TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh: Marzuki, M.Ag.∗
Abstrak Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Jawa ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa, terutama yang abangan. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, keyakinan adanya dewa dewi yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu. Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tuhan yang mereka tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam bentuk dewa dewi seperti Dewi Sri, Ratu Pantai Selatan, roh-roh leluhur, atau yang lainnya. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Jawa seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
Pendahuluan Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia. Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktekpraktek keagamaan. Masyarakat Jawa yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga
∗
Penulis adalah dosen tetap Jurusan PPKn Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
1
sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya. Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang. Gambaran masyarakat Jawa seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama terkait dengan praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya kita perlu memahami ajaran agama kita dengan memadai, sehingga ajaran agama ini dapat menjadi acuan kita dalam berperilaku dalam kehidupan kita. Karena itulah, dalam tulisan yang singkat ini akan diungkap masalah tradisi dan budaya Jawa dalam perspektif ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Jawa ini sesuai dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mengawali uraian tentang masalah ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa masyarakat Jawa itu. Setelah itu akan dijelaskan bagaimana munculnya Islam Kejawen dengan berbagai fenomena keagamaan yang terus mengakar hingga sekarang ini, terutama di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa, Budaya, dan Keagamaannya Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto, 1987: 10). Di Jawa sendiri selain berkembang masyarakat Jawa juga berkembang masyarakat Sunda,
2
Madura, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Jawa tidak hanya mendiami Pulau Jawa, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Jawa pun banyak ditemukan komunitas Jawa akibat adanya program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat Jawa ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya, seperti masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Minang, dan lain sebagainya. Dengan perkembangan IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) yang semakin gencar seperti sekarang ini, masyarakat Jawa tetap eksis dengan berbagai keunikannya, baik dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya. Namun demikian, pengaruh IPTEKS tersebut sedikit demi sedikit mulai menggerogoti keunikan masyarakat Jawa tersebut, terutama dimulai di kalangan generasi mudanya. Di kotakota seperti Yogyakarta dan kota-kota lain sudah banyak ditemukan masyarakat Jawa yang tidak menunjukkan jati diri ke-Jawa-annya. Mereka lebih senang berpenampilan lebih modern yang tidak terikat oleh berbagai aturan atau tradisi-tradisi yang justeru menghalangi mereka untuk maju. Begitu juga pengaruh keyakinan agama yang mereka anut ikut mewarnai tradisi dan budaya mereka sehari-hari. Masyarakat Jawa yang menganut Islam santri, misalnya, lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya, meskipun bertentangan dengan budaya dan tradisi Jawanya. Hal ini karena tidak sedikit tradisi-tradisi Jawa yang bertentangan dengan keyakinan atau ajaran Islam. Sebaliknya bagi yang menganut Islam abangan tradisi Jawa tetap dijunjung tinggi, meskipun bertentangan dengan keyakinan atau ajaran Islam. Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Di antara mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, yakni beragama Hindhu atau Buddha, dan sebagian lain ada yang menganut agama Nasrani, baik Kristen maupun Katolik. Khusus yang menganut agama Islam, masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni (sering disebut Islam santri) dan golongan yang menganut Islam Kejawen (sering disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam abangan). Masyarakat Jawa yang menganut Islam santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik, dan lain-lain, sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen (Koentjaraningrat, 1995: 211).
3
Menurut Simuh (1996: 110), masyarakat Jawa memiliki budaya yang khas terkait dengan kehidupan beragamanya. Menurutnya ada tiga karakteristik kebudayaan Jawa yang terkait dengan hal ini, yaitu: 1. Kebudayaan Jawa pra Hindhu-Buddha Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. 2. Kebudayaan Jawa masa Hindhu-Buddha Kebudayaan Jawa yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur HindhuBuddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis. 3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Jawa-Hindhu menjadi JawaIslam di Demak. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar para wali tanah Jawa. Perkembangan Islam di Jawa tidak semudah yang ada di luar Jawa yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Jawa. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Jawa, yaitu santri dan abangan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka. Sementara itu Suyanto menjelaskan bahwa karakteristik budaya Jawa adalah religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Jawa seperti
4
berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai Sangkan Paraning Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi (Suyanto, 1990: 144). Pandangan hidup Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang sekarang ini. Semua agama dan kepercayaan yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Jawa. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa semua agama itu baik dengan ungkapan mereka: “sedaya agami niku sae” (semua agama itu baik). Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di Yogyakarta dan Surakarta. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313). Masyarakat Jawa, terutama yang menganut Kejawen, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan adalah Sunan Kalijaga dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja yang dikeramatkan adalah Sultan Agung, Panembahan Senopati, Pangeran Purbaya, dan masih banyak lagi tokoh lainnya. Masyarakat Jawa percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat
5
itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut. Masyarakat Jawa juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhlukmakhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara. Di samping itu, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347). Itulah gambaran tentang masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya. Budaya Jawa dan Islam Kejawen Penelitian Clifford Geertz (dalam Robertson, 1986: 182) membuktikan bahwa desa di Jawa sama tuanya dengan orang Jawa. Evolusi desa di Jawa hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini pada masing-masing tahapnya telah ditata dan diekspresikan dengan suatu sistem religius yang kurang lebih menyatu. Sebelum kedatangan agama Hindhu sekitar tahun 400 SM, tradisi keagamaan dari berbagai suku Melayu masih mengandung unsur-unsur animisme. Setelah berabad-abad kemudian tradisi animisme di Jawa ini terbukti mampu menyerap ke dalam unsur-unsur yang berasal dari Hindhu dan Islam yang datang belakangan pada abad XV M. Jadi, menurut Geertz pada masa sekarang ini sistem keagamaan di pedesaan Jawa pada umumnya terdiri dari suatu perpaduan yang seimbang dari unsur-unsur animisme, Hindhu, dan Islam, suatu sinkretisme dasar yang merupakan tradisi rakyat yang sesungguhnya, suatu substratum
6
dasar dari peradabannya. Penelitian Geertz ini kemudian memunculkan tiga golongan masyarakat Jawa, yaitu priyayi, santri, dan abangan yang masing-masing mempunyai ciri-ciri keberagamaan yang berbeda. Hasil temuan Geertz di atas menunjukkan ada ciri khusus tentang keberagamaan masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Muslimnya, meskipun dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sadar akan agamanya dan pengetahuannya tentang agama semakin mendalam, mereka sedikit demi sedikit melepaskan ikatan sinkretisme yang merupakan warisan dari kepercayaan atau agama masa lalunya yang dalam dinamikanya dianggap sebagai budaya yang masih terus terpelihara dengan baik, bahkan harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, budaya yang berkembang di Jawa ikut mempengaruhi sikap keberagamaan masyarakatnya. Sikap keberagamaan seperti ini tidak hanya dimiliki masyarakat desa, tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat kota, terutama kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan seperti Yogyakarta, Solo (Surakarta), dan kota-kota lainnya. Dalam perkembangannya Yogyakarta kemudian menjadi satu provinsi tersendiri di negara kita. Masyarakat seperti itulah yang kemudian melahirkan suatu agama yang kemudian dikenal dengan Agama Jawi atau Islam Kejawen, yaitu suatu keyakinan dan konsepkonsep Hindhu-Buddha yang cenderung ke arah mistik yang tercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam (Koentjaraningrat, 1994: 312). Pada umumnya pemeluk agama ini adalah masyarakat Muslim, namun tidak menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan, karena adanya aliran lain yang juga dijalankan sebagai pedoman, yaitu aliran kejawen. Kejawen sebenarnya bisa dikategorikan sebagai suatu budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena budaya ini masih menampilkan perilakuperilaku yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti percaya terhadap adanya kekuatan lain selain kekuatan Allah Swt. Kepercayaan terhadap kekuatan dimaksud di antaranya adalah percaya terhadap roh, benda-benda pusaka, dan makam para tokoh, yang dianggap dapat memberi berkah dalam kehidupan seseorang. Sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur. Semenjak manusia sadar akan keberadaannya di dunia, sejak saat itu pula ia mulai memikirkan akan tujuan hidupnya, kebenaran, kebaikan, dan
7
Tuhannya (Koentjaraningrat, 1994: 105). Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon untuk mencari berkah. Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandanganpandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya tentang Tuhan. Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain (Koentjaraningrat, 1994: 312). Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara (perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa keagamaan. Di Yogyakarta khususnya, momen Suran (peringatan menyambut tahun baru Jawa yang sebenarnya juga merupakan tahun baru Islam) dan Mulud (peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw.) dirayakan cukup meriah dengan berbagai upacara keagamaan yang bernuansa kejawen. Dalam dua momen tersebut masyarakat Jawa, terutama yang menganut Islam Kejawen (juga yang berasal dari penganut agama selain Islam), secara rutin dan khidmat melakukan berbagai aktivitas yang bernuansa agama dan budaya. Tradisi Suran banyak diisi dengan aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan yang oleh masyarakat Yogyakarta disimbulkan Kanjeng Ratu Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Upacara besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta dan dipusatkan di Parangkusuma (Parangtritis), yaitu di kawasan pantai selatan. Di tempat-tempat lain juga dilakukan acara dengan model dan tujuan yang serupa. Mereka pada momen tersebut juga mengadakan pentas seni dan budaya untuk menghibur masyarakat pada umumnya. Pada momen Mulud masyarakat Yogyakarta mengadakan perayaan besar yang disebut Sekaten yang dipusatkan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta. Perayaan
8
ini juga bernuansa agama dan budaya. Nuansa keagamaannya (khususnya Islam) terlihat pada acara Grebeg Mulud yang bertepatan dengan peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw. yang dipusatkan di Masjid Agung Kraton Ngayogyakarta dan alunalun utara. Nuansa budaya juga tampak pada acara Grebeg tersebut dengan banyaknya masyarakat yang berusaha mendapatkan berkah dari perayaan tersebut, dan pada pentas seni serta Pasar Malam Sekaten yang berlangsung selama kurang lebih empat puluh malam, mulai dari awal bulan Sapar dan berakhir pada tanggal 12 Mulud. Di samping dua momen besar tahunan tersebut masyarakat Jawa, terutama di Yogyakarta, juga sering datang (berziarah) ke makam-makam (kuburan) yang dianggap suci (keramat) pada malam Jum’at Kliwon dan Selasa Kliwon untuk mencari berkah. Di antara makam yang sering menjadi tujuan utama dari aktivitas ziarah mereka adalah Makam Raja-raja atau Makam Suci Imogiri dan makam-makam lain di Yogyakarta yang juga dianggap suci atau keramat.
Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan berbagai bentuknya maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi dan budaya Jawa tersebut dalam perspektif Islam. Sebelum mengkaji permasalahan ini lebih jauh, perlu dijelaskan secara singkat karakteristik Islam yang memiliki ajaran yang sempurna, komprehensif, dan dinamis. Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat keseluruhan ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat terdahulu dan memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia di mana pun dan kapan pun. Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk segala waktu dan tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Secara umum, ajaran-ajaran dasar Islam yang bersumberkan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw. dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah menyangkut ajaranajaran tentang keyakinan atau keimanan; syariah menyangkut ajaran-ajaran tentang hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf (orang Islam yang sudah dewasa); dan akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang budi pekerti yang luhur (akhlak mulia). Ketiga kerangka dasar Islam ini sebenarnya merupakan penjabaran dari beberapa ayat al-Quran (seperti QS. al-Nur (24): 55, al-Tin (95): 6, dan al-‘Ashr (103):
9
3) dan satu hadis Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Muslim dari Shahabat Umar bin Khaththab yang berisi tentang konsep iman, islam, dan ihsan. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman, syariah merupakan penjabaran dari konsep islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan. Kedinamisan dan fleksibilitas Islam terlihat dalam ajaran-ajaran yang terkait dengan hukum Islam (syariah). Hukum Islam mengatur dua bentuk hubungan, yaitu hubungan antara manusia dengan Allah (ibadah) dan hubungan antara manusia dengan sesamanya (muamalah). Dalam bidang ibadah Allah dan Rasulullah sudah memberikan petunjuk yang rinci, sehingga dalam bidang ini tidak bisa ditambah-tambah atau dikurangi, sementara dalam bidang muamalah Allah dan Rasulullah hanya memberikan aturan yang global dan umum yang memungkinkan untuk dikembangkan lebih jauh dan lebih rinci. Pada bidang yang terakhir inilah dimungkinkan adanya pembaruan dan dinamika yang tinggi. Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa masalah tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran Islam, terutama dalam bidang aqidah dan syariah. Kalaupun ada yang terkait dengan bidang akhlak, hal itu tidak dibicarakan dalam tulisan ini. Untuk melihat apakah tradisi dan budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jawa itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, maka hal itu dapat dikaji dengan mendasarkan diri pada ajaranajaran Islam yang terkait dengan bidang aqidah dan syariah. Sebab tradisi dan budaya Jawa seperti yang dijelaskan di atas menyangkut masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual, seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara. Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya manusia di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan tersebut. Bagi kalangan masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka yakini sesuai dengan ajaran-ajaran
10
aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan cara yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda-benda pusaka (animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu memiliki kekuatan ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orangorang tertentu (dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki kekuatan ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika mereka melakukan sesuatu. Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa yang abangan ini bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan meyakini Allah Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Swt. Orang yang meyakini ada tuhan (yang seperti tuhan) selain Allah maka termasuk golongan orang-orang musyrik yang sangat dibenci oleh Allah dan di akhirat kelak mereka diharamkan masuk ke surga dan tempatnya yang paling layak adalah di neraka (QS. alMaidah (5): 72). Perbuatan seperti itu dinamakan perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa’ (4): 166). Tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang lain yang perlu dikaji di sini adalah yang terkait dengan perilaku-perilaku ritual mereka. Masyarakat Jawa yang abangan juga memiliki tradisi ziarah ke makam orang-orang tertentu dengan tujuan untuk mencari berkah atau memohon kepada para ruh leluhur atau orang yang dihormati agar memberikan dan mengabulkan apa yang mereka minta. Mereka juga memiliki tradisi melakukan upacara-upacara keagamaan (ritus) sebagai ungkapan persembahan mereka kepada Tuhan. Di antara tradisi yang terkait dengan ritus ini adalah upacara labuhan di pantai Parang Kusuma, upacara ruwatan, upacara kelahiran hingga kematian seseorang, upacara menyambut tahun baru Jawa yang sama dengan tahun baru Islam, dan bentukbentuk upacara ritual lainnya. Acara-acara ritual yang mereka lakukan seperti itu meskipun bertujuan minta kepada Tuhan (Allah), tetapi menempuh cara yang bertentangan dengan ajaran syariah Islam. Mereka meminta berkah atau rizki kepada Tuhan tidak secara langsung, tetapi melalui perantara dan memakai sesaji. Meminta berkah atau rizki kepada selain Allah jelas dilarang dan bertentangan dengan al-Quran,
11
karena tidak ada yang dapat memberikan berkah atau rizki kepada siapa pun selain Allah (QS. al-Zumar (39): 52). Syariah Islam mengatur masalah ibadah (ibadah mahdlah) dengan tegas dan tidak dapat ditambah-tambah atau dikurangi. Tatacara ibadah kepada Allah ditetapkan dalam bentuk shalat, zakat, puasa, dan haji yang didasari dengan iman (kesaksian akan adanya Allah yang satu dan Muhammad sebagai Rasulullah). Semua bentuk ibadah ini sudah diatur tatacaranya dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Segala bentuk amalan yang bertentangan dengan cara-cara ibadah yang ditetapkan oleh al-Quran atau hadis disebut bid’ah yang dilarang. Dengan demikian, apa yang selama ini dilakuan oleh masyarakat Jawa, khususnya dalam masalah-masalah ritual seperti itu, jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam. Karena itu, hal ini sebenarnya harus diupayakan untuk ditinggalkan atau diluruskan tatacaranya sehingga tidak lagi bertentangan dengan ajaran Islam. E. Penutup Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam alQuran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak berkembang tradisi di kalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, sumbangan mantenan, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan. F. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Taufik (ed.). (1983). Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali Pers. Al-Ahadis al-Nabawiyyah. Al-Qur’an al-Karim.
12
Geerts, Clifford. (1986). “Agama di Jawa: Pertentangan dan Perpaduan”, dalam Roland Robertson (ed.). Sosiologi Agama. Tanpa Tempat Terbit: Aksara Persada. ---------------. (1989). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa Terj. oleh Aswab Mahasin. Jakarta: Rajawali Pers. Herusatoto, Budiono. (1987). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. ---------------. (1995). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan. ---------------. (1996). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy J. (1996). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Simuh. (1996). Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya. Suharsimi Arikunto. (1991). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sukamto dkk. (1995). Pedoman Penelitian Edisi 1995. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta. Suyanto. (1990). Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.
Biodata Penulis Marzuki, dilahirkan di Banyuwangi (tepatnya di Desa Sraten Kec. Cluring), 21 April 1966. Studi S-1 diselesaikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (tamat 1990). Pada tahun 1993 melanjutkan studi Pascasarjana (S-2) di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) dan selesai tahun 1997. Setelah itu melanjutkan studi S-3 di tempat yang sama dan hingga sekarang sedang dalam penyelesaian. Sekarang penulis menjadi dosen tetap Universitas Negeri Yogyakarta (MKU dan Jurusan PPKN-FIS) dengan mata kuliah pokok Pendidikan Agama Islam dan Hukum Islam.
13
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA
Priangan dalam Kehidupan Franz Wilhelm Junghuhn IKHTISAR: Orang Eropa, terutama orang Belanda, pada zaman kolonial menyebut dataran tinggi di belahan barat Pulau Jawa sebagai “Preanger” atau “Prijangan”. Istilah “Preanger” untuk wilayah-wilayah di dataran tinggi Jawa Barat memang berpaling dan merujuk ke masa kolonial. Esai ini membahas beberapa segi sejarah Priangan, dataran tinggi di Jawa Barat, pada abad ke-19 dalam kaitannya dengan sosok, perjalanan hidup, dan karya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Figur tersebut adalah peneliti, penjelajah, dan pejabat kolonial Belanda kelahiran Jerman, yang selama 13 tahun tinggal dan bekerja di Hindia Belanda. Dari penyelidikan keilmuannya dihasilkan karya utamanya mengenai morfologi Pulau Jawa, yang mendapat pengakuan masyarakat ilmiah di tingkat internasional pada masanya. Karya itu bukan hanya berupa tulisan terperinci mengenai bentang alam Pulau Jawa, melainkan juga berupa citraan visual seperti sketsa, peta topografi, dan gambar elok. Priangan merupakan salah satu area penelitian Franz Wilhelm Junghuhn, bahkan menjadi tempat ia tinggal dan bekerja pada tahuntahun terakhir menjelang ia wafat. Tulisan dan gambar karya Franz Wilhelm Junghuhn mengenai Priangan dapat memperkaya historiografi mengenai dataran tinggi tersebut pada abad ke-19. KATA KUNCI: Franz Wilhelm Junghuhn, Priangan abad ke-19, citraan visual, ilustrasi, historiografi, dan bentang alam pulau Jawa. ABSTRACT: “Priangan in the Life of Franz Wilhelm Junghuhn”. Europeans, particularly the Netherlands, in the colonial times call plateau in western Java as “Preanger” or “Prijangan”. The term of “Preanger” to the areas in the highlands of West Java is to turn and refer to the colonial period. This essay discusses some aspects of the history of Priangan, a plateau in West Java, in 19th century in relation to the figure, life journey, and works of Franz Wilhelm Junghuhn (18091864). The figure was German-born Dutch researcher, explorer, and colonial official, who for 13 years had lived and worked in Dutch East Indies. Based on his scientific investigation, he had contributed his major work on morphological aspects of Java’s natural landscapes that had gained the recognition from international scientific communities at the time. His works didn’t only present detailed account of natural landscapes of Java, but also presented several visual images, such as sketches, topographical maps, and picturesque images. Priangan was one of Franz Wilhelm Junghuhn’s areas of research, even a place where he lived and worked during the last years before his death. Franz Wilhelm Junghuhn’s writings and drawings on Priangan can enrich the historiography of the plateau in 19th century. KEY WORD: Franz Wilhelm Junghuhn, 19th century Priangan, visual images, illustrations, historiography, and natural landscapes of Java.
PENDAHULUAN Esai ini akan melihat beberapa segi sejarah Priangan, dataran tinggi di belahan barat Pulau Jawa, pada abad ke-19, sebagaimana yang tercermin
dari sosok, perjalanan, dan karya Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864). Figur tersebut adalah ilmuwan Belanda kelahiran Jerman, yang selama 13 tahun tinggal dan bekerja di Hindia
About the Authors: H.W. Setiawan adalah Mahasiswa Program Doktor di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (Institut Teknologi Bandung) dan Dosen di UNPAS (Universitas Pasundan) Bandung, Jawa Barat, Indonesia; dan Prof. Dr. Setiawan Sabana adalah Guru Besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Jalan Ganesha No.10 Tamansari, Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Untuk kepentingan akademis, penulis bisa dihubungi dengan alamat emel:
[email protected] and
[email protected] How to cite this article? Setiawan, H.W. & Setiawan Sabana. (2015). “Priangan dalam Kehidupan Franz Wilhelm Junghuhn” in SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, Vol.3(1), Maret, pp.31-56. Bandung, Indonesia: Minda Masagi Press and UBD Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ISSN 2302-5808. Available online also at: http://susurgalur-jksps.com/priangan/ Chronicle of the article: Accepted (September 9, 2014); Revised (December 19, 2014); and Published (March 24, 2015).
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
31
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Belanda, mula-mula di Sumatra kemudian di Jawa. Di Pulau Jawa, ia mengadakan penyelidikan keilmuan mengenai morfologi bentang alam, hingga menghasilkan banyak tulisan dan citraan visual mengenai bentang alam tersebut. Priangan merupakan bagian dari area penelitian Franz Wilhelm Junghuhn, juga tempat dia tinggal dan bekerja pada tahun-tahun menjelang akhir hayatnya. Orang Eropa, terutama orang Belanda, pada zaman kolonial menyebut dataran tinggi di belahan barat Pulau Jawa sebagai Preanger. Isaac Groneman, dokter yang pernah bekerja di Bandung yang juga sahabat karib Franz Wilhelm Junghuhn, menerangkan dalam bukunya, Waar of Onwaar? Nieuwe Indische Schetsen (1879), bahwa Preanger adalah penyimpangan Belanda dari nama Sunda untuk wilayah pegunungan Prijangan. Adapun Jan Breman (2010), dalam karyanya tentang sejarah tanam paksa di Priangan, menjelaskan bahwa: Istilah Preanger, untuk wilayah-wilayah di dataran tinggi Jawa Barat, berpaling ke masa kolonial. Dalam nama itu, yakni keliru ucap untuk Priangan atau Parahyangan, terkandung banyak arti yang berlainan. Salah satu di antaranya menunjuk ke wilayah-wilayah sunyi dan tak berpenghuni. Arti ini mengacu kepada huru-hara yang disusul dengan kemerosotan dan akhirnya kehancuran Kerajaan Hindu Pajajaran. Tentang sejarah, struktur, dan ukuran negara pra-kolonial ini, yang pusatnya telah dipastikan terletak di dekat Bogor sekarang, sedikit yang diketahui. Mengenai keberadaannya pada abad ke-14 dan 15 Masehi, banyak bukti dari temuan arkeologis yang dapat menopang kesimpulan tentang terjadinya pengHindu-an pada masa lalu, tetapi tidak dapat menerangkan keadaan lahan tempat didirikannya sistem pertanian. Sisasisanya dilaporkan oleh De Haan pada awal abad ke-20. Prabu Siliwangi, sebagai keturunan terakhir dari raja di kerajaan yang sedang surut itu, bersusah-payah melawan para penggerak Islamisasi, yang bercokol di kota-kota pelabuhan di pesisir utara. Dia pergi pada pertengahan abad
32
ke-15, setelah wilayahnya menyerah akibat serangan dari Banten dan Cirebon (Breman, 2010:17, terjemahan HWS).
PRIANGAN ATAU PREANGER Wilayah Priangan yang dibicarakan oleh Franz Wilhelm Junghuhn, dalam buku-bukunya, disebut dengan nama Preanger, meskipun dalam peta topografisnya ia memakai sebutan Prijangan. Ia juga memakai istilah administratif yang berlaku pada zamannya, yaitu Preanger Regentschappen atau Keresidenan Priangan (cf De Wilde, 1830; Kern, 1898; dan De Haan, 1910). Selain Preanger Regentschappen, ada beberapa istilah yang berkaitan dengan wilayah Jawa bagian barat dalam buku-buku karya Franz Wilhelm Junghuhn, yaitu Preanger (Priangan), Soenda (Sunda), Soendanezen (masyarakat Sunda), Soenda-landen (tatar Sunda), Soendaeilanden (kepulauan Sunda), dan Soenda-taal (bahasa Sunda). Ada pula dua istilah, yaitu Soendasche dan Soendasch, yang digunakan dalam berbagai acuan, misalnya Soendasch Legend (Legenda Sunda). Secara umum, istilah-istilah tersebut mewartakan adanya gugusan pulau yang bernama Soenda-eilanden, dan salah satu bagiannya adalah Pulau Jawa. Pulau Jawa terbagi tiga, yaitu bagian barat, tengah, dan timur. Jawa bagian barat disebut Soenda-landen, yang masyarakat pribuminya disebut Soendanezen dan bahasa utamanya disebut Soenda-taal (Junghuhn, 1853). Salah satu bagian dari Soendalanden adalah Preanger, yang secara administratif merupakan wilayah Preanger Regentschappen. Sebagaimana Jakarta menjadi Batavia dan Bogor menjadi Buitenzorg, penyimpangan seperti ini kiranya bukan tidak disengaja. Paling tidak, memang terdapat suatu keperluan di kalangan penguasa kolonial untuk menekankan impresi Eropa atas daerah jajahannya di negeri tropis ini (Maronier, 1967; dan
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Gambar 1: Peta Wilayah Pegunungan Prijangan (Priangan) Abad ke-19 dalam Franz Wilhelm Junghuhn (1857).
Protschky, 2008). Di Hindia Belanda, para penguasa kolonial memimpikan apa yang mereka sebut sebagai “Eropa di Negeri Tropis” atau Europa in de Tropen. Wilayah Priangan adalah tempat Franz Wilhelm Junghuhn memulai perjalanan dalam penyelidikan kebumian di Jawa, yang dilakukannya pada 1844. Dia berangkat dari wilayah Bogor, di sekitar Megamendung, menuju ke wilayah Cianjur, dan terus bergerak ke timur hingga dapat menjelajahi seantero Pulau Jawa, dengan menumpang kereta kuda, menunggang kuda, atau berjalan kaki. Itulah yang tercatat dalam bukunya Franz Wilhelm Junghuhn, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi en Inwendige Bouw, Vol.1 (1857), yang dijadikan rujukan utama bagi uraian dalam esai ini. Buku ini terdiri atas tiga bagian, yang dituangkan dalam empat jilid. Seluruh uraiannya mencapai ketebalan lebih dari 1,000 halaman. Bagian pertama (eerste afdeeling) membahas “bentuk dan lapisan tanah” (de gedaante en de bekleeding des lands).
Bagian kedua membahas “gunung api dan gejala kegunungapian” (vulkanen en de vulkanische verschijnselen). Bagian ketiga membahas karakteristik gununggunung di Jawa, yang disebut sebagai “pegunungan Neptunian” (Neptunische gebergten). Buku-buku Franz Wilhelm Junghuhn disusun dan disunting di Belanda, berdasarkan catatan lapangannya yang dibuat di Pulau Jawa. Franz Wilhelm Junghuhn kembali ke Belanda pada bulan November 1849 untuk tetirah (pergi ke suatu tempat untuk perawatan). Semula dia berencana cuti di sana selama setahun saja. Namun, masalah kesehatan memperlama masa tinggalnya di Eropa. Hingga November 1851, dia masih harus menggarap pekerjaannya, antara lain menyunting peta Pulau Jawa. Sketsa-sketsa yang ditulisnya, selama mengadakan perjalanan di Jawa, diupayakan terbit sebagaimana keadaan awalnya. Lihat gambar 1. Mengenai Priangan sebagai Wilayah Pegunungan. Dalam bukunya
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
33
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Tabel 1: Wilayah Priangan pada zaman Franz Wilhelm Junghuhn Keresidenan Keresidenan Priangan
Kabupaten Kabupaten Cianjur
Kabupaten Bandung
Kabupaten Sumedang
34
Kecamatan Ciputri. Ciblagung. Cibeureum. Bayabang. Kaliastana. Padakati. Peser. Cikondang. Jampang Wetan. Jampang Tengah. Jampang Koelon. Cibetuk. Maleber. Cikalong. Gandasoli. Cianjur. Gunung Parang. Cimai. Cielan. Cicurug. Sunyawenang. Palabuan. Cikembar. Cidamar. Randung. Ujungberung Kulon. Ujungberung Wetan. Cicalengka. Balubur Limbangan. Timbanganten. Cikembulan. Majalaya. Cipenjen. Banjaran. Kopo. Cisondari. Rongga. Cilokotot. Rajamandala Ciea. Cikao. Tanjungsari. Malandang. Conggeang. Darmawangi. Cibeureum. Ciakar. Sumedang. Cikadu. Darmaraja, Pawenang. Malembong. Ciawi. Indihiang. Tasikmalaya. Singaparna.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Keresidenan Keresidenan Priangan
Kabupaten Kabupaten Sukapura
Kabupaten Limbangan
yang berjudul, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.1 (1857), terdapat tabel wilayah Jawa yang diteliti oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Pulau yang dia sebut het geliefde Java (Jawa tercinta) itu terdiri atas Jawa bagian barat, tengah, dan timur. Ketika Franz Wilhelm Junghuhn mengawali kegiatannya, dia mendata sedikitnya 559 wilayah kabupaten dan tanah partikelir di Jawa. Dalam tabel tersebut, wilayah Jawa bagian barat terbagi kedalam beberapa wilayah yang lebih kecil, yaitu Bantam (Banten), Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Krawang (Karawang), Preanger Regentschappen, dan Ceribon (Cirebon). Keresidenan Priangan sendiri terdiri atas lima kabupaten (regentschap), yaitu: Canjur (Cianjur), Bandong (Bandung), Sumedang, Sukapura (Tasikmalaya), dan Limbangan (Garut). Masing-masing kabupaten terdiri atas sejumlah distrik. Rincian wilayah Priangan pada zaman Franz Wilhelm Junghuhn dapat dilihat dalam tabel 1. Dalam peta di gambar 1, Franz Wilhelm Junghuhn mendata gununggunung di Priangan. Di wilayah
Kecamatan Pasirpanjang. Mangunjaya. Janggala. Banjar. Kawasen. Kalipucang. Cikembulan. Parigi. Ciculang atau Ciwaru Mandala. Parung. Karang. Selacau. Pasiredan. Taraju. Ratuwangi. Negara. Kandangwesi Garut. Panimbang. Suci. Pasanggrahan. Wanaraja. Wanakerta.
paling barat terdapat Gunung Gede, sedangkan di wilayah paling timur terdapat Gunung Ciremai. Di wilayah paling utara terdapat Gunung Tangkubanparahu, sedangkan di wilayah paling selatan terdapat Gunung Papandayan. Seluruhnya meliputi 35 gunung, yang terbagi kedalam kelompok gunung yang puncaknya berkawah (gipfel mit einem krater), yaitu Gunung Gede, Patua (Patuha), Tangkubanprau (Tangkubanparahu), Wayang, Kimanuk, Pepandayan (Papandayan), Guntur, Talagabodas, Galunggung, Tampomas, dan Cerimai (Ciremai); dan kelompok gunung yang puncaknya tidak berkawah (gipfel ohne krater), yaitu Burangrang, Bukittunggul, Pulusari (Pulosari?), Bukitjarian, Rekutak, Kimanuk, Puncakcai, Patengteng, Mandalawangi, Agung, Buyung, Keledon, Ruyung, Sembilang, Gerimbi, Koromong, Sidakeling, Cikuray, Kracak, Tilu, Malawar (Malabar), Manglayang, Malembong, dan Sawal. Di wilayah ini terdapat pula daerah pegunungan kars (kalk gebirge). Peta ini juga memperlihatkan bahwa wilayah pegunungan dialiri oleh sungai-sungai
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
35
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
seperti Ci Tarum, Ci Sokan, Ci Manuk, Ci Wulan, dan Ci Tanduy. Di sejumlah tempat aliran sungai menerobos gunung atau celah-celah sempit (quer durchbrüche der flüfse durch bergketten; oderenge klüfte). Terdapat pula sejumlah rawa. Di wilayah pegunungan itu, Franz Wilhelm Junghuhn menemukan masyarakat tersendiri, yang tampaknya sangat dia hargai. Bagi Franz Foto 1: Wilhelm Junghuhn, tinggiBuku Karya Franz Wilhelm Junghuhn, Edisi Jerman, yang Derjemahan oleh J.K. Hasskarl dan Wadah Peta Topografisnya, rendahnya tempat tinggal Koleksi Perpustakaan Badan Geologi di Bandung masyarakat dari permukaan (Sumber: Foto oleh Tatang Sumarsono) laut menentukan tinggirendahnya kedudukan masyarakat yang bersangkutan. Dalam dia mengawali catatannya dengan konteks ini, E.M. Beekman menulis memetik puisi dari Schiller atau Goethe, bahwa dalam persepsi Franz Wilhelm dan ada kalanya petikan puisi Jerman Junghuhn: muncul di tengah permenungannya. Catatan-catatan yang dibuat di Superioritas manusia, tumbuhan, atau lapangan itu juga menyerupai risalah hewan ditentukan oleh elevasi. Masyarakat akademis serta pemerian ensiklopedis. Tengger yang ulung, tinggal dalam Aspek-aspek geologis, palaeontologis, elevasi antara 5,000 dan 7,500 kaki [...], dan kultural wilayah yang dia jelajahi masyarakat Sunda yang unggul, antara 2,000 dan 4,000 kaki [...], masyarakat dikemukakan secara terperinci (cf Batak di Sumatra yang istimewa, antara Berlage, 1931; Wagner, 1988; Berg, 4,000 dan 5,000 kaki [...] — tapi dataran 2001; dan Bloembergen, 2004). Bagiantinggi mereka gersang dan sepenuhnya bagian terakhir buku ini, yang bertajuk gundul — dan masyarakat Jawa yang rendah, hanya antara 200 dan 250 kaki “Terugblik” (Tinjauan), antara lain berisi di atas permukaan laut [...]. Dengan skala kronik peristiwa alam yang berlangsung demikian, tak pelak lagi orang-orang di Hindia Belanda, khususnya di Jawa, Belanda yang menjadi atasan Junghuhn tak terkecuali di Jawa Barat. Misalnya, jarang disebut-sebut (Beekman, 1996a:42, catatan tentang gempa bumi di terjemahan HWS). Pangalengan pada 2 Maret 1848 sekitar Mengenai Priangan sebagai jam 11.30 malam waktu setempat Lapangan Penelitian. Dalam buku (Junghuhn, 1857). Ketiga fungsi itu Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, dipenuhi sekaligus, sehingga tidak en Inwendige Bouw, Vol.3 (derde deel), mudah kita menggolongkan buku Franz Franz Wilhelm Junghuhn menyuguhkan Wilhelm Junghuhn kedalam kategori 20 “sketsa” (schets) mengenai penulisan tertentu. Lihat foto 1. perjalanannya menjelajahi Pulau Sebagaimana pada jilid lainnya, Java, Jawa, tak terkecuali wilayah Priangan. Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Uraiannya dalam buku itu menyerupai Inwendige Bouw, Vol.3 (derde deel), juga catatan harian, yang ditulis dari hari ke disisipi sejumlah sketsa atau gambar. hari, lengkap dengan keterangan tempat Sketsa dalam buku ini memperlihatkan dan waktu penulisannya, dari 7 Agustus rincian topografis kawasan pegunungan. hingga 21 November 1844. Ada kalanya Pembahasan mengenai gambar36
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
gambar itu akan dikemukakan pada bagian berikutnya. Dalam pengantar untuk buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.1, Franz Wilhelm Junghuhn menuturkan bahwa: Hanya dengan bertopang pada kekuatan sendiri, saya mengawali penyelidikan kebumian saya di Jawa pada tahun yang sama ketika saya, sebagai perwira Kesehatan untuk Tentara Hindia, menginjakkan kaki di pulau itu untuk pertama kalinya; saya memiliki ilmu pengetahuan, yang dengannya saya berlatih, selama sekitar 12 tahun di sana, sebagai tempat kudus yang saya hargai dan saya hormati, — seiring dengan keheningan di sepanjang jalan yang tiada bandingannya, saya menyusuri gununggunung dan hutan-hutan di Kepulauan Sunda yang elok, tanpa hal lain dalam diri saya, daripada rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan antusiasme terhadap gejala alam, yang telah membenamkan saya, — maka sudah sepatutnyalah untuk dipertimbangkan, bahwa di sini, di Belanda, saya juga ingin mempertahankan bahan yang saya kumpulkan, bahkan mengarahkan terbitan yang disiapkan untuk pers (Junghuhn, 1857, 1:4, terjemahan oleh HWS).
Sejauh yang berkaitan dengan wilayah Priangan, pembaca mendapatkan lima sketsa dari buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.3. Berturut-turut, dia menyuguhkan “sketsa pertama” (eerste schets) mengenai perjalanan dari Buitenzorg (Bogor) ke Bandong (Bandung) dengan tempat dan tanggal penulisan Cianjur, 7 Agustus 1844; dan Bandung, 9 Agustus 1844. “Sketsa kedua” (tweede schets) mengenai observasinya atas gunung ke-13 yang diamatinya, yakni Gunung Guntur, dengan tempat dan tanggal penulisan Garut, 11 dan 12 Agustus 1844. “Sketsa ketiga” (derde schets) mengenai observasinya atas gunung ke-17, yakni Gunung Cikurai, dengan tempat dan tanggal penulisan Cikuwiwi, 12 dan 13 Agustus 1844; dan Garut, 14 Agustus 1844. “Sketsa keempat” (vierde schets)
mengenai perjalanannya dari Garut ke Sumedang, dengan tempat dan tanggal penulisan Pawenang, 15 Agustus 1844; dan Sumedang, 16 Agustus 1844. “Sketsa kelima” (vijfde schets) mengenai observasinya atas gunung ke-20, yakni Gunung Tampomas, dengan tempat dan tanggal penulisan Cirebon, 17 Agustus 1844. Sketsa selanjutnya mengenai perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn di wilayah Jawa bagian tengah dan timur, hingga “sketsa kedua puluh” (twintigste schets) yang ditulis di Kediri, Jawa Timur, pada 21 November 1844. Franz Wilhelm Junghuhn mengadakan perjalanan ke pegunungan dengan berjalan kaki, ditemani oleh sejumlah kuli. Ada kalanya, jika melewati jalan besar, dia bersama rombongan memanfaatkan kereta kuda. Ada kalanya pula, seperti ketika dia mengunjungi Jawa Tengah, dia menumpang kereta api. Di wilayah Priangan, Franz Wilhelm Junghuhn antara lain mendaki Gunung Galunggung dan Gunung Wayang pada tahun 1846; Kawah Ciwidey pada tahun 1847 (Dédé, 2013:40); dan Kawah Gunung Tangkubanparahu pada tahun 1848 (Junghuhn, 1857:47). Dalam perjalanannya, Franz Wilhelm Junghuhn tidak hanya mencatat gejala alam, yakni minatnya yang utama, melainkan juga mencatat gejala budaya (cf Ten Kate, 1913; dan Loos-Haaxman, 1968). Contohnya, perjalanan dengan kereta kuda merupakan salah satu gejala budaya yang tampaknya sangat menarik baginya. Ketika dia bersama rombongan mengadakan perjalanan dari Bogor ke Bandung, melewati Cianjur, pada tahun 1844, dia melukiskan sebagai berikut: Tiada yang lebih baik menggugah perasaan daripada kereta di Jawa, yang ditarik dengan kuda Jawa dan dikendalikan oleh kusir Jawa. Dari luar roda berderak dan kuda mendengus, — dari dalam selusin kotak dan tabung timah bergemerincing, — dari depan terdengar lecutan tangan kusir, — dan dari belakang trio pelari memperdengarkan gencarnya konser
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
37
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
vokal mereka: ayo - uh, - ayo - bur – hui - hui, bur! — memang tidak melengking seperti roerende Jenny Lind,1 tapi toh cukup memekakkan telinga (Junghuhn, 1857:512, terjemahan HWS).
Dalam penyelidikan kebumian di kawasan Priangan, Franz Wilhelm Junghuhn sempat melakukan penyelidikan arkeologis. Pada tanggal 18 Agustus 1843, dia menemukan sisa-sisa peradaban Hindu (Hindoe-oudheden) di lereng selatan pegunungan di belahan utara Bandung. Jejak-jejak masa lalu itu terdapat di Pasir Cipansalu dan Pasir Pamoyanan. Berikut ini adalah petikan rincian temuannya, yang ditulis oleh Franz Wilhelm Junghuhn di Nagarawangi, Bandung, pada tanggal 20 Agustus 1843: I. Di Pasir Cipansalu. Punggung gunung ini adalah salah satu kawasan melintang yang terpanjang, yang menurun dari puncak Manglayang di dataran tinggi ini, dan dari lengkungan tanah di sebelah timur terdapat pasanggrahan Nagarawangi, yang terpisah dari Cipansalu hanya dengan sebuah celah. Jejak-jejak masa lalu ini paling hanya 1.5 paal di selatan-selatan-timur dari pasanggrahan itu, dan dengan turun 800 kaki, terdapat kampung Cipansalu, dan terdapat: a. Dua patung Siwa (yaitu Mahadewa), yang satu tingginya satu kaki, yang lain tingginya satu setengah kaki, sangat tua, sudah rusak, dengan kepala (yang kelihatannya dirusak) sudah lapuk sehingga hampir sukar dikenali; b. Sekitar 2,000 langkah ke bawah, ada patung banteng, Nandi, juga tanpa kepala. Punggung gunung ini dilingkupi belantara yang ditumbuhi pohon klaga, scitamineae, akasia, dan emblica. II. Di Pasir Pamoyanan, pada garis lurus sekitar 1.5 paal ke utara, 75 derajat ke barat dari pasanggrahan Nagarawangi, dengan ketinggian yang lebih-kurang sama. Di punggung gunung yang garisnya paling panjang, orang turun dari puncak Palasari (yang juga disebut Kasur) ke dataran tinggi Bandung. Pertama-tama orang menyusuri 1 Jenny Lind, nama panggung Johanna Maria Lind (1820-1887), adalah penyanyi opera terkemuka dari Swedia.
38
jalan raya tempat inspeksi kopi ke arah kampung Pamoyanan, kemudian dari situ naik ke gunung di antara klaga dan jajaran Citayabumi yang tengah tumbuh di punggung gunung yang berdekatan, dan jejak-jejak masa lalu di sini adalah: c. Sebuah altar, yang bentuknya hampir menyerupai kotak, tinggi dan lebar, dan sudut-sudutnya diberi hiasan bagus yang menonjol dan di atasnya terdapat lubang persegi, sedalam 0.5 kaki, tempat air hujan tertampung; d. Dua patung Siwa (juga sebagai Mahadewa), yang satu tingginya 1.5 kaki, yang lain tingginya 2.5 kaki, sangat tua, yang permukaannya sudah lapuk dan tertutup lumut, tapi sebagai citraan Siwa sangat jelas terlihat dari perhiasan tangan, leher, dan telinganya yang lazim, juga dari sabuk yang melilit tubuhnya dengan bentuk menggelembung dan terutama dari selang dan tiara. Juga dari penampilannya tampak bahwa kepalanya pernah mengalami perusakan. Keduanya paling tidak memiliki penampilan, seolah-olah di kemudian hari orang mengakuinya. e. Sebuah patung Durga, atau Parawati, pendamping Siwa, dengan perhiasan serupa, sebagaimana yang dapat dilihat orang di candi Prambanan, yang oleh orang Jawa dewasa ini disebut Lorojonggrang. Sosok ini terbuat dari batu panjang (1.5 kaki) yang dipahat ke atas, dan memperlihatkan sosok wanita yang cantik dengan bentuk raut nan bundar dan lembut, serta dahi yang agung, payudara membusung, dan proporsi anatomis yang sangat sempurna di setiap lekuknya. Dia berdiri di atas banteng Nandi; di sampingnya berlutut Maisasura yang ditundukkannya, dan di belakangnya ada dua lengan ragawi yang merentang ke samping tapi dari tiga lengan simbolis, beserta atribut Siwa yang lazim: cakram, trisula, belati, dll., dalam kuasanya. Sosok ini hampir seluruhnya masih utuh, bahkan perhiasan di lengan dan kakinya masih terlihat jelas. Ketiga sosok ini berdiri di atas tiga pelataran yang berbeda satu dari yang lainnya, yang barangkali merupakan pelataran-seni, yang dibuat dari batubatu persegi, yang sekarang tertimbun di dalam tanah dan mungkin sudah dibuat lagi di bumi. Patung-patung itu
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
niscaya dipahat pada batu yang berasal dari lava trachytisch, yang mengalami dekomposisi, di tempat lava itu ditemukan, lebih tua daripada candi-candi terkenal di pegunungan Dieng, juga lebih tua daripada yang terdapat di Prambanan. Semuanya, dalam citarasa belahan timur Jawa yang indah, hingga simetrinya yang sangat sempurna, ditata sedemikian rupa, adapun benda-benda sejenis yang tidak berarti hingga batu bertapak yang tiada berseni pada Batu Tulis di Bogor atau Arjo di Cikopo, tampaknya bukan berasal dari Hindu. Sebagaimana yang telah dikatakan, tidak ada lagi jalan yang menuju ke sisa-sisa tempat menyembah dewa ini. Kawanan harimau kini berumah di sini, di tempat yang sebelumnya digunakan oleh para rahib untuk mempersembahkan kurban kepada dewa mereka, dan hutan menaunginya, — tenang dan hening, — bahkan tersembunyi di dalam kegelapan. Dan seperti bisikan roh, angin berdesir di pucuk-pucuk akasia dan epicharis, — seakan berbisik lirih kepada kita: bahwa segala sesuatu, segalanya, bahkan yang terindah sekalipun, niscaya bakal binasa! (dalam Indisch Magazijn, 1844:228-231; dan Junghuhn, 1857, terjemahan HWS).
Mengenai Priangan sebagai Tempat Tinggal Franz Wilhelm Junghuhn. Salah satu tempat di Priangan yang hingga kini tidak dapat dilepaskan dari nama Franz Wilhelm Junghuhn adalah Cagar Alam Junghuhn, yang juga biasa disebut Taman Junghuhn. Cagar alam ini dipelihara secara resmi sejak 21 Februari 1919, dengan luas tercatat 2.5 hektare. Pengelolanya adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat I. Balai tersebut berada dibawah kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan RI (Republik Indonesia). Di tempat ini, sejak abad ke-19, berdiri tugu kubur (grafmonument) Franz Wilhelm Junghuhn, yang terletak dibawah naungan keteduhan bayang-bayang pepohonan. Beberapa puluh meter dari tugu itu terdapat pula pusara tempat dipendamnya abu jasad rekan kerjanya, Johan Eliza de Vrij. Pada sebuah papan
peringatan di taman itu, terdapat tulisan sebagai berikut: Franz Wilhelm Junghuhn tergolong peneliti alam yang besar dari abad ke-19. Hasil karyanya berupa penyelidikan tataan alam, gunung api, mintakat iklim, dan geografi pulau Jawa.
Sejak tahun 1856 hingga akhir hayatnya pada tahun 1864, Franz Wilhelm Junghuhn bertugas mengelola perkebunan kina pertama di Jawa Barat. Ia merupakan pelopor budidaya kina, walaupun baru terwujud 50 tahun kemudian, hingga Bandung terkenal di seluruh dunia sebagai “Ibu Kota Kina”. Pada tanggal 15 Desember 2011, suratkabar terkemuka di Jawa Barat, Pikiran Rakyat, memuat feature tentang kurang terawatnya Cagar Alam Junghuhn di Jayagiri, Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Di bawah tajuk “Selamatkan Taman Junghuhn!”, wartawan suratkabar tersebut mengungkapkan bahwa cagar alam itu telah menyusut dari 2.5 hektare menjadi hanya 0.3 hektare, terdesak oleh kian padatnya permukiman warga setempat, dan dikotori oleh tumpukan sampah rumah tangga.2 Isu seputar keadaan cagar alam itu terus diangkat oleh suratkabar tersebut dalam beberapa edisi berikutnya, tidak terkecuali dalam situs online-nya. Suratkabar lainnya, yang juga terbit di Bandung, Tribun Jabar, kemudian turut mengangkat isu yang sama. Dalam berita berjudul “Daripada Tidak Terawat, Taman Junghuhn Diusulkan Dikelola Desa”, suratkabar tersebut antara lain melaporkan tentang berlangsungungya pertemuan antara kalangan otoritas pemerintahan setempat untuk menjajaki kemungkinan perawatan cagar alam Taman Junghuhn.3 2 Lihat, misalnya, berita “Selamatkan Taman Junghuhn!” dalam suratkabar Pikiran Rakyat. Bandung: Kamis, 15 Desember 2011, hlm.6. 3 Lihat juga, misalnya, berita “Daripada Tidak Terawat, Taman Junghuhn Diusulkan Dikelola Desa” dalam suratkabar Tribun Jabar. Bandung: Rabu, 1 Februari 2012, hlm.9 dan 15.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
39
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Dalam tiga bulan terakhir, pengelola taman tersebut terlihat mengadakan pembenahan. Tugu dibersihkan sehingga warnanya kembali putih, seperti yang dulu dirancang oleh Isaac Groneman, serta sebuah pos jaga dibangun di dekat gerbang. Lihat foto 2. Tempat yang kini dikenal sebagai “Taman Junghuhn” adalah bekas tempat tinggal Franz Wilhelm Foto 2: Junghuhn sekeluarga. Suasana di Taman Junghuhn Sebuah potret hitam(Sumber: Foto oleh Dicky Purnama Fajar) putih dari tahun 1860 memperlihatkan suasana rumah sunyi, dan berjarak 2 mil (15 km) dari keluarga ini di Jayagiri, Lembang, Bandung, tempat hunian terdekat Bandung. Ruangannya cukup besar dan waktu itu. memiliki alat penerangan berupa tabung Jayagiri terletak tidak jauh kaca yang menggantung ke langitdari lereng selatan Gunung langit. Di atas kursi kayu, mengelilingi Tangkubanparahu, yang sangat dicintai sebuah meja bundar, duduk beberapa oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Pada nyonya Eropa, diantaranya istri Franz zaman Franz Wilhelm Junghuhn, Wilhelm Junghuhn, Johanna Louisa keadaan di sekeliling tempat itu masih Frederica Koch, yang dinikahinya pada berupa hutan yang hijau dan rimbun, tanggal 23 Januari 1850. Duduk di serta tinggi di atas Bandung. Dengan bawah lantai adalah sejumlah wanita kata lain, Franz Wilhelm Junghuhn pribumi, yang berkain dan berkebaya, memilih tinggal, tidak di pusat sebagai pembantu rumah tangga (cf keramaian modern di Kota Bandung, Protschky, 2008 dan 2009). Salah melainkan di tengah belantara, di dekat seorang diantara wanita-wanita itu gunung. adalah pengasuh anak yang sedang Setelah lebih-kurang 13 tahun dia duduk, sambil memangku anak Franz tinggal dan bekerja di Pulau Jawa, tak Wilhelm Junghuhn satu-satunya, Frans terkecuali di Priangan, Franz Wilhelm Lodewijk Christiaan, yang lahir pada Junghuhn mengalami gangguan tanggal 24 Agustus 1857. Di atas lantai kesehatan. Atas saran teman-temannya, juga tampak berbaring seekor macan dia perlu kembali ke Eropa untuk cuti tutul. Lihat foto 3. dan tetirah (pergi ke suatu tempat Franz Wilhelm Junghuhn tinggal untuk perawatan atau pengobatan). di Jayagiri, Lembang, sejak tanggal Dalam bukunya, Terugreis van Java 15 Juli 1857. Di tempat tempat naar Europa [Perjalanan Kembali dari kerjanya yang baru, ia memilih sebuah Jawa ke Eropa] pada tahun 1851, Franz “rumah kampung” bagi dirinya beserta Wilhelm Junghuhn menuturkan sebagai keluarganya di ketinggian 1,300 meter berikut: di bukit yang ketika itu masih amat 40
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Kesehatan saya terganggu dan tenaga saya melemah, setelah tiga belas tahun saya tinggal di Jawa dan Sumatra. Saya terkena pengaruh dari tiada hentinya hawa yang sangat menerpa, yang saya alami selama bertahuntahun, dan yang menjadikan segelintir orang, yang lahir di wilayah utara, akhirnya tidak tahan. Saya mengadakan perjalanan untuk melakukan penelitian geologis di Karawang, tapi berulang kali saya dipaksa menyadari betapa kekuatan saya untuk meneliti daerah pegunungan yang dingin telah habis, agar tidak menyerah di bawah iklim panas. Puncak gunung terakhir yang, dengan alasan tersebut di atas, saya daki Foto 3: pada 17 Juni 1848, adalah Suasana didalam Rumah Keluarga Tangkubanparahu, dan Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang, Bandung pondok saya terletak di titik (Sumber: Repro dari Rob Nieuwenhuys & Frits Jaquet, 1980) tertinggi lereng di sebelah selatan kawah, yang, ketinggian nominalnya 6,030 kaki di atas melemah; di telinga batin saya terdengar permukaan laut, dengan suhu rata-rata gemerisik angin laut melalui lembaran sekitar 56 Fahr., sementara di wilayah daun-daun pisang dan pucuk-pucuk pedalaman, di kaki utara gunung itu, nyiur, — saya mendengar gemuruh panas rata-ratanya adalah 81.5. Dalam percikan air terjun, yang meluncur dari udara sejuk di daerah pegunungan ini, dinding-dinding gunung yang tinggi tubuh saya mendapat kekuatan lagi, yang di pelosok yang paling jauh; rasanya ketika kekuatan tubuh saya berkurang, saya menghirup udara pagi yang sejuk, juga melemah dan terbenam dalam seakan-akan saya berada di dangau ketidakpedulian. ramah penduduk Jawa, selagi masih Peringatan dari teman, yang berkunjung ke tempat tinggal saya, memberi saya tenang istirahatnya hutan perawan, yang saran untuk memulihkan kekuatan, hingga saya lekati dari sekitarnya — tinggi di akhirnya saya putuskan untuk berada di atas saya, di udara, terdengar kawanan wilayah yang sudah berabad-abad lamanya kalong mengepakkan sayap ketika kembali memiliki musim panas dan mengucapkan ke wilayah tersebut, ke tempat tinggal selamat tinggal untuk kembali ke Tanah mereka, — satu demi satu timbul dan Air, yang suhunya lebih dekat dengan bergerak di bawah naungan dedaunan kutub yang tertutup es (Junghuhn, 1851:1, di hutan itu, kawanan merak dengan terjemahan HWS). teriakannya yang melengking, kawanan kera kembali memulai permainan hidup Namun, selama tinggal di Eropa, mereka dan gema nyanyian mereka Franz Wilhelm Junghuhn sepertinya membuat gunung-gunung bangun pagi, — ribuan burung bersenandung tidak dapat melupakan panggilan ketika matahari terbersit di ufuk timur, gunung-gunung di Pulau Jawa. Di menyinari puncak megah gunung di sana Leiden, Belanda, pada bulan November dengan cahaya emas dan ungu, — dari 1851, selagi terus bekerja sambil ketinggian terlihat oleh saya, salah satu mengenang gunung-gunung di pelosok saat yang selalu saya kagumi, — hasrat saya melonjak dan semangat saya timbul Jawa, Franz Wilhelm Junghuhn menulis untuk menyambut hari ketika saya akan sebagai berikut: berseru: sambutlah, oh gunung-gunung! (Junghuhn, 1851:15, terjemahan oleh HWS). Girang hati saya manakala mengingat gambaran hutan, yang terhampar Franz Wilhelm Junghuhn akhirnya dengan kehijauan abadi dihiasi ribuan bunga, yang wangi manisnya tak pernah kembali ke Jawa, menemui lagi © 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
41
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Sosok, Pemikiran, dan Karya Franz Wilhelm Junghuhn tulisan Observasi ilmiah
Deskripsi objektif
Matra batuan gambar
Latar pemikiran
Rincian permukaan bumi: x Gunung x Hutan x Pantai
x Pendekatan sejarah alam x Sikap dan pandangan Romantik
Franz Wilhelm Junghuhn: x Penjelajah x Ilmuwan x Aparatur kolonial
tulisan Spekulasi filosofis-teologis
Matra flora
Matra budaya
Ekspresi imajinatif gambar
Bagan 1: Sosok, Pemikiran, dan Karya Franz Wilhelm Junghuhn
wilayah pegunungan yang senantiasa menggugah hatinya. Bersama keluarganya, dia tinggal di Jayagiri, Lembang, hingga akhir hayatnya. Rob Nieuwenhuys & Frits Jaquet, melukiskan saat-saat penghabisan Franz Wilhelm Junghuhn di Lembang, sebagai berikut: Pada 24 April 1864, Junghuhn wafat. Di dalam ruangan tempat dia menghembuskan nafas yang terakhir itu ada istrinya, saudaranya, Rochussen, dan Groeneman. Sesaat menjelang kematian, kentara sekali dia meminta Groeneman agar membuka lebar-lebar jendela ruang kerjanya. Dia ingin sekali lagi membiarkan pegunungan yang dicintainya dan pemandangan rimba yang dicintainya, sekali lagi dia ingin menghirup udara gunung yang murni. Kemudian turun gerimis. Dia pun tertidur tenang dan tentram (Nieuwenhuys & Jaquet, 1980:143-144, terjemahan HWS).
SOSOK, PEMIKIRAN, KARYA, DAN RIWAYAT HIDUP FRANZ WILHELM JUNGHUHN Dalam bukuya Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East 42
Indies, 1600-1950, E.M. Beekman, antara lain, menggambarkan sosok Franz Wilhelm Junghuhn sebagai berikut: Penglihatan merupakan indra yang sangat menentukan dalam karya Junghuhn. Barangkali lazimnya demikian pada orang yang memetakan pulau-pulau, tetapi hal ini menyiratkan sesuatu yang melampaui batas-batas kegunaan, dalam arti mengacu pada cara mengalami dunia, sebentuk epistemologi, jika bukan filsafat (Beekman, 1996b:157, terjemahan HWS).
Dalam amatan yang menyeluruh, sosok, pemikiran, dan karya Franz Wilhelm Junghuhn dapat dipaparkan dengan bantuan bagan 1. Seperti yang terangkum dalam bagan 1, Franz Wilhelm Junghuhn dapat dilihat sebagai ilmuwan dan aparat kolonial di Hindia Belanda pada abad ke-19, yang mengadakan penjelajahan, mula-mula di Sumatra kemudian di Jawa, untuk keperluan penyelidikan ilmiah di bidang ilmu kebumian. Dalam upayanya mengamati, menuliskan, dan menggambarkan rincian permukaan
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
bumi, dia menekankan pendekatan sejarah alam (natural history) seraya mengungkapkan segi-segi pandangan Romantik yang mempengaruhi dirinya dan turut mewarnai latar pemikirannya (De Wit, 1905; Scalliet et al., 1999; dan Benjamin, 2003). Sebagai ilmuwan, dia mengandalkan observasi ilmiah untuk memahami seluk-beluk keadaan alam yang dijelajahinya, dan pada gilirannya dia juga mengembangkan permenungan filosofis-teologis yang bertolak dari pengalamannya menjelajahi alam. Dari observasi dan permenungannya, dia mengemukakan deskripsi objektif serta ekspresi imajinatif mengenai alam (von Neueck, 1838; Junghuhn, 1850a; dan Beekman, 1988). Kedua hal itu dituangkan, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk gambar. Itulah tulisan dan gambar mengenai rincian permukaan bumi yang, antara lain, meliputi kawasan pegunungan, hutan, dan pantai. Permukaan bumi yang tergambar dalam karya-karyanya meliputi, sedikitnya, empat matra, yaitu: matra batuan, tumbuhan, iklim, dan budaya. Pada tahun 1980, gambar, foto, dan tulisan karya Franz Wilhelm Junghuhn dipamerkan di Museum voor Land- en Volkenkunde di Rotterdam, Belanda. Sebagaimana yang diberitakan dalam harian Het Vrije Volk (19 Juli 1980), pusat perhatian dalam pameran kecil (kleine tentoonstelling) itu adalah sebelas gambar bentang alam nan elok karya Franz Wilhelm Junghuhn, yang dicetak dalam bentuk karya litografi oleh Penerbit C.W. Mieling di s’Gravenhage, Belanda (Van Pers, n.y.; dan Nieuwenhuys, 1981). “Dari gambar-gambar dan deskripsideskripsi lainnya yang disajikan oleh Junghuhn dalam buku-bukunya, pengunjung pameran dihadapkan pada visi seorang pencinta alam Jawa”, demikian komentar penulis berita itu (Het Vrije Volk, 19/7/1980). Warta tersebut merupakan salah satu di antara sejumlah jendela yang dapat
dibuka untuk melihat pentingnya kegiatan menggambar dan memotret selain menulis dalam kehidupan ilmuwan dan peneliti Franz Wilhelm Junghuhn. Catatan perjalanannya sendiri, ilustrasi dalam buku-bukunya, juga biografinya, yang bermunculan setelah dia wafat, mewartakan betapa keterampilan dan kesenangan menggambar turut mewarnai perjalanan hidup dan karier Franz Wilhelm Junghuhn. Kegiatan membuat gambar tidak dapat dilepaskan dari pekerjaan Franz Wilhelm Junghuhn sebagai ilmuwan yang dalam deskripsi surat kabar Het Nieuws van den Dag, Jum’at, 26 November 1909 mengadakan “studi mengenai bentuk permukaan bumi, asal-usulnya, serta hubungannya dengan iklim, tetumbuhan, dan hewan di dalamnya” serta dengan sejarah kebudayaan (Junghuhn, 1850b). Mengenai Garis Besar Riwayat Franz Wilhelm Junghuhn. Jika kita membaca biografi Franz Wilhelm Junghuhn karya wartawan C.W. Wormser, yang berjudul Frans Junghuhn (1943), dapat kita lihat bagian-bagian penting dalam perjalanan hidup tokoh tersebut berdasarkan pembagian bab dalam buku itu, yakni: masa kecilnya di Mansfeld; kuliah di Halle dan Berlin; pengalamannya sebagai tahanan, kemudian sebagai pelarian, dan tugasnya dalam legiun asing; perjalanannya ke Afrika, lalu ke Belanda sebelum ke Jawa; awal kedatangannya ke Jawa; pengalamannya meneliti Tanah Batak di Sumatra dan kembali ke Jawa; pengalamannya kembali ke Eropa dan menikah; serta pengalamannya membudidayakan kina di Jawa Barat sebelum wafat. Franz Wilhelm Junghuhn lahir pada tanggal 26 Oktober 1809 di Mansfeld, Provinsi Saksen, daerah pertambangan di ujung timur Kerajaan Prusia (Wormser, 1943:12; dan Beekman, 1996a:149). Dia adalah anak pertama
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
43
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
dari lima bersaudara, yang dua di antaranya meninggal ketika masih kecil. Ayahnya, Wilhelm Friedrich Junghuhn, adalah dokter bedah dan pemangkas rambut, yang juga pemeluk teguh iman Calvinis. Ibunya, Christine Marie Schiele, adalah ibu rumah tangga (Wormser, 1943:12). Atas kemauan ayahnya, Franz Wilhelm Junghuhn mendapatkan pendidikan tingkat dasar, termasuk di bidang keagamaan, secara privat. Pendidikan itu dia jalani hingga menjelang masa belajar di tingkat universiter. Ayahnya juga menghendaki agar Franz Wilhelm Junghuhn mempelajari ilmu kedokteran. Anak sulung itu pun mengikuti kuliah kedokteran di Halle, kota yang tidak jauh dari tempat kelahirannya, yang dimulai pada bulan September 1825. Namun, berbeda dengan keinginan ayahnya, sejak remaja Franz Wilhelm Junghuhn sendiri sangat tertarik oleh bidang geologi dan botani. Selain menyerap banyak bahan bacaan di bidang ilmu alam, Franz Wilhelm Junghuhn menyerap pula bahan bacaan mengenai mitologi Romawi dan Yunani, serta menggandrungi puisi Goethe dan Schiller (Wormser, 1943:18). Sering kali timbul silang sengketa di antara Franz Wilhelm Junghuhn dan ayahnya. Pada tahun 1830, Franz Wilhelm Junghuhn berupaya melakukan bunuh diri, tapi, untunglah, upayanya gagal. Kejadian itu malah memperkeras sikap ayahnya. Franz Wilhelm Junghuhn kemudian mendapat izin ayahnya untuk pindah ke Berlin, yang jauh dari tempat kelahirannya, dan meneruskan kuliah kedokteran hingga tamat. Sebagaimana yang dipaparkan oleh ahli sejarah sastra, E.M. Beekman, di satu pihak Franz Wilhelm Junghuhn kerap bertentangan dengan ayahnya, sampai-sampai pengalaman tersebut menyebabkan dirinya di kemudian hari menjadi orang yang suka menyendiri, kerap berselisih dengan atasan-atasannya, dan tidak 44
sudi menenggang ketidakadilan. Namun, di pihak lain, Franz Wilhelm Junghuhn juga memenuhi harapan ayahnya, khususnya ketika dia lulus ujian kedokteran dengan nilai baik dan bekerja sebagai perwira kesehatan, berturut-turut dalam dinas ketentaraan Prusia, Prancis, dan Belanda, hingga ayahnya wafat pada tahun 1844 (Beekman, 1996a:150). Dalam bukunya, Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East Indies, 1600-1950, E.M. Beekman juga menuturkan secara panjang-lebar mengenai Franz Wilhelm Junghuhn, sebagai berikut: Sewaktu dia masih menjadi mahasiswa kedokteran di Berlin, Junghuhn, menurut penuturannya sendiri, bertengkar dalam sebuah pesta dan merasa harus menantang lawannya untuk berduel dengan pistol. Meski sumber-sumber belakangan menyanggahnya, Junghuhn menekankan bahwa dia terluka, sedangkan lawannya hanya tergores. Anggap saja demikian, raja melarang duel dan para pelanggar mesti dihukum berat. Junghuhn telah bergabung dengan tentara Prusia sebagai perwira kesehatan pada 1831, tahun yang sama ketika dia melakukan duel, dan selagi dia ditempatkan di dan sekitar Coblenz (di Provinsi Rhine), pelanggaran kriminal itu tampaknya sudah dilupakan. Namun, pada Hari Natal, tiba-tiba dia ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara sepuluh tahun, dan pada Hari Tahun Baru 1832, dialihkan ke tahanan militer di Fort Ehrenbreitsein, dekat Coblenz. Pada mulanya, hukuman berat itu membuat dirinya merasa menjadi “korban malang dari tirani yang tidak sensitif”; sedangkan dampaknya membuat dia patuh dan taat. Namun, dalam dua puluh bulan berikutnya, dia terobsesi oleh pikiran untuk melarikan diri, dan Junghuhn mesti mencari jalan keluar. Dia berpurapura mengidap pneumonia dan dialihkan ke rumah sakit di Coblenz pada Januari 1833. Waktu berlalu, dan dia gagal mencari jalan buat kabur. Ketika sudah jelas bahwa mereka hendak mengembalikan dia ke dalam sel, Junghuhn memutuskan untuk berpura-pura gila dan, sejalan dengan dikotomi eksistensial atas hidupnya, dia mengatakan kepada kita bahwa “kegilaan(nya) sangat metodis”. Dia
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
membuat daftar nama musuh-musuhnya, menggambar sosok-sosok jahat di tembok, bergabung dengan mereka di tengah malam dan, dengan sepenuhnya, menyerap semangat dari fiksi Romantik karya Tieck, Chamisso, atau Hoffman, dia berpura-pura bahwa pasien-pasien lainnya adalah para rahib, sedangkan dia sendiri adalah biarawan. Lebih banyak disebabkan oleh kekagumannya terhadap alam, dia berpura-pura mengatakan bahwa gagak-gagak setempat adalah roh jahat, sedangkan burung-burung pipit adalah para putri yang terpesona. Dengan mengelabui sebuah tim dokter tentara, Junghuhn diminta tetap berada di rumah sakit, dan pada suatu malam di bulan September, dia menemukan jalan untuk kabur. Dia berjalan kaki pada malam hari melewati provinsi Rhine, lolos dari para penjaga perbatasan yang tidak ramah, terus ke Belgia (tempat dia mendapatkan simpati atas pelariannya), dan turun menyusuri kawasan Prancis dengan berjalan kaki. Hidup dalam keadaan serba kurang, dengan membuat gambar dan lukisan, dia mendengar bahwa jika dia bisa bergabung dengan Legiun Prancis, masalah yang tengah dihadapinya bakal teratasi. Sewaktu Junghuhn mengikuti penyaringan, petugas yang merekrutnya mengatakan bahwa dia akan ditugaskan sebagai perwira kesehatan, tetapi setibanya di Aljazair, dia malah ditugaskan sebagai prajurit biasa di garnisun. Ironisnya, pra-anggapan romantik tentang Legiun Asing tidak berlaku untuk kasus Junghuhn. Kecuali sempat terlibat dalam serangan balasan terhadap pasukan Arab, prajurit muda ini mendapat izin untuk mengadakan sedikit penelitian lapangan di bidang botani, mengunjungi sejumlah reruntuhan, dan setelah hanya lima bulan bertugas sebagai serdadu, pada Juni 1834, dia dinyatakan “tidak layak tugas” dan dikembalikan ke Prancis. Sebulan kemudian dia menjadi warga sipil di Paris. Cinta pertama Junghuhn tertuju ke mikologi. Tulisan pertamanya yang diumumkan (1830) adalah artikel ilmiah, dalam bahasa Latin, mengenai jamur, sehingga mungkin saja dia tahu bahwa C.H. Person (1761-1836), penemu mikologi, tinggal di Paris sejak 1802. Junghuhn berupaya menelusurinya, hanya untuk mendapatkan orang tua yang mengucilkan diri, yang menyarankan padanya untuk bergabung dengan tentara kolonial Belanda dan berlayar ke Hindia Belanda. Namun, pertama-tama, dia harus memulihkan nama baiknya sendiri
dan, dengan dibantu oleh Alexander von Humboldt, dia menyampaikan petisi berisi permohonan maaf kepada raja Prusia, dan ternyata pemberiaan maaf seperti itu sudah diberikan empat belas bulan sebelumnya. Setelah pulang sebentar ke Jerman, Junghuhn lulus ujian resmi yang diperlukan dan berlayar ke Jawa pada Juni 1835 sebagai “perwira kesehatan kelas tiga”; itulah awal dia tinggal di negeri tropis selama hampir tiga belas tahun (Beekman, 1996b:150-151, terjemahan HWS).
Pada tahun 1843, Franz Wilhelm Junghuhn mengadakan penelitian arkeologis di kawasan Bandung. Di lereng selatan pegunungan di belahan utara Bandung, yakni di Pasir Cipansalu dan Pasir Pamoyanan, pada tanggal 18 Agustus 1843, dia menemukan reruntuhan sisa peradaban Hindu (Hindoe-oudheden) di Priangan. Catatannya mengenai temuannya itu, yang dibuat di Nagarawangi, Bandung, 20 Agustus 1843, kemudian diumumkan dalam Indisch Magazijn pada 1844. Kian hari, Franz Wilhelm Junghuhn tampaknya kian banyak mencurahkan perhatiannya untuk kegiatan penjelajahan dan penelitian, di luar tugas resmi sehari-hari sebagai perwira tentara. Tidaklah mengherankan jika pada tahun 1845, Franz Wilhelm Junghuhn dipensiunkan dari pekerjaannya sebagai “perwira kesehatan kelas dua” (Javasche Courant, 10/5/1845). Mengenai pekerjaan Franz Wilhelm Junghuhn dalam dinas militer itu, E.M. Beekman menuturkan kembali, sebagai berikut: Sebagai petugas kesehatan yang acuh tak acuh, Junghuhn lantas membuat masalah karena mengabaikan tugasnya dan ditolong oleh atasannya, E.A. Fritze, yang menempatkan Junghuhn di bawah wewenangnya dan secara resmi melibatkannya dalam perjalanan inspeksinya. Dua kali lipat lebih tua daripada Junghuhn, Fritze meninggal dua tahun kemudian pada 1839. Pada 1840, Merkus, yang kelak menjadi Gubernur Jendral, menugasi Junghuhn untuk menjelajahi wilayah Batak di Sumatra, yang dilaksanakan selama dua puluh
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
45
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
bulan, dalam keadaan yang amat sulit, dan seringkali mengancam hidupnya. Dia mengumumkan hasil observasinya pada 1847. Pada waktu ayahnya meninggal, dia telah keluar dari dinas ketentaraan, dan ditunjuk sebagai anggota Komisi Ilmu Alam, dan mengumumkan deskripsi mengenai perjalanannya ke Jawa. Setahun kemudian, dia berlayar ke Eropa untuk memulai cuti yang diperpanjang hingga tujuh tahun lamanya. Dia tidak memakai jalur yang lazim, melainkan berlayar ke Suez, naik kareta kuda ke Mesir, kemudian berlayar lagi dari Alexandria ke Trieste, dan masuk ke Belanda. Dia mengumumkan catatan perjalanannya pada 1851. Dia tinggal di Leiden, seraya menulis dan mengumumkan karyanya yang terpenting, yaitu Java sebanyak empat jilid (dimumkan antara 1850 dan 1854); katalog tetumbuhan yang dia temukan dan kumpulkan, baik di Sumatra maupun di Jawa, yang berjudul Enumeratio plantarum, quas in insulis Java et Sumatra, detexit Fr. Junghuhn (diumumkan antara 1851 dan 1856); dan deklarasi filosofisnya Licht en Schaduwbeelden (diumumkan secara anonim pada 1854 dan bukan atas namanya hingga terbit edisi keempat pada 1866). Sebagai kelanjutan logis dari publikasinya yang terakhir, Junghuhn, bersama dengan sembilan rekannya, pada 1855 merintis jurnal bernama De Dageraad (Fajar), yang ditujukan kepada para pemikir bebas. Setelah menikah pada 1850, Junghuhn kembali bersama istrinya ke Jawa, pada 1855. Dia mendapatkan kedudukan sebagai inspektur, dan mendapat tugas untuk merintis budidaya pohon kina. Tugas itu menyita perhatiannya hingga akhir hayatnya, dan menyeret dirinya kedalam adu argumen dan silang sengketa yang lebih akademis dan profesional. Ironisnya, Junghuhn menjadi terkenal, terutama sebagai orang yang membangun produksi kina di Hindia Belanda, sedangkan pencapaiannya sebagai ahli ilmu alam yang jauh lebih mengesankan hanya disadari oleh segelintir kalangan. Dia wafat pada 1864, ketika usianya baru 54 tahun, di Lembang, Jawa Barat. Tempatnya sebagai ahli ilmu alam perintis kini sudah pasti dan, seperti Rumphius, keberhasilan Junghuhn sebagai ahli botani dianggap sepadan dengan kemampuannya di bidang sastra. Ditulis dengan lirisisme pragmatis, karya terbaiknya memberi pembaca apresiasi atas alam tropis yang menakjubkan,
46
tapi terukur (Beekman, 1996b:149-152, terjemahan HWS).
Pada tahun 1856, terbit De Kaart van Het Eiland Java (Peta Pulau Jawa) karya Franz Wilhelm Junghuhn, setebal empat halaman besar, terbitan Koninklijke Steendrukkerij, pimpinan C.W. Mieling (Algemeen Handelsblad, 27/6/1856). Pada tahun 1860, Franz Wilhelm Junghuhn tercatat sebagai anggota Koninklijk Instituut voor de Taal- Land- en Volkenkunde (KITLV) van Nederlandsch-Indië di Keresidenan Priangan.4 Franz Wilhelm Junghuhn wafat di Jayagiri, Lembang, Bandung, pada tanggal 24 April 1864, sekitar jam 3 dinihari. Johanna Louisa Frederica Koch, istrinya; dokter Isaac Groneman, teman dekatnya; serta Henri Rochussen, saudara iparnya, menyaksikan kepergiannya (Nieuwenhuys & Jaquet, 1980:143-144). Dia dikebumikan di kaki Gunung Tangkubanparahu, yang kini tercakup dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat. Di atas kuburannya, berdiri sebuah monumen untuk mengenang sosok dan jasanya. Beberapa meter dari monumen itu terdapat “pusara” koleganya, Dr. Johan Eliza de Vrij, yang wafat di Belanda pada tahun 1889 dan dikremasi di Gotha. Sesuai dengan permintaannya, abunya diboyong ke Hindia Belanda. Kini, tempat tersebut dikenal sebagai “Cagar Alam Junghuhn” atau lebih populer “Taman Junghuhn”. Setelah cukup lama terbengkalai, monumen Franz Wilhelm Junghuhn belakangan mendapatkan perawatan (Indische Courant, 23/3/1922). Seperti yang dicatat oleh F. Günst dalam “Levensschets van Dr. Franz Wilhelm Junghuhn” [Sketsa Kehidupan Dr. Franz Wilhelm Junghuhn], telegram kematian Franz Junghuhn tiba di Eropa pada musim semi 1864, dan 4 Lihat, misalnya, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7de Deel, [Nieuwe Volgreeks, 3e Deel] (1860), pp.XVII-XX.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
mengagetkan teman-temannya di sana (dalam Junghuhn, 1867:1). “Tuan dr. F. Junghuhn, inspektur komisi ilmu pengetahuan di Hindia Belanda, wafat pada 24 April 1864. Ilmu pengetahuan kehilangan seorang praktisi yang giat”, demikian berita singkat dalam Rotterdamsche Courant, edisi Selasa, 7 Juni 1864, sekitar sebulan setelah kepergian ilmuwan tersebut. Sementara itu, dalam obituari sepanjang dua kolom, surat kabar De Locomotief, edisi Jumat, 13 Januari 1865 — sekitar 8 bulan setelah kepergian Franz Wilhelm Junghuhn — melukiskan kejadian itu sebagai “kepergian yang mendadak dan tak disangka-sangka” (onverwacht en plotseling stierf). Franz Franz Junghuhn memang wafat dalam usia yang dapat dikatakan masih muda, yaitu 54 tahun, setelah kesehatannya terganggu. Foto 4: Papan Informasi di Tempat Wisata Kawah Putih, Bandung, Lihat foto 4. yang Menyebut-nyebut Franz Wilhelm Junghuhn Beberapa bulan setelah (Sumber: Foto oleh H.W. Setiawan) Franz Wilhelm Junghuhn wafat, istrinya, Johanna Louisa Christiaan, anak semata wayang Franz Frederica Koch, bersama anaknya, Wilhelm Junghuhn, wafat pada tahun Frans Lodewijk Christiaan, yang baru 1888 dalam usia 31 tahun. Johanna berusia 7 tahun, kembali ke Belanda Louisa Frederica Koch, istri Franz pada tahun 1864. Berita pelabuhan Wilhelm Junghuhn, wafat di Den Haag, dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, Belanda, pada tahun 1914, dalam usia Senin, 10 Oktober 1864, mengabarkan 87 tahun (Het Nieuws van den Dag voor bahwa di antara para penumpang kapal Nederlandsch-Indie, 8/6/1914). Marie yang tiba di Belanda pada bulan Dalam tulisannya tentang Oktober 1864, ada “janda Junghuhn “Levensschets van Dr. Franz Wilhelm bersama anak laki-lakinya dan Junghuhn” [Sketsa Kehidupan Dr. pembantunya orang Jawa”. Franz Wilhelm Junghuhn], F. Günst, Demikianlah, sehabis mendaki antara lain, berpandangan bahwa: sekitar 42 gunung api di Jawa (De Locomotief, 13/1/1865), Franz Wilhelm Sebagai salah satu di antara banyak Junghuhn berkubur di wilayah orang Jerman, yang semangat kerjanya tidak menemukan lahan subur di tanah pegunungan yang dia cintai, jauh dari airnya, dengan dorongan kekuatan tanah kelahirannya, jauh dari tempat yang tak tertahankan untuk mencari tinggal keluarganya sendiri (Rizal, wilayah asing, tempat kegiatan mereka 2011). Dalam pada itu, Frans Lodewijk dapat dikembangkan, dan dengan upaya © 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
47
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
luar biasa serta ilmu pengetahuan, di tengah masyarakat asing, tempatnya berdiam, Junghuhn telah memperoleh tempat terhormat di jajaran tokoh ilmu pengetahuan yang paling terkemuka pada zamannya. Darinya, orang dapat mengatakan bahwa nama Junghuhn dan Jawa, selama sejarah dan negeri itu masih ada, akan tetap terpaut satu sama lain (dalam Junghuhn, 1867:1-2, terjemahan HWS).
Pada tahun 1909, sebuah komisi yang diberi nama De JunghuhnCommissie, dan beranggotakan para ahli dari Belanda dan Jerman dibentuk serta penggalangan dana melalui JunghuhnFonds diselenggarakan. Tujuannya adalah untuk menerbitkan sebuah bunga-rampai (gedenkboek) sehubungan dengan peringatan atas 100 tahun kelahiran Franz Wilhelm Junghuhn (De Sumatra Post, 1/6/1909; dan Het Nieuws van den Dag, 26/11/1909). Pada tahun yang sama, 1909, berlangsung peringatan 100 tahun kelahiran Franz Wilhelm Junghuhn melalui sebuah upacara sederhana di sekitar pusaranya di Lembang, Bandung. Upacara itu dihadiri oleh dua pejabat dari Batavia, yakni pejabat Departemen Pertambangan, Koimann dan Rouffaer; dan seorang pejabat dari Bandung, yakni kontrolir Pegawai Pemerintahan H. Kern. Ketika itu makam Franz Wilhelm Junghuhn sudah dirapikan, setelah sekian lama tidak terawat dengan baik, sehingga sering dikeluhkan oleh para pengunjung (Utrechtsch Nieuwsblad, 26/11/1909). Setahun kemudian, yakni pada tahun 1910, terbit Gedenkboek Franz Junghuhn: 1809-1909 (Martinus Nijhoff, 1910), yakni bunga-rampai yang disiapkan oleh komisi di atas, yang menghimpun tulisan-tulisan karya ilmuwan Belanda dan Jerman seputar sosok, perjalanan hidup dan karier, serta karya Franz Wilhelm Junghuhn. Buku tersebut disusun dalam dua bahasa, yakni bahasa Belanda dan Jerman. Pada tahun 1934, sebagaimana 48
diberitakan dalam Het Nieuw van den Dag voor Nederlansch-Indië (26/10/1934), berlangsung peringatan 125 tahun kelahiran Franz Wilhelm Junghuhn di monumennya di Jayagiri, Lembang. Dalam berita tersebut disebutkan bahwa upacara, antara lain, ditandai dengan serangkaian pidato di dekat Monumen Junghuhn serta jalan kaki menyusuri berbagai varietas pohon kina yang ditanam di sekitar monumen itu. Pada tahun 1955, di Belanda juga berlangsung perayaan ulang tahun ke-100 jurnal Dageraad [Fajar] yang dirintis oleh Franz Wilhelm Junghuhn, sebelum ia kembali ke Jawa untuk selama-lamanya (De Waarheid, 10/11/1955). Dalam bukunya, Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia (1985), yang didasarkan atas buku Rob Nieuwenhuys, Oost-Indische Spiegel (1972), rohaniwan Katholik Dick Hartoko mengambarkan sosok dan peran Franz Wilhelm Junghuhn, dalam kaitannya dengan keindahan alam Pulau Jawa dahulu dan kerusakan alamnya sekarang (cf Goss, 2011), sebagai berikut: Junghuhn bukan seorang etikus yang memberontak terhadap sistem pemerintahan yang sedang berlaku seperti Multatuli, maupun seorang renovator yang ingin memperbaharui sesuatu. Kalau ia memberontak, itu terjadi lewat tulisan-tulisannya melawan bentuk agama Kristen, seperti dikenalnya di tanah Jerman, dan khusus lewat ayahnya. Kalau ia membawa sesuatu yang baru ke Pulau Jawa, itu tak lain dari biji-biji kina yang berhasil ditanamnya di Lembang. Dan selaku perintis dalam penanaman kina, ia dikenal oleh bangsa kita. Tetapi sayang sekali, ia tidak dikenal sebagai seorang yang mengabdikan keagungan alam Jawa lewat tulisan-tulisannya, sehingga kita dewasa ini masih mampu membayangkan keadaan di Pulau Jawa satu setengah abad yang lalu. Dan dengan terkejut kita lalu menjadi sadar bahwa keagungan alam di Pulau Jawa, yang dipuja-puja Junghuhn, kini sudah punah, dimusnahkan oleh binatang yang paling buas, yaitu manusia sendiri (Hartoko, 1985:88).
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Franz Wilhelm Junghuhn dan Menggambar Sejak Dini. Sejak masa remaja, Franz Wilhelm Junghuhn suka menggambar. Kebiasaan ini, seperti yang tergambar dalam biografinya yang ditulis oleh C.W. Wormser (1943), berkaitan dengan minatnya terhadap botani dan geologi minat yang tidak sejalan dengan harapan ayahnya, dokter keras hati yang menghendaki anaknya mempelajari ilmu kedokteran. Minat tersebut, antara lain, disalurkan dengan mengunjungi wilayah pegunungan serta mengamati pemandangan alam, serta kegiatan membuat gambar melekat padanya. Perhatikan, misalnya, suasana di kamar Franz Wilhelm Junghuhn muda di Mansfeld, seperti yang digambarkan oleh C.W. Wormser, dalam buku bacaan umum itu: Di bawah jendela berdiri sebuah meja kecil. Di atas meja itu terdapat sebuah kotak kayu kecil dengan bermacammacam batu yang diberi label, sebuah kotak botani dan sebuah buku catatan dengan bunga-bunga dan dedaunan, serta ada pula sebuah gambar potlot tentang pemandangan Mansfeld yang dibuat oleh Franz Junghuhn (Wormser, 1943:16, terjemahan dan cetak tebal oleh HWS).
C.W. Wormser, jurnalis yang pada dasawarsa 1920-an memimpin redaksi surat kabar Algemeen Indisch Dagblad De Preangerbode di Bandung, juga mencatat kebiasaan Franz Wilhelm Junghuhn menggambar lanskap alam pegunungan sewaktu dia belajar di Halle sebagai mahasiswa kedokteran. Pada saat-saat senggang, Franz Wilhelm Junghuhn muda sering pergi ke wilayah pegunungan dengan membawa kotak botani, jaring kupu-kupu, buku catatan, dan buku sketsa. Di Halle, pada tengah hari di bulan September 1820-an, ia duduk di sebuah ruang terbuka seraya membuat gambar lanskap pegunungan. Diam-diam, ada seorang pria lain yang memperhatikan dari dekat apa yang sedang dilakukan oleh mahasiswa itu. Orang itu adalah Hermann Burmeister, ahli zoologi dan entomologi terpandang.
Sang profesor melihat apa yang sedang dikerjakan oleh sang mahasiswa. Pada gilirannya terjalin percakapan di antara mereka berdua. Percakapan itu memperkuat dorongan dalam diri Franz Wilhelm Junghuhn untuk mempelajari alam (Wormser, 1943:26-27). Keterampilan menggambar pulalah yang ikut mewarnai saat-saat sulit dalam pengalaman hidup Franz Wilhelm Junghuhn. Selepas kuliah di Halle, kemudian di Berlin, Franz Wilhelm Junghuhn bergabung dalam dinas ketentaraan. Sekali waktu, ketika ia diharuskan menjalani perawatan di sebuah rumah sakit, ia lari meninggalkan tugas militer dengan melintasi batas-batas negara. Pada saat-saat itulah dia menyambung hidup dengan membuat gambar dan lukisan (Beekman, 1996b:151). Pada zaman Franz Wilhelm Junghuhn, terutama tatkala fotografi belum melekat pada kehidupan seharihari, kegiatan menggambar memang lazim mengisi kehidupan masyarakat. Pada abad ke-19, sebagaimana yang disinggung oleh Mildred Archer & John Bastin dalam The Raffles Drawings in the India Office Library London (1978), keterampilan menggambar tidak hanya dikuasai oleh para seniman atau pelukis, melainkan juga dikuasai oleh masyarakat umum, khususnya kalangan terdidik dari golongan sosial menengah ke atas. Pada masa itu orang mengabadikan penglihatan, mengisi waktu luang yang menyenangkan, dengan membuat gambar. Contohnya adalah Mary Fendall, anak Gubernur Jenderal John Fendall yang menggantikan Thomas Stamford Raffles di Jawa pada tahun 1816, membuat sejumlah drawing dengan potlot, antara lain, mengenai pemandangan Bogor dan sekitarnya, pemandangan Gunung Salak dan sungai Ci Sadane, juga pemandangan Gunung Gede dan sungai Ci Liwung di sekitar tahun 1816 (Archer & Bastin, 1978:8). Bagi orang seperti Franz Wilhelm
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
49
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Junghuhn, yang memiliki minat khusus terhadap bidang keilmuan yang dekat sekali dengan rupa, warna, dan bentuk seperti geologi dan botani, keterampilan menggambar merupakan salah satu prasyarat yang mesti dikuasai untuk mewujudkan minat seperti itu. Bentang alam dan tetumbuhan dilihat, dicatat, dan dituangkan kedalam bidang gambar hingga menghasilkan sketsa (de Bére & der Vlies, 1933; dan Wigan, 2009). Ketika fotografi menawarkan peluang baru untuk mengabadikan citraan visual, Franz Wilhelm Junghuhn juga berupaya memanfaatkan teknologi tersebut pada paruh kedua dasawarsa 1830-an, dan menghasilkan banyak potret hitam putih dari penelitian lapangannya. Namun, jika dibandingkan dengan fotografi, gambar-gambar buatan tangannya sendirilah yang lebih dia andalkan untuk menghasilkan citraancitraan visual dari alam raya (Brommer, 1979; dan Scalliet et al., 1999). Dalam istilah E.M. Beekman, Franz Wilhelm Junghuhn diberkati dengan “mata kognitif” (cognitive eye) dan “bakat luar biasa” (remarkable talent) dalam pembuatan gambar untuk memperkaya “narasi keilmuan” (scientific narrative)nya. E.M. Beekman, kemudian, menguraikan bahwa: Mata kognitif lebih baik dilengkapi dengan kamera; dengan demikian membidik alam menjadi tidak lebih dari perumpamaan. Junghuhn benarbenar menjadi fotografer bergairah, yang menghabiskan banyak biaya untuk peralatan dan pembuatan banyak gambar. Namun, teknologi menggambar dengan cahaya baru diandalkan pada 1839-1840, ketika Junghuhn menyiapkan diri untuk ekspedisinya ke wilayah Batak di Sumatra, dan fotografi masih terlalu merepotkan dan pelik untuk dimanfaatkan dalam masa hidupnya. Junghuhn harus mengandalkan pensil, sketsa, dan pelat untuk menggambarkan narasi keilmuannya, yang memperlihatkan bakat luar biasa, yang menghasilkan citraan-citraan mengenai keindahan yang tak tepermanai, meskipun sangat mungkin kegunaannya meragukan (Beekman, 1996b:160, terjemahan HWS).
50
Franz Wilhelm Junghuhn: Antara Menggambar dan Meneliti. Selama Franz Wilhelm Junghuhn mengadakan penelitian lapangan di Hindia Timur Belanda, mulai dari wilayah Batak di Sumatra hingga ke seantero Jawa, kegiatan menggambar merupakan bagian penting dari penelitiannya. Di luar kelompok fotografi, rekaman visual yang dibuat oleh Franz Wilhelm Junghuhn terdiri atas peta geografis, sketsa lanskap, drawing tetumbuhan dan manusia, dan gambar pemandangan. Jika ahli ilmu alam, Alexander von Humboldt, berkolaborasi dengan pelukis lanskap, Johann Moritzs Rugendas, untuk menangkap rincian fisiognomi bentang alam (von Humboldt, 1858; dan Lubowski-Jahn, 2011), maka Franz Wilhelm Junghuhn justru memenuhi sendiri kebutuhan untuk menyelidiki, menuturkan, dan menggambarkan alam (Sternagel, 2011). Di antara sketsa-sketsa hasil kerja Franz Wilhelm Junghuhn dari lapangan, ada yang kemudian menjadi bahan dasar bagi ilustrator buku-bukunya, ada pula yang kemudian dicetak berupa karya litografi oleh C.W. Mieling, pengelola percetakan dan ahli litografi terkemuka di Den Haag. Ilustrasi dalam buku-buku karya Franz Wilhelm Junghuhn turut menunjukkan disiplin kerjanya di lapangan. Ke manapun dia pergi, dia selalu mencatat dan merekam secara visual pemandangan yang dia saksikan dan menarik hatinya. Sewaktu dia mengadakan kunjungan ke Eropa setelah sekian tahun tinggal di Jawa, karena alasan kesehatan, dia juga membuat sejumlah sketsa mengenai tempat-tempat yang dikunjunginya selama dia mengadakan perjalanan, yang kemudian disajikan dalam bukunya, Terugreis van Java naar Europa, Met de Zoogennamde Engelsche Overlandpost, in de Maanden September en October 1848 atau “Perjalanan Kembali dari Jawa ke Eropa,
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
dengan Apa yang Disebut Engelsche Overlandpost, pada Bulan September dan Oktober 1848” (Junghuhn, 1851). Dalam pengantar buku jilid ketiganya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw (1857), terdapat pemerian tentang cara kerja Franz Wilhelm Junghuhn di lapangan, yang meliputi kegiatan mencatat dan menggambar. Dia menuturkan: Dalam perjalanan saya di Jawa, saya berupaya memenuhi keniscayaan untuk mengemukakan uraian alam dan pemandangan alam melalui kegiatan membuat rancangan yang lebih ketat, sebelum naik cetak, dari apa yang saya lihat, melemah dan lenyap oleh gambargambar baru. Juga selama berlangsungnya perjalanan saya pada 1844, yang hasilnya dijadikan pokok bahasan dalam bagian kedua ini, setiap malam saya merancang gambar-gambar saya, dan ingatan saya terbantu oleh catatan, yang dibuat dari hari ke hari, dengan pensil pada buku catatan, mengenai apa yang secara jelas saya lihat sendiri. Berbagai alasan, juga dorongan, yang saya dapatkan dari sejumlah teman baik, yang telah membaca tulisan tangan saya, telah membuat saya berniat untuk membiarkan sketsa ini tidak berubah, tetap dalam bentuk aslinya (Junghuhn, 1857, 3:509, cetak tebal dan terjemahan oleh HWS).
Disiplin kerja seperti itu terlihat pula dari perangkat kerja yang kerap digunakannya di lapangan. Dalam bukunya yang kontroversial, Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java atau “Citraan Cahaya dan Bayang-bayang dari Pelosok Jawa” (1867), ketika menyampaikan permenungannya mengenai masalah spiritual dan religius, Franz Wilhelm Junghuhn menggambarkan bahwa: Di atas bangku saya punya bola dunia, seksta dan cakrawala buatan, teleskop, kronometer, barometer, termometer, psychrometer, kompas, magnet, mikroskop, araeometer Nicholson, prisma, kamera obscura portabel, kamera daguerreotyp, kotak peralatan kimia, dan alat-alat lain dari ilmu pengetahuan terapan, terpajang sebagai sarana pernyataan imanku (Junghuhn, 1867:171, terjemahan HWS).
Pernyataan di atas, tentu saja, terkait pada sikap dan pandangan Franz Wilhelm Junghuhn mengenai realisasi iman. Baginya, keyakinan religius, pengakuan atas kebesaran dan keagungan semesta, direalisasikan melalui cara kerja ilmu alam. Namun, terlepas dari itu, pernyataan di atas juga memperlihatkan apa saja yang secara praktis dilakukan oleh Franz Wilhelm Junghuhn dalam observasinya, tak terkecuali dalam pembuatan citraan visual (Sep, 1987). Kamera obscura, misalnya, adalah salah satu perkakas yang dia gunakan untuk memotret bentang alam yang dia tinjau. Bagi Franz Wilhelm Junghuhn, kiranya, kegiatan menjelajah, mengamati, menulis, dan menggambar bukan sekadar kegiatan teknis yang terpaut pada tugasnya sebagai ilmuwan dan pegawai pemerintahan. Kegiatan tersebut juga merupakan cara merealisasikan keyakinannya sendiri, tak terkecuali dalam hal yang berkaitan dengan bidang spiritual. Franz Wilhelm Junghuhn adalah ahli ilmu alam, yang pada dasarnya jatuh cinta kepada bentang alam yang dia jelajahi. Cara Franz Wilhelm Junghuhn melihat bentang alam dapat diikuti dalam bab pendahuluan bukunya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Java, jilid pertama (1857). Di situ terlihat bahwa Pulau Jawa yang dijelajahi dan dipelajari oleh Franz Wilhelm Junghuhn meliputi 559 distrik dan lahan partikelir, tidak terkecuali di Keresidenan Priangan. Pertama-tama dia menguraikan tata sosial-politik dan pemerintahan di Pulau Jawa, beserta tabel distrik dan lahan partikelir yang tercakup di dalamnya, secara terperinci. Uraiannya dia sebut sebagai “uraian fisik-geografis” (physico-geographische beschrijving) dalam pengertian yang luas, tidak hanya terdiri atas “fisiognomi di tingkat permukaan” (uiterlijk physiognomie), seperti gunung, lembah, dan dataran di Pulau Jawa. Lebih
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
51
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
lengkapnya, uraiannya mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Saya bermaksud menyajikan uraian fisikgeografis, dalam artinya yang lebih luas, dari Pulau Jawa; jadi saya akan berupaya memberi tahu pembaca, tidak hanya tentang fisiognomi pegunungan, lembah, dan dataran di pulau itu pada tingkat permukaan, tidak hanya menekankan karakter lanskap dan tetumbuhannya di beberapa zona, melainkan juga menekankan tatanan kedalaman, konstruksi geologis berbagai wilayah di negeri ini, dan gunung-gunungnya (Junghuhn, 1857, 1:43, terjemahan HWS).
Pada bagian pertama bukunya, Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Java, jilid pertama (1857), Franz Wilhelm Junghuhn menggambarkan raut (uiterlijke gestalte) gunung, dataran, dan lereng yang berlainan. Penggambarannya tidak hanya meliputi bentangan horisontal (horizontale uitgestrektheid), melainkan juga ketinggian (hoogte) — sehingga tergambar massa atau volume bentang alam itu. Dengan cara itu, dia menyajikan tampilan ragawi (ligzamelijk gestalte) bentang alam Pulau Jawa beserta berbagai bagiannya. Untuk keperluan ini, dia membuat dua belas peta ketinggian (hoogte-kaarten). Contoh peta ketinggian karya Franz Wilhelm Junghuhn dapat dilihat dalam gambargambar didalam bukunya tersebut (Junghuhn, 1857, 1:44). Pada bagian kedua, Franz Wilhelm Junghuhn membentangkan apa yang disebutnya sebagai fisiognomi alam (physiognomie der natuur), dengan menonjolkan tetumbuhannya. Jika pada bagian sebelumnya dia memberikan perhatian pada bentuk geometris murni (zuiver geometrischen vorm) dari lanskap yang sedang dia teliti, maka pada bagian kedua dia memberikan perhatian kepada semacam busana hayati yang menutupi bentuk fisik itu. Semua itu, dalam pandangannya, membentuk karakter bentang alam (karakter van het landschap). Pada
52
bagian selanjutnya pula, Franz Wilhelm Junghuhn (1857, 1:42-45) memberikan perhatian kepada gunung api dan fenomena-fenomena kegunungapian (vulkanen en vulkanische verschijnselen), baik dalam kerangka alam geologis (geologische natuur) yang sudah terbentuk maupun dalam kerangka sejarah kerucut gunung api yang megah (de geschiedenis der majestueuze kegelbergen). Lebih lanjut, Franz Wilhelm Junghuhn menyatakan bahwa: Selama mengadakan perjalanan ke Jawa dan Sumatra, saya menerapkan cara kerja untuk menulis tentang bendabenda di alam, atau gejala-gejalanya, yang selalu menekankan pentingnya membuat rancangan, mencatat apa-apa yang telah saya lihat, sebelum terhapus oleh banyaknya citraan-citraan baru. Itulah pula sebabnya dalam perjalanan saya pada 1844, yang hasilnya terkandung dalam bagian kedua, setiap malam saya membuat rancangan uraian saya, untuk membantu ingatan saya dengan membuat catatan mengenai apa-apa yang saya lihat sepanjang hari dengan potlot dalam buku catatan saya, manakala mempertimbangkan obyek amatan yang hendak diuraikan. Dengan berbagai pertimbangan, yang antara lain ditopang pula oleh bantuan teman-teman yang baik hati, yang telah membaca naskah, saya terdorong untuk menyajikan “sketsa” ini dalam bentuk aslinya. Mudah-mudahan keserupaan gaya dan isi dalam karya ini akan mencapai taraf tertentu, sehingga saya berharap, bahwa kekurangan ini akan cukup teratasi oleh beberapa gambar yang menyegarkan, dan pelukisan gejalagejala alam yang memberi semangat, yang telah menjadi bagian erat dari karya ini (Junghuhn, 1857, 1:47-48, terjemahan HWS).
Dalam buku Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Java, jilid pertama (1857), Franz Wilhelm Junghuhn juga mengemukakan “Uraian mengenai Peta Ketinggian secara Umum”, dengan penekanan pada apa yang disebutnya sebagai “metode proyeksi”. Dia memaparkan bahwa: Peta geografis dalam proyeksi datar, pada hakikatnya, tidak lain dari cara
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
menunjukkan raut daratan dan pantai, keberadaan serta lokasi daratan dan pegunungan secara umum, bentangan horizontal dan jarak relatif berbagai sudut daratan satu dari yang lainnya, sehingga diperoleh gambaran selengkapnya mengenai ketinggian dan bentuk pegunungan, juga bentuk fisik massa daratan. Atas dasar itu, saya akan berupaya menggambarkan bentuk fisik [bentang alam] dalam peta ketinggian yang saya rancang. Aturan yang telah saya jalankan dalam pembuatan peta ini adalah sebagai berikut: Pertama-tama, saya merancang peta daratan dengan proyeksi datar, atau saya memilih yang terbaik dari peta-peta yang telah tersedia, kemudian saya menarik garis lurus melalui bagian daratan, sehingga cara menariknya terlihat sebagai tipe keseluruhan dan, dengan demikian, saya memperlihatkan raut alam yang paling cocok dan khas. Dengan mengikuti garis ini, saya membuat penampang imajiner, dimana garis vertikal daratan mencapai permukaan lautan, kemudian memerinci lingkungan sekitarnya, sebagai profil penampang [bentang alam itu] pada peta, sehingga skala ketinggian — yang berhubungan dengan bentangan horizontal — dirancang dan digambarkan di atas kertas dari ribuan ke ribuan kaki. Pembaca yang melihat peta ini, dengan demikian, dapat melihat penampang melintang, daratan yang membentang lurus dalam arah berlawanan, tempat raut [bentang alam] ini terhampar. Untuk menentukan ketinggian sudut-sudut yang berlainan, saya terus meneliti [amatan] sebelumnya melalui pengukuran dengan barometer, seraya berupaya keras menggarap bentuk yang diprofilkan, menggambarkan bagian-bagian daratan yang terpisah setepat mungkin, setelah itu, sebagai hasil dari perjalanan kaki ke pegunungan di Kepulauan Sunda selama bertahun-tahun, saya mendapatkan banyak pelajaran. Peta ketinggian, yang disajikan kepada pembaca di sini, dengan demikian, tidak menyuguhkan gambaran figuratif, melainkan mengemukakan kepada pembaca bentuk-bentuk yang senyatanya, dengan perbandingan bagian-bagian [daratan] yang berlainan menyangkut ketinggiannya, yang juga telah saya pelajari dari penarikan bentuk dan pengukuran ketinggian. Untuk menghindari segala gambaran figuratif yang mati, saya menyisihkan bagian terbesar Sumatra dan hanya menekankan bagian yang hendak digambarkan,
yang membentang dari Aik-Daoe hingga Gunung Salasi, tempat pengetahuan bertumpu pada pengukuran dan penggambaran yang nyata. Saya menarik dua profil dalam bidang panjang, satu untuk Pulau Jawa, yang lain untuk Sumatra, seraya menghubungkan titik-titik kecil, dari satu ke lain pantai, untuk daerah-daerah di kedua pulau tersebut, yang memperlihatkan beberapa pembentukan-massa yang unik, dan dengan cara itu tampilan bentuk menyeluruh dari wilayah-wilayah tersebut, serta jenis bentuk-bentuk itu dapat dipelajari, yang dengan cara serupa dan di banyak halaman berbagai wilayah dapat dilihat. Profil Jawa dan profil Sumatra, yang memanjang itu, saya letakkan berdampingan, sehingga perbedaan mencolok dalam cara pembentukan dan dalam bentuk di antara keduanya, serta dengan pulau-pulau lain di sekitarnya dapat digambarkan. Di belahan utara Sumatra, yakni wilayah Batak, karakter wilayah yang lebih kontinental, yakni bentuk plato, tapi juga di belahan barat Jawa, yakni di dataran tinggi Bandung, dengan demikian dapat ditemukan, sementara di belahan timur Jawa, yang paling jauh dari Sumatra, terlihat bentuk wilayah yang sepenuhnya berlainan. Di sana, bentuk puncak gunung-gunung, dengan kerucut-kerucutnya yang berlereng curam terpisah dari dataran rendah, sementara di belahan yang lebih jauh ke timur kerucut-kerucut gunung yang runcing, tanpa dataran di latar depannya, tampak menyembul dari dalam laut. Garis, yang ditarik untuk membuat rancangan peta ketinggian wilayah ini, tidak sampai memotong semua dataran dan pegunungan yang digambarkan di atasnya. Beberapa garis dari bagian [wilayah yang digambarkan] ini terletak di sisinya, pada jarak yang lebih besar daripada garis itu, sementara beberapa lainnya yang terdapat di sisi ini, dengan demikian, lebih dekat ke pengamat; garis yang lebih tipis, yang (lebih dekat) mendapat bayangan yang lebih gelap daripada yang terletak di tengah, tempat garis bagian itu mengarah (Junghuhn, 1857, terjemahan HWS).
Tentang cara Franz Wilhelm Junghuhn melihat lanskap, Rob Nieuwenhuys, antara lain, memaparkan sebagai berikut: Bagi Junghuhn, lanskap yang menarik secara artistik berarti “masalah fantasi,
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
53
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
yang terbuka bagi beragam interpretasi”. “Lanskapku”, tulisnya, “pada hakikatnya sebagaimana adanya”. Lanskaplanskap itu memperlihatkan beraraknya awan-gemawan yang tampak seperti “rangkuman jari-jemari”, penampang samping dari susunan geologis, bentuk cabang pepohonan, dan struktur dedaunan. Digambar secara persis sebagaimana yang dia lihat, baik dengan bantuan kaca pembesar maupun dengan teleskop yang sangat tajam, lanskaplanskap Junghuhn dimaksudkan sebagai ilustrasi bagi maksud-maksudnya yang ilmiah dalam penyelidikan ilmu alam, dan pengantar yang dia kemukakan atas gambar-gambar itu jelas memaparkan metode kerjanya. Contohnya, sebuah litografi yang memperlihatkan Gunung Gede disertai dengan instruksi bahwa pengamat harus membayangkan dirinya berada didalam hutan yang sama, sebagaimana yang dipaparkan dalam jilid pertama Jawa, Bentuknya. Namun, untuk mendapatkan penglihatan yang dimaksudkan, hutan lebat itu dihapuskan dan hanya leptospermum floribundum yang sedang mekarlah yang disisakan, demikian dia katakan kepada kita. Meskipun Junghuhn sendiri menganggap gambar-gambarnya “sebagaimana adanya”, gambar-gambar itu sungguh menarik perhatian kita, justru karena dibuat tidak nyata dalam arti bahwa rinciannya tidak diikutsertakan dalam keseluruhannya. Gambar-gambar itu mirip lanskap dunia asing, dan barangkali itulah sebabnya gambar-gambar itu sangat menakjubkan. Satu-satunya komentar menyeluruh yang ditulis oleh Junghuhn mengenai karya-karya litografisnya dapat ditemukan dalam edisi Jerman bukunya yang terbit pada 1853, berjudul LandschaftsAnsichten von Java (Nieuwenhuys, 1982:7475, terjemahan HWS).
Fotografi juga merupakan bagian dari sarana visualisasi bentang alam yang diandalkan oleh Franz Wilhelm Junghuhn. Hanya sedikit karya visual Franz Wilhelm Junghuhn, dalam golongan ini, hanya yang terselamatkan. Sebagian besar hilang atau rusak. Sejauh yang terlacak dari “Kumpulan Gambar Fotografis untuk Stereoskop” peninggalannya, foto karya Franz Wilhelm Junghuhn, yang semuanya berasal dari tahun 1860 berjumlah 224 lembar, 48 diantaranya dicetak dalam 54
buku kenangan terbitan tahun 1909 (Nieuwenhuys & Jaquet, 1980:14). KESIMPULAN Catatan perjalanan Franz Wilhelm Junghuhn, mengenai hasil penyelidikan kebumian di Pulau Jawa pada abad ke-19, mengandung banyak informasi penting mengenai segi-segi kesejarahan dataran tinggi Priangan di Jawa Barat. Dari peneliti yang sama terdapat pula citraan visual (visual images) mengenai dataran tinggi tersebut, yang antara lain berupa sketsa, peta topografi, dan gambar elok (pittoreske gezichten). Bagi Franz Wilhelm Junghuhn sendiri, Priangan terbilang sangat penting dalam perjalanan hidupnya. Wilayah ini turut menyediakan latar bagi pelaksanaan peran Franz Wilhelm Junghuhn sebagai peneliti, pejabat kolonial, dan penjelajah. Di wilayah inilah, ia memulai perjalanannya menjelajahi Pulau Jawa. Di wilayah yang sama, ia juga melaksanakan tugas kolonialnya dalam perintisan budi daya kina. Di Priangan pula, Franz Wilhelm Junghuhn tinggal bersama keluarganya hingga ia wafat dan berkubur di Jayagiri, Lembang, Bandung. Tak pelak lagi, catatan dan gambar peninggalan Franz Wilhelm Junghuhn dapat memperkaya historiografi mengenai Priangan abad ke-19.5
Bibliografi Algemeen Handelsblad [suratkabar]. Belanda: Jum’at, 27 Juni 1856. Archer, Mildred & John Bastin. (1978). The Raffles Drawings in the India Office Library London. London: Oxford University Press. Beekman, E.M. (1988). Fugitive Dreams: An 5 Pernyataan: Dengan ini kami menyatakan bahwa artikel ini bukanlah hasil plagiat, karena sumbersumber yang kami rujuk sangat jelas dinyatakan dalam Daftar Pustaka. Artikel ini juga belum direviu dan tidak dikirimkan kepada jurnal lain untuk diterbitkan. Kami bersedia menerima hukuman secara akademik apabila di kemudian hari ternyata pernyataan yang kami buat ini tidak sesuai dengan kenyataan.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
SUSURGALUR: Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, 3(1) Maret 2015
Anthology of Dutch Colonial Literature. Amherst: University of Massachusetts Press. Beekman, E.M. (1996a). “Junghuhn’s Perception of Javanese Nature” dalam Canadian Journal of Netherlandic Studies, No.XVII [Spring]. Beekman, E.M. (1996b). Troubled Pleasures: Dutch Colonial Literature from the East Indies, 1600-1950. Oxford: Clarendon Press. Benjamin, Roger. (2003). Orientalist Aesthetics. Berkley, Los Angeles, and London: University of California Press. Berg, Bruce Lawrence. (2001). Qualitative Research Method for Social Science. Boston: Allyn & Bacon. Berita “Daripada Tidak Terawat, Taman Junghuhn Diusulkan Dikelola Desa” dalam suratkabar Tribun Jabar. Bandung: Rabu, 1 Februari 2012, hlm.9 dan 15. Berita “Selamatkan Taman Junghuhn!” dalam suratkabar Pikiran Rakyat. Bandung: Kamis, 15 Desember 2011, hlm.6. Berlage, H.P. (1931). Mijn Indische Reis: Gedachten over Cultuur en Kunst. Rotterdam: W.L. & J. Brusse’s. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7de Deel, [Nieuwe Volgreeks, 3e Deel] (1860), pp.XVII-XX. Bloembergen, Marieke. (2004). Koloniale Inspiratie: Frankrijk, Nederland, Indië, en de Wereldtentoonstellingen, 1883-1931. Leiden: KITLV Press. Breman, Jan. (2010). Koloniaal Profijt van Onvrije Arbeid: Het Preanger Stelsel van Gedwongen Koffiesteelt op Java, 1720-1870. Amsterdam: Amsterdam University Press. Brommer, B.E.A. (1979). Reizend door Oost-Indie: Prenten en Verhalen uit de 19e Eeuw. Utrecht: Het Spectrum BV. de Bére, T. Lach & Van der Vlies. (1933). “Junghuhn (1809-1864): Een Kijkje in Zijn Eerste Zone” dalam Tropisch Nederland, Thn. VI, No.12 [2 Oktober], hlm.179-185. Dédé. (2013). “Kawah Putih: Tapak Lacak Junghuhn” dalam majalah Manglé, No.2412 [14 – 20 Februari] hlm.40. De Haan, F. (1910). Priangan: De PreangerRegentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. De Locomotief [suratkabar]. Batavia: Jumat, 13 Januari 1865. De Sumatra Post [suratkabar]. Hindia Belanda: Selasa, 1 Juni 1909. De Waarheid [suratkabar]. Belanda: Kamis, 10 November 1955. De Wilde, Andries. (1830). De Preanger Regentschappen op Java Gelegen. Amsterdam: Westerman. De Wit, Augusta. (1905). Java: Facts and Fancies. London: Chapman & Hall. Gedenkboek Franz Junghuhn: 1809-1909.
Netherlands: Martinus Nijhoff, 1910. Goss, Andrew. (2011). The Floracrats: StateSponsored Science and the Failures of the Enlightenments in Indonesia. London: The University of Wisconsin Press. Groneman, Isaac. (1879). Waar of Onwaar? Nieuwe Indische Schetsen. Amsterdam: P.N. Van Kampen. Hartoko, Dick. (1985). Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang Kehidupan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, cetakan ke-2. Het Nieuws van den Dag [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: Jum’at, 26 November 1909. Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indie [suratkabar]. Belanda: 8 Juni 1914; dan 26 Oktober 1934. Het Vrije Volk [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: 19 Juli 1980. Indische Courant [suratkabar]. Batavia: 23 Maret 1922. Indisch Magazijn [majalah]. Batavia: LandsDrukkerij, 1844. Javasche Courant [suratkabar]. Batavia: Sabtu, 10 Mei 1845. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1850a). Atlas van Platen: Bevattende Elf Pittoreske Gezichten. Amsterdam: P.N. Van Kampen. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1850b). Java, Deszelfs Gedaante, Bekleeding, en Inwendige Struktuur. Amsterdam: P.N. Van Kampen. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1851). Terugreis van Java naar Europa, met de Zoogennamde Engelsche Overlandpost, in de Maanden September en October 1848. Amsterdam: Joh. Noman en Zoon. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1853). Landschafts Ansichten von Java. Amsterdam: Joh. Noman en Zoon. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1857). Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw, Vol.1-4. Leipzig: Arnoldische Buchhandlung, terjemahan J.K. Hasskarl dari Java, Seine Gestalt, Pflanzendecke, und Innere Bauart. Junghuhn, Franz Wilhelm. (1867). Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java. Amsterdam: F. Gunst. Kern, R.A. (1898). Geschiedenis der Preanger Regentschappen: Kort Overzicht. Bandung: De Vries en Fabricius. Loos-Haaxman, J. (1968). Verlaat Rapport Indië: Drie Eeuwen Westerse Schilders, Tekenaars, Grafici, Zilversmeden, en Kunstnijveren in Nederlands-Indië. ‘s-Gravenhage: Mouton & Co. Lubowski-Jahn, Alicia. (2011). “A Comparative Analysis of the Landscape Aesthetics of Alexander von Humboldt and John Ruskin” dalam British Journal of Aesthetics, Vol.51, No.3 [Juli], hlm.321-333. Maronier, J.H. (1967). Pictures of the Tropics: A
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
55
H.W. SETIAWAN & SETIAWAN SABANA, Priangan dalam Kehidupan
Catalog. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Nieuwe Rotterdamsche Courant [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: Senin, 10 Oktober 1864. Nieuwenhuys, Rob. (1972). Oost-Indische Spiegel: Wat Nederlandse Schrijvers en Dichters over Indonesië Hebben Gerschreven, vanaf de Eerste Jaren der Compagnie tot op Heden. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij, B.V. Nieuwenhuys, Rob & Frits Jaquet. (1980). Java’s Onuitputtelijke Natuur: Reisverhalen, Tekeningen, en Fotografieën van Franz Wilhelm Junghuhn. A.W. Sijthoff: Alphen aan den Rijn, 7. Nieuwenhuys, Rob. (1981). Baren en Oudgasten, Tempo Doeloe — Een Verzonken Wereld: Fotografische Documenten uit Het Oude Indië, 1870-1920. Amsterdam: E.M. Querido’s Uitgeverij B.V. Nieuwenhuys, Rob. (1982). Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature Library of the Indies. Amherst: University of Massachusetts Press, terjemahan Frans van Rosevelt. Pikiran Rakyat [suratkabar]. Bandung: Kamis, 15 Desember 2011. Protschky, Susie. (2008). “Seductive Landscapes: Gender, Race, and European Representations of Nature in Dutch East Indies during the Late Colonial Period” dalam Gender & History, Vol.20, No.20 [August], hlm.372-398. Protschky, Susie. (2009). “The Flavour of History: Food, Family, and Subjectivity in Two IndoEuropean Women’s Memoirs” dalam History of the Family, No.14, hlm.369-385. Rizal, J.J. (2011). “Dia yang Pamit kepada Gunung” dalam National Geographic Indonesia. Tersedia [online] juga di: http:// nationalgeographic.co.id/featurepage/180/ dia-yang-pamit-kepada-gu-nung/1 [diakses di Bandung, Indonesia: 7 Januari 2015].
56
Rotterdamsche Courant [suratkabar]. Rotterdam, Belanda: Selasa, 7 Juni 1864. Scalliet, Marie-Odette et al. (1999). Pictures from the Tropics: Paintings by Western Artists during the Dutch Colonial Period in Indonesia. Amsterdam: Koninklijk Instituut voor de Tropen. Sep, Peter. (1987). “De Receptie van ‘Licht- en Schaduwbeelden uit de Binnenlanden van Java’ van F.W. Junghuhn” dalam Indische Letteren, No.2 [Juni], hlm.53-64. Sternagel, Renate. (2011). Der Humboldt von Java: Leben und Werk des Naturforschers Franz Wilhelm Junghuhn, 1809-1864. Halle: Mitteldeutscher Verlag. Ten Kate, Herman F.C. (1913). “SchildersTeekenaars in Nederlansch Oost- en WestIndie en Hun Beteekenis voor de Land- en Volkenkunde” dalam Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde, Thn.IV, No.67, hlm.441-515. Utrechtsch Nieuwsblad [suratkabar]. Utrecht, Belanda: Jum’at, 26 November 1909. Van Pers, A. (n.y.). Nederlandsch Oost-Indische Typen. s’Gravenhage: C.W. Mieling. von Humboldt, Alexander. (1858). Cosmos: Sketch of Physical Description of the Universe. London: John Murray, Albemarley Street, terjemahan Major-General R.A. Edward Sabine et al. von Neueck, Pfijffer. (1838). Schetsen van het Eiland Java en Deszelfs Onderscheidene Bewoners. Amsterdam: J.C. van Kesteren. Wagner, Virginia L. (1988). “John Ruskin and Artistical Geology in America” dalam Winterthur Portfolio, Vol.23, No.2/3 [SummerAutumn], hlm.151-167. Wigan, Mark. (2009). The Visual Dictionary of Illustration. Switzerland: AVA Publishing SA. Wormser, C.W. (1943). Frans Junghuhn. W. Van Hoeve: Deventer.
© 2015 by Minda Masagi Press Bandung and UBD Bandar Seri Begawan ISSN 2302-5808 and website: www.susurgalur-jksps.com
KAREL STEENBRINK
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)1 KAREL STEENBRINK* Abstract Based on his experience of studying under the guidance of two well-known professors in Islam-Christian dialogue, Jean Houben and Arnulf Camps, Karel Steenbrink was troubled to deepen his knowledge and understanding about Islam not just limited simply in academic endeavour but more importantly in practical daily dialogue with Muslims. He was brought up in the very devout Catholic family yet he was so interested to study Arabic and Islam in Theological Seminary, University of Nijmegen, Netherlands. It was in this theological seminary that he met with the two well-known professors whose influence in Islam-Christian dialogue is so significant for Steenbrink. His first experience of direct encounter with Muslims happened when he was given the opportunity to study for the period of six months, starting in March 1970 in Bandung, Indonesia. How happy he was when he had the opportunity to join in a morning Islamic lecture held in the Mujahidin Mosque there. After that he was deepening the Islam in the famous Gontor Islamic boarding school. His further “pilgrimage” to experience more intensive dialogue through practical daily life is sketched out in this autobiography. Reading with a critical view-point to this autobiography will give us a very precious insight in knowing, deepening, and intercommunicating more intensively with Muslims without being stained by some negative prejudices. Keywords: Islam, Christianity, islamologist, dialogue. Abstrak Berdasar pada pengalaman belajar di bawah dua orang profesor ternama, Jean Houben dan Arnulf Camps, yang begitu peduli terhadap relasi * Profesor Emeritus Teologi Interkultural di Universitas Utrecht. GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
193
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
Islam-Kristen, Karel Steenbrink semakin terdorong untuk mengembangkan pengenalannya terhadap Islam, tidak hanya dalam aras pengetahuan teoritis belaka, namun bahkan dalam menekankan pentingnya pengalaman konkrit berdialog melalui praktik kehidupan nyata. Diawali oleh masa kecilnya yang hidup dan tumbuh di tengah-tengah keluarga Katolik yang sangat taat di Breda, Belanda, Steenbrink mengawali pendidikan sarjananya di Sekolah Teologi pada seminari tinggi, Universitas Nijmegen, dengan memusatkan perhatian pada bidang bahasa Arab dan Islam. Di sekolah teologi inilah Steenbrink berjumpa dengan dua mahaguru ternama tersebut, yang kelak di kemudian hari memberikan andil begitu besar bagi ketertarikannya terhadap persoalan dialog Islam-Kristen. Pengalamannya berjumpa secara langsung dengan masyarakat Islam terjadi ketika ia mendapatkan kesempatan belajar selama enam bulan mulai bulan Maret tahun 1970, di Bandung. Betapa bahagianya ia ketika mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kuliah subuh, pada jam 05.00 pagi di Masjid Mujahidin di Bandung. Kemudian dia memperdalam agama Islam di Pesantren Gontor yang terkenal. “Perziarahannya” lebih lanjut berkenaan dengan dambaannya untuk bisa berdialog secara intensif melalui praktik kehidupan diuraikan di dalam tulisan ini. Membaca, mendalami, dan mengkritisi otobiografi ini akan memberikan inspirasi yang sangat berharga bagi upaya memahami, mengenal, dan bergaul lebih lanjut dengan umat Islam, khususnya di Indonesia, tanpa harus diwarnai oleh prasangkaprasangka negatif yang tidak perlu. Kata-kata kunci: Islam, Kristen, islamolog, dialog. Impian Profesor Jean Houben di Nijmegen (1967-1970) Saya dilahirkan pada tanggal 16 Januari 1942 dalam keluarga super-katolik di Breda, Belanda. Di tengah-tengah berlangsungnya Perang Dunia II, atau lebih tepatnya menjelang masa pendudukan bangsa Jepang di Indonesia, saya terlahir sebagai anak yang kesepuluh dari keseluruhan dua belas bersaudara. Ini sejalan dengan sikap Gereja Katolik sampai pada tahun 1960-an, di mana uskup Belanda dan Konsili Vatikan mulai lebih mementingkan suara hati nurani dan pendapat pribadi khalayak umum dibanding harus menaati doktrin gereja yang cenderung mengatur dan membatasi kuantitas reproduksi manusia, demi kebahagiaan pribadi pula. 194
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
Setelah menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di seminari, dan sekolah teologi di seminari tinggi, saya belajar di Universitas Nijmegen dalam bidang bahasa Arab dan Islam guna memperoleh gelar M.A. Ketika itu jumlah mahasiswa yang menekuni bidang ini tidak terlalu banyak, hanya berjumlah tiga belas orang saja. Walaupun demikian setelah tiga bulan berlangsung, tersisa hanya tiga orang mahasiswa dan di akhir tahun kedua tersisa hanya dua orang mahasiswa. Dosen utama dalam bidang ini adalah seorang mahaguru sekaligus pastor Jesuit, bernama Jean Houben (1904-1973). Ia pernah berpengalaman mengajar di Beirut dan Baghdad. Ia sangat memahami filsafat Islam klasik, yang direpresentasikan oleh Ibn Sina dan Ibn Rushd (1126-1198). Sebagai seorang Katolik, ia berakar kuat dalam tradisi Thomas Aquinas (1125-1274). Ia bahkan sangat berharap agar seluruh umat kristiani (termasuk di dalamnya kaum Protestan) hendaknya berpegang pada ajaran Thomas Aquinas ini. Seandainya kaum Muslim, baik Sunni maupun Shi’a, tokoh tasauf maupun ahli shari’at, juga berpegang pada ajaran Ibn Sinaus dan Ibn Rushd, maka tentunya kaum Muslim dan kristiani akan dengan mudahnya hidup berdampingan secara harmonis. Dalam buku-buku yang telah ditulisnya, ratusan kali Thomas Aquinas telah mengutip Ibn Rushd, walaupun nama ini tidak pernah disebut dalam tulisan Thomas. Dia selalu menyebutnya interpres atau mufassir, yaitu orang yang memberikan interpretasi dan penjelasan. Pokok interpretasi yang digumulinya ialah semua karya sang filsuf, Aristoteles, yang hidup di sekitar tahun 350 sebelum Masehi. Di samping sejumlah pemikir Islam lainnya, Ibn Sina dan Ibn Rushd, telah berhasil mengharmonisasikan secara kreatif antara filsuf Yunani dan monoteisme yang menegaskan adanya kepercayaan terhadap satu-satunya Pencipta alam semesta, dan sekaligus menjadi sumber segala yang ada di dunia ini. Profesor Houben selalu memulai kuliah-kuliahnya dengan uraian mengenai Aristoteles, lengkap dengan kutipan dari bahasa Yunaninya. Selanjutnya dengan keberanian dan kebijaksanaan yang ia miliki, sarjana Muslim ini mampu menyatukan dua dunia pikir ini, sehingga para teolog Kristen abad ke-13 dapat menggunakan sintese Yunani-Arab. Menurut Profesor Houben relasi yang harmonis antara Islam dan Kristen dapat dicapai berdasarkan pikiran-pikiran filsafati ini. Andaikata semua orang Muslim menjadi Mu’tazila dan orang Kristen mengikuti pemikiran filsafati Thomas, maka dapat dipastikan bahwa Islam dan Kristen akan dapat mewujudkan kerja sama yang damai dan harmonis. GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
195
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
Menurut ahli Arab dan Islam dari Perancis bernama Louis Massignon, Houben jarang sekali menyebutkan Nabi Ibrahim sebagai tokoh yang juga bisa menyatukan Islam dan Kristen. Ia pun juga tidak membela terhadap adanya pikiran bahwa Yahudi, Kristen, dan Islam merupakan agamaagama yang melanjutkan warisan-warisan tradisi Nabi Ibrahim. Bukan Ibrahim, tetapi Aristoteles dan neo-platonismelah yang dapat menjadi dasar menciptakan relasi yang harmonis antara Islam dan Kristen. Menurut Profesor Houben, intisari agama Islam ialah filsafat dan kalām. Ajaran inti yang penting terletak pada ajaran mengenai Tuhan Yang Esa, yang berperan sebagai Pencipta dan Hakim pada Hari Kiamat. Sebenarnya Tasauf juga menarik, sayang bahwa shari’at ternyata diabaikan secara mutlak. Al-Qur’ān tentu memegang peranan penting juga, terutama dalam hal memperingatkan kami untuk terlebih dahulu membacanya dalam bahasa Arab, sebelum membuat terjemahannya ke dalam bahasa Belanda. Dengan melantunkannya dalam sebuah irama lagu tertentu, ia menikmati betul bahasa Al-Qur’ān sehingga ia pun menyimpulkan betapa indahnya bahasa Al-Qur’an ini. Namun hadith tidak masuk dalam mata pelajaran Islam, bahkan jarang sekali disebut. Baru setelah memasuki dunia pesantren, saya mengetahui bahwa sumber kedua untuk Islam, tidak ada lain kecuali hadith sebagai dasar hukum shari’ah dan pemikiran fiqh yang begitu penting. Di Nijmegen, Profesor Arnulf Camps mengajar mengenai sejarah hubungan Islam dan Kristen dengan nama mata pelajaran misiologi. Camps lebih dekat dengan pengalaman hidup sehari-hari. Disertasinya membahas para Jesuit yang hidup di lingkungan istana Raja Akbar. Ia merupakan seorang Muslim, yang memerintah masyarakat dengan mayoritas penduduknya beragama Hindu. Walaupun demikian, di wilayah kekuasannya, terdapat pula kelompok masyarakat yang beragama Buddha, Parsi, Hindu, Katolik, dan Muslim. Yang menarik ialah, bahwa Raja Akbar ini akhirnya memilih Din Ilahi menjadi agama resmi kerajaan. Tempat ibadahnya terwujud dalam bentuk tenda dengan lima segi, selaras dengan kandungan lima unsur penting di dalamnya. Pada saat-saat Pancasila sedang diperdebatkan kedudukannya sebagai asas tunggal hidup berbangsa dan bernegara di sekitar tahun 1980an, saya pernah mengambil Din Ilahi ini sebagai contoh mengenai salah satu agama atau spiritualitas yang direncanakan dan ditetapkan dari atas, yakni oleh pemerintah dalam rangka mengelola kehidupan rakyatnya. Din Ilahi sendiri ternyata tidak lagi dibicarakan setelah Raja Akbar wafat. Peristiwa ini mirip dengan pengalaman hidup bangsa Indonesia pasca-pemerintahan Suharto. Sebelumnya hangat dibicarakan mengenai peranan Pancasila 196
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
sebagai agama sipil, civil religion, namun setelah Soeharto mundur dari kekuasaannya, maka pokok masalah agama sipil ini pelan-pelan hilang pula dari pembicaraan masyarakat luas. Camps sendiri tidak terlalu bersemangat terhadap teologi agamaagama secara umum. Ia juga tidak memandang penting akan adanya istilahistilah, seperti misalnya: pluralisme, eksklusivisme, inklusivisme, dan sebagainya. Ia sendiri menyarankan agar kita tidak terlalu terfokus pada konstruksi teoretis, sebaliknya kita harus lebih aktif melakukan pertemuanpertemuan konkrit. Jauh akan lebih baik jikalau kita secara spesifik mengembangkan teologi Islam dalam relasinya dengan agama Kristen daripada secara abstrak membahas hubungan agama Kristen dengan “agama-agama lain”. Grounded Research: Dari Hikmah Buku ke Pertemuan Konkrit Pengalaman perjumpaan langsung dengan orang-orang Muslim diawali ketika saya mendapat beasiswa untuk belajar di Indonesia selama enam bulan pada bulan Maret 1970. Pertama-tama saya belajar bahasa Indonesia dengan guru pribadi di Bandung. Bekal pelajaran bahasa Indonesia yang saya miliki telah memungkinkan saya mengunjungi masjid pada minggu pertama. Saya merasa sangat senang bisa mengikuti kuliah subuh, pada jam 0.5.00 pagi di Masjid Mujahidin. Ketika tiba di masjid dan mendengarkan nyaringnya bunyi pengeras suara, saya mengira bahwa masjid itu pasti telah penuh sesak dengan jemaat. Namun yang saya temui justru sebaliknya, sebab di sana hanya ditemukan halaqa dengan lima atau enam orang pengunjung. Mereka membaca dan mendiskusikan hadith di bawah pimpinan salah seorang anggota organisasi Persis. Saya ikut duduk bersila dan membeli buku serta mencoba ikut berdiskusi. Saat itu udara di Bandung terasa sangat sejuk dan suasananya pun begitu tenang, khususnya di saat pagi hari pada jam 05.00 pagi. Pada awalnya rencana penelitian saya terfokus pada studi tafsir Al-Qur’ān di Indonesia, dengan mengambil contoh dari studi yang sejenis yang terjadi di India (Baljon) dan di dunia Arab (Hans Janssen). Tetapi segera saya sadari bahwa langkah ini tidaklah tepat dan saya menyesal akan hal ini. Alasannya ialah bahwa studi tafsir seperti ini merupakan studi pustaka dengan membaca banyak buku di perpustakaan, sedangkan saya datang ke Indonesia dengan maksud untuk mencari pengalaman hidup GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
197
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
berjumpa secara nyata dengan orang-orang Muslim. Oleh karena itu, saya pun memutuskan untuk berganti topik berkenaan dengan dunia pesantren. Pertanyaan utamanya ialah bagaimana dunia pesantren menyesuaikan diri dengan dunia pendidikan modern di Indonesia yang sangat diwarnai oleh sistem pendidikan sekuler. Dalam studi sebelumnya saya pernah mengikuti kuliah metodologi penelitian lapangan dan antropologi. Pembahasannya lebih terpusat pada budaya suku terpencil yang masih berkomunikasi secara lisan dan belum memiliki tradisi tertulis.2 Oleh karena itu, saya membaca sebuah buku berkenaan dengan metode grounded research yang cukup populer dan praktis ketika itu. Metode ini tidak memulai dengan sebuah hipotesis atau teori, tetapi memulai dengan mengumpulkan data melalui wawancara, pengamatan, observasi partisipatif, dan membaca dokumen-dokumen tertentu untuk membuat analisa sejarah. Atas dasar semua data yang terkumpul ini muncullah konklusi yang masih bersifat umum, yang dapat melahirkan teori yang juga masih bersifat umum. Dalam penelitian ini saya tidak banyak menggunakan statistik, apalagi kuesioner.3 Metode yang saat ini dirasa cukup populer ialah discourse analysis, atau analisa cara berpikir dan berkata menurut subjek yang menciptakan teks, baik tertulis maupun lisan. Michel Foucault dapat ditempatkan sebagai salah satu tokoh penting dalam penelitian seperti ini. Pada periode tahun 2000-2004 saya telah membimbing Mujiburrahman dalam mempraktikkan metode ini dengan ditopang oleh berbagai macam bacaan mengenai teori ini. Walaupun demikian, saat ini saya sendiri bersikap agak mendua terhadap dasar teori dan metodologis untuk penelitian budaya, termasuk penelitian mengenai agama-agama. Menurut hemat saya, common sense dan sikap ingin tahu, sikap sadar mengenai apa yang kita belum tahu dan belum mengalami, sering kali sudah cukup menjadi dasar untuk menghasilkan studi yang menarik. Dalam ranah metodologi, apa yang diucapkan oleh Wilfred Cantwell Smith patut diperhatikan. Smith begitu memberi tekanan pada “tokoh kunci” sebagai pemberi informasi yang sangat penting. Dalam sejarah teologi kekristenan, kita berjumpa dengan tokoh pilihan yang telah menentukan arus sejarah agama-agama. Begitu juga dalam melaksanakan wawancara, harus pula ditemukan key persons yang benar-benar bisa memberikan informasi yang lengkap, menentukan, dan sahih. Profesor Arnulf Camps, promotor saya, mengusulkan metode maieutik atau metode bidan. Sebenarnya metode ini tidak jauh berbeda dengan metode grounded research, yang berusaha untuk menengok dulu realita yang ada, 198
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
dan menunggu sampai munculnya data yang benar-benar bersumber pada realita penelitian itu sendiri. Dalam hal ini seorang peneliti harus benar-benar pandai mendengarkan, mencatat, dan merumuskan apa-apa yang diperoleh dan bersumber langsung dari sasaran penelitian itu sendiri. Dalam rangka penelitian seperti itu, saya telah mengunjungi banyak pesantren dan selalu harus berjumpa terlebih dahulu dengan pimpinan atau kiai dari pesantren tersebut. Saya menghadap Kiai Imam Zarkasyi di Gontor, pertama-tama untuk waktu selama satu minggu, dan berikutnya untuk periode waktu tiga bulan. Dalam percakapan intake yang pertama, saya mengakui secara jujur bahwa saya orang Katolik, dan akan tetap menjadi Katolik. Walaupun demikian saya memohon agar saya diperbolehkan untuk terlibat tidak hanya dalam program-program pengajaran dan cara hidup sehari-hari saja di Pesantren Gontor, tetapi sekaligus juga diperbolehkan untuk mengikuti ibadat salat. Kiai Imam Zarkasyi agak terheran-heran karena permohonan saya ini dirasa aneh. Kami diskusi cukup lama untuk masalah ini. Saya mengatakan bahwa saya senang membaca dan mendengar tilawatul-Qur’ān. Saya menyatakan bahwa kekristenan juga benar-benar mengakui adanya satu Allah, yang juga telah mengirim para utusan-Nya ke dunia ini, termasuk di dalamnya Muhammad sebagai nabi. Bagi saya lebih mudah ikut wudu dan salat yang serius dan sederhana, daripada angkat tangan dan berseru “Halleluya dan Puji Tuhan” bersama-sama dengan orang-orang Kristen Pentakostal ataupun Karismatik. Tujuh kata yang ada dalam Surat Al-Fatiha terasa sangat dekat maknanya dibanding dengan tujuh kata dalam Doa Bapa Kami. Keduanya sama-sama memulai dengan pujian kepada Pencipta alam semesta, dilanjutkan dengan doa agar kami dapat berlanjut di jalan yang lurus dan baik, selagi tetap mengakui bahwa manusia itu lemah dan berdosa. Dalam diskusi ini saya juga menemukan tema-tema yang tidak mudah di dalam Islam, seperti misalnya perintah syari’a yang harus ditaati sebagaimana adanya, seperti misalnya dalam hal cuci tangan dan gosok gigi. Saya pun akhirnya diizinkan untuk ikut salat, dengan syarat bahwa saya harus taat kepada syarat untuk wudu secara keseluruhan.4 Pada saat sedang belajar di Gontor saya mendapati kenyataan bahwa Ibn Rushd juga merupakan seorang tokoh yang popular di dunia pesantren. Tetapi berbeda dengan teori filsafat yang dipakai oleh Profesor Jean Houben, buku wajib yang digunakan untuk studi syariat, yaitu fiqh, di Gontor ialah buku tebal berjudul Bidayatul Mujtahid. Buku ini memberikan uraian mengenai seluruh materi syari’ah dalam perbandingan di antara sejumlah mazhab. Akhirnya Ibn Rushd sering memilih salah satu atau kadang-kadang GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
199
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
bahkan sama sekali tidak memilih, dan hanya mengatakan: Allahu a’lam bissawab, Tuhan yang mengetahui mana yang lebih baik! Pada saat itu metode ini mempunyai fungsi liberal: Muslim boleh pilih. Al-Qur’ān itu suci dan mutlak, tetapi sumber kedua untuk Islam, hadith, boleh diberikan kritik, tidak bersifat mutlak dan bisa menjadi topik diskusi. Walaupun demikian, Gontor tidak hanya menghasilkan tokoh liberal seperti Nurcholis Madjid, tetapi juga tokoh salafi seperti Ahmad Baasyir. Pada acara perpisahan dengan Pesantren Gontor, Kiai Zarkasji bertanya kepada saya, apakah boleh mendoakan agar saya kelak menjadi seorang Muslim yang tulen dan penuh kesetiaan. Saya mengizinkannya saja, sebab kata “Muslim” toh berarti: yang menyerahkan kepada kehendak Tuhan. Bagus toh! Visi Mukti Ali dan Harun Nasution (1978) Pada tahun 1978 saya diminta untuk menjadi pembimbing bagi sembilan dosen senior di IAIN (Medan, Jambi, Jakarta, Yogyakarta) yang ingin belajar selama satu tahun di Belanda. Menteri Agama pada saat itu, yakni Mukti Ali, memiliki beberapa alasan untuk proyek kerja sama dengan pemerintah Belanda ini. Ali melihat bahwa pada era pembangunan di masa Orde Baru, para mahasiswa dari semua disiplin yang memiliki prestasi belajar yang bagus, diberikan kemungkinan untuk studi di Barat. Dari berbagai disiplin ilmu yang ada, seperti: sosiologi, kedokteran, dan arsitektur, dan ekonomi (“Mafia Berkeley”), hanya mahasiswa hukum dan sastra sajalah yang sering dikirim ke Belanda. Selaku Menteri Agama, Ali merasa tidak senang kalau Islam di Indonesia lebih didominasi oleh dunia Timur Tengah, sehingga para ahli Islam hanya boleh belajar semata-mata di Irak, Yaman, Saudi, dan Mesir (Al-Azhar). Ia sendiri pernah belajar di McGill, Kanada, dan senang apabila ada mahasiswa lain yang juga berorientasi tidak semata-mata ke Timur Tengah. Selaras dengan program pembangunan yang sedang terjadi di Indonesia ketika itu, Ali menginginkan agar studi Islam juga dikembangkan agar Islam sendiri tidak dianggap kolot, sebaliknya bisa menjadi inspirasi bagi proses pembangunan ekonomi dan sosial. Pada saat itu tumbuhlah kecintaan untuk belajar di McGill University di kalangan pegawai Departemen Agama. Di antara mereka yang akhirnya belajar di sana ialah Timur Jaelani selaku Sekjen ketika itu, Murni Jamal 200
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
selaku salah satu staf, Profesor Harun Nasution sebagai rektor IAIN Ciputat, dan Syarif Hidayatullah. Harun sendiri berada cukup lama di McGill, untuk memperoleh gelar M.A. dan Ph.D. (1962-1968).5 Di Montreal, Harun mengenal pikiran-pikiran teologis Kristen yang kontroversial, khususnya teologi tentang “Allah yang mati” (Theology of the death of God, 1966: Altizer, Harvey Cox, The secular city). Agar para mahasiswa Indonesia yang datang untuk belajar di dunia Barat tidak terlalu mengalami goncangan akademis, baik kiranya apabila mereka juga berkenalan dan mendapatkan dosen dari Barat pula. Para dosen dari IAIN yang belajar di Leiden saat itu bekerja dengan rajin selama satu tahun. Tidak ada di antara mereka yang jatuh sakit, tidak ada yang mencari pacar lain di Belanda, pendek kata, tidak ada yang nakal. Bahkan, lima di antara mereka berhasil mengumpulkan bahan yang kelak di kemudian hari dikembangkan menjadi disertasi doktor dalam rangka mewujudkan kerja sama antara para pembimbing Belanda dan Indonesia.6 Sebagai wujud sukacita dan kebanggaan saya atas mereka itu, maka saya pun menulis sajak yang dibacakan pada saat mereka melaksanakan promosi doktor. Beberapa bait untuk Suminto ketika itu dikutip di bawah ini.7 Saudara Suminto sudah doktor fiddin Disertasi yang hebat dia bikin Isteri dan anak memberikan izin Asal ia tetap minal mu’minin Dia masuk kapal ke negeri Belanda Masak sendiri, cuci piring di sana Di tengah hujan dan salju naik sepeda Hilang sepeda naik bis saja Kepergian ke Belanda sekali diulang Sekarang kopor pun sampai hilang Ganti rugi terlambat, tapi datang Kertas dan mesin tulis terus dia pegang Ketekunan dalam ilmu memang hebat Untuk ceramah dan khotbah kurang sempat Jasa isterinya perlu juga kita ingat Agaknya doktor HC patut ia dapat.
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
201
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
Laporan di IAIN Syarif Hidayatullah Tahun 1981 Setelah selama satu tahun mengerjakan proyek di Leiden, saya diundang menjadi dosen orientalisme di Jakarta. Bersama-sama dengan isteri dan dua orang anak, kami tiba di Ciputat, dan menempati perumahan dosen di dalam kampus. Saya baru menyadari bahwa ternyata terdapat perbedaan pendapat di antara anggota staf IAIN sendiri. Fakultas Usuluddin dianggap sebagai fakultas yang paling progresif dan berorientasi ke Barat, sedangkan para dosen lainnya terutama yang berasal dari Fakultas Syari’at, dipandang cenderung lebih berpegang kepada tradisi pesantren dan tidak berkiblat ke Barat, tetapi lebih berkiblat ke lembaga-lembaga besar di Timur Tengah. Hal serupa nampaknya terjadi pula di IAIN Yogyakarta (sekarang UIN), di mana terdapat apa yang disebut dengan kubu Barat (Fakultas Syari’at), yang harus menyeberang jalan dengan lalu lintas yang padat dan berbahaya untuk bisa mencapai di sisi Timur (Fakultas Usuluddin). Ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa Harun Nasution terlalu mengabaikan syariat atau memberikan interpretasi terlalu liberal. Beliau dituduh memiliki spirit neo-Mu’tazila, sebagaimana juga terjadi pada pakar islam di Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905). Pada bulan pertama saya diundang untuk memberikan kuliah umum dalam acara pertemuan ilmiah antar dosen. Pada kesempatan itu saya membahas mengenai penafsiran radikal yang belum lama muncul di dunia barat seperti nampak dalam karya John Wansbrough, Quranic Studies (Oxford University Press, 1977). Wansbrough merupakan seorang ahli di bidang studi Taurat dan Talmud, di samping juga pakar dalam bidang bahasa Arab dan Qur’ān. Ia berpendapat bahwa Al-Qur’ān merupakan hasil redaksi terakhir dari sejumlah versi yang sedikit banyak berbeda satu dengan yang lain, dan telah beredar kira-kira selama seratus tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad di kota-kota, seperti: Mekah, Medina, Kufa, Damascus, dan Basra. Dalam proses ini sejumlah versi dari beberapa kisah yang sangat mirip ikut dimasukkan ke dalam versi final Al-Qur’ān tersebut. Ia juga berpendapat bahwa ayat pertama dari sura 17 yang berkenaan dengan Isra’-Mi’raj, merupakan tambahan dari periode yang lebih kemudian. Pada awalnya ayat ini berbicara mengenai keluarnya Nabi Musa dari Mesir melalui Laut Merah. Sedangkan ayat 2 dari sura 17 berbicara mengenai Nabi Musa. Istilah “membawa hambaNya malam hari” yang terdapat pada ayat tersebut masih dapat ditemukan sebanyak tiga kali di dalam Al-Qur’ān, dan tentunya hal ini juga menunjuk 202
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
ke Nabi Musa. Sebagian besar dari para dosen ternyata tidak menyutujui terhadap hipotesa Wansbrough ini. Selanjutnya, wartawan Majalah Tempo rupanya mendengar dan mengetaui terjadinya perdebatan ini dan berniat untuk menulis sebuah artikel. Artikel ini bernada menuduh Harun Nasution, selaku rektor, telah melakukan kesalahan besar karena telah mengangkat seorang dosen yang sebenarnya tidak cocok bagi dunia Islam di Indonesia. Akibatnya saya dipanggil untuk datang ke Departemen Agama karena Alamsyah selaku menteri agama ketika itu, telah menerima berita mengenai hal ini. Untuk itu, saya berbicara terlebih dahulu dengan Anton Timur Djaelani dalam waktu yang cukup lama. Ia sendiri ternyata tidak marah, bahkan mendukung juga proyek saya walaupun ia sempat memberikan peringatan kepada saya untuk berhati-hati. Majalah Panji Masyarakat pun ikut mewawancarai saya. Saya dimintai keterangan berkenaan dengan latar belakang saya. Dalam wawancara ini saya menekankan betapa semangat dan kegiatan hidup beragama sedang mengalami penurunan di Eropa, dan pada waktu bersamaan betapa saya melihat di Indonesia, pada kisaran tahun 1980-an, sedang terjadi adanya kebangkitan agama-agama, termasuk di dalamnya agama Islam dan Kristen. Harun Nasution sendiri telah menghubungi pimpinan redaksi Majalah Tempo, dan meminta agar artikel yang negatif mengenai dirinya dan kebijakannya di IAIN tidak diterbitkan dan dipublikasikan di khalayak umum. Memang pada kurun waktu tahun 1980 dan 1990-an arus berpikir di IAIN secara terus-menerus dipersoalkan oleh kaum salafi di Indonesia yang menengarai bahwa IAIN telah berbalik ke arah yang lebih liberal sifatnya. Semua itu benar-benar menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi saya dan tugas-tugas saya selagi berada di Indonesia. Saya merasa berada dalam posisi yang cukup dialektis, yakni di satu pihak harus jujur dan setia kepada kayakinan iman saya, tetapi di pihak lain saya sekaligus juga harus berhati-hati agar tidak diberhentikan dari tugas serta kehilangan izin tinggal di negeri ini. Secara finansial, saya memang cukup beruntung hidup dan tinggal di Indonesia dengan gaji yang setara dengan gaji para dosen di universitas Belanda. Kenyataan ini menempatkan saya berada dalam situasi finansial yang lebih dari cukup untuk tinggal di Indonesia ketika itu.
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
203
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
Sejarah Islam di Indonesia pada Abad Ke-19 (1982) Tugas saya di Jakarta ialah mengajar mata kuliah Perkembangan Teologi Kristen Modern dan “orientalisme” atau Studi Islam di Barat pada Fakultas Usuluddin, Jurusan Ilmu Perbandingan Agama. Pada tahun 1982 telah dibuka persiapan perkuliahan untuk program master. Harun meminta saya untuk memberikan kuliah mengenai pokok masalah yang saya sendiri menguasai dan bersedia. Lalu saya memberikan sebuah pengantar mengenai sejarah Islam di Indonesia, pada abad ke-19 berdasarkan sumber data yang melimpah di Belanda. Harun sendiri bisa menyetujui mengenai penggunaan sumber data ini namun mempertanyakan mengapa abad ke-19? Persoalan awal tibanya Islam di Indonesia sendiri telah menarik perhatian besar khalayak banyak. Pada tahun 1963, misalnya, pernah diselenggarakan sebuah seminar di Medan dan mengambil kesimpulan bahwa “Islam telah tiba di Indonesia langsung dari tanah Arab pada kisaran abad ke-7”. Memang perdebatan ilmiah mengenai awal tibanya Islam di Indonesia ini sulit untuk dapat diselesaikan tanpa didukung oleh data yang memadai. Walaupun demikian, Harun merasa senang dengan keberadaan organisasi Islam pada abad ke-20, khususnya Masyumi (topik disertasinya) demikian juga Muhammad Abduh yang membahas pengaruh organisasi Masyumi di Indonesia (topik tesis masternya di McGill). Tetapi mengapa saya memberi perhatian lebih pada abad ke-19? Mengenai abad ke-20 sendiri, saya merasa telah dibahas di dalam buku klasik karangan Deliar Noer yang berbicara mengenai kebangkitan Islam secara umum, Alfian mengenai Muhammadiyah, dan beberapa studi lainnya mengenai Sarekat Islam. Sementara itu periode Islam pada abad ke-19 masih belum banyak dikaji dalam studi yang intensif, padahal arsip dan perpustakaan di Belanda menyimpan banyak data tentangnya. Saya sendiri melihat adanya perbedaan besar antara arsip negara dan perpustakaan akademis. Arsip negara sering kali menyimpan banyak data berkenaan dengan laporan polisi ketika ada persoalan-persoalan tertentu. Dalam hubungan ini Islam sering diperhatikan dan diperiksa hanya apabila ada kesulitan-kesulitan tertentu yang bisa menimbulkan keresahan masyarakat. Islam dalam perspektif politik seperti inilah yang sering masuk dan dicatat dalam arsip negara. Kiai yang sangat populer, masjid yang banyak dikunjungi oleh jamaah, di samping juga persoalan administrasi, keuangan, dan pengorganisasian masjid biasanya berada di bawah kendali pemerintah kolonial. Umumnya arsip berkenaan dengan 204
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
proses pengangkatan penghulu untuk sebuah masjid raya ataupun masjid besar juga dapat ditemukan di kantor arsip negara. Yang paling menarik perhatian ialah hadirnya tokoh agama yang dianggap membahayakan keamanan nasional, yang kemudian diusir ke tempat yang jauh, seperti Menado misalnya. Banyak kasus-kasus dari abad ke-19 seperti ini yang masih menunggu untuk dilakukan suatu penelitian secara sungguhsungguh. Berbeda dengan arsip negara, arsip perpustakaan akademis banyak ditemukan bahan-bahan lain, khususnya naskah-naskah sastra yang banyak dipakai di dalam dunia pesantren, seperti: tafsir Qur’an, kitab fiqh, dan lain sebagainya. Dari perpustakaan Universitas Leiden saya menemukan syair Melayu dari Penyengat, yang ditulis oleh Raja Ali Haji beserta kawan-kawannya di daerah yang dianggap sebagai tempat utama untuk bahasa Melayu klasik. Dari bahan kuliah ini kemudian muncul sebuah buku berjudul Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia abad ke-19 (terbitan Bulan Bintang, Jakarta, 1984). Sebagai judul buku saya memilih istilah lain, yakni: Paderi, Penghulu dan Penjual Jimat. Melalui judul ini saya mau menekankan struktur Islam di Indonesia di mana: 1) peranan politik, 2) studi agama oleh para ulama, dan 3) agama rakyat, benar-benar diperhatikan oleh berbagai macam kelompok berlainan dan jarang bertemu satu dengan yang lain. Saya tidak terlalu bahagia dengan teori besar, seperti misalnya: santri-abangan-priyayi (Geertz) atau mystic synthesis in Java (Merle Ricklefs), tetapi saya ingin lebih melihat relita kehidupan pribadi secara lokal sebelum pada akhirnya kategori yang bersifat umum dapat dirumuskan. Pihak penerbit telah meminta Profesor Rasjidi untuk menulis sebuah kata pengantar untuk buku ini. Rasjidi sendiri beranggapan bahwa keberadaan buku ini akan memegang peranan penting. Walaupun demikian, ia melihat juga adanya kekurangan di dalamnya. Argumentasi yang ia kemukakan memang terasa agak aneh: ia tidak melihat “adanya kesatuan dari apa yang ditulis… cara penyajian berkenaan dengan peristiwa penting seperti Diponegoro, Perang Padri, dan Perang Aceh dirasa dapat memuaskan, ibaratnya bagaikan nasi goreng yang lezat, namun masih banyak tercampur dengan gabah di dalamnya” (hlm vi). Dengan kritik ini terasa seolah-olah kita harus selalu memuji segala hal yang pernah terjadi di dalam sejarah Islam, selaras dengan pepatah: right or wrong, is our country! Nasionalisme ataupun kesetiaan pada agama sendiri harus selalu dibela. Sikap seperti inilah yang kelak juga dikritik oleh Romo Mangun sebagai sikap yang tidak benar. GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
205
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
Kritik kedua dari Profesor Rasjidi adalah mengenai istilah “Penjual Jimat”. Walaupun isi dari bab-babnya dapat diterima, ia tetap tidak bisa mentolerir istilah judul ini, dengan alasan bahwa Islam yang benar tidak pernah bisa menerima penjual jimat. Inilah wujud konflik yang benar-benar terjadi antara Islam normatif dan Islam dalam realita. Menurut hemat saya, islamolog yang jujur dan berintegritas tinggi, tidak seharusnya terikat semata-mata pada Islam normatif, tetapi sebaliknya harus bersifat terbuka pada Islam di dalam realita. Pada akhirnya buku ini pun diterbitkan dan dicetak hingga ribuan eksemplar, dengan alasan Departemen Agama telah mewajibkan siswa Pendidikan Guru Agama (PGA) membaca buku tersebut. Kenapa Bapak tidak masuk Islam? (1985) Di Yogyakarta saya juga memberikan kuliah mengenai Perkembangan Teologi dalam Dunia Kristen Modern. Saya berkesempatan untuk mengembangkan materi ini secara lebih sistematis, dan akhirnya naskahnya pun juga telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh IAIN Sunan Kalijaga Press (1987). Kata pengantar buku ini disiapkan oleh Profesor Mukti Ali. Dalam buku ini saya menekankan adanya keberbagai-macaman secara internal di dalam dunia kekristenan. Ada hal-hal yang saya sendiri mendukung dan menyetujuinya, namun saya sendiri juga memberikan kritik terhadap perkembangan yang ada dan terjadi di dalam kekristenan tersebut. Walaupun saya seorang Katolik, namun saya juga memberikan kritik saya terhadap ucapan-ucapan dan tindakan Sri Paus. Dalam perbandingan dengan ajaran dan praktik Islam, sering kali saya memberikan penilaian yang positif juga terhadap unsur agama Islam. Pernah dalam suatu kuliah, seorang mahasiswa bertanya kepada saya: “Kenapa Bapak tidak masuk Islam saja, kalau Bapak sendiri bersikap positif terhadap Islam dan sebaliknya sering bersikap kritis terhadap agama Kristen?” Memang, di antara para ahli dari Barat yang bekerja di Indonesia terdapat pula sejumlah orang yang menikah dengan perempuan Muslim dan juga masuk Islam guna mengikuti agama istrinya. Namun hal itu tidak terjadi dengan diri saya. Saya pun menjawab bahwa seorang muallaf atau orang yang baru saja masuk Islam sering mendapatkan hadiah dan kehormatan khusus. Rekan saya Johan Meuleman, yang mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah, misalnya, mendapat hadiah gratis dalam bentuk perjalanan 206
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
haji gratis atas biaya departemen, alias haji abidin ‘atas biaya dinas’. Tetapi seorang muallaf yang baru saja masuk Islam, tentunya tidak boleh bersikap kritis. Akibatnya ia pun tidak bisa menentukan sendiri corak keislamannya. Masalah seperti ini dialami sendiri oleh seorang sarjana Amerika bernama Amina Wadud, yang menggunakan perspektif feminisme Amerika untuk memaknai posisi perempuan dalam Qur’ān dan Islam. Dengan cepat ia pun menuai kritik tajam dengan mengatakan bahwa seorang yang “baru muallaf, tidak sepatutnya bersikap kritis”. Itulah sebabnya saya lebih memilih untuk tetap menjadi Katolik tetapi kritis daripada pindah agama. Persoalan di sekitar pindah agama, pernah terjadi di Yogyakarta ketika seorang rekan berasal dari Inggris datang berkunjung ke kantor saya. Ahli musik ini bekerja sebagai konsultan pada akademi musik. Kerja sama ini dimaksudkan untuk menemukan metode yang dianggap cocok bagi para turis Barat, sehingga mereka mau berada di Yogyakarta lebih lama lagi berkat musik dan seni lainnya yang bisa menjawab selera Barat mereka. Dalam perjalanan menjalankan tugasnya ini, ahli musik tersebut jatuh cinta kepada seorang penyanyi cantik dan bersuara sangat merdu. Mereka pun akhirnya menikah, namun keluarga pihak perempuan mensyaratkan agar ahli musik Inggris ini mau masuk Islam. Untuk alasan inilah ia datang ke tempat kerja saya di IAIN, serta mohon pertimbangan saya bagaimana caranya masuk Islam. Saya menunjukkan kepadanya masjid kampus dan tidak lama kemudian terjadilah perpindahan agama ini. Ketika itu imam masjid mewajibkan dia untuk mengulangi ucapan kalimat yang berbunyi: “Dengan ini saya menolak dan meninggalkan agama Kristen dan masuk Islam: Asyhadtu an la ilaha illa Allah....” Acara pengislaman ini, selanjutnya diikuti oleh doa dan sambutan. Saya benar-benar terkejut, ketika melihat di dalam daftar sambutan terdapat nama saya juga. Saya pun memberanikan diri untuk memberikan sambutan saya. Pertama-tama saya mengucapkan selamat kepadanya. Ia yang semula tidak secara aktif merupakan anggota Gereja Anglikan, dan setelah mempelajari cukup banyak mengenai Islam, akhirnya menjadi lebih tertarik terhadap agama ini. Baik kiranya ketika ia benar-benar menyadari bahwa agama memainkan peranan penting dalam kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan rencana perkawinannya. Walaupun demikian, pada saat yang sama saya juga mengkritik imam masjid yang mengharuskan dia pindah agama menjadi Islam. Menurut hemat saya teman dari Inggris ini seharusnya tidak perlu meninggalkan agama Kristennya untuk masuk Islam karena alasan pernikahan. Kita semua percaya akan adanya satu Tuhan tetapi GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
207
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
banyak nabi. Karena itu menikah dengan tetap mempertahankan agamanya ibaratnya sama dengan apa yang saya alami ketika saya diizinkan mengikuti salat Jumat di masjid oleh Zarkasyi. Berita mengenai perpindahan agama ini ternyata dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah dan Harian Pikiran Rakyat. Saya mendapatkan beberapa kritik tajam dari rekan-rekan pastor Jesuit di Yogyakarta, betapa pun ada pula yang bisa memahami pendapat saya. Salah satu kritik tersebut dilontarkan oleh Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa menganut Islam dengan huruf besar (sebagai iman) jauh lebih penting daripada menganut islam dengan huruf kecil, atau katakanlah islam secara statistik saja. Musik Malam atau Tahlilan di Makam Sunan Bayat Eine kleine Nachtmusik (konser singkat di waktu malam) merupakan musik Wolfgang Amadeus Mozart yang sangat terkenal: tidak terlalu rumit, juga tidak terlalu emosional dan merangsang. Musik ini sangat bagus dan efektif untuk dilaksanakan di penghujung hari guna memberi kesempatan kita beristirahat sejenak dari beban pikiran yang berat. Ini berbeda dengan musik malam di lokasi pemakaman Sunan Bayat yang berada pada jarak kurang lebih 10 km dari Klaten, dan di sebelah timur kota Yogyakarta. Setiap Jumat Legi, bukit kapur dengan puluhan kuburan itu penuh sesak dihadiri oleh kaum Muslim, Cina, Jawa Katolik dari semua golongan. Tidak ada acara baku, dan pengunjung mulai berdatangan sejak jam 17.00 sore. Suasana baru mulai menjadi ramai pada jam 20.00. Pertama kali saya datang ke tempat ini bersama-sama dengan seorang teman dosen dari IAIN Sunan Kalijaga di Yogyakarta, yaitu Chumaidy Syarif Romas. Ia merupakan seorang yang ramah, banyak berbicara dengan saya selama menemani saya ke tempat yang aneh tersebut. Setiba di kaki bukit keramat di Bayat, kami melihat puluhan wanita yang menjual kemenyan (dupa) dan bungkusan bunga. Saya mau membeli barang sakral ini, tetapi Chum berkebaratan, “Kita toh datang untuk mengamati suasana makam ini, tidak untuk berpartisipasi?” Ya, Chum sendiri adalah mantan ketua umum HMI dan menjadi anggota Muhammadiyah. Tentu saja ia tidak menyukai halhal yang bersifat churafat dan takhayyul ini. Saya menjawab: “Pengalaman Anda berbeda dengan pengalaman orang Katolik. Kami, orang-orang Katolik, suka berziarah ke kubur, menghiasi patung dengan bunga, dan membakar kemenyan juga.” Karena itu saya tetap membelinya. 208
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
Sesudah masuk di lokasi dan sedikit naik ke atas, kami melihat masjid pertama. Di sana terdapat sekitar dua puluh orang yang sedang melaksanakan tahlilan, yaitu melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an, doa, dan daftar nama-nama Tuhan (ya Rahman, ya Rahim, ya Ghafur, ya Latif, dan seterusnya). Pelantunan lagu ini agak kacau, tidak merupakan paduan suara yang terlatih dan teratur. Ada yang melantunkannya secara cepat, tetapi ada pula yang lambat. Ada yang suara keras dan melengking tinggi, ada pula suara yang lebih bernada rendah. Dengan demikian doa tahlilan ini cukup meragukan pula. Walaupun demikian, mereka yang berdoa nampak sangat bersemangat. Di sini Chum menyampaikan protesnya lagi: “Muhammadiyah melarang praktik semacam itu.” Di sinilah kami masuk ke dalam perdebatan mengenai strategi mana yang dipandang lebih cocok untuk menghadapi praktik-praktik semacam itu. Di dalam Gereja Protestan, ziarah tentunya dilarang juga, karenanya Muhammadiyah bisa ditafsirkan sebegai Islam Protestan. Namun tidak halnya dengan Katolik. Pada awalnya berziarah ke Lourdes memang dilarang oleh uskup di Perancis. Namun masyarakat pada umumnya tidak mengindahkan larangan ini dan tetap melanjutkan praktik ziarah ini. Akhirnya, praktik berziarah seperti ini justru menjadi semakin populer. Akibatnya, uskup dan para pejabat Katolik tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menerimanya dengan prinsip: “If you cannot beat them, join them!” Demikianlah maka popular religion dan official religion pada akhirnya berjalan seiring sejalan secara harmonis sebagai sebuah strategi di dalam agama Katolik. Suatu saat Mukti Ali pernah menuduh Muhammadiyah, khususnya Profesor Muhammad Rasjidi, sebagai yang telah melahirkan aliran kepercayaan. Aliran seperti ini pada awalnya masih sangat dekat dengan Islam, tetapi akhirnya ditolak karena dianggap sebagai aliran sesat oleh kaum Muslim murni seperti Muhammadiyah. Akhirnya mereka terpaksa menciptakan organisasi dan struktur tersendiri. Wayang Natalan Pada tahun 1980-an kami tinggal di Jakarta dan Yogyakarta. Setiap hari Natal, teman-teman dosen dari IAIN datang untuk mengucapkan selamat Natal. Mereka duduk sekitar 30 menit, minum air sirup atau minuman lainnya, serta makan kue. Peristiwa ini berlaku untuk kurang lebih sekitar satu minggu lamanya. Berdasarkan pada kebiasaan ini, GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
209
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
maka pada tahun 1985 kami memutuskan untuk menyelenggarakan Wayang Natalan. Karena saya tidak menguasai bahasa Jawa, maka bentuk penyajiannya dibuat menyerupai syair Melayu, namun disisipkan ke dalamnya lagu-lagu Natal dengan iringan musik gamelan. Dua anak kami memainkan bonang (Floris) dan viola (Stijn). Karena pada awalnya wayang ini menggunakan karton, maka secara resmi pada undangan kami juga tertulis “Acara: Wayang Karton”. Tokoh utama dalam kisah itu, yakni: Bintang, Maria, Yusuf, dan Raja Herodes, semuanya dibuat dari karton. Dalam perkembangannya, sejumlah tokoh penting ini pada akhirnya dibuat juga dari kulit kambing atas jasa dari saudara Dr. Abdurrahman. Ia adalah rekan saya yang sangat setia di Yogyakarta dan sangat menyukai seni Jawa. Sampai saat ini pertunjukan tersebut masih tetap berlangsung hampir pada setiap tahun, baik dengan menggunakan bahasa Indonesia maupun dengan bahasa Belanda. Justru cara inilah yang membuat para dosen Islam merasa tertarik sebab dengan cara itu mereka bisa memasukkan unsur lelucon pada pesan Natal yang hendak disampaikan. Berikut ini diberikan sedikit kutipan. Cerita mulai di Nazaret, kota kecil tanpa bis dan oplet. Di sini Maryam dikunjungi malaiket, sehingga dia heran, kaget. Utusan Tuhan cantik, cemerlang. Rambutnya panjang, bergelombang, giginya putih, dalam undian menang, jubahnya hebat dan sutera di pinggang. Kalau berlomba, masih kalah Yusuf sang Nabi. Apalagi Yusuf, yang calon suami. Biasa, biasa saja, bukan maksi. Tidak sehebat, ya, begitu awami! Jibril berkata, suaranya lembut: “Hai Maryam, jangan terkejut, Saya termasuk abdi yang ikut, yang taat, janganlah takut!” “Saya hanya menyampaikan pesan yang berasal langsung dari Tuhan: 210
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
Anda akan melahirkan seorang insan nama-Nya Yesus, jangan dilupakan!” “Dia akan lepaskan belenggu rakyatnya. Untuk yang sakit dialah dokternya, untuk yang bodoh dialah gurunya, yang tersesat, dialah pandunya.” (Maryam) “Bagaimana mungkin, saya toh biasa. Sekolah: tak dapat ijazah, kursus tak ikut, masak tak bisa. Betul, saya merasa gelisah!” (Jibril) “Ah, serahkanlah kepada Tuhan, Dialah yang atur urusan.” (Maryam) “Ya, kalau begitu, saya laksanakan, kepada-Nya saya serahkan.” Wof, wof, lenyap malaiket. Tak tinggal kartu nama, portret. Yang tinggal hanya gadis yang kaget. Kata-katanya masih inget. (Lagu dengan “gamelan”, di mana anak saya Floris dan Stijn aktif) Dari alam yang jauh dan gaib, datang berita yang cukup baik. Bukan pos wesel atau hadiah, Pencipta alam mengirim anak yang lemah. Pada tahun 2005 MUI mengeluarkan sebelas fatwa yang cukup keras bernada anti-pluralisme. Satu di antaranya merupakan fatwa yang melarang umat Islam mengikuti kebaktian yang dipimpin oleh orang non-Muslim. Pada periode sebelumnya, yakni pada tahun 1982, MUI juga sudah melarang umat Muslim mengikuti perayaan Natal yang diselenggarakan oleh orang Kristen. Fatwa ini telah diundangkan secara berulang-ulang. Dengan alasan inilah mengapa Dr. Ioannes Rakhmat pada tanggal 29 Desember 2001 telah menulis komentar bagi kelompok Madia di Jakarta atas Wayang Natal di rumah kami di Utrecht: … Yang nonton ya Islam ya Kristen. MUI barangkali gusar, sebab fatwa mutakhirnya tidak efektif. Dengan figur semacam Steenbrink mana bisa GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
211
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
mahasiswa-mahasiswa Islam yang hadir di Natalan dengan wayang itu merasakan diri mereka sedang berusaha dikristenkan. Tidak ada motivasi proselitis dalam diri beliau. Tidak mungkin sebagai Ki Dalang beliau akan menyatakan di akhir pementasan: Wahai penonton, sekarang setelah Anda mendengar dan menyaksikan kisah Natal Yesus, Saudara mesti ambil keputusan pribadi ikut Yesus atau tetap terkena murka Allah! … Gotama itu milik dunia. Lao Tsu itu milik dunia. Musa itu milik dunia. Yesus itu milik universal. Muhammad itu milik buana. Martin Luther King itu milik semua orang. Gandhi itu milik semua insan. Mereka semuanya milik semua orang beragama apa pun. Setiap orang beragama yang telah kehilangan perspektif semacam ini telah kehilangan hati Allah sendiri.8
Sejumlah Rekan Kerja: Thomas Michel, Alex Soesilo Wijoyo, Alfons Suhardi, Bruinessen, Meuleman, Beck, dll. Ketertarikan untuk melakukan studi Islam sampai tahun 1990an tidaklah besar di kalangan gereja-gereja Kristen. Romo Zoetmulder mendapatkan latihan berbahasa Arab dan Jawa untuk melakukan studi Islam di Indonesia. Akan tetapi, seperti Hendrik Kraemer, beliau menulis disertasi mengenai tasauf Islam, namun hanya berkonsentrasi pada sastra Jawa Kuno sebelum Islam masuk ke Indonesia. Thomas Michel bagaikan seorang world citizen. Ia lahir di Saint Louis pada tahun 1941, masuk seminari dan ditahbiskan menjadi pastor Katolik. Pada tahun 1967 ia datang ke Yogyakarta sebagai dosen bahasa Inggris di IKIP Sanata Dharma karena memang dia seorang native speaker. Uskup Darmoyuwono dari Semarang pernah menemui uskup St. Louis pada saat diselenggarakan Konsili Vatikan II di Roma. Thomas Michel sendiri hidup di tengah-tengah kelompok pastor Jesuit yang sedang melayani Sanata Dharma dan merasa tertarik pada nilai-nilai ordo Katolik ini. Pada awal tahun 1970-an dimulailah pelajaran bahasa Arab dan agama Islam di Chicago di bawah pengampu Profesor Fazul Rahman. Pada tahun 1978 Thomas Michel mempertahankan disertasinya yang memuat karya terjemahan monumental, Al-Jawab al-Sahih atau jawaban Ibnu Taymiyya pada tahun 1387 kepada seorang uskup di Syria/Turki, Antakya, yang menulis pada tahun 1150. Sesudah itu Dr. Michel mulai mengajar islamologi di Kentungan, dan pada saat bersamaan ia juga aktif di kantor FABC (Federation of Asian Bishops’ Conferences) di Bangkok. Ia pun di kemudian hari juga terlibat aktif di Vatikan dan di kantor pusat Jesuit di 212
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
Roma. Sebagai dosen terbang ia masih aktif melayani Sekolah Teologi di Kentungan/Yogyakarta, walaupun tidak bisa secara sungguh-sungguh menghidupkan studi Islam di Indonesia. Dari Thomas Michel saya masih ingat satu anekdot yang agak simbolis mengenai posisi seorang islamolog di kalangan pastor Katolik. Thomas Michel pernah naik Honda dari Yogyakarta ke Surabaya, kemudian naik feri ke Madura, dan mengunjungi selama satu minggu sejumlah pesantren di sana. Setiap kiai pesantren menerima dia dengan baik, memberikan makan, minum, dan dia boleh tinggal di tempat ini, seperti yang juga saya alami sendiri pada saat melakukan penelitian pada periode 1970-1971. Michel pun akhirnya kembali ke komunitasnya di Yogyakarta. Dia diterima dengan gembira oleh rekan-rekan Jesuit seraya mengatakan, bahwa mereka sangat rajin berdoa supaya dia akan pulang dengan selamat dari kunjungan kepada kaum Muslim di Madura, yang terkenal sebagai orangorang yang suka berkelahi, bahkan membunuh. Michel pun dengan senang hati mau membagikan pengalamannya ketika berada di pesantren, di mana ia disambut dengan sikap penuh keramah-tamahan. Ia juga membagikan pengalamannya bercakap-cakap dengan para kiai di sana berkenaan dengan nilai-nilai keagamaan yang mereka anut. Sayang bahwa rekan-rekan Jesuit tidak begitu tertarik mendengarkan kisah perjumpaan yang sangat positif ini. Yang paling utama bagi rekan-rekan Jesuit ini tidak lain kecuali bahwa ia kembali ke Yogyakarta dengan selamat! Ordo Jesuit di Indonesia sendiri telah mengirim Alex Soesilo Wijoyo ke Amerika untuk belajar di Columbia University. Dari studinya ini maka pada tahun 1987 ia berhasil menyelesaikan sebuah disertasi yang bagus berkenaan dengan gaya menulis dari Syaikh Nawawi al-Banteni (1840-1880 di Mekah). Sayang bahwa setelah menyelesaikan disertasinya ini ia tidak begitu aktif lagi berperan sebagai seorang ahli Islam. Ia bahkan secara khusus melayani gereja Katolik di Indonesia sebagai seorang ahli komunikasi melalui media komputer dan internet. Homepage untuk semua keuskupan serta permulaan site seperti Mirifica telah lahir sedikit banyak juga oleh karena jasa-jasanya. Ordo Fransiskan mengirim Alfons Suhardi ke Kairo, untuk belajar bahasa Arab. Di kemudian hari, yakni pada tahun 1990-an, ia melayani di bagian antar-agama di Kawali. Para islamolog yang ada memiliki beberapa bidang minat masingmasing. Ada yang memusatkan perhatian pada studi bahasa, seperti misalnya Dick van der Mey, staf pengajar di UIN Jakarta, studi agamaagama, seperti misalnya Herman Beck, pengganti saya di IAIN Yogyakarta, GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
213
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
1989-1991, sosiologi/antropologi, seperti misalnya Martin van Bruinessen yang mengajar di IAIN Yogyakarta 1991-1994. Pada umumnya lembaga modern seperti UIN, Universitas Muhammadiyah, dan lembaga Nahdlatul Ulama di Indonesia, suka menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga dan pribadi-pribadi non-Muslim. Jurnal ilmiah, seperti Studia Islamika, misalnya, hampir selalu memuat artikel-artikel yang ditulis oleh para sarjana non-Muslim, setiap kali terbit. Dengan demikian, identitas Islam senantiasa merupakan pokok masalah yang ditentukan tidak hanya oleh masyarakat Muslim itu sendiri, melainkan juga oleh fellow travellers (teman-teman seperjalanannya) atau pengamat-pengamat lain yang mampu memahami nilai-nilai dan keinginan mereka. Mengapa Kaum Orientalis Begitu Rajin Meneliti Gerakan Sempalan? Identitas Katolik generasi tua cukup menonjol, tetapi sekaligus beraneka ragam. Ayah saya (pegawai dinas pajak) bertahun-tahun membantu mengatur keuangan paroki di tempat tinggalnya sebagai sukarelawan. Dia sangat menyukai organisasi gereja yang rapi, gedung gereja yang bagus bahkan mewah, ibadah yang ramai dan besar, dengan orkes, paduan suara, pakaian ibadah yang indah, mewah, dan luks bagi pastor, misdinar, dan paduan suara. Sedangkan bagi ibu saya, ibadah di gereja dirasakan terlalu kompleks dan memakan terlalu banyak waktu. Padahal ia sendiri harus mengatur keluarga dengan dua belas anak di rumah. Ia selalu memiliki cara untuk tidak pergi ke gereja: kepalanya terasa pening setelah menghadiri ibadah gereja yang ramai. Dia lebih senang bermeditasi di depan patung Bunda Maryam di dalam kapel kecil, di bagain belakang gereja induk. Waktu lima sampai sepuluh menit, dirasa sudah cukup baginya. Para ahli agama menyebut perbedaan ini sebagai official versus popular religion, atau bisa juga disebut high versus low church. Ibu saya juga suka berziarah ke Roma, ke Lourdes, dan ke tempat ziarah yang lebih sederhana di dekat rumahnya. Kenyataan yang sama dapat dijumpai pula di dalam Islam. Ada yang berusaha menghafalkan Al-Qur’ān dan kitab-kitab fiqh, tetapi ada pula yang mengikuti tukang jimat, dan berziarah ke kubur. Sehubungan dengan itu semua, saya sendiri mendapat pendidikan teologi Katolik yang mendalam dan dekat dengan official, high church. Namun secara psikologis, saya senang juga terhadap orang-orang “sempalan” tersebut karena mereka itu tidak begitu teratur, avonturir, dan pembaharu yang 214
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
benar. Mereka juga mementingkan tradisi lokal untuk melawan Islam internasional yang menggejala secara sama di mana pun mereka berada. Untuk meneliti Islam di Indonesia, tentu akan lebih menarik jikalau peneliti lebih memberikan perhatian kepada corak lokal yang istimewa itu daripada hanya memperhatikan corak Islam internasional yang umum itu. Praktik salat bisa dikatakan hampir identik di semua tradisi Islam. Ketika saya mengajar di McGill pada periode tahun 1992-1993, diselenggarakan salat Jumat sesudah makan siang, di kantin mahasiswa. Meja yang ada ditarik ke belakang, lantai dibersihkan dan ditutup dengan karpet, dan para mahasiswa, baik yang bercorak Sunni maupun Syi’ah, melakukan salat bersama. Peristiwa yang sama juga terjadi pada saat merayakan Maulid Nabi. Hanya saja pada saat-saat tertentu, ada sementara orang-orang Syi’ah yang memulai dengan menyanyikan lagu tertentu. Sekonyong-konyong semua kaum Syi’ah berdiri, melagukan nazam itu, satu-dua menit, lalu duduk dengan tenang dan penceramah melanjutkan dengan bahasa Inggris. Untuk memperlihatkan corak lokal dari Islam di Indonesia, perlu terlebih dahulu meneliti dan memberikan perhatian besar kepada konflik yang terjadi, yang disebabkan karena faktor agama. Seorang ahli filsafat bernama Herakleitos pernah mengatakan: polemos panton pater atau ‘perang adalah ayah untuk semua’. Pengamat yang berasal dari luar senang melihat terjadinya perubahan dan tidak hanya mau menekankan hadirnya stabilitas dan kontinuitas di dalam agama. “Tuhan Kita Tak Tertidur” dan “Kitab Suci atau Kertas Toilet” Untuk meningkatkan kualitas para dosen di IAIN Yogyakarta, Mukti Ali telah mengawali penyelenggaraan diskusi Jumat Malam (Malam Sabtu) pada tahun 1970-an. Para dosen diundang untuk membeberkan hasil penelitiannya ataupun pokok pengajaran yang mereka ajarkan. Beberapa kali saya juga mendapatkan giliran ini. Paper yang saya presentasikan kala itu berjudul Tuhan Kita Tak Tertidur. Judul ini saya ambil dari Ayat Kursi, Albaqara 2:255. Allah! Tiada Tuhan selain Ia, Yang Hidup, Yang Berdiri Sendiri, Tiada pernah Ia mengantuk, Dan tiada pernah Ia tidur... GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
215
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
Ayat ini, merupakan salah satu ayat yang paling laris untuk dibuat kaligrafi, baik untuk dijadikan jimat ataupun untuk berdoa secara cepat, dan rumusannya pun mendekati rumusan di dalam Mazmur 121:4. Pertolongan-Ku ialah dari Tuhan, yang menjadikan langit dan bumi. Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap. Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel… Dalam peribadatan kuno pada masa pra-Kristen dan pra-Islam di Timur Tengah, di Mesir hingga Libanon, Syria dan Irak, terdapat sebuah kamar kecil yang gelap yang disediakan untuk dewa tertinggi, sedangkan untuk para pendeta dan orang awam disediakan ruangan yang jauh lebih besar. Mengapa? Karena dianggap bahwa sang dewa bisa tidur dengan nyaman di tempat yang kecil, tenang, dan gelap itu. Ini mengingatkan kita pada kisah Nabi Elia/Ilyas sebagaimana dapat dilihat di dalam Kitab Suci orang-orang Ibrani: 1 Raja-raja 18:27. Dalam hal ini kita juga harus mengingat bahwa pernah terjadi perdebatan antara para ahli Yahudi atau rabi mengenai hari ketujuh atau hari Sabtu/Sabat. Dalam Kitab Taurat, kita membaca bahwa Tuhan menciptakan dunia seisinya dalam waktu enam hari dan enam malam. Tuhan pun “beristirahat” pada hari ketujuh. Akan tetapi Tuhan selalu menopang dunia ini, sebab tidak mungkin dunia berada tanpa Sang Pencipta. Oleh sebab itu, diambillah kesimpulan atau kompromi bahwa Tuhan memang beristirahat, tetapi tidak sampai tertidur. Inilah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa dunia Al-Qur’ān dan aqidah Yahudi serta Kristen memiliki hubungan yang dekat sekali. Yang paling menonjol ialah kisah para nabi, dimulai dari Adam sampai Nabi Yesus/Isa atau Nabi Jurjus, yang dalam sejumlah kisasul anbiya disebut sebagai nabi terakhir sebelum Nabi Muhammad. Dalam perkembangan karier ilmiah saya di Eropa, saya telah mendalami lebih lanjut tema ini dan terbitlah sebuah buku berjudul Adam Redivivus: Muslim Elaborations of the Adam Saga with Special Reference to the Indonesian Literary Tradition (Zoetermeer: Meinema, 1998), di samping buku berjudul The Jesus Verses of the Qur’ān (teks asli bahasa Belanda, 2006; terjemahan Inggris pada tahun 2011, Hyderabad: Henry Martin Institute).
216
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
Syafaatun al-Mirzanah dan Ibadat Misa di Eropa Pada periode awal studi saya mengenai Islam di Indonesia, saya memusatkan perhatian utamanya pada perkembangan internal masyarakat Islam, seperti misalnya, perkembangan pendidikan di pesantren dan sejarah Islam pada abad ke-19. Namun setelah saya kembali ke Eropa, saya harus mengajar tidak hanya kepada para mahasiswa/i Islam, tetapi juga mahasiswa/i Kristen. Oleh karena itu, tema perjumpaan Kristen-Muslim lebih sering mengemuka. Dalam hal ini saya selalu membela adanya variasi internal dalam suatu agama dan sekaligus juga membela terjadinya hubungan batin antara Kristen dan Islam. Salah seorang mahasiswi saya di Yogyakarta, yakni Syafaatun al-Mirzanah, telah menulis skripsi doktoral (setara dengan tesis master sekarang) mengenai pastor Jesuit dari Sri Lanka: Aloysius Pieris; yang berusaha mencari sintesis antara Buddha dan Kristen, baik dalam ajaran maupun dalam praktik. Di kemudian hari Syafaatun tiba di Utrecht dalam rangka persiapan menulis disertasi doktor mengenai dua tokoh tasawuf: Ibnu Arabi dan Meister Eckhart dari Köln/Cologne di Jerman. Ia tidak hanya mendasarkan diri pada data buku, tetapi juga berdasarkan pengalaman lapangan. Pada suatu hari minggu kami pergi bersama dengan menggunakan kendaraan mobil dan melakukan perjalanan selama 2,5 jam menuju ke Köln untuk mengikuti ibadat misa di gereja di mana Meister Eckhart pernah memimpin ibadat dan melayankan khotbahnya. Pada saat roti dibagikan untuk komuni, Syafaatun bertanya kepada saya apakah dia boleh mengambil roti untuk komuni tersebut. Saya mengatakan: “Jangan di sini!” Dia kemudian bertanya kepada pastor di sana juga mengenai hal ini dan dia mengatakan bahwa semua orang yang menerima baptisan juga boleh menerima roti komuni, terserah dari gereja mana, pokoknya dari semua gereja Kristen. Sebaliknya kalau belum menerima baptisan, tidak diperkenankan mengambil roti komuni tersebut. Di hari minggu berikutnya, kami pergi bersama ke biara pastor Dominikan di Belanda; ordo atau tarekat di mana juga Meister Eckhart menjadi anggotanya. Tempatnya di desa Huissen, dekat Arnhem, Belanda Timur. Di sini Syafaatun bertanya kembali mengenai roti komuni dan saya pun menjawab: “Ya, di sini boleh mengambil.” Sehabis ibadat misa usai, ia pun juga bertanya kepada pemimpin ordo di tempat itu dan memperoleh jawaban: “Siapa saya, yang bisa melarang seseorang, yang melalui roti komuni tersebut, bermaksud mencari pengalaman dalam menjalin hubungan batin dengan Yesus/Isa?” Bersamaan dengan itu saya pun teringat kembali GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
217
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
akan perdebatan yang terjadi dengan Kiai Imam Zarkasyi di Gontor, mengenai boleh tidaknya mengikuti salat di pesantren! Jangan Berpikir bahwa Ahli Islam atau Ahli Agama Akademis Bisa Mengubah Dunia Ini! (2001) Setelah mengikuti acara seminar di Jakarta, pada tanggal 25-27 September 2001, yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa dan Budaya di IAIN/UIN Jakarta, saya sempat menjumpai Din Syamsuddin di airport. Selama menunggu penerbangan Din ke Semarang, dan saya ke Palembang, kami berdua sempat berbicara dalam waktu yang cukup lama di ruang tunggu pesawat. Saya mengenal Din sejak tahun 1981 hingga tahun 1983, yakni ketika ia masih berstatus sebagai mahasiswa Usuluddin di Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia menjadi salah satu anggota kelompok yang sejalan dengan seorang ahli ekonomi pembangunan Dawam Rahardjo dan lembaga LP3ES. Saya membimbing skripsi doktoralnya di sekitar bidang studi Irenologi atau Studi Perdamaian sebagaimana dikembangan di Universitas Groningen di Belanda saat itu. Menurut studi ini, perang benar-benar bisa terjadi karena adanya perbedaan, bahkan pertentangan antara yang kaya dan yang miskin. Orangorang dan negara-negara kaya cenderung mau menaklukkan orang-orang dan negara-negara miskin. Hanya dengan mengurangi derajat perbedaan antara yang miskin dan kaya, maka perdamaian bisa tercapai. Pada saat diselenggarakan pertemuan pada tahun 2001 Din telah menjadi Ketua Umum MUI yang menghasilkan fatwa terhadap ancaman politik, karena Amerika hendak menyerang Afghanistan yang ternyata memberikan perlindungan kepada Usama bin Laden. Dalam suasana panas saat itu, MUI merumuskan fatwa, yang menegaskan bahwa seandainya masyarakat Islam di Afghanistan diserang oleh kaum kafir Amerika, maka ukhuwa islamiya memohon agar Muslim dari Indonesia rela membela saudara-saudara mereka di Afghanistan dengan melakukan jihad fi sabilillahi. Kami berdebat mengenai hal ini. Saya menyitir ucapan Sri Paus yang ia ucapkan ketika sedang berkunjung ke Kazakhistan. Sebagai Paus yang belum lama dilantik, ia berketetapan untuk tetap berkunjung ke Kazakhistan walaupun telah terjadi serangan di New York dan Washington di samping juga adanya ancaman perang di Afghanistan. Di saat perkunjungan itulah Paus mengatakan bahwa krisis antara Muslim dan Kristen/Barat harus diselesaikan melalui dialog secara damai. Karena itu respons yang lebih tepat bukanlah dengan membuat fatwa mengenai jihad, tetapi membuat deklarasi 218
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
bersama di antara para tokoh agama di Indonesia guna menyerukan perlunya dialog dan perdamaian, melalui perundingan politik. Din Syamsuddin tidak setuju terhadap pandangan ini. Alasanya ialah: pertama, memang demikianlah ajaran Islam mengenai perang atau jihad sebagai aksi bela diri, terhadap kemungkinan adanya serangan dari pihak musuh. Kedua, Din merasa telah berulang kali berdialog dengan para pemimpin gereja, namun hasilnya dirasa tidak efisien. Ini nampak dalam hal bahwa mereka tiada hentinya melaksanakan program kristenisasi di Indonesia. Mereka telah menghabiskan seratus juta dolar untuk Minangkabau dan telah menghasilkan seratus orang Kristen baru di Sumatra Barat. Program kristenisasi seperti ini pun terjadi di Maluku. Din memandang bahwa dialog merupakan program yang bagus bagi para akademisi dan aktivis perdamaian namun tidak bagi kehidupan praktis sehari-hari. Para aktivis ini cenderung bersikap naif dan kurang memahami arus politik praktis. IAIN pun merupakan lembaga yang tidak berhubungan langsung dengan realita kehidupan sosial yang keras. Din tidak melihat dirinya sebagai seorang ekstremis: itu hanya gambaran yang diciptakan oleh dunia Barat guna menyerang Islam. Pada saat itu sudah terjadi sweeping hotel di Surakarta untuk melihat apakah masih ada turis/ tamu Amerika di sana. Anggota FPI dalam hal ini tidak dapat gangguan dari polisi, walaupun jumlah turis menurun dan rupiah sudah turun 10%. Ya, kenyataan politik dalam negeri bisa begitu. Pertukaran Merupakan Misi Kami Studi agama-agama di universitas Barat pada umumnya dipisahkan dari studi ilmu teologi, dan digolongkan ke dalam studi ilmu agama. Sering kali muncul pemahaman bahwa “ilmu agama” merupakan studi yang lebih bersifat objektif, sedangkan studi “ilmu teologi” dimengerti sebagai studi yang berkenaan erat dengan pengajaran agama atau gereja tertentu, atau paling tidak terkait erat dengan aqidah agama atau aliran tertentu yang lebih bersifat subjektif. Pemisahan seperti ini memang dapat dipahami walaupun tidak realistis dan tidak cocok dengan kenyataan yang ada. “Studi agama-agama” yang benar-benar 100% objektif tentu tidak ada, demikian pula “teologi” yang semata-mata hanya mengajarkan aqidah aliran tertentu yang bersifat subjektif akan kehilangan makna keilmuannya yang bersifat kritis dan kreatif. Perbedaan yang lain ialah bahwa ilmu agama/teologi “sistematis” memerhatikan hasil-hasil filsafat, serta menggunakan istilah-istilah yang GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
219
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
dikembangkan dari dunia filsafat. Kenyataan seperti ini dipertentangkan dengan ilmu agama/teologi yang bersifat “positif”, yang banyak menggunakan fakta sejarah, sosiologi, dan psikologi ataupun fakta literer, antara lain analisa sastra terhadap kitab suci dan mungkin beberapa naskah lain, seperti: talmud, hadith, dan tulisan-tulisan orang-orang yang berwibawa pada abad-abad pertama sejarah kekristenan, seperti misalnya: Origenes, Augustinus, dan Johannes Damascenus. Pemisahan kedua jenis ilmu agama dan teologi ini masuk akal dan menunjukkan bahwa ilmu tidak merupakan wilayah terpisah, namun sebaliknya bisa memanfaatkan ilmu-ilmu yang lain, seperti misalnya: analisa sastra, ilmu sejarah, sosiologi, dan psikologi. Salah satu jurusan dalam ilmu agama/teologi adalah dakwah atau yang di dalam dunia Kristen disebut dengan sebutan misiologi. Ini merupakan ilmu komunikasi yang berusaha mengomunikasikan ajaran atau pesan dari agama tertentu. Pada masa lampau, misiologi sering digabungkan dengan gagasan bahwa seluruh dunia sebaiknya dikristenkan. Untuk itu, maka misiologi harus memberikan analisis budaya agar dengan demikian, kristenisasi dapat berlaku dengan baik. Di antara kaum liberal, gagasan seperti ini tidak dapat lagi diterima sejak tahun 1960-an. Orang-orang Kristen tidak perlu mengharapkan bahwa seluruh dunia akan menjadi anggota salah satu gereja Kristen tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia secara beraneka ragam seperti tersirat dari Surat al-Ma’idah 5:48. Apa yang dikatakan di dalam ayat ini rasanya tepat juga diketahui oleh orang Kristen: “Sekiranya Allah menghendaki, tentulah ia jadikan kamu satu umat, tetapi maksud-Nya hendak menguji kamu dalam apa yang diberikan-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lomba kamu dalam kebaikan. Kepada Allah kamu kembali semuanya.” Atas dasar pemahaman seperti itu, maka kuliah misiologi diganti dengan matakuliah teologi interkultural sampai pada akhirnya saya memasuki masa pensiun dari status saya sebagai Professor of Intercultural Studies di Utrecht. Secara praktis teologi interkultural diterapkan pada dua bidang: 1. Penelitian mengenai perubahan agama Kristen di benua lain, di luar Eropa, khususnya di Afrika dan Asia. 2. Penelitian mengenai hubungan Kristen dan Islam, baik dalam bidang ajaran, aqidah, maupun sejarah dan kenyataan modern. Karenanya majalah yang diterbitkan oleh departemen teologi telah diberi nama: Exchange, karena semboyannya ialah: “Exchange is our mission” (‘Pertukaran merupakan misi kami’).
220
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
Akhirul Kalam Sesudah mengajar selama tujuh tahun di Indonesia (1981-1988), maka dalam sebuah acara perpisahan, saya berkesempatan memberikan kuliah umum dengan membahas pokok masalah berjudul Kitab Suci atau Kertas Toilet? Nuruddin ar-Raniri dan Agama Kristen. Dalam kuliah ini saya memberikan analisis bagaimana Nuruddin ar-Raniri kadang-kadang bisa bersikap sangat keras terhadap agama lain, tetapi pada saat yang sama tetap dapat menghormati Yesus/Isa dalam tulisannya. Ya, begitulah Kristen dan Muslim sering merupakan Kawan dalam Pertikaian, seturut dengan judul buku lain yang saya susun sebagai sejarah Kristen dan Muslim di Indonesia, khusus berkenaan dengan zaman kolonial. Ceramah terakhir pada tahun 1988 berkenaan dengan kisah Yakub yang telah bekerja bagi pamannya selama tujuh tahun sebelum mendapatkan isteri pertamanya Lea, yang tua, yang tidak begitu cantik. Kemudian Yakub harus bekerja tujuh tahun lagi untuk mendapat anak lain dari Laban, adik Lea, yakni Rachel yang cantik. Berdasarkan kisah ini saya pun berkata: Mungkin ada orang yang berpikir: Steenbrink sudah bekerja tujuh tahun di Kampus IAIN, di Daru’l Islam yang sesungguhnya, tetapi ia belum benarbenar masuk Islam. Ia hanya mendapatkan Lea, sang kakak. Islam, agama yang termuda, terbagus dan tercantik, belum ia dapatkan. Ya, mungkin saya harus bekerja tujuh tahun lagi di tempat yang jauh dari tempat asal. Atau mungkin ayat berikut ini, yang juga menyebut Nabi Ya’kub (Al-Baqarah, 2:136), bisa memberikan jawaban tertentu: Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan kepada yang diturunkan kepada kami, kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail, Ya’kub dan anak cucunya. Kami beriman kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan apa yang diberikan kepada para nabi dari Tuhannya. Kami tiada beda-bedakan yang satu dari yang lain antara mereka dan kami berserah diri kepada Tuhan: wa nahnu lahu muslimūn.
Beberapa Kesimpulan 1. Ilmu agama, dan tentu juga islamologi sebagai studi agama Islam, merupakan ilmu yang menggunakan metodologi ilmu budaya dan ilmu sosial/politik. Melalui metodologi ilmu budaya dilakukanlah analisis GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
221
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
atas naskah dan ajaran kuno, dan dirumuskanlah makna kehidupan yang bersumber pada agama mereka, bagi orang-orang beriman. Sementara itu, melalui metodologi ilmu sosial dilakukanlah analisis terhadap organisasi keagamaan, serta fungsi agama di tengah-tengah masyarakat. Sebaiknya para islamolog tidak memisahkan diri, tetapi sebaliknya senantiasa menjalin kerja sama erat dengan para ilmuwan di kedua disiplin ilmu tersebut. 2. Melalui analisis sastra dan seni, bisa ditemukan adanya sastra yang bagus, sederhana, maupun yang jelek sekalipun. Namun, penilaian seperti ini tidak bisa diberlakukan sebagai yang mutlak seperti yang terjadi di dalam ilmu kedokteran (ada makanan sehat, makanan beracun) atau ilmu hukum (ada perkara yang benar atau melawan hukum). Senada dengan kenyataan ini, para ahli agama ataupun para islamolog, juga tidak memiliki kriteria yang benar-benar mutlak mengenai agama mana yang dipandang sebagai yang baik, yang lemah, bahkan yang jelek. Walaupun demikian, ilmu agama tentu bisa membuktikan bahwa pemikiran Augustinus dan Al-Ghazali misalnya, jauh lebih mendalam, dan bermakna dibanding dengan orang-orang seperti Billy Graham ataupun A.A. Gym. 3. Bagi ilmu agama, secara teoretis tidaklah begitu penting apakah penelitian itu dilaksanakan oleh penganut agama itu sendiri, penganut agama lain, atau bahkan orang yang dikategorikan sebagai ateis. Walaupun demikian, orang yang cenderung bersikap negatif kepada agama, pasti akan mengalami kesulitan dalam meneliti agama secara jujur. Begitu pula orang yang mengenal hanya satu (aliran) agama saja, juga akan mengalami hal yang sama, karena pengetahuan mengenai perbandingan agama, akan sangat membantu dalam melakukan analisis terhadap agama. 4. Ilmu agama bisa bersifat praktis: bisa membantu agama dalam proses menyesuaikan diri di tengah-tengah kehidupan zaman modern ini. Ilmu tersebut bisa membantu agama dalam melaksanakan relasi harmonis dengan agama-agama lain. Walaupun demikian, para akademisi ini perlu sadar diri bahwa pengaruhnya tidak akan terlalu besar. Kenyataan yang terjadi ialah bahwa para pemimpin agama sering bersifat keras kepala dan tidak mau mendengarkan kritik ataupun saran dari para akademisi yang telah berhasil menulis buku-buku yang tebal.
222
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
KAREL STEENBRINK
DAFTAR PUSTAKA Bakker, Freek. 2006. “Karel Steenbrink on the Edge of Many Worlds: Exchange is our Mission”. Dalam Freek Bakker (ed.). On the Edge of Many Worlds. Festschrift Karel Steenbrink. Zoetermeer: Meinema, 15-25. Muslim, Muhammad. 2003. Religious Studies. Problem Hubungan Islam dan Barat: Kajian atas Pemikiran Karel A. Steenbrink. Yogyakarta: Belukar. Steenbrink, Karel. 1988. Kitab Suci atau Kertas Toilet. Nuruddin ar-Raniri dan Agama Kristen. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. _____ . 2003. “Kun je als Katholiek ook Moslim zijn? Ontmoetingen met Moslims in Indonesië”. Dalam Ilse N. Bulhof, Marcel Poorthuis, dan Vinod Bhagwandin (ed.). Kampen:Klement, 51-66. _____ . 2008. “Werken in de Wijngaard van de Moslim buren”. Dalam Wil van den Bercken (ed.). Tussen Professie en Confessie. Wat geloven Theologen? Budel:Damon, 141-155. _____ . 2010. “Hiburan Haram atau Jalan ke Tuhan”. Dalam H.A. van Dop (ed.). Seberkas Bunga Puspa-Wara. Book of friends, 75 tahun Pendeta H.A. van Dop. Jakarta: Yamuger. Tule, Philippus. 1994. “The Study of Islamology ub Catholic Higher Education in Indonesia”. Dalam Zainuddin Fananie (ed.). Studi Islam Asia Tenggara. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 203-212 (di sini juga terdapat kontribusi dari: Djaka Soetapa dan Chris Marantika). Lampiran DATA POKOK KAREL STEENBRINK 1942
Lahir di Breda.
1967-1970
Studi M.A. Teologi Universitas Katolik Nijmegen.
Maret 1970-Maret 1971
Studi Lapangan, Pesantren di Indonesia.
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
223
OTOBIOGRAFI SEORANG ISLAMOLOG INDONESIA (1970-2012)
1974
Membela disertasi di Nijmegen, yang kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Pesantren, Madrasah, Sekolah. Pendidikan Agama di Indonesia dalam Kurun Moderen (Jakarta, LP3ES 1986).
1972-1978
Mengajar pendidikan agama di Sekolah Menengah Bekkers College di Eindhoven.
1978-1979
Memimpin program studi sembilan dosen IAIN di Leiden, Belanda.
1981-1988
Dosen tamu di IAIN Jakarta dan Yogyakarta.
1989-2007
Meneliti dan mengajar di IIMO, Intercultural Theology, di Utrecht (1992-3 Visiting Professor Islamic Studies, McGill University, Montreal).
Catatan Akhir Bahan dasar tulisan ini telah dipresentasikan dalam Pertemuan Nasional Asosiasi Sarjana Islamologi Indonesia pada tanggal 15-30 November 2013 di Kupang, Indonesia. 2 Kritik pernah disampaikan kepada Clifford Geertz yang menulis buku berjudul The Religion of Java bahwa Geertz tidak pernah menyebutkan isi buku yang dipakai di dunia pesantren. 3 Kuisioner dipakai oleh ahli psikologi James Peacock dalam bukunya mengenai perbedaan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, Muslim Puritans (1978). Kuisioner dan metode analisa data kuantitatif juga dipakai dalam proyek besar di bawah bimbingan sarjana Nijmegen Carel Sterkens mengenai persepsi Kristen dan Muslim di Asia Tenggara terhadap orang yang berbeda beragama. 4 Agaknya Zarkasji menduga bahwa saya tidak terlalu serius mengenai seluk-beluk wudu ini. 5 Pada saat itu Masyumi dibubarkan dan para anggotanya dinonaktifkan dari dunia politik. 6 Mereka itu ialah Chalidjah Hasanuddin, Burhan Daya, Muhammad Chatib Quzwain, Alfani Daud, dan Husnul Aqib Suminto. 7 Dapat dibaca di dalam disertasi, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta:LP3ES, 1985. 8 Untuk seksi ini lihat juga Steenbrink (2010). 1
224
GEMA TEOLOGI Vol. 38, No. 2, Oktober 2014
PINTU MASUK FILSAFAT CINA Nazar Husain HPW e-mail: nazarhusain80@ yahoo.co.id
ABSTRAK Tulisan ini mencoba mengetengahkan rekam jejak perjalanan Cina hingga mampu mencapai puncak kejayaan. Sebuah tulisan yang berusaha menguak fenomena keajaiban Cina dalam abad modern melalui kajian filsafat. Penulis mulai dengan akar sejarah awal mula peradaban Cina, Banyak Pemikiran di Cina yang berpengaruh di negara Raksasa Asia itu. Salah satunya adalah pemikiran Confusius yang diajarkan oleh guru bangsa Cina. Kedua, kedudukan filsafat adalah ajaran Cina Filsafat mereka mengungkapkan serta menghargai nilai-nilai adi-susila, dan dengan jalan hidup menurut filsafat mereka menghayati nilai-nilai adi-susila ini. ketiga, Filsafat Cina dalam dunia Modern. A. Pendahuluan Di Kawasan Benua Asia salah satu negara yang diperhitung-kan dalam percaturan ekonomi, idiologi, filsafat ialah Negara Cina. Dalam Buku ”Cina Negara Raksasa Asia, Rahasia Sukses Cina Menguasai Dunia ” yang ditulis oleh A. Zainurrofiq berusaha me-nyingkap rahasia dibalik kemajuan Cina. Penulis menerima pendapat tersebut, tidak berlebihan jika disebut sebagai Cina Raksasa Asia. Dari dimensi kehidupan, ekonomi, budaya, peradaban, bahkan olah raga dan teknologi, hal itu semua unggul dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia. Yang menjadi pertanyaan awal sejak apa sebenarnya yang menjadi rahasia dibalik kesuksesan Cina tersebut?. Bagaimanakah cara menciptakan peradaban yang begitu agung, megah dan maju pesat ? Beberapa aspek pertanyaan menarik tersebut tidaklah cukup bisa dibahas dalam satu artikel yang terbatas ini. Penulis akan mengenalkan pembahasan dari segi akar sejarah, kedudukan filsafat dalam peradaban cina, filsafat cina dalam dunia modern. 55
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
B.
Pembahasan
1.
Akar Sejarah Bagi penulis, kemajuan yang dicapai Cina sekarang ini tidak bisa lepas dari akar sejarah peradaban Cina yang telah dibangun selama ribuan tahun. Peradaban Cina lahir dari zaman Dinasti Sang (1766-1122 SM), Dinasti Zou (1122-256 SM), Dinasti Qin(221-206 SM), Dinasti Han (206 SM-221 M), Dinasti Sui (581-618 M), Dinasti Tang (618-906 M), Dinasti Song (960-1268), Dinasti Yuan (1279-1368 M), Dinasti Ming (1368-1644 M), Dinasti Qing (1644-1912 M) hingga zaman modern ini.1 Selama kurun waktu tersebut Cina telah membangun peradabannya secara eksis, meski mengalami pasang naik dan pasang surut. Tidak salah bila Pearl Pearl S Buck, dalam ”The Good Earth” melukiskan tentang peradaban Cina yang dinilai menyimpan sejuta khasanah peradaban. ”Mengapa Cina mampu bertahan adalah karena penduduknya mampu membangun suatu peradaban yang praktis sehingga tidak mudah hancur. Peradaban ini tidaklah selalu memiliki struktur yang ketat. Orang Cina, disamping bukan termasuk orang yang mudah berubah, merupakan orang yang mampu menyesuaikan ketika tiba saatnya berubah. Pada dasarnya, orang Cina adalah orang yang praktis. Mereka tak terlalu terikat pada adat istiadat, atau tradisi, atau bahkan agama, hanya karena memang demikian. Tatkala mereka melihat bahwa ada sesuatu yang tak beres, mereka segera mengubahnya”.2 Namun, peradaban Cina bisa bertahan sedemikian kuat bukan tanpa sebab. Bagi penulis, peradaban Cina banyak dipengaruhi oleh pemikiran konfusius yang diajarkan oleh guru bangsa Cina, Kong Fuzi yang lahir pada tahun 551-472 SM di zaman Dinasti Zou(1122-256 SM). Kong Fuzi adalah ahli filsafat yang mengajarkan tentang prinsip kehidupan berdasarkan moral kebajikan(Ren). Ajaran kebajikan ini mendasari lahirnya filsafat konfusius
1
Fung Yu-Lan, Sejarah Filsafat Cina, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007,
h. 20-33 2
A. Zainurrofiq, China Negara Raksasa Asia, Rahasia Sukses China Menguasai Dunia ” Yogyakarta ; Arruz Media Group, Cetakan : Pertama, 2009, h. 76
56
Pintu Masuk Filsafat Cina
ISSN. 1907-0993
yang menjadi landasan masyarakat Cina dalam ber-adat istiadat dan tatakerama (li) dan gaya hidup(Dao) untuk berkarya tanpa pamrih dan rela berkorban untuk orang lain. Dengan spirit ajaran konfusius, masyarakat Cina mencapai puncak kejayaan. Sepeninggalnya konfusius, beragam berbagai cabang ilmu pengetahuan ditemukan. Salah satunya adalah di bidang teknologi, seperti ditemukannya kertas semasa Dinasti Han, alat gerobak di era Dinasti Wu, peta semasa Dinasti Jin, kompas semasa Dinasti Song, dan sederet penemuan lainnya.3 Meski demikian, Ajaran konfusius tidak mendapat dukungan terus menerus dari para pemimpin Cina. Sewaktu Cina memasuki masa penyatuan dengan berdirinya Republik Rakyat Cina (RRC) di bawah kepemimpinan Mao Ze Dong, pada tanggal 1 Oktober 1949, ajaran konfusius pernah ditentang habis-habisan. Bagi Mao Ze Dong, konfusius adalah sebuah ajaran yang menghambat kemajuan Cina. Ia menilai konfusius adalah bentuk warisan feodal dan sarat kapital. Itulah sebabnya, Mao melakukan gerakan revolusi dengan melibatkan kaum buruh tani sebagai kekuatan revolusioner dalam membangun kekuatan komunis Cina. Revolusi ini kemudian dikenal dengan istilah revolusi kebudayaan proletar. Untuk mewujudkan revolusi ini, maka berbagai proyek industri dibangun. Seperti pabrik peleburan baja di Wuhan dan Baodou(Mongolia Dalam), Pabrik Baja di Anshan, Pabrik mobil di Zhangzhun, pabrik traktor di Louyang dan Harbin serta pabrik pengilangan minyak di Lanzhou. Namun, yang menjadi ironis, revolusi ini telah menelan korban 250.000 hingga 500.000 jiwa akibat penderitaan fisik dan jiwa dari kamp-kamp kerja paksa.4 Tahun 1976 Mao wafat. Kepemimpinan Cina kemudian dipegang Deng Xiaoping. Deng melakukan kebijakan reformasi melalui sistem tanggung jawab(Zerenzhi). Dalam sistem ini setiap pekerja tani tidak lagi bekerja bersama dalam sebuah komune, melainkan melakukan perjanjian dengan pemerintah administratif setempat untuk mengerjakan sebidang 3
http://internasional.kompas.com/read/2010/04/06/02492211/Rahasia.Dibal ik.Kemajuan.China.diunduh 4 A. Zainurrofiq, Op.Cit, 77
Nazar Husain HPW
57
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
tanah tanah dan mendapatkan keuntungan langsung. Perlahan, tapi pasti, perekonomian Cina mengalami peningkatan. Tahun 1982 saja, Pendapatan petani mengalami kenaikan sebesar 6,6 persen setahun. Kebijakan reformasi Deng menimbulkan perekonomian Cina akhirnya berkembang pesat dari tahun ke tahun. tahun 1978-1995, misalnya GDP Cina tumbuh 8 persen. Begitu pula dengan tahun berikutnya yang berkembang begitu pesat Bagi Ainurrofiq, keberhasilan kepemimpinan Deng ini tidak lepas dari ajaran konfusius yang menjadi prinsip gerakan Deng dalam setiap pengambilan kebijakan. Pada tahun 1976 Mao Zedong meninggal dunia. Setelah itu Republik Rakyat Cina menjadi semakin terbuka. Normalisasi hubungan diplomatik dengan Indonesia juga terwujud pada tahun 1992. Pada saat ini Cina tampil sebagai sebuah raksasa yang baru bangun dari tidurnya dan pertumbuhan ekonomi sangat pesat. Bahkan Cina bisa melampaui Rusia dalam perkembangannya. Hal yang dipertentangkan sekarang ialah apakah ini semua bisa diraih berkat jasa-jasa Mao atau karena pengaruhnya sudah tipis. 2.
Kedudukan Filsafat dalam Peradaban Cina
Indonesia dan Cina adalah sama-sama negara agraris, yang membedakannya adalah petani di Indonesia tidak bangga menjadi seorang petani, tidak demikian petani dari negara cina. Hal tersebut didukung oleh pandangan kuno di cina bahwa kasta atau hirarki kehormatan orang cina adalah shih, nung, kung, shang (para sarjana, para petani, para pekerja tangan, serta para pedagang). Dilihat dari hirarki kasta tersebut petani mendapatkan tempat yang terhormat di bawah cendikiawan atau sarjana. Orang-orang cina beranggapan bahwa petani adalah akar dari kehidupan, dan instrumen lain adalah cabang. Pedagang, pengusaha, pejabat menurut mereka adalah cabang. Pandangan hidup tersebut masih kekal sampai sekarang dan hal tersebut yang mendorong para petani cina dapat membuktikan produksi pertaniannya bisa dinikmati sampai di Indonesia bahkan bisa sampai di negara-negara benua asia. Kedudukan filsafat di Cina sering disamakan dengan agama, terutama di kalangan kaum cerdik pandai. Hampir setiap agama yang timbul 58
Pintu Masuk Filsafat Cina
ISSN. 1907-0993
di Cina mengandung ajaran filsafat yang tinggi. Bagi orang Cina filsafat dapat membawa manusia kepada kepuasaan terhadap keinginannya untuk mengerti dan memahami sesuatu yang ada dibalik dunia mi5 Bahkan menurut Fung Yu6 orang-orang Cina berkepri-badian kefilsafatan. Dalam filsafat tercukupi kedambaan mereka akan sesuatu yang terdapat dibalik dunia nyata. Filsafat mereka mengungkapkan serta menghargai nilai-nilai adisusila, dan dengan jalan hidup menurut filsafat mereka menghayati nilainilai adi-susila ini. Fungsi filsafat menurut tradisi Cina digunakan untuk: meningkatkan kejiwaan manusia, memahami segala sesuatu yang ada di balik dunia ini, dan mencapai nilai yang lebih tinggi dan pada nilai moral,7 Meningkatkan taraf kejiwaan manusia artinya dengan berfilsafat orang akan tahu tentang dirinya sendiri bahkan menurut Mencius “segala sesuatu sudah lengkap di dalam diriku”8 Dengan demikian manusia dalam menyelidiki segala sesuatu di dunia ini harus selalu introspeksi dan mawas diri. Dengan filsafat diharapkan manusia bisa memahami hal-hal yang ada di balik dunia ini. Dengan filsafat yang diketahui bukan sekedar gejala-gejala yang tampak saja, tetapi suatu makna atau kenyataan di balik semua yang tampak itu. Tentang nilai yang lebih tinggi dan pada nilai moral, artinya dengan berfilsafat orang akan melakukan suatu tindakan bukan karena ingin mendapatkan imbalan, tetapi karena perbuatan itu memang bernilai baik di dalam dirinya. Bentuk tertinggi yang ingin dicapai seorang manusia seharusnya menjadi orang yang bijaksana. Kemudian setelah ia berhasil selanjutnya kembali kepada masyarakat untuk ikut menyelesaikan masalahmasalah yang ada di masyarakat serta membantu untuk mencapai kebahagiaan 9menyatakan sebagai berikut: “According to the tradition of Chinese philosophy, its function is not the increase of positive knowledge (by positive knowledge I mean 5
Ibid, 24. Fung Yu-Lan, Op. Cit., h. 60 7 (Lasiyo, 1982: 23). 8 Soejono Soemargono, Sejarah Ringkas Filsafat Cina Sejak Confusius Sampai Han Fei Tzu, Liberty Yogyakarta. 1990 9 Fung Yu-Lan, Op. Cit., h. 23 6
Nazar Husain HPW
59
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
information regarding matters of fact), but the elevation of the mind ---a reaching out for what is beyond the present actual world, and for sthe values that are higher than the moral ones”. ”10 Jelaslah bahwa tugas filsafat dalam tradisi Cina bukan untuk menambah pengetahuan positif, tetapi untuk menaikkan taraf kejiwaan seseorang.
3.
Periodesasi Perkembangan Pemikiran Filsafat di Cina.
a) Zaman Klasik Zaman klasik terletak antara sekitar 600 dan 200 SM. Menurut tradisi, dalam periode ini dibedakan seratus sekolah filsafat, seratus aliran yang mempunyai ajaran yang berbeda. Namun demikian ada beberapa konsep yang diajarkan secara umum seperti tao (jalan), te (keutamaan atau seni hidup), yen (perikemanusiaan), i (keadilan), ti'en (surga), dan yin-yang (harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif laki-laki dan prinsip pasif perempuan). Sekolah-sekolah terpenting pada zaman klasik diuraikan secara ringkas sebagai berikut: b) Konfusianisme Konfusius (Latin = Kong-Fu-tse yang berarti guru dari suku Kung) hidup antara 551 dan 497 SM, mengajarkan bahwa Tao adalah jalan manusia. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia kalau ia hidup dengan baik. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan. Perikemanusiaan adalah model yang berlaku untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama, walaupun tindakan mereka berbeda.11 Pada masa kehidupannya telah diakui sebagai orang yang berpengetahuan sangat luas. Sebagai contoh salah seorang yang hidup sezaman dengannya mengatakan tuan Kung memang seorang yang agung,
10
Fung Yu-Lan, Short History of Chinese Philosophy, The Macmillan Company New York, 1960. H. 85 11 Fung Yu-Lan, Op. Cit., h. 60
60
Pintu Masuk Filsafat Cina
ISSN. 1907-0993
pengetahuannya sangat luas hingga ia tidak dapat disebut dengan satu nama saja. Mari kita melihat rencana hidup confusius dalam ajarannya: “Pada usia lima belas tahun, saya tetapkan hati saya pada ilmu, pada usia tiga puluh tahun saya dapat mengambil sikap, pada usia empat puluh tahun saya tidak mempunyai kebimbangan, pada usia enam puluh tahun saya telah mematuhi. Pada usia tujuh puluh tahun saya telah mengikuti kehendak jiwa saya tanpa melampaui batas”.12 Dari pernyataan Confusius di atas bisa kita ambil nilai bahwa manusia dalam menjalani hidup harus ada periodesasi dimulai dari usia 15 tahun untuk menuntut ilmu dan ditutup pada usia 70 tahun dengan memberikan ilmu (memberikan kebijaksanaan) kepada orang lain. c) Taoisme Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (guru tua) yang hidup sekitar tahun 550 SM. Lao Tse melawan Konfusius. Menurutnya bukan jalan manusia melainkan jalan alamlah yang merupakan Tao. Dia mengajarkan Tao adalah prinsip kenyataan obyektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak, dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih bersifat metafisika, sedangkan Konfusius lebih ke etika.13 Penulis utarakan buku terakhir Chuang-tzu, berjudul dunia. Dikatakan bahwa gagasan-gagasan utama Lao-Tzu adalah yang maha tunggal (T’ai Yi) bukan yang tidak berubah, yang maha tunggal adalah Tao, dan Tao muncul satu dan oleh karena itu Tao sendiri adalah yang maha Tunggal, yang tiada berubah adalah terjemahan dari kata Ch’ang. Penerapan pandangan berubah dan tidak berubah menurut ajaran Tao adalah setiap manusia yang tidak memiliki perubahan disebut juga orang lapang. Lao tzu melihat orang yang lapang yaitu orang yang tidak punya prasangka buruk. Manusia yang tidak punya prasangka buruk menurut lao tzu adalah orang yang memiliki wawasan yang komprehensif.
12 13
Ibid, 57 Ibid, 126
Nazar Husain HPW
61
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
d) Yin-Yang Yang terpenting lainnya adalah sekolah mementingkan Yin dan Yang, kedua prinsip induk dari seluruh kenyataan. Yin itu prinsip pasif yaitu prinsip ketenangan, surga, bulan, air, dan perempuan, simbol untuk kematian dan simbol untuk yang dingin. Yang itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan laki-laki, simbol hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan sintetis harmonis dari derajat Yin tertentu dan derajat yang tertentu. 14 Mazhab Zin pada masa Cina awal dapat dikelompokkan dalam enam kelas ilmu gaib, pertama, astrologi, kedua, alamanak, ketiga, Lima unsur, keempat, penujuman dengan batang batang tumbuhan “achillea”, kelima, kelompok yang mengandung penujuman yang beraneka macam, dan keenam adalah sistem bentuk-bentuk (Feng-Shui).15 Demikian kontribusi mazhab Yin Yang terhadap alam pikiran Cina. Mazhab ini menampakkan tendensi scintefik dalam pengertian bahwa mereka mencoba memberikan suatu interpretasi positif terhadap keadaan keadaan alami yang semata-mata berdasarkan kekuatan kekuatan alamiah. Dengan kata positif, yang saya mak-sudkan adalah bahwa yang dilakukan itu seusuai dengan kenyataan yang ada. e) Moisme Didirikan oleh Mo Tse, antara 500 dan 400 SM. Dia adalah lawan pertama dari mazhab Confusius, ketenarannya semasanya sama dengan tenarnya mazhab Confusius. Tentunya pengaruh ajarannya tidaklah lebih kecil dibandingkan Confusius. Penekanan ajaran Maoisme bisa dibilang, lebih mengedepankan keabsahan dan kegunannya, dan berusaha untuk menggantikannya dengan sesuatu yang lebih sederhana, namun dalam pandangannya lebih berguna. Singkatnya ia adalah orang yang memberikan rasionalisasi dan justifikasi terhadap peradaban kuno. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting adalah cinta universal, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat ini sangat pragmatis, langsung terarah
14
Soejono Soemargono, Op. Cit., h. 170-171 Fung Yu-Lan, Op. Cit., h. 170-171
15
62
Pintu Masuk Filsafat Cina
ISSN. 1907-0993
kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna dianggap jahat. Tetapi Mo Tse melawan musik karena dianggap tidak berguna dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas : setiap orang harus memperlakukan negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum. 16 f) Ming Cia Ming Cia atau sekolah nama-nama menganalisis istilah-istilah dan perkataan-perkataan. Ajaran mereka penting sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk memakai bahasa yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tata bahasa. 17 g) Fa Chia Merupakan sekolah hukum yang cukup berbeda dari semua aliran klasik lainnya. Sekolah hukum tidak berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus dimulai dari contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan suatu sistem undangundang yang keras sekali. 18 Dari keenam sekolah klasik tersebut juga dikatakan bahwa mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina. Konfusianisme dari kaum ilmuwan, Taoisme dari rahib-rahib, Yin-Yang dari okultisme (ahli-ahli magis), Moisme berasal dari kasta ksatrya. Ming Chia dari para pendebat, dan Fa Vhia dari ahli-ahli politik. h) Zaman Neo-Taoisme dan Buddhisme Bersama dengan perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang dibandingkan dengan Nirwana dari ajaran Buddha, yaitu transendensi di seberang segala nama dan konsep. Transendensi merupakan dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian 16
Ibid H. G. Creel, Chinese Thought From Confusius To Mao Tse-Tung, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: 1989, h. 123 18 Ibid 17
Nazar Husain HPW
63
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
penting dari proses membangun peradaban. Transen-densi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral. 19 Dalam Buddhisme terdapat banyak mazhab, tetapi secara umum meyakini dalam kepercayaan mereka tetang teori karma (Yeh : Cina) karma biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris deed (perbuatan) atau action (tindakan), tetapi arti yang sebenarnya lebih luas dari pada itu, cakupannya tidak hanya sebatas tindakan yang bersifat lahiriah, tetapi juga termasuk segala yang ada dalam ucapan dan pikiran seorang individu, merupakan manifestasi dari jiwanya. Hidup merupakan satu aspek dari keseluruhan hidup yang ada. Kematian bukan akhir dari keberadaan, melainkan hanya aspek lain dari proses yang ada. Menjadi apa sekarang ini adalah proses kehidupan di masa lampau. Jadi apa yang dilakukan manusia sekarang ini bisa dipetik di kehidupan yang akan datang. Rangkaian kausa itu disebut sebagai “samsara” i) Zaman Neo-Konfusianisme Dari tahun 1000 M, Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina. kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga, dan kemakmuran material, yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sama sekali dilalaikan, bahkan disangkal dalam Buddhisme. Sehingga ajaran ini oleh orang dialami sebagai sesuatu yang sama sekali asing. 20 Tujuan utama kaum neo cunfucianisme adalah mencari kebahagiaan. Hal tersebut memunculkan kritikan dari dalam kaumnya bahwa hal-hal yang diajarkan neo cunfucianisme terlalu banyak memamerkan kebahagiaannya. Perlu diingat bahwa kaum neo confucianisme memandang untaian ajaran confusius, Mencius, chung Yung atau doktrin jalan tengah serta ta hsueh atau pelajaran agung sebagai naskah naskah yang sangat penting.
19
Ibid Ibid
20
64
Pintu Masuk Filsafat Cina
ISSN. 1907-0993
Filsafat Cina dalam Dunia Modern. Tokoh filsafat cina yang muncul pada era 1900 adalah Mao. Tokoh ini sebenarnya bukan seorang filsuf yang orisinil. Menurut penulis Gagasangagasannya berdasarkan ajaran luhur filsafat cina terdahulu, harmonisasi, Yin-Yang, dan bapak-bapak sosialisme lainnya seperti Karl Marx, Friedrich Engels, Lenin dan Stalin. Tetapi ia banyak berpikir tentang materialisme dialektik yang menjadi dasar sosialisme dan penerapan gagasan-gagasan ini dalam praktek seperti dikerjakan Mao bisa dikatakan orisinil. Mao bisa pula dikatakan seorang filsuf Cina yang pengaruhnya paling besar dalam Abad ke 20 ini. Konsep falsafi Mao yang terpenting adalah konflik. Menurutnya: “Konflik bersifat semesta dan absolut, hal ini ada dalam proses perkembangan semua barang dan merasuki semua proses dari mula sampai akhir.” 21Model sejarah Karl Marx juga berdasarkan prinsip konflik: kelas yang menindas dan kelas yang tertindas, kapital dan pekerjaan berada dalam sebuah konflik kekal. Pada suatu saat hal ini akan menjurus pada sebuah krisis dan kaum pekerja akan menang. Pada akhirnya situasi baru ini akan menjurus kepada sebuah krisis lagi, tetapi secara logis semua proses akhirnya menurut Mao, akan membawa kita kepada sebuah keseimbangan yang stabil dan harmonis. Mao jadi berpendapat bahwa semua konflik bersifat semesta dan absolut, jadi dengan kata lain bersifat abadi. Konsep konflik Mao ini ada kemiripannya dengan konsep falsafi yin-yang. Semuanya terdengar seperti sebuah dogma kepercayaan. Di bawah ini disajikan sebuah cuplikan tentang pemikirannya tentang konflik. 4.
Dalam ilmu pengetahuan semuanya dibagi berdasarkan konflikkonflik tertentu yang melekat kepada obyek-obyek penelitian masing-masing. Konflik jadi merupakan dasar daripada sesuatu bentuk disiplin ilmu pengetahuan. Di sini bisa disajikan beberapa contoh: bilangan negatif dan positif dalam matematika, aksi dan reaksi dalam ilmu mekanika, aliran listrik positif dan negatif dalam ilmu fisika, daya tarik dan daya tolak dalam ilmu kimia, konflik kelas dalam ilmu sosial, penyerangan dan pertahanan dalam ilmu 21
H. G. Creel, Op. Cit., h.266
Nazar Husain HPW
65
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
perang, idealisme dan materialisme serta perspektif metafisika dan dialektik dalam ilmu filsafat dan seterusnya. Ini semua obyek penelitian disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang berbeda-beda karena setiap disiplin memiliki konfliknya yang spesifik dan esensi atau intisarinya masing-masing.22 Contoh-contoh yang diberikan oleh Mao Zedong mengenai 'konflik' dalam disiplin yang berbeda-beda diambilnya dari Lenin. Beberapa analogi memang pas tetapi yang lain-lain tidak. Bilangan-bilangan negatif dan positif merupakan sebuah contoh yang buruk mengenai dialektika marxisme karena perbedaan mereka tidak dinamis: hanya ada bilangan-bilangan negatif dan positif baru yang bermunculan. Pendapat Mao menjadi meragukan lagi apabila ia mengatakan bahwa 'konflik'-'konflik' ini merupakan 'intisari' daripada disiplin ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Bilangan negatif dan positif bukanlah intisari ilmu matematika, begitu pula metafisika dan dialektika bukanlah intisari dari filsafat. Mao adalah seseorang yang terpelajar dan pengertian-pengertiannya yang salah bisa diterangkan dari sebab ia sangat terobsesi dengan konsep konflik ini. Obsesi ini juga memengaruhi keputusan-keputusan politiknya seperti akan dipaparkan di bawah nanti. Konsep Yin Yang memengaruhi pandangan falsafi Mao Zedong. Konsep Mao kedua yang penting adalah konsepnya mengenai pengetahuan yang juga ia ambil dari paham Marxisme.23 Mao berpendapat bahwa pengetahuan merupakan lanjutan dari pengalaman di alam fisik dan bahwa pengalaman itu sama dengan keterlibatan. Jika engkau mencari pengetahuan maka engkau harus terlibat dengan keadaan situasi yang berubah. Jika kau ingin mengetahui bagaimana sebuah jambu rasanya, maka jambu itu harus diubah dengan cara memakannya. Jika engkau ingin mengetahui sebuah struktur atom, maka engkau harus melakukan eksperimen22
http://id.wikipedia.org/wiki/Mao_Zedong, diuduh pada tanggal 10 juni
23
H. G. Creel, Op. Cit., h.267
2013.
66
Pintu Masuk Filsafat Cina
ISSN. 1907-0993
eksperimen fisika dan kimia untuk mengubah status atom ini. Jika engkau ingin mengetahui teori dan metode revolusi, maka engkau harus mengikutinya. Semua pengetahuan sejati muncul dari pengalaman langsung.24 Hanya setelah seseorang mendapatkan pengalaman, maka ia baru bisa melompat ke depan. Setelah itu pengathuan dipraktekkan kembali yang membuat seseorang mendapatkan pengalaman lagi dan seterusnya. Di sini diperlihatkan bahwa Mao tidak saja mengenal paham Marxisme tetapi juga paham neokonfusianisme seperti dikemukakan oleh Wang Yangmin yang hidup pada abad ke 15 sampai ke abad ke 16. C. Penutup Dalam kesimpulan pada tulisan pintu masuk filsafat Cina, filsafat dimulai dari hal hal yang sifatnya reflektif. Kita merefleksikan hal yang sifatnya metafisika dimulai dari yang sederhana. Misalnya kita ingin mengetahui sebuah kesunyian, bagaimana wujud dari kesunyian itu ?. pertanyaan tersebut dimulai dari hal yang sederhana. Pencari kesunyian itu perlu mengetahui apa itu suara (ketidak sunyian) dari titik awal itu pencari kesunyian akan mendekati apa itu kesunyian. Batasan dari kesunyian adalah hal yang tidak bisa difikirkan lagi (unthinkable). Batasan akhir itu tentang hal yang tidak terfikirkan lagi / tidak dapat dimengerti adalah watak dari metafisika filsafat.
24
Ibid
Nazar Husain HPW
67
Jurnal Farabi Vol. 10 No. 1 Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA
Creel, H. G., 1989, Chinese Thought From Confusius To Mao Tse-Tung, Terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana. Hamersma, Harry, Pintu Masuk ke Dunia filsafat, Yogyakarta, Pustaka Filsafat, Kanisius. http://id.wikipedia.org/wiki/Mao_Zedong http://internasional.kompas.com/read/2010/04/06/02492211/Rahasia.Dibalik .Kemajuan.China. Soemargono, Soejono, 1990, Sejarah Ringkas Filsafat Cina Sejak Confusius Sampai Han Fei Tzu, Liberty Yogyakarta. Yu-Lan, Fung, 1960, Short History Of Chinese Philosophy, The Macmillan Company New York. Yu-Lan, Fung, 2007, Sejarah Filsafat Cina, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zainurrofiq, A., 2009, China Negara Raksasa Asia, Rahasia Sukses China Menguasai Dunia ” Yogyakarta ; Arruz Media Group.
68
Pintu Masuk Filsafat Cina
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
MAKANA IKON NAGA, LONG 龙, 龍 ELEMEN UTAMA ARSITEKTUR TRADISIONAL TIONGHOA. Sugiri Kustedja*, Antariksa Sudikno**, Purnama Salura*** Email :
[email protected]
ABSTRAK Ikon naga selalu muncul dalam segala segi kehidupan masyarakat Tionghoa dan telah bertahan berabad-abad: busana, peralatan rumah tangga, bangunan, teori fengshui, pemerintahan, festival, kepercayaan, ritual. Naga sebagai ikon budaya etnis Tionghoa populer sampai sekarang, Makhluk apakah sesungguhnya ini? Tulisan ini mengambil sample naga yang muncul sebagai elemen arsitektur dominan pada bangunan klenteng tradisional atau bangunan resmi kekaisaran dahulu. Uraian pemaknaan didekati secara historis, antropologis, etnografis, etimologi, semiotik dan hermeneutik. Analisa menunjukkan naga merupakan symbol harapan masyarakat mengenai segala hal berhubungan dengan kebaikan, kemakmuran, dan kebahagiaan. Suatu bayangan dari bawah sadar manusiawi. Disertakan juga beragam contoh pemakaian oleh masyarakat umum. Kata kunci : naga, budaya Tionghoa, tradisional, vernakular.
ABSTRACT Dragon icon is well-known in every aspect of the Chinese culture and has survived for centuries on cloths, furniture, building architecture, feng-shui theory, governments, festivals, beliefs, and rituals. As an icon of the Chinese culture, it has always been very popular until today. What kind of being is it actually? This paper chose the dragon as expressed as a dominant element in the architecture of traditional temples and the past kingdom official buildings. The interpretation of its meaning is performed using the approaches of history, anthropology, enthography, etymology, semiotics and hermeneutics. The analysis indicates that the inherent meanings of dragon symbolizes the society’s expectation for every single thing related to good wishes, prosperity, and happiness: subconscious human sillhoutes. Also provided here various examples of its applications by people in general. Keywords: dragon, Chinese culture, traditional, vernacular.
*
Mahasiswa S3, Program Pascasarjana, jurusan arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. ** Profesor Arsitektur pada Jurusan Arsitektur, Universitas Brawijaya. Malang. *** Dosen senior pada Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
526
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Naga, liong, long龍, 龙: suatu hewan mitologi Tionghoa populer yang memiliki perlambangan sangat rumit. Intinya merupakan simbolisasi sumber kebaikan dan kemakmuran. (Berbeda dari budaya Barat, naga digambarkan bersifat buruk dan jahat). Naga juga melambangkan kejantanan dan
mengarah kemuka gerigi di kepala bersambungan mirip pegunungan. Kedua sisi mulutnya berjambang, dan janggut di dagunya ditempati mutiara. Napasnya berbentuk kabut, kadang-kadang berubah menjadi air, atau juga berbentuk semburan api.
kesuburan, unsur Yang 陽, positif, maskulin. Dalam kehidupan masyarakat sekarang naga sering diidentikkan masyarakat sebagai lambang budaya Tionghoa tradisional; sebagai suatu social cultural memories.
Gambar 1 Mural naga long yin 龍吟 naga bersenandung. Penempatannya menunjuk-kan fungsi sebagai penjaga, pintu masuk timur klenteng Xie Tian Gong Bandung.
Menarik bila diperhatikan bahwa ikon naga ini persisten dapat terus bertahan, digunakan sejak zaman purba hingga dunia modern sekarang. Dalam sejarah kebudayaan dunia tidak terhitung jenis hewan totemis ciptaan manusia yang pernah ada, tetapi pada masa sekarang mereka ternyata lenyap tidak berbekas pada masyarakat pemiliknya. Bentuk tubuh naga dalam mitologi Tionghoa digambarkan dengan memiliki sembilan kemiripan bentuk tubuh hewan yang sungguh ada dan hidup di alam: berkepala unta, bertanduk menjangan, memiliki mata kelinci, berkuping lembu, leher mirip ular, perutnya mirip katak, bersirip mirip ikan, bercakar mirip burung rajawali, dan telapak kakinya mirip harimau. Punggungnya bergerigi 81 buah ujung tajam. Gerigi di leher
Gambar 2 Mural Yun long cheng xiang 云龙呈祥 naga melayang di awan memberi berkah dan kemakmuran. Ekspresi harapan masyarakat agraris berupa folklor korelasi naga dan turunnya hujan, digambarkan naga sedang menimba air samudra, untuk dapat menghasilkan hujan. Klenteng Xie Tian Gong, Bandung.
Dalam pembahasan etnografi antropologi, naga mungkin dapat ditafsirkan sebagai suatu bentukan hasil proyeksi imajinasi masyarakat tradisional agraris. Mereka menyadari kehidupannya sangat bergantung pada alam, iklim, air hujan, dan pada angin. Keseluruhan komponen ini sangat menentukan panen hasil kerja jerih payah setiap musim tanam. Hasil panen merupakan bekal bertahan untuk dapat hidup sepanjang tahunnya. Faktor-faktor alam ini disadari sama sekali di luar kendali kekuasaan manusia padahal ini sangat menentukan kehidupan manusia. Di sisi lain dalam situasi dan kondisi ini masyarakat agraris tradisional telah berpengalaman dapat memelihara hewan domestik seperti anjing, ayam, sapi, babi, dan kuda. Hewan-hewan ini bila dipelihara dengan baik dan teratur ternyata dapat diatur kehidupannya sesuai dengan kebutuhan
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
527
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
manusia. Dengan logika dari pengalaman empiris ini masyarakat kuno menciptakan hewan imajiner yang ditransformasikan dan di-gambarkan secara visual serta dapat dimengerti oleh masyarakat tradisional kuno sebagai lambang penguasa alam semesta bagi unsur-unsur esensial kemakmuran masyarakat agraris. Muncullah naga sebagai penguasa hujan dan alam sebagai lambang totalitas unsur yang dapat memengaruhi kehidupan dan kemakmuran masyarakat. Pelambang naga berlatar belakang konteks pengalaman masyarakat saat itu yang beranggapan bila tokoh hewan naga ini dihormati serta dipelihara secara sungguh-sungguh dengan ritual dan sesaji yang disampaikan, naga akan berempati pada kebutuhan manusia dan akan mendatangkan hujan sesuai dengan musim dan kebutuhan tanam. Keberadaan mitologi ini sepanjang sejarah panjang peradaban etnis Tionghoa yang berabad-abad menghasilkan rekam budaya dan menjelma merupakan suatu social memory dan social cult. Terdapat mitos dalam masyarakat kuno, mengenai sejenis ikan di Sungai Kuning, Huang-he, sturgeon (gurame) pada setiap bulan ketiga imlek. Diceritakan kelompok ikan ini akan berenang melawan arus ke hulu sungai. Bila ternyata ada seekor ikan yang dapat meloncat melewati pintu naga (long men), ia akan langsung berubah menjelma menjadi seekor naga. Cerita ini dipakai sebagai kiasan untuk mereka yang telah lulus melewati ujian kerajaan dapat menjadi pejabat kerajaan di ibu kota. Dalam kepercayaan umum masyarakat, populer folk cult, naga muncul dalam banyak kisah baik aliran Buddhis Mahayana, Taoisme, atau Konfusius. Ketika musim semi naga digambarkan terbang ke angkasa, mengisi semesta, dan mendatang-kan hujan yang diperlukan oleh pertanian pada masyarakat agraris. Ketika musim gugur tiba, naga menyelam ke air terdalam untuk berhibernasi. Fosil tulang hewan purba yang ditemukan di Tiongkok utara oleh masyarakat disebut sebagai tulang naga dan dimanfaatkan
untuk pengobatan TCM dalam bentuk serbuk hasil gilingan. Penggambaran naga muncul dalam banyak bentuk wujud budaya dan dipakai oleh masyarakat untuk berbagai tujuan. Uraian berikut menggambarkan penggunaan dan pemaknaan naga oleh seluruh lapisan masyarakat tradisional Tionghoa dalam beragam sisi kehidupan sehari-hari hingga kini. Dari analisis sejarah berdasarkan temuan artefak, ternyata naga telah dikenal sejak masa dinasti Shang (1766-1122 SM). Naga awalnya digambarkan sebagai hewan dengan bagian atas bertubuh manusia dan bagian bawah ikan. Tulisan karakter naga long 龙 telah dikenal pada masa ini. Hal ini terbukti dari ditemukan karakter tulisan tersebut pada artefak tulang-tulang hewan kuno yang digunakan untuk meramal (oracle) yang berasal dari masa itu. Pada masa dinasti Han (206 SM – 221 M) barulah muncul gambaran naga bertubuh mirip ular, memiliki dua tanduk, berjenggot, berkaki empat, dan berekor mirip ikan. Dalam naskah kuno tercatat adanya beberapa keluarga yang diceritakan telah dapat memelihara naga. Kejadian ini muncul pada masa kaisar Shun (2257 SM-2208 SM). Ada kemungkinan yang disebut sebagai naga di sini adalah hewan yang hidup di dalam air, berasal dari sekitar Sungai Kuning, Huang-he 黄河 yang mengalir di daerah lembah hunian asal muasal kebudayaan suku Han yang kemudian hari menjadi kebudayaan etnis Tionghoa.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
528
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Gambar 3 Karakter kedua dari kiri atas (dalam tanda baca kurung) merupakan karakter tradisional long 龍 berarti naga, merupakan gabungan dari dua radiks bagian kiri dan bagian kanan. (CPI 2006 :491)
Tulisan karakter Tionghoa berasal dari gambar (pictogram) sehingga memungkinkan untuk memperkirakan konteks alam pikiran masyarakat pada saat suatu karakter terbentuk. Penelitian sejarah karakter menunjukkan perkembangan karakter yang melambangkan naga, long 龙, dari masa purba berawal dari radiks bagian kiri. Karakter kemudian telah berkembang bertambah dengan radiks sebelah kanan yang menggambarkan sesuatu bersayap dan bertanduk dengan ekor panjang melengkung. Hal ini menggambarkan hewan yang dapat terbang ke angkasa. Sejak dinasti Han (206 SM–220 M) naga juga digunakan sebagai lambang kaisar yang dianggap sebagai “Putera Langit”. Naga juga merupakan hewan ke-5 dalam sistem zodiak 12 tahunan kelahiran Tionghoa, shio; xiao 肖. Simbol naga juga merupakan salah satu lambang yang digunakan pada sistem perhitungan kalender yang berhubungan dengan falsafah tradisional berkaitan dengan dimensi ruang alami dan dimensi waktu disebut sistem ganzhi 干支 yang terdiri atas dua sistem klasifikasi.
Gambar 4 Pawai naga diselenggarakan pada tanggal 15 bulan pertama (tahun baru imlek). Bandung 2011.
Sistem klasifikasi pertama, dimensi waktu dengan lambang yang disebut 10 batang langit tian-gan 天干, heavenly stem dan sistem klasifikasi kedua disebut 12 cabang bumi di-zhi 地支, earthly branches. Setiap tahun akan diberi nama dari unsur kedua komponen, hasil permutasi dari kedua sistem tersebut menghasilkan setiap cycle penuh alam adalah 60 tahun kalender dengan nama bagi setiap tahunnya. Contoh penamaan tahun: naga logam/emas, ayam kayu dst. Penamaan tahun ini lebih terperinci dijelaskan lagi dengan menambahkan keterangan tahun keberapa seorang kaisar Tiongkok bertahta saat itu. Pelambangan dengan simbol hewan juga dilakukan pada penamaan pembagian waktu dalam satuan per dua-jam (seharisemalam 24 jam memiliki 12 penamaan). Pada bidang astronomi dan dihubungkan dengan kosmologi tradisional, kelompok bintang yang dinamai naga biru/hijau dianggap lambang hewan penjaga langit di bagian timur, mengatur hujan dan musim semi. Berhadapan dengan langit bagian barat dengan penjaga kelompok bintang macan putih, berelasi dengan musim gugur. Sementara itu, kelompok bintang ular hitam di langit utara berkaitan dengan musim dingin, dan kelompok bintang phoenix merah berjaga di langit selatan dihubungkan dengan musim panas.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
529
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
tetapi juga tempat makam untuk yang telah meninggal. Untuk menguraikan falsafah feng-
Gambar 5 Pada alam nyata berupa pengelompokan rasi perbintangan di langit, setiap 7 rasi kecil bintang menjadi gambaran seekor hewan penguasa langit. Dari atas berurutan: rasi Naga biru/hijau (langit timur), rasi burung Phoenix merah (langit selatan), rasi Macan putih (langit barat), dan rasi Kurakura hitam dan ular (langit utara). Masingmasing menempati keempat arah mata-angin langit (Kelley, D.H. et al. 2011:329).
shui 风水 digunakan banyak idiom dan lambang budaya masyarakat yang masih aktif dan mudah dimengerti oleh rakyat, bentuk topografi bumi dan situasi di lokasi bangunan diidentikkan dengan komponen naga. Istilah nadi naga, ekor naga, kepala naga, mulut naga, punggung naga, perut naga, dan banyak istilah lain diciptakan untuk menggambarkan secara ringkas kondisi situasi situs setempat. Ketika dihubungkan dengan kepercayaan tradisional masyarakat tentang sifat naga yang selalu mendatangkan keberuntungan dan kebahagiaan, lengkaplah sudah falsafah feng-shui 风水 ini menjadi suatu bentuk kepercayaan utuh yang dapat bertahan dari zaman kuno hingga zaman elektronik komputer sekarang. Falsafah ini menjadi dasar utama pengambilan keputusan bagi sebagian masyarakat yang mempercayainya untuk menentukan pilihan tempat hunian.
Gambar 6 Mural naga hijau sebagai penjaga menolak bala, di sisi pintu masuk timur klenteng Tiao Kak Sie, Cirebon.
Dalam ranah ilmu bangunan
tradisional
Tionghoa dikenal falsafah feng-shui 风水, suatu teori terapan yang menafsirkan kosmologi Tionghoa dari dimensi makrokosmos agar dapat ditransfer pada dimensi mikrokosmos pada tempat hunian manusia yang ideal. Yang dimaksud dengan hunian tidak hanya bangunan bagi yang masih hidup,
Gambar 7 Kondisi alam di lapangan ditransformasi menjadi zoomorphic hewan mitologi naga. (Skinner, 2006:59)
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
530
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
bermanfaat bagi sawah para petani. Mitologi permainan ini dianggap naga ketika melintas membawa hujan bagi petani. Lambang ini dapat dilihat pada bagian wuwungan atap klenteng tradisional.
Gambar 8 Pasangan naga, long dengan burung hong, feng.
Dalam upacara pernikahan pasangan etnis Tionghoa, sering terlihat gambar naga, long, dan burung hong, feng yang disandingkan. Hal ini melambangkan mempelai pria dan wanita dalam kehidupan agar bersama selalu rukun sehati berpadu dengan beruntung dan bahagia sampai hari tua. Naga, long melambangkan unsur yang, pria, dan burung hong, feng melambangkan unsur yin, wanita. Keduanya dipercaya sebagai penunggu daerah timur dan selatan, dua daerah yang berhubungan dengan musim semi dan musim panas, selalu penuh kehangatan dan daya kehidupan. Naga dipercayai memiliki sifat supranatural. Ia dapat mengecil sebesar ulat sutra, tetapi juga dapat mengembang memenuhi semesta alam. Dapat berwujud kasat mata tapi juga dapat menghilang sesuai kemauannya sendiri, sedangkan usia naga ditentukan oleh dirinya sendiri. Naga diceritakan kerap memangsa burung walet sehingga dalam upacara penghormtan naga dilepaslah burung-burung walet. Naga dapat melayang di atas awan dan juga melintas di atas samudera. Gambar 2 (dua) naga yang bermain bola api, dilambangkan sebagai pembawa pesan dari langit ke bumi bolakbalik. Ketika naga melintas bermain-main di langit (di alam nyata berbentuk suara halilintar dan kilatan petir) menyusul kemudian akan turunlah hujan yang
Gambar 9 Lambang dua naga dan bola api pada atap bangunan klenteng tradisional Xie Tian Gong, Bandung.
Dipercaya juga ada 4 (empat) “naga raja” long-wang 龍王 yang menguasai 4 (empat) samudra sekeliling bumi, mereka tinggal di istana dasar samudera yang indah berisikan batu perhiasan yang sangat berharga. Raja naga samudra timur 東海, raja naga samudra barat 西海, raja naga samudra utara 北海, dan raja naga samudra selatan 南海.
Pada masyarakat tradisional ada tradisi festival Peh-cun ba-chuan 把船, duan-wu 端午 pada tanggal 5 bulan 5 penanggalan
imlek (lunar kalender, berdasarkan perhitungan bulan), biasa diadakan lomba perahu naga. Lomba perahu naga sekarang termasuk cabang olah raga yang dipertandingkan pada taraf internasional. Perahu naga adalah perahu panjang yang langsing dan rendah lambungnya, dihias dengan kepala naga pada hulunya dan ekor naga di buritan. Ketika berlomba, perahu ini diawaki oleh banyak pedayung pada masing-masing perahu, bergerak berirama disertai iringan suara tambur dan hiasan bendera. Festival ini sering
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
531
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
dihubungkan
dengan
sejarah
peringatan
budayawan, negarawan Qu-Yuan 屈原 dari daerah Ying 郢 yang bunuh diri di sungai Milou 汨羅江 (295SM) ketika dirinya difitnah, serta melihat penyelenggara negara yang korup. Masyarakat yang mencintainya berlayar hilir mudik seolah mencari jasadnya dengan membekali diri dengan kweecang, gao-zong 糕粽 berupa ketan dibungkus daun bambu. Sementara itu, nasi ketan dibungkus daun bambu yang berisikan daging disebut sebagai bacang; rou-zong 肉粽 untuk bekal
Gambar 11 Perahu naga (dari kertas yang kemudian akan dibakar), untuk upacara ritual menyebrangkan arwah. Klenteng Xie Tian Gong, Bandung 2007.
arwah Qu-Yuan 屈原. Bungkusan nasi ketan ini dahulu dilemparkan ke dalam sungai, dengan dibungkus daun bambu, diharapkan bekal ketan tidak akan dimakan oleh makhluk sungai lainnya. Cerita rakyat lainnya bercerita dengan tujuan terbalik yaitu agar tubuh QuYuan 屈原tidak dimakan oleh makhluk sungai, makhluk sungai ini lalu diberi makan nasi ketan terbungkus daun bambu.
Gambar 12 Relief naga pada meja altar sembayang di klenteng Tiao Kak Sie, Cirebon .
Kepercayaan tradisional mencerita-kan ada 4 jenis naga yaitu: “Naga langit” tian-long 天龍 sebagai daya tumbuh berkembangnya langit dan alam semesta. “Naga jiwa” shenGambar 10. Lomba perahu naga, Tanjungpinang. Ukuran perahu panjang sekitar 12 meter, lebar 1 meter, dan bobot seberat 300 kg. Personel dalam satu tim biasanya berjumlah 15 orang. (ITA/Foto: Antara. Website “Berani” tanggal 5 Oktober 2012.)
long 神龍 yang mengatur angin dan turunnya hujan ketika ia melintas di angkasa akan disertai awan, guruh, kilat, halilintar, angin, dan hujan. “Naga bumi” di-long 地龍 yang menguasai mata air, sumur, laut, danau dan aliran sungai. “Naga penjaga harta” fu-canglong, 伏藏龍 naga yang dipercaya dapat berfungsi sebagai pelindung sehingga harta kekayaan tidak terlihat kasat mata.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
532
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Pada masa kekaisaran dahulu hiasan naga muncul pada bermacam kesempatan: pakaian, bangunan, simbol-simbol kekaisaran, digunakan seluruh pejabat dan perlengkapan yang digunakannya. Gambaran naga yang terlihat pada jubah sebagai tanda untuk membedakan hierarki pejabat kekaisaran, dengan melihat jumlah jari cakarnya menunjukan tingkatan resminya. Tertinggi 5 (lima) cakar untuk raja, putra raja dan pangeran tingkat pertama dan kedua, 4 (empat) cakar untuk pangeran tingkat tiga dan empat, dan cakar 3 (tiga) untuk pejabat kerajaan umum. Demikian juga jumlah naga yang dimunculkan pada jubahnya, misalnya untuk kaisar memakai jubah warna emas denagn gambar 4 (empat) ekor naga.
kemiliteran, produk porselen dan keramik. Singkat kata pemanfaatannya tidak terbatas, selalu dapat ditemukan pada semua sisi kehidupan masyarakat yang membawakan pesan harapan keberuntungan dan kebahagiaan.
Gambar 14 Kolom berukiran naga pada klenteng Hok Tek Bio, Bogor.
Gambar 13 Jubah keluarga kaisar, museum kuil Konfucius di Beijing, Tiongkok.
Pada arsitektur bangunan, gambaran naga muncul sangat banyak pada setiap bagian bangunan resmi kekaisaran, istana kaisar, kuil-kuil, bangunan resmi pemerintahan, rumah para bangsawan. Naga diukirkan pada tiang-tiang kolom, digambarkan pada plafon langit-langit bangunan, pada dinding bangunan, pintu dan jendela bangunan, tangga, railing panggung, di taman istana, pada hiasan jembatan. Pada perlengkapan furniture istana, pada mahligai kaisar, mahkota, tempat pedupaan abu penghormatan leluhur, pada peralatan
Gambar 15 Naga merambat pada pagar pembatas. Klenteng Hiap Thian Kiong, Karawang.
Menurut legenda rakyat naga juga memiliki 9 ekor anak, ada beberapa versi kepercayaan rakyat bagi keluarga naga ini. Versi ke pertama: Anak ke-1, qiu niu hewan berkepala naga dan bertubuh ular, menyukai musik. Bentuknya sering diukirkan pada alat musik gesek mirip biola. Anak ke-2, ya zi berkepala serigala dengan tubuh naga. Beradat buruk kerap bertengkar dan berkelahi. Merupakan dewa perang di
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
533
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
antara putra naga. Sering terlihat diukirkan pada hulu pegangan pedang. Anak ke-3, chao feng mirip hewan dan senang menempuh bahaya. Kerap kali dimunculkan pada tepi jurai atap bangunan tradisional. Anak ke-4, pu lao digambarkan berupa naga yang bergerak-gerak bergelinjang. Sering mengaum membahana. Sering muncul sebagai ornamen pada genta logam tradisional. Berhubungan dengan kepercayaan ini pemukul genta lonceng sering diberi bentuk sebagai ikan paus, yang menurut cerita merupakan musuh besarnya. Ketika pu lao bertemu ikan paus ia akan berteriak sekeraskerasnya. Dibayangkan suara yang dihasilkan ketika lonceng dipukul akan manjadi keras maksimal. Anak ke-5, suan ni mirip hewan singa menyenangi ketenangan, api dan asap. Bentuknya sering muncul di pedupaan, tempat abu leluhur. Juga ditampilkan pada tempat duduk Buddha, Anak ke-6, ba xia hewan naga mirip kurakura mahir berenang, bentuknya sering muncul pada bangunan yang berhubungan dengan air, balok dan pilar jembatan. Juga diceritakan dapat membawa barang berat di punggungnya.
Gambar 16 ( dikutip dari Li Zuding,1989 : 144)
Anak ke-7, bi an hewan mirip macan, dapat memahami keadilan serta membedakan benar dan salah. Mau mendengarkan menerima pengaduan, bersifat sangat bengis. Ditampilkan pada pintu gerbang penjara tradisional.
Anak k-8, fu xi berbentuk tubuh mirip naga, dan berkepala harimau. Menyukai menulis dan menggambar kaligrafi. Anak ke-9, chi wen hewan berkepala naga bertubuh mirip dengan ikan. Hewan yang diceritakan memiliki adat buruk dan senang menelan benda-benda, serta mampu memadamkan kebakaran. Hewan ini ukirannya sering diletakkan pada genteng wuwungan utama bangunan tradisional Tionghoa. Hal ini dipercaya dapat menghindarkan bangunan dari bahaya kebakaran.
Gambar 17 Bentuk chi wen 鸱 吻 pada wuwungan atap klenteng Tiao Kak Sie Cirebon.
Versi lain dari legenda anak naga adalah Anak ke-1, bi xi hewan mirip kura-kura, senang membawa barang-barang berat di punggungnya, patungnya sering digambarkan memikul prasasti batu pada bangunanbangunan resmi.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
534
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Anak ke 3, bi an merupakan naga mirip macan, bersifat perkasa dan mau mendengarkan pengaduan hukum, gambarannya sering muncul pada bangunan penjara. Bentuk yang juga sering muncul pada pegangan pintu.
Gambar 18 Patung bi xi yang memikul prasasti papan nama. Klenteng Boen Tek Bio, Banyumas.
Anak ke-2, chi wen merupakan naga bertubuh mirip ikan, senang mengamati dan mampu memadamkan kebakaran. Bentuk ini sering dipasang pada wuwungan atap tradisional.
Gambar 21 Bentuk bi an ada pegangan pintu gerbang klenteng Hok Tek Ceng Sin, Jamblang, Cirebon.
Anak k- 4, pu lao bentuknya mirip naga kecil, menyenangi musik, dan senang berteriak nyaring. Bentuk ini sering muncul pada lonceng genta.
Gambar 19 Bentuk chi wen pada ujung wuwungan atap. Kuil Lama, Beijing, Tiongkok.
Gambar 22 Penggantung genta berupa ukiran pu lao diharapkan genta akan lebih nyaring bunyinya. Kuil Lama, Beijing. Tiongkok.
Gambar 20 Bentuk chi wen pada awal wuwungan atap. Klenteng Boen Tek Bio, Banyumas.
Anak ke-5, tao tie berupa serigala dan bersifat rakus, memiliki kepala tetapi tanpa tubuh. Bentuknya sering terdapat pada alat-alat memasak tradisional.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
535
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Anak ke-8, jiao tu naga melingkar mirip siput cenderung selalu terkatup menutup mulutnya, bersifat penurut tetapi membenci mereka yang mengganggu mengusik tempat tinggalnya. Wajahnya sering terlihat pada pegangan penutup pintu masuk.
Gambar 23 (dikutip dari Li Zuding,1989: 142)
Anak ke-6, ya zi bentuknya mirip serigala bertanduk, mirip naga, gemar berkelahi, dan membunuh. Bentuknya muncul pada kampak alat bertempur tradisional.
Gambar 24 (dikutip dari Li Zuding, 1989: 144)
Anak ke-7, suan ni mirip harimau, ia menyukai api dan duduk diam dengan tenang.
Gambar 25 Suan ni (dikutip dari Li Zuding, 1989: 144)
Gambar 26 Jiao tu (dikutip dari Li Zuding, 1989: 143)
Anak ke-9, pi xiu hewan mirip singa, memiliki mulut, tetapi tanpa anus, menyukai menerima uang, tetapi langka memberi. Ukiran patung hewan ini sering ditempatkan di meja kasir pedagang dengan tujuan agar terkumpul harta kekayaan bagi pemiliknya. Kirin, qi-lin. Hewan mitologi lain yang mirip dengan naga tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dinamai kirin, qi-lin. Makhluk ini digambarkan tubuhnya mirip menjangan tetapi penuh bersisik, berekor mirip sapi jantan, berkuku tunggal mirip kuda, berkepala naga dan bertanduk, bulu pada punggungnya berwarna-warni sedangkan pada bagian perutnya berbulu warna kuning. Menurut folklor merupakan hewan bijaksana yang hanya muncul ketika negara makmur dengan raja yang bijak, diceritakan pernah muncul ketika konfucius dilahirkan serta memuntahkan buku jade mengenai kebijaksanaan. Hewan ini merupakan lambang keberuntungan dan perdamaian, kirin qi-lin berjalan dengan tanpa menginjak tumbuhan, serangga, atau pun makhluk hidup lain (melindungi kehidupan lingkungan). Kirin, qi-lin juga melambangkan seorang hakim yang bijaksana dan jujur.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
536
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Gambar 27 Relief kirin qi-lin pada dinding batu, bagian muka klenteng Xie Tian Gong Bandung.
Gambar 28 Pasangan patung kirin qi-lin berjaga di pintu masuk Rumah Karuhun 100 marga Tionghoa. YDSP, Jl. Nana Rohana. Bandung.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
537
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Gambar 29 Beberapa variasi lukisan naga yang berubah-ubah sepanjang sejarah kebudayaan Tiongkok. (dikutip dari Li Zuding 1989: 1-5)
Gambar 30 Lukisan naga menghadap muka. (dikutip dari Li Zuding 1989: 5)
Gambar 32 Gambar naga pada alat masak. (dikutip dari Li Zuding 1989: 5)
Gambar 33 Gambar naga bergulung. (dikutip dari Li Zuding 1989: 5)
SIMPULAN
Gambar 31 Naga langit (arah ke atas) dan naga bumi (arah ke bawah)
Naga sebagai ikon dan simbol terbukti dapat bertahan dari zaman purba hingga sekarang, gambaran ini tetap hidup dan terpakai dalam segala segi budaya Tionghoa. Daya tahan keberadaan yang demikian kuatnya karena didukung konsep naga yang selalu dapat memberikan keberuntungan dan kejayaan, harapan ini selalu dimiliki oleh setiap manusia selama ia hidup. Simbol naga yang berempati pada hidup manusia sehingga terpersepsikan ramah dan mengayomi, naga dapat diinterpretasikan dengan sangat lentur dan bebas oleh setiap anggota masyarakat sesuai dengan kebutuhan, niat dan referensi budaya yang dimiliki oleh setiap pengguna.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
538
Makna Ikon Naga, long 龙, 龍 Elemen Utama Arsitektur Tradisional Tionghoa
Ketika para kaisar juga menggunakan simbol naga untuk lambang dirinya, tersirat pesan naga menjadi memiliki makna yang bersifat agung, diposisikan tinggi, dan mampu berbuat apa pun. Rakyat jelata terbawa turut mengagungkan figur naga di samping sifat kebaikan umum lainnya.
DAFTAR PUSTAKA CPI . 2006. Gudai Hanyu Zidian. (Kamus bahasa Tionghoa Kuno). Beijing. CPI. Danandjaja, James. 2007. Folklor Tionghoa. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Eberhard, Wolfram. 1996. Times Dictionary of Chinese Symbols. Singapura: Federal Publications. Feuchtwang, Stephan D.R. 1974. Anthropological Analysis of Chinese Geomancy. Vientiane: Editions Vithagna.
Hayes, L. Newton. 1923. The Chinese Dragon. Shanghai: Commercial Press, Ltd. Kelley, David H. 2011. Exploring Ancient Skies. New York: Springer Verlag. Li Zuding,1994. Chinese Traditional Auspicious Patterns. Shanghai: Populer Science Press. Ong Hean-Tatt. 1996. Simbolisme Hewan Cina. Jakarta: MegapoiN, Kesaint Blanc. Qing-xia. 2012. Chinese Architectural Decoration. Anhui Publishing Group. Skinner, Stephen. 2006. Feng Shui. The living earth manual. Singapura: Tuttle Publishing. Taniputera, Ivan. 2008. History of China. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Tjan K., Kwa Tong Hay. 2010. Berkenalan dengan adat dan ajaran Tionghoa. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Williams, C.A.S. 2006. Chinese Symbolism and Art Motifs. Singapura: Tuttle Publishing.
Jurnal Sosioteknologi Edisi 30 Tahun 12, Desember 2013
539
1
Makalah
Tuhan Yang Maha Esa Bukan Monopoli Agama Oleh: BAMBANG NOORSENA
Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia merdeka berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa! (Bung Karno, Pidato “Lahirnya Pancasila”, 1 Juni 1945). Sebelum masuknya agama-agama luar ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah ber-Tuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Karena itu, tuduhan para penganjur “negara agama” pada sidang-sidang Konstituante, bahwa dari ideologi Islam ke Pancasila adalah “ibarat melompat dari bumi tempat berpijak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa”,1 justru sangat bertentangan dengan kenyataan sejarah. Sebaliknya, sejarah membuktikan bahwa Dasar Negara Pancasila berakar pada kepribadian bangsa dalam rentangan perjalanan sejarahnya selama ribuan tahun. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhanan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang cenderung sektarian dengan sikap “imperialisme doktriner”-nya yang membahayakan keutuhan bangsa, bahkan peradaban manusia.
I. Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Lintasan Sejarah Nusantara Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks kebudayaannya sendiri. Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini:
1
Wilopo (ed.), Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante. Jilid I (Djakarta: Kementrian Penerangan, 1958), hlm. 128-129. Makalah Diskusi | Juni 2010
2 Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap siddha-yatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke kapal pergi menjemput berkah kebahagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhayatra adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).2 Dan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/Buddha. Dari kata hyang (Tuhan) inilah kita sekarang mengenal istilah “sembahyang”, artinya doa atau menyembah Hyang/ Tuhan Yang Maha Esa. Sanghyang Siksakanda ng Karesian. Naskah ini berasal dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sang-hyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agamaagama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan yang lebih universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada de-wa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/ Prinsip Ketuhanan universal).3 Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa ke-rajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi co-exixtence meningkat menjadi relasi “pro-exis-tence” (saling ada dan saling berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastera sebagai berikut: Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha),4 tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu),5 mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri. Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhahan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi M. Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa. Jilid III (Djakarta: Penerbit Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 31-32. 3 I.B. Putu Suamba, Siwa-Buddha di Indonesia (Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan dan Penerbit Widya Dharma, 2007), hlm. 67-68. 4 Ibid, hlm. 169-170. 5 Ibid, hlm. 197-198.
2
Makalah Diskusi | Juni 2010
3 Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prin-sip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha. Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut: Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.6
Siapakah Sri Parwataraja? Rupa-rupanya Dia menjadi istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agamaagama apa (Siwa, Buddha) atau penghayatan para petapa lain (karesian). Bahwa Sri Parwata adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).7 Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusantara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Pemikiran asli Indonesia tentang kekuatan adikodrati yang disimbolkan dengan gunung ini, ternyata sudah dikenal sampai India sebelum agam Hindu dan Buddha masuk ke Indonesia. Hal itu terbukti dari syair Ramayana, karya Srimad Walmiki (150 M): “…gunung Sisira, puncaknya bersalju menyapu langit, dikunjungi Dewa dan danawa” (Sisiro nama parvatah, divam spasati srngena dewa-danawasevitah).8 Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita.
J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Ciwa dan Buddha (Jakarta-Leiden: Penerbit Djambatan – KITLV, 1982), hlm. 26-27. 7 H. Kern, Het Oud-Javaansche Lofdicht Negarakrtagama van Prapanca 1365 AD (Amsterdam: “Hadi Poestaka” Boekh. En Uitg. Mij ‘s-Gravenhage, 1919), hlm. 22. 8 Srimad Valmiki-Ramayana. With Sanskrit text and English Translation Part-I:I Aranya-Kanda, Kiskinda Kanda and Sundara Kanda (gorakhpur, India: Gita Press, 1992), hlm. 1019-1020. 6
Makalah Diskusi | Juni 2010
4 Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiri agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya. Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spiriality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara Islam” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nu-santara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang pada masa Demak dengan jelas membuktikan kebang-krutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada kredo iman yang berbeda-beda. Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan Kapitalisme, Kolonialisme dan Imperialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan mistik “Dewa Ruci” (naskah aslinya berjudul Nawa Ruci , karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit), atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam ortodoks. Kasus ini dicatat dalam Serat Cabolek.1 Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat berkembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelom-pok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Mutamakin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sikap Mataram yang membiarkan kedua paham tersebut berkembang menunjukkan bahwa negara secara arif bijaksana mengambil jarak dari soalsoal yang termasuk dalam “ruang privat” dari warganegaranya.
II. Pola “Bukan ini, Bukan Itu”: Menghindari Kutub-kutub Ekstrim Sejarah membuktikan bahwa salah satu “local genius” bangsa Indonesia adalah pola pendekatan yang menghindari kutub-kutub ekstrim demi terciptanya kehidupan bersama yang guyub, rukun dan harmonis. Pada zaman Majapahit, ketika Hindu dan Buddha menawarkan superioritasnya masing-masing, Mpu Tantular menawarkan solusi: “Bukan Siwa, bukan Buddha”, tetapi Sri Parwataraja yang merangkul baik Siwa maupun Buddha. Begitu juga pada era Mataram, ketika Islam dianut sebagian besar rakyat (dengan penghayatan yang khas Jawa) menawarkan pola “dualistik”, dan sisasisa Hin-duisme yang bercorak monistik, pada era ini kita menghadapi problem relasi Khaliq-Makhluq (Pencipta-Ciptaan): satu atau dua, berbeda atau tidak berbeda, maka pola pendekatan asli yang bersifat “monisme-dualistik”, muncul kembali dalam Serat Centhini: Nora siji, nora loro, abeda nora beda, loro-loroning atunggil (Bukan satu bukan dua, berbeda tetapi tidak berbeda, keduanya adalah satu).9 9
S. Soebardi, The Book of Cabolek (the Hague: Martinus Nijhoff, 1975), hlm. 35. Makalah Diskusi | Juni 2010
5 Pola pendekatan ini terbukti memang ampuh dalam menyelesaikan masalah di tengah-tengah kecenderungan “hitam-putih” a la “Buta lorek jam sanga mati”, yang memandang sesuatu dengan “pengkutuban”, “pertentangan”, dan “konfrontasi”. Menjelang kemderdekaan, pendekatan “monodualistik” ini muncul ketika kita dihadapkan pada pilihan “Negara agama” atau “Negara Sekuler”. Dan jawabnya adalah Negara Pancasila, yang bukan “negara agama” dan bukan pula “negara sekuler”. Kaum “Buta Lorek” yang bepikiran “hitam-putih”, tentu saja sulit mencerna kearifan adi-luhung para leluhur Nusantara ini. Dalam pemikiran mereka, kalau tidak hitam ya putih, kalau tidak “beriman” (sesuai dengan iman saya) ya kafir, murtad, dan sebagainya. Jadi, hanya pasukan “Buta Lorek” yang tidak paham betapa kayanya warisan budaya bangsa kita, yang menentang Pancasila. Mereka lebih rela negeri ini akan terpecah-pecah, seperti India dan Pakistan (karena Hindu-Islam), atau negerinegeri kecil Afrika yang dibentuk oleh kekuatan imperialis. Waspadalah terhadap bahaya “balkanisasi” NKRI, yang sadar atau tidak sangat didukung oleh sistem politik dan demokrasi kita sekarang. Untuk itu, caranya hanya satu: Kembali kepada nilai-nilai Pancasila, dan kita hadang bersama-sama fanatisme picik agama dengan segala wujud dan manifestasinya.
III. Catatan Refleksi Ketika memperkenalkan sila Ketuhanan yang Maha Esa, Bung Karno ingin “menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.10 Meskipun demikian Bung Karno menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, termasuk dalam masalah agama. Karena itu, Bung Karno tidak menyetujui “negara agama”, atau suatu sistem teokrasi yang didasarkan atas salah satu agama saja. “Tetapi marilah kita semuanya bertuhan”, seru Bung Karno. “Hendaklah negara Indonesia ilah negara yang tiaptiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. 11 Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang disambut oleh para anggota Badan Persiapan Kemer-dekaan Indonesia (BPUPKI) dengan gegap gempita, Bung Karno menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila kelima. Mengapa? Karena kalau Bung Karno langsung mengusulkan Ketuhanan Yang Maha Esa, orang bisa saja waktu itu menyangka bahwa Bung Karno mengusulkan sistem teokrasi. Karena itu, rumusan Pancasila yang diusulkan Bung Karno dapat disebut rumusan empiris, karena itu diusulkan sila pertama “Kebangsaan Indonesia”. Sebab kita hendak mendirikan Negara Nasional, sebuah “Nationale Staat”, menurut istilah Bung Karno. Setelah konsep mula-mula mengenai Pancasila itu diusulkan pada sidang Panitia Sembilan, yang semua anggota sudah sepakat kita hendak mendirikan sebuah Nationale Staat yang mengayomi semua, dan bukan atas dasar agama tertentu, barulah disadari bahwa sebagai “Causa Prima” (Penyebab utama) segala sesuatu, maka Bung Hatta mengusulkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai sila pertama. Dari rumusan empiris 1 Juni 1945 B.A. Abednego, Kepemimpinan dan Manunggaling Kawula-Gusti. Disertasi (Singapore: SouthEast Asia Graduate School of Theology, 1986). 11 Bung Karno, “Lahirnja Pantja-Sila”, dimuat dalam buku Pancasila: Sekitar Tanggal dan Penggalinya – Guntingan Pers dan Bibliografi tentang Pancasila (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981), hlm. 198-199. 10
Makalah Diskusi | Juni 2010
6 disempurnakan menjadi rumusan filosofis yang akhirnya disepakati pada tanggal 18 Agustus 1945, berbareng dengan penetapan Konstitusi negara, dan rumusan filosofis Pancasila itu dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945. Dengan rumusan tersebut, menjadi jelas bahwa urutan sila-sila Pancasila tidak bisa dibolak-balik lagi. Ketuhahan Yang Maha Esa melahirkan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan ketika kita hendak mendirikan suatu negara. Lahirlah prinsip Persatuan Indonesia yang harus merujuk kepada kemanusiaan yang universal. “Kebangsaan Indonesia harus tumbuh subur di tamansarinya Peri Kemanusiaan”, kata Bung Karno. Selanjutnya, negara yang kita bangun bukan didasarkan atas prinsip monarkhi atau kekuasaan raja, melainkan prinsip kerakyatan, demi terwujudnya Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak didasarkan atas satu agama tertentu, melainkan menampung, mengayomi semua agama. Karena itu, menurut pengakuan Bung Karno sendiri, sila pertama itu digalinya bukan hanya dari lapisan imperialisme Barat, atau dari lapisan Islam dan lapisan Hindu-Budha saja, melainkan jauh sebelum masuknya agama-agama dunia. Menurut Bung Karno, jauh sebelum itu bangsa Indonesia “selalu hidup didalam alam pemujaan, yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya”.12 “Dus”, tegas Bung Karno, “kalau aku memakai ketuhanan sebagai suatu pengikat keseluruhan, tentu bisa diterima”. Sebaliknya, tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, “…maka saya menghilangkan atau membuang satu eklemen yang bindend, bahkan masuk betul-betul didalam jiwanya bangsa Indonesia”.13 Jadi, tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa, bangsa kita akan jatuh dalam sekularisme, tetapi sebaliknya dengan sistem teokrasi yang didasarkan atas agama tertentu, maka hasl itu akan bertentangan dengan realitas ke-“Bhinneka Tunggal Ika”-an, yang bisa mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Sejarah Indonesia sendiri mem-buktikan, bahwa Nusantara gagal dipersatukan dengan mengibarkan bendera “bulan sabit” baik pada masa Demak, Pajang, dan ratusan kerajaan-kerajaan kecil lain di luar Jawa, tetapi pernah menjadi Negara berdaulat yang jaya dengan wilayah mencakup seluruh Nusantara di bawah negara nasional Sriwijaya, Majapahit, dan kini NKRI yang berdasarkan Pancasila.
12 13
Bung Karno, Pantja-Sila sebagai Dasar Negara (Surabaya: Pendamar, 1958), hlm. 58. Ibid, hlm. 56-58. Makalah Diskusi | Juni 2010
7
Lampiran 1: “Agama Asli Indonesia” dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa *) Oleh: K.P. Sena Adiningrat *) Disampaikan dalam Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965, di Jakarta, 23 Maret 2010.
I. Pendahuluan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan/ Penodaan Agama − terlepas dari maksud untuk menjaga dan melindungi keluhuran nilai-nilai agama − kenyataannya jelas-jelas mengandung diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi, khususnya penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa. Penjelasan Pasal 1 undang-undang ini jelas hanya memprioritaskan 6 agama yang diakui pemerintah, sekaligus mendapat bantuan dan perlindungan, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konfusius. Sedangkan agama-agama lain, misalnya Yahudi, Sarazustrian, Shinto, Thaoism, sekalipun tidak dilarang tetapi terkesan dinomor duakan, seperti tampak pada rumusan “…dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya”. Ada lagi penjelasan Undang-undang ini yang jelas-jelas merendahkan eksistensi aliran kepercayaan yang berbunyi: Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalur-kan kearah pandangan yang sehat dan ke arah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini jelas-jelas menempatkan para penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa seolah-olah mereka menjadi “objek binaan”, karena karena pandangannya tidak sehat dan tidak mengarah kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan dalam Penjelasan Umum angka 2, disebutkan bahwa kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan “… bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indo-nesia timbulnya aliran-aliran dan organisasi-organisiasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum agama”. Terkesan bahwa tolok ukur “ajaran-ajaran dan hukum agama” yang dimaksud di sini adalah agama-agama resmi yang diprioritaskan negara (Penjelasan pasal 1), dan aliran-aliran tidak resmi (termasuik yang muncul dari salah satu agama) harus tunduk pada definisi agama-agama resmi. Karena itu, agama-agama resmi itu perlu dijaga dengan Pasal 1 Undangundang ini, dimana “penafsiran yang berbeda” dan “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai” dari agama-agama resmi tersebut dianggap sebagai delik penodaan agama. Inilah letak masalah-nya, siapakah yang harus menentukan standarisasi tafsir agama, atau siapakah yang berhak menentukan salah atau benarkah suatu keyakinan? Jadi, sama sekali bukan menyetujui agama dinodai, tetapi masalahnya pada kriteria penodaan agama dalam undang-undang ini didominasi oleh agama-agama yang diakui pemerintah. Makalah Diskusi | Juni 2010
8 Kembali kepada eksistensi aliran kepercayaan yang terdiskriminasi, selanjutnya Penjelasan Umum angka 2 juga menyebutkan: “Di antara ajaranajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama”. Sejarah membuktikan justru ekstrimisme yang membahayakan persatuan nasional sering tumbuh subur dalam agama-agama resmi, bukan kepercayaan tradisional. Sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia justru menunjukkan bahwa “agama asli” bersikap sangat ramah, inklusif, dan toleran terhadap agama-agama pendatang. Lalu mengapa yang jadi “tolok ukur” justru agama-agama pendatang, dan bukan pada keyakinan tradisional yang memang jarang mendefinisikan atau membuat pembakuan keyakinan? Di bawah ini akan dibuktikan eksistensi agama asli Indonesia dan bagaimana perkembangannya dari masa ke masa. Dalam lintas sejarah dibuktikan bahwa agama-agama pendatang disambutnya ramah, bukan dianggap sebagai musuh dan ancaman, sebaliknya dihargai, diadaptasi dan diterima untuk menghiasai mozaik keyakinan asli yang menyangga dan mendasarinya.
II. Definisi Agama (Religion) Sebelum menguraikan apakah yang disebut “Folk Religion” (agama asli) dan bagaimana perkembangannya dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, izinkanlah saya menguraikan dahulu definisi agama itu sendiri dari beberapa bahasa yang akhirnya diserap dalam bahasa Indonesia. H. Zainal Arifin Abbas dalam bukunya Perkembangan Pemikiran terhadap Agama, kata “agama” berasal dari bahasa Sanskerta “tidak kacau”: a berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”.14 Sedangkan menurut P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata “agama” telah diserap dalam bahasa Jawa kuno yang mengandung beberapa arti: “doktrin atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan doktrin”, “karya-karya suci”. Dalam makna ini kata agama muncul dalam berbagai karya sastra Jawa kuna, antara lain: Adiparwa, Wirataparwa, Ramayana, dan sebagainya.15 Tidak jauh berbeda dengan P.J. Zoelmulder, menurut L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia kata agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2) hukum atau perundang-undangan; dan (3) agama atau religi. Kata “agama” dalam makna religi ini misalnya dijumpai dalam Kakawin Negarakertagama (XXV,2): “Mapanji santara widagdheng agama wruh kawi”. Artinya: “Para panji yang lain ahli dalam pengetahuan agama dan mahir pula dalam kesusastraan”.16 Kata “agama” memang diserap dari bahasa Sanskerta: a berarti “tidak” dan gama “bergerak”, artinya sesuatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya. Dalam makna seperti ini, dalam bahasa Jawa kuna “agama” berarti “aturan-aturan hukum” yang salah satu aspeknya “kepastian”. Karena itu, kitab undang-undang Majapahit yang berlaku pada zaman Prabu Hayamwuruk (1350-1389 M) disebut Sang Hyang Agama (nama lain dari Kutaramanawa),17 dan kitab undang-undang yang berlaku pada zaman Prabu Zainal Airfin Abbas, Perkembangan Fikiran Terhadap Agama (Medan: Firma Islamiyah, 1957), hlm. 19. 15 P.J. Zoelmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna - Indonesia Jilid I (Jakarta: Gramedia Pustaka Sarana, 1997), hlm. 12. 16 L. Mardiwarsito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1990), hlm. 12. 17 Wetboek van Kutaramanawa (disebut juga Lontar “ gama“) bahasa Jawa kuna disimpan di Perpustakaan Leiden (Code Asal: G.D. Huet), transliterasi dalam aksara Latin: P.J. Zoetmulder, Koleksi Perpustakaan “Artati”, Map. 83, Universitas Katolik Sanata Dharma, Yogyakarta. 14
Makalah Diskusi | Juni 2010
9 Wikramawardhana (1389-1427 M) disebut Sang Hyang Adi gama. Perlu dicatat pula, bahwa Undang-undang Adi Agama warisan Majapahit ini sampai sekarang masih diberlakukan di Bali, khususnya berkaitan dengan tindak pidana adat Lokika Sanggraha yang diatur dalam Pasal 384 Adi Agama jo. Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-undang Nomor 1/Drt/1951. 18
Ungkapan lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”. Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare yang berarti “mengikat”. Jadi, arti “religio” disini adalah way of life lengkap dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya, sebagai alat untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.19 Sedangkan dalam bahasa-bahasa semitik di Timur Tengah, “agama” disebut dalam bahasa Arab “Dîn”, yang sering dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn ternyata cognate dengan bahasa-bahasa semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna (Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”.20 Selain itu dalam bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya seperti ungkapan Ibrani: Yom haDen (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/ hari pengadilan).21 Selain kata din, dalam bahasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah juga berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim kepada Sang Pencipta (Abraham), yang dijuluki “Bapa orang-orang beriman” (Arab: Abu al-Mu’minin, Ibrani: Ab ha Ma’a-minim) dalam Yudaisme, Kristen dan Islam.22 Dari ungkapan-ungkapan berbagai bahasa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama atau religi mengandung baik unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata kerja − maupun “sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda. Yang pertama “agama” sebagai gerak hati dan religiusitas, yang kedua “agama” sebagai “ajaran-aajran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh lembaga keagamaan (the organized religion). Jadi, dalam makna di atas maka apa yang disebut “kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” adalah agama (religion) dalam makna yang semurni-murninya secara ilmu agama-agama (Inggris: the sciense of religions, Jerman: Religionswisseschaft; Perancis: la science de religion). Dalam hukum adat Bali, undang-undang Agama termasuk dalam “ Kitab Catur Agama“, untuk kepentingan Raad Kerta buku undang-undang ini pernah dipublikasikan pada zaman kolonial: I Goesti Poetoe Djelantik, Wetboek “ Agama” in Het Hoog-Balisch en Maleisch Vertaald (Batavia: Landrukkerij, 1918). Undang-undang ini pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Slamet Muljana. Lihat: Slamet Mulaya, Perundang-undangan Majapahit (Djakarta: Bhratara, 1967). Lontar Ādigama, bahasa Jawa kuno. Transliterasi aksara Latin: K. Kaler, Singaraja: Gedung Kirtya, 1949 (Nomor IIa 578). Juga pernah diterbitkan pada zaman kolonial: I Goesti Poetoe Djelantik dan Ida Bagoes Oka, Ādi Āgama: Oud Bausch Wetboek op Last van den Resident van Bali en Lombok in Het Hoog Balisch Vertaald (Batavia: Landrukkerij, 1918). 19 W.B. Sidjabat, “Penelitian Agama: Pendekatan dari Ilmu Agama”, dimuat dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1985), hlm. 76-77. 20 Jane Dammen McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an. Vol. IV (Leiden-Boston: Brill, 2004), hlm. 400-401. 21 Arthur Jefferey, The Foreign Vocabulary of the Quran (Lahore: Al-Biruni, 1978), hlm. 131-133. 22 Jane Dammen McAuliffe (ed.), Op. Cit., hlm. 401. 18
Makalah Diskusi | Juni 2010
10 Bahwa definisi agama atau religion ini tidak sesuai dengan definisi yang diberikan oleh agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan sebagainya) ini adalah masalah lain. Lebih tegasnya, “dîn” atau “millah” dalam Islam, “dîn/dîna” atau “religio” dalam Kristen, atau “agama”, “dharma”, “dhamma” dalam Hindu dan Buddha adalah makna teologis yang diberikan oleh agama-agama tersebut terhadap suatu ungkapan yang secara bahasa adalah netral. Padahal soal teologi atau akidah adalah “wilayah” keyakinan, dan soal itu di luar wewenang ilmu agama-agama, yang tidak berpretensi membenarkan atau menyalahkan keyakinan suatu agama.
III. Eksistensi “Agama Asli” dan Perkembangannya Dari Masa Ke Masa Sebelum masuknya agama-agama besar dunia ke Indonesia, masyarakat Indonesia sudah berTuhan dan menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya. Di bawah ini adalah bukti-bukti bahwa prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijunjung tinggi, dan meskipun agama-agama dalam perjalanan selanjutnya diterima, tetapi direfleksikan kembali dalam prinsip Ketuhahan yang lebih universal, mengatasi “agama-agama terorganisasi” (organized religions) yang sepanjang sejarah masuk dan diterima ramah oeh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia dalam lintasan sejarahnya selama beribu-ribu tahun adalah bangsa yang luwes, toleran dan terbuka. Sejak awal sejarahnya yang paling dini, pengaruh agama-agama luar diterima dengan ramah, tetapi direfleksikan kembali dalam konteks ke-budayaannya sendiri. Beberapa bukti sejarah membuktikan kesimpulan di atas, antara lain dapat diikuti dari bukti-bukti di bawah ini: 1. “Agama Asli” Pada Era Pra-Hindu Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan Hindu/ Buddha sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), Sang Hyang Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Sang Hyang Taya (Sang Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuna ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda Teu Aya (tidak ada).23 Prof. Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa (Jilid II) membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain, menunjukkan ada keyakinan tentang Yang maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuna lainnya: Hyang.24 Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”). R.M. Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi (Djakarta-Amsterdam: Penerbit Djambatan, 1954), hlm. 68. M. Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa. Jilid I (Djakarta: Penerbit Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 65.
23
24
Makalah Diskusi | Juni 2010
11 J. Ensink, seorang sarjana Belanda, mendukung kesimpulan Pigeaud, sarjana Peran-cis pendahulunya, yang mencatat salah satu ciri kepercayaan asli Indonesia antara lain tercermin dalam klasifikasi alam “serba dua” (monodualistis): Bapa angkasa-Ibu pertiwi; Nini among-Kaki among, Kiri-Kanan, KajaKelod, dan sebagainya, dimana keduanya berbeda tetapi saling berdampingan secara abadi.25 Filosofi inilah yang menyangga pendekatan alam yang serba harmoni, yang terbukti menjadi tiang penyangga tradisional perekat kebangsaan kita dari zaman pra-sejarah hingga NKRI. Selanjutnya, kekuatan Yang Maha tinggi itu sering diibaratkan dengan “gunung”. Simbol keyakinan asli Indonesia ini, meskipun tidak dibuktikan oleh tradisi tertulis tertua dari Indonesia sendiri, uniknya justru diabadikan dalam syair India Ramayana, berbahasa Sanskerta (150 M) yang berbunyi: “Yavadwipa matikramya sisiro nama parwatah, diwam sprasati srngena Dewa danawasevitah” (Di ujung Nusantara, berdiri gunung Sisira, yang puncaknya bersaju menyaput langit, dikunjungi oleh para dewa dan danawa).26 Jadi, sebelum bangsa India datang ke Nusantara, sudah terdengar dari India sendiri tentang negeri Nusantara dengan gunung Parwata-nya yang dikunjungi Dewa. Maksudnya, gunung yang menjadi simbol penyembahan kepada Sang Pencipta. Akan dibuktikan dalam tulisan ini selanjutnya, bahwa pemujaan kepada Sang Pencipta dengan simbol “gunung Parwata” ini, masih terus bertahan di tengah-tengah berjayanya agama Hindu/Buddha pada zaman majapahit. Sebab tenyata Mpu Tantular sendiri (abad XIV M) bukan pemuja Siwa maupun Buddha, melainkan seorang yang memuja Sri Parwata Raja, istilah yang lahir dari local genius bangsa Indonesia pada zamannya. Istilah ini kini sejajar dengan konsep Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. “Agama Asli” Pada Era Hindu-Buddha Pada masa kejayaan Hindu-Buddha, konsep agama asli secara ramah menyambut kedatangan Hindu/Buddha. Namun pengaruh Hindu/Buddha ini hanya memperindah mozaik spiritualitas Nusantara, tetapi sama sekali tidak sampai larut dalam samudera spiritualitas India. Bahkan sering kali spiritualitas asli ditempatkan di atas agama-agama India. Ungkapan-ungkapan India sering dipinjam tetapi disesuaikan dengan alam pikiran asli Indonesia. Beberapa contoh di bawah ini membuktikannya: 2.1. Zaman Kerajaan Sriwijaya Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Prasasti yang berasal dari kerajaan nasional pertama, yaitu kedatuan Sriwijaya ini, menyebutkan bahwa Dapunta Hyang melakukan “ziarah raja” (siddhiyatra) demi kejayaan Sriwijaya: Dapunta Hyang nayik di samwau manalap siddhayatra. Artinya: “Dapunta Hyang naik naik ke bahtera pergi menjemput berkah keba-hagiaan tuah-kesaktian”. Menurut Mr. Muhammad Yamin, siddhiyatha adalah perjalanan “ngalap berkah” kepada kekuatan adikodrati yang disebutnya Hyang (Tuhan Yang Maha Esa).27 Bahkan dibuktikan bahwa nama Dapunta Hyang secara jelas membuktikan pemujaan kepada Sang Hyang (Tuhan) sebelum masuknya pengaruh Hindu/ Buddha. J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Ciwa dan Buddha (Jakarta-Leiden: Penerbit Djambatan – KITLV, 1982), hlm. Xx. 26 Srimad Valmiki-Ramayana. With Sanskrit text and English Translation Part-I:I Aranya-Kanda, Kiskinda Kanda and Sundara Kanda (Gorakhpur, India: Gita Press, 1992), hlm. 1019-1020. 27 M. Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa. Jilid II (Djakarta: Penerbit Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 71. 25
Makalah Diskusi | Juni 2010
12 2.2. Zaman Kerajaan Sunda Naskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian dari kerajaan Sunda kuno, ditulis kira-kira abad V M. Ketika pengaruh Hindu dan Buddha mulai masuk, keduanya disambut ramah: Hongkara namo Siwa (Selamatlah dengan nama Siwa), dan Sembah ing Hulun di Sanghyang Pancatatagatha (Sembah hamba kepada Sang Panca Tatagata). Keduanya disambut baik, karena “ya eta pahayuon sareanana” (Itu demi kebaikan semuanya). Meskipun demikian, agama-agama yang datang – yang diwakili dengan kata “Bathara” – ditempatkan di bawah Hyang (prinsip Ketuhanan universal, penghayatan asli bangsa Indonesia): “…mangkubhumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di Hyang” (Mangkubumi berbakti kepada Raja, Raja berbakti kepada dewa-dewa, dan dewa-dewa berbakti kepada Hyang/ Prinsip Ketuhanan yang universal).28 2.3. “Agama Asli” Pada Era Kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singasari dan Majapahit Perkembangan kedua agama selanjutnya menarik untuk disimak. Hindu, khususnya madzab Siwa dan Buddha, pada masa-masa sesudah itu sangat menonjol. Pada era kerajaan Mataram Hindu (Jawa Tengah), kedua agama itu masih terpisah, berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menganggu (co-existence), tetapi pada masa kerajaan-kerajaan Jawa Timur secara bertahap, dari relasi coexixtence meningkat menjadi relasi “pro-existence” (saling ada dan saling berbagi). Tahap-tahap itu misalnya dapat dibaca pada karya-karya sastra sebagai berikut: Dalam Kunjarakarna (abad XI) dari Kerajaan Singasari) ditekankan kerukunan antara kedua agama: Tunggal ika kabeh, kami Siwa kami Buddha (Semua menjadi satu, kita yang Siwa, maupun kita yang beragama Buddha),29 tetapi rupanya masih dalam tahap co-existence sebagai satu kesatuan sosiologis. Sedangkan dalam Sang Hyang Kamahayanikan (abad X, Mpu Sindok) ungkapan: Buddha tunggal lawan Siwa (Buddha dan Siwa itu satu),30 mulai merenungkan relasi keduanya secara metafisik. Raja Kertanegara, pencetus politik persatuan Nusantara, menyebut “Sang Hyang Siwa-Buddha” dalam praxis Sangkan Paraning Dumadi (asal muasal dan tujuan Kehidupan). Ungkapan Sang Hyang Siwa-Buddha disini dipahami dalam makna prinsip tertinggi Ketuhanan yang Maha Esa, yang mengatasi baik Siwa maupun Buddha itu sendiri.
Puncak dari refleksi mengenai prinsip universal Ketuhanan Yang Maha Esa yang “beyond religions” (mengatasi agama-agama) ini terjadi pada era kejayaan Majapahit. Majapahit adalah negara nasional kedua, yang jelas-jelas bukan negara Hindu. Sekalipun sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, tetapi Majapahit tidak menjadikan hukum Hindu sebagai “hukum negara”. Pada era keemasan Majapahit, prinsip Ketuhahan Yang Maha Esa itu disebut oleh Mpu Prapanca dan Mpu Tantular sebagai Sri Parwatharaja, yang bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan mengandung unsur-unsur prinsipil baik Siwa maupun Buddha.
I.B. Putu Suamba, Siwa-Buddha di Indonesia (Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan dan Penerbit Widya Dharma, 2007), hlm. 67-68. 29 Ibid, hlm. 106-107. 30 Ibid, hlm. 197-198. 28
Makalah Diskusi | Juni 2010
13 Prinsip Ketuhanan yang lebih universal tersebut dapat dibaca dalam Kakawin Sutasoma Pupuh 89,5 sebagai berikut: Rwaneka dhatu winuwus wara Buddha wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangkang Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal Bhinneka Tunggal ika, Tan Hana dharma mangrwa. Artinya: “Disebutkan bahwa Sang Hyang Buddha dan Sang Hyang Siwa adalah dua substansi yang berbeda. Keduanya sungguh-sungguh berbeda, namun bagaimana mungkin mengenal sekilas perbedaan keduanya. Karena hakikat Siwa dan hakikat Buddha adalah tunggal. Berbeda-beda tetapi satu juga, dan tidak ada kebenaran yang mendua”.31
Siapakah Sri Parwataraja? Seperti telah disinggung sebelumnya dalam tulisan ini, Sri Parwata Raja adalah istilah bagi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa pada zaman Majapahit, terlepas dari melalui agama-agama India (Siwa, Buddha) atau penghayat kepercayaan asli (karesian). Bahwa Sri Parwata Raja adalah “prinsip tertinggi, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa”, terbukti dari syair Mpu Prapanca dalam Negara Kertagama bahwa Sri Parwataraja adalah “Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep penyatu nasional, bukan Siwa dan bukan Buddha, melainkan Sang Hyang Siwa-Buddha, “Pelindung Mutlak” (Natha ning anatha), “Raja dari segalka raja di dunia” (Pati ning Jagad pati), dan “Tuhan dari segala konsep Tuhan personal dalam masing-masing agama (Hyang ning hyang inisthi).32 Ungkapan Parwatharaja, Girinatha, Girindra yang semuanya menunjuk kepada “Sang Raja Gunung”, maksudnya “Sang Penguasa tertinggi”, berakar pada ungkapan bahasa Nusan-tara Dapunta Hyang (yang menguasai alam tertinggi). Jadi, kesadaran rohani akan Ketuhanan Yang Maha Esa sudah ada jauh sebelum kedatangan agama-agama ke Indonesia. Dan terbukti pula, bahwa kesadaran itu yang memandu bangsa Indonesia untuk menerima, sekaligus mengolah pengaruh-pengaruh luar, yang ternyata tidak pernah menenggelamkan jatidiri bangsa kita. Spiritualitas agung Nusantara yang mengatasi aspek lahiriah agama-agama itu, telah memandu bangsa Indonesia dalam menapaki perjalanan sejarahnya yang panjang. Prinsip itu pula yang mempersatukan Sriwijaya dan Majapahit, dan mengantarkan kedua negara nasional itu ke puncak kemegahannya. 2.4. Kerajaan Demak dan Pajang Kebebasan beragama yang bersumber pada kesadaran Holistic spirituality ini hilang pada masa Demak dan Pajang, ketika prinsip negara nasional digantikan dengan prinsip “negara agama” (theokrasi). Bukti bahwa prinsip “Negara agama” yang intoleran dan rawan memecah belah Nusantara itu, antara lain ditunjukkan dengan “pengadilan atas keyakinan yang berbeda” berdasarkan tafsir tunggal sebuah (aliran) agama. Kasus hukuman mati atas Syekh Siti Jenar pada zaman kerajaan Demak dengan jelas membuktikan kebangkrutan sebuah ideologi agama yang bercorak “imperialisme doktriner” yang kurang memberi tempat pada keyakinan iman yang berbeda-beda. J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Op. Cit., hlm. 26. Teks lengkap Sutasoma sudah diterbitkan bilingual: Jawa Kuna dan Indonesia, lihat: Mpu Tantular, Kakawin Sutasoma. Alih Bahasa: Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009). 32 J.H.C. Kern dan W.H. Rassers, Op. Cit., hlm. xix-xx. Teks lengkapnya lihat: H. Kern, Het OudJavaansche Lofdicht Negarakrtagama van Prapanca 1365 AD (Amsterdam: “Hadi Poestaka” Boekh. En Uitg. Mij ‘s-Gravenhage, 1919), hlm. 22. 31
Makalah Diskusi | Juni 2010
14 Dalam kaitannya dengan paham kebangsaan, Bung Karno, dalam pidatanya tanggal 1 Juni 1945 ketika mengusulkan Dasar negara Pancasila, mengatakan bahwa kita hanya memiliki dua kali negara nasional (Nationele Staat) sebelum NKRI, yaitu Sriwijaya dan Majapahit.33 Karena keduanya bukan “negara agama”, maka keduanya pernah berhasil mempersatukan Nusantara. Pada masa kedua “negara nasional” sebelum NKRI ini tidak pernah ada orang yang berbeda dalam formula iman dipidana, rumah-rumah ibadah dibakar apapun alasannya. Tetapi ketika Demak menjadi “negara agama” dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika diganti dengan Agama ageming aji (agama raja, agama negara) barulah muncul kasus Syek Siti Jenar, dan sejak Demak Nusantara terpecah-pecah. Jangankan mempersatukan Nusantara, sesama Jawa saja tidak mau mengakui kedaulatan Demak. 2.5. Kerajaan Mataram Mataram mulai menyadari kegagalan ideologi agama, dan mencoba mengembalikan “spirit Majapahit”, namun gagal dan kalah cepat dengan kekuatan kolonialisme dan Impe-rialisme Barat. Salah satu indikator kebebasan beragama yang mulai dirintis dan dikembalikan oleh Mataram adalah diampuninya Haji Mutamakin yang mengajarkan ajaran Manunggaling Kawula-Gusti berdasarkan “Serat Dewa Ruci”, atas laporan dari Ketib Anom yang mewakili Islam Santri. Serat Dewa Ruci adalah salinan dan pengembangan dari naskah Jawa kuna berjudul Nawa Ruci, karya Mpu Siwamurti dari masa akhir Majapahit. Kasus “beda tafsir agama” ini dicatat dalam Serat Cabolek.34 Selanjutnya menarik untuk dicatat pula, bahwa dibiarkannya kedua pendapat ber-kembang, di kemudian hari masing-masing telah mengkristal menjadi dua kelompok: Santri (Islam ortodoks), dan Abangan-Priyayi (yang cenderung kepada Kejawen). Serat Cabolek sendiri lebih condong ke pandangan santri, karena itu kita tidak bisa menyalahkan Haji Muta-makin yang “dituduh mengajarkan aliran sesat”, tanpa kita mendengar dan membaca sendiri argumentasi teologisnya. Sinuhun Paku Buwana II tampaknya tidak suka kepada para ulama yang berusaha mengadili keyakinan Mutamakin, sehingga Mutamakin dibebaskan dari tuduhan mengajarkan ajaran sesat.35 Kedua paham yang berbeda tersebut akhirnya boleh berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa negara secara bijak mengambil jarak dari soal-soal yang termasuk dalam ”ruang privat” warganega. Bercermin dari “kaca benggala” sejarah di atas, patut dipertanyakan apakah beberapa kasus pengadilan atas keyakinan seseorang atau sekelompok orang a la Syeh Siti Jenar ini akan terus berlangsung, gara-agara negara terlalu turut campur dalam menentukan sesat tidaknya sebuah aliran agama, seperti tersirat dan tersurat dari Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1965? Sekali lagi, dengan mengatakan bahwa undang-undang penodaan agama harus dicabut tidak berarti bahwa saya menyetujui penodaan terhadap nilai-nilai luhur agama. Sama sekali bukan, melainkan jangan sampai negara terlalu jauh mencampuri urusan sesat/ tidaknya sebuah agama atau aliran kepercayaan yang sepanjang sejarah dari zaman ke zaman selalu tumbuh dalam masyarakat Indonesia.
RM. AB. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945. Edisi Revisi (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 159. 34 S. Soebardi, The Book of Cabolek (the Hague: Martinus Nijhoff, 1975), hlm. 35. 35 Lihat: “Kata Pengantar” buku S. Soebardi dalam bahasa Indonesia. S. Soebardi, Serat Cabolek: Kuasa, Agama, Pembebasan. Pengadilan K.H. A. Mutamakin dan Fenomena Shaikh Siti Jenar. Alih Bahasa: Enoch Mahmoed dan Mahpudi (Bandung: Penerbit Nuansa, 2004), hlm. 14. 33
Makalah Diskusi | Juni 2010
15 IV. Mengkritisi unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama Jelaslah bahwa pembatasan terhadap hanya 6 agama yang diakui pemerintah, ditinjau dari sudut ilmu agama-agama − dan ini jelas di luar kewenangan pemerintah untuk mengu-rusinya − jelas-jelas tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tampak sekali “definisi agama” yang melatarbelakangi munculnya undang-undang diskriminatif ini adalah jelas-jelas definisi agama menurut agama tertentu. Misalnya, syarat-syarat bahwa agama harus mempunyai konsep Tuhan, Kitab Suci, dan Nabi adalah jelas-jelas definisi Islam. Diantara agama-agama semitik saja (Yahudi, Islam dan Kristen), konsep Nabi, Kitab Suci dan pe-wahyuan saja sudah berbeda, lebih-lebih lagi agama-agama non-Semitik, seperti Hindu dan Buddha. Agama-agama semitik mengklaim diri sebagai “agama monoteis”, dan bisa saja menuduh agama lain “politheis”, atau minimal “kurang monotheis”. Padahal baik tradisi monotheisme, monisme dan pantheisme semua ada dalam agama Hindu. Sebaliknya, agama Buddha jelas-jelas terpaksa menerima syarat harus ber-“Ketuhanan Yang Maha Esa”, padahal filosofi ajaran Buddha jelasjelas bersifat non-theis (bukan atheis, melainkan non-theis sebab tidak mengenal konsep Tuhan sebagai Personal God). Lebih-lebih lagi dalam satu agama, misalnya Kristen/ Protestan, ada lebih dari “satu penafsiran”. Begitu juga dalam Islam, Hindu, Buddha dan sebagainya. Lalu apabila terjadi lebih dari satu tafsir terhadap kitab suci masing-masing, bagaimana harus menerapkan ketentuan dalam pasal 1 “melakukan penafsiran ter-hadap suatu agama yang berlaku di Indonesia?” Ketentuan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 juga bisa menghalangi studi ilmu agama-agama. Misalnya, dalam Kristen kadang-kadang berkembang penafsiran akademis atas agama Islam. Tentu saja “penafsiran Kristen” atas Islam ini berbeda dengan Islam. Apakah ini termasuk penodaan agama? Sebaliknya, apabila seorang teolog Muslim mengembangkan penafsiran atas Kristen dengan memakai ayat-ayat Alkitab yang jelas-jelas berbeda dengan pandangan Kristen sendiri. Apakah perbedaan penafsiran ini juga melanggar undang-undang penodaan agama? Kalau dijawab, “Ya!”, berarti Ibnu Taimiyyah dan Imam al-Ghazali juga bisa dikenakan tuduhan melakukan penodaan terhadap agama Kristen. Karena Ibnu Taimiyyah dalam bukunya Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang Benar atas orang Yang mengubah agama Kristus),36 yang menafsirkan ayat-ayat Alkitab berbeda dengan “penafsiran resmi” Kristen. Begitu juga dengan Imam al-Ghazali (wafat 1111 M), dalam bukunya Ar-Radd al-Jamîl li Ilahiyyati ‘Isa bi Syarîh al-Injîl (Penolakan Sempurna atas keilahian Yesus berdasarkan Injil yang Otentik),37 seharusnya juga bisa dikenakan Pasal 1 Undang-undang Penodaan Agama, karena buku ini berisi penafsiran a la Islam atas teks-teks Suci Kristen demi mendukung pandangan teologis Islam sendiri. Kalau kita menengok sejarah agama-agama dan penyiaran-nya, pertanyaan bisa semakin panjang. Misalnya, proses “islamisasi” (yang bisa disambung dengan “kristenisasi”) cerita-cerita wayang yang cerita-ceritanya banyak mengadaptasi dari India. Syeikh al-Islâm Ahmad bin ‘Abdul Halim bnu Taimiyyah, Al-Jawâb ash-Shahîh li Man Baddala Dîn al- Masîh. Jlid I-II (Cairo: Dâr Ibnu al-Hisyam, 2003). 37 M. ‘Abd Allah Sarqawi, Al-Radd al-Jamîl li Ilahiyat ‘Isa bi Syarîh al-Injîl li al-Imâm al-Ghazali (Madinat Nasyr, Mesir: Dâr al-Hidayah, 1986). Roberts Chidiac, Al-Ghazali: Refutation Excellente de la Divinite de Jesus-Christ D’Apres Les Evangiles. Texte Etabli, Traduit et Commente (Paris: LIbrairie Ernest Leroux, 1939). 36
Makalah Diskusi | Juni 2010
16 Jangan-jangan penulis “Babad Cirebon” dapat dikenai delik penodaan agama, karena menafsirkan pustaka Kalimasada dengan tafsiran Islam Kalimat Syahadat. Padahal Kalimasada berasal dari bahasa Sanskerta Kalimahosadha (Kali, “zaman Kali”, “zaman Kegelapan”; maha, “besar” dan usadha “penyembuh”), artinya “Penyembuh besar pada zaman Kegelapan”.38 Keterangan mengenai pustaka Kalimahosada ini dapat dibaca dalam Kakawin Barata Yuddha (syair XLI,5), karya Mpu Sedah (1135-1157 M), seorang pujangga Prabu Jayabaya Kediri, sebagai berikut: “….enget ring wekasan Yudhisthira sukang pinituturan tan dwang sanjata pustaka Kalimahosada rinegepira. Sampun sida sinidikara dadi tomara mangarab-arab. Artinya: “Akhirnya Yudistira menemukan kembali kesadarannya dan ia suka dalam hati, karena ada orang-orang yang mengingatkannya. Dengan wajarnya ia memegang senjata pu-saka Kalimahosada, mantera-menteranya diucapkan secara sempurna, sehingga sen-jata itu memiliki kekuatan gaib dan menjelma menjadi tombak sakti yang berkobar-kobar”.39
Kalau kita lacak lebih jauh lagi, sebagaimana disimpulkan dari hasil penelitian Hazeu, Rassers dan Kruyt, wayang adalah seni pertunjukan asli Jawa yang berfungsi untuk pe-nyembahan kepada Sang Pencipta. Pada awal kerajaan Hindu, wayang masih berfungsi se-bagai ritual penyembahan”, sekalipun sudah diisi dengan cerita-cerita Hindu. Hal ini terbukti dari prasasti Balitung (905 M): “…Si Galigi mawayang bwat Hyang, macarita Bhima ya kumara” (Si Galigi memainkan wayang untuk menyembah Tuhan, bercerita tentang Bhima ketika masih muda).40 Apakah memakai pertunjukan wayang Jawa demi menyiarkan prinsip-prinsip ajaran Hindu dan kemudian dilanjutkan oleh Islam adalah “penodaan agama”? Pada zaman Islam para wali memakai wayang demi dakwah Islam, dan kisahkisah Hindu di-“islam”-kan habis-habisan, sampai-sampai dalam Serat Kanda Bathara Guru (Sang Hyang Siwa), Dewa Pralina da-lam agama Hindu, diidentikkan dengan Iblis, yang mengaku diri Tuhan?41 Begitu juga, dalam sejumlah naskah Jawa-Islam dewa-dewa Hindu diturunkan derajatnya menjadi ketu-runan Nabi Adam? Bukankah ini memenuhi rumusan delik “… atau membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu”? Memang, bagi orang Muslim dan Kristen, pertunjukan wayang hanyalah tontonan, tetapi bagi orang Jawa kuna adalah kegiatan keagamaan. Jadi, apakah menggunakan istilah-istilah Jawa-Hindu dan menafsirkan dengan ajaran Islam bukan merupakan penodaan agama menurut Penjelasan pasal 2 Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965?
Dalam Kakawin Baratayuddha, karya Mpu Sedah (1135-1157), pusaka Kalimahosada adalah milik Prabu Yudistira berwujud tombak yang meyala-nyala, bukan kalimat syahadat seperti tafsiran zaman Islam. Bambang Noorsena, Menyongsong Sang Ratu Adil (Yogyakarta: Yayasan Andi, 2004), hlm. 98. 39 R.M. Sutjipto Wirjosuparto, Kakawin Barata Yuddha (Djakarta: Penerbit Bhratara, 1968), hlm. 156, 324. 40 Teks Prasasti Balitung dalam bahasa Jawa kuna dapat dibaca dalam Inscripties van Nederlandsh-Indie, Aflering I (Batavia: Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weten-schappen, 1940), hlm. 4-7. 41 S. Padmosukotjo, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita Jilid I (Surabaya: PT. Citra Jaya Murti, 1990), hlm. 11. 38
Makalah Diskusi | Juni 2010
17 “Dengan kata-kata “kegiatan keagamaan” dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran dengan agama, mempergu-nakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya dan sebagainya (Penjelasan Pasal 2).
Perlu dipertanyakan “menggunakan istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya”. Siapakah yang bisa mengklaim bahwa suatu “pola ibadah” dan term-term keagamaan tanpa pengaruh dari bahasa-bahasa yang digunakan oleh komunitas agama sebelumnya. Misalnya, membaca Kitab dengan tartil yang dikenal Tilawat Al-Qur’an dalam Islam, ternyata sebelumnya sudah ada dalam komunitas Kristen Ortodoks di Timur Tengah dengan sebutan “mulahan Injil”. Dari zaman pra-Islam sampai sekarang adab pembacaan Kitab Suci ini dikenal di seluruh gereja-gereja ortodoks, baik di Timur Tengah, Ero-pa Timur dan Rusia. Kita semua bisa menyaksikan di negera-negara Arab, bagaimana orang Kristen mengajikan Injil sangat mirip dengan umat Islam mengajikan ayat-ayat Al-Qur’an. Begitu juga pemakaian jilbab sudah dikenal di Code Hamurrabi (abad XIV SM), yang kemudian dilestarikan oleh orang Yahudi, Kristen Timur dan kemudian dilanjutkan oleh Islam. Bagi kita yang hidup di Indonesia, kalau ada orang Kristen membaca Injil dengan dingajikan bisa dituduh membuat “kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu (Islam)”, padahal di Timur Tengah orang Yahudi, Kristen dan Islam mempunyai adab ibadah yang hampir sama, karena ketiga agama itu memang mempunyai akar dan rumpun yang sama. Khususnya untuk penghayat Kepercayaan dilarang menggunakan istilah “agama” (se-telah istilah yang diambil dari bahasa Jawa kuna ini mengalami pembakuan oleh pemerintah), secara historis bisa dipertanyakan: “Siapakah yang lebih dahulu memakai istilah agama”? Bukankah kata “agama” telah terlebih dahulu diserap dalam bahasa Jawa kuna, sedangkan kata ini tidak dijumpai baik dalam Injil maupun Al-Qur’an? Begitu juga soal pembakuan bahwa agama harus mempunyai konsep “Tuhan”, “Nabi”, “Kitab Suci”, ini benar-benar sebuah bentuk imperialisme doktriner yang menggunakan kekuasaan negara, bahkan tidak sesuai dengan jalannya logika dan fakta sejarah. Sebab faktanya kaum penghayat mempunyai konsep yang sama sekali berbeda. Orang Jawa tidak pernah mengenal nabi atau rasul. Kasunyatan Jawi, misalnya, memandang bahwa ibu kita sendiri adalah utusan Tuhan untuk melahirkan kita. Tentu saja konsep “utusan” ini sangat berbeda bila dipahami menurut logika agama-agama Yahudi, Kristen dan Islam. Namun paham Kristen atau Islam ini tentu tidak bisa dijadikan “tolok ukur” untuk menilai keyakinan atau pandangan lain yang berbeda. Sebab sekali lagi, dalam konteks ilmu agama-agama, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah “agama dalam pengertian yang sebenar-benarnya”.
V. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas maka kami memandang bahwa Undangundang Nomor 1/PNPS/1965 tidak diperlukan dan harus dicabut, karena telah mendeskriminasi agama dan kepercayaan lain di luar yang diakui oleh Pemerintah. Rumusan delik sebagaimana yang terdapat dalam pasal 1 sangat Makalah Diskusi | Juni 2010
18 sulit dilaksanakan, karena secara faktual bertentangan dengan sejarah agamaagama itu sendiri: Pertama, kriteria “melakukan penafsiran terhadap suatu agama yang berlaku di Indonesia” bertentangan dengan fakta bahwa tidak pernah ada tafsir tunggal dalam satu agama itu sendiri, apalagi antara agama yang satu dengan agama lainnya. Kegiatan saling menaf-sirkan agama dari perspektif agama yang dianut oleh penafsirnya, justru sepanjang sejarah telah terjadi. Lebih-lebih dalam prakteknya selama ini, perbedaan tafsir dengan “versi agama resmi” ini telah menjadi justifikasi terhadap tindakan kekerasan atas nama kebenaran agama, seperti yang khususnya dialami oleh kaum penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, kriteria “membuat kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatankegiatan agama itu” juga bertentangan dengan fakta sejarah agama. Kesamaan istilah atau term-term keagamaan, pola ibadah, dan sebagainya, kadang-kadang muncul karena keserumpunan aga-ma (misalnya: Yahudi, Kristen dan Islam di Timur Tengah; Hindu dan Buddha di India; Konfusius dan Tao di Cina, dan sebagainya), atau beberapa agama dalam perkembangannya tumbuh di suatu tempat yang sama. Sekali lagi harus ditekankan bahwa pencabutan Undang-undang Nomor 1/ PNPS/1965 tidak berarti membiarkan terjadi penodaan agama, sebab pasal-pasal KUHP sudah menga-turnya. Pada prinsipnya, usulan pencabutan Undang-undang Penodaan Agama ini salah satunya dilandasi oleh alasan bahwa keberadaan Undang-undang ini telah membuat peme-rintah terlalu jauh mengintervensi keyakinan seseorang, yang seharusnya termasuk “wilayah privat” masingmasing orang dalam tanggungjawab penuh kepada Sang Hyang Tunggal, Gusti Kang Akarya Jagad (Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta) dan sesame manusia, dan segenap makhluk ciptaan-Nya.
Disampaikan dalam diskusi “Yang Kecil dan Yang Beraneka: Kepercayaan dan Kesenian di Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 09 Juni 2010. Makalah ini tidak disunting. Makalah ini milik Kalam dan tidak untuk dimuat di mana pun.
Makalah Diskusi | Juni 2010
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Kajian Terhadap Kitab Primbon Atassadhur Adammakna)
m
ar
an
g
The concept of Jumbuhing Kawula Gusti in the literature of Islam Kejawen (Analysis of Primbon Atassadhur Adammakna)
a ga m
Abstract
ba
ng
an
A
This article is a summary of the research literature on Primbon Atassadhur Adammakna was written by Prince Tjakraningrat. The primbon generally contains knowledge of prophecy or prognosis, but Primbon Atassadhur Adammakna contain about Sufism. It’s much used as a reference by the Islam Kejawen followers as a source of life. This research of Primbon Atassadhur Adammakna which uses method. This will be conducted by, describing the mystical teaching in the Primbon Atassadhur Adammakna, and then the contents are analyzedby using Sufism and Hermeneutics approaches. The study finds that mystical teachings found in Primbon Atassadhur Adammakna, particularly the is concept of Jumbuhing Kawula Gusti or pantheism have similarities with Ibn Arabi’s thought (560-638 H) Wahdatul Wujud and also the teachings of Abu Mansur Hussain al Hallaj’s thought (858-922 M) Ḥulūl or Ana al Haq. The Concept of JumbuhingKawulaGusti or phanteism is doctrine of Wihdat al Wujud that has been javanised. The spiritual ways to achieve Jumbuhing Kawula Gusti is by good performing, controlling the lust, and always doing Salat Daim.
da
n
Pe
ng
em
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav. 70 Bambankerep Ngaliyan Semarang Telp. 024-7601327 Faks. 0247611386 e-mail:
[email protected] Naskah diterima: 10 Januari 2014 Naskah direvisi: 19-30 Mei 2014 Naskah disetujui: 19 Juni 2014
Se
samidi khalim
iti an
Keywords: Jumbuhing Kawula Gusti, The God, Man, and Primbon Atassadur Adammakna
B
al
ai
Pe
ne l
Abstrak Artikel ini merupakan ringkasan dari penelitian kepustakaan terhadap kitab Primbon Atassadhur Adammakna yang ditulis oleh Pangeran Tjakraningrat. Kitab primbon pada umumnya berisi ilmu petung atau ramalan, namun Kitab Primbon Atassadhur Adammakna justru mengajarkan ilmu tasawuf. Kitab tersebut banyak dijadikan rujukan oleh para penganut Islam Kejawen sebagai sumber ajaran hidup. Kajian terhadap Kitab Primbon Atassadhur Adammakna ini menggunakan pendekatan analisis isi (content analysis) secara deskriptif analitis. Kandungan atau isi kitab primbon yang berkaitan dengan tasawuf dideskripsikan secara rinci, kemudian dianalisis dengan pendekatan tasawuf dan hermeneutika. Ajaran tasawuf yang terdapat dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna adalah Konsep Jumbuhing Kawula Gusti. Konsep tersebut memiliki kesamaan dengan ajaran Ibnu Arabi (560-638 H) yang mengajarkan Wahdatul Wujud dan juga ajaran Husain Abu Mansur al Hallaj (858-922 M) seorang sufi asal Persia yang mengajarkan paham Ḥulūl atau yang popular dikenal dengan ajaran Ana al Haq. Ajaran Jumbuhing Kawula Gusti merupakan ajaran Wihdat al wujud (menyatunya manusia dengan Tuhan) yang sudah diolah secara kejawaan (Jawanisasi). Adapun laku spiritual untuk mencapai Jumbuhing Kawula Gusti adalah dengan mengerjakan budi luhur, mengendalikan hawa nafsu, dan senantiasa menjalankan Salat Daim. Kata kunci: Jumbuhing Kawula Gusti, Tuhan, Manusia, Primbon Atassadur Adammakna
91
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014 halaman 91-103
g
an
ar
m
Se
ng
an
A
ga m
a
Bagi masyarakat Jawa, hubungan manusia dengan Tuhan sering kali digambarkan dengan berbagai istilah. Istilah yang paling popular adalah manunggaling kawula-Gusti, Jumbuhing kawula-Gusti, dan juga curiga manjing warangka-warangka manjing curiga. Bersatunya antara jiwa dan raga sama dengan bersatunya manusia dengan Sang Pencipta, ibarat curigo manjing warongko- warongko manjing curigo. Tuhan telah menyatu dengan manusia dan manusia telah menyatu dengan Tuhannya. Dengan kata lain telah terjadi manunggaling kawulo-Gusti.
iti an
da
n
Pe
ng
em
Kepustakaan Islam Kejawen adalah salah satu kepustakaan Jawa yang memuat perpaduan antara tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran agama Islam. Kepustakaan ini menggunakan tulisan (huruf) dan bahasa Jawa, sedangkan isinya cenderung bernuansa mistik dan sedikit yang mengungkapkan permasalahan syariat Islam (Simuh, 1988:2). Kepustakaan Islam Kejawen memiliki peran penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di tanah Jawa dan masuk kategori kepustakaan Islam. Meskipun sebagian kepustakaan Islam Kejawen kurang memperhatikan aspek syariat (yang berkaitan dengan hukum Islam dan fikih), akan tetapi banyak juga yang menjadi sumber ajaran hidup bagi masyarakat Islam di Jawa. (Khalim, 2010:4). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa sebagian masyarakat Jawa yang merasa memiliki budaya “adiluhung” dan mencoba melestarikan budaya tersebut, menganggap bahwa ajaran-ajaran para leluhur yang tertuang dalam naskah-naskah klasik sebagai “kitab suci”. Hal ini dapat dilihat dari pakem (pedoman) ajaran Islam Kejawen dan munculnya aliran-aliran kebatinan yang muncul pada era sesudahnya banyak yang bersumber dari “kitab-kitab” (naskah klasik) karya sastra para pujangga keraton atau kalangan masyarakat penganutnya (Hadikusuma, 1993:72).
ajaran ibadah formal dalam Islam. Kedua suluk tersebut membahas arti pentingnya salat bagi seorang muslim. Salat bukan hanya menjalankan kewajiban seorang hamba, tetapi dapat dijadikan sebagai laku spiritual untuk mensucikan diri dalam rangka mencapai manunggal dengan Tuhan (Khalim, 2010:154). Hal yang sama diungkapkan oleh Hariwijaya, salat yang merupakan ibadah harian dalam kalangan orang Islam Kejawen menjadi rukun agama yang sangat penting. Salat tidak hanya sebatas rukun Islam dan media membersihkan diri dari dosa, tetapi juga sebagai jalan mistik untuk mencapai manunggaling kawula Gusti (Hariwijaya 2004:228).
ba
Pendahuluan
B
al
ai
Pe
ne l
Kepustakaan Islam Kejawen pada umumnya banyak mengajarkan tentang mistik dan budi pekerti luhur. Sebagaimana dijelaskan oleh Simuh, bahwa Wirid, Serat, dan Suluk memuat ajaran-ajaran tentang mistik Islam (tasawuf), sedangkan primbon berisi ramalan, doa, mantra, berbagai tradisi-ritual orang Jawa, dan sebagian kecil ajaran tentang syariat Islam (Simuh, 1988:3). Masalah ibadah mahdloh (formal) seperti salat, puasa, zakat, dan haji juga tidak lepas dari kajian secara mistis dalam perspketif budaya Jawa. Suluk Sajatining Salat dan Suluk Salat Sarengat Tarekat Kakekat Makripat karya Pangeran Sastrawijaya merupakan bentuk refleksi pemikiran pujangga Jawa terhadap
92
Sumber ajaran Islam Kejawen pada umumnya berasal dari karya sastra pujangga Jawa (pujangga kraton khususnya), yang memiliki nilai-nilai budi luhur dan dikeramatkan. Meskipun demikian, orang Kejawen tetap mempercayai al-Quran sebagai sumber utama dari segala pengetahuan yang ada. Dalam praktek keagamaannya orangorang Islam Kejawen lebih banyak dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandanganpandangan, nilai-nilai budaya, dan normanorma yang berada dalam alam pikirannya (Koentjaraningrat, 1984: 319). Ajaran mistik yang menonjol dalam kepustakaan Islam Kejawen adalah konsep manunggaling kawula-Gusti atau Jumbuhing kawula-Gusti, yang dalam Islam dikenal dengan wahdah al-wujud atau ittihad. Konsep ini mengajarkan bahwa manusia bukan Tuhan,
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
namun berbeda dengan Kitab Primbon Atassadhur Adammakna ini, yang mengajarkan ilmu batin (gaib) berdasarkan kitab-kitab tasawuf. Kitab primbon tersebut mengandung berbagai macam laku ritual (spiritual) masyarakat Jawa yang diwariskan secara turun temurun untuk meraih kasampurnan (makrifat). Kitab primbon tersebut sampai saat ini masih banyak dijumpai di masyarakat, dicetak berulangkali. Ajaran dalam kitab primbon tersebut banyak yang menjadi rujukan para penganut Islam Kejawen.
an
ar
Se
m
Teknik Pengumpulan Data
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
da
n
Pe
ng
Metode Penelitian Obyek Penelitian Obyek utama dalam penelitian ini adalah Kitab Primbon Atassadhur Adammakna. Kitab primbon yang pada umumnya mengajarkan berbagai ramalan (petung), doa, dan mantra,
ng
an
A
ga m
a
Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research). Data utama penelitian ini adalah Kitab Primbon Atassadhur Adammkana. Kitab tersebut sudah dicetak berulangkali dan dipasarkan secara umum. Oleh karena itu, penulis berupaya mendapatkan cetakan yang paling lama. Selain itu juga ditunjang dengan cetakan-cetakan yang lain. Pengumpulan data penulis lakukan dengan mencari di toko-toko buku, pasar loak, perpustakaan, dan para pemilik kitab primbon di masyarakat.
ba
em
Kitab Primbon Atassadhur Adammakna termasuk Kepustakaan Islam Kejawen yang memuat berbagai macam ilmu gaib, mistik, dan berbagai macam ritual kepercayaan masyarakat Jawa. Sebagaimana dijelaskan dalam purwaka (kata pengantar)nya, kitab tersebut memuat ajaran ilmu kebatinan, ilmu hakekat (ilmu sejati), tata cara yoga atau samadi, laku spiritual untuk menggapai ketenangan dan daya linuwih, serta berbagai macam doa dan mantra. Selain itu kitab primbon Atassadhur Adammakna tersebut juga dicetak sampai beberapa kali, cap-capan kaping 10 (cetakan ke-10) pada tahun 2008. Hal ini membuktikan bahwa kitab primbon tersebut masih banyak diminati dan digunakan oleh masayarakat. Oleh karena itu, penulis melakukan kajian terhadap Kitab Primbon Atassadhur Adammakna. Adapun masalah pokok dalam penelitian ini yaitu bagaimana latar belakang penulisan Kitab Primbon Atassadhur Adammakna, bagaimana konsep Jumbuhing Kawula Gusti dalam dalam kitab primbon tersebut, dan bagaimana laku ritual untuk mencapai Jumbuhing Kawula Gusti.
g
tetapi tidak lain dari Tuhan. Dalam tingkatan tertentu, manusia dapat mencapai penghayatan ruhaniah tertinggi, derajat kasampurnan. Konsep Manunggaling Kawulo-Gusti terdapat dalam berbagai kepustakaan Islam Kejawen: Serat, Suluk atau Wirid. Konsep tersebut juga terdapat dalam Primbon. Pada umumnya primbon dikenal masyarakat sebagai karya sastra yang berisi ramalan, doa, mantra, dan berbagai tradisi terkait aktivitas manusia. Akan tetapi, tidak demikian dengan Kitab Primbon Atassadur Adammakna. Kitab ini berbeda dengan karena ia juga membahas konsep Manunggaling Kawula Gusti yang diistilahkan dengan Jumbuhing Kawula Gusti.
Kajian pustaka sama seperti penelitian pada umumnya, tidak didasarkan pada kepentingan pribadi, seperti ikatan tertentu dengan lokasi, keterbatasan atau ketersediaan dana. Namun dalam penelitian pustaka ini tidak harus menggunakan wawancara, observasi, daftar pertanyaan, diskusi kelompok, dan sebagainya, termasuk analisis biografi (Ratna, 2010:196). Analisis Data Penelitian literatur (library research) terhadap Kitab Primbon Atassadhur Adammakna ini dilakukan secara deskriptif analitis. Langkah pertama adalah melakukan klasifikasi ajaran tasawuf yang ada di dalam kitab tersebut, kemudian menganalisis konsepsi Jumbuhing kawula-Gusti yang ada di dalamnya. Analisis ini dilakukan dengan pendekatan tasawuf dan hermeneutika, untuk mengungkapkan bagaimana konsepsi Jumbuhing kawula-Gusti yang ada dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammkana. Pendekatan dalam hal ini bukan teori, metode,
93
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014 halaman 91-103
g
an
ar
m
Se
a
ga m
A
an
Kitab Primbon Atassadhur Adammakna merupakan karya Pangeran Harya Tjakaraningrat atau Patih Danuredjo VI, sewaktu masih aktif di kasultanan Yogayakarta. Kitab primbon ini sebenarnya merupakan piwulang (ajaran) yang disampaikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V (1822-1855), sebagai orang yang waskitha (memiliki mata batin yang tajam). Keterangan tentang penulisan kitab Primbon Atassadhur Adammakna ini dijelaskan dalam Maha Sandhi Wara Darma, sebagai berikut:
iti an
da
n
Pe
ng
em
Kitab Primbon sebagai sebuah karya sastra dapat dianalisis secara langsung, sebab karya itulah yang dianggap sebagai masyarakat. Menganalisis sebuah karya sastra sifatnya adalah mandiri atau otonom, semata-mata melalui unsur-unsur yang membangunnya (analisis mikroskopis). Menurut I Nyoman Kutha Ratna, menganalisis karya sastra dari aspek-aspek luar merupakan suatu kekeliruan, sebab karya sastra bersifat otonom (Ratna, 2010:198).
Kitab primbon muncul pada zaman keislaman, pada abad ke-16. Kitab primbon tertua adalah karya Sunan Bonang, yang berisi tentang berbagai ajaran atau wejangan Sunan Bonang. Primbon tersebut diteliti oleh Schrieke pada tahun 1916, yang kemudian dikenal dengan Het Boek Van Bonang. Kitab primbon yang dikenal sebagai kitab ramalan, kitab berisi klenik, mistik, takhayul, atau bahkan menyimpang dari akidah agama (Islam), tidak sepenuhnya benar. Masih ada juga kitab primbon yang masih memperhatikan nilai-nilai agama, diantaranya adalah kitab Primbon Atassadhur Adammakna. Kitab primbon ini ditulis pada masa Islam sudah menjadi agama mayoritas dan menjadi agama resmi kerajaan, Yogyakarta Hadiningrat.
ng
Pendekatan tasawuf ini merupakan sudut pandang yang penulis anggap paling relevan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun metode untuk memahami laku spiritual tersebut adalah: berusaha menelaah Kitab Primbon Atassadhur Adammakna sebagai satu kesatuan ajaran yang utuh; memahami dan menganalisis pokok-pokok ajaran tentang Konsepsi Jumbuhing kawulaGusti yang terkandung di dalamnya; dan berusaha untuk memahami konsep-konsep tasawuf dalam pemahaman dan kerangka pikir Islam Kejawen.
dan ramalan. Sehingga ada sebagian umat Islam yang sampai mengharamkannya.
ba
atau teknik, tetapi dalam pendekatan terkandung teori, metode, teknik, instrument dan sebagainya (Ratna, 2010:45). Pendekatan atau approach merupakan “cara mendekati” objek sehingga karya budaya, dalam hal ini adalah Kitab Primbon Atassadhur Adammakna, sebagai sebuah struktur makna dapat diungkapkan dengan jelas (Rohrberger and Woods, Jr., 1971:3-15).
ne l
Hasil dan Pembahasan
ai
Pe
Konsep Jumbuhing Kawula lan Gusti dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna Penulisan Kitab Primbon Atassadhur Adammakna
B
al
Primbon menurut Ensiklopedi Umum (1986) adalah kitab atau daftar perhitungan nujum, antara lain memuat perhitungan hari-hari yang baik dan yang buruk untuk mengerjakan sesuatu. Buku perhitungan semacam ini ada di seluruh daerah di Indonesia. Sedangkan Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1976) menyebut primbon sebagai kitab yang berisi ramalan dan perhitungan hari naas atau sial. Dua pengertian tersebut memberikan kesan bahwa primbon penuh dengan nuansa tahayul, nujum
94
“Babaraning piwulang Dalem Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono ing Ngayogyakarta Hadiningrat, kawedaraken lumantaring Dhawuh Timbalan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ingkang Jumeneng kaping V, ingkang awit kawaskithan Dalem, lajeng kawrat ing Kitab Adammakna dening Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat”. Artinya: “Uraian tentang ajaran luhur Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono di Yogyakarta Hadiningrat. Ditulis berdasarkan perintah Sri Sultan yang ke-5 (HB V), karena kawaskitan beliau, kemudian ditulislah dalam Kitab Adammakna oleh Pangeran Tjakaraningrat”.
Keterangan tentang Pangeran Tjakraningrat juga terdapat dalam
Harya kitab-
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
kitab primbon lainnya, seperti Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna, Primbon Bektijammal Adammakna, dan Primbon Betaljemur Adammakna. Keterangan tentang kapan lahir dan wafatnya Pangeran Tjakraningrat tidak penulis temukan secara pasti, yang jelas beliau adalah patih pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI (1821-1877) dan VII (1839-1921). Nama Pangeran Harya Tjakraningrat ini diberikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII sebagai penghormatan kepada beliau setelah purna tugas menjabat patih di kasultanan Yogyakarta. Pada waktu masih menjabat sebagai patih, beliau dikenal dengan Raden Adipati Harya Danureja VI1. Gelar penghormatan diberikan kepada Patih Danuredja VI karena perjuangan dan kesetiaannya kepada rajanya, setelah usia tua beliau mengundurkan diri dan kemudian diberikanlah gelar kepangeran tersebut.
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
da
n
Pe
ng
Penulisan Kitab Primbon Atassadhur Adammakna yang merupakan pemikiran atau
g
an
ar
m
Se
a
ga m
A
an
ng
Kitab primbon sebagai hasil karya sastra tidak lepas dari peran kraton dan para pekerja sastra. Menurut Slamet Riyadi (2002:64), para pekerja sastra di kraton Yogyakarya berasal dari status sosial yang bervariasi, ada yang berasal dari abdi dalem kerajaan, sentana dalem (keluarga kerajaan), putra mahkota, dan raja sendiri. Demikian juga dengan Pangeran Tjakraningrat, yang merupakan patih atau masih termasuk sentana dalem, melakukan penulisan kitab primbon Atassadhur Adammakna atas titah rajanya.
ba
em
Pangeran Tjakraningrat adalah cucu dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1804-1823) dari putranya BRAy. Danurejo IV, yang dikarunia usia panjang (Soemadidjojo, 2013: iii). Pangeran Tjakraningrat mengabdikan diri pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VI, yang juga putra Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VI situasi politik sudah cukup kondusif. VOC mampu mengendalikan kekuasaan di daerah pesisir, sehingga tidak lagi menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan politik (Ricklefs dalam Dwiyanto, 2009:308). Di sisi lain, kaum bangsawan di Jawa, baik di Surakarta maupun Yogyakarta, tidak leluasa dalam berpolitik sehingga mereka mengalihkan perhatian pada dunia sastra budaya, terutama sastra impor yang bercorak Islam (Dwiyanto, 2009:308).
ajaran-ajaran luhur Sri Sultan Hamengku Bowono V memiliki alasan tersendiri. Reproduksi terhadap pemikiran atau ajaran Sri Sultan Hamengku Buwono V merupakan upaya untuk membangun wibawa istana atau kerajaan. Pada masa pemerintahan HB V, penyaduran, penulisan atau penyalinan naskah sangat banyak, mencapai ratusan. Produktivitas naskah pada masa HB V mencapai puncaknya pada tahun 1846-1855 (Riyadi, 2002:37). Naskah yang diproduksi pada masa pemerintahan HB V, baik karya beliau maupun atas prakarsanya, tercatat ada 121 naskah (Behrend, 1993:416). Naskah-naskah tersebut sampai sekarang masih tersimpan di Museum Widya Budaya Kraton Yogyakarta. Selain naskah yang diproduksi pada masa HB V juga terdapat naskah-naskah hasil karya pada masa pemerintahan Sultan HB IX.
Pada tahun 1990-an (tahun Alip Windu Sancaya) dilakukan penulisan ulang kitab-kitab primbon yang ada oleh Penerbit Soemowidjojo Maha Dewa Yogyakarta dengan cara yang lebih modern. Tujuan penerbitan tersebut untuk dicetak dan dipasarkan lebih luas agar berguna bagi masyarakat. Hal ini diprakarsai oleh canggah2 Pangeran Tjakraningrat, yaitu Ir. Wibatsu Harianto Soembogo (RW Radya Soembogo) atas ijin dari pewaris buku-buku Tjakraningratan,
Keterangan tentang Patih Danuredja VI atau Pangeran Tjakraningrat ini terdapat pada setiap bubuka (pengantar kitab primbon Adammakna). 2 Canggah adalah cucu dari cucu atau keturunan yang keempat (anak, cucu, buyut, canggah). 1
95
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014 halaman 91-103
yaitu Ibu Siti Woerdjan Soemadijah Noeradyo.
terjemah bebas penulis):
Sebagai seorang patih dan juga seorang pujangga, Pangeran Tjakraningrat atau Patih Danuredjo tentunya tidak dapat lepas dari kepentingan politik kerajaan dalam menulis karya sastra. Karya-karya Patih Danuredjo VI ini lebih banyak ketika beliau purna tugas dari kepatihan. Setelah lengser dari kepatihan, Pangeran Tjakraningrat lebih banyak menghabiskan waktunya dalam berkarya sebagai seorang pujangga kraton (sentana dalem).
ar
an
g
“inilah petunjuk yang nyata, menjabarkan tentang pengetahuan dan maqamat tentang Kasampurnan (hakekat), berasal dari ajaran para ulama di tanah Jawa, yang bersedia mengajarkan ilmu hakekat yang sesungguhnya, diambil dari kitab-kitab tasawuf. Penjabaran ajaran tersebut tumbuh dari kejernihan hati, petunjuk ilham dari Tuhan, yang kemudian menjabarkan firman Tuhan kepada Nabi Musa Kalamullah, yang maksudnya demikian: “sesungguhnya manusia itu adalah wujud nyata Tuhan, dan Tuhan itu hanya ada satu” (PAA, hlm.14).
da
n
Pe
ng
a
ga m
A
an
ng
em
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dapat digolongkan ke dalam mistik pada umumnya dan sama dengan paham wihdatul-wujud dalam ajaran Sufi. Mistisisme di dalam Islam disebut dengan tasawuf, oleh orientalis Barat disebut sufisme atau Islamic Mysticisme. Oleh sebab itu pantaslah jika Simuh menyebut konsep Jumbuhing Kawula Gusti atau Manunggaling Kawula Gusti ini sebagai Sufisme Jawa (Simuh, 2004). Ajaran Jumbuhing Kawula Gusti ini banyak terdapat dalam karya-karya sastra mistis Jawa, seperti dalam beberapa karya R. Ng. Ronggowarsito yang dianggap sebagai “bapak kebatinan” (Shihab, 2009:239).
Se
m
Konsep Jumbuhing Kawula Gusti (JKG) merupakan ajaran khas Islam Kejawen. Ajaran tersebut tidak lepas dari kepercayaan dan sikap hidup masyarakat Jawa yang cenderung mistis, berpangkal pada dunia batin. Konsep JKG merupakan upaya manusia dalam mencapai keselarasan hubungan alam nyata dan alam gaib, antara manusia dan Tuhan. Tuhan dalam kitab Primbon Aatassadhur Adammakna disebut dengan “Pangeran”. Istilah pangeran bukan berarti gelar kaum bangsawan di Jawa, meskipun memiliki makna konotasi yang hampir sama. Kata pangeran ini berasal dari kata ngenger (kata sifat) yang memiliki arti nderek, ngawula atau mengabdi. Kata tersebut menjadi kata benda dengan mendapat imbuhan “pa + an” yang kemudian menjadi pa + ngenger + an, yang berarti tempat ngawula atau mengabdi. Istilah pangeran ini memiliki dua makna secara teologis dan sosiologis. Secara teologis digunakan untuk menyebut Tuhan, sebagai pusat pengabdian atau pemujaan, dan secara sosiologis digunakan untuk menyebut orang-orang yang memiliki derajat bangsawan kraton (istana). Dengan demikian, istilah pangeran menunjukkan tempat pengabdian atau ngawula yang memiliki perbedaan dimensi. Satu sisi untuk pengabdian yang berorientasi akhirat (hablun min-Allah), dan sisi lain pengabdian pada manusia di dunia (hablun min an-naas).
ba
Konsep Jumbuhing Kawula Gusti
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
Kitab Primbon Atassadhur Adammakna menguraikan ajaran Jumbuhing Kawula Gusti pada bagian awal, dengan menjabarkan Wirid Maklumat Jati Wedharing Ilmu Kebatosan. Wirid Maklumat Jati merupakan ajaran tentang kebatinan yang terdiri dari delapan tingkatan. Pembuka wejangan atau ajaran wolung wiwiridan (delapan wirid) menggunakan bahasa Sansekerta yang digunakan oleh umat Hindu. Setelah pembukaan, maka diuraikan ajaran Wirid Wirayat Jati. Ajaran Wirayat Jati ini mengajarkan tentang ilmu kasampurnan yang diajarkan oleh para ulama yang bersumber dari kitab-kitab tasawuf. Ajaran tasawuf yang dimaksud bersumber pada firman Allah SWT kepada Nabi Musa Kalamullah: “sesungguhnya manusia itu adalah wujud nyata Tuhan, dan Tuhan itu hanya ada satu”. Sebagaimana disebutkan dalam Primbon Atassadhur Adammakna (dalam
96
Dating Pangeran (Dat Tuhan) merupakan asal mula kehidupan, yang menciptakan segala yang maujud di alam semesta ini. Penciptaan alam semesta ini dalam konsep Islam Kejawen disebut
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
berhati-hati. Hemat dan cermat yang menjadi asal mula kehidupan, jangan sampai dikesampingkan dalam hidup ini. Demikianlah cirri orang mukmin yang sudah khas, dapat diumpamakan : tidak susah ketika ditimpa kemiskinan, tidak kawatir kelaparan, tidak berduka ketika ditimpa sakit, tidak takut akan datangnya kematian. Tetapi bagi orang yang masih awam, harus melakukan ikhtiar yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup” (PAA, hlm.31).
ga m
a
Se
m
ar
an
g
Pada Wirid Wirayat Jati diajarkan tentang hakekat Tuhan yang berupa wejangan 8 pangkat, menguraikan tentang siapa Tuhan pencipta dan pengatur alam yang sebenarnya. Kedelapan wejangan ini merupakan rangkaian yang integral, untuk mencapai derajat Jumbuhing Kawula Gusti. Adapun delapan wejangan tersebut adalah (PAA, hlm.14-20):
da
n
Pe
ng
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
Kitab Primbon Atassadhur Adammakna mengajarkan konsep awang-uwung atau sangkan paraning dumadi dalam Wirid Karana Jati. Wirid ini menjelaskan tentang hakekat Dat Tuhan yang Mahasuci dan serba gaib. Sebagaimana disebutkan dalam Primbon Atassadhur Adammakna sebagai berikut (dalam terjemah bebas penulis): “ketika belum ada apa-apa, keadaan alam raya dan alam lahir beserta segala isinya belum ada apa-apa, yang ada hanyalah Dat Yang Mahasuci. Hakekat Dat Yang Mahasuci itu bersifat Esa, ibaratnya adalah dat Mutlak Qadim Ajali abadi. Artinya bersifat tunggal, yang pasti ada terlebih dahulu ketika masih awang-uwung (hampa). Selamanya keadaan diri peribadi kita berada di dalam nukad gaib, yang langgeng berada di dalam hidup kita, sejatinya hidup ini. Inilah tajalli-nya Dat Tuhan Yang Mahasuci, maka wajib bagi kita untuk bisa menjaga hidup pribadi kita, dengan
ng
an
A
1. Wejangan pertama disebut dengan pitedahan wahananing Pangeran. Ajaran ini didasarkan pada firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw: “bahwa sesungguhnya tidak ada apa-apa, ketika masih awang-uwung (kosong) belum ada sesuatu, yang ada pertama adalah Aku. Tidak ada Tuhan kecuali Aku yang Maha Hidup lebih Suci, menyertai nama dan perbuatan-Ku (dat, sifat, asma, dan af’al)
ba
em
dengan Sangkan Paraning Dumadi. Proses penciptaan alam yang merupakan af’al Tuhan ini diawali dari kekosongan atau yang disebut dengan awang-uwung, Hariwijaya menyebutnya teori langit kosong (Hariwijaya, 2006:76). Teori penciptaan alam yang disebut awang-uwung ini mengatakan bahwa sebelum ada apa-apa, alam semesta ini masih awang-uwung. Langit atau alam ini masih hampa, tidak ada kehidupan sama sekali, yang ada hanya Dat Hidup, yaitu suatu energi yang anglimputi (memenuhi) seluruh ruang kosong (awang-uwung) tersebut. Dat Tuhan kemudian berkehendak agar tidak terjadi kekosongan, mengejawantah mencipta diri membentuk benda-benda fisik yang memiliki dimensi ruang dan waktu. Proses mencipta diri ini merupakan hal yang paling mungkin, karena tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan barang atau benda lain di alam kosong; ibarat amuba membelah diri untuk melakukan regenerasi, menciptakan makhluk lain yang serupa dengan dirinya. Dat Hidup yang meliputi alam semesta ini dapat melakukan pengejawantahan kapan saja dan di mana saja sesuai kehendak-Nya. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan Tuhan Yang Maha Esa, dalam Ismal Kejawen disebut dengan Sangkan Paraning Dumadi, asal muasal dan tujuan segala penciptaan (Adiwardoyo, 2001:14).
2. Wejangan kedua disebut dengan Pambuka Kahananing Pangeran. Wejangan ini mengajarkan bahwa hakekat hidup manusia itu terdiri dari 7 (tujuh) perkara, sesuai dengan firman Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. Firman Allah SWT tersebut adalah sebagai berikut: “sesungguhnya Aku adalah Tuhan, yang berkuasa menciptakan segala sesuatu tercipta seketika berdasar kehendak dan ketentuan-Ku, di sana terdapat tandatanda wujud kehendak dan perbuatan-Ku”. 3. Wejangan ketiga disebut dengan Gegelaran Kahananing Pangeran. Pada bagian ini diajarkan tentang hakekat dan kehendak Tuhan, yang menunjukkan keadaan dan kekuasaan-Nya ketika manusia menemui ajalnya. 4. Wejangan keempat disebut Kayektening Pangeran, yaitu
dengan petunjuk
97
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014 halaman 91-103
g
an
ar
m
Se
a
Kitab Primbon Atassadhur Adammakna memberikan penjelasan tentang hakekat Tuhan, Maha Suci dan Maha Gaib. Sifat Tuhan digambarkan tidak memiliki rupa dan warna, bukan laki-laki, bukan perempuan, dan juga bukan banci. Tuhan tidak terikat oleh waktu dan tempat, tidak dapat dilihat dan diraba, hanya hati yang waskita yang mampu merasakan kehadiran Tuhan (PAA, hlm.31).
Delapan pangkat (maqamat) dalam Wirayat Jati tersebut, menunjukkan adanya pemahaman bahwa manifestasi Tuhan itu ada dalam diri pribadi manusia (anthroposentris). Manusia dan Tuhan seakan-akan adalah satu. Manusia sebagai bukti wujud Tuhan di alam semesta ini. Ajaran Islam yang menyatakan tentang kedekatan hubungan manusia dan Tuhan juga dijelaskan dalam al-Qur’an. Diantara ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia dekat sekali dengan Tuhan adalah dalam Surat Al Baqarah ayat 186: “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepada engkau tentang Aku (Allah), maka sesungguhnya Aku adalah yang dekat, yang memperkenankan permintaan orang apabila ia meminta kepada-Ku. Oleh karena itu hendaklah mereka patuh dan percaya kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran”.
Meskipun Tuhan bersifat Maha Gaib dan Suci, namun wujud Tuhan di dunia ini dapat dilihat secara nyata dari wujud manusia yang berada di dalam Nukad Gaib. Manusia merupakan Tajalli Tuhan yang Maha Suci, maka manusia harus menjaga hidup pribadinya dengan hati-hati. Gemi nastiti (hemat dan cermat) merupakan asal mula kehidupan, jangan sampai diabaikan dalam kehidupan seorang mukmin yang khas. Jika seseorang mencapai derajat mukmin khas, maka dia akan memiliki sifat: tidak susah jika hidup miskin, tidak menderita jika lapar, tidak mengeluh jika sedang sakit, dan tidak takut akan datangnya ajal. Tetapi bagi orang mukmin yang masih awam, maka wajib bagi dia untuk ihtiyar agar hidupnya santosa. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Wirid Karana Jati (PAA, hlm.31):
Ayat tersebut memberikan penjelasan bahwa Allah sangat dekat dengan manusia dan
“….sajatining dat kang Mahasuci iku kang asipat hesa, kabasakaken dat mutlak kadim ajali abadi,
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
da
n
Pe
ng
em
ng
8. Wejangan kedelapan disebut dengan Paseksen. Bagian ini meyakinkan kepada sanak saudara semua (manusia) bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini seperti bumi, langit, matahari, bintang, api, angin, air, dan lain sebagainya, semuanya menyaksikan jika kita sudah menyatu dengan Tuhan.
ba
7. Wejangan ketujuh disebut dengan Panetepan Santosaning Pangandel. Ajaran ini bersumber dari kalimat syahadat, yang membuat kuat keyakinan kita ketika hakekat hidup pribadi kita telah merasuk (jumbuh) dengan Tuhan.
ga m
6. Wejangan keenam disebut dengan Kayekten Kahananing Pangeran, yang menguraikan tentang tata kedudukan (singgasana) yang berada di kemaluan laki-laki.
A
5. Wejangan kelima disebut dengan Kanyatahaning Wahananing Pangeran. Pada wejangan ini dijelaskan tentang kedudukan atau singgasana (kursiy) yang berada di dalam jantung manusia.
mengabulkan permintaan hamba-Nya yang meminta. Oleh kaum sufi ayat tersebut sering diartikan bahwa Tuhan mengabulkan semua orang yang ingin dekat pada-Nya. “Timur dan Barat adalah kepunyaan Tuhan. Ke mana saja kamu berpaling demikian ayat ini, manusia akan berjumpa dengan Tuhan”. Begitu dekatnya jarak antara manusia dengan Tuhan juga digambarkan dalam Al Qur’an: “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya.”(Q.S. Qaaf:16). Ayat tersebut jelas memberikan keterangan tentang Tuhan yang berada di dalam diri manusia, bukan di luar diri manusia.
an
keadaan kraton (singgasana) yang berada di otak manusia, sebagai bukti bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna.
98
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
keenam warana yang lainnya, sehingga manusia dapat bergerak dan menuruti kehendak panca indranya. Aktifitas atau perbuatan melihat, mencium, berbicara, merasa, bernafas, semuanya adalah menuruti keinginan atau kehendak Tuhan yang bersemayam di dalam diri manusia. Kayu sifatnya menyatu dengan kahananing Dat, sehingga diberikan kekuasaan untuk menghidupkan cahya, rahsa, suksma, napsu, budi, badan seluruhnya, dan merambah dari awal hingga akhir. Proses tajalli (pengejawantahan) Tuhan di dunia ini melalui wujud manusia. Dzat Tuhan merupakan asal mula kehidupan yang menguasai segala rangkaian kehidupan. Segala af’al atau perbuatan Allah SWT tercermin dalam perilaku manusia yang sudah mencapai derajat Jumbuh atau manunggal.
iti an
da
n
Pe
ng
al
ai
Pe
ne l
(1) Kayu, sajatining gesang kita (hakekat hidup manusia); (2) Nur (cahya atau cahaya); (3) Sir (rahsa; rasa); (4) Ruh (nyawa; suksma; herah); (5) Napsu (angen-angen); (6) Ngakal (budi); dan (7) Jasad (badan)
B
Dari ketujuh derajat warananing Pangeran, yang berupa tujuh kenyataan tersebut dapat diringkas menjadi 3 (tiga) hal, yaitu: (1) Suksma, yang berarti moksa (jamaning kemukswan); (2) Rahsa, yang berarti pada saat tidur (jamaning supena); dan (3) Budi, yang berarti pada saat terjaga (jamaning dunya) Kayu artinya hidup, menyatu dengan kahananing (keadaan) Dat. Kayu (hayyu:Arab) merupakan asal mula kehidupan yang meliputi
an
ar
m
Se
a
ga m
A
ng
an
Kitab Primbon Atassadhur Adammakna memberikan gambaran tentang bagaimana Tuhan mengejawantah. Dat memberikan daya pada Kayu, artinya Dat merupakan asal mula kehidupan yang berupa waskita, yang kemudian disebut dengan Mahasuci. Kayu menguasai Nur, artinya hidup ini merupakan pancaran cahaya yang mewujudkan Wisesa yang kemudian disebut dengan Mahamulya. Nur menguasai Sir, artinya cahaya tersebut mengandung hidupnya Rahsa, mewujudkan kuasa yang kemudian disebut dengan Mahawisesa. Sir menguasai Ruh, artinya Rahsa tersebut mengandung hidupnya Suksma, mewujudkan Cipta yang kemudian disebut dengan Mahakuasa. Ruh menguasai Nafsu, artinya Suksma tersebut mengandung hidupnya Nafsu, berwujud esti yang kemudian disebut dengan Mahaluhur. Nafsu menguasai Akal, artinya nafsu tersebut mengandung hidupnya Budi, berupa keinginan, kemudian disebut dengan Mahaagung. Akal menguasai Jasad, artinya Budi tersebut mengandung hidupnya Badan, berupa nyawa, yang kemudian disebut dengan Mahayekti. Jasad hanya menjalani Pancadriya (panca indra), artinya badan tersebut sekedar menjalankan apa yang menjadi keinginan Pancadriya (panca indra), berupa tingkah laku manusia yang disebut Allah Ta’ala (PAA, hlm.32-33).
ba
em
Orang mukmin khas adalah orang yang mengenal Tuhan dengan baik. Orang yang mampu mengenal diri pribadinya akan menemukan hakekat Tuhan, mencapai Jumbuhing Kawula Gusti. Untuk mencapai derajat itu dibutuhkan ngelmu dan laku khusus, untuk menemukan hakekat Tuhan di dalam dirinya sendiri. Adapun tanda-tanda orang yang sudah mencapai derajat jumbuh dapat dilihat dari tingkah lakunya (solah bawa) yang mencerminkan kehendak Tuhan. Di dalam Primbon Atassadhur Adammakna dijelaskan bahwa hakekatnya Tuhan merasuk (jumbuh) dalam diri manusia itu melalui 7 (tujuh) warana (media) yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Adapun warana tersebut dijelaskan dalam Primbon Atassadhur Adammakna (hlm.26) sebagai berikut:
g
tegese asipat siji, kang mesthi dhihin dewe, rikala ijih awang – uwung, salawase kahanan kita yaiku jumeneng pribadi ana ing sajroning nukad gaib. Kang langgeng dumunung ing urip kita, kayaktene yaiku urip kita. Iki tajalining dat kang Mahasuci sajati, mulane wajib padha bisaa rumeksa marang urip kita pribadi, marga saka ngati- ati. Gemi nastiti kang dadi sangkaning panguripan, aywa nganti kapiran nora jumeneng ing uripe, pahe kang wus tinitah mukmin kas, kareksa ing babasan: nora susah manawa nandhang kamlaratan, nora uwas yen kaluwen, nora maras yen lagi ginanjar lara, nora miris tekaning pati. Manawa taksih tinitah kawula ngam, kudu tumindak ihtiyar, kang andadekake kasantosaning urip”.
99
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014 halaman 91-103
Se
m
ar
an
g
mutih milang kepel; dan Laku melek. Semua orang yang hendak menjalani puasa harus membersihkan badan lahir dan batin. Adapun yang dimaksud mensucikan badan yaitu dengan mandi kramas, dan yang dimaksud mensucikan batin dengan mengurangi atau mengendalikan hawa nafsu. Badan wadag merupakan tempat bersemayamnya budi, nafsu, karsa, suksma, rahsa, cipta, kawasa dan wisesa. Oleh sebab itu badan wadag harus mampu mengendalikan segala macam godaan nafsu, memiliki budi pekerti rila (ikhlas), legawa (qana’ah), menerima, temen bener (berlaku jujur), susila dan utami.
ba
ng
an
A
ga m
a
b. Berbudi Luhur. Selain mengendalikan hawa nafsu dengan cara puasa, seseorang yang hendak mencapai Jumbuh hendaknya juga harus menjalani tujuh laku utama. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Primbon Atassadhur Adammakna halaman: 21-22, yaitu: (1) Jangan ceroboh, tapi harus senantiasa menjaga kesucian; (2) Jangan gemar makan, tapi makanlah jika perut sudah merasa lapar saja; (3) Jangan banyak minum, tapi minumlah jika sudah merasa haus saja; (4) Jangan banyak tidur, tapi tidurlah jika mata sudah merasa ngantuk saja; (5) Jangan banyak bicara, tapi bicaralah seperlunya saja; (6) Jangan banyak melakukan senggama, lakukanlah jika sudah kangen sekali; (7) Jangan terlalu berbahagia di hati, walaupun sedang mendapatkan keuntungan, meskipun sedang bergembira jangan sampai meninggalkan kebajikan.
da
n
Pe
ng
em
Jasad manusia merupakan wujud nyata dari pengejawantahan Allah SWT di dunia ini. Tingkah laku dan perbuatan manusia tidak lepas dari af’alNya, dengan kata lain “cermin perbuatan” Allah SWT itu sendiri. Jasad dikuasai oleh akal, artinya gerak atau perbuatan yang dilakukan oleh badan (jasad) manusia dikarenakan oleh keinginan budi. Kehendak budi yang dikerjakan oleh jasad ini menjadi tanda adanya Hyang Mahayekti, karena badan merupakan tanda dari af’alnya budi. Oleh karena itu, jasad merupakan wujud nyata manusia yang juga memiliki sifat-sifat ketuhanan. Konsep tersebut senada dengan ajaran Ibnu Arabi (560638 H) yang mengajarkan Wahdatul Wujud dan juga Husain Abu Mansur al Hallaj (858-922 M) seorang sufi asal Persia yang mengajarkan paham Ḥulūl atau yang popular dikenal dengan ajaran Ana al Haq (Saya adalah yang Maha Benar/ Haq). Menurut Al Hallaj, Tuhan mempunyai sifat al Lahūt (ketuhanan) dan juga sifat an Nasūt (kemanusiaan) sama seperti manusia. Apabila manusia mampu menghilangkan sifatsifat an Nasūt dengan fana’, maka yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya. Dalam kondisi (maqam) inilah kemudian Tuhan mengambil tempat dalam dirinya, dan pada saat itu Roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia (Darori, 2011:82).
iti an
Laku Spiritual untuk Mencapai Jumbuhing Kawula Gusti
B
al
ai
Pe
ne l
Kitab Primbon Atassadhur Adammkna memberikan tuntunan tentang bagaimana cara mencapai jumbuh. Orang yang ingin mencapai derajat Jumbuhing Kawula Gusti harus menjalani laku spiritual tertentu. Adapun laku spiritual tersebut yaitu: mencegah keinginan nafsu, berbudi luhur, samadi, dan melakukan manekung. Mencegah hawa nafsu atau keinginan duniawi merupakan laku pertama yang harus dipenuhi, yaitu dengan menjalani puasa. a. Ngèkèr (menahan) Hawa Nafsu. Cara mengendalikan hawa nafsu adalah dengan cara berpuasa. Ada beberapa jenis puasa dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna, yaitu : Pati geni; Nglowong; Ngebleng; Mutih; Laku
100
c. Salat Daim. Ujung perjalanan ruhaniah atau batin dalam Islam Kejawen adalah Jumbuh atau manunggal. Tujuan tersebut dapat ditempuh dengan mengerjakan Salat Daim, yang merupakan laku Samadhi seorang kawulo. Salat Daim ini diajarkan bersama dengan salat lima waktu dan rukun Islam yang lain. Adapun tatacara menjalankan Salat Daim yaitu dengan menjaga keluar masuknya nafas. Ketika nafas masuk: menarik nafas dari pusar sampai ke ujung otak atau ubun-ubun dengan hitungan tertentu, sambil membaca
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
27-28).
ga m
a
Se
m
ar
an
g
Manekung harus dilakukan secara rutin dan terus menerus, baik pada waktu siang maupun malam hari. Pengaturan nafas ini sama seperti salat daim atau salat batin, yaitu salatnya suksma atau salatnya nyawa. Manekung ini dapat dilakukan minimal sekali dalam satu bulan, apalagi pada waktu yang mustajabah. Adapun waktu yang mustajabah menurut Kitab Primbon Atassadhur Adammakna terdapat pada waktu malam Lailatul Qadar, yaitu: tanggal 9 Suro (Muharram); 12 Mulud (Rabi’ul Awal); 27 Rejeb (Rajab); 15 Ruwah (Sya’ban); pada tanggal 21,23,25,27,29 bulan Ramadhan, dan juga tanggal 8 dan 9 Besar (Dzulhijjah).
ne l
iti an
da
n
Pe
ng
B
al
ai
Pe
d. Manekung. Manekung merupakan suatu ritual yang memiliki gerakan seperti orang melakukan meditasi atau Yoga. Caranya adalah dengan duduk bersila menyilangkan kedua kaki, kedua tangan dipadukan di depan hidung layaknya orang melakukan sembah terhadap seorang raja, lidah ditekuk ke langitlangit, dan mulut ditutup rapat-rapat. Pada posisi ini kemudian membaca dalam hati mantra sastra : “Hu –Allah” dengan mengatur keluar masuknya nafas. Tata cara olah nafas ini sama seperti melakukan Salat Daim, hanya berbeda pelaksanaannya saja. Ajaran mengenai manekung ini dijelaskan dalam Kitab Primbon Atasadhur Adammakna (hlm.
ng
an
A
Selain waktu-waktu tersebut, salat daim dan Manekung hendaknya juga dilakukan pada waktu menjelang tidur di malam hari, dengan mengatur nafas seraya menyebut: “Hu – Allah”. Amal demikian ini yang disebut dengan ajeg panembahe – lumintu salate (tetap ibadahnya – senantiasa menjalankan salat). Jika sudah mampu rutin (istiqamah) menjalankan salat batin ini, berarti seseorang sudah mampu melakukan Salat Daim. Salat yang tidak terpancang pada waktu dan jumlah rakaat. Salat Daim adalah hakekatnya salat, sehingga salat ini tanpa ruku tanpa sujud, hanya berada pada pusatnya rahsa dan di dasar kehidupan.
ba
em
“Hu” dalam hati. Ketika nafas keluar membaca “Ya”, bersamaan keluarnya nafas dari ubunubun sampai ke pusar. Naik turunnya nafas tersebut melebihi dada dan cethak (langitlangit mulut), sehingga disebut dengan Sastracetha. Cetha artinya adalah tempatnya kawruh (pengetahuan), cetha berasal dari tebalnya suara di cethak (langit-langit mulut). Dengan demikian Sastracetha ini merupakan akibat dari membaca dua mantra sastra secara batin, yaitu: “Hu – Ya”. Keluarnya suara di dalam batin tersebut melalui daya kekuatan cethak (langit-langit). Bacaan 2 (dua) mantra sastra (“Hu – Ya”) ini dalam ajaran Naqsyabandiyah diganti dengan bacaannya dengan : “Hu – Allah”. Cara mengamalkannya sama menggunakan pengaturan nafas juga. Adapun tatacara wirid tersebut dalam ajaran Syatariah menggunakan bacaan: La Ilaha Illallah, tanpa menggunakan pengaturan nafas (PAA, hlm.64). Ajaran wirid batin dengan membaca mantra sastra: “Hu – Ya” atau “Hu – Allah” ini dapat dikerjakan kapan saja dan di mana saja, tanpa hitungan dan langgeng tidak terputus. Wiridan ini dapat dikerjakan baik dengan duduk, berdiri, berjalan, maupun sambil bekerja. Jangan sampai meninggalkan wiridan yang disertai dengan menjaga keluar masuknya nafas dengan wirid “Hu – Ya” atau “Hu – Allah” tersebut, inilah yang disebut dengan Salat Daim.
Penutup Pandangan orang tentang kitab primbon sebagai kitab klenik, berisi nujum, ramalan, dan penuh dengan takhayul tidaklah sepenuhnya benar. Kitab Primbon Atassadhur Adammakna merupakan salah satu pustaka Islam Kejawen yang mengajarkan mistik atau tasawuf, berbeda dengan kitab-kitab primbon lainnya. Salah satu ajaran yang menonjol dalam kitab primbon tersebut adalah konsep Jumbuhing Kawula Gusti. Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti (JKG) merupakan pemahaman mistik masyarakat Jawa yang memiliki kesamaan dengan konsep“Manunggaling Kawula Gusti” (MKG). Kedua konsep tersebut sama-sama mengandung
101
Jurnal “Analisa” Volume 21 Nomor 01 Juni 2014 halaman 91-103
Daftar Pustaka
m
ar
an
g
Amin, Darori. 2011. Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti Dalam Kepustakaan Islam Kejawen (Studi Analisis Suluk Sujinah). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
ga m
a
Se
Behrend, T.E. 1993. “Manuscript Production in Nineteenth-Century Java”. Dalam Bijdragen Tot de Taal, Land-en Volkenkunde. Deel 149. Leiden.
ng
an
A
Dwiyanto, Djoko. 2009. Kraton Yogyakarta: Sejarah, Nasionalisme, dan Teladan Perjuangan. Yogyakarta: Paradigma Indonesia. Ensiklopedi Umum. 1986.
Pe
ng
em
Perjalanan ruhaniah bagi kalangan Islam Kejawen untuk mencapai tujuan akhirnya, yaitu Jumbuh (bersatu) dengan Sang Pencipta dilakukan sepanjang hidupnya. Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia materi dan kehidupan duniawi membutuhkan laku spiritual, baik lahir maupun batin. Laku spiritual untuk mencapai derajat Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kitab Primbon Atassadhur Adammakna adalah dengan cara berbudi luhur, Salat Daim, dan menekung. Kemampuan Salat Daim ini dapat diperoleh dengan melakukan latihan secara daim atau terus menerus sepanjang hidup. Jika seseorang sampai pada kemampuan ruhaniah melakukan Salat Daim, maka dia dapat Jumbuh dengan Gusti, baik ketika masih hidup di dunia maupun sudah meninggal.
Nya dan akan kembali kepada-Nya. Agar dapat kembali kepada Gusti Yang Mahasuci maka kawulo harus mensucikan diri lahir dan batin, dengan berbudi luhur dan menjaga keselarasan dengan kosmos.
ba
arti bersatunya hamba atau manusia dengan Tuhan atau dikenal dengan paham pantheistis. Jumbuhing Kawula Gusti ini berada pada tataran keyakinan aliran kebatinan dan kepercayaan Kejawen dan juga pada mistisisme Islam. Rasa ingin tahu dan tidak puas manusia untuk selalu berdekatan dengan Tuhannya, menimbulkan berbagai bentuk keyakinan, kepercayaan, dan bahkan berbagai laku ritual (spiritual).
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
da
n
Ajaran Jumbuhing Kawula Gusti atau Wihdat al wujud, menyatunya Tuhan (Allah SWT) dengan manusia diolah secara kejawaan (Jawanisasi). Konsep menyatunya Tuhan dengan manusia (Jumbuhing Kawula Gusti) menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhan secara tumpang tindih. Tuhan dilukiskan memiliki sifatsifat yang sama dengan manusia, demikian juga dengan sebaliknya. Paham semacam ini dalam dunia filsafat disebut dengan Antropomorfisme. Meskipun demikian, nilai-nilai spiritual Jawa dalam kitab Primbon Atassadhur Adammakna mengajarkan agar manusia selalu membangun hubungan yang harmonis dengan Gusti atau Tuhan. Hubungan harmonis tersebut dalam arti bahwa manusia menyadari hakekat dirinya adalah Kawulo atau hamba. Tugas kawulo adalah menjalankan apa yang diperintahkan Gustinya. Kawulo adalah ciptaan Tuhan yang berasal dari-
102
Hadikusuma, Hilman. 1993. Antropologi Agama. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hariwijaya, M. 2004. Islam Kejawen. Yogyakarta: Gelombang Pasang. Khalim, Samidi. 2010. Salat Islam Kejawen. Semarang: Primamedia Press. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Noeradyo. Siti Woerjan Soemadijah. 1990. Kitab Primbon Atassadhur Adammakna. Yogyakarta: Soemodidjojo Mahadewa dan CV. Buana Raya. ___. 2008. Kitab Primbon Ajimantrawara, Yogabrata, Rajah Yoga Mantra. Cap-capan Kaping 30. Yogyakarta: Soemodidjoyo Mahadewa dan CV. Buana Raya. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian, Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Konsepsi Jumbuhing Kawula Gusti dalam Kepustakaan Islam Kejawen Samidi Khalim
Riyadi, Slamet. 2002. Tradisi Kehidupan Sastra di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta: Gama Media.
Shihab, Alwi. 2009. Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi: Akar tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka Iman.
Rohrberger, Mary and Samuel H. Woods, Jr. 1971. Reading and Writting About Literature. New York: Random House.
Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI-Press. Soemadidjojo. 2013. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna, Cap-capan Kaping 58, Yogyakarta: Soemodidjoyo Mahadewa dan CV. Buana Raya.
B
al
ai
Pe
ne l
iti an
da
n
Pe
ng
em
ba
ng
an
A
ga m
a
Se
m
ar
an
g
Schrieke, B. J. O. 1916. Het Boek Van Bonang, Proefschrif Univ. Leiden, Editor P. Den Boer, Utrecht, MCMXVI. (University of Chicago Microfilm, MARCXML Open Library).
103
PERANCANGAN SEKOLAH TI NGGI PSIKOLOGI DI MANADO Penerapan Prinsip Zen dalam Disain Je rry Marvin Fransz1 Je frey I. Kindangen2 Ve ronica A. Kumurur3 ABSTRAK Psikologi merupakan ilmu dengan potensi penerapan yang baik dalam berbagai bidang terapan, terkait dengan fungsinya untuk mendalami sifat dan perilaku manusia. Potensi ilmu psikologi ini sangat bermanfaat untuk menanggapi kondisi masyarakat yang pada daerah yang sedang berkembang. Dengan penerapan yang tepat, ilmu psikologi dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah. Melihat prospek ini, maka dirasa sangat tepat untuk mengembangkan pemahaman terhadap psikologi melalui fasilitas pembelajaran yang memadai. Secara nasional, fasilitas pendidikan psikologi di Indonesia terbilang menunjang secara kuantitas maupun kualitas. Namun secara lokal, tepatnya di Provinsi Sulawesi Utara, masih belum tersedia fasilitas pendidikan ilmu psikologi yang cukup. Ini dibuktikan dengan ketersediaan fasilitas pendidikan psikologi yang hanya terdapat pada 2 universitas, masing-masing di Manado dan Tondano. Melihat permasalahan tersebut maka dibutuhkan adanya solusi berupa pengadaan tambahan fasilitas pendidikan psikologi di kota Manado. Solusi ini hadir dalam bentuk perancangan obyek “Sekolah Tinggi Psikologi di Manado”. Pengadaan fasilitas ini untuk menunjang perkembangan ilmu psikologi di Manado, dimana diharapkan dengan adanya objek ini dapat meningkatkan antusiasme masyarakat Manado untuk mempelajari tentang psikologi serta penerapannya dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Perancangan Sekolah Tinggi Ilmu Psikologi ini akan dilakukan dengan pendekatan tema “Penerapan Prinsip Zen dalam Disain” berupa pemaknaan prinsip estetika Zen dalam rancangan arsitektural. Lewat pemaknaan tema serta berbagai analisa aspek perancangan diharapkan dapat mengoptimalkan pemahaman personal dan terutama dalam kaitannya dengan fungsi belajarmengajar bagi pengguna objek. Kata kunci : Sekolah tinggi, Psikologi, Zen, Manado 1.
PENDAHULUAN Ranah psikologi merupakan cabang ilmu yang dalam penerapannya dapat dilakukan pada berbagai area terapan. Penerapan ilmu psikologi pada saat ini tidak hanya terbatas pada proses penyembuhan atau terapi bagi orang yang mengalami gangguan kejiwaan saja. Pada era modern ini peranan psikologi memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan kemampuan kognitif (tingkat kecerdasan). Dengan kata lain, tidak cukup bagi seseorang hanya memiliki kecerdasan yang baik tanpa diiringi dengan mental yang baik pula. Psikologi juga merupakan alat utama yang dapat menunjang proses pembentukan karakter manusia. Hal ini terkait dengan inti dari ilmu psikologi yaitu pemahaman tentang jiwa (sifat dan perilaku) manusia. Dengan demikian, selama suatu aspek masih memiliki unsur manusia di dalamnya maka masih ada peluang untuk diterapkannya ilmu psikologi pada aspek tersebut. Melihat potensi penerapan ilmu psikologi, maka tidaklah aneh jika pengembangannya berlangsung dengan baik. Dalam sistem pendidikan tinggi nasional di Indonesia, pengadaan ilmu psikologi dalam berbagai jenjang/bentuk pendidikan tinggi bukan merupakan hal yang baru lagi namun sudah cenderung menjadi suatu hal yang umum. Ini terbukti dengan adanya pendidikan tinggi psikologi di kota-kota besar di Indonesia. T ingginya minat terhadap pendidikan psikologi di kota-kota besar terkait dengan beberapa faktor misalnya banyaknya kasus perilaku menyimpang pada 1
Mahasiswa Program Studi S1 Teknik Arsitektur UNSRAT Staf Dosen Pengajar Arsitektur UNSRAT 3 Staf Dosen Pengajar Arsitektur UNSRAT 2
72
masyarakat perkotaan akibat penyebaran informasi yang tidak tersaring dengan baik; serta makin kompleksnya lingkungan kerja modern dengan tekanan yang makin meningkat. Se bagai salah satu kota yang sedang berkembang di Indonesia, Manado juga mengalami permasalahan yang serupa yakni dalam hal permasalahan sosial berkaitan dengan sifat dan perilaku masyarakat. Untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan sifat dan perilaku, maka dibutuhkan solusi melalui pendekatan ilmu psikologi yang mempelajari tingkah dan perilaku manusia. Solusi yang ada pun harus hadir melalui pandangan tenaga yang ahli dalam bidang psikologi dan diakui kualitasnya. Demi menghadirkan tenaga ahli dalam ilmu psikologi maka dibutuhkan lembaga pendidikan resmi yang dapat memfasilitasi pendidikan psikologi dengan baik. Pemilihan Manado sebagai lokasi obyek ditunjang dengan peran kota Manado sebagai ibu kota provinsi Sula wesi Utara. Dengan adanya pendidikan tinggi psikologi di Manado dapat meningkatkan antusiasme masyarakat serta menjadi perintis untuk perkembangan pendidikan psikologi di Sula wesi Utara. Maka sesuai penjelasan masalah, solusi yang dapat dihadirkan yaitu melalui sebuah objek rancangan “ Sekolah T inggi Psikologi di Manado”. Sekolah T inggi Psikologi ini akan dirancang dengan berdasarkan penerapan prinsip-prinsip Zen dalam disain. Zen sendiri merupakan suatu bentuk sikap hidup yang diterapkan untuk mencapai tujuan berupa ketenangan dan pemahaman diri dengan lebih mendalam. Dalam kaitannya dengan ilmu Psikologi, Zen sudah sering digunakan sejak lama oleh berbagai psikolog dan terapis sebagai metode untuk menanggapi permasalahan pada pasien mereka. Perancangan obyek sekolah tinggi psikologi dengan penerapan prinsip Zen memiliki maksud dan tujuan perancangan untuk menghadirkan bangunan pendidikan yang optimal dalam fungsi dan segi estetis, serta memaksimalkan penerapan prinsip Zen pada obyek untuk menunjang optimalisasi fungsi dan estetika tersebut. 2.
METO DE P ERANCANGAN Dalam perancangan objek ini dilakukan pendekatan terhadap 3 poin utama yakni tipologi objek, tema perancangan, serta kajian tapak dan lingkungan. Pendekatan ini dicapai melalui metode deskriptif dalam beberapa tahapan. Diawali dengan pengumpulan data baik melalui survei lapangan maupun melalui studi komparasi - studi literatur. Sesudah itu dilakukan analisis terhadap data tersebut. T ahapan ini diakhiri dengan transformasi hasil analisis menjadi konsep disain. Proses transformasi memperhatikan 3 faktor utama : olahan tipologi objek, olahan tapak dan olahan tema perancangan. Dalam prosesnya, perancangan obyek ini menggunakan tahapan proses John Seizel yaitu siklus image-present-test, dimana hasil akhir perancangan dicapai setelah melalui serangkaian proses pengujian dan penciptaan berulang-ulang yang dibatasi oleh waktu. Sementara untuk strategi perancangan dicapai melalui analisa objek dan tema perancangan yang disesuaikan dengan tipologi yang ada. Hasil analisa kemudian disatukan lagi dengan data-data tapak. Keseluruhan hasil akan diubah menjadi konsep perancangan yang akan dilanjutkan ke perancangan fisik. 3.
KAJIAN PERANCANGAN A. Definisi dan Deskripsi Obyek Sekolah T inggi Psikologi di Manado adalah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau vokasi dalam lingkup disiplin ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, dengan lokasi perancangan di kota Manado. Lebih lanjut, berdasarkan Kepmendiknas nomor 234/U/2000 dan UU nomor 20 tahun 2003, sekolah tinggi terdiri atas satu program studi atau lebih yang menyelenggarakan Program D I, D II, D III, dan/atau D IV, dan yang memenuhi syarat dapat menyelenggarakan Program Sarjana (S1), Program Magister (S2), dan/atau Program Doktor (S3). Susunan organisasi sekolah tinggi dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu Pembantu Ketua untuk 3 bidang berbeda : bidang Akademik, bidang Administrasi Umum, dan bidang Kemahasiswaan. Selain Ketua dan Pembantu Ketua, sistem sekolah tinggi juga ditunjang unsur lain diantaranya senat sekolah tinggi, unsur pelaksana akademik, unsur pelaksana administratif, unsur penunjang dan unsur lainnya yang dianggap perlu. Dalam pelaksanaannya, program pendidikan tinggi Psikologi terdiri atas program Sarjana (S1), program Magister (S2), dan program Doktor (S3). Untuk program Sarjana (S1) hanya memiliki 1 program studi yaitu Program Studi Psikologi, namun dalam penerapannya dibagi ke dalam 5 wilayah peminatan yaitu psikologi klinis, psikologi perkembangan, psikologi pendidikan, psikologi industri dan organisasi, dan psikologi sosial. Untuk pembagian/pengadaan 73
program studi pada jenjang S2 dan S3 disesuaikan dengan kebutuhan tiap program pendidikan dan juga disesuaikan dengan peraturan serta ketentuan yang berlaku. Pada perancangan obyek ini hanya ditargetkan untuk jenjang S1 dan jika memungkinkan secara jangka panjang maka akan dikembangkan lebih lanjut. B.
Prospe k dan Fisibilitas O byek Secara prospek, obyek ini memiliki prospek ke depan yang cukup baik. Adanya sekolah tinggi ini dapat meningkatkan antusiasme masyarakat awam terhadap cabang ilmu psikologi. Selain itu, pengadaan obyek ini - dengan berbagai fasilitas penunjang - dapat menjadi perintis untuk bentuk pendidikan tinggi yang lebih baik. Obyek ini dianggap layak dihadirkan karena berpeluang untuk mengarah kepada pengembangan pendidikan tinggi ilmu psikologi di Sula wesi Utara. Serta dengan adanya pengolahan yang baik dan penyediaan fasilitas yang memadai dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap cabang ilmu psikologi. C. Lokasi Pemilihan lokasi didasarkan pada beberapa kriteria yaitu peruntukan lahan pada RT RW Kota Manado, ketersediaan lahan, kesesuaian lingkungan sekitar terhadap bangunan pendidikan, ketersediaan infrastruktur, aksesibilitas, dan prospek pengembangan. Lebih lanjut, berdasarkan arahan lokasi untuk pengembangan pelayanan pendidikan tinggi pada RT RW Kota Manado tahun 2010-2030, diarahkan untuk dikembangkan di wilayah Kecamatan Mapanget atau Kecamatan Bunaken. Setelah dilakukan penilaian lokasi dan tapak untuk 3 alternatif lokasi dan tapak, maka didapatkan lokasi dan tapak ideal untuk perancangan ini yaitu di Jl. Politeknik, kelurahan Kairagi 2, kecamatan Mapanget.
Gambar 1. Site terpilih dan kondisi site (sumber : www.wikimapia.com dan survei pribadi)
D.
Kajian Te ma Pemilihan tema ‘Penerapan Prinsip Zen dalam Disain’ berdasarkan pertimbangan penulis tentang kaitan zen dengan jiwa manusia. Zen identik dengan kesederhanaan, ketenangan, dan pemahaman terhadap diri sendiri. Sifat-sifat zen tersebut dapat menjadi faktor penunjang yang baik bagi fungsi objek yaitu pembelajaran terhadap jiwa manusia. Hubungan antara zen dengan dunia psikologi sendiri bukan merupakan hal yang baru lagi, dimana prinsip-prinsip dasar zen sudah sering digunakan dalam beberapa proses terapi psikologi modern. Dari pertimbangan sebelumnya maka disimpulkan bahwa penerapan zen merupakan tema yang tepat untuk objek rancangan ini. Secara kebahasaan, kata ‘Zen’ berasal dari kata dalam bahasa Cina kuno ‘Dzyen’ (dalam bahasa Mandarin Modern :Chán), yang diucapkan dalam dalam bahasa Jepang. Kata ini berasal dari bahasa Sansekerta ‘dhyana’, yang dapat diartikan sebagai ‘menyerap’ atau ‘keadaan bertapa/perenungan. T api pemahaman tentang apa itu Zen sebenarnya, tak dapat dijelaskan dalam kata-kata. Sifat tersirat dalam pemahaman terhadap Zen serupa dengan sifat misterius dari kehidupan itu sendiri. Dengan demikian cara terbaik untuk memaknai Zen yaitu dengan menjalani kehidupan secara alami dan spontan tanpa dibebani hal yang tidak perlu. Awal perkembangan Zen berasal dari Cina lebih spesifiknya dari lingkungan penganut kepercayaan Buddha. Zen kemudian disebarkan oleh biksu Buddha yang belajar ke Cina dan berasal dari berbagai daerah di Asia yaitu Vietnam, Korea dan Jepang. Pemaknaan Zen pada tugas perancangan ini didasarkan pada budaya Zen di Jepang, karena pengaruh Zen di 74
masyarakat Jepang sangat kental dibandingkan pengaruh di negara lainnya. Pengaruh Zen di Jepang tidak hanya terbatas pada lingkungan biara Buddha, tapi juga telah mempengaruhi berbagai aspek misalnya arsitektur dan seni. Zen dalam budaya Jepang dihadirkan lewat sebuah konsep estetika yang dikenal dengan istilah wabi-sabi (佗寂). Konsep estetika ini menonjolkan nilai-nilai kesederhanaan, menyatu dengan alam, dan keindahan yang alami akibat perubahan waktu. Seorang professor sekaligus penganut Zen Buddhisme, Shinichi Hisamatsu dalam bukunya ‘Zen and Fine Arts’ menjabarkan prinsip estetika Zen menjadi 7 karakteristik yaitu fukinsei (asimetri), kanso (sederhana), kokō (esensi), shizen (alami), yūgen (tersirat), datsuzoku (tidak terikat dengan dunia), dan seijaku (hening). Penerapan Zen ke dalam olahan arsitektural dapat diterapkan ke berbagai aspek dari ruang dalam hingga ruang luar. Contoh penerapan misalnya penerapan prinsip kanso (sederhana) pada olahan bentuk massa dan fasad menghasilkan bentuk massa yang sederhana, cenderung minimalis dan menggunakan bentuk geometri dasar; penerapan shizen (alami) pada penggunaan material dan penentuan jumlah bukaan; serta penerapan prinsip yūgen (tersirat) pada olahan fasad dan peletakkan massa menghasilkan massa yang ‘tersembunyi’/tidak sepenuhnya terekspos dan hanya memberikan bidang transparan (jendela) pada tempat yang membutuhkan banyak pencahayaan
Gambar 2. Contoh penerapan prinsip estetika Zen pada olahan bangunan (sumber : www.archdaily.com/...)
Hubungan Zen dengan bangunan pendidikan dapat dimisalkan sebagai sebuah proses meditasi yang dilakukan dalam praktek Zen, yaitu suatu kondisi dimana suatu ‘wadah’ yang statis/tenang harus dihadirkan untuk memberikan solusi bagi kegiatan dinamis yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini wadah statis adalah bangunan sekolah dan kegiatan dinamis adalah kegiatan belajar-mengajar dan pertemuan antara berbagai ide yang berbe da-beda. Nilai estetika Zen juga menonjolkan tentang keindahan yang timbul karena perubahan waktu, dimana proses belajar juga akan menghasilkan perkembangan jika ditekuni dengan baik selama jangka waktu tertentu. Sementara hubungan Zen dengan psikologi yaitu bahwa keduanya digunakan sebagai media untuk memahami sifat dan perilaku manusia. E.
Analisis Pe rancangan Analisa pelaku kegiatan/pengguna bangunan menjabarkan 4 pengguna bangunan yaitu mahasiswa/i, staf pengajar, pengelola (semua pihak yang bertugas mengatur operasional bangunan), dan pengunjung umum. Setiap pengguna bangunan memiliki 3 pola kegiatan : kegiatan utama (belajar-mengajar), kegiatan pelengkap (sosialiasi antar tiap pelaku kegiatan), dan kegiatan pengelolaan administrasi maupun teknis. Dalam penentuan jumlah pelaku kegiatan digunakan asumsi untuk jangka panjang dan ratio tertentu. Untuk jumlah mahasiswa/i total diasumsikan jumlah mahasiswa per angkatan sebanyak 80 orang dengan lama penyelesaian studi minimal 4 tahun. Dengan demikian jumlah mahasiswa/i total untuk 1 jangka waktu adalah 320 orang. Untuk jumlah pengajar, digunakan ratio ideal pengajar berbanding jumlah siswa yakni 1 : 25. Dengan demikian untuk 320 siswa dibutuhkan 13 orang pengajar. Untuk pengunjung umum diambil asumsi 30 % dari total mahasiswa/i, dosen, karyawan lainnya.
75
Analisis tapak menunjukkan bahwa luas site adalah 27145 m2 (2 Ha). Dengan luas sempadan jalan & bangunan sekitar sebesar 2345 m 2 maka luas site efektif adalah 24800 m2 . Luas efektif ini kemudian dikalikan dengan KDB yang berlaku di lokasi yaitu 40 %, mendapatkan luas lantai dasar yang dibolehkan sebesar 9920 m 2. Kondisi tapak berkontur dengan perbedaan kontur 2 m dan kontur tertinggi tapak adalah 10 m dari titik terendah tapak. Analisis tapak juga mengkaji berbagai elemen tapak lainnya selain luasan dan topografi, diantaranya klimatologi tapak, view, sirkulasi, kebisingan dan zonasi tapak. Hasil dari analisa tiap elemen ini yang nantinya akan digabungkan dengan konsep tematik untuk memperoleh konsep olahan dasar. 4.
+ 4.00
+ 8.00 + 10.00
+ 8.00 + 6.00 + 4.00 0.00
KO NSEP & HASIL PERANCANGAN A. Konse p Pe rancangan Gambar 3. Data luasan dan topografi Aplikasi tematik dapat diterapkan pada setiap tapak kriteria kualitas perancangan. Penerapan tema didasarkan pada 7 prinsip estetika Zen yakni fukinsei (asimetri), kanso (sederhana), kokō (esensi), shizen (alami), yūgen (tersirat), datsuzoku (tidak terikat dengan dunia), dan seijaku (hening) Krite ria Kualitas Perancangan
Prinsip Zen dan Pene rapannya
Konsep Perletakan Massa
yūgen (tersirat), seijaku (hening) - menghalangi massa agar tidak terekspos seluruhnya, dengan memanfaatkan kontur dan vegetasi. Ini juga dilakukan untuk menjamin ketenangan pada massa utama.
Konsep Pemilihan Bentuk
fukinsei (asimetri), kanso (sederhana) - menggunakan hanya bentuk geometri dasar namun diolah agar dinamis dengan cara permainan tinggi rendah.
Sirkulasi dalam T apak
yūgen (tersirat), seijaku (hening) - menjamin ketenangan dengan hanya menyediakan akses sirkulasi pejalan kaki untuk menuju massa utama. Sekaligus menciptakan indirect access dari entrance ke massa utama
Ruang Luar
shizen (alami), yūgen (tersirat) - mempertahankan kondisi alami site, juga memanfaatkan kontur untuk memberi efek tersembunyi (truncation - pemendekan) bagi massa pada kontur tertinggi.
Gubahan Massa
Selubung Bangunan Ruang Dalam
fukinsei (asimetri), kanso (sederhana), shizen (alami) - olahan-olahan sederhana berupa penambahan-pengurangan untuk menghasilkan massa yang dinamis. Variasi tinggi-rendah juga terjadi akibat tanggapan terhadap kondisi kontur. kanso (sederhana), kokō (esensi) - mengandalkan warna dan struktur alami material kanso (sederhana), shizen (alami) - hubungan antar ruang dalam tidak berbelit-belit dan lebih efisien. Pengadaan void dan bukaan untuk mengoptimalkan asupan cahaya dan sirkulasi udara.
Tabel 1. Aplikasi tematik pada berbagai kriteria perancangan
76
area terbangun pada site
posisi massa utama (dari pertimbangan kebisingan dan view)
+
Perletakkan massa didapat berdasarkan analisa kontur + analisa sirkulasi dan diberi terapan prinsip ‘tersirat’ dan ‘ketenangan’ dari prinsip Zen. Hasil konsep menempatkan massa utama pada titik tertinggi site dan massa lainnya pada builtable area yang tersedia. Gambar 4. Konsep perletakan massa
tea garden /roji : layout dan view
Sirkulasi terdiri atas sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki. Untuk mencapai bangunan utama hanya dapat dicap ai melalui sirkulasi pejalan kaki, disediakan beberap a titik drop-off sebagai batas terakhir yang bisa dicapai kendaraan. Ini dimaksudkan untuk mendukung prinsip ‘ketenangan’ dan ‘tersirat’ (didapat melalui pencapaian tidak langsung). Konsep sirkulasi terinspirasi dari sirkulasi dalam tea garden/roji - taman tempat tea house berada. Gambar 5. Konsep sirkulasi dalam tapak
Prinsip ‘sederhana ‘dan ‘asimetri’ dicapai melalui olahan pada bentuk geometri dasar. Variasi tinggi-rendah juga terpengaruh dari kondisi kontur, sebagai penerap an prinsip ‘alami’. Olahan bentuk lingkaran untuk menunjang area publik, karena luasannya yang besar. Bentuk lingkaran juga untuk mengoptimalkan asupan cahaya matahari. Gambar 6. Konsep gubahan massa
77
Hasil Pe rancangan
spot ieksterior
perspektif site
spot inerior
site plan
B.
Isometri struktur
tampak site Gambar 7. Hasil perancangan
78
5.
PENUTUP Psikologi memiliki peranan yang cukup penting pada era modern ini. Hal ini dapat dilihat dari potensi penggunaannya yang tidak hanya terbatas untuk penyembuhan bagi penderita gangguan kejiwaan saja, namun dapat juga digunakan untuk pengembangan potensi serta perbaikan kualitas baik individual maupun kelompok. Melihat potensi ini serta bagaimana pengembangan pendidikan psikologi sudah menjadi hal yang umum di sejumlah kota besar di Indonesia, maka dirasa perlu untuk menghadirkan suatu lembaga pendidikan psikologi yang memadai di kota Manado. Dalam perancangannya, sekolah tinggi psikologi ini difasilitasi dengan baik demi mengoptimalkan proses pembelajaran terhadap psikologi manusia. Perancangan sekolah tinggi psikologi ini dilakukan dengan bantuan pendekatan tema Penerapan Prinsip Zen dalam Disain. Zen yang dikenal dengan elemen-elemen kontemplatif, kesederhanaan, dan kedekatan dengan alam masih memiliki kaitan dengan dunia psikologi. Penerapan tema ini bertujuan untuk menunjang proses belajar-mengajar serta juga diharapkan dapat menjadi ciri khas dari lembaga pendidikan ini. DAFTAR PUSTAKA ________. 2010. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Manado 2010 – 2030. Pemerintah Kota Manado. Manado. ________. 2011. Rancangan Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Tinggi Program Pascasarjana dan Profesi. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Jakarta. Dakir. 1993. Dasar-dasar Psikologi. Pustaka Pelajar Hisamatsu, Shinichi. 1958. Zen and Fine Arts. Kyoto. Levene, Richard. C. & Fernando Márquez Cecilia. 1996. El Croquis omnibus volume 44+58 Tadao Ando 1983 1992. El Croquis Editorial. Spain. Nishi, Kazuo & Kazuo Hozumi. 1985. What is Japanese Architecture?. Kodansha International. Tokyo-New York-London. T sai Chih Chung. 2012. The Book of Zen - Kebebasan Berpikir. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Jakarta Peraturan : ________. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi. Jakarta. _______. 2000. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 234/U/2000 tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi. Jakarta ________. 2003. Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta ________. 2013. Keputusan Asosiasi Penyelenggara Pendidikan Tinggi Psikologi Indonesia (AP2TPI) Nomor 01/Kep/AP2TPI/2013 Tentang Pendidikan Tinggi Psikologi di Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Pendidikan T inggi Psikologi Indonesia (AP2TPI).
79
CITRA PEREMPUAN DALAM HAIKU SUGITA HISAJO Rahajeng Nastya Sekarhayu Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Email:
[email protected] Abstract: A woman is pictured as a person who has tenderness and tenacious thought. As a mother, Japanese woman believe that she must pursues a good education, improves her knowledge, and develops her artistic inclinations in order to run her role well. Japanese women are proud to their role as a mother. They take care and teach all of the lessons to their children. Haiku written by Sugita Hisajo portrays a model of woman as a mother who is kind, intelligent, educate, and willing to sacrifice for the family behalf. Japanese women also play important role in the society. They are smart and have bright views of ideas and knowledge which enable them to take a part in the cultural and political domain. Keywords: mother, smart, educate, willing to sacrifice. Pendahuluan Citra perempuan merupakan
kesan yang terpancar dan melekat pada diri
seorang perempuan. Perempuan memiliki hakikat sebagai makhluk yang memiliki hati yang lembut namun juga memiliki pemikiran yang luas dalam mengajarkan nilai-nilai kebaikan bagi orang-orang yang dia sayangi. Perempuan selalu memiliki cara mengasihi dan memberi manfaat bagi sesama. Perempuan Jepang merupakan perempuan mandiri yang senantiasa mengerti dan menjalankan tradisi secara turun temurun. Tradisi tersebut sudah tumbuh mulai dari usia belia. Seorang perempuan Jepang harus mampu bersikap santun dan lebih menjaga aturan daripada para lelaki. Perempuan Jepang sudah mulai diatur dari cara tidur hingga bagaimana ia membantu ibunya. Perempuan Jepang yang beranjak dewasa harus paham akan aturan sebagai perempuan yang nantinya akan dipinang dan memnjadi seorang istri serta ibu dari anak-anaknya kelak. Sebagai seorang istri dan ibu, perempuan Jepang merupakan perempuan yang begitu mengabdikan dirinya. Di dalam karya sastra Jepang banyak disinggung bagaimana kesantunan dan peran perempuan Jepang sebagai seorang istri maupun seorang ibu. Kesusatraan Jepang yang memuat tentang peran dan citra perempuan Jepang sangat banyak diantaranya tersirat dalam kasya sastra puisi. Di Jepang puisi sendiri sangat beragam macamnya, yaitu waka, haikai, haiku, kyoka, senryu, kayo, dan 75
kindaishi. Dari beberapa jenis puisi Jepang tersebut haiku merupakan puisi Jepang dengan sajak terpendek. Haiku yang bercerita tentang perempuan memiliki cara pengisahan yang berbeda dengan puisi lainnya yakni diceritakan secara simbolik. Peneliti tertarik dengan bagaimana penceritaan perempuan diungkapkan melalui haiku tersebut. Sehingga dalam penelitian ini mengangkat haiku sebagai sumber data pencarian citra perempuan Jepang. Haiku di Jepang sangat mendunia pada masa abad ke 17. Penyair ternama Jepang bermunculan satu persatu, dan yang menarik perhatian adalah munculnya penyair haiku muda bernama sugita Hisajo. Sugita Hisajo merupakan penyair haiku yang sangat runtun dan cermat meulis karyanya. Ia pun menulisnya berdasarn=kan keindahan perempuan dan musim. Citra perempuan ia balut dalam simbol keempat musim di Jepang Jepang. Oleh karenanya karya sugita Hisajo begitu menarik dalam mengisahkan perempuan Jepang. Citra perempuan dalam isi haiku karya Sugita Hisajo sebagai cerminan citra perempuan Jepang pada masa abad ke 17. Lebih spesifik, akan ditelaah: (1) citra perempuan di lingkungan domestik sebagai istri dan ibu serta (2) citra perempuan di lingkungan publik sebagai seorang warga masyarakat yang juga ingin masuk menjadi bagian sosio budaya dalam masyarakat Jepang seperti yang tercermin dalam haiku karya Sugita Hisajo. Analisis haiku-haiku karya Sugita Hisajo ini menggunakan kritik sastra feminisme ideologis. Feminisme merupakan bentuk ungkapan dan apresiasi terhadap pandangan dan perlakuan terhadap pengakuan keberadaan perempuan. Perempuan yang kadang masih dipandang sebelah mata dan kurang dihargai haknya inilah yang memicu timbulnya pergerakan feminisme. Feminisme dalam dunia sastra telah menghasilkan banyak karya yang memberi manfaat dalam kontribusi pergerakan emansipasi wanita. Kritik sastra feminisme merupakan salah satu disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon dari banyaknya karya sastra feminisme di dunia. Seiring dengan kesadaran perempuan akan posisi dan kedudukan yang seharusnya sederajat, maka semakin berkembang pula kritik sastra feminism. Hal ini sejalan dengan pendapat Geofe dalam Suharto (2005:18) bahwa, feminsme ialah teori tentang persamaan
76
antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, social; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Kritik sastra feminis merupakan salah satu ilmu disiplin sebagai respon atas berkembang luasnya feminisme di berbagai penjuru dunia (Suharto, 2002 : 15). Orang yang menganut paham feminisme ini disebut dengan feminis. Mereka terbagibagi menjadi beberapa aliran. Menurut Tong (2009:1), ada delapan macam aliran feminisme yang dianut oleh para feminis. Diantaranya adalah: liberal, radikal, marxist/sosialis,
psychoanalytic,
carefocused,
multicultural/global/colonial,
ecofeminist, dan gelombang ketiga yang dikenal dengan postmodern. 1. Feminis liberal memandang diskriminasi wanita yang diperlakukan tidak adil. Wanita seharusnya memiliki kesempatan yang sama dengan pria untuk sukses di dalam masyarakat. Menurut feminis liberal, keadilan gender dapat dimulai dari diri kita sendiri. Pertama, peraturan untuk permainannya harus adil. Kedua, pastikan tidak ada pihak yang ingin memanfaatkan sekelompok masyarakat lain dan system yang dipakainya haruslah sistematis serta tidak ada yang dirugikan (Tong, 2009:2). 2. Feminis Radikal menganggap sistem partrilianisme terbentuk oleh kekuasaan, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Namun hal tersebut tidak bisa direformasi dan bahkan pemikirannya harus dirubah. Feminis radikal fokus kepada jenis kelamin, gender, dan reproduksi sebagai tempat untuk mengembangkan pemikiran feminism mereka (Tong, 2009:2). 3. Feminis Marxist dan sosialis menyatakan kalau mustahil bagi siapapun, terutama wanita untuk mencapai kebebasan yang sesungguhnya di tengah masyarakat yang menganut sistem yang berdasarkan kelas, dimana kekayaan diproduksi oleh orang yang tak punya kekuatan yang dikendalikan oleh sedikit orang yang mempunyai kekuatan (Tong, 2009:4) 4. Feminis psikoanalitis fokus kepada karya-karya Sigmund Freud untuk lebih mengerti peran jenis kelamin di dalam kasus penindasan terhadap wanita (Tong, 2009:5) 5. Feminis care-focused membahas hal-hal mengapa wanita dihubungkan dengan ketergantungan, komunitas, dan hubungan. Sedangkan pria dikaitkan dengan ketergantungan, kemandirian, dan otonomi. Para pemikir ini menganggap bahwa 77
di dalam masyarakat ada perbedaan kenyataan antara “feminis” dan “maskulin” (Tong, 2009:7) 6. Feminis multicultural/global/postcolonial berfokus pada penyebab dan penjelasan terhadap kedudukan wanita yang berada di bawah pria di seluruh dunia. Feminis aliran ini terkenal memiliki komitmen yang kuat untuk menekankan perbedaan di antara wanita dan menidentifikasi berbagai macam wanita agar dapat bekerjasama dengan baik (Tong, 2009:7) 7. Feminis aliran ecofeminists menekankan pada titik kalau kita tidak hanya terhubung terhadap sesama manusia, tetapi kepada makhluk lain seperti hewan atau bahkan tumbuhan (Tong, 2009:8) 8. Feminis postmodern atau gelombang ketiga memiliki pemikiran untuk menghapuskan perbedaan antara maskulin dan feminim, jenis kelamin, wanita dan pria. Mereka mencoba menghancurkan konsep para kaum pria yang mencegah wanita untuk memposisikan dirinya dengan pemikirannya sendiri dan tidak mengikuti pemikiran pria (Tong, 2009:9). Puisi Jepang terbagi menjadi 7 macam yakni, waka, haikai, haiku, kyoka, SEntyu, Kayo, dan Kindaishi. Waka merupakan puisi yang dibuat untuk mengimbangi lahirnya puisi china. Waka mulai pudar sekitar akhir zaman nara. Bentuk puisi yang merupakan bentuk awal dari pusisi jepng ini memiliki cirri khas. Waka terdiri dari 31 suku kata 5,7,5,7,7 . hikai adalah puisi jenaka, yang dimulai dari bait pertama 5,7,5 dan dilanjutkan dengan, 7,7. Selanjutnya haiku, dengan 5,7,5. Kyoka merupakan puisi bebas Jepang. Senryu merupakan pantun berbalas. Kayo merupakan puisi berirama seperti nyanyian. Dan kindaishi adalah puisi modern Jepang. Haiku merupakan puisi Jepang yang banyak menyita perhatian. Syairnya yang simbolik dan tegas mampu menyiratkan sejuta makna dari pengapresiasi puisi. Haiku sama artinya dengan bait pertama haikai no renga. Haiku lahir pada abad ke 20. Haiku memiliki aturan 17 suku kata, 5,7,5. Haiku sangat popular di Jepang sehingga dalam perkembangannya, haiku masih dilestarikan dengan cara pengadaan lomba pembuatan haiku.
Pembahasan Perempuan memiliki kelembutan hati dan keteguhan pemikiran. Sebagai ibu 78
perempuan Jepang memiliki keteguhan dan prinsip bahwa ia harus berpendidikan tinggi dan memiliki pengetahuan serta keterampilan yang luas, demi menjalannkan perannya dengan baik. Perempuan Jepang sangat bangga akan kodratnya sebagai ibu, oleh karennya sangatlah tercermin bagaimana mereka mengajarkan satu-demi satu poengetahuan terhadap anaknya agar mengerti hidup. Mereka mengajarkan deng sifat khas seorang ibu pada umumnya. Berikut ini citra perempuan Jepang yang tertangkap dalam Haiku Karya Sugita Hisajo.
1.
Perhatian dan Cerdas 春雨や畳の上のかくれんぼ (Hisajo,2) Harusame ya tatami no une no kakurenbo Hujan di musim semi, bermain petak umpet, diatas tatami Musim semi adalah musim dimana bunga sakura bermekaran dengan
cantiknnya. Hawa dan suasana pun penuh kehangatan. Namun bertilik pada sajak haiku tersebut di atas bunga-bunga yang seharusnya biasa dinikmati dengan berpiknik sambil memandang bunga sakura di taman tidak bias dilakukan. Hujan pada musim semi hari itu sempat memberikan suasana murungg, namun Hisajo memberikan nuansa keceriaan khas keluarga kecil yang dimeriahkan oleh keceriaan anak-anak bermain petak umpet. Dalam hal ini terlihat bahwa betapa cerdasnya Hisajo dalam membuat anak-anaknya tidak bersedih dan menggantikan piknik tersebut dengan suasana yang tidak kalah mengasyikkan. Perhatiannya terhadap perasaan anak-anaknya merupakan sifat dasar perempuan Jepang yang terwakilkan dalam haiku ini. Hal ini sejalan dengan pemikiran para perempuan Jepang yang memahami tugas utamanya sebagai perempuan. Kaum Ibu di Jepang justru merasa bahagia, tersanjung dan dimuliakan dengan jabatan dan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Bahkan mereka tak segan-segan mengundurkan diri dari karir mereka demi mengasuh dan mendidik sendiri anakanak mereka di rumah. Rilis Kementerian Kesehatan-Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang tanggal 17 Maret 2004 mengungkapkan bahwa 61% Ibu muda Jepang meninggalkan pekerjaannya diluar rumah setelah melahirkan anak pertama. Hal ini mungkin juga karena pandangan tentang peran ganda perempuan –yaitu sebagai ibu sekaligus wanita pekerja– dianggap sebagai chuto hanpa alias peran 79
tanggung, tidak populer di Jepang. Menjadi ibu rumah tangga dianggap sama profesionalnya dengan wanita pekerja Jepang. Jadi wajar pemerintahan Jepang sangat memberi tempat terhormat pada peranan ibu rumah tangga yang berkualitas, karena kemajuan bangsanya kelak pun tetap di topang oleh kualitas ibu-ibu rumah tangganya sebagai pembentuk kualitas karakter anak-anak mereka. (Wulandari, profesionalitas ibu Jepang, diakses tanggal 14 Juni 2014) Namun Hisajo juga menegaskan bahwa anak-anaknya kelak juga harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Di bidang sosial, hak-hak perempuan sangat terbatas. Tradisi menghendaki perempuan mengurus keluarga.
Masyarakat
tradisional masa itu beranggapan bahwa seorang gadis sudahlah cukup jika bisa menulis, membaca, berhitung. Hisajo menuliskan dalam haiku tersebut agar anaknya bisa mengabdikan ilmunya untuk mewujudkan keinginan mereka dan bebas menentukan pilihan, sebebas berlarian di atas tatami ketika bermain petak umpet. Gerakan feminisme yang dilakukan Hisajo senada dengan pendapat fakih bahwa gerakan feminisme merupakan perjuangan dalam rangka mentransformasikan sistem dan struktur sosial yang tidak adil menuju keadilan bagi kaum laki-laki dan perempuan (1997;99-100).
2.
Mendidik 出でて歩む蟇見ぬ水ぬるむ Tsuchidedeteayumu hiki minu mizunurumu Keluar dari tanah, kodok yang memandu menemukan air hangat yang tak
terlihat Tanah merupakan symbol
dimana kita menapaki
hidup,
menikmati
pertumvuhan. Begitupula Hisajo yang mengibararkan dirinya sebagai katak yang membimbing anaknya dalam mencari air hangat. Air hangat merupakan symbol dari kehangatan hidup, kemakmuran ketika dewasa, dan kesuksesan yang berhak dimiliki setiap individu. Hisajo sebagai pemegang kendali dalam menemukan kehangatan yang tak terlihat itu. Sesuai dengan prinsip feminisme bahwa seorang perempuan haruslah aktif. Hisajo memperlihatkan kepada dunia bahwa ia merupakan perempuan yang cerdas
80
dan mampu mendidik anaknya. Hal ini mematahkan pandangan bahwa perempuan merupakan kaum minor pendidikan.
3.
Rela berkorban 歯茎かゆく乳首かむ子や花曇 (Hisajo;2) Hagukika yuku chikubikamu ko ya hanagumori Gusi anak terasa gatal, mengigit puting susu, kabut musim semi Pertumbuhan anak-anak Hisajo mulai tampak ketika tumbuhnya gigi yang
ditandai dengan gatalnya gusi anaknya. Hal ini juga sejalan dengan kreatifitas sang anak. Tumbuhnya gigi tersebut juga menjadikan putting susu Hisajo yang digigitnya menjadi sakit. Pengorbanan sorang ibu terpancar di sini ia rela sakit demi anaknya agar mendapatkan gizi dan perhatian yang cukup. kabut musim semi menggambarkan kesedihan mendalam yang dirasakan Hisajo. Musim semi yang indah dengan banyaknya bunga yang bermekaran tiba-tiba berkabut. Musim semi simbol kedamaian budaya Jepang, sedangkan kabut melambangkan pengaruh asing. Pada masa restorasi meiji, Jepang mengimpor banyak ilmu dan pengaruh masuknya budaya barat. Terlebih setelah kalah pada perang dunia kedua, mereka harus giat memasukkan unsur-unsur budaya Eropa dan Amerika. Pengaruh berlebihan berdampak buruk bagi masyarakat, terutama anak muda. Hisajo takut melepaskan anaknya dalam pengaruh budaya asing yang kurang diinginkan. Perempuan sebagai ibu dalam haiku ini dicitrakan sebagai manusia yang penuh pengorbanan dengan mendidik anak dan menjaganya agar terhindar dari pengaruh negatif budaya asing. Hisajo berharap agar anaknya, walaupun hidup modern, masih tetap bisa menjaga kelestarian budaya. Untuk itu, Hisajo berusaha melindungi anaknya dari pengaruh budaya asing Hisajo rela mengorbankan waktu di sela-sela kesibukannya agar selalu bisa membimbing anak menghadapi masalah. Seperti pandangan Feminisme Ideologis, seradikal apa pun, tokoh dalam karya sastra yang berposisi sebagai ibu senantiasa dicitrakan bersikap berkorban dan melindungi anak-anaknya. Hisajo juga tidak melupakan perjuangan wanita dalam menegakkan feminisme di Negara dan lingkungan publik. Hal itu tercermin dalam haiku berikut ini.
81
4.
Belajar dengan えん
つ
ひさご
たね
ま
簷 に吊る 瓢 の種 も蒔かばやな En ni tsuru hisago no tane mo makabayana Di bendung, harus menanam benih-benih dari tanaman merambat Haiku ini menceritakan tentang perjuangan perempuan dalam belajar agar setara pendidikannya dengan kaum laki-laki. Hisago yang merupakan benih maksudnya adalah bibit kepandaian dan keterampilan seorang wanita yang harus diasah. Hisajo menegaskan bahwa citra wanita Jepang adalkah wanita yang mau belajar mau berupaya meningkatkan daya saingnya. Dan dibuktikan dengan karyanya yang diakui dunia begitu indah dan mampu mengungkapkan aspirasi lewat 17 suku kata pada haikunya.
5.
Berjuang Meraih Persamaan Maiagaru habataki tsuyoshi tazuru hyakuba (Hisajo;4) Menuju ke angkasa, mengepakkan sayapnya, kekuatan 100 burung bangau . Menuju angkasa diisyaratkan bahwa Hisajo ingin seorang perempuan mampu
keluar dari kelemahan dan penindasan, serta mampu menorehkan cita-cita setinggi langit. Angkasa merupakan tempat yang tinggi, luas, susah dicapai. Untuk menuju ke sana, dibutuhkan perjuangan dan pengorbanan. Hisajo juga ingin mendapatkan kebebasan untuk mencapai semua keinginan dan mengembangkan bakat-bakatnya. Hisajo ingin menuju ke tempat ia dihargai, diperlakukan adil, dan didengarkan pendapat-pendapatnya. Burung bangau yang dimaksud adalah kelompok feminis di Jepang yang mulai unjuk gigi. Kelompok feminis pertama, Seitosha (Kelompok Kaos Kaki Biru), didirikan oleh Hiratsuka Reicho; setelah itu, Shin Fujin Kyoukai (Perkumpulan Wanita-Wanita Baru) yang dikelola oleh Raicho, Oku Mumeo, dan Ichikawa Fusae; kemudian Fusen Kakutoku Domei (Persatuan Hak Pilih Wanita). Walaupun mendapat tentangan keras dari berbagai pihak, mereka tetap tidak putus asa. Dinamika kelompok feminis ini bagaikan bangau, yang dari luar kelihatan cantik anggun, tetapi di balik itu menyimpan kekuatan luar biasa. Ini simbol perjuangan kelompok feminis Jepang yang berjumlah amat kecil, tetapi ketahanan resistensinya tidak surut sepanjang waktu. Ketika terbang, bangau membentuk segitiga, tua di depan dan muda di tengah. 82
Tindakan kultural Hisajo ini justru amat tepat dalam perspektif feminis ideologis, sebab sebuah perjuangan pertama-tama harus dilandasi oleh kebebasan berpikir. Kebebasan itu diwujudkan dalam karya sastra, termasuk haiku (Djajanegara, 2000:51). Perjuangan Hisajo melalui haiku merupakan perjuangan yang cerdas. Ia mampu mengajak komunitas yang walaupun sedikit tapi mampu bersatu menjadikan mereka berkekuatan 100burung bangau.
Simpulan Sebelas haiku karya Sugita Hisajo menggambarkan citra perempuan di lingkungan domestik dalam masyarakat Jepang dimanifestasikan ke dalam citranya sebagai ibu dan istri. Sebagai ibu, perempuan dicitrakan sabar, bersahabat dan mendidik, siap berkorban, penuh kasih dan berharap akan kebahagiaan anak. Perempuan di ranah publik masyarakat Jepang dalam haiku karya Sugita Hisajo dicitrakan sebagai manusia yang peduli dinamika politik bangsa serta berspirit perjuangan meraih kebebasan.
Daftar Pustaka Bender, D.W., Yachimoto E. 2002. “A Wave of Moonlight-Woman Poets of Japan: Echoes
Over
Hills:
The
Haiku
of
Sugita
Hisajo”.
www.worldhaikureview.org/1-3/womwnpoets.shtml Djajanegara, S. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fakih, M. 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. No name, 1998. www.biglobe.ne.jp. Diakses tanggal 1 Juni 2014 pukul 13:00 WIB. Yachimoto, E. 2002. “A Wave of Moonlight-Woman Poets of Japan. Haiku of Sugita Hisajo”. www.worldhaikureview.org/1-3/womwnpoets2.shtml Yutsuya, R. 2001. “History of Haiku”. www.big.or.jp.loupe /links/ehisto/ eHisajo.shtml
83
Spritualisme dan Upah Orang-orang Kudus 1. Kebohongan Utama Di dalam Kitab Kejadian 2:9 kita membaca “Lalu Yahuwah Elohim menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.” Ada banyak alasan untuk percaya bahwa ayat tersebut ingin menjelaskan dua kenyataan, makna pohon-pohon yang sebenarnya, keduanya sama-sama memiliki buah yang dapat dipetik dan dimakan. Namun nama-nama dari pohon-ohon tersebut mengungkapkan kenyataan yang lain. Pohon kehidupan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Tanpa memakan buah dari pohon ini secara terusmenerus, tubuh manusia akan mulai kehilangan vitalitasnya dan mati. Hal ini diungkapkan dalam Kitab Kejadian 3:22. “Berfirmanlah Yahuwah Elohim, Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya...” Memakan buah dari pohon kehidupan akan memberikan kekekalan, kekuatan untuk dapat hidup selama-lamanya. Tetapi tanpa buah dari pohon kehidupan, seorang manusia adalah makhluk yang fana, dapat mati kapan saja. Ayat ini memberitahukan sesuatu tentang pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Dengan memakan buah dari pohon tersebut, seorang manusia akan mampu membedakan bagi dirinya sendiri antara yang baik dan yang jahat. Namun, memakan buah dari pohon-pohon tersebut adalah sesuatu yang saling terpisah. Seseorang tidak dapat memakan keduanya. Seseorang harus memilih salah satu diantara pohon-pohon tersebut. Dengan memakan salah satu yang menunjukkan perwujudan bahwa kehidupan bergantung pada pemeliharaan Yahuwah yang berkesinambungan. Dan memakan dari yang lain menunjukkan hasrat untuk membebaskan diri dari Yahuwah dan keinginan untuk menentukan yang benar dan yang salah atas kepentingan manusia sendiri tanpa mengacu pada kehendak ilahi. Itulah sebabnya pohonpohon tersebut saling terpisah. Seseorang tidak dapat menjadi bergantung pada Yahuwah dan secara sengaja terbebas dari-Nya. Meskipun kita tidak lagi diperhadapkan dengan kemungkinan memakan buah dari salah satu pohon-pohon tersebut yang ada dalam taman, kita masih diperhadapkan dengan pola pikir keduanya. Kita dapat menyadari ketergantungan total kita pada Yahuwah untuk hidup, pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, penyelamatan dan penebusan. Atau kita dapat mengaku abadi secara independen, memiliki hak untuk menentukan yang benar dan yang salah untuk diri kita sendiri, dan memperoleh keselamatan dan penebusan dengan usaha-usaha kita sendiri. Aneh atau tidak, ketritunggalan dari sikap-sikap ini yang berada dalam kedua alternatif selalu tampak saling bergantung. Ketika si penggoda menghadapi Adam dan Hawa, ia berkata kepada keduanya “Sekali-kali kamu tidak akan mati.” Kejadian 3:4. Kebohongannya adalah di dalam pertentangan terhadap kenyataan yang tak dapat diubah bahwa seseorang tidak dapat menjadi bergantung pada Yahuwah untuk hidup dan di saat yang sama secara sengaja menolak penetapan Yahuwah tentang yang benar dan yang salah untuk hidup kita. Jika kita memilih untuk bebas, kita memilih kematian. Tetapi kebohongan tersebut kembali. Kita ingin percaya bahwa kita dapat menjadi kekal dan bebas dari Yahuwah. Dengan niat jahat yang berjaya, hati manusia bersukacita menyadari bahwa memakan buah dari pengetahuan yang baik dan yang jahat tidak segera menyebabkan manusia masuk ke dalam kuburan. Pada hari itu, hubungan penting ke sumber kekekalan diputus. Namun tubuh tetap hidup, perlahan dan tanpa disadari tenggelam ke dalam keheningan dan pemutusan. Pemberontakan manusia membutakan mata dari kesadaran bahwa tangan dingin kematian telah mencengkeram tenggorokan dimana gigitan buah dari pohon tersebut masih ditemukan. Tetapi meskipun tubuh diletakkan di dalam kubur, kebohongan terus berlanjut. Sekali-kali kamu tidak akan mati. Keinginan sesat dengan mempercayai sebuah kebohongan menyebabkan pikiran manusia melekat melampaui semua bukti dari pengertianpengertian bahwa ada jiwa manusia yang tak terlihat yang dapat bertahan dari maut dan kubur dan tetap hidup dan pasti hidup kekal. Kebohongan ini berdasar dari semua kepercayaan-kepercayaan palsu dan harapan-harapan palsu. Dasar dari iman yang sejati adalah di dalam Sepuluh Perintah. Iman yang palsu akan menolak salah satu atau lebih dari Perintah tersebut. Hal ini secara tidak langsung mengatakan bahwa Yahuwah itu lebih dari satu. Sehingga memunculkan trinitarianisme dan kemusyrikan di dalam segala bentuk baik kotor maupun menarik. Iman palsu secara tidak langsung mengatakan bahwa Sabat tidak perlu ditaati, atau bahwa ada kalanya kita harus sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Setidaknya, menghilangkan nyawa manusia bukanlah sesuatu yang sangat serius, karena manusia tidak benar-benar mati, terjadi pembenaran. Iman palsu selalu membuka peluang bagi pelanggaran hukum dan kekerasan. Tetapi dibalik
semua itu adalah kebohongan “Sekali-kali kamu tidak akan mati.”
2. Apa yang Dimaksud dengan Jiwa? Alkitab menjelaskan tentang jiwa yang hidup dari sejak awal. Kebohongan utama, bahwa manusia tidak benar-benar mati saat mereka meninggal dunia adalah sangat lazim, oleh karena itu Yahuwah telah memutuskan untuk memberitahukan kepada kita kebenaran tersebut secara langsung tentang jiwa dari sejak awal, sehingga kita tidak perlu tertipu. Kejadian 2:7 berkata: “Ketika itulah Yahuwah Elohim membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Dari ayat ini kita dapat melihat bahwa jiwa yang hidup adalah tercipta dari manusia yang dibentuk dari debu tanah. Tubuh adalah bagian dari jiwa, tidak ada jiwa tanpa tubuh. Jiwa bukanlah sesuatu yang abstrak dan abadi secara alami, jiwa akan meninggalkan tubuh saat manusia meninggal. Jiwa adalah tubuh itu sendiri yang telah diberi nafas hidup. Ketika nafas hidup yaitu roh yang berasal dari Yahuwah meninggalkan tubuh, jiwa yang hidup tidak ada lagi. Tubuh kembali menjadi debu sebagaimana awal tubuh diciptakan, dan nafas hidup atau roh kembali kepada Yahuwah yang mengaruniakannya. Seperti yang dikatakan di dalam Kitab Pengkhotbah 12:7 :“Dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Elohim yang mengaruniakannya.” Mengingat fakta bahwa sangat banyak orang telah percaya kebohongan utama itu, muncul dalam benak bahwa roh adalah sesuatu yang sadar dan hidup yang dapat bertahan dari kematian dan membawa kenangan-kenangan serta kepribadian bersamanya kembali kepada Yahuwah. Namun tidaklah seperti itu. Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada kesadaran dan tidak ada kenangan dalam kematian. Pengkhotbah 9:5,6 mengatakan: “Karena orang-orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati, tetapi orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap. Baik kasih mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.” Peristiwa kematian dibandingkan dengan pengalaman tidur, dan Yahushua menyebut ini berkali-kali. Seperti contoh dalam Yohanes 11:11, Dia berkata: “Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.” Dari ayat-ayat ini kita tahu bahwa jiwa dapat terlihat dan jasmaniah. Jiwa ada ketika nafas hidup bersatu dengan tubuh. Jiwa tidak ada ketika nafas hidup terpisah dari tubuh. Tak ada kesadaran di dalam kematian.
3. Komunikasi dengan Orang Mati Banyak orang percaya bahwa orang mati adalah roh-roh tanpa tubuh yang dapat berkomunikasi dengan orang yang hidup. Tetapi apa yang kita pelajari dari Alkitab tentang jiwa dan keadaan dari kematian, jelas bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang mustahil. Namun, ribuan orang telah mengalami berkomunikasi dengan apa yang mereka pikir sebagai roh-roh dari orang-orang terkasih atau tokoh-tokoh sejarah. Bahkan ada beberapa contoh penipuan seperti itu di dalam Alkitab. Yang paling terkenal adalah kisah Raja Saul, yang mendatangi penyihir perempuan pemanggil arwah. Dia melihat sesosok bangkit dari kubur dan berbicara kepadanya dan meramalkan ajalnya. Kisah tersebut dimulai demikan dalam 1 Samuel 28:7. “Lalu berkatalah Saul kepada para pegawainya: “Carilah bagiku seorang perempuan yang sanggup memanggil arwah; maka aku hendak pergi kepadanya dan meminta petunjuk kepadanya. “Para pegawainya menjawab dia: “Di En-Dor ada seorang perempuan yang sanggup memanggil arwah.”
4. Apa yang Dimaksud dengan Roh Peramal? Kata-kata Saul dan para pegawainya mengungkapkan bahwa mereka mengetahui bahwa Samuel tidak benar-benar muncul. Mereka tidak mengharapkan Samuel yang sebenarnya, tetapi roh peramal. Apa yang dimaksud dengan roh peramal? Injil Matius memberitahukan kepada kita secara langsung, bahwa roh-roh tersebut adalah para iblis. “Menjelang malam dibawalah kepada Yahushua banyak orang yang kerasukan setan dan dengan sepatah kata Yahushua mengusir roh-roh itu dan menyembuhkan orang-orang yang menderita sakit:...” Tetapi sekalipun roh-roh itu adalah roh-roh orang mati, yang padahal bukan, Alkitab dengan tegas mengecam orang yang melakukan komunikasi dengan mereka. Janganlah kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal; janganlah kamu mencari mereka dan dengan demikian menjadi najis karena mereka; Akulah Yahuwah Eloahmu. (Imamat 19:31) Orang yang berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal, yakni yang berzinah dengan bertanya kepada mereka, Aku sendiri akan menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya. (Imamat 20:6)
Di antara kamu janganlah didapati seorang pun yang mempersembahkan anaknya laki-laki atau anaknya perempuan sebagai korban dalam api, ataupun seorang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah, seorang penyihir, seorang pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati.(Ulangan 18:10-11) Bahkan, ia mempersembahkan anaknya sebagai korban dalam api, melakukan ramal dan telaah, dan menghubungi para pemanggil arwah dan para pemanggil roh peramal ia melakukan banyak yang jahat di mata Yahuwah, sehingga ia menimbulkan sakit hati-Nya. (2 Raja-raja 21:6) Para pemanggil arwah, dan para pemanggil roh peramal, juga terafim, berhala-berhala dan segala dewa kejijikan yang terlihat di tanah Yehuda dan di Yerusalem, dihapuskan oleh Yosia dengan maksud menepati perkatan Taurat yang tertulis dalam kitab yang telah didapati oleh imam Hilkia di rumah Yahuwah. (2 Raja-raja 23:24) Dan apabila orang berkata kepada kamu: “Mintalah petunjuk kepada arwah dan roh-roh peramal yang berbisik-bisik dan komat-kamit,” maka jawablah : “Bukankah suatu bangsa patut meminta petunjuk kepada Eloah mereka? Atau haruskah mereka meminta petunjuk kepada orang-orang mati bagi orang-orang hidup? (Yesaya 8:19) Semangat orang Mesir menjadi hilang, dan rancangannya akan Kukacaukan; maka mereka akan meminta petunjuk kepada berhala-berhala dan kepada tukang-tukang jampi, kepada arwah dan kepada roh-roh peramal. (Yesaya 19:3) Dan aku melihat dari mulut naga dan dari mulut binatang dan dari mulut nabi palsu itu keluar tiga roh najis yang menyerupai katak. Itulah roh-roh setan yang mengadakan perbuatan-perbuatan ajaib, dan mereka pergi mendapatkan raja-raja di seluruh dunia, untuk mengumpulkan mereka guna peperangan pada hari besar, yaitu hari Yahuwah Yang Mahakuasa. (Wahyu 16:13-14) Semua peringatan-peringatan ini harusnya cukup untuk membuat orang-orang tidak berkonsultasi dengan orang mati. Upaya-upaya tersebut menghasilkan sesuatu yang sia-sia, atau upaya-upaya itu membuka jalan bagi roh-roh jahat untuk masuk dan merayu dan menipu. Keyakinan bahwa jiwa adalah sesuatu yang abadi, abstrak, wujud yang sadar adalah kebohongan yang membuka peluang untuk penipuan-penipuan Setan. Setan melakukan penipuan tersebut di dalam semua tradisi-tradisi keagamaan yang terkenal. Umat Muslim, umat Kristen, orang-orang Yahudi dan para penyembah berhala semuanya mempercayai kebohongan utama itu. Dengan demikian mereka menjadi rentan terhadap penipuan. Iblis-iblis yang menyamar sebagai perawan Maria yang diberkati itu telah tampak semakin sering sebagai Iblis-iblis yang jahat mempercepat misi penipuan mereka. Karya spiritualisme Setan yang terbesar adalah penyamaran terhadap Yahushua sendiri. Kita seharusnya tidak menerima klaim-klaim kebangkitan dan mujizat yang dibuat Iblis. Ada satu tes yang jelas untuk mengungkapkan apakah sosok tersebut asli atau tidak: yaitu orang-orang yang memproklamirkan perintah-perintah Yahuwah, Sepuluh Perintah adalah benar. Mereka yang menyangkal salah satu atau lebih dari perintah tersebut adalah palsu. Tujuan dari menyamar sebagai orang mati untuk Iblis adalah untuk menuntun manusia kedalam ketidaktaatan. Mereka yang percaya di dalam jiwa yang abadi akan dituntun ke dalam kebinasaan oleh tipu muslihat Setan.
5. Sumber Kehidupan Hanya Yahuwah yang kekal menurut Alkitab. Tetapi Dia telah menebus manusia dari kematian yang telah masuk ke dalam dunia melalui kepercayaan pada kebohongan utama. Hidup kekal tersedia melalui Yahushua. Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Yahuwah tetap ada di atasnya. (Yohanes 3:36) Bekerjalah, bukan untuk makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Yahuwah, dengan materai-Nya. (Yohanes 6:27) Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yahushualah Mesias, Anak Yahuwah; dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya. (Yohanes 20:31) Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Yahuwah, yang telah mengasihi aku, dan menyerahkan diri-Nya untuk aku. (Galatia 2:20) Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup. (1 Yohanes 5:12) Semuanya itu kutuliskan kepada kamu, supaya kamu yang percaya kepada nama Anak Yahuwah, tahu, bahwa kamu
memiliki hidup yang kekal. (1 Yohanes 5:13) Akan tetapi kita tahu, bahwa Anak Yahuwah telah datang dan telah mengaruniakan pengertian kepada kita, supaya kita mengenal Yang Benar; dan kita ada di dalam Yang Benar, di dalam Anak-Nya Yahushua yang diurapi. Dialah Eloah yang sejati, dan hidup yang kekal. (1Yohanes 5:20) Meskipun hidup yang kekal telah diberikan kepada mereka yang memiliki iman di dalam Yahushua, kita masih melihat orang-orang di sekitar kita mati. Jika kita tidak ditentukan untuk tetap hidup dan melihat munculnya Kristus saat kedatangan-Nya yang kedua, kita juga akan mati. Jadi bagaimanakah mereka yang memilii iman di dalam Kristus masuk ke dalam hidup yang kekal dalam praktek dan kenyataan?
6. Kebangkitan Kematian mengakibatkan lenyapnya jiwa yang hidup. Yang tersisa adalah debu dari tanah yang terpisah dari nafas hidup. Tidak ada kesadaran, juga kenangan. Tetapi itu bukanlah akhir dari hal ini. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yahushua telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yahushua akan dikumpulkan Yahuwah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman-Nya: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Yahushua, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Yahuwah berbunyi, maka Yahushua sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit. Sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Dia diangkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Yahushua. (1Tesalonika 4:14-17) Dari perikop ini kita memahami bahwa mereka yang memiliki iman di dalam Kristus, jika mereka telah meninggal, akan dibangkitkan pada saat kedatangan-Nya yang kedua. Mereka akan dibangkitkan untuk masuk ke dalam hidup yang kekal. Saat ini, hanya mereka yang diberikan hidup yang kekal yang beroleh keuntungan dari kebangkitan Kristus yang akan masuk ke dalam hidup. Setelah masa seribu tahun, orang-orang jahat juga akan dibangkitkan untuk menghadapi hukuman atas kejahatan mereka, yaitu kematian yang kekal. Hal ini dijelaskan dalam Wahyu 20:11-15. Lalu aku melihat suatu takhta putih yang besar dan Dia, yang duduk di di atasnya. Dari hadapan-Nya lenyaplah bumi dan langit dan tidak ditemukan lagi tempatnya. Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu. Maka laut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan maut dan kerajaan maut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan mereka dihakimi masing-masing menurut perbuatannya. Lalu maut dan kerajaan maut itu dilemparkanlah ke dalam lautan api. Itulah kematian yang kedua: lautan api. Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu. (Wahyu 20:11-15)
7. Rangkuman Jiwa yang hidup tercipta dari tubuh dan nafas hidup. Jiwa lenyap pada saat kematian, ketika tubuh kembali ke debu tanah dan roh kembali kepada Yahuwah. Tidak ada kesadaran atau kenangan di dalam kematian, namun hanya tidur. Orang mati tidak dapat berkomunikasi dengan orang hidup. Roh-roh yang mengaku sebagai orang mati yang berkomunikasi dengan orang hidup adalah penyesatan Iblis yang berniat menghancurkan manusia. Roh-roh jahat yang menyamar sebagai orang-orang mati telah menipu semua tradisi-tradisi keagamaan yang terkenal, Kristen, Muslim, Yahudi, dan juga penyembah berhala. Hidup yang kekal hanya milik orang-orang yang kepadanya Kristus memberikannya. Mereka yang menerima hidup yang kekal akan dibangkitkan untuk kekekalan pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali. Orang mati yang jahat akan dibangkitkan seribu tahun kemudian dalam waktu yang singkat menerima hukuman mereka dengan api dan kematian yang kekal.
Video Terkait: Beristirahat Dalam Damai
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
Berjuang untuk Mempertahankan Kebenaran Alkitab Yudas 1:3 : “Saudara-saudaraku yang kekasih, sementara aku bersungguh-sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus.”
Pada umumnya, masyarakat beranggapan bahwa dunia ilmu pengetahuan adalah bidang riset yang terbuka untuk menyelidiki segala teori dan hipotesa, apalagi di dunia Barat yang dianggap menjujung tinggi kebebasan ekspresi, kebebasan untuk berpikir dan kebebasan bertindak. Sayangnya, dalam bidang pendidikan hal itu sama sekali tidak benar, khususnya di dalam pembahasan asal-usul kehidupan versi Darwinisme dan evolusi biologis yang acak dengan versi Desain Intelijen yang mendukung adanya sosok Pencipta. Dalam hal ini, bukan pembahasan dua versi yang terjadi, melainkan perang di dunia akademis. Rasul Paulus telah menasihati kita (1Tim. 6:20-21) agar mewaspadai tipu daya kuasa kegelapan yang memperalat pengetahuan palsu untuk merusak iman: “Hai Timotius, peliharalah apa yang telah dipercayakan kepadamu. Hindarilah omongan yang kosong dan yang tidak suci dan pertentangan-pertentangan yang berasal dari apa yang disebut pengetahuan, karena ada beberapa orang yang mengajarkannya dan dengan demikian telah menyimpang dari iman.”
Perang Akademis Saat menempuh pendidikan pada tahun 1960-an, saya mempelajari ilmu hayat dan paham evolusi ala Darwin. Teori dasar dari paham itu adalah bahwa Darwin telah membuktikan bahwa semua kehidupan telah berasal dari proses kimiawi dan biologis yang mengubah benda mati menjadi benda hidup, kemudian benda hidup itu berangsur-angsur berubah menjadi lebih kompleks sehingga menghasilkan semua jenis kehidupan termasuk semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis makhluk. Sejak masa-masa itu, saya mengalami dan menyaksikan perang akademis. Dunia ateis yang sangat mendukung paham Darwin adalah golongan yang anti-Tuhan. Mereka melihat Darwinisme sebagai kesempatan untuk membuang Allah dan agama dari kehidupan manusia.
1/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
Mereka mulai berperang melawan semua ilmuwan yang percaya kepada Tuhan sebagai Pencipta dan mereka berusaha agar orang-orang ini dibuang dari semua institusi dan lembaga pendidikan. Mereka mulai berkata bahwa Tuhan tidak mempunyai peranan apa-apa dalam ilmu pengetahuan. “Rasul” utama gerakan itu di masa kini adalah Dr. Richard Dawkins yang menulis buku The God Delusion, dan “nabi”-nya adalah Dr. Stephen Hawkings yang menulis buku The Grand Design. Mereka berdua sangat anti-Yesus dan anti-Allah. Mereka berusaha untuk membasmi kepercayaan kepada Allah. Pada tahun-tahun awal 1980-an, saya diundang untuk menyampaikan ceramah di Universitas Melbourne dan di situ saya berhadapan dengan seorang ahli geologi, Professor Ian Plimer. Jelaslah bahwa saya sudah masuk ke dalam suatu perang yang sangat kotor. Pada waktu yang sama saya menulis sebuah buku, Alkitab dan Ilmu Pengetahuan. Saya dibantu oleh Dr. Charles Pallaghy, ahli biologi bidang biofisika dari Universitas La Trobe, Dr. John Leslie, ahli biokimia dari Departmen IVF, Universitas Monash, Dr. Clifford Wilson, ahli paleontologi, Direktur Institut Arkeologi Melbourne dan Dr. Barry Tapp, ahli geologi dari Universitas RMIT. Semua nama ini telah mengalami tekanan dari universitas-universitasnya dengan larangan mengajar jika mereka menolak Darwinisme sebagai mekanisme asal-usul kehidupan. Kalau tidak taat, mereka akan dipecat. Hal ini saya sudah banyak kali alami dan saksikan di dunia akademis. Kini, kira-kira 30 tahun setelahnya, perang ini semakin hebat dan berbahaya. Kebebasan berpikir, belajar, menulis dan berbicara sedang dicabut secara total di Australia, Amerika dan di tempat-tempat lainnya. Seorang Yahudi yang sangat terkenal, Ben Stein, diberitahukan tentang tekanan akademis itu dan ia tidak percaya, sehingga ia melakukan riset dengan berbagai wawancara yang akhirnya menjadi film dokumentar yang berjudul EXPELLED, No Intelligence Allowed (DIKUCILKAN, Kecerdasan Dilarang). Film itu bisa dinonton di Youtube dalam Bahasa Inggris.
http://youtu.be/V5EPymcWp-g.
Di awal tahun ini, sebuah film dokumenter ditayangkan di AS, dan film ini menjadi film dokumenter terpopuler kelima di seluruh Amerika. Judulnya yaitu, ‘Expelled: No Intelligence Allowed.’ ( http://movies.yahoo.com/mv/news/va/20080423/120899894300.html ). Film tersebut memberanikan diri untuk mengemukakan bahwa hirarki lembaga-lembaga ilmiah sedang melakukan aniaya akademis terhadap para dosen dan akademis yang mempertanyakan kebenaran soal paham evolusi. Sebagai bukti, film tersebut telah mewawancara ilmuwan-ilmuwan dan dosen-dosen berbagai bidang ilmu pengetahuan yang sudah dipecat karena mendukung paham Desain Intelijen, suatu paham yang mengemukakan bahwa kerumitan dalam alam semesta dan prinsip saling ketergantungan dalam dunia ilmiah menunjukkan bukti kuat ada pendesain/perancang/Pencipta yang merancang dan menciptakan segala sesuatu, termasuk kehidupan.
Majalah ilmiah yang sangat bagus, Creation, telah menulis artikel tentang film tersebut dan
2/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
seorang ilmuwan yang menjabat sebagai Direktur Pendidikan The Royal Society di Inggris terpaksa mundur karena ia memberanikan diri untuk mengusul pembahasan tentang Desain Intelijen. Ia adalah seorang profesor yang sesungguhnya percaya kepada teori evolusi namun mulai meragukan bahwa proses itu adalah acak (tak teratur) sehingga ia mengemukakan bahwa sebaiknya mereka memasukkan paham Desain Intelijen (Intelligent Design) ke dalam diskusi mereka sebagai suatu alternatif yang masuk akal.Artikel “Reiss resigns as Royal Society stifles debate on evolution” yang sangat menarik itu, ditulis oleh Andrew Halloway, dapat kita temukan dalam majalah Creation. Majalah ini sangat saya rekomendasikan untuk Anda dapat membaca dalam Bahasa Inggris (lihat situsnya di www.creation.com ). Andrew adalah seorang editor, penulis konsultan penerbitan ( www.goodnews-paper.org.uk ) dan salah satu editor The Delusion of Evolution, suatu buku kecil yang sangat berguna dalam penginjilan ( www.newlife.co.uk ).
Kaum pengritik terhadap film itu mengklaim bahwa ilmuwan-ilmuwan itu bukan dipecat karena paham Desain Intelijen atau pandangan negatifnya terhadap paham evolusi, namun mereka tidak dapat mengemukakan bukti apapun. Sebenarnya, perbedaan pandangan seorang ilmuwan sedikit sajapun dari paham evolusi yang ortodoks adalah cukup untuk membuat ilmuwan-ilmuwan demikian dipecat. Di Inggris, kita melihat bukti nyata bahwa penyelewengan sedikitpun dalam pandangan paham evolusi dapat penyebabkan seorang ilmuwan dipecat, Profesor Michael Reiss. Hanya beberapa hari setelah mengemukakan pandangan bahwa diskusi Desain Intelijen adalah pembahasan yang berguna di dalam ruang kuliah, dia dipaksa untuk meletakkan jabatannya. Apa kesalahan Profesor Reiss? Ia telah mengusulkan pembahasan Desain Intelijen, biarpun hanya untuk membuktikan kelemahan paham tersebut. (Michael Reiss, “Should creationism be a part of the science curriculum?” The BA Festival of Science, Liverpool, 11 Sept 2008, http://www1.the-ba.net/bafos/press/showtalk2.asp?TalkID=301 ).
Langsung setelah pandangan Prof. Reiss diumumkan, para ilmuwan ateis menuntut agar dia dipecat dengan mengklaim bahwa dia ingin agar paham penciptaan oleh Allah juga diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan sebagai alternatif terhadap paham evolusi ala Darwinisme. Sebenarnya, itu bukan pandangan Prof. Reiss. Dr. Reiss adalah penganut paham evolusi. Namun ia berpendapat bahwa siswa/i boleh saja membahas pandangan-pandangan yang berbeda. Katanya, “Ada banyak untung dalam mengizinkan siswa/i mempertanyakan hal-hal di mana mereka merasa buktinya diragukan. Ini bukan ide revolusioner dalam pembahasan ilmiah untuk berusaha sebaik mungkin untuk mengadakan pembahasan sejati.” (James Randerson, Teachers should tackle creationism, says science education expert, Guardian, 11 Sept. 2008, http://www.guardian.co.uk/science/2008/sep/11/creationism.education .) Ia hanya ingin supaya ada diskusi tentang hal itu. Ternyata, diskusi saja pun sudah
3/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
merupakan ancaman terhadap kaum ateis sehingga mereka melawan dengan gigih. Seharusnya, The Royal Society membela Prof. Reiss terhadap mereka yang memutarbalikkan kata-kata dan motivasi Prof. Reiss. Namun, sebaliknya, mereka juga tunduk kepada tuntutan kaum ateis dan setuju bahwa Prof. Reiss harus meletakkan jabatannya. Dengan demikian The Royal Society mempertahankan posisi ortodoksnya sebagai pendukung evolusi Darwinisme yang berlandaskan keyakinan ateisme. Posisi itu aneh sekali karena pendiri-pendiri The Royal Society pada tahun 1660 adalah ilmuwan-ilmuwan Kristen yang percaya Tuhan sebagai Pencipta dan bahwa proses uji-coba dalam ilmu pengetahuan justru membuktikan alam semesta berfungsi berdasarkan peraturan dan hukum yang konsisten di mana-mana. Salah satu Presidennya selama puluhan tahun (1703-1727) yang sangat terkenal adalah Sir Isaac Newton, seorang ilmuwan Kristen yang sangat yakin Allah menciptakan langit dan bumi dalam 6 Hari sesuai Kejadian 1-2.
Pembahasan yang mempertanyakan paham evolusi ternyata sama sekali tidak diizinkan. Mengapa? Karena ilmuwan-ilmuwan ateis itu ingin melenyapkan kepercayaan tentang ekistensi Allah dan kebenaran Injil sehingga apapun yang bertentangan dengan misi mereka akan dilawan dengan kuat. Bukti-bukti ilmiah yang berlawanan dengan Darwinisme dan paham evolusi tak diizinkan dikemukakan di muka umum. Dr. Reiss sendiri pun dimaki-maki oleh kawan-kawan ilmuwan dan kawan-kawan anggota The Royal Society karena usulannya bahwa topik paham evolusi boleh dibahas dan boleh diperdebatkan. Bukankah hal ini aneh? Bukankah pendidikan bertujuan mengajar siswa/i untuk menyelidiki dan membahas dalam mencari suatu jawaban atau kesimpulan? Ternyata tidak. Kaum ilmuwan penganut evolusi telah menolak prinsip uji-coba dan penyelidikan semua bukti. Mereka lebih suka proses cuci otak karena kebencian mereka terhadap Allah, Firman-Nya, Injil dan kebenaran bahwa setiap manusia bertanggung-jawab kepada Allah. Ini persis sama seperti yang dinubuatkan Rasul Petrus, 2Petrus 3:3-5: “Yang terutama harus kamu ketahui ialah, bahwa pada hari-hari zaman akhir akan tampil pengejek-pengejek dengan ejekan-ejekannya, yaitu orang-orang yang hidup menuruti hawa nafsunya. Kata mereka: “Di manakah janji tentang kedatangan-Nya itu? Sebab sejak bapa-bapa leluhur kita meninggal, segala sesuatu tetap seperti semula, pada waktu dunia diciptakan.” Mereka sengaja tidak mau tahu...” Kaum ilmuwan ateis mendukung paham evolusi, seperti Profesor Richard Dawkins, dan mereka menuduh ilmuwan-ilmuwan Kristen malakukan ‘pelecehan anak-anak’ karena mengajarkan bahwa ada Allah yang merupakan Pencipta segala sesuatu dan di akhir hidup semua manusia akan masuk sorga atau neraka. “Dosa” Dr. Reiss adalah menolak pandangan Prof. Richard Dawkins. Dr. Reiss menjawab tuduhan dengan pernyataannya: “Penggunaan istilah ‘pelecehan anak-anak’ merupakan penghinaan dan tuduhan yang tidak tepat. Semua orang yang pernah bekerja dengan anak-anak yang dilecehkan secara seksual atau secara fisik, sebagaimana bidang pekerjaan saya selama bertahun-tahun, akan mengetahui bahwa tuduhan itu adalah salah.” (James Randerson, Teachers should tackle creationism, says science education expert, Guardian, 11 Sept. 2008, http://www.guardian.co.uk/science/2008/sep/11/creationism.education.)
4/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
Selanjutnya, sebagai seorang ateis yang paling terkenal, Professor Richard Dawkins dari Universitas Oxford, Inggris., merupakan tokoh yang paling sering dan paling kasar melawan siapapun yang mempertanyakan paham evolusi dengan menyebutnya “goblok, bodoh atau gila.” (Aislinn Simpson and Richard Grey, Creationism should be taught in science classes says expert, Telegraph.co.uk, 12 Sept 2008, http://www.telegraph.co.uk/news/newstopics/politics/ed ucation/2798162/ Creationism-should-be-taught-in-science-classes-says-expert.html ). Dawkins tidak suka dianggap salah. Dalam acara ilmiah unggulan BBC yang berjudul Panorama, Dawkins lagi menunjukkan kebenciannya terhadap siapapun yang tidak sefaham dengannya tentang evolusi dengan lagi menyebut mereka “goblok, bodoh atau gila.” Ada banyak ilmuwan lainnya yang juga meragukan paham Darwinisme. Mereka juga sudah mempelajari biologi, kimia, fisika, geologi, paleontologi dll. Ada banyak ilmuwan Kristen yang meraih kerhormatan tanda-tanda jasa belajar tertinggi (1st class honours) dan memperoleh nilai tertinggi di dalam bidang ilmiahnya. Tentunya sulit mencapai prestasi demikian jika memang seseorang itu “goblok, bodoh atau gila”. Namun. menurut kriteria Dawkins yang tidak ilmiah itu, mereka adalah gila karena percaya ada Allah, ada Pendesain yang maha cerdas yang menciptakan segala sesuatu sesuai maksud abadi-Nya.
Lebih dari 700 Ilmuwan Ph.D Menolak Paham Evolusi Darwin Sejak tahun 2001, lebih dari 700 ilmuwan setingkat Ph.D. telah menanda-tangani surat pernyataan ‘Ketidaksepakatan dengan Darwinisme’ (A Scientific Dissent From Darwinism, http ://www.DissentFromDarwin.org ). Dan daftar ini adalah terbatas pada mereka yang merasa cukup aman untuk mengumumkan penolakan mereka akan paham evolusi. Ribuan orang lain berdiam diri karena takut akan dipecat dari pekerjaannya. Bukan hanya itu, selain ribuan ilmuwan di sekeliling dunia yang menolak Darwinisme, ada juga ribuan ilmuwan yang secara aktif mendukung kebenaran PENCIPTAAN oleh Sang Pencipta, Tuhan yang Mahabesar! Lihat daftar beberapa ilmuwan dalam daftar internet di situs CMI http://creation.com/scientists-alive-today-who-accept-the-biblical-account-of-creation .
Perang Terus Berlanjut Pada bulan Juli 2014, terjadi penganiayaan lagi terhadap seorang ilmuwan yang berpengalaman selama 30 tahun lebih, Profesor Mark Armitage, seorang ahli mikroskopis. Mengapa? Dia dipecat oleh Universitas California (California State University Northridge CSNU) karena dalam riset ilmiahnya, ia menemukan daging (soft tissue) dinosaurus triceratops, yang menunjukkan bahwa dinosaurus tersebut masih hidup di bumi hanya ribuan tahun lalu dan tidak punah 65 juta tahun seperti biasa diajarkan oleh ilmuwan kaum ateis pendukung paham evolusi! Dr. Armitage telah menerbikan hasil temuan itu di dalam majalah ilmiah yang terkenal, yaitu, Acta Histochemica Journal, supaya hasilnya boleh diuji oleh semua ilmuwan. Masalah yang sebenarnya adalah, bukti ilmiah yang mendukung Alkitab memang dilawan mati-matian oleh kaum ateis. Apa saja yang mendukung kebenaran Alkitab dan yang
5/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
mendukung adanya Tuhan sebagai Pencipta akan menjadi medan perang. Kita sebagai orang percaya harus membuka mata kita terhadap serangan-serangan yang tidak ilmiah dan tidak masuk akal yang digunakan untuk menghancurkan kepercayaan kepada Allah. Lihat artikel “University Fires Christian Scientist for Discovery Proving Creationism”, di http://www.charisma news.com/us/44820-university-fires-christian-scientist-for-discovery-proving-creationism 29 Juli 2014, dan “University Fires Scientist After Discovery Challenges Dinosaur Theory”, David Bohon, di http://www.thenewamerican.com/tech/item/18805-university-fires-scientist-after-discovery-chall enges-dinosaur-theory .
Bohon telah melaporkan, “Sementara di penggalian formasi Hell Creek di Montana, ilmuwan, Prof. Mark Armitage, menemukan tanduk triceratops terbesar yang ditemukan di tempat penggalian itu. Ketika menyelidiki tanduk itu di bawah mikroskop tenaga-tinggi di CSUN, Armitage tertarik karena melihat adanya daging mentah (soft tissue). Penemuan itu telah mengejutkan anggota-anggota komunitas ilmiah karena menunjukkan bahwa dinosaurus-dinosaurus telah berkeliaran di bumi hanya ribuan tahun lalu dan bukan menjadi punah 65 juta tahun lalu, sebagaimana yang disepakati oleh ilmuwan-ilmuwan.” Sekarang pemecatan Prof. Armitage sedang dipermasalahkan di Pengadilan Negeri. Menurut dokumen-dokumen di pengadilan, sesaat saja setelah penemuan daging mentah (soft tissue), seorang pejabat universitasnya, Profesor Ernest Kwok, menantang motivasi Prof. Armitage dengan berteriak padanya, “Kami tidak akan mentolirir agamamu di departemen ini!”
Pengakuan Beberapa Ilmuwan Pendukung paham Evolusi “Para ahli biologi sebenarnya adalah naif waktu membicarakan eksperimen-eksperimen yang didesain untuk menguji coba teori evolusi. Evolusi adalah tak teruji. Mereka mungkin akan menemukan beberapa fakta yang bertentangan dengan hasil yang diinginkan. Fakta-fakta itu tentu akan diabaikannya dan mereka yang menemukannya akan menutupinya karena akan kehilangan donasi-donasi untuk melanjutkan risetnya.” Prof. Max Whitten (Profesor Genetika, 1976-1981, University of Melbourne, Australia)
“Salah satu sebabnya saya mulai mengambil pandangan anti-evolusi ini, adalah karena saya tiba-tiba menyadari bahwa saya sudah bekerja di bidang ini selama dua puluh tahun dan sesungguhnya tak ada satu hal yang dapat saya ketahui dengan pasti. Sangat mengejutkan bahwa seorang bisa disesatkan begitu lama. Jadi selama beberapa minggu belakangan ini saya mempertanyakan pertanyaan sederhana kepada beberapa orang dan beberapa kelompok. Pertanyaannya adalah: Apa Anda dapat memberitahukan saya sesuatu yang Anda ketahui dengan pasti tentang evolusi, satu hal yang pasti benar? Saya sudah uji-coba pertanyaan itu dengan staf geologis di Field Museum of Natural History dan satu-satunya jawaban yang saya terima adalah keheningan! Saya juga mengajukan pertanyaan yang sama
6/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
kepada para peserta Evolutionary Morphology Seminar in the University of Chicago, suatu badan ilmuwan evolusioner yang sangat bermartabat tinggi, dan jawaban yang saya terima adalah keheningan panjang sampai ada satu orang yang berkata, “saya tahu satu hal – teori evolusi seharusnya tidak diajarkan di tingkat sekolah menengah!” (Dr. Colin Patterson, Senior Paleontologist, 1981-1998, British Museum of Natural History, London. Pembicara utama di American Museum of Natural History, New York City).
“Para ilmuwan yang mengajarkan bahwa evolusi adalah fakta kehidupan sesungguhnya adalah para penipu, dan ceritera yang mereka edarkan mungkin merupakan tipuan (hoax) terbesar selama-lamanya! Dalam penjelasan evolusi kita tidak memiliki bukti sedikitpun.” (Dr. Newton Tahmisian, Atomic Energy Commission, USA.)
“Saya sendiri sudah yakin bahwa teori evolusi, sejauh yang sudah diterapkan, akan menjadi salah satu lelucon terbesar dalam buku-buku sejarah masa depan. Sejarah akan heran bahwa suatu teori yang begitu lemah pembuktiannya dan suatu hipotesa yang sangat diragukan dapat diterima dengan kredibilitas yang dimilikinya.” (Malcom Muggeridge, 1903-1990, seorang cendekiawan Kristen dalam Pascal Lectures, Ontario Canada, University of Waterloo).
“Kita tidaklah sedang berevolusi secara perlahan-lahan, karena dari segala sudut praktis sesungguhnya kita tidaklah sedang berevolusi sama sekali. Tidak ada alasan untuk kita berbikir bahwa kita akan mendapat otak-otak yang lebih besar atau jari kaki yang lebih kecil atau apa saja – kita ada sebagaimana kita ada.” (Stephen Jay Gould, 1941-2002, Professor of Geology and Paleontology, Harvard University)
“Sembilan per sepuluh dari semua pembahasan kaum ilmuwan evolusioner adalah omong kosong semata-mata, tidak berdasarkan pengamatan dan sama sekali tidak didukung oleh fakta-fakta. Museum ini penuh dengan bukti-bukti kepalsuan pandangan evolusi itu. Di seluruh museum hebat ini, tidak ada sesuatu butir pun bukti tentang transmutasi spesies (perubahan spesies dari satu jenis kepada jenis yang lain).” (Dr. Etheridge, Ahli Paleontologi Senior British Museum of Natural History, dikutip dalam The Collapse of Evolution, yang ditulis Dr. Scott Huse)
“Evolusi adalah tak dibuktikan dan tak terbukti. Kita mempercayainya karena satu-satunya alternatif adalah penciptaan khusus, dan hal itu tak dapat kami pikirkan.” (Sir Arthur Keith, seorang ahli Antropologi yang militan anti-Kristen)
7/8
Aniaya terhadap Kaum Ilmuwan Kristen
Akhirnya semua menjadi nyata. Masalahnya adalah kaum ilmuwan ateis bermusuhan dengan kebenaran Alkitab dan itulah sebabnya kita memerlukan generasi muda untuk memahami kebenaran Firman Tuhan supaya jangan tertipu dengan filsafat dunia. Jika Anda berbakat dalam bidang-bidang ilmiah, jangan takut untuk mempelajarinya dan jadi ahli-ahli di Indonesia yang akan menjadi penyelamat-penyelamat bagi generasi muda Indonesia, bahkan bangsa-bangsa lainnya.
8/8
ITB J. Vis. Art & Des., Vol. 3, No. 1, 2009, 43-56
43
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali Sangayu Ketut Laksemi Nilotama Fakultas Seni Rupa dan Desain, Universitas Trisakti, Jakarta. Ilmu Seni dan Desain, Institut Teknologi Bandung
Abstract. Through the 18th and the 19th century, the position of Balinese King (Dewa Agung Jambe) was so important that he held power in both Bali and Lombok island, and he regognized by the title Sesuhunan Bali and Lombok. Dewa Agung Jambe politically and culturaly had several titles that were influential to the harmony of his sociaty livinghood. The titles of the king are related to the symbols that have sacred and trancendent meanings. Dewa Agung was God‟s Awatara, symbolized or varous forms such as ornaments, carvings, sacrad Balinese writings and letters, bulidings, even the deceased‟s container or coffin ( Bade beratap tumpang 11). The purpose of this essay was to explore the meanings and symbols that were the reflection of those king titles, to prevent the possibility of misuse from the original function of those sacred symbols. This has been a cultural research with the stucture of the history of Balinese Kingdom traditional sociaty that embranced Hindu. The funtion of these symbols are for strengthening the personality and morality, especialy in the aspect of arts and design. Therefore, it is important to continue preserving, harmonizing these tradisional symbols especially ones that have religious, sacrad, even spiritual values. Keywords: king/Dewa Agung; symbols; titles.
1
Pendahuluan
Raja atau Dewa Agung Jambe pada masa keratonan di Bali sangat berpengaruh dan berkuasa. Menurut Sartono, raja selaku penguasa, berorientasi kepada sistem kepemimpinan tradisional, yaitu dalam menentukan penggantinya selalu berdasarkan atas status yang didapat dari keturunan. Para keturunan bangsawan Bali (kstaria) sepanjang hidupnya terbiasa dengan citra sang pemimpin. Perjalanan sejarah kerajaan di Bali terbagi dalam 3 (tiga) periode penting berdasarkan tahun masehi, yaitu: periode Samprangan (1343-1630), periode Gelgel (1630-1650), dan periode Klungkung (1686-1908). Pada awalnya struktur politik dan hukum ketatanegaraan Bali dan Lombok merupakan negara kesatuan dengan satu pusat pemerintahan berkedudukan di ibu kota Gelgel, tetapi di masa periode Klungkung struktur politik dan ketatanegaraan Bali berbentuk persekutuan atau perserikatan dengan Dewa Agung Jambe dari Klungkung sebagai penguasa pemerintahan, atau junjungan (sesuhunan).
44
2
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
Pemberian Gelar Raja
Pada permulaan abad XIX setelah memasuki periode Klungkung, sistem kerajaan di Bali terpecah menjadi 8 (delapan) kerajaan kecil, yaitu: Karangasem, Klungkung, Badung, Tabanan, Gianyar, Bangli, Buleleng, dan Mengwi. Dari delapan raja yang berkuasa, raja Klungkung memiliki pengaruh dan kedudukan yang paling utama. Selanjutnya Dewa Agung Jambe memperoleh gelar Sesuhunan Bali dan Lombok , pengertian sesuhunan (bahasa Bali) yang berarti junjungan (segala perintahnya selalu dijunjung tinggi rakyatnya). Kemudian gelar Dewa Agung ditambah lagi dengan gelar Betara (dipersamakan dengan awatara Tuhan), sehingga gelar Dewa Agung menjadi menjadi Betara Sesuhunan (awatara Tuhan yang dijunjung tinggi). Gelar ini selanjutnya untuk menunjukkan luas dan besarnya kekuasaan raja Klungkung, menjadi Betara Dewa Agung Sesuhunan [1]. Menurut Arsip Nasional Republik Indonesia, pemberian gelar sesuhunan diberikan terhadap status raja Klungkung hanya dikenal dalam perjanjian antara Klungkung dengan Belanda saja. Pemberian gelar ini oleh pemerintah Belanda cukup beralasan, Belanda sudah mengetahui bahwa status dan peranan Dewa Agung tidak sebesar yang pernah dimiliki raja-raja pada periode Gelgel. Disatu pihak tindakan Belanda ini merupakan tuntutan sikap politik subyektif yang diterapkan Belanda di seluruh Indonesia. Pemberian gelar sesuhunan sebenarnya mencerminkan pengakuan bahwa kekuasaan Dewa Agung dalam bidang politik dan ketatanegaraan terbatas hanya di dalam wilayah kerajaan Klungkung. Pemberian gelar ini juga turut memperkuat kedudukan bahwa raja ini merupakan keturunan langsung dari raja Sri Kresna Kepakisan yang diangkat oleh raja Jawa (kerajaan Majapahit) saat patih Gajah Mada menguasai Bali, dan pewaris keraton Gelgel. Untuk itu dapat dikatakan bahwa rakyat Klungkung (khususnya) menganggap dirinya sebagai pewaris pulung dan keturunan lurus dari dinasti Kresna Kepakisan dan secara moral bertanggung jawab untuk menjaganya. Pada paswara antara kerajaan Klungkung, Gianyar, Bangli, Payangan, Badung, dan Mengwi tahun Ĉaka 1759 (1837 M), raja Klungkung memperoleh legitimasinya kembali. Gelar Ida Cokorda Ida I Dewa Agung menempatkan kembali raja Klungkung pada status yang tertinggi sebagai penguasa selama hayat dikandung badan (sasungkuning urip). Pemberian gelar atas dukungan raja-raja lainnya diperlukan untuk bersama-sama menghadapi ancaman Belanda terhadap kerajaan-kerajaan di Bali.
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali
45
Peran raja Klungkung sangat penting, setiap perjanjian kontak dan kontrak dengan Belanda, harus sepengetahuan, pertimbangan dan persetujuan raja.
Gambar 1 Dewa Agung Jambe dan kanan-kedelapan raja-raja Bali. (sumber : Museum Kertagosa).
3
Simbol pada Masyarakat Bali
Pada dasarnya kehidupan masyarakat Hindu Bali sangat diwarnai oleh aktivitas simbolik. Setiap aktivitas terutama yang berkaitan dengan ritual keagamaan selalu diiringi dengan pesan-pesan simbolik. Simbol dalam pengertian agama Hindu terikat antara nilai-nilai Hindu, teologi Hindu, prilaku sosial, dan simbolsimbol agama Hindu. Simbol-simbol merupakan ekspresi untuk mendekatkan diri manusia dengan-Nya. Simbol-simbol tersebut berupa arca atau pretima untuk dewa-dewa, vahana dewata atau kendaraan dewa-dewa, bangunan suci sebagai stana untuk memuja-Nya, para devata atau roh suci leluhur. Simbolsimbol juga dapat berupa mantra, mudra, yantra, rerajahan, huruf-huruf suci, juga persembahan suci berupa sesajen yang beraneka ragam, dan bentuk lainnya [2]. Pulau Bali yang berdasarkan sejarahnya merupakan suatu pulau yang masyarakatnya beragama Hindu, memiliki karakter khusus dalam aktivitas kehidupan sehari-hari dan aktivitas ritual keagamaan selalu diiringi dengan rangkaian simbol-simbol tersebut diatas. Setiap simbol memiliki makna tertentu, dengan memahami makna simbol umat Hindu kemudian mengembangkan apresiasi terhadap simbol-simbol tersebut. Sehingga tidak mengherankan bila berkunjung ke Bali, setiap saat ditemukan perempuanperempuan berkain dan berkebaya menghaturkan sesajen (Canang–rangkaian janur yang ditaburi bunga) ditempat-tempat khusus seperti perempatan jalan, tempat peribadatan, di depan rumah atau tempat usaha mereka dan sebagainya.
46
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
Kegiatan seni budaya juga selalu menghiasi aktivitas kehidupan keagamaan, seperti persembahan tari sakral atau tari wali, sebagai salah satu wujud persembahan mereka kepada Hyang Widi Wasa. Periode Samprangan dan Gelgel (berakhir thn.1651). Gelar “Dalem” = orang dalam- beliau yang paling dihormati dan dimuliakan. Tanda pengaruh Jawa Majapahit penerus dinasti Sri Kresna Kepakisan.
Ida Cokorda Ida I Dewa Agung (Sasungkuning urip)
Betara Dewa Agung Sesuhunan
Betara Sesuhunan
Betara Periode Klungkung (dimulai 1686) gelar “Dewa Agung”, hilangnya pengaruh Jawa, timbulnya unsur Bali. Tanda perubahan status dari politik ketatanegaraan menjadi non politik dan religius. Dewa Agung simbol perwakilan Dewa atau Betara (Awatara Tuhan)
Gambar 2
Sesuhunan
Ida I Dewa Agung
Perubahan Gelar Dewa Agung Klungkung.
Raja atau Dewa Agung merupakan tokoh sentral yang disakralkan masyarakatnya. Dewa Agung selain sebagai sesuhunan, dia juga merupakan simbol perwakilan Dewa atau Betara di bumi (awatara Tuhan). Dewa Agung bertindak sebagai kepala agama dan hakim tertinggi, yang menjadi simbol kesucian, kesaktian, kebenaran, dan kebijaksanaan. Dalam posisi raja sebagai hakim tertinggi, raja memiliki simbol tersendiri dan khusus. Dalam proses persidangan adat raja Klungkung memiliki tempat duduk khusus dengan pegangan tangan dengan simbol atau lambang singa atau singha. Untuk para pendeta (bhagawanta) kursi dengan simbol pegangan tangan berbentuk kepala lembu, sedangkan untuk para jaksa dengan simbol berbentuk kepala naga. Simbol-simbol ini hanya terdapat di puri Smarapura Klungkung yang sampai saat ini dapat ditemukan di lokasi Bale persidangan adat yang disebut Bale Kertagosa.
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali
4
47
Metoda Penelitian
Tulisan ini bertujuan untuk menghasilkan informasi tentang simbol-simbol yang beraneka ragam di dalam sejarah kebudayaan Bali yang berkaitan dengan dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat adat Bali khususnya pada masa kerajaan dahulu. Tulisan ini bertitik tolak pada pemikiran bahwa makna simbolik raja terutama penerus keturunan bangsawan di Bali sangat tergantung dari kelangsungan tatanan kehidupan masyarakat adat dan aktivitas ritual keagamaan berdasarkan ajaran agama Hindu. Untuk itu tulisan ini bertujuan untuk mengetahui makna dan hakekat yang terkandung dalam simbol-simbol yang berhubungan dengan raja Bali, dan untuk mencegah terjadinya kemungkinan penyalahgunaan fungsi dari simbol-simbol tersebut. Untuk memperjelas arah penelitian akan disajikan bentuk penelitian yang menguraikan pengertian simbol dalam beberapa bidang keilmuan, menggambarkan keterikatan antara nilai-nilai Hindu, perilaku sosial dan simbol-simbol agama Hindu terutama yang berkaitan dengan peran raja sebagai pimpinan spiritual dan pimpinan kebudayaan. Penelitian kualitatif dengan kajian budaya ini berupaya mendapatkan data-data, oleh karenanya dapat dilakukan dengan berbagai setting, berbagai sumber dan berbagai cara. Bila dilihat dari settingnya data dapat diperoleh dan dikumpulkan pada setting alamiah (natural setting) seperti di sekolah, di tempat upacara, seminar, diskusi dan lain-lain. Bila data diperoleh dari sumber, maka pengumpulan data dapat mempergunakan sumber primer, dan sumber sekunder. Menurut Djaman Satori, sumber primer dapat memberikan langsung memberikan data kepada peneliti, sumber sekunder adalah merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data. Dari segi cara atau teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi partisipasi (participant observer), wawancara yang mendalam (in-depth interview), diskusi, dokumentasi, dan gabungan keempatnya.
5
Tentang Simbol
Menurut Yudha Triguna, secara etimologis simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran pemahaman terhadap objek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak terbatas pada pada isyarat fisik, tetapi dapat juga berwujud penggunaan kata-kata, yakni simbol suara yang mengandung arti bersama serta bersifat standar [3]. Secara ontologi simbol dan simbolisasi bersifat dikotomis. Pemahaman pertama simbol dan simbolisasi berkaitan dengan yang imanen - ada dalam diri manusia saja. Pemahaman lainnya symbol merujuk kepada hal yang transenden (yang
48
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
mengatasi objektivikasi) – adanya dialog manusia dengan „yang lain‟, sehingga simbol tidak hanya horizontal-imanen, tetapi juga vertikal-transenden. Goethe menyatakan lebih dari seabad lalu bahwa „dalam simbolisme sejati, yang-khusus mengungkapkan yang-universal bukan sebagai impian atau bayangan, melainkan sebagai wahyu yang hidup, dari yang tidak dapat diduga. Ia juga menyatakan bahwa sebuah simbol sesungguhnya „mengambil bagian dalam realitas yang membuatnya dapat dimengerti”. A.N.Whitehead dalam bukunya Symbolism menyatakan: Pikiran manusia berfungsi secara simbolis apabila beberapa komponen pengalamannya menggugah kesadaran, kepercayaan, perasaan, dan gagasan mengenai komponen-komponen lain pengalamannya. Perangkat komponen yang terdahulu adalah „simbol‟ dan perangkat komponen membentuk “makna” simbol. Keberfungsian organis yang menyebabkan adanya peralihan dari simbol kepada makna itu akan diseburt refensi. Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History lebih memusatkan perhatian kepada dunia intelek. Sebuah simbol tidak identik atau ko-ekstensif dengan objek yang disimbolkannya. Seandainya demikian halnya, simbol tersebut tidak akan menjadi symbol barang itu, melainkan barang itu sendiri. Adalah salah anggapan bahwa sebuah symbol dimaksudkan untuk menjadi reproduksi barang: sebenarnya simbol dimaksudkan bukan untuk merepro objeknya, melainkan untuk meneranginya. Simbol yang efektif adalah simbol yang member terang, dan simbol yang efektif merupakan bagian mutlak perlengkapan intelektual kita. Jika sebuah simbol harus bekerja dengan efektif sebagai alat untuk tindakan intelektual - artinya, sebagai „model‟ – simbol itu harus disederhanakan dan dipertajam sehingga menjadi seperti sesuatu yang mirip peta-sketsa dari sebuah realitas yang hendak diwakili oleh simbol sebagai pemandu – sebuah peta-sketsa, jadi bukan sebuah fotograf yang diambil dari pesawat terbang. Melihat beberapa pendapat mengenai simbol, bagi Whitehead simbol mengacu kepada makna, bagi Goethe simbol menggambarkan yang universal, dan bagi Toynbee simbol menyinari realitas [4].
6
Simbol dalam Kekuasaan Raja
Pada awal abad XIX bentuk dan susunan pemerintahannya bersifat feodal, raja memiliki kekuasaan mutlak yang tidak terbatas. Raja adalah penguasa
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali
49
pemerintahan tertinggi yang juga bertindak sebagai kepala agama dan hakim tertinggi. Thomas Aquinas dalam buku Pemerintahan Para Raja menjelaskan perbedaan antara pemerintahan despotic dan pemerintahan yang sah. Pemerintahan despotic adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja. Sedangkan pemerintahan politik yang sah harus sesuai dengan kodrat masyarakat orang-orang bebas. Jadi bila kesatuan orang-orang bebas dibimbing kearah kesejahteraan umum masyarakat, pemerintahan ini akan bersifat betul dan adil sebagaimana mestinya bagi orang-orang yang bebas. Tetapi bila pemimpin tidak mengusahakan kesejahteraan umum masyarakat, melainkan kepentingan pribadi sang pemimpin, pemerintahan itu tidak adil dan bertentangan dengan kodrat. Kekuasaan itu akan stabil bila sah secara moral [5]. Rakyat sangat hormat dan patuh tidak terbatas terhadap segala perintahnya, ini merupakan salah satu ciri khas sikap masyarakat Bali saat itu. Menurut Ide Anak Agung Gde Agung, para raja Bali hidup sangat sederhana tidak kaya-raya seperti para sultan di Malaya atau para Maharaja di India, mereka memang menghuni istana (puri) yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal, tetapi bangunan-bangunan yang ada di dalamnya tidak menunjukkan kemewahan [6]. Hal ini dapat di buktikan dengan beberapa peninggalan puri tersebut masih ada di Bali terutama lingkungan puri Smarapura Klungkung yang telah hancur akibat perang Puputan pada 28 April tahun 1908. Dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali dikenal penamaan rumah atau tempat tinggal bagi para bangsawan yang disebut Puri. Puri (Agung) merupakan kompleks tempat tinggal para bangsawan, dan puri Agung pun merupakan simbol tempat tinggal raja dan keluarganya. Raja Klungkung Dewa Agung Jambe adalah simbol Dewa atau Betara di dunia, dan Dewa Agung juga merupakan simbol Awatara. Dalam nilai-nilai ajaran agama Hindu, menurut S.Radhakrishnan dalam bukunya Indian Philosophy volume 1, kata dewa atau „deva‟ berarti sangat dimuliakan sesuai dengan alamnya dan digunakan untuk menunjukkan berbagai hal yang berbeda-beda. Dikatakan pula dalam terjemahan mantram Taittirỉya Upanisad bahwa: (seorang ibu adalah dewa, seorang bapak adalah dewa, seorang guru adalah juga dewa, dan para tamupun adalah dewa). Keempat dewa itu adalah para dewa yang mempunyai badan kasar [7].Menurutnya kata deva mengandung 10 (sepuluh) arti dari urat kata divu, yaitu: (1) bermain, (2) penaklukan, (3) aktivitas pada umumnya, (4) kemuliaan/ keagungan, (5) penghormatan, (6) menyenangkan, (7) kerinduan, (8) tidur ,(9) keindahan (kanti) dan (10) kemajuan. Arti atau makna kata dewa itu meliputi
50
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
dua hal yang sama, perbedaannya antara dewa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan dewa (para dewa) adalah: seluruh dewa atau devata menerima sinar Tuhan Yang Maha Esa (merupakan sinar-Nya) sedangkan Tuhan Yang Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya.
Gambar 3 Lukisan wayang Kamasan- Bale Kertagosa, kiri – simbol-simbol para dewa yang menerima sinar-Nya. Kanan – simbol Acintya - simbol Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, memancarkan sendiri sinar-Nya.
Gambar 4 Simbol pemujaan terhadap raja/dewa atau disebut Istadevata: mempergunakan figur-figur dewa dewi dalam bentuk ukiran/ relief, patung, dan ragam hias lainnya.
Dalam bukunya Titib menyatakan [2] dalam kitab suci Weda, Tuhan Yang Maha Esa disebut dewa atau devatā, berarti cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan yang semua itu ditujukan kepada manifestasi-Nya (Gambar 2), juga ditujukan kepada matahari atau langit, termasuk api, petir atau fajar [8]. Dewa juga berarti mahluk sorga atau yang sangat mulia [9]. Dalam kitab Nirukta VII.4 terdapat syair mengatakan terjemahannya adalah: Oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari devatā (dalam hal ini Tuhan Yang Maha Esa). Yang merupakan jiwa alam semesta yang dipuja
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali
51
dengan berbagai pujian. Lainnya, para dewa (disebutkan di dalam kitab suci Veda), hanyalah bagian dari manifestasi-Nya. (dari Jiwa Yang Agung itu). Para dewa tampil dengan aneka wujudnya oleh karena berbagai aktivitas-Nya (yang berlipat ganda). Kereta (ratha) adalah deva (Jiwa dari alam semesta), kuda-kuda kereta adalah dewa adalah cahaya-Nya. Panah-panah-Nya adalah dewa, cahayaNya adalah jiwa-jiwa yang sama. Jiwa itu adalah dewa). Sedangkan istilah Betara atau Battara/Battari (dewa dewi Hindu), sangat dikenal di Bali /Indonesia. Istilah awatara atau avatara adalah ditujukan untuk para leluhur. Kata Bhattara dalam bahasa Sansekerta, berasal dari kata bhatta (bhattr) yang artinya: yang melindungi, tuan, atau raja. Kata Battara berarti mereka yang sangat dihormati karena fungsinya sebagai pemimpin dan pelindung umat manusia [10]. Istilah dewa dewi dan battara adalah identik, karena fungsi dari mereka adalah untuk melindungi umat-Nya. Raja atau Dewa Agung sebagai awatara (Battara) merupakan sosok yang sangat dihormati dan diagungkan karena fungsinya sebagai pimpinan dan pelindung rakyatnya, dan Dewa Agung dapat tampil dalam berbagai aktivitas atau manifestasi Tuhan (pencipta, pelindung, dan pelebur). Dewa Agung merupakan Jiwa/ cahaya yang terdapat di bumi menjaga keselarasan dan keharmonisan kosmos. Tabel 1 Dewa Astavasu
Ke-33 Dewa-dewi dalam teologi Hindu.
Dewa Ekadasarudra
1. Anala, dewa api. 2. Dhava, bumi
1. Ajaikapat 2. Ahirbudhnya
3. Anila, angin
3. Virupaksa
4. Prabhasa, langit
4. Suresvara
5. Pratyusa, matahari 6. Aha, antariksa
5. Jayanta 6. Bahurupa
7. Candra, bulan
7. Aparajita
8. Druva, planet
8. Savitra 9. Tryambaka 10. Vaivasvata 11. Hara
Dewa Dvadasaditya Trancendent 1. Mitra, sahabat 2. Aryaman, mengalahkan musuh 3. Bhaga, pemurah 4. Tvastr, pembentuk 5. Pusan, energi 6. Vivasvat, gemerlapan
Immanent 7. Varuna, langit 8. Daksa, ahli
9. Amsa, bebas 10. Savitr, pelebur 11. Sukra, kekuatan 12. Visnu, yang meresapi
52
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
Dalam teologi Hindu ditemukan banyak nama untuk para dewa, disebutkan dalam kitab suci RgWeda: menyebutkan jumlah dewa-dewa sebanyak 33 dewa [11]. Jumlah 33 dewa adalah merupakan simbol tenaga kosmos. Mereka menguasai Tri Bhuwana (Bhur, Bhwah, Swah Loka) yaitu: bumi, langit, dan surga. Ke 33 dewa ini terbagi berbagai tugas atau aktivitas-Nya: 8 Vasu (Astavasu), 11 Rudra (Ekadasarudra), 12 Aditya (Dvadasaditya)- terdiri dari dua kelompok dewa, 6 dewa transcendent dan 6 dewa immanent, serta Indra dan Prajapati. Para dewa dilukiskan selalu berwajah muda (nirjara, para dewa tidak mengalami umur tua, karena mereka minum amrta/air kehidupan, wajahnya selalu tampan).
Gambar 5 Simbol-simbol juga dapat berupa mantra, mudra, yantra, rerajahan, huruf-huruf/aksara suci yang terdapat dalam sarana upacara keagaman.
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali
53
Selain simbol berbentuk dewa dewi, dalam masyarakat adat Bali simbol bunga memegang peranan penting dalam keselarasan dan keharonisan kosmos. Bunga selalu dipergunakan sebagai sarana persembahan dalam setiap ritual keagamaan. Bunga dipergunakan untuk menunjukkan kesucian hati di dalam memuja Tuhan Yang Maha Esa, oleh karenanya bunga yang dipergunakan adalah bunga yang segar, harum, tidak berserangga, tidak ternoda. Berdasarkan lontar Aji Kembang dan lontar Siwa Pakarana Dewata Nawasanga digambarkan atau disimbolkan dengan bunga Tunjung atau bunga teratai. Bunga ini dilukiskan sebagai padma astadala, simbol alam semesta stana Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam bahasa Kawi bunga disebut pangkaja atau sarasija (bunga yang tumbuh dari lumpur). Filosofi bunga ini sangat istimewa, dia seolah-olah dapat hidup dalam tiga dunia: akarnya terpancang di tanah, tangkai dan ujung daunnya di air, dan bunganya menyembul di udara. Dalam lontar Dasasana bunga teratai disebut raja kusuma atau rajanya bunga-bungaan dan dipandang sebagai bunga yang terbaik. Sedangkan dalam kitab Jnana Sidhanta bunga yang mekar dan wangi itu disebutkan sebagai lambang aksara suci. Berkaitan dengan upacara yang berhubungan dengan spiritual seperti upacara Pelebon atau upacara pembakaran jenasah biasanya dilaksanakan dalam tingkatan yang besar (uttama) dan umumnya dipergunakan bagi para raja atau (mantan raja) dari kasta Ksatria dan juga bagi para pendeta atau kasta Brahmana. Seorang raja yang wafat biasanya wadah jenasah atau di sebut Bade beratap tumpang 11 (sebelas). Bade dipergunakan raja, keluarga bangsawan dan para pejabat kerajaan/ patih. Bade dapat saja mempergunakan atap tumpang sembilan, atap tumpang tujuh, atap tumpang lima, tiga, dan satu. Bade adalah lambang atau simbol “bhuwana agung” dengan puncak gunung yang disimbolkan melalui atap bertumpang tersebut, jenasah disimbolkan diletakkan diatas menara, dengan makna diharapkan roh (atma) orang tersebut akan segera mencapai alam sorga (kadewataan). Bade/wadah jenasah seorang raja biasanya disertai dengan simbol Nagabandha. Naga merupakan lambang ikatan atau alat pengikat, atau alat penuntun bagi arwah seorang raja untuk mencapai sorga. Maksudnya dengan penuntun ini adalah untuk mengingatkan roh (atma) seorang raja untuk melepaskan diri terhadap ikatan duniawi. Keadaan atma yang terikat dengan benda-benda duniawi (jasad) digambarkan dengan nagabandha. Filosofi nagabandha adalah mengikat unsur purusa (atma) dengan unsur pradana (jasad). Bali saat ini tidak dipimpin oleh raja, tetapi keturunannya tetap lestari dalam menjaga makna-makna simbol yang tersirat dalam setiap gelar yang disandangnya.
54
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
Ada kemungkinan bade beratap tumpang sebelas akan hadir kembali, agar dapat dihayati oleh setiap generasinya.
Gambar 6
Bade beratap Tumpang Sebelas untuk raja [12].
Dewa Agung Jambe sebagai hakim tertinggi, memiliki simbol tersendiri dan khusus. Simbol ini terlihat dalam bentuk satu buah kursi yang dihiasi ukiran motif dan bentuk tertentu. Dalam proses persidangan adat raja Klungkung memiliki tempat duduk khusus dengan pegangan tangan dengan simbol atau lambang singa atau singha. Untuk para pendeta (bhagawanta) kursi dengan simbol pegangan tangan berbentuk kepala lembu, sedangkan untuk para jaksa dengan simbol berbentuk kepala naga. Simbol-simbol ini hanya terdapat di puri Smarapura Klungkung yang sampai saat ini dapat ditemukan di lokasi Bale persidangan adat yang disebut Bale Kertagosa.
Gambar 7
Kursi bersimbol Singa/Singha untuk raja bersidang.
Makna Simbol Gelar Raja Dalam Masyarakat Adat Bali
55
Simbol singa adalah merupakan suatu vahana/ wahana/ kendaraan para dewata. Singa atau singha merupakan salah satu binatang mitos yang diyakini suci oleh umat Hindu. Beberapa arca berbentuk hewan lain yang dianggap bermuatan mitos adalah naga, naga bersayap, singa, harimau, burung garuda dan lainnya. Disamping itu singa di Bali popular dengan sebutan Barong. Singa atau Barong ini yang dikenal sebagai kendaraan dari dewi Durga. Kata barong berasal dari barwang dalam bahasa Jawa kuno berarti beruang, beruang madu. Kata-kata ini ditemukan dalam cerita Ramayana, Sutasoma dan sebagainya. Singabarwang adalah untuk menunjukkan kehebatan kendaraan sang dewi. Wajah yang mirip dengan wajah barong di Bali disebut dengan nama Bhoma, dikaitkan dengan cerita raja raksasa Naraka, putra dewi Perthivi. Sehingga penggunaan simbol singa untuk raja dirasakan tepat karena sifat dari binatang ini adalah sebagai penjaga dan penguasa kosmos.
7
Simpulan dan Saran
Memahami makna setiap peristiwa sejarah berarti kita terikat oleh dimensi waktu, yaitu waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu akan datang, atau ada awal, ada puncak, ada akhir. Terdapat dua Makna yang dapat dipetik dari upaya mengungkap makna simbolik ini yaitu budaya adat Bali dalam kerangka sejarah kerajaan, dan budaya dalam bentuk kepribadian bangsa Indonesia. Makna pertama menitik beratkan kepada dimensi waktu lampau untuk dapat dimaknai nilai-nilai historis bahwa Bali dalam sejarah kebudayaannya pernah memiliki suatu bentuk pemerintahan kerajaan yang besar, luhur dan agung. Makna kedua lebih kepada bagaimana memaknai dimensi saat ini dan yang akan datang. Pembangunan Bali saat ini semakin pesat, era globalisasi memasuki setiap sudut karya budayanya, nilai-nilai budaya asli harus bersaing dengan budaya teknologi. Simbol-simbol yang menyampaikan pesan tradisi dapat tergerus oleh pesan-pesan yang lebih mudah diserap logika. Simbol-simbol dalam masyarakat Hindu Bali seperti “didewakan” dan “disembah”, masyarakat Hindu Bali bukan mengidentikkan benda sakral dengan dewa. Mereka meyakini sebagai dewa dan disembah, siapa yang “menghidupkan” atau “menjiwai” benda tersebut. Pada hakekatnya benda fisik hanyalah symbol untuk memudahkan umat “berkomunikasi” kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat Hindu tidak menyembah berhala, tetapi tetap menyembah Tuhan Yang Maha Esa/ Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai perwujudannya lewat simbol-simbol. Dan umat Hindu Bali membuat simbol-simbol tersebut dengan cara yang sangat kreatif. Fungsi simbol-simbol ini adalah untuk memantapkan kepribadian dan moralitas, khususnya di bidang seni dan desain,serta memupuk rasa kebersamaan, terutama dalam proses sakralisasi dan berfungsinya simbol-simbol tersebut dalam masyarakat adat Hindu Bali dan masyarakat pada umumnya. Oleh
56
Sangayu Ketut Laksemi Nilotama
karenanya penting untuk tetap melestarikan, mengharmoniskan simbol-simbol tradisi yang terutama bermuatan religious, sakral, bahkan spiritual.
Daftar Pustaka [1]
Sidemen, Ida Bagus dan Tim Penyusun. 2001. Sejarah Klungkung (dari Smarapura sampai Puputan), Pemerintah Kabupaten Klungkung, Bali, p. 53. [2] Titib. I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Paramita, Surabaya, p. 1. [3] Yudha Triguna,Ida Bagus Gde. 2000. Teori Tentang Simbol, Penerbit Widya Dharma, Denpasar Timur, Bali, p. 7. [4] Dillistone, F.W. 2002. Daya kekuatan Simbol (The Power of Symbols), Pustaka Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. [5] Magnis-Suseno, Frans. 1995. Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, Gramedia Pustaka Utama, pp.5-6. [6] Ida Anak Agung Gde Agung. 1989. Bali Abad XIX, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. [7] Sarasvati, Dayananda, 1981, p. 93. Dikutip oleh I Made Titib dalam Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (2003) [8] Muller.1969. p. 17. Dikutip oleh I Made Titib dalam Teologi dan Simbolsimbol dalam Agama Hindu (2003). [9] Williams, Monier. 1990. p. 4925. Dikutip oleh I Made Titib dalam Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (2003). [10] Williams, Monier. 1993. p. 745. Dikutip oleh I Made Titib dalam Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (2003). [11] Macdonell. 1991. p. 19. Dikutip oleh I Made Titib dalam Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu (2003). [12] Tim Perumus Bali Post. 2004. Ajeg Bali: Sebuah Cita-Cita, Pustaka Bali Post, Denpasar-Bali, Indonesia, p. 41.
SEJARAH PERINGATAN TAHUN BARU IMLEK TIONGHOA INDONESIA·1 FEBRUARI 2016 HTTPS://WWW.FACEBOOK.COM/NOTES/TIONGHOA-INDONESIA/SEJARAH-PERINGATAN-TAHUN-BARU-IMLEK/10153874446495238
Asal-usul perayaan Tahun Baru Imlek Tahun Baru Imlek ini sudah terlalu tua dan lama untuk dikaji dan ditelusuri. Walau bagaimanapun, pendapat umum mengatakan, bahasa Mandarin ‘Nian’ atau yang bermaksud ‘Tahun’ dalam bahasa Melayu, pada mulanya adalah nama untuk sejenis Mahluk Raksasa yang sering mencari mangsa pada malam hari sebelum Tahun Baru Imlek tiba. Menurut legenda, Nian mempunyai mulut yang sangat besar, sehingga mampu memakan manusia dengan sekali telan. Manusia pada waktu itu sangat takut akan raksasa Nian ini dan sang Mahluk Nian ini pasti akan turun pada malam Tahun Baru yang bersamaan dengan habisnya Musim Dingin dan disusul dengan tibanya Musim Semi. Diperkirakan binatang ini mungkin sejenis Beruang Raksasa yang sangat besar ataupun sejenis Yeti yaitu Manusia Salju Raksasa yang diperkirakan masih ada sampai sa’at ini di Pegunungan Himalaya, mungkin saja mahluk ini berhibernasi selama Musim Dingin dan bangun pada saat Salju mulai mencair , mahluk ini selama musim dingin bersembunyi dan berpuasa didalam goa-goa diatas gunung dan begitu musim semi tiba Mahluk ini turun untuk mengisi perutnya yang sudah berpuasa selama musim dingin. Pada satu hari, persis malam Tahun Baru Imlek ada kebun buluh yang berdekatan perkampungan penduduk terbakar. Buluh-buluh yang terbakar itu meletup dan mengeluarkan bunyi yang sangat kuat seperti mercon dan mengeluarkan cahaya kemerahan . Suara-suara ini telah membuat Nian menjadi ketakutan, lalu Nian itu lalu malah seperti menari-nari dan pergi menjauhi perkampungan itu maupun kampung lain yang berdekatan, maka sejak saat itu setiap akhir musim dingin selalu diadakan tetabuhan yang sangat riuh dan penyalaan mercon yang sambung menyambung yang dimaksudkan agar mahluk Nian menjadi takut. Menurut legendanya sejak saat itu setiap kali Nian tersebut turun diakhir musim dingin, dibunyikan tetabuhan yang membuat Nian malah menari-nari mengikuti tetabuhan yang ada dan masyarakatpun bergotong royong memberinya makanan agar Nian tidak lagi
1
memangsa manusia, setelah selesai makan dengan kenyang Nian itu kembali keatas gunung dengan damai, kemungkinan inilah awal mulanya orang memberikan angpao pada Barongsay yang datang ke rumah-rumah mereka. Dari saat itu para orang-orang tua berpesan kepada seluruh warga dan orang-orang kampung lainnya untuk menggantungkan kertas berwarna merah di pintu-pintu, Jendela dan atap rumah mereka pada setiap waktu menjelangnya tahun baru dan membuat bunyi-bunyian yang gaduh, karena mereka tahu bahwa Nian tidak akan mengganas lagi seperti semula. Ternyata warna merah sangat ditakuti oleh Nian dan bunyi-bunyian keras sangat membuat Nian menjadi tidak berselera untuk memakan manusia lagi, dan ternyata itu semua mampu menghalau mahluk raksasa itu. Begitulah legenda yang dipercayai oleh masyarakat di daratan Tiongkok dahulu kala . Kebiasaan bermain mercon Tahun baru Imlek dan menggantung kertas merah masih diteruskan hingga hari ini, walaupun ada di antara masyarakat terutama yang masih muda tidak tahu tujuan sebenarnya dari dilakukannya kebiasaan tersebut . Mereka hanya beranggapan bahwa kebiasaan tersebut hanya akan menceriakan suasana menyambut Tahun Baru. Bermain mercon pada malam Tahun Baru merupakan suatu cara untuk mengucapkan selamat tinggal kepada tahun yang akan ditinggalkan, dan merayakan ketibaan tahun baru. Pada waktu tengah malam sebelum tahun baru, semua pintu dan jendela mesti dibuka untuk membiarkan Tahun yang lama berlalu. Mercon dan Tarian Singa ( Barongsay ) Mercon dan tarian singa adalah hal yg tidak terpisahkan dalam perayaan Tahun Baru Imlek, karena amat identik dengan perayaan menyambut Tahun Baru Imlek. Mercon dinyalakan dengan tujuan untuk mengusir makhluk dan kekuatan jahat lain yang sering menganggu ketenteraman manusia. Tetapi sekarang ini dari tahun ke tahun , mercon hanya sekedar dinyalakan untuk menandai tibanya musim perayaan tahun baru. Tarian Singa alias Barongsay sekarang ini telah menjadi tarian yang penuh dengan nilai sakral dan nilai seni yang tinggi dan menjadi simbol yang menakjubkan bagi masyarakat Daratan Tiongkok. Biasanya Barongsay dimainkan oleh dua pemain, dan memakan waktu yang lama untuk berlatih sebelum seseorang benar-benar mahir memainkan Barongsay dan pada umumnya dipercaya bahwa pada zaman dulu para pemainnya diharuskan mahir memainkan jurus-jurus Kung Fu.
2
Barongsay inilah yang diperkirakan adalah merupakan perwujudan dari Mahluk Nian pada zaman dulu dan telah berevolusi menjadi barongsay dengan bentuknya seperti yang sekarang kita kenal dalam banyak perayaan. Angpau Mengapa pada setiap perayaan Tahun Baru Imlek Angpao sangat dinanti-nantikan terutama oleh anak-anak dan kaum muda yang belum menikah, pemberian ‘angpau’ atau sampul merah yang berisi duit ini merupakan salah satu ciri khas dari perayaan Tahun Baru Imlek , mereka yang layak untuk menerima angpau adalah mereka yang datang kepada orang yang lebih tua dan memberikan Ucapan Selamat , penghormatan dan mendoakan mereka yang lebih tua , dan dengan pemberian Angpao ini juga dimaksudkan untuk membantu generasi yang lebih muda untuk bisa meraih masa depan yang lebih baik . Bagi orang-orang tua pemberian uang atau angpau ini dimaksudkan untuk memberikan balasan atas ucapan selamat dari anak-anak nya maupun saudara-saudaranya yang lebih muda dan berharap memperoleh rejeki , kekayaan dan nasib yang lebih baik untuk tahun yang akan dilewati. Buat orang yang merayakannya ini merupakan sejenis amal dan ini juga merupakan simbol tingkat kekayaan yang dimiliki, bagi keluarga yang lebih kaya akan memberikan Angpao yang lebih besar. Dan ada kepercayaan uang tersebut akan sangat baik bila dipergunakan untuk modal kerja dan boleh juga digunakan untuk membayar hutang yang tertunggak, maka tak heran bila zaman dahulu banyak orang akan mengantri di rumah-rumah para Tauke dan orang-orang kaya untuk sekedar mendapatkan Angpao pada saat Tahun Baru Imlek . Pantangan dan Larangan ketika menyambut Tahun Baru Imlek Pembersihan rumah ; Seluruh kawasan rumah mesti dicuci dan dibersihkan sebelum tibanya Tahun Baru Imlek. Pada malam sebelum Tahun Baru, semua alat penyapu, alat mengepel dan semua jenis alat mencuci harus di simpan di tempat yang aman. Menyapu , mengepel dan membersihkan rumah sangat pantang dan tidak patut dilakukan pada hari Tahun Baru Imlek , karena menurut banyak kepercayaan pada masyarakat daratan Tiongkok dari zaman dulu , nasib baik akan ikut tersapu bersama dengan sampah-sampah tersebut. Selewatnya perayaan dan hari Tahun Baru, lantai dan rumah baru boleh dibersihkan , bermula dari pintu utama menuju ke tengah rumah dan sampah-sampah yang disapu tidak boleh dibuang dulu karena masih harus ditaruh didalam rumah minimal sampai hari ke lima setelah Tahun Baru, barulah sampah-sampah tersebut boleh dibuang .
3
Aktivitas di Tahun Baru Semua hutang sebaiknya dibayar sebelum Tahun Baru Imlek tiba. Semua orang harus menjaga tingkah lakunya masing-masing pada hari Tahun Baru tersebut . Dilarang keras menggunakan kata-kata kotor dan apalagi makian yang dipercaya bisa membawa sial dan akan berakibat tidak baik, Dilarang melakukan tindakan-tindakan yang bisa menyebabkan keributan ataupun pertengkaran, pokoknya semua harus bersuasana Riang & Gembira dan semua dendam juga harus dihapuskan. Membicarakan dan menyayangkan pada tahun yang lepas pun dilarang pada hari Tahun Baru itu karena segala-segalanya mestilah maju ke depan dan tidak boleh memandang ke belakang lagi. Pada hari Tahun Baru pun sama sekali Dilarang untuk bersedih apalagi menangis, karena dikhawatirkan orang tersebut akan bersedih dan menangis sepanjang tahun tersebut. Kebersihan dan penampilan diri Pada hari Tahun Baru, sama sekali dilarang mencuci rambut apalagi memotongnya , karena dikhawatirkan hal ini akan mengakibatkan orang tersebut mengusir pergi segala nasib baik pada Tahun Baru yang akan dilalui itu. Pakaian merah banyak dianjurkan untuk dipakai. Karena warna Merah dianggap warna cerah , terang dan membawa hoki , hal ini memungkinkan pemakainya memperolehi masa depan yang terang dan cerah. Dipercaya bahwa cara berpakaian yang baik pada tahun baru akan menentukan nasib seseorang itu pada tahun tersebut. Kalender Imlek / Kalender Lunar / Kalender Bulan Kalender Lunar / Kalender Imlek ini merupakan salah satu kalendar yang tertua di dunia, karena telah mulai digunakan sejak 2600 Sebelum Masehi ( +/- hampir 5000 tahun yang lalu ) jadi penghitungan menurut kalender ini buat orang-orang Daratan Tiongkok lebih merupakan tradisi yang sudah berlangsung ribuan tahun bahkan jauh sebelum lahirnya Nabi Khongcu maupun Nabi Lautze, Kalender Imlek ini sudah berlaku dan diikuti oleh masyarakat luas . Pengggunaan kalender ini pada mulanya diperkenalkan oleh Maharaja Huang Ti. Seperti kalender barat / Internasional ( Gregorian ), Kalender Imlek juga berdasarkan pada perhitungan yang mengenal ada 12 bulan setiap tahunnya , pergantian tahun dan permulaan tahun dimulai berdasarkan pergantian bulan ( Cia Gwee ). permulaan tahun bagi Kalender Imlek ini selalu jatuh di sekitar akhir bulan Januari sampai akhir bulan Februari , hal ini menurut perhitungan para astrolog Tiongkok zaman dulu selalu bertepatan dengan mulai mencairnya salju pertanda berakhirnya musim dingin dan bermulanya musim Semi ataupun musin tanam, maka Tahun Baru Imlek di Tiongkok juga 4
disebut sebagai Chuen Chie atau Pesta Musim Semi dan semua orang bersuka ria karena akan menyambut tanaman dan panenan yang baru , hal ini identik dengan rejeki baru maka orang akan saling mengucapkan “ Sin Cun Kiong Hie “ yang arti secara harafiahnya kurang lebih adalah “ Selamat merayakan Musim Semi “ . Sedangkan istilah “ Kong Xie Fat Choi “ ( kalau tidak salah berasal dari Bhs daerah Kongfu ) yang dikenal sekarang ini sebenarnya kurang lebih atau secara umum berarti “ Selamat dan Semoga Sukses “ , istilah ini baru timbul belakangan dan diperkirakan istilah itu mulai timbul dan populer di Hong Kong pada sekitar dekade Tahun 1970 an, demikian juga dengan Angka Keberuntungan , di daratan Tiongkok dari dahulu kala Angka Keberuntungan adalah 9 ( sembilan ) karena angka ini dianggap sebagai angka yang tertinggi, maka tidak heran bila para Kaisar Tiongkok Zaman dahulu selalu mengagungkan angka 9 ini , bahkan konon kabarnya ada satu Kaisar yang mempunyai selir sampai sebanyak 9.999 ( bayangkan kalau sehari 1 selir yg digilir, lalu selir yg terakhir harus menunggu sampai berapa lama ?? keburu menjadi nenek-nenek peyot ) , Tetapi belakangan timbul kepercayaan baru bahwa Angka Keberuntungan adalah 8 , disebutkan bahwa angka 8 ini adalah satu-satu angka yang tidak terputus waktu dituliskan dan ini akan membuat Hoki kita juga tidak terputus, hal ini sampai-sampai membuat pemerintah Tiongkok di zaman modern ini pun percaya dan mengadakan Pesta Olimpiade pada Tanggal 8 , bulan 8 , Tahun ’08 dan dibuka tepat pada jam 8 ( malam , di Tiongkok tidak dikenal pukul 20.00 ), karena mereka juga percaya pada keagungan angka 8 ini, maka jangan heran kalau pada hari dan tanggal tersebut banyak ibu-ibu hamil yang percaya pada keagungan angka 8 ini minta anaknya dilahirkan pada hari tersebut ( biar Hoki katanya ). Satu putaran lengkap Kalender Imlek ini adalah selama 60 tahun, hal ini karena pada Kalender Imlek dikenal 12 simbol Tahun ( Shio ) yang dilambangkan dengan 12 binatang dan disamping itu ada Lima Unsur yang disebut sebagai Ngo Heng , penamaan Tahun juga disebut dengan nama dan lambang Binatang dan Unsur yang menaunginya, diyakini oleh masyarakat Tiongkok kuno bahwa 12 shio ini mempunyai pengaruh terhadap sifat, sikap dan personalitas setiap orang yang dilahirkan dibawah simbol binatang dan unsur tersebut. Pada setiap pergantian 12 tahun maka Unsur yang mempengaruhi tahun tersebut juga berganti . Simbol binatang dalam Kalender Imlek ini adalah Tikus , Kerbau , Kelinci , Harimau , Naga , Ular , Kuda , Kambing , Monyet , Ayam , Anjing dan Babi , sedangkan yang disebut sebagai Ngo Heng alias lima unsur yang terdiri dari unsur Emas, Kayu, Tanah, Api dan Air, Lima Unsur inipun dipercaya membawa hikmahnya masing-masing, karena Lima Unsur ini
5
bisa saling menguatkan, saling membutuhkan dan bahkan bisa saling “ membunuh “, misalkan unsur Kayu akan sangat membutuhkan unsur Tanah untuk tumbuh, dan unsur Tanah sangat membutuhkan unsur Air agar Kayu / Pohon bisa tumbuh sedangkan unsur Emas dan unsur Kayu tidak boleh berdekatan dengan unsur Api karena pasti kan terbakar ataupun meleleh . Kalender ini juga adalah satu-satunya Kalender Lunar yang mengenal pengulangan Bulan ( Loen , yang biasanya terjadi sekitar 3 thn sekali ) yaitu penyesuaian antara Perhitungan Bulan dan Perhitungan Matahari, berbeda dengan Kalender Arab yang juga sama-sama perhitungannya berdasarkan bulan tetapi tidak dikenal adanya penyesuaian ( Loen ) tersebut, maka Kalender Arab selalu maju antara 11 hari sampai 12 hari setiap tahunnya sedangkan Kalender Imlek akan maju dan mundur berdasarkan hitung-hitungan para Astronom nya. Tahun Baru Imlek pada umumnya dirayakan sampai 15 hari setelah Tahun Baru , pada hari kedelapan malam bagi yang masih merayakan biasanya diadakan Sembahyang pada Thian ( Tuhan / Allah ) dengan maksud mengucapkan Bhakti , Syukur dan memohon Rejeki yang lebih baik pada Tahun yang Baru yang akan dijalani, dan setelah hari kelima belas atau yang biasa disebut sebagai Cap Go Meh ( dahulu disebut juga dengan Goan Siauw ) orang akan bergembira merayakan akhir dari rentetan acara Tahun Baru dan pada umumnya dibarengi dengan bersembahyang di Vihara ataupun di Kelenteng-kelenteng , karena setelah lewat Cap Go Meh orang sudah tidak lagi saling mengucapkan Sin Cun Kiong Hie ataupun Kong Xie Fat Choi ( tabu katanya ). Demikianlah di zaman Tiongkok Kuno didalam melakukan segala sesuatu harus penuh dengan hitung-hitungan rumit semacam itu, pada akhirnya sampai sekarang ini yang masih tersisa antara lain adalah Hitungan Feng - Sui, Hitungan Feng-Sui banyak digunakan bila seseorang akan membangun atau menempati Rumah baru yang akan ditempati ataupun soal hari dan tanggal perkawinan dan juga dipercaya bisa membawa Rezeki dan keberuntungan buat yang cocok dan percaya ataupun bisa-bisa malah menimbulkan Celaka dan Mara Bahaya buat yang tidak cocok, di Hong Kong suatu ketika pernah terjadi ada sebuah Bank yang cukup kuat menjadi bangkrut hanya gara-gara seorang Suhu Feng-Sui yang sangat terkenal membuat pernyataan bahwa Gedung Bank tersebut tidak membawa Hoki, lalu para nasabah pun mulai menarik uangnya dan bangkrutah Bank tersebut. Hiasan pada hari Tahun Baru Imlek ;
6
Sebelum menyambut Tahun Baru Imlek , para keluarga Tionghoa akan menghias rumah dengan pot-pot berisi bunga yang sedang mekar dan berkembang, menyediakan kantong-kantong berisi jeruk, dan juga kantong-kantong berisi 8 jenis manisan buah kering. Di dinding dan pintu akan digantung Lian dengan hiasan indah yang berisi puisi-puisi dengan maksud dan tulisan yang sangat indah dan ucapan tahun baru yang dilukiskan di atas kertas merah. Jeruk ; Kebiasaan lain dari masyarakat Tionghoa zaman dulu , mereka akan membawa satu tas yang berisi jeruk dan angpau yang akan diberikan apabila mengunjungi sahabat , kawan dan keluarga yang lebih senior sepanjang dua minggu sampai degan Cap Go Meh. Menurut kepercayaan orang Tiongkok dahulu, jeruk yang masih mempunyai daun yang melekat mempunyai maksud agar hubungan seseorang dengan yang lain akan terjalin lebih erat. Buat yang baru menikah maka hal ini melambangkan hubungan perkawinan yang akan terjalin erat dan akan mekar sehingga mendapatkan banyak anak. Jeruk adalah lambang kegembiraan bagi masyarakat Tionghoa. Kantong Manisan ; Kantong manisan ada yang berbentuk bulat atau segi delapan da penuh berisi pelbagai jenis manisan dimaksudkan agar Tahun yang Baru bisa dilalui dengan penuh ‘kemanisan’. Setiap manisan dalam kantong ada arti dan melambangkan tuah yang tersendiri: Manisan Tembikai ( sejenis Kiam Bui ) - melambangkan pertumbuhan dan kesehatan yang baik Kuaci - melambangkan kegembiraan, kebenaran dan kejujuran Buah Leci - melambangkan ikatan kekeluargaan yang erat Kumkuat ( sejenis jeruk Lemon ) – melambangkan kekayaan Manisan Kelapa – melambangkan keakraban * Kacang Tanah – melambangkan kehidupan dan kekekalan Longan ( Kelengkeng ) - melambangkan seseorang akan memperoleh banyak anak lelaki Buah / Biji Teratai – melambangkan banyak anak. Penutup Mungkin disini kita bisa mengambil suatu kesimpulan sederhana bahwa Tahun Baru Imlek itu sebenarnya secara hakiki lebih bersifat merayakan Tradisi dan bukan hanya “ milik “ suatu agama tertentu, walaupun ada agama yang menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Raya nya.
7
Karena Tahun Baru Imlek ini sendiri sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sebelum agama tersebut ada dan dianut oleh umatnya, artinya ( menurut saya ) Tahun Baru Imlek boleh-boleh saja dirayakan dan diramaikan oleh semua orang Tionghoa apapun agama dan kepercayaan nya, sejauh tidak diikuti dengan melakukan ritual-ritual keagamaannya, karena kan tidak ada agama apapun yang melarang seseorang untuk melakukan penghormatan kepada orang yang lebih tua dan dihormatinya. Demikian tulisan ini, semoga bisa berguna dan bisa menambah wawasan bagi para pembaca, saya persilahkan bila ada pembaca yang ingin menambahkan nya, dan saya akan sangat senang sekali karena hal ini bisa lebih melengkapi pengetahuan kita mengenai Tahun Baru Imlek, bila ada kekurangan atau kesalahan, saya mohon ma’af. === Disarikan dari berbagai sumber. Ad 3
8
Kelahiran dan Kematian 1. Latihan yang baik adalah bertanya kepada diri Anda sendiri dengan sungguh-sungguh, “Mengapa saya dilahirkan?” Tanyakan diri Anda sendiri dengan pertanyaan ini pada pagi hari, siang hari, dan malam hari... setiap hari. 2.
Kelahiran dan kematian kita adalah satu hal. Anda tidak bisa mendapatkan yang satu tanpa yang lainnya. Terlihat agak lucu; bagaimana pada saat ada kematian, orang-orang menangis dan sedih; sedangkan pada saat ada kelahiran, orang-rang gembira dan senang. Itu hanyalah khayalan. Saya rasa jika Anda benar-benar ingin menangis, lebih baik melakukannya pada saat seseorang dilahirkan. Menangislah pada awalnya, karena bila tidak ada kelahiran, maka tidak akan ada kematian. Apakah Anda bisa mengerti hal ini?
3.
Anda akan berpikir bahwa orang mengerti apa yang akan terjadi jika hidup di dalam kandungan seseorang. Betapa tidak nyaman! Bayangkan saja bila diam di dalam gubuk hanya sehari saja rasanya sudah sulit. Kunci semua pintu dan jendela, Anda sudah merasa tertekan. Jadi bagaimana rasanya tinggal di dalam kandungan seseorang selama sembilan bulan? Tapi Anda tetap mau dilahirkan kembali! Anda tahu ketidak nyamannya dalam kandungan, dan Anda masih mau menempelkan kepala di sana, untuk menaruh leher Anda di dalam jerat itu sekali lagi.
4.
Mengapa kita dilahirkan? Kita dilahirkan agar kita tidak akan dilahirkan kembali.
5.
Ketika seseorang tidak mengerti tentang kematian, hidup dapat menjadi sangat membingungkan.
6.
Sang Buddha memberitahukan muridnya, Ananda, untuk melihat ketidak-kekalan, untuk melihat kematian dalam setiap nafas. Kita harus memahami kematian; kita harus mati agar dapat hidup. Apa artinya ini? Mati adalah jalan menuju akhir dari semua keraguan, semua pertanyaan kita, dan ada di sini dengan kenyataan saat ini. Anda tidak akan pernah mati besok. Anda harus mati sekarang. Dapatkah Anda melakukannya? Bila Anda dapat melakukannya, Anda akan tahu kedamaian tanpa pertanyaan lagi.
7.
Kematian itu sedekat nafas kita.
8.
Kalau Anda telah terlatih dengan benar, Anda tidak akan merasa ketakutan ketika jatuh sakit, juga tidak sedih jika seseorang meninggal. Ketika Anda pergi ke rumah sakit untuk menjalani perawatan, tanamkan di dalam pikiran jika Anda menjadi lebih sehat, itu bagus; dan jika Anda meninggal, itu juga bagus. Saya menjamin Anda bahwa bila dokter berkata kepada saya bahwa saya mengidap kanker dan akan mati beberapa bulan lagi, saya akan mengingatkan dokter itu, “Hati-hati, karena kematian juga akan datang menjemputmu. Ini hanya masalah siapa yang pergi duluan dan siapa yang pergi belakangan.” Dokter tidak dapat menyembuhkan kematian dan tidak dapat mencegah kematian. Hanya Buddha yang dapat disebut dokter, jadi kenapa tidak pergi dan menggunakan obat dari Buddha?
9.
Jika Anda takut sakit, jika Anda takut mati, sebaiknya Anda merenungkan dari mana mereka berasal. Dari mana mereka datang? Mereka muncul dari kelahiran. Jadi jangan sedih bila seseorang meninggal. Itu adalah hal yang alami, dan penderitaanya dalam kehidupan ini berakhir. Jika Anda mau bersedih, bersedihlah pada saat orang dilahirkan: “Oh tidak, mereka datang lagi. Mereka akan menderita dan mati lagi!”
10.
“Dia yang mengetahui” dengan jelas tahu bahwa semua keadaan yang berkondisi adalah tidak kekal. Jadi “Dia yang mengetahui” tidak akan menjadi senang atau sedih,
karena tidak mengikuti perubahan kondisi. Untuk menjadi senang, adalah untuk dilahirkan; untuk menjadi kesal, adalah untuk mati. Setelah mati, kita lahir kembali; setelah dilahirkan, kita mati lagi. Kelahiran dan kematian dari satu momen ke momen berikutnya adalah putaran roda samsara yang tidak pernah berakhir. Jasmani 11. Bila tubuh bisa berbicara, ia akan berkata kepada kita sepanjang hari, “Kamu bukan majikanku, kamu tahu.” Sebenarnya dia berkata kepada kita secara terus-menerus, tetapi dengan bahasa Dhamma. Jadi kita tidak dapat mengerti. 12.
Kondisi bukan milik kita. Kondisi mengikuti jalan alaminya. Kita tidak bisa melakukan apapun tentang jalannya tubuh. Kita bisa mempercantiknya sedikit, membuatnya terlihat ceria dan bersih sejenak, seperti gadis muda yang memoles bibirnya dan membiarkan kukunya tumbuh panjang, tetapi ketika usia tua datang, semua orang akan mengalami kondisi yang sama. Itulah jalan tubuh kita. Kita tidak dapat mengubahnya dengan cara apapun juga. Apa yang kita bisa perbaiki dan percantik adalah pikiran.
13.
Kalau tubuh ini benar-benar milik kita, pasti ia akan mematuhi perintah kita. Jika kita bilang, “Jangan jadi tua,” atau “Saya melarangmu untuk sakit,” apakah dia mematuhi kita? Tidak! Tubuh ini tidak peduli. Kita hanya menyewa “rumah” ini, tidak memilikinya. Kalau kita berpikir tubuh ini milik kita, kita akan menderita ketika harus meninggalkannya. Tetapi dalam kenyataannya, tidak ada yang abadi, tidak ada yang tidak berubah atau tetap dimana kita bisa bergantung padanya.
Nafas 14. Ada orang yang lahir dan mati tanpa pernah sekalipun menyadari nafas masuk dan keluar dari tubuhnya. Itu menunjukkan betapa jauhnya mereka hidup dari dirinya sendiri. 15.
Waktu adalah nafas kita saat ini.
16.
Anda berkata bahwa Anda terlalu sibuk untuk bermeditasi. Apakah Anda punya waktu untuk bernafas? Meditasi adalah nafas Anda. Mengapa Anda punya waktu untuk bernafas tetapi tidak punya waktu untuk bermeditasi? Bernafas adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan seseorang. Jika Anda melihat bahwa latihan Dhamma penting bagi hidup Anda, maka Anda akan merasa bahwa bernafas dan berlatih Dhamma adalah sama pentingnya.
Dhamma 17. Apa Dhamma itu? Tidak ada yang bukan (Dhamma). 18.
Bagaimana Dhamma mengajarkan cara hidup yang semestinya? Dhamma menunjukkan bagaimana cara kita hidup. Dhamma mempunyai banyak cara untuk menunjukkannya. Melalui karang atau pohon atau apa saja yang ada di depan Anda. Sebuah pengajaran tanpa kata-kata. Maka tenangkan pikiran, hati, dan belajar memperhatikan. Anda akan menemukan keseluruhan Dhamma muncul dengan sendirinya di sini dan sekarang. Kapan dan dimana lagi Anda hendak mencarinya?
19.
Pertama Anda mengerti Dhamma dengan pikiran Anda. Jika Anda sudah mulai mengerti, Anda akan melatih Dhamma. Jika Anda melatihnya, Anda akan mulai
melihatnya. Ketika Anda melihatnya, Andalah Dhamma tersebut dan Anda telah memperoleh kebahagiaan dari Buddha. 20.
Dhamma harus ditemukan dengan melihat ke dalam hati Anda sendiri, dan melihat mana yang benar dan mana yang salah, mana yang seimbang dan mana yang tidak seimbang.
21.
Hanya ada satu keajaiban yang sesungguhnya, keajaiban Dhamma. Keajaiban yang lain seperti ilusi dari sebuah permainan kartu sulap. Ilusi mengalihkan kita dari permainan yang sesungguhnya: hubungan kita dengan kehidupan manusia, kelahiran, kematian, dan kebebasan.
22.
Apapun yang Anda lakukan, buatlah menjadi Dhamma. Jika Anda tidak merasa baik, lihat ke dalam diri Anda. Jika Anda tahu itu salah tetapi tetap melakukannya, itu adalah kekotoran batin.
23.
Sungguh sulit menemukan mereka yang mendengarkan Dhamma, yang mengingat Dhamma dan melaksanakannya, yang mencapai Dhamma dan melihatnya.
24.
Semuanya adalah Dhamma bila kita memiliki perhatian penuh. Ketika kita melihat binatang berlari dari bahaya, kita melihat bahwa mereka seperti kita. Mereka melarikan diri dari penderitaan dan mencari kebahagiaan. Mereka juga memiliki rasa takut. Mereka takut akan kehidupannya seperti juga kita. Ketika kita melihatnya menurut kebenaran, kita melihat bahwa semua binatang dan manusia tidak berbeda. Kita semua adalah rangkaian dari kelahiran, usia tua, kesakitan, dan kematian.
25.
Tanpa menghiraukan waktu dan tempat, keseluruhan pelaksanaan Dhamma menuju ke arah penyelesaian di tempat yang tidak ada apa-apa. Itu adalah tempat untuk melepaskan, kekosongan, untuk meletakkan beban. Ini adalah akhir.
26.
Dhamma berada tidak jauh. Benar-benar dekat kita. Dhamma bukanlah tentang malaikat di langit atau sesuatu seperti itu. Dhamma adalah tentang kita, tentang apa yang sedang kita lakukan sekarang. Amati diri Anda sendiri. Kadang-kadang ada kebahagiaan, kadang penderitaan, kadang nyaman, kadang sakit ...ini inilah Dhamma. Apakah Anda melihatnya? Untuk mengetahui Dhamma, Anda harus membaca pengalaman-pengalaman Anda.
27.
Sang Buddha menginginkan kita untuk berhubungan dengan Dhamma, tetapi orangorang hanya berhubungan dengan kata-kata, buku-buku, dan kitab suci. Ini hanya menghubungkan dengan apa yang disebut “tentang” Dhamma, dan bukan berhubungan dengan Dhamma yang “asli” seperti yang diajarkan oleh Guru Agung kita. Bagaimana mereka dapat berkata bahwa mereka telah berlatih dengan benar dan semestinya, jika hanya melakukan itu? Jalan mereka masih jauh sekali.
28.
Ketika Anda mendengarkan Dhamma, Anda harus membuka hati Anda dan menempatkan diri di tengah hati. Jangan mencoba untuk mengumpulkan apa yang Anda dengar atau berusaha keras untuk memahami apa yang Anda dengar melalui ingatan. Biarkan Dhamma mengalir ke dalam hati Anda sampai menampakkan dirinya sendiri, dan teruslah membuka diri ke arah aliran itu pada saat ini. Apa yang seharusnya dipahami akan Anda pahami dengan sendirinya, tidak melalui usaha keras yang Anda tetapkan.
29.
Juga ketika Anda menguraikan Dhamma, Anda tidak boleh memaksakan diri. Uraian Dhamma harus terjadi dengan sendirinya dan harus mengalir secara spontan pada saat
dan di lingkungan yang ada sekarang. Setiap orang mempunyai kemampuan untuk menerima pengetahuan dengan tingkatan yang berbeda, dan ketika Anda berada pada tingkatan yang sama, aliran Dhamma akan terjadi. Sang Buddha mempunyai kemampuan untuk mengetahui temperamen dan kemampuan seseorang untuk menerima ajaran. Beliau menggunakan metode spontan yang sama dalam mengajar. Itu bukan karena Buddha memiliki kemampuan supranatural untuk mengajar, tetapi karena Beliau lebih sensitif terhadap kebutuhan batin dari orang-orang yang datang kepadaNya. Jadi Beliau mengajar sesuai kebutuhan orang tersebut. Hati dan Pikiran 30. Hanya ada satu buku yang patut dibaca: hati. 31.
Buddha mengajarkan kita bahwa apapun yang membuat pikiran kita menderita di dalam latihan artinya mengenai sasaran. Kekotoran batin adalah penderitaan. Bukan pikiran yang menderita! Kita tidak tahu apa isi pikiran dan kekotoran batin kita. Terhadap apapun yang kita rasa tidak puas, kita tidak akan mau berurusan lagi dengan hal itu. Sebenarnya jalan hidup kita tidaklah sulit. Yang sulit adalah menjadi orang yang tidak puas, tidak bisa menerima. Kekotoran batin adalah kesulitan yang sebenarnya.
32.
Dunia berada dalam bagian yang sangat tergesa-gesa. Pikiran berubah dari suka menjadi tidak suka dengan segala tergesa-gesaan yang ada di dunia. Jika kita bisa belajar untuk membuat pikiran tenang, itu akan menjadi bantuan yang sangat hebat bagi dunia.
33.
Bila pikiran Anda senang, maka Anda pun akan senang kemana pun Anda pergi. Ketika kebijaksanaan muncul dalam diri Anda, Anda akan menemukan kebenaran kemana pun Anda melihat. Kebenaran itu ada dimana-mana. Sama halnya bila Anda telah belajar membaca, Anda dapat membaca dimana saja.
34.
Jika Anda merasa alergi pada ke suatu tempat, Anda akan merasa alergi di semua tempat. Namun bukan tempat di luar Anda yang menyebabkan masalah, melainkan “tempat” di dalam Anda.
35.
Lihatlah pikiran Anda sendiri. Orang yang membawa benda mengira dia mempunyai benda, tetapi orang yang melihatnya hanya melihat beban berat. Buanglah seluruh benda, hilangkan, dan temukan keringanan.
36.
Pada hakikatnya, pikiran itu tenang. Di luar ketenangan ini, kegelisahan dan keraguan muncul. Jika seseorang melihat dan mengetahui adanya keraguan, maka pikiran menjadi tenang lagi.
37.
Agama Buddha adalah agama hati. Hanya itu. Seseorang yang mela tih hatinya adalah orang yang melatih ajaran Buddha.
38.
Ketika cahaya redup, tidaklah mudah untuk menemukan jaring laba-laba tua di sudut ruangan. Tetapi ketika cahaya terang, Anda dapat melihatnya dengan jelas dan dapat membersihkannya. Ketika pikiran Anda terang, Anda akan dapat melihat kekotoran batin dengan jelas, dan juga membersihkannya.
39.
Menguatkan pikiran tidak dapat dilakukan dengan mengerakkannya seperti menguatkan tubuh, tetapi dengan membuatnya diam, beristirahat.
40.
Karena orang tidak melihat dirinya sendiri, mereka bisa melakukan segala jenis perbuatan buruk. Mereka tidak melihat pikirannya sendiri. Ketika orang akan melakukan perbuatan buruk, mereka akan memastikan ke sekeliling dahulu untuk melihat apakah ada orang lain yang melihat: “Apakah ibu saya akan melihat?” “Apakah suami saya akan melihat?” “Apakah anak-anak akan melihat?” “Apakah istri saya akan melihat?” Bila tidak ada yang melihat, maka mereka akan melakukan perbuatan buruknya. Ini namanya mempermalukan diri sendiri. Mereka mengatakan tidak ada yang melihat, jadi mereka segera menyelesaikan perbuatan buruknya sebelum orang lain melihat. Dan bagaimana dengan dirinya sendiri? Bukankah ada “seseorang” yang memperhatikan?
41.
Gunakan hatimu untuk mendengarkan ajaran, bukan telingamu.
42.
Ada orang yang melakukan perang terhadap kekotoran batinnya sendiri dan menaklukkannya. Ini namanya perang batin. Mereka yang berperang secara fisik, mengambil bom dan pistol untuk dilempar dan ditembak. Mereka menaklukkan dan ditaklukkan. Menaklukkan orang lain adalah jalan dunia ini. Dalam melaksanakan Dhamma kita tidak perlu berperang dengan orang lain, melainkan menaklukkan pikiran sendiri, dengan sabar menyingkirkan semua suasana hati.
43.
Dari mana hujan datang? Hujan datang dari semua air kotor yang menguap dari bumi, seperti air seni dan air yang Anda buang setelah membersihkan kaki. Bukankah mengagumkan, bagaimana langit dapat mengambil air kotor dan mengubahnya menjadi air murni, air bersih? Pikiran Anda dapat melakukan hal yang sama terhadap kekotoran batin bila Anda membiarkannya bertindak.
44.
Sang Buddha berkata untuk hanya menilai diri sendiri dan tidak menilai orang lain, tidak peduli seberapa pun baik atau buruknya orang tersebut. Sang Buddha menunjukkan hal ini dengan berkata, “Kebenaran adalah seperti ini.” Sekarang, apakah pikiranmu seperti itu atau tidak?
Ketidak-kekalan 45. Kondisi ada melalui perubahan. Anda tidak dapat mencegahnya. Coba pikirkan, dapatkah Anda mengeluarkan nafas tanpa menghirupnya? Apakah itu terasa enak? Atau Anda hanya menarik nafas tanpa mengeluarkannya? Kita ingin agar segala sesuatu kekal, tetapi tidak bisa. Itu mustahil. 46.
Jika Anda tahu bahwa segala sesuatu tidak kekal, semua pemikiranmu berangsur-angsur akan terbuka, maka Anda tidak perlu berpikir terlalu banyak. Ketika yang lain muncul, yang perlu Anda katakan adalah “Oh, satu lagi!” Hanya itu.
47.
Pembicaraan yang mengabaikan ketidak-kekalan bukanlah pembicaraan dari orang bijaksana.
48.
Jika Anda benar-benar melihat ketidak-pastian dengan jelas, Anda akan melihat mana yang pasti. Yang pasti adalah bahwa segala sesuatu tidak terelakkan dari ketidakpastian, tidak mungkin sebaliknya. Apakah Anda mengerti? Hanya dengan memahami hal ini, Anda dapat memahami Buddha, Anda dapat langsung melakukan penghormatan kepada-Nya.
49.
Bila pikiran Anda mencoba memberitahu bahwa Anda telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna, pergi dan menghormatlah pada seorang Sotapanna. Dia akan memberitahumu bahwa semua tidak kekal. Jika Anda bertemu seorang Sakadagami,
pergi dan beri hormat kepadanya. Ketika dia melihatmu, dia akan berkata,”Bukan sesuatu yang dapat dipastikan!” Jika ada seorang Anagami, pergi dan menghormatlah. Dia hanya akan memberitahumu satu hal, “Tidak kekal!” Bahkan jika Anda bertemu seorang Arahat, pergi dan menghormatlah. Dia akan mengatakan kepada Anda dengan lebih tegas,”Ini bahkan lebih tidak pasti!” Lalu kamu akan mendengar kata-kata Buddha: “Segala sesuatu tidak kekal. Jangan bergantung pada apapun!” 50.
Kadang saya pergi untuk melihat peninggalan keagamaan dan vihara-vihara kuno. Di beberapa te mpat pasti ada yang retak. Mungkin salah satu teman saya akan berkata, “Sungguh sayang bukan? Ada retakan.” Saya akan menjawab, “Kalau tidak ada yang retak, maka juga tidak ada hal seperti Buddha. Juga tidak akan ada Dhamma. Ada yang retak justru karena ini benar-benar sejalan dengan ajaran Buddha.”
51.
Semua kondisi berjalan sesuai dengan jalannya sendiri. Walaupun kita tertawa atau menangis, semuanya tetap berjalan sesuai dengan jalannya sendiri. Dan tidak ada ilmu pengetahuan yang bisa mencegah jalan alami ini. Anda mungkin pergi ke dokter gigi untuk memeriksa gigi. Walaupun dokter gigi bisa mengobatinya, pada akhirnya gigi tersebut tetap akan berjalan sesuai dengan jalannya juga. Bahkan dokter gigi pun akan mengalami hal yang sama. Semuanya akan seperti itu pada akhirnya.
52.
Apa yang bisa kita ambil untuk sebuah kepastian? Tidak ada, semua hanya perasaan. Penderitaan muncul, tinggal dan pergi. Lalu kebahagiaan muncul menggantikan penderitaan – hanya itu. Di luar itu, tidak ada apa-apa. Tetapi kita justru berla ri dan berpegang pada perasaan terus-menerus. Perasaan tidaklah nyata, perubahanlah yang nyata.
Kamma 53. Ketika orang yang tidak mengerti Dhamma melakukan hal yang tidak seharusnya, mereka akan melihat ke sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun melihatnya. Tetapi kamma kita selalu melihat. Kita tidak pernah benar-benar bisa kabur dari apapun. 54.
Perbuatan baik menimbulkan hasil yang baik, perbuatan buruk menimbulkan hasil yang buruk. Jangan mengharapkan para dewa melakukan sesuatu untukmu, atau malaikat dan dewa penjaga melindungimu, atau hari yang menguntungkan untuk menolongmu. Karena semua hal ini tidak benar. Jangan percaya padanya. Jika Anda percaya, Anda akan menderita. Anda akan selalu menunggu hari yang tepat, bulan yang tepat, tahun yang tepat, para malaikat atau dewa penolong. Anda akan menderita walau hanya dengan cara itu. Lihatlah dalam perbuatan dan ucapan Anda, dalam kamma Anda sendiri. Melakukan perbuatan baik, Anda akan mewarisi kebaikan; melakukan perbuatan buruk, Anda akan mewarisi keburukan.
55.
Melalui latihan benar, Anda membiarkan kamma lampau keluar dengan sendirinya. Mengetahui bagaimana semua ini muncul dan pergi, Anda hanya bisa mewaspadai dan membiarkan (kamma) berlari di jalurnya. Seperti mempunyai dua pohon, jika Anda memberi pupuk dan air pada satu pohon dan tidak mengurusi pohon yang lain, tidak akan ada pertanyaan mana yang akan tumbuh dan mana yang akan mati.
56.
Beberapa dari Anda telah datang dari tempat yang beribu-ribu mil jauhnya, dari Eropa, Amerika, dan tempat lainnya untuk mendengarkan Dhamma di sini, di Vihara Nong Pah Pong. Berpikir bahwa Anda telah datang dari tempat yang sangat jauh dan melewati banyak rintangan untuk ke sini. Lalu berpikir bahwa ada orang-orang yang
tinggal hanya di luar tembok ini tetapi belum pernah memasuki pagar vihara ini. Ini membuat Anda semakin menghargai kamma baik, bukan? 57.
Ketika Anda melakukan perbuatan buruk, tidak ada tempat bagi Anda untuk bersembunyi. Bahkan jika orang lain tidak melihat, kamu dapat melihat diri Anda sendiri. Bahkan jika Anda masuk ke dalam lubang yang dalam, Anda tetap akan menemui dirimu sendiri di sana. Tidak mungkin Anda melakukan perbuatan buruk dan kabur darinya. Dengan cara yang sama, mengapa Anda tidak melihat kesucian sendiri? Anda akan melihat semuanya. Kedamaian, pergolakan, kebebasan, keterikatan. Anda akan melihat ini semua untuk diri Anda sendiri.
Latihan Meditasi 58. Kalau Anda ingin menunggu untuk bertemu Buddha yang akan datang, maka jangan berlatih. Anda mungkin akan berkeliling cukup lama untuk me lihat Buddha ketika Beliau datang. 59.
Saya mendengar banyak orang berkata,”Oh, tahun ini adalah tahun yang buruk bagi saya.” “Bagaimana bisa?” “Saya sakit sepanjang tahun,” jawabnya. “Saya tidak dapat latihan meditasi sama sekali.” Oh! Kalau mereka tidak berlatih ketika kematian sudah dekat, kapan mereka bisa latihan lagi? Kalau mereka sehat, apakah Anda pikir mereka akan berlatih? Tidak. Mereka hanya akan tenggelam dalam kebahagiaan. Kalau mereka menderita, mereka tetap tidak berlatih. Mereka akan kehilangan kesempatan pula. Saya tidak tahu kapan mereka akan berpikir untuk berlatih.
60.
Saya telah menetapkan jadwal dan peraturan vihara. Jangan melewati batas yang telah ada. Siapapun yang melanggar bukanlah orang yang datang dengan niat untuk sungguhsungguh berlatih. Apa yang diharapkan orang tersebut? Walaupun dia tidur dekat saya setiap hari, dia tidak akan melihat saya. Walaupun dia tidur dekat Buddha, dia tidak akan melihat Buddha; jika dia tidak berlatih.
61.
Jangan pernah berpikir bahwa hanya dengan duduk dan mata ditutup berarti telah berlatih meditasi. Jika kamu berpikir seperti itu, maka segera ubah pemikiranmu. Latihan yang mantap adalah menjaga kesadaran pikiran di setiap sikap badan, apakah duduk, berjalan, berdiri, atau berbaring. Ketika selesai duduk, jangan berpikir bahwa Anda telah keluar dari meditasi tetapi berpikirlah Anda hanya mengubah sikap badan. Bila Anda dapat melakukan dengan cara ini, Anda akan mendapatkan kedamaian. Dimanapun Anda berada, Anda akan mempunyai kebiasaan berlatih dalam diri secara bertahap. Anda akan mempunyai kesadaran yang mantap dalam diri Anda.
62.
“Sebelum saya mencapai Penerangan Sempurna, saya tidak akan beranjak dari tempat ini, walaupun darah saya mengering.” Anda telah membaca kalimat ini di dalam buku, dan mungkin akan berpikir untuk mencobanya sendiri. Anda akan melakukan hal yang sama seperti Buddha. Tetapi Anda belum mempertimbangkan bahwa kendaraan Anda hanya kendaraan kecil. Kendaraan Buddha adalah kendaraan besar. Buddha dapat melakukannya secara serentak pada saat bersamaan. Dengan kendaraan Anda yang terbatas dan kecil, bagaimana mungkin Anda dapat menanggungnya secara serentak? Ini semuanya adalah cerita yang berbeda.
63.
Saya pergi berkelana untuk mencari tempat meditasi. Saya tidak menyadari bahwa tempat itu sudah tersedia, di hati saya. Segala meditasi telah ada dalam dirimu. Kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian ada dalam dirimu. Saya berkeliling ke segala penjuru sampai jatuh dalam kepenatan. Saat itu, ketika berhenti, saya menemukan apa yang selama ini saya cari, ada di... dalam diri saya.
64.
Kita tidak bermeditasi untuk melihat surga tetapi untuk mengakhiri penderitaan.
65.
Jangan melekat pada penglihatan atau cahaya dalam meditasi, jangan bangun dan jatuh karenanya pula. Apa yang hebat dari cahaya? Senter saya memiliki cahaya. Cahaya tidak dapat menolong kita untuk lepas dari penderitaan.
66.
Anda buta dan tuli tanpa meditasi. Dhamma tidak mudah untuk dilihat. Anda harus bermeditasi untuk melihat apa yang tidak pernah Anda lihat. Apakah Anda terlahir sebagai guru? Tidak. Anda harus belajar terlebih dahulu. Lemon terasa asam hanya bila Anda telah mencicipinya.
67.
Ketika duduk bermeditasi, katakanlah “Itu bukan urusan saya!” pada segala pikiran yang muncul.
68.
Ketika merasa malas, kita harus berlatih dan tidak hanya ketika merasa bersemangat atau pada saat suasana hati mendukung. Ini merupakan latihan menurut ajaran Buddha. Menurut diri kita sendiri, kita berlatih hanya saat suasana hati baik. Bagaimana kita dapat maju? Bagaimana kita dapat memutus aliran kekotoran batin bila kita berlatih hanya menurut cara kita yang seperti itu?
69.
Apapun yang kita lakukan, kita harus selalu melihat diri kita sendiri. Membaca buku tidak akan pernah membangkitkan apapun. Hari terus berlalu, tetapi kita tidak melihat diri kita sendiri. Memahami latihan adalah berlatih untuk memahami.
70.
Tentu saja terdapat berbagai teknik meditasi, tetapi semua akan kembali ke sini, -biarkan semua seperti apa adanya. Datanglah ke sini, tenang dan bebas dari perseteruan. Mengapa Anda tidak mencobanya?
71.
Hanya berpikir mengenai latihan seperti memancing dalam bayangan dan menghilangkan maknanya.
72.
Ketika saya telah berlatih selama beberapa tahun, saya tetap belum dapat mempercayai diri sendiri. Tetapi setelah saya mendapat banyak pengalaman, saya belajar untuk mempercayai hati saya sendiri. Ketika Anda telah memiliki pengertian yang mendalam, apapun yang terjadi, Anda dapat merasakan semuanya terjadi, semuanya hanya datang dan pergi. Anda akan mencapai suatu titik dimana hati akan berkata sendiri apa yang harus Anda lakukan.
73.
Dalam latihan meditasi, sebenarnya adalah lebih buruk terjebak dalam keheningan dibandingkan terjebak dalam kegelisahan, karena pada akhirnya Anda akan ingin membebaskan diri dari kegelisahan tersebut, sebaliknya Anda akan terpaku dalam keheningan dan tidak berlatih lebih lanjut. Ketika kebahagiaan muncul dengan jelas dalam latihan Vipassana tersebut, jangan melekat padanya.
74.
Meditasi hanya mengenai pikiran dan perasaan. Meditasi bukan sesuatu yang perlu dikejar atau diperjuangkan. Bernafas secara terus menerus selama bekerja. Alam telah menjaga proses alami. Yang perlu kita lakukan hanyalah mencoba untuk sadar, secara batin melihat dengan jelas. Meditasi adalah seperti itu.
75.
Tidak berlatih dengan benar adalah seperti tanpa perhatian. Perhatian yang tidak terpusat sama seperti mati. Tanyakan diri Anda sendiri apakah Anda mempunyai waktu untuk berlatih ketika Anda mati? Tanyakan terus pada diri Anda, “Kapan saya akan mati?” Ketika kita merenung dengan cara ini, pikiran akan waspada setiap saat, pikiran
yang penuh perhatian akan selalu hadir, dan kesadaran penuh akan mengikuti secara otomatis. Kebijaksanaan akan muncul, melihat segala sesuatu seperti apa adanya dengan jelas. Kesadaran menjaga pikiran sehingga mengetahui ketika sensasi muncul setiap saat, siang dan malam. Memiliki kesadaran menimbulkan ketenangan. Menjaga ketenangan adalah dengan pikiran terpusat. Bila pikiran seseorang terpusat, maka ia telah berlatih dengan benar. 76.
Dasar dalam latihan kita, yang utama, haruslah selalu jujur dan lurus, --kedua, selalu waspada terhadap perbuatan salah; --ketiga, selalu rendah hati terhadap orang lain, tak banyak bicara, dan mudah puas (tidak memiliki banyak keinginan). Bila kita dapat puas dengan hal kecil saat berbicara dan hal lainnya, kita akan melihat diri kita sendiri, kita tidak akan terganggu. Pikiran akan mempunyai dasar kemoralan (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna).
77.
Pada awalnya, Anda tergesa-gesa untuk maju, tergesa-gesa untuk kembali, dan tergesagesa untuk berhenti. Anda terus berlatih seperti ini sampai mencapai suatu tahap dimana bukan maju, bukan kembali, dan juga bukan berhenti! Selesai. Dimana tidak ada pemberhentian, tidak maju, dan tidak kembali. Itu telah selesai. Di saat itu, Anda akan menemukan bahwa segala nya hampa.
78.
Ingatlah bahwa Anda tidak bermeditasi untuk “mendapatkan” sesuatu, tetapi untuk “melepaskan” sesuatu. Kita melakukan meditasi, tanpa keinginan, tetapi dengan membiarkannya hilang. Bila Anda “menginginkan” sesuatu, Anda tidak akan mendapatkannya.
79.
Inti dari Sang Jalan cukup mudah. Tidak ada yang perlu dijelaskan panjang lebar. Lepaskan cinta dan benci, juga biarkan segalanya berjalan seperti apa adanya. Itulah yang telah saya lakukan selama ini dalam latihan.
80.
Menanyakan pertanyaan yang salah menunjukkan bahwa Anda tetap terjebak dalam keragu-raguan. Berbicara mengenai latihan adalah baik, bila hal itu membantu perenungan. Tetapi itu terserah Anda untuk dapat melihat kebenaran.
81.
Kita berlatih untuk belajar melepaskan sesuatu, bukan untuk menambah keterikatan pada sesuatu. Pencerahan terjadi ketika Anda berhenti menginginkan sesuatu.
82.
Bila Anda mempunyai waktu untuk menyadari, Anda mempunyai waktu untuk bermeditasi.
83.
Seseorang pernah bertanya kepada saya, “Saat kita bermeditasi dan banyak hal timbul dalam pikiran, haruskah kita menyelidikinya atau cukup menyadarinya datang dan pergi?” Bila Anda melihat seseorang berlalu dan Anda tidak mengenalnya, Anda mungkin bertanya,”Siapakah dia? Kemana dia hendak pergi? Apa yang dia lakukan?” Tetapi bila kita mengenalnya, cukup menyadarinya berlalu.
84.
Keinginan dalam berlatih dapat menjadi kawan maupun lawan. Sebagai kawan, membuat kita mau berlatih, untuk mengerti, dan untuk mengakhiri penderitaan. Namun untuk selalu menginginkan sesuatu yang belum muncul, mengin ginkan sesuatu menjadi lain dari yang ada, hanya menimbulkan lebih banyak penderitaan, dan inilah ketika keinginan dapat menjadi lawan. Pada akhirnya kita harus belajar untuk melepaskan semua keinginan, juga keinginan untuk pencerahan. Hanya dengan demikia n kita dapat terbebas.
85.
Seseorang pernah bertanya pada Ajahn Chah mengenai cara ia mengajar meditasi: “Apakah Anda menggunakan metode wawancara harian untuk meneliti pikiran seseorang?” Ajahn Chah menjawab dengan berkata, “Di sini saya mengajar murid untuk meneliti pikirannya sendiri, untuk mewawancarai diri mereka sendiri. Mungkin seorang bhikkhu marah hari ini, atau mungkin ia mempunyai nafsu dalam pikirannya. Saya tidak mengetahuinya tetapi ia harus tahu. Dia tidak perlu datang dan bertanya pada saya tentang itu. Iya, kan?”
86.
Hidup kita adalah rangkaian dari unsur-unsur. Kita menggunakan kebiasaan untuk menggambarkan sesuatu, tetapi kita telah terikat pada kebiasaan dan memakainya sebagai sesuatu yang nyata. Sebagai contoh, manusia dan benda diberi nama. Kita dapat kembali pada permulaan sebelum nama diberikan, dan memanggil pria dengan “wanita” dan memanggil wanita dengan “pria”, apa ada bedanya? Tetapi sekarang kita terpaku pada penamaan dan konsep, sehingga kita mendapat pertentangan jenis kelamin dan pertentangan lainnya yang serupa. Meditasi adalah untuk melihat melampaui semua ini. Dengan demikian, kita kelak dapat mencapai tahapan tanpa-kondisi dan dalam kedamaian, bukan peperangan.
87.
Beberapa orang menjadi bhikkhu tanpa keyakinan, tetapi kemudian melanggar ajaran Buddha. Mereka mengetahui lebih baik tetapi menolak untuk berlatih dengan benar. Sesungguhnya, mereka yang berlatih dengan benar tinggal sedikit saat ini.
88.
Teori dan praktek, --yang pertama mengetahui nama tanaman obat, lalu yang kedua keluar mencarinya dan menggunakannya.
89.
Kebisingan --Anda menyukai suara burung tetapi tidak suara mobil. Anda takut terhadap orang dan kebisingan, dan Anda suka hidup menyendiri dalam hutan. Lepaskan kebisingan dan merawat bayi. Sang “bayi” adalah latihan Anda.
90.
Seorang yang baru ditahbiskan (samanera) bertanya pada Ajahn Chah apa nasihatnya bagi pemula dalam berlatih meditasi. “Sama halnya dengan mereka yang telah lama berlatih,” ia menjawab. Dan apakah itu? “ Tetaplah berlatih,” jawabnya.
91.
Orang mengatakan bahwa ajaran Buddha adalah benar, tetapi sulit untuk dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka berkata seperti “Saya masih muda dan tidak mempunyai kesempatan untuk berlatih, tetapi bila saya tua kelak saya akan berlatih.” Apakah Anda berkata, “Saya masih muda, jadi tidak punya waktu untuk makan?” Bila saya menyodok Anda dengan batang kayu yang membara, apakah Anda akan berkata, “Saya menderita, itu benar, tetapi karena saya hidup dalam masyarakat, saya tidak dapat melarikan diri dari penderitaan?”
92.
Kemoralan (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna) adalah inti dari praktek agama Buddha. Kemoralan menjaga tubuh dan ucapan secara menyeluruh. Dan tubuh adalah rumah dari pikiran. Jadi, latihan adalah jalan dari kemoralan, jalan bagi konsentrasi dan jalan bagi kebijaksanaan. Seperti sepotong kayu dipotong menjadi tiga bagian, tetapi sebenarnya hanya satu. Jika kita melepaskan tubuh dan ucapan, kita tidak bisa. Jika kita ingin melepaskan pikiran, kita tidak bisa. Kita harus berlatih dengan tubh dan pikiran. Jadi sebenarnya sila, samadhi, dan panna adalah satu kesatuan harmonis yang bekerja bersama
Tanpa Aku 93. Seorang wanita tua yang beriman dari propinsi terdekat datang berziarah ke Wat Pah Pong. Dia berkata pada Ajahn Chah bahwa ia hanya singgah sebentar, lalu ia harus segera kembali untuk menjaga cucunya, dan karena dia seorang wanita tua, ia meminta
apakah ia dapat mendengarkan pesan Dhamma. Ajahn Chah menjawab dengan desakan, “ Hai, dengarkan! Tak ada seorang pun di sini, hanya ini! Tidak ada pemilik, tidak ada yang tua, muda, baik atau buruk, kuat atau lemah. Hanya itu, itu saja --hanya berbagai unsur alami yang berjalan semestinya. Semua kosong. Tidak ada yang lahir dan tidak ada yang meninggal! Mereka yang membicarakan kelahiran dan kematian adalah berbicara dengan bahasa anak yang bodoh. Dalam bahasa hati, dari Dhamma, tidak ada suatu seperti kelahiran dan kematian”. 94.
Dasar yang sebenarnya dalam ajaran (Buddha) adalah untuk melihat diri sendiri layaknya sebagai makhluk tanpa inti. Tetapi orang datang untuk belajar Dhamma agar dapat meningkatkan pandangan terhadap diri sendiri, agar mereka tidak mengalami penderitaan atau kesulitan. Mereka ingin segala sesuatunya menjadi menyenangkan. Mereka mungkin ingin melepas penderitaan, tetapi bila masih terdapat Aku, bagaimana mereka dapat melakukannya?
95.
Adalah sangat mudah bila Anda mengerti. Adalah sangat sederhana dan langsung. Ketika sesuatu yang menyenangkan muncul, pahami bahwa itu hampa. Ketika sesuatu yang tidak menyenangkan muncul, lihatlah bahwa semua itu bukan milik Anda. Keduanya akan berlalu. Jangan hubungkan semuanya dengan dirimu atau memandang dirimu sebagai pemiliknya. Anda berpikir bahwa pohon pepaya milikmu, tetapi mengapa Anda tidak terluka saat pohon itu ditebang? Bila Anda dapat mengerti ini, inilah jalan yang benar, ajaran benar dari Buddha, ajaran yang membawa kebebasan.
96.
Orang tidak belajar sesuatu di luar baik dan buruk. Inilah yang seharusnya dipelajari. “Saya akan menjadi ini,- Saya akan menjadi seperti itu,” kata mereka. Tetapi mereka tidak pernah mengatakan “Saya tidak akan menjadi apapun karena sebenarnya tidak ada ‘Saya’.” Hal ini yang tidak dipelajari.
97.
Saat Anda mengerti tanpa-aku (anatta), maka belenggu hidu akan sirna. Anda akan damai dengan dunia ini. Ketika kita melihat keluar diri sendiri, kita tidak lagi melekat pada kebahagiaan dan kita akan benar-benar bahagia. Belajar untuk melepaskan tanpa perjuangan, lepaskan dengan mudah. Jadilah sesuai dengan diri anda sendiri- tanpa memegang, tanpa melekat, bebas.
98.
Seluruh tubuh tersusun dari empat elemen yaitu tanah, air, angin, dan api. Ketika semuanya bersatu dan membentuk tubuh, kita mengatakan itu adalah pria, wanita, memberi nama, dan lain-lain, agar kita mengenali satu sama lain dengan mudah. Tetapi sebenarnya tidak ada satu pun di sana- hanya tanah, air, angin, dan api. Jangan terikat atau bernafsu. Bila Anda benar-benar mencarinya, Anda tidak akan menemukan apapun di sana.
Damai 99. Q : Seperti apakah kedamaian itu? A : Mengapa dipusingkan? Baik, kedamaian itu akhir dari kebingungan. 100.
Kedamaian ada pada diri sendiri, ditemukan di tempat yang sama dengan kesulitan dan penderitaan. Tidak ditemukan di hutan atau di puncak gunung atau pun diberikan oleh guru. Ketika Anda merasakan penderitaan, Anda juga dapat menemukan kebebasan dari penderitaan. Mencoba lari dari penderitaan sebenarnya justru berlari menuju penderitaan.
101.
Bila Anda melepaskan sedikit, Anda akan mendapat sedikit kedamaian. Bila Anda melepaskan banyak, Anda akan mendapatkan banyak kedamaian. Bila Anda melepaskan seutuhnya maka Anda akan mendapatkan kedamaian seutuhnya.
102.
Sebenarnya, dalam kebenaran, tidak ada apapun pada manusia. Menjadi apapun diri kita, hanya merupakan tampilan luar. Akan tetapi, bila kita melampaui apa yang tampak dan melihat kebenaran, kita akan melihat bahwa tidak ada apapun kecuali karakteristik universal --kelahiran pada awalnya, perubahan pada pertengahan, dan perhentian pada akhirnya. Inilah keseluruhan yang ada. Bila kita melihat segala sesuatu dengan cara ini, tidak akan ada masalah yang muncul. Bila kita mengerti hal ini, kita akan mendapatkan kepuasan dan kedamaian.
103.
Mengetahui apa yang baik dan buruk, ketika berpergian atau tinggal di suatu tempat. Anda tidak akan menemukan kedamaian di gunung atau dalam gua. Anda bahkan dapat pergi ke tempat Sang Buddha mencapai penerangan tanpa lebih dekat dengan kebenaran.
104.
Melihat keluar diri sendiri adalah untuk membandingkan dan membedakan. Anda tidak akan menemukan kebahagiaan dengan cara itu. Anda juga tidak akan dapat menemukan kebahagiaan bila Anda menghabiskan waktu untuk mencari orang atau guru yang sempurna. Sang Buddha mengajar kita untuk melihat pada Dhamma, kebenaran, dan tidak melihat pada orang lain.
105.
Setiap orang dapat membangun rumah dari kayu dan bata, tetapi Buddha mengajarkan kita bahwa rumah yang ada bukanlah rumah kita yang sesungguhnya. Itu adalah rumah di dunia dan mengikuti langkah duniawi. Rumah kita yang sebenarnya adalah kedamaian di dalam.
106.
Hutan penuh kedamaian, mengapa Anda tidak? Anda berpegang pada sesuatu yang menyebabkan Anda kebingungan. Biarkan alam mengajari Anda. Dengarkan burung bernyanyi dan lepaskan. Bila Anda mengetahui alam, Anda akan mengetahui Dhamma. Bila Anda mengenal Dhamma, Anda akan mengetahui alam.
107.
Mencari kedamaian seperti mencari kura-kura berjenggot. Anda tidak akan mampu menemukannya. Tetapi ketika hati Anda siap, kedamaian akan datang mencari Anda.
108.
Kebajikan (sila), konsentrasi (samadhi), dan kebijaksanaan(panna) bersama membuat Sang Jalan. Tetapi Sang Jalan bukan merupakan ajaran sebenarnya, bukan seperti yang diinginkan Sang guru, tetapi hanya jalanyang dapat membawamu. Contohnya, katakanlah Anda melakukan perjalanan dari Bangkok ke Wat Pah Pong. Jalannya perlu untuk perjalanan Anda, tetapi Anda mencari Wat Pah Pong, vihara, bukan jalannya. Dengan cara yang sama, kita dapat mengatakan kebajikan, konsentrasi, dan kebijaksanaan berada di luar kebenaran Buddha tetapi merupakan Jalan yang mengarah kepada kebenaran. Ketika Anda telah mengembangkan ketiga faktor ini, hasilnya adalah kedamaian yang terindah.
Penderitaan 109. Ada dua macam penderitaan, penderitaan yang mengarah pada penderitaan lainnya dan penderitaan yang mengarah pada akhir dari penderitaan. Pertama adalah kesakitan setelah menikmati kesenangan yang telah berlalu dan penolakan pada ketidaksenangan, perjuangan terus menerus pada kebanyakan orang dari hari ke hari. Kedua adalah penderitaan yang datang ketika Anda membiarkan diri Anda sendiri untuk merasakan secara penuh perubahan terus menerus dari pengalaman --kesenangan, kesakitan, kebahagiaan, dan kemarahan-- tanpa ketakutan atau menarik kembali.
Penderitaan dari pengalaman kita menuntun pada ketidaktakutan dan kedamaian di dalam diri. 110.
Kita ingin mengambil jalan termudah, tetapi bila tanpa penderitaan, tidak akan ada kebijaksanaan. Untuk mematangkan kebijaksanaan, Anda harus benar-benar hancur dan menangis dalam latihan, setidaknya selama tiga kali.
111.
Kita tidak menjadi bhikkhu atau bhikkhuni untuk makan enak, tidur nyenyak, dan menjadi sangat nyaman; tetapi untuk mengenal penderitaan : - Bagaimana menerimanya .... - Bagaimana menyingkirkannya .... - Bagaimana mengakhirinya .... Jadi, jangan lakukan sesuatu yang dapat menyebabkan penderitaan, seperti menuruti keserakahan atau penderitaan tidak akan meninggalkan Anda.
112.
Sebenarnya, kebahagiaan adalah penderitaan dalam penyamaran namun dalam bentuk halus yang Anda tidak lihat. Bila Anda melekat pada kebahagiaan, sama halnya dengan melekat pada penderitaan, tetapi Anda tidak menyadari. Ketika Anda berpegangan pada kebahagiaan, tidak mungkin membuang penderitaan yang melekat. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Itulah yang diajarkan Sang Buddha pada kita untuk mengenal penderitaan, melihatnya seperti bahaya yang melekat pada kebahagiaan, melihat keduanya sepadan. Jadi, berhati-hatilah! Ketika kebahagiaan muncul, jangan terlena dan jangan terbawa perasaan. Ketika penderitaan datang, jangan putus asa, jangan tenggelam di dalamnya. Lihat, keduanya memiliki nilai yang setara.
113.
Ketika penderitaan muncul, pahamilah bahwa tidak seorangpun bersedia menerimanya. Bila Anda beranggapan penderitaan milik Anda, kebahagiaan milik Anda, Anda tidak akan mampu menemukan kedamaian.
114.
Orang yang menderita akan langsung memperoleh kebijaksanaan. Bila kita tidak menderita, kita tidak merenung. Bila kita tidak merenung, tidak ada kebijaksanaan yang lahir. Tanpa kebijaksanaan, kita tidak akan mengetahui. Tanpa mengetahui, kita tidak akan dapat bebas dari penderitaan—demikianlah seharusnya. Oleh karena itu kita harus berlatih dan bertahan dalam latihan kita. Ketika kita merenungkan dunia, kita tidak akan takut lagi seperti sebelumnya. Sang Buddha bukan mencapai Penerangan di luar dunia, tetapi di dalam dunia ini.
115.
Mengikuti hawa nafsu dan menyiksa diri adalah dua hal yang dihindari Sang Buddha. Keduanya hanyalah kesenangan dan penderitaan. Kita membayangkan diri kita telah bebas dari penderitaan, tetapi ternyata belum. Jika kita hanya berpegang teguh pada kebahagiaan, kita akan menderita lagi. Itulah yang sebenarnya, tetapi orang berpikir sebaliknya.
116.
Orang-orang yang menderita di suatu tempat akan pergi ke tempat lain. Ketika di tempat tersebut muncul penderitaan, mereka melarikan diri lagi. Mereka berpikir bahwa mereka sedang menghindari penderitaan, tetapi kenyataannya tidak. Penderitaan pergi bersamanya. Mereka selalu membawa penderitaan tanpa menyadarinya. Bila kita tidak mengenal penderitaan, maka kita tidak dapat mengetahui penyebab penderitaan. Bila kita tidak mengetahui penyebab penderitaan, lalu kita tidak akan mengenal akhir penderitaan. Tidak akan ada jalan untuk menghindarinya.
117.
Pelajar masa kini memiliki lebih banyak pengetahuan dari pelajar sebelumnya. Mereka telah mendapatkan semua hal yang dibutuhkan, segalanya lebih menyenangkan. Tetapi
mereka juga memiliki lebih banyak penderitaan dan kebingungan dibanding sebelumnya. Mengapa demikian? 118.
Jangan menjadi Bodhisatta, jangan menjadi Arahat, jangan menjadi apapun juga. Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita; bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita; bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita.
119.
Cinta dan benci sama-sama merupakan penderitaan karena nafsu. Menginginkan sesuatu merupakan penderitaan, menginginkan untuk tidak memiliki adalah penderitaan walaupun Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan, hal itu juga merupakan penderitaan. Karena sekali Anda mendapatkan, Anda akan hidup dengan perasaan takut kehilangan. Bagaimana Anda dapat hidup bahagia bersama ketakutan.
120.
Bila Anda sedang marah, apakah terasa baik atau buruk? Bila terasa buruk, mengapa tidak Anda jauhi? Mengapa terganggu dengan perasaan itu? Bagaimana Anda dapat mengatakan bahwa Anda bijak dan pandai bila Anda berpegang pada kondisi seperti itu? Suatu hari pikiran dapat menyebabkan seluruh keluarga bertengkar atau menyebabkan Anda menangis sepanjang malam. Dan, lalu , kita tetap terus marah dan menderita. Bila Anda melihat penderitaan dari kemarahan, buanglah. Bila Anda tidak membuangnya, akan tetap menyebabkan penderitaan, tanpa ada kesempatan untuk menghentikan. Dunia dari kehidupan yang tidak terpuaskan adalah seperti ini. Bila kita mengetahui jalannya, maka kita dapat menyelesaikan masalah
. 121.
Seorang wanita ingin mengetahui bagaimana mengendalikan kemarahan. Saya bertanya ketika kemarahan muncul, kemarahan siapakah itu? Dia menjawab, itu kemarahannya. Baik, bila itu kemarahannya, lalu dia seharusnya dapat memerintah kemarahan itu untuk pergi, bukankah demikian? Tetapi bukan kemampuannya untuk memerintah. Berpegang pada kemarahan sebagai milik pribadi hanya akan menyebabkan penderitaan. Bila penderitaan benar-benar milik kita, seharusnya menurut pada perintah kita. Bila kemarahan tidak menuruti kita, kemarahan hanyalah muslihat. Jangan terpancing. Bagaimanapun pikiran itu, sedih atau senang, jangan terpancing. Semua hanyalah muslihat.
122.
Bila Anda melihat kepastian dalam sesuatu yang tidak pasti, Anda terikat pada penderitaan.
123.
Sang Buddha selalu di sini mengajar. Lihatlah diri Anda. Terdapat kebahagiaan dan ketidakbahagiaan. Terdapat kesenangan dan penderitaan. Dan selalu ada di sini. Ketika Anda mengerti penderitaan dan kesenangan secara alami, Anda telah melihat Buddha, di sana Anda melihat Dhamma. Buddha tidak terpisah dari mereka.
124.
Merenungkan semuanya bersama-sama, kita melihat kebahagiaan dan penderitaan seimbang seperti panas dan dingin. Panas dari api dapat membakar kita hingga meninggal sedangkan dingin dari es dapat membekukan kita hingga meninggal. Tidak ada yang lebih kuat. Ini sama dengan kebahagiaan dan penderitaan. Di dunia, setiap orang menginginkan kebahagiaan dan tidak ada yang menginginkan penderitaan. Nibbana tidak memiliki keinginan. Hanya ada keseimbangan.
Guru 125. Anda adalah guru bagi diri Anda sendiri. Mencari guru tidak akan menyelesaikan keraguan Anda sendiri. Periksalah diri Anda untuk menemukan kebenaran- di dalam, bukan di luar. Mengenali diri Anda adalah sangat penting
126.
Salah seorang guru saya makan dengan cepat. Dia bersuara saat makan. Lalu ia berkata kepada kami agar makan dengan pelan dan penuh perhatian. Saya selalu melihatnya dengan perasaan kesal. Saya menderita dan ia tidak! Saya melihat keluar. Selanjutnya saya belajar bahwa beberapa orang berkendaraan sangat cepat tapi hati-hati; lainnya berkendaraan dengan lambat dan mengalami banyak kecelakaan. Jangan berpegang pada peraturan, pada kulit luarnya. Bila Anda melihat yang lainnya sekitar sepuluh persen dari waktumu dan melihat diri Anda sendiri sembilanpuluh persen dari waktumu, latihan Anda telah baik.
127.
Para siswa sulit untuk diajar. Beberapa orang mengetahui, tapi tidak berusaha untuk berlatih. Beberapa orang tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu. Saya tidak tahu harus berbuat apa pada mereka. Mengapa manusia memiliki pikiran seperti itu. Tidak baik menjadi orang yang tidak peduli. Walau saya memberitahunya, mereka tetap tidak mendengarkan. Manusia sungguh penuh dengan keraguan dalam latihannya. Mereka selalu ragu. Mereka ingin mencapai Nibbana tetapi tidak mau mengikuti Sang Jalan. Ini membingungkan. Ketika saya menyuruh mereka meditasi, mereka takut, dan bila tidak takut, mereka hanya mengantuk. Sebenarnya mereka suka melakukan hal yang tidak saya ajarkan. Inilah penderitaan menjadi guru.
128.
Bila kita dapat melihat kebenaran dari ajaran Sang Buddha secara mudah, kita tidak memerlukan banyak guru. Ketika kita mengerti ajaran-Nya, kita hanya melakukan apa yang diminta untuk dilakukan. Namun apa yang membuat orang menjadi kesulitan untuk belajar adalah bahwa mereka tidak menerima ajaran dan berdebat dengan guru dan ajarannya. Di depan guru, mereka bersikap sedikit lebih baik; tetapi di belakang guru, mereka menjadi maling. Orang-orang sangat sulit untuk diajar.
129.
Saya tidak mengajar murid-murid saya untuk hidup dan latihan tanpa perhatian. Tetapi itulah yang dilakukan saat saya tidak ada. Ketika polisi ada, maling bertingkah baik. Ketika polisi bertanya apakah ada maling, tentu saja mereka semua berkata tidak ada dan mereka tidak pernah melihatnya. Tetapi begitu polisi berlalu, mereka bertingkah lagi. Hal itu juga terjadi di zaman Sang Buddha. Jadi, lihatlah diri Anda sendiri dan jangan peduli dengan tingkah laku yang dilakukan orang.
130.
Guru yang sesungguhnya hanya berbicara mengenai latihan yang sulit untuk meninggalkan atau melepaskan ke-aku-an. Apapun yang terjadi, jangan meninggalkan guru. Biarkan guru membimbing Anda, karena mudah untuk melupakan Sang Jalan.
131.
Keraguan tentang guru Anda dapat membantu Anda. Ambillah dari guru Anda apa yang baik dan waspadalah pada latihan sendiri. Kebijaksanaan itu untuk Anda perhatikan dan kembangkan.
132.
Jangan percaya pada guru karena dia mengatakan buah itu manis dan lezat. Cicipi sendiri dan semua keraguan akan sirna.
133.
Guru adalah mereka yang menunjukkan arah Sang Jalan. Setelah mendengarkan guru, apakah kita berjalan atau tidak pada jalan tersebut dengan melakukan latihan sendiri dan mendapat buah dari berlatih, adalah tergantung kita masing-masin.
134.
Kadang-kadang, mengajar merupakan pekerjaan yang sulit. Seorang guru seperti tempat sampah, semua orang membuang frustasi dan masalahnya. Semakin banyak orang yang Anda ajar, semakin besar kapasitas tempat sampah masalah. Tetapi mengajar adalah cara yang menakjubkan untuk berlatih Dhamma. Mereka yang mengajar berkembang dalam kesabaran dan pengertian.
135.
Seorang guru tidak akan benar-benar menyelesaikan seluruh kesulitan kita. Dia hanyalah sumber untuk menyelidiki Sang Jalan. Dia tidak dapat membuat masalah jadi je las. Sebenarnya apa yang dikatakannya tidak layak untuk didengar. Sang Buddha tidak pernah mempercayai orang lain. Kita harus mempercayai diri sendiri. Hal ini sulit, ya, tetapi inilah yang seharusnya. Kita melihat keluar tetapi tidak pernah benar-benar memandang. Kita harus memilih untuk benar-benar berlatih. Keraguan tidak hilang dengan bertanya pada orang lain, tetapi melalui latihan terus-menerus.
Pengertian dan Kebijaksanaan 136. Tidak ada seseorang dan sesuatu yang dapat membebaskan Anda selain pemahaman diri Anda sendiri. 137.
Seorang yang gila dan seorang Arahat, keduanya tersenyum. Tetapi Arahat mengetahui mengapa tersenyum sedangkan orang gila tidak.
138.
Seorang yang pintar melihat yang lainnya, tetapi dia melihat dengan kebijaksanaan, tidak dengan kebodohan. Bila seseorang melihat dengan kebijaksanaan, orang itu akan banyak belajar. Tetapi seseorang yang melihat dengan kebodohan hanya akan menemukan kesalahan.
139.
Masalah sebenarnya pada manusia saat ini adalah mereka mengetahui tetapi tetap tidak melaksanakan. Masalahnya lain bila mereka tidak melaksanakan karena mereka tidak tahu. Tetapi bila mereka telah mengetahui dan tetap tidak melaksanakan; apa masalahnya?
140.
Pemahaman kitab suci dari kulitnya tidak penting. Tentu saja buku Dhamma adalah benar namun tidak betul. Buku Dhamma tidak dapat memberikan Anda pengertian yang tepat. Untuk melihat kata “amarah” yang tercetak tidak sama dengan merasakan kemarahan. Hanya merasakan dengan diri Anda sendiri dapat memberi Anda keyakinan sebenarnya.
141.
Bila Anda melihat hal-hal dengan pengertian benar maka tiada kemelekatan dalam hubungan hal-hal tersebut. Mereka datang --senang dan tidak senang– Anda melihatnya dan tanpa kemelekatan. Mereka datang dan pergi. Walau bila kekotoran batin yang terburuk muncul, seperti keserakahan dan kemarahan, ada cukup kebijaksanaan untuk melihat perubahan secara alami dan membiarkannya memudar. Bila Anda bereaksi, bagaimanapun, dengan menyukai atau tidak menyukai, itu bukanlah kebijaksanaan. Anda hanya menciptakan lebih banyak penderitaan untuk diri Anda sendiri.
142.
Ketika kita mengetahui kebenaran, kita menjadi orang yang tidak perlu banyak berpikir. Kita menjadi orang bijaksana. Bila kita tidak mengetahui, kita lebih banyak berpikir daripada menggunakan kebijaksanaan atau munkgin tanpa kebijaksanaan sedikitpun. Banyak berpikir tanpa kebijaksanaan adalah penderitaan luar biasa.
143.
Saat ini orang tidak mencari Kebenaran. Orang belajar hanya agar dapat memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup, memelihara keluarga dan menjaga diri mereka sendiri, itu saja. Bagi mereka menjadi pandai adalah lebih penting daripada menjadi bijaksana.
Kebajikan
144.
Berhati-hatilah menjaga sila kita. Kebajikan adalah inti dari rasa malu. Apa yang kita ragukan, seharusnya kita tidak lakukan atau katakan. Itulah kebajikan. Kemurnian melewati semua keraguan.
145.
Ada dua tingkat latihan. Tingkat pertama membentuk landasan, yaitu pengembangan kebajikan, sila, agar dapat membawa kebahagiaan dan harmonis di antara manusia. Tingkat kedua adalah latihan Dhamma dengan tujuan utama membebaskan batin. Pembebasan adalah sumber dari kebijaksanaan dan kasih sayang, dan ini tujuan sesungguhnya dari ajaran Sang Buddha. Mengerti kedua tingkatan ini adalah dasar dari latihan sebenarnya.
146.
Kebajikan dan moral adalah ayah dan ibu dari Dhamma yang berkembang dalam diri kita. Keduanya menyediakan Dhamma dengan memberikan kebutuhan dan bimbingan yang tepat.
147.
Kebajikan adalah dasar untuk dunia yang harmonis dimana manusia dapat hidup benarbenar sebagai manusia dan bukan sebagai binatang. Mengembangkan kebajikan adalah inti dari latihan. Jaga sila. Kembangkan cinta kasih dan hormati semua yang hidup. Sadarlah dalam semua perbuatan dan ucapan Anda. Gunakan kebajikan untuk membuat hidup Anda sederhana dan murni. Dengan kebajikan sebagai dasar dari segalanya yang Anda lakukan, pikiran Anda akan menjadi baik, jernih, dan tenang. Meditasi akan berkembang dalam lingkungan ini dengan mudah.
148.
Jagalah kebajikan Anda seperti seorang tukang kebun menjaga tanamannya. Jangan melekat pada yang besar atau kecil, penting atau tidak penting. Beberapa orang menginginkan jalan pintas. Mereka berkata,”Lupakan konsentrasi, kita langsung pada pandangan terang; lupakan kebajikan, kita mulai dengan konsentrasi.” Kita memiliki banyak alasan untuk kemelekatan kita.
149.
Usaha benar dan kebajikan bukanlah apa yang Anda lakukan di luar tetapi lebih merupakan kesadaran dan pengendalian diri secara tetap. Jadi, berdana, bila diberikan dengan perhatian yang baik, dapat membawa kebahagiaan pada diri sendiri dan orang lain. Tetapi kebajikan harus menjadi akar dari dana ini, agar menjadi murni.
150.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk menahan diri dari perbuatan buruk, lakukan perbuatan baik, dan sucikan hati. Lalu, latihan kita, adalah meninggalkan apa yang tidak berharga dan menyimpan apa yang berharga. Apakah Anda masih memiliki sesuatu yang buruk atau tidak terlatih dalam hati? Tentu saja! Lalu mengapa tidak membersihkannya? Tetapi latihan sebenarnya tidak hanya melepaskan yang buruk dan mengembangkan yang baik. Ini hanyalah bagian dari latihan. Pada akhirnya kita harus melewati keduanya, yang baik dan buruk. Akhirnya hanya ada kebebasan yang meliputi semua dan tanpa nafsu, darimana cinta dan kebijaksanaan mengalir secara alami.
151.
Kita harus memulai dari sini, dimana kita berada, secara langsung dan sederhana. Ketika dua langkah pertama, kebajikan dan pandangan benar, telah terlengkapi, lalu cara ketiga mengatasi kekotoran batin akan terjadi secara alami tanpa pertimbangan. Ketika cahaya dihasilkan, kita tidak lagi kuatir melewati kegelapan, tidak juga ingin tahu kemana kegelapan pergi. Kita hanya tahu bahwa ada cahaya.
152.
Ada tiga tingkatan dalam mempraktekan sila. Pertama, mengerjakan sebagai peraturan latihan yang diberikan guru kepada kita. Yang kedua muncul ketika kita mengerjakan dan mematuhi sila oleh kita sendiri. Tetapi untuk mereka yang ada di tingkat tertinggi, para siswa utama, adalah tidak penting untuk membicarakan sila, baik dan buruk.
Kebajikan sejati datang dari kebijaksanaan yang mengetahui Empat Kebenaran Mulia dalam hati dan bertingkah laku atas pemahaman ini . 153.
Beberapa bhikkhu lepas jubah untuk pergi ke garis depan dimana peluru berterbangan melewatinya setiap hari. Mereka lebih memilih hal itu. Mereka benar-benar ingin pergi. Mara bahaya menyergap di sekitar mereka dan mereka tetap saja bersedia untuk pergi. Mengapa mereka tidak melihat bahaya? Mereka siap mati dengan senjata api tetapi tidak ada yang mau mati untuk mengembangkan kebajikan. Hal ini benar-benar mengherankan, iya kan?
Serba-serbi 154. Salah seorang murid Ajahn Chah punya masalah pada lututnya yang hanya dapat disembuhkan melalui operasi. Biarpun para dokter telah menjamin bahwa lututnya akan sembuh dalam beberapa minggu, berbulan-bulan telah lewat dan tetap saja belum sembuh benar. Ketika ia bertemu Ajahn Chah lagi, ia mengeluh, ”Mereka bilang penyembuhannya tidak akan lama. Ini tidak berjalan semestinya.” Ajahn Chah tertawa dan berkata, “Bila hal ini tidak seharusnya begini, maka hal ini tidak akan menjadi begini.” 155.
Bila seseorang memberimu sebuah pisang yang besar, berwarna kuning, manis dan harum tetapi beracun, akankah Anda memakannya? Tidak, kan! Walaupun kita mengetahui bahwa kesenangan nafsu indera itu “beracun”, kita tetap saja maju dan “memakannya”!
156.
Lihatlah kekotoran batin Anda, kenalilah seperti Anda mengenal racun seekor kobra. Anda tidak akan menangkap ular kobra karena Anda mengetahui bahwa ular kobra itu dapat membunuh Anda. Lihatlah bahaya pada sesuatu yang berbahaya dan manfaatkan sesuatu yang berguna.
157.
Kita selalu merasa tidak puas. Dalam buah yang manis, kita merasa kurang asam; dalam buah asam, kita merasa kurang manis.
158.
Bila Anda memiliki sesuatu berbau busuk dalam saku Anda, kemanapun Anda pergi tetap saja akan berbau busuk. Jangan salahkan tempatnya.
159.
Agama Buddha di Timur, sekarang, seperti sebuah pohon besar terlihat penuh keagungan, tetapi hanya dapat memberi buah yang hambar dan kecil. Agama Buddha di Barat seperti pohon muda, belum mampu memberikan buah, tetapi memiliki potensi untuk memberikan buah yang besar dan manis.
160.
Orang zaman sekarang terlalu banyak berpikir. Terlalu banyak hal yang diminati, tetapi tidak ada satu pun yang membimbing mereka menuju penyelesaian yang benar.
161.
Hanya karena Anda mencoba dan menyebut alkohol sebagai “parfum” tidak berarti dapat membuatnya menjadi parfum, Anda tahu. Tetapi, Anda sekalian, ketika ingin minum alkohol, Anda berkata ini parfum, lalu Anda tetap meminumnya. Anda sudah gila!
162.
Orang selalu melihat ke luar, pada seseorang dan benda. Mereka melihat sebuah ruangan besar, sebagai contoh, lalu berkata, “Oh, ruangan ini sangat besar!” Sebenarnya tidak terlalu besar. Bagaimanapun terlihat besar, tergantung pada cara pandang Anda terhadapnya. Kenyataannya ruang besar ini memiliki ukuran semestinya, tidak besar maupun kecil. Orang, bagaimanapun juga, mengikuti perasaannya tiap saat. Mereka
sangat sibuk mencari dan berpendapat tentang apa yang dilihat dan tidak memiliki waktu untuk melihat dirinya sendiri. 163.
Beberapa orang merasa bosan, muak, letih berlatih dan malas. Kelihatannya mereka tidak dapat mempertahankan Dhamma dalam pikiran. Namun, jika Anda pergi dan memakinya, mereka tidak akan pernah lupa. Beberapa orang mungkin mengingatnya seumur hidup dan tidak pernah memaafkan Anda untuk itu. Tetapi ketika hal itu berkenaan pada ajaran Buddha, mengajarkan kepada kita untuk bersikap tenang, tetap terkendali, berlatih sungguh-sungguh, mengapa mereka tetap melupakan akan hal ini? Mengapa orang tidak menyimpannya di dalam hati?
164.
Menganggap diri kita lebih baik daripada orang lain adalah tidak benar. Menganggap bahwa diri kita sejajar dengan lainnya adalah tidak benar. Menganggap bahwa diri kita lebih rendah dari orang lain adalah tidak benar. Bila kita menganggap bahwa kita lebih baik daripada yang lainnya, kesombongan akan muncul. Bila kita berpikir bahwa diri kita sederajat dengan yang lainnya, kita gagal untuk menunjukkan hormat dan rendah hati pada waktu yang tepat. Bila kita berpikir lebih rendah dari orang lain, kita menjadi tertekan memikirkan kita lebih rendah, terlahir di bawah naungan bintang yang buruk dan sebagainya. Lepaskanlah semuanya!
165.
Kita harus belajar untuk membiarkan suatu keadaan dan tidak mencoba untuk melawan atau menahannya. Kita berharap agar kondisi sesuai dengan keinginan kita. Kita mencari segala cara untuk menghadapinya. Jika tubuh jatuh sakit dan menderita , kita tidak ingin seperti ini, lalu kita mencari berbagai sutta untuk dibaca. Kita ingin mengontrolnya. Pembacaan sutta ini menjadi semacam upacara mistik, membuat kita semakin terjerat dalam kemelekatan. Hal ini karena kita membaca paritta untuk mengusir penderitaan, memperpanjang umur dan sebagainya. Sebenarnya Sang Buddha memberi kita ajaran ini untuk membantu kita mengenal kebenaran dari tubuh, sehingga kita dapat membiarkan seperti apa adanya dan melepaskan keinginan kita, tetapi kita justru membacakan paritta untuk meningkatkan kekotoran batin.
166.
Kenalilah tubuh Anda sendiri, hati, dan pikiran. Puaslah terhadap hal yang kecil. Jangan melekat pada ajaran. Jangan terpaku dan terikat pada emosi.
167.
Beberapa orang takut berdana. Mereka merasa bahwa mereka akan diperas atau ditekan. Selain mengembangkan dana, kita hanya menekan keserakahan dan kemelekatan. Hal ini membiarkan sifat alami kita menunjukkan dirinya dan menjadi lebih ringan dan bebas.
168.
Bila Anda keluar dan menaruh api di rumah tetangga, api itu akan membakar. Bila Anda menaruh api di rumah Anda sendiri, seperti hal sebelumnya, api itu akan membakar. Jadi jangan menaruh api yang dapat membakar Anda, tidak peduli apa dan dimana.
169.
Orang luar mungkin menyebut kami gila, hidup di hutan seperti ini, duduk seperti patung. Tetapi bagaimana mereka hidup? Mereka tertawa, menangis, mereka telah terperangkap pada ketamakan dan kebencian sampai-sampai mereka membunuh dirinya sendiri atau satu dengan lainnya. Siapa yang sebenarnya gila?
170.
Tidak hanya mengajar umat, Ajahn Chah juga melatih mereka dengan menciptakan suatu lingkungan umum dan situasi tertentu dimana mereka dapat belajar tentang diri sendiri. Ia akan berkata, “Terhadap apa yang telah saya ajarkan, mungkin Anda mengerti 15%.” Atau “Ia telah menjadi bhikkhu selama lima tahun, jadi ia mengerti 5%.” Seorang bhikkhu yang lebih muda menanggapi kata-kata terakhirnya, “Jadi saya
memiliki 1%, saya sudah di sini selama setahun.” “Tidak.” jawab Ajahn Chah. “Empat tahun pertama Anda tidak memiliki apapun, lalu pada tahun kelima, Anda memiliki 5%.” 171.
Suatu ketika salah satu murid Ajahn Chah ditanya apakah ia berencana melepas jubah, apakah ia akan meninggal dengan jubah kuningnya. Murid itu berkata bahwa hal itu sangat sulit untuk dipikirkan, walaupun ia tidak berencana lepas jubah, ia benar-benar tidak dapat memutuskan bahwa ia tidak akan melakukannya. Ketika ia melihat lebih dalam, katanya, pikirannya serasa tidak berarti. Ajahn Chah menjawab dengan berkata, “Segala yang tidak berarti adalah Dhamma yang sebenarnya.”
172.
Ketika seseorang bertanya pada Ajahn Chah mengapa begitu banyak kejahatan di Thailand, sebuah negara Buddhist, atau mengapa Indochina begitu berantakan. Katanya, “Bukan umat Buddha yang melakukan segala hal tersebut. Bukan pula ajaran agama Buddha yang melakukan. Orang-orang itulah yang melakukan. Sang Buddha tidak pernah mengajarkan begitu.”
173.
Suatu ketika seorang pengunjung bertanya pada Ajahn Chah apakah ia seorang Arahat. Ajahn Chah menjawab, “Saya seperti pohon di hutan. Burung datang ke pohon, hinggap di dahan, dan makan buah. Bagi burung, buahnya mungkin manis atau asam atau lainnya. Tetapi pohon itu tidak mengetahui apapun. Burung itu berkata manis atau berkata asam, tetapi dari sudut pandang pohon itu, hal ini hanyalah celoteh burung.”
174.
Seseorang berkomentar, “Saya dapat memperhatikan keinginan dan kemalasan dalam pikiran saya, tetapi sulit untuk meneliti khayalan.” “Anda menunggang kuda dan bertanya kemana kuda itu?” jawab Ajahn Chah.
175.
Beberapa orang menjadi bhikkhu tanpa keyakinan namun kemudian menjelek-jelekkan ajaran Sang Buddha. Mereka tidak mengetahui dirinya lebih baik. Orang yang benarbenar berlatih sedikit saat ini karena mereka harus mengatasi banyak rintangan. Tetapi bila hal itu tidak baik, biarkan mati; bila tidak mati, buatlah menjadi baik.
176.
Anda berkata Anda mencintai kekasih Anda seratus persen. Baik, buatlah terbalik dan lihat berapa persen dari dia yang tetap Anda cintai. Atau bila Anda merindukan kekasih Anda saat tidak bersama, mengapa tidak meminta padanya untuk mengirimkan sebotol kecil kotorannya. Dengan cara ini, ketika Anda memikirkan keberadaannya, Anda dapat membuka botol itu dan menciumnya. Menjijikan? Apakah itu yang Anda cintai? Apakah yang membuat hati Anda tertumbuk seperti penumbuk padi, setiap seorang wanita bergaya menarik datang menghampiri atau Anda mencium parfumnya di udara? Apakah itu? Apakah dorongan itu? Mereka menarik dan menghisap Anda kedalamnya, tetapi Anda tidak berusaha berjuang, betulkah? Ada harga yang harus dibayar akhirnya, kenalilah!
177.
Suatu hari Ajahn Chah terhadang sebuah dahan besar dan berat yang merintangi jalan dan ia mau menyingkirkannya. Ia menyuruh muridnya untuk memegang salah satu sisi sedang ia mengangkat sisi lainnya. Ketika mereka memegang dahan tersebut dan siap untuk melemparkannya, ia memandang (muridnya) dan bertanya, “Apakah berat?” Dan setelah mereka melemparnya ke hutan, ia bertanya kembali, “Sekarang, apakah berat?” Seperti inilah yang diajarkan Ajahn Chah pada muridnya untuk melihat Dhamma pada setiap hal yang mereka katakan dan lakukan. Dalam kasus ini, ia menunjukkan keuntungan “melepaskan.”
178.
Seorang murid Ajahn Chah sedang melepas kabel radio tape ketika tiba-tiba secara tanpa sengaja menyentuh bagian logam dari kabel itu ketika sedang tercolok. Ia terkejut
dan menjatuhkannya seketika. Ajahn Chah memperhatian dan berkata, “Oh! Bagaimana kau dapat melepaskannya dengan mudah? Siapa yang menyuruh?” 179.
Saat Natal, para bhikkhu asing memutuskan untuk merayakannya. Mereka mengundang beberapa umat awam dan juga Ajahn Chah untuk bergabung bersama. Umat awam umumnya kecewa dan tidak menyetujui hal tersebut. Mengapa, mereka bertanya, umat Buddha merayakan Natal? Ajahn Chah memberikan komentar mengenai agama dengan berkata, “Selama yang saya mengerti, umat Kristen mengajarkan orang untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan, seperti ajaran Buddha, lalu apa masalahnya? Namun, bila orang kecewa dengan ide merayakan Natal, hal ini dapat dengan mudah diatasi. Kita tidak akan menyebutnya Natal. Katakanlah saja “NatalBuddha.” Apa saja yang dapat menginspirasikan kita untuk melihat apa yang benar dan melakukan apa yang baik adalah latihan yang pantas. Anda dapat menyebutnya dengan sebutan apa saja yang Anda suka.”
180.
Selama pengungsi membanjiri Thailand dari Laos dan Kamboja, organisasi kemanusiaan yang datang menolong begitu banyak. Hal ini membuat para bhikkhu dari Barat berpikir adalah tidak benar para bhikkhu dan bhikkhuni hanya duduk di hutan sedangkan organisasi beragama lainnya dengan aktif berpartisipasi meringankan penderitaan para pengungsi. Lalu mereka menghampiri Ajahn Chah untuk mengungkapkan keperduliannya dan inilah yang dikatakan, “Membantu di tenda pengungsian adalah baik. Adalah seharusnya tugas kita sebagai manusia untuk saling membantu. Tetapi melewati kegila an sendiri agar kita dapat membawa orang lain melewatinya, itulah satu-satunya penyembuhan. Setiap orang bisa pergi dan membagikan pakaian dan membangun tenda, tetapi berapa yang dapat datang ke hutan dan duduk untuk mengenali pikirannya? Selama kita tidak tahu bagaimana cara “memberi pakaian” dan “memberi makan” pikiran orang, selalu akan ada masalah pengungsi dimana saja di dunia ini.”
181.
Ajahn Chah mendengar salah seorang muridnya mengumandangkan Sutra Hati. Ketika telah selesai, Ajahn Chah berkata, “Tidak ada kekosongan juga... tidak ada Bodhisatta.” Lalu Beliau bertanya, “Darimana sutra itu berasal?” “Hal ini telah dianggap sebagai sabda Sang Buddha.” jawab pengikutnya. “Tidak ada Buddha.” tegas Ajahn Chah. Lalu ia berkata, “Ini adalah pembicaraan mengenai kebijaksanaan yang dalam, melampaui semua kebiasaan. Bagaimana kita mengajar tanpa mereka? Kita harus memberikan nama untuk semua hal, bukankah begitu?”
182.
Untuk menjadi orang suci, kita harus mengalami perubahan sampai hanya tubuh saja yang tertinggal. Pikiran berubah seluruhnya tetapi tubuh masih ada. Masih terdapat panas, dingin, sakit, dan penderitaan seperti biasanya. Tetapi pikiran telah berubah dan sekarang melihat kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian dalam cahaya kebenaran.
183.
Seseorang pernah bertanya pada Ajahn Chah untuk membicarakan tentang Penerangan; dapatkah ia menjelaskan Penerangannya? Saat semua orang dengan antusias mendengar jawabannya, Ajahn Chah menjawab, “Penerangan tidak sulit untuk dimengerti. Ambillah pisang dan letakkan di mulut Anda, lalu Anda akan mengetahui seperti apa rasanya. Anda harus berlatih untuk merealisasi, dan Anda harus tekun. Bila sangat mudah untuk mengalami Penerangan, setiap orang telah melakukannya. Saya mulai mendatangi vihara ketika saya berumur delapan tahun, dan saya telah menjadi bhikkhu selama lebih dari empatpuluh tahun. Tetapi Anda mau bermeditasi dalam semalam atau dua malam dan langsung mencapai Nibbana. Anda tidak hanya duduk dan –sim salabim- jadilah Anda. Anda tahu, Anda tidak dapat meminta seseorang untuk meniup kepala Anda dan juga membuat Anda mencapai Penerangan.
184.
Cara duniawi adalah melakukan sesuatu dengan alasan untuk mendapatkan sesuatu sebagai balasan. Tetapi dalam agama Buddha kita melakukan sesuatu tanpa menginginkan keuntungan. Tetapi jika kita tidak menginginkan apapun, apa yang akan kita peroleh? Kita tidak mendapatkan apa-apa! Apa pun yang kita peroleh hanyalah sebab dari penderitaan, jadi kita berlatih untuk tidak mendapatkan apa-apa. Buatlah pikiran damai dan lakukan dengan pikiran damai.
185.
Sang Buddha mengajarkan untuk meletakkan segala sesuatu tanpa inti yang kekal. Bila Anda meletakkan segala sesuatu, Anda akan melihat kebenaran. Jika tidak, Anda tidak akan melihatnya. Dan ketika kebijaksanaan muncul bersama Anda, Anda akan melihat Kebenaran kemanapun anda melihat. Kebenaran adalah semua yang Anda lihat.
186.
Batin yang ‘kosong’ tidak berarti batin kosong seperti tidak ada apa-apanya di dalam. Batin tersebut kosong dari keburukan tetapi dipenuhi dengan kebijaksanaan.
187.
Orang-orang tidak merenungkan usia tua, penyakit, dan kematian. Mereka hanya suka berbicara tentang anti-penuaan, tanpa penyakit, dan tanpa-kematian. Mereka tidak pernah mengembangkan perasaan yang benar untuk berlatih Dhamma.
188.
Kebahagiaan sebagian besar orang tergantung pada hal-hal yang sejalan dengan kehendak mereka. Mereka harus dikelilingi orang yang hanya mengatakan hal-hal yang menyenangkan. Begitukah cara Anda untuk menemukan kebahagiaan? Apakah mungkin dikelilingi orang dalam dunia ini yang hanya berbicara hal-hal yang menyenangkan? Jika demikian, kapan Anda akan menemukan kebahagiaan?
189.
Pohon, gunung, dan tanaman; semuanya hidup menurut kebenarannya sendiri. Mereka lahir dan mati mengikuti sifat alaminya; mereka tetap tenang. Tetapi manusia tidak. Mereka mengeluh terhadap semua hal. Tetapi tubuh hanya mengikuti sifat alaminya: lahir, tumbuh menjadi tua, dan akhirnya mati. Jika mengikuti sifat alami, dengan cara ini. Barang siapa berharap sebaliknya, maka orang tersebut hanya akan menderita.
190.
Janganlah berpikir bahwa dengan banyak belajar dan banyak mengetahui, Anda akan mengetahui Dhamma. Ini seperti mengatakan Anda telah melihat segala sesuatu yang dapat dilihat hanya karena Anda punya mata. Atau Anda telah mendengar segala sesuatu yang dapat didengar karena Anda punya telinga. Anda mungkin melihat namun Anda tidak benar-benar melihat. Anda hanya melihat dengan ‘mata luar’, tidak dengan ‘mata dalam’. Anda mendengar dengan ‘telinga luar’, tidak dengan ‘telinga dalam’.
191.
Sang Buddha mengajarkan kita untuk menghentikan segala bentuk kejahatan dan meningkatkan kebajikan. Inilah jalan yang benar. Mengajar dengan cara ini adalah seperti Sang Buddha memungut kita dan meletakkan kita di awal jalan. Setelah mencapai jalan, apakah kita berjalan di sepanjang jalan atau tidak, tergantung pada kita. Tugas Sang Buddha telah selesai di sana. Beliau menunjukkan jalan, inilah yang benar dan inilah yang salah. Ini sudah cukup, sisanya tergantung pada diri kita.
192.
Anda harus tahu Dhamma untuk diri sendiri. Mengetahui untuk diri sendiri artinya berlatih untuk diri sendiri. Anda dapat tergantung pada seorang guru hanya limapuluh persen dari seluruhnya. Bahkan ajaran yang saya berikan kepada anda tidak berguna sepenuhnya, walaupun itu berharga untuk didengar. Tetapi jika Anda mempercayainya hanya karena saya yang mengatakan maka Anda tidak akan menjalankan ajaran tersebut secara baik. Jika Anda percaya pada saya sepenuhnya maka Anda bodoh. Dengarkan ajaran, lihat manfaatnya, praktekan ajaran tersebut untuk dirimu sendiri, lihatlah di dalam dirimu … maka hal itu lebih berguna.
193.
Kadang-kadang ketika melakukan meditasi berjalan, gerimis mulai turun. Saya ingin segera mengakhiri dan pergi ke dalam, tetapi kemudian saya berpikir ketika saya bekerja di sawah. Celana saya menjadi basah sejak hari sebelumnya tetapi saya harus bangkit sebelum subuh dan memakainya kembali. Kemudian, saya harus turun ke bawah rumah untuk membawa kerbau ke luar kandang. Banyak Lumpur di sana. Saya meraih talinya yang tertutup kotoran kerbau. Kemudian, kerbau mengibaskan ekornya dan menebarkan kotorannya kearah saya. Kaki saya akan terkena kutu air dan saya berjalan sambil berpikir, “Mengapa hidup sangat tidak menyenangkan?” Dan sekarang, di sini saya ingin menghentikan meditasi berjalan … apa artinya sedikit gerimis untuk saya? Dengan berpikir seperti itu, saya membesarkan hati saya untuk latihan.
194.
Saya tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Kita membicarakan mengenai sesuatu yang dikembangkan dan dilepaskan, tetapi sebenarnya tidak ada yang dikembangkan dan tidak ada yang dilepaskan.
Undangan Apa yang telah saya katakan hingga sekarang hampir seluruhnya hanya berupa kata-kata yang biasa. Ketika orang datang bertemu dengan saya, saya harus mengatakan sesuatu. Tetapi lebih baik tidak membicarakan mengenai hal ini terlalu banyak. Lebih baik mulai berlatih tanpa menunda. Saya seperti teman baik mengundang Anda untuk pergi ke suatu tempat. Jangan ragu, lakukanlah. Anda tidak akan menyesalinya. Daftar Kata/Istilah Kecuali memiliki makna lainnya, semua kata di bawah adalah bahasa Pali. Ajahn: (Thailand) Guru. Anagami: “Tidak kembali.” Tahap ketiga dalam merealisasikan Nibbana. Arahat: “Yang Suci.” Sebuah Penerangan yang terbebaskan dari segala kekotoran batin dengan merealisasikan Nibbana dalam tahap keempat dan yang terakhir, yang telah bebas dari kelahiran kembali. Bodhisatta: Dalam aliran Theravada, hal ini mengacu pada mahluk yang bertekad kuat untuk mencapai Penerangan. Dhamma: Ajaran Sang Buddha, Kebenaran sejati. Empat Kebenaran Mulia: Ajaran pertama Sang Buddha, dimana Beliau menjelaskan kebenaran dari penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan jalan menuju akhir penderitaan. Kamma: kehendak untuk bertindak. Nibbana: Penerangan Sempurna --bentuk batin dimana keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin seluruhnya telah musnah total. Siswa Utama: mereka yang telah mencapai satu dari empat tahap Penerangan: Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Sakadagami: “Terlahir sekali lagi.” Tahap kedua dalam perealisasian Nibbana. Samsara: Lingkaran kelahiran kembali. Sotapanna: “pemasuk-arus.” Tahap pertama dalam merealisasi Nibbana. Wat: (Thailand) Kuil, Vihara.
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Potret Islam Sinkretisme: Praktik Ritual Kejawen?1 Sulkhan Chakim *) *)
Penulis adalah Magister Agama (M.Ag.), dosen tetap Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto.
Abstract: Javanese people, usually called Kejawen people, believe that all religions teach good values and spiritual purity to reach perfection in life. They train their spiritual life and inner sense to achieve the highest existence of a human being. When the preaching of Islam came to Java, their rituals and religious practices were influenced by the new values of Islam. Through some dialogical processes, then occurs syncretism as a form of their religious and ritual practices. Keywords: Kejawen, ritual, syncretism.
PENDAHULUAN Pembahasan ini bermaksud mengkaji tradisi masyarakat Jawa, yang sering disebut dengan masyarakat kejawen, yang dalam hal ini, dunia mereka lebih mementingkan dunia rasa atau batin daripada dunia nyata. Oleh karena itu, memahami dunia mistik merupakan suatu perjalanan yang berangkat dari suatu pengalaman eksternal psikologis dan melibatkan kesadaran diri, yang sangat dalam. Dunia masyarakat kejawen memiliki praktik ritual tertentu, yaitu laku batin sebagai bentuk ritual yang dilakukan oleh para pengikut atau perkumpulan kebatinan. Praktik-praktik ritual dalam tradisi Jawa, yang disebut praktik mistis tersebut sangat terlihat, khususnya di daerah atau wilayah Jawa Tengah bagian Selatan, yang sampai saat ini masih kuat. Di daerah ini, berkembang banyak varian aliran kejawen yang berkembang, corak dari sistem keyakinan dan ekspresi keberagamaan (ritual) yang tergolong unik. Selanjutnya, ketika dakwah Islam menatap masyarakat kejawen, di sana terjadi proses dialogis dengan budaya lokal tersebut sehingga melahirkan keberagamaan “sinkretisme” yang pada gilirannya disebut Islam Abangan atau adat kejawen.
AGAMA: SISTEM KEPERCAYAAN ATAU KEYAKINAN, MAGIS, RITUAL, DAN SIMBOL Sistem Kepercayaan atau Keyakinan Istilah agama dianggap sebagai kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti “tidak kacau”. Hal itu mengandung pengertian sebagai suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Namun demikian, jika dipahami secara sosiologis, agama dimaknai sebagai gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, dan merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial sekaligus bagian dari sistem sosial masyarakat, serta sebagai suatu unsur dari kebudayaan.2 Berbeda dengan J. Milton, Yinger melihat agama sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik religi suatu masyarakat atau kelompok manusia yang berjaga-jaga dalam menghadapi masalah terakhir dari hidup. Senada dengan pendapat Dunlop, ia melihat agama sebagai suatu institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia. Sistem keyakinan suatu religi atau agama dapat berwujud seperti konsep-konsep atau gagasan yang menyangkut tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta, yaitu keyakinan yang bersifat kosmogoni (alam dunia) dan eskatologi (akhirat). Sistem ini biasanya terdapat dalam teks suci yang tertulis atau diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya.3
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
KOMUNIKA Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009 pp.1-9
ISSN: 1978-1261
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Sebagai individu dalam masyarakat, manusia dalam menjalankan agama tentunya atas dasar kesadaran diri melalui berbagai pertimbangan dalam proses kehidupannya. Pertimbangan berupa nilai-nilai menjadi suatu kepercayaan yang dimiliki setiap individu. Oleh karena itu, kepercayaan merupakan salah satu unsur yang sangat urgen dalam agama yang sangat urgen. Kepercayaan tersebut, menurut Malinowski, dapat mempengaruhi perasaan, sikap, dan hubungan yang diungkapkan tidak memiliki tujuan selain dalam dirinya sendiri, yakni dalam bentuk pemujaan yang tidak dapat dinalarkan.4 Menurut E.Bethe, kepercayaan atau keyakinan dapat mempengaruhi sikap atau perasaan individu. Kepercayaan tersebut dapat berasal dari mitos dan rasional. Mitos merupakan bentuk pengungkapan intelektual yang primordial dari berbagai sikap dan kepercayaan keagamaan.5 Dengan mitos, manusia menghubungkan diri dengan berbagai persoalan yang berkaitan dengan lingkungan, tempat-tempat yang dianggap keramat atau suci, roh nenek moyang, ataupun cerita-cerita masyarakat yang dianggap misteri atau sesuatu yang berada di luar jangkauannya. Sistem itu yang mendasari cara pandang masyarakat terhadap keberadaan sesuatu, dan kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi sikap perubahan yang ada. Kepercayaan terhadap agama sangat ditentukan oleh pengalaman keagamaan seorang atau individu masyarakat. Suatu yang menarik adalah persoalan yang dianggap “suci” dalam keagamaan seseorang. Sementara itu, ide tentang sesuatu yang dianggap “suci”, menurut Emile Durkheim, adalah mengkaji agama dengan membuat permisalan-permisalan dan menggolongkan semua pengalaman manusia ke dalam dua kategori yang mutlak bertentangan, yakni pengalaman yang suci dan profan. Dalam hal ini, ada beberapa karakteristik yang mempengaruhi manusia, antara lain: sesuatu yang suci sebagai aspek pengalaman atau apa yang dialami, menyerukan suatu pengakuan atau kepercayaan pada kekuasaan atau kekuatan, hal yang suci ditandai oleh kekaburan. Kekuatan suci berfungsi untuk memperkuat dan mempertahankan hidup, sikap keagamaan memperkuat penganutnya, dan meningkatkan rasa percaya diri, serta sesuatu yang suci menyampaikan kewajiban-kewajiban kepada penganut dan pemujanya.6
Persoalan Magis Teori fungsional memandang bahwa kontribusi agama terhadap masyarakat dan kebudayaan berdasarkan pada karekteristik urgensinya, yakni transendensi pengalaman sehari-harinya terhadap lingkungan alam atau kekuatan yang berada di dunia non empiris. Teori ini memandang bahwa kebutuhan tersebut sebagai hasil dari tiga karakteristik dasar eksistensi manusia yang mencakup: pertama, manusia hidup dalam kondisi ketidakpastian; kedua, kondisi manusia dalam kaitan konflik antara keinginan dengan lingkungan atau istilah lain ketidakberdayaan manusia; dan ketiga, manusia harus hidup bermasyarakat, dan masyarakat merupakan lokasi yang teratur bagi individu dari berbagai fungsi, fasilitas, dan ganjaran, atau dengan kata lain, dihadapkan dengan kelangkaan dalam kebutuhan hidupnya.7 Diskusi tentang magis dan agama menunjukkan bahwa magis dapat memberikan kontribusi moral atau etika manusia karena pada kondisi tertentu manusia tidak mampu mengubah kondisi yang dipandang mengecewakan, atau bahkan tak berdaya. Dengan bantuan kekuatan adikodrati diharapkan dapat menyelesaikannya. Fungsi magis ini ditentukan oleh Malinowski, tidak melemahkan hubungannya dengan struktur dan proses sosial.8 Persoalan magis dalam agama merupakan unsur yang lazim adanya dan menjadi suatu yang unik diperdebatkan. Dalam magis, ada seperangkat kegiatan manusia yang agama dan dengan magis dimungkinkan manusia bisa menyesuaikan diri dengan kekecewaan, deprivasi, frustrasi, penyakit, dan kematian. Usaha-usaha manusia untuk mengatasi persoalan tersebut, selalu berhubungan roh-roh yang dianggap suci, dan bahkan dengan menggunakan kesaktian, baik berupa jimat atau benda yang dianggap memiliki kekuatan. Kadangkala dengan pendekatan upacara keagamaan ritus magis yang dilakukan oleh para pemuka, maupun pemeluk setia suatu agama dalam rangka untuk memecahkan setiap persoalan yang dihadapi. Kegiatan ritus tersebut sebagai upaya penegasan, bahwa norma-norma keagamaan dapat dijadikan sebagai landasan berpikir dalam menyelesaian suatu masalah. Jadi, dengan norma agama magis dapat berfungsi sebagai pengendali sosial yang sangat positif.
Persoalan Ritual dan Sistem Simbol Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
KOMUNIKA Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009 pp.1-9
ISSN: 1978-1261
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Agama-agama yang datang di tanah Jawa sebelum agama Islam sangat berpengaruh terhadap adat-istiadat, pandangan hidup, sistem keyakinan, dan berbagai tata-cara keagamaan dalam kehidupan sehari-harinya. Beberapa fenomena yang muncul dari kepercayaan mereka adalah kepercayaan pemujaan terhadap para dewa, atau para dayang, dan berbagai hantu. Kepercayaan dan praktik keagamaan ini dapat dilihat pada kegiatan upacara atau ritual dan sesaji sebagai simbol ketaatan kepada para dewa. Dalam jenis sesajian ini, setidaknya masyarakat Jawa pada ummnya mengenal 4 (empat) jenis sesajian,9 antara lain: (1) sesajian dalam bentuk selamatan yang diperuntukkan kepada para roh-roh yang dianggap suci dan dihormati, (2) sesajian dalam bentuk penulakan. Sesajian yang bertujuan untuk menolak mara bahaya dari pengaruh ro-roh jahat, (3) sesajian dalam bentuk Wadima. Sesajian yang dilakukan secara rutin yang diperuntukkan para wali, jin-jin, bidadari, dan lainlain, dan (4) sedekah sesajian berupa makanan yang bertujuan untuk keselamatan orang yang sudah meninggal. Unsur agama tidak lepas dari pemujaan (cult) yang merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan objek tertentu yang dianggap suci. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Malinowski, bahwa perasaan, sikap, dan hubungan yang memiliki nilai misteri yang terkait dengan dirinya sehingga tidak dapat dirasionalisasikannya.10 Sementara itu, teori W Robertson Smith (1846-1894) membahas tentang sesaji. Menurut pendapatnya, masalah sesaji ini perlu diteliti di samping masalah subtansi keyakinan. Pendapatnya, sesaji menarik jika dilihat dari sisi ritualnya yang ajeg, sementara doktrinnya berubah. Di samping itu, pelaksanaan ritualnya memiliki makna sosial yang amat tinggi. Sebagian pelakunya ada yang sadar bahwa ini adalah “perintah” atau tuntutan dan atas keyakinannya, tetapi ada juga yang melaksanakannya karena sudah menjadi tradisi atau kebiasan anggota masyarakatnya.11 Selanjutnya, menurut Preusz, sesaji atau ritual ini dilakukan karena keterbatasan manusia sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan untuk keperluan hidupnya.12 Akan lebih jauh lagi fungsinya, jika diperdepatkan oleh pendapat Gennep, dalam bukunya dalam Pessage de Rites, mengatakan bahwa ritus-ritus dan upacara religi pada dasarnya berfungsi sebagai penyemangat kehidupan. Penyemangat dalam bentuk ritus-ritus juga biasa diberikan kepada tahap-tahap pertumbuhan individu seperti lahir, kanak-kanak, menikah, menjadi tua, hingga meningggal dunia.13 Dalam pandangan Gennep, bahwa ritus dan upacara itu dibagi menjadi tiga, yakni pertama, perpisahan (sparation), ritus ini dalam bentuk upacara kematian. Kedua, peralihan (marge), adalah ritus yang berkaitan dengan peralihan tahap seperti upacara hamil tujuh bulan atau mithoni. Ketiga, integrasi. Upacara kegiatan ini seperti dalam acara selamatan kelahiran, pernikahan, dan pergantian musim.14
KEAGAMAAN ORANG JAWA ATAU KEJAWEN Masyarakat atau sekelompok manusia yang terlembaga pasti memiliki pandangan tertentu terhadap keyakinan agamanya, seperti halnya orang Jawa. Sebagian orang Jawa memandang bahwa semua agama itu sama baiknya karena seluruh agama mengajarkan keluhuran budi dan kesucian rokhani untuk mendapatkan kesempurnaan hidup. Bagi orang Jawa, yang dalam hal ini disebut dengan kejawen, adalah masyarakat yang memiliki pendekatan kebatinan atau rasa dalam diri manusia untuk mencapai eksistensi yang tinggi sebagai manusia. Tentunya, mencakup pandangan orang Jawa terhadap dunia Jawa, laku, dan olah batin bagi kejawen. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai ciptaan yang terbaik karena kesempurnaannya yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Dengan berbagai kelebihannya, manusia yang pada dasarnya memiliki fitrah, yaitu bahagia. Kesempurnaan manusia adalah takdir bawaan yang memerlukan hubungan yang harmonis antara kesadaran dengan kasih sayang Tuhan. Sementara itu, manusia sebagai makhluk yang terdiri dari fisik dan psikis, sebagaimana dinyatakan oleh Magnis Suseno, bahwa pandangan dunia Jawa bertolak dari perbedaan antara dua segi fundamental realitas, yaitu segi lahir dan segi batin.15 Segi batin dalam pandangan orang Jawa atau kejawen merupakan sikap subjektivitas atau lebih ditekankan pada rasa dalam pencapaian kesempurnaan. Oleh karena itu, semakin tinggi kekuatan rasanya, maka kebenaran dalam kesempurnaan akan semakin tajam. Kaitan dengan masalah lahir dan batin, Niels Mulder menyatakan bahwa inti penting dari kejawen adalah kebatinan, yaitu elaborasi kehidupan batin dan diri manusia.16 Dengan demikian, orang kejawen memiliki tujuan yang tertinggi sebagai Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
KOMUNIKA Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009 pp.1-9
ISSN: 1978-1261
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
manusia yang memiliki kesempurnaan hidup melalui praktik olah batin. Olah batin sebagai proses harmonisasi menuju ketenangan, kebahagiaan, dan kejujuran dalam hidup untuk menuju sangkan paran kang dumadhi. Salah satu aliran kejawen, yaitu Pangestu memiliki ajaran Trisila, yang merupakan ajaran penyembahan dari hati dan pikiran terhadap tripurusa. Ajaran Trisila adalah Eling yang berarti sadar atau ingat. Kesadaran berarti membuat manusia merasa bahwa dirinya ada dan sedang melakukan sesuatu. Eling kepada Tripurusa berarti ingat bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk selalu taat kepada Tuhan Sang Pencipta. Pracaya, yaitu sesuatu yang mutlak diperlukan, jika manusia ingin menyatu dengan Tuhan. Mituhu, berarti taat melaksanakan perintah Tuhan.17 Sementara itu, kelompok Cahyo Buwono memiliki pandangan keagamaan lebih mengutamakan hasil penghayatan, yang diwujudkan pada tindakan yang baik dan berguna bagi kemaslahatan orang banyak dan merasa sebagai kawula dan ciptaan Tuhan. Tuhan adalah Sang Pencipta Alam Semesta yang disebut Gusti Ingkang Murbeng Dumadi.18 Berdasarkan hasil penelitian Sulkhan Chakim,19 ada pandangan dan praktik ritual masyarakat kejawen, sebagai berikut: Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam terminologi kejawen disebut dengan Gusti Allah. Komunitas adat kejawen Kalisalak mempercayai Gusti Allah yang mengatur alam semesta dan memberi kehidupan di dunia ini, menurut mantan Ki Kunci Ritam: “Gusti Allah niku mboten wonten wujude, Gusti sing wujud lan sing ora wujud. Sing ora wujud kula percaya marang awake dhewe, artine Gusti Allah iku ana ing awake dhewe” (Tuhan itu tidak berwujud, Tuhan yang berwujud dan yang tidak berwujud. Yang tidak berwujud, saya percaya kepada diri sendiri artinya Tuhan itu ada dalam hati kita). Pencarian kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dilakukan dengan berbagai laku atau nyepi di makam-makam yang dianggap keramat, bahkan berdasar pengakuan Ki Kunci Ritam, sebagai berikut: “Kawula sering mlampah dumugi Tasik, Bandung lajeng kawula sowan wonten makam-makam utawi kuburankuburan ing tanah Jawi. Lelampah tujuanipun kagem pados wangsit.” (Saya sering jalan kaki sampai Tasik, Bandung, dan nyepi ke makam-makam para wali di tanah Jawa. Laku tersebut tujuannya untuk mencari kebijaksanaan). Selanjutnya, keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu juga menurut pengakuannya, bahwa bacaan syahadat itu ada dua, yaitu: “Asyhadu an lailaha illah wa asyhadu anna Muhammadurrasulullah dan Asyhadu an lailaha illah asyhadu anna Muhammadarrasulullah”. Syahadat yang memakai “wa” itu syahadatnya orang Jawa. Adapun yang tanpa “wa” untuk orang Arab. Ketika ditanya mengapa demikian: “Sebab syahadat ingkang ngagem wa niku ingkang gadah watu Bedug, tapi tanpa wa ingkang gadah watu gunung utawa Prabu Gunung tegese watu gunung niku tiyang-tiyang Arab ingkang seneng berbuat onar lan angkara murka, seneng perang”
Selain keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ada media atau perantara yang dalam setiap kegiatan ritual komunitas adat kejawen ini, adalah Mbah Kajoran. Ia tokoh yang sangat diagungkan dan memiliki pengaruh dalam sistem kepercayaan anak putu. Oleh karena itu, dalam setiap hajatan atau perlon, Mbah Kajoran menjadi sangat penting meskipun sudah meninggal ratusan tahun yang silam. Bahkan, ketika berdoa Mbah Kajoran selalu dijadikan perantara khususnya dalam prosesi ujudan. Adapun teks ujudansebagai berikut: “La kawula niki pina sepuh pina enem, mboten kawula wiji-wiji, kawula aturi nyekseni perlunipun anak putu ing wonten kiblat sekawan. Jaler esteri, pina sepuh-pina enem, saresening kawula resik kubuan Mbah Kajoran. La menika badhe slametan tumpeng suci wonten pagelaran. Kawula aturi nyekseni perlunipun anak putu sing wonten keblat sekawan. Mugi-mugiha saresening kawula sampun nyekar kakinini, bapa-biyung, sing wonten dhalem kubur. Mangga-mangga kawula sedaya anak putu kawula aturi nyekseni mboten sawiji-wiji, kawula aturi nyekseni.... nggiih.”
Teks ujudan dalam ritual yang dilakukan dalam lingkaran hidup manusia selalu bersandar pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam lingkungannya sebagai perantara untuk sampai pada harapannya. Dalam prosesi tersebut, selalu dikaitkan dengan selamatan, perlondi tempat-tempat yang dianggap keramat oleh komunitasnya.
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
KOMUNIKA Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009 pp.1-9
ISSN: 1978-1261
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Secara teoretis, bahwa ritual sesaji, selamatan, perlon, dan kegiatan-kegiatan lingkaran hidup tersebut menurut Gennep, sebagai upaya penyemangat hidup dalam menghadapi tantangan dan kesulitan hidup masyarakat Jawa pada waktu itu dan hingga dewasa ini.
SIMPULAN Segi batin dalam pandangan orang Jawa atau kejawen merupakan sikap subjektivitas atau lebih ditekankan pada “rasa” dalam pencapaian kesempurnaan hidup menjadi semakin tinggi kekuatan rasanya, maka kebenaran dalam kesempurnaan akan semakin tajam. Olah batin sebagai proses harmonisasi menuju ketenangan, kebahagiaan, dan kejujuran dalam hidup untuk menuju sangkan paran kang dumadhi. Praktik-praktik ritual ditingkat realitas masyarakat sangat dipengaruhi oleh pemegang otoritas tokoh yang dianggap suci dan sebagai perantara dalam berhubungan dengan Gusti Ingkang Murbeng Dumadi. Berbagai bentuk doa dalam proses ritual banyak menggunakan teks-teks syahadat, shalawat Nabi, lafaz hamdalah yang bersentuhan dengan teks-teks kejawen. Kemungkinan sekali praktik doa pada waktu itu dilakukan untuk mengubah pada subtansi sandaran kepada Allah SWT.
ENDNOTE Dadang Kahmad, Sosiologi Agama (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 13-14. Ibid., hal. 43-46. 3 George Herbert Mead, Mind, Self and Society, Charles W. Morris (Ed.) (Chicago: University of Chicago Press, 1934), hal. 296. 4 Ibid., hal.144. 5 Thomas F. O’Dea, hal. 37-38. 6 Ibid., hal. 7-8. 7 Ibid., hal 8-10. 8 Capt. R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa(Yogyakarta: LKiS, 2007), hal. 131-132. 9 Ibid., hal. 74-75. 10 Koentjaraningrat, Asas-asas Ritus, Upacara, Religi dalam Ritus Peralihan Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 24-25. 11 Ibid., hal. 26. 12 Ibid., hal. 32. 13 Ibid., hal. 34. 14 F. Magnis Suseno, Etika Jawa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 117-118. 15 N. Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya; Jawa, Muangthai, dan Filiphina (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 621 2
63. Soehada, Orang Jawa Memaknai Agama(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), hal. 96-99. Tjaroko HP teguh Pranoto, Spiritualitas Kejawen: Ilmu Kasunyatan Wawasan & Pemahaman Penghayatan & Pengamalan (Yogyakarta: Kuntl Press, 2007), hal. 75-77. 18 Sulkhan Chakim (hasil penelitian), Komunitas Adat Kejawen; Studi Ethnografi Sistem Kepercayaan dan Relasi Sosialnya, 2008. 16 17
DAFTAR PUSTAKA Capt. R.P. Suyono. 2007. Dunia Mistik Orang Jawa. Yogyakarta: LKiS. Chakim, Sulkhan. 2008. Komunitas Adat Kejawen; Studi Ethnografi Sistem Kepercayaan dan Relasi Sosialnya. P3M STAIN Purwokerto. F. O’Dea. Thomas.1990. Sosiologi Agama; Suatu Pengantar Awal. Jakarta: Raja Wali Press. Herbert Mead. George. 1934. Mind, Self and society, Charles W. Morris (Ed.). Chicago: University of Chicago Press. H.P. Teguh Pranoto, Tjaroko. 2007. Spiritualitas Kejawen: Ilmu Kasunyatan Wawasan & Pemahaman Penghayatan & Pengamalan. Yogyakarta, Kuntl Press. Kahmad, Dadang. 2000. Sosiologi Agama. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
KOMUNIKA Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009 pp.1-9
ISSN: 1978-1261
JURNAL DAKWAH DAN KOMUNIKASI
Koentjoroningrat. 1993. Asas-asas Ritus, Upacara, Religi dalam Ritus Peralihan Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka Magnis Suseno. F. 2001. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mulder, N. 1999. Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya; Jawa, Muangthai, dan Filiphina. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Soehada. 2008. Orang Jawa Memaknai Agama. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto
KOMUNIKA Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009 pp.1-9
ISSN: 1978-1261
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
PENDEKATAN FENG SHUI DENGAN METODE BA ZI PADA DESAIN INTERIOR Tessa Eka Darmayanti1) Jurusan Interior Desain, Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Universitas Kristen Maranatha, Jalan Prof.Drg. Suria Sumantri, MPH. No. 65, Bandung 40164 (Mahasiswa Program Master of Science (Interior Design) Universiti Sains Malaysia)
Stella Sondang2) Jurusan Interior Desain, Fakultas Seni Rupa Dan Desain, Universitas Kristen Maranatha, Jalan Prof.Drg. Suria Sumantri, MPH. No. 65, Bandung 40164
Abstrak Kehidupan dalam alam semesta senantiasa dikelilingi oleh energi yang memiliki pengaruh baik dan buruk. Manusia yang merupakan bagian dari alam semesta ini, sejak ribuan tahun berusaha untuk mendeteksi energi yang ada di alam dengan menggunakan berbagai cara salah satunya melalui Feng Shui. Feng Shui merupakan ilmu dan seni yang berasal dari kebudayaan Cina tradisional yang bertujuan menciptakan dan membangun lingkungan yang harmonis untuk orang-orang hidup dalamnya dengan pendekatan metafisik dalam memperhitungkan energi (Chi/ Qi) yang dalam kurun waktu 2 dasawarsa telah banyak mempengaruhi berbagai aspek khususnya desain interior melalui berbagai metode, salah satunya metode Ba Zi. Studi ini mengenai Feng Shui dengan pendekatan metode Ba Zi yang berkaitan dengan penentuan lokasi, orientasi bukaan, material serta warna. Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perancangan interior. Melalui metode Ba Zi, Chi yang diperhitungkan melalui data kelahiran manusia dapat membantu menyelaraskan manusia dan lingkungan binaannya dengan alam agar terjadi keharmonisan.Tujuan dari studi ini adalah untuk berbagi pengetahuan bahwa metode Ba Zi dalam Feng Shui dapat menjadi alternatif dalam perancangan interior dan melalui metode ini dapat memberi informasi bahwa Feng Shui yang seringkali keliru dipandang lekat dengan mistis, ternyata sebuah ilmu pengetahuan yang 1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
dapat menghasilkan analisa logis. Studi ini juga dapat memperkaya pengetahuan di bidang desain, khususnya interior serta dapat menjadi penggerak studi lanjutan yang lebih mendalam yang mempunyai kaitan antara desain interior dan Feng Shui.
Keywords: Feng Shui, Ba Zi, Yin Yang, Wu Xing, Interior
1.
Pendahuluan Kebudayaan Cina merupakan salah satu kebudayaan tertua di dunia yang menyebar
keseluruh penjuru dunia. Salah satu ilmu dan seni yang berasal dari kebudayaan tradisional Cina adalah ilmu Feng Shui yang telah dipraktikan di Cina sekurang-kurangnya sejak Dinasti Tang (Kale, 2005;h. 9). Feng Shui mempunyai prinsip-prinsip bersifat universal dan berdasar pada keselarasan dengan kekuatan energi dari alam. Dalam sejarah Feng Shui, diketahui bahwa kata tersebut berasal dari sebuah puisi kuno, puisi tersebut menggambarkan tentang unsur-unsur alam dan bukan suatu kebetulan jika angin (Feng) dan air (Shui) adalah unsur penting dalam kehidupan (Smith, 2006). Dalam perjalanannya melampaui berbagai budaya dan masyarakat serta telah mengalami masa-masa pasang surut dalam penyempurnaannya, ilmu Feng Shui yang memperhitungkan energi (Chi/ Qi) dan membawa prinsip keselarasan dan keseimbangan (Yin Yang) yang diklasifikasikan dalam lima unsur elemen ‘Wu xing’ (air, kayu, api, tanah dan logam) sering ditafsirkan sebagai mistik, klenik dan tahayul oleh beberapa kelompok masyarakat. Dewasa ini, ilmu Feng Shui telah tersebar hampir disemua negara dan dalam kurun waktu 2 dasawarsa semakin marak berkembang di Indonesia dan sedikit-banyak telah mempengaruhi berbagai aspek, terutama dalam bidang desain khususnya desain interior. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya artikel di internet, majalah, tabloid dan buku dipasaran yang mengangkat Feng Shui sebagai topik utamanya. Ilmu Feng Shui pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari tentang topografi, arsitektur, dan interior dengan menggunakan beberapa metode diantaranya, Metode 4 Pilar 8 Elemen ( Ba Zi ), Metode Bentuk ( Form School Of Feng Shui ) dan Metode Tibet ( Black Hat Sect Of Feng Shui ). Angin (Feng) dan air (Shui) dimanfaatkan dan diatur pendistribusiannya melalui salah satu metode dalam Feng Shui yaitu metode Ba Zi untuk menjaring Chi (energi) ke dalam 1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
bangunan melalui perhitungan energi manusia yang dapat diketahui melalui data kelahiran manusia dilihat dari jam, tanggal, bulan dan tahun kelahiran. Data kelahiran tersebut dipakai dalam metode Ba Zi dengan menggunakan rumus wu xing untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan (Yin Yang). Melalui data kelahiran dan rumus wu xing dapat diperoleh lokasi yang tepat untuk dijadikan ruangan yang akan ditempati oleh penggunanya, orientasi bukaan, material serta warna yang akan digunakan. Tak heran banyak ahli Feng Shui yang menggunakan metode Ba Zi dalam praktiknya.
2.
Pembahasan 2.1
Energi dalam Feng Shui : Chi
Kehidupan dalam alam semesta dikelilingi oleh energi yang memiliki pengaruh baik dan buruk. Manusia yang berada didalamnya dan merupakan bagian dari alam semesta, sejak ribuan tahun lalu telah mengembangkan sarana-sarana untuk merasakan dan mendeteksi adanya energi ini untuk mengambil energi yang positif dan menghindari energi negatif yang merugikan. Ilmu Feng Shui merupakan salah satu usaha manusia dalam memahami energi yang ada di alam dan menggunakannya untuk kebaikan hidup. Chi dalam Feng Shui merupakan energi dari alam semesta yang bergerak karena energi kosmik yang menggerakkannya yaitu energi yang terjadi akibat gaya magnet dari planet yang ada di alam semesta dan membentuk gerakan berputar yang menciptakan siklus 4 musim (planet bumi) yang menimbulkan pengaruh berubah-ubah khususnya terhadap manusia. Lillian Too (1995) dalam bukunya – Feng Shui, berpendapat bahwa secara logika, energi yang disebut Chi adalah daya hidup yang membantu keberadaan manusia. Energi menurut teori fisika kuantum yang menyatakan bahwa massa adalah energi dan energi adalah massa (Einstein 1905, Werner Heissenberg 1958), maka manusia dan benda-benda disekitar memiliki medan energi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Besarnya medan energi yang tercipta antara 2 massa dijabarkan dalam rumus fisika yaitu: gaya = (massa 1 x massa 2): kwadrat jarak. Berdasarkan rumus fisika tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada interaksi antara satu benda dengan yang lain atau antara manusia dengan benda-benda disekitarnya yang besarnya tergantung jarak, makin jauh jaraknya makin kecil pada medan
1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507 energi yang tercipta. Interaksi manusia dengan energi sekitar berhubungan erat dengan ‘Wu Xing.’ Chi dalam Feng Shui merupakan kekuatan yang memiliki hubungan erat dengan siklus di alam semesta. Energi yang mengalir di atmosfer, di bumi dan di dalam tubuh manusia tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Manfaat dan kegunaan Chi tersebut dapat dihitung melalui rumus Wu Xing.
2.2
Lima Unsur Elemen dalam Feng Shui : Wu Xing
Orang Cina kuno percaya bahwa apapun yang ada di dunia ini terbentuk dari lima elemen yang di sebut dalam bahasa Cina adalah Wu Xing, Wu artinya lima dan Xing artinya bergerak. Teori Wu Xing dicetuskan oleh Liu An (179-122SM) yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam dikelompokan menjadi lima unsur yaitu, air (Shui) mempunyai sifat alami yang dinamis dan liberal, dianggap sebagai lambang pergerakan, fleksibilitas dan pengetahuan, kayu (Mu) yang dianggap sebagai lambang pertumbuhan, inisiatif, intuisi, kreativitas, motivasi dan kebaikan hati, api (Huo) dianggap sebagai lambang kekuasaan, agresi, vitalitas, tata krama dan sopan santun, tanah (Tu) mempunyai sifat alami yang tenang dianggap sebagai lambang keterbukaan, kesetiaan, kepercayaan dan kestabilan dan logam (Jin) sebagai lambang kesuksesan, kekayaan, kegembiraan, kebenaran dan kebijaksaan. Segala unsur tersebut dapat saling berinteraksi satu sama lain dan menghasilkan siklus produktif, destruktif dan melemahkan (Chandramulyana, 2007).
Gambar 2.2.1 Hubungan 5 Unsur Elemen 1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
Sumber : Rahardjo, 2004
Siklus produkif (panah luar, gambar 2.2.1) adalah elemen yang saling membangkitkan atau memperkuat, seperti air menghidupkan kayu, kayu menyalakan api, api menghasilkan tanah, tanah mengandung logam dan logam menghidupkan air. Siklus destruktif (panah biru, gambar 2.21) adalah elemen yang mengendalikan atau merusak elemen lain, seperti yang terjadi pada air mematikan api, api mencairkan logam, logam memotong kayu, kayu merusak tanah dan tanah menyerap air. Sedangkan siklus yang saling melemahkan adalah air melemahkan logam, logam melemahkan tanah, tanah melemahkan api, api melemahkan kayu dan kayu melemahkan air. Lima elemen yang digunakan tersebut mempunyai tujuan utama yaitu untuk menciptakan energi yang sangat spesifik dalam suatu lingkungan, memberi keseimbangan energi (Yin Yang) dari orang yang ada di ruang dan meningkatkan aspek tertentu dari kehidupan seseorang (Smith, 2006).
2.3
Yin Yang Dalam Feng Shui
Yin dan Yang merupakan keseimbangan energi, yang mempunyai konsep dasar dengan tujuan untuk memperlihatkan dua aspek dari satu benda yang sama, kedua aspek tersebut saling berlawanan, namun saling melengkapi. Yin digunakan untuk mewakili sifat negatif, feminin dan pasif, sedangkan Yang digunakan untuk mewakili sifat positif, maskulin dan aktif. Ada beberapa anggapan bahwa sifat-sifat Yin Yang ini mencerminkan baik dan buruk, hal tersebut keliru karena keduanya digunakan untuk mencerminkan dua keadaan berbeda yang melambangkan keadaan diam dan keadaan bergerak. Konsep Yin Yang dalam seni metafisika Cina biasa dinyatakan dalam lingkaran hitam dan lingkaran putih (gambar.2.3.1). Gambar tersebut disebut Tai Ji atau batasan besar, terbentuk dari dua keadaan yang saling berlawanan namun saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri (Chandramulyana, 2007).
1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
Gambar 2.3.1 Tai Ji Sumber : Chandramulyana, 2007
Di dalam desain interior, Yin Yang merupakan keseimbangan aspek komplementer dari lingkungan sekitar, baik warna, bentuk, bahan, atau komponen desain lainnya, yang nantinya dapat mempengaruhi perilaku individu.
Gambar 2.3.2 Aplikasi Yin Pada Water Cube Dan Yang Pada Bird Nest Stadion Olimpiade Beijing,Cina Sumber : http://shianash.wordpress.com/page/2/
2.4
Metode Ba Zi Dalam Feng Shui
Manusia memiliki energi yang dapat diketahui melalui data kelahirannya dilihat dari jam, tanggal, bulan dan tahun kelahiran. Data tersebut dibahas melalui rumus Wu Xing untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan (Yin Yang). Hasil dari data yang diperoleh dapat ditentukan lokasi, orientasi bukaan, material dan warna apa yang dapat digunakan untuk mencapai keselarasan dan keseimbangan penggunanya.
2.4.1
Perhitungan Metode Ba Zi
Dalam memperhitungkan data kelahiran manusia, metode ini menggunakan sistem Gan Zhi, yaitu 22 simbol yang berpengaruh pada nasib bumi, yang berisi data-data elemen yaitu 10 elemen langit (Tian Gan) dan 12 elemen bumi (Di Zhi).
Tabel 2.1: Kalender Tian Gan dan Di Zhi
1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
10 BATANG LANGIT
12 CABANG BUMI
Tian Gan - 天 干
Di Zhi - 地 支
KAYU+
JIA
甲
KAYU +
YIN
寅
KAYU -
YI
乙
KAYU -
MAO
卯
API +
BING
丙
TANAH+
CHEN
辰
API -
DING
丁
API -
SI
巳
TANAH+
WU
戊
API +
WU
午
TANAH -
JI
己
TANAH -
WEI
未
LOGAM+
GENG
庚
LOGAM+
SHEN
申
LOGAM -
XIN
辛
LOGAM -
YOU
酉
AIR +
REN
壬
TANAH+
XU
戌
AIR -
GUI
癸
AIR -
HAI
.亥
AIR +
ZI
子
TANAH
CHOU
丑
Sumber: Chandramulyana, 2007.
Tabel 2.2: Atribut Elemen Feng Shui
1)
ELEMEN
ARAH
WARNA
Api
Selatan
Merah
2)
[email protected] [email protected]
CUACA/MUSIM Panas, hangat / musim panas
BENTUK Segitiga
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
Logam
Kayu
Tanah Air
Barat / Barat
Putih, Abu
laut Timur /
Hijau
Tenggara Barat daya /
Kuning oker,
Timur laut
Coklat, Emas
Utara
Hitam, Biru
Angin dingin /
Bundar
musim gugur Musim semi
Persegi panjang
Di antara musim
Bujur sangkar
Dingin
Lonjong / dinamis
Sumber: Levitt, 2000; Fretwell, 2002; Raharjo, 2004; Kale, 2005; Kynes, 2008.
Berikut merupakan aplikasi metode Ba Zi dalam memperhitungkan energi manusia. Contoh kasus seorang pria lahir pada tanggal 9 Agustus 1958, jam 17.30. Dengan demikian Ba Zi nya setalah dihitung dengan kalkulator Feng Shui adalah sebagai berikut: Ja m
Tanggal
Bulan
Tahun
辛
戊
庚
戊
Logam -
Tanah +
Logam +
Tanah +
酉
午
申
戌
Logam -
Api +
Logam +
Tanah +
Analisa dari data diatas Adalah: Elemen pria tersebut adalah tanah + yang lahir saat logam berkuasa (logam +) dan dalam keadaan cuaca angin dingin (lihat tabel 2.2). Elemen yang muncul didominasi oleh elemen logam dan tanah yang mengandung logam, maka kondisi energi cenderung dingin, sehingga membutuhkan api untuk menghangatkan. Pada data kelahirannya hanya terdapat 1 elemen api, sehingga elemen api disini bersifat lemah sehingga diperlukan elemen api dan kayu sebagai sumber api.
2.4.2
1)
Aplikasi Analisis Ba Zi pada Desain Interior
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
Data kelahiran yang telah dianalisa, hasilnya dapat diaplikasikan dalam perancangan lingkungan binaan seperti rumah tinggal, kamar tidur ruang kerja dan sebagainya. Contoh penerapan desain dari hasil analisa kasus diatas, misalnya pada perancangan kamar tidur adalah pria ini membutuhkan elemen Api dan Kayu untuk menyeimbangkan kondisi energinya yang cenderung dingin. Maka dalam membantu pria tersebut memperoleh keseimbangan energinya dibutuhkan lokasi kamar yang berada disisi selatan yang mewakili sifat api (lihat tabel 2.2), dan pintu masuk, dapat di letakan pada sisi timur yang mewakili sifat kayu sebagai penguat elemen api, seperti telah dibahas bahwa kayu dan api termasuk pada siklus produktif yang saling menghidupkan. Desain ruang dan penempatan perabot diatur setelah penentuan posisi kamar dan bukaanbukaan. Posisi tempat tidur bisa ditempatkan pada dinding selatan atau timur, setelah itu menentukan suasana ruang kamar. Suasana hangat yang diperlukan dapat dicapai melalui penggunaan warna-warna hangat seperti merah, coklat, kuning oker, jingga, atau warna hangat lainnya. Selain pendekatan melalui warna dan bentuk, dapat juga melalui penggunaan material seperti kayu atau bahan artifisial lainnya dengan mengutamakan warna dan material yang bersifat hangat. Aplikasi tersebut bersifat general, namun merupakan hal pokok yang harus dipenuhi terebih dahulu berdasar pada energi Ba Zi nya, setelah hal tersebut terpenuhi, selanjutnya elemen desain lainnya mulai dirancang.
3. Simpulan Berdasarkan analisis dan uraian tentang Feng Shui melalui metode Ba Zi dalam memperhitungkan energi manusia maka dapat disimpulkan bahwa perhitungan data kelahiran dapat dilibatkan dalam perancangan interior. Chi atau energi yang diperhitungkan Feng Shui melalui metode Ba Zi merupakan suatu pendekatan manusia dalam memahami energi yang berada di alam untuk dimanfaatkan (positif) bagi kehidupan sehari-hari atau dihindari (negatif) agar dapat selaras dan seimbang dengan alam. Perhitungan yang tepat dapat membantu manusia untuk beristirahat dan kemudian melakukan aktivitasnya lebih maksimal dan dalam keadaan baik. Memperhitungkan energi-energi disekitar juga dapat membantu perancangan interior hunian dengan tujuan memberi dan mencapai keseimbangan dengan alam. 1)
2)
[email protected] [email protected]
Jurnal Waca Cipta Ruang Vol.I No.I Tahun 2013/2014 ISSN 2301-6507
4. Penutup Feng Shui melalui metode Ba Zi merupakan salah satu usaha manusia untuk memahami energi yang ada di alam. Masih banyak metode-metode lain yang dapat dipergunakan untuk memahami energi alam. Namun penyelarasan dan penyampaian energi melalui Feng Shui dapat membantu memaksimalkan perancangan interior dan arsitektur dalam menciptakan suatu lingkungan binaan yang tidak hanya indah, fungsional, ekonomis dan nyaman namun harmonis dengan alam.
Daftar Pustaka
Chandramulyana, Santoso. (2007). Ba Zi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. DY, Victor L. (1997). Feng Shui For Everybody. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Foley, Brendan. (2010). The Yin Yang Complex. Cork, Ireland: Mercier Press. Fretwell, Sally. (2002). Feng Shui: Back to Balance. California: New World Library. Gonick, Larry and Huffman. Art. (2006). Kartun Fisika. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Kale, Rekhaa. (2005). Easy Guide To Feng Shui. New Delhi: Fusion Books. Kynes, Sandra. (2008). Pagan Feng Shui. Woodbury, MN: Llewellyn Worldwide, LTD. Levitt, Susan. (2000). Taoist Feng Shui. Vermont: Destiny Books. Lim, C.P. (2002). The Science of Feng Shui. Singapore: Times Books International. Lo, Raymond. (2005). Feng Shui Essentials. Hong Kong: Feng Shui Lo. Rahardjo, Mauro. (2004). Mengubah Energi Rumah Meningkatkan Peruntungan. Jakarta: Gramedia. Smith, Vincent. (2006). Feng Shui : A Practical Guide for Architects and Designers. Chicago: Kaplan AEC Education. Too, Lillian. (1995). Feng Shui. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
1)
2)
[email protected] [email protected]
KREATIVITAS DALAM SIASAT SUN TZU The Art of War adalah karya siasat militer klasik yang ditulis oleh pemikir strategi militer Cina, Sun Tzu, sekitar 500 SM, yang ditulis dengan ringkas, lugas dan padat dengan hanya 7.000 kata-kata yang memiliki pengaruh besar di seluruh dunia. Karya yang terdiri dari 13 bab ini masing-masing dikhususkan membahas aspek peperangan, dianggap sebagai karya definitif tentang strategi dan taktik militer yang diminati luas dari waktu ke waktu, dan wawasan militernya sampai sekarang masih dibaca oleh perwira militer senior di hampir seluruh negara. Meskipun telah bermunculan strategi khas abad ini, seperti blue ocean strategi-nya W. Chan Kim yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Mungkin dalam perspektif Kim, karya Sun Tzu masuk dalam kategori red ocean sebagai strategi yang berdarah. Perbincangan menarik perbedaan antara karya Sun Tzu dan W. Chan Kim perlu didiskusikan dalam kesempatan lain, dan yakin bahwa strategi blue ocean-nya Chan Kim juga diilhami oleh suasana percaturan politik di masa-masa tradisi pemerintahan raja-raja Korea masa lalu, sebagaimana yang diputar dalam salah satu serial televisi di tanah air. “Tidak ada yang baru di bawah sinar matahari”, begitu kata William Shakespeare. Harus diakui The Art of War adalah karya analisis tajam tentang perang yang menakjubkan, suatu langkah strategis tentang bagaimana informasi diperoleh, dianalisis dan menghitungnya secara ekstensif sebelum dilakukan peperangan. Disamping itu bagaimana memeriksa faktor-faktor kritis dalam perang serta pentingnya mengenali peluang strategis dan membatasi ruang gerak musuh. Suatu strategi dan taktik yang menuntut penggunaan kreativitas, inovasi dan ketepatan waktu dalam membangun momentum kemenangan, disamping pentingnya mengembangkan sumber-sumber intelijen yang handal dan kontra intelijen. Tentu saja dalam dekade terakhir, karya Sun Tzu juga telah mempengaruhi pemikiran di bidang bisnis. Popularitas buku ini terus berkembang dan telah menginspirasi
banyak manajer dan pemimpin yang semakin berusaha untuk menerapkan prinsipprinsip strategi dalam menghadapi tantangan bisnis mereka. Penerapan prinsip seni perang untuk dunia usaha bukan pemetaan konseptual yang sulit, yang lebih dibutuhkan adalah pemetaan dan kelincahan manuver serta penggunaan mata-mata intelijen guna memetakan kekuatan dan kelemahan kompetitor. Namun, yang agak luput dari perhatian publik adalah tentang bagaimana penerapan karya Sun Tzu khusus bagi kegunaan suatu inovasi. Padahal Sun Tzu juga berbicara tentang bagaimana bekerja dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, katakanlah seperti dalam jumlah tentara dan potensi pasukan, dengan mengatur siasat yang lebih efektif dan ampuh untuk mengubah perimbangan kekuatan. Nilai kreatif dari karya Sun Tzu tersebut diperoleh dari pengalaman para pengagumnya. Yang pertama adalah sebuah pengalaman dari Jenderal Han Hsin (204 SM) yang pernah dipaksa untuk menghadapi tentara yang jauh lebih besar di provinsi Chao, yang dikenal kaya. Ia merencanakan suatu muslihat yang benar-benar brilian. Pertama, sebelum pertempuran, ia melepas satuan kecil kavaleri berjumlah 2000 orang untuk bersembunyi dibalik bukit sampai saatnya dipanggil yang masing-masing ditandai dengan pengenal bendera merah. Kedua, ia mengirimkan sebuah divisi terdiri dari 10.000 laki-laki, dan diperintahkan untuk membentuk garis pertempuran disepanjang Sungai Ti. Jenderal Han percaya bahwa satu-satunya cara agar memikat orang-orang Chao meninggalkan benteng mereka, apabila mereka merasa bahwa suatu kemenangan sudah dekat, dan mereka dapat mendeteksi dari pola bunyi tambur yang ditabuh komandan yang memerintahkan mundur atau melarikan diri. Seolah merasa kewalahan Jenderal Han terjun ke medan perang, meninggikan bendera dan memerintahkan tambur ditabuh yang segera terbaca oleh musuh. Maka terjadilah pertempuran besar yang sengit yang berlangsung selama beberapa waktu, pihak musuh terus mendesak, tiba-tiba para penabuh akhirnya meninggalkan tambur dan bendera di lapangan, dan para pasukan pun mulai ikut melarikan diri. Melihat gelagat ini, Chao dan seluruh tentara bergegas keluar dari benteng mereka untuk mengejar pasukan yang melarikan diri. Pasukan yang lari berhasil bergabung dengan pasukan di tepi sungai yang tengah berjuang hampir putus asa. Pasukan Chao benarbenar melihat bahwa kemenangan sudah berada di depan mata. Tiba-tiba, ke 2000 pasukan kavaleri yang tadi disembunyikan di balik bukit yang sepi, memecah keheningan dan dengan kecepatan kuda menyeruak dari balik bukit, tiba-tiba dengan serangan kilat merobek-robek bendera musuh dan menggantinya dengan bendera merah Han. Ketika tentara Chao menoleh dan pengejaran sejenak terhenti, mereka terkesiap dengan banyaknya bendera-bendera merah memukul dari belakang mereka dengan teror. Tadinya tentara Chao meyakini
bahwa Han telah kalah dan segera akan dikuasai raja mereka, namun dengan serbuan mendadak ini terjadi kekacauan dan kepanikan yang hebat, dimana setiap usaha perlawanan yang dilakukan menjadi sia-sia. Kemudian tentara Jenderal Han menyerbu mereka dari rusuk kedua belah sisi dan menyelesaikan kemenangan, membunuh banyak tentara musuh dan menangkap sisanya diantara mereka adalah Raja Chao sendiri. Setelah usai pertempuran, beberapa perwira Han Hsin datang menghadap kepadanya dan bertanya, "Dalam pola siasat Sun Tzu , kita diberitahu untuk memilih sebuah bukit di bagian belakang kanan, dan sungai atau rawa di bagian depan kiri. Namun paduka melakukan hal sebaliknya, memerintahkan kami untuk menyusun pasukan disepanjang sungai di belakang kami, tentu kami belum terpikir untuk melakukannya dalam kondisi tersebut, bagaimana dengan siasat itu kemenangan dapat diraih?.” Jenderal Han dengan tenang menjawab: "Saya khawatir karena pemahaman anda sekalian dalam seni perang belum lengkap: “bukankah ada tertulis di sana bahwa perlu menempatkan pasukan dalam bahaya yang mematikan, dan tidak ada jalan lari untuk mereka, kecuali berenang menyeberangi sungai yang deras, bukankah hal itu akan memaksa mereka gigih bertahan? Jika saya tidak menempatkan pasukan dalam posisi di mana mereka berkewajiban memperjuangkan hidup mereka dengan gigih, maka kita tidak akan pernah menang melawan tentara yang lebih besar.” Akhirnya para perwira mengakui kekuatan argumen sang jendral dan berkata: "Ini adalah taktik lebih tinggi yang luput dari jangkauan kami". Ada dua pelajaran indah di sini. Pertama, memetik hikmah kisah sukses akhir-akhir ini yang diperoleh Apple, mirip dengan strategi Steve Jobs yang meminta insinyurnya melakukan suatu hal mustahil. Dalam hal ini seorang pemimpin besar melakukan apapun untuk mengekstrak karya terbaik dari para pekerjanya. Kedua, dan ini mungkin pelajaran lebih penting, tidak selalu mengikuti Art of War seperti membaca buku resep. “Penguasaan sejati dari seni tidak berbentuk”. Sekali lagi, memetik hikmah pelajaran dari suatu konsep formulasi strategi, tidak berarti seseorang harus memperlakukannya sebagai resep, apalagi untuk terjadinya suatu inovasi dibutuhkan suatu imajinasi, dan yang terpenting bagaimana kreasi orisinal muncul dari diri sendiri. Sebagai contoh, ketika seseorang mengadopsi perencanaan inovasi sumber daya dan manajemen misalnya, ia tidak dapat mengambil alih suatu konsep secara membabi buta. Seseorang penting memahami konteks yang lengkap untuk terjadinya suatu kreasi dalam organisasi, termasuk pemahaman terhadap sistem dan lingkungan serta memperbaiki kelemahan organisasi untuk meningkatkan kekuatan organisasi. Dengan cara ini, seseorang benar-benar dapat menulis ulang tentang DNA organisasi untuk menjadi lebih kreatif dengan cara alami dan organik.
Selanjutnya, ada kisah kedua dari pembaca Art of War, suatu kisah yang agak lebih mengerikan memang. Namun sebagai ilustrasi ini merupakan pelajaran berharga sehingga perlu berbagi cerita. Dalam masa pemerintahan dinasti Wu, Sun Tzu diundang raja untuk berkunjung ke istana, dan raja berkata kepadanya, "Secara teliti aku telah membaca ke 13 bab karya Anda, tiba saatnya saya ingin menguji teori anda dalam mengelola disiplin tentara, semacam uji coba sedikit?." Sun Tzu menjawab: "Ya, tentu saja." Raja kemudian bertanya: "Bagaimana kita menerapkan teks Anda dalam pasukan perempuan?" Sekali lagi Sun Tzu mengiyakan, karena teorinya harus berlaku untuk semua tentara tanpa memandang unsur gender, maka persiapan telah dilakukan untuk membawa 180 wanita keluar Istana. Sun Tzu membagi mereka menjadi dua regu, dan untuk masing-masing regu ditempatkan salah seorang selir favorit raja sebagai kepala regu atau komandan pasukan. Sun Tzu kemudian memerintahkan mereka untuk mengambil tombak di tangan dan menyapa mereka: "Saudara, saya kira anda semua tahu perbedaan antara depan dan belakang, tangan kanan dan tangan kiri". Gadis-gadis semua serempak menjawab: "Ya!" Sun Tzu melanjutkan, "Ketika saya mengatakan: “mata ke depan!” Anda semua harus melihat lurus ke depan, begitupun ketika saya berkata 'belok kiri!', Anda semua harus menghadap ke arah tangan kiri. Ketika saya berkata ‘belok kanan!’, "Anda harus menghadap ke arah kanan tangan. Ketika saya mengatakan 'balik kanan,' Anda harus melakukan putaran yang benar dengan punggung anda. Apakah Anda semua mengerti hal ini? " Sekali lagi gadis-gadis serentak berkata ”mengerti!”. Demikian aba-aba dan perintah yang telah dijelaskan. Sambil dibarengi suara tambur, Sun Tzu memberi aba-aba “belok kanan!”. Sambil tertawa cekikikan para gadis berbelok dengan tidak beraturan. Sun Tzu berkata: "Jika perintah saya tidak jelas dan berbeda, jika perintah tidak sepenuhnya dipahami, maka sayalah yang harus disalahkan." Pengaturan barisan dilakukan, dan kembali perintah diberikan: "belok kiri !" dengan nada keras dan jelas. Kembali para gadis-gadis malah meledak tertawa terbahak-bahak. Sun Tzu kembali berkata: "Jika kata-kata perintah tidak jelas dan berbeda, jika isi perintah sepenuhnya tidak dipahami, saya yang harus disalahkan, tetapi jika perintah difahami jelas, dan regu pasukan tetap tidak taat, maka itu adalah kesalahan dari kepala regu mereka." Sambil berkata demikian, Sun Tzu memerintahkan para kepala regu kedua pasukan untuk dihukum penggal. Raja Wu yang sedang menonton adegan itu dari atas sebuah podium sejenak terkesiap dan mengangkat tangan mencegah, ketika ia melihat bahwa selir favoritnya hendak dieksekusi, sambil meremas dadanya karena khawatir, segera ia berkata : "Kami sekarang sudah puas menguji kemampuan menangani pasukan, namun jika kami harus kehilangan dua selir, hidangan daging dan minuman
ini tidak lagi mengundang selera, dan kami ingin mereka tidak usah dipenggal." Sun Tzu menjawab: "Setelah menerima perintah awal dari yang mulia untuk menjadi jenderal dalam menggembleng pasukan, saya sangat terikat dan harus menjamin keberhasilan kerajaan yang anda pimpin, perintah ini saya pegang teguh yang Mulia, dan saya bertindak dalam kapasitas itu, saya tidak dapat menerima keberatan yang mulia. Suasana hening dan tegang. Karena gelar pasukan ini disaksikan khalayak, dan setiap ucapan dan perintah disimak hadirin, maka raja dengan terpaksa menyerah dan membiarkan kedua selirnya dipenggal. Maka acara dilanjutkan dan segera mengganti kedua selir yang dipenggal dengan dua selir favorit berikutnya, sebagai kepala regu atau komandan pada pasukan masing-masing. Tentu saja suasana tambah mencekam, apalagi kecemasan dari air muka raja. Ketika pergantian sudah dilakukan, kembali tambur dibunyikan untuk latihan sekali lagi, dan para gadis-gadis rapih berbaris, hening dan sigap menyimak instruksi, patuh bergerak serempak beralih dari kanan ke kiri, berbaris ke depan atau berputar kembali, berlutut atau berdiri, dengan akurasi sempurna dan presisi dengan mulut terkatup rapat tak bersuara. Untuk kali ini penyelenggaraan latihan benar-benar sempurna. Demikianlah terhadap kisah ini, tanpa harus disimpulkan, silahkan masingmasing melakukan interpretasi sendiri. Tantangan masa depan dan kreasi yang harus dilakukan ada pada pundak masing-masing. Yang jelas mempelajari seni dan strategi tidak seperti membaca sebuah resep, ada suatu kepentingan yang lebih besar yang perlu dipertimbangkan. Tentu di era reformasi ini, bagi para legislatif yang memiliki banyak selir tidak perlu khawatir. Bandung, Juli 2012 Faisal Afiff
Edisi : 55 (3 - 9 Agustus 2015)
An air conditioner may cool your body. But God’s Grace alone can cool the heated brain and trobled heart “Sebuah pendingin ruangan dapat mendinginkan badanmu. Namun hanya rahmat Tuhan saja yang dapat mendinginkan otak yang panas dan hati yang gelisah” Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Senin, 3 Agustus 2015
Semua bentuk penderitaan dan kesenangan yang dialami oleh banyak orang adalah hasil dari perbuatan mereka sendiri dan tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Tuhan hanyalah sebagai saksi saja, seperti seorang tukang pos! Beliau mengirimkan kepadamu apapun surat yang dialamatkan kepadamu. Duka cita atau suka cita yang engkau dapatkan adalah hasil dari isi surat yang ditujukan kepadamu! Sama halnya dengan penderitaan atau kebahagiaan yang seseorang alami adalah hasil dari perbuatannya sendiri yang baik atau buruk! Bagaimanapun juga, Tuhan akan memberikan ‘rahmat yang khusus’, ketika engkau berdoa kepada Tuhan dengan hati yang suci tanpa adanya jejakjejak ego dan dengan perasaan yang murni. Begitu juga ketika seseorang telah melakukan beberapa pengorbanan yang unik di kehidupannya yang terdahulu maka Tuhan akan memberikannya hadiah pada waktu yang tepat. Sri Krishna menyelamatkan Draupadi ketika Duryodhana mencoba menelanjanginya dengan menarik sari yang dipakainya. Krishna menyelamatkannya sebagai hasil dari tindakan Draupadi yang secara langsung merobek sarinya sendiri untuk menghentikan darah yang menetes dari luka di jari Sri Krishna. (Sathya Sai Speaks, June 30, 1996) - BABA
Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Selasa, 4 Agustus 2015
Perwujudan kasih! Tanda dari cinta kasih adalah thyaga (pengorbanan yang tulus). Cinta kasih tidak mencari apapun dari siapapun juga. Cinta kasih mengandung makna tidak ada niat jahat kepada siapapun. Cinta kasih sepenuhnya adalah tulus dan murni. Dengan gagal memahami kualitas yang sejati dari cinta kasih, orang-orang merindukannya dengan berbagai cara. Engkau harus menghargai cinta kasih dengan perasaan tanpa mementingkan diri sendiri dan pengorbanan. Apa saja yang dianggap sebagai cinta kasih di dunia – apakah itu cinta kasih seorang ibu, cinta kasih dalam persaudaraan atau persahabatan – selalu ada unsur mementingkan diri sendiri. Hanya cinta kasih illahi yang sepenuhnya bebas dari noda kepentingan diri sendiri. Cinta kasih illahi dapat menggapai keluar bahkan pada mereka yang tinggal jauh sekali. Cinta kasih illahi menyatukan mereka yang terpisah. Cinta kasih illahi mengangkat seseorang dari sifat kebinatangan menuju kualitas keillahian dan juga secara teratur merubah semua bentuk cinta kasih dunia menjadi cinta kasih illahi. Untuk bisa mengalami cinta kasih illahi ini, engkau harus siap untuk melepaskan sifat mementingkan diri sendiri dan kepentingan diri untuk mengembangkan kesucian dan ketabahan. Dengan keyakinan yang mantap kepada Tuhan, kembangkanlah cinta kasih untuk Tuhan tanpa menghiraukan semua halangan dan cobaan berat yang ada. ( Divine Discourse, June 20, 1996) - BABA -
Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Rabu, 5 Agustus 2015 Isilah hatimu dengan cinta kasih. Engkau akan mengkhianati dirimu sendiri jika engkau memiliki pikiran yang jahat tapi berpura-pura bersikap penuh dengan cinta kasih. Cinta kasih illahi akan menunjukkan dirinya dimanapun dan kapanpun juga. Seseorang yang diliputi dengan cinta kasih illahi tidak akan merasa takut, tidak akan meminta apapun dari yang lainnya, dan mengungkapkan cinta kasih secara spontan dan tidak mementingkan diri sendiri. Tidak perlu berdoa untuk meminta hadiah dari Tuhan. Tuhan akan memberikan apa yang baik bagi bhakta-Nya. Bukankah Shabari dan Jatayu mendapatkan rahmat Tuhan tanpa memintanya? Tuhan akan memutuskan apa, kapan dan dimana memberikannya. Oleh karena itu, persembahkan semua tindakanmu kepada Tuhan dan biarkan Tuhan memutuskan apa yang pantas engkau terima. Ketika segalanya diserahkan kepada Tuhan dengan kasih yang suci dan keyakinan yang penuh, maka Tuhan akan sepenuhnya menjagamu. Orang-orang kurang memiliki keyakinan yang mantap saat sekarang. Bhakta-bhakta yang besar di zaman dahulu yang menghadapi cobaan besar dengan keyakinan dan ketabahan pada akhirnya bisa mendapatkan rahmat Tuhan dan mengalami kebahagiaan. (Divine Discourse, June 20, 1996) - BABA Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Kamis, 6 Agustus 2015
Penyakit terbesar (atau tidak adanya ketentraman) adalah tidak adanya Shanti; ketika pikiran mendapat kedamaian, badan juga akan memiliki kesehatan. Jadi setiap orang yang sangat membutuhkan kesehatan yang baik harus memperhatikan emosi, perasaan, dan motif yang menjiwaimu. Sama seperti engkau mencuci pakaian secara teratur, engkau harus mencuci pikiran agar bebas dari debu dan sampah secara berulang-ulang! Jika tidak, jika kotoran menumpuk dan engkau membentuk 'kebiasaan', seperti ini, maka sulit untuk menyingkirkan 'noda', selain itu, hal ini dapat merusak pakaian. Jadi mencuci harus menjadi proses sehari-hari; engkau akan melihat bahwa tidak ada lumpur yang mengendap pada pikiran! Artinya, engkau harus berpindah pada pergaulan seperti itu sehingga ketidakmurnian dihindari. Kepalsuan, ketidakadilan, tidak disiplin, kekejaman, kebencian - ini membentuk ketidakmurnian; Sathya, Dharma, Shanti, Prema (Kebenaran, Kebajikan, Kedamaian, Cinta-kasih) - inilah pembersih yang dapat membersihkan ketidakmurnian tersebut. Jika engkau menghirup udara murni kebajikan, pikiranmu akan bebas dari virus jahat dan engkau akan kuat secara mental dan fisik. (Divine Discourse, Sep 21, 1960) - BABA Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Jumat, 7 Agustus 2015 Ada empat pertanyaan penting dimana setiap orang harus memperlihatkan ketertarikannya: “Siapakah aku? Darimana aku berasal? Kemana aku akan pergi? Berapa lama aku akan ada disini?” Semua pencarian spiritual dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Catur (empat) Weda memberikanmu jawaban dari semuanya ini! Akankah engkau akan memasukkan surat ke kotak pengiriman surat tanpa menulis alamat pengirim dan penerima? Jika engkau melakukannya maka surat itu tidak akan kemana-mana dan usaha dalam berpikir dan menulis surat akan menjadi sia-sia! Begitu juga, adalah merupakan menyia-nyiakan kesempatan yang sungguh besar dengan lahir ke dunia ini tanpa mengetahui darimana kita berasal dan kemana kita akan pergi. Hanya karena tidak ada alamat pada surat maka surat itu akan ditaruh pada tumpukan surat tanpa identitas, jiwa individu yang tidak memiliki pengertian akan terperangkap di dalam siklus kelahiran dan kematian untuk selamanya! Untuk menghindari dari keadaan ini, pencarian jawaban tentang diri yang sejati dengan disiplin spiritual adalah mendasar dan harus diutamakan. Jawabannya secara otomatis akan datang kepadamu sebagai pengalaman dari disiplin yang engkau lakukan. ( Divine Discourse, 25 Jun 1960) - BABA -
Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Sabtu, 8 Agustus 2015 Setiap desa dan setiap kota pada saat sekarang adalah sakit dengan rasa permusuhan dan pertengkaran kecil. Walaupun banyak usaha telah dilakukan selama beberapa tahun yang telah lewat ke arah yang lebih baik pada banyak orang, namun hasilnya masih jauh dari harapan dan pengorbanan. Hal ini dikarenakan tidak adanya tiga syarat penting untuk semua kemajuan: Dhairyam, Utsaham, dan Aanandam (keberanian, antusiasme, dan suka cita). Alam memiliki keindahan yang cukup untuk menanamkan kekaguman dan ketakjuban, untuk memberikan keberanian, untuk menginspirasi antusiasme, dan mengisimu dengan suka cita! Ini adalah jenis vairagyam palsu (ketidakterikatan) dengan menutup mata pada semua keindahan, kemakmuran, rahmat yang engkau terima dari ibu pertiwi, dan bersenang-senang dalam penderitaan serta banyak meratap. Bersyukurlah kepada Tuhan dengan kesempatan yang diberikan kepadamu untuk melayani yang lain dan juga dirimu sendiri, untuk menyaksikan kemulian dan rahmat-Nya, dan memandang semuanya sebagai saudara. Kebajikan semua orang adalah harta karun bagi bangsa; mengingat nama Tuhan adalah akar dari semua kebajikan. (Divine Discourse, Nov 23, 1960) - BABA
Wacana Harian Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (Thought For The Day) - Minggu, 9 Agustus 2015
Beberapa orang mungkin menertawakan orang-orang yang melantunkan lagu-lagu kebhaktian (Bhajans) dan menyebut bhajan hanya sebagai pamer saja, dan mereka memberikan rekomendasi untuk melakukan meditasi dalam ketenangan dan keheningan di tempat suci. Namun dengan datang dan melakukan bhajan dengan banyak orang adalah membantu yang lainnya dalam menghilangkan rasa ego; karena dengan banyak orang maka mereka tidak takut dan malu untuk memanggil nama Tuhan. Selain itu, seseorang bisa mendapatkan inspirasi dari bhakti yang dimiliki oleh yang lainnya; pergaulan dari banyak orang dengan memiliki perasaan yang sama akan membantu semaian benih kecil untuk berkembang dari panas terik cemoohan yang menghanguskan. Seseorang akan menyapu membersihkan kamarnya dengan sebuah sapu ketika tidak ada seorangpun yang melihatnya; namun untuk melakukan hal yang sama ketika banyak orang melihatnya memerlukan beberapa kemampuan untuk menguasai ego. Jayadeva, Gouranga, Meera, Purandaradasa, Thyagaraja, dan mereka suka meluapkan perasaan hati mereka kepada Tuhan dan hati mereka bergetar dalam suka cita ketika tenggelam dalam memikirkan Tuhan. Hal ini karena mereka memiliki cinta kasih untuk Tuhan yang begitu suci dan sangat kuat. Cinta kasih yang tidak mementingkan diri sendiri memenuhi pikiranmu dengan suka cita dan harapan. (Divine Discourse, Sep 29, 1960) - BABA
Janganlah menginginkan pengakuan atau penghormatan dari orang lain; lebih baik memenangkan berkat Tuhan
Terangi jiwa kita dengan lentera Sai (SAI+LENTERA). Hadirkan struktur batin yang universal, tenang, damai, dan bijaksana (SAILENT+ERA). Hiasi era Sai dengan cinta kasih (SAI+ERA)