadaan suka dan duka, dan terima kasih bersama kalian kita bisa mengukir kenangan indah dan kesuksesan bersama 4. Teman-teman seperjuangan yang selalu memberkan dorongan dan motivasi
vi
5. Bapak Drs. Badwan M.Ag dan Bapak Yusuf Khumaini S.HI.,M.H yang telah memberikan bimbingan skripsi yang sabar dan teliti yang senantiasa saya hormati.
vii
KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulliah penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan beribu-ribu nikmat, berupa nikmat Iman, Islam Ihksan. Serta yang memberiakn rahmat dan karunia- Nya, sehingga karya tulis ini bisa diselesaikan dengan baik. Shalawat berserta salam tak lupa kita lantunkan kepada junjungan kita yaitu nabi agung nabi akhirul zaman Nabi Muhhammad SAW, yang memberikan syafa‟atnya diyaumil khiamah kelak dan emoga saja kita semua mendapatkan syafa‟at dari Beliau.amin. Karya tulis ini dapat diselesaikan berkat bantuan beberapa pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak, terutama kepada: 1. Rektor IAIN Salatiga bapak Dr. Rahmat Hariyadi M.Pd. 2. Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga Ibu Dra. Siti Zumrotun M.Ag 3. Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah (AS) IAIN Salatiga Bapak Syukron Ma‟mum S.HI,.M.Si. 4. Bapak Dra. Badwan M.Ag dan Yusuf Khumaini S.H.I,.M.H yang telah membimbing peneliti dalam penyelesaikan karya tulis ini dengan baik, penuh kesabaran serta tulus. 5. Masyarakat desa Klalingan kecamatan Klego Kabupaten Boyolali dan pengantin yang telah bersedeia untuk meluangkan waktunya ntuk memberikan informasi terkait dengan judul yang penulis teliti. 6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhiyyah
viii
Meskipun kegiatan peneliti ini sudah dilakukan secara maksimal, namun penulis merasa masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun saya harapkan untuk memperbaiki study selanjutnya. Ahkirnya semioga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umunya dan masyarakakat desa Klalingan khususnya.
Salatiga, 10 September 2015
ix
ABSTRAK Nurul Hidayah. 211 11 005. TRADISI PINGIT PENGANTIN DI TINJAU PANDANGAN HUKUM ISLAM (Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). Skripsi. Fakultas Syariah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Intitut Agama Islam Negeri. Dosen Pembimbing. Drs. Badwan M.Ag Kata Kunci : Hukum Islam Dalam Memandang Tradisi Pingitan. Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui; (1) Apa yang di maksud dengan tradisi pingitan tersebut serta tujuannya?(2) Bagaimana pandangan masyarakat tentang tradisi pingitan tersebut? (3) Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi pingitan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metodelogi penelitian kualitatif. Metedo pengumpulan datanya penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Peneliti juga menggunakan pendekatan historis dan fenomenologis untuk memperoleh data yang akurat (benar dan jelas). Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan di desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali ini adalah tradisi “Pingit pengantin ” tidak wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk menjaga calon pengantin, dan persiapan diri bagi calaon pengantin dalam menghadapi hari pernikahan. Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwasanya suatu tradisi bisa sebagai hujjah yang wajib dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh kebanyakan orang, tetapi untuk sebagian besar masyarakat desa Klalingan masih dan akan melestarikan tradisi pingitan tersebut karena tradsi pingitan tersebut adalah tradisi warisan nenek moyang yang harus dilestarikan dan kepercayan masyarakat Klalingan terhadap musibah yang didapat apabila tidak melakukan tradisi pingitan tersebut menjadi salah satu alasan yang kuat bagi masyarakat desa Klalingan untuk tidak meninggalkan tradisi pingitan tersebut. Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk Urf shahih yakni urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara‟. Atau kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat Al-Qur‟an atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka
x
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR BERLOGO LEMBAR PERSETUJUAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR ABSTRAK DAFTAR ISI BAB: 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
i ii iii iv vi viii x xi 1
B. Fokus Malasah
7
C. Tujuan Penelitian
7
D. Kegunaan Penelitian
7
E. Penegasan Istilah
8
F. Metode Penelitian
9
G. Sistematika Penulisan
13
H. Telaah Pustaka
14
BAB: II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan
16
2. Prinsip-Prinsip Pernikahan Dalam Islam
17
3. Hukum Melakukan Pernikahan
18
4. Rukun Dan Syarat Pernikahan
19
5. Hikmah Pernikahan
24
B. Adat Istiadat (Al „Urf) 1. Definisi Al-„Urf
25
xi
2. Macam-Macam Al-„Urf
28
3. Syarat-Syarat Al-„Urf
20
4. Legalitas Al-„Urf
32
C. Pingitan 1. Pengertian Pingitan
33
2. Asal Usul Tradisi Pingitan
34
D. Hukum Islam 1. Definisi Hukum Islam
36
2. Tujuan Hukum Islam
37
BAB : III HASIL PENELITIAN A. Diskripsi Lokasi Penelitian 1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan
39
2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan
43
3. Kondisi fisik Desa Klego
43
4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat.
47
BAB: IV ANALISIS A. Kegiatan Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali 1. Proses Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali.
51
2. Pelaku Pingitan Des. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali
51
3. Landasan Masyarakat Des. Klalingan Melakukan Pingitan.
54
B. Pendapat Masyarakat Des. Klalingan Tentang Tradisi Pingit Pengantin.
55
C. Pendapat Ulama‟ Des. Klalingan Boyolali Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
61
xii
D. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti Boyolali.
66
E. Analisis 1. Faktor Yang Mendorong Yang Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin 67 2. Faktor Penghambat Desa Klalingan Melakukan Tradisi Pingitan.
69
3. Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin
70
BAB: V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tradisi Pingitan
73
2. Pendapat Ulama Desa Klalingan Tentang Pingitan
74
3. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Pingitan
74
B. Saran
75
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dalam Pandangan Islam Pernikahan itu merupakan Sunnah Allah dan Sunnah Rasul. Sunnah Allah berarti : menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, pada dasarnya Allah menciptakan makhluk ini dlam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana firman Allah dalam surat Az-Zariyat ayat 49
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” Sedangkan sunnah Rasul berarti sesuatu tradisi yang telah ditertapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya. Pada dasarnya agama Islam itu ada dengan peraturan-peraturan yang di bawa dengan tujuan agar kehidupan sosial masyarakat menjadi tenteram (sakinah) baik di dunia dan di ahkhirat, karena Islam mengatur dengan landasan syari‟at Islam. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
1
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk
menaati
perintah Allah,
dan melaksanakannya
merupakan ibadah ( Zainudin, 2006 : 7). Perkawinan
amat
penting
dalam
kehidupan
manusia,
baik
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan (Departemen Agama Republik Indonesia . 1999, Hal. 5). Dalam pengertian lain pernikahan merupakan pintu gerbang untuk memasuki kehidupan baru yang sah menurut kaca mata agama islam bagi pria dan wanita. Pernikahan bagi masyarakat jawa sendiri diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali dalam seumur hidup (Sholikhin, 2010 : 180). Hukum Islam senantiasa menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim, yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera sesuai dengan syari‟at Islam. Pada dasarnya agama Islam ada dengan peraturan yang apabila melanggarnya ataupun mematuhi peraturan tersebut hukuman dan imbalannya langsung dari sang Khalik kelak di Ahkirat maupun didunia berupa azab. Semua itu telah dituliskan pada Al-qur‟an dan Hadits. Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf yang
2
diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam (Syarifuddin,2007 : 2). Kebiasan dan budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat disamping berhubungan dengan orang lain, masyarakat juga berhubungan dengan namanya budaya. Hubungan ini tidak dapat dipisahkan karena budaya itu sendiri tumbuh dan berkembang didalam ruang lingkup kehidupan masyarakat. Tiap masyarakat pasti punya tradisi atau budaya sendiri-sendiri (http://pernikahanadat..com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html). Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi diantara bangsa, suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya merupakan acara
yang dilangsungkan untuk
melakukan upacara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Sedangkan perkawinan secara adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat luhur dan asli dari nenek moyang kita yang perlu dilestarikan, agar generasi berikutnya tidak kehilangan jejak. Upacara perkawinan adat mempunyai nilai luhur dan suci meskipun diselenggarakan secara sederhana sekali. Tiap daerah mempunyai upacara tersendiri sesuai dengan adat istiadat setempat. Ini bisa dikatakan seperti negara kita yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan adat istiadat dan upacara perkawinan yang berbeda
dengan
keunikan
masing-masing. (http://bangkusekolah-id.
3
t.com/2012/09/proses-perkawinan-dan-upacara-adat-masyarakat-dalampernikahan.htm) Tradisi yang ada dimasyarakat yang menurut mereka berasal dari turun-temurun dari para orangtua mereka dan disampaikan secara lisan berupa cerita dan bukan secara tulisan yang terkodifikasi. Maka tiap tradisi sering dan terus bermodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman atau sesuai dengan selera dari masyarakat yang ada, contoh budaya peringatan kematian tiga hari dan tujuh hari pada perkembangannya sekarang sering gabung dengan istilah tiga sekaligus tujuh hari. Budaya pernikahan ada akad dan walimahan, maka sebelum nikah ada acara pingitan atau siraman, sesudah akad ada acara lempar pantun atau cacap-cacapan (budaya Palembang), diwalimahan ada orgen tunggalan. Sedangkan tradisi yang ada pada masyarakat Jawa dalam hal perkawinan melalui beberapa tahapan. Biasanya seluruh rangkaian acara perkawinan berlangsug selama kurang lebih dua bulan, hal ini diperinci sebagai berikut : 1.
Nontoni; Melihat calon istri dan keluarganya, dengan mengirim utusan (wakil)
untuk melamar (meminang); Tahapan setelah
nontoni apabila si gadis bersedia dipersunting. 2.
Paningset ; Pemberian harta benda, berupa pakaian lengkap disertai cincin kawin.
4
3.
Pasok Tukon ; Upacara penyerahan harta benda kepada keluarga si gadis berupa uang,pakaian dan sebagainya, diberikan tiga hari sebelum pernikahan.
4.
Pingitan ; Calon istri tidak diperbolehkan keluar rumah selama 7 hari atau 40 hari sebelum perkawinan.
5.
Tarub ; Mempersiapkan perlengkapan perkawianan termasuk menghias rumah dengan janur.
6.
Siraman ; Upacara mandi bagi calon pengantin wanita yang dilanjutkan dengan selamatan.
7.
Ijab Kabul (Akad Nikah); Upacara pernikahan dihadapan penghulu, disertai orang tua atau Wali dan saksi-saksi.
8.
Temon (Panggih manten); Saat pertemuan pengantin pria dengan wanita
9.
Ngunduh Mantu (ngunduh temanten) ; Memboyong pengantin wanita kerumah pengantin pria yang disertai pesta ditempat pengantin pria ((Hilman. 2003 : 3). Fokus bahasan penulis yaitu tradisi “pingit pengantin”. Tradisi ini
biasanya juga
dilakukan oleh sebagian masyarakat Klego. Dalam
menggelar pernikahan biasanya para calon pengantin tidak boleh bertemu sampai hari acara ijab qobul tersebut, karena dalam kepercayaan masyarakat Jawa masa-masa menjelang pernikahan adalah masa-masa yang riskan, untuk itu calon pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu agar tidak ada bahaya ataupun masalah yang bisa membatalkan perkawinan
5
tersebut, oleh karena itu orang tua “memingit” calon pengantin. Pingit pengantin ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin untuk memasuki dunia baru yang dinamakan rumah tangga.
Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk memasuki dunia baru yaitu dunia rumah tangga yang baru. Pengertian lainnya pingitan adalah calon pengantin wanita tidak boleh bertemu dengan calon pengantin pria sampai akad nikah ditentukan, dan untuk jarak waktunya biasanya beragam, ada yang melaksanakan selama 2 bulan, 1 bulan dan 5 hari, yang pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik
sehingga
membuat
pangling
orang
yang menyaksikannya
(http://infopengantin.com/2010/03/rangkaian-upacara-adat-pengantinjawa.html)
Untuk itu penulis tertarik untuk meneliti tradisi pingitan yang mana pingitan termasuk dalam salah satu upacara adat dan merupakan tradisi yang tidak bisa ditinggalkan dan dipercayai yang dijalani secara turuntemurun. Karena kepercayaan yang telah mendarah daging pada masyarakat yang apabila salah satu prosesi upacara perkawinan tersebut tidak dilaksanakan maka akan ada musibah yang menimpa keluarga
6
mempelai maupun pengantin, untuk itu penulis bermaksud mengkaji tradisi pingitan pengantin tersebut dengan pandangan hukum Islam. Sehingga judul
yang
ditentukan
oleh
penulis
adalah
TRADISI
PINGIT
PENGANTIN DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM (DESA KLALINGAN, KECAMATAN KLEGO, KABUPATEN BOYOLALI)
B. Fokus Penelitian Sebagai pokok permasalahan yang berangkat dari latar belakang masalah, maka penulis mengambil beberapa hal yang dijadikan sebagai rumusan masalah atau fokus dalam penelitian, adalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan tradisi pingitan tersebut? 2. Bagaimana pandangan masyarakat klego tentang tradisi pingitan tersebut? 3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang tradisi pingitan? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui makna dari “Pingitan” dan tujuan pingitan pengatin itu dilakukan. 2. Mengetahui persepsi atau tanggapan dari masyarakat jawa khususnya masyarakat Klego terhadap tradisi pingitan pengantin? 3. Mengetahui pandangan Hukum Islam tentang tradisi pingitan tersebut?. D. Kegunaan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitihan ini antara lain :
7
1. Pembaca bisa memahami dan mengetahui tentang tradisi adat yang ada di pulau Jawa khususnya tradisi pingitan pengantin. 2. Pembaca dapat mengetahui argument masyarakat kususnya di Desa Klalingan,
Kecamatan
Klego,
Kabupaten
Boyolali
tentang
keyakinannya dalam melakukan tradisi pingitan pengantin. 3. Pembaca dapat mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap tradisi pingitan pengantin. E. Penegasan Istilah Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah di dalam judul ini. Istilah yang perlu penulis jelaskan adalah : 1. Tradisi Tradisi dalam kamus bahasa Indonesia adalah ada, kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang yang dijalankan oleh masyarakat (Fajri dan Senja:826). Sedangkan yang dimaksuid penulis adalah kebiasaan pingitan pengantin yang yang diturunkan dari nenek moyang masyarakat klego dan yang telah menjadi kebiasaan masyarakat jawa pada umumnya. 2. Pingitan Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa keluar sama sekali. Memingit ; mengurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di pingit (Fajri dan Senja:655).
8
Sedangkan yang dimaksud oleh penulis adalah mengurung pengantin putri di dalam rumah dan tidak diperbolehkan bertemu dengan pengantin pria sampai akad nikah yang ditentukan, dengan ditentukan waktu pingitannya. 3. Hukum Islam Hukum Islam merupakan seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukkalaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam (Syarifuddin,2007 : 2). F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendapat historis. Karena dalam pendekatan historis ini penulis bisa mengetahui asal mula kepercayaan masyarakat tentang tradisi pingit pengantin dan apa itu tradisi pingit menurut masyarakat Klego. Karena semua itu bisa diketahui dengan penulis harus terjun langsung kelapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas (Mukhtar, 2007:29), sehingga data yang diperoleh bisa bervariasi, akurat dan lengkap. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitihan Kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunaka prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Meleong, 2008 :6).
9
2. Kehadiran Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti hadir dalam lokasi guna memperoleh data. Selain itu penulis juga harus membaur dengan obyek penelitian dan juga berperan dan berpartisipi dalam seluruh rangkain
kegiatan
pingit
pengantin,
dengan
tujuan
penulis
mendapatkan data yang akurat. Kehadiran penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Karena sebagian masyarakat tersebut menganut tradisi adat jawa pingitan pengantin, dan untuk itu penulis harus terjun pada lokasi tersebut. Guna mendapatkan data yang relevan dan akurat. 4. Sumber Data Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari proses penelitian, penulis menggunakan obyek penelitian berupa informan. Sedangkan untuk mendapatkan informan tersebut penulis harus terjun di Desa Klailingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali, baik itu masyarakat biasa maupun ulama‟ setempat. Selain informan yang penting adalah pengantin wanita yang menjalani pingitan tersebut. 5. Prosedur Pengumpulan Data a. Observasi Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematika terhadap
10
fenomena-fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Oleh karena itu peneliti harus terjun langsung di Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali agar bisa mengamati fenomena-fenomena dan rangakain kegiatan pingitan yang dilakukan oleh pengantin wanita dan observasi dalam lingkungan masyarakat tersebut. b. Wawancara Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data
dengan
teknik
komunikasi
secara
langsung
(Winarno,1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran yang akan diwawancara adalah masyarakat Klego dan pengantin wanita yang menjalani pingitan di daerah tersebut. c. Dokumentasi Mencari data mengenai beberapa hal, baik berupa catatan dan data dari pemuka adat ataupun rangakaian kegiatan pingitan yang dikomentasikan oleh pemuka adat ataupun masyarakat setempat. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data. d. Studi Pustaka Studi pustaka yaitu peneliti yang mencari data dari bahanbahan tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku-buku, surat kabar, makalah dan sebagainya.
11
6. Analisis Data Menganalisa data artinya, menguraikan data, menjelaskan data, sehingga dari data-data tersebut dapat ditarik pengertian-pengertian yang kemudian dipahami sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan. Dalam penelitian ini penulis menentukan
bentuk analisa terhadap
data-data tersebut, antara lain dengan metode: a. Deskriptif Adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, dan pandangan sikap yang tampak (Winarno, 1985:139). Mendeskripsikan data yang didapat penulis tentang situasi di desa Klalingan, kegiatan masyarakat desa Klalingan terutama pada kegiatan “pingit pengantin” b. Kualitatif Adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia pada kawasan sendiri berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasa(Meleong, 2003:3). Penulis menggunakan metode ini untuk memperoleh data dengan cara membaur dalam masyarakat pengamatan langsung pada masyarakat Klalingan.
12
dan melakukan
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penlitian ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang dapat dijelaskan sebagai berikut : BAB 1 : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
fokus
penelitian,
tujuan
penelitian,
kegunaan
penelitian, penegasan istilah, metedo penelitian dan sistematika penulisan BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang pengertian pingitan pengantin, konsep kegiatan dalam masa pingitan pengantin, pengertian tradisi dan kaedah fiqh yang menjadi landasan hukum. BAB III : Bab in desa berisi tentang gambaran umum desa Klalingan, Kecamatanm Klego Kabupaten Boyolali terdiri dari letak Geografis, keadaan masyarakat, jumlah penduduk serta struktur organisasi. BAB IV : Dalam bab ini berisi analisa mengenai faktor apa saja yang membuat masyarakat Klego melakukan tradisi Pingitan pada calon pengantin wanita dan pandangan Hukum Islam tentang tradisi pingitan pengantin. Menguraikan hasil observasi yang berisi tentang mitos yang berkembang pada tradisi pingitan tersebut dan penyajian data tentang gambaran umum masyarakat Klego terhadap tradisi pingitan. Bab ini diketengahkan untuk mengetahui nilai-nilai Islam dalam pingitan pengantin.
13
BAB V : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis H. Telaah Pustaka Penelitian tentang tradisi pingitan pengantin dalam pandangan hukum Islam telah dilakukan oleh Ninik Nirma Zunita mahasiswi Universitas Islam Negeri( UIN) Malang dalam Skripsinya yang berjudul Pandangan Masyarakat Terhadap Tradisi Pingitan (Studi Kasus Desa Maduran, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan). Penelitian tersebut menjelaskan tentang bagaimana tradisi pingitan dilaksanakan oleh masyarakat setempat, tata cara pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan tujuan masyarakat melaksanakan tradisi pingitan Dalam skripsi Zunita dapat diambil kesimpulan bahwa tradisi “pingit pengantin” tidak wajib dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk menjaga calon pengantin, dan persiapan diri bagi calon pengantin menuju hari pernikahannya. Dalam kaedah fiqh dijelaskan bahwa suatu tradisi bisa sebagai hujjah yang dikerjakan jika tradisi itu digunakan oleh kebanyakan orang. Tradisi “pingit pengantin” ini termasuk u‟rf shahih yakni u‟rf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan denagn syara‟. Kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan
nash
(ayat
Al-qur‟an
atau
Hadits),
tidak
menghilangkan kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka (Zunita,2011).
14
Dari kajian sebelumnya hanya fokus pada bagaimana tradisi Pingitan tersebut dilaksankan oleh masyarakat setempat, tata cara pelaksanaan tradisi Pingitan, maksud dan tujuan masyarakat melaksanakan tradisi Pingitan, oleh karena itu penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang tradisi Pingitan yang ada pada masyarakat Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali dan lebih fokus pada hukum Islam. Sehingga kita semua bisa mengetahui bagaimana hukum Pingitan dalam Islam apakah mubah (dibolehkan) atau justru diharamkan.
15
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan 1.
Pengertian Pernikahan Pernikahan atau perkawinan dalam literatur fiqh berbahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan za‟aj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-quran dengan arti kawin. Secara arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad yang berarti mengadakanperjanjian pernikahan. Dalam pemakaian bahasa sehari-hari perkataan nikah lebih banyak dipakai dalam arti kiasan daripada arti yang sebenarnya jarang sekali dipakai pada saat ini (Muhtar, 1974 :11). Menurut istilah Hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah : “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki” Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan : “ Nikah menurut istilah syara‟ ialah yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan katakata yang semakna dengannya”(Ghazaly :8).
16
Pengertian lain nikah adalah: Mengumpulkan. Menurut syara‟ artinya : akad yang telah terkenal dan memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu) untuk berkumpul (Idris dan Ahmadi, 1994 : 198). Firman Allah :
“Maka nikahilah wanita-wanita yang kami senangai. “(QS. An-Nisa‟: 3) Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut : Pasal 2 : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mutsaqon ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 : Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sayyid Sabiq, lebih lanjut mengomentari : Perkawinan merupakn salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupuyn tumbuh-tumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jaln bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam memwujudkan tujuan perkawinan (Ghazaly :11). 2. Prinsip-Prinsip Perkawinan dalam Islam Ada beberapa prinsip perkawinan menurut agama Islam yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi kepada Tuhan (Tihami, 2009 :12).
17
a. Pilihan jodoh yang tepat. b. Pernikahan didahului dengan pinangan. c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan. d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan. e. Ada persaksian dalam akad nikah. f. Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu. g. Ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas suami. h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah. i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami. j. Ada kewajiban bergaul denganm baik dalam kehidupan rumah tangga Prinsip-prinsip perkawinan ini sangat penting, karena apabila tidak terpenuhi prinsip-prinsip tersebut berakibat batal atau tidak sah ( fasid) nikahnya. 3. Hukum Melakukan Perkawinan Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan pelakunya. Kalau pelakunya sudah memerlukan dan mampu yang akan menambah takwa, yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram, maka
hukumnya
wajib.
Kalau
pelakunya
tidak
mampu
dalam
melaksanakan pernikahan, maksudnya bagi orang yang tahu dirinya tidak mampu melaksanakan hidup rumah tangga, melaksanakan kewajibannya lahir batin seperti memberikan nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
18
kewajiban batin seperti mencampuri isteri, maka hukum nikah menjadi haram. Nikah disunnahkan bagi orang yang mampu tetapi masih sanggup mengendalikan diri dari peerbuatan haram. Dalam hal ini lebih baik daripada membujang. Sedangkan hukum asal dari nikah adalh mubah. Nikah hukumnya sunnah bagi orang yang memerlukannya. Syarat nikah berasal dari Al-Qur‟an dan hadits serta( ijma‟ umat) kesepakatan umat dengan niat yang kuat (Idris dan Ahmadi .1994 : 199). Firman Allah :
“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dan hamba-hambanmu yanglelaki dan hamba-hambamu yang perempuan.” (QS. An-Nuur : 32) 4. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan. a. Rukun Pernikahan. Jumhur ulama sepakat bahwa rukun pernikahan itu terdiri atas. 1) Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. 2) Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita. Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya. 3) Adanya dua orang saksi. 4) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
19
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat : Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : 1) Wali dari pihak perempuan. 2) Mahar (maskawin) 3) Calon pengantin laki-laki. 4) Sighat akad nikah. Imam Syafi‟i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu: 1) Calon pengantin laki-laki. 2) Calon pengantin perempuan. 3) Wali dari pihak perempuan 4) Dua orang saksi. 5) Sighat akad nikah (Ghazaly,2006 : 48) Memang ada sedikit perbedaan pendapat dikalangan para ulama seputar rukun nikah, namun rukun nikah yang dipakai di negara Indonesia pada umumnya adalah rukun nikah yang disimpulkan dalam madzhab Syafi‟i b. Syarat Sahnya Pernikahan Dasar bagi sahnya perkawinan adalah sudah dipenuhinya syarat-syarat perkawinan tersebut, sehingganya menghasilkan suatu perkawinan yang sah dan menimbulkan segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
20
Pada garis besarnya syarat-syaratsahnya perkawinan itu ada dua : 1) Calon mempelai perempuannya halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan orang yang haram dinikahi. 2) Akad nikahnya dihadiri para saksi. Secara rinci, masing-masing rukun di atas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut: a) Syarat-syarat kedua mempelai. (1) Syarat- syarat pengantin pria. Syariat Islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu : (a) Calon suami beragama Islam. (b) Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki. (c) Orangnya diketahui dan tertentu. (d) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri. (e) Calon
mempelai
laki-laki
mengetahui
atau
mengenal calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya. (f) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.
21
(g) Tidak sedang melakukan ihram. (h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri. (i) Tidak sedang mempunyai istri empat (Ghazali, 2006 : 50) (2) Syarat-syarat calon pengantin perempuan : (a) Beragama Islam atau ahli Kitab (wanita muslimah dengan laki-laki muslim) (b) Terang bahwa ia wanita, bukan khunsta (banci) (c) Wanita itu tentu orangnya. (d) Halal bagi calon suami. (e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa „iddah. (f) Tidak dipaksa/ikhtiyar. (g) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah (Ghazaly, 2006 : 55) b) Syarat-syarat Ijab Kabul. Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya,
22
sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.(Ghazaly, 2006 : 57) c) Syarat-syarat wali. Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaknya seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal dan adil (tidak fasik). Perkawinan tanpa wali tidak sah.(Ghazaly, 2006 : 59) d) Syarat-syarat saksi. Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim,baligh, berakal, melihat dan mendengan serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah. Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai berikut : (1) Berakal, bukan orang gila. (2) Baliq, bukan anak-anak. (3) Merdeka, bukan budak. (4) Islam. (5) Kedua orang saksi itu mendengar (Gazaly,2006 :64). Hikmah adanya saksi adalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya, salah seorang mengingkari, hal itu dapat dielakan oleh adanya dua orang saksi. Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat,
23
maka dua orang saksi dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami istri. Di samping itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir adalah dari perkawianan suami istri tersebut. Ternyata disini dua saksi dapat memberikan kesaksiannya. 5. Hikmah Pernikahan Pada dasarnya nikah dianjurkan oleh Allah SAW karena nikah mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan umat manusia. Adapun hikmah pernikahan sebagai berikut : a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilaman jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk. Dengan demikian perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan akan tenang menikmati hal yang halal. b. Perkawinan
adalah
jalan
untuk
memperbanyak
keturunan,
melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh Islam sangat dianjurkan. c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dalam hidup berumah tangga dengan anak-anak yang akan menimbulksn rasa cinta, sayang, dan sikap ramah yang merupakn sifat-sifat baik yang menyempurnakan akhlak manusia.
24
d. Menyadari tanggung jawab beristeri dang menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawakan seseorang. e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri dalam menanggani tugas-tugasnya. f. Dengan
perkawinan
diantaranya
dapat
membuahkan
tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang (Sabiq:1980 :80) B. Adat Istiadat (Al-„Urf) Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisi telah ada dan menjadi kebiasaan yang dilani oleh masyarakat saat ini dalam Hukum Islam istilah tradisi lebih dikenal dengan urf. 1.
Definisi Al-„Urf Al-„Urf secara bahasa berarti suatu yang telah dikenal dan
dipandang baik serta dapat diterima akal sehat. Al-„Urf (adat istiadat) yaitu sesuatu yang sudah diyakini mayoritas orang, baik berupa ucapan atau perbuatan yang sudah berulang-ulang sehingga tertanam dalam jiwa dan diterima oleh akal mereka (Khalil, 2009 : 167).
25
'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan (Khallaf. 2005 : 104) Definisi Al-„Urf menurut para ulama yaitu : 1) Menurut Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa Al-„Urf merupakan: Sesuatu yang telah menjadi mantap/kuat di dalam jiwa dari segi akal dan
dapat
diterima
oleh
fikiran
sehat/baik
(http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi. diakses pada 22 juni 2008, 4). 2) Menurut Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya yang berjudul Ilmu Ushul al-Fiqih yaitu : Al-'Urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, baik itu yang berupa perkataan,
perbuatan
ataupun
sesuatu
yang
lazimnya
untuk
ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan al-âdah. Sehingga dalam bahasa ahli syara' disana dijelaskan bahwa antara al-'urf dan al-âdah tidak terdapat perbedaan (Idem. 1978/1398 : 89). 3) Menurut Al-Jurjaniy yang dikutip oleh Abdul Mudjib dalam bukunya yang berjudul kaidah-kaidah fiqih, al-„urf adalah : sesuatu (perbuatan maupun perkataan) yang jiwa merasa tenang ketika mengerjakannya, karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabi‟at. Al-„Urf juga merupakan hujjah bahkan lebih cepat untuk dipahami (Mudjib. 1999 : 44).
26
Para Ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan „urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara‟ urf didefinisikan dengan :
“Kebiasaan
mayoritas
kaum
baik
dalam
perkataan
atau
perbuatan” Berdasarkan definisi ini, Mushthafa Ahmad al-Zarqa‟ (guru besar fiqh Islam di Universitas „Amman, Jordania), mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari „urf . Adapun adat menurut ulama ushul fiqh adalah :
“Sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional” Sedangkan pengertian lain Al-„Adah adalah sesuatu (perbuatan maupun perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat dierima oleh akal dan manusia mengulang-ulanginya secara terusmenerus (Mudjib. 1999 : 44). Definisi ini menunjukan bahwa apabila suatu perbuatan dilakukan cara berulang-ulang menurut hukum akal, dinamakan adat. Definis ini juga menunjukan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat luas yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makan tertentu, atau permasalhan
27
yang menyangkut orang banyak, yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran yang baik dan yang buruk. 2. Macam-macam 'Urf Dari beberapa persyaratan di atas kita bisa membagi 'urf
(adat
kebiasaan) kepada dua bagian yaitu: 1) 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy (syara‟). Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam (Zahrah. 2005 :418). 2) „Urf yang shahih (baik/benar) Ialah 'urf yang saling diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan
yang
wajib,
serta
dapat
diterima
karena
tidak
bertentangan dengan syara', 'urf ini juga dipandang sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara (Khallaf. 2005 :105). 'Urf yang shahih dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1) 'Urf 'Aam (kebiasaan yang bersifat umum) Yaitu „Urf yang telah disepakati masyarakat di seluruh negeri. 'Ulama mazhab Hanafi menetapkan bahwa 'urf amm dapat mengalahkan qiyas, yang
28
kemudian dinamakan istishna 'urf. 'Urf ini dapat mentakhshis nas yang am yang bersifat zhanny, bukan yang qath'i (Firdaus. 2004 : 9798). 'Urf seperti ini dibenarkan berdasarkan ijma'. Bahkan tergolong macam ijma' yanng paling kuat karena di dukung, baik oleh kalangan mujtahid maupun diluar ulama-ulama mujtahid; oleh golongan sahabat maupun orang yang datang setelahnya. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa 'urf ialah yang diterapkan diseluruh negeri tanpa memandang kepada kenyataan pada abad-abad yang telah lalu. 2) 'Urf khas (kebiasaan yang bersifat khusus) Yaitu 'urf yang dikenal berlaku pada suatu negara, wilayah atau golongan masyarakat tertentu, seperti; „urf yang berhubungan dengan perdagangan, pertanian dan lain-lain. 'Urf ini tidak boleh berlawanan dengan nash, tetapi boleh berlawanan dengan qiyas yang illatnya ditemukan tidak melalui jalan yang qath'i, baik berupa nash maupun yang menyerupai nash dari segi jelas dan terangnya. Hukum yanng ditetapkan qiyas zhanny akan selalu berubah seiring dengan perubahan zaman. Karena itu para ulama berpendapat bahwa ulama mutaakhirin boleh mengeluarkan pendapat yang berbeda dari mazhab Mutaqaddimin. Karena dalam menerapkan dalil qiyas mereka sangat terpengaruh oleh 'urf-'urf yang berkembang dalam masyarakatnya pada waktu itu.
3. Syarat-Syarat Al-„Urf
29
Mereka yang mengatakan al-„urf adalah hujjah, memberikan syaratsyarat tertentu dalam menggunakan al-„urf sebagai sumber hukum diantaranya sebagai berikut : 1) Tidak bertentangan dengan Alquran atau sunnah. Jika seperti kebiasaan orag minum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar(ada penipuan) dan yang lainnya maka tidak boleh diterapkan. 2) Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam setiap muamalah mereka, atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam tempo tertentu atau hanya beberapa individu maka hal ini tidak dapat dijadikan sumber hukum. 3) Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat tersebut. Jika adat suatu negeri mendahulukan sebagian mahar dan menunda sebagiannya, namun kedua calon suami isteri sepakat untuk membayarnya secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka yang menjadi patokan adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, karena tidak ada arti bagi sebuah adat kebiasaan yang sudah didahului oleh sebuah kesepakatan untuk menentangnya. 4) Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggal orang sebelum permasalahan muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang baru lahir setelah permasalahannya muncul (Khalil, 2009 : 170) Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
30
1) Adat harus berbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan orang banyak dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus menerus, dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan diterima oleh akal pikiran mereka. Dengan kata lain, kebiasaan tersebut merupakan adat kolektif dan lebih khusus hanya sekadar adat biasa karena adat dapat berupa adat individu dan adat kolektif. 2) Adat berbeda dengan ijma‟. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan yang sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status sosial, sedangkan ijma‟ harus lahir dari kesepakatan para ulama mujtahid secara khusus dan bukan orang awam. Dikarenakan adat istiadat berbeda ijma‟ maka legalitas adat terbatas pada orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan hal itu, dan tidak menyebar kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal tersebut, baik yang hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma‟ menjadi hujjah kepda semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada zaman itu atau sesudahnya sampai hari ini. 3) Adat terbagi menjadi dua kategori : ucapan dan perbuatan. Adat berupa ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak lakilaki, padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan dan inilah nahasa yang digunakan Al-qur‟an,
31
“Allah mensyari‟atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa‟ (4) :11). Sedangkan adat yang berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang sudah biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup dengan cara mu‟athah (menerima dan memberi) tanpa ada ucapan, juga kebiasaan orang mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya sampai waktu yang disepakati (Khalil, 2009 : 168). d. Legalitas Al-„Urf Jumhur fuqaha‟ mengatakan bahwa al-„urf merupakan hujjah dan dianggap sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada dalil-dalil sebagai berikut. 1. Firman Allah SAW :
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf.(QS. Al-A‟raf : 199) Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika tidak wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT. 2. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah dan jika memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.
32
3. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab dalam menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda kepada pembunuhan yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah membatalkan beberapa tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan dan menjauhkan kaum wanita dari harta warisan Islam mengakui keberadaan adat istiadat yang baik. 4. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan memudahkan
urusan
manusia
dan
mewajibkan
orang
untuk
meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Agar mereka tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus mengakui adat kebiasaan mereka (Khalil. 2009 : 169) sebagaimana firman Allah SAW :
“Dan Dia sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”.(QS. Al-Hajj (22) :78) Dan firman Allah SAW :
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.(QS. Al-Baqoroh (2) : 185) C. Pingitan. 1. Pengertian Pingitan Pingit, berpingitan : berkurung di dalam rumah tanpa sama sekali. 33
Memingit ; menurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di pingit (Fajri dan Senja : 655). Sengkeran atau Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga. Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu dengan daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang berbeda. Menurut ethicalweddings.com pingitan pengantin adalah calon pengantin putri tidak diperbolehkan keluar rumah atau bertemu calon pengantin putra sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, yaitu sebelum acara akad nikah. Kedua mempelai harus tidak saling bertemu dulu.
2. Asal Usul Tradisi Pingitan. Pendidikan anak perempuan menurut adat-istiadat lebih terikat kepada lingkungan rumah. Semua kebebasan dan pendidikan yang dinikmati anak-anak gadis itu berakhir, begitu ia menginjak dewasa dan menjelang pernikahan. Ukuran dewasa bagi gadis-gadis remaja yang hidup di daerah tropis sangat cepat, sekitar 10 sampai 12 tahun. Mulai dipersiapkan untuk kehidupan berkeluarga dengan memasuki dunia pingitan. Pingitan adalah dunia wanita, dimana gadis-gadis kecil mulai belajar bekerja. Bidang pekerjaannya adalah membantu ibu mereka
34
mengasuh dan mengurus adik-adik mereka yang masih kecil, belajar memasak dan menjahit, serta kecakapan-kecakapan lain yang perlu dimiliki ibu rumah tangga. Rumah tangga adalah tiang masyarakat,dan masyarakat adalah tiang Negara, sebab itu setiap wanita harus menjadi ibu yang baik dan cakap dalam penanganan rumah tangga. Tradisi pingitan ini sudah ada pada zaman keraton atau zaman kerajaan Yogyajakarta. Pada zaman keraton Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan Hamengkubuwono 1, tradisi pingit pengantin sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka dan tradisi ini merupakan tradisi Jawa asli yang dijadikan sebagai tradisi turun temurun. Pada zaman dahulu para pendatang dari Yogyakarta dan Solo datang ke Desa Maduran Kec.Maduran Kab. Lamongan dan membawa tradisi dan bahasa Jawa halus (krama inggil). Mereka tinggal berdampingan bersama masyarakat Desa Maduran dan kemudian mereka menikah dengan masyarakat Desa Maduran tersebut. Dan disaat pernikahan tersebut semua adat dari Yogyakarta dan Solo diterapakan di acara pernikahan, sehingga berbagai adat Jawa itu ada di Desa Maduran dan merupakan tradisi turun temurun yang wajib dilestarikan sampai sekarang. Maka dari itu Tradisi pingitan lebih terkenal di Ds. Maduran Kab. Lamongan, karena tradisi ini sebagian masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sampai sekarang. Tetapi bukan berarti masyarakat Solo dan Yogyakarta tidak melakukan tradisi pingitan pengantin, sebagian masyarakat Solo dan Yogyakarta sampai
35
daerah Klaten dan Boyolali masih menggunakan tradisi pingitan tersebut.(Sumber :http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04) D. Hukum Islam 1. Definisi Hukum Islam Secara etimologis, hukum adalah sebuah kumpulkan aturan, baik berupa hasil pengundangan formal maupun dari kebiasaan, yang mana sebuah negara atau masyarakat mengaku terikat sebagai anggota atau subyeknya. Kalau pengertian hukum tersebut dihubungkan dengan Islam, maka “Hukum Islam” adalah sejumlah aturan yang bersumber pada wakyu Allah dan Sunnah Rasul-baik yang langsung maupun yang tidak langsung-yang mengantur tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini serta harus dikerjakan oleh umat Islam. Di samping itu, hukum Islam juga harus memiliki kekuatan untuk mengatur, baik secara politis maupun sosial. Secara terminologis, M. Hasbi ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa hukum Islam adalah koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syari‟ah atas kebutuhan masyarakat. Sementara itu, AnNaim menyebutkan bahwa hukum islam mencakup persoalan keyakinan, ibadah(ritual), etika, dan hukum (Dahlan, 2009 : 92). Menurut Marcus Tullius Cicero (Romawi) dalam De Legibus menyatakan hukum adalah akal tertinggi ( the highest reason) yang ditanamkan oleh alam dalam diri manusia untuk menetapkan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Ukuran dan unsur yang
36
digunakan dalam perspektif ini adalah aspek perbuatan yang boleh diperbuat manusia dan aspek perbuatan yang harus doihindari. Perbuatan manusia, antara yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan, merugikan atau tidak merugikan, bertentangan dengan norma yang ditetapkan oleh negara atau tidak merupakan beberapa unsur yang menentukan rumusan mengenai hukum. Adapun hukum Islam biasanya disebut dengan beberapa istilah atau nama yang masing-masing menggambarkan sisi atau karakteristik tertentu hukum tersebut (Mustofa dan wahid, 2008 : 1). Uraian tersebut menunjukan bahwa hukum Islam mencakup berbagai persoalan hidup manusia, baik yang menyangkut urusan dunia maupun urusan akhirat. 2. Tujuan Hukum Islam. Scholten menyebutkan : Tiada hukum tanpa formula, yang dituntut adalah ucapan hukum berupa penilaian kata mengenai apa hukum itu, penilaian mana bersandar pada formula-formula umu yang tersusun dalam kata-kata. Kalau dipelajari dengan seksama ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya yang terdapat di dalam Alquran dan kitab-kitab hadis yang sahih, kita segera dapat mengetahuio tujuan hukum Islam. Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum Islam kebahagian hidup manusia di dunia dan diahkirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan
37
kehidupan.
Dengan
kata
lain,
tujuan
hukum
Islam
adalah
kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual, dan sosial.(Mustofa dan Wahid. 2008 : 6) Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja, tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak. Abu Ishaq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam , yakni : 1) Memelihara agama. 2) Memelihara jiwa. 3) Memelihara akal. 4) Memelihara keturan. 5) Memelihara harta.
38
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Kondisi Umum Tentang Desa Klalingan a.
Sejarah Desa Klalingan. Pada zaman dahulu di Indonesia dijajah negara Belanda. Tentara-
tentara Belanda menyerbu di berbagai kota di Indonesia. Melihat hal tersebut akhirnya Nyi Ageng Serang mengajak rakyatnya bertekad mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda tersebut dengan mengguakan senjata sederhana yaitu sebuah bambu runcing. Kemudian terjadilah sebuah pertempuran yang sangat sengit antara tentara Belanda dengan rakyat Indonesia dibawah pimpinan Nyi Ageng Serang karena terlalu lelah akhirnya Nyi ageng Serang beristirahat disebuah tempat. Nyi Ageng Serang berkata tepat ini kelak akan dinamakan “Klaliangan” yang berasal dari kata “kaling- kalingan”, yang artinya Belanda tidak akan pernah melihat karena kaling-kalingan (ketutupan) Sumber lain menyatakan bahwa zaman dahulu saat masa penjajahan Belanda Indonesia banyak juga didatangi oleh negara-negara lain dengan tujuan melakukan perdagangan dan penyiksaan dengan warga negara Indonesia. Masyarakat kemudian mencari tempat yang aman dari penjajah, yang kemudian menemukan sebuah Desa yang nampak tertutup bundaran bening yang disebut dengan kolang kaling. Kemudian sejak saat itu desa
39
tersebut disebut dengan sebutan Klalingan.. (Sumber: Cerita warga Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). b.
Visi dan Misi Desa Klalingan. Adapun visi dan misi dari Desa
Klalingan yaitu sebagai berikut: 1) Visi Desa Klalingan Terwujudnya masyarakat Desa Klaliangan yang tertib, sehat dan kondusif dalam tata kehidupan yang demokratis, cerdas, mandiri, kreatif dan produktif dilandasi oleh akhlak mulia dalam rangka mencapai/menuju terwujudnya Boyolali Tersenyum (Tertib, Rapi, Sehat, Nyaman untuk Masyarakat), mampu meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan lahir batin berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2) Misi Desa Klalingan a) Untuk menumbuh kembangkan keinginan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari sesuai dengan situasi dan kondisi Sumber Daya Alam (SDA) Desa Klalingan. b) Menjadikan Desa Klalingan sebagai Desa (Sentra Pertanian). Desa yang mampu mewujudkan pertanian yang modern dengan mengembangkan penggunaan pupuk organik yang ramah lingkungan. c) Menjadikan masyarakat Desa Klalingan berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat jasmani dan rokhaninya, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif, berjiwa Iman dan bertaqwa serta
40
demokratis demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. d) Meningkatkan upaya pemerataan pembangunan disegala bidang pada semua lapisan masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran. e) Mewujudkan Aparat Pemerintahan Desa yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat yang profesional, berdaya guna, dan berhasil guna, sehingga terwujud Pemerintahan Desa yang bersih dan beribawa. f) Meningkatkan inisiatif perencanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan peran wanita serta generasi muda juga menegakkan supremasi hukum bagi masyarakat. g) Meningkatkan persatuan dan kersatuan serta toleransi beragama demi
terwujudnya
kedamaian,
ketentraman,
keamanan,
kenyamanan, dan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
41
c. Peta Desa Klego.
Gambar 5. Peta Desa Klego d. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa Klalingan. Adapun susunan organisasi dan tata kerja aparat pemerintahan Desa Klalingan yaitu sebagai berikut:
Kepala Dusun : Waryanti Sekertaris Dusun : Darmawan Rukun Tetangga(Rt) 22 : Tasrun
Rukun Tetangga(Rt) 23 : Suhar
Rukun Tetangga (Rt) 24 : Jamhari
Gambar 3.1. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Aparat Pemerintahan Desa Klalingan
42
2. Letak Geografis dan Batas Administrasi Desa Klalingan Desa Klego memiliki batas wilayah sebagai berikut: 1) Sebelah Utara
: Desa Gondang Legi
2) Sebelah Selatan
: Desa Kedokan
3) Sebelah Timur
: Desa Karanganyar
4) Sebelah Barat
: Desa klumpang
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). 3. Kondisi fisik Desa Klego a. Topografi. Kondisi Topografi Desa Klego yang dibagi menjadi tiga Rukun tetangga (RT). Adapun pembagian wilayahnya dibagi sebagai berikut : 1) Bagian Selatan Rt (Rukun Tetangga) 22. 2) Bagian Tengah Rt (Rukun Tetangga) 23. 3) Bagian Utara Rt (Rukun Tetangga) 24. Secara keseluruhan wilayah Desa Klalinagn tergolong (dataran rendah atau dataran tinggi) dengan kemiringan 2-15% dan ketinggian kurang lebih 300 meter di atas permukaan laut.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). b. Klimatologi. Berdasarkan kondisi iklimnya, Desa Klalinagan dapat digolongkan sebagai wilayah dengan karakteristik lembab dengan curah hujan 2.000 mm/tahun dan jumlah bulan kering 6 bulan. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klaliangan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).
43
c. Hidrologi. Kondisi Hidrologi Desa Klalingan digolongkan kekurangan sumber mata air. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan untuk kebutuhan sehari-hari saat musim kemarau, serta kondisi persawahan adalah sawah tadah hujan. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klaliangan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). d. Jenis tanah. Desa Klalingan memiliki jenis tanah yang pada umumnya termasuk jenis Aluvial, yang jenis tanah ini cukup sesuai untuk kegiatan pertanian namun masih labil. Sehingga mengakibatkan banyak jalan di Desa Klalingan yang cepat rusak. (Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Kalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). e. Kondisi lingkungan. Desa Klalingan memiliki karakteristik lingkungan berupa dataran rendah dengan lingkungan basah dan kering. Karakter lingkungan wilayah ini mempengaruhi jenis usaha pertanian tanaman pangan, dengan pengembangan pada lingkungan sebagai berikut: 1) Tanah basah yaitu upaya pengembangan usaha pertanian yang betul-betul modern dengan mengembangkan penggunaan pupuk organik, sehingga Desa Klalingan mampu memberikan konstribusi terhadap negara dalam swadaya beras secara nasional. 2) Tanah kering yaitu sangat cocok untuk pengembangan pertaian tanaman pangan lahan kering khususnya palawija. Permasalahan lingkungan hidup yang cukup mencolok yaitu dengan keberadaan peternakan ayam potong dan pengembangan ikan air tawar jenis lele, yang lokasinya sebagian besar sangat dekat dengan pemukiman penduduk.
44
Meskipun selama ini masalah pengaruh polusi dan lalat masih terkendali, namun yang perlu perhatian khusus dalam pengendaliannya sehingga benarbenar tidak akan menggangu masyarakat dan lingkungan sehingga semua bisatertangani dengan baik.(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). f. Kependudukan.
Kependudukan
Desa
Klalingan
dapat
dibedakan
berdasarkan usia. Kependudukan desa Klalingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3.1 Kependudukan Desa Klalingan No
Usia/tahun
Jumlah
1
0–5
90
2
6 – 16
60
3
17 – 25
70
4
26 – 55
85
5
56 ke atas
55
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kependudukan yang paling tinggi adalah kelompok usia 0 sampai 5 tahun yaitu mencapai 90 orang, sedangkan yang paling rendah yaitu usia 56 tahun ke atas yang hanya terdapat 55 jiwa.
45
g. Penduduk Menurut Mata Pencaharian. Desa Klalingan dapat dibedakan berdasarkan mata pencaharian. Penduduk menurut mata pencaharian desa Klalingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3.2 Penduduk Menurut Mata Pencaharian No
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
1
Petani Pemilik Tanah
15
2
Petani Penggarap Tanah
25
3
Buruh Tani
30
4
Nelayan
3
5
Pengrajin/Industri Kecil
3
6
Buruh Industri
15
7
Buruh Bangunan
50
8
Pedagang
30
9
Pengangkutan
15
10
Pegawai Negeri Sipil
26
11
TNI
9
12
Pensiunan (TNI/PNS)
10
46
13
Peternak Sapi
50
14
Peternak Kambing
30
15
Peternak Ayam
49
(Sumber: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali). Berdasarkan tabel di atas, maka mata pencaharian desa Klalingan paling banyak yaitu peternak ayam yang mencapai 2011, sedangkan mata pencaharian yang terkecil yaitu jenis nelayan yang hanya berjumlah 3 orang. h. Penduduk menurut pendidikanya. Desa Klalingan dapat dibedakan berdasarkan pendidikanya. Penduduk menurut pendidiknya desa Klalingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3.3 Penduduk Menurut Pendidikan
NO
Tingkat Pendidikan
Jumlah
1
SD
100
2
SMP
85
3
SMA (Sederajat)
70
4
Perguruan Tinggi
10
5
Tidak Sekolah
95
47
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pindidikan yang paling tinggi adalah pendidikan
SD
yang mencapai 100 orang, dan
pendidikan yang terendah adalah perguruan tinggi dengan jumlah 10 orang, sedangkan yang tidak mengenal pendidikan lumayan tinggi dengan angka 95 orang, hal ini dapat disimpulkan bahwa di desa Klalingan dalam hal pendidikan bisa dikatakan tidak begitu maju, dan banyak masyarakat yang mengabaikan nilai pendidikan. 4. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat. Kegiatan keagamaan di desa Klalingan tidak begitu padat, hanya kegiatan belajar mengajar anak-anak yang biasa di sebut dengan TPA (Taman Pendidikan Anak) yang dilakukan di masjid desa Klalingan dengan waktu pembelajaran selama dua (2) jam dan jumlah pengajar yang tidak menentu, kadang ada empat pengajar kadang juga hanya satu pengajar yang hadir. Kegiatan keagamaan lainnya belum begitu aktif seperti kegiatan yasinan remaja yang dilaksanakan setiap malam minggu dan waktunya setelah sholat isya‟ itu juga belum bisa dikatakan maju, dilihatan dari minat remaja yang mengikutinya yang hanya dihadiri kurang lebih sepuluh sampai lima belas remaja saja, terkadang jumlah presentase yang hadir semakin lama semakin berkurang, untuk kegiatan pengajian atau kegiatan kegamaan yang lainnya bisa dikatakan jarang diadakan. Melihat dari kondisi keagamaan di desa Klalingan bisa disimpulkan bahwa masyarakat desa Klalingan minim dalam pengetahuan agama yang
48
membuat tidak ada perbedaan pendapat antara hukum Islam dan hukum adat yang merekla yakini, contohnya tradisi pingitan pengantin, dibuktikan dalam kehidupan bermasyarakat penduduk Desa Klalingan tidak menggambarkan adanya konflik yang berarti dimasyarakat. Mereka hidup rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini terlihat dari sikap gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di desa misalnya kerja bakti, kematian dan hajatan pernikahan. Selain itu di desa Klalingan ini juga ada tradisi Punggahan (tradisi tahlilan di makam desa sebelum bulan puasa) dan Pudunan (tradisi tahlilan di makam desa sesudah bulan puasa), dan tradisi mapak tanggal yang dilakukan pada tanggal 1 Muhharam, dalam kegiatan ini warga berbondong-bondong untuk berkumpul ditempat yang sudah ditentukan dengan membawa makanan dan warga begadang sampai pagi ditempat tersebut setelah menyelesaikan do‟a-do‟a yang di pimpin oleh sesepuh desa. Tradisi ini tetap mereka jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat Desa Klalingan sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek moyang mereka. Keadaan sosial masyarakat Desa Klalingan yang kental dengan tradisi Jawa atau adat ini tidak memperngaruhi kadar keIslaman warga, karena mereka tidak membedakan antara syari‟at dan adat. Dengan begitu keadaan masyarakat Desa Klalingan ini tidak pernah terjadi kerusuhan, karena masyarakat Desa Klalingan sangat menjaga kerukunan dan kesejahteraan dalam bermasyarakat.
49
Di wilayah Desa Klalingan terdiri dari 32 Kepala Keluarga (KK), dan semuanya beragama Islam. Dibuktikan dengan adanya sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam. Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam No
Keterangan
Jumlah
1.
Jumlah Masjid
2
2.
Jumlah Mushola
1
3.
Jumlah Majelis Ta‟lim
2
Dari jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam tersebut terlihat bahwa masyarakat Desa Klalingan banyak yang kurang pengetahuan tentang agama Islam. Melihat kondisi tersebut masyarakat Desa Klalingan hanya sedikit memahami tentang keislaman, bisa dikatakan 65% masyarakat Desa Klalingan berstatus Islam KTP saja, walupun ulama‟ Desa Klalingan telah menyampaikan ceramah, namun beliau kebanyakan
menyampaikan
tentang
ketauhidan
ataupun
tentang
peningkatan keimanan dan ketaqwaan secara umum. Adapun materi yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos dan ketauhidan jarang disampaikan. Jadi adat yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos itu terus berlaku, karena kepercayaan masyarakat Desa Klalingan terhadap tradisi nenek moyang sangat melekat.
50
BAB IV ANALISIS B. Kegiatan Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali 1. Proses Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Saat-saat menjelang perkawinan, di desa Klalingan melakukan “pingitan” atau “sengkeran” bagi calon mempelai putri selama sepuluh hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tujuh hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai putra. Biasanya dalam prosesi pingitan seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya, akan tetapi di desa Klalingan mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman, seperti halnya prosesi perawatan dan puasa yang biasanya dilakukan tujuh hari sebelum akad dilakukan itu tidak berlaku lagi, namun untuk perawatan misalnya meminum jamu-jamuan dan puasa dilakukan satu hari sebelum hari akad dilaksanakan. 2. Pelaku Pingitan Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Saat menjelang pernikah keluarga dari kedua belah mempelai pasti sangat repot, karena banyak yang harus dipersiapkan antaranya seperti; undangan, jamuan makanan tamu, dekorasi, tempat resepsi, gaun pengantin dan lain-lain. Seperti hanya yang dilakukan oleh Roimah 20 tahun warga Desa Klalingan Rt 24, Rw 05 yang akan meningkah dengan Sumanto
51
Warga Desa Klalingan Rt 22, Rw 05, mereka juga melangsungkan tradisi pingitan seperti hanya yang dikatakannya dalam wawancara sebagai berikut : Calon mempelai wanita Roimah :“ Saya tidak keberatan untuk melakukan tradisi pingitan, toh itu hanya 3 (tiga) hari saja, besok setelah itu kan juga akan ketemu selamanya kok (dengan sedikit senyum malu), kata orang tua saya itu juga manfaat biar saya dengan mas mantu tidak sering beranten tidak baik mau meningkah kok malah beramtem terus, selama 3(tiga ) hari ini saya berpuasa untuk ngeresiki jiwo(bersihin jiwa) itupun juga manut(nurut) orang tua, dan saya tidak melakukan luluran atau perawatan atau yang lainnya, hanya diam saja dirumah aja itu udah cukup” Calon mempelai pria. Sumanto : “saya manut (nurut) orang tua aja, tradisi pingitan juga tidak merugikan atau meropotkan, yang penting nurut orang tua aja karena orang tau yang lebih tahu mana yang baik untuk anaknya. Melihat dari hasil wawancara kedua calon pengantin kelihatan bahwa keduanya tidak keberatan dalam melaksanakan tradisi pingit pengantin dan mereka tidak begitu mengetahui makna dari tradisi tersebut. Mereka melakukan tradisi itu atas dasar perintah orang tua. Dan yang mereka tahu dari tradisi ini adalah warisan leluhur yang turun temurun pada anak cucunya, bahkan mereka tidak tahu bagaimana Islam
52
memandang tradisi ini, yang mereka tahu kalau tradisi ini adalah kegiatan adat yang harus dilakukan menurut perintah orang tuanya. Sebelum hari akad nikah dilaksanakan. Kegiatan tradisi pingitan pengantin yang dilakukan oleh Roimah tidak neko-neko (aneh-aneh) hanya berias diri dan berkumpul dengan sanak keluarga yang datang untung menghadiri pernikahannya. Hanya saja calon pengantin tidak boleh untuk bertemu dulu dengan calon pengantin pria. Dua (2) hari sebelum hari akad nikah dilaksankan warga Desa Klalingan sudah berdatangan dirumah calon pengantin untuk membantu mempersiapkan pernikahan, khusus ibu-ibu diberi amanah atau dipasrahi untuk memasak didapur biasanya membuat jenang, jadah, wajik dan sebagainya. Dan untuk bapak-bapak 1 (satu) hari sebelum hari akad nikah dilaksanakan sambatan (bantu-bantu) usung –usung (mengakat barangdari tempat satu untuk dipindahkan ketempat lain) ambil peralatan seperti meja,kursi, gelas, piring, nampan, teko dan lain-lain. Setelah prosesi pemotretan pengantin ini masa pingitan yang dilakukan oleh kedua mempelai yaitu Roimah dan Sumanto sudah selesai, karena sudah melakukan Ijab Qobul. Kemudian kedua mempelai melanjutkan acara dengan sebutan krumpul, yaitu bertemunya dua mempelai pengantin dalam rangkaian adat yang harus dilakukakan seperti ngidah endok (pengijakan telor oleh pengantin pria yang dilakukan pada waktu prosesi pernikahan, dengan maksud mempelai pria siap memberikan keturunan), sungkeman (kedua mempelai meminta restu pada kedua orang
53
tua), balang janur ( lempar-lemparan janur yang sudah dikiat kecil yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan tujuan memperkenalkan diri dalam satu ikatan suami istri )dan lain-lain. 3. Landasan Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Melakukan Pingitan. Kepercayaan atas tradisi yang diwarisklan nenek moyang desa Klalingan sangat melekat pada jiwa masyarakat desa Klalingan, khususnya pada tradisi pingitan pengantin. Tradisi ini masih dilestarikan oleh masyarakat desa Klalingan, walaupun ritual dalam pelaksanaannya tidak sepadat yang dulu lagi. Tradisi pingitan di desa Klalingan untuk sekarang hanya dilakukan tujuh hari sebelum akad nikah dilaksanakan, dan prosesi pingitan seperti perawatan tubuh dan puasa hanya dilakukan sehari sebelum hari akad nikah dilaksanakan tentunya dengan panduan dukun nikah (orang yang dipercayai dalam mengatur ritual nikah). Landasan yang membuat masyarakat desa Klalingan tetap untuk melaksanakn tradisi pingitan tersebut karena mereka sangat menghargai budaya leluhur, dan mereka mempunyai keyakinan apabila mereka tidak melakukan tradisi pingitan maka akan mendapatkan musibah, misalnya batalnya
pernikahan
atau
musibah
lainnya
yang
lebih
buruk.
masyarakat Desa Klalingan percaya bahwa tradisi pingitan perlu dilakukan untuk menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara bahaya yang mungkin mengancamnya di luar sana. Pilihan masyarakat yang lebih melestarikan budaya dengan melaksanakan tradisi pingitan karena mereka
54
yakin kalau dalam suatu pernikahan dari kedua belah pihak melaksanakan prosesi tradisi pernikahan khususnya tradisi pingitan yang umumnya ada pada adat jawa, maka pernikahan akan berjalan dengan sakral dan mendapatkan restu dari leluhur. Mereka juga meyakini bahwa tradisi ini banyak manfaatnya. C. Pendapat Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Tentang Tradisi Pingit Pengantin. Tabel 3.5 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Klalingan, Klego, Boyolali
NO 1.
Nama Darmawan
L/P L
Umur
RT/RW
45
24/05
Hasil Wawancara Pingitan itu Tradisi calon pengantin yang tidak boleh bertemu
sebelum
ijab
qobul, Tradisi turun temurun yang harus dilakukan. 2.
Supriyanto
L
50
24/05
Pingitan
adalah
diberbolehkan
tidak calon
pengantin ketemu sampai hari ijab qobulnya. Tradisi turun temurun dari nenek moyang, tidak dipaksakan
55
untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan tradisi pingitan tersebut. 3.
Lasimin
L
40
24/05
Tradisi
calon
Pengantin
yang tidak boleh ketemu sebelum
kumprol
(acara
resepsi), boleh dilakukan. 4.
Jamilatun
P
40
24/05
Calon pengantin wanita dan pria
tidak
diperboleh
ketemu seebelum hari H resepsi, tradisi dari nenek moyang yang lebih baik dilakukan. 5.
Samiyem
P
50
24/05
Pingit
Pengantin
adalah
pengantin wanita dan pria tidak boleh ketemu 3 hari sebelum hari ijab qobul, tradisi
ini
moyang, tergantung orang
dari
nenek
kalau
disini
kepercayaan tuanya
harus
melakukan pingitan atau tidak. Kalau menurut ibu
56
Samiyem
sendiri
tradisi
pingitan harus dilakukan. 6.
Satinem
P
50
23/05
Menurut ibu Satinem Pingit pengantin
tradisi
yang
dilakukan calon pengantin untuk tidak bertemu tiga (3) hari sebelu hari pernikahan, menurut ibu Satinem tradisi ini tidak harus dilakukan menurut sendiri
selera atau
sendiri-
kenyakinan
keluarga, mempelai yakini gimana. Tetapi ada baiknya kalau
pingitan
pingitan
tradisi
penmgantin
ini
laksnakan. 7.
Sri Suhar
P
45
23/05
Menurut Sri Suhar tradisi pingitan pengantin tradisi berdiam dirumah dan tidak saling ketemu antara kedua mempelai
57
sampai
waktu
yang
yaitu
hari
batas
ditentukan pernikahan.
Beliau beranggapan bahwa tradisi
ini
masuk
dalm
rangkaian pernikahan jadi lebih baik dilakukan, yang diturunkan dari leluhur. 8.
Wagiman
L
57
22/05
Menurut Wagiman tradisi pingit
pengantin
adalah
tradisi yang berasal dari nenek moyang, yaitu antara kedua mempelai tidak boleh ketemu 3 hari sebelum hari akad
nikah
dilaksankan,
tidak ada keharusan untuk melakukan tradisi ini akan tetapi lebih baik dilakukan untuk melestarikan tradisi adat kampung.
Dari hasil observasi dan wawancara pada sebagaian warga Desa Klalingan yang penulis lakukan. Bisa dilihat masyarakat tidak begitu mengharuskan untuk melaksanakan tradisi pingitan pengantin tersebut, akan tetapi sebagian besar dari masyarakat tersebut menganjurkan untuk melakukan tradisi pingitan pengantin tersebut dengan alasan untuk melestarikan budaya leluhur dan melengkapi prosesi
58
pernikahan agar lebih sakral. Karena diakui pingitan ini banyak manfaatnya bagi kedua calon pengantin antanya sebagai berikut : Ini beberapa alasan kenapa tradisi itu dilakukan : 1.
Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll.
2.
Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di persiapkan bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting adalah mental.
3.
Menghindari godaan syetan pastinya, banyak di luar sana yang menganggap hubungan badan antara tunangan itu wajar padahal dalam agama islam sudah jelas itu di haramkan.
4.
Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit banyak dan sangat menyita waktu dan pertengkaran di masa ini kita calon pasangan dituntut untuk menyatukan dua pemikiran dari pribadi yang berbeda.
5.
Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena terlalu banyak perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan tersebut tidak menemukan titik temu yang membuat kedua belah pihak akhirnya memutuskan untuk berpisah. Dalam kenyataan bermasyarakat di Desa Klalingan juga ada yang tidak
melaksanakan pernikahan tanpa ada pingitan, namun itu hanya sebagian kecil saja. Namun sebagian besar masyarakat Desa Klalinagan lebih memilih menggunakan pingitan pingantin dalam rangkaian prosesi pernikahan dari mereka mempertimbangkan manfaat dan madhorot dalam melakukan atau tidak melakukan pingitan pengantin mereka mempercayai lebih baik melaksanakan tradisi pingitan pengantin. Seperti dalam kasus pernikahan pasangan Wulan dari
59
warga Desa Klalingan, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali Rt 05 RW 24 sebagai calon pengantin wanita dan handoko warga desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali sebagai calon pengantin laki-laki, pernikahan mereka yang kurang 10 hari dari hari akad nikah dilaksankan ahkirnya batal untuk dilakukan karena adanya cecok atau perbedaan pendapat pada keduanya, hal itu membuat warga sekitar berpendapat pernikahan yang batal tersebut akibat tidak dilakukan pingitan pada calon pengantin sehingga mereka sering beda pendapat serta kemauan yang berbeda dan berahkir pada putusnya acara pernikahan. Untuk jangka waktu pingitan masyarakat Desa Klalingan bervariasi ada yang 3 hari, 7 hari dan 10 hari, sebagaimana yang dikatakan bapak Waryanti salah satu tokoh masyarakat Desa Klalingan sebagai berikut : “Masyarakat Desa Klalingan dalam melaksanakan tradisi pingitan pengantin dalam jangka waktu pingitannya berbeda-beda, tergantung dengan keyakinan sendiri-sendiri, ada yang mealakuan 10 hari ,7 hari bahkan lebih sedikit yaitu 3 hari dan untuk mengisi hari-hari pingitan ada yang melakukan luluran dan menghias diri bagi calon pengantin wanita, namun juga ada yang tidak melakukan apa-apa hanya berdiam diri dirumah saja, dan biasanya selain kegiatan tersebut calon pengantin juga harus berpuasa dengan tujuan ngeresiki awak(bersihin jiwa)” Jadi menurut bapak Waryanti jangka waktu atau jarak pingitan dengan hari akad nikah resepsi tidak di tentukan, itu semua tergantung selera dan keyakinan keluarga calon pengantin saja
D. Pendapat Ulama‟ Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
60
Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan ulama‟ Desa Klalingan No 1.
Nama Jamhari
RT/RW 24/05
Tanggapan Tradisi pingitan pengantin adalah tradisi yang biasanya dilakukan oleh tradisi
calon
pengantin,
kedua
diperbolehan
dalam
pengantin untuk
tidak ketemu
sampai hari Ijab qobul, jangka waktu pingitan di Desa Klalingan ini umumnya 3 hari saja. Kegiatan selama 3 hari ini calon pengantin hanya mengisi dengan berpuasa saja. Hukum dalam Islam menurut beliau
boleh,
bertentangan
karena dengan
tidak syari‟at
Islam. Menurut beliau wanita dalam pingitan menunjukkan kemulian dan
kesucian
termasuk
tradisi
dan yang
pingitan bagus
karena banyak manfaatnya. Hanya saja mayoritas desa Klalingan
61
tidak melihat dari segi agamanya mereka melakukan tradisi tersebut semata-mata
karena
warisan
leluhur yang mereka percayai dan mereka
percaya
mendapatkan tradisi
musibah
pingit
dilaksanakan, dimaksud
akan apabila
pengantin
tidak
Musibah
yang
seperti
batalnya
pernikahan. Pemikiran seperti itu yang dibetulkan , karena pendapat seperti
itu
cenderung
bisa
menyebabkan seseorang menjadi syirik. 2.
Tasrun
Tradisi pingitan adalah masa –
22/05
masa mempersiapkan diri untuk menghadapi
pernikan,
dimasa-masa
tersebut
pengantin
tidak
jadi calon
diperbolehan
untuk bertemu, dengan tujuan agar tidak ada perbedaan pendapat antara
62
kedua
mempelai
yang
mengakibatkan percecokan yang berujung dengan hal-hal yang tidak
baik,
misalnya
sampai
pembatalan pernikahan, untuk itu dilaksanakan
tradisi
pingitan
tersebut. Jangka waktunya kalau untuk kebiasaan masyarakat Desa Klalingan 3 hari dan diisi dengan berpuasa saja. Tradisi ini sudah ada sejak dulu dari leluhur, karena tradisi
ini
dalam Klalingan,
sudah
membudaya
masyarakat maka
Desa masih
dilestarikan, untuk hukum dalam Islamnya menurut bapak Tasrun boleh-boleh saja karena dalam Islam tidak ada larangannya dan tidak melanggar syari‟at Islam. Karena mereka mempercayai atau mempunyai
keyakinan
akan
datangnya musibah dari suatu budaya yang mengandung mitos, padahal sesungguhnya musibah
63
itu datang dari Allah SAW. 3.
Parjo
23/05
Tradisi pingitan itu adalah tradisi yang pada umumnya dilakukan oleh
calon
pengantin,
yang
dimaksud dengan pingit adalah berdiam diri didalam rumah, jadi calon pengantin harus berdiam diri didalam rumah dan tidak boleh bertemu, jangka waktunya beragam ada 7,10 dan 3 hari. Sedangkan
masyarakat
Klalingan
pada
menggunakan
3
Desa
umumnya hari
saja,
kemudia 3 hari itu di isi dengan berpuasa. Tujuan pingitan ini untuk membuat kangen antara kedua
calon
pengantin
dan
berpuasanya untuk membersihkan diri agar lebih tenang sehingga lebih siap dalam menjalankan resepsi pernikahan dan prosesi Ijab qobul.
64
Tradisi ini sudah ada sejak dulu dari leluhur, dalam Islam menurut bapak
Parjo
boleh-boleh
saja
karena tidak melanggar syari‟at Islam, bahkan pada rasullulah para wanita juga dipingit, yaitu berdiam diri didalam rumah dan tidak boleh keluara tanpa ada kaum
laki-laki
yang
mendampinginya, dan dianjurkan untuk berpakain yang menutup, agar terhindar dari mara bahaya.
Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan kepada ulama‟ di Desa Klalingan, mereka berpendapat bahwa tradisi pingitan pengantin dalam pandangan Islam boleh, bahkan dianjurkan, karena tradisi pingitan pengantin ini banyak manfaatnya untuk kedua mempelai. Selain itu dalam syari‟at agama tidak ada hadits atau dalil yang melarangnya. Pendapat ulama ini tidak membuat masyarakat Desa Klalingan untuk tidak melakukan tradisi ini, karena itu tergantung selera dan kepercayaan sendiri-sendiri. Para ulama‟ Desa Klalingan berpendapat sebenarnya masyarakat menjalani tradisi itu masih berpengaruh dengan keyakinan yang dianut oleh sesepuh mereka. Seperti yang disampaikan bapak Turmuji Rt 24 ,Rw 05, bahwa masyarakat hanya
65
mengikuti apa yang sudah dilakukan nenek moyang mereka tanpa melihat dari sisi hukum Islamnya, karena menurutnya adat yang sudah ada harus dilakukan, kalau tidak dilakukan takutnya kuwalat (durhaka) dengan leluhur. Masyarakat jawa khususnya masyarakat Desa Klalingan percaya bahwa tradisi pingitan perlu dilakukan untuk menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara bahaya yang mungkin mengancamnya di luar sana. Para ulama‟ menyebut hal itu sebagai tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek moyang yang belum tentu benar. E. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti di Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Seperti apa yang Allah jelaskan dalam Al-Qur‟an pada surat Al-Ahzab (33)
“ Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya ”. Hukum pingitan dalam Islam adalah boleh (mubah), karena wanita dalam pingitan menunjukkan kemuliaan dan kesucian. Terdapat dalam sejarah dari dulu hingga kemudian. Dalam pingitan malu menjadi hiasan. Wajarlah bila menjadi primadona dan dambaan. Bukankah Allah ciptakan
66
bidadari surga dalam pingitan. Pingitan sendiri sangat dianjurkan islam dan itu sudah ada dalam Al-Qur‟an. Sedangkan Mitos yang berkembang di tradisi ini sangat unik. Dalam kondisi pingit, orang yang dipingit tidak boleh keluar rumah, dengan alasannya karena mereka memiliki „darah manis‟ (atau darah manisan kata orang Banjar). Katanya orang yang mau menikah itu rentan terhadap marabahaya. Menurut kepercayaan jawa kuno banyak sarap, sawan, dan sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) atau hal yang mencemaskan dan berbagai halangan sehingga pada sebagian masyarakat, ketika calon pengantin dipingit, juga dianjurkan minum “ jamu sawanan ” agar terhindar dari berbagai halangan, kecemasan, dan aneka penyakit. Kepercayaan seperti itulah yang harus diluruskan, karena musibah itu bisa datang kapan saja dan dimana saja, serta tidak mengenal usia, bisa pada anak kecil, orang dewasa ataupun orang lansia, dan dalam Islam tidak diperbolehkan, karena kepercayaan seperti itu masuk dalam katagori syirik. Masalah mereka yang mempunyai darah manis itu tergantung dengan kepercayaan adat saja, yang pasti dalam Islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan menjaga wanita dari mara bahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, bukan musibah yang disebut oleh orang jawa dengan sebutan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), mengenai kewatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah termasuk thiyarah yaitu meramal bernasib sial karena melanggar sesuatu.
67
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi pingitan tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan apabila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah kepada Allah SAW, sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo ( penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam tidak diperbolehkan. Analisis a.
Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Klalingan, Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Melakukan Tradisi Pingitan Pengantin. a. Mayoritas masyarakat desa Klego mempercayai tradisi pingitan pengantin selain membuat prosesi pernikahan menjadi sakral, tradisi pingitan pengantin banyak manfaatnya antara lain sebagai berikut : 1) Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll. 2) Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di persiapkan bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting adalah mental. 3) Menghindari godaan syetan pastinya,banyak diluar sana yang menganggap hubungan badan antara tunangan itu wajar padahal dalam agama islam sudah jelas itu di haramkan. 4) Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit banyak dan sangat menyita waktu dan pertengkaran di masa ini
68
kita calon pasangan di tuntut untuk menyelarasakan dua pemikiran dari pribadi yang berbeda. 5) Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena terlalu banyak perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan tersebut tidak menemukan titik temu yang membuat kedua belah pihak akhirnya memutuskan untuk berpisah. b. Keyakinan yang sangat melekat tentang tradisi pingitan yang mereka yakini membuat mayoritas desa Klego tetap menjalnkan tradisi pingitan tersebut, seperti halnya kasus yang terjadi di desa Klego yang mengakibatkan batalnya nikah yang mereka yakini gara-gara kedua mempelai tidak melaksanakan pingitan, hal ini bisa dilihat bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi mitos-mitos dan kepercayaan yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang logis. Sebenarnya yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-temurun yang terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan animisme dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke tanah Jawa. c. Mayoritas masyarakat Jawa pada umumnya dan warga desa Klego pada khususnya melestarikan budaya pingitan pengantin hanya bersumber dari keyakinan nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun tanpa mereka mengkaji atau mencari hukum dalam Islam, apakah bertentangan atau tidak? yang mereka lakukan hanya melestarikan budaya dari nenek moyang saja.
69
b.
Faktor Penghambat Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali Melakukan Tradisi Pingitan. a. Anggapan sebagian masyarakat tentang budaya pinggitan adalah budaya kuno, budaya orang tua zaman dahulu, yang sudah tidak patut dipraktikan pada kehidupan jaman sekarang (modern). b. Anggapan sebagian remaja yang tidak ingin repot dengan segala ritual pernikahan termasuk tradisi pingitan. c. Pendapat ulama desa Klalingan yang menilai tradisi pingitan yang dilaksanakan di desa Klalingan dan keyakinan masyarakat tentang tradisi pingitan yang cenderung masuk dalam pemikiran yang berbau mistik ( hal gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia) yang tidak dibolehkan oleh tokoh agama masyarakat Klalingan. Faktor-faktor penghambat di atas tetap tidak menjadi pengaruh besar dalam perubahan keyakinan masyarakat dalam pelaksanaan tradisi pingitan, karena di desa Klalingan masih banyak dukun manten yang dianut untuk pelaksanaan pernikahan.
c.
Konsep U‟rf Terkait Dengan Tradisi Pingit Pengantin Telah dijelaskan pada pemaparan sebelumnya bahwa adat adalah suatu aturan sosial yang sudah ada sejak zaman nenek moyang atau sesuatu yang dikerjakan dan diucapkan secara berulang-ulang sehingga dianggap baik dan diterima oleh akal sehat.
70
Kajian adat dalam Islam yaitu, urf Dalam hal ini para ahli Ushul Fiqh mendefinisikan bahwa adat dan urf itu sama. Hanya saja, ada sedikit perbedaan diantaranya yaitu u‟rf sebagai tindakan atau ucapan yang dikenal dan dianggap baik serta diterima oleh akal sehat. Setelah melihat uraian tersebut bisa dikatakan, sederhananya bahwa adat adalah bahasa Indonesianya u‟rf . Adat atau u‟rf yang telah diterima dan ditetapkan oleh masyarakat secara umum bisa dikatakan sebagai suatu hukum yang wajib di lakukan dan dalam Islampun tidak bertentangan serta diharapkan dengan adanya ini, akan mendukung pembentukan hukum yang baru. Tradisi pingit pengantin jika dilihat dari kacamata u‟rf, tradisi ini masuk dalam kategori u‟rf shahih (baik/benar) yaitu 'urf yang saling diketahui orang, tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara', 'urf . Tradisi pingit pengantin bisa dikatakan u‟rf shahih karena dalam tradisi pingitan digunakan untuk menjaga calon pengantin dan untuk persiapan diri bagi calon pengantin menuju hari pernikahannya. Dan selama itu tidak membawa mudharat kepada mereka. Tradsi pingit pengantin dilihat dari tujuannya ini masuk dalam kategori u‟rf shahih karena tidak menyalahi syari‟at Islam. Seperti yang terdapat pada Surat Al-Ahzab ayat 33 dijelaskan bahwa wanita dalam pingitan menunjukan kemulian dan kesucian.
Dalam pingitan calon
pengantin juga dianjurkan untuk berpuasa dengan tujuan mendekatkan diri
71
kepada Allah SAW, dengan begitu kedua mempelai berharap dalam do‟anya agar dilancarkan pernikahannya. Kepercayaan
masyarakat
Klalingan
tentang
musibah
yang
didapatnya karena tidak melakukan tradisi pingitan dan mendapatkan sarap, sawan, dan sambekala (penyakit yang tidak kelihatan) tersebut masuk dalam katagori 'Urf yang fasid (rusak/jelek) Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan nash qath'iy (syara‟). Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam. Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi pingitan tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan apabila calon pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah kepada Allah SAW , sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah atau kepercayaan lain seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo ( penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam tidak diperbolehkan dan masuk dalam katagori u‟rf yang fasid, karena bertentangan dengan syara‟, sebab tujuan puasanya untuk menghindari musibah seperti sarap, sawan dan sambekala, yang jelas kepercayaan tersebut tidak ada dalam Islam.
72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Tradisi pingitan adalah Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga. Dipingit adalah istilah yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak kemana-mana maksudnya adalah agar calon pengatin aman dan segar bugar. Pada dasarnya pingit pengantin itu sama antara daerah satu dengan daerah yang lain, namun pada pelaksanaannya saja yang berbeda. Tradisi pingitan ini bertujuan ; Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantic, memberikan waktu untuk merenung, menghindari godaan syetan, menghindari percekcokan, dan menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan. 2. Pendapat ulama‟ dan masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali tentang Tradisi Pingitan Pengantin. Para ulama‟ desa Klalingan berpendapat bahwa tradisi pingitan pengantin dalam pernikahan itu boleh dilakukan bahkan menurut mereka wanita dalam pingitan menunjukkan kemulian dan kesucian dan pingitan termasuk tradisi yang bagus karena banyak manfaatnya. Islam tidak ada larangannya dan tidak melanggar syari‟at Islam kalau tradisi pingitan ini dilakukan dengan tujuan memuliakan wanita.
73
Masyarakat Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali percaya bahwa apabila tradisi pingitan pengantin itu tidak dilakukan maka akan dapat musibah yang mereka sebut dengan sebutan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), dan bisa cenderung ada banyak masalah diantara kedua belah pihak seperti hal nya perbedaan pendapat yang menyebabkan batalnya pernikahan. 3. Pandangan Hukum Islam tentang tradisi Pingitan Pengantin di Desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Menurut hukum islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan menjaga wanita dari mara bahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, sedangkan pemikiran masyarakat mengenai musibah yang disebut oleh orang jawa dengan sebutan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak kelihatan), dalam hukum Islam tidak diperbolehkan, karena termasuk thiyarah yaitu meramal bernasib sial karena melanggar sesuatu dan keyakinan seperti itu melenceng dari hukum syar‟i, karena sesungguhnya musibah itu datangnya dari Allah SAW saja. Saran 1. Menurut penulis, sebaiknya masyarakat harus bisa menerapkan tujuan Islam dalam budaya Jawa khususnya dalam tradisi pingitan pengantin agar mereka tidak salah dalam menilai dan meyakini tradisi tersebut dan tetap melakukan tradisi tersebut sesuai dengan ajaran syari‟at Islam.
74
2. Bagi para tokoh agama maupun tokoh masyarakat hendaknya lebih giat lagi dalam memberikan pengetahuan agama terhadap masyarakat yang masih mempercayai adanya mitos-mitos warisan leluhur, sehingga bisa menjalankan tradisi warisan leluhur dan tidak terjerumus dalam mistik yang cenderung sampai tahapan syirik. 3. Para generasi muda yang saat ini bisa mengakses pengetahuan dengan mudah terbukti dengan banyakanya kualitas pendidikan pada tiap wilayah, dan banyaknya teknologi canggih yang bisa memberi wawasan pada aplikasinya yang khususnya pada aplikasi google, sebaiknya kemudahan itu dimanfaatkan untuk mencari informasi dan meluruskan pemahaman
masyarakat
awam
tentang
budaya
khususnya
agar
masyarakat tidak salah pengertian dalam pelaksanakan dan tujuan budaya Jawa khususnya pada tradisi Pingitan penganti. Budaya di pulau Jawa ini sangat beragam, khususnya pada tradisi pernikahan di pulau Jawa khususnya pulau Jawa Tengah banyak prosesi pernikahan yang harus dijalani calon pengantin, seperti halnya tradisi pingitan pengantin, kepercayaan yang melekat pada masyarakat Jawa pada umumnya cenderung kearah mistik yang tentunya dalam Islam keyakinan seperti itu tidak dibolehkan, untuk itu sebaiknya keyakinan yang yang condong pada harus diluruskan dengan memperbanyak pengetahuan Islam, agar kita tidak salah kaprah dalam menilai budaya.
75
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama Republik Indonesia.1990, Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia, Surabaya: Arkola. Ali, Zainudin. 2006. Hukum Perdata Islam Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina Aksara. Dahlan, Moh.2009. Epistemologi Hukum Islam. Pustaka Pelajar Offset : Yogyakarta. Fajri, Em Zul dan Senja, Ratu Aprilia. tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Difa Publiser. Hilman, Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti Idem. 1978/1398. Ilmu Ushul al-Fiqih. (Cet, 12: tt: Al-Nash wa Tauzik,) Idris, Abdul fatah dan Ahmadi, Abu. 1994. Fiqh Islam Lengkap. PT Rineka Cipta: Jakarta. Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah Khalil, Hasan rasyad.2009. TARIKH TASYRI‟ (Sejarah Legislasi Hukum Islam).Sinar Grafika Offset : Jakarta Khallaf, Abdul Wahab.2005. Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta. M. Amirin, tantang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta : Rajawali Pers. Meleong, laxy J.,2003. Metode penelitian kualitatif, Bandung : remaja rosdakarya. Mudjib, Abdul (1999) Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh (Cet, 3; Jakarta: Kalam Mulia
Mukhtar, Erna Widodo, 2007. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Yogyakarta: Avyrous Mustofa dan Wahid, Abdul. 2008. Hukum Islam Kontemporer. Sinar Grafika : Malang Sholikhin Muhammad, 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta : NARASI Sabiq, Sayyid.1978. Fikih Sunnah 3. Bandung : PT Alma‟arif.
Tihami, Prof. Dr. HMA dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009. Fikih Munakahat Fikih Nikah Lengkap. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad. Winarno, Surachmad.1990. Pengantar Peneliti Ilmiah Dasar Metode Teknik Edisi VII, Bandung: CV Tarsito __________________.1985. Peneliti Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Bandung : Tarsito Bandung http://muthiapriyanti.blogspot.com.2004/04 http://irchamstechno1993.blogspot.com/2012/07/pingitan-pengantin-di-desamaduran.html http://pernikahanadat.blogspot.com/2010/01/pernikahan-adat-betawi.html http://infopengantin.blogspot.com/2010/03/rangkaian-upacara-adatpengantinjawa.html http://www.Wikipedia.Org/wiki/Budaya/Tradisi.(diakses pada 22 juni 2008),4
Pengantin saat melakukan pemotretan setelah akad nikah berlangsung
Para warga atau tetangga yang datang untuk membatu memasak guna mempersiapkan hajat besar pengantin (resepsi)
Calon Pengantin wanita dalam masa pingitan yang berhias diri dan betrdiam diri dirumah
Rombongan pengantin pria yang datang untuk memberikan seserahan berupa satu set perabotan rumah.
Acara ngidak endok (tigan) yang dilakukan oleh pengantin pria
Acara wijihan yang dilakukan oleh kedua mempelai
Acara cium tangan setelah prosesi wijikan dan sungkeman dilakukan