TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Jenis Broiler Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil budidaya teknologi peternakan yang memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan yang cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi pakan rendah dan siap dipotong pada usia yang relatif muda. Pada
umumnya
broiler ini siap panen pada usia 28-45 hari dengan berat badan 1,2-1,9 kg/ekor (Priyatno, 2000). Broiler sangat potensial diternakkan karena memiliki performans yang baik seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Performans Broiler Usia (Minggu) 1 2 3 4 5 6 7 8
Berat Badan (Kg) 0,159 0,418 0,813 1,265 1,765 2,255 2,715 3,135
Konversi Pakan (Kg) 0,92 1,23 1,40 1,52 1,65 1,79 1,93 2,07
Sumber : Murtidjo (1987).
Rasyaf (2000) menyatakan bahwa karakteristik Abror Acress CP-707 yang dihasilkan oleh PT. Charoen Phokphand yaitu: berat badan 8 minggu : 2,1 kg, konsumsi ransum : 4,4 kg, konversi ransum : 2,2 kg, daya hidup : 98%, warna kulit : kuning, warna bulu : putih.
Kebutuhan Nutrisi Broiler Untuk keperluan hidupnya dan untuk produksi, ayam membutuhkan sejumlah
nutrisi yaitu protein yang mengandung asam amino seimbang dan
Universitas Sumatera Utara
berkualitas, energi yang berintikan karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral (Rasyaf, 1997). Kartadisastra (1994) menyatakan bahwa jumlah ransum yang diberikan sangat bergantung dari jenis ayam yang dipelihara, sistem pemeliharaan dan tujuan produksi. Di samping itu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan genetik dan lingkungan tempat ternak itu dipelihara. Broiler dapat menyesuaikan konsumsi ransumnya untuk memperoleh cukup
energi
guna
pertumbuhan
maksimum. Penyesuaian tersebut berkisar
antara 2800-3400 kkal energi metabolisme per kg ransum (Anggorodi, 1985). Kebutuhan zat nutrisi
broiler pada fase yang berbeda tertera pada
Tabel 2. Tabel 2. Kebutuhan Zat Nutrien Broiler Umur 0-6 Minggu No
1 2
Umur
Starter Finisher
Kandungan nutrisi ransum Protein (%) EM (kkal) Lemak (%) SK(%) Ca (%) 23 3200 4 3-5 1 20 3200 3-4 3-6 0,9
P (%) 0,45 0,4
Sumber : (NRC, 1984)
Daya cerna karbohidrat yang berupa pati cukup tinggi, sekitar 95%. Akan tetapi bila ada unsur-unsur pembangunan dari tanaman seperti selulosa dan hemisellulosa, lignin dan lain sebagainya menyebabkan daya cerna karbohidrat akan menurun. Zat-zat tersebut merupakan salah satu unsur penentu daya cerna energi. Kadar serat kasar yang tinggi akan menurunkan nilai daya cerna dari bahan ransum, sehingga dapat menyebabkan menurunnya pertambahan bobot badan ternak (Anggorodi, 1985).
Universitas Sumatera Utara
Bahan Penyusun Ransum Bungkil Inti Sawit Kelapa sawit (Elaeis guineensis, jack) dalam susunan taksonomi tergolong kedalam Phylum : Angiospermae, Sub Phylum : Monocotyledonae, Divido : Corolliferae, Ordo : Palmales, Familia : Cocoineae, Genus : Elaeis dan Spesies : Guineensis (Tillman et al. 1991). Bungkil inti sawit adalah hasil samping ikutan proses ekstraksi inti sawit. Bahan ini dapat diperoleh dengan proses kimia atau dengan cara mekanik. Walaupun kandungan proteinnya baik, tetapi karena serat kasar tinggi dan palatabilitasnya rendah menyebabkan kurang cocok untuk ternak monogastrik dan lebih sering diberikan kepada ruminansia (Devendra, 1997). Menurut Siregar (1995) bahwa bungkil inti sawit yang difermentasi enzim selulase dapat diberikan sebesar 15 % dalam pakan broiler. Kandungan protein bungkil inti sawit lebih rendah dari bungkil lainnya. Namun demikian masih dapat dijadikan sebagai sumber protein, kandungan asam amino esensialnya cukup lengkap (Lubis, 1993). Bungkil inti sawit sebagai hasil ikutan dari industri minyak inti sawit sebagai bahan pakan lokal potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, hanya
permasalahannya bahan
yang tinggi
lokal
tersebut
mengandung serat kasar
karena terdapat sebagian pecahan cangkang (kulit yang keras)
(Sinurat dkk, 1996). Kandungan nutrisi bungkil inti sawit tertera pada Tabel 3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi Metabolisme (kkal/kg)
Kandungan Nutrisi 16,41 6,41 11,98 0,58 0,34 2814
Sumber: Laboratorium Sungai Putih (2009).
Tepung Jagung Kuning Jagung kuning sebagai sumber energi dalam ransum unggas selain itu juga jagung kuning merupakan sumber pigmen xanthophyl yang menimbulkan warna kuning pada kaki, kulit, dan kuning telur. Protein jagung dapat bervariasi mulai dari 8-10%, serta koefisien cerna protein, lemak dan serat kasar dari jagung yakni: 77%, 90% dan 57%; sedangkan untuk bungkil kedelai masing-masing: 84%, 85% dan 73% (Anggorodi, 1985). Jagung kuning di samping mengandung karoten, juga menjadi sumber energi dalam ransum, energi metabolismenya 3370 kkal/kg. Jagung mengandung kadar triptophan yang rendah dan paling rendah adalah kadar methioninnya, kemudian lisin (Wahyu, 1992). Kandungan nutrisi jagung dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Nutrisi Jagung Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi Metabolisme (kkal/kg)
Kandungan Nutrisi 8,60 3,90 2,00 0,02 0,30 3370
Sumber: Scott (1982).
Universitas Sumatera Utara
Bungkil Kedelai Bungkil kedelai adalah kedelai yang sudah diambil minyaknya. Kandungan protein bungkil kedelai sekitar 48% dan merupakan sumber protein yang amat bagus sebab keseimbangan asam amino yang terkandung didalamnya cukup lengkap dan tinggi. Wahyu (1992), kandungan zat nutrisi bungkil kedelai dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Kandungan Zat Nutrisi Bungkil Kedelai Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi Metabolisme (kkal/kg)
Kandungan Nutrisi 48 0,51 0,41 0,41 0,67 2290
Sumber: Scott (1982).
Tepung Ikan Tepung ikan merupakan sumber protein utama bagi unggas karena bahan makanan tersebut mengandung semua asam amino esensial yang dibutuhkan ayam dalam jumlah yang cukup dan merupakan sumber lisin dan methionin yang baik. Pemberian tepung ikan sering dibatasi untuk mencegah bau ikan yang dapat meresap dalam daging dan telur (Anggorodi, 1985). Berbagai macam minyak nabati yang sering digunakan untuk ransum lebih dapat
dicerna dari
lebih tinggi
lemak hewan dan mempunyai nilai energi metabolis
(Anggorodi, 1985).
Kandungan
nutrisi tepung ikan dapat dilihat
pada Tabel 6.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 6. Kandungan Nutrisi Tepung Ikan Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi Metabolisme (kkal/kg)
Kandungan Nutrisi 55 5,62 0,41 6,89 0,6 2565
Sumber: Scott (1982).
Dedak Halus Dedak halus adalah hasil sisa penggilingan atau penumbukan padi. Bahan ransum tersebut sangat populer dan banyak sekali digunakan dalam ransum ternak. Kandungan proteinnya juga tinggi sebesar 13%. Dedak halus kaya akan thiamin dan kandungan lisin yang tinggi (Anggorodi, 1985). Kandungan zat nutrisi dedak halus dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan Nutrisi Dedak Halus Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi Metabolisme (kkal/kg)
Kandungan Nutrisi 13.0 0.60 13.00 0.21 1.50 1890
Sumber: Rasyaf (1990).
Fermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium Fermentasi adalah proses penguraian unsur organik kompleks terutama karbohidrat untuk menghasilkan energi melalui enzim yang dihasilkan mikroorganisme yang biasanya terjadi dalam keadaan anaerob dan diiringi dengan pembebasan gas. Proses fermentasi tidak akan berlangsung tanpa adanya enzim katalis spesifik yang akan dapat dikeluarkan oleh mikroorganisme tertentu. Proses fermentasi mikroorganisme memperoleh sejumlah energi untuk pertumbuhannya
Universitas Sumatera Utara
dengan jalan merombak bahan yang memberikan zat-zat nutrisi atau mineral bagi mikroorganisme seperti protein, vitamin dan lain-lain. Fermentasi pakan adalah kondisi perlakuan dan penyimpanan produk dalam lingkungan dimana beberapa tipe organisme dapat berkembangbiak (Adams and Moss, 1995). Proses fermentasi pakan dapat dilakukan melalui kultur media padat atau semi padat dan media cair, sedangkan kultur terendam dilakukan dengan menggunakan media cair. Fermentasi dengan menggunakan kapang Phanerochaete chrysosporium secara substrat padat memungkinkan terjadi perubahan komponen bahan yang sulit dicerna menjadi lebih mudah dicerna serta meningkatkan nilai nutrisi (protein dan energi metabolis) bungkil inti sawit juga memiliki palatabilitas yang tinggi (Sinurat et al, 1996 : Pasaribu et al, 1998). Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim-enzim tertentu terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan hemiselulosa menjadi
gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi
kapang, selain
pertumbuhan
dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan
protein hasil metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1983 : Satiamihardja, et al, 1984). Tabel 8. Kandungan Nutrisi Bungkil Inti Sawit Fermentasi Phanerochaete chrysosporium Zat Nutrisi Protein Kasar (%) Lemak Kasar (%) Serat Kasar (%) Kalsium (%) Posfor (%) Energi Metabolisme (kkal/kg)
Kandungan Nutrisi 17,62 3,99 10,21 0,22 0,53 2957
Sumber: Laboratorium Sungai Putih (2009)
Universitas Sumatera Utara
Phanerochaete chrysosporium memiliki klasifikasi : Division: Mycota, Sub Division : Eumycota, Class: Bacidiomycetes, Family: Hymenomycetaceae, Genus : Phanerochaete, Spesies: Phanerochaete chrysosporium (Herlina, 1998). Phanerochaete chrysosporium adalah jamur pelapuk putih yang dikenal kemampuannya mendegradasi lignin (Wright, 1992 ; Cookson, 1995). Menurut Valli et al (1992) Phanerochaete chrysosporium adalah kapang pendegradasi lignin dari kelas basidiomycetes yang membentuk sekumpulan miselia dan berkembangbiak secara aseksual melalui spora atau seksual dengan perlakuan tertentu (Dhawale dan Kathrina, 1993). Mekanisme kerja enzim tidak menghasilkan serat dengan melarutkan lignin yang ada di bagian tengah, dengan cara melunakkan dan memecahkan lapisan serat yang terkadang juga melepaskan pita-pita serat dalam mikrofibilnya. Ini memberikan pengaruh yang baik karena lebih mudah pencernaannya jika diberikan sebagai bahan ransum ternak (Troter, 1990 ; Krik, 1993).
Suplementasi Mineral Zn Tillman dkk (1991) mengemukakan fungsi mineral secara umum adalah : sebagai bahan pembentuk tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan yang keras dan kuat, mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh, memelihara keseimbangan asam basa dalam tubuh, sebagai aktivator sistem enzim tertentu, dan sebagai komponen dari suatu enzim. Siagian (1979) menyatakan bahwa mineral mikro termasuk Zn penting diperhatikan, karena kekurangan Zn mengurangi produksi yang dapat dicapai. Zinkum merupakan mineral mikro yang dibutuhkan ternak untuk melakukan fungsi metabolik yang normal pada ternak unggas dan ternak lainnya. Zinkum
Universitas Sumatera Utara
adalah komponen pembentuk enzim karbonik anhidrase (metaloenzim). Enzim ini berperan dalam mengkatalisa perombakan asam karbonat menjadi CO2 dan H2O. Di samping itu dapat menyembuhkan parakeratosis pada ternak unggas dan babi. Untuk
pertumbuhan
ayam
dibutuhkan
(Scott, 1976) ; 35 - 40 ppm, (Ewing, 1961)
mineral dan
Zn
minimal
40 ppm
maksimum 1000 ppm
(Church, 1988). Defisiensi Zn mengakibatkan penurunan pertumbuhan dan perkembangan tulang pada anak ayam, dimana tulang kaki memendek dan menebal. Anak ayam yang berasal dari induk yang defisiensi Zn akan memperlihatkan cara bernafas berat, pertumbuhan bulu terganggu dan mengeriting. Zinkum yang terdapat dalam bahan ransum alami tidak dapat memenuhi kebutuhan ayam, sehingga harus dilakukan suplementasi (penambahan) mineral Zn (Wahyu, 1992). Tabel 9. Kebutuhan Suplementasi Mineral Zn pada Unggas No 1.
2.
3.
4.
Unggas Ayam Broiler Starter Finisher Ayam Petelur Starter Grower Finisher Itik Grower Finisher Puyuh Grower Breeder
Kebutuhan (mg/ekor/hari) 40 40 40 35 40 60 60 25 50
Sumber : Widodo (2002).
Kebutuhan akan mineral Zn ditentukan berbagai faktor antara lain: umur ternak, bangsa ternak, fungsi produksi dan komposisi ransum yang mempengaruhi penyerapan dan pemanfaatan seng (Parakkasi, 1995). Sangat sulit menentukan
Universitas Sumatera Utara
jumlah maksimal Zn yang dibutuhkan ternak karena hasil-hasil penelitian yang bervariasi, akan tetapi defisiensi Zn akan dapat mempengaruhi metabolisme zat makanan dalam tubuh ternak.
Konsumsi Ransum Sesuai dengan tujuan pemeliharaannya yaitu memproduksi daging sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat, maka jumlah pemberian pakan tidak dibatasi (ad libitum) artinya berapa saja jumlah pakan yang dapat dihabiskan, itulah yang diberikan (Kartadisastra, 1994). Menurut Wahyu (1992), konsumsi ransum kualitas
dan
kuantitas
ransum,
tingkat produksi dan
dapat
ransum, umur, aktivitas
dipengaruhi ternak,
oleh
palatabilitas
pengelolaannya. Parakkasi (1983) menyatakan
bahwa komposisi kimia dan keragaman ransum erat hubungannya dengan konsumsi ransum. Kartadisastra (1997) menyatakan bahwa palatabilitas merupakan sifat performans dari bahan sebagai akibat dari keadaan fisik dan kimiawi yang dimiliki bahan-bahan pakan tersebut, hal ini tercermin oleh organolektif seperti penampilan, bau, rasa dan temperatur. Sifat khusus unggas adalah mengkonsumsi ransum untuk memenuhi kebutuhan energi, sehingga jumlah pakan/ransum yang dikonsumsi tiap harinya cenderung berhubungan erat dengan kadar energinya. Bila konsentrasi protein yang tetap terdapat dalam semua ransum, maka ransum yang mempunyai konsentrasi energi metabolis tinggi akan menyediakan protein yang kurang dalam tubuh unggas karena rendahnya jumlah pakan yang dikonsumsi. Sebaliknya, bila kadar energi kurang maka unggas akan mengkonsumsi pakan/ransum untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan lebih banyak energi akibatnya kemungkinan akan mengkonsumsi protein yang berlebihan (Tillman et al, 1991). Anggorodi (1985) menyatakan
bahwa bloiler dapat menyesuaikan
konsumsi ransumnya untuk memperoleh cukup energi guna pertumbuhan maksimum. Sedangkan Widodo (2002) menyatakan bahwa ayam cenderung meningkatkan konsumsi jika diberi pakan energi rendah
Pertambahan Bobot Badan Pertumbuhan adalah korelasi peningkatan pada tubuh yang tampak pada interval waktu sesuai dengan karakteristik spesies, sehingga terdapat karakteristik kisaran tubuh untuk setiap spesies dan karakteristik perkembangan serta ukuran tubuh dewasa. Bobot maksimum dan perkembangan dimunculkan oleh gabungan dari heriditas, nutrisi dan manajemen yang merupakan faktor esensial yang mendukung laju tumbuh hewan (Singh, 1997). Laju pertumbuhan seekor ternak dikendalikan oleh banyaknya konsumsi ransum dan terutama energi yang diperoleh. Energi merupakan perintis pada produksi ternak dan hal tersebut terjadi secara alami (McDonal et al, 1995). Untuk mendapatkan pertambahan bobot badan yang maksimal maka sangat perlu diperhatikan keadaan kuantitas ransum. Ransum tersebut harus mengandung zat nutrisi dalam keadaan cukup dan seimbang sehingga dapat menunjang pertumbuhan maksimal (Yamin, 2002). Kartadisastra (1997), menyatakan bahwa bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan konsumsi ransum, makin tinggi bobot tubuhnya, makin tinggi pula tingkat
konsumsinya terhadap ransum. Bobot tubuh ternak dapat
diketahui dengan penimbangan.
Universitas Sumatera Utara
Suharno dan Nazaruddin (1994), menyatakan bahwa pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh tipe ternak, suhu lingkungan, jenis ternak dan gizi yang ada dalam ransum.
Konversi Ransum Feed Convertion Ratio (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang dikonsumsi dengan produksi yang dihasilkan. Konversi pakan pada broiler termasuk jumlah pakan yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 pounds atau 1 kg berat hidup. Konversi ransum dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti: umur ternak, bangsa, kandungan gizi ransum, keadaan temperatur dan keadaan unggas (Anggorodi, 1985). Angka konversi ransum menunjukkan tingkat penggunaan ransum dimana jika angka konversi semakin kecil maka penggunaan ransum semakin efisien dan sebaliknya jika angka konversi besar maka penggunaan ransum tidak efisien (Campbell, 1984). Lestari (1992), menyatakan angka konversi ransum menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan ransum. Angka konversi ransum dipengaruhi oleh strain dan faktor lingkungan seperti seluruh pengaruh luar termasuk di dalamnya faktor makanan terutama nilai gizi rendah. Konversi ransum adalah perbandingan jumlah ransum yang dikonsumsi pada
satu
minggu
dengan pertambahan bobot badan
pada minggu itu
(Rasyaf, 1994). Rumus konversi ransum : Jumlah ransum yang dikonsumsi Konversi ransum :
n = Bobot badan pada waktu yang sama
Universitas Sumatera Utara