AKHDIYA ET AL.: TOKSISITAS BAKTERI SIMBION NEMATODA PATOGEN TERHADAP LARVA ULAT HONGKONG
Toksisitas Bakteri Simbion Nematoda Patogen Serangga terhadap Larva Ulat Hongkong Alina Akhdiya, Etty Pratiwi, I Made Samudra, dan Tri Puji Priatno Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor, Jawa Barat
ABSTRACT. Toxicity of the Pathogenic Nematode Simbion to Larvae Tenebrio molitor. Mutualistic interaction between nematodes and their symbiotic bacteria involves in the nematode pathogenicity against pests. The bacteria have a great potential as a pest biocontrol agent. The aim of the study was to screen isolates of nematode symbiotic bacteria collected by BB-BIOGEN. Fourty three isolates were screened based on their toxicity against Tenebrio molitor larvae. Two isolates, HJ and PRU 8, could kill up to 100% of T. molitor larvae using either cells (15 cells/larvae) or cell free supernatant (0.001 mg protein/larvae) injection. Based on physiological and biochemical test, HJ isolate was identified as Photorhabdus sp., however PRU8 was still unknown. Photorhabdus has a low survival rate if it lives out of their nematode host. Therefore, the symbiotic formula of the bacterium and their nematode host has to be developed for potential application of the bacterium. Keywords: Symbiotic bacterium, enthomopathogenic nematode, toxicity, Photorhabdus sp. ABSTRAK. Patogenisitas nematoda terhadap serangga dibantu oleh interaksi mutualistik dengan bakteri simbionnya. Oleh karena itu, bakteri simbion ini memiliki potensi sebagai agen biokontrol hama. Penelitian bertujuan untuk menapis isolat-isolat bakteri simbion NPS koleksi BB-BIOGEN. Penapisan dilakukan terhadap 43 isolat berdasarkan toksisitasnya terhadap larva Tenebrio molitor. Dari 43 isolat tersebut diperoleh dua isolat (HJ dan PRU8) yang mampu membunuh larva T. molitor melalui penyuntikan menggunakan sel (15 sel/larva) maupun supernatan bebas sel (0.001 mg protein/ larva). Berdasarkan hasil uji fisiologis dan biokimia, isolat HJ adalah Photorhabdus sp., sedangkan isolat PR U8 belum dapat ditentukan. Photorhabdus merupakan genus bakteri dengan tingkat sintasan yang rendah di luar inang nematodanya. Oleh karena itu, pengembangan potensi isolat ini akan lebih baik bila digunakan dalam bentuk simbiosisnya bersama-sama dengan nematoda. Kata kunci: Bakteri simbion, nematoda patogen serangga, toksisitas, Photorhabdus sp.
ematoda patogen serangga (NPS) dapat menimbulkan penyakit (patogenik) pada serangga. Steinernematidae dan Heterorhabditidae merupakan dua famili nematoda patogen yang memiliki virulensi sangat kuat terhadap berbagai serangga (Babic et al. 2000). Patogenisitasnya terhadap serangga dibantu oleh interaksi mutualistik dengan bakteri simbion yang hidup dalam saluran pencernaannya (Poinar 1990; Poinar et al. 1977). Hubungan mutualistik ini memberikan beberapa keuntungan bagi nematoda, antara lain membunuh inang dengan cepat secara septicemia serta menyediakan nutrisi dan lingkungan yang cocok bagi perkembangan dan reproduksi nematoda. Bakteri simbion juga mampu
N
120
memproduksi senyawa antibiotik yang dapat menghambat perkembangan mikroorganisme sekunder yang ada dalam tubuh inang. Bagi bakteri simbion, nematoda melindungi bakteri dari kondisi ekstrim dalam tanah dan melindungi bakteri dari kemungkinan adanya protein antibakteri yang dikeluarkan serangga inang (Kaya and Gaugler 1993). Nematoda dan bakteri simbionnya berbagi dalam suatu siklus hidup yang kompleks, baik dalam tahap simbiotik maupun patogeniknya (Brown et al. 2006). Pada saat mendapatkan inang yang sesuai, NPS akan memasuki saluran pencernaan dari larva serangga, kemudian melakukan penetrasi ke dalam hemosel inang. NPS dapat masuk ke dalam hemosel melalui spirakel pernapasan atau dengan melakukan penetrasi langsung melalui kutikula larva serangga. Pada saat masuk ke dalam hemosel, NPS melepaskan bakteri ke dalam hemolimfa. Secara bersama-sama NPS dan bakteri simbionnya secara cepat membunuh larva serangga, meskipun dalam beberapa kasus bakteri itu sendiri mempunyai virulensi yang tinggi (Kaya and Gaugler 1993). Di dalam hemosel larva serangga yang mati, bakteri tumbuh pada kondisi fase stasioner sementara nematoda berkembang dan bereproduksi secara seksual. Pada fase stasioner ini, bakteri akan melepaskan berbagai macam faktor virulensi seperti protein toksin kompleks (Toxin complex) dengan berat molekul tinggi, lipopolisakarida (LPS), lipase, protease, dan berbagai macam antibodi (Forst and Nealson 1996). Protein toksin kompleks dengan berat molekul tinggi mempunyai spektrum toksin yang luas terhadap berbagai kelas serangga (Bowen and Ensign 1998). Kompleks simbion NPS bakteri ini sudah banyak dimanfaatkan untuk pengendalian hayati serangga dari ordo Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera (Brown et al. 2006). Beberapa produk biopestisida yang menggunakan kompleks simbion NPS-bakteri ini juga sudah dikomersialkan, khususnya di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Dewasa ini perkembangan teknologi rekayasa genetika telah memungkinkan pengintegrasian gen-gen yang berasal dari organisme lain untuk perbaikan sifat
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
tanaman. Oleh karena itu, kegiatan eksplorasi, seleksi, dan identifikasi mikroba sebagai sumber gen yang memiliki potensi untuk tujuan ini menjadi sangat penting. Beberapa gen yang potensial adalah yang berasal dari bakteri simbion NPS, karena gen-gen tersebut menyandikan toksin berspektrum luas, berdaya bunuh cepat, dan efektif mengendalikan hama pengganggu tanaman. Bahkan salah satu dari gen penyandi toksin insektisida dari bakteri simbion NPS Photorhabdus telah berhasil diintroduksikan ke dalam tanaman model Arabidopsis thaliana oleh para peneliti di Dow AgroScience LLC (Indianapolis, USA). Gen tersebut dapat terekspresi dan melindungi tanaman transgenik dari beberapa serangga hama, termasuk ulat tanduk Manduca sexta (Liu et al. 2003). Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi isolat-isolat bakteri simbion NPS berdasarkan toksisitasnya terhadap larva ulat Hongkong (Tenebrio molitor) sebagai langkah awal dalam menyeleksi isolat yang potensial dikembangkan sebagai salah satu komponen agen biokontrol hama.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai Agustus 2005 di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Biokimia Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Bogor. Isolat dan Pembiakan Bakteri simbion NPS yang digunakan terdiri atas 43 isolat yang diisolasi dari tanah berpasir yang berasal dari daerah pantai Pelabuhan Ratu dan Lampung (Tabel 1.) (Pratiwi et al. 2005). Isolat-isolat yang akan diuji toksisitasnya diremajakan pada media Nutrient Bromothymol Blue Tetrazolium Chloride Agar (NBTA dengan komposisisi: NB 8 g/l, Bromothymol Blue 0,025 g/l, Triphenyltetrazolium Chloride 0,04 g/l). Pembiakan bakteri simbion NPS dan produksi toksin dilakukan dengan menumbuhkan isolat pada 10 ml media cair Luria Bertani (LB dengan komposisi: NaCl 10 g/l, tripton 10 g/l, ektrak khamir 5 g/l) dalam tabung reaksi 50 ml selama 48 jam sambil dikocok menggunakan rotary orbital shaker pada kecepatan 125 rpm.
Bioasai Sebanyak 1 ml biakan cair bakteri disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm untuk memisahkan biomassa sel dan supernatannya. Biomassa sel dicuci tiga kali dengan larutan ringer, kemudian disuspensikan kembali dengan 1 ml larutan Ringer. Bakteri diinfeksikan ke larva dengan cara injeksi. Cara ini merupakan hasil modifikasi dari teknik injeksi hemolimfa (Takeda et al. 1995). Larva Tenebrio molitor instar 3-4 disuntik 1 l sel bakteri yang telah dicuci atau 1 l supernatan dengan menggunakan siring mikro. Sebagai kontrol negatif, larva disuntik dengan 1 l larutan Ringer. Setiap perlakuan diulang tiga kali. Jumlah larva yang disuntik pada setiap ulangan adalah 10 larva. Larva yang telah disuntik ditempatkan dalam cawan petri dan diberi pelet (pur ayam) sebagai makanannya. Pengamatan terhadap jumlah larva mati karena toksin insektisida dilakukan selama 48 jam setelah penyuntikan. Pada penapisan pertama, jumlah sel bakteri yang disuntikkan tidak dihitung, sedangkan pada penapisan kedua jumlah sel bakteri yang disuntikkan adalah 15 sel/larva, sedangkan supernatan yang disuntikkan mengandung 0,001 mg protein/larva. Isolatisolat yang menyebabkan kematian larva hingga 100% dipilih untuk diseleksi kembali pada penapisan kedua. Karakterisasi Fenotipe Karakterisasi fenotipe isolat terpilih meliputi morfologi koloni, morfologi dan penataan sel, pewarnaan Gram, uji fisiologis dan biokimia menggunakan kit Microgen GN-ID (Microgen Bioproducts, Inggris). Pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop Nikon M- 35 S 83503 pada pembesaran 1.000 kali. Prosedur uji fisiologis dan biokimia sesuai dengan rekomendasi dari produsen Microgen GN-ID. Analisis Data Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Data hasil uji antara pengaruh jenis isolat dan jenis inokulum terhadap mortalitas larva dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA.
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi Protein
Penapisan isolat
Penentuan konsentrasi protein dalam supernatan berdasarkan metode Bradford (1976) dengan menggunakan pereaksi BIORAD.
Dari 43 isolat bakteri simbion NPS yang diisolasi, 12 di antaranya mengakibatkan mortalitas larva T. molitor mencapai 100%. Isolat tersebut adalah PR U4, PR U8, PR U08, PR U09, LM TK2, LM TK5, LM TK6, LM TK9, LM TK10,
121
AKHDIYA ET AL.: TOKSISITAS BAKTERI SIMBION NEMATODA PATOGEN TERHADAP LARVA ULAT HONGKONG
Tabel 1. Hasil uji toksisitas empat puluh tiga isolat bakteri simbion NPS terhadap larva T. molitor pada penapisan pertama. Kematian larva Kode isolat
PR U00 PR U0 PR U01 PR U02 PR U05 PR U06 PR U07 PR U08 PR U09 PR U1 PR U3 PR U4 PR U6 PR U7 PR U8 PR U9 PR U10 HJ LM TK2 LM TK3 LM TK4 LM TK5 LM TK6 LM TK7 LM TK8 LM TK9 LM TK10 LM TK11 LM TK12 LM TK13 LM TK15 LM TK17 LM NMD4 LM NMD5 LM NMD6 LM NMD7 LM NMD8 LM U1 LM U2 LM U3 LM U4 LM U5 LM U6
Ringer
Asal
Supernatan Mortalitas (%)
Standard error
Mortalitas (%)
Standard error
50 60 90 40 50 60 90 100 100 70 80 100 40 70 100 70 70 100
5.8 0 0 10 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 5.8 0
30 10 10 40 30 50 90 100 100 50 70 100 50 70 100 70 50 100
0 0 0 5.8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5.8 0
Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung
100 60 80 100 100 90 90 100 100 80 70 40 90 80
0 5.8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
100 40 80 100 100 90 80 100 100 40 70 30 80 80
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung
100 90 70 70 60
0 0 0 0 5.8
100 90 70 50 60
0 0 0 0 0
Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung Lampung
40 90 40 70 50 100
10 0 0 0 10 0
20 70 70 70 60 100
0 0 0 0 10 0
0
0
0
0
Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan Pelabuhan
Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu Ratu
NMD4, HJ dan LMU6 (Tabel 1). Analisis ANOVA menunjukkan, baik jenis isolat maupun inokulum pada seleksi pertama sangat berpengaruh terhadap mortalitas larva (Tabel 2). Dari 12 isolat hanya 11 isolat yang diuji kembali toksisitasnya pada penapisan kedua
122
Sel
karena isolat LMU6 mengalami kontaminasi sangat berat dan tidak dapat diselamatkan. Pada penapisan kedua, sel bakteri maupun cairan biakan yang digunakan untuk bioasai disamakan kepadatan sel (15 sel/l) maupun konsentrasi protein-
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
Tabel 2. Hasil analisa ANOVA (0,05) dua faktor antara jenis isolat dan jenis inokulum pada seleksi pertama. Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F
3736,6 4176,1 464,5 9,1
411,0 459,4 51,1
Jenis isolat Jenis inokulum Interaksi Galat
160673,9 4176,1 19973,9 1600
43 1 43 176
Total
186423,9
263
Tabel 3. Toksisitas sebelas isolat terpilih terhadap larva T. Molitor pada penapisan kedua. Kematian larva Isolat
PR U4 PR U8 PR U08 PR U09 LM TK2 LM TK5 LM TK6 LM TK9 LM TK10
Supernatan
Sel
Mortalitas (%)
Standard error
Mortalitas (%)
Standard error
90 100 80 60 70 80 100 90 80
0 0 0 5.8 0 0 0 0 0
90 100 90 70 70 80 90 80 80
0 0 0 0 5.8 0 0 0 0
nya dalam supernatannya (0,001 mg protein/l). Dari penapisan kedua, isolat PRU8 dan HJ mengakibatkan mortalitas larva 100% pada bioasai dengan menggunakan sel (15 sel/larva) maupun supernatan (0,001 mg protein/larva) (Tabel 3). Analisis ANOVA menunjukkan bahwa jenis isolat pada seleksi kedua sangat berpengaruh terhadap tingkat mortalitas larva. Sebaliknya, jenis inokulum yang diinjeksikan tidak berpengaruh (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa selain sel bakteri sendiri, produk ekstraselular dari kedua isolat juga bersifat toksik dan dapat membunuh larva. Mortalitas larva akibat penyuntikan sel maupun supernatan kemungkinan disebabkan oleh beberapa produk ekstraselular yang dikeluarkan bakteri pada saat memasuki fase stasioner. Produk ekstraselular yang dikeluarkan di antaranya berupa fosfolipase, lipase, protease, dan beberapa antibiotik, protein toksin kompleks (Toxin complex) dengan berat molekul tinggi, lipopolisakarida (LPS), berbagai macam antibodi, dan antifungi (Akhurst and Boemare 1990; Forst and Nealson 1996; Daborn et al. 2003; Ribeiro et al. 2003). Bowen dan Ensign (1998) menyatakan bahwa kompleks protein toksin dengan berat molekul tinggi tanpa aktivitas lipase dan protease
Ftabel 1,5 3,9 1,5
juga menyebabkan tingkat kematian yang tinggi jika disuntikkan atau diberikan kepada larva serangga. Di antara faktor-faktor virulensi tersebut, kompleks protein toksin insektisida dan gen penyandinya merupakan faktor virulensi dari bakteri simbion NPS yang paling banyak diteliti dan dikaji oleh para peneliti di luar negeri, sebagai sumber gen atau toksin alternatif dalam upaya mengatasi masalah hama tanaman (Bowen and Ensign 1998; Brown et al. 2006; Daborn et al. 2003; Liu et al. 2003) Karakterisasi Fenotipe Berdasarkan pewarnaan gram dan preparat lekapan basah diketahui bahwa isolat HJ dan PRU8 merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang dengan penataan tunggal dan motil. Uji reaksi fisiologis dan biokimia terhadap isolat HJ menunjukkan hasil negatif, kecuali pada uji fermentasi glukosa dan produksi indol. Isolat PR U8 menunjukkan hasil uji oksidase dan arginin positif, mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit, dapat menggunakan sitrat sebagai sumber karbon, menghidrolisis urea, memfermentasi glukosa dan xylosa (Tabel 5). Hasil uji fisiologis dan biokimia isolat Hj sesuai dengan ciri genus Photorhabdus yang terdapat pada tabel identifikasi Microgen GN-ID. Photorhabdus merupakan genus bakteri dengan tingkat sintasan yang sangat rendah di luar inang nematodanya. Bakteri ini sangat jarang berhasil diisolasi dari tanah maupun air. Menurut Forst dan Nealson (1996), hal ini disebabkan karena asosiasi simbiotik bakteri ini dengan nematoda inang sangat esensial bagi sintasannya dalam tanah. Oleh karena itu, pengembangan potensi isolat ini akan lebih baik bila digunakan dalam bentuk simbiosisnya bersama-sama dengan nematoda atau sebagai sumber gen untuk keperluan rekayasa genetik. Berbeda dengan hasil uji fisiologis dan biokimia isolat HJ, hasil uji terhadap isolat PR U8 belum memadai untuk menentukan genus maupun spesiesnya. Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa isolat PRU8 bukan termasuk genus Photorhabdus karena mampu mereduksi nitrat menjadi nitrit. Menurut Forst dan
123
AKHDIYA ET AL.: TOKSISITAS BAKTERI SIMBION NEMATODA PATOGEN TERHADAP LARVA ULAT HONGKONG
Tabel 4. Hasil analisa ANOVA (0,05) dua faktor antara jenis isolat dan jenis inukulum pada seleksi kedua. Sumber keragaman
Jumlah kuadrat
db
Kuadrat tengah
F
4959,1 50,0 104,1 16,7
297,6 3,0 6,3
Jenis Isolat Jenis Inokulum Interaksi Galat
54550 50 1150 800
11 1 11 48
Total
56550
71
Tabel 5. Karakter fisiologis isolat PR U8 dan HJ.
Oksidase Lysin Ornitin H2S ONPG Indole Urease Nitrat V.P Citrat TDA Gelatine Malonat Fermentasi: Glukosa Manitol Xylose Inositol Sorbitol Arabinosa Lactosa Arginin 24 jam
PRU8
HJ
+ + + + + + +
+ + -
Nealson (1996), Photorhabdus termasuk bakteri yang tidak mampu mereduksi nitrat. Oleh karena itu perlu dilakukan karakterisasi dan identifikasi lebih lanjut mengingat pentingnya informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan potensi PRU8 sebagai agen biokontrol yang aman. Penemuan isolat bakteri selain Photorhabdus spp. dan Xenorhabdus yang berasosiasi dengan nematoda patogen serangga Heterorhabditis spp. dan Steinernema spp. juga pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti lain, di antaranya Ochrobactrum spp. (Babic et al. 2000, Aguillera et al. 1993), Providencia rettgeri (Jackson et al. 1995), Paracoccus denitrificans, dan Pseudomonas maltophila (Aguillera et al. 1993).
124
2,0 4.0 2,0
KESIMPULAN DAN SARAN Reaksi
Jenis uji fisiologis biokimia
F tabel
Isolat HJ dan PRU8 adalah isolat bakteri simbion nematoda patogen serangga yang memiliki potensi sebagai agen pengendali hama tanaman. Hasil identifikasi secara fisiologis dan biokimia menunjukkan bahwa isolat HJ adalah Photorhabdus spp., sedangkan isolat PRU8 belum dapat ditentukan genusnya. Identifikasi lebih lanjut untuk menentukan genus atau species PRU8 perlu dilakukan, mengingat pentingnya informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan potensinya sebagai agen biokontrol.
DAFTAR PUSTAKA Aguillera, M.M., N.C. Hodge, R.E. Stall, and G.C. Smart, Jr. 1993. Bacterial symbionts of Steinernema scapterisci. J. Invertebr. Pathol. 62:289-294 Akhurst, R.J. and N.E. Boemare. 1990. Biology and taxonomy of Xenorhabdus. In R.R Gaugler and H.K. Kaya (Eds.). Entomopathogenic nematodes in biological control. Boca Raton: CRC Pr. p.75-87. Babic, I., M.F. le Saux, E. Giraud, and N. Boemare. 2000. Occurence of natural dixenic associations between the symbiont Photorhabdus luminescens and bacteria related to Ochrobactrum spp. in tropical entomopathogenic Heterorhabditis spp. (Nematoda, Rhabditida). Microbiology 146:709-718. Bradford, M.M. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram qualities of protein utilizing the principle of protein binding dye. Anal Biochem 72:248-254. Bowen, D.J. and J.C. Ensign. 1998. Purification and characterization of a high-molecular-weight insecticidal protein complex produced by the entomopathogenic bacterium Photorhabdus luminescens. Appl. Environ. Microbiol. 64:3029-3035. Brown, S.E., A.T. Cao, P. Dobson, E.R. Hines, R.J. Akhurst, and P.D. East. 2006. Txp40, a Ubiquitous insecticidal toxin protein from Xenorhabdus and Photorhabdus Bacteria. Environ. Microbiol. 72:1653-1662. Daborn, P.J., N. Waterfied, A. Blight, and R.H. French-Constant. 2003. Measuring virulence factor expression by the pathogenic bacterium Photorhabdus luminescens in culture and during insect infection. J. Bacteriol. 183:5834-5839.
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 27 NO. 2 2008
Forst, S. and K. Nealson. 1996. Molecular biology of the symbioticpathogenic bacteria Xenorhabdus spp. and Photorhabdus spp. Microbiological Reviews 60:21-43. Jackson, T.J., H. Wang, M.J. Nugent, C.T. Griffin, A.M. Burnell, and B.C.A. Dowds. 1995. Isolation of insect pathogenic bacteria, Providencia rettgeri, from Heterorhabditis spp. J. Appl. Bacteriol. 78:237-244. Kaya, H.K. and R. Gaugler. 1993. Enthomopathogenic nematodes in biological control. Florida: CRC Pr.
Poinar, G.O. Jr, J.M. Thomas, and R. Hess. 1977. Characteristics of the specific bacterium associated with Heterorhabditis bacteriophora (Heterorhabditida: Rhabditida). Nematologica 23:97-102. Pratiwi, E., A. Akhdiya, I.M. Samudra, dan B. Soegiarto. 2005. Isolasi gen penyandi toksin insektisidal dari bakteri simbion nematoda patogen serangga. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian 2004.
Liu, D., S. Burton, T. Glancy, Z.S. Li, R. Hampton, T. Meade, and D.J. Merlo. 2003. Insect resistance conferred by 283-kDa Photorhabdus luminescens protein TcdA in Arabidopsis thaliana. Nat. Biotechnol. 21:1222-1228.
Ribeiro, C., M. Vignes, and M. Brehcelin. 2003. Xenorhabdus nematophila (Enterobacteriacea) secretes a cation-selective calcium-independent porin which causes vacuolation of the rough endoplasmic reticulum and cell lysis. J. Biol. Chem. 278(5):3030-3039.
Poinar G. 1990. Biology and taxonomy of Steinernematidae dan Heterorhabditidae. Di dalam Gaugler RR, Kaya HK, editor. Entomopathogenic nematodes in biological control. Boca Raton: CRC Pr. p.23-62.
Takeda, S., I.M. Samudra, T. Shiotsuki, and Y. Tanaka. 1995. Difficulty in inducing extra laervae ecdysis in the silkworm, Bombyx mori, by repeated administration of ecdysone. J. Seric. Sci. Jp. 64(2):156-164.
125