JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tingkat Kepatuhan Minum Tablet Zat Besi dengan Kejadian Prematur di Kabupaten Bantul Merita Diana1, Hamam Hadi2, Nur Indah Rahmawati3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Abstrak Indonesia memiliki angka kejadian premature sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Kasus premature masih tinggi, disebabkan karena cakupan distribusi tablet besi yang masih cukup rendah sekitar 27%, juga masih tingginya angka kematian hamil yang tidak patuh untuk menghabiskan tablet besi yang diberikan atau sekitar 23%. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan tingkat kepatuhan minum tablet zat besi dengan kejadian premature di Kabupaten Bantul. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan case control. Sampel penelitian terdiri dari kasus (persalinan prematur) dan kontrol (Persalinan aterm) sebanyak 156 dengan perbandingan sampel 1:1 antara kasus dan kontrol, yakni 78:78. Pengumpulan data dengan penelusuran secara door to door. Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang kemudian dianalisa dengan menggunakan rumus uji statistic chi-square dan uji analisa odd ratio yang diolah secara komputerisasi. Hasil uji statistik odd ratio (OR) dengan tingkat kepercayaan 95% didapat hasil OR=5,8 (95%[2,885-1175]) dan χ2 (26,326) dengan p-value (0,001) menunujukkan ada hubungan sangat erat antara kepatuhan ibu hamil minum tablet zat besi dengan kejadian premature dengan resiko ibu hamil yang tidak patuh mengonsumsi tablet zat besi mempunyai peluang 5,8 kali lebih besar terjadi prematur di banding ibu yang patuh minum tablet zat besi selama hamil. Kesimpulan ada hubungan sangat erat antara kepatuhan minum tablet zat besi selama hamil dengan kejadian premature dan di Kabupaten Bantul Tahun 2012. Ibu yang tidak patuh minum tablet zat besi selama hamil beresiko 5,8 kali lebih besar terjadinya premature dibandingkan dengan ibu yang patuh minum tablet zat besi selama hamil. Kata Kunci: tingkat kepatuhan, prematur
Info Artikel: Artikel dikirim pada 19 Mei 2013 Artikel diterima pada 19 Mei 2013 PENDAHULUAN Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara berkembang. Tahun 1996, WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu pertahunnya meninggal saat hamil atau bersalin(1). Salah satu indikator derajat kesehatan di Indonesia ditandai dengan Angka kematian bayi (AKB). Pembangunan yang telah dicapai sampai tahun 2007, angka kematian bayi telah dapat diturunkan dari 30,8 per 1000 Kelahiran Hidup (KH) pada Tahun 2004 menjadi 29,4 pada Tahun 2005, 28,1 pada Tahun 2006 dan 26,9 pada Tahun 2007(2). Angka Kematian Bayi (AKB) DIY dari tahun 2010 sesuai hasil sensus penduduk tahun 2010 yang telah di hitung oleh BPS Propinsi DIY lakilaki sebanyak 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup,
sedangkan perempuan sebesar 14 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Untuk periode tahun 2005–2010 penurunan AKB rata-rata adalah 2,5% dan periode 2010-2015 adalah 1,7%(3). Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Bantul pada tahun 2010 dilaporkan terjadi penurunan yang cukup tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang kecenderungan sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi peningkatan. Penurunan kasus kematian ibu di Kabupaten Bantul pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menjadi 82,1 per 100.000 KH. Sedangkan Angka Kematian Bayi pada tahun 2010 juga mengalami penurunan yaitu tahun 2009 dari 11.8 per 1000 KH menjadi 9,8 per 1000 KH(4). Persalinan preterm merupakan masalah utama dalam bidang obsetri saat ini, yang bertanggung
Tingkat Kepatuhan Minum Tablet Zat Besi dengan Kejadian Prematur di Kabupaten Bantul
43
jawab kepada 70% kematian perinatal dan hampir setengah morbiditas neurologis jangka panjang. Sekitar 10% dari seluruh kelahiran adalah premature, tetapi sebagian penyakit yang berat dan kematian dikonsenterasikan pada 1-2% bayi baru lahir dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu dan berat badan kurang dari 1500 gram. Dewasa ini Indonesia memilik angka kejadian prematur sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Sebagai pertanggungjawaban langsung terhadap 75%-79% kematian neonatal yang tidak disebabkan oleh congenital(5). Pemerintah Kabupaten Bantul telah memberikan fasilitas pemeriksaan ibu hamil secara gratis serta memberikan tablet besi, namun ternyata kasus premature masih tinggi, disebabkan karena cakupan disrtibusi tablet besi yang masih cukup rendah sekitar 27%, juga masih tingginya angka kematian hamil yang tidak patuh untuk menghabiskan tablet besi yang diberikan atau sekitar 23%(6). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 2012 di Rumah Sakit Umum Panembahan Senopati didapatkan dengan melihat catatan Rekam Medik didapatkan data dari 1 Januari 2011 hingga 29 Februari 2012, proporsi kelahiran bayi prematur dari 2543 orang ibu bersalin adalah 8,13%. Sesuai dengan data bulan Januari hingga bulan April, persentase kelahiran prematur sempat mengalami penurunan dari 7,97% menjadi 6,22% namun kembali meningkat pada bulan akhir sebesar 0,86%. Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada bulan Januari 2012 yaitu sebesar 11,02%. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan minum tablet zat besi selama hamil dengan kejadian prematur di Kabupaten Bantul Tahun 2012, secara khusus untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan minum tablet zat besi selama hamil Kabupaten Bantul tahun 2012 dan untuk mengetahuikejadian prematur Kabupaten Bantul tahun 2012. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan rancangan penelitian ini menggunakan rancangan penelitian studi case control. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kejadian prematuritas di Rumah Sakit Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta dengan jumlah 156 kejadian persalinan prematur dari 1.335 jumlah ibu bersalin normal l pada tanggal 1 Oktober 2011 sampai tanggal 29 Februari 2012. Subyek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari kasus dan kontrol. Kasus adalah ibu-ibu yang melahirkan prematur yang 44
melahirkan dengan prematur yang tinggal di wilayah Kabupaten Bantul dari tanggal 1 Oktober 2011 sampai tanggal 29 Februari 2012. Sedangkan kontrolnya adalah ibu-ibu yang melahirkan tidak prematur yang melahirkan dari tanggal 1 Oktober 2011 sampai tanggal 29 Februari 2012. Setiap kasus dipasangkan dengan satu kontrol yang bertempat tinggal paling dekat dengan kasus dan melahirkan pada tanggal 1 Oktober 2011 sampai tanggal 29 Februari 2012. Dalam penelitian ini tidak dilakukan matcing kecuali tempat tinggal. Jumlah kasus dan kontrol yang dipakai masing-masing 78 kasus dan kontrol. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang bersalin dengan kejadian prematur di RSUD Panembahan Senopati, Bantul, Yogyakarta dengan kriteria inklusi ibu yang melahirkan dengan umur kehamilan lebih dari 20 minggu dan umur kehamilan <37 minggu, ibu yang melahirkan perabdominal maupun normal, ibu yang melahirkan bayi hidup, ibu yang melahirkan janin tunggal, ibu yang berdomisili di Kabupaten Bantul. Kriteria eksklusi untuk sampel penelitian ini adalah ibu dengan status kesehatan yang buruk, ibu yang tidak bersedia menjadi responden, bayi yang dilahirkan dengan trauma akibat kecelakaan, alamat ibu yang sulit dijangkau. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 156 orang. Jumlah tersebut telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Untuk menentukan besar sampel dalam penelitian payung ini menggunakan rumus uji hipotesis beda 2 proporsi. Pelaksanaan jumlah sampel yang digunakan sebesar 78 dengan perbandingan 1:1 dari jumlah kasus yang terpapar dan jumlah kontrol. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2012. Alat ukur penelitian yang digunakan untuk mengetahui hubungan tingkat kepatuhan minum tablet zat besi selama hamil dengan kejadian prematuritas adalah dengan gunakan data sekunder yaitu dengan mengambil data dari rekam medik (data sekunder) yang berisi nama ibu, umur, alamat, paritas, umur kehamilan, jenis persalinan serta berat bayi lahir dan data primer yaitu kuesioner. Variabel dependen adalah ibu bersalin dengan kejadian prematur. Variabel independen adalah kepatuhan ibu dalam mengonsumsi tablet zat besi selama hamil. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Berdasarkan Tabel 1 dijelaskan bahwa persentase kasus prematur tertinggi berada di kecamatan Sewon sebanyak 12 (15,1%) dan terendah di Kecamatan Banguntapan sebanyak 1 (1,3%).
Merita Diana, Hamam Hadi, Nur Indah Rahmawati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 43-47
Tabel 1. Distribusi Responden Kasus Menurut Kecamatan Kecamatan Bambanglipuro Bantul Banguntapan Dlingo Imogiri Jetis Kasihan Kretek Pajangan Pandak Pleret Sedayu Sewin Srandakan Pundong Jumlah
Kelompok Kasus n % 2 2,6 7 9,0 1 1,3 2 2,6 8 10,3 6 7,7 6 7,7 4 5,1 7 9,0 6 7,7 8 10,3 4 5,1 12 15,1 3 3,8 2 2,6 78 100
Kepatuhan Patuh Tidak Patuh Jumlah
% 28,4 69,5 100
n 53 25 78
Kontrol
% 71,6 30,5 100
Tabel 4. Analisis Kepatuhan Pemberian Tablet Fe <90 Oleh Tenaga Kesehatan
Tabel 2. Karakteristik Responden Menurut Umur, Paritas, Pendidikan dan Pekerjaan χ2
p-value
8 10,3 1 1,3 4,168 57 73,1 44 56,4 13 16,7 33 42,3
0,124
69 88,5 13 16,7 0,847 9 11,5 65 83,3
0,357
42 53,8 24 30,8 36 42,2 54 69,2
8,5
0,004
33 42,3 11 28,2 45 57,7 67 71,8 78 100 78 100
15,3
0,001
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Responden
Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa responden yang tidak patuh minum tablet zat besi dari kelompok kasus 57 (69,5%) sedangkan untuk kelompok kontrol 53(71,6%) responden patuh minum tablet zat besi selama hamil.
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa subyek penelitian terbanyak terdapat pada umur 20–35 tahun yaitu sebanyak 101 (65%), sedangkan paling sedikit yaitu kelompok umur >20 tahun dengan jumlah 9 (6%). Persentase responden yang terbesar adalah responden yang memiliki jumlah anak >4 yaitu sebanyak 82 (53%). Persentase responden pendapatan tertinggi kelompok kasus terdapat pada pendapatan <808.000 sebanyak 42 (52,8). Sedangkan persentase responden menurut pekerjaan kelompok kasus terdapat pada pekerjaan Non Buruh sebanyak 45 (57,7%).
Umur > 20 tahun 20 – 35 tahun >35 tahun Paritas >4 anak <4 anak Pendapatan <808.000,≥808.000,Pekerjaan Buruh Non Buruh Jumlah
n 21 57 78
Kasus
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Karakteristik Subjek Penelitian
Responden Kasus Kontrol n % n %
Pada analisis ini ditampilkan distribusi frekuensi variabel penelitian yaitu pada kelompok kasus maupun kontrol, sebagaimana yang tertera pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis Univariat Variabel Kepatuhan
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Karakteristik
Analisis Univariat
<90 Tablet 50 Tablet 60 Tablet 70 Tablet 80 Tablet Jumlah
n 12 10 39 10 78
Kasus
Responden
% 15,4 12,8 50,0 12,8 100
n 8 3 8 10 78
Kontrol
% 10,3 3,8 10,3 12,8 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Tabel 4 kelompok kasus ibu yang mendapatkan 70 tablet Fe sebanyak 39 (50,0%) sedangkan presentase tertinggi kelompok kontrol ibu yang mendapatkan 80 tablet sebanyak 10 (12,8%). Analisis Bivariat Analisis hubungan kepatuhan dengan kejadian prematur. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variable bebas yang meliputi patuh dan tidak patuh ibu hamil mengkonsumsi tablet zat besi terhadap kejadian prematur di Kabupaten Bantul. Teknik pengolahan data menggunakan uji statistik chi-square dengan selang kepercayaan 95%. Berikut adalah tabulasi silang dan chi-square kepatuhan terhadap kejadian prematur. Berdasarkan Tabel 5 dijelaskan bahwa hasil uji statistik chi-square di peroleh nilai χ2 =26,326 dan nilai p<0,001 lebih kecil dari p-value 0,05 yang berarti Ha diterima atau terdapat hubungan sangat erat antara kepatuhan ibu minum tablet zat besi selama hamil dengan kejadian prematur. Hasil analisis odds
Tingkat Kepatuhan Minum Tablet Zat Besi dengan Kejadian Prematur di Kabupaten Bantul
45
Tabel 5. Analisis Bivariat Kepatuhan Kejadian Prematur OR (95% CI) Sig. Aterm Preterm (p) n % n % Patuh 53 71,6 21 28,4 0,001 5,8 Tidak Patuh 25 30,5 57 69,5 (2,885-11,475) Jumlah 78 100 78 100 Kepatuhan
Sumber: Data Primer Tahun 2012
ratio Ibu hamil yang tidak patuh minum tablet zat besi beresiko 5,8 kali lebih besar (95% CI= 2,885-1,75) ibu bersalin dengan kejadian prematur dibanding ibu hamil yang patuh minum tablet zat besi selama hamil. Karakteristik Responden Berdasarkan data rekam medik di RSUD Panemahan Senopati Bantul bulan Oktober 2011 sampai dengan Februari 2012 adalah sebanyak 1.335 kasus kelahiran. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 156 orang ibu melahirkan terdiri dari 78 orang ibu bersalin prematur (kasus), dan 78 orang ibu bersalin aterm (kontrol) di RSUD Panembahan Senopati Bantul dalam kurun waktu lima bulan terakhir yaitu mulai dari bulan Oktober 2011-Februari 2012. Umur merupakan salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan kualitas kehamilan berkaitan erat kesiapan fisik ibu melakukan reproduksi. Faktor umur atau usia seorang wanita dapat mempengaruhi kesehatan/proses kelahiran dan persalinan yang di jalani. Umur terbaik untuk hamil dan melahirkan adalah usia 20-30 tahun karena dalam usia tersebut alat-alat reproduksi dalam keadaan optimal. Berdasarkan data karakteristik responden kasus prematur dan kontrol menurut tempat tinggal dari presentase tertinggi Kecamatan Sewon sebanyak 12(15%) dan 15 (19%). Sedangkan karekteristik responden menurut umur tertinggi dari kelompok kasus dan kontrol pada umur 20-35 tahun 101 orang atau sebesar 65%. Responden menurut paritas tertinggi dari kelompok kasus dan kelompok kontrol terdapat pada ibu yang melahirkan >4 anak sebanyak 82 orang atau sebesar 53%. Ibu yang telah melahirkan lebih dari 2 kali melahirkan merupakan kehamilan yang beresiko tinggi, karena makin sering wanita melahirkan maka makin besar resiko kehilangan darah akibat melahirkan dan dapat berakibat buruk terhadap kesehatan ibu dan bayi yang dilahirkan. Responden kelompok kasus menurut pendapatan tertinggi pada responden dengan pendapatan <808.000 sebanyak 42 (52,8%). Pendapatan keluarga yang rendah juga akan dapat berpengaruh terhadap lemahnya daya beli makanan yang menghalangi 46
perbaikan gizi yang efektif, sehingga bila pada saat hamil kebutuhan gizi ibu tidak terpenuhi maka akan berdampak pada pertumbuhan janin(7). Responden menurut pekerjaan presentase tertinggi pada pekerjaan Non buruh sebanyak 45(57,7%). Penelitian yang pernah dilakukan oleh Saurel dkk menyatakan bahwa persalinan prematur meningkat sebanyak 1,3 kali lebih tinggi pada ibu hamil yang bekerja lebih dari 42 jam per minggu, bila berdiri lebih dari 6 jam perhari dan bila tingkat kepuasan kerjanya rendah. Hubungan Kepatuhan Minum Tablet Zat Besi dengan Kejadian Prematur Pemerintah Kabupaten Bantul telah memberikan tablet besi secara gratis saat hamilnamun ternyata kasus prematur masih tinggi, karena cakupan disrtibusi tablet besi yang masih cukup rendah sekitar 27%, juga masih tingginya angka kematian hamil yang tidak patuh untuk menghabiskan tablet besi yang diberikan atau sekitar 23%(6). Kepatuhan minum Fe dapat diartikan bahwa ibu hamil tersebut suka menurut perintah, taat kepada perintah, aturan dari petugas kesehatan dalam meminum Fe sedikitnya satu tablet selama 90 hari atau 90 tablet selama kehamilan, dan ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari 11 g% dia mau dan taat kepada perintahnya untuk melanjutkan meminum tablet Fe tersebut. Ibu hamil yang diduga anemia (bagian dalam kelopak mata pucat) berikan 2-3 kali satu tablet Fe per hari serta patuh atau taat menghindari minum teh/ kopi atau susu 1 jam setelah dan sesudah makan karena teh, kopi, susu mengganggu penyerapan zat besi(8). Hasil uji statistik menunjukan adanya hubungan yang sangat erat antara kepatuhan terhadap kejadian prematur diperoleh nilai (p<0,05), dengan hasil analisis pada tingkat kepercayaan (CI) 95% maka diperoleh nilai OR=5,8 artinya bahwa ibu hamil yang tidak patuh minum tablet zat besi selama hamil beresiko 5,8 kali lebih besar terjadi persalinan prematur dibanding ibu hamil yang patuh minum tablet zat besi selama hamil. Penelitian ini juga sama dengan Yuniarti yang menyatakan ada hubungan signifikan (p<0,05) antara tingkat kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe dengan kejadian anemia. Hal ini dijelaskan dari hasil uji statistik dipeoleh ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe yang diberikan oleh pertugas kesehatan maka, peluang anemia akan semakin kecil dan ibu hamil yang tidak patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai peluang 31 kali menderita anemia sehingga akan menyebabkan persalinan prematur dibanding ibu hamil yang patuh(9). Suatu penelitian menunjukan bahwa
Merita Diana, Hamam Hadi, Nur Indah Rahmawati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 43-47
wanita hamil yang tidak minum pil besi mengalami penurunan ferritin (cadangan besi) cukup tajam sejak minggu ke 12 usia kehamilan(10). Catatan buku KIA tablet zat besi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (bidan) kurang dari 90 tablet zat besi didapatkan persentase responden tertinggi kelompok kasus ibu yang mendapatkan 70 tablet Fe sebanyak 39 (50,0%). Sedangkan persentase tertinggi kelompok kontrol ibu yang mendapatkan 80 tablet sebanyak 10 (12,8%). Berdasarkan wawancara yang dilakukan responden menjelaskan bahwa ketidakpatuhan pada responden disebabkan sebagian besar responden tidak minum tablet zat besi secara teratur karena sesuai anjuran tenaga kesehatan diminum menjelang tidur sehingga responden lupa untuk minum. Oleh karena kebutuhan zat besi lebih besar pada ibu hamil dibandingkan absorsi dari zat makan yang lain dengan demikian tidak adanya tambahan makanan tersebut akan mengakibatkan persalinan prematur. Penelitian Ratna, menyatakan kepatuhan mengonsumsi tablet zat besi rendah, hal ini dipengaruhi faktor sosial budaya yang ada di masyarakat seperti adanya anggapan ibu hamil yang tidak mengonsumsi tablet tambah darah pada jaman dulu ternyata anak lahir sehat ada anggapan banyak minum obat setiap hari dianggap sebagai kebiasaan baru, yang biasanya cukup minum jamu sehingga satu kali bosan dan merasa kondisinya tidak lebih baik, lupa, rasa mual setelah minum tablet tambah darah(11). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, analisa data, dan pembahasan dapat disimpulkan jumlah kasus prematurdi RSUD Panembahan Senopati pada Oktober 2011 sampai dengan Februari 2012 adalah sebanyak 78 kasus dan 78 kontrol dari 1335 kelahiran atau sekitar 5,8%, hasil analisis responden tidak patuh minum tablet zat besi selama hamil didapatkan kelompok kasus sebanyak 57 orang (69,5%) dan control 25 orang (30,5%), ada hubungan sangat erat antara kepatuhan minum tablet zat besi selama hamil dengan kejadian premature di Kabupaten Bantul Tahun 2012, ibu yang tidak patuh minum tablet zat besi selama hamil beresiko 5,8 kali lebih besar terjadinya prematur dibandingkan dengan ibu yang patuh minum tablet zat besi selama hamil.
Saran bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul agar tetap mempertahankan pelayanan yang optimal pada ibu bersalin terutama ibu yang memiliki faktor resiko penyebab terjadinya persalianan prematur. Bagi tenaga kesehatan diharapkan lebih memperhatikan pemberian jumlah tablet zat besi selalu mencatat di buku KIA dan meningkatkan konseling kepada ibu pada saat kunjungan ANC tentang pentingnya minum tablet zat besi selama hamil dan perlunya ibu hamil untuk mengetahui minuman/makanan apa saja yang dapat menghambat penyerapan tablet zat besi. RUJUKAN 1. Prawirohardjo. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2008. 2. Depkes RI. Angka kematian bayi [internet]. 2008 [cited 2012 Apr 14]. Available from: www.depkes. go.id. 3. Dinkes DIY. Profil Kesehatan Provinsi DIY. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 2010. 4. Dinkes Kabupaten Bantul. Profil Kesehatan Kabupaten Bantul. Yogyakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; 2010. 5. Menon RSKF, Leyden TW, Rote NS, Fortunato SJ. Expression of inflammatory cytokines (IL-1 beta and IL-6) in amniochorion. Am J Obstet Gynecol. 1995;172:493-500. 6. Depkes Bantul. Banyak Ibu Hamil Anemis [internet]. 2007 [cited 2012 Apr 11]. Available from: http //bantul. www.depkes.go.id. 7. Suhardjo CM. Prinsip Ilmu Gizi. Bogor: Kanisous; 1992. 8. Depkes RI. Indikator Indoneia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Propinsi Sehat dan Kabupaten Sehat. Jakarta. Depkes RI; 2007. 9. Monodampit Y. Pengaruh Tingkat Kepatuhan konsumsi tablet Fe terhadap kejadian Anemia ibu hamil Gakin di kecamatan Linaha. Kab Konawe, Sulsel. UGM; 2008. 10. Khomsan A. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada; 2003. 11. Ratnawati. Rendahnya tingkat kepatuhan Minum tablet besi dengan kejadian anemia di Kabupaten Konawe. UGM; 1998.
Tingkat Kepatuhan Minum Tablet Zat Besi dengan Kejadian Prematur di Kabupaten Bantul
47
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Pola Asuh Ibu Berhubungan dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TK Al Farabi Yogyakarta Nurul Hidayah1, Tri Prabowo2, Army Najmuna3 1,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 2 Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta Jalan Tata Bumi No. 3, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstrak Setiap manusia mengalami proses perkembangan selama masa hidupnya. Proses perkembangan manusia meliputi beberapa aspek yakni perkembangan fisik, perkembangan psikososial dan perkembangan kognitif. Salah satu perubahan yang terjadi pada perkembangan kognitif adalah perubahan dalam bahasa disamping perubahan pada pemikiran dan intelegensi individu dan pola asuh ibu merupakan hal yang sangat mempengaruhi perkembangan pada anak, termasuk perkembangan bahasa. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TK AL FARABI Yogyakarta 2012. Penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Subjek dalam penelitian ini adalah wali murid anak-anak prasekolah TKIT AL FARABI Yogyakarta yang berusia sekitar 3-6 tahun beserta anaknya. Analisis data dilakukan dengan analisis chi-squere. Hasil penelitian pola asuh ibu pada anak prasekolah di TKIT AL FARABI Yogyakarta.sebagian besar ibu memberikan pola asuh pada anaknya dengan pola asuh Authoritative (demokratis) sebanyak 34(78,1%).Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TKIT AL FARABI Yogyakarta sebagian besar memiliki perkembangan bahasa normal sebanyak 25 (58,1%). Hasil analisis uji chi-square, diketahui x2 hitung sebesar 6,033, nilai signifikansi 0,014 (p<0,05). Nilai koefisien kontingensi korelasi sebesar 0,351 nilai tersebut menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah kategori rendah. Kesimpulan terdapat hubungan pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TKIT AL FARABI Yogyakarta. Kata Kunci: pola asuh, tingkat perkembangan bahasa
Info Artikel: Artikel dikirim pada 13 Mei 2013 Artikel diterima pada 17 Mei 2013 PENDAHULUAN Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia secara berkelanjutan. Salah satu hal yang harus diperhatikan secara khusus adalah masalah pembinaan dan pengembangan sedini mungkin yaitu sejak masih dalam kandungan dan semasa balita. Dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, pembinaan tumbuh kembang anak diselenggarakan secara holistik sebagai bagian integral dari upaya kelangsungan hidup, perkembangan dan perlindungan ibu dan anak(1). Anak dengan usia empat sampai enam tahun disebut sebagai anak prasekolah(2). Perkembangan kecerdasan pada masa ini mengalami peningkatan 48
dari 50% menjadi 80%. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama. Setiap manusia mengalami proses perkembangan selama masa hidupnya. Proses perkembangan manusia meliputi beberapa aspek yakni perkembangan fisik, perkembangan psikososial dan perkembangan kognitif. Salah satu perubahan yang terjadi pada perkembangan kognitif adalah perubahan dalam bahasa disamping perubahan pada pemikiran dan intelegensi individu(3). Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah pada masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang
Nurul Hidayah, Tri Prabowo, Army Najmuna, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 48-54
akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan bahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan berikutnya(4). Menurut Wong, tumbuh kembang anak terdiri dari beberapa tahapan dan tiap-tiap tahap mempunyai ciri tersendiri. Salah satu tahap tumbuh kembang anak adalah usia prasekolah(5). Usia prasekolah mempunyai karakteristik sendiri, masa ini sebagai masa persiapan anak menuju periode sekolah, kemampuan interaksi dengan orang lain dan orang dewasa, menggunakan bahasa untuk menunjukkan kemampuan mental, bertambahnya perhatian terhadap waktu dan ingatan. Keberhasilan penerimaan pada tahap tumbuh kembang sebelumnya adalah penting bagi anak usia prasekolah, untuk memperbaiki tugas-tugas yang sudah dikuasai pada masa toddler. Menurut Yusuf, bahasa sangat erat kaitanya dengan perkembangan berfikir individu(6). Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya. Setiap orang yang berada dalam fase pertumbuhan dan perkembangan (termasuk anak TK) mengalami berbagai hambatan, gangguan serta kesulitan yang pemecahannya kadang-kadang memerlukan bantuan orang lain terutama orang yang profesional. Masalah-masalah yang tidak tertuntaskan secara tepat bisa menimbulkan hambatan dan masalah pada anak masa sekarang, maupun setelah anak melanjutkan ke jenjang sekolah dasar. Pada masa ini, pembinaan tumbuh kembang secara komprehensif dan berkualitas perlu diselenggarakan melalui kegiatan stimulasi, deteksi dan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang. Deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang artinya melakukan skrining adanya penyimpangan tumbuh kembang, termasuk menindaklanjuti setiap keluhan orang tua terhadap masalah tumbuh kembang anaknya. Deteksi ini digunakan untuk menemukan diagnosa dan melakukan pemulihan lebih awal sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung seoptimal mungkin. Terdapat banyak instrumen untuk memantau perkembangan anak, misalnya Denver Development Tes II (DDST II/Denver II)(7). DDST II merupakan tes perkembangan anak yang telah terstandarisasi memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk metode skrining yang baik. Anak biasanya mulai dimasukkan ke institusi pendidikan, seperti Taman Kanak-Kanak, pada usia empat tahun. Bentuk TK saat ini sedang marak didirikan adalah TK Islam Terpadu (TKIT). Salah satu contoh TKIT di Yogyakarta adalah TKIT AL-FARABI, jumlah
siswa prasekolah sebanyak 83 anak. TK ini mempunyai dua kelas A dan B, ruang play group, tempat bermain, kantor guru, musholla, kamar mandi dan gudang. TK ini menerapkan model pembelajaran kelompok dengan sudut-sudut kegiatan. Sudut-sudut kegiatan yang dapat merangsang perkembangan bahasa pada anak, secara umum terdapat dua bentuk TK full-day dan TK half-day. Pemilihan metode full-day dan half-day school terkait dengan lama waktu interaksi anak dengan lingkungan TK beserta komponen-komponen didalamnya yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Dalam hal ini peneliti tertarik untuk mengindentifikasi perbedaan tingkat perkembangan bahasa dan di TKIT untuk umum dan tidak untuk anak berkebutuhan khusus saja. Berdasarkan studi pendahuluan di TKIT ALFARABI Yogyakarta dengan menggunakan metode wawancara ada sekitar 15% anak pada usia prasekolah belum mampu memenuhi tugas perkembangan bahasanya yaitu seperti perbendaharaan kata yang relatif sedikit yang seharusnya dicapai diusianya, kesulitan anak memahami isi bicara orang lain, anak suka menggunakan kata-kata nakal yang tabu (kotor), anak susah mengekspresikan sesuatu (seperti panas- dingin, besar-kecil), anak masih susah merangkai kata menjadi kalimat (berbicara runtut dan sopan), kebanyakan anak berbicara pada dirinya sendiri dan penguasaan anak akan arti bahasa masih sedikit. Hal ini merupakan masalah bagi kita dan jika dibiarkan saja maka akan berakibat buruk dan akan menghambat perkembangan bahasa pada anak. Mengingat pentingnya perkembangan bahasa anak pada masa kini, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berfokus pada salah satu kemungkinan penyebab perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TK AL-FARABI Yogyakarta 2012. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wali murid anak-anak prasekolah TKIT AL-FARABI Yogyakrta yang berusia sekitar 3-6 tahun beserta anaknya yang berjumlah 83 wali murid dan 83 anak prasekolah TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini adalah wali murid anak-anak prasekolah TKIT AL-FARABI Yogyakarta yang berusia sekitar 3-6 tahun beserta anaknya. Penelitian ini dilakukan di TKIT AL-FARABI Yogyakarta dilakukan pada tanggal 28-29 maret 2012. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara yang telah
Pola Asuh Ibu Berhubungan dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TK Al Farabi Yogyakarta
49
disusun untuk mengetahui tingkat perkembangan bahasa pada anak dengan menggunakan format tes DDST II. Sedangkan untuk mengetahui pola asuh ibu adalah menggunakan panduan wawancara yang telah disusun seperti kuesioner. Varibel bebas (independent), yaitu pola asuh ibu dan variabel terikat (dependent), yaitu tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah. Dalam penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena untuk kuesioner pola asuh ibu telah dilakukan uji validitaskan oleh Anjani dan Instrumen untuk perkembangan bahasa menggunakan DDST II yang sudah baku, sehingga tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas(8). HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah ibu wali murid yang mempunyai anak prasekolah yang berusia 3-6 tahun di TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Peneliti menyebar 50 kuesioner kepada responden yang memenuhi kriteria insklusi dan kuesioner yang kembali sebanyak 44 kuesioner dengan perincian sebanyak 43 kuesioner diisi lengkap oleh responden dan 1 buah kuesioner tidak diisi lengkap sehingga tidak digunakan dalam penelitian. Data karateristik responden dalam penelitian ini yang terbagi menurut pendidikan ibu, pekerjaan ibu, penghasilan orang tua perbulan dan pengasuhan anak. Pendidikan Ibu Wali Murid Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden dalam penelitian ini sebagian besar mempunyai pendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak 22 orang (51,2%) dan berpendidikan SMP sebanyak 9 orang atau sebesar 20,9%. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Wali Murid di TKIT AL-FARABI Yogyakarta Tahun 2012 Tingkat Pendidikan SMP SMA D3/Sarjana Jumlah
f 9 22 12 43
% 20,9 51,2 27,9 100
Pekerjaan Ibu Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar bekerja di sektor swasta yaitu sebanyak 24 (55,8%) dan paling sedikit bekerja sebagai PNS sebanyak 8 (18,6%).
50
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Ibu Wali Murid di TKIT AL-FARABI Yogyakarta Tahun 2012 Jenis Pekerjaan PNS Swasta Wiraswasta Jumlah
f 8 24 11 43
% 18,6 55,8 25,6 100
Penghasilan (perbulan) Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 43 ibu wali murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012 diketahui sebagian besar penghasilan dalam keluarganya setiap bulan adalah di atas Rp 1.500.000 yaitu sebanyak 28 orang (65,1%). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Penghasilan (perbulan) Ibu Wali Murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012 Tingkat Penghasilan Rp. 900.000 – Rp. 1.500.000 > Rp. 1.500.000 Jumlah
f 15 28 43
% 34,9 65,1 100
Pengasuhan Anak Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan bahwa responden dalam penelitian ini sebagian besar mengasuh anaknya sendiri atau tidak diasuh oleh orang lain yaitu sebanyak 24 orang (55,8%) dan anak yang diasuh oleh nenek/kakek sebanyak 9 orang (20,9%). Tabel 4. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pengasuhan Anak Murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012 Pengasuh Anak Orang tua Nenek/Kakek Pengasuh Jumlah
f 24 9 10 43
% 55,8 20,9 23,3 100
Pola Asuh Ibu Berdasarkan Tabel 5 menujukkan sebagian besar ibu Wali Murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012, memberikan pola asuh pada anaknya dengan pola asuh authoritative (demokratis) sebanyak 34 (79,1%) dan tidak ada yang memberikan pola asuh permisif pada anaknya. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Ibu Wali Murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012 Pola Asuh Ibu Authoritative Authoritarian Jumlah
Nurul Hidayah, Tri Prabowo, Army Najmuna, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 48-54
f 34 9 43
% 79,1 20,9 100
Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah Berdasarkan Tabel 6 menujukkan bahwa dari 43 murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012, diketahui sebanyak 25 anak (58,1%) memiliki perkembangan bahasa normal, dan tidak ada satupun yang perkembangan bahasanya untestable. Tabel 6. Distribusi Frekuensi Tingkat Perkembangan Bahasa Murid di TKIT AL FARABI Yogyakarta Tahun 2012 Tingkat Perkembangan Normal Suspect Jumlah
f 25 18 43
% 58,1 41,9 100,00
Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta Hipotesis penelitian yaitu ada hubungan pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa anak prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta, untuk membuktikan hipotesis tersebut dilakukan analisis chi-square dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa anak prasekolah di TKIT ALFARABI Yogyakarta. Kriteria penilaian yang dipakai berdasarkan nilai probabilitas (p), apabila nilai p<0,05 artinya ada hubungan dan apabila nilai p>0,05 maka artinya tidak ada hubungan. Berdasarkan Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pola asuh authoritative dengan perkembangan bahasa normal sebanyak 23(53,5%) sedangkan pola asuh authoritarian dengan pekembangan bahasa suspect sebanyak 7(16,3%). Hasil tersebut memberikan gambaran tentang pola asuh ibu authoritative cenderung memberikan perkembangan bahasa pada anak sebagian besar normal sedangkan pola asuh authoritarian dengan perkembangan bahasa anak suspect, hasil tersebut menujukan adanya perbedaan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh dengan perkembangan bahasa dilakukan dengan analisis chi-square.
Hasil analisis dengan uji chi-square, diperoleh nilai signifikansi 0,014 (p<0,05), nilai χ2 hitung sebesar 6,033 dengan nilai χ2 tabel untuk (p<0,05); adalah sebesar 3,841. Dari hasil tersebut diketahui bahwa χ2 hitung >χ2 tabel, sehingga dapat dinyatakan terdapat hubungan pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Nilai koefisien kontingensi sebesar 0,351 menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah rendah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TK AL FARABI Yogyakarta 2012. Pola Asuh Ibu Hasil penelitian diketahui Pendidikan terakhir SMA yaitu sebanyak 22 orang (51,2%) dan berpendidikan SMP sebanyak 9 orang atau sebesar 20,9%. Sebagian besar bekerja di sektor swasta yaitu sebanyak 24 (55,8%) dan paling sedikit bekerja sebagai PNS sebanyak 8 (18,6%) dan sebagian besar penghasilan dalam keluarganya setiap bulan adalah di atas Rp 1.500.000 yaitu sebanyak 28 orang (65,1%), dalam penelitian ini sebagian besar mengasuh anaknya sendiri atau tidak diasuh oleh orang lain yaitu sebanyak 24 orang (55,8%) dan anak yang diasuh oleh nenek/kakek sebanyak 9 orang (20,9%). Tingkat pedidikan, pekerjaan, sosial ekonomi dan pengasuhan anak sangat mempegaruhi pola asuh ibu terhadap anak dalam kehidupan seharihari. Hasil penelitian diketahui pola asuh ibu pada anaknya sebagian besar ibu memberikan pola asuh authoritative (demokratis) sebanyak 34 (79,1%). Yusuf mengategorikan pola asuh ke dalam tiga model yaitu: authoritative, authoritarian dan permissive(6). Hasil penelitian diketahui sebagian besar ibu memberikan pola asuh pada anaknya dengan model authoritative (demokratis), model pola asuh ini sangat baik sekali diterapkan pada anak. Tipe pola asuh yang demokratis mempunyai prinsip menekankan anak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan tersebut dibuat, anak
Tabel 7. Tabulasi Silang Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TKIT Al- Farabi Yogyakarta Tahun 2012 Pola Asuh Ibu Authoritative Authoritarian Total
Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anaka Prasekolah f % f % 23 53,5 11 25,6 2 4,7 7 16,3 25 58,1 18 41,9
χ2
p-value
6,033
0,014
Pola Asuh Ibu Berhubungan dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TK Al Farabi Yogyakarta
51
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila menganggap peraturan tersebut tidak adil. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi anak tidak harus selalu patuh pada orang tuanya. Dalam disiplin yang demokratis, hukuman disesuaikan dengan pelanggaran yang telah dibuat anak dan tidak dilakukan hukuman fisik. Pada umumnya pola pengasuhan ini di terapkan oleh orang tua yang menerima kehadiran anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan masa depan dengan jelas. Mereka tidak hanya memikirkan masa kini, tetapi memahami bahwa dimasa depan harus dilandasi oleh tindakan-tindakan masa kini. Mereka menyadari dan menghayati ada kesinambungan perkembangan kepribadian anak sepanjang hidup. Pola asuh authoritarian hasil penelitian menujukkan 9 (20,9%), setiap orang lahir pasti memiliki karakter dan watak yang berbeda-beda begitu pula dengan pola asuh anak yang diberikan orang tua, adanya pola asuh otoriter yang diterapkan dengan alasan agar anaknya dapat memperhatikan apa yang dijarkan orang tua. Pola asuh otoriter kebanyakan diterapkan oleh orang tua yang berasal dari pola pengasuh otoriter pula di masa kanak-kanaknya atau oleh orang tua yang sebenarnya menolak kehadiran anak. Cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa kemudian. Orang tua atau pengasuh mengendalikan anak lebih karena kepentingan orang tua atau pengasuhnya untuk mempermudah pengasuhan. Mereka menilai dan menuntut anak untuk memenuhi dan mentaati standar mutlak kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun. Orang tua atau pengasuh merasa tidak pernah bersalah. Orang tua menetapkan peraturan-peraturan bersifat kaku dan anak harus mematuhi peraturan tersebut, tidak ada usaha untuk menjelaskan pada anak mengapa anak harus patuh pada orang tua tentang adil/ tidaknya peraturan-peraturan tersebut masuk akal atau tidak. Bila anak tidak mengikuti peraturan tersebut anak akan di hukum yang sering kali kejam dan keras dan dianggap sebagai cara untuk mencegah pelanggaran peraturan di masa mendatang. Hukuman yang diberikan lebih pada hukuman fisik, kontrol pengekangan dan pengendalian yang ketat terhadap keinginan dan kemauan anak pun juga dilakukan(8). Pola asuh permissive hasil penelitian tidak ada yang menerapkan model pola asuh tersebut pada anaknya, mungkin pola asuh tersebut belum tepat diterapkan pada anak prasekolah. Pola asuh permissive mengutamakan kebebasan anak untuk mengemukakan keinginan dan kemauannya. Anak bebas memilih, bahkan orang tua mengikuti perilaku
52
anak. Anak di pandang secara alami memiliki bekal untuk mengurus dirinya sendiri. Permissive terlihat pada orang tua yang membiarkan anak berbuat sesuka hati, dengan sedikit kekangan. Segala sesuatu justru berpusat pada perilaku anak, orang tua tidak mengendalikan perilaku sesuai dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak(8). Pola asuh ibu terhadap anak yang baik merupakan hal yang sangat penting karena akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak balita. Pola pengasuhan anak adalah sikap dan perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makan/gizi, merawat, kebersihan, kesehatan, kasih sayang dan sebagainya. Pola asuh ibu pada anaknya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kesehatan, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuh anak yang baik, peran dalam keluarga atau di masyarakat, sifat pekerjaan sehari-hari, adat kebiasaan keluarga dari ibu atau pengasuh anak(8). Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah Tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah diketahui sebanyak 25 anak (58,1%) memiliki perkembangan bahasa normal, sedangkan kemampuan dengan kreteria suspect sebanyak18 (41,9%). Perkembangan bahasa merupakan kemampuan membentuk pengertian, menyusun pendapat, dan menarik kesimpulan, untuk meningkatkan komunikasi anak-anak harus menguasai dua tugas pokok yang merupakan unsur penting dalam berbicara, yaitu meningkatkan kemampuan untuk mengerti apa yang dikatakan orang. M e n u r u t Yu s u f , b a h a s a s a n g a t e r a t kaitanya dengan perkembangan berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya(6). Setiap orang yang berada dalam fase pertumbuhan dan perkembangan (termasuk anak TK) mengalami berbagai hambatan, gangguan serta kesulitan yang pemecahannya kadang-kadang memerlukan bantuan orang lain terutama orang yang profesional. Masalah-masalah yang tidak tertuntaskan secara tepat bisa menimbulkan hambatan dan masalah pada anak masa sekarang, maupun setelah anak melanjutkan ke jenjang sekolah dasar. Menurut Nugroho, DDST II mengkaji perkembangan anak dari lahir sampai usia enam tahun pada empat dominan, yaitu personal sosial, motorik halus, bahasa, dan motorik kasar Item dalam Denver II merupakan instrumen skrining yang berguna, tetapi tidak dapat mengkaji secara adekuat kompleksitas perkembangan sosio emisional(7).
Nurul Hidayah, Tri Prabowo, Army Najmuna, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 48-54
Hubungan Pola Asuh Ibu dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta Hasil penelitian diketahui pola asuh authoritative dengan perkembangan bahasa normal sebanyak 23 (53,5%) sedangkan pola asuh authoritarian dengan pekembangan bahasa suspect sebanyak 7 (16,3%). Hasil tersebut memberikan gambaran tentang pola asuh ibu authoritative cenderung memberikan perkembangan bahasa pada anak sebagian besar normal sedangkan pola asuh authoritarian dengan perkembangan bahasa anak suspect. Analisis dengan uji chi-square, diketahui nilai signifikansi 0,014 (p<0,05), nilai χ2 hitung sebesar 6,033, sehingga dapat dinyatakan terd apat hubungan pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Nilai koefisien kontingensi berada pada interval koefisien korelasi 0,200–0,399 sebesar 0,351 nilai tersebut menurut Sugi menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah kategori rendah, hasil tersebut dapat diketahui tidak semua pola pola asuh authoritative dengan perkembangan bahasa normal namun ada pula siswa yang miliki perkembngan bahasa pekembangan bahasa suspect. Hasil tersebut menujukan bahwa perkembangan bahasa anak dapat dipengarui oleh faktor lain selain faktor pola asuh, seperti intelegens, perkembangan motorik, stimulasi lingkungan, status sosial ekonomi keluarga dan jenis kelamin. Faktor perkembangan kognitif dapat mempengaruhi kemampuan bahasa anak, khususnya pada 2 tahun pertama, sangat penting dalam perkembangan bahasa. Anak yang perkembangan bahasanya cepat, pada umumnya mempunyai intelegensi normal atau di atas normal. Faktor Perkembangan motorik selama dua tahun pertama sangat penting untuk menyiapkan pengguanaan bahasa. Faktor stimulasi lingkungan, masukan sensorik, dan pengalaman kejadian-kejadian anak sangat penting untuk perkembangan bahasa, sedangkan lingkungan merupakan ikatan kultural yang ditentukan oleh orang tua. Lingkungan mempunyai pengaruh penting terhadap perkembangan bahasa, pengaruh ini dimulai sejak dini dan berlangsung untuk jangka waktu yang lama. Faktor status sosial ekonomi keluarga beberapa studi tentang hubungan perkembangan bahasa dengan status sosial ekonomi keluarga menunjukkan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami kelambatan dalam perkembangan bahasanya dibanding dengan anak yang berasal dari keluarga yang lebih baik. Kondisi ini terjadi mungkin disebabkan oleh perbedaan kecerdasan atau kesempatan belajar dan faktor
Jenis kelamin Pada tahun pertama usia anak, tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria dengan wanita. Namun mulai usia dua tahun, anak wanita menunjukan perkembangan yang lebih cepat dari anak pria. Setiap manusia mengalami proses perkembangan selama masa hidupnya. Proses perkembangan manusia meliputi beberapa aspek yakni perkembangan fisik, perkembangan psikososial dan perkembangan kognitif. Salah satu perubahan yang terjadi pada perkembangan kognitif adalah perubahan dalam bahasa di samping perubahan pada pemikiran dan intelegensi individu(3). Menurut Wong, tumbuh kembang anak terdiri dari beberapa tahapan dan tiap-tiap tahap mempunyai ciri tersendiri. Salah satu tahap tumbuh kembang anak adalah usia prasekolah(5). Usia prasekolah mempunyai karakteristik sendiri, masa ini sebagai masa persiapan anak menuju periode sekolah, kemampuan interaksi dengan orang lain dan orang dewasa, menggunakan bahasa untuk menunjukkan kemampuan mental, bertambahnya perhatian terhadap waktu dan ingatan. Keberhasilan penerimaan pada tahap tumbuh kembang sebelumnya adalah penting bagi anak usia prasekolah, untuk memperbaiki tugastugas yang sudah dikuasai pada masa toddler. Bahasa sangat erat kaitanya dengan perkembangan berfikir individu. Perkembangan pikiran individu tampak dalam perkembangan bahasanya. Setiap orang yang berada dalam fase pertumbuhan dan perkembangan (termasuk anak TK) mengalami berbagai hambatan, gangguan serta kesulitan yang pemecahannya kadang-kadang memerlukan bantuan orang lain terutama orang yang profesional. Masalahmasalah yang tidak tertuntaskan secara tepat bisa menimbulkan hambatan dan masalah pada anak masa sekarang, maupun setelah anak melanjutkan ke jenjang sekolah dasar. Pola asuh authoritative (demokratis), model pola asuh ini sangat baik sekali diterapkan pada anak. Tipe pola asuh yang demokratis mempunyai prinsip menekankan anak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan tersebut di buat, anak di beri kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila menganggap peraturan tersebut tidak adil. Sekalipun anak masih sangat muda tetapi anak tidak harus selalu patuh pada orang tuanya. Dalam disiplin yang demokratis, hukuman disesuaikan dengan pelanggaran yang telah dibuat anak dan tidak dilakukan hukuman fisik. Pada umumnya pola pengasuhan ini di terapkan oleh orang tua yang menerima kehadiran anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan masa depan dengan jelas.
Pola Asuh Ibu Berhubungan dengan Tingkat Perkembangan Bahasa pada Anak Prasekolah di TK Al Farabi Yogyakarta
53
Mereka tidak hanya memikirkan masa kini, tetapi memahami bahwa di masa depan harus dilandasi oleh tindakan-tindakan masa kini. Mereka menyadari dan menghayati ada kesinambungan perkembangan kepribadian anak sepanjang hidup. Pola asuh yang diberikan orang tua dapat menentukan meningkatkan perkembangan bahasa anak, terbukti pola asuh demokratis dapat meningkatkan perkembangan bahasa dengan kategori normal, untuk itu orang tua harus dapat memberikan perhatian dan pola asuh demokratis dan bekerja sama dengan guru disekolah dengan adanya perhatian dan pola asuh yang baik serta motivasi dari guru Taman Kanak-Kanak maka dapat memberikan perkembangan bahasa yang optimal. Anak biasanya mulai dimasukkan ke institusi pendidikan, seperti Taman Kanak-Kanak, pada usia empat tahun, TK merupakan bentuk satuan pendidikan anak usia dini yang termasuk dalam jalur pendidikan formal. Di TK anak-anak diberi kesempatan belajar dengan kurikulum pembelajaran yang sesuai dengan usia tiap tingkatan. Kurikulum TK ditekankan pada pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh authoritative dengan perkembangan bahasa normal sebanyak 23 (53,5%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yaitu ada hubungan pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Ursula, hasil penelitian diketahui terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan prestasi belajar siswa SMAN 3 Yogyakarta(9). Penelitian yang dilakukan oleh Widia, hasil penelitian diketahui terdapat hubungan pola asuh orang tua dengan kecendrungan perilaku caring pada mahasiswa psik UGM(10). Penelitian yang dilakukan oleh Denok, hasil penelitian terdapat hubungan antara pola asuh dengan masalah perilaku sulit makan pada anak TK ABA Lempuyanagan dan TK Aisyiyah Miliran(11). Model pola asuh yang diterapakan setiap orang berbeda-beda sehingga dengan model pola asuh orang tua yang tepat maka dapat membantu perstasi dan kemampuan perkembangan bahasa pada anak. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan pada bab sebelumya, maka dapat kesimpulan pola asuh ibu pada anak prasekolah di TKIT AL FARABI Yogyakarta sebagian besar ibu memberikan pola asuh pada anaknya dengan pola asuh authoritative (demokratis), tingkat perkembangan bahasa pada
54
anak prasekolah di TKIT AL FARABI Yogyakarta sebagian besar memiliki perkembangan bahasa normal, terdapat hubungan pola asuh ibu dengan tingkat perkembangan bahasa pada anak prasekolah di TKIT AL-FARABI Yogyakarta. Saran bagi guru TKIT perlu untuk memberikan stimulasi verbal kepada anak didiknya dengan melakukan suatu percakapan di sekolah sehingga dapat memacu anak untuk belajar berbahasa. Bagi ibu agar selalu memberikan pengasuhan yang mempunyai prinsip untuk menekankan anak untuk mengetahui mengapa peraturan-peraturan di buat dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengemukakan pendapatnya sendiri bila menganggap peraturan tersebut tidak adil. RUJUKAN 1. BKKBN. Tujuan Pembangunan Nasional [internet]. 2002 [cited 2012 Jan 6]. Available from: http://subijakto.blogspot.com/2011/07/ tujuan-pembangunan-nasional.html 2. Wahyuningsih. Tingkat Perkembangan Bahasa dan Sosial Kemanandirian Anak Usia Prasekolah di TK Half – Day. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2007. 3. S a n t r o c k J W. L i f e - S p a n D e v e l o p m e n t : Perkembangan Masa Hidup. 5th ed.Chusairi A, Damanik J. Translators. Sinaga H, Sumiharti Y. editors. Jakarta: Erlangga; 2002. 4. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 2003. 5. Wong. 2003. Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC; 2003. 6. Yusuf S. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda; 2002. 7. Nugroho. Denver Developmental Screening Test. Jakarta: EGC; 2009. 8. Anjani D. Hubungan antara pola asuh dengan masalah perilaku sulit makan pada anak TK Aba Lempuyungan dan TK Aisyiyah Miliran. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran UGM; 2006. 9. Yusuf S. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosda; 2005. 10. Ursula AR. Hubungan pola asuh orangtua dengan prestasi belajar siswa SMA 3 Yogyakarta. Yogyakarta: UGM; 2008. 11. Widia Y. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan kecenderungan perilaku caring pada Mahasiswa PSIK UGM. Yogyakarta: UGM; 2009. 12. Denok A. Hubungan Pola Asuh dengan Masalah Perilaku sulit makan pada anak TK ABA Lempuyangan dan TK Aisyiyah Miliran. Yogyakarta: UGM; 2006.
Nurul Hidayah, Tri Prabowo, Army Najmuna, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 48-54
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tingkat Ekonomi Keluarga Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul Diyah Intan Pradini1, Yhona Paratmanitya2, Dedi Mawardi Pamungkas3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Abstrak Pemberian informasi yang benar dan tepat sangat dibutuhkan oleh akseptor KB supaya mereka yakin dan mantap dengan pilihannya tanpa melihat biaya untuk membayar kontrasepsi tersebut. Informasi yang tidak benar dan tidak tepat tentang alat kontrasepsi yang digunakan dapat menyebabkan akseptor KB mengeluh karena adanya efek dan biaya yang terlalu mahal tentang alat kontrasepsi yang mereka gunakan. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul pada tahun 2012. Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB di Dukuh Manukan sebanyak 102 orang. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB di Dukuh Manukan yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 42 akseptor KB. Pengumpulan data menggunakan kuesioner tentang pendapatan, pekerjaan dan alat kontrasepsi yang dipilih. Analisis Univariat menggunakan tabel distribusi frekuensi relatif yang dinyatakan dalam bentuk prosentase dan analisi bivariat dalam peneltian ini menggunakan analisis chi square. Hasil pebelitian menunjukan tingkat ekonomi tinggi sebanyak 27 orang (64,3%), 17 orang (63%) diantaranya memilih alat kontrasepsi efektif dan 10 orang (37%) lainnya memilih alat kontrasepsi Non efektif. Sedangkan jumlah responden yang mempunyai tingkat ekonomi keluarga rendah adalah sebanyak 15 orang (35,7%) dengan 8 orang (53,4%) diantaranya memilih alat kontrasepsi Non efektif sedangkan lainnya 7 orang (46,7%) memilih alat kontrasepsi Efektif. Hasil perhitungan statistic diperoleh nilai χ2 sebesar 1,07 pada df 1 dengan taraf signifikansi 5% maka diketahui χ2 tabel = 3,841 yang berati χ2 hitung <χ2 tabel (1,07<3,841) dan p value = 0,307 >0,05. Kesimpulan tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul pada tahun 2012. Kata Kunci: tingkat ekonomi keluarga, pemilihan alat kontrasepsi
Info Artikel: Artikel dikirim pada 13 Juni 2013 Artikel diterima pada 17 Juni 2013 PENDAHULUAN Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan(1). Kontrasepsi menurut buku petugas fasilitas pelayanan Keluarga Berencana berasal dari kata Kontra berarti mencegah atau melawan, sedangkan Konsepsi adalah pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan(2). Keluarga Berencana (KB) menurut World Health Organitation (WHO) dalam Hartanto adalah tindakan yang membantu individu atau pasangan suami istri untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan,
mengatur interval diantara kehamilan, menentukan jumlah anak dalam keluarga(3). Istilah pengendalian kehamilan, kontrasepsi dan keluarga berencana seringkali digunakan secara bergantian meskipun semua pernyataan ini tidak memiliki pengertian yang sama. Istilah pengendalian kehamilan mengacu pada pengaturan jumlah anak yang dikandung atau yang lahir. Kontrasepsi mengacu pada pencengahan kehamilan temporer yang dicapai lewat penggunaan kontrasepsi kontrasepsi spesifik, atau metode pengendalian kehamilan. Keluarga Berencana memiliki konotasi yang paling luas.
Tingkat Ekonomi Keluarga Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul
55
Pada istilah ini terkandung pertimbangan tambahan terhadap faktor fisik, sosial, psikologis, ekonomi dan keagamaan yang mengatur sikap keluarga sekaligus mempengaruhi keputusan keluarga dalam menetapkan ukuran keluarga, jarak antar anak dan pemilihan serta penggunaan metode pengendalian kehamilan(4). Menurut Varney, dkk, sebelum menetapkan suatu metode kontrasepsi, individu atau pasangan suami istri, mula-mula harus memutuskan apakah mereka ingin menerapkan program keluarga berencana(4). Sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi keputusan ini antara lain faktor sosial budaya, pekerjaaan dan ekonomi, keagamaan, hukum, fisik, hubungan, psikologis, status kesehatan saat ini dan riwayat genetik. Menurut data Survey Demografi dan Kependudukan Indonesia menunjukan pengetahuan tentang suatu alat/cara KB meningkat seiring dengan semakin tingginya indeks kekayaan kuantil, yaitu 94 persen pada kalangan wanita termiskin, sementara di kalangan wanita kaya seluruhnya mengetahui(5). Ekonomi adalah sebuah kegiatan yang bisa menghasilkan uang. Sukirno memberikan gambaran mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran konsumsi hingga diperoleh tingkat ekonomi dalam keluarga yaitu tingkat ekonomi rendah, tingkat ekonomi sedang dan tingkat ekonomi tinggi(6). Variasi KB dan tarif retribusi untuk pelayanan Keluarga Berencana menurut Peraturan Daerah (PERDA) Bantul nomor 9 tahun 2011 adalah Pemasangan IUD Rp 26.250, Pelepasan IUD Rp 25.750, Pemasangan & Lepas IUD Rp 46.250, Pemasangan Implant Rp 30.450, Pelepasan Implant Rp 30.450, Pasang & Lepas Implant/Norplant Rp 50.450, MOP/MOW Rp 276.550, namun pelaksanaan di lapangan seringkali berbeda dan cenderung lebih mahal(7). Berdasarkan studi pendahuluan di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul pada tanggal 10 April 2012 jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) sebanyak 102 pasangan. Setelah dilaksanakannya studi pendahuluan terhadap 10 PUS yang merupakan akseptor KB di Dukuh Manukan, Sendangsari, Pajangan, Bantul contoh akseptor yang tergolong ekonomi rendah menggunakan KB suntik sebanyak 2 orang sebesar 20% dan IUD sebanyak 1 orang sebesar 10%, ekonomi sedang menggunakan KB kondom sebanyak 1 orang sebesar 10% dan pil KB sebanyak 1 orang dan akseptor ekonomi tinggi menggunakan KB IUD sebanyak 1 orang sebesar 10%, Suntik sebanyak 1 orang sebesar 10% dan MOW sebanyak 1 orang sebesar 10%. Di dukuh Manukan penggunaan kontrasepsi sangat heterogen antara kontrasepsi suntik KB, kondom, IUD, pil, MOW (medis operatif wanita). Mereka 56
memilih alat kontrasepsi tidak selalu berdasarkan penghasilan perbulannya, ada yang mengatakan menggunakan kontrasepsi karena keterbatasan biaya, kecocokan, bahkan mendapatkan bantuan dari program pemerintah seperti MOW atau IUD. Secara umum untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi di Dukuh Manukan, Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta. Secara khusus untuk mengetahui karakteristik tingkat ekonomi keluarga akseptor KB yang meliputi tingkat ekonomi tinggi dan tingkat ekonomi rendah, untuk mengetahui pemilihan alat kontrasepsi pasangan usia subur yang meliputi alat kontrasepsi efektif (MOP/medis operatif pria, MOW, IUD dan implan) dan non efektif (pil, suntik dan kondom). BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan menggunakan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasangan usia subur yang menjadi akseptor KB swasta di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul sebanyak 42 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling sebanyak 42 akseptor program swasta. Penelitian ini dilaksanakan di Dukuh Manukan, Sendangsari, Pajangan, Bantul dilaksanakan pada bulan 28 Mei sampai 10 juni 2012. Kuesioner yang berisi pertanyaan tentang pekerjaan, pendapatan, pendidikan, umur, pengeluaran, pemilihan alat kontrasepsi). Variabel bebas dalam karya tulis ini adalah tingkat ekonomi keluarga. Variabel terikat dalam karya tulis ilmiah ini adalah pemilihan alat kontrasepsi. Analisis bivariat dalam penelitian ini menggunakan analisis chi-square. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik responden Jumlah responden yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini adalah 42 responden setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Responden kemudian dikelompokan berdasarkan karakteristik umur, pendidikan dan pekerjaan. Tabel 1 menunjukkan umur yang paling banyak adalah umur >35 tahun dengan jumlah 27 orang (64,3%). Sedangkan kelompok umur 20 tahun merupakan yang paling sedikit dengan jumlah 0 orang atau tidak ada akseptor sama sekali yang berumur di bawah 20 tahun. Pada karakteristik menurut pendidikan didapatkan bahwa lebih banyak responden berpendidikan SMP yaitu sebanyak
Diyah Intan Pradini, Yhona Paratmanitya, Dedi Mawardi Pamungkas, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 55-60
18 orang ( 42,9%) sedangkan yang paling sedikit adalah SMA sebanyak 3 oarang (7,2%). Pada karakteristik menurut pekerjaan menunjukan bahwa sebagian besar responden adalah buruh sebanyak 31 orang (73,8%) sedangkan yang paling sedikit adalah responden yang berprofesi PNS sebanyak 5 orang(11,9%). Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Kelompok Umur, Pendidikan, Pekerjaan Karakteristik Responden Umur <20 20-35 >35 Pendidikan SD SMP SMA PT Pekerjaan PNS Swasta Buruh Jumlah
f
%
0 15 27
0 35,7 64,3
14 18 3 7
33,3 42,9 7,2 16,6
5 6 31 42
11,9 14,3 73,8 100
Tingkat Ekonomi Responden Tingkat ekonomi dalam penelitian ini dikelompokan menjadi 2 yaitu tingkat ekonomi rendah jika penghasilan perbulan kurang dari UMR (Rp 892.660) dan tingkat ekonomi tinggi jika penghasilan perbulan lebih besar sama dengan UMR (Rp 892.660). Tabulasi tingkat ekonomi keluarga disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Krakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Ekonomi Ekonomi Keluarga Tinggi Rendah Jumlah
f 27 15 42
% 64,3 35,7 100
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden di Dukuh Manukan merupakan tergolong tingkat ekonomi tinggi sebanyak 27 pasangan (64,3%) dan tingkat ekonomi rendah sebanyak 15 pasangan (35,7%). Pemilihan Alat Kontrasepsi Pemilihan alat kontrasepsi pasangan usia subur di Dukuh Manukan terdapat 2 pilihan yaitu efektif dan non efektif. Pemilihan alat kontrasepsi efektif jika responden memilih alat kontrasepsi
IUD, MOW, MOP, implan sedangkan pemilihan alat kontrasepsi non efektif jika responden memilih alat kontrasepsi yaitu kondom, suntik, pil. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pemilihan Alat Kontrasepsi Pasangan Usia Subur Pemilihan alat kontrasepsi Efektif Non Efektif Jumlah
f 24 18 42
% 57,1 42,9 100
Tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden menggunakan metode kontrasepsi non efektif sebanyak 24 orang (57,1%) dan metode efektif sebanyak 18 orang (42,9%). Hubungan antara Tingkat Ekonomi Keluarga dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Tabulasi silang tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Distribusi Subyek Penelitian Berdasarkan Tingkat Ekonomi Keluarga dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi. Tingkat ekonomi Tinggi Rendah Jumlah
Efektif Non Efektif f % f % 17 63 10 37 7 46,7 8 53,4 24 57,1 18 42,9
Jumlah f % 27 100 15 100 42 100
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa sebagian besar responden yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi sebanyak 27 orang (64,3%), 17 orang (63%) diantaranya memilih alat kontrasepsi efektif dan 10 orang (37%) lainnya memilih alat kontrasepsi non efektif. Sedangkan jumlah responden yang mempunyai tingkat ekonomi keluarga rendah adalah sebanyak 15 orang (35,7%) dengan 8 orang (53,4%) diantaranya memilih alat kontrasepsi non efektif sedangkan lainnya 7 orang (46,7%) memilih alat kontrasepsi efektif. Tabel 5. Analisis Hubungan antara Tingkat Ekonomi Keluarga dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul Variabel Variabel Bebas Terikat Tingkat Pemilihan Ekonomi KB
n
χ2
42 0,05
p-value
ket
0,307
Tidak signifikan
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa hasil perhitungan statistik menggunakan uji chi-square diperoleh nilai χ2 sebesar 1,07. Berdasarkan degree
Tingkat Ekonomi Keluarga Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul
57
of freedom=1 dan taraf signifikansi 5% maka diketahui χ 2 tabel = 3,841 yang berat χ 2 hitung < χ 2 tabel (1,07<3,841) dan p-value = 0,307 > 0,05 yang dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi.
alat tersebut. Tetapi juga pada responden yang memilih alat kontrasepsi non efektif karena kecocokan dari alat kontrasepsi itu sendiri dan kemudahan penggunaannya yang tidak emmerlukan tindakan medis dan pemeriksaan dalam.
Tingkat ekonomi
Hubungan tingkat ekonomi dengan pemilihan alat kontrasepsi
Faktor yang mempengaruhi tingkat ekonomi menurut Supariasa yaitu pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran/anggaran, dan harga makanan(8). Berdasarkan UMR tahun 2012 di DIY yaitu Rp 892.660 tingkat ekonomi dibagi menjadi tinggi dan rendah yang mana jika tingkat ekonomi tinggi pendapatan ≥Rp 892.660 dan rendah pendapatan
58
Laki-laki dan perempuan yang semakin berpengalaman dalam menggunakan kontrasepsi, akan memilih alat kontrasepsi yang lebih efektif. Menurut Hartanto pengalaman menunjukan bahwa saat ini pilihan metode kontrasepsi umunya masih dalam bentuk supermaket, dimana calon akseptor memilih sendiri metode kontrasepsi yang diinginkannya(3). Faktor dalam memilih metode kontrasepsi yaitu faktor pasangan, faktor kesehatan dan faktor metode kontrasepsi (efektivitas, efek samping minor, kerugian, komplikasi, dan biaya). Pilihan kontrasepsi secara rasional pada dasarnya merupakan pilihan klien secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan, yang didasarkan pada pertimbangan secara rasional dari sudut tujuan atau teknis penggunaan, kondisi kesehatan medis, dan kondisi sosial ekonomis dari masing-masing pasangan(9). Sehingga tingkat ekonomi juga mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi. Hasil penelitian menunjukan responden yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi sebagian besar (63%) diantaranya memilih alat kontrasepsi efektif. Sedangkan responden yang mempunyai tingkat ekonomi keluarga rendah (53,4%) memilih alat kontrasepsi non efektif. Hasil tersebut menunjukan responden yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi cenderung memilih alat kontrasepsi yang lebih efektif, karena penghasilan yang cukup memotivasi seseorang utnutk memilih alat kontrasepsi yang lebih baik pula. Faktor sosial ekonomi dan pendidikan juga turut mempengaruhi pengetahuan responden dalam menentukan jenis kontrasepsi yang mempunyai pendapatan yang cukup dan pendidikan tinggi akan mempunyai pengetahuan yang relatif tinggi dan kemudahan dalam memilih jenis kontrasepsi yang sesuai dibandingkan dengan responden yang mempunyai pendapatan rendah berkaitan dengan jenis kontrasepsi yang digunakan tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan serta efek samping masing-masing alat(10). Setelah diuji secara statistik ternyata tidak menunjukan hubungan yang signifikan. Berdasarkan hasil uji chi-square diketahui bahwa tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi yang dibuktikan oleh nilai chi-square nilai χ2 sebesar 1,07. Berdasarkan
Diyah Intan Pradini, Yhona Paratmanitya, Dedi Mawardi Pamungkas, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 55-60
degree of freedom=1 dan taraf signifikansi 5% maka diketahui χ2 tabel = 3,841 yang berarti χ2 hitung < χ2 tabel (1,07 < 3,841) dan p-value = 0,307 > 0,05. Hal ini diduga dapat disebabkan oleh rata-rata pengeluaran responden yang hampir sama dengan pendapatannya, dan pada responden tingkat ekonomi rendah mereka memilih alat kontrasepsi non efektif dan efektif juga hampir seimbang jumlahnya atau hampir tidak ada perbedaan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Itos mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik di Desa Sibowi. Penelitian ini menunjukan ada 3 faktor yang tidak ada hubungan yang bermakna, antara lain pertama tidak ada hubungan yang bermakna antara pendapatan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik, akan tetapi jika dilihat bahwa ibu yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 670.000 lebih banyak memilih alat kontrasepsi suntik daripada yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 670.000(11). Kedua tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik, tetapi ibu yang memiliki pendidikan SMA lebih banyak memilih alat kontrasepsi suntik dibandingkan ibu dengan pendidikan rendah <SMA. Ketiga tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penggunaan alat kontrasepsi suntik. Selain itu, hal ini terjadi karena dalam pemilihan alat kontrasepsi dipengaruhi oleh banyak faktor yang diantaranya meliputi umur, jumlah anak, pendidikan dan pengetahuan(3). Dari faktor tersebut ada faktor lain yang diduga lebih kuat mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi seperti penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningrum mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi yang digunakan pada pasangan usia subur yang menunjukan, dalam hubungan dengan pemakaian kontrasepsi pendidikan akseptor dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan jenis kontrasepsi yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kelangsungan pemakaiannya. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki mempunyai pengaruh yang kuat pada perilaku reproduksi dan penggunaan alat kontrasepsi(12). Berdasarkan SDKI 2002-2003, pemakaian alat kontrasepsi meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan. Sebesar 45% wanita yang tidak sekolah menggunakan cara kontrasepsi bukan modern, sedangkan wanita berpendidikan menengah atau lebih tinggi yang menggunakan cara kontrasepsi modern sebanyak 58%. Jadi, secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan wanita maka memakai alat/cara KB akan semakin modern. Kemudian faktor umur istri dan jumlah anak memiliki hubungan yang bermakna dengan pemilihan jenis
kontrasepsi yang digunakan pada PUS dan setelah dilakukan uji Binary logistic diketahui bahwa umur istri merupakan faktor yang paling berpengaruh. Pada penelitian Pratiwi, mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu nifas dengan pemilihan alat kontrasepsi di RB Bina Sehat Karangjati yang menunjukan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan ibu nifas dengan pemilihan alat kontrasepsi di RB Bina Sehat Karangjati(13). Menurut Hartanto faktor lain yang mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi yaitu faktor pasangan, kesehatan dan metode kontrasepsi(3). Pada penelitian Faridah dan Tenti juga menunjukan bahwa dukungan suami mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi(14). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasaan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini tingkat ekonomi pasangan usia subur di dukuh Manukan yaitu sebagian besar tinggi sebanyak 27 orang (64,3%) dan tingkat ekonomi rendah sebanyak 15 orang (35,7%), pemilihan alat kontrasepsi pasangan usia subur di dukuh Manukan sebagian besar memilih alat kontrasepsi efektif sebanyak 24 orang (57,1%) dan non efektif sebanyak 18 orang (42,9 %), hasil penelitian ini menunjukan tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan pemilihan alat kontrasepsi. Berdasarkan dari kesimpulan penelitian di atas, maka dapat diberikan saran bagi akseptor KB agar meningkatkan kesadarannya untuk dapat menggunakan alat kontrasepsi dan memilih alat kontrasepsi secara tepat dan efektif dengan cara mencari informasi tentang alat kontrasepsi yang digunakan. Bagi peneliti selanjutnya responden dan mencari faktor lain yang berpengaruh dalam pemilihan alat kontrasepsi RUJUKAN 1. Winkjosastro. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPSP; 2007. 2. Depkes RI. Buku Petugas Fasilitas Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Depkes RI; 2005. 3. Hartanto, Hanafi. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan; 2004. 4. Varney, et al. Buku Ajar Asuhan Kebidanan vol1. 4th ed. Jakarta: EGC; 2006. 5. SDKI. Survey Dinas Kesehatan. Indonesia: SDKI; 2007. 6. Sukirno. Makro Ekonomi: Teori Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada; 2006.
Tingkat Ekonomi Keluarga Berhubungan dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi di Dukuh Manukan Sendangsari Pajangan Bantul
59
7. SK Gubernur DI Yogyakarta. Peraturan Daerah Nomor 9 di Yogyakarta [internet]. 2011 [cited 2012 Jan 20]. Available from: www.hrcentro. com 8. Supariasa. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC; 2002. 9. BKKBN. Tepatkah Cara KB Anda [internet]. 2007 [cited 2012 Jun 23]. Available from: http://pikas.bkkbn.go.id/gemapria/article-detail. php?artid=41 10. Saifuddin, et al. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2003. 11. Itos. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi Suntik di Desa
60
Sibowi. STIKES Widya Nusantara Sulawesi Tengah; 2008. 12. K u s u m a n i n g r u m R . F a k t o r - f a k t o r y a n g Mempengaruhi Pemilihan Alat Kontrasepsi yang digunakan pada Pasangan Usia Subur. Universitas Diponegoro Semarang; 2009. 13. Pratiwi. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Nifas dengan Rencana Pemilihan Alat Kontrasepsi di RB Bina Sehat Karangjati Bangunjiwo Kasihan Bantul. STIKES Alma Ata Yogyakarta; 2009. 14. Faridah U, Tenti K. Hubungan antara dukungan suami dengan pemilihan metode kontrasepsi pascapersalinan di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. J Kebidanan dan Keperawatan. 2009;5(1):49-58
Diyah Intan Pradini, Yhona Paratmanitya, Dedi Mawardi Pamungkas, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 55-60
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri di Dusun Ngrame Kasihan Bantul Muryani1, Ircham Machfoedz2, Muh. Nur Hasan3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Abstrak Perilaku memiliki peran hingga 30-35% terhadap derajat kesehatan, termasuk perilaku pencegahan penyakit difteri. Hasil beberapa penelitian di DIY pernah terjadi kejadian luar biasa (KLB) difteri. Berdasarkan survey, di Dusun Ngrame pernah ada kejadian penyakit difteri dan diduga erat hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri di RT 01, 02, dan 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil menggunakan teknik purposive sampling dengan sampel berjumlah 69 orang ibu. Alat penelitian menggunakan dua instrumen berbentuk kuesioner pengetahuan dan perilaku. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistik kendall tau. Hasil penelitian tingkat pengetahuan ibu tentang difteri di RT 01,RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame mayoritas baik yaitu sebanyak 59 orang (85,5%) dan perilaku pencegahan penyakit difteri mayoritas baik yaitu 58 orang (84,1%). Hasil uji korelasi kendall tau diperoleh p value 0,000 < α (0,05) hingga dapat disimpulkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011 dengan koefisien korelasi sebesar 0,729. Kesimpulan ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011. Kata Kunci: tingkat pengetahuan, perilaku pencegahan, penyakit difteri
Info Artikel: Artikel dikirim pada 11 Juni 2013 Artikel diterima pada 11 Juni 2013 PENDAHULUAN Indonesia sehat 2010 adalah visi pembangunan kesehatan nasional yang menggambarkan masyarakat Indonesia di masa depan penduduknya hidup dalam lingkungan sehat. Perilaku sehat adalah perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Salah satu perilaku sehat yang harus di ciptakan untuk menuju Indonesia sehat yang harus diciptakan untuk menuju Indonesia sehat 2010 adalah perilaku. Pencegahan dan penanggulangan penyakit dengan kegiatan imunisasi dan menerapkan PHBS(1). Pada kenyataannya, kesadaran masyarakat untuk berperilaku sehat masih belum seperti yang diharapkan, walaupun beberapa kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku yang sehat telah dilaksanakan
dalam kegiatan PHBS terdapat beberapa tatanan, tiga tatanan yang menjadi utama sasaran PHBS adalah tatanan rumah tangga, tatanan institusi dan tatanan tempat-tempat umum. PHBS tatanan rumah tangga mempunyai daya ungkit yang paling besar terhadap perubahan perilaku masyarakat secara umum. Berdasarkan laporan kesehatan provinsi DIY untuk persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat 66,49%, kabupaten Bantul menduduki urutan kedua dari bawah yaitu dengan 57,55%, dan wilayah Puskesmas Kasihan II 86,54%(2). Difteri merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti TBC, diphteri, pertusis, campak, tetanus, polio, dan hepatitis B merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara miskin dan berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini sudah lama dikenal, dan mulai banyak dilaporkan pada tahun 1921. Pada
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri
61
tahun 1983, WHO melaporkan 92.000 kasus difteri pernafasan yang terjadi di Asia, Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Difteri kutan tidak banyak dilaporkan dan jarang menimbulkan toksisitas. Di Amerika Serikat, selama periode tahun 1959-1970, ditemukan 3916 kasus difteri, dan hanya 0,18% diantaranya menderita difteri kutan(3). Berdasarkan Depkes RI, KLB difteri pernah terjadi di Indonesia di beberapa provinsi, antara lain di Jawa Barat dengan 25 kasus yang meninggal 4 orang, Jawa Timur dengan 73 kasus yang meninggal 4 orang, Jawa Tengah dengan 11 kasus tidak ada yang meninggal, Kalimantan Timur dengan kasus 2 orang dan tidak ada yang meninggal, Riau dengan kasus 11 orang yang meninggal 1 orang, Sulawesi Tenggara dengan 2 kasus dan tidak ada yang meninggal dan Sumatera Barat 1 kasus dan tidak ada yang meninggal(4). Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Wahab, di DIY pernah terjadi KLB pada tahun 1986-1992 dengan penderita sebanyak 32 orang yang di rawat di RS Sardjito(5). Sebelum itu, di Sleman juga pernah terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 94 orang, sedangkan di Bantul ditemukan 2 kasus pada tahun 2003 dan tidak ada angka kematian. Semakin bertambah tahun, semakin terjadi penurunan angka kejadian difteri seiring dengan ditemukannya vaksin difteri dan ditetapkannya program universal child immunization (UCI). Akan tetapi penyakit difteri tidak boleh dianggap sepele karena pencegahan difteri tidak hanya dengan imunisasi saja, namun perilaku hidup bersih dan sehat juga sangat berpengaruh terhadap timbulnya penyakit difteri. Berdasarkan data dari Puskesmas Kasihan II, ditemukan 1 orang anak di Dusun Ngrame pernah menderita difteri pada tahun 1995, akan tetapi anak tersebut sembuh setelah diberikan pengobatan dan isolasi. Berdasarkan studi pendahuluan di Dusun Ngrame, peneliti melakukan observasi selama 3 hari, dari 10 ibu yang diberi pertanyaan mengenai pengetahuan tentang difteri dan pencegahannya, 4 ibu diantaranya mengatakan belum mengatahui tentang difteri dan pencegahannya. Tiga ibu diantaranya mengatakan telah melakukan imunisasi DPT untuk pencegahan penyakit akan tetapi belum mengetahui bahwa fungsi dari imunisasi DPT salah satunya adalah mencegah penyakit difteri, 3 ibu yang lain memiliki pengetahuan cukup baik tentang difteri akan tetapi untuk pencegahannya masih belum baik, yaitu masih sebatas tentang imunisasi, sedangkan pencegahan dengan PHBS belum cukup dan didukung dengan keadaan lingkungan sekitar rumah yang masih terlihat kotor. 62
Secara umum tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011. Secara khusus untuk mengetahui tingkat pengetahuan ibu tentang difteri, mengetahui perilaku ibu tentang pencegahan penyakit difteri, mengetahui keeratan hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian analitik dengan rancangan penelitian ini adalah cross sectional. Populasinya adalah semua ibu-ibu yang berada di Dusun Ngrame, Kasihan, Bantul yang berjumlah 275 orang ibu. Subjek penelitian adalah ibu yang berada di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame, Kasihan, Bantul. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah ibu-ibu yang memenuhi kriteria inklusi warga RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame, bersedia menjadi responden, wanita yang menikah dan memiliki anak. Kriteria eksklusi tidak bersedia menjadi responden. Teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah purposive sampling. Penelitian ini dilakukan di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame, Kasihan, Bantul, dilaksanakan selama 7 hari yaitu pada tanggal 14-20 Maret 2012. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan ibu tentang difteri. Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah umur ibu, pendidikan ibu, pekarjaan ibu, pendapatan. Dalam penelitian ini untuk mengetahui validitas instrumen dengan menggunakan rumus pearson product moment. Uji validitas dan reliabilitas dilaksanakan di Dusun Gatak Kasihan dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Untuk menguji validitas dan reliabilitas dilakukan uji coba instrumen pada responden. HASIL DAN BAHASAN Jumlah penduduk di Dusun Ngrame RT 01, RT 02 dan RT 04 yaitu berjumlah 735 jiwa dengan populasi ibu sebanyak 275 orang ibu. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 69 orang ibu. Berdasarkan Tabel 1 mayoritas tingkat pengetahuan ibu tentang difteri adalah baik sebanyak 59 orang (85,5%) dan minoritas memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 1 orang (1,4%).
Muryani, Ircham Machfoedz, Muh. Nur Hasan, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 61-65
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011 Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Buruk Jumlah
f 59 9 1 0 69
% 85,5 13 1,4 0 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011 Perilaku Baik Sedang Buruk Jumlah
f 58 10 1 69
% 84,1 14,5 1,4 100
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas ibu memiliki perilaku yang baik yaitu sebanyak 58 orang (84,1%) dan minoritas berperilaku buruk yaitu sebanyak 1 orang (1,4%). Berdasarkan Tabel 3 menunjukkan bahwa ibu dengan tingkat pengetahuan baik dan memiliki perilaku yang baik sebanyak 56 orang (94,9%) dan memiliki perilaku sedang sebanyak 3 orang (5,1%). Kemudian ibu dengan pengetahuan cukup yang memiliki perilaku sedang sebanyak 7 orang (77,8%) dan memiliki perilaku baik sebanyak 2 orang (22,2%). Selanjutnya ibu dengan pengetahuan kurang memiliki perilaku buruk yaitu 1 orang (100%). Hasil perhitungan statistik menggunakan uji kendall tau diperoleh p-value sebesar 0,000<0,005 (p<α) sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri. Nilai koefisien korelasi positif menunjukkan semakin baik tingkat pengetahuan maka semakin baik perilaku pencegahannya. Keeratan hubungan yang terjadi antara tingkat pengetahuan ibu tentang
difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri termasuk dalam kategori kuat yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,729. Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011 Tingkat pengetahuan ibu tentang difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul mayoritas baik yaitu sebanyak 59 orang (85,5%). Hal ini menunjukkan responden sudah mendapatkan informasi mengenai penyakit difteri dengan baik. Informasi yang didapatkan responden umumnya berasal dari televisi, internet, majalah, atau koran. Meskipun daerah penelitian berada di pinggiran kota, akan tetapi masyarakat setempat banyak yang sudah berkembang mengikuti perkembangan teknologi. Selain itu juga perkumpulan ibu-ibu juga berperan dalam menambah pengetahuan para ibu. Banyaknya informasi yang diperoleh akan meningkatkan pengetahuan ibu tentang difteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo, pengetahuan umumnya datang dari pengalaman dan dapat diperoleh dari informasi dari berbagai media seperti televisi, majalah, teman, buku, dan surat kabar(6). Pengetahuan merupakan suatu bentuk dari manusia yang diperolehnya melalui pengalaman, perasaan, akal pikiran, dan intuisinya setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011 Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa perilaku pencegahan penyakit difteri mayoritas berperilaku baik yaitu 58 orang (84,1%). Mayoritas responden berperilaku baik, yang akan berpengaruh terhadap perilakunya dalam pencegahan penyakit difteri. Selain umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan ibu, perilaku baik ini juga dapat dipengaruhi oleh tradisi masyarakat setempat
Tabel 3. Tabulasi Silang antara Tingkat Pengetahuan tentang Difteri dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri pada Ibu RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul 2011 Tingkat Pengetahuan Baik Cukup Kurang Jumlah
f 56 2 0 58
Baik
% 94,9 22,2 0 84,1
Perilaku Sedang f % 3 5,1 7 77,8 0 0 10 14,5
f 0 0 1 1
Buruk % 0 0 100 1,4
Total f 59 9 1 69
% 100 100 100 100
p-value
τ
0,000
0,729
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri
63
yang selalu berbaur dan bersosialisasi dengan sesama warga masyarakat dalam bentuk kegiatan sosial, sehingga dalam pergaulan masyarakat akan membawa pengaruh terhadap individu tersebut. Kegiatan-kegiatan sosial seperti pengajian, arisan, PKK yang dilakukan oleh ibu-ibu tersebut membawa pengaruh positif. Selain untuk bersilaturahmi, para ibu-ibu juga saling berbagi pengetahuan, informasi dan pengalaman dalam berbagai hal, termasuk tentang penyakit difteri. Hal ini sesuai dengan penelitian Handayani bahwa pengetahuan tentang sesuatu hal menyebabkan orang akan besikap positif terhadap hal tersebut, selanjutnya sikap yang positif akan mempengaruhi niat untuk ikut dalam suatu kegiatan. Sehingga semakin baik tingkat pengetahuan ibu tentang difteri maka semakin baik pula perilaku pencegahan penyakit difteri(7). Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul Interpretasi hasil pada uji statistik dengan analisis kendall tau menunjukkan nilai p = 0,000 ( p< 0,05) yang menunjukkan ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri dengan tingkat keeratan hubungan dalam kategori kuat (0,729). Keeratan hubungan dalam kategori kuat dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain dilakukannya pengendalian pada variabelvariabel pengganggu pada penelitian ini. Akan tetapi pengendalian ini bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kuatnya keeratan hubungan antara kedua variabel yang diteliti. Karena kemungkinan besar hasil akan lebih baik jika dilakukan pengendalian yang lebih terperinci, misalnya untuk variabel umur dibuat rentang umur dalam bentuk interval, tidak dicari umur tertentu yang benar-benar sama, misalnya ibu yang berumur 30 tahun saja. Kemudian pada variabel pekerjaan, variabel ini hanya dibagi dua kategori yaitu PNS dan swasta. Kemungkinan keeratan akan lebih kuat jika kategori swasta dirincikan menjadi subkategori yang lebih spesifik, misalnya buruh, petani, pedagang dan lain sebagainya. Selain itu menurut beberapa pengarang, masih ada variabel pengganggu lain yang tidak termasuk dalam penelitian ini. Hal-hal tersebut dapat mempengaruhi keeratan hubungan dari kedua variabel yang diteliti, dan jika dikembangkan lagi maka keeratan hubungan akan semakin kuat. Menurut Ismail bahwa pengetahuan memang berkorelasi dengan sikap, disamping itu dengan tindakan dan perilaku, namun hal ini tidak bersifat mutlak. Terbukti bahwa 64
hubungan variabel-variabel tersebut tidaklah konsisten(8). Berdasarkan Tabel 3 ibu dengan tingkat pengetahuan baik memiliki perilaku sedang sebanyak 3 orang (5,1%). Kemudian ibu dengan pengetahuan cukup memiliki perilaku baik sebanyak 2 orang (22,2%). Pada hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak semua orang yang memiliki tingkat pengetahuan baik selalu berperilaku baik dan tidak semua orang yang tingkat pengetahuannya sedang selalu berperilaku yang kurang baik. Menurut Saman bahwa perilaku yang baik tidak otomatis dilakukan oleh orang yang berpengetahuan baik(9). Hal ini tergantung sikap dan kemauan individu yang bersangkutan. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, di dalam diri seseorang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu: kesadaran (awarness) yang artinya dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus, dalam hal ini ibu yang mengetahui dan menyadari berbagai hal tentang pentingnya perilaku pencegahan penyakit difteri. Setelah itu ibu mengetahui dan menyadari hal tersebut maka timbul ketertarikan (interest), yaitu ibu tertarik untuk melakukan perilaku pencegahan penyakit difteri sesuai dengan informasi yang diketahui sebelumnya. Selanjutnya dengan melakukan evaluasi (evaluation) atau menimbangnimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya atau dalam hal ini adalah subjek mulai menunjukkan perilaku terhadap objek, artinya ibu mulai berfikir untuk menjaga kesehatan dengan menimbang baik dan buruknya dengan perilaku pencegahan penyakit difteri. setelah itu proses mencoba perilaku (trial) yang artinya ibu mencoba untuk melakukan tindakan perilaku pencegahan penyakit difteri yang didasarkan atas berbagai pertimbangan yang telah difikirkan sebelumnya hingga beradaptasi dengan perilaku (adaptation), yaitu ibu mulai terbiasa untuk melakukan perilaku pencegahan penyakit difteri(6). Akan tetapi, hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Siti yang menyimpulkan tidak ada hubungan antara pengetahuan ibu rumah tangga dengan terapan perilaku hidup bersih dan sehat pada tatanan rumah tangga Desa Dempet Kabupaten Demak dengan p-value 0,777, menurut Siti hal ini dikarenakan kurang kesadaran masyarakat Desa Dempet yang kebanyakan memiliki pengetahuan yang baik tapi tidak menerapkannya pada perilaku di kehidupan sehari-hari(10). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramdaniati dengan judul hubungan
Muryani, Ircham Machfoedz, Muh. Nur Hasan, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 61-65
antara pengetahuan, sikap dan sosiodemografi dengan perilaku hidup bersih dan sehat pada ibu rumah tangga RW 04 Manggarai Jakarta Selatan 2008 yang mengatakan bahwa ada hubungan yang positif antara pengetahuan dengan perilaku hidup bersih dan sehat di RW 04 Manggarai Jakarta Selatan 2008 dengan p-value sebesar 0,002(11). SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan tingkat pengetahuan ibu tentang difteri mayoritas baik yaitu sebanyak 59 orang (85,5%), perilaku pencegahan penyakit difteri mayoritas baik yaitu 58 orang (84,1%), terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri di RT 01, RT 02 dan RT 04 Dusun Ngrame Kasihan Bantul, memiliki keeratan hubungan dalam kategori kuat dengan koefisien sebesar 0,729. Saran bagi responden hendaknya dapat mempergunakan pengetahuan yang sudah baik mengenai penyakit difteri untuk mempertahankan perilaku pencegahan yang baik terhadap penyakit difteri. Agar dilakukan penelitian terhadap kemungkinan faktor lain yang mempengaruhi perilaku pencegahan penyakit difteri seperti faktor umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Menambah wawasan dan referensi dalam hal melakukan penelitian khususnya tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang difteri dengan perilaku pencegahan penyakit difteri. Bagi Petugas Puskesmas Kasihan II perlu promosi kesehatan mengenai difteri karena menurut penuturan ibu-ibu yang menjadi responden di Dusun Ngrame belum pernah dilakukan penyuluhan tentang penyakit difteri. Sehingga diharapkan bisa memiliki tingkat pengetahuan yang lebih baik lagi tentang difteri.
RUJUKAN 1. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 1999. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I; 2000. 2. Dinas Kesehatan DIY. Profil Kesehatan Provinsi DIY 2004. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY; 2005. 3. Dinas Kesehatan DIY. Profil Kesehatan Provinsi DIY 2005. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY; 2006 4. Departemen Kesehatan RI. Profil Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I; 2008. 5. Wahab S. Blokade Cabang Berkas Kiri pada Miokarditis Difteri. Berkala Ilmu Kedokteran. 1993;25(2). 6. Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2007. 7. Handayani. Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal Wanita Usia Subur Terhadap Pengetahuan Tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) Sebagai Upaya Deteksi Dini Kanker Payudara. Yogyakarta: FK UGM; 2001. 8. Ismail. Psikologi Umum Buku Panduan Mahasiswa. Jakarta: PT Prenelalindo; 1991. 9. Saman. Sosiologi Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Bandung: Alfabeta; 2005. 10. Siti. Hubungan Antara Pengetahuan Ibu Rumah Tangga Dengan Terapan Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Pada Tatanan Rumah Tangga Desa Dempet Kabupaten Demak. Semarang: Fakultas Ilmu Keolahragaan UNNES; 2007. 11. Ramdaniati S. Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap dan Sosiodemografi dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Ibu Rumah Tangga RW 04 Manggarai Jakarta Selatan 2008. Jakarta: FKM UI; 2008.
Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Difteri Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Difteri
65
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Perilaku Vulva Hygiene Berhubungan dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri Kelas XII SMA GAMA 3 Maret Yogyakarta Ana Fatkhuli Janah1, Edi Sampurno2, Wahyuningsih3 1,2,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta
Abstrak Berbagai penyakit dalam golongan PMS disebabkan oleh kuman yang berbeda, dan yang sering ditemukan pada penyakit menular seks adalah keputihan. Keputihan dapat mengakibatkan kemandulan, hamil di luar kandungan, dan berbagai penyakit kandungan lainnya. Vulva hygiene dipengaruhi oleh perilaku seseorang terhadap perawatan vulva. Pada tahun 2011 remaja putri mengalami keputihan sebesar 57%, kejadian keputihan tersebut diakibatkan oleh udara lembab di Indonesia. Pada studi pendahuluan yang dilakukan di SMA GAMA 3 Maret Yogyakarta, remaja siswi pernah mengalami keputihan. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII SMA GAMA 3 Maret Yogyakarta 2012. Jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel diambil menggunakan teknik total sampling setelah dilakukan kontrol. Dengan jumlah sampel sebesar 64 orang responden yang kemudian menjadi 40 responden. Alat penelitian menggunakan dua instrumen berbentuk kuesioner perilaku vulva hygiene dan kejadian keputihan. Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan uji statistik chi-square. Hasil pengujian chi-square didapatkan nilai χ2 sebesar 6,578 dengan p-value sebesar 0,037. Berdasarkan nilai p-value <0,05, maka Ho ditolak. Perilaku vulva hygiene remaja putri di SMA GAMA 3 Maret Yogyakarta mayoritas baik yaitu sebanyak 18 responden (45,0%) dan kejadian keputihan remaja putri mayoritas tidak mengalami keputihan sebanyak 25 responden (62,5%). Kesimpulan ada hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta 2012. Kata Kunci: perilaku vulva hygiene, kejadian keputihan, remaja putri
Info Artikel: Artikel dikirim pada 29 Mei 2013 Artikel diterima pada 29 Mei 2013 PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi diartikan sebagai suatu kondisi yang menjamin bahwa fungsi reproduksi, khususnya proses reproduksi dapat berlangsung dalam keadaan sejahtera fisik, mental maupun sosial dan bukan sekedar terbebas dari penyakit atau gangguan fungsi alat reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan unsur terpenting dalam kesehatan umum, baik pada perempuan ataupun pada laki-laki, kesehatan reproduksi juga dapat mempengaruhi kesehatan bayi, anak, remaja dan orang yang berusia diluar masa reproduksi(1). Berbagai penyakit dalam golongan PMS disebabkan oleh kuman yang berbeda, namun sering memberikan keluhan dan gejala yang sama, salah satu tanda dan gejala yang sering
66
ditemukan pada penyakit menular seks adalah keputihan(2). Perawatan diri atau kebersihan diri merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan baik secara fisik maupun psikologis. Pemenuhan vulva hygiene dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya budaya, pengetahuan, ekonomi, tentang vulva hygiene serta perilaku terhadap perawatan(3). Keputihan terjadi jika vagina mengeluarkan semacam lendir atau cairan seperti nanah. Setiap wanita secara normal akan mengeluarkan sedikit cairan di vagina, yang jernih menyerupai warna susu atau sedikit kekuningan. Apabila pengeluaran cairan ini tidak menimbulkan rasa gatal atau berbau busuk maka keputihan tersebut bukan merupakan masalah(4). Dari beberapa sumber keputihan dapat disebabkan oleh beberapa hal menurut Kurniyanti
Ana Fatkhuli Janah, Edi Sampurno, Wahyuningsih, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 66-70
yaitu infeksi pada organ genitalia, adanya benda asing misalnya AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) atau kondom yang tertinggal, tumor jinak, kanker cervix, perilaku vulva hygiene yang buruk dan menopause(5). Sepanjang hidupnya, perempuan diperkirakan pernah mengalami keputihan minimal sekali. Serangan keputihan ini umumnya dialami para wanita usia produktif(2). Masalah keputihan adalah masalah yang sejak lama menjadi persoalan bagi kaum wanita. Selama ini masih banyak wanita yang belum sepenuhnya mengerti masalah keputihan dan menggangap keputihan itu adalah hal yang dianggap ringan. Padahal keputihan merupakan hal yang tidak bisa dianggap ringan karena akibat dari masalah keputihan ini sangat fatal bila lambat ditangganinya. Keputihan bisa merupakan gejala awal dari kanker rahim yang bisa berujung pada kematian, juga mengakibatkan kemandulan dan hamil diluar kandungan(6). Di Indonesia sebanyak 75% wanita pernah mengalami keputihan minimal satu kali dalam hidupnya dan 45% diantaranya bisa mengalami keputihan sebanyak dua kali atau lebih. Berdasarkan data statistik pada tahun 2009 dan 2011 remaja putri di Yogyakarta mengalami peningkatan kejadian keputihan dimana pada tahun 2009 remaja berusia 15-24 tahun sebanyak 45% pernah mengalami keputihan(7). Kejadian keputihan yang terjadi akibat efek dari negara tropis seperti di Indonesia, negara Indonesia termasuk negara tropis karena mempunyai udara yang lembab. Keadaan udara yang lembab ini dapat mengakibatkan mudahnya jamur dan bakteri berkembang biak. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SMA Gama 3 Maret Yogyakarta pada bulan November 2011, dari 64 siswi putri kelas XII pernah mengalami keputihan. Dimana di tempat yang akan dilakukan penelitian belum ada suatu penelitian yang membahas tentang kesehatan reproduksi. Menurut Kepala Sekolah dan Guru masih banyak remaja yang belum mengetahui informasi yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. SMA Gama 3 Maret terletak di daerah perkotaan dimana terdapat suatu kebiasaan yang kurang baik dalam perilaku vulva hygiene yang dilakukan oleh remaja putri di SMA Gama, dan remaja putri di SMA Gama juga mengatakan pernah mengalami keputihan dan tidak tahu bagaimana mengatasi keputihan. Data ini didapat dari wawancara terbuka oleh 15 siswi di SMA Gama 3 Maret. Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri kelas
XII di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta tahun 2012. Secara khusus untuk mengidentifikasi perilaku vulva hygiene pada remaja putri kelas XII di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012, mengidentifikasi kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah semua remaja siswi SMA Gama 3 Maret Yogyakarta. Subjek pada penelitian ini adalah remaja siswi kelas XII. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling yang berjumlah 40 orang baik siswi yang mengalami keputihan maupun siswi yang tidak mengalami keputihan. Untuk kepentingan pengambilan sampel, peneliti menentukan kriteria inklusi remaja siswi kelas XII SMA GAMA 3 MARET, bersedia menjadi responden, siswi yang mempunyai orang tua yang berpenghasilan sekitar Rp 1.000.000-Rp 2.000.000 per bulan. Kriteria ekslusi adalah siswa yang tidak pernah mendapatkan informasi mengenai keputihan, siswa yang tidak bersedia menjadi responden, siswa yang tidak hadir pada saat penelitian. Penelitian ini dilakukan di SMA Gama 3 Maret Yogyakarta Kecamatan Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta, dilakukan selama 1 hari yaitu pada tanggal 2 April 2012. Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner. Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini adalah perilaku vulva hygiene. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah kejadian keputihan. Penelitian ini untuk mengetahui validitas instrumen dengan menggunakan rumus pearson product moment. Uji validitas dan reliabilitas dilaksanakan di SMA Muhammadiah Mlati dengan jumlah responden sebanyak 20 orang. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Karakteristik responden berdasarkan sumber informasi tentang kesehatan reproduksi dapat dideskripsikan dalam Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dari internet, yaitu 15 responden (37,5%). Responden paling sedikit adalah yang mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dari orang tua, yaitu 2 responden (5,0%).
Perilaku Vulva Hygiene Berhubungan dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri Kelas XII SMA GAMA 3 Maret
67
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012 Sumber Informasi Kesehatan Reproduksi Teman Orang tua Guru Koran/majalah Internet Petugas kesehatan Jumlah
f 10 2 6 4 15 3 40
% 25,0 5,0 15,0 10,0 37,5 7,5 100,0
Perilaku Vulva Hygiene di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012 D a t a p e r i l a k u v u l v a h y g i e n e, s e t e l a h dikategorikan dapat dideskripsikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Perilaku Vulva Hygiene di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012 Perilaku Vulva Hygiene Baik Sedang Rendah Jumlah
f
%
18 16 6 40
45,0 40,0 15,0 100,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku vulva hygiene kategori baik, yaitu 18 responden (45,0%). Responden paling sedikit adalah yang mempunyai perilaku vulva hygiene kategori rendah, yaitu 6 responden (15,0%). Kejadian Keputihan di SMA Gama 3 Maret Yogyakarta Tahun 2012 Data kejadian keputihan yang diperoleh dari hasil penelitian, dapat dideskripsikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Kejadian Keputihan di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012 Kejadian Keputihan Keputihan Tidak Keputihan Jumlah
f 15 25 40
% 37,5 62,5 100,0
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak keputihan, yaitu 25 responden (62,5%). Hubungan antara Perilaku Vulva Hygiene dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri Kelas XII SMA Gama 3 Maret Yogyakarta 2012 Hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan, dapat dideskripsikan dalam Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai perilaku vulva hygiene kategori baik dan tidak keputihan, yaitu 15 responden (37,5%). Responden paling sedikit adalah yang mempunyai perilaku vulva hygiene kategori rendah dan tidak mengalami keputihan, yaitu 2 responden (5,0%). Apabila dicermati sebaran frekuensi tiap-tiap sel pada Tabel 4, maka terlihat suatu kecenderungan bahwa semakin baik perilaku vulva hygiene, maka akan semakin memperkecil risiko kejadian keputihan. Selanjutnya untuk menguji signifikansi hubungan yang ditunjukkan pada Tabel 4, dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan chisquare. Hasil pengujian chi-square didapatkan nilai χ 2 sebesar 6,578 dengan p-value sebesar 0,037. Berdasarkan nilai p < 0,05, maka Ho ditolak sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012. Hasil penelitian didapatkan perilaku vulva hygiene pada remaja putri kelas XII di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012, sebagian besar kategori baik, yaitu 30 responden (46,9%). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku vulva hygiene adalah tingkat pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar responden mendapatkan informasi mengenai kesehatan reproduksi dari internet, yaitu 21 responden (32,8%). Internet dapat dijadikan pusat informasi segala hal termasuk dalam masalah keputihan. Hal ini didukung dengan akses
Tabel 4. Hubungan antara Perilaku Vulva Hygiene dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri Kelas XII SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta 2012 Perlakuan Vuva Hygine Baik Sedang Rendah Total
68
Kejadian Keputihan Keputihan Tidak Keputihan f % f % 3 7,5 15 37,5 8 20,0 8 20,0 4 10,0 2 5,0 15 37,5 25 62,5
Total f 18 16 6 40
Ana Fatkhuli Janah, Edi Sampurno, Wahyuningsih, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 66-70
% 45,0 40,0 15,0 100,0
internet yang semakin mudah karena banyaknya warung internet (warnet) di berbagai penjuru kota Yogyakarta. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi khususnya dalam hal keputihan, menyebabkan responden mengetahui bagaimana melakukan pencegahan terhadap keputihan, salah satunya adalah dengan melakukan perilaku vulva hygiene yang baik. Pengetahuan tersebut akan mendorong responden untuk mencoba berperilaku hygiene secara baik, yang pada akhirnya akan menjadi sebuah perilaku yang menetap. Hal ini mendukung hasil penelitian Haryati yang menunjukkan ada hubungan tingkat pengetahuan remaja tentang keputihan dengan perilaku penanganan keputihan pada siswi SMU N 1 Ngaglik Sleman Yogyakarta tahun 2009(8). Kondisi ini didukung dengan tingkat pendidikan responden. Siswi SMA telah mendapatkan dasardasar kesehatan reproduksi melalui pelajaran biologi di kelas IX maupun pada waktu SMP. Dasar-dasar kesehatan reproduksi tersebut akan mempermudah responden untuk memahami informasi yang lebih lengkap mengenai keputihan dan pencegahannya termasuk perilaku vulva hygiene. Uraian di atas mendukung teori yang menyatakan bahwa dalam proses pembentukan perilaku salah satunya dipengaruhi oleh faktor predisposisi (predisposing factor), terwujud dalam pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial dan ekonomi(9). Keberadaan sarana prasarana berupa fasilitas kesehatan dan fasilitas lain yang mendukung perilaku vulva hygiene juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku vulva hygiene. Keberadaan berbagai sarana dan prasarana menyebabkan responden mudah untuk mendapatkan hal-hal yang mendukung perilaku vulva hygiene, seperti tisu basah, handuk yang lembut, celana dalam yang lembut dan nyaman, pembalut wanita, antiseptik untuk membersihkan vagina dan lain sebagainya. Kemudahan dalam mendapatkan barang-barang tersebut akan memudahkan responden dalam melakukan perilaku vulva hygiene, sehingga mendorong responden untuk berperilaku vulva hygiene yang baik. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa faktor pemungkin (enabling factor) yang terwujud dalam ketersediaan sarana dan prasarana atau terkait kesehatan bagi masyarakat, merupakan salah satu faktor yang membentuk perilaku(9).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII di SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012, sebagian besar tidak keputihan, yaitu 40 responden (62,5%). Hal ini berarti bahwa kejadian keputihan mencapai 37,5%. Masa remaja adalah masa peralihan ari masa kana- kanak ke masa dewasa. Hal ini membawa perubahan baik secara fisik maupun psikologis. Perubahan psikologis pada usia remaja akan mempengaruhi emosi dan jiwa yang bergejolak dan labil. Beban belajar yang berat termasuk banyak tugas-tugas yang banyak dan tuntutan dari orang tua terhadap remaja yang besar memicu terjadi stres. Selain itu, pergaulan dengan teman sebaya yang erat didukung adanya kelelahan akibat beban belajar, memperbesar kemungkinan terjadinya konflik diantara remaja, sehingga akan semakin memperbesar potensi stres pada remaja. Kondisi stres yang dialami remaja akan berpengaruh terhadap kejadian keputihan. Hal ini seperti teori yang menyatakan bahwa otak mempengaruhi kerja semua organ tubuh, jadi jika reseptor otak mengalami stress maka hormonal di dalam tubuh mengalami perubahan keseimbangan dan dapat menyebabkan timbulnya keputihan(10). Kondisi iklim dan cuaca yang berubah-ubah dari panas dan hujan juga menjadi salah satu faktor penyebab cukup besarnya kejadian keputihan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan kondisi lembab, sehingga memperbesar risiko tumbuhnya jamur candida albicans sebagai salah satu faktor yang menyebabkan keputihan. Hal ini seperti teori yang menyatakan bahwa ada banyak penyebab dari keputihan namun paling sering disebabkan oleh infeksi jamur candida, bakteri dan parasit seperti Trikomonas yang menyebabkan peradangan pada vagina dan sekitarnya. Keputihan yang disebabkan oleh infeksi jamur Candida albicans umumnya dipicu oleh faktor dari dalam maupun luar tubuh diantaranya adalah iklim, panas, kelembaban(11). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012. Semakin baik perilaku vulva hygiene, maka akan semakin memperbesar risiko kejadian keputihan. Hasil penelitian ini mendukug teori yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keputihan adalah perilaku. Perilaku adalah suatu aktifitas manusia itu sendiri baik dapat diamati oleh orang lain atau tidak(12). Perilaku vulva hygiene yang baik menyebabkan responden mampu menjaga kebersihan vagina
Perilaku Vulva Hygiene Berhubungan dengan Kejadian Keputihan pada Remaja Putri Kelas XII SMA GAMA 3 Maret
69
dan sekitarnya, serta menjaga agar vagina tetap kering dan tidak lembab. Vagina yang kering akan memperkecil risiko tumbuhnya parasit yang dapat menyebabkan keputihan. Selain itu perilaku vulva hygiene yang baik juga menjaga vagina tetap bersih tetapi flora normal vagina dan keasaman vagina tidak terganggu, sehingga akan mengurangi risiko kejadian keputihan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan perilaku vulva hygiene pada remaja putri kelas XII, sebagian besar kategori baik, kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII, sebagian besar tidak keputihan, ada hubungan antara perilaku vulva hygiene dengan kejadian keputihan pada remaja putri kelas XII SMA GAMA 3 MARET Yogyakarta Tahun 2012. Saran bagi SMA Gama 3 Maret hendaknya dapat melakukan penyuluhan mengenai keputihan dan penatalaksanaannya, dengan bekerja sama dengan instansi terkait misalnya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) maupun Puskesmas setempat. Bagi peneliti selanjutnya hendaknya dapat melakukan penelitian mengenai kejadian keputihan dengan mengambil variabel yang mempengaruhi selain perilaku vulva hygiene. Hal ini diharapkan dapat diidentifikasi variabel apa saja yang berpengaruh terhadap kejadian keputihan.
70
RUJUKAN 1. Emilia O. Promosi Kesehatan Reproduksi Wanita. Yogyakarta: Pustaka Cendikia; 2008. 2. Widyastuti Y. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitra; 2009. 3. Cipta U. Masalah Wanita. Jakarta: CV Teruna Grafica; 2008. 4. Pratiwi N. Karena Tahu Harus Tau. Yogyakarta: Pustaka Alfabeta; 2005. 5. Kurniyanti IP. Keputihan Bikin Banyak Wanita Bingung [internet]. 2005 [cited 2011 Des 17]. Available from: www.balipost.com 6. Iskandar M. Solusi Keluarga [internet]. 2002 [cited 2012 Jan 22]. Available from: http://www.mitra keluarga.com 7. BKKBN. Kesehatan Reproduksi dan Kebutuhan Generasi Muda [internet]. 2008 [cited 2011 Des 14]. Available from: http://ceria.bkkbn.go.id/ reverensi /substansi/detail/381 8. Haryati. Mengenal Keputiihan. Jakarta: PT.Refika Aditama; 2009. 9. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2003. 10. Suparyanto. Keputihan. Jakarta: CV Teruna Grafika; 2011. 11. Agustini. Memberantas dan mengobati keputihan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka; 2003. 12. Notoatmodjo S. Perilaku Ilmu Kesehatan. Jakarta: PT.Rineka Cipta; 2010.
Ana Fatkhuli Janah, Edi Sampurno, Wahyuningsih, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 66-70
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Pengaruh Musik Campursari Terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta Siti Suwarsih¹, Kirnantoro², Wahyu Dewi Sulistyarini³ 1,3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 2 Program Studi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta Jalan Tata Bumi No. 3, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstrak Depresi merupakan masalah kesehatan yang cukup serius, WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa depresi telah menduduki urutan ke empat dari penyakit di dunia. Penanganan depresi ada beberapa terapi, salah satunya adalah musik.Musik campursari adalah pengobatan non farmakologis untuk mengurangi skor depresi di kalangan lansia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh musik campursari terhadap penurunan skor depresi pada lansia di PSTW unit Budi Luhur Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan quasi eksperimental two group. Teknik sampling yang digunakan adalah proposive sample dan diperoleh total sampel sebesar 28 orang yang terdiri dari 14 orang sebagai kelompok eksperimen dan 14 orang sebagai kelompok kontrol. Hasil musik campursari mampu menurunkan skor depresi pada lansia. Hal ini dibuktikan bahwa pada kelompok eksperimen rata-rata penurunan skor depresi sebesar 1,57, sedangkan pada kelompok kontrol mengalami kenaikan rata-rata skor depresi sebesar 0,14, sehingga perbedaan yang signifikan ditunjukkan pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan hasil p-value = 0,005 dan tingkat keandalan yang digunakan ialah 95%. Kesimpulan musik campursari dapat digunakan sebagai alternatif dalam pemberian terapi non farmakologi pada lansia yang mengalami depresi. Peneliti menyarankan kepada perawat gerontik untuk menggunakan musik campursari dalam terapi depresi pada lansia. Kata Kunci: musik campursari, depresi, lanjut usia
Info Artikel: Artikel dikirim pada 12 April 2013 Artikel diterima pada 15 April 2013
PENDAHULUAN Lansia ialah orang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih(1). Pada usia tersebut lansia banyak mengalami penurunan antara lain penurunan fungsi fisik, pengindraan juga kemunduran mental atau psikologis. Kemunduran mental dikarenakan oleh kesibukan sosial pada lansia berkurang yang kemudian menyebabkan berkurangnya integrasi dengan lingkungan(2). Hal ini menjadikan lansia kurang dihargai dan merasa tidak berguna sehingga lansia akan merasa kesepian. Kesepian yang berkepanjangan dapat menyebabkan depresi(1). Friedman menyatakan bahwa depresi dapat terjadi ketika lansia telah kehilangan pasangan (orang yang dicintai), kemunduran kemampuan atau kekuatan fisik, penyakit fisik, dukungan keluarga, perekonomian dan sosial(3). Depresi merupakan
suatu masalah kesehatan yang cukup serius di kalangan masyarakat. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa depresi telah menduduki urutan ke empat dari penyakit di dunia. Sekitar 20% wanita dan 12% laki-laki pernah mengalami depresi(4). Sedangkan survey dari beberapa negara di dunia prevalensi depresi pada lansia sekitar 8–15% dengan rata-rata prevalensi lansia yang mengalami depresi ialah 13,5% dengan perbandingan pria dan wanita 14,1:8,5. Depresi dapat diartikan sebagai bentuk gangguan emosi yang menunjukkan perasaan tertekan, sedih, tidak berharga, serta tidak memiliki harapan pada masa depan(1). Kondisi rileks dapat menurunkan perasaan depresi sehingga banyak model terapi depresi yang dilakukan dengan mempengaruhi perasaan klien sehingga mendatangkan perasaan
Pengaruh Musik Campursari terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta
37
senang dan memuaskan. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan terapi musik(1). Musik ialah suatu produk budaya yang cukup tua yang merupakan suatu bunyi-bunyian yang tersusun dalam suatu melodi(5). Ditunjukkan oleh Gouk bahwa sejak berabad abad yang lalu musik telah dijadikan sebagai media penyembuh suatu penyakit(6). Musik menurut Harmayetty sebagai bahasa universal yang dapat menjadi salah satu terapi relaksasi(7). Hal ini juga diungkapkan oleh Cheryl Dileo, profesor musik serta Direktur Pusat Penelitian Seni dan Meningkatkan Kualitas Hidup, Universitas Temple, Philadelphia, Amerika Serikat (AS), bahwa terapi musik merupakan cara yang mudah serta bermanfaat positif bagi tubuh, psikis, serta dapat meningkatkan daya ingat, dan hasilnya akan lebih baik apabila terapi ini dilakukan secara khusus(8). Hal serupa juga disampaikan oleh Setiadarma bahwa musik merupakan salah satu cara untuk mempengaruhi kestabilan emosi(9). Menurut Adelina mendengarkan musik tradisional jawa dapat mempengaruhi pengeluaran hormon serotonin. Hormon serotonin dapat menimbulkan rasa bahagia, karena merupakan neuro transmiter yang mempengaruhi perasaan(9). Depresi biasa dialami oleh lansia karenakan beberapa faktor penyebab, yaitu faktor psikososial dan juga karena rendahnya kadar serotonin di otak(9). Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di PSTW unit Budi Luhur Kasongan, Bantul Yogyakarta dan dari hasil wawancara dengan ibu Surantini sebagai pengurus panti pada hari Selasa 15 November 2011, diperoleh data jumlah lansia yang bertempat tinggal di Panti Sosial Tresna Wreda unit Budi Luhur sebanyak 88 orang, yang terdiri dari 24 laki laki dan 56 perempuan. Dan dari hasil wawancara dengan pengurus panti, di PSTW terdapat 9 bangsal yang ditempati oleh lansia, bangsal tersebut terdiri dari bangsal A hingga bangsal I, akan tetapi terdapat satu bangsal yang digunakan untuk bangsal perawatan khusus. Jumlah Lansia yang berada di bangsal perawatan khusus sebanyak 11 orang. Di PSTW Budi luhur ada dua kelompok lansia, yaitu kelompok swadana keluarga, dan lansia kelompok murni (yang dibiayai oleh pemerintah), pengurus panti juga menginformasikan keadaan psikologis dari lansia yang tinggal di PSTW Budi Luhur, terdapat lansia yang menunjukkan sikap tidak senang, karena merasa dikucilkan keluarganya, dan ada pula lansia yang lebih suka menyendiri, sedangkan mayoritas lansia tetap beraktivitas bersama temanteman sesama lansia lainnya. Di dalam PSTW unit Budi Luhur belum ada terapi musik secara khusus yang memberikan musik-musik campursari, hanya saja di Panti Sosial Tresna Wreda unit Budi Luhur 38
ini telah diadakan kegiatan dendang ria bersama, kegiatan ini diadakan untuk lansia yang berada di luar panti maupun yang berada di dalam panti, akan tetapi dendang ria ini tidak menjadi kegiatan wajib lansia yang berada di dalam panti, sehingga hanya beberapa lansia yang mengikutinya. Secara umum tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh musik campursari terhadap skor depresi pada lansia di PSTW Budi Luhur Kasongan Bantul 2012. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian yang digunakan jenis penelitian kuantitatif dengan metode quasi eksperimental two group, yaitu dengan menggunakan kelompok perlakuan dan kelopok control sebagai pembanding. Populasi penelitian semua lansia yang tinggal di Panti Sosial Tresna Wreda unit Budi Luhur, Kasihan, Bantul, Yogyakarta, yang pada saat ini berjumlah 88 orang. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan mempergunakan teknik non probability sampling berupa purposive sample. Kriteria inklusi dari populasi yang dapat dijadikan sample dalam penelitian ini adalah usia lanjut baik laki-laki maupun perempuan yang berusia 60 tahun ke atas, yang mengalami depresi, baik ringan, sedang maupun berat, bisa berkomunikasi dengan baik, mampu memahami bahasa jawa dengan baik, tinggal di PSTW Budi Luhur Yogyakarta selama periode penelitian, tidak dalam keadaan sakit parah yang tidak memungkinkan untuk diteliti, tidak sedang menjalani terapi depresi, bersedia menjadi responden dengan mengisi informed consent. Dari kriteria inklusi di atas didapat sampel sebanyak 28 sample, 14 sample sebagai kelompok eksperimen dan 14 sample sebagai kelompok kontrol. Lokasi penelitian di Panti Sosial Tresna Wreda unit Budi Luhur Yogyakarta, yang terletak di desa Kasongan, Bantul. Waktu penilitian dilakukan pada tanggal 23 Maret hingga tanggal 30 Maret 2012. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala rating yaitu skala depresi geriatik “Geriatrik Depression Rating Scale” (GDRS)(4). Variabel Bebas dalam penelitian ini ialah: Pengaruh Musik Campursari. Variabel tergantung dalam penelitian ini ialah penurunan skor depresi pada Lansia di PSTW unit Budi Luhur Yogyakarta. HASIL DAN BAHASAN Karakteristik Responden Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini terdiri dari lansia yang berada di wisma A sebanyak 3 orang lansia, wisma C sebanyak 8
Siti Suwarsih, Kirnantoro, Wahyu Dewi Sulistyarini, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 37-42
orang, wisma D sebanyak 6 orang, wisma E sebanyak 5 orang, wisma G sebanyak 3 orang, wisma H sebanyak 3 orang. Karakteristik responden dibedakan berdasarkan usia, jenis kelamin serta pendidikan yang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Lansia di PSTW Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Bulan April - Mei 2012 Karakteristik Responden Umur 60-74 tahun 75-90 tahun >90 tahun Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah SD/SR SMP SMA Kuliah
n
%
17 11 0
61 39 0
13 15
46 54
9 11 4 2 2
32 39 14 7 7
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan lansia dengan usia antara 60-74 tahun memiliki frekuensi terbanyak yaitu 19 orang (61%). Sedangkan frekuensi terendah ialah lansia dengan usia lebih dari 90 tahun yaitu hanya terdapat 1 orang (3%). Sedangkan untuk jenis kelamin sebagian besar ialah perempuan yaitu sebanyak 17 orang (55%) dan lansia yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 14 orang (45%). Untuk riwayat pendidikan lansia yang berlatar belakang pendidikan SD/SR memiliki jumlah frekuensi paling tinggi yaitu 11 orang (39%) sedangkan yang memiliki riwayat pendidikan hingga perguruan tinggi hanya terdapat 2 orang lansia (7%). Analisis Data Penelitian Tingkat Depresi pada Lansia Sebelum Terapi Musik Tingkat depresi pada lansia di PSTW unit Budi Luhur sebelum pemberian musik campursari dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Distribusi Persentase Tingkat Depresi Lansia Sebelum Terapi Musik Campursari Tingkat Depresi Non Depresi Depresi Ringan Depresi Sedang Depresi Berat Jumlah
n 0 27 1 0 28
% 0 96 4 0 100
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui lansia yang mengalami depresi ringan sejumlah 27 orang (96%), sedangkan 1 orang lansia (4%) mengalami depresi berat. Skor Depresi pada Lansia Sebelum dan Sesudah Pemberian Musik Campursari Untuk mengetahui perbedaan skor depresi pada lansia sebelum dan sesudah pemberian musik campursari dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Skor Depresi Lansia Sebelum Pemberian Musik Campursari dan Skor Depresi Lansia Setelah Pemberian Musik Campursari Kelompok Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Eksperiment Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol Kontrol
Skor Pretest 6 8 6 7 6 7 6 7 8 7 6 8 6 5 6 7 7 6 5 6 6 5 5 9 7 6 6 8
Skor Posttest 5 6 6 4 3 4 5 4 6 7 4 5 5 7 6 7 6 5 5 6 6 5 6 9 7 7 8 8
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat pada kelompok eksperimen terdapat 11 orang lansia mengalami penurunan skor depresi setelah pemberian musik campursari dan terdapat 2 lansia yang memiliki skor depresi tetap sedangkan yang mengalami kenaikan skor depresi terdapat 1 orang lansia. Pada kelompok kontrol 2 orang lansia mengalami penurunan skor depresi sedangkan yang memiliki skor depresi tetap pada saat pretest dan posttest terdapat 9 orang dan yang mengalami kenaikan skor depresi terdapat 3 orang.
Pengaruh Musik Campursari terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta
39
Uji Perbedaan Pretest dan Postest pada Kelompok Eksperimen Untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest pada kelompok eksperimen, peneliti menguji dengan uji statistik paired samples test atau uji t-test berpasangan. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Uji Perbedaan Pretest dan Postest pada Kelompok Eksperimen Variabel Nilai Pretest Nilai Posttest
Mean 6,64 5,03
SD 0,929 1,207
SE 0,248 0,322
p-value 0,002
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Berdasarkan data uji perbedaan skor pretest dan postest diketahui nilai signifikasi 0,002 berarti nilai signifikasi < α= 0,05 sehingga Ho di tolak dan Ha diterima atau dengan kata lain ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai pretest dan rata-rata nilai postest pada kelompok eksperimen. Hasil Uji Skor Depresi Setelah Pemberian Terapi Musik Campursari Setelah pemberian terapi musik campursari, kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diberi posttest. Skor posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol kemudian diuji dengan menggunakan uji statistik t-test digunakan uji statistik t-test karena sampel merupakan sampel yang berdistribusi normal. Hasil uji statistik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Uji Perbedaan Nilai Posttest Kelompok Eksperimen dan Nilai Posttest Kelompok Kontrol Variabel Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Mean SD SE t p-value 5,07 1,207 0,322 -3,109 0,005 6,50
1,225 0,327
Sumber: Data Primer Tahun 2012
Dari uji perbedaan nilai posttest kelompok eksperimen dan kelompok kontrol didapat nilai signifikasi 0,005 dan nilai t hitung -3,109. nilai signifikasi (0,005) < α=0,005 sehingga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara nilai posttest kelompok eksperimen dan nilai posttest kelompok kontrol. Nilai negatif (-) pada nilai t menunjukkan rata-rata nilai posttest kelompok eksperimen lebih kecil dari nilai rata-rata kelompok kontrol.
40
Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan lansia dengan usia antara 60-74 tahun berjumlah 17 orang (61%), usia 75-90 sebanyak 11 orang (39%) dan tidak terdapat lansia yang memiliki usia lebih dari 90 tahun (0%). Dijelaskan oleh Weinberg yang dikutip oleh Narulita bahwa selain faktor usia depresi juga bisa disebabkan oleh penyakit yang diderita atau kecacatan yang diderita, pemakaian obat-obatan (polifarmasi), peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif serta jenis kelamin(10). Untuk jenis kelamin terdapat 13 orang lansia (46%) yang berjenis kelamin laki-laki sedangkan untuk lansia berjenis kelamin perempuan berjumlah 15 orang (54%). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Suardiman, bahwa angka harapan hidup pada perempuan lebih tinggi dari angka harapan hidup laki-laki sehingga banyak lansia yang berjenis kelamin perempuan. Dari data tersebut didapatkan nilai p-value= 0,859 yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan nilai yang signifikan antara lansia yang berjenis kelamin laki-laki dengan lansia yang berjenis kelamin perempuan. Seperti halnya dalam penelitian Jayanti, bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara jenis kelamin dengan tingkat depresi pada lansia(11). Penelitian Sumardiono juga mendapatkan hasil yang sama bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat depresi lansia berdasarkan jenis kelamin(12). Sehingga dapat diartikan bahwa pada lansia yang berjenis kelamin laki-laki dan lansia yang berjenis kelamin perempuan memiliki resiko yang sama untuk mengalami depresi. Hal ini tidak sejalan dengan survey dari beberapa negara di dunia yang dikutip oleh Supartiningsih bahwa prevalensi depresi pada lansia dengan perbandingan wanita dan pria 14,1:8,5 yang berarti banyak perempuan yang mengalami depresi daripada lansia laki-laki(4). Perbedaan ini dimungkinkan karena adanya perbedaan faktor penyebab depresi pada lansia yang diambil sebagai sampel penelitian, seperti yang diungkapkan oleh Narulita yaitu prevalensi depresi selain disebabkan oleh faktor jenis kelamin juga dikarenakan adanya perbedaan hormonal, efek kelahiran, adanya perbedaan stesor psikososial(10). Lansia di Panti memiliki lingkungan yang berbeda dengan lansia yang berada di luar panti. Lansia yang berada di panti lebih cenderung mengalami depresi jenis neurotic depresion yaitu jenis depresi yang disebabkan karena tidak mampu menyelesaikan konflik yang masih bisa dipengaruhi oleh lingkungan(9). Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa lansia yang berada di panti sebagian besar memiliki latar belakang faktor
Siti Suwarsih, Kirnantoro, Wahyu Dewi Sulistyarini, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 37-42
depresi yang hampir sama dan berbeda dengan lansia yang berada di luar panti yang memiliki latar belakang faktor depresi yang bervariasi. Kemungkinan lain adanya perbedaan hasil antara peneliti dengan survey dari beberapa negara tentang hubungan jenis kelamin dengan kejadian depresi dikarenakan jumlah sampel yang diambil oleh peneliti sangat terbatas pada lansia yang berada di Panti, sehingga perlu adanya penelitian kembali mengenai hubungan antara jenis kelamin terhadap kejadian depresi dengan sempel yang lebih banyak dan lebih luas. Lansia yang berjenis kelamin laki-laki juga berkemungkinan memiliki skor depresi lebih besar dari perempuan karena berbagai hal. Seorang laki-laki akan lebih terpukul ketika mengalami sesuatu yang menyedihkan seperti ditinggal oleh pasangan yang sangat disayanginya. Lansia yang berada di PSTW unit budi Luhur 39% (11 orang) memiliki latar belakang pendidikan hingga SD/SR sedangkan yang memiliki latar belakang pendidikan hingga Perguruan Tinggi hanya 2 orang (7%) akan tetapi tingkat pendidikan tidak mempengaruhi skor depresi pada lansia. Dari uji statistik perbedaan skor depresi berdasarkan tingkat pendidikan lansia terlampir didapat hasil nilai signifikasi 0,718 yang berarti bahwa tingkat pendidikan tidak mempengaruhi skor depresi. Hasil tersebut selaras dengan penelitian Jayanti yang mengungkapkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan depresi pada usia lanjut(11). Lansia yang tidak menempuh pendidikan maupun yang menempuh pendidikan formal tetap mengalami depresi. Lansia dengan tingkat pendidikan yang rendah kemungkinan memiliki permasalahan yang sederhana sedangkan untuk lansia yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki kemungkinan permasalahan pekerjaan dan tanggung jawab yang lebih besar serta kemungkinan memiliki tingkat kekecewaan yang lebih tinggi daripada lansia yang berpendidikan rendah. Kekecewaan dapat terjadi karena merasa sudah tidak berguna bagi akibat penurunan fungsi fisik dan merasa tidak dibutuhkan lagi padahal sebelumnya merupakan orang yang dianggap penting dalam pekerjaan maupun lingkungannya dan kini merasa bahwa dirinya hanya sebagai beban orang lain, koping diri pada lansia yang akan mempengaruhi lansia terhadap kejadian depresi. Koping yang baik akan mengurangi sindrom depresi pada lansia(11). Sedangkan koping setiap individu berbeda-beda. Berdasarkan Tabel 4 menjelaskan hasil uji perbedaan skor pretest dan postest pada kelompok eksperimen dan diketahui nilai signifikasi 0,002 berarti
nilai signifikasi <α= 0,05 sehingga Ho di tolak dan Ha diteriama atau dengan kata lain ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata nilai pretest dan rata-rata nilai postest pada kelompok eksperimen. Hasil uji ini dapat menjelaskan bahwa ada pengaruh musik campursari dalam penurunan skor depresi pada lansia. Untuk memperkuat hasil penelitian maka peneliti menguji skor postest pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil uji dapat dilihat pada Tabel 5 dan didapat nilai signifikasi 0,005 dan nilai t hitung -3.109. Sehingga menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara nilai postest kelompok eksperimen dan nilai postest kelompok kontrol. Nilai negatif (-) pada nilai t menunjukkan rata-rata nilai postest kelompok eksperiment lebih kecil dari nilai rata-rata kelompok kontrol sehingga musik campursari terbukti efektif untuk menurunkan skor depresi pada lansia. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Lestari bahwa pemberian terapi musik dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penatalaksanaan depresi(9). Musik mampu mengekspresikan perasaan, mampu meningkatkan memori serta mampu berpengaruh positif terhadap emosi dan suasana hati(6). Djohan mengemukakan hasil penelitian yang menunjukkan efek biologis dari musik maupun suara, hasil penelitian tersebut ialah bahwa musik mampu meningkatkan maupun menurunkan energi otot terkait dengan stimulasi dari irama, kemudian musik juga mampu merubah cepat lambatnya tarikan nafas, mampu menimbulkan berbagai efek pada nadi, tekanan darah dan fungsi endokrin, serta musik mampu mempengaruhi perubahan pada metabolisme dan biosintesis pada berbagai proses enzim. Sehingga musik yang memiliki irama yang beraturan seperti detak jantung normal (60-80 kali permenit) yang mampu meningkatkan derajat kesehatan(6). Seperti yang dikemukakan oleh Tyas bahwa musik dengan tempo yang beraturan kebanyakan seirama dengan detak jantung manusia yaitu 60 detak setiap menitnya(5). Depresi yang terjadi pada lansia dikarenakan oleh faktor kekecewaan, faktor kurangnya rasa harga diri, faktor penolakan, serta kurangnya dukungan keluarga(4). Dari faktor-faktor yang terjadi pada lansia tersebut maka akan mempengaruhi perasaan lansia, lansia akan cenderung merasa sedih yang mendalam, ditambah pula pembentukan hormon serotonin pada lansia cenderung mengalami penurunan(7). Mendengarkan musik tradisional jawa dapat mempengaruhi pengeluaran hormon serotonin. Hormon serotonin dapat menimbulkan rasa bahagia, karena merupakan neurotransmitter yang mempengaruhi perasaan(9).
Pengaruh Musik Campursari terhadap Penurunan Skor Depresi pada Lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta
41
Pemberian musik campursari yang dilakukan di PSTW unit Budi Luhur dilakukan di wisma tempat lansia beristirahat sehingga lansia dapat mendengarkan musik campursari tanpa mengganggu aktifitas lansia setiap hari seperti merajut, membaca buku, makan, menyapu maupun aktifitas yang lain. Di PSTW unit Budi Luhur juga terdapat jadwal lansia untuk mendengarkan musik maupun berdendang, akan tetapi kegiatan ini dilakukan di Aula secara bersama-sama. Kegiatan ini dapat sebagai ajang berkumpulnya seluruh lansia di PSTW Unir budi Luhur, akan tetapi kurang efektif digunakan sebagai terapi musik karena acara seringkali didominasi oleh lansia yang memiliki kepercayaan diri untuk bernyanyi, sedangkan lansia yang tidak memiliki kepercayaan diri lebih banyak diam bahkan tidak sedikit yang meninggalkan forum karena merasa tidak berguna dan merasa kurang suka dengan lansia lainnya yang mendominasi acara. SIMPULAN DAN SARAN Rata-rata skor depresi sebelum pemberian musik campursari ialah 6,64 sedangkan nilai rata-rata skor depresi setelah pemberian musik campursari ialah 5,07 sehingga rata-rata skor depresi sebelum pemberian musik campursari lebih tinggi dari skor depresi setelah pemberian musik campursari. Hasil uji t-tes pada skor posttest kelompok eksperimen dan skor posttest kelompok kontrol didapat nilai p-value =0,005 dengan t hitung =-3,109 yang berarti ada perbedaan yang signifikan antara skor depresi pada kelompok eksperimen dan skor depresi pada kelompok kontrol sehingga menunjukkan bahwa pemberian terapi musik campursari pada lansia di PSTW Unit Budi Luhur Yogyakarta terbukti efektif dalam penurunan skor depresi. Saran bagi pengurus panti untuk memberikan terapi musik campursari secara rutin tiap wisma tanpa mengganggu aktivitas lansia. Bagi peneliti lain dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai acuan penelitian yang lebih dalam mengenai depresi pada lansia.
42
RUJUKAN 1. Suardiman S. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 2011. 2. Mubarok W, et al. Ilmu Keperawatan Komunitas Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 3. Azizah L. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu; 2011. 4. Supartiningsih. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Depresi Pada Lanjut Usia yang Tinggal di PSTW Budi luhur Yogyakarta. Program Study Ilmu Keperawatan STIKES Aisiyah Yogyakarta; 2008. 5. Tyas E. Cerdas Emosional Dengan Musik. Yogyakarta: Atri Bumi Intaran; 2008. 6. Djhohan. Terapi Musik Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galang Press; 2006. 7. H a r m a y e t t y. M u s i k Te m b a n g K e n a n g a n Menurunkan Depresi Pasien Stroke. J Ners. 2008;3(1). 8. Chaerunnisa. Pengaruh Musik dan Otak Hingga Usia Lanjut dalam [Internet]. 2011 [cited 2011 Okt 30]. Available from: http://lifestyle.okezone.com/ read /2011/06/ 08/195/465778/pengaruh-musikotak-hingga-usia-lanjut. 9. Lestari. Pengaruh Irama Musik Tradisional Jawa Terhadap Penurunan Skor Depresi Pada Lanjut Usia. J Ilmu Keperawatan. 2009;04(03):141-45. 10. Narulita R. Perbedaan tingkat depresi pada lansia yang memiliki keluarga dengan lansia yang tidak memiliki keluarga di Panti Sosial Trisna Werdha Unit Budi Luhur, Kasongan Bantul. Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UMY. 2007. 11. Jayanti. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Depresi Lansia di Panti Wredha Wiloso Wredho Purworejo. J Ilmu Keperawatan. 2008;03(02):133-38. 12. Sumardiono. Derajat Depresi Lansia di Panti Wredha Surakarta Aspek Demografi dan dukungan Sosial. FK UGM Yogyakarta. 2005.
Siti Suwarsih, Kirnantoro, Wahyu Dewi Sulistyarini, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 2, Tahun 2013, 37-42