Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
FEBRUARI 2014
Tinjauan Filosofis Kearifan Lokal Sastra Lisan Ternate
Syahyunan Pora1
[email protected]
Abstract The oral literature of Ternate as part of artifact a philosophy of culture and has the value local wisdom through traditions, customs prevailing in the local community. Appreciation of human values and nature (environment) including an appreciation of the Creator through local knowledge of local communities called philosophy "Jou Se Ngofangare". local wisdom contained in the oral literature of Ternate were part of the philosophy of culture that is more humanize. The harmony of Nature and the Creator is a unity that can not be separated. As reflected in the cultural wisdom of the nation's outlook on Indonesian way of life with the concept of Pancasila "Bhineka Tunggal Ika". Keywords: Ternate Oral Literature, Local Wisdom, Philosophy of Culture
1
Staf Pengajar pada Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate
Page | 112
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Pendahuluan Masyarakat Indonesia telah lama dikenal sebagai masyarakat yang heterogen. Selain memiliki lebih dari 500 kelompok etnik yang masingmasing dapat dibedakan secara geografis, pengalaman sejarah, juga berbeda dalam bahasa maupun budaya. Hidup dalam masyarakat heterogen kerap kali dihadapkan oleh berbagai permasalahan budaya, baik pada tingkat lokal, tingkat nasional hingga ke skala yang bersifat multikultural. Perubahan identitas budaya yang terjadi dalam masyarakat heterogen sering menjadi ancaman terhadap keberadaan tradisi lokal, warisan adat leluhur dan nilainilai lokalitas etnik yang awal mula tertanam kuat dalam kebudayaan masyarakat Indonesia sebagai falsafah bangsa kini mulai tergerus oleh arus globalisasi. Pengaruh globalisasi tidak hanya terkait dengan teknologi dan ekonomi tetapi juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan. Globalisasi, di satu sisi membawa kemudahan dalam berbagai aspek gerak kehidupan, namun di sisi lain memberikan pengaruh negatif yang signifikan pada aspekaspek kebudayaan (Madjid, 2009 : 1). Globalisasi adalah suatu keadaan, tetapi juga suatu tindakan di mana aktivitas kehidupan tidak lokal dalam suatu negara tetapi mendunia. (Sartini, 2004 : 119). Globalisasi adalah satu kenyataan yang harus diterima oleh seluruh umat manusia. Globalisasi telah membawa perubahan besar dalam hidup seluruh umat manusia. Perkembangan teknologi di era global, khususnya teknologi informasi membuat informasi lebih mudah diakses oleh siapa saja, dan di belahan dunia manapun. Globalisasi sudah menjadi sebuah proses yang besar pada saat ini, sehingga yang terjadi tidak hanya sekadar proses Sharing of
FEBRUARI 2014
Information, tetapi jauh lebih kompleks dari itu. Apapun yang dimiliki oleh suatu masyarakat, bisa dengan mudah menginfiltrasi masyarakat yang lain, termasuk juga nilai-nilai yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai lokal yang sudah tertanam sejak lama (Wikandaru, 2011 : 2). Perbedaan suku bangsa, agama, adat istiadat maupun ras adalah bagian dari ciri masyarakat yang majemuk (Nasikun, 1995 : 28). Ciri yang menandai sifat kemajemukan ini adalah adanya keragaman budaya, perbedaan bahasa, suku bangsa (etnis) dan keyakinan agama serta kebiasaankebiasaan kultural lainnya. Heterogenitas budaya dan kemajemukan bangsa Indonesia, cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi peri kehidupan yang sekaligus mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas. Di sisi lain kemajemukan masyarakat dan budaya ini seringkali dijadikan alat untuk memicu terjadinya konflik suku bangsa, agama, ras dan antar golongan (SARA). Mengutip penjelasan Muhammad Ali bahwa “Pada kenyataannya, tidak ada keberagaman (baca:kemajemukan) yang benar-benar self-sufficient (cukup dengan sendirinya) dan benar-benar murni. Sepanjang sejarah, keberagaman/ kemajemukan ini senantiasa mengalami dialektika antara diri manusia dan lingkungannya (Ali, 2003 : 77). Persoalan perbedaan etnis, suku dan agama di Indonesia masih terus menuai konflik. Egoisme dan kepentingan antar kelompok masih kental mendominasi berbagai sendi kehidupan sosial masyarakat di Indonesia. Kemajemukan atau keberagaman itu sering tidak disikapi sebagai suatu yang sunnatullah yang patut disyukuri dan dihargai keberadaannya. (Azra, 2007 : 5). Nalar Page | 113
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
kolektif masayarakat akan kemajemukan masih terkooptasi oleh logo sentrisme yang sarat prasangka, bias, kebencian dan reduksi terhadap kelompok yang ada diluar dirinya (Maslikhah, 2007 :3). Dalam masyarakat majemuk sangat sulit mengingkari munculnya kemajemukan budaya, oleh karena masing-masing sub kelompok memiliki identitas budaya yang sulit untuk ditunggalkan, meskipun dalam konteks kebudayaan nasional sebagai ciri identitas kebangsaan. Mencermati realitas kemajemukan masyarakat dengan budaya yang heterogen dan yang sudah tidak sejalan dengan pemahaman dan kesadaran akan hakikat kebersamaan, maka perlu digali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada disetiap daerah untuk dijadikan sebagai perekat kebersatuan integritas hidup berbangsa dan bernegara. Nilai kearifan lokal ini memiliki peluang untuk menjadi solusi bagi persoalan yang berdimensi pluralistik maupun multikulturalis yang kerap memicu intoleransi dan disharmoni dalam kemajemukan masyarakat Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Joko siswanto, kajian mengenai Local Wisdom adalah semacam Counter Play yang menandai titik balik akibat dari kekecewaan manusia terhadap globalisasi yang hanya ditunggangi oleh kapitalisme dan kolonialisme gaya baru (Siswanto, 2009 : 46). Tesa Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan bagian inheren dari suatu kebudayaan lokal, oleh karena itu memahami kearifan lokal membutukan pemahaman terhadap kebudayaan masyarakat suatu tempat. Pada masa kini kearifan lokal menjadi kecenderungan umum masyarakat Indonesia yang telah menerima otonomi daerah sebagai
FEBRUARI 2014
pilihan politik. Membangkitkan nilainilai daerah untuk kepentingan pembangunan menjadi sangat bermakna bagi perjuangan daerah untuk mencapai prestasi terbaik. Pemaknaan tentang kearifan lokal (local wisdom) sering digunakan secara bergantian atau saling isi mengisi dengan konsep-konsep lain yang terkait misalnya konsep pengetahuan lokal (local knowledge) atau kecerdasan lokal (local genious) atau ‘indigenus knowledge’. Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Kearifan lokal sebagai manifestasi kebudayaan yang terjadi dengan penguatan-penguatan dalam kehidupannya menunjukkan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan. Artinya sebagai manifestasi humanitas manusia, kearifan lokal dianggap baik sehingga ia mengalami penguatan secara terusmenerus (Sartini, 2004 :115). Salah satu representasi kebudayaan yang di dalamnya mengandung nilai kearifan lokal juga terdapat dalam bentuk karya sastra. Sastra adalah bagian kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pencipta serta refleksi terhadap gejala sosial yang terjadi di sekitarnya. Sastra lisan adalah salah satu genre sastra, yang juga merupakan representasi dari teks budaya. Sebagai teks budaya, sastra lisan menjadikan dirinya “guru” kebudayaan bagi proses pencerahan (Ibrahim, 2004: 40), sastra lisan juga bisa menjadi sumber kearifan lokal yang di dalamnya memuat nilai nilai kebijaksanaan masyarakat setempat. Sebagaimana dikutip oleh Page | 114
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Bakker, bahwa inti yang paling esensial dari kebudayaan terdiri atas ide-ide tradisional (Kluckholn dan Kroeber dalam Bakker, 2005: 18). Sastra, mengutip apa yang dikatakan oleh Hudson, adalah pengungkapan kehidupan dengan menggunakan bahasa (Situmorang dan A. Teeuw, 1980 :8). Apa yang diungkapkan di dalam sebuah karya sastra merupakan proses karya budaya yang panjang dan berisi pengalaman yang intens dari pemilik atau pendukung sastra tersebut. Oleh karena itu kehadiran karya sastra merupakan bagian dari kehidupan masyarakatnya. Dalam hal ini, kebudayaan sastra lisan Ternate menjadi objek material yang akan ditelaah, guna mengungkap dimensi kearifan lokal yang terkandung didalamnya. Tradisi lisan memiliki peranan penting dan strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya lokal memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat pendukungnya. Hanya saja, seiring perkembangan zaman, kian banyak tradisi lisan yang mulai raib dan untuk melestarikannya harus berkejaran dengan proses perkembangan sastra tulisan. Bentuk sastra maupun tradisi kelisanan Ternate (baca: Moloku Kieraha) banyak mensiratkan petuah bijak dan ajaran-ajaran nilai filosofis dalam mengajak masyarakatnya untuk menghargai hidup dengan berbagai aspek kehidupannya, termasuk cinta terhadap alam, kepada Sang Pencipta, kepada sesama manusia juga penghargaan terhadap nilai-nilai keberagaman yang termasuk salah satu unsur nilai kearifan lokal.
FEBRUARI 2014
Daerah Moloku Kie Raha (sekarang Propinsi Maluku Utara) adalah sebuah kawasan yang terletak di ufuk timur bagian utara dari kepulauan Indonesia, yang tumbuh berkembang sejak puluhan abad silam. Moloku Kie Raha pada saat itu adalah gabungan dari empat negeri/kesultanan yaitu: Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Marasabessy dalam Abdulrahman, 2001 :72). Mengutip pendapat Jusuf Abdulrahman dalam buku Kesultanan Ternate bahwa secara Proklitika, pengertian Moloku Kie Raha terdiri dari kata: Ma=genetif, milik, dan Loko=lokus, lokasi atau tempat, sementara, Kie=Gunung, dan Raha=empat. Secara sederhana dapat diartikan sebagai “tempat (nya) empat gunung” atau sering diartikan dengan “Kekuasaan empat kerajaan” (Abdulrahman, 2002 :33-34). Berbagai sebutan yang mengindikasikan Moloku Kie Raha sebagai satu kesatuan dari empat kerajaan, juga terdapat dalam cerita legenda masyarakat setempat yang berhubungan dengan mitos tujuh putri. Mitos tujuh putri yang mengisahkan asal-usul empat kerajaan Maluku tersebut hingga kini masih diyakini dan tersimpat erat dalam benak pengetahuan masyarakat dari sekitar 30 etnis di Maluku Utara. Ternate dengan keragaman etnis dan budaya telah memiliki pengetahuan-pengetahuan lokal yang ada sejak dahulu. Representasi dari nilai kearifan lokal ini terdapat dalam corak ragam tradisi kelisanan masyarakat Ternate yang mewadahi pola pikir, sistem pengetahuan Pranata sosial, serta falsafah hidup yang dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Ternate. tradisi maupun adat isitiadat masyarakat Ternate (Moloku Kie Raha). Dengan segala artifak kebudayaan yang terepresentasi melalui aspek religi, sosial-kemasyarakatan, sistem
Page | 115
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
kepercayaan maupun dalam bidang seni dan kesusasteraan. Kebudayaan masyarakat Ternate setidaknya mempunyai identifikasi yang khas dan unik, dalam sebuah kerangka “pembudayaan alam” dan “memanusiakan hidup” yang kesemuanya itu terlingkup dalam tradisi maupun sastra lisan masyarakatnya. Jenis dan bentuk sastra maupun tradisi lisan masyarakat Ternate yang terdiri dari dola bololo, hinga dalil tifa. Dalil moro maupun beragam ritual yang menggambarkan sistem kepercayaan yang terkandung dalam adat masyarakatnya seperti: tradisi kololi kie (mengelilingi gunung), fere kie (mendaki puncak gunung) dan bentukbentuk kerja sama yang berlandaskan azas gotong-royong (rorio dan leleyan). Sebenarnya merupakan suatu bentuk nilai kearifan terhadap lingkungan alam dan manusianya, yang mana, puncakpuncak kebudayaan tersebut dapat dimanifestasikan dalam suatu pandangan hidup, atau filsafat hidup masyarakat Ternate yang disebut dengan filsafat “jou se ngofa ngare”. ( “Aku” dan “engkau”). Pengertian “Aku” dan “engkau”, Sebagaimana yang diketahui dalam kehidupan bermasyarakat, sistem nilai selalu berkaitan erat dengan sikap, keduanya menetukan pola-pola tingkah laku manusia, yang kemudian dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat sopan santun, yang berfungsi sebagai tata tertib kehidupan bermasyarakat. Pada aras ini, konsepsi tradisi dan sastra lisan dalam suatu kebudayaan tradisional mempunyai peranan sekaligus dijadikan medium dalam upaya merengkuh nilainilai ideal itu. Meminjam Frasa Paul Riceour sastra mengartikulasikan dan menderivasi kebudayaan batiniah (deep culture, profound culture), seperti tata sikap, pembatinan nilai, penghayatan
FEBRUARI 2014
dan tanggapan masyarakat dimana sastra itu disemai dan dipelihara dalam sebuah jagat “bahasa” yang tidak terucapkan (Ibrahim, 2004 :43). Dalam khazanah tradisi sastra Jawa dapat ditemukan pula, hadirnya nilai-nilai sastra lisan yang dijadikan suatu penghayatan transendental tentang ajaran-ajaran kearifan hidup, serta moralitas yang terefleksikan dalam tembang-tembang, serat, suluk serta cerita-cerita legenda lainnya. Ini dapat disimpulkan bahwa kesusastraan, baik tulisan maupun lisan, merupakan dokumen kemanusiaan dan menjadi salah satu cara untuk menjabarkan kondisi manusiawi. Melalui karya sastralah kesadaran sejarah dan penghayatan religius ditanamkan secara mendalam di lubuk kalbu, dan melalui karya sastra pula nilai-nilai, pandangan hidup dan gambaran dunia (Weltanschaung) disebarkan ke khalayak luas (Hadi, 2000 :3-4). Penekanan terhadap memanusia-kan manusia dan lingkungan secara manusiawi, serta menyempurnakan hubungan keinsaniah melalui proses-proses kreatif antar sesama manusia dan bertujuan mengolah nilai-nilai budaya yang bersifat transendental, bukan tidak mungkin sejumlah tradisi dan sistem kepercayaan yang terdapat dalam kebudayaan Masyarakat Ternate (Moloku Kie Raha) adalah salah satu bentuk dari unsur-unsur Filsafat kebudayaan, yang didalamnya juga mengandung dimensi kearifan lokal masyarakat setempat. Korelasi antara nilai kearifan lokal dan filsafat kebudayaan pada akhirnya diibaratkan seperti satu sisi mata uang logam, yang mana sama-sama mempunyai fungsi dan peran dalam meretas nilai-nilai kemanusiaan dalam kebudayaan sebagai pandangan hidup suatu bangsa yang bersifat universal. Nilai-nilai universal Page | 116
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
inilah yang terpatri dalam falsafah bangsa indonesia yakni pancasila. Secara sederhana pengertian falsafah yang mengacu pada judul diatas adalah sistem/pola berpikir atau cara pandang masyarakat Ternate menurut tradisi dan adat istiadat masyarakat setempat. Cara pandang dan pola berpikir masyarakat Ternate dalam sudut pandang adat ataupun tradisi lokal yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhur cenderung didominasi oleh pandangan kebudayaan yang bersifat mitis. Bertolak dari dasar pemikiran diatas, mengutip pendapat Van Peursen bahwa tahap-tahap berpikir manusia berlangsung melalui tahap “mitis”, kemudian “ontologis” dan “fungsional” (Van Peursen, 1976 :18). Sebagaimana istilah filsafat yang pertama kali muncul pada zaman Yunani kuno yaitu “pencinta kebijaksanaan” (Lover of Wisdom) menjadi pengertian baku hingga kini, meskipun awal pemunculan filsafat juga diwarnai oleh pemikiran-pemikiran yang bersifat mitis. Kemudian selaras dengan perkembangan filsafat yang membuat berbeda adalah pemberian interpretasi dan pengetrapannya dalam konteks kehidupan manusia dan lingkungannya yang terus berkembang dan berubah (Azis dalam Sutrisno, 1986 :104). Sama halnya dengan kumpulan definisi mengenai filsafat yang telah dikemukakan oleh Everton dalam penataran ilmu filsafat pada tahun 1973 di Gadjah Mada yogyakarta. Menurutnya bahwa : Philosophy is the love of learning Philosophy is an attempt to understand the world we live in Philosophy is an interpretation of life its value Philosophy is an inquiry into the nature of life and existence (Wibisono, 1980 :7-8).
FEBRUARI 2014
Dengan demikian, sejumlah pengertian tentang definisi filsafat diatas, dapat diartikan sebagai proses berfikir secara filosofis, termasuk dengan hal-hal yang diperoleh melalui hasil proses berfikir tersebut. Hasil dari proses berfikir itu, kemudian diintegrasikan sebagai cara pandangan manusia tentang kehidupan yang diperoleh secara individu ataupun secara kolektif (bangsa dan negara) yang pada akhirnya dipahami sebagai falsafah atau pandangan hidup. Merujuk pada konsepsi falsafah moloku kie raha yang dimaksudkan sebagai representasi falsafah adat Ternate adalah konsepsi tentang pola pemikiran dan pandangan hidup yang berakar dari tradisi maupun adat istiadat masyarakat Ternate pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Mengutip pendapat Mudaffar Syah, selaku sultan Ternate, bahwa konsep Moloku Kie Raha awalnya terbentuk bersamaan dengan terbentuknya lembaga adat bersama antara empat sultan Moloku (Maluku Utara), sebagai bentuk penjelmaan rasa untuk melanjutkan hidup dalam suatu “Gemeinschaft” (Mudaffar Sjah, 1993 :10). Keterangan lengkap mengenai konsep Moloku Kie Raha ini sebenarnya muncul pertama kali pada buku Fr. Valentijn yang menggambarkan empat kerajaan dalam Moloku Kie Raha sebagai satu kesatuan yang terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Keterpisahan salah satu dari empat kesatuan dalam sejarah Moloku Kie Raha ini, akan menghilangkan makna dari pengertian Moloku Kie Raha itu sendiri. Konteks Moloku Kie Raha yang dimaksudkan disini lebih berdimensi budaya, dimana Moloku Kie Raha sebagai pandangan hidup, tidak lagi dipahami secara parsial dengan Page | 117
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
pengertian menurut letak geografis, melainkan menyatu satu dalam perspektif budaya yang mana falsafah hidupnya dilandaskan oleh falsafah “Jou Se Ngofangare” (“Aku” dan “engkau”). Prinsip kesatuan dalam konteks Moloku Kie Raha, menurut Irza Arnyta Djafaar dalam buku Dari Moloku Kie Raha hingga Negara Federal disimpulkan sebagai suatu prinsip keseimbangan (Djafaar, 2005 :24). Prinsip keseimbangan ini, awal mula memang diretas pada ranah politis, dimana pembagian wewenang dan tanggung jawab terhadap wilayah kekuasaan di masing-masing kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bachan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Meskipun, pada perkembangannya, prinsip dasar yang mengikat identitas Moloku Kie Raha sebagai suatu kesatuan dalam berbangsa ini, pernah diuji dengan konflik antar sesama kerajaan, namun itu menjadi persoalan lain menurut konteks sejarah. Dalam ranah Filsafat Kebudayaan, identitas ke-Moloku-an yang kini dipahami sebagai pandangan hidup masyarakat Maluku Utara telah menjadi sumber hukum dan tata aturan nilai yang dapat mengatur kehidupan bagi sesama dan bagi Sang Pencipta. Merujuk pada konsepsi falsafah moloku kie raha yang dimaksudkan sebagai representasi falsafah adat Ternate adalah konsepsi tentang pola pemikiran dan pandangan hidup yang berakar dari tradisi maupun adat istiadat masyarakat Ternate pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Mengutip pendapat Mudaffar Syah, selaku sultan Ternate, bahwa konsep Moloku Kie Raha awalnya terbentuk bersamaan dengan terbentuknya lembaga adat bersama antara empat sultan Moloku (Maluku Utara), sebagai bentuk penjelmaan rasa untuk
FEBRUARI 2014
melanjutkan hidup dalam suatu “Gemeinschaft” (Mudaffar Sjah, 1993 :10). Keterangan lengkap mengenai konsep Moloku Kie Raha ini sebenarnya muncul pertama kali pada buku Fr. Valentijn yang menggambarkan empat kerajaan dalam Moloku Kie Raha sebagai satu kesatuan yang terdiri dari Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. Keterpisahan salah satu dari empat kesatuan dalam sejarah Moloku Kie Raha ini, akan menghilangkan makna dari pengertian Moloku Kie Raha itu sendiri. Konteks Moloku Kie Raha yang dimaksudkan disini lebih berdimensi budaya, dimana Moloku Kie Raha sebagai pandangan hidup, tidak lagi dipahami secara parsial dengan pengertian menurut letak geografis, melainkan menyatu satu dalam perspektif budaya yang mana falsafah hidupnya dilandaskan oleh falsafah “Jou Se Ngofangare” (“Aku” dan “engkau”). Prinsip kesatuan dalam konteks Moloku Kie Raha, menurut Irza Arnyta Djafaar dalam buku Dari Moloku Kie Raha hingga Negara Federal disimpulkan sebagai suatu prinsip keseimbangan (Djafaar, 2005 :24). Prinsip keseimbangan ini, awal mula memang diretas pada ranah politis, dimana pembagian wewenang dan tanggung jawab terhadap wilayah kekuasaan di masing-masing kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo dan Bachan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesejahteraan. Meskipun, pada perkembangannya, prinsip dasar yang mengikat identitas Moloku Kie Raha sebagai suatu kesatuan dalam berbangsa ini, pernah diuji dengan konflik antar sesama kerajaan, namun itu menjadi persoalan lain menurut konteks sejarah. Dalam ranah Filsafat Kebudayaan, identitas ke-Moloku-an yang kini dipahami sebagai pandangan hidup masyarakat Maluku Utara telah Page | 118
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
menjadi sumber hukum dan tata aturan nilai yang dapat mengatur kehidupan bagi sesama dan bagi Sang Pencipta. Kearifan lokal adalah “pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem pemenuhan kebutuhan itu meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian.
Penutup Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan manusia dan komunitasnya yang bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya budaya secara berkelanjutan. Kearifan lokal itu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan masyarakat lokal setempat. Keterujiannya dalam sisi ini membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain. Berbagai gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam mengatur kehidupan masyarakat
FEBRUARI 2014
dari yang sifatnya yang berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profan (Sartini, 2004 : ) Dalam kearifan lokal masyarakat Ternate terdapat seperangkat nilai, norma dan perilaku yang dilakukan masyarakatnya dalam upaya mengelola kehidupan. Beberapa bentuk kearifan lokal yang ditemukan berkaitan dengan aspek lingkungan dan sosial berada pada pranata lingkungan dan pranata politik (Amin, 2008 :130). Sebagai contoh kuburan yang dikeramatkan (Jere) yang pada umumnya berada di bawah pohonpohon besar tidak akan ditebang oleh masyarakat secara sembarangan karena jika itu dilanggar akan membawa ba’la bagi orang yang melakukannya. Kalaupun memang perlu menebang pohon tersebut maka diharuskan melakukan ritual tertentu dengan memenuhi beberapa syarat. Orang yang memimpin ritual ini adalah tetua adat. Sistem kepercayaan ini sekalipun tidak secara langsung dapat dihubungkan dengan pelestarian lingkungan namun dampak tidak langsungnya telah terbukti efektif dalam upaya terhadapa konservasi lingkungan. Pemberlakuan boboso (pantangan) untuk tidak melakukan tindakan tertentu yang menyalahi aturan di lokasi keramat, atau menangkap jenis ikan tertentu merupakan bentuk kearifan lingkungan tersendiri bagi masyarakat Ternate. Dengan berbagai jenis pantangan ini telah membatasi sebagian masyarakat Ternate dalam mengeksploitasi alam lingkungan disekitarnya. Kearifan lingkungan lainnya yang erat dengan penelitian ini, hampir sebagian besar terwujud dalam sastra lisan Ternate yang merepresentasi alam (tumbuh-tumbuhan, Buah-buahan ataupun lautan) sebagai simbol kehidupan yang erat dengan kehidupan masyarakat Ternate sehari-hari.
Page | 119
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
Salah satu ungkapan sastra lisan yang berdimensi kearifan politik yang disimbolkan melalui alam : To tagi to kololi alam To tike saya ma lako Ahu toma ko konora Kari ngongano Kusu to busu marua Kano-kano ka ri ngongano Afa mara kano hodu ngana Kusu mai wigo ma cama Kita pergi keliling alam Kita mencari bunga yang bermata Hidupnya di tengah tengah, yang kita harapkan Alang-alang kita tidak senang Kano-kano (sejenis alang-alang) juga kita inginkan Jangan sampai kano-kano juga tidak menyukaimu Alang-alang akan menggoyang lehernya Deskripsi filosofisnya: “Bunga itu ibarat pemimpin, Kano-kano dan Kusu-kusu itu ibarat rakyat. Setiap pemimpin harus mengetahui kehendak rakyatnya, jangan sampai membuat rakyat tidak suka, maka tidak akan menjadi pemimpin” Sejalan dengan kutipan sastra lisan diatas, tradisi kelisanan Ternate mempunyai peranan tersendiri dalam kebudayaan, kebudayaan dipandang sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Mengutip pendapat Van Peursen, bahwa kegiatan manusia memperlakukan lingkungan alamiahnya, itulah kebudayaan. Konsep kearifan lokal lainnya yang ditemukan dalam kebudayaan lisan Ternate yang berbentuk dalil moro, yang juga menyiratkan nilai kebersamaan atau ko-
FEBRUARI 2014
eksistensi terhadap penghargaan atas keberagaman. Jelasnya kutipan sastra lisan berbentuk dalil moro ini, dipaparkan kembali sebagai berikut : Ino fo makati nyinga Doka gosora se bualawa Om doro fo mamote Fo magogoru, fo madodara Artinya: Mari kita bertimbang kasih Bagai Pala dan Cengkih Jatuh bangun kita bersama Dilandasi kasih dan sayang (Ibrahim, 2004 :42) Gufran Ali Ibrahim dalam buku Mengelola Pluralisme, menafsir metafora gosora se bualawa (Pala dan cengkih) sebagai bentuk “kebersamaan”. Sedangkan makati nyinga “tenggang rasa” menjadi sumbu dari kebersamaan; yang tumbuh berdampingan tanpa saling mematikan (tumbuh bersama, matang dan gugur bersama). Itulah hakikat dari magogoru “asuh” dan madodara “asih” (Ibrahim, 2004 :45). Kearifan lokal yang terepresentasi dalam sastra lisan Ternate ini, merupakan salah satu bentuk humanisasi manusia dalam berkebudayaan dan ini harus mendapat tanggapan positif bagi elit untuk turut mengapresiasikannya. Mengutip pendapat Giddens (2001: 8), yang menyatakan bahwa etnis-etnis di dunia, termasuk Indonesia, dengan kebudayaannya masing-masing memperoleh momentum untuk bangkit pada era global. Kebijakan penerapan Otonomi Daerah (UU No. 32/2004) sebagai respon terhadap globalisasi memberi angin segar bagi tumbuhnya rasa percaya diri etnis di berbagai daerah di Indonesia. searah dengan itu, permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah Page | 120
Jurnal UNIERA Volume 3 Nomor 1; ISSN 2086-0404
sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tata cara masyarakat yang dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya” (Dirjen Kesbangpol Depdagri, 2007: 5). Penghargaan terhadap lokalitas dengan mengapresiasikan nilai-nilai kearifan lokal yang ada, akan memberikan ruang bagi pengembangan kebudayaan nasional.
Daftar Pustaka Abdulrahman, Jusuf, 2002, Kesultanan Ternate dalam “Jou Ngon Ka Dada Madopo Fangare Ngom Ka Alam Madiki ”, Media Pustaka, Manado Ali, M, 2003, Teologi Pluralismultikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Amal, M, Adnan, 2007, Kepulauan Rempah-rempah: Sejarah Perjalanan Maluku Utara 1250-1950. Nala Cipta Litera, Makassar Ayatrohaedi, 1986, Kepribadian Budaya Bangsa (local Genius), Pustaka Jaya, Jakarta. Azra, Azyumardi, 2007, Merawat Kemajemukan, Merawat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta
FEBRUARI 2014
J.W.M., 2005, Filsafat Kebudayaan, cetakan ke-15, Kanisius, Yogyakarta Djafaar, Irza Arnyta. 2007. Jejak Portugis di Maluku Utara, Penerbit Ombak. Yogyakarta Hasan, Abdul Hamid, 2001. Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, Antara Pustaka Utama, Jakarta Ibrahim, Gufran A, 2008, “Dolabololo: “Budaya Berpikir Positif Masyarakat Ternate” dalam Bunga Rampai Budaya Berpikir Positif Suku-suku Bangsa II. Diterbitkan atas Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Jakarta _______ dkk. 2008, “Pemetaan Bahasa Daerah di Maluku Utara: Sebaran, Wilayah Pakai, dan Pola Penggunaan.” Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Maluku Utara dengan Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Khairun, Ternate Majid, Bakhtiar, 2009, Revitalisasi Tradisi Sastra Lisan Dola Bololo Dalam Masyarakat Kesultanan Ternate: Sebuah Kajian Budaya,Tesis, Program Studi Kajian Budaya, Universitas Udayana, Bali Moertopo, Ali, 1978, Strategi Pembangunan Indonesia, CSIS, Jakarta. Bakker,
Page | 121