6
TINJAUAN PUSTAKA
Bencana Alam di Indonesia Bencana adalah peristiwa atau serangkaian peristiwa yang menyebabkan gangguan serius pada masyarakat sehingga menyebabkan korban jiwa serta kerugian yang meluas pada kehidupan manusia baik dari segi materi, ekonomi, maupun lingkungan dan melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasi dampak bencana alam dengan menggunakan sumberdaya yang mereka miliki. Bencana juga merupakan sebuah peristiwa yang terjadi karena bertemunya ancaman dari luar terhadap kehidupan manusia dengan kerentanan, yaitu kondisi yang melemahkan masyarakat untuk menangani bencana yang dapat berdampak merugikan manusia dan lingkungan, dan tidak adanya kemampuan masyarakat untuk menanggulanginya (IDEP 2007). Berdasarkan penyebab bahayanya, bencana dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu bencana alam, bencana sosial, dan bencana campuran. Bencana alam disebabkan oleh kejadian-kejadian alamiah seperti gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan angin topan. Bencana sosial atau bencana buatan manusia, yaitu hasil dari tindakan langsung maupun tidak langsung manusia seperti perang, konflik sosial, terorisme, dan kegagalan teknologi. Bencana dapat terjadi karena alam dan manusia sekaligus yang dikenal sebagai bencana campuran atau kompleks, seperti banjir dan kekeringan. Sedangkan dilihat dari tempo kejadiannya, ancaman dapat terjadi secara mendadak dan berangsur-angsur. Contoh ancaman yang terjadi secara mendadak adalah gempa bumi, tsunami, dan banjir bandang, sedangkan ancaman yang berlangsung secara perlahan-lahan atau berangsur-angsur adalah banjir genangan, rayapan, kekeringan, dan ancaman yang terjadi musiman adalah banjir bandang (di musim hujan), kekeringan (di musim kemarau) dan suhu dingin. Faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya bencana adalah berada di lokasi berbahaya, kemiskinan, perpindahan penduduk dari desa ke kota, kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan, pertambahan penduduk yang pesat, perubahan budaya, serta kurangnya informasi dan kesadaran (IDEP 2007).
7
Menurut BPPN (2006), bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh manusia (man-made disaster). Faktor-faktor penyebab terjadinya bencana antara lain: 1. Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards),
hazards), bahaya
bahaya
biologi
hidrometeorologi
(biologycal
hazards),
(hydrometeorological bahaya
teknologi
(technologycal hazards), dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation); 2. Kerentananan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kawasan beresiko bencana; dan 3. Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat. Pada tahun 2004 Indonesia mengalami berbagai bencana alam seperti tsunami, banjir, longsor, dan gempa. Tsunami di Aceh yang terjadi pada tahun 2004 mengakibatkan sekitar lebih dari 200 000 jiwa meninggal dan terhitung lebih dari 300 000 jiwa terlantar (Purwadianto 2006). Selama tahun 2005 Indonesia mengalami musibah tanah longsor sebanyak 47 kali yang mengakibatkan 243 orang meninggal dunia. Musibah tersebut paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat yaitu sebanyak 39 kali longsor yang mengakibatkan 205 orang meninggal dunia, 490 rumah mengalami kerusakan, 114 rumah hancur, dan 758 rumah terancam (Surono 2008). Selama tiga tahun terakhir, di Provinsi Jawa Barat terdapat banyak desa yang terkena bencana alam pada daerah pesisir dan non pesisir berdasarkan jenis bencana alam adalah tanah longsor sebanyak 1 610 desa; banjir sebanyak 1 162 desa; banjir bandang sebanyak 103 desa; gempa bumi sebanyak 68 desa; gempa bumi disertai tsunami sebanyak 28 desa; gelombang pasang laut sebanyak 60 desa; angin puyuh/puting beliung sebanyak 984 desa; gunung meletus sebanyak 1 desa; dan kebakaran hutan sebanyak 128 desa (BPS 2008). Data bencana dari BAKORNAS PB (Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana) menyebutkan bahwa antara tahun 2003-2005 telah terjadi 1 429 kejadian bencana, dimana bencana hidrometeorologi merupakan
8
bencana yang paling sering terjadi yaitu 53.3 persen dari total kejadian bencana di Indonesia. Dari total bencana hidrometeorologi, yang paling sering terjadi adalah banjir (24.1 persen dari total kejadian bencana di Indonesia) diikuti oleh tanah longsor (16%). Meskipun frekuensi kejadian bencana geologi (gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi) hanya 6.4 persen, bencana ini telah menimbulkan kerusakan dan korban jiwa yang besar (BPPN 2006). Menurut Sadisun (2007), bencana alam dapat menimbulkan kerugian dan penderitaan yang cukup berat sebagai akibat dari perpaduan bahaya alam dan kompleksitas permasalahan lainnya. Korban jiwa manusia yang meninggal maupun cedera, runtuhnya bangunan-bangunan pemerintah dan swasta, rusaknya sarana prasarana, jaringan utilitas dan infrastruktur serta kerugian moril yang tidak terhitung jumlahnya merupakan akibat yang timbul dari berbagai kejadian bencana tersebut. Laju pertumbuhan penduduk, tidak tertib, dan tidak tepatnya tata guna lahan adalah salah satu inti permasalahan dan penyebab meningkatnya kerentanan bencana. Menurut BPPN (2006), bencana dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi geografis, geologis, iklim, maupun faktor-faktor lain seperti keragaman sosial, budaya, dan politik. Besarnya kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran yang mengancam bangunan individual sampai dengan peristiwa tubrukan meteor besar. Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/luas jika manusia yang berada di sana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastrukturinfrastruktur untuk mendeteksi, mencegah dan menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Dengan demikian meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup (Anonim 2009). Penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari, dan memulihkan diri dari dampak bencana. Secara umum kegiatankegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:
9
pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi resiko bencana (IDEP 2007).
Keluarga Korban Bencana Alam Lingkungan sosial yang paling dekat dengan manusia atau pribadi adalah keluarga. Keluarga adalah suatu satuan terkecil yang dipimpin oleh manusia sebagai makhluk sosial. Keluarga adalah instansi pertama yang memberikan pengaruh terhadap sosialisasi diri manusia terhadap pembentukan pribadi manusia (Soedarsono 1997). Keluarga korban bencana adalah keluarga yang tempat tinggal, harta bendanya rusak dan hilang terkena suatu bencana, dan menyisakan rasa traumatis tersendiri. Bencana yang terjadi menimbulkan dampak di berbagai aspek kehidupan individu dan keluarga. Dampak sosial ekonomi yang diakibatkan oleh suatu bencana meliputi dampak makro ekonomi fiskal; mata pencaharian, pekerjaan dan penghasilan; serta dampak sosial (BNPB 2009). Bencana yang menyebabkan terganggunya mata pencaharian para buruh lepas (buruh tani atau buruh pabrik harian) berdampak terhadap ekonomi keluarga. Strategi ekonomi yang dilakukan keluarga hanya sebatas bertahan hidup “survival economic strategy” dan bersifat “tutup lubang gali lubang” (Sunarti 2009). Dampak bencana terhadap aspek sosial berhubungan dengan pola hubungan yang berubah karena kematian, perpisahan, pengisoliran, dan kehilangan (kehilangan status sosial, posisi serta peran dalam masyarakat), kerusakan nilai-nilai sosial dan rusaknya fasilitas serta terganggunya institusi yang bertanggung jawab memelihara modal sosial. Bencana juga berdampak pada aspek psikologis yaitu terjadinya perubahan kondisi emosi, tingkah laku, cara berfikir, kemampuan mengingat, kemampuan belajar, persepsi dan pemahaman seseorang. Dampak bencana terhadap aspek psikologis juga berkaitan dengan gangguan atau perubahan terhadap cara pandang dan kemampuan dalam memecahkan masalah sehingga rasa trauma dan kecemasan yang berkepanjangan tidak menyelimuti kehidupan keluarga. Sedangkan dampak bencana terhadap
10
aspek ekonomi adalah kehilangan dan kerusakan materi, serta kemampuan mencari nafkah (Sunarti 2010). Berbagai penelitian yang dilakukan di Indonesia menunjukkan bahwa bencana berdampak menembus kehidupan mikro di tingkat keluarga, mengganggu keberfungsian serta pencapaian kesejahteraan keluarga (Sunarti 2007). Dampak dari suatu bencana juga menimbulkan masalah psikososial. Masalah psikososial adalah masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa, gangguan kehidupan, pengungsian, dan migrasi (Sunarti 2010).
Karakteristik Keluarga Usia. Usia merupakan salah satu faktor demografi yang mempengaruhi persepsi seseorang dalam membuat keputusan, menerima segala sesuatu hal yang baru dan dapat mempengaruhi selera seseorang terhadap beberapa barang dan jasa (Kotler & Armstrong 2001). Usia orangtua yang muda akan relatif rentan terhadap adanya badai dan tantangan dalam kehidupan keluarga (Hastuti 2008). Pada usia dewasa muda (usia 21-41 tahun) dan dewasa madya (usia 49-60 tahun) adalah tahapan yang biasa terjadi stres dan masalah sehingga pada usia tersebut membutuhkan persiapan yang matang untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya (Gunarsa & Gunarsa 1991). Menurut Hultsch & Deutsh (1981), setiap tahapan usia menghadapi masa transisi dan masa krisis yang dapat diselesaikan sesuai dengan tahapan usia. Hayslip & Panek (1989), menyatakan bahwa persepsi antar individu terhadap permasalahan yang dihadapi memiliki perbedaan sebagaimana reaksi mereka dalam menghadapi permasalahan. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin besar kemungkinan individu untuk lebih mudah mengasumsikan suatu keadaan sebagai situasi yang penuh tekanan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dengan baik, sehingga usia merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan dan melakukan strategi koping. Berdasarkan hasil penelitian Firdaus & Sunarti (2009), terdapat hubungan antara tekanan ekonomi objektif dengan usia contoh, usia suami, dan pendidikan
11
suami. Pendidikan yang tinggi memungkinkan memiliki keterampilan yang lebih baik dan lebih dipandang sehingga lebih dipilih untuk mengisi kesempatan bekerja
manakala
terjadi
keterbatasan.
Usia
yang
semakin
meningkat
memungkinkan keluarga memiliki tabungan atau sebagian anak sudah mandiri sehingga masalah keuangan semakin berkurang. Terdapat hubungan positif antara pendidikan contoh dengan manajemen keuangan keluarga dan hubungan negatif antara usia contoh dengan mekanisme pengeluaran pangan dan pengeluaran non pangan. Semakin tinggi pendidikan contoh, memungkinkan contoh memiliki kemampuan pengelolaan keuangan yang lebih baik. Usia contoh maupun suami yang semakin tinggi memungkinkan jumlah tanggungan yang semakin besar dan atau memungkinkan keluarga memiliki tabungan dan aset, dan atau semakin memantapkan pendapatan dan pengeluaran keluarga, sehingga tidak menunjukkan mekanisme koping yang dinamis. Lama dan Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang dapat dilihat dari jenis dan lamanya pendidikan formal atau non formal yang telah ditempuh. Pendidikan merupakan salah satu faktor dalam diri seseorang yang akan mempengaruhi perilaku. Menurut Gunarsa & Gunarsa (2000), tingkat pendidikan yang dicapai akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola, kerangka berfikir, persepsi, pemahaman, dan kepribadian seseorang. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Hardinsyah (1987) Seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Keterbatasan pengetahuan karena rendahnya pendidikan berpengaruh terhadap tingkah laku anggota keluarga dalam memilih kebutuhan dan dalam membuat keputusan. Menurut Pearlin & Schooler (1976), diacu dalam Furi (2006), individu yang berpendidikan tinggi pada umumnya lebih positif dalam menghadapi situasi dan bersikap lebih percaya mengatasi permasalahannya dengan perilaku yang berpusat pada masalah, sedangkan menurut Billing & Moss (1981), diacu dalam Furi (2006) seseorang dengan pendidikan yang lebih rendah lebih percaya pada perilaku yang berpusat pada emosi. Strategi koping yang dilakukan dalam sebuah
12
keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orangtua. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga maka akan memudahkan keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Syarief 1998). Lama pendidikan diukur berdasarkan program wajib belajar sembilan tahun. Berdasarkan UU No 2/1989 (Pasal 3 jo. Pasal 13) dan PP No 28/1990 (Pasal 1 jo. Pasal 3), esensi dan ciri-ciri pendidikan dasar (Suwarso 1993) yaitu: 1. Pendidikan
dasar
merupakan
pendidikan
umum,
artinya
merupakan
pendidikan minimum yang berlaku untuk semua negara; 2. Pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun; 3. Pendidikan dasar tidak bersifat uniform; 4. Pendidikan dasar diselenggarakan dijalur sekolah pada berbagai jenis dan satuan pendidikan; 5. Lulusan pendidikan dasar adalah setara; dan 6. Tujuan pendidikan dasar adalah menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang menengah dan membekali peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna di masyarakat. Menurut
Sunarti
(2007),
pendidikan
seseorang
menentukan
kemampuannya dalam mengembangkan meknisme koping dalam menghadapi situasi darurat karena bencana. Menurut Sunarti (2001), lama pendidikan sembilan tahun digunakan sebagai batasan wajib belajar karena dianggap dapat memberikan pengetahuan, wawasan, dan keterampilan minimal bagi seseorang untuk menjalankan kehidupannnya. Besar Keluarga. Besar keluarga ditentukan oleh banyaknya jumlah anggota keluarga. Berdasarkan jumlah atau besar keluarga, keluarga dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: keluarga kecil (kurang dari sama dengan 4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (lebih dari sama dengan 8 orang) (BKKBN
1996).
Besar
jumlah
keluarga
akan
berpengaruh
terhadap
pendistribusian konsumsi makanan antar anggota keluarga. Terutama pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan makanan akan lebih mudah jika diberi makan dengan jumlah yang sedikit (Suhardjo 1989). Penelitian pada keluarga miskin di beberapa wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga yang jumlah
13
anggotanya besar akan menghadapi resiko yang lebih besar menderita kekurangan gizi, hal ini disebabkan oleh jumlah makanan yang dimakan keluarga besar dan miskin cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan yang dimakan keluarga kecil dengan tingkat pendapatan yang sama (Eckholm & Newland, diacu dalam Hardinsyah 1985). Selain itu keluarga dengan jumlah anak terlalu besar seringkali mempunyai masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok keluarga, sehingga kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar tingkat stres (Pulungan 1993, diacu dalam Cahyaningsih 1999). Sumarwan (2002), menyatakan bahwa pendapatan per kapita dan belanja pangan keluarga akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga. Keluarga yang memiliki jumlah anggota yang lebih besar akan mengkonsumsi pangan dengan jumlah lebih banyak dibandingkan keluarga dengan jumlah anggota yang lebih sedikit. Kepemilikan Aset. Sumberdaya merupakan suatu sumber dari kekuatan, potensi dan kemampuan untuk mencapai suatu manfaat dan tujuan. Sumberdaya aset adalah sesuatu apapun yang dimiliki keluarga atau yang dapat diakses keluarga, dan memiliki nilai tukar yang dapat mendorong keluarga untuk mencapai tujuannya. Aset tersebut dapat berupa sumberdaya ekonomi, potensi manusia, karakter pribadi, kualitas lingkungan, sumberdaya alam, dan fasilitas masyarakat (Rice & Tucker 1986, diacu dalam Nuryani 2007). Sumberdaya keluarga ditinjau dari sudut pandang ekonomi merupakan alat atau bahan yang tersedia dan diketahui fungsinya untuk memenuhi kebutuhan atau tujuan keluarga (Gross, Crandall & Knoll 1980). Sumberdaya berdasarkan jenisnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumberdaya manusia dan materi. Sumberdaya manusia memiliki dua ciri, yaitu pribadi/personal dan interpersonal, sedangkan sumberdaya materi terdiri atas benda-benda atau barang, jasa, waktu, dan energi. Sumberdaya dalam keluarga adalah berupa aset/harta kekayaan yang dimiliki keluarga. Sedangkan menurut Bryant (1990), aset adalah sumberdaya atau kekayaan yang dimiliki keluarga. Aset akan berperan sebagai alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki aset yang banyak cenderung lebih sejahtera dibandingkan dengan keluarga yang memiliki aset terbatas.
14
Pendapatan Per Kapita. Pendapatan keluarga adalah seluruh penerimaan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Besarnya pendapatan yang diterima rumah tangga dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu masyarakat (BPS 2005). Menurut Roedjito (1986), keluarga yang berpenghasilan rendah akan menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk pangan sebagai kebutuhan pokok. Suhardjo (1989), mengemukakan bahwa pendapatan sangat berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran keluarga. Pendapatan keluarga mempunyai pengaruh paling besar terhadap analisis kategori pengeluaran. Sumber penghasilan rumah tangga berupa pendapatan yang digunakan untuk membeli dan memproduksi barang dan jasa yang dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan anggota rumah tangga. Pada kondisi pendapatan terbatas, rumah tangga akan mendahulukan pemenuhan kebutuhan makanan sehingga pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah akan terlihat bahwa sebagian besar pendapatannya akan dialokasikan untuk konsumsi makanan. Seiring dengan peningkatan pendapatan dan berjalannya waktu akan terjadi pergeseran, yaitu porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk makanan menuju peningkatan porsi pendapatan yang dibelanjakan untuk barang bukan makanan (BPS 2003). Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dibagi jumlah anggota keluarga. Pendapatan merupakan indikator yang baik, bukan saja pada tingkat kesejahteraan jasmaniah yang dapat dicapai seseorang. Melainkan terhadap kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat. Semakin tinggi pendapatan seseorang, maka orang tersebut semakin bebas memilih dan bergerak. Oleh karena itu, pendapatan merupakan ukuran yang baik terhadap kekuatan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat (Ginting & Penny 1984, diacu dalam Nuryani 2007). Pekerjaan. Salah satu indikator dari pendapatan yang diperoleh suatu keluarga setiap bulannya adalah dilihat dari jenis pekerjaannya (Kumari 2001). Bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh atau membantu penghasilan (Kusumaningsih 2007). Sedangkan menurut BPS (1998), bekerja adalah kegiatan yang dilakukan dengan maksud memperoleh penghasilan atau keuntungan selama paling sedikit satu jam dalam seminggu yang lalu dan
15
harus dilakukan berturut-turut dan tidak boleh terputus, termasuk pekerja keluarga tanpa upah yang membantu dalam usaha atau kegiatan ekonomi. Pekerjaan termasuk ke dalam salah satu sumber pendapatan dalam keluarga. Menurut Khomsan (2007), adanya pekerjaan tetap dalam suatu keluarga maka keluarga tersebut relatif terjamin pendapatan setiap bulannya. Jika keluarga tidak memiliki pekerjaan tetap maka pendapatan keluarga setiap bulannya tidak dapat dipastikan. Menurut Engel et al. (1994), pekerjaan merupakan indikator tunggal terbaik mengenai kelas sosial.
Permasalahan Keluarga Pangan. Dari studi pemantapan SIDI (Sistem Syarat Dini dan Intervensi) diketahui bahwa golongan masyarakat yang selalu mengalami rawan konsumsi pangan adalah mereka yang tergolong dalam masyarakat ekonomi rendah. Hal ini berkaitan erat dengan daya beli masyarakat (Karyadi & Susanto 1996). Walaupun kekurangan daya beli merupakan hal yang utama namun sebagian kasus kekurangan gizi dapat diatasi dengan adanya pengetahuan gizi yang baik dari ibu karena pengetahuan gizi merupakan landasan utama dalam menentukan konsumsi pangan keluarga (Soetjiningsih 1995). Kesehatan. Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggulangan dan pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, dan atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan (Anonim 2010). Menurut pernyataan dari Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO), kesehatan adalah keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara lengkap dan bukan hanya sekedar tidak mengidap penyakit atau kelemahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah kondisi sosial (10%); kondisi medis (8%); kondisi iklim (7%); faktor keturunan (15%); dan gaya hidup (60%) (Bambang 2010). Pendidikan. Pendidikan orangtua merupakan salah satu faktor penting dalam tumbuh kembang anak. Tingkat pendidikan anak yang dicapai oleh
16
orangtua akan menentukan cara, pola dan kerangka berfikir, serta persepsi pemahaman kepribadiannya. Orangtua yang berpendidikan tinggi akan tetap mengedepankan pendidikan anak-anaknya dalam kondisi apapun. Menurut Hardinsyah & Suhardjo (1987), pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan seseorang. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan semakin besar. Menurut Hardinsyah (1987), seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan diberi upah lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. Tempat Tinggal. Rumah adalah tempat dimana keluarga dapat bersatu dan merasa satu kesatuan. Menurut BPS (1997) rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung tapi juga berfungsi sebagai tempat tinggal. Oleh karena itu aspek kesehatan dan kenyamanan bahkan estetika bagi sekelompok masyarakat tertentu sangat menentukan dalam pemilihan rumah tinggal dan berkaitan dengan kesejahteraan penghuninya. Menurut BNPB (2009), rumah merupakan aset penting bagi individu dan keluarga, tempat sebagian besar dimensi kehidupan manusia berlangsung. Rumah juga menunjukkan status sosial ekonomi seseorang/keluarga di lingkungan masyarakat, merupakan hasil usaha yang dilakukan dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Rusaknya rumah akibat gempa bumi akan berdampak terhadap ekonomi keluarga dan mempengaruhi arah serta prioritas pengambilan keputusan keluarga. Diperlukan waktu lama untuk memulihkan keadaan keluarga dan dalam rentang waktu tersebut maka akan terjadi penurunan kualitas kehidupan keluarga. Menurut Slamet (1996) rendahnya penghasilan menyebabkan tidak mampunya keluarga untuk memiliki rumah yang memenuhi syarat sehat dan akan menimbulkan permasalahan kesehatan. Timbulnya permasalahan kesehatan di dalam lingkungan pemukiman rumah disebabkan karena orang belum sepaham tentang fungsi suatu rumah. Apakah rumah sekedar berfungsi untuk bernaung saja ataukah untuk istirahat total (jasmaniah, rohaniah, dan sosial), ataukah untuk membesarkan anak, atau juga tempat belajar dan tempat usaha. Ada yang dapat tinggal di rumah yang sekedar berbentuk naungan dari panas dan hujan seperti di sepanjang rel kereta api yang bersandar pada dinding rumah dan lain-lainnya. Ada pula rumah yang bentuknya sangat mewah. Organisasi kesehatan sedunia
17
mendefinisikan rumah sebagai: “rumah adalah tempat untuk tumbuh dan berkembang baik secara jasmani, rohani, dan sosial”. Keadaan rumah yang layak adalah rumah dengan struktur bangunan yang tidak membahayakan penghuninya, ventilasi yang cukup, pencahayaan yang cukup, dan tidak sesak. Menurut Sukarni (1989), bangunan perumahan, luas lantai, dan ventilasi sangat mempengaruhi penularan penyakit terutama penyakit saluran pernafasan seperti TBC dan batuk rejan. Jenis lantai, atap dinding, dan jendela mempengaruhi pula perlindungan para penghuninya terhadap dingin, panas, dan hujan. Rumah sehat harus memiliki syarat sebagai berikut: 1. Memenuhi kebutuhan fisiologis • Suhu ruangan tidak banyak berubah, berkisar antara 18-20 °C. suhu ruangan tergantung pada suhu udara luar, pergeseran udara, kelembaban udara, dan suhu benda disekitarnya • Cukup mendapat penerangan (sinar), siang maupun malam, terutama pada pagi hari cukup sinar matahari • Cukup terjadi pertukaran hawa (ventilasi), sehingga ruangan tetap segar karena cukup oksigen. Cukup mempunyai jendela yang luas keseluruhan ± 15% dari luas lantai dan jendela harus sering dibuka • Cukup mempunyai isolasi suara, yaitu dinding kedap suara, baik dari luar maupun dalam. Sebaiknya jauh dari sumber kegaduhan suara, seperti pabrik, kereta api, lapangan terbang, pasar, sekolah, dan lainnya. 2. Memenuhi kebutuhan psikologis • Cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan • Adanya jaminan kebebasan setiap anggota keluarga • Ruangan bagi anggota keluarga yang telah dewasa harus sendiri-sendiri sehingga tidak terganggu privacynya • Harus ada tempat keluarga berkumpul • Harus ada ruang tamu untuk kehidupan bermasyarakat. 3. Menghindari terjadinya kecelakaan • Konstruksi dan bahan bangunan harus kuat • Tidak mudah terbakar • Terdapat alat pemadam kebakaran
18
• Terdapat sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di susia, kolam, dan lainnya terutama untuk anak-anak. 4. Menghindari terjadinya penyakit • Terdapat sumber air yang sehat, cukup kualitas, dan kuantitas • Terdapat tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik • Dapat mencegah perkembangbiakan vektor penyakit • Cukup luas, dimana kamar mandi ± 5 m2/kapita/luas lantai, luas ruangan per orang dikatakan kurang jika < 7 m2/orang, cukup jika antara 7-10 m2/orang, dan baik jika > 10 m2/orang. Pakaian. Pakaian (sandang) adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Pakaian berfungsi untuk melindungi anggota tubuh dari terik matahari dan penyakit. Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga dapat merupakan pernyataan lambang status seseorang dalam masyarakat (Anonim 2007). Fungsi pakaian dapat ditinjau dari beberapa aspek antara lain aspek biologis, psikologis, dan sosial. Fungsi pakaian ditinjau dari aspek biologis adalah untuk melindungi tubuh dari cuaca, sinar matahari, debu, gangguan binatang, melindungi tubuh dari benda-benda lain yang membahayakan kulit, dan untuk menutupi atau menyamarkan kekurangan dari si pemakai. Ditinjau dari aspek psikologis, fungsi pakaian adalah dapat menambah keyakinan dan rasa percaya diri; dan dapat memberi rasa nyaman. Sedangkan fungsi pakaian dari aspek sosial adalah untuk menutupi aurat atau memenuhi syarat kesusilaan; menggambarkan adat atau budaya suatu daerah; sebagai media informasi bagi suatu instansi atau lembaga; dan sebagai media komunikasi non verbal (Anonim 2010). Pendapatan/Pekerjaan.
Menurut
Hardinsyah
(1997),
pendapatan
keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaan yang dinyatakan dalam pendapatan per kapita. Pendapatan menentukan daya beli terhadap pangan dan fasilitas lain seperti pendidikan, perumahan, kesehatan, dan lain-lain. Diduga terdapat hubungan positif antara pekerjaan dengan pendapatan. Pekerjaan yang mapan dan terjamin maka pendapatan keluarga akan tetap terjamin sehingga dapat memenuhi
19
kebutuhan keluarga. Namun jika terjadi hambatan dalam pekerjaan seperti terjadi bencana alam dan pemutusan hubungan kerja maka pendapatan keluargapun akan berkurang dan sulit untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Interaksi Keluarga. Hubungan yang terjadi dalam keluarga dapat dilihat dengan menggunakan konsep interakasionalisme melalui konsep interaksi dan dampak yang ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga dapat dilihat dari hubungan suami dan isteri, hubungan orangtua dan anak, hubungan antar saudara (siblings), dan dapat ditambahkan hubungan antargenerasi (Suleman 1999, diacu dalam Setioningsih 2010). Interaksi manusia pertama kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga. Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan setiap hari di rumah mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitawati 2006). Dalam keadaan normal, lingkungan pertama yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat yang tinggal satu rumah. Pada dasarnya hubungan orangtua dan anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua sangat mempengaruhi hubungan keluarga dan keluarga cenderung akan bertahan. Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota keluarga akan dapat terjalin dengan baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995, diacu dalam Kunarti 2004). Selain itu, menurut Saxton (1990) terdapat pula interaksi pasangan yang dikonsepkan ke dalam tiga komponen dasar yaitu kesesuaian dalam persepsi peran, timbal balik peran, dan kesetaraan fungsi peran. Menurut Susanto & Sunario (1995), semakin rentannya keluarga dan permasalahan yang dihadapi keluarga disebabkan karena semakin lemahnya kualitas komunikasi antar anggota keluarga sehingga fungsi keluarga semakin pudar dalam melindungi anggota keluarga dari pengaruh dan ancaman dari luar keluarga. Pengaruh dari luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan teknologi komunikasi di era informasi globalisasi.
20
Menurut Dagun (1990), diacu dalam Mutyahara (2005) keintiman diantara anggota keluarga akan sangat mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga. Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama maka keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota keluarga. Menurut Sunarti (2010), gempa bumi yang korban rasakan berpengaruh terhadap hubungan suami isteri dan keluarga. Sebagian contoh merasa menjadi lebih harmonis dan dekat dengan suami dan keluarga, namun terdapat pula ibu yang merasa suaminya menjadi lebih mudah marah, malas bekerja, dan kurang perhatian dibandingkan sebelum gempa.
Kelentingan Keluarga Definisi kelentingan adalah sebuah proses dinamis untuk bertahan dari kesengsaraan secara signifikan serta kemampuan untuk beradaptasi secara positif. Kunci dari konsep kelentingan keluarga terdiri dari proses dinamis untuk beradaptasi dan menghadapi resiko (Walsh 2002). Menurut McCubbin & Thompson (1987), diacu dalam Sunarti (2010) bahwa kelentingan merupakan salah satu faktor yang berinteraksi dengan strategi koping dan menjadi bagian dalam manajemen stres keluarga. Kelentingan keluarga merupakan bagian dari ketahanan keluarga yang dapat menentukan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga adalah suatu kemampuan keluarga dalam mengelola sumberdaya yang dimiliki keluarga dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Peningkatan ketahanan keluarga menjadi penting sehubungan dengan fakta adanya variasi kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan, pelaksanaan fungsi, melalui pengelolaan masalah dan stres (Krysan, Moore, & Zill, diacu dalam Sunarti 2001). Kelentingan keluarga merupakan proses yang dinamis yang mencakup proses adaptasi yang positif dalam keadaan kesulitan atau terjadi kemalangan (Luthar et al. 2000, diacu dalam Walsh 2002). Cara atau upaya untuk mengembangkan
kelentingan
keluarga
adalah
dengan
meningkatkan
keberfungsian dan kesejahteraan keluarga dengan mencegah anggota keluarga dari berbagai keadaan krisis yang dapat mengancam kestabilan keluarga.
21
Kelentingan keluarga dapat dipandang sebagai upaya untuk bertahan dalam keadaan krisis dan kembali kepada keadaan semula pada saat terjadinya kemalangan atau krisis. Dalam keadaan yang demikian, keluarga dapat mengatur dan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki keluarga (Walsh 2002). Hasil penelitian ditemukan bahwa pengelolaan sumberdaya keluarga pada kondisi kemalangan yang sama dapat menghasilkan respon dan hasil berbeda (Kaufman & Ziegler, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan keluarga dapat dilihat pada hubungan dan pengaruh suatu resiko dan proses yang terjaga sepanjang waktu, keterlibatan diri, keluarga, dan besarnya pengaruh sosial budaya (Garmezy 1991; Masten, Best, dan Garmezy 1990; Rutter 1987; Werner 1993, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan keluarga juga dapat dilihat dari sistem kepercayaan keluarga, pola organisasi, dan proses komuniksai. Sistem kepercayaan keluarga mencakup pemaknaan terhadap kemalangan, pandangan positif, kesadaran, dan spiritual. Pola organisasi mencakup fleksibilitas, keterkaitan, sumberdaya sosial, dan ekonomi. Adapun proses komunikasi mencakup kejelasan, ekspresi emosi secara terbuka, dan kolaborasi penyelesaian masalah (Walsh 2002). Sistem kepercayaan keluarga adalah kepercayaan bersama terhadap keluarga yang dapat membantu seseorang untuk memaknai krisis atau permasalahan yang dihadapi dengan memberikan perasaan yang positif, memiliki harapan yang tinggi, mengembangkan dan mengaplikasikan nilai yang terdapat dalam keluarga, serta meningkatkan tujuan spiritual untuk mengurangi tekanan dan menyelesaikan masalah (Antonovsky & Sourani 1988, diacu dalam Walsh 2002). Pola organisasi dapat dilakukan melalui struktur yang fleksibel, kepemimpinan bersama, saling mendukung, dan kerjasama dalam menghadapi keadaan krisis atau kemalangan (Walsh 2002). Komunikasi dikatakan efektif apabila tujuan komunikasi sudah terpenuhi dan pesan yang disampaikan dan diterima sama. Salah satu bentuk komunikasi adalah pengungkapan diri. Pengungkapan diri adalah salah satu memberikan informasi diri kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain memahami apa yang sedang dirasakan oleh seseorang (Yuhaeni et al. 2006). Ketahanan merupakan bawaan atau sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang dianggap tahan terhadap stes karena batin dan tetap tabah dalam menghadapi
22
keadaan stes tersebut (Anthony & Cohler 1987, diacu dalam Walsh 2002). Kehidupan krisis atau kemalangan yang menekan dan berkelanjutan dapat berpengaruh pada fungsi sistem keluarga terutama seluruh anggota keluarga dan hubungan yang diciptakan mereka. Proses tersebut membutuhkan adaptasi untuk dapat menghadapi kesulitan atau kemalangan yang dihadapi keluarga (McCubbin, McCubbin, McCubbin, dan Futrell 1998; McCubbin, McCubbin, Thompson, dan Fromer 1998, diacu dalam Walsh 2002). Kelentingan menurut Carmin (2005) adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan, mengurangi, atau mencegah diri dari sebuah kerusakan. Kelentingan sosial adalah suatu kemampuan dari kelompok dan komunitas sosial untuk pulih dan merespon positif saat terjadi krisis (Almedom 2005; Landau dan Saul 2004; Omand 2005, diacu dalam Maguire & Hagan 2007). Kelentingan pada saat bencana adalah kemampuan untuk mencegah atau melindungi serangan dan ancaman yang memiliki banyak resiko dan kejadian. Kelentingan termasuk dalam sistem penguatan, membangun pertahanan, dan pengurangan kerugian (James et al. 2006). Kelentingan mencerminkan keseriusan dalam mengembangkan kemampuan psikis pada sistem manusia untuk merespon dan kembali dari kejadian yang ekstrim. Sistem kelentingan mengurangi kemungkinan dan konsekuensi dari kegagalan seperti kematian dan luka, kerusakan fisik, dan ekonomi negatif serta efek sosial; dan waktu untuk kembali (Tierny & Bruneau 2007). Menurut Walsh (1999), dorongan anggota keluarga dengan mengambil tindakan inisiatif untuk keluar dari kemalangan merupakan kekuatan untuk mempertahankan keadaan keluarga dan dapat membantu mengembalikan keadaan keluarga dalam keadaan normal kembali. Menurut Sunarti (2010), terdapat dua syarat untuk mengidentifikasi kelentingan, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam component manner).
23
Strategi Koping Pada umumnya saat kondisi stres individu melakukan upaya penyesuaian diri (adaptasi). Strategi koping mengacu pada usaha spesifik baik dalam hal tingkah laku maupun psikologis yang digunakan untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, dan meminimalisasi keadaan yang membuat seseorang tertekan (Taylor 1991, diacu dalam Smet 1994). Menurut Sunarti (2008), strategi penanggulangan mengacu pada usaha individu untuk memenuhi permintaan (kondisi kehangatan, ancaman, dan tantangan) yang dinilai (diterima) melebihi dari sumberdayanya. Setiap manusia memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, dimana faktor utamanya adalah kerentanan (vulnerability) atau kebalikannya yaitu kelentingan (resilience) individu, keluarga, dan masyarakat. Tingkat kerentanan atau tingkat kelentingan dan ketangguhan berkaitan dengan kemampuan bangkit dari keterpurukan, persepsi terhadap stessor, kemampuan mengelola stres, kemampuan mengelola emosi yang berdampak secara negatif, dan strategi atau mekanisme koping yang dilakukan (Sunarti 2009). Menurut Sunarti (2010), faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauh mana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping individu adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dan dukungan sosial. Berdasarkan hasil penelitian Sunarti et al. (2009), strategi yang dilakukan oleh keluarga ketika kerentanan terjadi adalah dengan mengurangi kuantitas dan kualitas pangan (32.22%); menjalani hari-hari tanpa makan (13.33%); mengurangi frekuensi makan per hari (23.33%); membeli makanan yang lebih murah (42.22%); mengurangi pembelian pangan hewani (32.22%); mengubah prioritas pembelian pangan (34.44%); membagi lebih sedikit pangan (35.56%); mengurangi jumlah pangan yang dikonsumsi (37.78%); membeli pangan dengan berhutang (36.67%); merubah distribusi makan (38.89%); menggadaikan aset untuk memenuhi kebutuhan pangan (31.11%); meminjam uang ke keluarga, tetangga, atau teman untuk membeli pangan (61.11%); dan mencari tambahan
24
pendapatan untuk pangan di luar pekerjaan utama (42.22%). Faktor-faktor yang menggambarkan variabel perilaku koping adalah faktor perilaku koping dalam pemenuhan pangan dan perilaku koping dalam aset. Semakin tinggi skor faktor (pemenuhan pangan dan aset) maka semakin tinggi strategi perilaku koping yang dilakukan keluarga. Pearlin & Schooler (1978;1982), diacu dalam Puspitawati (1992), mendefinisakan koping sebagai tingkah laku yang melindungi seseorang dari pengalamannya akibat dari psikologis yang merugikan. Sedangkan menurut Mc Cubbin et al. (1975), koping merupakan manajemen dari dimensi-dimensi kehidupan keluarga termasuk memelihara organisasi keluarga (secara internal), mempertahankan keutuhan keluarga peningkatan kebebasan dan penghargaan pada diri kita sendiri, mempertahankan hubungan dengan masyarakat dan mengontrol pengaruh kuat dari sumber stres yang menjadi suatu proses pencapaian keseimbangan dalam sistem keluarga. Selain itu, menurut Folkman & Lazarus (1984), strategi koping merupakan suatu perubahan dari suatu kondisi ke kondisi lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi yang tidak terduga di mana secara empirical disebut sebagai sebuah proses dan Friedman (1998) mendefinisikan koping keluarga sebagai respon perilaku positif yang digunakan keluarga dan sistemnya untuk memecahkan masalah atau mengurangi stres yang diakibatkan oleh peristiwa tertentu. Sedangkan menurut McElroy & Townsend (1985), diacu dalam Smet (1994), salah satu aspek kunci dari koping adalah upaya individu untuk menerima kenyataan dan mengenalisir ketidakpuasan. Dengan kata lain, koping merupakan salah satu usaha untuk berpikir positif dalam menghadapi suatu kondisi yang tidak menyenangkan, sehingga pada akhirnya mampu menciptakan harapan baru yang lebih nyata. Strategi koping bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasakan menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya yang dimiliki. Menurut Fabella (1993), untuk mengurangi atau menghilangkan stres individu melakukan penyesuaian (coping behavior). Apabila berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi jika tidak berhasil maka individu akan kembali pada keadaan stres lagi bahkan kemungkinan stres itu akan bertambah besar. Jika individu merasa tidak berdaya atau tidak tahu lagi harus
25
berbuat apa dalam menghadapi stres maka akan timbul reaksi panik berkepanjangan yang dapat mengarah pada timbulnya gejala psikoneurosis gangguan kejiwaan. Menurut Cooper & Payne (1991), dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, individu tidak hanya melakukan satu strategi koping saja melainkan melakukan beberapa strategi koping yang dianggap tepat dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi dan dirinya sendiri. Berdasarkan penelitian antara pengaruh putus asa dengan keadaan tidak berdaya menunjukkan bahwa keadaan tidak berdaya memainkan peranan penting dalam etiologi depresi tetapi harapan dapat tumbuh cepat bahkan dalam situasi tidak berdaya total (Breznitz, diacu dalam Appley & Trumbul 1986, diacu dalam Sunarti 2008). Menurut Lazarus (1984), terdapat dua pola strategi koping yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Jenis koping yang digunakan dan bagaimana dampaknya, sangat tergantung pada jenis stres atau masalah yang dihadapi. Keberhasilan atau kegagalan dari koping yang digunakan akan menentukan apakah reaksi akan menurun dan terpenuhinya berbagai tuntutan yang diharapkan. Koping Fokus Pada Masalah (Problem Focused Coping) Problem focused coping adalah strategi bertahan yang berorientasi terhadap pemecahan masalah dengan mengubah perilaku atau lingkungannya dan melihat hubungan-hubungan yang terjadi. Menurut Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem (2000), problem focused coping adalah salah satu bentuk strategi koping untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menentukan masalah, menciptakan pemecahan alternatif, mempertimbangkan alternatif terkait dengan biaya dan manfaat, memilih salah satu alternatif, dan mengimplementasikan alternatif yang dipilih. Menurut Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994) problem focused coping dilakukan dengan cara-cara atau keterampilan-keterampilan baru untuk mengurangi tekanan akibat stesor. Hasil penelitian Ninno et al. (1998), strategi koping yang dilakukan rumah tangga dalam mengatasi masalah kekurangan pangan akibat banjir di Bangladesh adalah dengan menggunakan problem focused coping yaitu melakukan pinjaman dari bank, membeli makanan
26
dengan kredit, mengubah perilaku makan dan menjual aset yang masih dimiliki. Jenis strategi koping yang akan dilakukan seseorang, jika merasa yakin strategi koping yang akan dilakukan dapat mengubah dan menyelesaiakan situasi atau permasalahan yang dihadapi. Menurut Lazarus & Folkman (1984) problem focused coping adalah tindakan yang diambil seseorang untuk memecahkan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Untuk permasalahan yang masih dapat dikontrol dan diselesaikan, seseorang akan cenderung melakukan koping ini. Koping fokus pada masalah terbagi menjadi tiga, yaitu: 1. Planful problem solving adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan melakukan upaya tertentu untuk merubah keadaan, disertai dengan pendekatan analitis dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan bekerja keras penuh dengan konsentrasi dan membuat perencanaan yang cukup baik serta mampu merubah gaya hidupnya supaya permasalahan yang dihadapi dapat terselesaikan secara perlahan-lahan; 2. Confrontative coping adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi dengan merubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, koping ini akan dilakukan seseorang dengan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang ada walaupun akan mengalami resiko yang cukup besar, dan; 3. Seeking social support adalah seseorang yang melakukan koping ini akan mencari dukungan dari pihak luar (informasi, bantuan nyata, dan dukungan secara emosi). Seseorang yang melakukan koping ini akan cenderung untuk mencari bantuan fisik ataupun non fisik dari orang lain selain keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan, dan profesional untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada kegiatan pendampingan psikososial ekonomi pasca gempa bumi di Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan Ciamis) menimbulkan gangguan terhadap kehidupan keluarga akibat bencana, khususnya gangguan ekonomi, menyebabkan keluarga melakukan strategi koping berupa adaptasi dan
27
penyesuaian-penyesuaian, salah satunya dalam pengeluaran keluarga untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Strategi koping yang dilakukan keluarga korban gempa di Provinsi Jawa Barat 2009 terhadap pemenuhan pangan adalah mengurangi kualitas pangan yang dibeli/dikonsumsi dan membeli pangan dengan cara
berhutang;
mengurangi
keragaman
pangan
yang dikonsumsi
dan
mengutamakan makanan untuk anak terlebih dahulu; dan mengurangi porsi makan untuk mengurangi pengeluaran pangan keluarga (Sunarti 2010). Menurut Lazarus & Folkman (1984), perilaku koping pangan yang dilakukan keluarga korban bencana adalah strategi koping yang mengacu kepada penyelesaian masalah. Koping Fokus Pada Emosi (Emotional Focused Coping) Emotional focused coping adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi emosi negatif yang timbul dari masalah atau tekanan yang dihadapi (Atkinson, Atkinson, Smith, & Bem 2000). Menurut Rice (1999), koping fokus pada emosi adalah upaya yang dilakukan individu dengan mencoba mengontrol dan melepaskan perasaan negatif (frustasi, kemarahan, dan katakutan) yang disebabkan oleh suatu kejadian. Taylor (1991), diacu dalam Smet (1994), mengatakan bahwa emotional focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Perilaku ini dilakukan jika individu merasa tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak mampu mengatasi situasi tersebut. Hasil penelitian Ninno et al. (1998), menunjukkan bahwa strategi ini dilakukan rumah tangga untuk mengatasi masalah pangan akibat banjir besar di Bangladesh dengan perilaku pasrah menerima yang telah terjadi, berdoa dan mengharapkan bantuan, simpati dan belas kasihan dari masyarakat dan pemerintah. Menurut Lazarus & Folkman (1984), emotional focused coping adalah usaha-usaha yang dilakukan seseorang untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah stesor secara langsung dan cenderung dilakukan jika seseorang tidak dapat merubah situasi yang menekan dan hanya dapat menerima situasi tersebut karena sumberdaya yang dimiliki tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi. Koping fokus pada emosi terbagi menjadi lima, yaitu:
28
1. Positive reappraisal adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menciptakan situasi dan makna yang positif dari suatu kejadian untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religious. Seseorang yang melakukan koping ini cenderung untuk berfikir positif dan mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi dan tidak pernah menyalahkan orang lain serta bersyukur dengan apa yang masih dimilikinya saat ini; 2. Accepting responsibility adalah seseorang yang melakukan koping ini akan bereaksi
dengan
menumbuhkan
kesadaran
akan
peran
diri
dalam
permasalahan yang dihadapi dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Seseorang yang melakukan koping ini akan menerima segala sesuatu yang terjadi saat ini sebagaimana mestinya dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang sedang dialami; 3. Self controlling adalah seseorang yang melakukan koping ini akan melakukan pengaturan diri baik dalam perasaan maupun tindakan. Seseorang yang melakukan koping ini akan berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan dan menghindari tindakan yang dilakukan secara tergesa-gesa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi; 4. Distanction adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menjaga jarak agar tidak terbelenggu oleh permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang kurang peduli terhadap persoalan yang sedang dihadapi bahkan mencoba melupakannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dalam menyelesaikan masalah; dan 5. Escape avoidance adalah seseorang yang melakukan koping ini akan menghindar dari permasalahan yang dihadapi. Seseorang yang melakukan koping ini akan terlihat dari sikapnya yang selalu menghindar bahkan sering kali melibatkan diri kedalam perbuatan yang negatif seperti tidur terlalu lama, minum obat-obatan terlarang, dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain dalam menyelesaikan masalah. Fitasari (2004), dalam penelitiannya mengenai strategi keluarga miskin dalam pemenuhan kebutuhan hidup, gizi balita, dan tingkat kepuasan keluarga menunjukkan bahwa strategi yang dilakukan oleh keluarga adalah dengan
29
penghematan hidup dan penambahan pendapatan. Namun strategi penghematan merupakan strategi mayor (utama) yang dilakukan keluarga miskin yang membuktikan pengaruhnya terhadap penurunan konflik keluarga dan peningkatan pencapaian output dan tingkat kepuasan keluarga. Faktor pendapatan keluarga dan strategi penghematan merupakan faktor-faktor yang sangat penting dalam menentukan konflik keluarga dan tingkat kepuasan terhadap output keluarga. Untuk itu strategi keluarga merupakan kunci yang sangat penting dalam membantu keluarga dalam mengatasi permasalahan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan
hasil
konsultasi
dan
penyuluhan
keluarga
kegiatan
pendampingan psikososial ekonomi pasca gempa bumi Jawa Barat (Bandung, Tasikmalaya, Garut, dan Ciamis), diperoleh informasi tentang cara contoh dalam mengatasi permasalahan keluarga yang menyangkut aspek psikososial dan ekonomi. Setelah terjadinya gempa, masyarakat merasa lebih sabar dan tawakal serta mendekatkan diri kepada Tuhan. Mereka merasa lebih ikhlas dalam menghadapi cobaan hidup
serta menyerahkan semua kepada Tuhan. Mereka
berpendapat bahwa setiap cobaan pasti terdapat jalan keluar. Cara lain yang dilakukan sebagian besar ibu-ibu untuk mengurangi rasa cemas adalah dengan berkumpul keluarga dan tetangga sehingga bisa saling menguatkan satu sama lain, membangun kebersamaan, dan menjalin kedekatan antar korban bencana. Strategi koping pada korban bencana menunjukkan bahwa korban lebih banyak melakukan strategi koping fokus pada emosi. Hal tersebut menunjukkan terbatasnya akses dan kesempatan untuk melakukan strategi koping yang berfokus pada masalah (Sunarti 2010).