1
PENDAHULUAN Upaya untuk meningkatkan produksi padi terus dilakukan seiring dengan bertambahnya penduduk dan meningkatnya kebutuhan beras. Peningkatan produksi padi dapat dilakukan dengan memperbaiki produktivitas pada daerah-daerah dimana cekaman abiotik merupakan kendala utama dalam budidaya tanaman padi. Adanya perubahan iklim yang tidak menentu menuntut terciptanya padi yang toleran terhadap cekaman abiotik, seperti kekeringan, salinitas tinggi, maupun genangan atau banjir. Hasil panen rendah dan resiko kegagalan tanam akibat banjir umum ditemui pada areal rawa pasang surut, rawa lebak, dan tepian sungai. Stres karena cekaman rendaman akibat banjir akan menyebabkan petani guram yang diperkirakan menempati 15 juta hektar di Asia Selatan dan Asia Tenggara setiap tahunnya (Septinigsih et al. 2009). Di beberapa tempat, petani menanam padi yang toleran rendaman tetapi memiliki hasil yang rendah. Sementara ditempat lain, memiliki hasil yang tinggi tetapi tidak toleran terhadap rendaman. Baru-baru ini, cekaman rendaman meningkat secara ekstrim ketika terjadi hujan yang deras di beberapa tempat di Asia. Di Indonesia potensi areal persawahan yang terkena areal banjir sekitar 13.3 juta ha terdiri atas 4.2 juta ha genangan dangkal, 6.1 juta ha genangan sedang, dan 3.0 juta genangan dalam (Nugroho et al. 1993). Luas areal pertanaman padi yang mengalami cekaman rendaman karena banjir diperkirakan akan semakin bertambah karena terjadi peningkatan curah hujan dan kenaikan permukaan air laut akibat terjadinya pemanasan global (CGIAR 2006). Solusi yang berkelanjutan dan permanen diperlukan untuk menanggulangi masalah ini. Salah satu solusinya adalah mengembangkan varietas dengan hasil tinggi yang toleran terhadap rendaman. Penelitian ini dilakukan dalam rangka mengembangan padi Ciherang toleran genangan secara spesifik tanpa harus melalui metode rekayasa genetik. Perakitan varietas dilakukan secara persilangan terarah (sitedirected crossing) untuk menghindari produk transgenik (Xu et al. 2004, Mackill et al. 2007). Regulasi GMO (genetically modified organisms) yang ketat perlu diantisipasi dengan menghindari metode-metode pengembangan yang menghasilkan produk tanaman transgenik.
Sebagai tetua pemulih (host) digunakan Ciherang. Padi Ciherang merupakan padi varietas unggul nasional yang telah memiliki beberapa kelebihan dibanding padi lainnya, seperti produktivitas yang tinggi, taham hama dan penyakit serta waktu tanam yang lebih pendek, dibandingkan padi IR64 dan Swarna yang merupakan padi varietas asli tahan genangan. Sebagai tetua donor digunakan padi BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1 dan BC2F1 Ciherang/Swarna-Sub1 yang membawa gen toleransi genangan Submergence-1(Sub1) dan padi varietas lokal populer Ciherang sebagai tetua pemulih (host) akan disilangbalikkan (backcross) hingga dihasilkan tanaman BC3F1 yang mengandung gen Sub1. Analisis molekuler berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) marka Sub1 akan digunakan untuk melacak keberadaan alel gen Sub1. Penelitian ini bertujuan memperoleh tanaman BC3F1 hasil persilangan balik BC2F1-Ciherang dan menyeleksi tanaman BC3F1 yang membawa gen Sub1 dengan menggunakan PCR. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan didapatkan tanaman padi unggul dan komersial yang toleran genangan nontransgenik melalui metode persilangan terarah (site-directed crossing). Manfaat jangka panjang penelitian ini yaitu meningkatkan produktivitas tanaman padi secara berkelanjutan untuk menjaga kondisi ketahanan pangan nasional.
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi Toleran Genangan Padi (Oryza sativa L.) diklasifikasikan dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi Angiospermae, Class Monocotyledone, Ordo Poales/Glumiflorae, Famili Graminae, Genus Oryza, dan Spesies Oryza sativa (Tjitrosoepomo 1923). Secara umum padi dapat tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45° LU sampai 45° LS dengan curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 15002000 mm/tahun. Di dataran rendah padi tumbuh pada ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-27 °C sedangkan di dataran tinggi 650-1500 meter dpl dengan temperatur 19-23 °C (Siregar 1981). Tipe pertumbuhan padi adalah tegak dan merumpun. Umur berbunganya beragam antara 70-75 hari setelah tanam (HST) tergantung varietasnya. Pembungaan dipengaruhi oleh lama penyinaran dan suhu. Biasanya terjadi pada hari cerah antara jam 10-12 dengan suhu berkisar antara 30-32 °C. Waktu pemasakan kariopsis menjadi benih
2
dan siap untuk dipanen hasilnya ± 25 hari setelah penyerbukan dan tergantung varietas. Umur padi antar varietas beragam, rata-rata umur padi 100-150 HST (Siregar 1981). Dari sekian banyak spesies padi, Oryza sativa L merupakan salah satu spesies yang dibudidayakan di Asia sedangkan Oryza glaberrima steund adalah salah satu yang dibudidayakan di Afrika (Manurung & Ismunadi 1999). Padi jenis Ciherang merupakan kelompok padi sawah varietas unggul hasil beberapa kali persilangan. Padi jenis ini memiliki karakteristik umur tanamnya cukup singkat yaitu 116 hingga 125 hari, bentuk tanaman tegak, tingginya mencapai 107 hingga 115 cm, menghasilkan anakan produktif 14 hingga 17 batang, warna kaki hijau, warna batang hijau, warna daun hijau, posisi daun tegak, bentuk gajah panjang ramping, warna gabah kuning bersih, tekstur nasi pulen, ratarata produksi 5 hingga 8.5 ton/ha, tahan terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III dan IV, tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3. Padi Ciherang mulai diresmikan oleh menteri pertanian pada tahun 2000 dengan anjuran cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau dengan ketinggian di bawah 500 meter di bawah permukaan laut (Hermanto 2006). Tahun 2006 padi varietas IR64 oleh IRRI dikembangkan menjadi varietas padi toleransi genangan dengan mentransfer gen Sub1 dari varietas FR13A tahan genangan. Padi IR64Sub1 (Inpara 5) memiliki karakteristik umur berbunga 83-86 hari, umur panen 112-116 hari, tinggi tanaman 90-95 cm, kadar amilosa 22 %, gabah isi per malai sebanyak 83 butir, tekstur nasi sedang, toleran terhadap rendaman penuh selama 14 hari, dan peka terhadap penyakit hawar daun bakteri (IRRI 2009). Varietas padi IR 64-Sub1 banyak digunakan di Asia terutama di Asia Tenggara termasuk Indonesia untuk berbagai penelitian. Padi varietas IR64-Sub1 ini juga telah digunakan petani di beberapa daerah yang rawan banjir untuk mengurangi resiko kegagalan panen pada saat terjadinya musim hujan akibat perubahan iklim yang tidak menentu (Septiningsih et al. 2009). Padi Swarna-Sub1(Inpara 4) memiliki karakteristik umur berbunga 100-104 hari, umur panen 130-134 hari, tinggi tanaman 7585 cm, kadar amilosa 27 %, gabah per malai sebanyak 131 butir, tekstur nasi pera, toleran terhadap rendaman penuh selama 14 hari, dan peka terhadap penyakit hawar daun bakteri (IRRI 2007). Pada tahun 2006-2007 varietas
ini telah diuji lebih lanjut oleh petani dan peneliti di International Rice Research Institute (IRRI) untuk digunakan dan dipublikasikan. Pengembangan varietas ini adalah contoh aplikasi ilmu pengetahuan molekular modern dengan memanfaatkan varietas lokal populer untuk sampai pada sebuah peningkatan produk yang toleransi terhadap genangan dan juga secara lokal dapat diterima. Teknologi inovatif yang handal untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan potensi atau daya hasil tanaman maupun toleransi dan ketahanannya terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Suprihatno et al. 2007). Berdasarkan dinamika masalah dan kendala produksi serta tuntutan konsumen, varietas-varietas unggul tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu varietas yang diperuntukkan bagi peningkatan produktivitas yang melebihi ambang potensi hasil yang sudah melandai dan varietas unggul spesifik yang diperuntukkan bagi pencapaian stabilitas hasil (tahan/toleran cekaman biotik atau abiotik), peningkatan kualitas hasil (mutu rasa dan mutu gizi) serta umur genjah (Sunendar & Fagi 2000). Beberapa padi toleran genangan telah teridentifikasi (Tabel 1), tetapi umumnya kemampuan kombinasi dan sifat agronominya (tanaman terlalu tinggi, sensitif penyakit dan hama serangga, produktivitas rendah) kurang memenuhi untuk kultivasi skala besar (Mohanty et al. 2000). Oleh karena itu sifat toleransi genangan perlu diintroduksi pada varietas padi populer yang Tabel 1 Varietas padi tahan genangan (Mackill et al. 2011) Varietas IR64-Sub1 SwarnaSub1 S. MahsuriSub1 TDK1Sub1 BR11-Sub1 CR1009Sub1 PSB Rc68 Inpara3 PSB Rc82Sub1
Kematangan buah (hari) 112-116
Tinggi tanaman (cm) 90-95
130-134
75-85
27
126-134
80-85
25
139-144
106-125
10
128-130
130-134
24
153-154
122-125
25
118-121 114-116
121-125 110-114
26 25
115-118
102-105
20
Amilosa (%) 22
3
lebih produktif. FR13A merupakan kultivar yang paling banyak digunakan sebagai sumber plasma nuftah dalam pengembangan varietas baru toleran genangan (Sarkar et al. 2006). Aspek Fisiologis dan Morfologis Tanaman Padi terhadap Cekaman Rendaman Ada dua perubahan lingkungan yang terjadi saat rendaman, yaitu aerobik ke anaerobik dan sebaliknya dari anaerobik ke aerobik setelah air berkurang. Faktor kunci untuk adaptasi dari aerobik ke anaerobik adalah suplai energi. Asimilasi karbon selama terendam akan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suplai CO2, radiasi matahari, kapasitas fotosintesis di bawah permukaan air yang dilemahkan oleh klorosis. Efisiensi penggunaan energi selama rendaman juga penting untuk adaptasi pada lingkungan anaerob (Kawano et al. 2008). Sarkar et al. (2006) mengatakan bahwa toleransi rendaman merupakan adaptasi tanaman dalam merespon proses anaerob yang memampukan sel untuk mengatur atau memelihara keutuhannya sehingga tanaman mampu bertahan hidup dalam kondisi hipoksia tanpa kerusakan yang berarti. Sebuah evaluasi terhadap padi yang toleran dan tidak toleran menunjukkan bahwa bibit padi yang toleran memiliki 30-50% cadangan karbohidrat nonstruktural dibandingkan kultivar rentan. Karbohidrat ini dimanfaatkan selama terendam untuk mensuplai energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan mengatur metabolisme. Tanah yang terendam air merupakan cekaman abiotik yang mempengaruhi komposisi spesies dan produktivitas pada berbagai tanaman. Pada tanaman padi, rendaman dimanipulasi sedemikian rupa untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Beberapa spesies tanaman kelebihan air merupakan faktor penghambat produksi pada beberapa tempat dan situasi (Jackson 2004). Banjir terutama berpengaruh terhadap hasil biji (Setter & Waters 2003). Hambatan utama yang disebabkan adanya rendaman pada spesies yang tidak bisa beradaptasi terhadap kekurangan oksigen adalah difusi oksigen di air lebih lambat 104 kali dibanding dengan di udara (Armstrong & Drew 2002). Hal lainnya adalah adanya perubahan level hormon etilen dan beberapa produk metabolisme anaerobik oleh mikroorganisme tanah seperti Mn2+, Fe2+, S2-, H2S dan asam karboksilat (Jackson & Colmer 2005). Lebih lanjut jika tanaman terendam
secara total akan mengakibatkan kekurangan karbondioksida, cahaya, dan oksigen sehingga dapat mengakibatkan kematian tanaman (Jackson & Ram 2003) (Gambar 1). Pada saat tanaman padi tergenang, variasi konsentrasi O2 0.0-0.6 mol m–3 –3 (kesetimbangan di udara 0.24 mol m pada 30°C) dan CO2 0.004-0.020 mol m–3 (kesetimbangan di udara 0.01 mol m–3) (Sarkar et al. 2006). Tanaman menderita kekurangan O2 parsial (hipoksia) atau tidak mendapatkan sama sekali (anoksia) (Mohanty et al. 2000). Penurunan difusi gas ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan, metabolisme, dan daya tahan tanaman (Mohanty et al. 2000, Sarkar et al. 2006). Berkurangnya suplai O2 menghambat respirasi, kurangnya suplai CO2 menghambat fotosintesis, dan terhambatnya difusi etilen mendorong klorosis dan perpanjangan daun berlebih pada kultivar yang intoleran. Klorosis adalah keadaan pada jaringan tanaman yaitu daun yang kekurangan klorofil sehingga tidak berwarna hijau melainkan kuning atau putih pucat (Jackson et al. 1987, Jackson & Ram 2003). Sedangkan aspek morfologis padi adalah saat terjadi rendaman total sampai pada bagian daun paling atas, fotosintesis menjadi terhambat akibat kurangnya karbondioksida ekternal dan adanya semacam naungan (shading). Pada beberapa tanaman adanya etilen membuat stimulasi untuk memanjangkan batang (shoot elongation),
Gambar
1
Faktor lingkungan yang menyebabkan toleran rendaman pada padi. Difusi gas yang terbatas dalam air adalah penyebab utama efek merugikan dari perendaman (Setter et al. 1995).
4
seperti pada padi, sehingga dapat melakukan escape dari cekaman rendaman. Salah satu mekanisme tanaman yang biasa hidup dalam keadaan terendam adalah memiliki jaringan aerankim (Seago et al. 2005). Aerenkim merupakan ruangan interselular yang terbentuk dari kombinasi pertumbuhan sel dan pembelahan sel (expansigeny). Proses masuknya gas dari atmosfer melalui aerenkim sebagian besar terjadi karena difusi. Namun demikian, aliran masa dapat pula terjadi jika alur jalan aerenkim membentuk tahanan yang rendah untuk dapat memasukan gas. Mommer dan Visser (2005) mengidentifikasi tampilan morfologi daun yang melakukan fotosintesis dibawah air. Penelitian ini menyimpulkan adanya hubungan kecepatan mengabsorbsi karbondioksida berhubungan erat dengan pembentukan lapisan kutikula dan lamina yang semakin menipis. Armstrong & Armstrong (2005) menggunakan external palarographic oxygen-sensing elektroda yang ditempatkan pada akar (rhizospher) untuk mengetahui proses keracunan sulfida pada akar tanaman padi. Mereka mengamati adanya reaksi reduksi dengan cepat terjadi karena berkurangnya oksigen di sekitar akar, sehingga mengakibatkan tekanan terhadap pemanjangan akar dan kemampuan mengambil air. Kondisi ini berlanjut sampai berhari-hari sulfida akan menghancurkan akar diikuti dengan tumbuhnya akar lateral. Sulfida juga dapat menghalangi aerenkim dan jaringan pembuluh tanaman. Kekurangan oksigen pada akar juga disebabkan oleh nitrat yang dibebaskan dari bahan organik sehingga menghalangi oksigen untuk diserap oleh akar (Kirk & Kronzucker 2005). Gen Pengendali Toleransi Genangan Saat tanaman tergenangi air, secara otomatis mereka memberikan respon untuk meningkatkan pertahanannya. Namun, jika terlalu lama tergenangi, maka tanaman akan layu dan mati. Padi juga tidak berbeda, meskipun padi ditanam dalam air, tanaman muda seringkali terpengaruh oleh banjir tahunan di lahan pertanian dataran rendah. Namun, beberapa kultivar sangat toleran serta dapat bertahan hidup sampai dua minggu penggenangan sempurna berkaitan dengan tempat percobaan kuantitatif utama yang ditunjuk sebagai Submergence 1 (Sub1) seperti pada FR13A (Xu et al. 2004). Lokus Sub1 terpetakan pada kromosom 9, berukuran 200 kb (Gambar 2), dan berperan dalam variasi toleransi genangan kultivar padi (Xu
Gambar 2 Sub1 haplotipe dari O.sativa. Lokus Sub 1 mengkodekan dua atau tiga ethylene-responsive factors yaitu Sub1A, Sub1B, dan Sub1C. Hanya lokus yang berisi alel Sub1A-1 yang dapat menyebabkan padi tahan terhadap rendaman (Fukao et al. 2006, Xu et al. 2006). & Mackill 1996, Xu et al. 2004, Perata & Voesenek 2006). Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa Sub1 pada FR13A mengkode tiga faktor transkripsi (Sub1A, Sub1B, dan Sub1C) (Gambar 2) yang termasuk kelompok B-2 subgrup ethylene response factor (ERFs) (Perata & Voesenek 2006). Regulasi transkripsi Sub1A dan Sub1C didapatkan meningkat akibat genangan. Peningkatan Sub1C berkurang dengan adanya Sub1A, mengindikasikan adanya represi Sub1C oleh Sub1A. ERF ketiga, Sub1B hanya sedikit terpengaruh oleh genangan (Fukao & BaileySerres 2008, Perata & Voesenek 2006). Sub1A merupakan respon etilen mirip gen yang mengendalikan toleransi terhadap genangan pada padi (Xu et al. 2004). Sub1A yang pertama kali ditemukan merupakan suatu variabel tetapi dibutuhkan untuk toleransi terhadap genangan. Ketika terekspresi lebih dalam, gen Sub1A menyebabkan varietas padi toleran genangan di air. Suatu penyimpangan, Sub1A-1 hanya ditemukan dalam padi toleran genangan, sementara Sub1A-2 dengan suatu perubahan nukleotida tunggal merupakan versi ketidaktoleransi dari gen tersebut. Ketika dimasukkan kedalam varietas padi swarna tidak toleran genangan, yang tidak ada gen Sub1A, ilmuwan menemukan bahwa hasilnya tidak hanya toleran genangan air, tetapi juga produksi tinggi dan keuntungan lainnya. Hasil survey alel mendapatkan toleransi genangan terkait dengan alel Sub1A-1 dan intoleransi genangan terkait dengan alel Sub1A-2 (Fukao & Bailey-Serres 2008, Xu et
5
al. 2004). Transformasi Sub1A-1 pada varietas Japonica intoleran genangan menghasilkan tanaman transgenik yang toleran genangan (Fukao & Bailey-Serres 2008, Perata & Voesenek 2006). Introgresi Sub1 (haplotipe Sub1A-1, Sub1B-1, Sub1C-1) pada intoleran kultivar japonica M202 mendapatkan tanaman yang lebih toleran terhadap genangan, lambat penurunan pati dan solubel karbohidratnya, kecil mRNA amilase dan sukrosa sintasenya, tinggi aktivitas piruvat dekarboksilase (Pdc) dan alkohol dehidrogenase (Adh), kecil produksi etilennya, dan berkurang transkripsi gen ekspansinya (Fukao & Bailey-Serres 2008). Data-data fisiologi ini mendukung teori bahwa strategi survival terhadap genangan berlangsung melalui konservasi karbohidrat, represi elongasi sel, dan peningkatan kapasitas fermentasi (Perata & Voesenek 2006, Fukao & Bailey-Serres 2008). Keterkaitan Sub1 dalam survival tanaman terhadap genangan seperti disajikan pada Gambar 3 (Perata & Voesenek 2006, Fukao & Bailey-Serres 2008). Genangan mengakibatkan akumulasi etilen yang kemudian menginduksi transkripsi gen Sub1A sehingga terjadi akumulasi protein Sub1A. Selanjutnya Sub1A menghambat ekspansi A (ExpA) dan sukrosa sintase (Sus 3) sehingga menghambat pertumbuhan. Sub1A meningkatkan transkripsi gen yang berkaitan dengan fermentasi sehingga terjadi akumulasi mRNA dan peningkatan aktivitas Pdc dan Adh. Kondisi Fermentasi akan membuat glikolisis dapat berlanjut sehingga menghasilkan ATP untuk survival. Namun, laju produksi etanol tidak jauh berbeda dengan genotip yang tidak mengandung gen Sub1A, mengindikasikan bahwa induksi Pdc dan Adh tidak terlalu krusial. Sub1A menghambat gen yang berkaitan dengan elongasi sel dan katabolisme karbohidrat. Degradasi pati menghasilkan sumber glukosa untuk glikolisis dan pertumbuhan. Padi yang mengekspresi Sub1A, laju elongasi rendah, pati dan karbohidrat yang terkumpul dapat digunakan untuk mempertahankan perlambatan sintesis ATP melalui fermentasi. Sub1C yang mengontrol gen -amilase (Ramy3D) dihambat oleh Sub1A. Gibberellins (GA) terlibat dalam regulasi ekspresi Sub1C. Namun, efek tersebut terhadap ekspresi Ramy3D bersifat tidak langsung, mengingat promotor gen ini yang tidak mengandung elemen GARE diperlukan untuk regulasi GA. Peningkatan regulasi Ramy3D oleh kandungan gula didapatkan
pada Sub1A-defisien. SUB1A juga bertanggung jawab pada restriksi feedback produksi etanol.
Gambar 3 Keterkaitan Sub1A dan Sub1C dengan toleransi genangan (Fukao et al. 2006, Perata & Voesenek 2007, Fukao & Bailley- Serres 2008). Metode Analisis Toleransi Genangan Analisis/seleksi toleransi genangan secara lapangan dapat dilakukan dengan uji genangan (Xu et al. 2004, Sarkar et al. 2006). Metode fluorosensi klorofil juga telah dikembangkan (Sarkar et al. 2006). Kedua metode tersebut berguna untuk seleksi awal. Namun, tidak dapat memberikan informasi apakah sifat toleransi genangan sampel yang diperiksa diakibatkan oleh perlakuan yang dilakukan. Walaupun metode pada level asam nukleat secara RAPD, RFLP atau AFLP, dan hibridisasi terhadap Sub1 juga telah dikembangkan, tetapi metode-metode ini sangat laborius dan memerlukan sampel DNA berkualitas tinggi dalam jumlah banyak, sehingga kurang praktis bila jenis sampelnya banyak atau jumlah sampel sedikit (Xu et al. 2004) . PCR berbasis marka Sub1 merupakan metode yang paling praktis, tidak diperlukan sampel DNA yang banyak, serta paling sensitf karena adanya efek amplifikasi. Marker mikrosatelit (RM219) dan concodominant (RM464A) yang terkait dengan Sub1 telah dikembangkan (Xu et al. 2004). Pada penelitian ini akan digunakan
6
deteksi dengan metode PCR dengan marka Sub1. Metode Persilangan Terarah (Site Directed Crossing) Tanaman transgenik akan dihambat dengan adanya regulasi GMO, sehingga sedapat mungkin menghindari metodemetode pengembangan yang menghasilkan produk tanaman transgenik. Metode sitedirected crossing (Gambar 4) merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengintroduksi sifat tertentu secara spesifik tanpa harus melalui rekayasa genetik yang menghasilkan produk tanaman transgenik (Xu et al. 2004, Mackill et al 2007). Pada metode ini, introgresi donor dapat diminimalisasi, hanya sifat yang diinginkan yang terintroduksi pada host, sehingga dapat dipertahankan sifat-sifat yang baik pada padi host. Pembentukan populasi hingga BC5F1 akan menghasilkan turunan dengan sifat yang mendekati hampir 100 % host (retensi host maksimal) (Mackill et al. 2007), sehingga hanya sifat yang diinginkan (misalnya aromatik, toleransi genangan, dsb.) yang terintroduksi ke host. Selfing (pembentukan BC5F2) hanya diperlukan untuk introduksi sifat yang progeni gennya bersifat resesif (misalnya sifat aromatik), sedangkan untuk yang dominan (misalnya toleransi genangan) cukup hingga BC5F1. Analisis molekuler (misalnya PCR) sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tanaman yang akan dibackcross telah mengandung gen yang ditargetkan (Mackill et al. 2007) serta membantu mempersingkat tahapan penelitian. Pada introduksi toleransi genangan yang sifatnya dominan, dapat langsung dilakukan uji genangan, tetapi
Gambar 4 Diagram metode site-directed crossing. Keterangan: backcross = silang balik, selfing = silang dengan dirinya sendiri.
dengan adanya analisis molekuler akan lebih memastikan dan secara saintifik lebih valid. Metode site-directed crossing sering digunakan dengan nama marker- assisted backcrossing atau PCR-assisted backcrossing (Mackill et al. 2007, Lang & Buu 2008). Namun, umumnya tidak secara menyeluruh hingga turunan BC5F1 atau BC5F2, biasanya acak hingga BC3F1, BC2F2, dsb. Selain itu, belum pernah digunakan untuk introduksi lebih dari satu sifat. Marka Molekular Marka molekuler merupakan metode penunjuk keberadaan rangkaian nukleotida atau lebih umum dikenal pasangan basa (DNA) yang tidak dikenal sebagai suatu fungsional genetik. Marka dapat juga memberikan informasi suatu rangkaian sekuen tertentu dalam menyandikan suatu sifat atau memberikan informasi tentang keberadaan posisi suatu sekuen konservasi di dalam genom Gupta et al. (2002) mengklasifikasikan marka molekuler kedalam beberapa generasi, diantaranya generasi pertama berdasarkan fragmen restriksi (Restriction Fragment Length Polymorphisms-RFLP) yang telah dilaporkan pada genom manusia pada awal 1980 (Botstein et al. 1980) menjadikan marka molekuler berbasis fragmen DNA sangat populer. Disusul dengan marka generasi kedua pada tahun 1990 yang meliputi mikrosatelit (Simple Sequence Repeats-SSRs) dan AFLPs (Amplified Fragment Length Polymorphisms) berbasiskan fingerprinting. Marka generasi ketiga pun muncul dengan pada tingkat yang lebih spesifik pada penyandi terkait ekspresi (Expressed Sequence Tags-ESTs) dan SNPs (Single Nucleotide Polymorphisms) diakhir 1990. Berdasarkan prinsip dan metodenya marka molekuler dapat dikelompokan kedalam empat grup (Gupta et al. 2002). Pertama, marka berdasarkan hibridisasi probe; RFLFs merupakan marka yang mempunyai tingkat polimorfis yang disebabkan subtitusi, penyisipan, penghilangan, atau translokasi dalam genom (Gupta et al. 2002). Marka ini memisahkan fragmen DNA berdasarkan sistem pemotongan enzim restriksi seperti EcoRI dan HindIII yang dilanjutkan proses hibridisasi probe pada teknik Southern blotting. Marka ini bersifat kodominan tetapi mempunyai keterbatasan dalam perakitan yang hanya dikonstruksi dari klon cDNA yang telah diketahui, kuantitas dan kualitas
7
DNA yang dibutuhkan sangat tinggi serta dibutuhkan laboratorium khusus menangani radioaktif. RFLP merupakan sebuah teknik baru untuk memonitor transfer gen dari sebuah persilangan dan memiliki kemampuan untuk mengklon gen produk yang belum diketahui (Lang & Buu 2008). Kedua, marka berdasarkan polymerase chain reaction (PCR) yang dikelompokan dalam satu primer pengamplifikasi; RAPD merupakan marka yang mengamplifikasi genom dengan satu primer spesifik secara acak (Williams et al. 1990) dan pasangan primer spesifik. STSs (Sequence-Tagged Sites) merupakan sekuen unik yang pendek yang mengidentifikasi satu atau lebih loci dan dapat teramplifikasi dengan PCR. SCARs (Sequence Characterized Amplified Regions); seperti STS primer yang mengidentifikasi RFLP loci. AFLP merupakan DNA fingerprinting yang berbasis pada amplifikasi PCR pada suatu set fragmen restriksi yang telah diligasikan suatu sekuen diketahui yang akan teramplifikasi biasanya menggunakan MseI atau EcoRI. AFLP ini mempunyai sifat kodominan sehingga dapat digunakan dalam studi tingkat polimorfis dan lebih efisien dibandingkan dengan teknik lainnya (Powell et al. 1996) dan SSRs yang merupakan DNA fingerprinting yang mempunyai tingkat kepercayaan lebih tinggi dibandingkan dengan penanda DNA berbasis fingerprinting. Ketiga, marka berdasarkan PCR diteruskan hibridisasi. MP-PCR merupakan penggabungan beberapa teknik dalam proses PCR dengan menggunakan primer spesifik dan diteruskan dengan proses hibridisasi dengan probe radioaktif. Terakhir, marka berdasarkan hasil sequen seperti SNPs yang merupakan marka yang lebih spesifik pada perbedaan satu pasang basa nukleotida. Marka ini memerlukan sekuen lengkap tanaman dari suatu sekuen spesifik tertentu yang mempunyai suatu fungsi tertentu. Setiap jenis marka mempunyai keuntungan dan kerugian dalam penggunaannya dan prosedur yang akan digunakan untuk beberapa tujuan. Faktor yang banyak mempengaruhi dalam pemilihan jenis marka antara lain kualitas dan kuantitas genom DNA, konsentrasi dan tidak adanya mispriming pada pasangan primer yang digunakan, konsentrasi pereaksi, jenis tanaman yang digunakan karena beberapa marka tergantung pada lokasi ekstraksi DNA tersebut dan pembuatan marka itu sendiri yang membutuhkan biaya, waktu dan tenaga
kerja yang komplikasi. Diantara marka molekular tersebut, SSR banyak dipakai karena sifatnya yang relatif praktis (PCR base), akurat, tingkat polimorfisme yang tinggi, memungkinkan multiplex (pengamatan beberapa marka sekaligus), dan sebarannya merata di seluruh bagian genom padi. PCR dengan Marka Sub1 PCR adalah salah satu metode yang paling praktis untuk menunjukkan keberadaan gen pada suatu organisme. Analisis molekuler seperti PCR sangat diperlukan untuk memastikan bahwa tanaman yang akan disilangbalik (backcross) telah mengandung gen yang ditargetkan serta membantu mempersingkat tahapan penelitian (Mackill et al. 2007). PCR dengan marka Sub1 merupakan metode yang paling praktis dibandingkan dengan metode RAPD, RFLP, atau AFLP. Septiningsih et al. (2009) melaporkan bahwa ukuran/panjang gen padi toleran genangan (Sub1) berbeda dengan padi nontoleran genangan. Hal ini menyebabkan adanya pola pita yang berbeda pada visualisasi hasil PCR dengan elektroforesis gel agarosa. Panjang gen dan susunan gen yang berbeda antara padi toleran genangan dengan padi nontoleran genangan dapat membantu amplifikasi DNA dengan primer yang spesifik. Marka-marka yang spesifik terhadap toleran genangan sudah banyak teridentifikasi (Septiningsih et al. 2009). Pada penelitian ini digunakan marka AEX1F dan AEX1R serta kombinasi antara marka RM219F dan AEX1R. Marka tersebut secara spesifik dirancang untuk alel toleran (IR40931). Marka AEX1F sebagai forward dengan sekuen 5’ AGGCGGAGCTACGAGTACCA 3’. Primer AEX1F berukuran 231 bp dengan nilai Tm sebesar 62.2ºC. Posisi dari primer ini SNP fungsional untuk Sub1A. Primer AEX1R merupakan primer reverse yang spesifik untuk gen Sub1 dengan nilai Tm sebesar 62.4ºC. Sekuen dari primer AEXR adalah 5’ GCAGAGCGGCTGCGA. Marka Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP), Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), dan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) telah banyak digunakan dalam pemetaan gen Sub1. Namun, marka ini secara umum tidak cocok untuk aplikasi program marker assisted selection (MAS). Hal ini dikarenakan pada RAPD, RFLP, atau AFLP
8
sangat laborius untuk pengukuran dan memerlukan DNA dalam jumlah yang banyak atau berkualitas tinggi. Oleh karena itu, diperlukan marka PCR berbasis kodominan seperti marka mikrosatelit. Salah satu marka mikrosatelit yang sering digunakan adalah SSR. Berdasarkan penelitian Xu et al. (2004) primer SSR yang ideal untuk seleksi toleran genangan adalah RM 219 dan RM 464A. Namun, pada penelitian kali ini hanya digunakan marka RM219F saja yang dikombinasikan dengan AEX1R. Seleksi Sub1 dengan marka mikrosatelit ini dapat dipercaya karena ikatannya sangat kuat (3.4 cM dan 0.7 cM). Primer forward dari marka RM219F memiliki sekuen 5’ CGTCGGATGATGTAAAGCCT 3’ (Xu et al. 2004). Meskipun primer tersebut telah terbukti pada berbagai analisis molekular varietas padi di berbagai negara, tetapi marka-marka tersebut belum pernah digunakan untuk varietas padi Indonesia.
BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan tanaman padi diperoleh dari BBBIOGEN dan LIPI. Tanaman yang digunakan yaitu host (Ciherang), padi BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1, padi BC2F1 Ciherang/Swarna-Sub1, padi IR64-Sub1, padi Swarna-Sub1, dan padi IR42. Reagen untuk isolasi DNA yaitu etanol 70 %, etanol 95 %, bufer ekstraksi (NaCl 5 M, Tris-HCl 1 M, EDTA 0,5 M, lauril sarkosin, dan urea), fenol kloroform isoamilalkohol (PCI), isopropanol, dan larutan TE. Bahan-bahan yang digunakan untuk menguji hasil isolasi DNA dengan PCR adalah bufer PCR 10x, MgCl2 50 mM, dNTP mix 10 mM, primer AEX1, primer RM219, Taq polymerase, sampel DNA 50 ng/ µL, dan MQ H2O. Bahan-bahan yang digunakan untuk elektroforesis yaitu loading dye, bufer TAE 1x, agarosa, DNA hasil isolasi atau hasil PCR, marker, etidium bromida, dan akuabides. Alat-alat yang digunakan untuk pembentukan benih BC3F1 adalah cawan petri, kertas saring, bak plastik volume 100 liter, ember, penyedot vakum, kertas minyak, klip, lampu listrik, dan gunting. Alat-alat yang digunakan untuk isolasi DNA adalah ruang laminar air flow, waterbath, cool box, pinset, tabung mikro, mortar, tip, vorteks, microfuge (Backman rotor 12), autopipet, dan inkubator. Alat-alat yang digunakan untuk elektroforesis adalah neraca analitik,
autoklaf, gelas piala, labu Erlenmeyer, magnetic stirrer, microwave, tangki elektroforesis, dan kertas aluminium. Alatalat lain yang digunakan adalah spektrofotometer (SmartSpecTM Plus Spectrophotometer, Biorad), kuvet, pH meter, mesin PCR PTC-100 (MJ Research, Inc), dan UV illuminator Chemidoc EQ Biorad. Metode Penelitian Penanaman dan Persilangan Tanaman Padi (Soedyanto et al. 1978) Materi yang digunakan adalah varietas unggul Ciherang sebagai tetua pemulih, dan padi donor BC2F1 Ciherang/Swarna-Sub1 dan BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1. Untuk menghasilkan biji BC3FI dilakukan penanaman butir padi dari masing-masing varietas dikecambahkan dalam cawan petri. Setelah berkecambah, dipilih 5 kecambah yang pertumbuhannya baik dan dipindahkan ke bak pembenihan. Setelah berumur 2 minggu, tanaman dipindahkan ke ember dan dipelihara sampai berbunga. Tanaman tetua betina Ciherang dan tetua jantan BC2F1 Ciherang-Sub1 yang pembungaannya bersamaan disilangkan untuk mendapatkan BC3FI. Sehari sebelum dilakukan persilangan, dilakukan kastrasi atau emaskulasi pada bunga-bunga tanaman tetua betina. Kastrasi adalah membuang bagian tanaman yang tidak diperlukan. Kastrasi dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar putik menjadi masak sempurna saat penyerbukan sehingga keberhasilan penyilangan lebih tinggi. Setiap bunga terdapat enam benang sari dan dua kepala putik yang menyerupai rambut tidak boleh rusak. Bunga pada malai yang akan dikastrasi dijarangkan hingga tinggal 15-50 bunga. Sepertiga bagian bunga dipotong miring menggunakan gunting kemudian benang sari diambil dengan alat penyedot vacuum pump. Bunga yang telah bersih dari benang sari ditutup dengan glacine bag agar tidak terserbuki oleh tepung sari yang tidak dikehendaki. Proses penyerbukan dilakukan dengan menyalakan semua lampu di ruang persilangan untuk meningkatkan suhu hingga 32°C dan kelembapan udara hingga 80% sehingga dapat mempercepat pemasakan tepung sari. Bunga jantan diambil kemudian disimpan dalam bak plastik. Setelah kepala sari membuka, segera dilakukan penyerbukan. Bunga betina yang sudah dikastrasi dibuka tutupnya kemudian bunga