1
Tinjauan Pustaka Penatalaksanaan terkini Artritis Reumatoid dengan paradigma baru Treat-to-Target (T2T) Putu Gede Surya Wibawa, Gede Kambayana. Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Bali Pendahuluan Artritis Reumatoid (AR) adalah penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif simetris yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, disertai keterlibatan jaringan ektraartikular (1). Dalam banyak bidang medis, target terapi telah terbukti meningkatkan keluaran dan menurunkan risiko kerusakan organ.
Dalam perawatan pasien
diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, aspek ini telah diadopsi secara luas dalam praktek klinis, dokter melakukan pemeriksaan laboratorium untuk kolesterol dan trigleserida, gula darah, dan nilai HbA1c, memeriksa tekanan darah dan menyesuaikan terapi yang tepat, dan pasien mengetahui nilai dari hal ini dan lebih peduli akan target terapi. Pengobatan AR telah mengalami perubahan dramatis dalam 20 tahun terakhir, salah satunya melalui perubahan paradigma yang disebut rekomendasi 'treat to target’ (T2T). T2T bertujuan meningkatkan keluaran dan pengurangan risiko kerusakan organ. Dalam RA, kerusakan sendi dan cacat fisik adalah keluaran utama yang merugikan terkait dengan penurunan kualitas hidup dan kematian dini (2). Akhirnya, saat ini remisi tercapai pada sebagian besar pasien dalam penelitian dan praktek klinis berkat rekomendasi T2T, dan pencapaian cepat remisi dapat menghentikan kerusakan sendi terlepas dari jenis DMARD, sintetis atau biologis. Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan RA dalam praktek klinis, dengan paradigma baru T2T.
2
Batasan Artritis Reumatoid (AR) adalah merupakan suatu penyakit autoimun melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia yang etiologinya belum diketahui. Ditandai oleh sinovitis erosif simetris yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, disertai keterlibatan jaringan ektraartikular. Perjalanan penyakit AR ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalanannya kronik fluktuaktif yang mengakibatkan keruskan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini (1,3-5). Epidemiologi Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar 1% pada kaukasia dewasa; Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %, sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten, sementara di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru AR merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002. Wanita 3 kali lebih sering terkena dibandingkan pria. Dapat mengenai semua usia namun prevalensi muncul seiring waktu dan lebih tinggi pada perempuan berusia diatas 65 tahun, dikaitkan faktor hormonal sex yang ikut berperan. (1,5-6) Etiologi Penyebab AR belum diketahui dengan pasti, diperkirakan ada 2 faktor penyebab yaitu: 1). Faktor luar (infeksi, lingkungan) dan 2). Faktor dalam (genetik, usia, jenis kelamin, dan psikologis). Infeksi virus (Epstein-barr virus, cytomegalovirus, parvovirus dan rubella virus), bakteri dan mycoplasma
3
diperkirakan sebagai faktor pencetus AR. Faktor lingkungan yang utama adalah merokok, faktor lain adalah minum alkohol, kopi, status vitamin D, dan status sosial ekonomi rendah. Faktor genetik adalah 50% risiko terjadinya AR, faktor genetik seperti produk komplek histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR4) telah lama diduga berperanan dalam timbulnya penyakit ini, dimana risiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini pada mereka dengan HLA-DR4. (3-6) Patogenesis Patogenesis AR diawali adanya antigen dalam membran sinovial. Selanjutnya antigen tersebut diproses antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel denritik atau makrofag yang semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen tersebut lalu dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel. Proses aktivasi CD4+ ini dibantu oleh interleukin-1(IL-1) yang disekresi oleh monosit dan makrofag. Selanjutnya antigen, determinan, HLA-DR pada permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu komplek trimolekular. Komplek antigen trimolekular akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. Lalu, IL-2 akan mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan mitosis dan proliferasi sel. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin seperti A-interferon, TNF ß, IL-3,IL4 GM-CSF serta beberapa mediator lain yang merangsang makrofag meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang berdifusi secara bebas kedalam ruang sendi lalu mengendap dan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a meningkatkan permeabilitas vaskular, menarik lebih banyak sel PMN yang memfagositosis kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cells dan pembebasan radikal oksigen, leukotrine, enzim lisosomal, prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya akan mengakibatkan inflamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.
4
Radikal oksigen menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga viskositas cairan sendi menurun, merusak kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Leukotrien LTB4 menyebabkan migrasi dan agregasi kuat neftrofil. Prostaglandin E2 memiliki efek vasodilator kuat dan merangsang resorpsi tulang osteoklastik, juga memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat sekresi IL-2, A-interferon. Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T kedalam membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus adalah jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Sitokin IL-1 dan TNF memainkan peran penting untuk memicu sel pannus menghasilkan kolagen dan enzim proteolitik yang merusak tulang rawan secara lokal dan menghambat pembentukan molekul matrik baru. Dua sitokin tersebut bersama IL-6 juga berperan dalam dimineralization dari tulang yang berperan dalam aktivasi osteoklast yang berakumulasi pada daerah lokal resorpsi tulang. Pannus akan menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga mengancurkan struktur persendian. Bila proses pembentukan pannus ini tidak terhenti baik oleh karena pengobatan atau remisi spontan, maka akan terjadi ankilosis dan juga peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononukleus pada endotel mikrovaskular, yang mengakibatkan peningkatan adhesi sel mononukleus pada endotel kapiler. Peristiwa tersebut menunjukan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC Class II seperti HLA-DR,DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type 1(VLA-1) menunjukan bahwa aktivasi dan proliferasi sel T terjadi secara lokal. Sehingga disimpulkan bahwa aktivasi sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau komplek peptida trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis pada AR.
5
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses dekstruksi sendi akan terus berlangsung. Hal ini terjadi juga karena terbentuknya faktor reumatoid, Faktor reumatoid adalah autoantibodi klasik dalam radang sendi. IgM dan IgA faktor reumatoid adalah penanda patogen kunci yang ditunjukan terhadap fragmen Fc IgG. Jenis antibodi tambahan (dan semakin penting) yang ditujukan against citrullinated peptides (ACPA). Meskipun sebagian besar, tapi tidak semua, pasien dengan ACPA positif juga positif untuk faktor reumatoid, ACPA tampak lebih spesifik dan sensitif untuk diagnosis AR dan tampak menjadi prediktor yang lebih baik terhadap prognosis yang buruk seperti kerusakan sendi yang progresif. 50-80% dari individu dengan AR memiliki faktor reumatoid, ACPA, atau keduanya. Bagaimanapun suatu imunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum dapatditerangkan dengan jelas. Faktor reumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan terus berlanjut. Terbentuknya autoantibodi terhadap colagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama. Pentingnya peran sel limfosit B pada proses inflamasi kronik telah dibuktikan melalui observasi terapi dengan antibodi monoklonal terhadap marker sel B, CD 20, menyebabkan deplesi yang cepat dari limfosit B, penurunan titer serum faktor reumatoid, dan perbaikan parsial tanda dan gejala peradangan. (3,5,6) Manifestasi klinis Ciri khas gejala klinis AR adalah poliartritis kronis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tualng disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umumnya bersifat simetris. Gejala klinis umumnya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau bulan. Sering pada keadaan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas. Keluhan tersebut dapat berupa manifestasi umum, manifestasi artikuler dan manifestasi ekstraartikuler.
6
Manifestasi umum. Sebagian besar pasien dengan keluhan konstitusional berupa perasaan badan lemah, mudah lelah, nafsu makan menurun, penurunan berat badan. Meskipun demam bisa sampai 40 o C, namun demam > 38OC jarang dan kemungkinan ada infeksi. Manifestasi Artikuler. Meskipun inflamasi dapat mengenai setiap sendi diartrosis. Namun, paling sering mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut dan kaki. Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan pada tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa kaku sendi pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi. Lamanya kaku sendi pagi hari mencerminkan beratnya penyakit. Keluhan nyeri dan kekakuan akan meningkat sejalan dengan beratnya keadaan dan diikuti dengan hambatan untuk jalan, naik tangga, membuka pintu dan lainnya. Kelainan fisik awal khas terlihat jari berbentuk fusiform akibat pembengkakan sendi interphalangeal proksimal yang simetris. Jarang mengenai interphalangeal distal. Juga bersama pembengkakan simetris metakarpophalangeal. Akibat kelemahan jaringan lunak terjadi deformitas bentuk leher angsa (swan neck deformity) atau “boutonniere deformity”. Keadaan ini menyebabkan kemampuan memegang dan menggenggam berkurang. Pada pergelangan tangan, kelainan bervariasi dapat berupa pembengkakan sinovium, hambatan gerakan, sindrom “carpal tunnel” atau atropi otot tenar. Kelainan pada kaki mirip pada tangan. Manifestasi Ekstraartikuler. AR merupakan penyakit sistemik dengan manifestasi ekstraartikular yang beragam. Sekitar 40% pasien dengan manifestasi ekstraartikular, dimana 15% adalah berat. 1).Kulit. Nodul reumatoid, mengenai 20-30% pasien AR. Jarang di Indonesia, namun di barat merupakan tanda AR yang patognomonik. Terutama didapatkan pada daerah yang menerima tekanan, seperti olekranon, permukaan ekstensor lengan dan tendon achilles. Nodul ini selalu mencerminkan keadaan AR yang progresif dan destruktif. Pada beberapa pasien, terapi dengan metotrexate dapat meningkatkan jumlah nodul secara dramatis; 2) Mata. Kelainan mata <1%, paling sering adalah keratokonjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjogren (15-20% pasien). Kelainan
7
lain berupa episkleritis yang ringan dan akan sembuh spontan. Dapat pula terjadi skleritis yang dapat menimbulkan gejala skleromalasia perforans yang dapat menyebabkan
kebutaan;
3)Sistem
Kardiovaskular.
Kelainan
jantung
asimptomatis perikarditis ditemukan sekitar 50% pada autopsi. Meskipun perikarditis biasanya asimptomatik, namun kasus jarang bisa terjadi kematian karena tamponade. Kelainan jantung yang simptomatis sering berupa perikarditis konstriktif yang berat. Kelainan jantung lain dapat berupa nodul rematoid pada miokardium dan katub jantung. Lesi ini dapat menyebabkan disfungsi katub, embolisasi, ganguan konduksi, aortitis dan kardiomiopati; 4) Sistem respiratorik. Manifestasi paling sering pada pria, penyakit pleura, fibrosis interstitial, nodul pleuropulmonary, pneumonitis, dan arteritis. Manifestasi jarang adalah hipertensi pulmoner sekunder. ; 5) Sistem Saraf. Manifestasi AR pada sistem neuro sering tidak jelas. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat instabilitas vertebra, servikal, neuropati jepitan atau neuropati iskemik akibat vaskulitis; 6) Sistem Hematologis. Anemia akibat penyakit kronik dengan gambaran eritrosit normositik normokromik atau hipomikromik ringan disertai kadar besi serum rendah dan TIBC yang normal atau rendah adalah gambaran umum pada AR. Sindrom Felty adalah AR dengan splenomegali, neutropenia, anemia dan ulkus pada tungkai. Sindrom Felty juga sering dengan limpadenopati, trombositopeni. Sering terjadi pada AR yang sangat berat dan HLA-DR4 positif; 7) Osteoporosis Sekunder, adalah umum dan dikaitkan dengan terapi glukokortikoid dan AR itu sendiri. (1,3-6)
Gambar 1. Patogenesis dari Artritis Reumatoid (6)
8
Diagnosis Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas 77-95% dan spesifitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru yang tingkat kesahihannya lebih baik Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010 yaitu: (1,6-7) Tabel 1. Kriteria klasifikasi AR ACR/EULAR 2010 (1) Keterlibatan sendi
1 Sendi besar
0
2-10 sendi besar
1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)
3
Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil)
5
Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negative
0
RF atau ACPA positif rendah
2
RF atau ACPA positif tinggi
3
Reaktan Fase Akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
LED dan CRP normal
0
LED atau CRP abnormal
1
Lamanya sakit
Kurang dari 6 minggu
0
6 minggu atau lebih
1
Kriteria ini ditunjukan untuk klasifikasi pasien baru Skor kurang dari 6 tidak diklasifikasikan sebagai AR Terkenanya sendi : adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan. Sendi DIP, CMC I, dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan distribusi sendi diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terkena, dengan penempatan kedalam kategori yang tertinggi yang dapat dimungkinkan. Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha dan pergelangan kaki. Sendi kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, IP ibu jari dan pergelangan tangan. Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas ambang batas
9
normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas normal tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut; positif tinggi adalah nilai yang lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya diketahui positif atau negatif, maka positif harus dianggap sebagai positif rendah Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda sinovitis (nyeri, bengkak atau nyeri pada perabaaan)
Diagnosis banding Pada kasus dengan poliartritis inflamasi selain AR perlu dipertimbangkan diagnosis banding seperti spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik, artritis gout poliartikuler, lupus eritematosus sistemik, dan artritis reaktif. (1,3-6) Penatalaksanaan Evaluasi Awal Pasien Apabila diagnosis AR telah ditegakan maka: 1). Tentukan aktivitas penyakit (LED, CRP, sinovitis), status fungsional, masalah
mekanik
sendi,
gejala
ekstraartikular serta
adanya
kerusakan
radiologis pada sendi yang terlibat. 2). Apabila pasien AR akan mendapatkan DMARD, a). Lakukan pemeriksaan laboratorium awal yaitu darah perifer lengkap, LED, CRP, RF atau ACPA, fungsi hati dan ginjal karena beberapa obat DMARD bersifat toksik terhadap hati dan ginjal. Sebaiknya pasien diperiksa serologi untuk hepatitis B dan C terutama yang direncanakan untuk penggunaan MTX; b). Foto toraks diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya infeksi (misalnya tuberkulosis paru), karena beberapa jenis DMARD dapat berpotensi meningkatkan kerentanan untuk mendapat infeksi, dan manifestasi ekstra artikular pada paru; c).Pastikan wanita penderita AR yang akan memakai DMARD tidak dalam keadaan hamil. 3). Karena kerusakan struktural tidak bisa diperkirakan hanya dari pemeriksaan fisik saja maka harus dilakukan pemeriksaan rontgen tangan dan atau kaki. Penatalaksanaan yang komprehensif meliputi pilar penatalaksanaan berikut.(1,3,8)
10
Tabel 2. Pilar penatalaksanaan (1) Pilar Penatalaksanaan Artritis Reumatoid 1) Edukasi 2) Latihan / Program Rehabilitasi 3) Pilihan Pengobatan: 1. DMARD 2. Agen Biologik 3. Kortikosteroid 4. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (NSAID). 4) Pembedahan Penatalaksanaan AR dengan rekomendasi ‘treat to target’ (T2T) perbaikan tahun 2014. Berbagai studi telah menunjukan bahwa penatalaksanaan AR dengan rekomendasi T2T lebih superior dibandingkan penatalaksanaan konvensional. Dalam Penatalaksanaan AR dengan rekomendasi ‘treat to target’ (T2T) perbaikan tahun 2014 secara umum ada 2, yaitu prinsip umum penatalaksanaan dan sasaran penatalaksanaan. Prinsip Umum Penatalaksanaan 1. Pengobatan AR harus didasarkan pada keputusan bersama antara pasien dengan reumatologis. Pasien tak hanya diberikan penjelasan tentang pilihan terapi yang
dapat dipergunakan dan alasan-alasan dipergunakan suatu
pendekatan terapi tertentu dengan menimbang keuntungan dan kerugian, tetapi pasien hendaknya juga diberikan peran dalam menetapkan pilihan terapi mana yang akan dipilih. Perbaikan 2014 juga merekomendasikan keterlibatan petugas kesehatan profesional, khususnya spesialis nurse. 2. Sasaran selama
utama mungkin
pengobatan pasien-pasien AR adalah
memperpanjang
kualitas hidup yang baik dengan mengatasi keluhan,
mencegah kerusakan struktural,
menormalkan fungsi dan kehidupan
sosialnya dan aktivitas terkait pekerjaan 3. Penekanan keradangan adalah cara yang penting untuk mencapai sasaran tersebut. Prinsip ini berkaitan dengan kenyataan bahwa keradangan pada AR berperan penting pada timbulnya keluhan dan gejala penyakit serta berkaitan dengan prognosis.
11
4. Pengobatan diarahkan melalui penilaian aktivitas penyakit dan disesuaikan berdasarkan hal tersebut untuk mencapai keberhasilan pengobatan yang optimal Selanjutnya ada 10 rekomendasi dari T2T dengan perbaikan 2014 terkait target
penatalaksanaan.
Dimana
sebelumnya
akan
dijelaskan
bukti,
rekomendasi, persetujuan dan pengambilan suara terhadap 10 item tersebut melalui tabel berikut. Tabel 3. Evidence, grade of recommendation, agreement and votes for each of the recommendations (as pertinent)(9) Item
Category
of
Evidence
Grade recommendations
of
Level agreement
of
Percentage votes
at
of last
ballot* I
1b
A
9.53±0.80
100
2
2c
B
9.50±0.69
100
3
1b,4+
A,D
9.68±0.57
97
4
1b, 4V‡
A,D
9.26±1.13
97
5
4
D
9.18±1.09
67
6
1b, 4§
A,D
9.21±1.09
94
7
4
D
9.47±1.06
67
8
1b, 4¶
A,D
9.08±1.08
67
9
2c
B
9.61±0.75
67
10
4
D
9.73±0.77
67
Sebagian besar item membutuhkan hanya satu suara dan tidak menjalani lebih dari dua votings. † 1b untuk bukti bahwa aktivitas rendah-penyakit adalah target pengobatan yang baik, tapi 4 karena pendapat ahli bahwa itu adalah tujuan alternatif untuk remisi. ‡ 1b untuk bukti bahwa penggunaan penilaian penting dibandingkan dengan perawatan rutin, tetapi tidak ada penelitian besar telah membandingkan penilaian yang termasuk jumlah sendi dengan beberapa yang tidak; Oleh karena itu 4 untuk menghitung bagian sendi. §1b untuk kebutuhan untuk menggunakan penilaian , 4 untuk beberapa komponen waktu disebutkan. ¶1b untuk penyesuaian biasa yang sebagian besar dilakukan setiap tiga bulan, tapi 4 untuk jadwal disebutkan, karena tidak ada perbandingan antara penyesuaian pada titik waktu yang berbedayang telah dilakukan
12
Sasaran Penatalaksanaan 1. Sasaran utama pengobatan AR adalah suatu kondisi remisi klinis. Remisi klinis secara konsisten telah menunjukkan hasil yang lebih baik daripada kondisi aktivitas penyakit lainnya, bahkan aktivitas low disease. Sementara itu juga, dua studi menargetkan DAS28 <2.6 dibandingkan dengan konvensional bukan DAS28, satu pihak dengan AR dini dan satu pihak AR yang telah berlangsung, menunjukkan keuntungan yang signifikan menargetkan kondisi ini. Meskipun hal ini sulit dicapai. Beberapa ahli menilai hal ini dengan frekuensi remisi yang diperoleh melalui suatu pengobatan. 2. Remisi klinis adalah tidak adanya keluhan dan tanda dari aktivitas keradangan penyakit. Meskipun hilangnya keradangan tidak dapat ditemukan pada seluruh sendi yang terkena, tetapi bengkaknya sendi pada 1 jari saja dapat merupakan remisi. Kadar CRP juga perlu diperhitungkan dalam menentukan adanya remisi. 3. Jika remisi total tidak dapat dicapai, aktivitas penyakit yang rendah dapat diterima sebagai sasaran terapi terutama pada pasien yang sudah lama menderita 4. Penggunaan cara penilaian aktivitas penyakit yang valid yang termasuk penilaian
pada
sendi
diperlukan
dalam
praktek
sehari-hari
untuk
mengarahkan cara pengobatan. Rekomendasi ini bergeser ke atas dari posisi sebelumnya no.6 di tahun 2010. Perubahan ini memiliki dua alasan: pertama, tampaknya lebih rasional untuk merujuk pada cara mengukur aktivitas penyakit segera setelah mendefinisikan target terapi, yaitu remisi klinis atau aktivitas penyakit yang rendah; kedua, membuat item ini lebih terlihat di urutan rekomendasi mencerminkan keyakinan Task Force
pentingnya
penilaian aktivitas penyakit rutin dengan metode yang tepat. Dalam menentukan perubahan pengobatan, gangguan fungsi dan perubahan struktur sendi juga harus menjadi dipertimbangkan. Bukti klinis telah menunjukan secara konsisten hubungan antara jumlah sendi yang bengkak dengan penyakit yang progresif.
13
5. Pemilihan penilaian aktivitas penyakit dan nilai target harus dipengaruhi oleh komorbiditas, faktor pasien dan risiko terkait obat. Rekomendasi itu bergeser dari posisi no. 9 tahun 2010 ke no.5. Sekali lagi, keputusan ini muncul atas dasar pemikiran dan keinginan untuk memberikan sesuatu yang lebih menonjol dan perhatian terhadap rekomendasi ini. Sejak kehadiran beberapa penyakit penyerta, seperti penyakit jantung berat, diabetes yang tidak terkontrol, atau gangguan fungsi ginjal atau hati, mungkin menghalangi upaya untuk mengubah arah pengobatan untuk mencapai target pengobatan utama, tujuan pengobatan mungkin harus berbeda pada pasien tersebut. Pengalaman serupa berkaitan dengan kontraindikasi atau aspek keselamatan; jika pasien menderita infeksi berulang, salah satu kemungkinan akan menahan diri dari intensifikasi terapi untuk menghindari risiko terapi berlebihan. Dengan demikian, secara keseluruhan, rekomendasi ini berkaitan terhadap pendekatan personal dari strategi pengobatan, mengingat semua faktor yang berhubungan dengan individu pasien. 6. Harus diperoleh data tentang aktivitas penyakit yang dicatat secara regular,
mungkin setiap bulan pada pasien yang mempunyai aktivitas
tinggi/sedang atau lebih jarang ( misal setiap 6 bulan) pada pasien dengan aktivitas penyakit rendah atau remisi. Perubahan terhadap rekomendasi ini hanya terkait perpindahan ke no.6 dari no.5 tahun 2010. Perubahan lain terkait pernyataan “3-6 bulan” untuk kontrol pada pasien dengan aktivitas penyakit rendah, pemeliharaan remisi menjadi tujuan penting. Namun interval 3 bulan dirasa tidak semestinya pada populasi pasien, bahkan beberapa ahli rematologi mempertimbangkan kontrol yang lebih jarang, dan 6 bulan menjadi pilihan yang sesuai. Dalam berbagi pendapat dengan pasien adalah penting untuk menasehati pasien untuk segera ke ahli rematologi meskipun belum waktunya bila menemui kondisi yang tidak sesuai. Tanpa evaluasi rutin pasien akan undertreated dan mungkin menghadapi fungsi dan struktur yang lebih buruk, juga penyakit penyerta yang lebih banyak. Pasien yang pertama kali mencapai remisi masih dalam kondisi rentan, sehingga interval kontrol yang lebih lama hanya disarankan pada remisi yang sudah berkelanjutan. Durasi remisi
14
berkelanjutan belum jelas, 3 atau 6 bulan mungkin dianggap sebagai persyaratan mutlak minimum. 7. Perubahan struktural dan gangguan fungsional serta komorbiditas harus dipertimbangkan ketika membuat keputusan klinis, selain menilai aktivitas penyakit. Penambahan kata “komorbiditas” kedalam rekomendasi T2T 2014 dengan
perbaikan,
adalah
untuk
memberi
penegasan
pentingnya
mempertimbangkan komorbiditas didalam membuat keputusan klinis. Harus diingat bahwa gangguan fungsional pada pasien dengan AR mungkin tidak hanya disebabkan karena penyakit sendi tetapi juga konsekuensi dari penyakit penyerta; memang, bahkan pada pasien dengan remisi ketat mungkin mengalami skor cacat yang tinggi sebagai akibat dari komplikasi penyakit lain. 8. Sampai
sasaran pengobatan yang diinginkan tercapai, obat-obatan
hendaknya disesuaikan minimal setiap 3 bulan. Berbagai uji klinik menunjukkan bahwa manfaat klinik maksimal suatu pengobatan biasanya diperoleh setelah 3 bulan. Dengan demikian jika pasien tidak memperoleh minimal aktivitas penyakit rendah dalam 3 bulan sejak awal terapi, maka terapi perlu ditinjau ulang. 9. Sasaran pengobatan yang diinginkan harus dipertahankan sepanjang perjalanan sisa penyakit. Rekomendasi ini didasarkan pada pengamatan bahwa berhentinya kerusakan sendi dan perbaikan dari fungsi fisik tergantung dari pemeliharaan kondisi remisi klinis. Aspek kepatuhan terhadap terapi juga harus dipertimbangkan karena ketidakpatuhan akan membuat pasien mengalami flare hingga empat kali lebih sering daripada pasien yang patuh. 10. Ahli rematologi harus melibatkan pasien dalam menetapkan target pengobatan dan strategi untuk mencapai target tersebut. Rekomendasi tidak hanya telah disederhanakan, tetapi peran proaktif sekarang ditugaskan ke ahli rematologi (sebelumnya: 'di bawah pengawasan ahli rematologi’). Tidak hanya ahli rematologi, tetapi juga semua profesional kesehatan lainnya yang merawat pasien dengan AR, diingatkan bahwa alasan untuk mengusulkan target pengobatan tertentu dan sarana untuk mencapai hal ini seharusnya dikomunikasikan tidak hanya benar untuk pasien, tetapi juga disepakati
15
dengan pasien, di sejalan dengan informasi masing-masing pada penyakit dan manfaat dan risiko dari berbagai terapi. Memang, pasien memiliki berbagai keyakinan yang berkaitan dengan terapi DMARD dan komunikasi yang tepat memungkinkan pasien untuk membuat keputusan. Selain itu, kepatuhan terhadap pengobatan telah jelas terbukti tergantung pada tingkat informasi dan interaksi yang baik dengan rheumatologist tersebut. Dalam konteks ini, juga harus menegaskan bahwa pasien dengan AR memerlukan perawatan multidisiplin dan bahwa di banyak negara perawat praktisi /spesialis atau profesional kesehatan lainnya mengambil peran yang sangat penting dalam memberikan informasi dan pengelolaan pasien. Menawarkan perawatan yang tersedia, atau mencoba untuk membangun itu, juga merupakan bagian dari peran keseluruhan ahli rematologi tersebut. Item ini inheren terdiri dari semua aspek rekomendasi saat ini, seperti pengaturan target terapi, sarana evaluasi penyakit, obat yang dipilih dan terapi non-medis termasuk risiko mereka, fokus pada komorbiditas dan faktor pasien lainnya, tindak lanjut semua proses ini harus dipertimbangkan ketika ahli rematologi 'melibatkan' pasien. Memang, suatu tantangan untuk menjelaskan kepada pasien yang aktivitas penyakitnya telah meningkat secara signifikan dan bahwa terapi harus diintensifkan-dan rekomendasi ini dan terutama mereka versi pasien mungkin akan membantu untuk tujuan ini. Program edukasi yang mendukung proses ini perlu disebarluaskan. (2,9-14) Penatalaksanaan Edukasi Penjelasan penyakit dan diet. Edukasi pasien meliputi mengenai penyakit AR, sasaran pengobatan, pilihan pengobatan dan bagaimana pasien bisa membantu keberhasilan pengobatan. Meskipun tidak ada bukti nyata tentang pengaruh diet pada pasien AR. Beberapa ahli menyarankan untuk makan sayuran, buah dan ikan serta mengurangi komsumsi lemak/daging merah. (1-3,9-11,15)
16
Latihan/Program Rehabilitasi Pada saat diagnosis AR ditegakan maka program latihan fisik aerobik bisa direkomendasikan. Latihan fisik harus disesuaikan secara individual berdasarkan kondisi penyakit dan komorbiditas yang. Latihan aerobik dapat dikombinasikan dengan latihan penguatan otot (regio terbatas atau menyeluruh), dan latihan untuk kelenturan, koordinasi dan kecekatan tangan serta kebugaran tubuh Mengurangi nyeri dalam jangka pendek yaitu terapi fisik TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) dan laser kekuatan rendah. Terapi lain adalah kombinasi parafin (termoterapi) dan latihan aktif. Penggunaan ultrasound, muscular electro stimulation dan magnetotherapy masih belum cukup bukti untuk bisa digunakan secara rutin, tetapi bisa dipertimbangkan pada kasuskasus tertentu yang tidak respon dengan terapi lainnya Pada penderita AR stadium lanjut perlu diberi penjelasan tentang caracara proteksi sendi. Penggunaan alat bantu perlu dipertimbangkan pada penderita yang memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pada periode inflamasi aktif maka ortotik statis dapat digunakan (pertama selama sehari penuh dan sesudahnya hanya pada malam hari. Kegunaannya seharusnya dievaluasi secara periodik, dan ortotik yang tidak memberi manfaat sebaiknya tidak digunakan. Upaya terapi psikologis (misalnya relaksasi, mengatasi stress dan memperbaiki pandangan hidup yang positif) dapat membantu pasien AR menyesuaikan hidup dengan kondisi mereka.(1,3-6,16) Pilihan Pengobatan Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (DMARDs) Obat-obatan yang mempengaruhi proses perjalanan AR disebut sebagai “Slow Acting Anti Rheumatic Drugs” (SAARD) atau dikenal DMARDs. memiliki potensi untuk mengurangi kerusakan sendi, mempertahankan integritas dan fungsi
sendi
dan pada
akhirnya
mengurangi
biaya
perawatan
dan
meningkatkan produktivitas pasien AR. Semua DMARDs memiliki beberapa ciri yang sama yaitu bersifat relatif slow acting yang memberikan efek setelah 1-6
17
bulan pengobatan kecuali agen biologik yang efeknya lebih awal. Ada dua cara pendekatan pemberian DMARDs pada pasien AR. Pertama, DMARDs tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Kedua, DMARDs kombinasi dua atau lebih secara simultan seperti penggunaan obatobatan imunosupresif pada penyakit keganasan. Prinsip penggunaan DMARDs : 1. Semua AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan DMARDs sedini mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya gejala. 2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil. Sebagian besar pasien AR akan membaik selama kehamilan. Tetapi kemudian terdapat risiko terjadi kekambuhan pada saat postpartum. Tidak didapatkan peningkatan kejadian abortus atau kematian ibu hamil dengan AR. Sebagian besar obat-obat yang
digunakan
pada
pengobatan
AR
(DMARDs)
belum
terbukti
keamananya sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Studi pada pasien SLE, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang hamil sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien AR yang hamil. Kortikosteroid merupakan
obat
yang
dapat
dipertimbangkan untuk digunakan pada wanita hamil dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat mengenai manfaat dan risikonya
sebelum
memberikan obat ini. 3. Pemilihan jenis DMARDs ditentukan oleh 3 faktor a. Faktor obat: efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem monitoring, waktu yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat, kemungkinan efek samping dan yang tidak kalah penting adalah biaya pengobatan. b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit dan kemungkinan prognosisnya. c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan monitoring obat.
18
Memulai dan menghentikan DMARDs
Sebelum memulai pengobatan dengan DMARDs harus dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya TB. (tes tuberculin dan foto toraks; jika ada keraguan dapat dikonsulkan dengan bagian paru).
Pertimbangkan pengobatan jangka pendek dengan glukortikoid (oral, intramuskular atau intra-artikular) untuk memperbaiki gejala secara cepat pada pasien AR baru terdiagnosa jika mereka belum menerima glukokortikoid sebagai bagian dari terapi kombinasi DMARD.
Pada pasien dengan recent onset RA yang menerima terapi kombinasi DMARD dan yang bertahan dengan hasil yang memuaskan, kurangi dosis obat dengan hati-hati ke tingkat yang masih dapat mempertahankan kontrol penyakit.
Pada pasien AR yang baru terdiagnosis dimana terapi kombinasi DMARDs tidak
dapat
diberikan
(misalnya
karena
penyakit
penyerta
atau
kehamilan), mulai monoterapi DMARD dengan penekanan pada peningkatan yang cepat hingga dosis klinis efektif.
Pada pasien AR yang kondisi penyakitnya stabil, kurangi dosis obat DMARD atau agen biologik dengan hati-hati. Segera kembali ke dosis penuh pada tanda pertama timbulnya kekambuhan.
Ketika memulai obat baru untuk memperbaiki pengendalian penyakit pada rejimen
pengobatan
menghentikan
pasien
AR,
pertimbangkan
mengurangi
atau
obat DMARD yang sudah ada saat penyakit telah dapat
dikendalikan.
Pada setiap pasien AR dimana dosis obat DMARDs non biologik atau biologik sedang diturunkan atau dihentikan, harus disiapkan review dini.
Mengingat banyaknya pertimbangan dalam pemberian DMARDs ini, maka konsultasi dengan konsultan reumatologi sangat penting pada saat
akan
memulai pemberian DMARDs (1,3,8,16-18) Agen biologik. Dengan ditemukannya agen biologik yang baru maka timbul harapan adanya kontrol terhadap penyakit AR. Semakin banyak bukti yang menunjukan efikasi agen biologik yang lebih baik pada pengobatan AR, akan tetapi respon pasien dan adanya efek samping obat dapat berbeda-beda. Beberapa
19
agen biologik adalah: 1) Anti TNF-∂ (Etanercept, Infliximab, Golimumab). TNF∂ adalah sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh makrofag dan limfosit dalam jumlah besar dalam sendi pasien AR yang diproduksi secara lokal oleh sel makrofag dan limfosit yang menginfiltrasi ruang sinovial. Sehingga hambatan TNF-∂ sangat berguna secara klinis dalam pengobatan AR; 2) Anti CD20 (Rituximab). Pentingnya peran sel limfosit B pada proses inflamasi kronik telah dibuktikan melalui observasi terapi dengan antibodi monoklonal terhadap marker sel B, CD 20, menyebabkan deplesi yang cepat dari limfosit B, penurunan titer serum faktor reumatoid, dan perbaikan parsial tanda dan gejala peradangan; 3) Anti IL-6R (Tocilizumab). Sitokin IL-1 dan TNF memainkan peran penting untuk memicu sel pannus menghasilkan kolagen dan enzim proteolitik yang merusak tulang rawan secara lokal dan menghambat pembentukan molekul matrik baru. Dua sitokin tersebut bersama IL-6 juga berperan dalam dimineralization dari tulang yang berperan dalam aktivasi osteoklast yang berakumulasi pada daerah lokal resorpsi tulang, sehingga hambatan terhadap IL-6 ini dapat memberikan hasil yang baik dalam pengelolaan AR. Dan beberapa yang belum beredar di Indonesia
yaitu,
anti
CTLA-4
(abatacept),
anti
TNF-∂
(adalimumab,
certolizumab), anti IL-1(anakinra) dan tofacitinib (1,3-6,8) Kortikosteroid. Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang ( dosis rendah <7,5 mg/hari dan sedang 7,5-30 mg/hari) bisa menjadi bagian dari pengobatan AR. Hindari pemberian bersama OAINS
sambil menunggu efek terapi dari
DMARDS. Kortikosteroid diberikan dalam jangka waktu sesingkat mungkin dan dosis serendah mungkin yang dapat mencapai efek klinis. Pemberian kortikosteroid bersama DMARDs dapat menurunkan LED dan CRP lebih cepat, meningkatkan fungsi mobilisasi serta mengurangi progresi erosi sendi (1,3-6,19) Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS). Diberikan dengan dosis efektif serendah mungkin dalam waktu sesingkat mungkin untuk mengatasi nyeri sendi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Perlu diingatkan bahwa OAINS tidak mempengaruhi perjalanan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Efek berbagai jenis OAINS tergantung respon individu.Efek samping terutama keluhan gastrointestinal(1,3-6)
20
Tabel 4. DMARDs yang dipergunakan pada AR (1,3,8) DMARDs
Kloroquin
Mekanisme
Dosis
Efektiv
Efek
Persiapan
itas
samping
monitoring
+
Jarang,
Pemeriksaan
mata awal
Menghambat lisosom
6,5
dan pelepasan IL-1
mg/kgbb/h
kerusakan
pada
ari
makula
pengobatan,
(200-
selanjutnya setiap 1
400 mg)
tahun Sulfazalasin
Menghambat
2x500
angiogenesis
dan
migrasi PMN
Supresi
Awal
mg/hari
sumsum
G6PD, darah perifer
ditingkatka
tulang
tiap
n
++
sampai
pengobatan:
4
minngu
selama
3
bulan
selanjutnya tiap 1
3x1000 mg
bulan, fungsi hati di cek
1
bulan
selanjutnya tiap 3 bln Metotreksat
Menurunkan
7,5–25
kemotaksis PMN dan pengaruhi
sintesa
Fibrosis
Awal:
mg/mingg
hati,
thorak, fungsi hati,
u
pneumonia
darah tepi lengkap,
interstisiel
kreatinin.
dan supresi
Selanjutnya
sumsum
tepi dan fungsi hati
tulang
tiap bulan
Diare,alop
Darah tepi lengkap,
ecia,rash,
fungsi
sakit
ginjal
+++
DNA
Leflunomide
Menghambat enzim
Loading
dihidroorotat
dose
dehidrogenase,
mg/hari
sehingga pembelahan
selama
sel limfosit T auto
hari,
secara
reaktif
selanjutnya
teoritisberi
20 mg/hari
siko
terhambat
menjadi
+++
100
3
kepala,
infeksi karena imunosupr esi
rontgen
hati
darah
dan
21
Tabel 4. DMARD Biologik untuk pengobatan Artritis Reumatoid (1,3,8) Obat
Mekanisme
Dosis
Waktu
Efek samping
Monitoring
Timbulnya Respon Etanercept
Anti
25 mg sc
2-12
Infeksi, TB,
TB,
TNF-α
2x/minggu atau
minggu
demielinisasi
infeksi
saraf
TT, DPL,
50 mg sc/minggu
jamur, lain;
TFH saat awal lalu tiap 2-3 bulan Infliximab
Anti
3
TNF-α
pada 0,2,
mg/kg
iv
minggu &
2-12
Infeksi, TB,
TB,
minggu
demielinisasi
demielinisasi
saraf
saraf TB, jamur,
4,
kemudian
infeksi lain; TT,
tiap8minggu
DPL, TFH saat awal lalu tiap 23 bulan
Golimumab
Anti TNF-
50 mg im tiap
2-12
Infeksi, TB,
TB,
jamur,
α
4 minggu
minggu
demielinisasi
infeksi lain; TT,
saraf
DPL, TFH saat awal lalu tiap 23 bulan
Rituximab
Anti CD20
1000
mg
iv
12 minggu
Reaksi infus,
TB,
jamur,
pada
aritmia, HT,
infeksi lain; TT,
hari 0, 15
infeksi,reaktivasi
DPL, TFH saat
hepatitis B
awal lalu tiap 23 bulan
Tocilizumab
Anti Il-6R
8 mg/kg iv tiap 4
2 minggu
Infeksi, TB, HT,
TB,
jamur,
gangguan fungsi
infeksi lain;
hati
TT, DPL, TFH, profil lipid saat awal lalu tiap 2-3 bulan
TB = tuberculosis, TT= tes tuberculin, DPL =darah perifer lengkap, TFH=tes fungsi hati, HT= hipertensi
22
Gambar 2. Rekomendasi penggunaan DMARD sintetis dan biologik pada pasien AR (bDMARD = biologic DMARD) (1,3,8). Pembedahan. Memainkan peran yang penting pada kerusakan sendi yang berat. Pasien yang mengalami nyeri yang terus menerus yang tidak dapat dikendalikan dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan spesialis bedah. Operasi dianjurkan jika nyeri persisten/ gangguan fungsi akibat kerusakan sendi dan jaringan ikat, deformitas progresif dan sinovitis lokal yang menetap. Pasien
23
dirujuk juga jika didapatkan ruptur tendon, kompresi saraf dan stress fracture. (1,3-6,20). Pemantauan Pengobatan Pengobatan pasien AR memerlukan pemantuan aktivitas penyakit yang baik melalui evaluasi klinis maupun laboratorium dengan menggunakan skor seperti Disease Aktivity Score 28 (DAS28) atau kriteria remisi dari ACR 1987. Pengukuran LED atau CRP merupakan kunci untuk pemantauan penyakit. (1,2,9,20) Tabel 6. Nilai ambang batas aktivitas penyakit Artritis Reumatoid berdasarkan nilai Disease Aktivity Score (DAS28) (1) Aktivitas penyakit
Nilai DAS28-LED
Nilai DAS28-CRP
Remisi
≤ 2,6
≤ 2,3
Rendah
≤ 3,2
≤ 2,7
Sedang >
> 3,2 s/d ≤ 5,1
>2,7 s/d ≤ 4,1
Tinggi
> 5,1
> 4,1
Kriteria AR menurut ACR 1987 dikatakan dalam remisi klinis apabila : 1. Lama keluhan kaku sendi tidak lebih dari 15 menit 2. Tanpa keluhan kelelahan 3. Tanpa keluhan nyeri sendi 4. Tanpa adanya tenderness atau nyeri gerak sendi 5. Tanpa ada pembengkakan jaringan sekitar sendi 6. LED (cara Westergren) kurang dari 20 mm pada pria dan kurang dari 30 mm pada wanita Disebut remisi bila memenuhi 5 atau lebih kriteria diatas dan berlangsung selama 2 bulan atau lebih secara terus-menerus (1,20). Daftar pustaka 1. Rekomendasi
Perhimpunan
Reumatologi
Indonesia.
Diagnosis
dan
pengelolaan Artritis Reumatoid. Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta Pusat 2014:pp 1-22
24
2. Smolen Josef S, Aletaha Daniel, Bijlsma Johannes W J, Breedveld Ferdinand C, Boumpas Dimitrios, Burmester Gerd et al. Treating rheumatoid arthritis to target: recommendations of an international task force. Ann Rheum Dis 2010;69:631–637 3. Daud Rizasyah. Artritis Reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing 2010;pp.1184-1191 4. Hellmann David B., Imboden John B. Rheumatoid Arthritis In Current Medical Diagnosis and Treatment 52nd Edition. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc 2013;pp.826-831 5. Longo Dan L, Kasper Dennis L, Jameson J. Larry, et al. Rheumatoid Arthritis in Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc 2012; pp.314 6. Scott David L, Wolfe Frederick, Huizinga Tom W J. Rheumatoid arthritis. Lancet 2010; 376: 1094–1108 7. Barnabe Cheryl, Xiong Juan, Pope Janet E., Boire Gilles, Hitchon Carol, Haraoui Boulos, Thorne J. Carter, et al. Factors associated with time to diagnosis in early rheumatoid arthritis. Rheumatol Int 2014;34:85–92 8. Smolen Josef S, Landewé Robert, Breedveld Ferdinand C, Buch Maya, Burmester Gerd, Dougados Maxime, et al. EULAR recommendations for the management of rheumatoid arthritis with synthetic and biological diseasemodifying antirheumatic drugs: 2013 update. Ann Rheum Dis 2013;0:1–18 9. Smolen Josef S, Breedveld Ferdinand C, Burmester Gerd R, Bykerk Vivian, Dougados Maxime, Emery Paul et al. Treating rheumatoid arthritis to target: 2014 update of the recommendations of an international task force. Ann Rheum Dis 2015;0:1–13 10. Schoels Monika, Knevel Rachel, Aletaha Daniel, Bijlsma Johannes W J, Breedveld Ferdinand C, Boumpas Dimitrios T, Gerd Burmeste, et al. Evidence for treating rheumatoid arthritis to target: results of a systematic literature search. Ann Rheum Dis 2010;69:638–643 11. Wit M P T de , Smolen J S , Gossec L , Heijde D M F M van der. Treating
rheumatoid
arthritis
to
target:
the
patient
version of the
25
international
recommendations.
Ann
Rheum
Dis
2011
doi:
10.1136/ard.2010.146662 12. Haraoui Boulos, Smolen Josef S, Aletaha Daniel, Breedveld Ferdinand C, Burmester Gerd, Codreanu Catalin , et al. Treating Rheumatoid Arthritis to Target: multinational recommendations assessment questionnaire. Ann Rheum Dis 2011. doi:10.1136/ard.2011.154179 13. Ruderman Eric M., Nola Kamala M., Ferrell Stanley, Sapir Tamar, Cameron Davecia R .Incorporating the Treat-to-Target concept in Rheumatoid Arthritis. JMCP 2012; 18(9): 1-17 14. Harrold Leslie R, Reed George W, Harrington J Timothy, Barr Christine J, Saunders Katherine C, Gibofsk Allan. The rheumatoid arthritis treat-to-target trial: a cluster randomized trial within the Corrona rheumatology network. BMC Musculoskeletal Disorders 2014,15:389 15. Marloes Vermeer, Hillechiena H Kuper, Hein J Bernelot Moens, Monique Hoekstra, Marcel D Posthumus, Piet LCM van Rie. Adherence to a treat-totarget strategy in early rheumatoid arthritis: results of the DREAM remission induction cohort. Arthritis Research & Therapy 2012,14:R254 16. Bingham Clifton, Ruffing Victoria. Rheumatoid Arthritis Treatment. 2014. site by: www.hopkins-arthritis.org 17. Harrold Leslie R, Reed George W, Barr Christine J, Saunders Katherine C, Gibofsky Allan, Jeffrey Greenberg D, et al. The rheumatoid arthritis treat-totarget trial: a cluster randomized trial within the Corrona rheumatology network. BMC Musculoskeletal Disorders 2014, 15:389 doi:10.1186/14712474-15-389 18. Saeki Yukihiko, Matsui Toshihiro, Saisho Koichiro, Tohma Shigeto. Current treatments of rheumatoid arthritis: from the ‘NinJa’ registry. Expert Rev. Clin. Immunol 2012;8(5):455–465 19. Duru N, Goes M C van der, Jacobs J W G, T Andrews, Boers M, Buttgereit F, Caeyers N, Cutolo M, et al. EULAR evidence-based and consensus-based recommendations on the management of medium to high-dose glucocorticoid therapy in rheumatic diseases. Ann Rheum Dis 2013;0:1–9
26
20. Lipsky Peter E. Rheumatoid Arthritis in Harrison’s Rheumatology second edition. New York:The McGraw-Hill Companies, Inc 2010; pp.94