Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
185
The Gluttathion Role As Antioxidant in Inhibition of Neurode generative Disease and Brain Aging Focus Review on Glutathione Metabolic Interaction betwen As Trocyte and neuron in Ros Defence System Sunarno1 ABSTRACT Neurodegeneratif disease and brain aging constitute problem that happen on many people nowadays. Study about endogen antioxidant toward this two case still little, thereby this papper will discuss about potenty of glutathione as endogen antioxidant. Glutathione as key phisiologycal parameter can be used indicator regard status of organ function especially for cases be related to neurodegeneratif disease and brain aging. In addition glutathione also known have role of important as body defence system toward free radical. Thereby this papper will discus information about neurodegeneratif disease and brain aging that its be related to glutathione, source of reactive oxygen species in body, glutathione potention, mechanism and function of glutathione, glutathione metabolism and glutathione metabolic interaction between astrocyte and neuron and its role for neurodegeneratif disease and brain aging inhibition. Finish discussion conclude that glutathione as endogen antioxidant own potention to free radical detoxification or reactive oxygen species, especially that be related to metabolism neuron and astrocyte cell in brain. Neuron and astrocyte cell in brain strongly mutual affect especially be related to glutathione metabolism and defence system toward reactive oxygen species. Glutathione system that be found astrocyte cell can contribute against brain defence and enhance neuron protection system against reactive oxygen species effect thus neurodegeneratif disease and brain aging can inhibited, (Sains Medika, 1 (2) : 185-210). Keywords: glutathione, neurodegeneration, brain aging, astrocyte, neuron, reactive oxygen species ABSTRAK Penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak merupakan masalah yang dialami oleh banyak umat manusia dewasa ini. Kajian yang berkaitan dengan antioksidan endogen terhadap kedua kasus ini masih sedikit oleh karena itu makalah ini akan membahas tentang potensi antioksidan endogen glutathione. Glutathion sebagai salah satu parameter fisiologis kunci dapat dijadikan sebagai indikator mengenai status fungsi organ terutama untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak. Selain itu glutathion juga diketahui mempunyai peranan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap radikal bebas. Oleh karena itu makalah ini akan membahas informasi tentang penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak yang berkaitan dengan glutathion, sumber reactive oxygen species dalam tubuh, potensi glutathion, fungsi dan mekanisme glutathion, metabolisme glutathion dan interaksi metabolik glutathion antara astrosit dan neuron serta perannnya dalam menghambat neurodegenrasi dan penuaan otak. Diakhir pembahasan disimpulkan bahwa glutathion sebagai antioksidan endogen mempunyai potensi mendetoksifikasi radikal bebas atau reactive oxygen species, terutama yang berkaitan dengan metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit dan neuron otak. Sel astrosit dan neuron dalam otak secara kuat mempengaruhi satu sama lain terutama yang berkaitan dengan metabolisme glutathion dan pertahanan terhadap reactive oxygen species. Sistem glutathion yang dimiliki oleh astrosit dapat memberi kontribusi terhadap pertahanan otak dan meningkatkan sistem proteksi neuron terhadap efek reactive oxygen species sehingga dapat menghambat neurodegenerasi dan penuaan otak, (Sains Medika, 1 (2) : 185-210). Kata kunci: glutathion, neurodegenerasi, penuaan otak, astrosit, neuron, reactive oxygen species
1
Staf pengajar Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Diponegoro Semarang Jl. Prof. Soedarto, SH Kampus Undip Tembalang 50275, (
[email protected])
186
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
PENDAHULUAN Penyakit neurodegenerasi dan penuaan (aging) adalah suatu sindrom yang ditandai dengan adanya perubahan yang diakibatkan oleh kerusakan yang berlangsung secara progresif, bersifat umum dan irreversibel. Penyakit neurodegenerasi dan penuaan diawali dengan munculnya tanda-tanda kerusakan yang hampir sama yaitu kerusakan mulai dari tingkat molekul, yaitu DNA, protein, lipid sampai dengan kerusakan pada tingkat seluler dan organ-organ yang pada akhirnya memperpendek umur biologis. Kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas atau reactive oxygen species (ROS) merupakan teori yang paling popular dan umum, berkaitan dengan terjadinya berbagai macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang mempunyai sifat sangat tidak stabil karena mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Dalam memperoleh pasangan elektron, radikal bebas menjadi sangat reaktif, sehingga untuk memperoleh pasangan elektron, radikal bebas akan menyerang secara acak. Semakin reaktif suatu radikal bebas,maka serangan tersebut semakin tidak selektif. Radikal bebas dapat menyerang lemak, gula, protein dan DNA melalui mekanisme rantai reaksi sehingga menimbulkan kerusakan membran, modifikasi protein, deaktivasi enzim dan kerusakan DNA (Suratno, 2006). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa patogenesis beberapa penyakit degeneratif dan proses penuaan melibatkan pembentukan radikal bebas atau ROS dan terjadinya disfungsi mitokondria. Akhir-akhir ini, telah diketahui bahwa aspek genetika molekuler dan neurokimia sebagai proses penting yang terlibat dalam kematian sel dan berhubungan erat dengan stres oksidatif dan disfungsi mitokondria. Kedua proses tersebut berkaitan satu sama lain. Selain itu, dinyatakan bahwa terjadinya kerusakan neurodegeneratif dan penuaan disebabkan oleh gangguan homeostasis glutathion akibat adanya stres oksidatif (Dringen et al., 2000). Metabolisme glutathion berperan penting dalam proses patogenesis berbagai macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan, oleh karena itu pemberian perlakuan untuk meningkatkan sintesis GSH atau menghambat degradasi GSH merupakan sebuah alternatif untuk mengatasi kedua permasalahan tersebut. Namun demikian, karena GSH tidak atau hanya sedikit yang mampu melintasi membran atau sawar darah otak (bloodbrain barrier) serta tidak dapat diambil secara langsung oleh neuron, maka pemberian
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
187
glutathion dilakukan dalam bentuk pemberian GSH monoetil ester, prekursor glutathion atau glutathion analog lainnya yang dapat meningkatkan GSH neuron otak. Berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki oleh glutathion, dalam makalah ini akan dibahas mengenai penuaan dan fase-fase penuaan, penuaan otak yang berkaitan dengan penurunan konsentrasi glutathion intraseluler, sumber ROS intraseluler, stres oksidatif dan bentuk kematian neuron otak, potensi antioksidan glutathion, metabolisme dan fungsi glutathion, metabolisme glutathion pada astrosit dan neuron, glutathion dan detoksifikasi radikal bebas pada astrosit dan neuron, interaksi antara astrosit dan neuron dalam metabolisme glutathion dalam fungsinya sebagai pertahanan terhadap radikal bebas atau ROS dalam menghambat proses neurodegenerasi dan penuaan.
TINJAUAN PUSTAKA Penuaan dan Fase – Fase Penuaan Seiring dengan meningkatnya umur manusia, akan diikuti oleh menurunnya fungsi sistem fisiologis tubuh yang dapat berakibat munculnya tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Berdasarkan perubahan pada setiap tingkat umur manusia, penuaan terjadi dalam beberapa fase, yaitu fase subklinis, transisi dan klinis. Fase subklinis merupakan fase awal yang ditandai oleh munculnya gejala-gejala atau perubahan yang dapat mengawali munculnya penyakit neurodegeneratif dan proses penuaan, terjadi pada manusia dengan kisaran umur 25-35 tahun. Pada fase ini terjadi penurunan fungsi sistem fisiologis tubuh dengan persentase 14% dibanding umur sebelumnya. Fase berikutnya adalah fase transisi yang ditandai dengan penurunan fungsi sistem fisiologis tubuh dengan persentase mencapai 25%, sehingga gejala-gejala atau perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh mulai terlihat lebih nyata. Fase ini terjadi pada manusia dengan kisaran umur 35-45 tahun. Fase lanjutan dari fase subklinis dan transisi adalah fase klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi sistem fisiologis yang lebih nyata dibanding kedua fase sebelumnya dan biasanya terjadi pada manusia dengan umur 45 tahun ke atas. Kondisi stres oksidatif sering dijumpai pada fase ini dan menjadi pemicu munculnya tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan penuaan yang terjadi secara cepat. Sebuah penelitian telah membuktikan, bahwa tikus umur 12 bulan mengalami penurunan respon fisiologis yang mengarah terjadinya penyakit
188
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
neurodegeneratif dan penuaan lebih nyata dibanding tikus dengan umur 6 bulan (Eddy, 2006; Sudatri, 2006). Penuaan Otak yang Berkaitan dengan Penurunan Glutathion Intraseluler Dari berbagai fakta membuktikan bahwa terjadinya berbagai macam penyakit neurodegeneratif dan penuaan otak diakibatkan oleh adanya stres oksidatif. Stres oksidatif yang terjadi pada otak ditandai dengan terjadinya perubahan struktur dan fungsi neuron, sehingga neuron mengalami disfungsi bahkan dapat berakibat pada kematian neuron tersebut. Penurunan sistem glutathion merupakan salah penyebab terjadinya kedua kondisi tersebut. Dibandingkan dengan organ-organ lain, otak merupakan organ yang mempunyai fungsi sangat penting dan mempunyai resiko paling tinggi (endangered), berkaitan dengan pembentukan dan detoksifikasi ROS. Sel-sel otak manusia mampu mengkonsumsi oksigen 20% dari kebutuhan oksigen seluruh tubuh meskipun organ ini hanya menempati 2% dari total volume tubuh (Clarke and Sokoloff, 1999). Tingkat konsumsi oksigen yang tinggi ini memungkinkan terbentuknya ROS dalam jumlah yang besar di dalam otak selama berlangsungnya proses oksidasi-fosforilasi. Pernyataan lain menyebutkan, kandungan ion besi yang tinggi di beberapa wilayah pada otak (Gerlach et al., 1994), mampu mengkatalisis pembentukan ROS. Otak adalah organ yang mudah diserang (vulnerable) oleh ROS, karena di dalam otak mengandung banyak lipid dengan asamasam lemak rantai panjang tidak jenuh, yang merupakan target utama peroksidasi lipid. Bukti penelitian lain menyebutkan, ROS dapat menyerang protein dan asam-asam amino intraseluler sel yang menyebabkan terjadinya deaktifasi, modifikasi dan terganggunya proses metabolisme. Semua asam amino pada protein sangat peka terhadap serangan oksidan dan radikal bebas, termasuk glutathion dan asam-asam amino penyusunnya. Radikal-radikal bebas akan menyerang asam-asam amino pada protein, sehingga protein akan mengalami modifikasi secara struktural yang secara berurutan menyebabkan terjadinya agregasi, crosslingking protein, degradasi atau fragmentasi protein yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan terhadap sistem enzimatis atau aktivitas protein yang dipengaruhi atau dengan kata lain menyebabkan gangguan fungsional dan metabolit yang sangat komplek. Bukti lain menyatakan bahwa efek serangan radikal bebas terhadap
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
189
protein, menyebabkan terbentuknya rantai reaksi radikal bebas yang menyebabkan terjadinya gangguan homeostasis kalsium, kalium dan natrium (ketidakseimbangan ionion antara bagian dalam dan luar sel) dan pengambilan glukosa. Munculnya berbagai macam gangguan ini dapat menimbulkan efek yang merusak terhadap protein dan lipid pada membran sel dan kondisi ini dapat menyebabkan modifikasi membran dan fungsi seluler, dan akhirnya menyebabkan kematian atau nekrosis neuron otak. Gangguan protein transport ion yang diperantarai oleh stres oksidatif dapat terjadi pada protein transport ion Na+/K+-ATPase dan Ca2+-ATPase di mitokondria neuron. Mitokondria adalah organel di dalam sel yang paling peka terhadap stres oksidatif, karena organel ini mempunyai kebutuhan konsumsi oksigen yang sangat tinggi, selain itu organel ini juga dikenal sebagai sumber penyedia radikal bebas secara terus menerus, terutama di membran bagian dalam (inner membrane). Oleh sebab itu, terjadinya gangguan pada organel ini secara otomatis akan mempercepat kematian sel. Stres oksidatif yang diakibatkan oleh peningkatan ion kalsium intraseluler dapat terjadi melalui 3 mekanisme, yaitu: (1) Meningkatnya ion kalsium intraseluler akan meningkatkan aktivitas enzim fosfolipase yang selanjutnya akan meningkatkan konsentrasi asam arakidonat dan produksi radikal bebas melalui metabolisme asam lemak, (2) Meningkatnya ion kalsium intraseluler akan menyebabkan sistem transport elektron dalam mitokondria terganggu, sehingga menimbulkan kebocoran elektron dan menyebabkan terbentuknya radikal bebas anion ROS yang menimbulkan dampak kerusakan terhadap sel yang lebih besar. Terganggunya sistem enzimatis, aktivitas protein serta disfungsi mitokondria oleh stres oksidatif secara otomatis menganggu sistem glutathion yang berperan sebagai pertahanan terhadap radikal bebas atau ROS. Kondisi ini pada akhirnya dapat memicu terjadinya munculnya tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan proses penuaan otak. Bukti penelitian menyatakan bahwa hilangnya neurons pada otak orang dewasa bukan akibat adanya pembentukan neurons yang baru. Otak mampu berfungsi sepanjang hidup manusia, hal ini mengindikasikan adanya sistem antioksidan yang secara efektif bekerja di dalam otak. Namun demikian, sangat dimungkinkan terjadinya gangguan keseimbangan antara pembentukan ROS dan proses-proses antioksidatif untuk beberapa kasus kekacauan neurologis. Bukti yang paling nyata adalah terjadinya perubahan
190
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
orientasi metabolisme glutathion yang merupakan faktor utama yang memberi kontribusi terjadinya patogenesis berbagai macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan. Adanya keterlibatan gangguan sistem glutathion terhadap kekacauan neurologis telah dijelaskan oleh Schulz et al., (2000). Penelitian lain menyatakan, menurunnya kemampuan fungsi mitokondria memberi kontribusi terjadinya kekacauan neurologis (Cassarino and Bennet, 1999) dan hal ini berkaitan dengan konsentrasi glutathion dan radikal bebas nitrit oksida (NO) (Heales et al., 1999).
Gambar 1.
Skema neurotoksisitas yang diinduksi stres oksidatif
Penurunan glutathion seiring dengan bertambahnya umur telah diamati pada sejumlah organisme yang mengalami penuaan (senescent), meliputi nyamuk, lalat rumah dewasa, lalat buah, mencit, tikus dan manusia (Sohal and Weindruch, 1996). Konsentrasi glutathion dalam cairan serebral spinal pada manusia menurun selama penuaan (Cudkowicz et al., 1999). Kandungan glutathion yang tinggi berkaitan dengan panjangnya masa hidup (Sohal and Weindruch, 1996). Sebuah penelitian telah membuktikan bahwa glutathion akan menurun seiring dengan bertambahnya umur, dengan demikian kehadiran glutathion merupakan faktor kunci dalam proses penuaan dan berkaitan dengan sejumlah perubahan-perubahan yang terjadi dalam penuaan dan awal kejadian suatu penyakit neurodegeneratif.
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
191
Secara patologi, tanda-tanda penyakit neurodegeneratif dan penuaan adalah berkurangnya jumlah neuron dopaminergik dalam bagian pars compacta substansia nigra (substantia nigra pars compacta/SNpc), yang pada akhirnya menyebabkan kejadian klinis mayor dan abnormalitas secara farmakologis. Penyebab berkurangnya jumlah neurons SNpc belum diketahui. Namun demikian, patogenesis penyakit neurodegeneratif dan penuaan diduga berkaitan dengan kejadian-kejadian morfologi dan biokimiawi. Diduga penghambatan proses oksidasi- fosforilasi, eksitotoksisitas dan pembentukan ROS merupakan mediator penting terjadinya kematian sel pada kedua kondisi ini (Beal, 1995). Konsep yang menyatakan bahwa stres oksidatif yang terjadi dalam penyakit neurodegeneratif dan penuaan berkaitan erat dengan metabolisme dopamin adalah sebuah fakta yang benar. Melalui metabolisme dopamin, baik secara kimiawi atau enzimatis dapat membentuk radikal-radikal bebas dan ROS. Auto-oksidasi dopamin pada akhirnya menyebabkan pembentukan neuromelamin dan quinon/semiquionon serta ROS. Oksidasi dopamin oleh reaksi enzimatis yang dikatalisis oleh monoamina oksidase dapat menyebabkan pembentukan hidrogen peroksida (H2O2), deaminasi metabolitmetabolit membentuk asam 3,4-dihidroksibensoat/3,4-dihydroxybenzoic acid (DOPAC) dan asam homovanilat/homovanillic acid (HVA). Secara normal H2O2 diaktivasi oleh katalase atau glutathione peroksidase dalam reaksi dimana glutathion digunakan sebagai kosubstrat. Katalase terdapat dalam peroksisom yang mempunyai fungsi dominan detoksifikasi sitosolik, sedangkan glutathion peroksidase berfungsi untuk detoksifikasi peroksida mitokondria. H2O2 dapat bereaksi dengan Fe2+ dan mempunyai sifat reaktivitas yang tinggi dan membentuk radikal hidroksil (OH) melalui reaksi Fenton. Berkurangnya konsentrasi glutathion secara cepat disebabkan oleh menurunnya kemampuan neurons dopamin yang merupakan kompensasi terjadinya pertukaran dopamin dengan ditingkatkannya pembentukan H2O2 dan kebutuhan terhadap sistem glutathion dalam neuron yang masih tersisa. Hipotesis ini didukung oleh bukti penelitian yang menyatakan bahwa meningkatnya pertukaran dopamin mempunyai keberkaitanan erat dengan meningkatnya pembentukan glutathion bentuk oksidasi (GSSG) dan hal ini dapat dicegah melalui penghambatan metabolisme dopamin. Berbagai macam biomolekul penting, seperti lipid, protein dan DNA dapat dirusak oleh ROS, dengan cara demikian berpotensi menyebabkan terjadinya neurodegenerasi.
192
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
Stres oksidatif diinisiasi oleh menurunnya sistem pertahanan oksidatif atau stres oksidatif yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mungkin menurunkan konsentrasi antioksidan. Perubahan kemampuan antioksidan pertahanan ini mendukung sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa stres oksidatif memegang peranan penting dalam patofisiologi berbagai macam penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Perubahan antioksidan yang mempunyai fungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap radikal bebas atau ROS dapat dilihat dengan menurunnya konsentrasi glutathion. Sebuah penelitian membuktikan, menurunnya konsentrasi total glutathion dalam SNpc akan memicu terjadinya berbagai macam penyakit neurodegenerasi dan penuaan (Riederer et al., 1989). Penurunan glutathion dapat mencapai 30-40% dibanding kondisi normal dan penurunan ini tidak mempunyai hubungan dengan peningkatan konsentrasi GSSG atau glutathion dalam bentuk oksidasi (Sian et al., 1994; Sofic et al., 1992). Lebih spesifik lagi, konsentrasi glutathion (GSH) tidak mengalami penurunan pada beberapa wilayah otak lainnya pada orang yang menderita penyakit neurodegenerasi dan penuaan. Marker biokimiawi yang menjadi faktor penting dan berubah selama terjadinya penyakit ini adalah aktivitas complex I pada rantai transport elektron yang berkaitan dengan berkurangnya konsentrasi total glutathion dalam sitosol dan atau mitokondria.
Gambar 2.
Kejadian stres oksidatif yang terjadi secara cepat dalam patogenesis berbagai macam penyakit neurodegeneratif dan penuaan.
Penurunan konsentrasi glutathion dalam neuron dopaminergik dapat diamati dengan metode imunohistokimia. Bagaimanapun, dalam sebagian besar wilayah otak, glutathion terlokalisasi dalam glia (Philbert et al., 1991; Hjelle et al., 1994). Sebanyak 40% konsentrasi glutathion menurun dalam SNpc pada penyakit neurodegeneratif dan
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
193
penuaan. Penurunan GSH ini diduga tidak hanya menurunkan neuron dopaminergik yang hanya 1-2% dari total populasi sel, tetapi juga sel glial. Penurunan GSH glial merupakan faktor yang sangat menentukan keberlanjutan hidup neuron dopaminergik dalam medium kultur (McNaught and Jenner, 1999; Mytilineou et al., 1999). Penurunan GSH lebih disebabkan karena glial memproduksi NO dan sitokin atau tidak tersedianya suplai prekursor GSH untuk neuron oleh astrosit (Dringen et al., 2000).
Gambar 3.
Hipotesis mekanisme GSH dan metabolit GSH dalam neurons dopaminergik.
Pengetahuan tentang patogenesis berbagai macam penyakit neurodegeneratif dan penuaan diperoleh melalui eksperimen menggunakan neurotoksin 1-methyl-4-phenyl1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP). Produk MPTP secara klinis bersifat irreversible, secara biokimiawi dan neuropatologis pengaruhnya berhubungan erat dengan terjadinya idiopati pada penyakit neurodegeneratif dan penuaan (Bloem et al, 1990). MPTP dimetabolisasi menjadi 1-methyl-4-phenylpyridinium (MPP+) oleh enzim monoamina oksidase B. MPP + secara bertahap dan selektif dibawa menuju bagian terminal dopaminergik, kemudian dikonsentrasikan dalam mitokondria neuron dalam substansia nigra. MPP+ berikatan dengan dan menghambat complex I pada rantai transport elektron mitokondria (Tipton and Singer, 1993), dengan cara demikian menghasilkan kerusakan biokimiawi dan hal ini dideteksi pada penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Eksperimen terinduksipada hewan kronis penurunan konsentrasi GSH dalam otak tidak menyebabkan secara langsung terjadinya penurunan viabilitas neuron dopaminergik dalam SNpc atau penurunan pada sejumlah dopaminergic terminals dalam striatum,
194
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
tetapi keberadaan GSH meningkatkan kepekaan atau sensitifitas neuron dopaminergik terhadap neurotoksin yang spesifik. Tingkat penurunan konsentrasi dopamin striatum dan berkurangnya enzim tirosin hidroksilase dalam substansia nigra serta jumlah selsel yang memberi respons imuns disebabkan oleh 6-hydroxydopamine (6-OHDA) atau MPTP/MPP+ yang konsentrasinya semakin meningkat seiring dengan berkurangnya konsentrasi total GSH akibat pemberian buthionine sulfoximine (BSO) (Pileblad et al., 1989; Wu Ilner et al., 1996). Pentingnya sistem GSH berkaitan dengan MPTP yang bersifat toksik dapat diketahui dengan membuat perlakuan defisiensi glutathion peroksidase pada mencit (Klivenyi et al., 2000). Melalui percobaan pada mencit, pemberian MPTP menyebabkan penurunan konsentrasi dopamin dalam jumlah yang besar, DOPAC dan HVA dibanding pada mencit kontrol. Berkurangnya eksitotoksik akan menginduksi aktivitas glutathion peroksidase dalam mikroglia. Penjelasan tentang sebab terjadinya penurunan konsentrasi total GSH dalam penyakit neurodegenerasi dan penuaan masih belum lengkap. Kondisi ini tidak berkaitan dengan GSSG, maka penjelasan yang lebih dekat adalah dugaan yang berkaitan dengan stres oksidatif. Penyakit neurodegenerasi dan penuaan terlihat adanya peningkatan aktivitas γglutamyltranspeptidase (γGT) (Sian et al., 1994). γGT adalah ektoenzim membran yang mengkatalisis transfer γ-glutamyl moiety dari GSH atau glutathion konjugat ke dalam molekul aseptor (Dringen et al., 2000). GSH ekstraseluler berfungsi sebagai substrat untuk ektoenzim γGT astroglial. Produk reaksi γGT, dipeptida cysteinylglycine dihidrolisis menjadi sistein dan glisin yang dapat diambil dan digunakan oleh neuron dalam sintesis GSH (Gambar 3 kiri). Neuron tidak dapat mengambil GSH secara langsung sehingga meningkatnya aktivitas γGT diduga merupakan kompensasi adanya peningkatan regulasi dalam rangka menyediakan prekursor dipeptida untuk neuron untuk membentuk GSH yang lebih banyak lagi. Pelepasan GSH dari nigral glial dan terjadinya peningkatan aktivitas ãGT diduga menginisiasi tahapan dalam patogenesis penyakit neurodegenerasi dan penuaan (Gambar 3 kanan). Jika sistein tidak digunakan untuk sintesis GSH, sistein akan bereaksi dengan dopamine-o-quinon (oksidasi no-enzimatik pada dopamin) untuk membentuk 5-S-cysteinildopamine (Spencer et al., 1998). Dalam substansia nigra pada orang penderita penyakit neurodegenerasi dan penuaan, ditemukan sistein pada 3,4-
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
195
dihydroxyphenylalanine (L-Dopa), dopamine dan DOPAC yang meningkat dibandingkan dengan kontrol. Konjugat-konjugat ini secara berurutan dikonversi menjadi turunan dihydrobenzothiazine yang mempunyai sifat sitotoksik yang tinggi yang diduga beraksi sebagai inhibitor complex I yang bersifat irreversible (Zhang and Dryhurst, 1994; Shen and Dryhurst, 1996; Lie and Dryhurst, 1997). Glutathion transferase adalah enzim detoksifikasi yang mempunyai dua fungsi yang dilibatkan dalam metabolisme pestisida dan toksin-toksin lainnya. Glutathion transferase adalah antioksidan yang bersifat aktif dan secara langsung dilibatkan dalam metabolisme dopamin. Aktivitas glutathion transferase terlihat normal dalam otak penderita penyakit neurodegeneratif dan penuaan. Meskipun tidak ada keberkaitanan antara idiopati penyakit neurodegeneratif dan penuaan dan polimorfisme glutathion transferase, distribusi genotif glutathion transferase I berbeda secara signifikan antara penderita penyakit neurodegeneratif dan penuaan dengan kontrol yang didedahkan dengan menggunakan pestisida (senyawa neurotoksin) (Menegon et al., 1998). Penemuan lain menemukan bukti yang sama bahwa penyakit neurodegeneratif dan penuaan berhubungan erat dengan kerusakan sistem oksidasi-fosforilasi, yaitu terjadinya penurunan aktivitas complex I pada rantai transport elektron dalam substansia nigra (Schulz and Beal, 1994). Penurunan konsentrasi GSH diketahui merupakan awal terjadinya kerusakan sistem oksidasi-fosforilasi dan sebaliknya peningkatan GSH akan meningkatkan fungsi sistem oksidasi-fosforilasi. Penelitian pada pasien yang menderita Lewy body disease membuktikan bahwa menurunnya konsentrasi GSH merupakan awal munculnya gangguan sistem oksidasi-fosforilasi (Gambar 2) (Dexter et al., 1994). Berkurangnya konsentrasi total GSH mitokondria (bukan GSH sitosolik) dalam sel-sel line PC12 mengakibatkan pembentukan ROS dan terhambatnya sistem oksidasifosforilasi (Seyfried et al., 1999). Selanjutnya, penghambatan compelex I menggunakan MPP +/tidak menghasilkan pembentukan ROS secara langsung tetapi berpengaruh terhadap homeostasis GSH (Seyfried et al., 2000). Sebaliknya, berkurangnya konsentrasi total GSH oleh BSO menghasilkan peningkatan ukuran dan degenerasi mitokondria pada tikus neonatal (Jain et al., 1991) dan menurunkan aktivitas complex I dan IV pada tikustikus yang telah disapih (weaning rats). Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadinya patogenesis pada beberapa penyakit neurodegenerative dan penuaan
196
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
disebabkan oleh gangguan primer, yaitu gangguan homeostasis GSH dan gangguan sekunder, yaitu penghambatan sistem oksidasi-fosforilasi.
Sumber ROS Intraseluler Secara umum ROS dapat ditemukan dalam semua sistem biologis organisme. ROS mempunyai karakteristik yang berbeda untuk setiap tempat pembentukannya, baik fungsi fisiologis, reaktivitas maupun waktu paruh biologis (biological half-life). Mitokondria, nitrit oksida sintetase, metabolisme asam arakidonat, xantin oksidase, monoamina oksidase dan enzim-enzim P450 adalah sumber ROS di dalam otak. Laju metabolik yang tinggi dalam neuron, mengindikasikan produksi ROS basal yang tinggi. Pada sisi lain sel-sel otak yang sehat memiliki enzim-enzim dan molekul-molekul kecil antioksidan dengan konsentrasi yang tinggi yang berfungsi sebagai pertahanan. Enzimenzim tersebut meliputi Cu, Zn-superoksida dismutase, Mn-superoksida dismutase, GSH peroksidase dan katalase, selain itu juga molekul-molekul kecil, seperti glutathion, asam askorbat, vitamin E dan sejumlah flavonoid yang berasal dari makanan. Dalam kondisi fisiologis yang normal, sel mempunyai kemampuan untuk mengatasi efek rantai reaksi radikal bebas dari ROS. Dalam kondisi stres oksidatif berbagai macam antioksidan yang berfungsi sebagai pertahanan selalu menjaga keseimbangan ROS agar selalu di bawah ambang batas toksik. Hal ini untuk menghindari produksi ROS yang berlebihan, yang sekaligus dapat menimbulkan konsekuensi terjadinya penurunan kandungan antioksidan itu sendiri. ROS dibentuk secara terus - menerus selama metabolisme oksidatif. ROS meliputi molekul-molekul anorganik, seperti radikal anion superoksida, hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal-radikal hidroksil, selain itu juga molekul-molekul organik, seperti alkoksil dan radikal peroksil. Dalam usaha untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh ROS, seperti kerusakan strand DNA, peroksidasi lipid dan modifikasi protein, mekanisme yang telah berkembang selama evolusi adalah dengan menghilangkan (dispose) atau mencegah pembentukan ROS. Sebagai contoh, pemindahan H2O2 dan superoksida, mencegah pembentukan radikal-radikal hidroksil yang mempunyai reaktivitas yang tinggi, yang dibentuk oleh reaksi Fenton yang dikatalisis besi (ion Fe) atau oleh reaksi Haber-
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
197
Weiss (Halliwell and Gutteridge, 1999). Peningkatan produksi ROS dan atau menurunnya kapasitas antioksidatif pada sel-sel menyebabkan stres oksidatif yang dapat menekan fungsi penting seluler.
Stres Oksidatif dan Bentuk Kematian Sel Neuron Menurunnya glutathion dan terjadinya kerusakan oksidatif merupakan bukti awal yang diduga memicu terjadinya pensignalan kematian sel yang berupa apoptosis. Dalam sel-sel timus, penurunan glutathion dan gangguan potensial transmembran mitokondria merupakan kejadian awal yang memicu apoptosis. Penelitian secara in vitro menyatakan, menurunnya glutathion secara cepat ditemukan dalam sel-sel FL5.12 yang mengalami apoptosis yang diinduksi oleh IL3 (interleukin-3) dan protein Fas. Sebuah bukti penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa berkurangnya konsentrasi glutathion menyebabkan kematian sel (Li et al., 1997). Dengan menggunakan neuron kortek yang belum matang fungsional (immature) dan sel-sel line neuron, beberapa peneliti telah membuktikan bahwa menurunnya konsentrasi glutathion dapat memicu pengaktifan 12-lipoksigenase neuron yang menyebabkan terjadinya produksi peroksida, influk Ca2+ dan secara cepat menimbulkan kematian sel. Dengan menggunakan neuron serebelum bergranula dan sel-sel PC12, mereka juga membuktikan bahwa meningkatnya ROS dapat menyebabkan efek secara langsung terhadap penurunan konsentrasi glutathion dalam sitoplasma dan mitokondria secara cepat. Peningkatan ROS juga menyebabkan gangguan potensial transmembran mitokondria dan menurunnya fungsi mitokondria secara cepat (Wu Ilner et al., 1999; Seyfried et al., 1999). Kondisi sebaliknya menunjukkan, selama penghambatan sintesis glutathion, glutathion dalam mitokondria secara relatif dipertahankan, tidak ada ROS yang terdeteksi dan potensial transmembran mitokondria tidak berubah. Meskipun kematian sel dapat dihambat atau diblokir melalui sintesis protein inhibitor, sebuah bukti menunjukkan bahwa terjadinya kematian pada sel-sel yang aktif tidak menunjukkan ciri-ciri apoptosis, dan hal ini mengindikasikan bahwa meskipun terjadi penurunan glutathion seperti yang telah dilaporkan dalam sejumlah pandangan tentang kematian sel secara apoptosis, penurunan glutathion belum tentu mengakibatkan terjadinya kematian sel secara apoptosis.
198
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
Gambar 4.
Keseimbangan pembentukan ROS dan sistem antioksidatif
Potensi Antioksidan Glutathion Dringen et al., (2000) membuktikan tentang potensi antioksidan glutathion yang mampu mendetoksifikasi radikal bebas atau ROS, terutama yang berkaitan dengan metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit dan neuron dalam otak. Penelitian ini membuktikan keterkaitan stres oksidatif dengan antioksidan glutathion dalam proses penuaan dan patogenesis pada beberapa penyakit neurodegeneratif, seperti penyakit Parkinson, Huntington, sklerosis amiotrofik lateral, hereditary spastic paraplegia dan degenerasi. Bukti adanya disfungsi metabolisme glutathion dan disfungsi mitokondria berdasarkan pada uji terhadap hewan yang telah dimatikan (post mortem examinations) dan kultur sel atau jaringan otak hewan tersebut. Bukti penelitian lainnya menyebutkan bahwa GSH analog YM 737 dapat memproteksi efek iskhemia yang terjadi pada serebrum tikus dengan menghambat terjadinya peroksidasi lipid (Yamamoto et al., 1993). Dringen et al., (2000) menyatakan, sintesis glutathion dalam neuron dibatasi oleh ketersediaan sistein, oleh sebab itu pemberian senyawa-senyawa yang dapat dimetabolisasi menjadi sistein dapat digunakan sebagai pro-obat (pro-drugs) untuk meningkatkan konsentrasi GSH neuron otak. Perlakuan dengan prekursor glutathione N-acetyl-L-cysteine dapat menurunkan secara signifikan kehilangan neuron motorik dan meningkatkan konsentrasi glutathion peroksidase dalam cervical spinal cord (Henderson et al., 1996). Perlakuan dengan L-2oxothiazolidine-4-carboxylate sebagai prekursor GSH (Dringen and Hamprecht, 1999) juga dapat meningkatkan GSH. Selain itu, GSH dalam otak dapat ditingkatkan pula dengan
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
199
pemberian dipeptida γ-glutamylcysteine secara intraserebroventrikular (Pileblad and Magnusson, 1992). Hasil berbagai penelitian tersebut membuktikan bahwa neuron otak mampu menyediakan γ-glutamylcysteine atau cysteinilglycine untuk sintesis GSH.
Metabolisme dan Fungsi Glutathion Glutathion adalah salah satu antioksidan seluler yang dominan, jumlahnya melimpah dalam sitoplasma, nukleus dan mitokondria. Selain berfungsi sebagai antioksidan, glutathion juga mempunyai beberapa fungsi lainnya, yaitu: (a) sebagai antitoksin, yang mengeliminasi sejumlah xenobiotik dan senyawa-senyawa karsinogenik dari dalam tubuh; (b) berkaitan dengan fungsi imun yang dimediasi sel; (c) berperan penting dalam memelihara integritas sel darah merah; dan (d) Berkaitan dengan penuaan seluler, defisiensi sistem glutathione akan menyebabkan secara signifikan terjadinya apoptosis (cellular aging) dan merupakan awal terjadinya penurunan derajat kesehatan (morbiditas). Glutathion disintesis secara beurutan oleh reaksi biokimia yang memerlukan ATP, magnesium dan tiga asam amino, yaitu sistein, glutamat dan glisin. Pada umumnya, laju sintesis gamma-glutamylcysteine menentukan laju sintesis glutathion. Sistein (sulfhydryl group/-SH) mempunyai potensi biologis yang lebih penting dalam membentuk glutathion dibanding glutamat dan glisin. Untuk mengkaji fungsi antioksidan seluler, sistein dan glutathion merupakan antioksidan endogen yang menentukan berkaitan dengan fungsi seluler. Tripeptida glutathion (GSH; γ-L-glutamyl-L-cysteinyl-glycine) yang paling banyak dijumpai dalam kondisi melimpah dalam sel mamalia adalah bentuk thiol dengan konsentrasi lebih dari 12 mM (Cooper, 1997). GSH disintesis secara in vivo oleh aksi berurutan (consecutive) pada dua enzim. γ-Glutamycysteine synthetase (γ-GluCys) menggunakan glutamat dan sistein sebagai substrat dan membentuk dipeptida γ-GluCys, yang kemudian dipeptida ini dikombinasikan dengan glisin dalam reaksi yang dikatalisis oleh glutathion sintetase membentuk glutathion (GSH). ATP merupakan sebagai kosubstrat untuk dua enzim ini. Keseimbangan sintesis seluler dan konsumsi GSH diregulasi oleh mekanisme umpan balik penghambatan (feed back inhibition) pada reaksi γ-GluCys sintetase dengan produk akhir GSH (Richman and Meister, 1975).
200
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
GSH mempunyai fungsi penting sebagai antioksidan, yang memindahkan dan menyimpan bentuk sistein dalam reaksi yang berkaitan dengan detoksifikasi xenobiotik dan kofaktor dalam reaksi isomerisasi (Cooper, 1997; Meister and Anderson, 1983). Bukti lain menjelaskan, GSH memelihara potensi reaksi redoks thiol dalam sel untuk menyimpan gugus sulfidril pada protein sitosol dalam bentuk reduksi. Penelitian akhirakhir ini telah membuktikan bahwa GSH juga berperan peranan penting dalam regulasi apoptosis (Hall, 1999). Sistem glutathion sangat penting untuk pertahanan seluler terhadap ROS. GSH bereaksi secara langsung dengan radikal-radikal dalam reaksi-reaksi enzimatik dan donor elektron dalam reduksi peroksida yang dikatalisis oleh GPx (Gambar 5). Produk oksidasi GSH adalah glutathion disulfida (GSSG) atau glutathion bentuk oksidasi. GSH dibentuk dari GSSG dalam sel oleh reaksi yang dikatalisis oleh flavoenzim glutathion reduktase (GR). Enzim ini membentuk kembali GSH dengan pentransferan reduksi yang ekuivalen dari NADPH menjadi GSSG (Gambar 5).
Gambar 5.
Fungsi GSH sebagai antioksidan. Reaksi GSH non-enzimatik dengan radikalradikal bebas (R.) dan reaksi donor elektron untuk reduksi peroksida (ROOH) dalam reaksi yang dikatalisis oleh GPx. GSH dibentuk kembali dari GSSG oleh glutathion reduktase yang menggunakan NADPH sebagai kofaktor.
Selama reaksi yang dikatalisis oleh GPx dan glutathion reduktase, glutathion akan dibentuk secara berulang. Sebaliknya, GSH dikonsumsi selama pembentukan glutathion-S-konjugat oleh glutathion transferase (Salinas and Wong, 1999) atau dengan pelepasan glutathion dari sel (Akerboom and Sies, 1990; Kaplowitz et al., 1996). Dua proses tersebut menyebabkan total glutathion intraseluler lebih rendah. Selanjutnya, dalam memelihara kestabilan konsentrasi GSH intraseluler, GSH yang dikonsumsi akan
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
201
diganti dengan resintesis asam-asam amino penyusun GSH. GSH ekstraseluler dan GSH konjugat adalah substrat untuk ektoenzim γ-glutamyl transpeptidase (ãGT). Enzim ini mengkatalisis transfer γ-glutamyl moiety dari GSH atau glutathion konjugat ke dalam aseptor molekul (Gambar 6). Produk-produk senyawa γ-glutamyl adalah dipeptida sisteinil-glisin (CysGly) atau CysGly konjugat (Taniguchi and Ikeda, 1998). Peptida-peptida menghidrolisis CysGly menjadi sistein dan glisin. Asam-asam amino ini secara berurutan dapat berfungsi kembali sebagai substrat untuk sintesis GSH seluler (Gambar 6).
Gambar 6.
Metabolisme glutathion (GSH)
Metabolisme Glutathion pada Astrosit dan Neuron Berbagai bukti penelitian telah menunjukkan adanya glutathion yang terkandung pada beberapa wilayah otak, lokalisasi GSH dalam otak dan enzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme glutathion (Dringen, 2000). Astrosit diketahui mengandung sejumlah besar GSH dengan konsentrasi lebih tinggi daripada neuron, baik dalam kondisi in vivo maupun dalam kultur in vitro. Kandungan GSH dalam sel-sel astrosit yang dikultur dapat dimodulasi oleh berbagai macam perlakuan. Sebagai contoh, kandungan GSH akan menurun secara cepat apabila sintesis GSH dihambat oleh buthionine sulfoximine atau jika sel-sel diinkubasi dalam kehadiran reagen seperti dimethyle maleate atau ethacrynic acid, yang bereaksi dengan gugus thiol pada GSH. Sebaliknya, kandungan GSH meningkat setelah perlakuan prekursor GSH (Dringen, 2000). Menurunnya konsentrasi GSH sebagai akibat proses katabolisme akan diikuti oleh proses anabolisme yaitu sintesis GSH kembali dengan menggunakan asam-asam amino prekursor GSH yang spesifik, seperti sistein, glutamat dan glisin. Berbagai macam asam-asam amino eksogen, senyawa-senyawa yang mengandung sulfur dan peptida-peptida dapat digunakan sebagai prekursor dalam kultur astrosit untuk sintesis GSH (Dringen and Hamprecht, 1998). Prekursor eksogen sistein
202
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
yang penting untuk sintesis GSH dalam sel-sel astrosit adalah asam amino sistin (Kranich et al., 1998). Asam-asam amino ini dipindahkan melintasi membran sel astrosit dan berubah menjadi bentuk glutamat melalui sistem transport X-C (Cho and Bannai, 1990). Sel-sel astrosit yang dikultur melepas GSH (Yudkoff et al., 1990, Dringen et al., 1997) yang digunakan sebagai substrat untuk ektoenzim γGT. Dalam 1 jam, sel-sel astrosit tersebut melepaskan kurang lebih 10% glutathion intraselulernya (Dringen et al., 1997). Secara simultan, GSH diresintesis kembali sebagai kompensasi terhadap GSH yang dilepas dalam usaha untuk memelihara kestabilan konsentrasi GSH seluler. Pelepasan GSH dari sel-sel astrosit ini secara kuantitatif merupakan proses yang sangat penting yang mengkonsumsi/memakai GSH intraseluler. Laju pelepasan GSH dari sel-sel astrosit tergantung pada konsentrasi GSH intraseluler, mengikuti hukum kinetika MichaelisMenten (Sagara et al., 1996). GSH ekstraseluler berfungsi sebagai substrat untuk ektoenzim γGT sel-sel astrosit (Dringen et al., 1997). Dipeptida CysGly, produk pada reaksi γGT, digunakan kembali oleh sel-sel astrosit yang dikultur untuk sintesis GSH. Peptida transporter (PepT2) diekspresikan dalam sel-sel astrosit yang dikultur dan memberi respons untuk pengambilan CysGly (Dringen et al., 1998). Setelah hidrolisis intraseluler CysGly, sistein dan glisin dibentuk dan berfungsi sebagai substrat untuk sintesis glutathion dalam sel-sel astrosit (Dringen et al., 1997). Dalam kultur neuron, kandungan sistein dan prekursor sistein dalam medium sangat menentukan kandungan GSH dalam neuron (Kranich et al., 1996; Sagara et al., 1993). Oleh karena itu, sistein dan prekursor sistein merupakan faktor pembatas yang paling utama untuk sintesis glutathion dalam neuron. Neuron otak mampu menggunakan sistein donor CysGly, γGluCys dan N-acetylcysteine sebagai prekursor untuk GSH (Dringen et al., 1999; Dringen and Hamprecht, 1997). Sejumlah prekursor eksogen GSH neuron, dipeptida CysGly merupakan salah satu prekursor yang sangat penting karena prekursor ini dibentuk dari GSH ekstraseluler dalam reaksi γGT. Konsentrasi CysGly dalam mikromolar sangat efisien tersedia dalam neuron. Konsentrasi CysGly menyebabkan waktu paruh maksimal (half-maximal) GSH yang terkandung dalam neuron lebih rendah daripada sel-sel astrosit, hal ini mengindikasikan bahwa neuron lebih efisien dalam menggunakan peptida daripada sel-sel astrosit. Pengambilan peptida ke dalam neuron seperti yang terjadi pada sel-sel
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
203
astrosit dengan menggunakan peptida transporter. Dalam neuron, peptida akan dihidrolisis oleh ektopeptidase neuron menghasilkan asam amino, yang secara berurutan akan diambil sebagai prekursor untuk sintesis GSH. Bukti penelitian melaporkan bahwa ektopeptidase neuron dilibatkan dalam penyediaan CysGly neuron. Sistein dan glisin dibebaskan oleh hidrolisis pada CysGly dan berfungsi sebagai prekursor untuk sintesis GSH neuron. Asam-asam amino ini diambil dan dimasukkan ke dalam sel-sel otak melalui proses transport yang tergantung sodium (Cho and Bannai, 1990; Holopainen and Kontro, 1989; Sagara et al., 1993).
Glutathion dan Detoksifikasi Radikal Bebas pada Astrosit dan Neuron Sel-sel astrosit yang dikultur membuang keluar H2O2 (Desagher et al., 1996; Dringen and Hamprecht, 1997) dan hidroperoksida organik seperti tertiary butyl hydroperoxide atau cumene hydroperoxide dengan sangat efisien. Peroksida-peroksida ini adalah substrat untuk enzim GPx. Berkaitan dengan hal tersebut, kecepatan oksidasi pada GSH telah diketahui setelah perlakuan peroksida tersebut terhadap sel-sel astrosit yang dikultur. Penghambatan katalase, yaitu enzim seluler kedua yang dilibatkan dalam pembuangan H2O2 akan menyebabkan penurunan laju penghilangan H2O2 sepanjang sistem glutathion dalam astrosit tidak terlibat didalamnya. Dan sebaliknya, penghambatan enzim katalase dan GPx secara kuat akan menurunkan kemampuan sel-sel astrosit untuk membuang H2O2. Penemuan ini membuktikan bahwa sistem glutathion pada sel-sel astrosit yang dikultur dapat berfungsi sebagai pengganti fungsi katalase dalam menghilangkan/membersihkan H2O2. Katalase tidak dapat menerima hidroperoksida organik sebagai substrat. Selanjutnya, sistem glutathion mampu merespons dan berperan secara cepat pada pembuangan hidroperoksida organik dalam sel-sel astrosit yang dikultur (Dringen et al., 1998; Kussmaul et al., 1999). Neuron yang dikultur mampu membuang keluar H 2O2. Bukti penelitian ini memperlihatkan bahwa pertahanan neuron terhadap H2O2 dimediasi, terutama oleh sistem glutathion. Berkaitan dengan hal tersebut, pemberian H2O2 ke neuron menyebabkan oksidasi GSH secara cepat. Pemindahan peroksida akan diikuti regenerasi atau pembentukan GSSG dari GSH secara sempurna. Nampaknya sel-sel astrosit yang dikultur mempunyai kapasitas yang lebih tinggi daripada neuron untuk detoksifikasi H 2O2
204
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
(Desagher et al., 1996; Dringen et al., 1999). Baik sel-sel astrosit atau neuron pada otak mempunyai persamaan kemampuan untuk mendetoksifikasi hidrogen peroksida (H2O2) eksogen. Dengan demikian, kecepatan penghilangan/pembersihan H2O2 oleh GPx dan katalase neuron adalah sangat penting dan kondisi ini sangat berbeda dengan sel-sel astrosit. Sistem glutathion dalam neuron secara fungsional tidak dapat melakukan kompensasi seiring dengan menurunnya reaksi katalase (Dringen et al., 1999). Efisiensi sistem glutathion neuron pada detoksifikasi peroksida (organic peroxide cumene) lebih rendah daripada yang terdapat pada sel-sel astrosit.
Interaksi antara Astrosit dan Neuron dalam Metabolisme Glutathion dan Pertahanan terhadap Radikal Bebas Secara in vivo sel-sel otak mempunyai jenis yang berbeda-beda, tetapi sel-sel tersebut mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Dalam proses pertumbuhan, sel-sel astrosit dan neuron secara intensif berperan dalam perubahan proses metabolik. Demikian halnya dengan interaksi yang berkaitan dengan homeostasis glutathion dan proteksi otak terhadap stres oksidatif. Dalam medium kokultur, astrosit akan mendukung jenis sel-sel lain dalam kaitannya sebagai fungsi pertahanan terhadap ROS. Kehadiran sel-sel astrosit dalam neuron akan membantu proteksi neuron terhadap toksisitas yang diinduksi oleh ROS pada berbagai macam senyawa dan perlakuan. H2O2 merupakan peroksida yang dibentuk dalam jumlah yang tinggi dalam otak, proteksi oleh astrosit pada neuron terhadap toksisitas yang disebabkan oleh H2O2 tampaknya merupakan hal yang sangat penting (Desagher et al., 1996; Langeveled et al., 1995). Dalam medium kokultur, neuron diproteksi terhadap toksisitas H2O2 oleh sel-sel astrosit dengan rasio 1 sel astrosit untuk 20 neuron (Desagher et al., 1996). Neuron dalam kultur menjadi dirusak oleh ROS ekstraseluler dan keberadaan ROS ini akan didetoksifikasi oleh sel-sel astrosit. GSH penting untuk fungsi ini karena efek protektif sel-sel astrosit menjadi berkurang (diminish) ketika sel-sel ini mengandung konsentrasi GSH yang rendah (Drukarch et al., 1997). Interaksi metabolik antara sel-sel astrosit dan neuron akan berfungsiuntuk GSH Ketersediaan sistein sangat menentukan kandungan GSH neuron. Jika neuron yang dikultur terdapat sel astrosit, kandungan GSH neuron akan meningkat secara. Hal ini
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
205
mengindikasikan bahwa sel-sel astrosit, prekursor sistein disediakan dari sel-sel astrosit untuk neuron dalam rangka meningkatkan sintesis GSH neuron. Dipeptida CysGly, yang dibentuk dari GSH ekstraseluler oleh reaksi γ GT, tersedia secara efisien dalam konsentrasi mikromolar sebagai prekursor untuk GSH neuron (Dringen et al., 1999). Penghambatan γGT dapat dicegah secara total oleh pengaruh yang diinduksi astrosit terhadap kandungan GSH neuron yang membuktikan bahwa CysGly sangat mungkin sebagai prekursor GSH yang disediakan oleh sel-sel astrosit untuk neuron. Gambar 7 memperlihatkan sebuah hipotesis tentang interaksi metabolik antara sel-sel astrosit dengan neuron terkait metabolisme glutathion. Pelepasan glutamin oleh sel-sel astrosit (Hertz et al., 1999) dan pembentukan CysGly ekstraseluler dari GSH, selsel astrosit menyediakan bagi neuron semua asam amino yang merupakan bagian dari GSH. Dalam hipotesis ini menyatakan adanya keterlibatan metabolisme glutathion antara sel-sel astrosit dengan neuron.
Gambar 7.
Skema yang membuktikan adanya interaksi antara sel-sel astrosit dengan neuron dalam metabolisme GSH.
Dalam kondisi hipoksia, pemberian larutan sistein secara superfusion akan sangat berpengaruh dalam mencegah kehadiran γGT-inhibitor activin. Setelah mikroinfusion 1-methyl-4-phenylpyridinium ke dalam otak tikus @ > 1000 kali lipat dalam waktu sebentar meningkatkan konsentrasi GSH dalam penentuan dengan mikrodialisis yang diikuti dengan meningkatnya konsentrasi sistein ekstraseluler. Laju penurunan GSH secara berurutan akan meningkatkan konsentrasi sistein secara kuat yang dipengaruhi oleh penghambatan γGT (Han et al., 1999). Bukti data ini menjelaskan bahwa
206
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
sistein dibentuk dari GSH ekstraseluler dengan reaksi secara bertahap pada γGT dan dipeptidase.
KESIMPULAN Antioksidan glutathion mempunyai kemampuan mendetoksifikasi radikal bebas atau ROS, terutama yang berkaitan dengan metabolisme yang terjadi dalam sel-sel astrosit dan neuron dalam otak. Sel astrosit dan neuron dalam otak secara kuat mempengaruhi satu sama lain berkenaan dengan metabolisme GSH dan pertahanan terhadap ROS. Selsel astrosit berperan penting dalam pertahanan otak terhadap ROS dan secara khusus berkaitan dengan fungsi metabolisme glutathion. Sistem glutathion yang dimiliki oleh astrosit dapat berkontribusi terhadap pertahanan otak dan meningkatkan sistem proteksi neuron terhadap efek ROS, sehingga dapat menghambat neurodegenerasi dan penuaan otak.
DAFTAR PUSTAKA Akerboom, T. and Sies, H., 1990, Glutathione transport and its significance in oxidative stress, In Glutathione: Metabolism and Physiological Functions (Vina, J., ed.), pp. 45±55. CRC Press, Boca Raton, FL. Beal, M.F., 1995, Aging, energy and oxidative stress in neurodegenerative diseases, Ann. Neurol, 38, 357±366. Bloem, B.R., Irwin, I., Buruma, O.J.S., Haan, J., Roos, R.A.C., Tetrud, J.W. and Langston, J.W. , 1990, The MPTP model: versatile contributions to the treatment, J. Neurol. Sci. 97, 273±293. Cassarino, D.S. and Bennet, J.P. Jr., 1999, An evaluation of the role of mitochondria in neurodegenerative diseases: mitochondrial mutations and oxidative pathology, protective nuclear responses, and cell death in neurodegeneration, Brain Res. Rev. 29, 1±25. Cho, Y. and Bannai, S., 1990, Uptake of glutamate and cysteine in C-6 glioma cells and cultured astrocytes, J. Neurochem, 55, 2091±2097. Clarke, D.D. and Sokoloff, L., 1999, Circulation and energy metabolism of the brain. In Basic Neurochemistry: Molecular, Cellular and Medical Aspects (Siegel, G.J., Agranoff, B.W., Albers, R.W., Fisher, S.K. & Uhler, M.D., eds), pp. 637±669, Lippincott-Raven, Philadelphia. Cooper, A.J.L., 1997, Glutathione in the brain: disorders of glutathione metabolism. In The Molecular and Genetic Basis of Neurological Disease (Rosenberg, R.N., Prusiner, S.B., DiMauro, S., Barchi, R.L. & Kunk, L.M., eds), pp. 1195±1230, ButterworthHeinemann, Boston.
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
207
Cudkowicz, M.E., Sexton, P.M., Ellis, T., Hayden, D.L., Gwilt, P.R., Whalen, J. and Brown, R.H. Jr., 1999,The pharmacokinetics and pharmaco-dynamics of procysteine in amyotrophic lateral sclerosis, Neurology 52, 1492±1494. Desagher, S., Glowinski, J. and Premont, J., 1996, Astrocytes protect neurons from hydrogen peroxide toxicity, J. Neurosci, 16, 2553±2562. Dexter, D.T., Sian, J., Rose, S., Hindmarsh, J.G., Mann, V.M., Cooper, J.M., Wells, F.R., Daniel, S.E., Lees, A.J., Schapira, A.H., Jenner, P. and Marsden, C.D., 1994, Indices of oxidative stress and mitochondrial function in individuals with incidental Lewy body disease, Ann. Neurol, 35, 38±44. Dringen, R., Gutterer, J.M and Hirrlinger, J., 2000, Glutathione metabolism in brain: metabolic interaction between astrocytes and neurons in the defense against reactive oxygen species, Eur. J. Biochem, 267, 4912 ±4916. Dringen, R. and Hamprecht, B., 1999, N-Acetylcysteine, but not methionine or 2oxothiazolidine-4-carboxylate, serves as cysteine donor for the synthesis of glutathione in cultured neurons derived from embryonal rat brain, Neurosci. Lett., 259, 79±82. Dringen, R., Hamprecht, B. and Broer, S., 1998, The peptide transporter PepT2 mediates the uptake of the glutathione precursor CysGly in astroglia-rich primary cultures, J. Neurochem, 71, 388±393. Dringen, R., Kranich, O. and Hamprecht, B., 1997. The g-glutamyl transpeptidase inhibitor acivicin preserves glutathione released by astroglial cells in culture, Neurochem. Res. 22, 727±733. Drukarch, B., Schepens, E., Jongenelen, C.A.M., Stoof, J.C. and Langeveld, C.H. (1997). Astrocyte-mediated enhancement of neuronal survival is abolished by glutathione deficiency. Brain Res. 770, 123±130. Eddy, L., 2006, Suplementasi Somatotropin Untuk Memperbaiki Tampilan Fisiologis Tikus Jantan Umur 6 Bulan dan 12 Bulan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Gerlach, M., Ben-Shachar, D., Riederer, P. and Youdim, M.B.H., 1994, Altered brain metabolism of iron as a cause of neurodegenerative diseases? J. Neurochem., 63, 793±807. Hall, A.G., 1999, The role of glutathione in the regulation of apoptosis, Eur. J. Clin. Invest. 29, 238±245. Halliwell, B. and Gutteridge, J.M.C., 1999, Free Radicals in Biology and Medicine, Oxford University Press, New York. Han, J., Cheng, F.C., Yang, Z. and Dryhurst, G., 1999, Inhibitors of mitochondrial respiration, iron (II), and hydroxyl radical evoke release and extracellular hydrolysis of glutathione in rat striatum and substantia nigra: potential implications to Parkinson’s disease, J. Neurochem,73, 1683±1695. Heales, S.J.R., Bolanos, J.P., Stewart, V.C., Brookes, P.S., Land, J.M. and Clark, J.B., 1999, Nitric oxide, mitochondria and neurological disease, Biochim. Biophys. Acta 1410, 215±228.
208
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
Hertz, L., Dringen, R., Schousboe, A. & Robinson, S.R., 1999, Astrocytes: glutamate producers for neurons, J. Neurosci. Res. 57, 417±428. Hjelle, O.P., Chaudhry, F.A. and Ottersen, O.P., 1994, Antisera to glutathione: characterization and immunocytochemical application to the rat cerebellum. Eur. J. Neurosci., 6, 793±804. Holopainen, I. and Kontro, P., 1989, Uptake and release of glycine in cerebellar granule cells and astrocytes in primary culture: potassiumstimulated release from granule cells is calcium-dependent, J. Neurosci. Res. 24, 374±383. Jain, A., Martensson, J., Stole, E., Auld, P.A. and Meister, A., 1991, Glutathione deficiency leads to mitochondrial damage in brain, Proc. Natl Acad. Sci. USA 88, 1913±1917. Kaplowitz, N., Fernandez-Checa, J.C., Kannan, R., Garcia-Ruiz, C., Ookhtens, M. and Yi, J.R., 1996, GSH transporters: molecular characterization and role in GSH homeostasis, Biol. Chem. Hoppe-Seyler 377, 267±273. Klivenyi, P., Andreassen, O.A., Ferrante, R.J., Dedeoglu, A., Mueller, G., Lancelot, E., Bogdanov, M., Andersen, J.K., Jiang, D. and Beal, M.F., 2000, Mice deficient in cellular glutathione peroxidase show increased vulnerability to malonate, 3-nitropropionic acid, and 1-methyl-4-phenyl-1,2,5,6-tetrahydropyridine, J. Neurosci., 20, 1±7. Kranich, O., Dringen, R., Sandberg, M. and Hamprecht, B., 1998, Utilization of cysteine and cysteine precursors for the synthesis of glutathione in astroglial cultures: preference for cystine, Glia 22, 11±18. Kranich, O., Hamprecht, B. and Dringen, R., 1996, Different preferences in the utilization of amino acids for glutathione synthesis in cultured neurons and astroglial cells derived from rat brain, Neurosci. Lett. 219, 211±214. Kussmaul, L., Hamprecht, B. and Dringen, R., 1999, The detoxification of cumene hydroperoxide by the glutathione system of cultured astroglial cells hinges on hexose availability for the regeneration of NADPH, J. Neurochem. 73, 1246±1253. Lie, H. and Dryhurst, G., 1997, Irreversible inhibition of mitochondrial complex I by 7-(2aminoethyl)-3,4-dihydro-5-hydroxy-2H-1,4- benzothiazine-3-carboxylic acid (DHBT-1): a putative nigral endotoxin of relevance to Parkinson’s disease, J. Neurochem. 69, 1530±1541. Li, Y., Maher, P. and Schubert, D., 1997, A role for 12-lipoxygenase in nerve cell death caused by glutathione depletion, Neuron. 19, 453±463. McNaught, K.S. and Jenner, P., 1999, Altered glial function causes neuronal death and increases neuronal susceptibility to 1-methyl-4- phenylpyridinium- and 6hydroxydopamine-induced toxicity in astrocytic/ventral mesencephalic cocultures, J. Neurochem. 73, 2469±2476. Meister, A. and Anderson, M.E., 1983, Glutathione, Annu. Rev. Biochem, 52, 711±760. Menegon, A., Board, P.G., Blackburn, A.C., Mellick, G.D. and Le Couteur, D.G., 1998, Parkinson’s disease, pesticides, and glutathione transferase polymorphisms, Lancet 352, 1344±1346. Mytilineou, C., Kokotos Leonardi, E.T., Kramer, B.C., Jamindar, T. and Olanow, C.W, 1999, Glial cells mediate toxicity in glutathionedepleted mesencephalic cultures, J. Neurochem. 73, 112±119.
Peran Glutathion sebagai Antioksidan dalam Menghambat Neurodegenerasi
209
Philbert, M.A., Beiswanger, C.M., Waters, D.K., Reuhl, K.R. and Lowndes, H.E., 1991, Cellular and regional distribution of reduced glutathione in the nervous system of the rat: histochemical localization by mercury orange and o-phthaldialdehyde-induced histofluorescence, Toxicol. Appl. Pharmacol. 107, 215±227. Pileblad, E., Magnusson, T. and Fornstedt, B., 1989, Reduction of brain glutathione by lbuthionine sulfoximine potentiates the dopaminedepleting action of 6hydroxydopamine in rat striatum, J. Neurochem. 52, 978±980. Richman, P.G. and Meister, A., 1975, Regulation of g-glutamylcysteine synthetase by nonallosteric feedback inhibition by glutathione, J. Biol. Chem. 250, 1422±1426. Riederer, P., Sofic, E., Rausch, W.D., Schmidt, B., Reynolds, G.P., Jellinger, K. and Youdim, M.B., 1989, Transition metals, ferritin, glutathione, and ascorbic acid in parkinsonian brains, J. Neurochem. 52, 515±520. Sagara, J., Makino, N. and Bannai, S., 1996, Glutathione efflux from cultured astrocytes, J. Neurochem. 66, 1876±1881. Sagara, J., Miura, K. and Bannai, S., 1993, Cystine uptake and glutathione level in fetal brain cells in primary culture and in suspension, J. Neurochem. 61, 1667±1671. Salinas, A.E. and Wong, M.G., 1999, Glutathione S-transferases ± a review, Curr. Med. Chem. 6, 279±309. Schulz, J.B., Lindenau, J., Seyfried, J. and Dichgans, J., 2000, Glutathione, oxidative stress, and neurodegeneration, Eur. J. Biochem. 267, 4904±4911. Schulz, J.B. and Beal, M.F., 1994, Mitochondrial dysfunction in movement disorders, Curr. Opin. Neurol. 7, 333±339. Seyfried, J., Soldner, F., Kunz, W.S., Schulz, J.B., Klockgether, T., Kovar, K.A. and Wu llner, U., 2000, Effect of 1-methyl-4-phenylpyridinium on glutathione in rat pheochromocytoma PC12 cells, Neurochem. Int. 36, 489±497. Seyfried, J., Soldner, F., Schulz, J.B., Klockgether, T., Kovar, K.A. and Wu lner, U., 1999, Differential effects of l-buthionine sulfoximine and ethacrynic acid on glutathione levels and mitochondrial function in PC12 cells, Neurosci. Lett. 264, 1±4. Shen, X.M. and Dryhurst, G., 1996, Further insights into the influence of l-cysteine on the oxidation chemistry of dopamine: reaction pathways of potential relevance to Parkinson’s disease, Chem. Res. Toxicol. 9, 751±763. Sian, J., Dexter, D.T., Lees, A.J., Daniel, S., Jenner, P. and Marsden, C.D., 1994, Glutathionerelated enzymes in brain in Parkinson’s disease, Ann. Neurol. 36, 356±361. Sofic, E., Lange, K.W., Jellinger, K. and Riederer, P., 1992, Reduced and oxidized glutathione in the substantia nigra of patients with Parkinson’s disease, Neurosci. Lett. 142, 128±130. Sohal, R.S. and Weindruch, R., 1996, Oxidative stress, caloric restriction, and aging, Science 273, 59±63. Spencer, J.P., Jenner, P., Daniel, S.E., Lees, A.J., Marsden, D.C. and Halliwell, B., 1998, Conjugates of catecholamines with cysteine and GSH in Parkinson’s disease: possible mechanisms of formation involving reactive oxygen species, J. Neurochem. 71, 2112±2122.
210
Vol. 1, No. 2, Juli–Desember 2009
Sudatri, N. W., 2006, Suplementasi Somatotropin Untuk Memperbaiki Tampilan Fisiologis Tikus Betina Usia Enam Bulan dan Satu Tahun, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suratno, Y., 2006, Pengembangan Produk Pangan Fungsional Instan Berbasis Antioksidan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Taniguchi, N. and Ikeda, Y., 1998, g-Glutamyl transpeptidase: catalytic mechanism and gene expression, Adv. Enzymol. 72, 239±278. Tipton, K.F. and Singer, T.P., 1993, Advances in our understanding of the mechanisms of the neurotoxicity of MPTP and related compounds, J. Neurochem. 61, 1191±1206. Wu llner, U., Seyfried, J., Groscurth, P., Beinroth, S., Winter, S., Gleichmann, M., Heneka, M., Lo Schmann, P., Schulz, J.B., Weller, M. and Klockgether, T., 1999, Glutathione depletion and neuronal cell death: the role of reactive oxygen intermediates and mitochondrial function, Brain Res. 826, 53±62. Wu llner, U., Loschmann, P.-A., Schulz, J.B., Schmid, A., Dringen, R., Eblen, F., Turski, L. and Klockgether, T., 1996, Glutathione depletion potentiates MPP1-toxicity in nigral dopaminergic neurons, Neuroreport 7, 921±923. Yudkoff, M., Pleasure, D., Cregar, L., Lin, Z.-P., Nissim, I., Stern, J. and Nissim, I., 1990, Glutathione turnover in cultured astrocytes: studies with [15N] glutamate, J. Neurochem. 55, 137±145. Zhang, F. and Dryhurst, G., 1994, Effects of l-cysteine on the oxidation chemistry of dopamine: new reaction pathways of potential relevance to idiopathic Parkinson’s disease, J. Med. Chem. 37, 1084±1098.