TINJAUAN PUSTAKA Sintesis Senyawa Anorganik Metode sintesis yang digunakan untuk menyiapkan senyawa anorganik berbeda dengan metode sintesis senyawa organik, organologam, atau senyawa kompleks (koordinasi). Metode sintesis didasarkan pada kisi kristal bukan pada molekul secara utuh. Metode sintesis dapat diklasifikasikan berdasarkan: suhu (reaksi suhu tinggi dan rendah), jenis reaktan (padatan, larutan, dan gel), dan kondisi khusus (hidrotermal dan atmosfer khusus). Reaksi suhu tinggi merupakan jenis reaksi yang luas penggunaannya dan merupakan reaksi secara langsung antara reaktan, yang umumnya akan menghasilkan senyawa dalam bentuk kompleks oksida (Weller 2005). Suhu tinggi sangat jarang digunakan pada reaksi dalam bentuk larutan atau gas.
Pada beberapa kasus, reaksi padatan dapat
berlangsung pada suhu yang lebih rendah atau bahkan pada suhu kamar dan melibatkan modifikasi struktur senyawa. Reaksi ini berupa proses interkalasi atau penyisipan (insertion), yaitu ion atau molekul ditambahkan ke dalam struktur dasar senyawa tanpa merubah bentuk, dan juga dalam bentuk penggantian ion (ion-exchange), yaitu ketika satu ion dalam senyawa diganti dengan ion yang berbeda. Proses interkalasi contohnya terjadi pada grafit. Struktur grafit terdiri dari lapisan layar heksagonal yang satu dengan lainnya tidak berikatan (tidak terbentuk gaya van der Waals antar lapisan). Interaksi lemah gaya van der Waals antar lapisan (interkalasi) antara ion atau molekul lapisan dapat terjadi jika karbon direaksikan dengan kalsium, pada suhu leleh kalsium, 640C. 8C(s) +
K(l)
J
C8K
Suhu leleh memberikan energi pendorong transfer elektron dari kalium ke lapisan grafit.
Reaksi penyisipan melibatkan molekul besar, contohnya seperti pada
senyawa Li0.3ReO3. 0.3LiI(s) +
ReO3(s)
J
Li0.3ReO3(s) + 0.15I2(s)
Litium iodide anhidrat dan rhenium trioksida digerus bersama-sama dalam mortar dan reaksi dapat berlangsung secara langsung.
Struktur rhenium trioksida
merupakan suatu bentuk framework yang terbuka, sehingga ion litium dapat berdifusi (tersisipkan) dengan cepat mengisi tempat kosong pada framework molekul oksida rhenium. Rhenium tereduksi dari Re (VI) menjadi Re (V). Proses penyisipan juga dapat terjadi pada senyawa WO3, MoO3, dan V2O5, yang tersisipkan oleh atom Na+ atau H+ (Atkins et. al 2006). Suhu tinggi berperan penting pada metode sintesis reaksi antar padatan (solid state reaction) di samping faktor tekanan.
Pada reaksi antar padatan,
campuran senyawa digerus dengan mortar dan dibuat dalam bentuk pellet dengan di pres, lalu ditempatkan pada cawan dan dipanaskan di tanur. Cawan yang digunakan harus terbuat dari bahan yang inert seperti silika, alumina, atau platina. Hal ini agar tidak terjadi reaksi sampingan dengan cawan. Reaksi antar padatan sangat luas penggunaannya pada senyawa oksida biner atau tersier, contohnya pada sintesis SrTiO3 dari SrO dengan TiO2 (Weller 2005). Pada reaksi oksida padatan, reaksi akan terjadi melalui mekanisme migrasi ion oksida murni melewati antar permukaan dan selanjutnya membentuk struktur baru. Ion yang bermigrasi (berdifusi) lebih cepat adalah kation, karena umumnya memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan ion oksida. Kation dari senyawa oksida umumnya memiliki bilangan koordinasi bervariasi dari 4 (ion kecil seperti Li+) hingga 12 (ion barium) atau bahkan lebih. Bilangan koordinasi kation (atom) menunjukkan banyaknya atom lain yang berada (terikat) di sekitar kation tersebut. Ukuran dan muatan kation merupakan hal penting yang harus diketahui dalam sintesis oksida padatan. Hal ini dapat digunakan untuk menduga suhu yang diperlukan agar reaksi dapat berlangsung sempurna. Kisaran suhu yang digunakan antara 5000C – 20000C. Ion dengan nilai perbandingan muatan dan jari-jari kecil seperti Cs+ atau logam alkali lain, memiliki interaksi lemah antar atom kisinya dan akan memimpin jalannya reaksi (Atkins et. al 2006). Reaksi berikut; Na2O2
+ 2CuO
J 2NaCuO2
akan berlangsung dengan cepat pada suhu 4000C.
Untuk kation kecil tetapi
memiliki atom kisi yang berinteraksi kuat, reaksi akan membutuhkan suhu yang tinggi. Pada reaksi pembentukan MgAl2O4 dari MgO dan Al2O3, suhu yang dibutuhkan di atas 14000C. Hal ini karena atom Mg berinteraksi kuat antar kisinya. Batas fenomena difusi pada reaksi antar padatan adalah ketika campuran reaktan meleleh. Ion dalam lingkungan lelehan (cairan) akan memiliki mobilitas yang lebih besar dibandingkan dalam bentuk padatan. Suhu merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan migrasi ion pada reaksi antar padatan. Faktor lain adalah dengan memperkecil ukuran serbuk. Hal ini akan memperbesar luar permukaan sehingga bidang kontak akan semakin luas. Teknik yang dapat digunakan untuk memperkecil ukuran serbuk oksida adalah menggerus dengan bola-bola logam kecil dalam suatu wadah yang diputar (high ball energy milling). Teknik ini memiliki kelemahan karena dapat merusak struktur kristal padatan, sehingga sifat kimianya akan berubah. Batas ukuran serbuk kristal untuk reaksi antar padatan yang baik adalah 0,1 µm (Weller 2005). Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada sintesis reaksi antar padatan, maka saat ini banyak dilakukan sintesis dalam bentuk larutannya. Hal ini dapat mereduksi suhu dan waktu reaksi. Sintesis senyawa YBa2Cu3O7, yang merupakan superkonduktor suhu tinggi adalah salah satu contohnya. Pada awalnya untuk mendapatkan senyawa tersebut dilakukan dengan mereaksikan secara langsung BaCO3, CuO, dan Y2O3 pada suhu tinggi selama beberapa hari. Jika sintesis dilakukan dengan melarutkan garam nitrat dari barium, tembaga, dan yitrium, dalam pelarut air dengan penambahan asam sitrat dan etanadiol, maka untuk berlangsungnya reaksi pembentukan senyawa YBa2Cu3O7 dibutuhkan suhu yang lebih rendah yaitu 7000C selama beberapa jam (Muller 1999, Weller 2005). Pada beberapa kasus sintesis senyawa anorganik, seperti kompleks fluorida, klorida, fosfat, silikat, dan sulfida, menjaga kondisi atmosfer reaksi merupakan faktor penting. Hal ini karena pada sintesis senyawa anorganik, dapat terjadi reaksi nonstoikiometri yaitu reaksi pembentukan senyawa yang jumlah atom penyusunnya bukan suatu bilangan bulat (Fe0.93O, Ti0.8O). Reaksi nonstoikiometrik tidak terjadi pada sintesis senyawa organik. Atmosfer reaksi juga dapat membuat produk yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Sebagai contoh, jika campuran SrO dan Fe2O3 direaksikan pada atmosfer oksigen tekanan tinggi (di atas 100 atm) maka akan dihasilkan senyawa Sr2FeO4 (Fe(IV). Sebaliknya pada tekanan rendah yang terbentuk adalah senyawa dengan bilangan oksidasi Fe adalah +3. Kondisi khusus atmosfer suatu reaksi dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode hidrotermal dalam suatu wadah teflon tertutup. Senyawa dipanaskan dalam suatu wadah tertutup selama beberapa jam sehingga tekanan di dalam wadah akan tinggi.
Keadaan yang tertutup membantu
mempertahankan produk (senyawa anorganik) yang mudah menguap (volatil) tidak hilang selama reaksi dan tekanan akan membantu proses reaksi, misalnya pada proses rekristalisasi (Atkins et. al 2006)
Sistem Kristal Sistem kristal merupakan group dari struktur kristal yang dikategorikan berdasarkan sistem sumbu aksial untuk menggambarkan kisi (lattice). Kisi kristal adalah ikatan antar atom dalam bentuk tiga dimensi yang digambarkan dalam pola simetri.
Setiap sistem kristal memiliki satu set tiga sumbu (a, b, c) dalam
penggambaran geometrinya. Bagian terkecil dan sederhana dari struktur kristal yang merupakan perulangan dan memperlihatkan karakteristik simetri yang unik dikenal dengan istilah unit sel (unit cell). Unit sel ditentukan dari parameter kisinya, yaitu panjang antar ujung sel dan sudut diantaranya (α, β, γ). Posisi atom di dalam unit sel digambarkan dalam tiga sumbu (a, b, c) dari titik kisi (lattice point) (Gambar 1).
Gambar 1 Orientasi sumbu dan sudut kisi dalam suatu unit sel
Sistem kristal yang telah dikenal berjumlah tujuh. Unit sel dari tujuh sistem kristal beserta panjang dan sudut kisinya dapat dilihat pada Gambar 2 dan Tabel 1.
Gambar 2. Unit sel dari tujuh sistem kristal Tabel 1. Parameter panjang dan sudut kisi dari tujuh sistem kristal Dimensi unit sel
Sistem kristal
α = β = γ = 900
Kubus (isometrik)
α = β = 900 γ = 1200
Heksagonal
a=b≠c
α = β = γ = 900
Tetragonal
a=b=c
α = β = γ ≠ 900
Trigonal/Rhombohedral
a≠b≠c
α = β = γ = 900
Orthorombik
α = γ = 900 β ≠ 900
Monoklinik
α ≠ β ≠ γ ≠ 900
Triklinik
a=b=c a=b≠c
a≠b≠c a≠b≠c
Perbedaan antara satu sistem kristal dengan sistem kristal yang lain terletak pada besarnya sudut kisi dan panjang dari kisi (Holleman & Wiberg 2001, Weller 2005, Atkins et. al 2006). Tipe kisi dari suatu struktur kristal dalam bentuk tiga dimensinya terbagi menjadi tipe primitif (P) yang memiliki satu titik kisi, dan tipe yang lebih kompleks yaitu pusat badan (I), dan pusat muka (F, C). Perbedaan antara bentuk F dan C terletak pada jumlah atom yang terletak pada muka unit sel. Jumlah atom pada bentuk F lebih banyak dari pada bentuk C (Atkins et. al 2006). Tipe kisi yang dikombinasikan dengan tujuh kelas sistem kristal dapat menghasilkan 14 variasi sistem kristal, yang dikenal sebagai kisi Bravais. Sistem kristal kubus memiliki tiga bentuk kisi Bravais yaitu P, I, dan F. Sedangkan untuk tetragonal
hanya P dan I. Titik kisi tersusun dalam bentuk dua atau tiga dimensi dan menggambarkan simetri translasi struktur.
Titik kisi dapat dihubungkan satu
dengan yang lain dalam bentuk garis kisi (dua dimensi) atau bidang kisi (tiga dimensi). Garis kisi dan bidang kisi diberi label menggunakan indeks Miller. Unit sel dalam bentuk tiga dimensi, memiliki nilai jenis indeks Miller yaitu h, k, dan l. Nilai indeks Miller h, k, dan l dapat berupa positif, negatif, atau nol. Sistem kristal dari suatu senyawa memiliki nilai indeks Miller yang khas. Nilai ini dapat digunakan sebagai parameter untuk mengidentifikasikan senyawa yang tidak diketahui. Indek Miller senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan indeks Miller senyawa standar.
Besaran indeks Miller diperoleh dari hasil
karakterisasi dengan bantuan difraksi sinar-X (Atkins et. al 2006, Weller 2005).
Titanium Titanium merupakan unsur yang tersebar luas dengan konsentrasi yang rendah pada setiap tempat dan menempati urutan ke-10 unsur terbanyak di bumi setelah magnesium dan hidrogen. Umumnya titanium ditemukan dalam bentuk senyawa terikat bersama-sama dengan unsur besi, contohnya pada ilmenite (FeTiO3).
Sumber titanium yang lain juga ditemukan dalam bentuk titanite
(CaTiO[SiO4]) dan perovskite (CaTiO3). Titanium memiliki sifat fisik berwarna putih perak, densitas 4,506 g cm-1, konduktor listrik dan panas yang baik, struktur kristal hexagonal close packed dan sifat kimia tahan terhadap korosi baik di udara maupun air. Titanium di alam terdapat dalam bentuk senyawa dengan bilangan oksidasi bervariasi, yaitu bilangan oksidasi +4 (TiCl4, TiO2), +3 (TiCl3, Ti2O3), atau +2 (TiCl2, TiO). Senyawa lain yang memiliki bilangan oksidasi +1, 0, -1, dan -2 juga diketahui, contohnya pada senyawa [Ti(NR2)2(N2)]2- dengan R = SiMe3, [Ti(bipy)3]. Senyawa titanium (III) dan (IV) stabil dalam bentuk padatan maupun larutan, sedangkan senyawa titanium (II) tidak stabil dalam bentuk larutannya. Hal ini dapat dijelaskan dari diagram potensial ion titanium. Titanium tetraklorida (TiCl4) dan titanium dioksida (TiO2) merupakan contoh senyawa titanium dengan bilangan oksidasi +4 yang banyak digunakan sebagai prekursor pada sintesis senyawaan titanium. Titanium tetraklorida dapat
disintesis dari titanium dioksida dengan proses karboklorinasi pada temperatur 12000C. TiCl4 adalah cairan tidak berwarna yang memiliki titik leleh – 24,10C dan titik didih 136,50C serta struktur tetrahedral.
TiCl4 akan terdekomposisi
dengan cepat jika direaksikan dengan air membentuk TiO2. TiO2 dalam larutan asam klorida pekat akan terhidrolisis membentuk senyawa antara TiOCl2 (tionil klorida). Titanium dioksida dikenal juga sebagai bahan warna (pigmen putih). Bahan utama untuk mendapatkan TiO2 adalah ilmenite (Fe, Mg, Mn)TiO3 dan bubur titanium yang diolah melalui proses sulfat atau proses klorida. Di alam TiO2 terdapat dalam tiga bentuk yaitu anastase, rutile, dan brookite.
Rutile
merupakan bentuk yang paling banyak tetapi bentuk yang stabil adalah anastase. Rutile memiliki struktur oktahedral sedangkan struktur anastase dan brookite adalah oktahedral terdistorsi yang mana atom oksigen mengeliligi setiap atom titanium. Pada struktur oktahedral terdistorsi, 2 atom oksigen lebih dekat dengan atom titanium dibandingkan dengan 4 atom oksigen lainnya. Struktur oktahedral TiO2 merupakan perulangan dari TiO62-. Atom Ti memiliki bilangan koordinasi 6. Stuktur dan unit sel dari TiO2 dapat dilihat pada Gambar 3. Rutile stabil dalam suasana asam atau basa dan tidak larut dalam air atau asam encer, tetapi larut dalam asam pekat. Ketiga bentuk TiO2 memiliki nilai refraktif indek tinggi, yaitu 2.488 (anastase), 2,583 (brookite), 2,8 (rutile) (Holleman & Wiberg 2001, Patnaik 2003)
. Gambar 3 Unit sel dan struktur oktahedral TiO2 Refraktif indek yang tinggi adalah salah satu alasan dalam pemanfaatan titanium dioksida terutama dalam bentuk rutile. Beberapa contoh pemanfaatan TiO2 adalah pada pabrik cat dan pelapisan, plastik, tinta printer, fiber (serat),
kertas, kertas laminating, material konstruksi, enamel dan keramik, pupur, pasta gigi, obat salep, pemutih sepatu, dan pembungkus rokok. Bentuk rutile juga digunakan pada sintesis batu permata (Swaddle 1997).
TiO2 dibandingkan
pigmen warna putih lainnya lebih luas dalam penggunaannya, hal ini disebabkan oleh beberapa kelebihan yang dimilikinya, antara lain stabil secara kimia, non toksik, dan perbandingan antara efek dan harga. Senyawaan titanium dengan oksigen terdapat dalam beberapa struktur dan jenis senyawa. TiO2 dalam struktur rutil stabil di bawah suhu 18700C. Saat ini senyawa anorganik oksida logam seperti TiO2, MgO, CuO, Fe3O4 yang memiliki bentuk struktur nanotubes, nanofiber, nanorods menjadi perhatian para peneliti untuk di sintesis dalam skala besar. Aplikasi yang luas seperti photocatalysts, sel photovoltaic, sensor gas, dan biomaterial dari material dengan struktur di atas menjadi alasan untuk mencari metode sintesis terbaik (Ye et. al. 2008).
Barium Titanat Keramik adalah kumpulan produk yang terdiri dari senyawa non metalik yang dihasilkan dengan proses pemanasan (kalsinasi) pada suhu tinggi. Dengan berkembangnya cerments (material komposit logam-keramik) dan keramik gelas, batas antara keramik logam dan keramik gelas semakin susah dibedakan. Produk keramik umumnya diklasifikasikan menjadi dua kelompok berdasarkan atas komposisi kimianya, yaitu: material keramik tanah liat (clay) dan material keramik khusus yang memiliki mineral tanah liat rendah atau sama sekali tanpa mineral tanah liat. Material keramik khusus dibagi berdasarkan ukuran, yaitu kasar (ukuran lebih besar dari 0,2 mm) dan halus (ukuran kurang dari 0,2 mm), serta poriporinya. Berdasarkan porinya terbagi lagi menjadi dua bagian yaitu tanpa pori (nonporous) dan berpori (porous). Keramik tanpa pori digolongkan berdasarkan bahan asalnya yaitu keramik oksida dan keramik non oksida. Berbeda dengan produk keramik dari tanah liat, keramik oksida memiliki kelebihan, yaitu kristal tunggal murni dengan titik leleh tinggi (Büchel et. al 2000). Barium titanat adalah material keramik yang telah dikenal luas, contohnya dalam pabrik pembuatan termistor, kapasitor keramik dielektrik, amplifier
dielektrik, magnetik amplifier, dan kapasitor keping/multi keping (Gambar 4). Pemanfaatan yang luas dari BaTiO3 berhubungan dengan sifat yang dimilikinya yaitu ferroelektrik, piezoelektrik, dan konstanta dielektrik yang tinggi. Konstanta dielektrik keramik BaTiO3 berkisar antara 1000 – 12.000. Sifat elektrik tersebut bergantung pada ukuran partikel serbuk, kemurnian, dan homogenitas struktur (Holleman & Wiberg 2001).
Gambar 4 Kapasitor multi keping Barium titanat adalah serbuk kristal berwarna putih dan memiliki 5 struktur kristal, yaitu heksagonal, tetragonal, kubus, orthorhombik, dan rhombohedral. Struktur tetragonal adalah bentuk umum yang ditemukan pada suhu ruangan karena memiliki suhu Curie 1200C. Sifat lain dari BaTiO3 adalah densitas 6,02 g/cm3, meleleh pada suhu 16250C, tidak larut dalam air dan alkali, tetapi larut dalam mineral asam seperti asam sulfat dan asam fluorida (Patnaik 2003). Barium titanat mempunyai struktur kristal yang termasuk ke dalam groups perovskite (ABO3). Termasuk dalam struktur ini antara lain SrTiO3, CaTiO3, CaZrO3, dan SrSnO3. Pada struktur perovskite, ion kalsium dan oksigen secara bersama membentuk bangunan cubic close packing dengan ion Ti4+ yang kecil menempati posisi interstitial oktahedron. Dalam satu unit sel struktur perovskite barium titanat terdiri dari satu atom barium, satu atom titanium dan empat atom oksigen. Posisi dan ikatan atom barium, titanium dan oksigen dapat dilihat pada Gambar
5.
Struktur
perovskite
dapat
dilakukan
proses
penyisipan
(insertion/doping) dengan atom lain (kation) pada posisi kation-kationnya contohnya seperti pada senyawa (BaSr)TiO3 dan PbZrTiO3. Tujuan penyisipan
ini salah satunya adalah untuk meningkatkan sifat elektrik dari barium titanat (Weller 2005, Atkins et. al 2006).
Gambar 5 Struktur perovskite BaTiO3, merah atom O, biru ion Ti4+ dan abu-abu ion Ba2+ Sifat elektrik dari barium titanat dipengaruhi oleh struktur kristal. Struktur heksagonal dan kubus mempunyai sifat paraelektrik, sedangkan tetragonal, orthorhombik, dan rhombhohedral bersifat ferroelektrik. Sifat elektrik yang lain yaitu piezoelektrik hanya terdapat pada struktur tetragonal. Perubahan struktur barium titanat dari satu struktur menjadi struktur lain di pengaruhi oleh suhu. Pada suhu di atas 14600C, BaTiO3 mempunyai struktur kristal heksagonal. Saat terjadi pendinginan maka terjadi perubahan menjadi struktur kubus. Keadaan yang sangat penting terjadi pada suhu 1200C, karena pada suhu ini BaTiO3 bertransformasi secara spontan dari paraelektrik menjadi ferroelektrik. Struktur kubus akan terpolarisasi sehingga kisi kristal akan berubah sekitar 1% dan akibatnya struktur kristal menjadi tetragonal. Pada keadaan ini atom titanium akan bergeser ke atas sebesar 0,006 nm, sehingga bagian atas akan bermuatan positif dan bagian bawah bermuatan negatif (dipol) (Gambar 6). Fenomena ini dapat ditentukan (dibuktikan) dengan bantuan karakterisasi menggunakan difraksi sinar-X (Gambar 7) (Baeten et. al 2005). menjelaskan sifat ferroelektrik material
Hal ini sangat penting dalam
Gambar 6. Struktur tetragonal BaTiO3 (a) posisi atom dalam 3 dimensi (b) posisi atom dalam 2 dimensi.
Gambar 7 Kurva XRD struktur tetragonal dan kubus BaTiO3 Barium titanat secara sederhana dapat disintesis dengan metode reaksi padatan (solid state) antara BaCO3 dan TiO2 (dalam suatu wadah penggerusan) yang kemudian dikalsinasi pada suhu tinggi sekitar 11000C-13500C.
Suhu
kalsinasi yang tinggi menghasilkan beberapa kelemahan seperti ukuran partikel yang besar, ketidakmurnian yang tinggi (bergantung pada proses kalsinasi yang berulang-ulang dan proses penggerusan), dan aktivitas kimia yang rendah. Hal ini akan menurunkan sifat dielektrik keramik yang akan berhubungan dengan penggunaannya.
Reaksi antara BaO (BaCO3) dan TiO2 untuk menghasilkan
BaTiO3 bukan merupakan reaksi satu tahap. Beberapa senyawa antara seperti BaTi4O9, Ba6Ti17O40, Ba4Ti13O30, dan Ba2Ti9O20 dihasilkan selama proses reaksi. Selanjutnya senyawa antara ini akan bereaksi lebih lanjut dengan TiO2 pada suhu yang berbeda untuk selanjutnya membentuk produk akhir BaTiO3 (Cotton et. al 1999). Keberadaan senyawa antara akan mempengaruhi kemurnian dan distribusi ukuran partikel.
Untuk mengatasi tahapan reaksi yang lebih dari satu tahap dan suhu reaksi, beberapa metode telah dikembangkan dan diteliti lebih lanjut. Metode basah (larutan atau gel) dapat membantu reaksi secara langsung dan mereduksi suhu sehingga reaksi berlangsung pada suhu kamar. Penurunan suhu reaksi juga bisa dilakukan jika sintesis menggunakan teknik hidrotermal.
Pada metode
hidrotermal, wadah tertutup yang berisi sampel dipanaskan pada suhu konstan. Pemanasan ini akan menyebabkan tekanan di dalam wadah akan meningkat karena berlangsung pada volume tetap (Lu et. al 2000, Ciftci et. al 2001, Hennings et. al 1991, Kong et. al 2002, Jung et. al 2005).
Sifat Kristal Dalam mengkaji medan listrik dalam materi, ditemukan bahwa medan listrik itu dipengaruhi oleh keberadaan dipol listrik. Molekul kutub memiliki momen dipol listrik permanen yang secara parsial disejajarkan oleh medan listrik di dalam arah medan tersebut.
Pada molekul nonpolar, momen dipol listrik
diinduksikan oleh medan listrik di dalam arah medannya. Pada kedua kasus, momen dipol yang dengan medan listrik luar ini cenderung memperlemah medannya.
Pengaruh yang serupa tetapi lebih rumit terjadi dalam magnetisme.
Atom-atom memiliki momen dipol magnetik akibat gerak elektronnya.
Di
samping itu, setiap elektron memiliki suatu momen dipol magnetik intrinsik yang dikaitkan dengan putarannya. Momen magnetik total suatu atom bergantung pada susunan elektron di dalam atomnya. Bahan magnetik diklasifikasikan menjadi enam yaitu: paramagnetik, diamagnetik, feromagnetik, antiferomagnetik, ferimagnetik, dan superparamagnetik, berdasarkan perilaku molekulnya di dalam medan magnetik luar (Hayt & John 2006). Bahan paramagnetik dan feromagnetik memiliki molekul dengan momen dipol magnetik permanen. Sifat feromagnetik disebabkan karena interaksi kuat antara dipol magnetik yang berdekatan, terjadi derajat penyearahan yang tinggi sekalipun dalam medan magnetik luar yang rendah sehingga menyebabkan peningkatan yang sangat besar pada medan total. Bahan
feromagnetisme
merupakan
bahan
yang
memiliki
nilai
suseptibilitas magnetik (χm) positif sangat tinggi. Sifat ini dimiliki oleh beberapa logam.
Dalam logam tersebut, sejumlah kecil medan magnetik luar dapat
menyebabkan derajat penyearahan yang tinggi pada momen dipol magnetik atomnya.
Dalam beberapa kasus, penyearahan ini dapat bertahan sekalipun
medan pemagnetannya telah hilang. Ini terjadi karena momen dipol magnetik atom dari logam mengerahkan gaya-gaya yang kuat pada atom tetangganya sehingga dalam daerah ruang yang sempit momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi.
Daerah ruang tempat momen dipol
magnetik disearahkan disebut daerah magnetik. Dalam daerah ini, semua momen magnetik disearahkan, tetapi arah penyearahannya beragam dari daerah ke daerah sehingga momen magnetik total dari kepingan mikroskopik bahan feromagnetik ini adalah nol dalam keadaan normal.
Gaya-gaya dipol yang menghasilkan
penyearahan ini telah diperkirakan oleh teori kuantum tetapi belum dijelaskan dalam mekanika klasik. Pada suhu di atas suatu suhu kritis, yang disebut suhu Curie, gerak termak acak sudah cukup besar untuk merusak keraturan penyearahan ini, dan bahan feromagnetik berubah menjadi paramagnetik (Tipler 2001, Weller 2005). Di samping sifat magnetik di dalam medan magnet, material dari kristal senyawa anorganik juga memiliki sifat ferroelektrik dan piezoelektrik. Ferroelektrik adalah suatu sifat yang mana semua dipol memiliki orientasi (arah) elektron yang seragam tetapi hanya untuk satu bagian (domain) dari struktur kristal. Orientasi dipol berbeda antara satu bagian dengan bagian lainnya. Jika material ferroelektrik diberikan medan listrik maka bagian yang terpolarisasi akan meningkat dan arah elektron mengikuti medan listrik yang diberikan. Medan listrik yang sangat besar dapat membuat seluruh kristal memiliki orientasi yang sama.
Efek polarisasi yang terbentuk pada selama diberikan akan tetap ada
walaupun medan listrik tidak diberikan lagi. Sifat ferroelektrik akan menjadi paraelektrik jika material dipanaskan di atas suhu Curie (Muller 1999). Secara umum, keberadaan sifat ferroelektrik dari suatu material sangat bergantung pada struktur kristal. Semua material ferroelektrik adalah kristal ionik yang tidak memiliki pusat simetri (non-centrosymmetric).
Simetri kristalnya
rendah pada saat di bawah suhu Curie dan secara spontan terpolarisasi di dalam medan listrik. Material yang bersifat ferroelektrik juga bersifat piezoelektrik dan karena itulah akan terpolarisasi ketika diberikan tekanan atau polarisasinya
berubah pada saat mengalami stres mekanik.
Efek piezoelektrik ini telah
dimanfaatkan pada pembuatan resonator untuk peralatan jam atau komputer. Vibrasi mekanis yang diberikan kepada kristal piezoelektrik dapat diubah menjadi signal listrik. Tetapi tidak semua material piezoelektrik bersifat ferroelektrik (Holleman & Wiberg 2001, Muller 1999). Sifat magnet dan listrik dari suatu senyawa anorganik dipengaruhi oleh pita orbital molekul. Jarak antara pita-pita orbital yang terisi dengan yang kosong (band
gap)
akan
menentukan
apakah
suatu
semikonduktor, konduktor, atau superkonduktor.
bahan
bersifat
insulator,