TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG HIDUP MEMBUJANG KARENA KETERBATASAN EKONOMI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
FITRIA STEPHANY TAHIR NIM: 106044101397
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431H/2010M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………i DAFTAR ISI………………………………………………………………..v
BAB 1
PENDAHULUAN ………………………………………....1 A. Latar Belakang Masalah………………………………....1 B. Batasan dan Rumusan Masalah………………………….7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………..9 D. Review Studi Terdahulu………………………………....9 E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan……………….10 F. Sistematika Penulisan…………………………………...12
BABII
TINJAUAN UMUM TENTANG MEMBUJANG...........13 A. Pengertian Nikah………………………………………..13 B. Anjuran Menikah………………………………………..15 C. Pengertian Membujang………………………………….30 D. Kendala-Kendala Pernikahan…………………………...32
BAB III
HIDUP MEMBUJANG MENURUT ISLAM……………52 A. Anjuran Membujang……………………………………..52 B. Larangan Membujang…………………………………....63 C. Dampak-Dampak Hidup Membujang…………………....70 D. Hidup Membujang Karena Katerbatasan Ekonomi Menurut Pandangan Islam……………………..79
v
E. Analisis Hukum Membujang Karena Keterbatasan Ekonomi…………………………………….91
BAB IV
PENUTUP…………………………………………………..102 A. Kesimpulan……………………………………………….102 B. Saran-saran…………………………………………….....103
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………104
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik untuk perorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami dan isteri. Anak keturunan dari hasil perkawinan yang sah menghiasi dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih. Oleh karena itu pada tempatnyalah apabila Islam mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah makhluk Allah yang lain. 1 Hubungan manusia, laki-laki dan perempuan ditentukan agar didasarkan atas rasa pengabdian kapada Allah sebagai sang Pencipta. Perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak bersangkutan, yang dicerminkan dengan adanya ketentuan peminangan sebelum kawin dan ijab qabul dalam akad nikah yang dipersaksikan pula di hadapan masyarakat dalam suatu perhelatan (walimah). Hak dan kewajiban suami isteri timbal balik diatur rapih dan tertib sesuai dengan
1
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1, h. 20
1
2
tujuan perkawinan, demikian juga hak dan kewajiban orang tua dan anakanaknya. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, sudah ditentukan bagaimana cara mengatasinya. Selain itu, adat sopan santun pergaulan dalam keluarga juga diatur dengan sebaik-baiknya agar keserasian hidup tetap terpelihara dan terjamin. 2 Dalam Al-Quran dinyatakan bahwa, hidup berpasang-pasangan atau hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan keberadaan malam berganti siang. Dan dengan kehendakNya, Allah menciptakan manusia dari satu jiwa, yang dari jiwa ini diciptakan pula pasangannya agar tumbuh kesenangan dan ketenangan. Dari makhluk yang diciptakan
berpasang-pasangan inilah Allah menciptakan manusia menjadi
berkembang biak dan berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya. Allah juga menghamparkan perasaan cinta yang melandasi tegaknya keluarga, dan melimpahkan kasih sayang yang menopang tonggak rumah tangga. 3 Dalam Al-Quran juga dinyatakan bahwa berkeluarga juga termasuk sunnah Rasul-rasul terdahulu sampai Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW. Di samping itu, Islam menganjurkan orang berkeluarga karena dari segi bertambah dan berkesinambungannya amal sekarang, dengan berkeluarga akan dipenuhi. Dengan
2
Ahmad Azhar Bashir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UI-Press, 2000) Cet. Ke - 9,
3
Fathur Sukardi, Motifasi Berkeluarga, (Jakarta : Pustaka Kautsar), Cet. Ke-4, hal. 11-12
h. 1
3
berkeluarga orang dapat mempunyai anak, dan dari anak yang shaleh diharapkan mendapat amal tambahan di samping amal jariyah yang lain, karena doa anak yang soleh untuk orang tuanya akan selalu sampai walau sudah di liang kubur. 4 Islam mengatur manusia dalam hidup berjodoh-jodohan itu melalui jenjang perkawinan yang ketentuannya dirumuskan dalam wujud aturan-aturan. Hukum Islam juga ditetapkan untuk kesejahteraan umat, baik secara perorangan maupun bermasyarakat, baik untuk hidup di dunia maupun di akhirat. Karena keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat, maka kesejahteraan masyarakat sangat tergantung kepada kesejahteraan keluarga. Demikian pula kesejahteraan perorangan sangat dipengaruhi oleh kesejahteraan hidup keluarganya. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, karena itu perkawinan sangat dianjurkan dalam Islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan dalam AlQuran maupun Hadits. 5 Tuhan tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada suatu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemulyaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan 4
Imam Al-Ghazali, Adabun Nikah, Alih Bahasa, Abu Asma Anshari, Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), h. 6 5
Nabil Muhammad Taufik As-Samaluthi, Addienu Wal Binaaul Aailiy, Alih Bahasa Anshari Umar Sitanggal, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), Cet. Pertama, h. 236
4
saling ridha, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa saling meridhai, dan dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan lakilaki dan perempuam itu telah saling terkait. Bentuk perkawinan itu telah memberikan jalan yang aman pada naluri sex, memelihara keturunan dengan baik, dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana ladang yang dapat ditaburi benih oleh sembarang petani. Pergaulan suami isteri sesungguhnya diletakan dibawah naungan naluri keibuan dan kebapaan, sehingga nantinya akan membuahkan keturunan-keturunan yang bagus. 6 Akan tetapi terjadi sebuah fenomena dimana seseorang memutuskan diri untuk tidak menikah. Mereka ada yang melihat perkawinan sebagai suatu hal yang menghambat mereka dalam berbagai hal. Tinta sejarah telah mencatat beberapa ulama besar yang tidak pernah merasakan dunia pernikahan seperti Imam Ibnu Taimiyah (pengarang kitab Majmu’ah Fatawa) yang tidak menikah karena disibukkan dengan bidang ilmu pengetahuan. Ia menghabiskan hidupnya dalam memperdalam keilmuan dan membuat buku demi kemajuan umat Islam di dalam hal ilmu pengetahuan. Selain itu, ada Imam Nawawi (beberapa karangan beliau seperti Raudhah Thalibin, Minhaj Thalibin), Rabi’ah al-Adawiyyah yang tidak melakukan pernikahan karena takut apabila ia menikah maka cintanya kepada Allah akan berkurang dan tidak khusyu’ dalam mengabdi dan beribadah
6
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa, Moh. Thalib , (Bandung : al-Ma’arif 1997), Cet. Ke -14, Jilid 6, hal 10
5
kepada Tuhannya karena disibukan dengan hal-hal keduniawian, dan mujadid besar abad 20 Syekh Said Nursi dengan gelar Badiuzzaman (pengarang kitab Risalah Nur), Jamaludin al-Afghani, Maulana Ubaidullah Sindi. Seorang ulama dari Damaskus Suria, Imam Abu Fattah Abu Ghuddah mengumpulkan para ulama ulama sejarah islam kedalam sebuah buku karangannya dengan judul, Al 'Ulama al Uzzab (Kumpulan Ulama Perjaka). Menceritakan kisah para ulama yang menjalani hidup tanpa didampingi seorang istri, disebabkan oleh kesibukan para ulama ini menuntut ilmu dan berda'wah, baik itu mengajar, mengarang, dan sebagainya, demi menjaga keutuhan dan kesatuan ajaran Islam dalam kemurniannya. 7 Ini adalah contoh-contoh para Ulama yang tidak melakukan pernikahan karena takut terbuai dengan hal-hal keduniawian. Selain mereka masih banyak para sufi yang hidupnya membujang karena mereka ingin beribadah dengan sesungguhnya tanpa harus memikirkan hal-hal lain yang membuat mereka lupa akan Tuhannya. Selain itu, ada juga orang yang tidak menikah karena lemah psikisnya atau karena sakit sehingga tidak dapat menunaikan kewajiban biologisnya atau karena sebab lain yang memaksanya menghindari menikah, 8 seperti kekurangpercayaan kaum laki-laki terhadap perempuan yang sering keluar rumah secara berlebihan 7
Ach. Muzakki Khalil, “Kenapa Tidak Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 11-11-2009 dari http://laros.heavenforum.com/diskusi-dan-belajar-f7/knp-tak-menikah-t579.htm, 8
Agus Salim, Risalatun Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 1989) Cet. Ke – 3, hal. 21
6
sehingga
menimbulkan
kecurigaan
dan
keragu-raguan
atas
kebersihan
perempuan, yang juga menyebabkan laki-laki sulit mencari calon isteri untuk hidup berumah tangga. 9 Dan juga laki-laki yang memilih hidup bebas tanpa ikatan perkawinan dengan “berpetualang” dari satu wanita ke wanita lain. Hal ini desebabkan karena keengganannya dengan segala atribut perkawinan, seperti prosedur pernikahan, tanggungan terhadap isteri dan anak, hak dan kewajiban suami isteri, aturan monogami, prosedur poligami, prosedur perceraian, prosedur rujuk, dan alasan-alasan negatif lain tentang hidup berumah tangga. 10 Berbeda dengan fenomena-fenomena di atas, perkawinan menjadi salah satu hal yang terpikirkan tetapi dianggap jauh dari jangkauan bagi orang-orang yang hidupnya sangat amat kekurangan, yaitu dalam hal materi (keterbatasan ekonomi) 11 . Mereka yang hidup dalam keadaan demikian, banyak yang memutuskan untuk tidak menikah atau membujang 12 karena takut tidak dapat memenuhi nafkah lahir isteri, seperti makan sehari-hari, pakaian, dan tempat tinggal, serta ketidakmampuannya dalam memberi mahar perkawinan. Karena memang yang diwajibkan bukan hanya memberi nafkah batin saja tetapi juga
9
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, hal. 27
10
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 28
11
Adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup 12
Dalam kamus bahasa Indonesia, membujang berarti menjadi orang yang belum atau tidak mau kawin
7
mancakup nafkah lahir, yang apabila tidak dapat dipenuhi maka akan berdosa. Padahal terhadap ketakutannya ini, Allah telah menjelaskan bahwa dengan menikah seseorang bukan akan menjadi berkurang rezkinya karena dibagi dengan isteri dan anak-anaknya, tetapi justru akan semakin terbuka pintu rezkinya. Selain itu, jika mereka lebih berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya, maka pasti ada jalan untuk hidup berumah tangga. 13 Beranjak dari uraian di atas, penulis merasa perlu adanya suatu penelitian yang bersifat keilmuan. Dengan demikian, penulis tertarik untuk mencari dan menguraikan dengan jelas tentang bagaimana tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, bukan hanya sebatas pada hukum dilarang atau dibolehkannya, tetapi juga mencakup mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan karenanya. Maka penulis melakukan penelitian dengan judul: “TINJAUAN
HUKUM
ISLAM
TENTANG
HIDUP
MEMBUJANG
KARENA KETERBATASAN EKONOMI ”
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah: Dilihat dari latar belakang yang dikemukakan, yaitu mulai dari tujuan pernikahan, pentingnya pernikahan, hikmah pernikahan, manfaat pernikahan,
13
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. Pertama, h. 6
8
dan klasifikasi alasan-alasan hidup membujang atau tidak kawin, maka agar penelitian ini tidak melebar dan dapat terarah serta tersusun secara sistematis, penulis membatasi permasalahan ini hanya pada hukum seseorang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, serta dipaparkan tentang kendalakendala dalam pernikahan yang membuat seseorang memutuskan untuk hidup membujang, dan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat hidup membujang. 2. Perumusan Masalah: Menikah dinilai sebagai sunah Allah dan sunah Rasul, itulah mengapa sebabnya begitu banyak ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang menganjurkan pernikahan. Sedangkan dalam kajian fikih, menikah tidak serta merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu, atau dikarenakan kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah. Oleh karena itu, rumusan masalah tersebut penulis rincikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi? b. Kendala apa saja yang ada dalam pernikahan sehingga menyebabkan seseorang memutuskan untuk hidup membujang? c. Dampak apa saja yang ditimbulkan akibat hidup membujang?
9
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN. Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1 2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena katerbatasan ekonomi. 3. Untuk mengetahui kendala apa saja yang ada dalam pernikahan sehingga menyebabkan seseorang memutuskan untuk hidup membujang. 4. Untuk mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan akibat hidup membujang. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan yang luas dan mendasar mengenai tinjauan hukum Islam tentang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, sehingga hasil penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis. 2. Bagi akademis, menambah pembendaharaan kepustakaan di dalam maupun di luar kampus.
D. REVIEW STUDI TERDAHULU Skripsi yang berjudul Hidup Membujang Menurut Perspektif Hukum Islam oleh Abdul Hafiz, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah Konsentrasi Peradilan Agama Tahun 2004. Judul ini hanya
10
memfokuskan mengenai pandangan hukum Islam tentang hidup membujang beserta alasan-alasannya, yaitu yang dikaji dari buku-buku fikih munakahat kontemporer. Sedangkan dalam tulisan ini yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Tentang Hidup Membujang Karena Keterbatasan Ekonomi, bukan hanya meneliti tentang hukum seseorang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, tetapi juga dipaparkan tentang kendala-kendala dalam pernikahan yang menyebabkan seseorang hidup membujang, dan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat hidup membujang yang dikaji dari beberapa kitab fikih klasik, kitab-kitab hadits kenamaan dan buku-buku fikih kontemporer. Dalam hal ini, possisi penelitian penulis sebagai pelengkap dari penelitian terdahulu.
E. METODE PENELITIAN Untuk menjawab rumusan masalah yang sudah dipaparkan penulis sebelumnya, maka kajian ini dilakukan dengan metode kepustakaan (library research) atau kualitatif. 14 Yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang menjadi pembahasan. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah pendekatan normatif, yaitu analisis data didekati dari norma-norma hukum, maksudnya menganalisis dalil dan metode penetapan hukum yang digunakan dalam Al-Quran, hadits Nabi dan Fiqih. Kemudian penelitian yang digunakan dengan pendekatan penelitian 14
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), Cet-13, h. 11.
11
kualitatif yaitu sebagai prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis dengan mengggunakan metode sebagai berikut: 1. Sumber Data Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu: a. Data primer, yakni diambil dari pendapat-pendapat Imam-imam Mazhab mengenai hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, juga hadishadis Nabi yang terkumpul dalam kitab Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Nailul Authar, Bulughul Maram, Shahih Musli, dan Jawaahirul Bukhari. b. Data sekunder, yakni memanfaatkan berbagai literatur yang terkait dengan pembahasan ini, bisa dari literatur buku-buku fikih munakahat berbahasa Indonesia dan literatur-literatur lainya. Tidak lupa juga penulis akan mengambil beberapa data dari koran, artikel dan internet jika diperlukan. 2. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode dokumentasi. 3. Analisa Data Seluruh data yang diperoleh dianalisa dan disusun secara sistematis dengan mengunakan metode deskriptif analitis. Adapun untuk teknik penulisan, penulis merujuk kepada buku panduan penulisan karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
12
F. SISTEMATIKA PENULISAN. Penulisan skripsi ini mengacu pada sistem pembagian bab, dengan beberapa rincian sebagai sub bagian, yaitu : Bab pertama, pendahuluan. Terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini merupakan kerangka landasan dalam penulisan skripsi ini. Bab kedua, tinjauan umum tentang membujang, yaitu anjuran menikah, pengertian membujang dan juga kendala-kendala dalam perkawinan yang membuat seseorang memutuskan untuk hidup membujang disertai dengan alasanalasannya. Bab ketiga, hidup membujang menurut pandangan Islam. Dalam bab ini dipaparkan tentang anjuran dan larangan membujang, hidup membujang karena keterbatasan ekonomi menurut pandangan Islam, analisis hukumnya, dan dampak-dampak yang ditimbullkan akibat hidup membujang. Bab keempat, sebagai penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MEMBUJANG
A. PENGERTIAN NIKAH Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal. Nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya dan berarti hubungan badan dalam arti majazi (metafora). Di pihak yang lain, Abu Hanifah berpendapat, nikah itu berarti hubungan badan dalam arti yang sebenarnya, dan berarti akad dalam arti majazi. 15 Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:
ع ِ ﻞ اﺳْ ِﺘﻤْ َﺘﺎ ﺣﱠ َ ﻞ ِﺑﺎاﻟْ َﻤﺮْأ ِة َو ِﺟ ُ ع اﻟ ﱠﺮ ِ ﻚ اﺳْ ِﺘﻤْ َﺘﺎ َ ْع ِﻟ ُﻴ ِﻔﻴْ َﺪ ِﻣﻠ ُ ﺸﺎ ِر ﺿ َﻌ ُﻪ اﻟ ﱠ َ ﻋﻘْﺪٌ َو َ ﻋﺎ ُه َﻮ ً ْﺷﺮ َ ج ُ ااﻟﺰﱠ َوا 16
ﻞ ِﺟ ُ اﻟْ َﻤﺮَْأ ِة ِﺑﺎ اﻟ ﱠﺮ
Artinya: “Perkawinan menurut syara yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”. Abu Yahya Zakariya al-Anshari mendefinisikan nikah sebagai berikut: 17
ح َأوْ َﻧﺤْ ِﻮ ِﻩ ٍ ﻆ ِإﻧْ َﻜﺎ ِ ْﺊ ِﺑَﻠﻔ ٍ ْﺣ ُﺔ َوﻃ َ ﻋ ُﻘﺪٌ ِإ َﺑﺎ َ ﻋﺎ ُه َﻮ ً ْﺷﺮ َ ح ُ ااﻟﻨﱢ َﻜﺎ
15
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqhu Al-Usrati Al-Muslimati, Alih Bahasa, M. Abdul Ghoffar, EM., Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama, h. 3 16
Wahbah Al-Zuhayli, Al-Fiqhu Al-Islami Wa Adillatuh, (Kuala Lumpur: t.p, 1995), Cet. Ke2, h.29 17
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.8
13
14
Artinya: “Nikah menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan kata-kata yang semakna dengannya”. Selanjutnya, Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas sebagai berikut:
ْﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣﻦ َ ق َو َﻣﺎ ٍ ْﺣ ُﻘﻮ ُ ْﺤ ُﺪ َﻣﺎِﻟ َﻜﻴِْﻠ َﻬﺎ ِﻣﻦ ِ ﻞ َواﻟْ َﻤﺮَْأ ِة َو َﺗ َﻌﺎ َو ُﻧ َﻬﺎ َو َﻳ ِﺟ ُ ﻦ اﻟ ﱠﺮ َ ْﻞ اﻟْ ُﻌﺸْ َﺮ ِة َﺑﻴ ﺣﱠ َ ﻋﻘْﺪٌ ُﻳ ِﻔﻴْ ُﺪ َ 18
ت ٍ ﺟ َﺒﺎ ِ َوا
Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dengan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah berarti perjanjian antara lakilaki dan perempuan untuk bersuami istri dengan resmi. 19 Sedangkan kata kawin menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan. 20 Dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 1 bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan mambentuk kaluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 21
18
Chuzaimah T.Yanggo dan Hafiz Anshari, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-1, h.53 19
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 614 20
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.456
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), Cet. Ke-1, h. 3
15
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu “miitsaaqan gholiidzan” atau akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. 22 Jadi, berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka perkawinan adalah ikatan yang sangat kuat antara seorang pria dengan wanita yang dengan hal tersebut, seorang laki-laki dibolehkan untuk bersenang-senang dengan wanita dan sebaliknya, dengan tujuan membentuk rumahtangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
B. ANJURAN MENIKAH Kehidupan di dunia ini jika tanpa adanya kesenangan yang manunjang, maka akan terasa gersang. Merupakan kebijaksanaan Allah yang memberikan manusia kecenderungan terhadap kesenangan. Apabila direnungkan lebih jauh, maka kecenderungan (watak) tersebut mampu membebaskan manusia dari segala belenggu kenistaan, tentunya jika diarahkan pada apa yang diridhai oleh Allah. 23
22
A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: al-Bayan, 1994), Cet. Ke-1,
h.118 23
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. Pertama h. 3
16
Setiap individu manusia yang normal meiliki rasa cinta, kasih sayang, ingin sesuatu dan syahwat kepada duniawi, terutama kepada wanita. Sesuai dengan firman Allah dalam surah: 24
☺ ☺
(١۴ :٣/)اﻟﻤﺎﺋﺪة ☺ Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apaapa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Al-Maidah/3: 14) Dan firman Allah surah Al-Kahfi ayat 46: ☺
(۴ ۶ : ١٨ /)اﻟﻜﻬﻒ
⌧
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. Manusia remaja yang sudah sampai dewasa memerlukan teman hidup dan mencari seseorang yang dirasakan dapat memenuhi keperluan hidupnya. Oleh karena itu, ia harus membangun suatu rumah tangga yang juga harus melalui suatu ikatan yang dinamakan dengan perkawinan. Karena dengan perkawinan 24
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 18
17
☯ ☺ (٢١ : ٣٠/)اﻟﺮوم ⌧ Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum/30: 21) Hubungan antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada disekeliling kedua insan tersebut. Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah, karena menikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. 26
25
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, h. 3
26
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, h. 5
18
Firman Allah Ta’ala:
☺ (٣٠:٣٠/) اﻟﺮوم Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah, (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Ar-Ruum/30: 30) Menikah merupakan jalan fitrah yang bisa menuntaskan gejolak biologis dalam diri manusia, demi mengangkat cita-cita luhur yang kemudian dari persilangan syar’i tersebut sepasang suami istri dapat menghasilkan keturunan, hingga dengan perannya kemakmuran bumi ini menjadi semakin semarak. Menikah juga merupakan jalan yang paling bermanfa’at dan paling afdhal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan menikah seseorang bisa terjaga dirinya dari apa yang diharamkan Allah. Oleh sebab itu, Rasulullah saw. mendorong untuk mempercepat nikah dan mempermudah jalan untuknya. 27 Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Karena dengan menikah dapat memelihara dari pertentangan-pertentangan syahwat, sehingga dengan begitu manusia dapat terjaga dari kerusakan. Harus disadari bahwa di antara
27
Yulianto Triatmojo, “Anjuran Untuk Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/anjuran-islam-untuk-menikah/
19
penyebab kerusakan agama seseorang, sebagian besar adalah alat kemaluan dan perutnya. Dengan menikah, maka satu di antara dua penyebab itu paling tidak telah dikuasai. 28 Di dalam kitab yang berjudul “Nahnul Ma’murun” diceritakan bahwa sesungguhnya pernikahan itu merupakan perkara yang sangat penting (utama) yang dapat memanjangkan usia dan membawa kita kepada kehidupan yang teratur. 29 Bagi orang yang tidak mampu, Islam mengingatkan bahwa dengan menikah Allah akan memberikan manusia kehidupan yang berkecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitannya dan memberikannya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan. Karena beristeri dapat membuka pintu rezki.30 Persoalan perkawinan bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi, tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlak yang luhur dan sentral. Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam, Bani Adamlah yang memperoleh
28
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 5
29
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado pernikahan, h. 8
30
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, h. 7
20
☺ ⌧ ⌧
☺
⌧
(٣٠/٢ :) اﻟﺒﻘﺮة ☺ Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-Baqarah/2: 30) Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci dalam hal pernikahan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), hingga bagaimana mewujudkan sebuah pesta pernikahan yang meriah, namun tetap mendapatkan berkah dan tidak melanggar tuntunan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau pernikahan yang sederhana namun tetap penuh dengan pesona. 32
31
Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerja Sama Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet. Pertama, h. 66 32
Saleh Al-Fauzan, Al-Mukhalasul Fiqhi, (Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi), Alih Bahasa, Abdul Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani, Budiman Mushtofa, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. Pertama, h. 644,648
21
Islam juga mengajarkan bagaimana memperlakukan pasangan kala resmi menjadi sang penyejuk hati, bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail. 33 Menikah adalah salah satu hal yang harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syariat, yakni kemaslahatan dalam hidup. Bila diurutkan, ada tiga sumber alas an pokok kenapa pernikahan harus dilakukan. Pertama, menurut al-Qur’an; kedua, menurut hadis; dan ketiga, menurut akal. 34 1. Menurut al-Qur’an. Ada dua hal yang menonjol tentang pernikahan dalam AlQur’an, pertama dalam surah al-A’raf: 189, menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk bersenang-senang. Dari ayat ini tampaknya kita tidak juga dilarang bersenang-senang, tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya karena memang diakui bahwa rasa senang itu salah unsur untuk mendukung sehat rohani dan jasmani. Dan kedua, dalam surah Al-Ruum: 21 terkandung makna ada tiga yang dituju dalam perkawinan, di antaranya adalah” 35
33
Yulianto Triatmojo, “Anjuran Untuk Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/anjuran-islam-untuk-menikah/ 34
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), Cet. Ke-1, h. 86 35
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 87
22
a. Litaskunu ilaiha, artinya supaya tenang/diam. Akar kata taskunu adalah sakana-sukun-sikin, yang semuanya berarti diam. Itulah sebabnhya pisau dinamakan sikin, karena bila diarahkan ke leher hewan ketika menyembelih, hewan tersebut akan diam. 36 b. Mawaddah, membina rasa cinta. Akar kata mawadah adalah wadda yang berarti meluap tiba-tiba, terkadang tidak terkendali. Karena itulah pasangan-pasangan muda di mana rasa cintanya sangat tinggi, termuat kandungan cemburu. Sedang rahmah/sayangnya masih rendah, banyak terjadi benturan karena tak mampu mengontrol rasa cinta yang terkadang sulit dikontrol, karena intensitasnya tinggi dan sering meluap-luap. 37 c. Rahmah, yang berarti sayang. Bagi pasangan muda, rasa sayangnya demikian rendah, sedangkan yang tinggi adalah rasa cinta/mawaddah. Dalam perjalanan hidupnya, semakin bertambahnya usia pasangan, maka rahmahnya semakin naik, sedang mawaddahnya semakin turun. 38 2. Menurut hadits. Ada dua hal yang dituju perkawinan menurut hadits. Pertama, untuk pandangan dan menjaga faraj (kemaluan). Itulah makanya Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang telah sampai umur bila kemampuan materil tidak memungkinkan. Kedua, sebagai kebanggan Nabi di hari kiamat,
36
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 87
37
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 88
38
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 88
23
yakni dengan banyaknya keturunan umat Islam melaliui perkawinan yang jelas. Secara tekstual, Nabi mengharapkan jumlah (kuantitas) yang banyak, karena dalam jumlah yang banyak itulah terkandung kekuatan yang besar. Namun demikian, walau jumlah besar jika kualitas rendah tetap saja Nabi mencelanya. 39 3. Menurut akal. Menurut akal sehat yang sederhana, ada tiga yang dituju dalam suatu pernikahan: Pertama, bumi ini cukup luas, yang tentunya harus diurus banyak orang, karena bumi ini Allah nyatakan dibuat untuk kita (manusia). Bila orangnya hanya sedikit, tentu banyak wilayah yang tersia-sia. Oleh karena itu, ntuk meningkatkan
jumlah
manusia,
tentunya
harus
dengan
perkawinan/pernikahan. 40 Kedua,
bila
manusia
banyak,
tentunya
harus
diwujudkan
ketertiban/keteraturan, terutama yang berkaitan dengan nasab, sebab kalau nasab tidak tertib, maka akan terjadi kekacauan karena anak akan tidak dapat diketahui nasabnya (orang tuanya). Bila nasab tidak tertata rapi, maka kehidupan ini akan tidak menentu dan menjadi awal dari bencana besar. 41
39
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h.89
40
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 89
41
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 90
24
Ketiga, untuk ketertiban kewarisan. Setiap orang yang hidup tentu akan memiliki barang atau benda yang diperlukan manusia, walau hanya selembar papan atau sehelai kain. Ketika manusia itu wafat, tentu harus ada ahli waris yang menerima atau menampung harta peninggalan tersebut. Untuk tertibnya para ahli waris, maka harus dilakukan prosedur yang tertib pula, yakni dengan pernikahan. 42 Selanjutnya, untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dengan rujukan ini, kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita. 43 Menikah disifati sebagai sunah Allah dan sunah Rasul. Sunah Allah, yaitu menurut qudrat dan iradat dalam penciptaan alam ini. Sedangkan sunah Rasul, yaitu sesuatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya dan untuk umatnya. 44 Sifatnya sebagai sunah Allah, dapat dilihat dari rangkaian ayatayat sebagai berikut: 1. Firman Allah SWT yang menerangkan bahwa menikah adalah sunah para Nabi dan Rasul dalam surah Ar-Ra’d ayat 38:
42
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, h. 90
43
Hasbi Ash-Shiddieqiy, Al-Bayan, h. 916
44
Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media), Cet. Ke-2, h.82
25
⌧ ⌧
☯
(٣٨:١٣/) اﻟﺮﻋﺪ Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelummu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan” (QS. Ar-Ra’d/13: 38) ⌧
(٨٩:٢١/) اﻷﻧﺒﻴﺎء Artinya: “Dan (ingatlah kisah) Zakariya, tatkala ia menyeru Rabb-nya: ‘Ya Rabb-ku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik”. (QS. Al-Anbiyaa’/21: 89)
⌧
(٣٨:٣/) ال ﻋﻤﺮان
Artinya: “Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. (QS. Ali Imran/ 3: 28)
☺
(٧۴:٢۵/) اﻟﻔﺮﻗﺎن Artinya: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Furqon/25: 74) 2. Menikah juga merupakan bagian dari tanda kekuasan Allah SWT, berdasarkan firman Allah yang termaktub dalam surah Ar-Ruum ayat 21: ☯ ☺
26
(٢١ : ٣٠/)اﻟﺮوم ⌧ Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-Rum/30: 21) 3. Menikah adalah salah satu jalan untuk menjadikan seseorang kaya , yaitu yang dituliskan dalam surah An-Nuur ayat 32: ☺
) (٢۴:٢۴/اﻟﺘﻮر Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nuur/24: 32) 4. Menikah adalah ciri khas makhluk hidup, Allah menjelaskannya dalam surah Az-Zariyat ayat 49: ⌧ (۴٩:۵١/) اﻟﺬرﻳﺖ ⌧ Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (QS. Az-Dzariyat/51: 49) ☺ )
☺
☺
(٣۶:٣۶/ﻳﺲ Artinya: “Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yaasin/36: 36)
27
(١٢:۴٣/) اﻟﺰﺧﺮوف ⌧ Artinya: “Dan Dialah yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi”. (QS. Az-Zukhruf/43: 12) ⌧ (۴۵:۵٣/) اﻟﻨﺠﻢ Artinya: “Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita”. (QS. An-Najm/53: 45) Menikah juga disifati sebagai sunah Rasul. Di antara hadits-hadits Nabi yang memuat tentang anjuran dan motivasi menikah adalah sebagai berikut: 1. Hadits Nabi yang menganjurkan untuk menikah dan mencari keturunan:
ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﺟﻞٌ ِإﻟَﻰ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ُ َ ﺟَﺎ َء ر:ل َ ﻦ َﻳﺴَﺎ ٍر ﻗَﺎ ِ ْﻞ ﺑ ِ ﻋﻦْ َﻣﻌْ ِﻘ َ ل ﻟَﺎ ُﺛﻢﱠ َأﺗَﺎ ُﻩ َ ﺟﻬَﺎ ﻗَﺎ ُ ل وَإِ ﱠﻧﻬَﺎ ﻟَﺎ َﺗِﻠ ُﺪ َأ َﻓَﺄ َﺗ َﺰ ﱠو ٍ ﺟﻤَﺎ َ ﺐ َو ٍ ﺴ َﺣ َ ت َ ﺖ اﻣْ َﺮَأ ًة ذَا ُ ْﺻﺒ َ ِإﻧﱢﻲ َأ ل َﺗ َﺰ ﱠوﺟُﻮا اﻟْﻮَدُودَ اﻟْ َﻮﻟُﻮ َد َﻓِﺈﻧﱢﻲ ُﻣﻜَﺎﺛِﺮٌ ِﺑ ُﻜﻢْ اﻟُْﺄ َﻣ َﻢ َ اﻟﺜﱠﺎ ِﻧ َﻴ َﺔ َﻓ َﻨﻬَﺎ ُﻩ ُﺛﻢﱠ َأﺗَﺎ ُﻩ اﻟﺜﱠﺎِﻟ َﺜ َﺔ َﻓﻘَﺎ 45 ()رواﻩ أﺑﻮ داود Artinya: “Dari Ma’qil bin Yasar berkata: telah dating seorang laki-laki kepada Nabi SAW. dan berkata: ……….dan beliau bersabda: “Kawinlah kalian dengan perempuan pecinta lagi subur, agar aku bisa berbangga tentang kalian di hadapan umat-umat lain pada hari kiamat nanti”. (HR.Abu Daud) 2. Hadits Nabi yang mengatakan bahwa hubungan badan antara suami isteri guna mendapatkan keturunan atau untuk menyalurkan kebutuhan biologis adalah shadaqah:
ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ب اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِ ن ﻧَﺎﺳًﺎ ِﻣﻦْ َأﺻْﺤَﺎ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ َذ ﱟر َأ ﱠ َ ﻲ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ اﻟَْﺄﺳْ َﻮ ِد اﻟﺪﱢﻳِﻠ ﱢ َ ﻞ اﻟ ﱡﺪﺛُﻮ ِر ُ ْﺐ َأه َ ل اﻟﻠﱠﻪِ َذ َه َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻳَﺎ َرﺳُﻮ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻟِﻠ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ 45
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Kairo: Daarul Hadits, 1999), No. Hadis 1754, V. 431, h. 5
28
Dari Abu Dzar ia berkata: “ Bahwa sebagian dari sahabat Rasulullah SAW yang tengah berada dalam kondisi miskin berkata kepada beliau: Wahai Rasulullah, orang-orang kaya pergi menghadap Allah (meninggal dunia) dengan membawa banyak sekali pahala. Mereka mendirikan shalat dan berpuasa sebagaimana shalat dan puasa yang kami lakukan. Di samping itu, dengan kekayaan yang mereka miliki mereka bersedekah, sedangkan kami tidak dapat melakukan hal yang sama seperti mereka. Lalu Nabi berkata: Bukankah Allah telah menjadikan sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Yaitu bahwa setiap kalimat tasbih, takbir, tahmid, dan tahlil kesemuanya itu adalah sedekah, jika kalian membaca dan mengamalkannya. Mencegah kemunkaran adalah sedekah dan pemberian mas kawin kalian adalah sedekah. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah besenggama dengan isteri juga merupakan sedekah? Nabi menjawab dengan mengajukan pertanyaan: Bagaimana menurut pendapat kalian, seandainya ia menyalurkan syahwatnya kepada apa yang diharamkan oleh Allah, apakah baginya mendapat dosa? Sahabat menjawab: Ya. Maka Nabipun berkata: Begitu pula jika seseorang menyalurkan syahwatnya pada apa (tempat) yang dihalalkan, niscaya baginya mendapat pahala”. (HR. Muslim dan Nasa’i) 47 3. Hadits Nabi mengenai menikah sebagai sunnah Nabi:
ج ِ ت َأزْوَا ِ ﻂ ِإﻟَﻰ ُﺑﻴُﻮ ٍ ْ ﺟَﺎ َء ﺛَﻠَﺎﺛَ ُﺔ َره:ل ُ ﻋﻨْ ُﻪ َﻳﻘُﻮ َ ﻲ اﻟﻠﱠ ُﻪ َﺿ ِ ﻚ َر ٍ ﻦ ﻣَﺎِﻟ َ ْﺲ ﺑ َ ﻋﻦ َأ َﻧ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﺒَﺎ َد ِة اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِ ْﻋﻦ َ ن َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻳﺴَْﺄﻟُﻮ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻦ ِﻣﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ُ ْﻦ َﻧﺤ َ ْﻓَﻠَﻤﱠﺎ ُأﺧْ ِﺒﺮُوا َآَﺄ ﱠﻧ ُﻬﻢْ َﺗﻘَﺎﻟﱡﻮهَﺎ ﻓَﻘَﺎﻟُﻮا َوَأﻳ َﺻﻠﱢﻲ اﻟﻠﱠﻴْﻞ َ ﺣ ُﺪ ُهﻢْ أَﻣﱠﺎ أَﻧَﺎ َﻓِﺈﻧﱢﻲ ُأ َ ل َأ َ ﺧ َﺮ ﻗَﺎ ﻏ ِﻔ َﺮ َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َﺗ َﻘ ﱠﺪ َم ِﻣﻦْ َذﻧْ ِﺒ ِﻪ وَﻣَﺎ َﺗَﺄ ﱠ ُ َْﻗﺪ
46
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daarul Hadits, T. Th), No. Hadis 1674, V 177, h. 5 47
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado pernikahan, h. 167
29
Artinya: “Anas bin Malik berkata: Telah dating tiga orang pembesar ke rumah isteri-isteri Nabi dengan maksud menanyakan perihal ibadah yang dilakukan oleh beliau. Tatkala diterangkan perihal ibadah mereka, mereka seakan-akan mengagungkannya seraya berkata: “Bagaimana dengan kita jika dibandingkan dengan Rasulullah, sedangkan Allah telah mengampuni segala dosanya, baik yang telah lalu maupun yang akan datang”. Salah seorang diantara merekapun berkata: “Kalau begitu, saya akan shalat sepanjang malam selamanya”. Yang lainnya berkata: “Aku akan berpuasa selama satu tahun, tanpa berbuka”. Kemudian yang lain juga berkata: “Aku akan menjauhi wanita dan selamanya tidak akan menikah”. Mendengar ungkapan mereka itu Rasulullah SAW pun mendatangi mereka seraya bersabda: Kaliankah yang telah mengatakan ini dan itu? Demi Allah, sungguh aku adalah hamba yang sangat takut dan sangat bertakwa kepada Allah jika dibandingkan dengan kalian. Akan tetapi, manakala berpuasa, aku berbuka. Setelah selesai dari melaksanakan shalat, akupun pergi tidur. Di samping itu, akupun mempunya isteri (menikah). Maka barang siapa yang tidak menyukai (tidak mengikuti) sunnahku, maka sesungguhnya ia bukan termasuk golonganku”. (HR. Bukhari) Dari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi di atas, dapat dilihat bahwa pernikahan akan mendatangkan kemaslahatan atau kebaikan yang sangat besar, di antaranya sebagai berikut: 1. Menikah berguna untuk meneruskan mata rantai keturunan manusia di muka bumi, memperbanyak jumlah kaum muslimin, serta membuat gentar para kaum kafir dengan lahirnya para mujahid di jalan Allah dan orangorang yang membentengi agamanya.
48
h. 15
Imam bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 200,8), No Hadis 4675,V. 493,
30
2. Menikah dapat memeliharadan menjaga kemaluan, agar jangan sampai menikmati hal-hal yang diharamkan syariat, yang bisa merusak struktur kehidupan masyarakat 3. Menikah dapat menjadikan seorang laki-laki menjadi lebih bertanggung jawab, melindungi dan berusaha untuk menafkahi isteri dan anak-anaknya. 4. Tercapainya ketenangan dan ketenteraman antara suami isteri serta terwujudnya kedamaian jiwa. 5. Pernikahan sangat berperan dalam membantu menjaga pola hidup masyarakat dalam tindak kekejian yang bisa menghancurkan akhlak manusia dan menjauhkannya dari kemuliaan. 6. Pernikahan akan mampu menjaga dan melestarikan keturunan, serta menguatkan tali kekeluargaan dan persaudaraan antara satu sama lain. Sehingga keluarga-keluarga yang mulia bisa mencapai tujuannya dengan penuh kasih sayang, saling menjalin hubungan dan saling menolong dengan jalan yang benar. 7. Pernikahan akan mengangkat manusia dari kehidupan seperti binatang kepada derajat kemanusiaan yang sangat mulia. 49
C. PENGERTIAN MEMBUJANG
49
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, h. 637
31
Kalau dalam agama Kristen terdapat konsep atau anjuran “rahbaniyah” yaitu tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara, maka pada sebagian kaum muslimin tampak gejala “tabathul”. Tabathul asal katanya adalah “al-qath’u” yang berarti terputus. Sedangkan menurut istilah, tabathul adalah memutuskan
hubungan
dengan
perempuan
dan
tidak
menikah
karena
mengkhususkan diri beribadah kepada Allah SWT. 50 Bujangan atau perjaka adalah sebutan untuk seorang pria dewasa yang belum mempunyai istri. Istilah yang lain untuk ini adalah wadat dan selibat. Seorang bujangan adalah seorang pria yang belum pernah mengadakan hubungan seksual atau senggama. Pria yang masih bujangan disebut perjaka. Secara umum, bujangan juga direlasikan dengan kesucian. Sedangkan untuk wanita yang belum pernah melakukan senggama disebut perawan atau gadis. 51 Ath-thabari mengatakan dengan mengutip perkataan Utsman bin Ma’dzun, yang dimaksud dengan membujang adalah mengharamkan diri untuk kawin, pakai wangi-wangian dan segala macam kenikmatan hidup. Membujang juga berarti memutuskan hubungan dari wanita dan meninggalkan pernikahan dengan maksud beribadah kepada Allah SWT. 52
50
M. Ali Ash-Shabuni, Az-Zawajul Islami Mubakkiran, Alih Bahasa, Masharu Ikhwaki dan Husein Abdullah, Pernikahan Dini Yang Islami, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), Cet. Ke-1, H. 33 51
Wikipedia, “Bujang”, artikel ini diakses pada tanggal http://id.wikipedia.org/wiki/bujang, diakses pada tanggal 20-03-2010 52
Imam Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani, Subulus Salam
15-03-2010
dari
32
Sa’ad Thalib Al-Hamdani mengatakan bahwa hidup membujang adalah enggan kawin dengan maksud untuk tekun ibadah, menjauhkan diri dari kesenangan dunia dan menghindarkan diri dari kewajiban mengasuh anak. 53 Dalam kitabnya Jaami’u lil Ahkamil Qur’an, Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa tabathul ialah menjauhi kenikmatan atau kelezatan duniawi dan mengkhususkan diri untuk beribadah kepadanya.
D. KENDALA-KENDALA PERNIKAHAN Pernikahan menjadi dambaan banyak orang, terutama para pemuda dan gadisgadis. Pernikahan menjadi harapan ketika fungsi-fungsi hormonal tubuh sudah matang. Pernikahan juga menjadi mimpi indah ketika jiwa tidak lagi bisa dipuaskan dengan menjadi anak ideal. Akan tetapi masih ada sekelompok orang yang melecehkan dan menghina suatu pernikahan atau pura-pura menyesalinya. Bahkan ada juga di antara mereka yang sengaja menghabiskan hari-harinya dengan
bercengkrama
(ngobrol)
bersama
teman-teman
begadangnya.
Sesungguhnya perbuatan tersebut hanya akan membawa mereka semakin jauh dari jalan Allah dan mencemarkan kesucian di atas perkara yang agung ini, dimana suatu pernikahan ini sudah ditetapkan oleh syari’at Allah di dalam kitab suci-Nya (tepatnya mengenai kehidupan suami isteri).54
53
Agus Salim, Risalatun Nikah, (Jakarta: PT. Pustaka Amani), Cet. Ke- 3, H.20-21
54
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado Pernikahan, h. 6
33
Jika kita mencoba melontarkan suatu teori umum tentang realitas sosial maka kita akan melihat sebagian pemuda pamudi kita enggan menikah sebagaimana disyari’atkan Allah. Mereka justru memilih hidup membujang yang jelas-jelas berdampak negatif. Tentu banyak faktor yang melatarbelakangi, baik dari faktor sosial maupun non sosial yang membuat pemuda pemudi memilih alternatif tidak menikah. Padahal pernikahan akan dapat menentramkan jiwa, memperbaiki moral, menyehatkan kondisi fisik serta membawa kepada kematangan psikis dan sosial. 55 Ada beberapa penyebab terpenting serta faktor penghambat perkawinan, bahkan yang mendorong pemuda kita memilih hidup bersantai-santai, berhurahura dan melacur. Kendala-kendala yang menghalangi proses perkawinan bahkan menambah problem pembujangan tersebut, antara lain: 1. Mahalnya mas kawin Mahalnya mas kawin merupakan suatu beban dalam bidang materi yang akan membuat seseorang enggan untuk melangsungkan pernikahan, pikiran jadi kacau dan tidak mustahil dia akan membatalkan perkawinannya karena tidak kuat membayar mas kawin yang terlampau mahal. 56
55
Cemplia, “Anjuran Menikah”, Artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://cemplia.wordpress.com/2008/06/12/anjuran-menikah/ 56
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, dan Kholid bin Ali bin Muhammab Al-Anbari, Al-Ziwaj Wa Al-Mubuur, Alih Bahasa, Musifin As’ad dan H. Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Kautsar), Cet. Ke-2, H. 88-91
34
Dewasa ini banyak orang yang jauh dari syariat Islam. Mereka memandang perkawinan dengan pandangan materi seperti seorang pedagang memandang barang-barang dagangannya. Mereka memberikan laba besar atau tidak tanpa mengenal moralitas atau statement-statement agama yang menjadi dasar perkawinan dan hidup berkeluarga. 57 Seorang ayah yang mempunyai putri cantik atau memiliki anak yang sudah bekerja di suatu tempat yang prestise akan bangga dan prestisnyapun ikut naik. Jika datang laki-laki ingin melamar putrinya maka tarif putrinya dinaikkan. Laki-laki tersebut baru diterima manakala sanggup mengeluarkan mas kawin dan biaya-biaya hidup yang amat besar. 58 Padahal Rasulullah sudah mengingatkan dalam haditsnya:
ْﺳﱠﻠ َﻢ ِإذَا ﺟَﺎ َء ُآﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ُ ل َرﺳُﻮ َ ل ﻗَﺎ َ ﻲ ﻗَﺎ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ﺣَﺎ ِﺗ ٍﻢ اﻟْ ُﻤ َﺰ ِﻧ ﱢ َ ٌض وَﻓَﺴَﺎد ِ ْﺧُﻠ َﻘ ُﻪ َﻓَﺄﻧْ ِﻜﺤُﻮ ُﻩ ِإﻟﱠﺎ َﺗﻔْ َﻌﻠُﻮا َﺗ ُﻜﻦْ ِﻓﺘْ َﻨ ٌﺔ ﻓِﻲ اﻟَْﺄر ُ ن دِﻳ َﻨ ُﻪ َو َ ْﺿﻮ َ َْﻣﻦْ َﺗﺮ ﺧُﻠ َﻘ ُﻪ ُ ن دِﻳ َﻨ ُﻪ َو َ ْﺿﻮ َ ْل ِإذَا ﺟَﺎ َء ُآﻢْ َﻣﻦْ َﺗﺮ َ ن ﻓِﻴ ِﻪ ﻗَﺎ َ ل اﻟﻠﱠﻪِ َوِإنْ آَﺎ َ ﻗَﺎﻟُﻮا ﻳَﺎ َرﺳُﻮ 59 (ت )رواﻩ اﻟﺘﺮﻣﺬي ٍ ث َﻣﺮﱠا َ َﻓَﺄﻧْ ِﻜﺤُﻮ ُﻩ َﺛﻠَﺎ Artinya: “Dari Abi Hatim al-Muzani, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Apabila datang (meminang) kepadamu, orang yang kamu ridha (karena agamanya) dan akhlaknya maka nikahkanlah (anakmu dengan) dia, jika tidak kamu lakukan maka akan timbul fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, jika hal itu
57
M. Nasikh ’Ulwan, Aqaabatuz Zawaj Wa Turuquhu Wa Mu’ajalatiha ‘Alaa Dlaulil Islam, Alih Bahasa, Moh. Nurhakim, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-5, h. 36 58
59
M. Nasikh ’Ulwan, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, h. 36
Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, (Kairo: Daarul Hadits, 2002), no. Hadis 1005, V.61, h. 4
35
memang ada?” Beliau menjawab: “Apabila dating (meminang) kepadamu, orang yang kamu ridha (karena agamanya) dan akhlaknya maka nikahkanlah anakmu dengan dia” diucapkan tiga kali”. (HR. Tirmidzi). Dengan demikian, ada beberapa hal yang menyebabkan mas kawin menjadi susah dijangkau, di antaranya adalah: a. Karena sikap matrealistis sebagian orang tua wanita. Mereka tidak mengerti makna sebuah perkawinan dan tujuannya yang sangat mulia. b. Berubahnya pandangan tentang suami yang sekufu dan perbedaan pemahaman tentang hal itu. Orang-orang kebanyakan menganggap bahwa suatu perkawinan sama dengan akad jual beli barang-barang pada umumnya, yaitu dengan mencari keuntungan sebanyakbanyaknya, tanpa memikirkan manfaat dan pengaruhnya. c. Kehendak calon suami yang suka memamerkan kekayaan, serta keinginannya yang berlebihan untuk memberikan kepuasan kepada orang tua wanita. d. Adanya perhatian yang berlebihan terhadap pendapat-pendapat dan permintaan-permintaan wanita yang senang dengan kemewahan dan kebanggaan. 60 Syariat Islam adalah syariat yang lapang. Dan Islam sendiri adalah agama yang mudah dilaksanakan. Menurut Islam, batas minimal dari mahar itu sederhana sekali. Rasulullah saw. pernah bersabda:
60
Abdul Aziz, Perkawinan dan Masalahnya, h. 88-91
36
ﺟﻠًﺎ ُ َن ر ل َﻟﻮْ َأ ﱠ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ َ ن َرﺳُﻮ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﻠﱠﻪ َأ ﱠ َ ﻦ ِ ْﻋﻦْ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ﺑ َ 61 ﺣﻠَﺎﻟًﺎ َ ﻃﻌَﺎﻣًﺎ آَﺎ َﻧﺖْ َﻟ ُﻪ َ ﺻﺪَاﻗًﺎ ِﻣﻞْ َء َﻳ َﺪﻳْ ِﻪ َ أَﻋْﻄَﻰ اﻣْ َﺮَأ ًة Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Kalau seorang laki-laki memberikan mahar berupa sepenuh dua genggam makanan, maka halallah perempuan itu baginya”. (HR. Ahmad) Seruan Islam untuk menikah kepada mereka yang mampu adalah demi keselamatan dan terpeliharanya umat manusia serta terjaminnya untuk mendapatkan ketentraman, cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu Islam tidak menentukan batas maksimal mahar perkawinan. Hal ini diserahkan kepada kemufakatan kedua belah pihak, kemudahan dan adat istiadat jika diperlukan. 62 Sekalipun Islam tidak menentukan batas maksimal mahar, tapi tetap memperingatkan jangan sampai mahar itu membelenggu, berlebih-lebihan dan memberatkan seseorang di batas kemampuannya. Islam adalah agama yang wasith dan adil. Karena berlebih-lebihan dan mempermahal mahar, akan mengakibatkan kaum muda lebih suka membujang, atau menyebabkan mereka terpaksa cari hutang. Dan akibatnya terbukalah pintu dari pelbagai problema sesudah perkawinan. 63 Allah SWT berfirman:
61
Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, (Kairo: Daarul Hadits, t.th), no. Hadis 4296, V. 345, h. 29 62
Nabil Muhammad Taufiq As-Samaluthi, Ad-Dienu Wal Binaa’ul Aailiy Diraasatun Fi Ilmil Ijtimaail Aaliy, Alih Bahasa, Anshari Umar Sitanggal, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1987), Cet. Ke-1, H. 213 63
Nabil Muhammad Taufiq As-Samaluthi, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, h. 214
37
☺
(٧:۶۵/) اﻟﻄﻼق Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (At-Thalak/65 : 7) Shalih bin Ghanim As-Sadlan dalam bukunya Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Li Ash-Shadaq Wa Waliamatil ‘Ursi mengatakan bahwa dampak negatif dari berlebihannya mahar diantaranya adalah sebagai berikut: a. Munculnya kelompok pemuda yang tidak mampu secara materil untuk melaksanakan kewajiban berumah tangga dan pada gilirannya juga kelompok pemudi yang hidup tanpa suami. Dengan demikian dapat menimbulkan dampak sosial yang berbahaya, sebab kebutuhan biologis mereka tidak dapat terpenuhi. b. Secara psikologis pemuda dan pemudi yang tidak menikah akan mengalami depresi tekanan jiwa dan mental mereka menjadi labil. c. Keretakan hubungan antara orang tua dan anak-anaknya dapat menimbulkan akibat dari tekanan mental. d. Wali pihak perempuan dapat mengeksploitasi anak perempuannya untuk tujuan-tujuan materil dan menolak mengawinkan puterinya dengan lelaki yang baik dan memenuhi syarat agama, tetapi tidak
38
memenuhi harapan wali tersebut karena alasan yang bersifat materil, sehingga karena mengacu pada pertimbangan materil, lelaki bermoral rendah dan tidak memenuhi persyaratan agamanyapun dapat diterima karena semata pertimbangan materil. 64 2. Biaya perkawinan mahal. Di antara kendala-kendala perkawinan yang membuat terhambatnya seorang pemuda untuk menikah adalah mahalnya biaya perkawinan, sejak proses peminangan sampai walimah (resepsi) dan bulan madu. Selain mas kawin, orang tua calon isteri juga biasanya berharap ada pemberianpemberian lain. Termasuk nafkah pada tahap berikutnya yang terlalu berat dipikul oleh calon suami. Seorang pelamar yang hanya mempunyai pendapatan yang pas-pasan dan gaji yang minim, tatkala melihat tuntutan yang demikian tinggi dalam proses perkawinan dan hidup berumah tangga, kemungkinan akan mengambil alternatif hidup membujang. 65 Padahal Rasulullah sendiri dalam perkawinan-perkawinannya hanya satu kali mengadakan walimah, itu pun terbilang sangat sederhana, berdasarkan haditsnya:
64
Shaleh bin Ghanim Ash-Shadaq, Al-Ahkam Fi Al-Fiqhiyyah Lil Ash-Shadaq Wa Walimatil ‘Ursi, Alih Bahasa, Mustolah Maufur, Mahar Dan Walimah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1996), Cet. Ke-1, H. 42 65
38
M. Nasikh ’Ulwan,, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, dan Negara., h.
39
ﺷﻲْ ٍء ِﻣﻦْ ِﻧﺴَﺎ ِﺋ ِﻪ ﻣَﺎ َ ﻋﻠَﻰ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ﻣَﺎ َأوَْﻟ َﻢ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ:ل َ ﺲ ﻗَﺎ ٍ ﻋﻦْ َأ َﻧ َ 66 (ﺐ َأوَْﻟ َﻢ ِﺑﺸَﺎ ٍة )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري َ ﻋﻠَﻰ َزﻳْ َﻨ َ َأوَْﻟ َﻢ Artinya: “Dari Anas ia berkata: Nabi saw tidak menyelenggarakan walimah atas penikahannya dengan isteri-isterinya, juga tidak menyelenggarakan walimah atas pernikahannya dengan Zainab, tetapi ia pernah menyelenggarakan walimah dengan seekor kambing”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim). Sebenarnya banyak pemuda kita yang ingin menjaga dirinya dari dekadensi moral ketergelinciran hidup dengan jalan menikah sesuai dengan yang disyariatkan Allah. Tetapi karena begitu banyak kendala dan tuntutan maka mereka berbalik memilih hidup membujang secara frustatif. Jika mereka tidak mempunyai ketaqwaan kepada Allah jelas hal ini akan mengancam eksistensinya. Sikap demikian (membujang), cepat atau lambat akan menyebabkan tersebarnya perzinaan, kemungkaran, serta menambah penyakit moral. 3. Tingginya Kriteria yang Ditetapkan Wanita Masalah lain yang banyak menimbulkan persoalan adalah munculnya kecenderunagn pada kaum wanita untuk meninggikan kriteria. Begitu tingginya kriteria yang ditetapkan sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah janji Allah sudah tidak dipercaya lagi, bahwa wanita yang baik akan
66
h. 16
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2008), No. Hadis 4770, V. 155,
40
mendapatkan laki-laki yang baik sehingga harus dibuat kriteria yang karena begitu tingginya, hampir-hampir tidak dapat dicapai? 67 Kendala seperti ini dapat kita amati hari demi hari dari apa yang telah berlaku di kalangan laki-laki dan wanita atau yang juga datang dari kaum ibu atau ayah, sehingga wanita sampai umur 30 tahun atau laki-laki berumur 40 tahun belum juga menikah. Kalau ditanya mengapa mereka belum beristeri atau bersuami, maka kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa mereka belum mendapatkan pasangan yang memenuhi syarat. Bahkan pada kebanyakan kasus yang sudah-sudah sikap semacam ini tidak jarang yang akhirnya membuat mereka para wanita harus “banting harga” ketika menjelang usia 30 tahun tidak kunjung datang pinangan. Selain itu juga hal ini dapat menyebabkan rumah tangga tidak berjalan dengan baik karena yang dipersiapkan adalah menerima kebaikan, bukan sama-sama menata rumah tangga untuk saling memperbaiki diri satu sama lain. 68 Sikap memilih-milih atau angan-angan yang begitu tinggi terhadap pasangan hidup menjelang perkawinan hanya akan menimbulkan masalah pada bulan pertama atau ketiga dalam pernikahan. Sebab, biasanya apa yang dibayangkan kadangkala tidak sesuai sepenuhnya dengan yang kita hadapi. 69
67
M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Pertama, h. 17 68
M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 18
69
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 9
41
Berbicara tentang kriteria calon pasangan ideal untuk dijadikan teman hidup, maka panduan yang paling tepat adalah hadits Rasulullah SAW :
،ﺠ َﻤﺎِﻟ َﻬﺎ َ َوِﻟ،ﺴ ِﺒ َﻬﺎ َﺤ ِ َوِﻟ،ِﻟ َﻤﺎِﻟ َﻬﺎ: ﻷرْ َﺑ ٍﻊ َ ِ ﺢ اﻟْ َﻤﺮَأ ُة ُ ُﺗﻨْ ِﻜ: ل َ ﻲ ص َﻗﺎ ﻦ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِﻋ َ ﻋﻦْ َأ ِﺑﻰْ ُه َﺮﻳْ َﺮ َة َ ( 70ك )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ َ ﻦ َﺗ ِﺮ َﺑﺖْ َﻳ َﺪا ِ ْ َﻓﺎﻇْ َﻔﺮْ ِﺑ َﺬا ِة اﻟ ﱢﺪﻳ،َوِﻟ ِﺪﻳْ ِﻨ َﻬﺎ Artinya: Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang wanita itu dinikahi kerana empat perkara: kerana harta, kerana keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka hendaklah diutamakan yang beragama, niscaya kamu berbahagia.” (Muttafaq ‘alaih) Hadits di atas jika tidak dipahami secara benar akan melahirkan berbagai pemahaman. Pertama, dalam hal pasangan yang berharta, jika tidak dipahami betul-betul akan melahirkan pengertian bahwa hendaklah laki-laki yang tidak berharta (miskin) menikahi wanita yang berharta. Ini akan menyebabkan lakilaki tersebut disifati sebagai laki-laki pengikis harta (pengeretan). Bagitupun bagi wanita yang tidak berharta hendaklah menikah dengan laki-laki kaya, hal ini juga akan menyebabkan pandangan negatif kepada wanita itu yaitu sebagai wanita yang matrealistis. Sementara itu, bukankah janda-janda dan wanitawanita miskin dianjurkan untuk dinikahi untuk membela nasib mereka? Jadi, pemahaman yang mungkin sesuai dengan hadits di atas tentang anjuran memilih pasangan yang berharta adalah laki-laki atau wanita yang pandai
70
421
Musthafa Muhammad ‘Umarah, Jawaahirul Bukhari, (Beirut: Daarul ‘Uluum, t.th), h.
42
menyimpan dan membelanjakan harta, bukan hanya semata-mata berharta sebelum menjalani kehidupan berumah tangga. 71 Kedua, dalam hal keturunan, bukanlah dilihat dari segi kasta, kebangsawanan dan kedudukan dalam masyarakat. Namun lebih kepada segi nasab keluarganya, yaitu seseorang yang nasabnya tidak bercampur dengan perzinaan. Karena, apalah artinya memilih wanita atau laki-laki bangsawan atau yang berkedudukan tinggi, tetapi dalam darahnya mengalir darah seorang pezina. 72 Ketiga, dalam hal kecantikan wanita atau ketampanan seorang lelaki, bukan saja dilihat dari tampilan luarnya yang bisa jadi menipu, tetapi juga akhlak, tutur kata, dan kesopanannya. Pada zaman sekarang banyak sekali wanita atau lelaki yang bagus hanya dari luarnya, namun tidak hatinya. Inilah yang harus dihindari, karena sedikit banyak akan memberi pengaruh terhadap pasangannya kelak, dan pastinya dalam hal mendidik anak. 73 Keempat, memilih pasangan karena agamanya. Pada intinya nilai agamalah yang paling penting untuk dipertimbangkan. Karena tanpa agama, keluarga yang akan dibina akan hilang pedoman. Dalam hal ini juga bukan
71
Raisa Hakim, “4 Kriteria Pasangan Hidup Sempurna”, artikel ini diakses pada tanggal 10-05-2010, dari http://raisahakim.com/4-kriteria-pasangan-hidup-sempurna/ 72
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Pertama, h. 35 73
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 9
43
Syarih rahimahullah berkata: “Kufu itu karena agama dan akhlaknya”. Sedangkan Imam Malik menegaskan, bahwa kufu itu hanya menyangkut agama saja, demikian juga apa yang dikutip dari Umar dan Ibnu Mas’ud dari kalangan Tabi’in seperti Muhammad bin Sirin dan Umar bin Abdul Aziz dengan dasar firman Allah surah Al-Hujurat ayat 13: 75 ⌧
(١٣:٤٩/)اﻟﺤﺠﺮات Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat 49:13) Ibnu Hajar Al-Astqalani berkata di dalam Fathul Bari : “Pandangan tentang agama sebagai faktor kekufuan adalah sudah mutafaq ‘alaih (disepakati), sehingga tidak boleh seorang muslimah dikawin dengan laki-laki 74
A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, h. 432
75
Mu’ammal Hamidy, Imron A.M. dan Umar Fanani, Terjemah Nailul Authar, h. 2176
44
kafir”. Dari keempat unsur kekufuan di atas ada yang menambahkan faktor bebas dari cacat, bahkan ada yang menyebut faktor timpang. Dan dari keseluruhan faktor, predikat yang dapat meningkatkan martabat seseorang yang paling tinggi secara mutlak adalah ilmu, bardasarkan hadits Nabi (“Ulama itu pewaris para Nabi”). 76 4. Pengeluaran tidak pada tempatnya Kendala yang juga tidak kalah penting pada zaman sekarang ini adalah barang antaran yang dibawa oleh pengantin laki-laki ke rumah pengantin wanita.mula-mula hanya sebuah Al-Qur’an, namun perlahan-lahan ditambah pula pakaian wanita, lalu perlengkapan kecantikan wanita, sampai perhiasan mahal, sehingga seandainya seluruh barang miliknya dijual tak akan cukup untuk membeli perhiasan tersebut. Dengan begitu, pastilah para pemuda akan mengatakan mereka tidak ingin menikah. 77 Apa salahnya jika kita hanya membawa perlengkapan shalat dan AlQur’an? Apa kekurangannya jika kita tidak membawa emas? Memangnya apa yang akan terjadi? Apa salahnya jika kita menikahkan seorang lelaki yang hanya memiliki cincin biasa dan perempuan yang hanya memiliki cincin akik? 78
76
Mu’ammal Hamidy, Imron A.M. dan Umar Fanani, Terjemah Nailul Authar, h. 2176
77
M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 16
78
M. Fauzil Adhim, Saatnya Umtuk Menikah, h. 18
45
Padahal Islam telah melarang laki-laki memakai cincin yang terbuat dari emas atau perak seperti wanita, sekalipun dengan alasan untuk meminang. Karena hal itu merupakan kebiasaan yang tidak Islami. Sedangkan syariat Islam menghimbau kepada orang-orang mukmin agar menjaga keutuhan agamanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits (“Siapa saja yang
menyerupai
suatu
golongan,
maka
ia
termasuk
ke
dalam
kelompok/golongan tersebut”). 79 Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam kitabnya yang berjudul “Adab Az Zafaaf” menjelaskan: “Kebiasaan memakai cincin tunangan adalah tradisi (kebiasaan) yang pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu, tepatnya ketika mereka mengadakan pesta perkawinan. Yaitu yang dipasang pada ibu jari sambil berkata atas nama bapak, kemudian dipindahkan ke jari telunjuk sambil berkata atas nama anak, kemudian dipindahkan ke jari tengah sambil berkata atas nama roh kudus, dengan disertai ucapan amin dan ia memindahkan ke jari manis sebagai tempat dari lafadz amin yang terakhir”. 80 5. Menghalangi pendidikan atau karir Salah satu kendala yang menghambat proses perkawinan adalah masa studi. Faktor ini banyak menjadi keluhan mahasiswa muslim. Rumah tangga
79
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 130
80
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 131
46
merupakan hantu yang menakutkan, sehingga mereka tidak mau menikah sebelum selesai kuliahnya. Mereka juga beranggapan bahwa berumah tangga itu adalah beban yang sangat besar, sehingga memerlukan persiapan yang cukup besar, ibarat orang membangun gedung raksasa. Bahkan ekstrimnya, ada yang beranggapan, lebih baik berbuat melanggar syariat Islam daripada gagal dalam kuliah. 81 Sebenarnya rintangan semacam ini tidak sepenuhnya benar. Bahkan sebaliknya, dengan menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan dan penyejuk jiwa dari anak maupun istri atau suami, dan dapat lebih menolong seseorang mendapatkan ilmu. Karirpun tidak akan berpengaruh banyak seandainya semua bisa saling mengerti dan mau berbagi. Bukankah banyak rekan-rekan mahasiswa yang kuliah sampai ke luar negeri meskipun sudah memiliki tanggungan keluarga? Atau karir yang terus menanjak justru setelah berkeluarga. Karena jika masih lajang, biasanya seseorang malah belum tergerak untuk melakukan sesuatu buat dirinya, misalnya dengan menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama temanteman tanpa ada keperluan yang jelas, atau juga hanya hura-hura tanpa ada manfaatnya. 82
81
82
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga, h. 6
My Quran Komunitas Muslim Indonesia, “Indahnya Menikah di Usia Muda”, artikel ini diakses pada tanggal 12-03-2010 dari http://myquran.com/forum/showthread.php/3557Indahnya-Menikah-di-Usia-Muda
47
Namun demikian, masing-masing mahasiswa menghadapi alasan yang berbeda mengenai menikah dalam masa studi. Di bawah ini ada beberapa alasan pokok yang dikatakan para mahasiswa muslim tentang hal-hal yang menjadi penghalang mereka untuk menikah pada masa studi: a. Karena kesulitan ekonomi dan biaya studi b. Anggapan bahwa perkawinan merepotkan studi c. Malu terhadap lingkungan keluarga 83 6. Hasrat pemenuhan seks di luar syari’at Islam Dewasa ini amat di sayangkan, banyak pemuda muslim ikut menahan diri untuk tidak menikah, bahkan menjauhkan masalah itu. Ini disebabkan karena munculnya gejala-gejala dekadensi moral yang telah merayap dalam masyarakat, dan adanya kerusakan-kerusakan sosial yang melanda setiap Negara dan bangsa. 84 Bila para pemuda dan pemudi telah merasakan bahwa kebutuhan fitrahnya telah terpenuhi dengan cara di luar syari’at maka mereka akan berpikir, “Mengapa saya harus menikah? Mengapa saya harus bertanggung jawab terhadap isteri, keluarga dan anak-anak? Mengapa saya harus bersusah-susah dengan beban itu? Padahal tanpa isteripun saya dapat memuaskan nafsu 83
M. Naskih Ulwan,, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, h.
47 84
Ahmad Saptono, “Prilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja dan Orang Dewasa Yang Sudah Berkeluarga”, artikel ini diakses pada 12-04-2010 dari http://www.scribd.com/doc/13753330/Free-Sex
48
dengan berbagai jalan”. Pertanyaan-pertanyaan ini praktis akan membuat mereka memilih hidup membujang daripada harus menikah. 85 Jika ini kenyataannya, maka sungguh tepat hipotesa para ilmuwan sosial dan pendidikan yang mengatakan bahwa kendala terbesar seseorang untuk tidak mau menikah dan tidak mau beristeri adalah karena pemuasan fitrah di luar garis sebenarnya. 7. Kurangnya kesiapan materi Pada dasarnya kelompok terbanyak dari umat kita adalah sebagai pekerja dan pegawai. Meskipun keduanya menghasilkan uang, namun kadar penghasilan mereka terbatas, bahkan ada yang sangat minim. Mengingat kenyataan hidup yang meminta banyak biaya sedangkan upah sangat memprihatinkan, maka mereka menjadi tidak optimis teradap pernikahan, karena mereka harus bertanggung jawab terhadap nafkah atau biaya isteri dan anak-anaknya. 86 Padahal anggapan demikian tidak sepenuhnya benar. Pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan), karena menikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan semua rezki yang ada adalah di tangan Allah, sehingga manusia tidak bisa
85
Adsfundi, “Zina: Menyebabkan Muda-Mudi Enggan Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 12-04-2010 dari http://ummat-muhammad.blogspot.com/2009/11/zina-menyebabkanmuda-mudi-enggan.html 86
M. Naskih Ulwan,, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, Dan Negara, h. 65
49
mengukur rezki yang Allah beri kepada makhluknya, sebagaimana firmanNya :
(۶:١١/) هﻮد Artinya: “Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)”. (QS. Hud/11: 6) Yang dimaksud binatang melata di sini ialah segenap makhluk Allah yang bernyawa. Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan tempat berdiam di sini ialah dunia dan tempat penyimpanan ialah akhirat. Sedangkan, menurut sebagian ahli tafsir yang lain maksud tempat berdiam ialah tulang sulbi dan tempat penyimpanan ialah rahim. 87 Namun demikian, pada kenyataannya tidak sedikit alasan kesiapan ekonomi untuk menikah melahirkan bencana demi bencana. Sebaliknya, meski tanpa kesiapan ekonomi tetapi bila seseorang bersungguh-sungguh memiliki kesiapan untuk memberi nafkah, itu sudah cukup sebagai bekal untuk menikah. 88 Ada perbedaan antara kesiapan ekonomi dengan kesiapan memberi nafkah.
Kesiapan
ekonomi,
sebagaimana
banyak
87
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Rumah Tangga, h. 15
88
Faudzil Adzhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 15
ditafsirkan
adalah
50
kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh seorang laki-laki, sehingga dengan kemampuan ekonomi ia dapat memberi nafkah. Sementara kesiapan memberi nafkah lebih berkaitan dengan kesiapan untuk sungguh-sungguh bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya. Sehingga meskipun saat menikah tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, ia tetap dapat menafkahi keluarganya. 89 Suatu ketika, seorang wanita datang menemui Nabi SAW. Suaminya seorang yang kaya, tetapi tidak memberi nafkah yang cukup kepadanya. Yang menjadi persoalan, apakah dibolehkan baginya mengambil harta milik suaminya tanpa sepengetahuan suaminya, sehingga dengan itu nafkahnya tercukupi. Ketika itu Nabi membolehkan dengan catatan sebatas yang dibutuhkan. 90 Yang dapat dipetik dari kisah ini adalah kemampuan ekonomi tidaklah sendirinya menunjukkan kesiapan untuk memberi nafkah. Banyak wanita yang terlunta-lunta, mereka senantiasa menderita kekurangan, bukan karena selalu merasa kurang dengan apa yang diterimanya, melainkan karena suami yang tidak pernah mencukupi kebutuhannya. Termasuk untuk hal-hal yang
89
Faudzil Adzhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 16
90
Faudzil Adzhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 17
51
primer, seperti sandang, pangan dan papan. Padahal secara ekonomi suaminya sangat mampu. 91
91
Faudzil Adzhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 17
BAB III HIDUP MEMBUJANG MENURUT ISLAM
A. ANJURAN MEMBUJANG Di dalam perkawinan atau pernikahan terkandung keutamaan-keutamaan sehingga dianjurkan dalam agama. Namun tidak menutup kemungkinan dalam perkawinan itupun terdapat bahaya-bahaya terhadap kelangsungan beribadah. Oleh karena itu ada sebagian ulama yang menganggap bahwa nikah itu lebih utama daripada mensucikan diri untuk beribadah kepada Allah. Menurut sebagian yang lain, meskipun mengakui keutamaannya namun lebih mendahulukan takhalliy (memusatkan diri untuk beribadah kepada Allah SWT) sepanjang tidak terlalu kuat nafsu seseorang untuk kawin sehingga merunyamkan dirinya atau mendesaknya kepada perbuatan jima’ (senggama). Sedangkan sebagian lagi menyatakan, lebih baik meninggalkan nikah di masa kini, kendatipun terdapat keutamaan di masa lalu, yakni ketika belum banyak timbul mata pencaharian yang terlarang manurut agama, dan juga sebelum menjalarnya tingkah laku buruk kaum wanita. 92 Perbedaan pendapat ulama di atas tidak terlepas dari perbedaan cara pandang mereka mengenai shighat amr pada ayat Al-Quran surah An-Nisa/4 ayat 3:
92
Imam Ghazali, Al-Adab An-Nikah, Alih Bahasa, M. Al-Baqir, Menyingkap Hakikat Perkawinan, (Bandung: Karisma, 1996), Cet. Ke-8, h.15
52
53
(٣:٤/)اﻟﻨﺴﺎء Artinya: “Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (AnNisa/4: 3) Dan hadis Nabi yang berbunyi:
ع ِﻣﻨْ ُﻜ ُﻢ َ ﻦ اﺳْ َﺘﻄَﺎ ِ َﻣ،ِﺸﺒﱠﺎب ﺸ َﺮ اﻟ َﱠ َ ْﻳَﺎ َﻣﻌ: ص َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َﻟﻨَﺎ َر َ ﻗَﺎ: ل َ ﻦ َﻣﺴْ ُﻌﻮْ ٍد ﻗَﺎ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْﺪِا َ ْﻋﻦ َ ﻓﺈﻧﱠ ُﻪ،ِﺼﻮْم ﻄﻊْ َﻓ َﻌَﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎ اﻟ ﱠ ِ َو َﻣﻦْ ﱠﻟﻢْ َﻳﺴْ َﺘ،ِﻦ ﻟِﻠْﻔَﺮْج ُﺼ َ ْﺼ ِﺮ َوَأﺣ َ ﺾ ِﻟﻠْ َﺒ ﻏ ﱡ َ اﻟْﺒَﺎ َء ِة َﻓﻠْ َﻴ َﺘ َﺰ ﱠوجْ ﻓَﺈ ُﻧ ُﻪ أ ( 93ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ. )ٌﻟَ ُﻬﻮْﺟَﺎء Artinya: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. kepada kami: “Hai golongan orang-orang muda! Barang siapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah ia menikah, kerena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena merupakan pengebiri bagimu”. (Muttafaq ‘alaih) Dari dalil-dalil di atas mereka ada yang memandang hukum nikah bisa jadi wajib, sunah, mubah, makruh, atau bahkan haram. 94 Dalam buku Fikih Islam Wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaily, dijelaskan bahwa menurut Imam Syaf’ii, jika ada seorang ahli ibadah dan menyibukkan diri dengan ilmu, maka yang demikian adalah lebih utama daripada menikah, karena sesungguhnya Allah memuji perbuatan Yahya as. Dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 39: ☺
☺ ⌧ ☺
93
94
Muhammad Musthafa‘Umarah, Jawaahirul Bukhari, h. 422 Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid, (Kairo:Darul Fikr, T.th). V.II.H.3
⌦
54
( ٩: /)ال ﻋﻤﺮان Artinya: “Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang nabi termasuk keturunan orang-orang saleh”. (Ali Imran/3: 39) Kata al-hashur berarti seseorang yang tidak mendatangi wanita (menjima) padahal ia mampu untuk mendatanginya. Jika menikah adalah lebih utama, maka mengapa Allah memuji perbuatan Yahya as. yaitu menjaga diri dari hawa nafsu yang dinilai sebagai pengikut orang-orang shaleh. Selain itu, Imam Nawawi menambahkan bahwa bagi orang yang tidak berhasrat untuk menikah padahal ia mampu, maka baginya dibolehkan untuk tidak menikah. 95 Oleh karena itu, banyak dari ulama terdahulu yang lebih memilih memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah dan mengabdikan diri di bidang pendidikan ketimbang menikah yang dinilai sebagai amalan dunia seperti jual beli dan sejenisnya. 96 Dalam bentuk syair Rabi’ah Al-Adawiyah mengatakan: Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingatmu. Cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau terlihat Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah untukku. Bagi-Mulah pujian untuk selamanya.
95
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar Al-Fikri AlMa’ashira, 2004M/1425H), V. 9, h. 2518 96
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, h. 2519
55
Inilah beberapa ucapan rasa cinta yang diungkapkan oleh Robi’ah AlAdawiyah. Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya, sehingga ia menolak semua tawaran menikah, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Tuhan yang dicintainya, dan barang siapa yang ingin kawin dengannya dia harus meminta izin dari Tuhan. 97 Pantaslah jika Abu Sulaiman Ad-Darimi ketika ditanya tentang perkawinan , ia menjawab: “Bersabar menghadapi nikah lebih baik daripada bersabar dalam menikah, dan bersabar dalam menikah lebih baik daripada bersabar terhadap api nerak”. Al-Wahidi mengatakan: dengan hidup sendiri atau tidak kawin engkau akan menjumpai kemanisan beramal dan kekosongan hati, yang tidak akan engkau jumpai (jika engkau) berkeluarga. Suatu ketika beliau berkata: “Aku tidak pernah melihat seorangpun di antara teman-temanku yang menikah, kemudian dirinya masih tetap berada pada tingkatannya semula”. Di waktu lain beliau juga mengatakan: “Ada tiga perkara barang siapa mencarinya berarti telah bersandar kepada dunia, yaitu orang-orang yang mencari penghidupan (ma’isyah), mengawini wanita, atau menulis cerita-cerita hadits”. 98
97
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9, H.73-74 98
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 9
56
Hasan Al-Basri berkata: “Manakala Allah SWT menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, takkan disibukkan oleh-Nya orang itu dengan keluarga dan harta”. Ibn Abul Hawari mengatakan: “Para ulama mendiskusikan tentang hadits tersebut, kemudian mereka menetapkan pandangannya bahwa dalam hadits tadi dianjurkan untuk menghindari menikah, bahkan mengesampingkannya, dan jangan sampai disibukkan dengan urusan nikah”. Hal itu sebagai isyarat yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darini: “Apa saja yang menyibukkan dirimu dari Allah, baik berupa isteri, harta dan anak, maka bagimu semua itu tercela”. 99 Selain itu, ada juga Ibnu Jauzi yang berpendapat sama bagi seorang pununtut ilmu, yaitu menurutnya bagi seorang penuntut ilmu pemula hendaknya ia menahan untuk tidak menikah sebisa mungkin. Karena
sesungguhnya Imam
Ahmad bin Hanbal tidak menikah hingga berumur 40 tahun. Semua itu dilakukan demi ilmu. Dalam hal ini, Khatib al-Baghdadi juga menganjurkan bagi seorang penuntut ilmu untuk membujang sebisa mungkin, agar dalam mencari ilmu ia tidak disibukkan dengan hak-hak keluarga yang harus ia penuhi dan disibukkan dengan mencari penghidupan”. 100 Yusuf al-Qawwas menuturkan: “Aku mendengar Abu Bakar An-Naisaburi berkata: “Tahukah kamu orang yang bermukim selama 40 tahun, tak pernah tidur 99
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 10
100
M. A. Uswah, “Karena Ilmu Mereka Rela Membujang (Semangat Membara Para Ulama dalam Menggeluti Ilmu)”, diakses pada tgl 20-03-2010 dari http://tamanbuku.blogspot.com/2009/04/karena-ilmu-mereka-rela-membujang.html
57
di malam hari, makan sehari hanya dengan 5 biji kurma dan solat subuh dengan wuduk shalat Isya?” Ia melanjutkan, “Itulah aku. Itu sebelum aku mengenal Ummu Abdurrahman”. 101 Demikianlah perkataan-perkataan ulama-ulama salaf tentang pilihan hidup membujang karena ingin lebih memfokuskan diri beribadah kepada Allah atau karena ingin berkonsenterasi menggeluti ilmu pengetahuan. Karena memang selain keutamaan-keutamaan yang tersimpan dalam pernikahan, terdapat pula bahaya-bahaya dan bencana-bencana terhadap kelangsungan hidup, di antaranya adalah: 102 Pertama, lemah dalam usaha mencari barang-barang yang halal. Mencari barang yang halal memang bukan sesuatu yang mudah bagi siapapun. Terutama dalam waktu-waktu tertentu dimana kehidupannya sedang mengalami goncangan. Maka dengan ditambah pernikahan itu menjadi sebab kelonggaran dalam usaha mencari makan-makanan yang haram. Di situlah terletak kehancuran diri beserta keluargnya.. Karena orang yang menikah sebagian besar lebih mudah masuk dalam perangkap perkara-perkara yang buruk. Ada suami yang karena mengikuti keinginan-keinginan isterinya, ia rela menjual akhirat untuk memperoleh duniawinya. Di antara ulama Salaf mengatakan: “Apabila Allah menghendaki
101
M. A. Uswah, “Karena Ilmu Mereka Rela Membujang (Semangat Membara Para Ulama dalam Menggeluti Ilmu)”, diakses pada tgl 20-03-2010 dari http://tamanbuku.blogspot.com/2009/04/karena-ilmu-mereka-rela-membujang.html 102
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 38
58
hambanya menjadi buruk, maka sewaktu di dunia dia diberi taring-taring yang dipergunakan menggigitnya, yakni (menggigit) keluarganya”. 103 Kedua, bencana yang kedua ini berkisar tentang kelalaiannya terhadap menepati hak-hak isteri, bersabar atas perangainya, dan berani menanggung resiko (kemiskinan) daripadanya. Secara umum, kemampuan atas perkara ini, lebih mudah daripada kemampuan atas perkara yang pertama. Karena memperbagus perangai isteri dan menepati hak-hak yang menjadi bagiannya itu lebih ringan daripada mengusahakan barang halal. Namun demikian, hal ini juga tidak terlepas dari godaan-godaan, yaitu menelantarkan hak-hak keluarga, yang mana hal ini merupakan dosa bagi suami yang menyia-nyiakan (menelantarkan) orang-orang (keluarga) yang menjadi tanggungannya. 104 Berdasarkan hadits Nabi saw. :
َآ َﻔﻰ ِﺑﺎ: ﷲ ص ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ َﻗَﺎل َر: ل َ ﻋﻨْ ُﻬ َﻤﺎ َﻗﺎ َ ﷲ ُ ﻲا َﺿ ِ ص َر ِ ﻦ اﻟْ َﻌﺎ ِ ْﻋ َﻤ َﺮ َوﺑ ُ ﻦ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪا َ ْﻋﻦ َ َو (
105
ت )رواﻩ أﺑﻮ داود وﻏﻴﺮﻩ ً ْﻀﻴْ َﻊ َﻣﻦْ َﻳ ُﻘﻮ ِ اﻟْ َﻤﺮْ ِء إﺛْ ًﻤﺎ َأنْ ُﻳ
Artinya: Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Cukuplah seseorang itu berdosa jika menyia-nyiakan mereka yang menjadi tanggungannya”. (HR. Abu Daud dan lainnya) Diriwayatkan pula, bahwa orang yang lari (tidak bertanggung jawab) terhadap keluarganya, kedudukannya seperti seorang budak (hamba) yang lari dari
103
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 38
104
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 39
105
Imam Nawawi, Nuzhatul Muttaqin, Alih Bahasa, Muhil Dhofir dan Farid Dhofir, Syarah dan Terjemah Riyadush Shalihin, (Jakarta: Al-Istiqomah Cahaya Umat, 2006), Cet. Kedua, h. 358
59
tuannya. Tidak akan diterima shalat dan puasanya, sehingga dia kembali kepada mereka. Barang siapa yang melalaikan untuk menepati hak-hak isterinya, kendati dia berada di rumah, maka kedudukannya seperti hamba sahaya yang melarikan diri dan atau seperti orang yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Allah juga mengingatkan dalam surah At-Tahrim ayat 6: (۶:۶۶/) ﻟﺘﺤﺮﻳﻢ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. At-Tahrim/66 : 6) Ayat di atas memerintahkan kita untuk memelihara keluarga dari api neraka, sebagaimana kita menjaga diri sendiri. Terkadang manusia sudah lemah terhadap hak-hak dirinya sendiri, dan setelah menikah kelamahan atas dirinya itu jadi berlipat karena ada pihak lain yang ikut bersandar kepada dirinya. Padahal nafsu cenderung mengajak kepada perbuatan-perbuatan buruk. Jadi pada umumnya, apabila keluarganya bertambah, maka bertambah pula kecenderungan dirinya terhadap perbuatan-perbuatan buruk. 106 Oleh karena itu, sebagian ulama (tasawuf) ada yang takut menikah. Ia mengatakan: “Sekarang aku sudah diuji oleh diriku sendiri, bagaimana jika ada pihak lain yang ikut bersandar kepadaku?”. Demikian pula yang dikhawatirkan Ibrahim bin Adham ra., beliau mengatakan: “Aku tidak akan memperdaya seorang wanita (isteri) dengan diriku, tidak pula dengan kebutuhan terhadap
106
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 40
60
dirinya.
Yakni
menepati
hak-hak
seorang
isteri,
penjagaannya
dan
kesenangannya. Sedangkan aku adalah orang yang lemah daripadanya”. 107 Ketiga, merupakan bencana yang terlepas dari bagian yang pertama dan kedua. Yakni jika di antara orang tua (bapak) dan anak, sama-sama disibukkan dengan urusan yang melupakan Allah, seperti kesibukkan mencari harta kekayaan, bercita-cita ingin mempunyai kehidupan yang lebih mapan bagi anakanak, disertai penumpukkan harta kekayaan dan menyimpannya untuk kepentingan mereka kelak, mencari kebanggaan dan kemegahan dengan mereka dan lain-lainnya. Padahal setiap perkara yang menyibukkan diri melupakan Allah, meliputi urusan keluarga, anak harta, dan seterusnya semua itu suatu hal yang tercela bagi pelakunya. Yaitu, bukan saja mengajak seorang laki-laki memperoleh kenikmatan-kenikmatan yang diperbolehkan dengan isterinya, tetapi bahkan menuju arah ketenggelaman dalam bernikmat-nikmat dengan isterinya. Semua itu akan berakibat fatal, yaitu bisa meneggelamkan hati, sehingga sepanjang siang dan malam hampir tidak pernah lepas dengan wanita (isteri). Dengan demikian, seseorang tidak lagi mempunyai kesempatan untuk memikirkan akhirat dan mengingat-ngingatnya. 108 Oleh karena itu Ibrahim bin Adam mengatakan: “Barang siapa yang telah merasakan paha wanita (isteri) maka tidak akan dating sesuatu pun daripadanya,
107
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 41
108
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 42
61
yaitu sulit untuk meninggalkannya”. Abu sulaiman juga mengingatkan: “Barang siapa beristeri berarti telah condong ke dunia, artinya dengan pernikahannya itu dia diajak untuk condong ke arah dunia”. 109 Demikianlah macam-macam bencana pernikahan, yang mana ketetapan untuk memilih terserah kepada setiap orang, dan lebih daripada itu hendaklah dijadikan iktibar dan muhkam. Kiranya memilih hidup membujang karena ingin berkonsentrasi menggeluti ilmu merupakan sebuah pilihan hidup yang luar biasa. Desah-desah syahwat yang pada sebahagian orang justru menjadi raja yang menguasai hati, berhasil terpinggirkan kerana dominasi cinta terhadap ilmu yang begitu menggumpal dalam relung-relung hati. Itulah sebuah catatan indah yang pernah tergoreskan dalam sejarah hidup sebahagian para ulama sebagai pewaris para Nabi. Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah dan Imam At-Tabari termasuk sebagian ulama yang ‘berijtihad’ terhadap diri mereka sendiri untuk tidak menikah kerana ilmu. Dan sekali lagi, ini merupakan sebuah pilihan hidup yang luar biasa. 110 Pilihan mereka untuk hidup membujang daripada menikah, dengan keilmuan, kesolehan, kejantanan dan kenormalan mereka, tak lain kerana mereka lebih mendahulukan orang lain daripada diri mereka sendiri. Agar mereka dapat mencurahkan segenap kemampuan mereka guna berkhidmat untuk agama dan
109 110
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 43
M. A. Uswah, “Karena Ilmu Mereka Rela Membujang (Semangat Membara Para Ulama dalam Menggeluti Ilmu)”, artikel diakses pada tanggal 20-03-2010 dari http://tamanbuku.blogspot.com/2009/04/karena-ilmu-mereka-rela-membujang.html.
62
ilmu. Agar mereka dapat mengerahkan segenap usahanya untuk menjabarkan syariat yang mulia ini, menyusunnya serta menyajikannya kepada banyak orang. Tak diragukan lagi bahwa sikap itsar (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri) ini disyariatkan dalam Islam dan terpuji bagi pelakunya. Betapa banyak mereka memiliki anugerah dan keutamaan di pundak para ulama dan manusia. Bila menikah dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan, maka Allah telah memuliakan mereka dengan pakaian ketaqwaan, kesolehan dan kezuhudan. Allah memberikan perhiasan kepada mereka dengan perhiasan ilmu dan amal. Kebaikan mereka tersebut telah mengarahkan kepada semua itu, berkat kurnia dan rahmat-Nya. Bila bersanding dengan isteri dapat memberikan kenyamanan pada diri sang suami, maka mereka memandang bahawa berdampingan dengan kitab dan ilmu dapat memberikan kenyamanan seperti itu pula atau bahkan lebih dari itu. 111 Selain alasan-alasan di atas yaitu
lebih
mengutamakan
beribadah,
mengabdikan diri di bidang pengetahuan, dan takut akan terjerumus ke dalam bencana-bencana pernikahan, ada alasan lain yang menjadikan membujang merupakan sesuatu yang dianjurkan. Menurut ulama Syafi’iyyah, bagi orang yang sakit-sakitan, lansia, dan impoten, maka lebih baik baginya untuk tidak menikah, karena dapat memberikan
111
M. A. Uswah, “Karena Ilmu Mereka Rela Membujang (Semangat Membara Para Ulama dalam Menggeluti Ilmu)”, artikel diakses pada tanggal 20-03-2010 dari http://tamanbuku.blogspot.com/2009/04/karena-ilmu-mereka-rela-membujang.html.
63
kemudharatan kepada orang lain (isterinya). 112 Menikah juga dianjurkan untuk ditinggalkan bagi seseorang yang yakin akan berlaku dzalim dan memberikan kemudharatan kepada perempuan serta lemah atas biaya pernikahan. Pernikahan menjadi haram hukumnya, bagi seseorang yang yakin akan jatuh kedalam perzinahan jika tidak menikah, namun juga dia yakin akan mendzalimi isterinya. 113 Karena menurut ulama Syafi’iyyah, pernikahan dinilai sebagai amalan dunia, karena ditetapkan untuk menyalurkan syahwat manusia, sedangkan amalan kepada Allah Ta’ala lebih utama daripada amalan untuk diri sendiri. 114 Itulah sebab-sebab mengapa membujang dapat dijadikan alternatif hidup bahkan dianjurkan, karena himbauan Nabi atas pernikahan tidaklah ditetapkan kewajibannya atas semua manusia, akan tetapi dilihat dari sebab-sebab kewajiban dan kemampuannya, bukan dari kondisi orang lain.
B. LARANGAN MEMBUJANG Islam berpendirian tidak ada pelepasan kendali gharizah seksual untuk dilepaskan tanpa batas dan tanpa ikatan. Untuk itulah maka diharamkannya zina dan seluruh yang membawa kepada perbuatan zina. Tetapi di balik itu Islam juga menentang setiap perasaan yang bertentangan dengan gharizah ini. Untuk itu
112
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, h. 2517
113
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, h. 2516
114
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, h. 2519
64
maka dianjurkannya supaya menikah dan melarang hidup membujang dan kebiri. 115 Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw. :
ﻋﻠَﻰ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ِل اﻟﻠﱠﻪ ُ َر ﱠد َرﺳُﻮ:ل ُ ص َﻳﻘُﻮ ٍ ﻦ َأﺑِﻲ َوﻗﱠﺎ َ ْﺳﻌْ َﺪ ﺑ َ ْﻋﻦ َ 116 (ﺼﻴْﻨَﺎ)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري َ ن َﻟ ُﻪ ﻟَﺎﺧْ َﺘ َ ﻞ َوَﻟﻮْ َأ ِذ َ ن اﻟ ﱠﺘ َﺒ ﱡﺘ ٍ ﻦ َﻣﻈْﻌُﻮ ِ ْن ﺑ َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ Artinya: Dari Sa’ad bin Abi Waqash r.a., katanya: “Rasulullah saw. pernah melarang Utsman bin Mazh’un membujang selamanya karena semata-mata hendak melakukan ibadah kepada Allah. Andaikata Rasulullah saw. mengizinkan, tentulah kami (para sahabat) sudah mengebiri diri kami” (HR. Bukhari) Maksudnya, sekiranya membujang itu dibolehkan oleh Nabi, saw. tentulah kami (para sahabat) akan membujang, sehingga kalau perlu kami berkebiri. Dan firman Allah surah Al-Maidah ayat 87:
(٨٧:٥/) ﻟﻤﺎﺋﺪة ☺ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu mengharamkan yang baik-baik dari apa yang dihalalkan Allah untuk kamu dan jangan kamu melewati batas, karena sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas.” (QS. Al-Maidah/5:87) Rasulullah saw. memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah, padahal ia mampu atas biaya pernikahan dan
115
Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak, “Membujang Ala Sufi (Larangan Membujang)”, artikel ini diakses pada tanggal 15-03-2010 dari http://akhwat.web.id/muslimahsalafiyah/aqidah-manhaj/membujang-ala-sufi/ 116
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2008), no. Hadis 4685, V. 10, H. 16
65
mempunyai fisik yang sehat dengan celaan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan-perbuatan pendeta Nasrani dan sebagai pengukit setan. 117 Islam menolak sistem kerahiban karena hal tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta’ala yang telah ditetapkan bagi makhluknya. Dalam hal ini Allah berfirman dalam surah Al-Hadid ayat 27: 118 ⌧ ☺ ⌧
(٢٧:۵٧/) اﻟﺤﺪﻳﺪ Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengadaadakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka kami berikan kepada orangorang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. Al-Hadid/57: 27) Kata “illa” atau pengecualian pada ayat tersebut menurut para ahli tafsir adalah pengecualian terputus. Artinya, mereka mengada-adakan ajaran kerahiban atas dasar inisiatif mereka sendiri. Sedangkan Allah tidak mewajibkan atau mengajarkan kepada mereka, tetapi mereka diwajibkan supaya taat kepada Allah
117
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, h. 2520
118
Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Bayan, h. 1312
66
dan mencari ridhanya. Dan itupun tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka ayat di atas merupakan celaan bagi mereka, bukan pujian. 119 Dalam suatu hadits diceritakan:
ﻲ ج اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﺳَﺄﻟُﻮا َأزْوَا َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻲ ب اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ِ ن ﻧَﻔَﺮًا ِﻣﻦْ َأﺻْﺤَﺎ ﺲ َأ ﱠ ٍ ﻋﻦْ َأ َﻧ َ ل َ ج اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َوﻗَﺎ ُ ﻀ ُﻬﻢْ ﻟَﺎ َأ َﺗ َﺰ ﱠو ُ ْل َﺑﻌ َ ﺴ ﱢﺮ َﻓﻘَﺎ ﻋ َﻤِﻠ ِﻪ ﻓِﻲ اﻟ ﱢ َ ْﻋﻦ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﻠﱠ ُﻪ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َ ﺤ ِﻤ َﺪ اﻟﻠﱠﻪَ َوَأﺛْﻨَﻰ َ ش َﻓ ٍ ﻋﻠَﻰ ِﻓﺮَا َ ﻀ ُﻬﻢْ ﻟَﺎ َأﻧَﺎ ُم ُ ْل َﺑﻌ َ ﻞ اﻟﻠﱠﺤْﻢَ َوﻗَﺎ ُ ﻀ ُﻬﻢْ ﻟَﺎ ﺁ ُآ ُ َْﺑﻌ ج ُ ﻄ ُﺮ َوَأ َﺗ َﺰ ﱠو ِ ْﺻﻠﱢﻲ وَأَﻧَﺎ ُم َوَأﺻُﻮ ُم َوُأﻓ َ ل َأﻗْﻮَا ٍم ﻗَﺎﻟُﻮا َآﺬَا َو َآﺬَا َﻟ ِﻜﻨﱢﻲ ُأ ُ ل ﻣَﺎ ﺑَﺎ َ َﻓﻘَﺎ 120 (ﺲ ِﻣﻨﱢﻲ )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ َ ْﺳ ﱠﻨﺘِﻲ َﻓَﻠﻴ ُ ْﻋﻦ َ ﺐ َ ﻏ ِ اﻟ ﱢﻨﺴَﺎ َء َﻓ َﻤﻦْ َر Artinya: Dari Anas r.a., katanya: Beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya kepada para isteri beliau ketika sedang bersunyi diri. Setelah mendapat jawaban, maka di antara para sahabat itu ada yang berkata: “Aku tidak akan pernah kawin!”, sebagian lagi berkata: “Aku tidak akan makan daging!”, yang lain berkata pula, “Aku tidak akan tidur di atas kasur”. Mendengar ucapanucapan para sahabat itu, Nabi saw. serta merta memuji dan menyanjung Allah SWT. Lalu beliau bersabda: “Bagaimanakah cara berpikir mereka sehingga mereka berujar begini dan begitu. Padahal aku sendiri shalat, tidur, berpuasa, berbuka, dan bahkan aku menikah. Barang siapa yang tidak menyukai cara hidupku (sunnahku), maka di termasuk golonganku”. (HR. Muslim) Hanya Islamlah satu-satunya agama yang menggalakkan dan memberi motivasi kepada setiap orang untuk berumah tangga. Sebaliknya, agama-agama lain justru memuji pembujanagn. Misalnya, dalam agama Budha dianggap bahwa seorang yang suci adalah orang yang tidak mau beristeri. Demikian juga dalam agama Nasrani. Tetapi dalam agama Islam justru yang tercela adalah orang yang tidak mau berumah tangga. Jadi, kalau seseorang sudah waktunya berumah
119
M. Ali As-Shabuni, Az-Zawaj Islami Mubakkiran, Alih Bahasa, Ikhwani dan Husain Abdullah, Pernikahan Dini Yang Islami, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), Cet. Pertama, h. 26-27 120
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Kairo: Daarul Hadits, t. Th), no. hadis 2487, V175, h. 7
67
tangga, tetapi masih menunda dengan alasan ini dan itu, maka apabila ia meninggal keadaannya adalah sejelek-jeleknya orang mukmin yang meninggal.121 Itulah sebabnya Imam Malik berpesan: “Sekiranya saya akan mati beberapa saat lagi, sedangkan isteri saya sudah meninggal dunia, maka saya akan segera kawin”. Karena apakah Imam Malik berpendapat demikian? Karena ia takut bertemu Allah dalam keadaan membujang. Jadi, bagi laki-laki yang menduda karena ditinggal wafat oleh isterinya tidak perlu menunda perkawinan lagi. Demikianlah rasa takut para ulama salaf (ulama-ulama terdahulu) kepada Allah kalau mereka meninggal dunia dalam keadaan membujang . 122 Sebaliknya, orang-orang Jahiliyah berbangga jika mereka membujang sam[ai tua. Mereka beranggapan, akan menjadi rebutan wanita kalau bertahan sebagai orang bujang. Sikap seperti ini sebenarnya adalah sikap kekufuran, karena telah mengingkari perintah Allah untuk meramaikan dan memakmurkan bumi ini serta mengurusnya dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, bagaimana kita akan memakmurkannya bila penghuninya tidak mau berketurunan? Dan akibatnya manusia akan punah dalam satu generasi. 123
121
122
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 5
Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Perkawinan Islami, 1995), Cet. Pertama, h. 25-26 123
(Bandung: Irsyad Baitussalam,
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 6
68
Pernikahan memberikan jaminan bahwa seseorang bukan akan menjadi berkurang rezkinya lantaran dibagi kepada anak dan isterinya, tetapi justru akan semakin terbuka pintu rezkinya. 124 Dalam surah An-Nur ayat 32 Allah berfirman: ☺
) (٣٢:٢۴/ﻟﻨﻮر Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lakilaki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur/24: 32). Dan berdasarkan janji Nabi saw. bahwa salah satu dari tiga golongan manusia yang berhak ditolong Allah yaitu seseorang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya, dalam haditsnya riwayat Imam Ahmad bahwa (“Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya”) 125 Sedangkan keutamaan hidup orang yang berkeluarga dengan orang yang hidup sendiri laksana keutamaan orang yang berjihad dengan orang yang tidak mengikuti jihad (berdiam di rumah). Perbedaan mencolok lainnya adalah dalam masalah beibadah. Satu rakaat dalam shalat yang dilakukan oleh orang yang
124
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 7
125
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h.9
69
sudah berkeluarga, lebih utama dari 70 rakaat yang dilakukan oleh orang yang belum menikah. 126 Ibnu Abbas r.a. berkata: “Tidaklah sempurna ibadah orang-orang yang beribadah sehingga ia beristeri (menikah)”. Itu mengandung arti bahwa ia menjadikan nikah termasuk bagian ibadah, dan ibadah disempurnakan dengan pernikahannya. Tetapi secara dzahiri yang dimaksud dengannya adalah seseorang tidak akan mampu menyelamatkan hati karena diliputi syahwat, kecuali kalau ia menikah. Padahal ibadah tidak dapat sempurna kecuali dengan adanya kebebasan hati (dari godaan-godaan syahwat). 127 Ibnu Mas’ud mengatakan: “Kalau bukan karena usiaku tinggal sepuluh hari, tentu aku menyukai menikah. Supaya aku tidak menjumpai Allah dalam kondisi tidak kawin (membujang)”. Diceritakan, kedua isteri Mu’adz bin Jabal r.a. meninggal karena terserang penyakit, sementara beliau juga sedang terserang penyakit. Maka beliau berkata: “Kawinkan aku, karena aku tidak suka jika sampai menjumpai Allah dalam keadaan tidak kawin”. 128 Demikianlah dalil-dalil yang menerangkan tentang dilarangnya hidup membujang yang ditegaskan dalam Al-Quran, hadits-hadits Nabi saw. Dikarenakan hidup membujang itu melawan fitrah manusia dan mengingkari perintah Allah SWT. Maupun atsar-atsar sahabat yang menunjukkan bahwa di
126
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 7
127
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 8
128
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h 9
70
dalam pernikahan terdapat keutamaan-keutamaan, yaitu dapat memelihara dari petaka syahwat.
C. DAMPAK-DAMPAK HIDUP MEMBUJANG Hidup membujang bukanlah pilihan hidup tanpa resiko. Banyak dampak negatif yang akan ditimbulkan jika kehidupan ini terus berkembang di masyarakat. Dampak-dampak negatif itu antara lain sebagai berikut: 1. Dampak dalam kesehatan. Bila sikap tidak mau berkeluarga atau tidak mau menikah sudah membudaya di tengah masyarakat suatu bangsa, maka itu mencerminkan bahwa mayoritas kehidupan sosial pemuda-pemudinya telah mengarah pada ujung kehancuran dan kemerosotan. Tanpa ketaatan dan kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya, maka jiwanya menjadi terlepas dan terkendali oleh nilai-nilai ilahiyyah. Bila sudah begini, maka tentu mereka akan segera terlelap dalam dunia kesenangan dan seksual. Mereka akan terperosok dalam kekejian dan keburukan libido seksualnya. Mereka akan terjebak ke dalam ketabuan, prostitusi, pacaran, dan hubungan gelap. 129 Jika budaya ini sudah membludak dalam suatu bangsa, maka pasti akan mengakibatkan timbulnya berbagai penyaki dan penderitaan yang hendak
129
Sidik Hasan dan Abu Nasma, Lets Talk About Love, h. 81
71
menggerogoti serta membinasakan tubuh manusia, seperti penyakit AIDS. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan diuraikan berbagai penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit psikis yang diakibatkan dari adanya praktek prostitusi dan akibat-akibat dari perilaku seks amoral. 130 a. Gonorrhea (penyakit kencing darah atau nanah) 131 b. Syphilis 132 c. Herpes (cacar ringan) d. Kematangan seksual prematur e. AIDS(acguired immuno deficiensi) 133 Ketahuilah, pemuda-pemuda dari kaum sufi yang tidak melakukan pernikahan, mereka akan mengalami: Pertama,
menderita sakit akibat tertahannya sperma. Sebab, apabila
sperma seseorang terlalu banyak, maka akan mengalir ke otak. Abubakar bin
130
Salim Bazemool, Terapi Islam Terhadap Rintangan Menjelang Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1993), cet. ke-2, h. 29 131
Gonore disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Infeksi ini ditularkan dari satu orang ke orang lain melalui vagina, oral, atau anal hubungan seksual. (“Wikipedia The Free Incyclopedia”, diakses pada tgl 04-05-2010 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Gonorrhea) 132
Syphilis merupakan infeksi bakteri yang dapat menjalar ke seluruh bagian tubuh. Tidak hanya menginfeksi sekitar alat kelamin, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum ini sangat mudah menular melalui kontak seksual langsung vaginal, oral maupun anal. Bahkan syphilis juga dapat menular dari berciuman mulut ke mulut dengan penderita sebelumnya. (“Klik Dokter Menuju Sehat”, diakses pada tanggal 0405-2010 dari http://seks.klikdokter.com/subpage.php?id=2&sub=30) 133
“Pusat informasi kesehatan”, diakses pada tgl 04-05-2010 dari http://infosehat7.blogspot.com/2009/07/macam-macam-penyakit-penyakit-kelamin.html,
72
Zakaria berkata: “Aku pernah melihat sekelompok kaum yang mana mereka mempunyaijumlah sperma yang banyak sekali. Pada saat mereka menahan diri dengan tidak (sama sekali) berhubungan intim, maka tubuh mereka menjadi dingin, berakan mereka menjadi sulit dab mereka mengalami kesedihan tanpa sebab”. Abubakar pun berkata kembali: “Aku pernah melihat seorang lelaki yang menjauhi hubungan seks dan berakibat nafsu makan menjadi hilang. Sekalipun dia mencoba sedikit untuk makan, akan tetapi tidak dapat menyembuhkan dan menyehatkannya. Setelah ia kembali melakukan hubungan seks, maka gejala tersebutpun menjadi hilang seketika”. 134 Kedua, mengerjakan hal-hal yang dilarang. Sebab, pada saat mereka bertahan untuk tidak melakukan hubungan intim, sel sperma yang terdapat dalam tubuh mereka jadi terkumpul. Akibatnya timbul perasaan gelisah yang menyelimuti
jiwanya.
Karena
kegelisahannya
itulah
mereka
berlari
(melampiaskan) kepada sesuatu yang mereka tinggalkan sehingga mereka melupakan dan tenggelam ke dalam hawa nafsu duniawi secara berlebihan. 135 Ketiga, senang kepada anak di bawah umur dan melakukan prektek hubungan seks menyimpang. 136 2. Dampak psikis
134
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 22
135
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 22
136
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 22
73
Salah satu dampak psikis bagi orang yang hidup membujang adalah hampir separuh waktunya disibukkan untuk menghayal dan menuruti libido seksnya saja. Hayalan itu bisa tentang perkawinan, berkencan, adegan-adegan fulgar, membayanga-bayangkan tubuh wanita, sepeti wajah, mata, leher, bibir, buah dada, pinggang, dan lain-lain. Dalam kondisi demikian dia melupakan segala-galanya dan acap kali akhirnya dia menjadi manusia pelupa, kepekaannya melemah, dan orang yang terjangkit penyakit ini kelihatan linglung, pemabuk, merana dan terlihat selalu murung dan sedih. Kenyataan semacam inilah yang mengakibatkan kondisi tubuhnya akan menjadi kurus. 137 Muhammad Thalib mengatakan dampak psikis bagi orang yang hidup membujang dalam bukunya 40 Petunjuk Perkawinan Islami sebagai berikut: pertama, keseimbangan untuk melangkah pada sesuatu yang seharusnya dikerjakan. Kedua, akan lebih senang mengutamakan diri sendiri atau egoisme. Ketiga, menghindari tanggung jawab yang lebih berat. 138 Halfbert, seorang Direktur rumah sakit psikiater di New York berkata: “Bahwa jumlah pasien yang datang untuk berobat ke rumah sakit ini perbandingannya adalah empat (para lajang) dan satu pasangan yang telah menikah”. Demikian pula dengan data hasil penelitian statistik yang dilakukan
137
Adsfundi, “Zina: Menyebabkan Muda-Mudi Enggan Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 12-04-2010 dari http://ummat-muhammad.blogspot.com/2009/11/zinamenyebabkan-muda-mudi-enggan.html 138
Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Perkawinan, h.
74
oleh Dr. Barchlun menunjukan bahwa peristiwa bunuh diri lebih banyak dilakukan oleh para lajang daripada yang dilakukan oleh para pasangan yang telah menikah. Karena pasangan yang telah menikah lebih banyak mempertimbangkan akal dan etika dalam mengambil keputusan. 3. Dampak sosial Dampak sosial merupakan problem umat Islam yang menjadi pemikiran para pakar muslim, ilmuwan sosial dan para insane pembangunan. Generasi pemuda dari berbagai penjuru dunia kita ada kecenderungan memilih hidup membujang, tidak kawin, lari dari tanggung jawab perkawinan dan keluarga. 139 Akibat prinsip-prinsip sesat itulah maka menimbulkan pelbagai dampak sosial di kalangan masyarakat, di antaranya yang pertama, dampak sosio keluarga. Pemuda bujangan yang telah merasakan kepuasan seks dengan wanita akan jadi enggan hidup berkeluarga, apalagi menurunkan keturunan karena dia berpikir tentang tanggung jawab yang sangat besar. Selain iu dia juga akan berpikir untuk apa susah-susah menikah bila penyaluran kepuasan seksualnya mudah didapat. Begitu pula di kalangan wanita. Kini banyak di antara wanita yang enggan menanggung hamil, melahirkan, dan mempunyai anak karena beratnya beban yang dihadapi. 140
139
Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Perkawinan, h.
140
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga, h. 5
75
Kedua, dampak psikologis pada pelaku seks. Pada dasarnya setiap lelaki maupun wanita pelaku seks bebas (free seks) hidupnya tidak akan tenang dan tidak akan mendapatkan kesejahteraan hidup, sampai dia hidup dalam perkawinan yang didasari atas semangat mawaddah wa rahmah. Dalam perkawinan sah yang dilandasi imanlah sepasang suami isteri akan menjadi seperti organ tubuh yang menyatu dalam hubungan komunikatif. Mereka saling mencintai dan tolong menolong. Kondisi seperti ini tidak mungkin didapatkan dalam suatu masyarakat yang tidak ada institusi perkawinan dan dalam suatu masyarakat yang berjalan di atas kehidupan free seks. 141 Ketiga, dampak hubungan antara keluarga. Orang-orang yang menolak nilai-nilai perkawinan, tidak ingin dibebani oleh segala tanggung jawab membina rumah tangga dan lebih memilih untuk melakukan seks bebas, maka hidupnya akan terisolir dan terhina di hadapan keluarganya. 4. Dampak keagamaan Orang yang hidup membujang, tidak mau menikah, tidak merasa cukup dan tidak bertakwa, ia akan menerima celaan dari Rasulullah SAW. Bahaya lainnya adalah si pelaku zina akan menerima siksaan di hari kiamat sebagaimana firman Allah :
141
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 7
76
⌧ ☺ (۶٩-۶٨:٢۵/) ﻟﻔﺮﻗﺎن Artinya: Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain selain Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya. Pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. (AlFurqon/25: 68-69) Orang yang hidup membujang tidak akan memperoleh ketenangan hidup, kebaikannya, serta masa depannya. Mereka hidup bagaikan anak-anak kecil, tanpa persoalan, tanpa beban, dan tanpa tanggung jawab apapun. Bahkan mereka mempunya hati yang sempit ketika menyaksikan saudara-saudara mereka mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anak, sedangkan dia sendiri tidak, mereka yang kawin dan beranak pinak bisa hidup senang dan bahagia di bawah naungan kasih sayang. 142 Memang terkadang kehidupan pernikahan itu bercampur dengan sesuatu yang meletihkan, seperti kelelahan yang didatangkan karena telah memiliki anak atau tuntutan kebutuhan lainnya seperti perabotan rumah. Akan tetapi, semuanya itu akan terasa indah jika seseorang merasa ikhlas dan terpuaskan jiwanya. Pada sisi lain, seorang yang membujang akan merasakan kehampaan
142
Abdul Aziz, Perkawinan dan Masalahnya, h. 27
77
dalam hidupnya. Bagi seseorang yang membujang, masa muda bagaikan seorang raja, akan tetapi akan menjadi seorang hamba yang patut untuk dikasihani ketika usianya telah beranjak tua dan masih sendiri. Sedangkan bagi orang yang telah menikah, pasangan suami isteri, terkadang pada masamasa awal pernikahannya sering mengalami kesulitan dalam berbagai hal, akan tetapi ketika usia pernikahannya bertambah tua menjadi seorang raja yang bertahtakan segalanya di dalam rumah, serta tidak akan pernah lagi merasakan kesedihan dan kesepian seperti apa yang dirasakan oleh mereka yang masih sendiri di masa tuanya (belum menikah). 143 Selain itu, kebanyakan orang yang tidak mau menikah, sedang mereka mampu melakukannya, maka akan selalu berpikiran kotor dan berkeinginan untuk selalu berbuat zina, yang merupakan salah satu faktor terputusnya (manjauhnya) hubungan antara manusia dengan Rabbnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak mau menikah dan tetap bersiteguh dengan ajaran agamanya, maka masih terdapat kemungkinan baginya untuk terjerumus ke dalam lembah yang nista. Ibnu Mas’ud berkata: “Sekalipun usiaku tersisa 10 hari lagi, maka aku lebih suka menikah, agar diriku tidak membujang ketika bertemu Allah”. 144
143
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 8-9
144
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 9-10
78
Sesungguhnya Islam merupakan agama yang dinamis (kehidupan). Ia tidak berhenti pada keinginan dan tabi’at saja, akan tetapi selalu memberikan motifasi dan membuka ruang untuk berkembang. Hal itu tidaklah mengherankan. Sebab sesungguhnya kesemuanya itu merupakan irama dari keberadaan manusia dan akan menjadi suatu kebodohan kalau memeranginya. Yang benar adalah membimbing dan mengarahkan tabi’at, itulah suatu keberuntungan. Islam selalu memberikan jalan agar pemeluknya merasa senang dan eksis dalam membina kehidupan yang bahagia. Manakala Islam mengharamkan perbuatan zina dan meminum minuman keras, maksudnya tidak lain adalah agar umatnya selalu sehat dan kuat. Sehingga waktu yang sangat bernilai bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang lebih beguna. Bukan seperti anggapan sebagian orang yang tidak tahu, yaitu dengan menyatakan bahwa hal itu dimaksudkan untuk membatasi kesenangan manusia.145 Uraian di atas merupakan hal-hal terpenting tentang dampak negatif yang ditimbulkan oleh perbuatan hidup membujang. Jelas, bahwa pola hidup yang demikian membahayakan kesehatan, moralitas, psikologis, ekonomi, sosial, intelektual dan agama manusia. Telah sama-sama kita ketahui pula, bagaimana Rasulullah tidak sependapat dengan ketiga sahabatnya yang mengekspresikan diri dalam beribadah dengan cara memerangi tabi’at kemanusiaan mereka dan mengubah apa yang bukan selayaknya, dengan
145
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 23
79
persepsi
pendekatan
diri
kepada
Allah.
Dengan
demikian,
beliau
memberitahukan kepada mereka, bahwa apa yang telah mereka lakukan itu justru bisa menjauhkan mereka dari Islam dan fitrah kemanusiaan. Dimana mereka menyibukkan diri dengan memerangi keinginan jiwa. Oleh karena itu membujang tidak akan selamanya terhindar dari dosa dan hanya sebagian kecil yang dapat selamat darinya (dosa). 146
D. HIDUP
MEMBUJANG
KARENA
KETERBATASAN
EKONOMI
MENURUT PANDANGAN ISLAM 1. Pengertian Keterbatasan Ekonomi Setelah panjang lebar penjelasan mengenai maksud dari kata membujang di atas, saat ini akan penulis jelaskan mengenai keterbatasan ekonomi dalam tulisan ini. Yang dimaksud dengan orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dalam tulisan ini adalah orang-orang yang hidup sangat amat kekurangan materi, yaitu yang mempunyai pendapatan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya, atau lebih singkatnya disebut dengan miskin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “miskin” diartikan sebagai tidak berharta benda dan serba kekurangan (berpenghasilan rendah). Sedangkan fakir diartikan sebagai orang sangat berkekurangan atau sangat miskin. Dari bahasa aslinya (bahasa Arab), kata miskin terambil dari kata
146
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Kado Perkawinan, h. 24
80
sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir berasal dari kata orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya. 147 Para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran, karena memang tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut. Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan dari setengah kebutuhan pokoknya, sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik daripada si miskin. 148 Al-Quran dan hadits tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus dibantu. Yusuf Qardhawi, seorang Ulama kontemporer, menulis: Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam, sekalipun Ahl Al-Dzimmah (warga Negara non muslim) menderita lapar, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat tinggal) dan membujang”. Pada kesempatan lain, Yusuf
147
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,1997), Cet. Ke-7, h. 448 148
Ahmad Sanusi, Agama di Tengah Kemiskinan, h. 15
81
Qardhawi juga menyatakan bahwa biaya pengobatan dan pendidikan pun termasuk kebutuhan primer yang harus dipenuhi. 149 Dari beberapa definisi tentang kemiskinan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya yang dimaksud dengan miskin adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar atau pokok bagi suatu tingkat kehidupan yang layak menurut ukuran yang umum (biasa) yang berlaku pada masarakat setempat. 2. Membujang Karena Keterbatasan Ekonomi Menurut Pandangan Islam Sepanjang sejarah manusia, perkawinan bukanlah suatu hal yang sulit. Bukan pula perkara yang dibenci oleh manusia normal. Di dalam perkawinan terdapat rasa cinta, rasa aman, saling melindungi antara suami isteri. Orangorang yang selalu membicarakan perkawinan dan mengangggapnya sebagai beban, itu karena mereka menganggap bahwa dengan menikah berarti memberikan sesuatu kepada orang lain, yaitu nafkah. 150 Nash-nash Al-Quran dan sunnah mengisyaratkan bahwa menikah itu wajib bagi yang telah mampu (untuk memberi nafkah berupa makanan, pakaian dan hubungan seksual). Sedangkan, pada awal masa perkembangan Islam, pernikahan hanya dihukumi sebagai perkara mubah saja. Tetapi kemudian pada saat pemerintahan Islam telah kaya raya, setiap muslim berhak
149
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
h. 449 150
Abdul Aziz, Perkawinan dan Masalahnya, h. 23
82
(wajib) untuk melangsungkan pernikahan, meski hal itu dilakukan dengan cara berhutang terlebih dahulu untuk membayar mahar dan kebutuhan lainnya. Karena, pemerintah dalam hal ini diharuskan untuk menanggung pembayaran hutang dari orang tersebut yang diambilkan dari bagian zakat atas orang yang berhutang. 151 Dalam teks-teks hadis yang lalu, menikah dinilai sebagai sunnah Allah yang sudah ditetapkan kepada manusia dan sunnah Rasul yang jika dikerjakan akan mendapat pahala. Tetapi dalam kajian fiqh, menikah tidak serta merta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang memilih tidak menikah, karena tidak merasa berhasrat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada juga orang yang memilih tidak menikah karena kekurangan ekonomi atau merasa dirinya tidak mampu menghidupi isteri dan anak-anaknya kelak. 152 Oleh karena itu akan dijelaskan klasifikasi hukum nikah menurut pendapat Imam Mazhab a. Wajib. Menurut fuqaha, pernikahan menjadi wajib hukumnya apabila seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah. Hal ini berlaku bagi seseorang yang sudah mampu atas biaya pernikahan seperti mahar dan nafkah isteri, serta hak-hak pernikahan menurut syar’i. Jika tidak mampu menjaga diri dari kemaksiatan, maka untuk
151
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, 12-13 152
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 6
83
menahan syahwatnya adalah dengan berpuasa, karena berpuasa dapat menetapkan dan memelihara kesucian dirinya dari kemaksiatan. 153 Berdasarkan hadis Nabi saw. :
ْب َﻣﻦ ِ ﺸﺒَﺎ ﺸ َﺮ اﻟ ﱠ َ ْﻳَﺎ َﻣﻌ: ص َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ل َﻟﻨَﺎ َر َ ﻗَﺎ: ل َ ﻦ َﻣﺴْ ُﻌﻮْ ٍد ﻗَﺎ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْﺪِا َ ْﻋﻦ َ ْج َو َﻣﻦْ َﻟﻢ ِ ْﻦ ِﻟﻠْ َﻔﺮ ُﺼ َ ْﺼ ِﺮ َوَأﺣ َ ﺾ ِﻟﻠْ َﺒ ﻏ ﱡ َ ع اﻟْ َﺒﺎ َء َة َﻓﻠْ َﻴ َﺘ َﺰ ﱠوجْ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َأ َ اﺳْ َﺘﻄَﺎ 154
(ﺼﻮْ ِم َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻟ ُﻪ وِﺟَﺎءٌ)رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى ﻄﻊْ َﻓ َﻌ َﻠﻴْ ِﻪ ﺑِﺎﻟ ﱠ ِ َﻳﺴْ َﺘ
Artinya: Dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah saw. kepada kami: “Hai golongan orang-orang muda! Barang siapa di antara kamu mampu menikah, hendaklah ia menikah, kerena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena merupakan pengebiri bagimu”. (Muttafaq ‘alaih) Sedangkan menurut ulama kontemporer Malikiyah, bagi sebagian manusia, nikah hukumnya wajib, bagi sebaian yang lain hukumnya disunahkan, dan bagi segian yang lain hukumnya boleh. Hal itu ditujukan bagi orang yang takut dirinya menderita kesusahan pendapatnya didasarkan kepada mashlahah mursalah. 155 Menurut pendapat ulama Dzahiriyah, menikah adalah fardhu hukumnya, yaitu ketika manusia mampu atas pernikahan dan biayanya, berdasarkan firman Allah surah An-Nisa/4:3, surah An-Nur/24:32 dan hadits Nabi 153
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6516
154
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syarh Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2004)V. 14, H.293, No. Hadis 4678 155
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, h. 3
84
saw. “Yaa ma’syarasy syabbaab...”. Menurut pendapat ini, shighat amr yang terkandung di dalam dalil-dalil di atas menunjukkan kewajiban, makanya menikah menjadi wajib hukumnya. Menurut Imam Nawawi, jika ada seseorang yang tidak beribadah dan dia membutuhkan nikah, serta ia mempunya kemampuan, yaitu atas biaya pernikahan, pakaian, mahar dan nafkah sehari-hari, maka nikah baginya lebih utama, agar tidak terlaksana kebatilan dan keburukan syahwat 156 b. Sunah. Menurut Jumhur kecuali Syafi’iyyah, menikah disunnahkan apabila seseorang berada dalam keadaan tengah-tengah (sederhana), dengan syarat seseorang tidak takut jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah, dan tidak takut berbuat dzalim jika ia menikah. Dan keadaan demikian adalah yang terdapat pada kebanyakan manusia, berdasarkan dengan hadis Nabi saw. tentang anjuran menikah jika sudah mampu dan berpuasa jika belum mampu, serta hadis yang menceritakan tentang tiga orang sahabat Nabi yang tidak ingin menikah karena ingin selalu beribadah sepenjang hidupnya, namun dilarang oleh Nabi. Selain itu menurut Mukhtar, pernikahan adalah hal yang dilakukan Nabi dan menjadi kebiasaannya, begitu juga para sahabat dan pengikut beliau yang mendawamkan pernikahan.
156
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6520
85
c. Mubah (boleh). Menurut Ulama Syafi’iyyah, pada saat seseorang tidak berhasrat menikah dan tidak takut jatuh ke dalam perzinaan, maka menikah menjadi mubah (boleh) hukumnya, yaitu boleh meninggalkannya, namun juga boleh mengerjakannya. d. Makruh. Pernikahan dimakruhkan apabila seseorang takut terjatuh ke dalam penyimpangan dan kemudharatan, tapi ketakutannya tidak sampai kepada tahap yakin jika menikah, karena kelemahannya memberi nafkah, kejahatan pergaulan, atau tidak berhasrat kepada wanita. Menurut kalangan Hanafiyah, kemakruhan bisa menjadi keharaman dengan ukuran kuatnya ketakutan dan kelemahannya. Sedangkan menurut kalangan Syafi’iyyah, menikah dimakruhkan bagi lansia, orang yang sakit-sakitan dan impoten 157 e. Haram. Diharamkan menikah bagi seseorang yang yakin akan berlaku dzalim dan memberikan kemudharatan kepada perempuan, lemah atas biaya pernikahan, dan tidak dapat berlaku adil terhadap isteri apabila mempunyai lebih dari seorang istri. Namun, jika seseorang yakin akan jatuh ke dalam perzinaan jika tidak menikah, tetapi juga yakin akan mendzalimi isterinya, maka pernikahan hukumnya haram. 158
157
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6517
158
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6516
86
Namun demikian, bukan berarti bagi orang yang kekurangan harta dan merasa bila menikah kelak dia tidak akan mampu menafkahi anak isterinya, baginya tidak ada upaya untuk merealisasikan pernikahan, sehingga membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang syariat. Apalagi bagi orang yang nafsu biologisnya sudah sangat mendesak, ditakutkan dia menyalurkannya dengan cara yang tidak halal. Banyak diceritakan dalam hadits Nabi mengenai kisah-kisah para sahabat yang tidak menikah karena mereka fakir atau tidak mampu dalam bidang ekonomi, namun kemudian Nabi memerintahkan kepada para sahabat yang lain untuk menolong sahabat yang kurang mampu tersebut dalam hal mahar dan walimahnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim diceritakan bahwa (“Rasulullah bertanya kepada seorang sahabat, “Mengapa engkau tidak beristeri?” Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku ini orang fakir, tidak mempunyai apa-apa”. Kemudian ia diam. Rasulullah mengulangi pertanyaan yang kedua kali. Ia menjawab dengan jawaban yang serupa. Lalu ia diam sambil berpikir, dalam hati berkata: “Demi Allah, Rasulullah saw. tentu lebih mgetahui perkara yang paling baik untukku, agamaku, akhiratku, serta perkara-perkara yang dapat mendekatkanku kepada Allah, maka kalau saja beliau bertanya kepadaku yang ketiga kali, tentu aku kerjakan”. Maka Rasulullah pun bertanya kepada sahabat tadi untuk ketiga kalinya: “Kenapa kamu tidak menikah?” Sahabat tadi menjawab: “Wahai Rasulullah, kawinkanlah aku!” Beliau berkata: “Pergilah ke tempat bani fulan, katakan
87
kepada mereka, bahwa Rasulullah memerintahkan kalian supaya menikahkan aku dengan gadis di antaramu”. Sahabat tadi berkata: “Wahai rasulullah, aku tidak mempunya apa-apa”. Beliau berkata kepada para sahabat: “Kumpulkan beberapa gram emas untuk saudara ini”. Maka mereka pun segera mengumpulkan beberapa gram emas lalu diberikan kepadanya. Kemudian mereka berangkat bersamanya menuju ke tempat yang dimaksud, lalu mereka mengawinkannya dengan seorang gadis di antara mereka. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: “Buatkanlah walimah (pesta penikahan) untuknya”. Maka para sahabat berkumpul dan meramaikan pesta perkawinan sahabat tadi dengan memotong seekor kambing”). 159 Dalam teks hadis yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah menjelaskan bahwa bagi orang yang belum mampu atas biaya pernikahan adalah dengan berpuasa. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah dalam bukunya Taman Orang-orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, berpendapat tentang hadits ini mengenai lafadz Al baa-at diartikan dengan jima atau hubungan seksual dan juga menafsirkannya dengan makna biaya pernikahan. 160 Menurutnya,
159
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 7-8
160
M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 29
88
hadits ini menunjukkan obat yang manjur bagi syahwat ketika seseorang belum mampu untuk melaksanakan pernikahan. Karena sesungguhnya puasa itu dapat menekan nafsu syahwat dan memperkecil tumbuhnya rangsangan. Syahwat dapat menguat di kala kita banyak makan atau dengan cara lain. Keduanya itu yang memberi peluang untuk tumbuhnya syahwat yang kuat, sebagaimana dikatakan: “Barang siapa yang membiasakan dirinya berpuasa, maka syawhatnya akan terkontrol”. 161 Dalam buku karangan Saleh Al-Fauzan yang berjudul Fiqh Sehari-hari, dijelaskan bahwa, puasa adalah suatu obat spesial untuk mengurangi syahwat, karena orang yang berpuasa akan sedikit mengonsumsi makanan dan minuman yang dapat mengurangi nafsu syahwat. Bahkan, akan menambahkan perasaan khusus ketika seseorang sedang berpuasa, yaitu rasa takut kepada Allah dan menambah kadar ketakwaan kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT.: 162
☺⌧ (١٨٣:٢/) اﻟﺒﻘﺮﻩ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah/2: 183)
161
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 17
162
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, h.642-643
89
Hal ini (berpuasa) merupakan salah satu cara pandang Islam di dalam memuliakan insting tersebut. Akan tetapi, cara ini tidak berlaku untuk selamanya, seperti yang banyak dilakukan para pemuda non muslim. Tindakan ini sangat berarti bagi dunia pendidikan, penelitian dan reproduksi. 163 Rasulullah memerintahkan kita untuk mengarahkan syahwat dan senantiasa menjaga diri dari bahayanya dengan dua hal, yaitu menikah bagi yang mampu melakukannya, dan berpuasa bagi yang belum mampu untuk menikah. Hal ini menunjukkan bahwa manusia dilarang membiarkan dirinya jatuh ke dalam hal yang membahayakan bagi dirinya. 164 Sesuai dengan firman Allah: ☺ (٣٢:٢۴/) اﻟﻨﻮر Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”. (An-Nur/24: 32)
(٣٣:٢۴/) اﻟﻨﻮر Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya”. (An-Nur/24: 33)
163
164
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 11
Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Kado perkawinan, h. 8
90
Kepada mereka yang ingin berumah tangga, demi mentaati ketentuan Allah serta menjaga kehormatan agamanya, Allah SWT. melalui Rasulullah saw. memberi dorongan sekaligus janji, supaya mereka tidak gelisah sekaligus dibebani dengan pikiran–pikiran yang berat misalnya: Apakah yang akan saya makan kalau saya beristeri nanti? Apakah saya akan hidup tenang dalam kehidupan rumah tangga yang saya bina sedangkan saya belum mempunya harta yang cukup? 165 Melalui firman-Nya, Allah menjajikan:
(٣٢ :۴٢/) اﻟﻨﻮر Artinya: “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An-Nur/24: 32) Selain itu, perlu kita ingat bahwa kehidupan keluarga Nabi Muhammad saw., sepanjang hari, pagi dan sore, sering tidak memiliki apapun. Dikisahkan bahwa beliau juga pernah menikahkan seorang yang tidak sanggup memberikan sesuatu kecuali hanya sekedar cincin yang terbuat dari besi. 166 Jika kita renungkan, mengenai jodoh, rezeki dan kematian adalah urusan Allah SWT, maka kita tidak akan mempunyai kekhawatiran di atas. Dengan demikian, ini mengandung pengertian bahwa manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang Allah beri dengan beranggapan demikian, ini merupakan perbuatan
165
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 6
166
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari , h. 641
91
yang bathil karena tidak percaya terhadap pertolongan yang Allah janjikan kepada orang-orang yang belum mampu menikah dan sunah Rasul.
E. ANALISIS
HUKUM
MEMBUJANG
KARENA
KETERBATASAN
EKONOMI Setelah diketahui latar belakang seseorang memutuskan untuk hidup membujang yang berisi pelbagai macam alasan terutama atas dasar keterbatasan ekonomi, disertai dengan dalil-dalil yang dipergunakan untuk menguatkan pendapat mereka. Dan dalil-dalil yang dipergunakan bagi orang yang menganjurkan perkawinan bahkan yang melarang untuk hidup membujang, juga kekuatan dalil-dalil yang mereka kemukakan, maka kita akan menganalisisnya supaya dapat ditentukan hukum dari hidup membujang. Orang yang enggan kawin dan memutuskan untuk hidup membujang berpegang pada hadits-hadits maudhu’ (palsu) yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah saw. Ahli-ahli sufi berpegang kuat pada hadits di atas, karena mereka suka mengerjakan bid’ah, mengikuti hawa nafsunya. Mereka tidak dapat membedakan hadits shahih dengan hadits dha’if dan maudhu’, karena mereka bukan ahli hadits. Di kalangan orang zuhud atau para ahli ibadah, ada yang beranggapan membuat hadits-hadits yang bersifat mendorong agar giat beribadah (targhib) atau yang bersifat mengancam agar tidak melakukan tindakan yang tidak
benar
(tarhib)
dalam
rangka
bertaqarrub
kepada
Allah
adalah
92
diperbolehkan, dan mereka mengatakan bahwa berdustanya mereka adalah untuk kebaikan bukan untuk keburukan. 167 Sedangkan dalil yang dipergunakan dalam hal menganjurkan perkawinan dan melarang hidup membujang adalah dalil-dalil yang termaktub dalam Al-Quran, dan hadits yang digunakan untuk menguatkan hal ini adalah hadits yang shahih. Selain itu, hal ini juga dikuatkan dengan riwayat-riwayat sahabat dan perkataanperkataan mereka yang menganjurkan untuk menikah dan menjauhi hidup membujang. Dengan begitu, banyak manfaat yang dapat kita ambil dalam perkawinan, baik dalam hal keduniawian maupun spiritual, karena dengan perkawinan jiwa sesorang akan tenang, selain itu juga dapat meneruskan keturunan, 168 yang mana untuk kehidupan akhirat, anak yang shalih akan terus memberikan manfaat besar kepada kedua orang tuanya, yaitu doa yang selau sampai walaupun orang tuanya sudah di liang kubur. 169 Dari klasifikasi hukum perkawinan di atas jika dikaitkan dengan kemampuan ekonomi, maka terdapat perbedaan pendapat antara Imam mazhab. Menurut fuqaha, apabila seseorang belum mampu atas biaya pernikahan, maka untuk menahan syahwatnya adalah dengan berpuasa, karena berpuasa dapat menetapkan dan memelihara kesucian dirinya dari kemaksiatan, bukan dengan menikah.
312
167
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), cet. ke-1, h.
168
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 9
169
Imam Al-Ghazali, Etika Perkawinan, h. 6
93
Dengan demikian, membujang baginya lebih baik daripada menikah, karena pernikahan bukan saja menyangkut diri sendiri tetapi juga orang lain (pasangan), ditakutkan seseorang akan berlaku dzalim kepada pasangannya karena ia tidak mampu atas biaya berumah tangga. 170 Wahbah Zuhaily dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu membantah pendapat kalangan Syafi’iyah mengenai seseorang yang sudah mampu menikah baik lahir maupun bathin, namun tidak berhasrat untuk menikah, serta orangorang yang memilih selama hidupnya tidak akan menikah karena ingin memfokuskan diri beribadah kepada Allah dan mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan adalah tindakan yang terpuji sebagaimana Allah memuji Yahy as. Karena menurutnya ini adalah syariat yang ditetapkan bagi kaum terdahulu sebelum kaum Nabi Muhammad saw., dan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah berbeda dengan syariat Nabi-nabi sebelumnya. 171 Selain itu, jika pernikahan dikaitkan dengan ibadah, maka akan mengandung kesempurnaan yaitu kemaslahatan yang banyak, di antaranya adalah menjaga diri dan memperbanak keturunan. 172 Diriwayatkan bahwa ada seorang wanita datang menghadap Imam Ja’far Shadiq dan berkata, “Aku seorang wanita yang meninggalkan urusan dunia”.
170
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6516
171
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6518
172
Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, h. 6520
94
Imam Ja’far Shadiq bertanya, “Apa maksudmu?” Wanita itu menjawab, “Aku sama sekali tidak akan menikah”. Imam Ja’far Shadiq bertanya kembali, “Kenapa engkau enggan menikah?” Wanita itu menjawab, “Dengan tidak menikah aku berharap akan memiliki derajat yang tinggi”. Imam Ja’far Shadiq berkata, “Jangan engkau lakukan itu! Jika meninggalkan kawin memiliki nilai maknawiyah,
maka
Sayidah
Fatimah
A-z-Zahrah
lebih
layak
untuk
melakukannya, karena tidak ada seorang wanita pun yang mampu meraih ketinggian derajat maknawiyah melebihi sayyidah Fatimah Az-Zahrah”. 173 Dengan demikian, nampaknya Imam Ahmad mencoba memberikan jalan keluar dalam hal ini. Menurutnya, dalam kondisi seperti ini tidak dibedakan hukummenikah bagi orang yang sudah mampu memberikan nafkah dan yang belum mampu untuk menafkahi. Syekh Taqiyyuddin berkata, “Apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan kebanyakan para ulama adalah jelas dan benar. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak disyaratkan bagi orang tersebut untuk mampu memberi nafkah. 174 Rasulullah smenikahkan seorang laki-laki dengan syarat yang sangat mudah. Dalam banyak riwayat diceritakan bahwa Rasulullah banyak menikahkan lakilaki yang miskin, yaitu tidak mapan dalam hal materi, bahkan dalam salah satu haditsnya beliau hanya memerintahkan hafalan Al-Quran sebagai mahar bagi
173
A. Hasan, Terjemah Bulughul Maram, h. 96
174
Saleh Al-Fauzan, Fiqh Sehari-Hari, h. 640
95
isterinya. 175 Dibolehkan pula menjadikan jasa (manfaat) sebagai mahar, walaupun jasa itu berupa mengajarkan Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa menikah adalah perkara yang mudah dan dilarang untuk mempersulitnya.176 Gambaran yang memberatkan pikiran seperti takut tidak bisa memberi nafkah isteri dan anak sudah biasa menghalangi seseorang untuk berani melangkah berumah tangga. Di sisi lain, sering kita perhatikan dalam kehidupan sehari-hari, seseorang sebelum menikah telah mengumpulkan kekayaan berjuta-juta rupiah sebagai syarat untuk memulai kehidupan berumah tangga, akan tetapi sebelum berumah tangga ia telah melakukan hubungan-hubungan yang melanggar syariat Islam, seperti pergaulan bebas dan sebagainya.177 Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rizki telah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rizki yang dikaruniakan Allah, misalnya dengan berkata : “Hidup sendiri saja saya sudah susah, apalagi kalau menikah, yang artinya saya harus memberi nafkah anak dan isteri”. Perkataan ini adalah perkataan yang bathil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah saw. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya.
175
Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, h. 97-98
176
Mu’ammal Hamidi, Imran A.M. Dan Umar Fanani, Terjemahan Nailul Authar, h. 2237
177
Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga, h. 6
96
Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang ingin menikah, dalam firman-Nya surah An-Nur/24 ayat 32 178 Islam memang mempermudah pernikahan, namun bukan berarti bahwa pernikahan itu tidak memerlukan syarat-syarat yang jelas dan pasti. Kaum pria amat lemah dalam menghadapi gejolak seksual. Dan tatkala mereka tidak lagi mampu menguasai dirinya, maka mereka akan menerima pelbagai bentuk perjanjian asalkan mereka dapat melampiaskan nafsu mereka. Kemudian setelah keinginan mereka terpenuhi, mereka pun akan meremehkan janji-janji yang telah mereka berikan. 179 Di sini muncul suatu kekhawatiran bahwa jika pernikahan itu dapat dilakukan dengan semudah dan sesederhana itu, maka kaum pria akan dengan mudah menceraikan isteri mereka, dan yang demikian itu justru akan membuat rapuh bangunan rumah tangga. Maka cara untuk memperkuat tali pernikahan adalah dengan memperhatikan agama, ketakwaan dan akhlak calon suami, dan bukan dengan memperbanyak jumlah mahar. 180 Oleh karena itu, hendaklah dipersiapkan terlebih dahulu sebelum memasuki jenjang pernikahan seperti:
178
Hasbi Ash-Shidieqqy, Tafsir Al-Bayan, h. 796
179
Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, h. 97
180
Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual Dalam Islam, h. 98
97
1. Bekal ilmu, yaitu mengajarkan ilmu agama kepada pasangan, mengingatkan dan menasehati pasangan, mendampingi pasangan, melayani pasangan, dan hal-hal lainnya yang bersifat kewajiban dan hak suami isteri. 2. Kemampuan memenuhi tanggung jawab, seperti menyediakan keperluan sandang, pangan dan papan kepada pasangan sesuai kadar kesanggupannya. Bersamaan dengan itu, isteri berkewajiban pula untuk menerima penunaian tanggung jawab suami dengan hati terbuka, tidak menuntut untuk diberikan sesuatu di luar batas kemampuan pasangan. 3. Kesiapan psikis, yaitu kesiapan untuk menerima kekurangan-kekurangan pendampinginya dan berlaku bijak terhadap kekurangan-kekurangan sendiri. Kesiapan psikis juga meliputi kesediaan untuk memasuki rumah tangga secara bersahaja yang pastinya berbeda dengan apa yang ditemukan dalam keluarga orang tuanya. 4. Kesiapan ruhiyah, seseorang yang memiliki kebersihan ruhiyah dengan ketakwaan kepada Allah, sikapnya akan tetap terkendali oleh ketakwaannya, ia akan mudah berterima kasih atas setiap kebaikan yang diterimanya, ia juga akan mudah menerima targhib wa tarhib, lebih mendahulukan naqli daripada aqli, dan mendahulukan dalil yang jelas daripada dzan (persangkaan) sekalipun terhadap masalah yang tampaknya musykil. 5. Kesiapan menerima anak, apabila semua kesiapan di atas telah dimiliki oleh seorang yang ingin menikah, maka kesiapan memiliki anak secara otomatis
98
akan timbul, karena perkara memiliki anak bukanlah suatu tanggungan yang mudah. 181 Oleh karena itu, selain syarat-syarat yang ditentukan syar’i untuk menikah, hendaklah diperhatikan juga lima faktor di atas, agar apa yang dimaksud dengan keseimbangan hidup berkeluarga bisa tercapai. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang secara tegas menganjurkan keseimbangan antara materiil dan spiritual. Ayat-ayat tersebut jelas sekali menyentuh hati sebelum diterima akal. Al-Quran memperingatkan, hendaklah seorang muslim tetap memenuhi hak Allah di dalam beribadah, di tengah-tengah kesibukannya bekerja dan perniagaan. 182 Dalam QS. An-Nur ayat 37 Allah berfirman:
⌧ (٧٣ :۴٢/) اﻟﻨﻮر Artinya: “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (QS. An-Nur/24: 37) Al-Quran juga mengingatkan hendaklah seorang muslim tetap berusaha mencari rezki dan memenuhi hak-hak dirinya dan keluarganya, di samping kesibukannya bermunajat kepada Allah dan beribadah di masjid. Hal ini disinyalir dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10: 181
M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, h. 31-39
182
Ahmad Sanusi, Agama di Tengan Kemiskinan, h. 67
99
⌧ (١٠ : ۶٢ / )اﻟﺠﻤﻌﺔ Artinya: “Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Jumu’ah/62: 10) Allah SWT. menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, mengaturnya dengan pasti, dan mengarahkannya kepada manusia sebagai makhluk yang tertinggi dan terbaik dari semua ciptaan-Nya, sesuai dengan status manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya, serta mencari penghidupan sesuai dengan keahlian dan profesinya yang beraneka ragam. 183 Dengan demikian, penulis lebih memilih untuk mengambil pendapat Imam Ahmad yang membolehkan pernikahan bagi orang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Karena seseuai dengan sifanya, yaitu hukum mengikuti kondisi waktu dan tempat, maka dalam hal ini ditakutkan bagi orang-orang yang sudah tidak mampu menahan syahwatnya, pernikahan lebih baik baginya ketimbang membujang, ditakutkan ia menyalurkan syahwatnya dengan jalan yang tidak halal, yang disebabkan oleh kedangkalan iman seseorang dan keterbatasan pengetahuannya. Selain itu, bagi orang-orang yang hidup sangat amat kekurangan
183
Ahmad Sanusi, Agama di Tengan Kemiskinan, h. 66
100
materi, jika mereka lebih giat lagi untuk meningkatka taraf hidupnya, maka pasti ada jalan untuk berumah tangga. Harta benda meruppakan alat (perantara) untuk menuju kepada kebaikan dan guna mempermudah kemanfaatan seluruh manusia, maka manusia diwajibkan berusaha dengan giat dalam mencari dan menghasilkan harta. Seperti yang dikatakan oleh Muhammad al-Buraey, bahwa beberapa ayat al-Qur’an mendorong kerja keras dan mengatasi fatalisme serta kemandegan. 184 Ulama mengatakan: “Khairul Umur Al-wasatu”, yang artinya sebaik-baiknya perkara adalah yang di tengah-tengah. Ini menunjukkan bahwa kita harus hidup seimbang antara dunia dan akhirat. Dengan keterangan dan hujjah-hujjah di atas menunjukkan betapa pentingnya perkawinan dalam Islam. Dan sekiranya membujang itu lebih mulia, tentu Nabi Muhammad saw. tidak akan menikah.
184
Ahmad Sanusi, Agama di Tengan Kemiskinan, h. 67
BAB IV PENUTUP
A. KESIMPULAN Setelah dipaparkan seluruh hal yang berkaitan dengan hidup membujang karena faktor ekonomi menurut perspektif hukum Islam, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam hadis Nabi, puasa dinilai sebagai jalan keluar bagi orang yang belum mampu atas biaya pernikahan karena puasa merupakan penawar baginya. Tetapi apabila terdapat kondisi di mana seseorang sudah tidak mampu menahan godaan syahwatnya, sementara dia belum mampu atas biaya pernikahan, maka menurut Imam Ahmad, pernikahan menjadi wajib hukumnya. Dalam kondisi demikian tidak dibedakan hukumnya antara orang yang sudah mampu memberi nafkah dan yang belum mampu menafkahi, karena ditakutkan ia akan menyalurkan syahwatnya dengan jalan yang tidak halal 2. Di antara kendala-kendala yang dapat menyebabkan seseorang memilih untuk hidup membujang adalah sebagai berikut: a. Mahalnya mas kawin dan biaya pernikahan b. Kurangnya kesiapan materi c. Tingginya kriteria yang ditetapkan kaum wanita terhadap kaum pria d. Menghalangi pendidikan atau karir 101
102
e. Hasrat pemenuhan seks di luar syariat Islam 3. Dari kendala-kendala yang menyebabkan seseorang memilih hidup membujang melahirkan berbagai dampak, dimualai dari dampak kesehatan, dampak psikis, dampak sosial, sampai dampak keagamaan
B. SARAN-SARAN Dari uraian di atas, maka penulis sampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pemerintah dalam hal ini sangat berperan membantu mengatasi berbagai faktor yang mengakibatkan seseorang hidup membujang karena keterbatasan ekonomi, karena dalam Undang Undang Dasar 1945 BAB XIV tentang Perekonomian Nasional Dan Kesejahteraan Sosial, pasal 34 ayat 1 menyebutkan bahwa, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. 2. Peran BP4 juga sangat dibutuhkan dalam hal mensosialisasikan kendalakendala perkawinan yang seharusnya dapat diatasi dan dampak-dampak negatif hidup membujang dalam bentuk seminar-seminar di kampuskampus, dalam khotbah-khotbah jumat dan dalam pengajian-pengajian. Atau bila perlu pelajaran-pelajaran ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah-sekolah Menengah Atas dan sederajat.
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 2006 Adhim, M. Fauzil, Saatnya Umtuk Menikah, (Jakarta: Gema Insani, 2000), Cet. Pertama Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqhu Al-Usrati Al-Muslimati, Alih Bahasa, M. Abdul Ghoffar, EM., Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cet. Pertama Baihaqi, Al-, Abi Bikr Ahmad Bin Husein, Sunan Ash-Shagir, (Beirut Lumnan: Daar Fikr), Jilid Ke-2 Bazemool, Salim, Terapi Islam Terhadap Rintangan Menjelang Perkawinan, (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1993), cet. ke-2 Bukhari, Imam, Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2004), V. 493 Bukhari, M., Hubungan Seks Menurut Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), Cet. Pertama Bashir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta : UII-Press, 2000) Cet. Ke – 9 Djalil, Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, (Jakarta: Qalbun Salim, 2007), Cet. Ke-1 Daud, Abu, Sunan Abi Daud, (Kairo: Daarul Hadits, 1999), No. Hadis 1754, V. 431 Fauzan, Al-, Saleh, Al-Mukhalasul Fiqhi, (Saudi Arabia: Daar Ibnu Jauzi), Alih Bahasa, Abdul Hayyie Al-Kattani, Ahmad Ikhwani, Budiman Mushtofa, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. Pertama Ghazali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1 Ghazali, Al-, Imam, Adabun Nikah, Alih Bahasa, Abu Asma Anshari, Etika Perkawinan Membentuk Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993) Hajar Al-Asqalani, Ibnu, Syarh Shahih Bukhari, (Kairo: Daarul Hadits, 2004)V. 14
103
104
Hambal, Ahmad bin, Musnad Ahmad, (Kairo: Daar Hadis, T. Th), V. 345 Hasan, Sidik dan Abu Nasma, Lets Talk About Love, (Semarang: Tiga Serangkai, 200), Cet. Pertama Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. Pertama Istanbuli, Al-, Mahmud Mahdi, Kado perkawinan, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), cet. Pertama Musthafa‘Umarah, Muhammad, Jawaahirul Bukhari, (Beirut: Daarul ‘Uluum, t.th) V. 7, h. Musnad, Al-, Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman, dan Kholid bin Ali bin Muhammab Al-Anbari, Al-Ziwaj Wa Al-Mubuur, Alih Bahasa, Musifin As’ad dan H. Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Kautsar), Cet. Ke-2 Muslim, Imam, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Hadis, T. Th), V. 175 Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9 Nawawi, Imam, Nuzhatul Muttaqin, Alih Bahasa, Muhil Dhofir dan Farid Dhofir, Syarah dan Terjemah Riyadush Shalihin, (Jakarta: Al-Istiqomah Cahaya Umat, 2006), Cet. Kedua Qurthubi, Al-, Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshari, Jaami’u Lil Ahkamil Qur’an, (Daarul Qurb, 2002), Jilid Ke-6 Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Kairo: Daarul Fikr, t.th) V.II Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Alih Bahasa, Moh. Thalib , (Bandung : al-Ma’arif 1997), Cet. Ke -14, Jilid 6 Salim, Agus, Risalatun Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 1989) Cet. Ke – 3 Samaluthi, As-, Nabil Muhammad Taufik, Addienu Wal Binaaul Aailiy, Alih Bahasa Umar Sitanggal, Anshari, Pengaruh Agama Terhadap Struktur Keluarga, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), Cet. Pertama
105
Sanusi, Ahmad, Agama di Tengah Perkawinan Refleksi atas Pandangan Islam dan Kristen dalam Perspektif Kerja Sama Antara Umat Beragama, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet, Pertama Selamat, Kasmuri, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Pekawinan, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), Cet. Pertama, h. 3 Shabuni, Ash-, M. Ali, Az-Zawajul Islami Mubakkiran, Alih Bahasa, Masharu Ikhwaki Dan Husein Abdullah, Pernikahan Dini Yang Islami, (Jakarta: Pustaka Amani, 1996), Cet. Ke-1 Shadaq, Ash-, Shaleh bin Ghanim, Al-Ahkam Fi Al-Fiqhiyyah Lil Ash-Shadaq Wa Walimatil ‘Ursi, Alih Bahasa, Mustolah Maufur, Mahar Dan Walimah, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1996), Cet. Ke-1 Shiddieqiy, Ash-, Teungku Muhamad Hasbi, Al-Bayan Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), Cet. Pertama, Edisi Kedua Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan,1997), Cet. Ke-7 Sudirman Abbas, Ahmad, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Anglo Media Jaya, 2004), Cet. Pertama Sukandi, Muhammad Syarif, Terjemahan Bulughul Maram, (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), Cet, Ke-6 Sukardi, Fathur, Motifasi Berkeluarga, (Jakarta : Pustaka Kautsar), Cet. Ke-4 Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Prenada Media), Cet. Ke-2 Tirmidzi, Imam, Sunan Tirmidzi, (Kairo: Daarul Hadits, 2002), V. 261 T.Yanggo, Chuzaimah dan Anshari, Hafiz, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. Ke-1 ’Ulwan, M. Nasikh, Aqaabatuz Zawaj Wa Turuquhu Wa Mu’ajalatiha ‘Alaa Dlaulil Islam, Alih Bahasa, Moh. Nurhakim, Perkawinan Masalah Orang Muda, Orang Tua, dan Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke-5 Undang Undang Dasar 1945 dan Amandemennya
106
Yuslem, Nawir, Ulumul Hadits, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001), Cet. Pertama Zuhaily, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adilatuhu, (Damaskus: Dar Al-Fikri AlMa’ashira, 2004M/1425H), Ahlwal Al-Syakhsiyyah Ahkam Ushrah, Juz 9 Ahmad Saptono, “Prilaku Seks Bebas di Kalangan Remaja dan Orang Dewasa Yang Sudah Berkeluarga”, artikel ini diakses pada 12-04-2010 dari http://www.scribd.com/doc/13753330/Free-Sex Adsfundi, “Zina: Menyebabkan Muda-Mudi Enggan Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 12-04-2010 dari http://ummatmuhammad.blogspot.com/2009/11/zina-menyebabkan-muda-mudi-enggan.html Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak, “Membujang Ala Sufi (Larangan Membujang)”, artikel ini diakses pada tanggal 15-03-2010 dari http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/aqidah-manhaj/membujang-ala-sufi/ Cemplia, “Anjuran Menikah”, Artikel ini diakses pada tanggal 22-03-2010 dari http://cemplia.wordpress.com/2008/06/12/anjuran-menikah/ Dewi sartika, “Free Sex no way! Sex education, why not? Part Dua”, artikel ini diakses pada tanggal 15-04-2010 dari http://dewi-fortuna.co.cc/page/2 M. A. Uswah, “Karena Ilmu Mereka Rela Membujang (Semangat Membara Para Ulama dalam Menggeluti Ilmu)”, artikel diakses pada tanggal 20-03-2010 dari http://taman-buku.blogspot.com/2009/04/karena-ilmu-mereka-relamembujang.html. Yulianto Triatmojo, “Anjuran Untuk Menikah”, artikel ini diakses pada tanggal 2203-2010 dari http://triatmojo.wordpress.com/2007/01/15/anjuran-islam-untukmenikah/ “Pusat informasi kesehatan”, diakses pada tgl 04-05-2010 dari http://infosehat7.blogspot.com/2009/07/macam-macam-penyakit-penyakitkelamin.html Raisa
Hakim, “4 Kriteria Pasangan Hidup Sempurna”, artikel ini diakses pada tanggal 10-05-2010 dari http://raisahakim.com/4-kriteria-pasangan-hidupsempurna/
Wikipedia,
“Bujang”,
artikel
ini
http://id.wikipedia.org/wiki/bujang
diakses
pada
tanggal
15-03-2010
dari