THE INTRODUCTION Indonesia, Negara kepulauan yang terletak di Asia Tenggara, merupakan salah satu Negara makmur (untuk saat ini). Rakyatnya hidup dengan damai (sering demonstrasi dan tawuran), lalu lintasnya lancar (macet total), penduduknya hidup berkecukupan (sebagian mlarat), dan kaya dengan artis dan band papan atas yang banyak penggemarnya (kenyataan). Di Jakarta, di bandara Soekarno-Hatta pada siang hari, cuaca mendung. Sebuah pesawat baru saja mendarat, para penumpang turun satu-persatu dari dalamnya. Seorang pemuda baru turun dan memandang ke sekeliling, wajahnya tak begitu kelihatan. Dia memakai jaket kulit hitam dengan kerudung, berkacamata hitam, celana jeans, dan sepatu boot. ?: “Nothing has changed here, a bit at least.” (Tak ada yang berubah di sini, setidaknya sedikit) Beberapa saat kemudian di pintu keluar bandara, dia keluar sambil menjinjing sebuah tas ransel dengan satu tangan. Banyak orang yang menunggu di luar dengan memegang kertas atau papan bertuliskan nama orang, dia melirik ke arah kanan dan melihat seorang pemuda yang terlihat sebaya dengannya. Berkulit sawo matang, rambut pendek cepak. Sang pemuda tersenyum dan berjalan menuju pemuda yang sedang memegang potongan karton bertuliskan ‘white bull’. Pemuda itu sendiri adalah orang Indonesia, sedangkan sang pemuda sendiri adalah orang bule. ?: “Don’t you have any better words (Apa kau tak punya kata yang lebih bagus), Juki?” Juki: “Ini kan sudah bagus, white bull, kebo bule, hehe.” ?: “Whatever, where is the transport? (Terserah, mana kendaraannya?) Juki: “Di sana noh.” Juki menunjuk mobil pick up hitam yang diparkir di pinggir jalan. Ada seorang bapakbapak berbadan gendut dan berkumis sedang duduk di dalamnya, dia terlihat tidur mendengkur. ?: “Humble-lievable, your dad still using that?” (Sulit dipercaya, ayahmu masih memakai itu?) Juki: “Jangan ngehina, keluargaku sudah sedikit berubah kehidupannya. Ini pengecualian, liat aja nanti sampai di rumah.” ?: “Ok.”
Beberapa saat kemudian, mobil pick up hitam itu kini dalam perjalanan bersama dengan Juki dan sang pemuda bule. Saat itu hujan mendadak turun dan mobil itu berhenti di lampu merah, sang pengemudi lalu menghela nafas panjang. Yang mengemudikannya adalah bapak gendut dan berkumis yang tadi tidur di dalam mobil, dia memandang hujan dengan perasaan kesal. ??: “Aduh, hujan. Padahal ini mobil baru gua cuci.” Juki: “Sabar aja pak, lagipula ini kan termasuk ujian hidup.” ??: “Jangan sok lu, lu kan bukan ulama.” Juki: “Inggih pak.” (Iya pak) ??: “Aduh, Juk. Lu jangan ngomong pake bahasa mak lu dong.” Juki: “Lha nek aku iki dudu putranipun ibu, aku ora isa ngomong Jawa, pak.” (Kalau aku bukan putranya ibu, aku tak bisa bahasa Jawa, pak)
Ayah Juki menoleh pada anaknya dan menatapnya sejenak, pandangannya kemudian kembali ke depan. ??: “…iya juga sih...” Juki: “Lampunya udah ijo tuh pak.” ??: "Oh iya, ya. Kiri kosong, kanan kosong, yak jalan!" ?: “Tidak banyak yang berubah dari negeri ini, pengamen, gelandangan, pengemis, dan anak terlantar masih saja berkeliaran.” Juki: “Jangan gitu dong, ini juga Negaraku, sebagian dari masyarakat kita juga berusaha untuk menghilangkan hal seperti ini, seberapa lama pun itu.” ?: “Yah, aku masih salut padamu karena masih bisa bertahan dalam situasi apapun. Lalu perubahan seperti apa yang terjadi dalam hidupmu sekarang?” Juki: “Bapak sekarang sudah buka usaha bengkel, hasilnya lumayan. Rumah langsung direnovasi jadi lebih bagus, kamarku jadi tambah luas.” ?: “Kalau begitu ruangan di rumahmu bertambah sekarang?” Juki: “Begitu deh, lagian… buat apa kamu nanya gitu?” ?: “That’s my business.” (itu urusanku) Juki: “Jangan bilang kamu mau nginap di rumahku.” ?: “Why not? I am one of your friends, right?” (Kenapa tidak? Aku ini salah satu dari temanmu kan?) Juki: “Aduh, kamu ini kan dah punya rumah, apalagi letaknya di sebe…” Sang pemuda menundukkan kepalanya, dia terlihat sedang depresi. Juki: “Oh, maaf, jadi ngingetin kenangan buruk.” Pemuda bule itu mengangkat kepalanya, ternyata dia baru saja memakan sebuah permen karet, mengunyahnya lalu menggembungkannya. Pemuda itu menoleh pada Juki dengan keheranan, permen karetnya kemudian meletus dan dia mengunyahnya lagi. ?: “Ng?” Juki: (jengkel) “Terserah kamu aja deh.” ??: “Tenang aja, elu bisa tinggal serumah bareng ama kite.” Permen karet yang digembungkan pemuda itu meletus, dia lalu membuka sebungkus kertas kemudian mengunyah dan memuntahkan permen karet itu di atasnya. ?: “Terima kasih, pak Marzuki.” Pak Marzuki: “Bukan apa-apa kok.”
Pagi hari di sebuah universitas, di dalam kantor rektorat, sudah ada dua orang yang duduk berhadapan langsung. Salah satunya adalah seorang mahasiswa, sedangkan orang yang ada di hadapannya adalah seorang pria yang sudah tua, wajahnya berkeriput bagian atas kepalanya botak, masih memiliki rambut di kanan dan kirinya, berjenggot serta berkumis. ?: “Jadi kamu yang katanya akan mulai belajar di sini? Saya sudah menerima surat rekomendasinya kemarin.” ??: “Benar sekali.” ?: “Ooh, dari daerah mana?”
??: “Saya dibesarkan di negeri ini. Sudah lama saya tinggal di Negara luar, tapi dulu saya sudah tinggal di sini selama sepuluh tahun.” ?: “Sekolah di luar negeri?” ??: “Bisa dikatakan begitu, tapi saya sudah mendapat cukup dari sana. Lalu saya memutuskan untuk kembali ke sini, lebih menyenangkan saya kira.” ?: “Oh, jadi intinya kamu kangen sama Indonesia?” ??: “Mungkin bisa dibilang begitu, selain itu saya juga perlu mengawasi teman saya. Jadi anda rektor di sini? Orang tua saya pernah bercerita mengenai anda.” ?: “Benarkah? Mungkin saya pernah bertemu mereka. Nama saya Pak Abdullah, siapa namamu?” Sang rektor berdiri dari tempatnya duduk dan hendak menjabat tangan sang mahasiswa, sang mahasiswa membalas jabatan tangannya kemudian menjawab. Eric: “Pietersburgh, Eric Pietersburgh, panggil saja saya Eric.”
Di dalam sebuah kelas, para pelajar sedang ujian. Mereka semua duduk mengerjakan soal, sementara sang dosen berjalan berkeliling mengamati mereka. Sang dosen tak menyadari ketika dia membelakangi seorang mahasiswi berambut pendek, secara sembunyi-sembunyi mahasiswi itu memanggil temannya di sebelah dan saling bertukar jawaban. Saat itu terdengar bunyi pintu diketuk, sang dosen langsung berjalan menuju pintu dan keluar. Sementara itu si mahasiswi melanjutkan saling tukar jawaban, dia memanggil temannya yang ada di sebelah. Yaitu seorang gadis berambut panjang, dia menoleh pada si mahasiswi. ?: “Huff, untung pak Roni keluar. Ayo cepet Lis, soal nomor 10 ampe 13.” Lisa: “Ampun, sabaran dikit napa kek? Ini soal juga masih dikerjain.” ?: “Lagian waktunya kan tinggal dikit, kalo nungguin kamu bisa berabe dong.” Lisa: “Liat aja dulu yang nomor 11 sampai 12, masih agak sulit nih.” ?: “Aduh, Lis, lagian soalnya tinggal dikit lagi nih. Waktunya juga mepet, gak bisa semuanya tuh?” Lisa: “Ya elah, kamu soal kosong dikit aja gak apa kan? Lagian nilaimu kan juga masih bagus.” ?: “Emang sih… waduh gawat pak Roni masuk!” Pak Roni: “Baiklah, semua yang sudah selesai mengerjakan soal harap langsung mengumpulkan di meja. Dan satu hal lagi, tolong jangan keluar dulu apabila sudah selesai. Akan ada teman baru yang akan bergabung di sini bersama kalian dan mau diperkenalkan.” ?: “Teman baru? Wah kamu tadi denger?” Lisa: “Iya, moga aja ini laki, soalnya di kelas kita lakinya banyak tapi gak romantis.” ?: “Lis, Lis, kamu aja pacaran gak pernah, tau dari mana kalo mereka kagak romantis?” Lisa: “Eh asal tau aja, gini-gini aku banyak yang naksir tau.” ?: “Eh, lagian… entar dulu ngapain kita ngomong gituan, soalnya belum selesai kan?!” Lisa: “Waduh! Iya! Ayo cepet kerjain!” ?: “Nyontek dong!” Lisa: “Enak aja, kerjain aja sendiri!”
Lima menit kemudian, setelah ujian selesai, Lisa dan si mahasiswi terperangah saat Eric sudah berdiri di hadapan seluruh mahasiswa. Eric yang membuat seluruh gadis di dalam
ruangan terpesona, rambutnya pirang, wajahnya tampan, hidungnya mancung, dan matanya biru. Pak Roni: “Nah, silahkan perkenalkan diri.” Eric: “Selamat siang, nama saya Eric Pietersburgh. Baru pindah di sini, saya senang bertemu dengan kalian.” Lisa: “Gila bule, bo! Ganteng lagi!” ?: “Iya, ngomong bahasa Indonesia-nya fasih juga. Aduh, mirip Justin Timberlake lagi.” Lisa: “Pasti dia baru pindah dari luar negri.” ?: “Jangan sok, tau darimana? Dari cara dia ngomong, dia pasti udah lama tinggal di sini.” Lisa: “Bisa saja kan kalo dia sering berkunjung ke Indonesia, makanya jadi lancar gitu bicaranya.” ?: “Kalo gitu taruhan ya? Nanti kita tanyain, kalo aku bener kamu traktir soto ayam. Tapi kalo kamu yang bener, aku traktir mi ayam.” Lisa: “Ogah! Kurang kenyang, gak ada yang lebih enakan dikit apa? Kita kan udah makan mi ayam kemaren pas kita pulang dari bioskop! Makan kaya gitu lagi, eneg jadinya.” ?: “Ya udah, gimana kalo nasi goreng.” Lisa: “Deal.” ?: “Oke.” Mereka kemudian bersalaman tanpa mengetahui bahwa sedari tadi Juki duduk mendengarkan percakapan mereka dari belakang, dia hanya menggerutu dengan wajah manyun.
Setelah pelajaran selesai, Eric dan Juki sekarang berada sendirian di dalam kelas. Juki duduk di atas meja dosen, sedangkan Eric duduk di kursi dan meletakkan kedua kakinya di atas meja sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepala. Sambil berpangku tangan, Juki menggerutu. Juki: “Kenapa sih kuliah di tempat ini? Apa gak kepikiran tempat yang lain?” Eric: “Kalau di sini lebih menyenangkan, karena ada yang masih kukenal.” Juki: “Alah, kan kamu bisa kuliah sendiri dan lebih mengenal orang-orang di sekitarmu. Istilahnya itu bersosialisasi, jangan kamu anggap aku ini semacam babysittermu.” Eric: “Aku tak pernah menganggapmu begitu.” Juki: “Iya sih, kita ini teman, tapi masalahnya…” Eric: “Kalau masalah biaya hidup, tak usah dipikirkan. Aku biasa membayar sendiri, jangan mengira bahwa aku ini bukan pria yang mandiri.” Juki: “Betul? Berarti kamu banyak duit dong? Bisa gak aku minta duit ke kamu?” Eric: “Don’t expecting that.” (Jangan mengharapkan itu) Juki: “Sontoloyo, pelit amat… ntar, kok jadi ngomongin gitu? Gini ya, bukan masalah uang atau biaya. Masalahnya adalah cewek-cewek di kampus ini, ngelihat wajah yang kayak kamu aja, udah banyak cewek kesengsem ama kamu.” Eric: “Lantas kenapa itu jadi masalah bagimu? Aku sendiri belum melakukan apapun pada mereka.”
Juki: “Justru itu masalah buatku, waktu terakhir kamu kemari kamu bawa cewek yang... aduh, susah ngungkapinnya.” Eric: Sudahlah, tidak ada salahnya mengantarkanku untuk melihat-lihat. Lagipula aku masih baru di sini...” Eric menghentikan perkataannya ketika dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Eric: “Ah, tapi… mungkin tak usah.” Juki: “Ya, kamu sendiri kan bisa jalan sendirian.” Eric: “No. Look, the tour-guide has arrived.” (Bukan. Lihat, pemandu wisatanya sudah datang) Eric melihat si mahasiswi dan Lisa sudah berdiri di ambang pintu, mereka pun terperanjat sampai menjatuhkan buku yang mereka bawa. Eric langsung menurunkan kakinya dari meja dan berjalan ke pintu untuk mengambil buku yang mereka jatuhkan, Juki juga ikut membantu dan menyerahkan buku pada mereka. Eric: “Are you alright?” (Kalian tak apa?) ?: “I… iyes.” Eric: “Tak perlu takut, memang apa yang kalian lihat?” Lisa: “Bu… bukan, tadi ada lalat, makannya jatuh. Ini temanmu, Juk?” Juki: (suara hati) “Mulai perasaan gak enak nih.” Eric: “Old friend, he is.” (Teman lama, memang.) Juki: “Ya, sejak jaman Majapahit.” ?: “Gila, ketuaan! Emangnya dia setan?” Eric: “I am, yes, I am really a devil.” (Benar, ya, aku memang iblis) Para gadis: “Hahahaha.” Juki: “Terus ngapain kalian ke sini?” Lisa: “Sebenarnya… kita berdua penasaran, Eric ini belajar Bahasa Indonesia dari mana.” ?: “Iya, soalnya bicara Indonesianya lancar banget.” Eric: “Is that so? Then would you mind if you ask me in the form of quiz?” (Begitukah? Jika begitu maukah kalian menanyaiku dalam bentuk kuis?) Eric menyerahkan selembar kertas yang dia keluarkan dari dalam saku bajunya. Eric: “In this paper of course.” (Di kertas ini tentu saja) Para gadis: “…...” Juki: “Maksudnya dia minta kalian kalau nanya tulis aja di kertas.” Lisa: “Iya udah tahu artinya, jangan kira aku kagak tau maksudnya.” ?: “Emang buat apa sih?” Eric: “Just do it and I want the answer in multiple choices.” (Lakukan saja, dan aku ingin jawabannya dalam pilihan ganda)
Beberapa menit kemudian, kertas berisi pertanyaan diberikan pada Eric. Isi pertanyaan itu adalah: Kenapa kamu bisa berbahasa Indonesia? Karena A. Tinggal di luar negeri
B. Tinggal di Indonesia C. Tinggal di luar negeri, tapi lebih sering berkunjung ke Indonesia Eric: “B, obviously.” (B, tentu saja) Lisa: “Hah? Kenapa?” Eric: “Sebenarnya aku dulu pernah tinggal cukup lama di Indonesia sejak aku lahir, setelah itu aku berpindah tempat dari satu Negara ke Negara lain sampai akhirnya kembali ke sini. Tapi… aku tak begitu sering berkunjung, ngomong-ngomong aku ini adalah keturunan Inggris.” ?: “Tuh kan, dibilang juga apa.” Lisa: “Yah, gagal deh ditraktir.” Juki: “Tunggu sebentar, tadi kalian taruhan ya? Ingatlah judi itu dosa, dan itu sungguh ter-lalu.” (logat Rhoma Irama) Lisa dan ?: “Iya bang haji.” Eric: “Nah, karena aku sudah menjawab pertanyaan dengan benar, kalian harus memberi hadiah." Lisa: "Eh? Mau ditraktir juga? Tapi..." ?: "Perlu dipotong pajak tidak?" Eric: "Of course not. (Tentu saja tidak) Kalau tak keberatan, apakah kalian bisa ajak aku berkeliling?” ?: “Eh kita? Bukannya Juki bisa?” Eric: “Aku sudah pernah ditemani olehnya, aku perlu orang yang lain.” Juki: “Benar, dia perlu sosialisasi.” Eric: “Ya, lagipula jika sebegitu seringnya dia menemaniku pada akhirnya dia akan jadi pemalas.” Juki: “Hoi!” Eric: “Sorry, but it’s the fact.” (Maaf, tapi itulah kenyataannya)
Siang hari di kampus, di sebuah kantin yang ramai, banyak pelajar mengantri untuk membeli makanan. Di antara banyak meja yang berjajar, terlihat Eric, Juki, si mahasiswi dan Lisa sedang duduk dan menyantap makanan. Eric sedang menyantap bakso dengan lahapnya, dia menusuk bakso dengan garpu dan mengoleskannya ke saos tomat, sambal, dan kecap di wadah merah kecil. Ketika sudah selesai makan, Eric langsung meneguk habis kuahnya dari mangkuknya. Para gadis menatap dengan pandangan tak percaya, Juki yang dari tadi duduk di sebelahnya hanya diam sambil makan rujak cingur. Eric: “This country is still better with their meatball. No, it’s truly the best.” (Negeri ini masih lebih baik dengan bakso mereka. Tidak, ini sungguh yang terbaik.) Juki: “Bagaimana bisa kamu bilang gitu, sementara kamu sendiri sudah makan lima mangkok.” Eric: “Sudahlah, lagipula aku juga sudah lama tak pulang ke sini. Dan berpikirlah memakai kepalamu, mana mungkin aku makan mangkuk.” Juki: (jengkel) “…geblek! Maksud gua, lu nambah sampai lima mangkok!” Eric: “Ternyata bahasa Indonesiamu masih payah, aku hanya pakai satu mangkuk, lihat baikbaik.” Juki: “Uuugh, lu ini… maksud gua… lu nambah sampai lima porsi! Bukan sama mangkoknya!” Eric: “Itu baru kalimat yang benar.”
Juki: “Lama-lama gua bisa stroke nih!” ?: “Ng...” Eric: “Kenapa?” Lisa: “Suka bakso ya?” Eric: “Off course, this is my favorite food when I five years old.” (Tentu saja, ini makanan kesukaanku sejak umur lima tahun) ?: “Apa saja makanan kesukaan kamu selain bakso?” Eric: “Yah, aku punya satu makanan favorit untuk satu Negara. Di Indonesia ini, aku lebih menyukai bakso.” Lisa: “Sekarang kamu tinggal di mana?” Eric: “Aku tinggal dengan Juki untuk saat ini.” ?: “Untuk saat ini? Emangnya kamu mau tinggal di mana?” Eric: “Aku sudah meninggalkan negeri ini selama kurang lebih sepuluh tahun, kalian tahu bahwa aku sering berpindah-pindah tempat?” Lisa: “Jadi maksudnya kamu mungkin akan keluar negeri lagi dalam waktu dekat ini?” Eric: “Tentu saja tidak, aku akan tinggal dalam waktu yang cukup lama di sini.” Lisa: “Emang kamu kerjaannya ngapain aja di luar negeri?” Eric: “Hmm, tidak tentu. Sewaktu aku ada di Amerika, aku pernah bekerja dengan berlari di tengah baku tembak.” Para gadis membayangkan Eric dikejar polisi sambil ditembaki karena merampok bank. Eric: “Jangan salah sangka dulu, ini tak seperti yang kalian bayangkan.” ?: “Kamu di sana sekolah nggak?” Eric: “Tentu saja, tapi jika dibilang sekolah kurang tepat. Aku berguru, kurang lebihnya seperti itu.” ?: “Kayaknya sama saja deh.” Lisa: “Terus ngapain kamu ke Indonesia?” Eric: “Aku sudah terlalu banyak mempelajari hal yang sudah kutahu di luar sana, jadi menurutku pelajaran di Indonesia lebih menarik.” Juki: “Dan sialnya dia satu kampus denganku.” Eric langsung menjitak kepala Juki dari belakang. Juki: “Aduh!!” Eric: “Sampai lupa, siapa nama kalian? Ladies?” Para gadis mendadak berwajah merah merona, mereka meletakkan kedua telapak tangan di mulut dan saling bertatapan. Para gadis: “Nona dia bilang!!” Juki: (suara hati) “Tuh kan, kubilang juga apa.” Lisa: “Namaku Lisa, ini temanku Santi, nice to meet you.” (Senang bertemu denganmu.) Eric: “I’m also glad to see you…” (Aku juga senang bertemu dengan kalian…)
Eric melihat ada keributan di pojok kantin, sekelompok pemuda berpakaian preman mengganggu seorang mahasiswa bertampang culun. Semua yang di sekitar mereka hanya bisa diam saja menyaksikan, wajah mahasiswa itu babak belur. Eric: “What’s happening there?” (Ada apa di sana?) Lisa dan Santi menoleh ke belakang, mereka langsung berdiri dan berlari ke tempat kejadian begitu melihatnya. Juki: “Aduh, itu Beni CS.” Eric: “Kau kenal mereka?” Juki: “Mereka begundal di kampus ini, waktu itu udah kubilang kan? Jangan kuliah di sini, ada kerugiannya.” Eric: “Jadi salah satu alasan kau melarangku untuk kuliah di sini adalah mereka? Justru karena itulah… salah satu alasanku untuk memuaskan diriku di tempat ini, kau pikir untuk apa aku kembali kemari?” Juki: “Kamu serius?” Eric: “Jangan khawatirkan apa yang terjadi setelah ini, lagipula kau sudah mengetahui kemampuanku.” Juki: “Benar, tapi jangan dibunuh ya?” Eric: “Anyway, I am the devil who walks in the God path.” (Bagaimanapun, aku adalah iblis yang melangkah di jalan Tuhan.)