The Judicial Activism of Constitutional Court in Practice of Unbundling System on Article 33 of the Constitution By: Ferin Chairysa Abstract In performing their authority, the Constitutional Court did some interpretations to discover the ultimate meaning of the Constitution. This effort is an attempt to uphold the fundamental values contained in the Constitution. In odd moments, the Constitutional Court did judicial activism, which, if adversely observed, would backfire for the Constitutional Court itself. This study is related to the argument of state control for the branches of production, which is the intention of the people contained in Article 33 of the Constitution. The judicial review of this Article 33 that has been done a few times shows the negative effects of judicial activism conducted by the Constitutional Court: inconsistencies of interpretation by the Constitutional Court. Keyword: Constitutional Court, Judicial Review, Judicial Activism, Unbundling System
Aktivisme Yudisial Mahkamah Konstitusi dalam Penerapan Unbundling System pada Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945 Oleh: Ferin Chairysa Konstitusi merupakan sebuah paham dan cita di dalam suatu bangsa dan negara yang dituangkan di dalam sebuah teks sakral. Konstitusi pun dijadikan sebagai landasan dalam berbangsa dan bernegara. Didalamnya terkandung nilai-nilai luhur dan tujuan dari sebuah bangsa untuk diwujudkan kehadirannya. Berdasarkan Stuffenbau Theorie dari Hans Kelsen, sebuah norma − dalam hal ini adalah norma hukum − berasal dan bersumber dari norma yang lebih tinggi lagi, hal ini pula telah dijewantahkan secara hierarki di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011). UUD 1945 merupakan norma hukum tertinggi di Indonesia. Sebagai sebuah hukum tertinggi, UUD 1945 harus dijunjung tinggi keberadaannya dan dikawal penuh pelaksanaannya. Agar nilai yang ada di dalam UUD 1945 dapat terus ditegakkan, tepatnya tanggal 9 November 2001 dengan perubahan ketiga UUD 1945, terbentuklah sebuah Mahkamah Konstitusi yang kemudian bertugas sebagai Guardian of Constitution. Kewenangan Mahkamah Konstitusi: Menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diberikan empat kewenangan dan satu kewajiban, yang mana salah satu kewenangannya adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Kewenangan ini dimaksudkan untuk menjaga nilainilai fundamental yang terkandung di dalam UUD 1945. Eksistensi kewenangan Mahkamah Konstitusi ini merupakan salah satu upaya dalam menegakkan konstitusi agar dalam impelementasinya tidak terciderai. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi-lah dapat diketahui apakah suatu undang-undang yang dimohonkan bertentangan atau tidak dengan UUD 1945. 1 Hal ini dengan sendirinya 1
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006: Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006, hlm. 35.
memberikan makna bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memuat bagaimana suatu ketentuan dalam UUD 1945 ditafsirkan terkait dengan ketentuan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji konstitusionalitasnya. Sepanjang tiga belas tahun perjalanan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal UUD 1945, permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 merupakan permohonan yang paling banyak memenuhi kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi, sudah diterima 1225 permohonan pengujian undangundang terhadap UUD 1945 dan telah dihasilkan pula 736 putusan mengenai hal ini.2 Dalam perkembangan putusan-putusan ini, dapat terlihat dinamisme dari putusan-putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan-putusan yang dihasilkan ini tak jarang menimbulkan kontroversi di masyarakat. Banyak putusan yang dihasilkan melalui pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang berbeda ini pun didorong oleh dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas konstitusi. Proses pengambilan putusan seperti ini biasa disebut dengan aktivisme yudisial. Aktivisme Yudisial Terdapat banyak pandangan yang timbul dalam memahami aktivisme yudisial ini. Ada yang berpemahaman postivis sehingga berusaha membatasi ruang gerak yudisial, ada juga kelompok yang memandang aktivisme yudisial sebagai sine qua non dari pengadilan yang merdeka dan independen. Namun, ada pula yang berpandangan moderat dan beranggapan bahwa aktivisme yudisial hanya terbatas untuk kasus-kasus selektif dan eksklusif saja.3 Aktivisme yudisial adalah pandangan dimana hakim dapat menginterpretasikan secara kreatif dan didasarkan pada pandangannya mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. 4 Aktivisme yudisial percaya bahwa hakim menganggap peran sebagai 2
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang” (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU), diakses pada 26 Agustus 2015. 3 Pan Mohamad Faiz, ”Konstitusi dan Aktivisme Yudisial” http://panmohamadfaiz.com/2009/08/25/ konstitusi-dan-aktivisme-yudisial/, diakses pada 26 Agustus 2015. 4
TT, “Judicial Activism Law & Legal Definition” http://definitions.uslegal.com/j/judicialactivism/, diakses pada 26 Agustus 2015.
pembuat kebijakan yang independen dan mandiri atas nama masyarakat sehingga dapat melampaui peran hakim yang sesungguhnya sebagai penafsir konstitusi dan hukum. Aktivisme yudisial sendiri merupakan proses pengambilan putusan pengadilan melalui pendekatan berbeda. Pendekatan ini menurut Satyabrata melebihi filsafat hukum lama, karena dianggap lebih modern dan dekat dengan kehidupan riil masyarakat. Aktivisme yudisial juga dipahami seba gai dinamisme para hakim yang memegang kekuasaan kehakiman ketika membuat putusan tanpa melampaui batas-batas konstitusi.5 Indonesia sendiri telah mempraktikan aktivisme yudisial dalam mempertahankan prinsip-prinsip dan hak dasar dalam konstitusi. 6 Aktivisme yudisial ini paling sering dipraktekkan dalam hal judicial review atau pengujian undang-undang yang mana ini merupakan kewenangan dari Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undangundang terhadap UUD 1945. Di sisi lain, aktivisme yudisial dapat menjadi sebuah bumerang bagi peraturan perundang-undangan Indonesia. Hal ini dapat ditarik dari perubahan susunan majelis hakim. Latar belakang dan kecenderungan pemikiran masing-masing hakim menjadi faktor yang dominan dalam menyumbangkan dinamisme putusan-putusan yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi. Selain itu pula, kondisi politik dan pergerakan sosial dari setiap masa juga menyumbang pemikiran yang berbeda-beda dalam proses penafsiran sebuah pasal dalam UUD 1945. Hal inilah yang terjadi di Indonesia. Aktivisme yudisial yang terlampau dominan pada akhirnya menjadi batu sandungan Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan konsistensi dari penasfsiran UUD 1945. Dalam lima tahun terakhir, beberapa di antara putusan Mahkamah Konstitusi setidaknya telah memperlihatkan kecenderungan tersebut, terutama mengenai pengujian undang-undang yang batu ujinya adalah Pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 Dalam sejarah perubahan UUD 1945, Pasal 33 menjadi perhatian serius pada perubahan kedua. Hal ini dapat dipahami karena Pasal 33 merupakan landasan demokrasi 5 6
Pan Mohamad Faiz, Op.cit., Pan Mohamad Faiz, Op.cit.,
ekonomi dan sistem Perekonomian Nasional yang berdampak sangat luas dan menyangkut penghidupan seluruh lapisan masyarakat. 7 Rumusan Pasal 33 UUD NRI setelah perubahan adalah sebagai berikut: (1)
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
(3)
orang banyak dikuasai oleh negara.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. (4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian,
serta
dengan
menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.****) (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang- undang.****)
Salah satu hal yang menjadi bumerang dari tindakan aktivisme yudisial yang dilakukan Mahkamah Konstitusi adalah penafsiran pada ayat (2), yaitu mengenai pemaknaan cabang- cabang produksi yang penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan dikuasai oleh negara. Hal ini dapat dilihat dari pengujian UU Ketenagalistrikan dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 dan Putusan Nomor 149/PUU-VII/2009, serta pengujian UU Sumber Daya Air dalam Putusan Nomor 058, 059, 060, 063/PUU-II/2004 dan 85/PUU-XI/2013. Pengujian-pengujian ini berintikan mengenai peran pemerintah dalam menjalankan cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan peran swasta serta kaitannya dengan unbundling system. Unbundling System Unbundling system adalah pemecahan usaha yang mana hal ini biasanya diarahkan 7
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Keuangan, Perekomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm. 340.
pada sistem kompetisi di dalam sebuah kegiatan usaha. Dalam konteks bisnis, unbundling adalah sebuah proses dimana sebuah perusahaan besar dengan beberapa jalur yang berbeda atau produk bisnis yang berbeda mendivisikan diri atau mensubsidiarisasikan diri. 8 Namun, unbundling dalam arti bisnis ini tidak dapat disamakan dalam kasus ketatanegaraan dan pemerintahan. Sehingga, dalam konteks ini yang dimaksud dengan unbundling system adalah pemecahan usaha yang selanjutnya hak penguasaan oleh negara dapat diberikan kepada pihak lain yaitu pihak swasta, koperasi, dan lain-lain. Sehingga yang terjadi adalah privatisasi dan hilangnya hak menguasasi oleh negara secara mutlak dan sepenuhnya terhadap suatu hal. Pengujian UU Ketenagalistrikan UU Ketenagalistrikan pertama kali diajukan pengujiannya pada tahun 2003, yang dapat dilihat dalam Putusan Nomor 001-021-022/PUU-I/2003. Di dalam UU Ketenagalistrikan ini, terdapat pasal yang mengamini pengikutsertakan pihak swasta, dan penerapan kompetisi dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Di dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa listrik merupakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga listrik ini harus dikuasai oleh negara. Menurut Mahkmah Konstitusi, jika digunakan unbundling system seperti yang dimaksud dalam UU Ketenagalistrikan, penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan akan dikurangi jika dalam penyediaan tenaga listrik diperlakukan secara sama dalam sistem persaingan dengan badan usaha swasta. Pasal 16 UU Ketenagalistrikan yang memerintahkan sistem pemisahan/pemecahan usaha ketenagalistrikan (unbundling system) dengan pelaku usaha yang berbeda akan semakin membuat terpuruk badan usaha milik negara yang akan bermuara kepada tidak terjaminnya pasokan listrik kepada semua lapisan masyarakat, baik yang bersifat komersial maupun non- komersial. Dengan demikian akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga ketentuan ini harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanya harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 8
TT, “Definition of Unbundling” http://www.investopedia.com/terms/u/unbundling.asp, diakses pada 26 Agustus 2015.
Namun, setelah DPR mengesahkan UU Ketenagalistrikan yang baru, pasal yang mengakui adanya unbundling system ini kembali muncul dalam sistem pengusahaan listrik. Terdapat pasal yang menyatakan bahwa pemerintah memberi kesempatan tehadap badan usaha milik daerah, badan usaha swasta atau koperasi untuk menyelenggarakan usaha penyediaan listrik di daerah yang belum mendapatkan tenaga listrik dari Pemerintah yang dilakukan oleh satu badan usaha dalam satu wilayah usaha. Sehingga, atas dasar hal ini Pemohon mengajukan kembali judicial review atas UU Ketenagalistrikan yang baru. Namun berbeda dengan sebelumnya, dalam Putusan Nomor 149/PUU-VII/2009, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak melarang privatisasi sepanjang privatisasi tidak meniadakan penguasaan negara dan negara
tetap
diberikan
kekuasaan
untuk
mengatur
(regelendaad),
mengurus
(bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga, Mahkamah Konstitusi memutus bahwa UU Ketenagalistrikan yang baru tidak melanggar UUD 1945. Pengujian UU Sumber Daya Air Dalam permohonan pengujian pada tahun 2005, pokok dari permohonan pengujiannya adalah pasal-pasal yang mengandung nilai swastanisasi. Dimana air sebagai hajat hidup orang banyak diberikan pengusahaan dan pengelolaannya kepada swasta. Mahkamah Konstitusi di dalam Putusan Nomor 058, 059, 060, 063/PUU-II/2004, berpendapat bahwa meskipun UU Sumber Daya Air membuka peluang peran swasta untuk mendapatkan Hak Guna Usaha Air dan izin pengusahaan sumber daya air namun hal tersebut tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke tangan swasta. Negara dalam melaksanakan hak penguasaan atas air meliputi kegiatan merumuskan kebijaksanaan (beleid), (melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaad), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad). Sehingga dengan alasan-alasan tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan dari Pemohon. Di dalam Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, terlihat bahwa Mahkamah Konstitusi kembali tidak konsisten ketika hal yang sama diajukan kembali pada tahun 2013. UU
Sumber Daya Air kembali diujikan dengan alasan yang sama, yaitu bahwa undangundang ini mengandung muatan penguasaan dan monopoli atas sumber daya air yang bertentangan dengan prinsip dikuasai oleh negara yang dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat, cenderung menduung kepentingan komersial yang memicu konflik horizontal, terkesan menghilangkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan air. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa makna dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat atas air sifatnya mutlak. Sehingga prioritas utama diberikan pada badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. Dan putusan ini pun menyatakan bahwa UU Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945. Kesimpulan Dengan melihat pada kecenderungan Mahkamah Konstitusi terhadap unbundling system dalam masing-masing putusan, akan terlihat pendirian yang berbeda dari Mahkamah Konstitusi. Unbundling system atau tidaknya suatu cabang produksi adalah merupakan efek atau implikasi dari pemaknaan penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi melakukan pemaknaan penguasaan negara secara mutlak, maka secara otomatis unbundling system tidak cocok dengan presepsi yang demikian. Namun sebaliknya, apabila Mahkamah Konstitusi menafsirkan penguasaan negara ini secara relatif, maka terdapat kemungkinan untuk melakukan unbundling system terhadap cabang produksi tersebut. Selain itu, dapat dilihat juga bahwa Mahkamah Kosntitusi melakukan penafsiran yang berbeda dalam kurun waktu yang berbeda terhadap suatu hal yang sama. Jika dihubungan dengan aktivisme yudisial, hal-hal semacam ini merupakan beberapa bentuk dari aktivisme yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Dari pandangan yang berbeda-beda dari hakim konstitusi terhadap suatu hal yang sama yaitu dalam hal ini adalah konteks penguasaan oleh negara, hakim konstitusi telah melakukan interpretasi secara kreatif dan didasarkan pada pandangan dari pribadi hakim masing-masing yang memutus perkara pada saat itu. Hal ini juga tentunya disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada saat itu dan kesiapan dari negara sendiri dalam melakukan penguasaan terhadap suatu hal tersebut.
Kewenangan hakim konstitusi untuk melakukan interpretasi ini memang merupakan kewenangannya sebagai hakim konstitusi. Dan tindakan yang mencerminkan aktivisme yudisial juga bukan merupakan suatu hal yang disalahkan sepenuhnya. Namun, menurut penulis jika dilihat dari putusan-putusan yang dianalisis dalam kasus ini, dinamisme dan tindakan progresif hakim dalam memutus, yang dalam hal ini disebut dengan aktivisme yudisial, telah mengakibatkan kebingungan hukum karena putusanputusan ini tidak konsekuen satu sama lain.
Sumber Referensi: Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. _____. Undang-Undang Sumber Daya Air. UU No. 7 Tahun 2004. LN No. 32 Tahun 2004. TLN No. 4377. _____. Undang-Undang Ketenagalistrikan. UU No. 20 Tahun 2009. LN No. 133 Tahun 2009. TLN. No. 5038. _____. Undang-Undang Ketenagalistrikan. UU No. 20 Tahun 2002. LN. No. 94 tahun 2002. TLN No. 4226. _____. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316. _____. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 12 Tahun 2011. LN No. 82 Tahun 2011. TLN. 5234. Putusan Mahkamah Konstitusi. Nomor Perkara 001-021-022/PUU-I/2003. _____. Nomor Perkara 149/PUU-VII/2009. _____. Nomor Perkara 058, 059, 060, 063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005. _____. Nomor Perkara 85/PUU-XI/2013. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Catatan Perjalanan Tiga Tahun Mahkamah Konstitusi 2003-2006: Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis. Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi, 2006. _____. “Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang” (http://www.mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU), diakses pada 26 Agustus 2015. _____. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Buku VII Keuangan, Perekomian Nasional, dan
Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008. Asshiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Faiz, Pan Mohamad. ”Konstitusi dan Aktivisme Yudisial” http://panmohamadfaiz.com/2009/ 08/25/ konstitusi-dan-aktivisme-yudisial/, diakses pada 26 Agustus 2015. Kusuma, RM. A. B. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.Pringgodigdo, H. A. K. Tiga Undang Undang Dasar. Jakarta: PT. Pembangunan, 1974. TT. “Judicial Activism Law & Legal Definition” http://definitions.uslegal.com/j/judicialactivism/, diakses pada 26 Agustus 2015. TT. “Definition of Unbundling” http://www.investopedia.com/terms/u/unbundling.asp, diakses pada 26 Agustus 2015.