Tipe Infeksi Virus Penyakit Kerdil ((IHHNV, MBV, dan HPV) pada Benih Udang Windu (Penaeus monodon) pada Musim Berbeda Di Sulawesi Selatan Sriwulan1, Akbar Tahir2, Baharuddin3, Alexander Rantetondok1 dan Hilal Anshary1 1. Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS 2. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS 3. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNHAS Kontak person: Sriwulan (
[email protected])
Abstrak Virus IHHNV, MBV, dan HPV dikenal sebagai virus penyebab penyakit kerdil udang windu atau Monodon Slow Growth Syndrome (MSGS). Tipe infeksi virus pada satu organism/inang terdiri atas dua yaitu ko-infeksi yang ditandai dengan keberadaan dua atau lebih virus pada satu inang dan menginfeksi sel atau jaringan yang sama dan interferens adalah hubungan antara virus yang terjadi ketika suatu populasi sel yang telah terinfeksi virus akan menjadi resisten terhadap virus yang sama atau virus yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prevalensi tipe infeksi virus IHHNV, MBV dan HPV yaitu secara tunggal, ganda dan tripel atau tidak terinfeksi pada benih udang windu di Sulawesi Selatan pada musim berbeda. Sampel benih/PL pada musim berbeda diperoleh dari kabupaten Pinrang, Barru, dan Takalar. Ekstraksi DNA menggunakan kit komersil. DNA ketiga virus diamplifikasi bersamaan menggunakan 3 pasang primer spesifik pada multipleks PCR (MPCR) yang ditandai oleh jumlah pita yang muncul (satu, dua, tiga atau tidak ada). Data prevalensi dianalisis dengan Chi-square, data hasil MPCR dan kualitas air dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan pada musim hujan dan musim kemarau ketiga virus tersebut menginfeksi benih udang windu secara tunggal, ganda, tripel dan tidak terinfeksi. HPV tidak pernah menginfeksi secara tunggal begitu pula infeksi ganda MBV+HPV. Prevalensi tipe infeksi virus pada benih antara musim hujan dan kemarau tidak berbeda nyata (P>0.05), namun prevalensi tidak terinfeksi berbeda dengan tipe terinfeksi baik pada musim hujan maupun musim kemarau (P<0.05). Hal ini mengindikasikan ketiga virus MSGS dapat menginfeksi bersamaan/ko-infeksi pada satu individu udang windu dan keberadaannya sepanjang musim di Sulawesi Selatan. Kata kunci : HPV, IHHNV, MBV, Musim, Tipe infeksi, Benih udang windu.
Pengantar Penyakit kerdil udang windu atau dikenal dengan istilah monodon slow growth syndrome (MSGS) di Sulawesi Selatan sebenarnya telah banyak menyebabkan kerugian petani tambak karena ukuran udang yang tidak bisa mencapai ukuran standar sesuai umur udang tersebut, namun laporan tentang kerugian ekonomi yang dialami usaha budidaya di Sulawesi Selatan belum pernah dilaporkan. Sriwulan (2012) melaporkan adanya fenomena udang windu kerdil di tambak di Sulawesi Selatan yaitu udang windu berukuran sekitar 4.12 – 16.86 g setelah 4 bulan pemeliharaan. Kerugian akibat penyakit MSGS di Thailand dari 255.568 ton (US$ 2467 juta) pada 2001 menjadi 212.091 ton (US$ 1846 juta) pada 2002 dan hal ini berlanjut sampai 2003. Udang yang dipelihara di tambak selama 4 bulan memperlihatkan pertumbuhan yang kerdil dengan laju pertumbuhan harian sekitar 0.07 sampai 0.15 g/hari atau hanya mencapai berat sekitar 16.8 g/ekor, jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang normal yang laju
pertumbuhan hariannya sekitar 0.2 g/hari dengan berat badan sekitar 24 g/ekor setelah dipelihara selama 4 bulan (Chayaburakul et al., 2004). Penyakit kerdil udang windu yang telah dilaporkan di beberapa negara disebabkan oleh beberapa jenis patogen seperti virus dan parasit. Jenis virus yang berasosiasi dengan penyakit kerdil adalah virus Monodon baculovirus (MBV), Hepatopancreatic parvovirus (HPV), Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis vrius (IHHNV), serta Laem-sing necrosis virus (LSNV) (Chayaburakul et al., 2004; Sritunyalucksana et al., 2006). Jenis parasit yang berasosiasi dengan penyakit kerdil adalah microsporidian dan gregarine yang terdapat pada usus udang yang pada infeksi berat menyebabkan penurunan laju pertumbuhan, perubahan warna menjadi kuning dan terjadi perforasi dan hiperflasia pada epitelium usus tengah/midgut (Poulpanich and Withyachumnarnkul, 2009). Tipe infeksi virus pada satu organisme terdiri atas dua yaitu ko-infeksi dan interferens. Ko-infeksi ditandai dengan keberadaan dua atau lebih virus pada satu inang dan menginfeksi sel, jaringan, atau individu yang sama (Harper, 1986 dalam Melena, 2006), sedangkan interferens adalah hubungan yang aneh antara virus yang terjadi ketika suatu populasi sel yang telah terinfeksi virus akan menjadi resisten terhadap virus yang sama atau virus yang lain (Fenner et al., 1993 dalam Melena, 2006). Tipe infeksi yang dimaksud pada penelitian ini adalah model/tipe virus menginfeksi udang windu yaitu secara sendiri, berdua atau bertiga dan seterusnya. Tipe infeksi tunggal yaitu jika infeksi oleh satu jenis virus, tipe infeksi ganda jika dua jenis virus menginfeksi, dan tipe infeksi tripel jika tiga jenis virus menginfeksi satu individu udang windu. Di Thailand, udang windu diinfeksi oleh virus MBV, IHHNV dan HPV, baik secara tunggal, ganda maupun tripel (Chayaburakul et al., 2004; Flegel et al., 2004). Untuk mendeteksi beberapa jenis virus pada satu individu udang secara molekuler dan simultan adalah dengan multipleks PCR (MPCR). Metode ini sangat efisien dalam hal penggunaan bahan serta tenaga, dan juga mengurangi kontaminasi akibat pemipetan jika dibandingkan dengan PCR tunggal sehingga dapat digunakan sebagai metode deteksi dini dan cepat.
Sriwulan dan Anshary (2011) telah mendeteksi MBV,
IHHNV, dan HPV pada benih udang windu dengan MPCR. Keberadaan agen penyakit pada kondisi budidaya dipengaruhi oleh banyak faktor. Kualitas media pemeliharaan merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap populasi patogen.
Multiplikasi virus IHHNV pada L. vannamei yang dipelihara pada air hangat
o
(32.8 C dan 31.1oC) memperlihatkan tingkat replikasi yang lebih rendah dibanding dengan yang dipelihara pada suhu dingin (24.4-26.3oC) (Montgomery-Brock et al., 2007). Begitupula dengan WSSV dan taura syndrome virus (TSV), tidak bisa bereplikasi pada udang yang dipelihara dalam air hangat (32oC) dibanding pada udang yang dipelihara pada suhu dingin (25oC) (Montgomery-Brock et al., 2004).
Pada musim hujan populasi virus
WSSV pada udang windu meningkat karena kekeruhan yang tinggi dan salinitas yang
rendah (Karunasagar and Karunsagar 1997).
Hal ini memperlihatkan bahwa dinamika
perkembangan virus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan melihat perbedaan musim yang mempengaruhi parameter kualitas air media budidaya terhadap keberadaan virus-virus penyebab udang kerdil. Di Indonesia penelitian tentang penyakit udang kerdil belum banyak dipublikasi baik pada pembenihan maupun pada tambak di dua musim yang berbeda yaitu musim hujan dan kemarau khususnya mengenai model/tipe infeksi virus penyakit kerdil terhadap udang windu. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prevalensi tipe infeksi ketiga virus penyakit kerdil udang windu pada musim berbeda pada benih yang terdeteksi dengan MPCR.
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi awal dalam
penanggulangan penyakit kerdil udang windu. Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2012 di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS. Sampel Sampel berupa benih udang windu berukuran pascalarva PL 8-12 berjumlah 90 ekor/musim dari 9 pembenihan di 3 kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Pinrang, Barru, dan Takalar. Ekstraksi DNA Prosedur ekstraksi DNA mengikuti petunjuk pabrikan (Qiagen). Untuk mendapatkan ekstrak DNA virus dari benih, organ yang dipakai adalah seluruh tubuh udang. Amplifikasi DNA dengan MPCR Primer yang diigunakan untuk amplifikasi DNA ketiga virus penyakit kerdil secara simultan adalah: HPV 2F/2R
5′-GGAAGCCTGTGTTCCTGACT-3′, 5′-CGTCTCCGGATTGCTCTGAT-3′ (595 bp) (Tang et al., 2008) MBV 261F/R 5′-AATCCTAGGCGATCTTACCA-3′ 5′-CGTTCGTTGATGAACATCTC-3′ (261bp) (Surachetpong et al., 2005) IHHNV F/R 5′-ATTTCTCCAAGCCTTCTCACC-3′ 5′-TGATGTAAGTAATTCCTCTCTGT-3′ (302bp) (Khawsak et al., 2008). Kondisi MPCR adalah predenaturasi 95oC selama 15 menit, denaturasi 94oC selama 30
detik, annealing 59oC selama 1 menit 30 detik, ekstension 72oC selama 1 menit 30 detik dan final ekstension 72oC selama 10 menit dengan komposisi MPCR adalah Master Mix 12.5 µL,
Primer mix 2.5 µL, kQ-solution 2.5 µL, RNA-ase free water 5.5 µL dan Template 2.0 µL (Sriwulan, 2012). Parameter -
Tipe Infeksi Hasil MPCR Hasil MPCR untuk tipe infeksi tunggal ditandai oleh kemunculan pita DNA secara tunggal (IHHNV, MBV atau HPV), tipe infeksi ganda ditandai oleh dua pita (IHHNV+MBV, IHHNV+HPV atau MBV+HPV), dan tipe infeksi tripel ditandai oleh tiga pita (IHHNV+MBV+HPV), tipe tidak terinfeksi ditandai tidak ada pita. Tipe infeksi pada penelitian ini teridiri atas tipe infeksi tunggal, ganda, dan tripel. Tipe teriinfeksi adalah total udang yang terinfeksi tunggal, ganda, dan tripel sementara tipe tidak terinfeksi adalah total udang yang bebas dari infeksi virus MSGS.
Hasil MPCR
dikonfirmasi dengan uji histology. -
Prevalensi Tipe Infeksi Prevalensi tipe infeksi adalah persentase jumlah udang windu yang terinfeksi setiap tipe infeksi dalam setiap populasi udang pada musim kemarau dan hujan.
-
Kualitas Air Data kualitas air pada pembenihan dan tambak meliputi suhu, salinitas, dan pH yang diukur secara in situ untuk membantu dalam pembahasan tentang keberadaan virus pada musim berbeda.
Analisis Data Data hasil MPCR dan data kualitas air dianalisis secara deskriptif. Analisis data prevalensi tipe infeksi anatara musim hujan dan kemarau secara statistic yaitu dengan Chi Square. Hasil dan Pembahasan Hasil Tipe Infeksi Hasil MPCR Hasil MPCR menggunakan tiga pasang primer spesifik memperlihatkan adanya tipe infeksi tunggal, ganda, dan tripel virus MSGS baik pada benih udang windu di Sulawesi Selatan (Gambar 1). Hasil MPCR ini dikonfirmasi dengan histology terbukti bahwa virus MBV, IHHNV, dan HPV menginfeksi udang windu secara bersamaan dalam satu individu udang windu (Gambar 2). Hasil histology memperlihatkan infeksi IHHNV ditandai dengan adanya occlusion body yang bersifat eosinofilik berwarna merah jambu dan terjadi hypertrophied nucleus, dimana nukleus lebih ke pinggir dan badan inklusi dikelilingi oleh
kromatin yang berssifat basofiliik, infeksi M MBV ditand dai oleh rea aksi eosinoffilik terhada ap hat berwarna a merah jam mbu dengan ciri terjadi hyypertrophied d nucleus da an pewarnaan dan terlih entuk seperrti anggur, ssedangkan in nfeksi HPV ditandai de engan adanyya inclusion body berbe hypetrop phied nucleus s yang bersiifat basofilik dan terjadi occlusion bo ody (Flegel, 2006).
Gambar 1.
Hasil MPCR M benih h udang win ndu. M ada alah Marker 100 bp. La ane 1 kontrrol negatiff, lane 3 (MBV+IHHNV+ +HPV), lane e 4 (MBV), 5 dan 6 (IHH HNV + HPV V), lane 7 (IHHNV), La ane 8 dan 11 1 (MBV + IH HHNV).
epatopankrea as benih uda ang windu yyang terinfekksi virus HPV V, Gambar 2. Fotograff jaringan he IHHNV dan MBV. H&E H (100x).
nsi Tipe Infe eksi Virus MSGS M pada a Benih Uda ang Windu Prevalen H Hasil penelitiian memperrlihatkan ba ahwa benih udang wind du yang ak kan ditebar di tambak telah t terinfekksi virus IHH HNV, MBV d dan HPV den ngan tipe inffeksi tungga al, ganda, da an tripel pada musim hujan h dan kemarau.
Prevalensi tipe infeksi virus di pe embenihan di
ntara musim m hujan dan kemarau tidak berbeda a nyata (P> >0.05), infekksi Sulawesii Selatan an tunggal HPV H dan infe eksi ganda MBV+HPV ttidak pernah h muncul sepanjang musim. Namun,
pada prevalensi tipe terinfeksi berbeda nyata dengan tipe tidak terinfeksi pada musim hujan dan kemarau (P<0.05) (Tabel 1).
Hal ini mengindikasikan bahwa infeksi virus MSGS
dengan tipe infeksi tunggal, ganda, dan tripel pada benih udang windu terdapat sepanjang tahun dengan prevalensi yang tinggi sehingga sangat membahayakan produksi udang windu di tambak. Tabel 1. Prevalensi tipe infeksi virus penyakit kerdil udang windu pada pembenihan Tipe Infeksi
Musim Hujana
Prevalensi (%) Musim Kemaraua
Infeksi Tunggal: IHHNV 6 ± 7.77 12 ± 6.94 MBV 9 ± 6.56 1 ± 1.92 HPV 0 0 Infeksi Ganda: MBV+IHHNV 30 ± 30.17 26 ± 5.09 IHHNV+HPV 5 ± 8.08 6 ± 3.85 MBV+HPV 0 0 Infeksi Tripel: MBV+IHHNV+HPV 28 ± 22.55 21 ± 5.09 TidakTerinfeksi 21 ± 8.08a 34 ± 5.09a Terinfeksi 79 ± 8.08b 66 ± 5.09b Jumlah Sampel (ekor) 90 90 a = Prevalensi setiap tipe infeksi virus tidak berbeda nyata antara musim hujan dengan musim kemarau (P>0.05). Kualitas Air Nilai parameter kualitas air pembenihan dan tambak pada musim hujan dan kemarau terlihat berbeda (Tabel 2). Pada musim hujan nilai parameter kualitas air yang diamati lebih rendah dari kebutuhan optimum udang. Tabel 2. Nilai kualitas air pada pembenihan Parameter
Nilai Kualitas Air Musim Hujan
Musim Kemarau
Kebutuhan Optimum
o
Suhu ( C)
25 – 29
31 - 33
Salinitas (ppt)
24 - 27
30 - 35
26 - 31oC (Poernomo, 1979). 28±1oC (Wardoyo dan Djokosetyanto, 1988) 28-30 ppt (Cholik, 1986)
pH
6.41 – 7.39
6.72 – 7.67
7,5 - 8,5 (Chie, 1992)
Pembahasan Hasil MPCR memperlihatkan virus MSGS di benih udang windu diinfeksi oleh ketiga virus tersebut dengan model/tipe infeksi tunggal, ganda dan tripel. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga virus ini dapat menginfeksi secara bersama-sama pada satu individu udang windu atau disebut dengan ko-infeksi atau ketiga virus tersebut tidak saling menghalangi,
walaupun HPV dan MBV+HPV tidak pernah terdeteksi dengan MPCR. Infeksi virus pada udang windu dapat terjadi secara sendiri atau tunggal, ganda, tripel infeksi maupun multi infeksi (Khawsak et al., 2008).
Tang and Lightner (2011), MBV dan HPV adalah dua jenis
virus yang melakukan replikasi secara independen pada satu individu udang. HPV lebih menyukai menginfeksi sel E (Embryonic) hepatopankreas, juga tidak mengkode DNA polymerase sehingga replikasinya tergantung pada aktifitas replikasi sel inang. MBV adalah baculovirus yang memiliki DNA polymerase dan dapat bereplikasi di dalam sel B (Blisterlike), F (Fibrilar) dan R (Resorptive).
Hal itu membuktikan bahwa kedua virus
tersebut kemungkinan tidak berinteraksi satu sama lain. Sementara IHHNV juga adalah Parpovirus seperti HPV, tidak mengkode suatu DNA polymerase dan tergantung pada sel inang dalam ketersediaan mesin replikasi DNA. Walaupun virus HPV dan IHHNV ini secara struktural sama, namun jaringan target infeksi berbeda, HPV menginfeksi sel-sel epithelial hepatopankreas sedangkan IHHNV pada dasarnya menginfeksi semua jaringan non enterik (Lightner et al., 1983; Lightner & Redman, 1985). Tipe infeksi tunggal virus HPV pada penelitian ini tidak pernah terdeteksi. Hal ini terlihat juga pada udang dewasa di Sulawei Selatan dimana virus HPV sebagai penginfeksi tunggal juga tidak terdeteksi (Sriwulan dkk., 2012). Hal serupa dijelaskan oleh Lightner (1996), HPV jarang ditemukan dalam kondisi infeksi tunggal sehingga gejala umum untuk HPV sulit ditentukan dan serangan HPV dengan agen-agen penyakit lainnya dan menyebabkan kematian tinggi pada tahap juvenil dalam 4 minggu dapat mencapai 50-100%. Hal ini juga ditemukan oleh Chayaburakul et al. (2004) dan Umesha et al. (2006), HPV tidak pernah ditemukan sebagai penginfeksi tunggal selalu menginfeksi dalam bentuk tipe infeksi ganda (MBV+HPV dan HPV+WSSV) atau infeksi tripel (HPV+MBV+WSSV).
Pada
penelitian ini tipe infeksi ganda MBV+HPV juga tidak ditemukan, baik di musim kemarau maupun hujan. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Flegel et al. (1999), Mannivan et al. (2002), Umesha et al. (2003), Chayaburakul et al. (2004), Tang and Lightner (2011) dimana kedua virus tersebut ditemukan menginfeksi bersamaan pada udang windu di India dan Thailand. Begitupula Sriwulan dkk. (2012) dengan menggunakan MPCR menemukan infeksi ganda MBV+HPV pada udang dewasa di tambak di Sulawesi Selatan, Indonesia Prevalensi tipe terinfeksi virus lebih tinggi daripada prevalensi tidak terinfeksi virus baik pada musim hujan maupun kemarau sehingga dapat dikatakan bahwa benih udang windu rentan terinfeksi virus MSGS pada musim hujan dibanding musim kemarau. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perubahan kualitas media seperti suhu, salinitas dan pH yang pada musim hujan nilainya menjauh dari kisaran optimal kebutuhan hidup udang windu.
Perubahan ini menyebabkan udang stress sehingga daya tahan tubuh udang
menurun. Kondisi lingkungan yang berada di luar kebutuhan optimal organisme akan menyebabkan stress dimana pada kondisi ini sistem imun untuk melawan patogen menurun.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi stress Total Haemocyte Count (THC) krustase menurun, aktifitas enzim yang berhubungan dengan resinstensi terhadap penyakit menurun dan sensitifitas terhadap patogen meningkat (Truscott & White, 1990; Vargas-Albores et al., 1998; Le Moullac & Haffner, 2000). Sementara You et al. (2010), sistem imun udang untuk melawan virus akibat perlakuan suhu menunjukkan bahwa THC dan aktifitas Phenoloksidase (PO) M. japonicus dewasa pada kontrol (tanpa WSSV) tidak berbeda nyata antara udang yang dipelihara pada suhu 27oC dengan 31°C, tetapi THC dan aktifitas PO udang yang dipelihara dan diinfeksi WSSV pada suhu 27oC dan 31°C berbeda sangat nyata lebih tinggi daripada THC dan PO udang yang dipelihara pada suhu 24oC selama 72 jam dan suhu 12oC selama 72 jam. Hal ini menunjukkan bahwa suhu air yang tinggi mencegah terjadinya infeksi dan secara nyata mengurangi mortalitas udang yang terinfeksi WSSV serta menunjukkan bahwa suhu air yang tinggi menghambat replikasi WSSV disebabkan oleh peningkatan aktifitas respon imun inang. Pengaruh salinitas dan pH terhadap immunokompetensi udang telah diteliti oleh Pan and Jiang (2002), selama perubahan singkat salinitas 10 jam dari 30‰ ke 15‰, begitupula dengan fluktuasi pH dari 8,5 ke 7.0 atau ke 9.5 aktifitas bakteriolitik dan aktifitas antibakteri dari dua udang (Fenneropenaeus chinensis dan L. vannamei) secara bertahap berkurang, sementara aktivitas PO (Phenoloksidase) meningkat. Kesimpulan 1. Hasil multipleks PCR memperlihatkan benih udang windu di Sulawesi Selatan terinfeksi oleh 3 jenis virus penyakit kerdil dengan model/tipe infeksi tunggal MBV dan
IHHNV
saja,
ganda
IHHNV+MBV
dan
IHHNV+HPV
serta
tripel
IHHNV+MBV+HPV, dan tipe infeksi tunggal virus HPV serta tipe infeksi ganda MBV+HPV tidak pernah muncul. MBV, IHHNV, dan HPV pada benih udang windu bersifat ko-infeksi. 2. Prevalensi tipe infeksi tunggal, ganda, dan tripel virus penyakit kerdil pada benih udang windu tidak berbeda berdasarkan musim, sementara prevalensi tipe terinfeksi lebih tinggi dari tipe tidak terinfeksi baik pada musim hujan maupun kemarau. 3. Kualitas air pembenihan pada musim hujan cenderung lebih rendah dari kebutuhan optimal udang windu. Daftar Pustaka Chayaburakul, K., Nash, G., Pratanpipat, P., Sriurairatana, S. and Withyachumnarnkul, B. 2004. Multiple pathogens found in growth-retarded black tiger shrimp Penaeus monodon cultivated in Thailand. Dis Aquat Org., 60: 89–96.
Chien, Y.H. 1992. Water Quality Requirements and Management for Shrimp Culture. In Wyban, J. (ed.): Proceedings of Special Session on Shrimp Farming. World Aquaculture Society Baton Rouge, L.A., USA. Cholik, F. 1986. Pokok-pokok Perawatan Larva Udang Penaeid. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Flegel, T. W. 2006. The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for aquaculture. Science Asia, 32: 215 – 221. Flegel, T. W., Thamavit, V., Pasharawipas, T. and Alday-Sanz, V. 1999. Statistical correlation between severity of hepatopancreatic parvovirus (HPV) infection and stunting of farmed black tiger shrimp (Penaeus monodon). Aquaculture. 174: 197– 206. Karunasagar, I., Otta, S.K. and Karunasagar, I. 1998. Monodo Baculovirus and bacterial septicemia associated with mass mortality of cultivated shrimp (P. monodon) from the east coast of India. Indian J. Virol. 14: 27-20. Khawsak, P., Deesukon, W., Chaivisuthangkura, P. and Sukhumsirichart, W. 2008. Multiplex RT- PCR assay for simultaneous detection of six viruses of penaeid shrimp. Molecular and Cellular Probes. 22:177-183. Le Moullac, G. and P. Haffner. 2000. Environmental factors affecting immune responses in Crustacea. Aquaculture. 191:121–131. Lightner, D.V., Redman, R.M. and Bell, T.A. 1983. Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis, a newly recognized virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr. Pathol. 42, 62– 80. Lightner, D.V. and Redman, R.M. 1985. A parvo-like virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr. Pathol. 45: 47–53. Lightner, D. V. 1996. Epizootiology, distribution and the impact on international trade of two penaeid shrimp viruses in the Americas. Rev. Sci. Tech. - Off. Int. Epizoot. 15: 579– 601. Lo, C.-F., Leu, J.-H., Ho, C.-H., Chen, C.-H., Peng, S.-E., Chen, Y.-T., Chou, C.M., Yeh, P.Y.,Huang, C.J., Chou, H.Y., Wang, C.-H., and Kou, G.-H., 1996. Detection of baculovirus associated with white spot syndrome (WSBV) in penaeid shrimps using polymerase chain reaction. Dis. Aquat. Org. 25: 133–141. Manivannan, S., Otta, S.K., Karunasagar, I. and Karunasagar, I. 2002. Multiple viral infection in Penaeus monodon shrimp postlarvae in an Indian hatchery. Dis Aquat Org. 48:233–236. Melena, J., Bayot, B., Betancourt, I., Amano, Y., Panchana, F., Alday, V., Calder, J., Stern, S., Roch, Ph. and Bonami, J-R. 2006. Pre-exposure to infectious hypodermal and haematopoietic necrosis virus or to inactivated white spot syndrome virus (WSSV) confers protection against WSSV in Penaeus vannamei (Boone) postlarvae. J. Fish Dis. 29: 589–600 Montgomery-Brock, D.R., Tacon, A.G.J., Poulos, B. and Lightner, D. V. 2007. Reduced replication of infectious hypodermal and hematopietic necrosis virus (IHHNV) in Litopnennaeus vannamei held in warm water. Aquaculture, 265:41-48. Montgomery-Brock, D. R, Shimojo, R. Y., Cochran, K., Bouthillette, L., Poulos, B. T., Navarro, S. and Lightner, D. V. 2004. Significant reduction in the replication rate of Taura Syndrome Virus in Litopenaeus vannamei held in hyperthermic conditions. World Aquaculture Society, Honolulu, Hawaii, USA. Pan, L. Q. and. Jiang, L. X. 2002. Effect of sudden changes in salinity and pH on the immune activity of two species of shrimp. Journal of Ocean University of Qingdao. 32:903–910. Pan, L. Q., Jiang, L. X. and Miao, J. J. 2005. Effects of salinity and pH on immune parameters of the white shrimp Litopenaeus vannamei. Journal of Shellfish Research. 24:1223–1227. Peng, S.E., Lo, C. F., Ho, C. H., Chang, C. F. and Kou, G. H. 1998. Detection of White Spot Baculovirus (WSBV) in Giant Freshwater Prawn, Macrobranchium rosenbergii, Using Polymerase Chain Reaction. Aquaculture. 164: 253-262.
Poulpanich, N., and Withyachumnarnkul, B. 2009. Fine structure of a septate gregarine trophozoite in the black tiger shrimp Penaeus monodon. Dis Aquat Org, 86: 57–63. Ramasamy, P., Brennan, G. P. and Jayakumar, R. 1995. A record and prevalence of Monodon baculovirus from post-larval Penaeus monodon in Madras, India. Aquaculture. 130: 129-135. Ramasamy, P., Rajan, P. R., Purushothaman, V. and Brennan, G. P. 2000. Ultrastructure and pathogenesis of Monodon baculovirus (Pm SNPV) in cultured larvae and natural brooders of Penaeus monodon. Aquaculture. 184: 45-66. Rajan, P. R., Ramasamy, P., Purushothaman, V., Brennan, G. P. 2000. White Spot Baculovirus Syndrome in Indian Shrimp Penaeus monodon and P. indicus. Aquaculture. 184:31-44. Sritunyalucksana, K., Apisawetakan, S., Boon-nat, A., Withyachumnarnkul, B., and Flegel, T. W. 2006. A new RNA virus found in black tiger shrimp Penaeus monodon from Thailand. Virus Research. 118: 31–38. Sriwulan. 2012. Deteksi molekuler dan analisis jenis-jenis virus penyebab penyakit kerdil pada udang windu (Penaeus monodon) di Sulawesi Selatan. Disertasi. Pascasarjana UNHAS. 190 hal. Sriwulan, Tahir, A., Rantetondok, A., dan Baharuddin. 2012. Pengembangan Multipleks PCR (MPCR) untuk mendeteksi virus penyakit kerdil udang windu di tambak pada musim berbeda. e-jurnal Pascasarjana UNHAS. 14 hal. Sriwulan dan Anshary, H. 2011. Deteksi virus penyebab penyakit kerdil pada benih udang windu (Penaeus monodon) dengan multipleks PCR. J. Fish. Sci. XIII (1): 1-7. Surachetpong, W., Poulos, B. T., Tang, K. F. J. and Lightner, D. V. 2005. Improvement of PCR method for the detection of monodon baculovirus (MBV) in penaeid shrimp. Aquaculture. 249:69–75 Tang, K. F. J. and Lightner, D. V. 2011. Duplex real-time PCR for detection and quantification of monodon baculo virus (MBV) and hepatopancreatic parvovirus (HPV) in Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org. 93: 191–198. Tang, K. F. J., Pantoja, C. R. and Lightner, D. V. 2008. Nucleotide sequence of a Madagascar hepatopancreatic parvovirus (HPV) and comparison of genetic variation among geographic isolates. Dis. Aquat. Organ. 80: 105–112. Truscott, R. and. White, K. N. 1990. The influence of metal and temperature stress on the immune system of crabs. Funct. Ecol. 4:455–461. Umesha, K. R., Uma, A., Otta, S. K., Karunasagar, I. and Karunasagar, I. 2003. Detection by PCR of hepatopancreatic parvovirus (HPV) and other viruses in hatchery-reared Penaeus monodon postlarvae. Dis. Aquat. Org. 57: 141–146. Umesha, K.R., Dass, B. K. M., Manjanaik, B., Venugopal, M. N., Karunasagar, I. and Karunasagar, I. 2006. High prevalence of dual and triple viral infections in black tiger shrimp ponds in India. Aquaculture. 258 : 91–96. Vargas-Albores, F., Hinojosa-Baltazar, P. and Portillo-Clark, G. 1998. Influence of temperature and salinity on the yellow leg shrimp, Penaeus californiensis Holmes, prophenoloxidase system. Aquaculture Research. 29:549–553. Wardoyo, S T. H dan Djokosetyanto, D. 1988. Pengelolaan Kualitas Air di Tambak Udang. Makalah di Sajikan pada Seminar Memacu Keberhasilan dan Pengembangan Usaha pertambakan Udang. Bogor, 16 - 17 September 1998. Wickins, J.F. 1976. The Tolerance of Warm Water Prawn to Recirculated Water. Aquaculture 9:19-37. Withyachumnarnkul, B, Chayaburakul, K., Lao-Aroon, S., Plodpai, P., Sritunyalucksana, K. and Nash, G. 2006. Low impact of infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV) on growth and reproductive performance of Penaeus monodon. Dis Aquat Org. 69: 129–136. You, X. X., Su, Y. Q., Mao, Y., Liu, M., Wang, J., Zhang, M., and Wu, C. 2010. Effect of high water temperature on mortality, immune response and viral replication of WSSV-infected Marsupenaeus japonicus juveniles and adults. Aquaculture. 305:133–137.