HUBUNGAN IBU HAMIL SEBAGAI PEROKOK PASIF DENGAN BERAT BADAN BAYI BARU LAHIR DI RSD. KALISAT KABUPATEN JEMBER TAHUN 2013
The correlation between Pregnancy For Passive Smokers WithWeight New borns in RSD. Kalisat, Jember 2013. Sutrisno, Jamhariyah, Syiska Atik Maryanti Abstract
Number of cigarette producens in Jember district increased the number of active smokers and passive smokers in Jember district. Cigarette smoke inhaled by pregnant women increases the risk of LBW. The research haims to determine the relationship of passive smoking pregnant women with weight new borns. Research design using a correlation study with cross sectional approach, the entire population of mothers giving birth at RSD. Kalisat in April-May 2013 obtained 148 respondents, the data collection technique using saturated sampling, data collection using a questionnaire, and data analysis using chi square then contingency coefficient. The results showed the majority of pregnant women as passive smokers and 66.2% of babies born with low birth weight 29%. Based on chi square test value 2 hitung > of 2 tabel, so Ho is rejected and the coefficient of contingency means weak but definite. There is a weak but definite relationship between the pregnant woman as a passive smokers with LBW in RSD. Kalisat, meaning that the longer the exposure of pregnant women smoke cigarettes everyday will be more at risk for low birth weight babies. Pregnant women are expected to be able to keep her pregnancy from cigarette smoke that are around. Keywords: passive smokers, pregnant women and low birth weight PENDAHULUAN Berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), penduduk Indonesia usia dewasa yang mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 31,6%. Dengan besarnya jumlah dan tingginya prosentase penduduk yang mempunyai kebiasaan merokok, Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi (dibakar) pada tahun 2002 sebanyak 182 milyar batang rokok setiap tahunnya. Di Indonesia, sekitar 65,6 juta wanita dan 43 juta anak-anak terpapar asap rokok atau menjadi perokok pasif. Soewarno Kosen mengungkapkan bahwa banyak warga Indonesia terpapar asap rokok karena 91,8% perokok merokok di rumah. Asap rokok yang terhirup oleh ibu
hamil dapat meningkatkan risiko terjadinya abortus, solusio plasenta, plasenta previa, insufisiensi plasenta, kelahiran prematur, kecacatan pada janin, dan BBLR. Hal ini dapat meningkatkan kematian neonatus dan sindroma kematian bayi mendadak (Prawirohardjo, 2009). Bayi dikatakan BBLR jika bayi baru lahir berat badannya < 2500 gram. Profil Kesehatan Indonesia 2006 (2008, dalam Depkes RI), AKB di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Penyebab kematian bayi yaitu BBLR sebesar 38,94% (Subhan, 2012). Dari laporan rutin tahun 2010 di Jawa Timur terjadi 5.533 kematian bayi dari 589.482 kelahiran hidup. Jumlah kematian bayi tahun 2010 terbanyak di Kabupaten Jember 427 bayi (Dinkes jatim, 2010).
51
Dari laporan Kabupaten/Kota tahun 2010 diketahui jumlah bayi BBLR di Jawa Timur mencapai 16.565 bayi dari 591.746 bayi lahir hidup (2,79%) (Dinkes 2010 di dalam Kartikasari, 2013). Hasil perhitungan statistik menunjukkan rokok yang dihisap 1-10 batang per hari oleh perokok aktif di dalam rumah selama ibu hamil, berisiko bagi ibu hamil untuk melahirkan BBLR sebesar 2,47 kali. Paparan asap rokok oleh perokok aktif yang merokok di dalam rumah lebih dari 11 batang, berisiko 3,33 kali lebih besar bagi ibu hamil untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak ada perokok di dalam rumahnya (Irnawati, 2011). Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok dapat menyebabkan kerusakan endotel, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator sehingga terjadi PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), selain itu radikal bebas juga dapat menyebabkan defisiensi asam folat. Sedangkan nikotin yang juga terkandung dalam asap rokok dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat menyebabkan hipertensi sehingga terjadi penurunan suplai makanan dan oksigen fetus. Akibatnya secara tidak langsung, hipertensi, PPOK, dan defisiensi asam folat akan menimbulkan gangguan pertumbuhan fetus yang pada akhirnya akan dapat mempengaruhi BBL. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah penulis lakukan di RSD. Kalisat, jumlah ibu bersalin secara pervaginam maupun perabdominal pada tahun 2011 sebanyak 819 ibu bersalin, dari 819 ibu bersalin terdapat ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 139 bayi atau 16,9%. Sedangkan pada tahun 2012 jumlah ibu bersalin secara pervaginam maupun perabdominal sebanyak 1084 ibu bersalin, dan dari 1084 ibu bersalin terdapat ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 251 bayi 23,2%. dari data di atas menunjukkan peningkatan jumlah BBLR pada tahun 2011 dan tahun 2012.
Solusi untuk mencegah semakin banyak ibu hamil sebagai perokok pasif kebijakan dari pemerintah adalah dilarang merokok disembarang tempat seperti di ruangan yang tertutup, terminal, kendaraan umum, halte, di dalam rumah, rumah sakit dan disarankan untuk merokok di udara bebas serta tidak ada orang disekitarnya. Akan tetapi pada prakteknya, kebijakan tersebut masih sering dilanggar oleh perokok karena masih belum ada sanksi yang berlaku sehingga masih banyak perokok yang merokok disembarang tempat. Berdasarkan fenomena tersebut sehingga penulis melakukan penelitian hubungan antara ibu hamil sebagai perokok pasif dengan berat badan bayi baru lahir. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini menggunakan studi korelasi dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini populasinya adalah semua ibu bersalin yang melahirkan di RSD. Kalisat pada bulan April-Mei 2013. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total sampling sehingga didapatkan sampel sejumlah 148 responden. Analisis data yang digunakan adalah analisis bivariat. Sedangkan uji statistik yang digunakan yaitu koefisiensi kontingensi. Teknik ini mempunyai kaitan erat dengan Chi Square. HASIL PENELITIAN Data umum Umur Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Ibu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013
52
No 1. 2.
Umur <16th / >35th 16th - 35th
Jumlah Persentase 31 117
20,9% 79,1%
148 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh distribusi frekuensiUmur Ibu Bersalin usia <16th / >35th sebanyak 31orang ( 20,9%) dan 16th - 35th sebanyak 117 orang (79,1%). Jenis Kehamilan Tabel 2. Distribusi FrekuensiResponden Berdasarkan Jenis KehamilanIbu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No 1. 2.
Kehamilan Primi gravida Multi gravid
Jumlah Persentase 67 45,3% 81 54,7% 148 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kehamilannya ibu dengan hamil primi gravida sebanyak 67 orang (45,3%) dan ibu hamil multi gravida sebanyak 81 orang (54,7%). Usia Gestasi Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Gestasi Ibu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No 1. 2.
UK Prematur Aterm
Jumlah Persentase 25 16,9% 123 83,1% 148 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi responden berdasarkan usia kehamilannya ibu yang hamil prematur sebanyak 25 orang (16,9%) dan ibu yang hamil aterm sebanyak 123 orang (83,1%). Sikap dalam Menghadapi Perokok
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap dalam Menghadapi Perokok Ibu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No
Sikap
1. 2. 3.
Selalu menjauh Selalu di dekat Kadang menjauh
Jumlah 56 22 20
Persentase 57,1% 22,5% 20,4%
98 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh data distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap dalam menghadapi perokok selama hamil, dari 98 orang ibu bersalin yang selama hamil sebagai perokok pasif yang selalu menjauh sebanyak 56 orang (57,1%), ibu hamilyang selalu di dekat perokok sebanyak 22 orang (22,5%), dan ibu hamil yang kadangkadang menjauh sebanyak 20 orang (20,4%). Lama Responden Terpapar Asap Rokok Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama Responden Terpapar Asap Rokok Ibu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No 1. 2. 3. 4.
Waktu 1-3 jam 3-5 jam 5-6 jam > 7 jam
Jumlah Persentase 56 57,1% 3 3,1% 17 17,3% 22 22,5% 98 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh data distribusi frekuensi responden berdasarkan lama waktu terpapar asap rokok setiap harinya, dari 98 ibu bersalin yang selama hamil sebagai perokok pasif yang terpapar asap rokok per hari selama 1-3 jam sebanyak 56 orang (57,1%), 3-5 jam sebanyak 3 orang (3,1%), 5-6 jam 53
sebanyak 17 orang (17,3%), dan yang terpapar >7 jam sebanyak 22 orang (22,5%). Yang Memiliki Riwayat Melahirkan BBLR Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Yang Memiliki Riwayat Melahirkan BBLR Ibu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No
1. 2.
Riwayat BBLR
Jumlah Persentase
Ya Tidak
6 4,1% 142 95,9% 148 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi responden berdasarkan riwayat melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 6 orang (4,1%) dan yang tidak memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 142 orang (95,9%). Komplikasi Kehamilan yang di Alami Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Komplikasi Kehamilan yang di Alami Responden Selama Hamil Ini Ibu Bersalin di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No 1. 2.
Komplikasi Ya Tidak
Jumlah Persentase 2 1,4% 146 98,6% 148 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi responden berdasarkan komplikasi kehamilan yang di alami responden selama hamil ini yaitu yang mengalami komplikasi ada 2 orang (1,4%) dan yang tidak mengalami komplikasi sebanyak 146 orang (98,6%).
Data khusus
Identifikasi ibu bersalin selama hamil Sebagai Perokok Pasif di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Tabel 8 Distribusi Frekuensi Ibu Bersalin Selama Hamil Sebagai Perokok Pasif di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No 1. 2.
Perokok pasif Ya Tidak
Jumlah Persentase
98 66,2% 50 33,8% 148 100% Berdasarkan tabel di atas diperoleh distribusi frekuensi responden ibu bersalin selama hamil sebagai perokok pasif sebanyak 98 orang (66,2%) dan yang bukan sebagai perokok pasif adalah sebanyak 50 orang (33,8%). Identifikasi Berat Badan Bayi Baru Lahir di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Tabel 9 Distribusi Frekuensi Berat Badan Bayi Baru Lahir di RSD. Kalisat Kabupaten Jember Periode April-Mei 2013 No 1. 2.
BBL BBLR BBLN
Jumlah Persentase 43 29,0% 105 71,0% 148 100% Berdasarkan tabel di atas didapatkan distribusi frekuensi responden berdasarkan berat badan bayi baru lahir saat ini yang melahirkan bayi dengan BBLR sebanyak 43 orang (29,0%) dan yang melahirkan bayi dengan BBLN sebanyak 105 orang (71,0%). Dari hasil penelitian diatas analisa yang digunakan yaitu menggunakan perhitungan chi squaredan dilanjutkan dengan rumus koefisien kontingensi sebagai berikut
Perokok
BBL
∑
54
pasif YA TIDAK
BBLR Fo Fh 41 28,5
BBLN Fo Fh 57 69,5
98
2
48
50
14,5
35,5
Total 43 105 Berdasarkan hasil penghitungan manual dan SPSS di dapatkan χ222,995 (data terlampir) sehingga hasil χ 2 hitung >χ2 tabel yaitu 22,995 > 3,841. Ho ditolak karena harga Chi Square hitung lebih besar (>) dari harga Chi Square tabel. Untuk mengetahui kekuatan atau derajat hubungan digunakan rumus koefisiensi kontingensi. Dari hasil penghitungan koefisien kontingensi didapatkan hasil 0,36yang artinya mempunyai hubunganlemah tapi pasti. Dari hasil penelitian didapatkan adanya hubungan lemah tapi pasti antara ibu hamil sebagai perokok pasif dengan berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember periode April-Mei 2013. PEMBAHASAN Ibu hamil sebagai perokok pasif di RSD. Kalisat Kabupaten Jember pada bulan April-Mei 2013 Dari hasil penelitian diperoleh hasil bahwa mayoritas ibu bersalin selama hamil menjadi perokok pasif (66,2%). Merokok sudah menjadi kebiasaan penduduk kalisat baik remaja maupun orang tua. Kebiasaan perokok aktif untuk merokok di dalam rumah dan di tempattempat umum masih cukup banyak, sehingga meningkatkan jumlah perokok pasif penduduk kalisat terutama para ibu hamil. Oleh karena itulah, akibat meningkatnya jumlah perokok pasif khususnya ibu hamil maka dapat meningkatkan jumlah ibu yang melahirkan bayi prematur dengan berat badan lahir rendah. Secara singkat dapat dijelaskan bahwa radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok dapat menyebabkan
kerusakan endotel, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator sehingga terjadi PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), selain itu radikal bebas juga dapat menyebabkan defisiensi asam folat.Sedangkan nikotin yang juga terkandung dalam asap rokok dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang dapat menyebabkan hipertensi sehingga terjadi penurunan suplai makanan dan oksigen fetus. Akibatnya secara tidak langsung, hipertensi, PPOK, dan defisiensi asam folat akan menimbulkan gangguan pertumbuhan fetus yang pada akhirnya akan dapat mempengaruhi BBL. Berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember periode April-Mei 2013 Dari hasil penelitian berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember periode April-Mei 2013 yang tergolong BBLR (29,0%) dari keseluruhan bayi baru lahirdi RSD. Kalisat periode April-Mei 2013. Dari 43 BBLR yang dilahirkan oleh ibu hamil sebagai perokok pasif (95,3%). Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dapat dibuktikan bahwa bayi BBLR dapat dilahirkan oleh ibu dengan komplikasi kehamilan yaitu PEB dan kelahiran prematur, selain itu terdapat faktor usia ibu < 16 melahirkan bayi BBLR dikarenakan ibu masih dalam masa pertumbuhan sehingga organ reproduksi ibu masih belum siap untuk tempat perkembangan janin oleh karena itu janin kekurangan nutrisi selama pertumbuhan dan perkembangannya di dalam rahim. Penyebab BBLR dari faktor janin diperoleh data bahwa bayi BBLR akibat usia gestasi yang kurang bulan serta dari faktor lingkungan antara lain akibat dari paparan asap rokok. Lama terjadinya paparan asap rokok pada ibu hamil setiap harinya mempengaruhi besarnya risiko terjadinya BBLR, ibu hamil yang terpapar
55
asap rokok > 7 jam per hari lebih banyak melahirkan bayi dengan BBLR.
berat lahir rendah (BBLR) (Irnawati, 2011).
BBLR disebabkan oleh 7 (tujuh) faktor yaitu : genetik (faktor gen, interaksi lingkungan, berat badan ayah, jenis kelamin), kecukupan gizi (nutrisi ibu ketika hamil, kecukupan protein dan energi, kekurangan nutrisi), karakteristik dan berat ibu (berat ibu ketika hamil, paritas, jarak kelahiran), penyakit (infeksi di masyarakat seperti malaria, anaemia, syphilis, rubella), komplikasi kehamilan (eklamsi, infeksi ketika melahirkan), gaya hidup ibu (merokok dan mengkonsumsi alkohol) dan lingkungan (polusi, faktor sosial ekonomi) (WHO, 2007).
KESIMPULAN
Hubungan ibu hamil sebagai perokok pasif dengan berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember periode April-Mei 2013 Berdasarkan hasil penghitungan manual dan SPSS di dapatkan χ2 22,995 (data terlampir) sehingga hasil χ 2 hitung > χ2 tabel yaitu 22,995 > 3,841. Ho ditolak karena harga Chi Square hitung lebih besar (>) dari harga Chi Square tabel. Untuk mengetahui kekuatan atau derajat hubungan digunakan rumus koefisiensi kontingensi. Dari hasil penghitungan koefisien kontingensi didapatkan hasil 0,36 yang artinya mempunyai hubungan lemah tapi pasti antara ibu hamil sebagai perokok pasif dengan berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember periode April-Mei 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama ibu hamil bersama perokok aktif di dalam rumah dengan ratarata ibu terpapar asap rokok > 7 jam setiap harinyamaka risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah semakin tinggi. Hasil penelitian menggambarkan ibu hamil perokok pasif yang terpapar asap rokok 1-10 batang per hari berisiko 2,4 kali lebih sering untuk terjadinya bayi
1. Sebagian besar ibu bersalin di RSD. Kalisat selama hamil sebagai perokok pasif (66,2%). 2. Berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat periode April-Mei 2013 (29%) tergolong BBLR. 3. Sebagian besar bayi BBLR dilahirkan oleh ibu hamil sebagai perokok pasif sebanyak (95,3%). 4. Terdapat hubungan ibu hamil sebagi perokok pasif dengan berat badan bayi baru lahir di RSD. Kalisat Kab. Jember periode April-Mei 2013, artinya semakin lama ibu hamil terpapar asap rokok setiap harinya maka akan semakin berisiko untuk melahirkan bayi BBLR. SARAN 1. Bagi peneliti Untuk peneliti selanjutnya diharapkan peneliti mampu mengulas lebih dalam lagi mengenai penyebab dari BBLR dan mampu mengkaji jumlah batang rokok yang dikonsumsi perokok aktif yang tinggal serumah dengan ibu hamil serta perbedaan kadar nikotin yang terkandung dalam asap rokok setiap batangnya sehingga penelitian selanjutnya lebih spesifik dan lebih terperinci. 2. Bagi IPTEK Kepada pemerintah diharapkan mampu lebih selektif dalam membuat kebijakan mengenai ijin produksi rokok sehingga mampu meminimalisir jumlah rokok yang beredar dimasyarakat serta meningkatkan biaya pajak bagi produsen rokok yang mampu menghambat laju peredaran rokok. Selain itu, pemerintah diharapakan lebih menekankan kembali mengenai larangan perniakahan usia dini. Sedangkan kepada produsen rokok diharapkan mencantumkan gambar 56
mengenai bahaya rokok sehingga mampu meningkatkan kesadaran para perokok aktif untuk mengurangi kebiasaan merokok bahkan berhentimerokok. 3. Bagi institusi Kepada petugas kesehatan diharapkan memberikan informasi kepada pasien terutama ibu hamil tentang bahaya dari asap rokok dan penyebab dari BBLR serta menganjurkan para perokok aktif untuk tidak merokok di dalam rumah dan tidak merokok di sekitar ibu hamil. DAFTAR PUSTAKA Ana puspita. (2010)Pengaruh paparan asap
rokok pada ibu hamil (perokok pasif) terhadap terjadinya bayi berat badan lahir rendah (bblr) (studi di ird obgyn dan irna obgyn rsu dr. Soetomo surabaya).http://adln.fkm.unair.ac .id/gdl.php?mod=browse&op=rea d&id=adlnfkm-adln-anapuspita1475. 24/11/20120 7:37 Arikunto, Suharsimi. (2006)Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Badriyah, Fase. (2005)Boyz Only Petunjuk Islami Kesehatan Reproduksi Bagi Remaja Cowok. Jakarta: Gema Insani Press Dariyo, Agoes. (2004)Psikologi Perkembangan Remaja Muda. Jakarta: Grasindo Dinkes jatim. (2010)Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010. Google. Com. 5/2/2013 11:56 Gayatri. (2007)Buku Pintar Cewek Pintar. Tanggerang: Gagas Media Harsono dan Sabri. (2006)Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers Hidayat, A Aziz. (2008)Pengantar Ilmu
Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika Hull, david dan jonston, D. (2008)DasarDasar Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC
Husaini, Aiman. (2007)Tobat Merokok. Surabaya: Pustaka Iman Irnawati, dkk. (2011)Ibu hamil perokok
pasif sebagai faktor risiko bayi berat lahir rendah. Jurnal gizi klinik indonesia Vol. 8, no. 2, oktober 2011: 54-59. 22/2/2013 12:00 Jabbar, Abdul. (2008)Ngerokok Bikin Kamu Kaya. Jakarta: Samudera Jiu, Wei Sheng Yan. (2009)Meta analysis of effects on maternal passive smoking during pregnancy on fetal low birth weight. US National Library of MedicineNational Institutes of Health. 26/9/2012 11:44 JNPK-KR. (2008)Pelatihan klinik layanan obstetri-neonatal emergensi dasar. Jakarta: Bakti Husada Kartikasari, Rozanur vionita. (2013)Studi
Tentang Pertumbuhan Bb Dan Tb Pada Bayi Dengan Riwayat Berat Badan Lahir Rendah (Bblr) Di Puskesmas Jagir Surabaya Tahun 2012. Surabaya: apps. UM Surabayahttp://apps.umsurabaya.ac.id/digilib/gdl.php?mo d=browse&op=read&id=perpusta kaan%20umsurabaya-rozanurvio-39922/2/2013 12:18 Manuaba. (2007)Pengantar Kulyah Obstetri. Jakarta: EGC Notoatmodjo, S. (2005)Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam. (2008)Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika Patricia, dkk. (2006)Buku Saku Asuhan Ibu dan Bayi Baru Lahir. Jakarta: EGC Prawirohardjo, Sarwono. (2009)Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Prawirohardjo, Sarwono. (2009)Buku
Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
57
Neonatal. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Rafael, romy. (2007)Hipnoterapi Quit Smoking. Jakarta: Gagas Media Safrudin dan hamidah. (2009)Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC Sinclair, constance. (2010)Buku Saku Kebidanan. Jakarta: EGC Subhan, febrian. (2012)Permasalahan
Angka Kematian Ibu dan Bayi di Kabupaten Jember. Wordpress.com Sugiyono. (2004)Statistik Nonparametris untuk Penelitian. Bandung: CV ALFABETA Sugiyono. (2011)Meode Peneitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA Suririnah. (2008)Buku pintar kehamilan dan persalinan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama Waluya, Bagja. (2007)Sosiologi untuk
kelas XII Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah Program Ilmu Pengetahuan Sosial. World
Bandung: PT Setia Purna Inves Health Organization (WHO).
Development of a strategy towards promoting optimal fetal growth. Avaliable from : http://www.who.int/nutrition/topi cs/feto_maternal/en.html. Last update : January Windham, dkk. (2000)Prenatal Active Or
Passive Tobacco Smoke Exposure And The Risk Of Preterm Delivery Or Low BirthWeighthttp://www.ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/10874550Epide miology. 1/10/2012 21:39 Yuliana. (2009)Merokok Meingkatkan Terjadinya Kelahiran BBLR. Pediatric Info. 18/9/2012 10:28
58
HUBUNGAN PEMBERIAN MgSO4 PADA IBU DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT TERHADAP KONTRAKSI UTERUS di RSD KALISAT KABUPATEN JEMBER TAHUN 2013
The Relationship between MgSO4 Treatment to Women with Severe Preeclampsia and Uterine Contraction in Kalisat General Hospital, Jember, 2013 Moh.Wildan, Yuniasih Purwaningrum, Susilawati
According to Demografi Kesehatan Indonesia survey in 2010, bleeding is the major cause of maternal death. In the recent years, the higher incidence of preeclampsia- eclampsia is the main cause of the death. Early treatment with magnesium sulfate (MgSO4) is effective in reducing the recurrence of convulsions and maternal deaths. However, it will impinge on lessening the uterine contractions. The goal of this study is to analyze the relationship between MgSO4 treatment to women with severe preeclampsia and uterine contraction in Kalisat General Hospital, Jember, 2013. The research design is an analytic correlation with cohort approach. The samples are 30 in partus mothers with severe preeclampsia which collected by accidental sampling technique. The data are gathered through observation and analyzed statistically by one sample chi square. The result shows that 66.67% respondents are exhibit weak uterine contraction, 30% good contraction and 3.33% with no contraction. By chi square correlation computation with α 0.05, it can be concluded that there is a significance correlation between MgSO4 treatment to women with severe preeclampsia and uterine contractions. It is suggested that midwives should always prepare a complete bleeding apparatus management when they provide some interventions to the in partus mothers with severe preeclampsia. Key words: MgSO4, severe preeclampsia, uterine contractions
PENDAHULUAN Salah satu bentuk dari upaya pembangunan di bidang kesehatan adalah peningkatan kesehatan ibu dengan program yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI). Dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2015 adalah menurunkan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup. millenium masih membutuhkan komitmen dan usaha keras yang terus menerus. World Health Organization (WHO) di seluruh dunia lebih dari 585 per 100.000 kelahiran hidup setiap tahunnya ibu meninggal saat bersalin. Di Negara maju indeks AKI mencapai 20 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan ratarata di Negara berkembang 440 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2010). Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKI di Indonesia pada tahun 2010 adalah
228/100.000 kelahiran hidup. Penyebab AKI diantaranya Pendarahan (28%), eklampsia (24%), infeksi (11%), komplikasi masa puerperium (8%), abortus (5%), partus lama (5%), emboli obstetri (3%) dan lain-lain (11%) (Depkes RI, 2010). AKI di Propinsi Jawa Timur pada tahun 2011 terdapat 105 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 101 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini menunjukkan target MDGs sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup masih sulit untuk dicapai (Dinkesjatim, 2011). Jumlah AKI di Kabupaten Jember dapat diketahui dari studi pendahuluan di Dinas Kesehatan terdapat 116,4 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2012. Sedangkan untuk kejadian preeklampsia – eklamsia ditemukan 575 dari 49 puskesmas di kabupaten Jember. Hal ini menunjukkan bahwa AKI di Kabupaten 59
Jember menjadi penyumbang tertinggi di Propinsi Jawa Timur. Saat ini kasus preeklampsia menjadi trend tertinggi di Kabupaten Jember dibandingkan dengan kasus perdarahan. Dapat dilihat dari jumlah kasus perdarahan pada tahun 2012 sebanyak 289 dibandingkan dengan jumlah kasus preeklampsia – eklamsia sebanyak 575. Berdasarkan studi pendahuluan di RSD Kalisat Jember pada tahun 2011 ditemukan angka kejadian preeklampsia-eklamsia 156. Kejadian ini meningkat lagi pada tahun 2012 yaitu ditemukan 260 ibu inpartu dengan preeklampsia – eklamsia. Sedangkan untuk ibu preeklampsia – eklamsia yang mengalami perdarahan sebanyak 125. Penyebab preeklampsia sampai sekarang masih belum jelas, namun terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, tetapi tidak ada satupun teori yang dianggap benar – benar mutlak: (1) teori kelainan vaskularisasi plasenta; (2) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel; (3) teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin; (4) teori adaptasi kardiovaskular genetik; (5) teori defisiensi gizi; (6) teori inflamasi (Wiknjosastro, 2009: 532). Salah satu upaya pengobatan medikamentosa untuk megendalikan preeklamsi supaya tidak menjadi eklamsia yaitu dengan pemberian Magnesium Sulfat (MgSO4). MgSO4 menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan mengahambat transisi neuromuskular. Pada pemberian MgSO4 akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat dan sebaliknya. Dikarenakan efek MgSO4 itu sendiri untuk merelaksasikan otot polos pada uterus. Sehingga kala IV pada ibu yang sudah terpapar oleh MgSO4 memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadi perdarahan postpartum yang disebabkan oleh kelainan
kontraksi uterus (Wiknjosastro, 2009: 547). Dari beberapa penyebab perdarahan postpartum, ada salah satu yang perlu mendapatkan perhatian yang serius yaitu atonia uteri, karena bila penanganannya lambat maka dapat mengancam nyawa ibu. Atonia uteri adalah uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir) (JNPKR: 2002) Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Banyak faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian atonia itu sendiri yaitu uterus membesar lebih dari normal, kala satu atau kala dua memanjang, partus presipitatus, persalinan yang diinduksi dengan oksitosin, infeksi intrapartum, multiparitas tinggi, magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklampsia atau eklamsia, umur yang terlalu tua atau terlalu muda (<20 tahun dan >35 tahun), hipertensi dalam kehamilan. Berdasarkan latar belakang dan fenomena tersebut, menunjukkan bahwa banyaknya ibu bersalin yang mengalami preeklamisa sampai eklamsia. Sedangkan penatalaksanaan ibu inpartu dengan pre eklasia sampai eklamsia yaitu diberikan MgSO4 yang berdampak pada kelemahan otot sehingga dapat menyebabkan atonia uteri. Oleh karena itu, peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang “Hubungan pemberian MgSO4 pada ibu dengan preeklampsia berat terhadap kontraksi uterus di RSD Kalisat Tahun 2013”.
METODE PENELITIAN Desain yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analitik korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu inpartu dengan preeklampsia berat yang diberi MgSO4 di RSD Kalisat pada tahun 2013. Teknik sampling dalam penelitian ini yaitu accidental sampling 60
yaitu pengambilan sampel yang ada pada saat penelitian sebanyak 30 responden. Uji hipotesa pada penelitian ini menggunakan chi-kuadrat satu sampel.
Protein Urin Tabel 3.
Distribusi Ibu inpartu Preeklampsia Berat Berdasarkan Tingkatan Protein Urin di Ruang Bersalin RSD Kalisat Jember Bulan April – Mei 2013.
HASIL PENELITIAN Data Umum Umur Ibu Tabel 1. Distribusi Ibu inpartu Preeklampsia Berat Berdasarkan Umur di Ruang Bersalin RSD Kalisat Jember Bulan April – Mei 2013. Umur Ibu (Tahun) <20 20-35 >35 Jumlah
Jumlah 4 15 11 30
Persentase (%) 13,33 50 36,67 100
Berdasarkan tabel 1 menunjukkan karakteristik umur ibu inpartu Preeklampsia Berat dari 30 ibu terbanyak pada kelompok umur 20-35 tahun yaitu 15 ibu inpartu (50%). Jumlah Anak Yang Dilahirkan Ibu Tabel2.
Distribusi Ibu inpartu Preeklampsia Berat Berdasarkan Jumlah Paritas di Ruang Bersalin RSD Kalisat Jember Bulan April – Mei 2013. Anak Yang Persentase Jumlah Dilahirkan (%) Primigravida 7 23,33 Multigravida 20 66,67 Grandemulti 3 10 Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa karakteristik jumlah paritas ibu terbanyak adalah multigravida sebanyak 20 ibu inpartu (66,67%).
Tingkatan Protein Urin Negatif Positif 1 Positif 2 Positif 3 Positif 4 Jumlah
Jumlah 1 1 6 20 2 30
Persentase (%) 3,33 3,33 20 66,67 6,67 100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa karakteristik kadar protein urine ibu inpartu dengan Preeklampsia Berat terbanyak positif 3 sebanyak 20 ibu inpartu (66,67%). Data Khusus Kejadian Ibu inpartu dengan Preeklampsia Berat yang diberi MgSO4 Tabel 4. Distribusi Responden Ibu Inpartu Dengan Preeklampsia Berat Yang Diberi MgSO4 di Ruang Bersalin RSD Kalisat Jember April – Mei 2013. Distribusi Data
Jumlah
Persentase (%)
Ibu Preeklampsia Berat yang diberi MgSO4
30
100
Berdasarkan Tabel 4. dapat diketahui bahwa ibu inpartu dengan Preeklampsia Berat yang diberi MgSO 4 sebanyak 30 orang (100%). Kelainan Kontraksi Uterus Pada Ibu Preeklampsia Berat Yang Diberi MgSO4 Tabel
5.
Distribusi Responden Ibu Preeklampsia Berat Yang 61
Mengalami Kelainan Kontraksi Uterus Setelah Pemberian MgSO4 di Ruang Bersalin RSD Kalisat April Mei 2013. Kelainan Kontraksi Uterus Tidak Ada Kontraksi Lemah Baik Jumlah
Persentase Jumlah (%) 1 20 9 30
3,33 66,67 30 100
Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa mayoritas responden mengalami kontraksi uterus yang lemah setelah pemberian MgSO4 sebanyak 20 ibu inpartu (66,67%). Hubungan Pemberian MgSO4 Pada Ibu Preeklampsia Berat Terhadap Kontraksi Uterus
Tabel 7 Tabel Perhitungan Chi-Kuadrat Kelaina n Kontrak si Uterus Tidak Ada Kontrak si
-
1
Lemah
2 0
Baik
9
Jumlah
3 0
1 0 1 0 1 0 1 0
-9
81
8,1
10
100
10
-1
1
0,1
0
182
18,2
Berdasarkan tabel 4.7 diperoleh nilai hitung sebesar 18,2. Analisa Data
Tabel 6
Tabel Silang Hubungan Pemberian MgSO4 Pada Ibu dengan Preeklampsia Berat Terhadap Kontraksi Uterus di RSD Kalisat Kabupaten Jember yang dilakukan pada bulan April – Mei 2013. Kelainan Pemberian MgSO4 Kontraksi fo % Fh % Uterus Tidak Ada 33, 1 3,33 10 Kontraksi 33 33, Lemah 20 66,67 10 33 33, Baik 9 30 10 33 10 Jumlah 30 100 30 0
Berdasarkan tabel 4.6 mayoritas responden mengalami kontraksi uterus yang lemah setelah pemberian MgSO 4 sebanyak 20 ibu inpartu (66,67%) dan frekuensi harapan masing – masing hasil kelainan kontraksi sebanyak 10 ibu inpartu.
Analisa data yang akan digunakan oleh peneliti adalah uji Chi Kuadrat Satu Sample. Berdasarkan perhitungan manual hasil uji Chi Kuadrat satu sample diperoleh hitung sebesar 18,2 sedangkan nilai tabel dengan dk = 2 dan taraf kesalahan 0,05 sebesar 5,991. Dengan demikian hitung lebih besar dari tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan antara pemberian MgSO4 pada ibu dengan preeklampsia berat terhadap kontraksi uterus di RSD Kalisat Kabupaten Jember yang dilakukan pada bulan April – Mei 2013. Setelah dilakukan uji Koefisien Kontingensi diperoleh hasil 0,61 artinya 61% penyebab kelainan kontraksi uterus dipengaruhi oleh pemberian MgSO4 dan 39% adalah faktor yang lain pada ibu preeklampsia berat. Yang berarti bahwa kekuatan hubungan antara variabel ibu preeklampsia berat yang diberi MgSO4 dan kontraksi uterus cukup berarti atau sedang. PEMBAHASAN
62
Mengidentifikasi Kejadian Preeklampsia Berat Yang Diberi MgSO4 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu inpartu dengan preeklampsia berat yang diberi MgSO4 sebanyak 30 ibu inpartu (100%). Sampai saat ini penanganan penderita preklampsia berat menurut Saifuddin, 2006: 211-212 yaitu dengan cara pemberian obat antikonvulsan (MgSO4). Namun pemberian obat ini harus memenuhi syarat yakni refleks patela (+), frekuensi pernapasan >16 kali per menit, tidak ada tanda distress nafas, pengeluaran urin minimal 100 cc/ 4 jam, harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan intravena 3 menit. Efek samping obat ini dapat menghambat kontraktilitas uterus karena MgSO4 menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transisi neuromuskular dan akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat dan sebaliknya (Winkjosastro, 2009 : 547). Berdasarkan fakta dan teori diatas menunjukkan bahwa seluruh ibu inpartu dengan preeklamsia berat harus diberikan MgSO4 supaya tidak terjadi kemungkinan terburuk yaitu menjadi eklampsia. Karena jika ibu dibiarkan eklampsia akan berbahaya bagi ibu dan janinya. Selain itu seorang bidan harus tanggap dalam menyiapkan penanganan dampak terburuk yang diakibatkan pemberian MgSO 4. Penanganan awal mencegah hal yang lebih buruk merupakan salah satu bentuk penatalaksanaan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan terutama dalam hal ini bidan. Mengidentifikasi Kelainan Kontraksi Uterus Pada Ibu Preeklampsia Berat Yang Diberi MgSO4
Dari hasil penelitian didapatkan jumlah ibu inpartu dengan preeklampsia berat yang diberi MgSO4 yang mengalami kelainan kontraksi uterus sebanyak 21 orang (70%). Pemberian MgSO4 pada ibu preeklampsia ini menyumbang salah satu penyebab perdarahan kala IV, karena kerja MgSO4 menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskuler. Transmisi neuromuskuler membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium) (Wiknjosastro, 2009: 547). Bila konsentrasi ion Ca2+ ekstraselular turun hingga nilai yang rendah, kontraksi otot polos biasanya hampir tidak ada sama sekali. Pada kenyataannya, setelah beberapa menit dalam keadaan Ca2+ yang rendah, bahkan retikulum sarkoplasma pada serat otot polos pun akan kehilangan suplai kalsiumnya. Karena itu, kekuatan kontraksi otot polos sangat bergantung pada konsntrasi ion kalsium ekstraselular (Guyton, 2000). Faktor yang dapat mempengaruhu frekuensi dan kekuatan kontraksi otot uterus yaitu peregangan mekanis, hormon tertentu, metabolit lokal, dan obat tertentu. Semua faktor ini bekerja dengan memodifikasi permeabilitas saluran Ca2+ di membran plasma, retikulum sarkoplasma, atau keduanya, melalui berbagai mekanisme. Karena itu, otot polos lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal dibandingkan otot rangka, meskpun otot polos dapat berkontraksi sendiri dan otot rangka tidak (Guyton, 2000). Berdasarkan fakta dan teori diatas menunjukkan bahwa kontraksi otot polos dalam hal ini otot pada uterus lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal,karena faktor eksternal ini yang mengambat masuknya kadar Ca2+ ekstraselular. Observasi yang dilakukan peneliti 63
menunjukkan sebagian besar responden mengalami kelainan kontraksi uterus pada persalinan kala IV. Yang ditandai dengan tidak adanya kontraksi rahim yang kuat setelah dilakukan pemijatan uterus 15 kali setelah plasenta lahir, bentuk atau konsistensi rahim kurang keras – lunak, sehingga responden banyak mengeluarkan darah yang cukup banyak. Oleh karena itu bidan harus menyiapkan penanganan perdarahan sejak awal untuk mengantisipasi kemungkinan efek terburuk yang dihasilkan oleh pemberian MgSO4. Menganalisa Hubungan Pemberian MgSO4 pada Ibu Preeklampsia Berat Terhadap Kontraksi Uterus Berdasarkan analisa data secara manual menggunakan Chi Kuadrat satu sample dengan dk = 2 dan taraf kesalahan 0,05 didapatkan hitung (18,2) lebih besar dari tabel (5,991) maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada hubungan antara pemberian MgSO4 pada ibu dengan preeklampsia berat terhadap kontraksi uterus di RSD Kalisat Kabupaten Jember yang dilakukan pada bulan April – Mei 2013. Adanya hubungan antara pemberian MgSO4 pada ibu dengan preeklampsia berat terhadap kontraksi uterus ini disebabkan karena kerja MgSO4 menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskuler. Transmisi neuromuskuler membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat dan sebaliknya (Wiknjosastro, 2009: 547). Efek pemberian MgSO4 pada uterus dapat menurunkan amplitude serta frekuensi kontraksi rahim, karena itu digunakan
sebagai tokolitik di Negara AS sejak tahun 1925 (Jordan, 2004). Mekanisme MgSO4 dapat menghambat kontraktilitas uterus masih belum diketahui, tetapi secara umum dianggap bahwa hal ini disebabkan oleh efek magnesium terhadap kalsium intraselular. Jalur regulatorik yang mengarah pada kontraksi uterus berawal dari peningkatan konsentrasi Ca2+ bebas intraselular, yang mengaktifkan rantai pendek miosin kinase. Konsentrasi magnesium ekstraselular yang tinggi dilaporkan tidak saja menghambat masuknya kalsium ke dalam sel miometrium tetapi juga menyebabkan kadar magnesium intraselular meningkat. Peningkatan kadar magnesium intraselular ini dilaporkan dapat menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Dengan menyekat saluran kalsium. Mekanisme inhibisi kontraktilitas uterus ini tampaknya bergantung pada dosis karena untuk menghambat kontraksi uterus diperlukan kadar magnesium serum minimal 8 – 10 mEq/l. Toksisitas magnesium dalam darah akan terjadi bila kadar magnesium serum lebih dari 10 mEq/l. Berdasarkan fakta dan teori di atas menunjukkan bahwa pemberian MgSO4 selain dipakai untuk mengendalikan kejang juga dapat mengangguan kontraktilitas uterus, sehingga dapat menyebabkan perdarahan post partum. Oleh karena itu bidan harus mampu menyiapkan peralatan penanganan perdarahan postpartum apabila menemukan ibu inpartu dengan preeklampsia berat. Agar jika terjadi efek samping obat terburuk yaitu penurunan kontraktilitas uterus dapat ditangani dengan cepat dan tepat. KESIMPULAN 1. Kejadian ibu inpartu dengan preeklampsia berat yang diberi MgSO4 di RSD Kalisat sebanyak 100%. 2. Kelainan kontraksi uterus pada ibu preeklampsia berat yang diberi MgSO4 di RSD Kalisat sebanyak 70% dan 64
yang tidak mengalami kelainan kontraksi uterus sebanyak 30%. 3. Ada hubungan antara pemberian MgSO4 pada ibu preeklampsia berat terhadap kontraksi uterus di RSD Kalisat Kabupaten Jember dengan kekuatan hubungan 0,61 cukup berarti atau sedang. Artinya sebanyak 61% penyebab kelainan kontraksi uterus dipengaruhi oleh pemberian MgSO4 dan 39% adalah faktor yang lain pada ibu preeklampsia berat. Dengan demikian petugas kesehatan harus mampu menangani akibat yang ditimbulkan pemberian MgSO4 dan dapat harus menyiapkan peralatan penanganan perdarahan postpartum apabila terjadi penurunan kontraksi uterus yang semakin memburuk. SARAN 1. Bagi Tenaga Kesehatan Tenaga kesehatan terutama bidan diharapkan dapat menyiapkan peralatan penanganan perdarahan untuk menangani efek samping terburuk yang dihasilkan oleh pemberian MgSO4. 2. Bagi Rumah Sakit Diharapkan menjadi masukan untuk dapat membuat Standar Operasional Prosedur yang tetap untuk menangani pasien inpartu dengan preeklampsia berat. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan pada penelitian selanjtnya lebih mengontrol ke variabel pengganggu untuk ditiadakan, sehingga penelitian akan bersifat lebih homogen dan hasil penelitian sesuai harapan dan memuaskan. 4. Bagi Masyarakat Diharapkan masyarakat khususnya ibu bersalin dapat mengetahui informasi tentang efek samping yang ditimbulkan oleh pemberian MgSO4.
Cipta Bobak dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Cunningham, F. Gary, dkk.. 2006. Obstetri William. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Destin, Rizwesta. 2011. Tugas Mandiri Blok Dorland. 2009. Kamus Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran EGC JNPKR. 2002. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: JNPKR Jordan, Sue. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Leveno. 2009. Obstetri Williams Panduan Ringkas. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Mochtar. 1998: Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Notoadmojo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta : PT Rineka Cipta Nursalam. 2009. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.Jakarta : Salemba Merdeka Saifuddin, dkk. 2006. Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Sugiyono. 2004. Statistik Non Parametris Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2011. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Wiknjosastro, dkk.. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiraharjo..
DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.Jakarta : PT Rineka 65
KEPATUHAN ORANGTUA DALAM MEMBERIKAN TERAPI DIET PADA ANAK AUTIS
Sutrisno, Jenie Palupi, Dian Aby Restanty
Abstract: Autism is a condition that is about one child from birth or infancy moment that makes him unable to form social relationships or normal communication. WHO report of 2005 shows ratio of 100:1. The results by Nanin and Umi (2010) mentions that there is that of 55 children with autism who were treated in a foundation, as many as 35 children are also gluten-free diet and biomedical therapies casein. Give a especially glutein free and casein free will be very helpful in improving digestion children autism are impaired.This study aims to determine the level of compliance of parents in providing diet therapy in children with autism. This study uses a descriptive research method. The population are parents who have children with autism by 30 parents. Samples taken by 30 parents in SLB-B Bintoro landfill. Sampling technique is used is total sampling. In collecting data using questionnaires sheet, the percentage of data processed. The results in SLB-B Bintoro shows that parents are not obedient in giving diet therapy is as much as 17 (56.66%). This means that there are many parents who do not comply in providing diet therapies. It is recommended for parents to provide biomedical therapy to children every day. Key word : autism, diet therapy
PENDAHULUAN Setiap Orang Tua di Indonesia menginginkan anaknya tumbuh dan berkembang sesuai tahapan umurnya. Tetapi masih banyak pula anak yang mengalami kelainan dalam perkembangannya yang sering kita sebut Autis. Kejadian anak autis di dunia semakin meningkat. Laporan WHO tahun 2005 menunjukkan perbandingan 100:1 dan memprediksi pada tahun 2020 gangguan neuropsikiatrik termasuk autisme terhadap anak di seluruh dunia akan meningkat 50 %. Jumlah anak autis di seluruh dunia pada tahun 2007 sebanyak 35 juta dan pada tahun 2008 mencapai 60 juta setiap tahun. Amerika dapat menentukan bahwa kejadian di negaranya adalah 1:150 (satu anak autis per seratus lima puluh anak) dan Inggris berani mengeluarkan angka 1:100. Sedangkan di Indonesia, pada tahun 2000 menurut Ika Widyawati, staf bagian psikiatri fakultas kedokteran universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6900 anak penyandang autis di Indonesia. Dr. Melly Budhiman Psikiater Anak dan Ketua Yayasan Autisme Indonesia mengatakan “ Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, saat ini meningkat menjadi satu per 500 anak “.Menurut mantan menteri kesehatan Siti Fadillah Supari mengatakan
bahwa penderita autis pada tahun 2004 tercatat 475.000. (Kompas, 2010). Untuk wilayah Jawa Timur, menurut Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur tahun 2009 terdapat 388 SLB dengan jumlah siswa 13.159 orang. Selain itu terdapat 93 sekolah inklusi dengan siswa berkebutuhan khusus. Beberapa ahli berpendapat autis merupakan sindroma yang disebabkan oleh berbagai penyebab salah satunya seperti faktor genetik diduga karena adanya kromosom (ditemukan 5-20 % penyandang autisme). Namun studi baru menunjukkan heritabilitas genetik hanya menempati 37 % variasi risiko autisme dan 38 % gangguan spektrum autisme lainnya, factor kedua adalah faktor peradangan pada dinding usus yang dikemukakan oleh Dr. Andrew Wakefield yang melakukan endoskopi pada 16 anak autis yang kondisinya memburuk, Wakefield menemukan peradangan usus pada sebagian anak – anak itu. Dr. Timothy Buie, seorang ahli pencernaan anak dari Harvard / massa chussets General Hospital, melakukan riset terhadap 400 anak autis dengan metode yang sama dengan Wakefield. Dokter Timothy menemukan bahwa banyak anak – anak mengalami peradangan di usus, persis seperti laporan Wakefield. Penemuannya itu kemudian dialanjutkan dengan riset mengenai terapi diet pada anak autis Gluten Free- Casein Free 66
(GFCF) diet. Dr. Karoly Horvath dan kawan – kawan dari University of Maryland juga melakukan riset yang sama dan mendapatkan hasil yang tidak berbeda dengan Wakefield dan Buie. Sekitar 60% penyandang autisme mempunyai sistem pencernaan yang tidak sempurna. Sekitar 95% alergi terhadap susu sapi dan jenis gandum. Gangguan di dalam tubuh anak dampaknya bisa mempengaruhi fungsi otaknya, sehingga timbul gangguan perkembangan di bidang mental yang muncul dalam bentuk gangguan perilaku, emosi, kecerdasan, kemampuan berinteraksi dan berkomunikasi.perkembangan dan fungsi susunan saraf pusat yang menyebabkan gangguan fungsi otak, terutama pada fungsi mengendalikan pikiran, pemahaman dan komunikasi dengan orang lain. Gangguan pertumbuhan sel otak ini terjadi pada saat kehamilan 3 bulan pertama. 60 % anak autis mempunyai IQ di bawah 50, sedangkan 20 % antara 50 -70 dan hanya 20% yang mempunyai IQ lebih dari 70. Penyandang autis tidak identik dengan bodoh.Memang sekitar 70 % penderitanya dinyatakan mengalami retardasi mental.(Indiarti, 2007).Dengan terungkapnya hal tersebut maka timbul kesadaran bahwa anak – anak ini tidak saja harus di tangani gangguan perkembangannya, namun seluruh metabolisme tubuh anak ini harus dibenahi.Berbagai terapi dilakukan sebagai solusi pengobatan.Salah satunya solusinya adalah terapi diet atau terapi diet.Pada umumnya, orang tua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein (Nora, 2010).Orang tua merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penerapan terapi diet pada anak autisme, karena pola makan anak autis tidak terlepas dari peran seorang ibu dalam menyediakan makanan yang baik serta bergizi dan sesuai dengan kebutuhannya.Orang tua harus patuh dalam memberikan terapi diet glutein dan kasein (diet) kepada anak. Tetapi sebagian orang tua tidak patuh dalam memberikan terapi tersebut. Hasil penelitian Amilia (2012) menunjukkan bahwa dari 15 orang tua yang di wawancarai 10 orang diantaranya mengaku tidak melakukan diet secara konsisten dan analisis univariat menunjukkan bahwa sebagian kecil responden (15 %) yang patuh dalam menerapkan diet glutein dan kasein (terapi
diet).Kepatuhan orang tua sangat diperlukan dalam terapi diet. Meskipun orang tua mengerti tentang terapi diet tetapi sebagian besar tidak menjalankannya atau tidak patuh dalam menerapkannya pada anaknya. Dari hasil penelitian oleh Nanin dan Umi (2010) menyebutkan bahwa terdapat bahwa dari 55 anak autisme yang diterapi di yayasan tersebut, sebanyak 35 anak juga menjalani diet bebas gluten dan kasein. Dari 35 anak yang menjalani diet bebas gluten dan kasein hanya sebagian kecil yang menjalani diet dengan ketat dan disiplin yaitu sebanyak 19 anak.Hasil penelitian oleh Sabri, dkk (2006) menyebutkan bahwa dari 35 anak yang menjalani diet CFGF hanya sebagian kecil yang menjalani diet dengan ketat dan disiplin yaitu sebanyak 19 anak. Dari catatan yang ada di yayasan didapatkan anak autisme yang menjalani diet CFGF (Casein Free Glutin Free ) rata-rata sudah menjalani selama lebih kurang satu tahun ini.Hasil dari penelitian Koka (2011), menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap dan tindakan ibu dalam pemberian makan pada anak autisme berada dalam kategori cukup yaitu 68,8% untuk pengetahuan, 59,4% untuk sikap, dan 43,8% untuk tindakan. Berdasarkan study pendahuluan yang dilakukan di SLB-B TPA Bintoro di Kecamatan Patrang Kabupaten Jember diperoleh data tahun 2013 dari seluruh jumlah 54 siswa terdapat 30 siswa autis. Dan dari 30 siswa 11 (36.7 %) orang tua siswa mengaku patuh memberikan terapi diet (terapi diet). Sedangkan 19 siswa (63.3 % ) orang tua siswa tidak patuh dalam memberikan terapi diet. Berdasarkan permasalahan diatas peneliti ingin meneliti mengenai kepatuhan orang tua terhadap pemberian terapi diet pada anak autis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kepatuhan orang tua dalam menerapkan terapi diet pada anak autis di SLB-B TPA Bintoro di Kecamatan Patrang Kabupaten Jember tahun 2013. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode dekriptif Populasi dalam penelitian ini adalah orang tua yang memiliki anak yang sudah terdiagnosa autis dan telah mendapatkan pengetahuan tentang terapi diet di SLB-B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember sejumlah 30 orang 67
tua. Dalam penelitian ini teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. HASIL PENELITIAN Data Umum Umur Anak Karateristik anak berdasarkan Jenis Kelamin anak di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember pada bulan Juli 2013 Tabel 1. Distribusi frekuensi karateristik anak berdasarkan umur anak di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Umur (th) 2-7 8-11 12-20 Jumlah
Jumlah anak autis 10 7 13 30
Prosentase (%) 33,33 23,33 43,33 100
Jenis kelamin Karakteristik anak Berdasarkan berdasarkan Jenis Kelamin anak di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Tabel 2. Distribusi frekuensi karateristik anak berdasarkan Jenis Kelamin anak di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Jenis Kelamin Laki - Laki Perempuan Jumlah
Jumlah anak autis 25 5 30
Prosentase (%) 83,33 16,66 100
Pendidikan Orangtua Karakteristik Responden Berdasarkan berdasarkan Pendidikan Orangtua di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Tabel 3. Distribusi frekuensi karateristik responden berdasarkan Pendidikan Orangtua anak di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Pendidikan Orang tua Dasar (SMP) Menengah (Umum/Kejuruan) Tinggi Jumlah
Jumlah (orang) 2 19 9 30
Prosentase (%) 6,66 % 63,33 % 30,00 % 100
Pendapatan Orangtua Karakteristik Responden Berdasarkan berdasarkan Pendapatan Orangtua di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Tabel 4. Distribusi frekuensi karateristik responden berdasarkan Pendapatan Orangtua anak di SLB – B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Pendapatan Orang tua/ bulan < 1 juta >1 juta Jumlah
Jumlah (Rp.) 3 27 30
Prosentase (%) 10 % 90 % 100
Data Khusus Tabel 5. Kepatuhan orangtua dalam memberikan terapi diet pada anak Autis di SLB-B Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember Pendidikan Orang tua Patuh Tidak Patuh Jumlah
Jumlah (orang) 13 17 30
Prosentase (%) 43,33 56,66 100
PEMBAHASAN Dari hasil penelitian di SLB-B TPA Bintoro Kecamatan Patrang Kabupaten Jember dengan jumlah responden 30 anak di dapatkan orangtua yang patuh sebanyak 13 (43,33 %), dan orangtua yang tidak patuh sebanyak 17 (56,66 %). Sebagian besar responden berpendidikan SMA / MA sebanyak 63,33 % . Sebagian besar orangtua berpendapatan lebih dari 1.091.000. Menurut pernyataan Puspita dalam Ratnadewi (2012) yang menyebutkan bahwa orangtua di katakan patuh jika melaksanakan diet yang meliputi kemampuannya dalam memilih makanan untuk anak, Mencatat makanan dan minuman yang di konsumsi anak agar orangtua dapat menimbulkan alergi pada anak. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Budhiman 2002, yang menyatakan Mencatat makanan menjadi lebih penting ketika kasein dan glutein dihilangkan. Dan menurut Budhiman 2002 menambahkan Banyak zat yang tidak termasuk dalam daftar obat dan disebut sebagai “Nutritional Suplements” atau Food Suplements yaitu dijual secara bebas, misalnya 68
ginko biloba.. Pemberian flaxseed oil yang kaya asam lemak pada anak autistik bertujuan agar membran dinding usus (Budhiman, 2002). Menurut Soenardi, 2009 Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur. Orangtua yang patuh dalam memberikan terapi diet pada anak akan berpengaruh pada anak dalam hal misalnya peningkatan dalam komunikasi dalam bersosialisasi anak tersebut, kontak mata, konsentrasi membaik, hiperaktif berkurang, dan jam tidur anak membaik. Pada anak autis yang diberi terapi diet dengan baik akan berperilaku dengan baik, tampak berperilaku normal, berkomunikasi dengan normal juga. Dalam keseharian anak autis yang diberikan terapi tampak berbeda dengan yang tidak melaksanakan terapi diet. Orang tua di anggap patuh karena orangtua selalu memberikan makanan yang tepat dengan kebutuhan anak. Kesulitan orangtua di SLB-B Bintoro adalah orangtua kurang mencari informasi tentang terapi diet bebas glutein dan kasein. Orangtua hanya mengikuti informasi dari dokter dan informasi dari sekolah. Semakin tinggi pendidikan orangtua mungkin akan semakin banyak orangtua mencari informasi tentang terapi diet glutein free and casein free. Dan membuat orangtua semakin mengerti pentingnya pemberian terapi diet pada anak. Bagi orangtua yang tidak patuh kesulitan yang di alami karena orangtua harus mencari makanan pengganti glutein dan casein yang harganya relative lebih mahal dan untuk melengkapi gizi anak dengan menambahkan suplemen kesehatan anak yang harganya mahal. Orangtua mungkin merasa keberatan untuk membeli makanan pengganti anak yang lain dan mungkin merasa banyak kebutuhan yang lain yang lebih penting. Kesulitan orangtua juga karena kurang memberi penjelasan pada anak bahwa makanan tersebut tidak baik untuk anak autis sehingga orang tua tetap memberikan makanan tersebut ketika si anak mulai merengek atau menangis. KESIMPULAN Terdapat perbedaan yang tidak significant (berarti) pada tingkat kepatuhan orang tua dalam menerapkan terapi diet pada anak autis di SLB-B TPA Bintoro Kabupaten Jember.
SARAN 1. Bagi Orang tua Untuk orangtua yang sudah patuh sebaiknya tetap mempertahankan pemberian terapi diet dapat memberikan informasi kepada orangtua yang masih tidak patuh dalam memberikan terapi tersebut. Bagi orang tua yag belum patuh sebaiknya menaati anjuran dokter untuk memberikan diet secara benar. 2. Bagi Terapis Di harapkan bagi terapis untuk selalu memberikan konseling kepada orangtua tentang terapi diet sehingga orangtua lebih mengerti tentang terapi biomeis untuk anak 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai data awal penelitian selanjutnya. DAFTAR RUJUKAN Amilia Destiani Sofi. (2012). Kepatuhan
Orang Tua Dalam Menerapkan Terapi Diet Gluten Free Casein Free Pada Anak Penyandang Autisme Di Yayasan Pelita Hafizh Dan Slbn Cileunyi Bandung .
Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : Depkes RI Indiarti, MT. (2007). Ma, Aku Sakit Lagi.Yogyakarta: Penerbit Andi. Mahfoed, Ichram. (2005). Pendidikan Kesehatan Bagian Dari Promosi Kesehatan.Yogyakarta: Fitramaya Mahfoed, Ichram. (2005). Teknik Membuat Alat Ukur Penelitian Bidang Kesehatan Keperawatan dan Kebidanan. Jogjakarta : Fitramaya Nototamodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta 69
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Saleba Medika Ratnadewi. (2007). Peran Orangtua Pada
Terapi Diet Untuk Anak Autis. ( diakses 10 Desember 2012) Rohimahyati. (2010). Perkembangan Autisme (diakses 30 Januari 2013) Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &B. Jakarta : Alfabeta Soenardi, T. (2009). Terapi Makanan Anak Dengan Gangguan Autisme. < http://www.autis.info > (diakses 27 Maret 2013) Sunu,C. (2012). Unlocking Autisme. Yogyakarta: Lintang Terbit. Wong,dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1. Jakarta:EGC Wong,dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2. Jakarta:EGC Yuwono,J. (2012). Memahami Anak Autistik. Bandung: Alfabeta.
70
PENGARUH PEMBERIAN KAPSUL BAWANG PUTIH TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA WANITA MENOPAUSE DENGAN HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KENCONG
Effect Giving of Garlic Capsules To Decrease Blood Pressure In Menopausal Women With Hypertension in Work Region Puskesmas Kencong Kiswati, Eni Subiastutik, Dian Aby Restanty Abstract
Prevalence of hypertension at menopausal women in Indonesia based Health Research Association 2010 increased 17,4% in the 45 – 49 age group and 17,1% in the ≥ 50 -54 age group. Garlic bulbs contain substances that are hypotensive. The purpose of this research was to determine the effect of garlic capsules to decrease blood pressure in menopausal women with hypertension in work region Puskesmas Kencong. The research used pre experimental design with 12 respondens for sample. Research instrument using mercury tensimeter. Analysis of data using t - test and the t value obtained for systolic pressure before and after giving garlic capsuler 1,36 and for diastolic pressure 1,01, this value is smaller than t table (2,074) then Ho is accepted, there is no effect giving garlic capsules to decrease blood pressure in menopausal women with hypertension. Other factors such as salt intake, stress, regularity and timeliness of capsules consumption can affect blood pressure. Garlic capsules will be effective to decrease blood pressure when a regular and timely white taking it. As well, need to control stress and salt intake. Keywords : hypertension, menopause, garlic capsules
PENDAHULUAN Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi, yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya. Gejala hipertensi pada umumnya antara lain : sakit kepala, jantung berdebar – debar, sulit bernapas setelah bekerja keras atau mengangkat beban berat, dan mudah lelah (Vitahealth, 2004). Secara sederhana seseorang disebut hipertensi apabila tekanan darah sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg. Menurut WHO, batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg. Batasan tersebut adalah untuk orang dewasa atau diatas umur 18 tahun (Sunardi, 2005). Angka prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007 mencapai 30 % dari populasi hipertensi dan 54 % diantaranya adalah wanita menopause, 60 % penderita dari jumlah itu berakhir dengan stroke, 5,1 % berakhir dengan penyakit jantung iskemik dan 4,6 % penyakit jantung (Kemenkes, 2012). Angka prevalensi hipertensi pada wanita menopause di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010 meningkat sebanyak 17,4% pada kelompok usia 45-49 tahun dan pada kelompok usia ≥ 50-54 tahun meningkat sebanyak 17,1 % dibandingkan dengan tahun 2007 (Riset Kesehatan Dasar, 2010). Setidaknya terdapat 21 ribu penderita kasus hipertensi setiap bulan yang tersebar di Jawa Timur. Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Timur menyebutkan total penderita hipertensi di Jawa Timur tahun 2011 sebanyak 285.724 pasien. Data ini diambil menurut 71
Surveilans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di Jawa Timur (Surabaya post, 2011). Dari data yang dihimpun oleh RSD dr, Soebandi Jember, jumlah penderita penyakit degeneratif non infeksi jumlahnya terusbertambah dari tahun ke tahun. Hasil evaluasi menyebutkan, pada tahun 2012 saja 12 ribu pasien penderita penyakit ini mendapatkan perawatan medis oleh RSD dr. Soebandi. Penderita hipertensi menempati urutan pertama dengan jumlah 8.619 pasien (Soka, 2013). Berdasarkan data hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 20 Februari 2013 di posyandu lansia Dusun Kencong dan Dusun Wonorejo, terdapat 22 peserta wanita menopause dan didapatkan 15 diantaranya menderita hipertensi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi salah satunya adalah faktor usia (Lolipoly, 2012). Dibandingkan dengan wanita pre menopause, wanita menopause memiliki tekanan darah yang lebih tinggi. Menopause dihubungkan dengan pengurangan pada estradiol dan penurunan rasio estrogen dan testosteron (Widanti, 2006). Menurunnya kadar estrogen menimbulkan kecenderungan menurunnya kadar HDL ( High Density Lipoprotein), jenis kolesterol baik dan bersifat protektif serta meningkatkan kadar LDL ( Low Density Lipoprotein), jenis kolesterol buruk. Kondisi inilah yang menaikkan resiko hipertensi dan penyakit jantung. Dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kematian (Lestary, 2010). Bawang putih (Allium Sativum) sudah dikenal manusia sejak 4000-an tahun silam. Kandungan Allicin dan Ajoene dalam bawang putih dapat meningkatkan fungsi kardiovaskuler dan mencegah penggumpalan darah sehingga dapat menurunkan kadar fibrinogen, mencegah serangan hiperkolesterolemik dan atherosklerosis. Berdasarkan hasil uji klinis yang dilakukan oleh F. G. Piotrowski di Universitas Genewa menyebutkan, kapsul bawang putih efektif
untuk menjaga normalitas tekanan darah pasien hipertensi. Dalam sebuah percobaan terbukti bahwa 40% dari 100 orang mengalami penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg setelah satu minggu mengkonsumsi kapsul bawang putih (Lingga, 2012). Berdasarkan masalah diatas, peneliti melakukan penelitian tentang pengaruh kapsul bawang putih terhadap wanita menopause dengan hipertensi. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah pre-experimental design. Bentuk pre-experimental design yang digunakan dalam penelitian ini adalah one group pretest post-test. Populasinya adalah semua wanita menopause dengan hipertensi yang melakukan kunjungan posyandu lansia di Desa Kencong, Jember pada bulan Juni 2013 yang berjumlah 12 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan menggunakan metode sampling jenuh atau total sampling sehingga didapatkan sampel berjumlah 12 orang. Penelitian ini dilaksanakan di posyandu lansia Dusun Kencong dan Dusun Wonorejo pada bulan Juni – Juli 2013. Uji statistik yang digunakan adalah Paired T-
test. HASIL PENELITIAN Data Umum Umur Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur Responden Pada Posyandu Lansia Dusun Kencong dan Wonorejo bulan Juni – Juli 2013 Umur lansia 50 – 55 tahun 56 – 60 tahun 61 – 65 tahun 66 – 70 tahun Jumlah
Jumlah 3 4 2 3 12
(%) 25 33,3 16,7 25 100
72
Tabel 1. diatas menunjukkan bahwa dari 12 responden terdapat 33,3% lansia yang berumur 56 – 60 tahun, 25 % lansia yang berumur 50 – 55 tahun dan 66 – 70 tahun, 16,7% lansia yang berumur 61 – 65 tahun Kategori Status Gizi Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kategori Status Gizi Responden Pada Posyandu Lansia Dusun Kencong dan Wonorejo Bulan Juni – Juli 2013 Kategori Jumlah (%) Status Gizi Underweight 1 8,3 Normal 9 75 Obesitas tk I 1 8,3 Obesitas tk II 1 8,3 12 100 Jumlah Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa 75% responden dalam kategori status gizi normal, dan 8,3% responden masing – masing dalam kategori status gizi underweight, obesitas tingkat I, dan obesitas tingkat II. Kebiasaan Merokok dan minum minuman beralkohol Dalam penelitian ini, mayoritas responden (100%) tidak merokok dan tidak mengkonsumsi minum minuman beralkohol. Data Khusus Identifikasi Tekanan Darah Sistolik Responden Sebelum dan Sesudah Diberi Kapsul Bawang Putih Tabel 3. Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Sistolik Responden Sebelum dan Sesudah Diberi Kapsul Bawang Putih Pada Posyandu Lansia Dusun Kencong dan Wonorejo Bulan Juni – Juli 2013
Tekanan Sebelum Sesudah Sistolik N % N % 160 2 16,7 2 16,7 170 3 25 5 41,6 180 5 41,6 3 25 190 2 16,7 2 16,7 12 100 12 100 Jumlah Berdasarkan tabel 3 diatas diketahui bahwa tekanan darah sistolik responden sebelum pemberian kapsul bawang putih adalah 180 mmHg sebanyak 41,6%, 170 mmHg sebanyak 25%, 160 mmHg dan 190 mmHg sebanyak 16,7%, dan tekanan darah sistolik responden setelah pemberian kapsul bawang putih adalah 170 mmHg sebanyak 41,6%, 180 mmHg sebanyak 25%, 160 mmHg dan 190 mmHg sebanyak 16,7%. Identifikasi Tekanan Darah Diastolik Responden Sebelum dan Sesudah Diberi Kapsul Bawang Putih Tabel 4 Distribusi Frekuensi Tekanan Darah Diastolik Responden Sebelum dan Sesudah Diberi Kapsul Bawang Putih Pada Posyandu Lansia Dusun Kencong dan Wonorejo Bulan Juni – Juli 2013 Tekanan Sebelum Sesudah Diastolik N % N % 90 1 8,3 1 8,3 100 5 41,7 7 58,4 110 5 41,7 3 25 120 1 8,3 1 8,3 12 100 12 100 Jumlah Berdasarkan tabel 4. diatas diketahui tekanan darah diastolik responden sebelum pemberian kapsul bawang putih adalah 100 mmHg dan 110 mmHg sebanyak 41,7%, 90 mmHg dan 120 mmHg sebanyak 8,3%. Sedangkan tekanan darah diastolik responden setelah pemberian kapsul bawang putih adalah 100 mmHg sebanyak 58,4%, 110 mmHg sebanyak 25%, 90 mmHg dan 120 mmHg sebanyak 8,3 %.
73
Analisis Penurunan Tekanan Darah Sistolik Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Kapsul Bawang Putih Tabel 5. Tabel Penghitungan T Perbedaan Tekanan Darah Sistolik Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Kapsul Bawang Putih Pada Posyandu Lansia Dusun Kencong dan Wonorejo Bulan Juni – Juli 2013 N o 1 . . . 12 Ʃ
2
1091,68 = 12 = 175,8 =9,96 =99,24
2
1091,68 = 12 = 174,2 =9,96 =99,24
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, rata – rata tekanan darah sistolik lansia sebelum dan sesudah diberi kapsul bawang putih adalah 175,8 mmHg dengan standar deviasi 9,96. Kemudian setelah lansia mengkonsumsi kapsul bawang putih selama 4 minggu, didapatkan rata – rata tekanan darah sistolik lansia sebesar 174,2 mmHg. Dari uji T berpasangan secara manual, diketahui nilai mean perbedaan tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih yaitu 1,6 dengan standar deviasi 9,96. Perbedaan ini diuji dengan uji T menghasilkan nilai t = 1,36. Nilai t tabel dengan dk = n1 + n2 – 2 = 22 dan α = 5% adalah sebesar 2,074. Nilai thitung < ttabel sehingga Ho diterima dan H1 ditolak. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap tekanan darah sistolik lansia sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih.
Analisis Penurunan Tekanan Darah Diastolik Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Kapsul Bawang Putih Tabel 6. Tabel Penghitungan T Perbedaan Tekanan Darah Diastolik Responden Sebelum dan Setelah Pemberian Kapsul Bawang Putih Pada Posyandu Lansia Dusun Kencong dan Wonorejo Bulan Juni – Juli 2013 No 1 . . . 12 Ʃ = 12 = 105 =7,97 =63,63
2
2
700
666,68 = 12 = 103,3 =7,78 =60,60
Berdasarkan tabel 6 di atas, rata – rata tekanan darah diastolik lansia sebelum pemberian kapsul bawang putih adalah 105 mmHg dengan standar deviasi 7,97. Kemudian setelah lansia mengkonsumsi kapsul bawang putih didapatkan rata – rata tekanan darah diastolic sebesar 103,3 mmHg. Dari uji T berpasangansecara manual, diketahui nilai mean perbedaan tekanan darah diastolik lansia sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih yaitu 1,7. Perbedaan ini di uji dengan uji T berpasangan menghasilkan nilai t = 1,01. Nilai ttabel dengan dk = n1 + n2 – 2 = 22 dan α = 5% adalah sebesar 2,074. Selanjutnya nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabel. Nilai thitung < ttabel sehingga H0 diterima. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh terhadap penurunan tekanan darah diastolik lansia sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih. PEMBAHASAN
74
Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pada Wanita Menopause Sebelum Pemberian Kapsul Bawang Putih Dari hasil penelitian berdasarkan tabel 3 dan 4, didapatkan 41,6% responden memiliki tekanan sistolik 180 mmHg dan 41,7 responden memiliki tekanan diastolik 100 mmHg dan 110 mmHg. Tekanan darah responden sebelum mengkonsumsi kapsul bawang putih selama 4 minggu yaitu tekanan darah sistolik rata – rata sebesar 175,8 mmHg dan tekanan diastolik rata – rata sebesar 105 mmHg. Menurut WHO (World Health Organization), batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140 mmHg untuk tekanan sistolik dan 90 mmHg untuk tekanan diastolik. Sedangkan menurut kamus kedokteran Dorland (2007) hipertensi merupakan keadaan dimana tekanan arteri tinggi, berbagai kriteria sebagai batasannya telah diajukan berkisar dari tekanan sistole 140 – 200 mmHg dan tekanan diastolik 90 – 110 mmHg. Hipertensi pada menopause berhubungan dengan semakin berkurangnya hormon estrogen didalam tubuh yang diakibatkan semakin bertambahnya usia. Hormon estrogen berperan untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur keseimbangan kolesterol baik (HDL) dalam tubuh. Apabila jumlah HDL menurun, maka jumlah kolesterol jahat (LDL) akan meningkat. Meningkatnya kolesterol jahat (LDL) dapat menyumbat pembuluh darah. Apabila terjadi penyumbatan pada pembuluh darah maka aliran darah menjadi tidak lancar. Aliran darah yang tidak lancar dapat menyebabkan jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah. Kerja jantung yang lebih berat ini dapat menyebabkan tekanan darah tinggi atau hipertensi. Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pada Wanita Menopause Setelah Pemberian Kapsul Bawang Putih Berdasarkan tabel 3 dan 4 didapatkan 41,6% responden memiliki
tekanan sistolik 170 mmHg dan 58,4% memiliki tekanan diastolic 100 mmHg. Tekanan darah responden setelah mengkonsumsi kapsul bawang putih selama 4 minggu yaitu tekanan darah sistolik rata – rata sebesar 174,2 mmHg dan tekanan diastolik rata – rata sebesar 103,3 mmHg. Ekstrak umbi bawang putih mampu menurunkan tekanan darah penderita hipertensi. Mekanisme penurunan tekanan darah berkaitan dengan vasodilatasi otot pembuluh darah yang dipengaruhi senyawa dalam ekstrak umbi bawang putih. Pertama, kalsium yang ada dalam bawang putih akan menurunkan ketegangan saraf. Penurunan ketegangan saraf akan meningkatkan aktivitas jantung dalam memompa oksigen, sehingga asupan darah bersih terpenuhi dan tekanan darah pun menurun. Kedua, bawang putih bersifat sebagai peluruh kencing (diuretik). Apabila kencing lancar, sisa metabolism termasuk lemak tidak tertimbun dalam tubuh, akibatnya pembuluh arteri menjadi bersih. Hal ini menyebabkan sirkulasi darah menjadi lancar, sehingga tidak terjadi retensi (penahanan) air pada ginjal yang menyebabkan kenaikan tekanan darah. Ketiga, beberapa senyawa aktif dalam bawang putih mampu mengaktifkan
adenosine diaminase cyclic AMP phosphodiesterase yang bekerja menghambat enzim yang mengganggu sirkulasi darah yaitu (ACE angiotensin I) converting enzyme. Peningkatan sirkulasi darah akan menyebabkan tekanan darah menjadi lancar (Lingga, 2012). Dari hasil penelitian, konsumsi kapsul bawang putih selama 4 minggu dapat membantu menurunkan tekanan darah. Ini dibuktikan dengan adanya penurunan tekanan sistolik dan diastolik rata – rata antara sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih. Tekanan sistolik rata – rata sebelum pemberian kapsul bawang putih sebesar 175,8 mmHg menurun menjadi 174,2 mmHg. Sedangkan tekanan diastolik rata – rata sebelum pemberian kapsul bawang putih 75
sebesar 105 mmHg menurun menjadi 103,3 mmHg. Menganalisis Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik Pada Wanita Menopause Sebelum dan Sesudah Pemberian Kapsul Bawang Putih Setelah dilakukan pengukuran tekanan darah sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih pada lansia di posyandu lansia Desa Kencong didapatkan hasil rata – rata penurunan tekanan darah sistolik sebesar 1,6 mmHg, dan penurunan tekanan darah diastolik sebesar 1,7 mmHg. Berdasarkan hasil uji statistik t – test 2 sampel berpasangan secara SPSS, hasil penghitungan untuk nilai t hitung sistolik sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih adalah 1,483. Sedangkan t hitung diastolik sebelum dan sesudah pemberian kapsul bawang putih adalah 1,000. Nilai t tabel dengan dk = 22 adalah sebesar 2,074. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Ho diterima, tidak terdapat pengaruh pemberian kapsul bawang putih terhadap penurunan tekanan sistolik dan diastolik pada wanita menopause dengan hipertensi. Menurut Karyadi (2002) dalam penelitian Rahmayanti (2007) didapatkan bahwa pada umumnya hipertensi pada wanita terjadi pada masa menopause. Prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi. Hal itu sejalan dengan bertambahnya usia yang mengakibatkan perubahan struktur pada pembuluh darah besar dan hilangnya elastisitas pembuluh darah, yang terutama menyebabkan peningkatan tekanan darah. Status gizi juga berpengaruh terhadap tekanan darah terutama jika obesitas. Dari hasil penelitian didapatkan 1 orang memiliki status gizi obesitas tingkat I dan 1 orang memiliki status gizi tingkat II. Menurut Karyadi (2002) dalam penelitian Rahmayanti (2007), beberapa studi telah melaporkan tentang kaitan erat antara kelebihan berat badan dan kenaikan tekanan darah. Berat badan dan IMT
berkorelasi langsung dengan tekanan darah. Resiko relative untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal. Bila dibandingkan dengan tekanan darah normal yang direkomendasikan oleh WHO, yaitu tekanan sistolik sebesar 140 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg, tekanan darah sistolik dan diastolik rata – rata pada lansia di posyandu lansia Dusun Kencong dan Wonorejo setelah pemberian kapsul bawang putih selama 4 minggu masih berada di atas nilai tersebut. Hal ini dapat dikarenakan oleh faktor lain yang juga dapat mempengaruhi tekanan darah selama dilakukan penelitian, misalnya stress, jumlah asupan garam, keteraturan dan ketepatan waktu konsumsi kapsul bawang putih. Faktor – faktor tersebut juga berpengaruh terhadap peningkatan tekanan darah, karena apabila konsumsi kapsul bawang putih tidak teratur dan tidak sesuai dengan waktu ( setiap 8 jam), hal ini dapat berpengaruh terhadap efektifitas kinerja dari kapsul tersebut. KESIMPULAN 1. Tekanan darah sistolik dan diastolik pada wanita menopause sebelum pemberian kapsul bawang putih yaitu sebagian besar responden memiliki tekanan sistolik 180 mmHg (41,6%) dan tekanan diastolik 100 mmHg dan 110 mmHg (41,7%). Sedangkan rata rata tekanan sistolik sebesar 175 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 105 mmHg. Penyebab tingginya tekanan darah pada wanita menopause disebabkan oleh faktor usia dan faktor hormonal. Karena berkurangnya hormon estrogen dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dalam tubuh yang salah satunya dapat mengakibatkan hipertensi. 2. Tekanan darah sistolik dan diastolik pada wanita menopause setelah 76
pemberian kapsul bawang putih yaitu sebagian besar tekanan sistolik 170 mmHg (41,6%) dan tekanan diastolik 100 mmHg (58, 4%). Sedangkan rata – rata tekanan sistolik sebesar 174,2 mmHg dan tekanan diastolik sebesar 103,3 mmHg. Penurunan tersebut disebabkan adanya kandungan zat – zat aktif dalam umbi bawang putih yang mempunyai efek hipotentif sehingga dapat membantu menurunkan tekanan darah. 3. Rata – rata penurunan tekanan sistolik sebelum dan setelah pemberian kapsul bawang putih sebesar 1,6 mmHg dan penurunan tekanan diastolik sebesar 1,7 mmHg. Secara klinis terjadi penurunan tekanan sistolik maupun diastolik, tetapi apabila diuji secara statistik tidak terdapat pengaruh pemberian kapsul bawang putih dengan penurunan tekanan darah. Penurunan yang terjadi sangat kecil karena terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi, antara lain stress, asupan garam, keteraturan dan ketepatan waktu untuk mengkonsumsi kapsul bawang putih.
kejadian penyakit jantung sebagai dampak umum dari hipertensi. 4. Bagi Pembaca atau Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan pengetahuan pembaca tentang cara menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dengan menggunakan bahan – bahan herbal di sekitar kita dan berpola hidup sehat untuk mengurangi resiko hipertensi.
SARAN
Yogyakarta. Kanisius. Hernawan, Udhi Eko & Ahmad Dwi Setyawan. 2003. Senyawa
1. Bagi Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya Selain itu diharapkan juga mengkaji faktor yang mempengaruhi hipertensi yang lain seperti stress dan konsumsi garam agar hasil yang didapatkan lebih baik. 2. Bagi Pengembang Bidang Kesehatan Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan meningkatkan derajat kesehatan khususnya dalam menurunkan angka kejadian penyakit jantung. 3. Bagi Sistem Pendidikan Penelitian ini dapat memberikan gambaran serta informasi mengenai salah satu cara untuk mengurangi
DAFTAR PUSTAKA Apriadji, Wied Harry. 2007. Makan Enak
Untuk Sehat, Bahagia, dan Awet Muda. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Cunningham, Gary. Dkk. 2011. Obstetri Williams. Jakarta. ECG. Dalimartha, Setyawan. 2008. Care Your Self Hipertensi. Jakarta. Penebar Plus. Dorland, Newman . 2007. Kamus
Kedokteran Dorland Edisi 29. Gunawan,
Jakarta . EGC Lany. 2007.
Penyakit
Darah
Hipertensi, Tinggi.
Organosulfur Bawang Putih (Allium Sativum L.) dan Aktivitas Biologinya. Jurnal Biologi FMIPA UNS Surakarta. Elsa Diana. 2010. Bebas Hipertensi Dengan Jus. Jakarta. Niaga Swadaya. Kemenkes. 2012. Masalah Hipertensi di Indonesia.http://www.depkes.go .id/index.php/berita/pressrelease/1909-masalahhipertensi-di-indonesia.html. Diakses tanggal 29 Januari 2013. Lestary, Dwi. 2010. Seluk Beluk Menopause. Yogyakarta. Graha Ilmu. Lingga, Lanny. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Julianti,
77
Lingga, Lanny. 2012. Terapi Bawang Putih Untuk Kesehatan. Jakarta. PT Elex Media Komputindo. Lolypoly. 2012. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi. http://www.id.shvoong.com/med icine-and-health/medicinehistory/2282617-faktor-faktoryang-mempengaruhi-hipertensi. Diakses tanggal 25 Januari 2013 Madina, 2013. Prevalensi Hipertensi di
Indonesia
17
–
21%.
http://www.madina.co.id/indexphp/nasional/520-menkesprevalensi-hipertensi-diindonesia-17-21. Diakses tanggal 18 Januari 2013. Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Edisi 2. Jakarta. Salemba Medika. Proverawati, Atikah. 2010. Menopause dan Sindrom Premenopause. Yogyakarta. Nuha Medika. Rahmayanti, Ervina. 2007. Perbedaan
Perubahan Tekanan Darah Pada Wanita Menopause Dengan Hipertensi yang Diberi Anjuran Kombinasi Diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dan Diet Rendah Garam Dibandingkan Dengan Anjuran Diet Rendah Garam (Konvensional). Jurnal Ilmu
Mengobati Dengan Cara Medis dan Herbal. Yogyakarta. Soka,
Sakkhasukma. Radio. 2013. Pasien
Penyakit Degeneratif Paling Banyak Dirawat di RSUD dr. Soebandi.
http://www.sokaradio.com/jurna l.html?x=QXCsO6lpfD3ZtGPK 2pBJB2KQqSzJ3r%2BN&categ ory=. Diakses tanggal 28 Januari 2013. Sugiyono. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Bandung. CV Alfabeta. Sunardi, Tuti. 2005. Hidangan Sehat Untuk Penderita Hipertensi. Jakarta. Niaga Swadaya. Surabaya post. 2011. Banyak Orang Stres di Jatim. http://www.sbypost.co.id/?mnoberita&act=view&id. Diakses tanggal 27 Januari 2013. Syamsiyah, Iyam Siti. 2008. Khasiat dan
Manfaat Bawang Putih : Raja Antibiotik Alam. Jakarta. Agromedia Pustaka. Vitahealth, 2004. Hipertensi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Widanti, Okrina Tri. 2006. Hubungan Hipertensi dan Menopause. http://www.deherba.com/hiperte nsi-dan-menopause.html. Diakses tanggal 30 Januari 2013. Yovina, Santi. 2012. Kolesterol? Siapa
takut!! Panduan Hidup Sehat Tanpa Kolesterol. Yogyakarta. Pinang Merah Publisher.
Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Rudianto, Budi. 2013. Menaklukan
Hipertensi Mendeteksi,
dan Diabetes. Mencegah dan 78
PENGARUH PEMIJATAN PERINEUM TERHADAP RUPTUR PERINEUM PADA PRIMIGRAVIDA DI BPS Ny. “R” DI KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER Riningsih Hidayati1, Sultanah Zahariah2 1
Poli Hamil dan Kandungan RSUD dr. Soebandi Jember
2
Program Studi Diploma III Kebidanan STIKES dr. Soebandi Jember
Abstract Objective: To determine the effect of perineal massage to perineal rupture in primigravida in BPS ny. "R" District Sumbersari Jember. Methode: correlation with the cohort approach / prospective sample of 30 respondents who met the inclusion criteria. Sampling technique that used was purposive sampling and consecutive sampling. Result: By chi square test (x2) with dk = 1 and 5% error rates, calculated chi square value = 4.800. Apparently the value of calculate chi square was greater than the table (4.800> 3.841), It mean Ho was refused and Ha was received. Conclusion: Perineal massage was very effective in preventing the incidence of ruptured perineum. Important to be informed and apply that massage is one non farmakologik intervention to prevent perineal rupture in different order to better health services in hospitals, clinics, health centers and community. Keyword: Massage the Perineum, Ruptured Perineum
Pendahuluan Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2010 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab utama dari kematian ibu di Indonesia tersebut adalah perdarahan (28%), dimana salah satunya dapat disebabkan oleh rupture jalan lahir termasuk didalamnya ruptur perineum Error! Reference source not found.. Perineum adalah area diantara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm. Dalam persalinan sering mengalami laserasi, kecuali dilakukan episiotomi yang adekuat (Rachimhadhi, 2008). Angka kejadian ruptur perineum pada primipara (73,53%) dan multipara (57,14%) (Didi, 2008). Dari
studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Januari 2012 di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember dari 10 ibu bersalin, terdapat 5 ibu (50%) memerlukan tindakan episiotomi karena mengalami perineum kaku, 3 ibu (30%) mengalami robekan perineum derajat kedua, sedangkan 20% lainnya tidak mengalami laserasi perineum. Laserasi perineum merupakan robekan yang terjadi pada perineum sewaktu proses persalinan. Persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi forsep, ekstraksi vakum, versi ekstraksi, kristeller (dorongan pada fundus uteri) dan episiotomi dapat menyebabkan robekan jalan lahir. Laserasi perineum dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat 79
laserasi yaitu derajat I, derajat II, derajat III dan derajat IV. Perdarahan postpartum sering terjadi pada laserasi perineum derajat III dan IV. Laserasi perineum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor maternal, faktor janin, dan faktor penolong. Faktor janin meliputi janin besar, posisi abnormal seperti oksipitoposterior, presentasi muka, presentasi dahi, presentasi bokong, distosia bahu dan anomali kongenital seperti hidrosefalus. Faktor penolong meliputi cara memimpin mengejan, cara berkomunikasi dengan ibu, ketrampilan menahan perineum pada saat ekspulsi kepala, episiotomi dan posisi meneran. Sedangkan Faktor maternal meliputi primigravida, kelenturan perineum, odema perineum, kesempitan pintu bawah panggul, kelenturan jalan lahir, mengejan terlalu kuat, partus presipitatus, persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, versi ekstraksi dan embriotomi, varikosa pada pelvis maupun jaringan parut pada perineum dan vagina. Error! Reference source not found.. Perineum, walaupun bukan alat kelamin, namun selalu terlibat dalam proses persalinan. Apabila perineum cukup lunak dan elastis, maka lahirnya kepala tidak mengalami kesukaran. Biasanya perineum robek dan paling sering terjadi ruptur perineumderajat I dan derajat II Error! Reference source not found.. Sedangkan perineum yang kaku dapat menghambat persalinan Kala II yang meningkatkan resiko kematian bayi dan menyebabkan kerusakan – kerusakan jalan lahir yang luas. Perineum kaku adalah tidak elastisnya lantai falfis dan struktur sekitarnya yang menempati pintu bawah panggul di sebalah anterior dibatasi oleh simpisis pubis, disebelah posterior oleh OS cogcigis. Keadaan demikian dapat dijumpai pada primigravida yang umurnya lebih dari 35 tahun yang lazim disebut primitua. Dengan adanya perineum kaku maka robekan sewaktu kepala lahir tidak dapat dihindarkan, dengan membuat episiotomi mediolateral
yang cukup luas 5-6 cm ruptur perineum derajat III dan derajat IV dapat dihindari.. Error! Reference source not found.. Untuk meminimalkan kejadian laserasi perineum perlu dilakukan pencegahan salah satunya dengan pemijatan perineum. Pemijatan perineum adalah salah satu cara yang paling kuno dan paling pasti untuk meningkatkan kesehatan, aliran darah, elastisitas, dan relaksasi otot-otot dasar panggul . Pemijatan perineum adalah teknik memijat perineum pada saat hamil dengan usia Kehamilan >34 minggu atau 6 minggu sebelum persalinan. Pemijatan perineum dapat meningkatkan elastisitas perineum. Manfaat pemijatan perineum adalah perineum tidak ruptur baik spontan maupun episiotomy, bila sampai ruptur perineum tidak sampai melebihi derajat 2 (selaput lendir vagina, kulit perineum dan otot perineum). Pemijatan perineum membantu menyiapkan mental ibu pada saat dilakukan pemeriksaan dalam (VT) dan mempersiapkan jaringan perineum menghadapi situasi saat proses persalinan terutama pada saat kepala janin crowning perineum lebih rileks (Beckmann and Andrea J, 2006). Jika sampai terjadi ruptur perineum, pemijatan perineum dapat mempercepat proses penyembuhan perineum. Penelitian yang diterbitkan di Amerika Journal Obstetrician and Gynecology menyimpulkan bahwa pemijatan perineum selama kehamilan dapat melindungi fungsi perineum paling tidak dalam 3 bulan pascamelahirkan. The Cochrane Review merekomendasikan bahwa pemijatan perineum ini harus selalu dijelaskan pada ibu hamil agar mereka mengetahui keuntungan dari pemijatan perineum ini. Pemijatan perineum ini sangat aman dan tidak berbahaya Error! Reference source not found.. Namun Ibu hamil dengan infeksi herpes aktif di daerah vagina, infeksi saluran kemih, infeksi jamur, atau infeksi menular yang dapat menyebar dengan kontak langsung dan memperparah 80
penyebaran infeksi, tidak dianjurkan melakukan pemijatan perineum. Metode Penelitian ini menggunakan design penelitian corelasional dengan pendekatan cohort/ prospektif. Subyek penelitian adalah seluruh ibu primigravida dengan usia kehamilan > 34 minggu yang diberikan pemijatan perineum di BPS Ny. ―R‖ di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember pada bulan Maret 2012 yaitu sejumlah 30 ibu hamil. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria inklusi yaitu: Ibu primigravida dengan usia kehamilan > 34 minggu pada bulan Maret 2012 dan bersedia diteliti. Melalui teknik sampling non probability sampling dengan teknik purposive sampling dan consecutive sampling, didapatkan sampel penelitian sejumlah 30 responden. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan setelah mendapat ijin dari responden. Responden diberi lembar persetujuan Informed Consent kemudian responden diajarkan teknik pemijatan perineum. Pemijatan perineum selanjutnya dilakukan sendiri oleh responden di rumah, dipantau oleh peneliti melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan quesioner. Selanjutnya pada saat persalinan, dinilai kejadian ruptur perineum melalui lembar observasi. Analisa data yang dilakukan dengan menggunakan teknik analitik yang disesuaikan dengan skala pengukuran dan jenis penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan klasifikasi skala pengukuran nominal, Uji statistik yang digunakan adalah Chi-Kuadrat satu sampel. Hasil dan Pembahasan A. Karakteristik sampel penelitian Karakteristik usia subjek penelitian di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember
Tabel 1. Karakteristik usia responden Usia
Jumlah
%
< 20 tahun
9
30%
21-35 tahun
21
70%
> 35 tahun
0
0%
Jumlah
30
100%
Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden berada pada usia 21-35 tahun, yang mana kelompok usia tersebut merupakan kelompok usia reproduktif sehat. Karakteristik pendidikan responden di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Tabel 2. Karakteristik pendidikan responden Pendidikan
Jumlah
%
SD
5
17%
SMP
6
20%
SMA
15
50%
S1
4
13%
Jumlah
30
100%
Diketahui bahwa sebagian besar responden berpendidikan menengah ke atas, sehingga lebih kooperatif untuk menjalankan prosedur yang telah ditentukan peneliti. Karakteristik responden berdasarkan berat lahir bayi di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Tabel 3. Karakteristik Berat bayi yang dilahirkan Berat badan
Jumlah
%
<3500
29
97%
>3500
1
3%
Jumlah
30
100%
lahir
81
Dari 30 responden, didapatkan 97% melahirkan dengan berat bayi < 3500 gr. Hal ini menyingkirkan faktor predisposisi bayi besar yang dapat menyebabkan ruptura perineum. Tabel 4. Karakteristik dukungan suami/keluarga responden di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Dukungan suami/keluarga
Jumlah
%
Ya
30
100%
Jumlah
30
100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui 100% responden mendapatkan dukungan dari suami/ keluarga. Secara psikologis, ibu bersalin yang didampingi oleh suami/ keluarga terdekat, memiliki kesiapan lebih baik menghadapi persalinannya. Tabel 5. Karakteristik cara meneran responden di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Cara meneran
Jumlah
%
Benar
30
100%
Jumlah
30
100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui 100% responden meneran dengan cara yang benar. Cara meneran yang baik sangat penting saat kelahiran bayi, karena akan membantu kelancaran persalinan. Hal ini didapatkan melalui edukasi dan bimbingan bidan selama ibu tersebut hamil. Cara menunjang perineum juga merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kejadian ruptur perineum. Penunjangan perineum secara benar dapat mengendalikan saat kepala bayi defleksi. Tabel berikut menunjukkan
cara bidan menunjang perineum responden saat bersalin. Tabel 6. Karakteristik cara menunjang perineum responden di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember Cara menunjang perineum
Jumlah
%
Benar
30
100%
Jumlah
30
100%
Berdasarkan tabel di atas, diketahui 100% responden mendapat cara menunjang perineum yang benar. B. Pemijatan Perineum Kepatuhan responden terhadap pelaksanaan pemijatan perineum di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 7. Pelaksanaan pemijatan perineum Pemijatan Perineum
Jumlah
%
Rutin
30
100%
Tidak Rutin
0
0%
Jumlah
30
100%
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan bahwa 100% responden melakukan pemijatan perineum secara rutin. Hal tersebut menunjukkan bahwa edukasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan mengenai pemijatan perineum cukup mampu memberikan kesadaran akan manfaat pemijatan perineum kepada ibu-ibu hamil, sehingga semua responden bersedia melakukan pemijatan perineum secara rutin dan mandiri di rumah. Hal ini mungkin juga ditunjang dengan tingkat pendidikan sebagaimana disebutkan sebelumnya sehingga responden lebih mudah menerima informasi baru yang diberikan. 82
Herdiana (2007) menyebutkan bahwa pemijatan perineum merupakan teknik memijat perineum di kala hamil atau beberapa minggu sebelum melahirkan guna meningkatkan aliran darah ke daerah ini dan meningkatkan elastisitas perineum. Pemijatan perineum memiliki beberapa keuntungan diantaranya (1) menstimulasi aliran darah ke perineum yang akan membantu mempercepat proses penyembuhan setelah melahirkan; (2) membantu ibu lebih santai di saat pemeriksaan vagina (Vaginal Touche); (3) membantu menyiapkan mental ibu terhadap tekanan dan regangan perineum di kala kepala bayi akan keluar; (4) menghindari kejadian episiotomi atau robeknya perineum di kala melahirkan dengan meningkatkan elastisitas perineum; (5) membantu otot-otot perineum dan vagina jadi elastis sehingga memperkecil risiko perobekan dan episiotomy; (6) melancarkan aliran darah di daerah perineum dan vagina, serta aliran hormon yang membantu melemaskan otot-otot dasar panggul sehingga proses persalinan jadi lebih mudah; (7) mempercepat pemulihan jaringan dan otot-otot di sekitar jalan lahir setelah bersalin; (8) membantu ibu mengontrol diri saat mengejan, karena ―jalan keluar‖ untuk bayi sudah disiapkan dengan baik; (9) meningkatkan kedekatan hubungan dengan pasangan, bila kita melibatkan suami untuk melakukan pemijatan perineum ini. Pemijatan perineum sebaiknya sudah mulai dilakukan sejak enam minggu sebelum hari-H persalinan, ibu bisa mulai memijat daerah perineum, area di antara vagina dan anus. Pemijatan yang dilakukan selama 6 minggu atau dilakukan pada primigravida dengan usia kehamilan >34 minggu sangat berpengaruh sekali terhadap kondisi perineum.
C. Ruptura Perineum Kejadian ruptur perineum pada responden penelitian di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember di tunjukkan pada tabel berikut: Tabel 8. Tingkat Kejadian ruptura perineum Ruptur perineum
Jumlah
%
Tidak ruptur
21
70%
Ruptur
9
30%
Jumlah
30
100%
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak mengalami ruptura perineum yaitu sejumlah 21 responden (70%) dan hanya 9 responden yang terjadi ruptur perineum (30%). Kejadian ini mungkin berkaitan dengan pijat perineum yang dilakukan secara rutin oleh seluruh responden. Teori menyebutkan bahwa dengan melakukan pemijatan perineum secara rutin setelah usia kehamilan 34 minggu, dapat membantu otot-otot perineum dan vagina menjadi elastis sehingga memperkecil risiko robekan dan episiotomi. Hal ini mungkin juga didukung oleh karena 100% responden meneran dengan benar dan mendapatkan cara menunjang perineum secara tepat saat persalinan. Disamping itu berat badan bayi yang dilahirkan juga mempengaruhi kejadian ruptur perineum, yang mana sebagian besar atau 97% dari responden melahirkan bayi dengan berat < 3500 gram. Hal ini sesuai dengan pendapat Prawirohardjo (2010) yang menyatakan bahwa berat badan bayi lahir, cara meneran dengan benar dan cara menunjang perineum dengan benar, akan mempengaruhi kejadian ruptur perineum pada saat persalinan. Pada penelitian ini, sebagian besar responden berada pada rentang usia reproduktif antara 20-35 tahun yaitu 83
sejumlah 21 responden. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan prevalensi kejadian ruptura perineum jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak ruptur. Hal ini menguatkan pendapat Prawiroharjo (2005) yang menyebutkan bahwa pada primigravida yang umurnya lebih dari 35 tahun (primitua) sering ditemui kondisi perineum yang kaku, yang mana kondisi perineum berkontribusi terhadap kejadian ruptura perineum, dimana perineum yang kaku menghambat persalinan Kala II yang meningkatkan resiko kematian bayi dan menyebabkan kerusakan – kerusakan jalan lahir yang luas. Dari hasil penelitian didapatkan 9 responden yang mengalami ruptur perineum (30%). Responden yang 100% adalah primigravida berkontribusi terhadap kejadian ruptura perineum walaupun nilainya tidak terlalu besar. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada primipara robekan perineum hampir selalu terjadi dan tidak jarang berulang pada persalinan berikutnya . D. Pengaruh Pemijatan Perineum terhadap Ruptura Perineum Distribusi frekuensi Pengaruh pemijatan perineum terhadap ruptur perineum pada primigravida di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember di perlihatkan pada tabel berikut: Tabel 9. Pengaruh pemijatan perineum terhadap ruptura perineum Ruptur perineum Tidak
fo 21
Ruptur
fh
fo - fh
( fo–fh)2
(fo-fh)2 fh
15
6,00
36,00
2,400
-6,00
36,00
2,400
0
72,00
4,800
Ruptur
9
15
Jumlah
30
30
Dari hasil pengujian dengan uji statistik chi square (x2) 1 sampel dan
berdasarkan dk = 1 dan kesalahan 5 % maka didapatkan harga chi kuadrat hitung = 4,800. Ternyata harga chi square hitung lebih besar dari chi square tabel ( 4,800 > 3,841 ). Karena x2 hitung > x2 tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada pengaruh pemijatan perineum terhadap ruptur perineum pada primigravida di BPS Ny. ―R‖ Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Hal ini membuktikan manfaat pemijatan perineum yang dapat membantu melunakkan jaringan perineum sehingga jaringan tersebut akan membuka tanpa resistensi saat persalinan, untuk mempermudah lewatnya bayi. Pemijatan perineum ini memungkinkan untuk melahirkan bayi dengan perineum tetap utuh. Pemijatan perineum adalah teknik memijat perineum di kala hamil atau beberapa minggu sebelum melahirkan guna meningkatkan aliran darah ke daerah ini dan meningkatkan elastisitas perineum. Peningkatan elastisitas perineum akan mencegah kejadian robekan perineum maupun episiotomi . Pemijatan perineum apabila dilakukan selama 6 minggu dan teratur 1 hari l x lama 5 — 10 menit, maka kejadian ruptur perineum dapat dihindari. Menurut Labrecque didukung riset serupa oleh dr. Richard Johanson, MRCOG, dokter kandungan dari North Staffordshire Maternity Hospital, Inggris. Ia mencatat, ibu-ibu yang rajin melakukan pemijatan perineum sejak 3 bulan sebelum hari-H persalinan, terbukti hampir tidak ada yang memerlukan tindakan episiotomi. Kalaupun terjadi perobekan perineum secara alami, maka luka pulih dengan cepat .
Penutup Penelitian ini dilakukan pada sampel yang terbatas yaitu 30 responden. 84
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya dengan sampel yang lebih besar sehingga lebih representatif untuk digeneralisasikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, efektifitas pemijatan perineum terhadap pencegahan ruptura perineum dapat diterapkan oleh bidan untuk pemberian sosialisasi/ penyuluhan baik bagi ibu hamil maupun kelompok seperti kelompok pengajian, PKK, BKB, Dasawisma, Kelas ibu hamil serta melakukan sosialisasi akan pentingnya pemijtan perineum selama 6 minggu dan teratur 1 hari 1 x dengan lama pemijatan 5 – 10 menit untuk mencegah terjadinya ruptur perineum. Daftar Pustaka Arifia, M. (2012). Pijat Perineum Untuk
Bebas Robekan Saat Persalinan. http://www.babyorchestra.wordpress .com: diakses tanggal 29 Januari 2012. Aziz,
Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. A.
(2007).
Jakarta: Salemba Medika. Cunningham, F. (2005). Obstetri Williams. Jakarta: EGC. (2008). Panduan Pelayanan Antenatal. Jakarta: Depkes RI.
Depkes.
Herdiana. (2007). Tips Pijat Perineum. http://www.klikdokter.com: diakses tanggal 29 Januari 2012. Herdiana. (2009). Tips Pijat Perineum. http://www.klikdokter.com: Diakses tanggal 25 Januari 2012. Jhonson, R. (2004). Buku Ajar Praktik Kebidanan, Edisi I. Jakarta: EGC. Mansjoer, A. (2002). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: EGC. Mochtar, R. (1998). Sinopsis obstetri Jilid 1. Jakarta: EGC. Mongan. (2007). Hypnobrithing. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Popular. M. (2003). Kehamilan Kelahiran. Jakarta: Arcan.
Nolan,
Notoatmodjo,
S.
(2005).
dan
Metodologi
penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Nursalam. (2008). Konsep & Penerapan
Metodologi Keperawatan.
Penelitian Jakarta:
Ilmu Salemba
Medika. H. (2003). Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Oxorn,
Jakarta: Yayasan Essential Medika.
Depkes. (2007). Perawatan Kehamilan. Jakarta: Depkes RI.
Prawirohardjo, S. (2005). Ilmu Kebidanan . Jakarta: PT. Bina Pustaka .
Depkes RI. (2004). Panduan Lengkap Pencegahan Infeksi. Jakarta: Diknakes bekerjasama dengan JHPIEGO/MNH, JNPK-KR.
Rayburn,
(1998). Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC.
Dorland.
Friedman, M. M. (2003). Keperawatan Keluarga Teori dan Praktek. Jakarta: EGC.
W. (2001). Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika.
Saifudin, A. (2007). Standar Pelayanan
Medik Obstetri dan Ginekologi, Bagian I. Jakarta: Gaya Baru. (2009). Statistik Parametrik. Jakarta: CV. Alfabeta. Sugiyono.
85
Non
STUDI EVALUASI RESPON ANAK RETARDASI MENTAL PADA PROSES KOMUNIKASI DALAM PROGRAM ADL (ACTIFITY OF DAILY LIVING) DI SDLB “C” TPA KECAMATAN SUMBERSARI KABUPATEN JEMBER
Lutfi Evanurari* *Dosen Akademi Kebidanan dr. Soebandi Jember
Abstract: The results of Indonesia Demographic and Health Surveys (IDHS) which is conducted by the Central Statistics Agency (BPS) and the National Family Planning Coordinating Board (BKKBN) MOH show that the populance whom suffered by mental disabilities (mental retardation) and brain defects in Indonesia are 1,324,410 people. 3 (20%) mental retardation students are suffered by disturbance communication. As a result the teacher of SDLB implementing a therapeutic by using ADL (Actifity of Daily Living) approach. This research was conducted to evaluate the children mentally retarded in communication process to ADL program (Actifity of Daily Living) in SDLB "C" TPA Sumbersari Jember Regency. This research design which is used by the researcher is evaluation study. In this population study of 15 children acquired mental retardation and large samples used 3 children with severe mental retardation using purposive sampling technique sampling. As a result of research show that respons of mental retardation children heavy on process communication and all respons that to fill criteria, 3 children of mental retardation are sufficient. There for this case harmonize withteory had been before. Children of mental retardation have some limit main function experience. This abnormality show with lowaverage intelectual function together with difficult to make relationship, to adapted in his environment and to communicate with others. This research is expected to provide input and information as well as in the improvement of education policy for children with mental retardation and impart knowledge to the community, especially for the parents in educating and training support representative and provide the children with mental retardation. Keywords : Communication process, verbal and non verbal respons, ADL (actifity of daily living) program.
PENDAHULUAN Retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata (Luckasson,1992, dalam Durand 2007). Menurut American Association On Mental Retardation (Aamr) 1992 retardasi mental yaitu : kelemahan atau ketidakmampuan kognitif muncul pada masa kanak-kanak (sebelum 18 tahun) ditandai dengan fase kecerdasan dibawah normal (IQ 70-75 atau kurang) dan disertai keterbatasan lain pada sedikitnya dua area berikut : berbicara dan berbahasa; keterampilan merawat diri; keterampilan sosial;
penggunaan sarana masyarakat; kesehatan dan keamanan; akademik fungsional; bekerja dan rileks dan lain-lain. Menurut kriteria DSM-IV-TR untuk gejala anak retardasi mental terbagi dalam tiga kelompok yaitu : Kriteria pertama, seseorang harus memiliki intelektual yang secara signifikan berada di tingkatan sub average (dibawah rata-rata), yang ditetapkan berdasarkan satu tes IQ atau lebih. Dengan cutoff score yang oleh DSM-IV-TR ditetapkan sebesar 70 atau kurang. Kriteria Kedua, adanya defisit dalam fungsi adaptif yang muncul beragam setidaknya dua bidang yakni komunikasi, merawat diri sendiri, mengurus rumah, keterampilan sosial,
86
interpersonal, pemanfaatan sumber daya di masyarakat, keterampilan akademis, pekerjaan, kesehatan, dan keselamatan. Kriteria Ketiga, anak dengan retardasi mental ciri intelektual dan kemampuan adaptif itu harus muncul sebelum mencapai 18 tahun. Hasil Sensus Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang dilakukan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Depkes RI diketahui jumlah penyandang cacat mental (retardasi mental) dan cacat otak di Indonesia sebanyak 1.324.410 jiwa, dengan jumlah penyandang retardasi mental dan cacat otak di Provinsi Jawa Timur sebanyak 74.880 jiwa (KAPCI, 2005). Berdasarkan data dokumentasi di SDLB “C” TPA tahun ajaran 20122013 jumlah guru pengajar di SDLB sebanyak 5 orang dan siswa SDLB “C” penyandang cacat mental keseluruhan sebanyak 15 siswa dengan standar rasio pengajar 1: 3 di setiap kelasnya. Dari hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan pada bulan Mei 2013, sebanyak 3 (20%) siswa retardasi mental dengan tingkat berat mengalami gangguan komunikasi, sehingga tenaga pendidik di SDLB melaksanakan terapi berupa program khusus bina diri/ADL (Actifity of Daily Living) yang terdiri dari beberapa aspek pengembangan yang salah satunya adalah berkomunikasi, 3 anak retardasi mental berat yang telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan ADL (Actifity of Daily Living) dalam aspek pengembangan berkomunikasi selama 1 semester masih belum bisa dikatakan mampu untuk berkomunikasi dengan baik, seharusnya mereka sudah bisa berkomunikasi dengan baik. Pendekatan ADL merupakan terapi yang dilakukan untuk memandirikan anak tunagrahita, mereka harus diberikan pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL) agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak tergantung kepada orang lain. Kemampuan Bina Diri terbagi menjadi tujuh macam, yaitu :
kebutuhan merawat diri, kebutuhan mengurus diri, kebutuhan menolong diri, kebutuhan komunikasi, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan keterampilan hidup, kebutuhan mengisi waktu luang dimana satu sama lainnya berhubungan dan ada keterkaitan. Tujuan umum penelitian ini yaitu untuk Mengevaluasi respon anak retardasi mental pada proses komunikasi dalam program ADL (Actifity of Daily Living) di SDLB “C” TPA Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan penelitian evaluasi yaitu suatu penelitian yang dilakukan untuk melakukan penilaian terhadap suatu pelaksanaan kegiatan atau program yang sedang dilakukan dalam rangka mencari umpan balik yang akan dijadikan dasar untuk memperbaiki suatu program atau sistem. Subyek penelitian adalah anak retardasi mental berat di SDLB “C” TPA Kecamatan Sumbersari Tahun Ajaran 2012-2013 yang berjumlah 3 anak. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposive sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan lembar observasi yang berjumlah 10 item pengamatan, yaitu 5 item pengamatan proses komunikasi secara verbal dan 5 item pengamatan komunikasi secara non verbal. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan analisa univariate yaitu suatu data yang hanya menghasilkan distribusi dan prosentase dari tiap variabel yang diteliti. HASIL Karakteristik responden berusia > 10 tahun sebanyak 100 %. Jenis kelamin laki-laki 66,7 % dan perempuan 33,3 %. Selengkapnya lihat tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Distribusi frekuensi respon
87
komunikasi verbal anak retardasi mental pada program ADL di SDLB C TPA Sumbersari Jember Respon Komunikasi Sangat Baik Baik Cukup Total
Jumlah 3 3
Presentase (%) 100 % 100 %
Tabel 2. Distribusi frekuensi respon komunikasi non verbal anak retardasi mental pada program ADL di SDLB C TPA Sumbersari Jember Respon Komunikasi Sangat Baik Baik Cukup Total
Jumlah 3 3
Presentase (%) 100 % 100 %
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan anak retardasi mental berat dengan usia > 10th - < 18th sejumlah 100 %. Hal ini menunjukkan bahwa retardasi mental merupakan disabilitas kognitif yang muncul pada masa kanakkanak (sebelum usia 18th) atau bisa dikatakan retardasi mental bermanifestasi sebelum usia 18th. Dapat dijelaskan juga bahwa hasil penelitian didapatkan jumlah anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan yaitu jumlah anak lakilaki sebanyak 66,7%, sedangkan anak perempuan sebanyak 33,3%. Hal ini menunjukkan bahwa retradasi mental 1,5 kali lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan rasio laki-laki perempuan adalah 1,6 : 1,3 (Betz. C. Lynn. 2009). Dapat dijelaskan juga bahwa hasil penelitian didapatkan anak retardasi mental ringan sebanyak 46,7%, retardasi mental sedang 33,3 %, dan retardasi mental berat sebanyak 20%. Hal ini menunjukkan bahwa dari hasil perhitungan statistik dunia menyatakan sekitar 3 % anak dari populasi mengalami retardasi mental (7,5 juta orang) dengan definisi hanya menggunakan standar IQ. Yang
lebih mencengangkan lagi adalah fakta bahwa kira-kira setiap lima atau enam menit, seorang anak terlahir dengan retardasi mental (9.000 per bulan). Diantaranya 90% tergolong ringan, 6 % sedang dan 5 % tergolong retardasi mental berat. Dari hasil penelitian dalam proses komunikasi anak retardasi mental pada program ADL yang dilakukan oleh guru saat pembelajaran ADL pada anak retardasi mental berat sebanyak 3 (100%) didapati daya kemampuan mereka dalam merespon isi pesan cukup. Sunarjo dan Djoenaisih Sunarjo dalam “Sari Ilmu Komunikasi” memberikan gambaran definisi komunikasi bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan dapat berhasil apabila sekiranya timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak, si pengirim dan si penerima informasi dapat memahaminya. Hal ini tidak berarti bahwa kedua belah pihak harus menyetujui sesuatu gagasan tersebut, tetapi yang penting adalah kedua belah pihak samasama memahami gagasan tersebut. Dalam keadaan seperti inilah baru dapat dikatakan komunikasi telah berhasil baik (komunikatif). Dalam suatu model proses komunikasi yaitu model Shannon dan Weaver mengemukakan bahwa terdapat lima elemen dalam berkomunikasi, seperti information Source adalah yang memproduksi pesan, transmitter yang menyandikan pesan dalam bentuk sinyal, channel adalah saluran pesan, receiver adalah pihak yang menguraikan atau mengkonstruksikan pesan dari sinyal dan destination adalah dimana pesan sampai. Suatu konsep penting dalam model ini adalah gangguan (noise), yakni setiap rangsangan tambahan dan tidak dikehendaki yang dapat mengganggu kecermatan pesan yang disampaikan. Konsep-konsep lain yang merupakan andil Shannon dan Weaber adalah entropi dan redudansi. Model ini diterapkan pada konteks-konteks komunikasi lainnya seperti komunikasi antarpribadi, komunikasi publik atau komunikasi massa. Anak retardasi mental mengalami
88
keterbatasan beberapa fungsi utama. Kelainan ini ditandai dengan fungsi intelektual yang sangat di bawah rata-rata dan secara bersamaan disertai dengan (ditambah penekanan pada) keterbatasan yang berhubungan dengan dua atau lebih area penerapan kemampuan adaptasi yang salah satunya adalah komunikasi. Dimana sudah terdapat gangguan (noise) dalam diri anak retardasi mental, sehingga perlu adanya teknik untuk berkomunikasi dengan mereka, teknik yang dilakukan sangat sederhana namun sukar untuk dilakukan. Jangan menganggap anak sebagai orang yang rendah, mereka sama seperti kita, namun mereka memiliki kekurangan yang tidak dapat berkomunikasi layaknya orang normal. Jadi, agar pesan pada saat proses pembelajaran dapat tersampaikan dengan baik dan dapat di respon dengan baik oleh anak retardasi mental, diperlukan seorang guru SLB yang profesional serta lebih telaten dan sabar dalam membimbing dan melatih anak retardasi mental agar dapat tercipta dukungan yang representatif dalam program Actifity of Daily living. KESIMPULAN Hasil penelitian studi evaluasi proses komunikasi anak retardasi mental pada program actifity of daily living Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, diperoleh respon anak retardasi mental berat pada proses komunikasi didapati semua responden yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 3 anak adalah cukup. Dimana hal ini sesuai dengan teori yang telah ada bahwa anak retardasi mental mengalami keterbatasan beberapa fungsi utama. Kelainan ini ditandai dengan fungsi intelektual yang sangat di bawah rata-rata dan secara bersamaan disertai dengan (ditambah penekanan pada) keterbatasan yang berhubungan dengan dua atau lebih area penerapan kemampuan adaptasi yang salah satunya adalah komunikasi.
sampaikan yaitu : Pertama, diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan yang dapat menambah wawasan bagi penelitian selanjutnya. Kedua, dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya para orang tua dalam mendidik dan melatih serta memberikan dukungan yang representatif pada anak retardasi mental. Ketiga, dapat memberikan masukan dan informasi serta kebijakan dalam peningkatan pendidikan kepada anak retardasi mental. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2009). Dasar - Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Arwani. (2003). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jakarta: EGC Betz. C. Lynn.(2009). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC Dalami, dkk.(2009). Komunikasi dan Konseling dalam Praktek Kebidanan. Jakarta: TIM (Trans Info Media) Hidayat, Aziz Alimul.(2007). Metode
Penelitian Kebidanan Teknik Analisis Data. Jakarta: Rineka Cipta Hidayat, Aziz Alimul.(2009). Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika Maramis .W.F. 2009. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga University. Notoatmodjo, Soekidjo.(2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Nursalam.(2009). Konsep dan Penerapan
Metodologi Keperawatan.
Penelitian Jakarta:
Ilmu Salemba
Medika Schwartz. M. William.(2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC Sibagariang. Ellya. E. (2010). Metode
Penelitian Untuk Mahasiswa Diploma Kesehatan. Jakarta: TIM (Trans Info Media) Yulifah, dkk.(2009).
Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
SARAN Beberapa saran yang dapat peneliti
89
STUDI KOMPARASI SUHU BAYI BARU LAHIR SEBELUM DAN SESUDAH INISIASI MENYUSU DINI DI KABUPATEN JEMBER 2012 Rizki Fitrianingtyas Abstract: World Health Organization (WHO) reported that more or less 4,608,000 newborns
were delivered alive annually in Indonesia. Out of this number, about 100,454 died before they reached the age of 28 days. According to many researches, the risk of neonatal mortality can be reduced significantly by applying early initiation of breastfeeding to the newborns. During this contact the body temperature of the newborns will automatically adjust to the mothers’ body temperature. The objective of this research was to find out the body temperatures of the newborns prior and post to early initiations of breastfeeding which were practiced by the mothers in Jember district 2012. This research was comparative study which used cross sectional approach. The population of the study was 34 newborns. Out of this number, 31 were taken as samples based on cluster random sampling technique. The collected data were then analyzed using Paired sample T test and Z test. The results showed that the average body temperature of the newborns prior to early initiations of breastfeeding was 36.89 o C, whereas the average body temperature of the newborns post to early initiations was 37.09 o C. The computation using Z – test resulted a value of 3.659, which was higher than 2.042 (the value stipulated in Z table) so that the Ho was rejected. This meant that there was a significant difference between the body temperature of the newborns before and after obtaining early initiations of breastfeeding in Jember district. The above results indicated that the temperature of the newborns adapted to the body temperature of the mothers and even helped to stabilize the body temperature of the newborns during the early initiation of breastfeeding, hence, practices of early initiations to the newborns by mothers are highly encouraged. Keywords: Early Initiation of Breastfeeding, the Body Temperature of Newborns PENDAHULUAN Di Indonesia setiap satu jam delapan bayi berumur kurang dari seminggu meninggal. Angka kematian bayi sangat memprihatinkan, yang dikenal dengan fenomena 2/3. Fenomena itu terdiri dari, 2/3 kematian bayi (berusia 0-1 tahun) terjadi pada umur kurang dari satu bulan (neonatal), 2/3 kematian terjadi pada umur kurang dari seminggu (neonatal dini) dan 2 /3 kematian pada masa neonatal dini terjadi pada hari pertama. Menurut laporan WHO di Indonesia, setiap tahun ada 4.608.000 bayi lahir hidup. Dari jumlah itu sebanyak 100.454 meninggal sebelum berusia 28 hari. Berarti 275 neonatal meninggal setiap hari/sekitar
184 neonatal dini meninggal setiap hari atau setiap satu jam ada delapan bayi neonatal dini meninggal. Tingginya AKB berusia kurang dari setahun di Indonesia secara langsung disebabkan oleh faktor medis, diantaranya infeksi dan hipotermi (Anton, Setiap Jam Delapan Bayi Meninggal,2007). Seharusnya bayi-bayi baru lahir langsung diletakkan di dada ibunya minimal 30 menit, pada usia 20 menit dia akan merangkak sendiri ke payudara ibunya. Pada usia 50 menit dengan susah payah dia akan menemukan puting susu ibunya. Dengan begitu akan terjadi contact skin to skin, maka 22% nyawa bayi di bawah 28 hari dapat diselamatkan.
90
Inisiasi sebenarnya telah dilaksanakan di Indonesia. Namun, ternyata belum benar. Bayi baru lahir biasanya sudah dibungkus sebelum diletakkan di dada ibunya, akhirnya tak terjadi skin to skin contact. Kasalahan kedua, bukan menyusu, melainkan disusui. Selain memberikan inisiasi dini, ibu yang baru melahirkan juga perlu memberikan ASI ekslusif hingga bayi berumur enam bulan. Pemberian ASI eksklusif ini mampu menekan kematian bayi hingga 13% (Bambang, Meraih Manfaat inisiasi ASI, 2007). Dari hasil mengamatan sementara dari 10 bayi yang dilakukan inisiasi menyusu dini, terdapat perbedaan suhu sebelum dan sesudah dilakukan inisiasi. Berdasarkan teori Kecepatan Metabolisme dan Suhu tubuh menunjukkan pada bayi yang normal sekalipun sering turun beberapa derajat selama beberapa jam beberapa jam pertama setelah lahir, tetapi kembali normal dalam 7 sampai 10 jam. Walaupun demikian, mekanisme pengaturan suhu tubuh masih kurang selama hari pertama kehidupan (Guyton,1997: 1331). Berdasarkan Uraian di atas maka timbul suatu masalah yang sangat penting untuk diangkat yaitu adakah perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember. METODE PENELITIAN Desain Penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah studi komparasi analitik yaitu penelitian dengan menggunakan metode studi perbandingan yang dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan sebagai fenomena untuk mencari faktor– faktor apa atau situasi bagaimana yang menyebabkan timbulnya suatu peristiwa tertentu (Notoatmodjo, 2005 : 142). Dalam penelitian ini dimulai dengan mengadakan pengumpulan fakta tentang perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini.
Pada penelitian ini menggunakan metode pendekatan Cross Sectional. Langkah-langkah penelitian Cross Sectional yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi variabel– variabel penelitian yang merupakan faktor resiko yaitu suhu sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini. Populasi dalam penelitian ini adalah bayi baru lahir yang dilakukan inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember yang lahir pada bulan 2012 Sampel yang diambil adalah 31 bayi yang berhasil melakukan inisiasi menyusu dini pada bulan 2012 di beberapa Puskesmas dan BPS di Kabupaten Jember dengan klasifikasi random. Penelitian ini menggunakan pedoman menentukan jumlah sampel dengan pendapat SLOVIN. Rumus : Besar populasi 34 bayi, kemudian dimasukkan dalam rumus SLOVIN. =
34 1+34(0.05)2
= 31, 336 Obyek yang diteliti atau sumber data sangat luas dan besar, oleh karena itu teknik Sampling yang kita gunakan adalah
Cluster random Sampling. Cluster dilakukan
dengan cara randomisasi dalam dua tahap yaitu randomisasi untuk cluster/menentukan sampel daerah kemudian randomisasi/menentukan orang/unit yang ada di wilayahnya/dari populasi cluster yang dipilih. Variabel pada penelitian ini adalah Suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi dini yang merupakan 2 sampel berpasangan. Analisis yang digunakan untuk menguji perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini dengan hipotesis sebagai berikut: Ho: Tidak ada perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini. 91
Ha: Ada perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini. Oleh karena skala masing-masing variabel berbentuk interval maka uji komparasi yang mungkin digunakan adalah t-test dengan rumus sebagai berikut: Rumus yang digunakan :
t
x1 s12 n1
s 22 n2
2r
x2 s1 n1
z tabel maka Ho ditolak dengan nilai z adalah mutlak (3.659 > 2.042). Jika z hitung > z tabel dengan taraf signifikansi 0.05 maka dengan demikian Ho di tolak. Artinya ada perbedaan suhu sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember April- Mei 2008. PEMBAHASAN
s2 n2
Jika z hitung > z tabel maka Ho ditolak yang berarti ada perbedaan suhu bayi baru sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini Jika z hitung < z tabel maka Ho diterima berarti tidak ada perbedaan suhu bayi baru sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini. (Sugiono,2006:133) HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang dilaksanakan pada bayi baru lahir yang berhasil melakukan inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember 2012, tentang perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini dengan jumlah sampel 31 bayi yang memenuhi kriteria inklusi, data yang diperoleh adalah data umum dan data khusus. Rata-rata sampel Suhu Bayi Baru lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten Jember 2012adalah 36.89 0C. Rata-rata sampel Suhu Bayi Baru lahir sesudah dilakukan Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten Jember 2012adalah 37.090C. Berdasarkan taraf signifikansi 0.05 dan karena uji t bersifat dua sisi, maka nilai signifikansi yang dirujuk adalah 0.025. Maka harga z tabel. Berdasarkan hasil perhitungan diatas ternyata z hitung >
Dari hasil penelitian, rata-rata Suhu Bayi Baru Lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten Jember 2012adalah 36.890 C, sedangkan Modus adalah 36.30C. Bayi Baru Lahir mempunyai suhu sekitar 37 0C. Segera setelah lahir bayi langsung terpapar oleh suhu lingkungan pada saat penolong melakukan penyuntikan oksitosin pada ibu, menjepit tali pusat, mengikat tali pusat dan pemotongan tali pusat atau bila terjadi penatalaksanaan Bayi Baru Lahir yang salah. Mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir antara lain dengan cara Konveksi, Radiasi, Evaporasi, Konduksi. Konveksi melalui aliran udara panas dari permukaan tubuh ke udara yang lebih dingin sehingga diperlukan pertahanan suhu udara diruang rawat sekitar 24 derajat C. Mekanisme kehilangan panas pada bayi baru lahir dapat terjadi melalui mekanisme berikut. Evaporasi adalah cara kehilangan panas yang utama pada tubuh bayi. Kehilangan panas terjadi karena menguapnya cairan ketuban pada permukaan tubuh bayi setelah lahir karena bayi tidak cepat dikeringkan. Konduksi adalah kehilangan panas melalui kontak langsung antara tubuh bayi dengan tempat tidur, timbangan dsb. Konveksi adalah kehilangan panas yang terjadi saat bayi terpapar dengan udara sekitar yang lebih dingin. Bayi yang dilahirkan atau ditempatkan dalam ruang
92
yang dingin akan cepat mengalami kehilangan panas. Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi saat bayi ditempatkan dekat dengan benda yang mempunyai temperatur lebih rendah dari temperatur tubuh bayi. Hal ini dikarenakan Insulasi (pertahanan tubuh terhadap temperatur) suhu pada bayi baru lahir kurang, jika di bandingkan insulasi pada orang dewasa. Pembuluh darah lebih dekat di permukaan kulit. Perubahan temperatur lingkungan akan mengubah darah, sehingga mempengaruhi pusat pengaturan suhu di hipotalamus.
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang, walaupun sudah aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, mudah kehilangan panas tubuh (perbandingan luas permukaan dan berat badan lebih besar, tipisnya lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air), sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan (bersifat poikilotermik). Produksi panas mengandalkan pada proses non-shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal (Morgan HAH,1993). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan yang rendah, permukaan tubuh terbuka. Posisi fleksi bayi baru lahir diduga berfungsi sebagai sistem pengamanan untuk mencegah pelepasan panas karena sikap ini mengurangi pemajanan permukaan tubuh pada suhu lingkungan. Kontrol vasomotor bayi baru lahir belum berkembang dengan baik untuk mengonstriksi pembuluh darah subkutan
dan kulit. Bayi baru lahir memproduksi panas terutama melalui upaya termogenesis tanpa menggigil. Bayi normal mungkin mencoba untuk meningkatkan suhu tubuh dengan menangis atau meningkatkan aktifitas motorik dalam berespon terhadap ketidaknyamanan karena suhu lingkungan lebih rendah. Menangis meningkatkan beban kerja, dan penyerapan energi (kalori) mungkin berlebihan, terutama pada bayi yang mengalami gangguan. Temperature lingkungan yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 27C. Ada sumber lain yang mengatakan 24 C. Stres dingin (cold stress) menimbulkan masalah fisiologis dan metabolisme pada semua bayi baru lahir, tanpa memandang usia kehamilan dan kondisi lain. Kecepatan pernafasan meningkat sebagai respon terhadap kebutuhan oksigen ketika konsumsi oksigen meningkat secara bermakna pada stres dingin. Konsumsi oksigen dan energi pada bayi baru lahir yang mengalami stres dingin dialihkan dari fungsi untuk mempertahankan pertumbuhan, fungsi sel otak, dan fungsi jantung normal menjadi fungsi termogenesis agar bayi dapat tetap hidup. Dari hasil penelitian, rata-rata Suhu Bayi Baru Lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten Jember 2012 adalah 37.09 C, sedangkan Modus adalah 37.1 C. Pada inisiasi menyusu dini terjadi contact skin to skin antara ibu dan bayi. Bayi berada dalam suhu yang aman jika melakukan kontak kulit dengan ibu. Suhu payudara ibu meningkat 0.5 derajat dalam dua menit jika bayi diletakkan didada ibu. Berdasarkan hasil penelitian Dr. Niels Bergman (2005), ditemukan bahwa suhu dada ibu yang melahirkan menjadi 1oC lebih panas dari pada suhu dada ibu
93
yang tidak melahirkan. Jika bayi yang diletakkan di dada ibu ini kepanasan, suhu dada ibu akan turun 1oC. Jika bayi kedinginan, suhu dada ibu akan meningkat 2oC untuk menghangatkan bayi. Jadi, dada ibu yang melahirkan merupakan tempat terbaik bagi bayi yang baru lahir dibandingkan tempat tidur yang ”canggih” dan mahal. Hal ini dikarenakan ibu yang baru melahirkan telah bekerja keras dan mengalami metabolisme. Produksi panas adalah merupakan tambahan metabolisme yang utama. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju metabolisme tubuh adalah metabolisme tambahan yang disebabkan oleh meningkatnya aktivitas kimiawi dalam sel itu sendiri, terutama bila temperatur sel meningkat. Jika bayi yang diletakkan di dada ibu suhunya terlalu panas, suhu dada ibu akan turun 1oC. Jika bayi terlalu dingin, suhu dada ibu akan meningkat 2 oC untuk menghangatkan bayi. Hal ini disebabkan laju hilangnya panas ditentukan hampir seluruhnya oleh dua faktor (1) seberapa cepat panas dapat dikonduksikan dari tempat panas dihasilkan dari tubuh ke kulit dan (2) seberapa cepat kemudian panas dapat dihantarkan dari kulit ke sekitarnya. Aliran darah ke kulit dari tubuh menyediakan pemindahan panas. Pembuluh darah menembus jaringan penyekat subkutan dan dengan segera menyebar sebanyak-banyaknya dibawah kulit. Yang penting terutama adalah pleksus venosus yang disuplai oleh aliran darah dari kapiler kulit. Kecepatan aliran darah ke dalam pleksus venosa dapat sangat berbeda dari sedikit diatas nol sampai setinggi 30 persen dari total curah jantung. Kecepatan aliran darah yang tinggi menyebabkan konduksi panas yang disalurkan dari tubuh ke kulit sangat efisien, sedangkan reduksi kecepatan aliran darah menurunkan efisiensi konduksi panas dari inti tubuh. Oleh karena itu, kulit
merupakan sistem pengatur ”radiator panas” yang efektif, dan aliran darah ke kulit adalah mekanisme penyebaran panas yang paling efektif dari dalam tubuh ke kulit. Konduksi panas ke kulit oleh aliran darah oleh tingkat vasokontriksi arteriol dan anastomosis arteriovenosa yang menyuplai darah ke pleksus venosa kulit. Selanjutnya vasokontriksi ini hampir seluruhnya dikontrol oleh sistem saraf simpatis dalam memberikan respon terhadap perubahan suhu inti tubuh dan perubahan suhu lingkungan. Sewaktu pusat temperatur hipotalamus mendeteksi bahwa temperatur tubuh terlalu panas atau terlalu dingin, pusat akan memberikan prosedur penurunan atau peningkatan temperatur yang sesuai. Lemak coklat (brown fat) mempunyai jumlah mitokondria yang lebih banyak dari lemak biasa, sehingga kecepatan metabolisme pun semakin cepat. Beberapa reaksi kimia yang memerlukan energi ATP hanya menggunakan beberapa ratus kalori dari 8000 kalori yang tersedia dan sisa energi ini kemudian hilang dalam bentuk panas. Sebagian besar energi untuk aktifitas otot dengan mudah melawan viskositas otot itu sendiri atau jaringan sekelilingnya sehingga anggota badan dapat bergerak. Pergerakan liat ini selanjutnya menyebabkan gesekan dalam jaringan yang menyebabkan panas Panas sebagai sebutan umum dari semua Energi yang dikeluarkan Tubuh. Telah diketahui bahwa tidak semua energi dalam makanan ditransfer menjadi ATP, sebagai gantinya, sebagian besar energi menjadi panas. Rata-rata, sekitar 55 persen energi dalam makanan menjadi panas selama pembentukan ATP. Oleh sebab Inisiasi bayi baru lahir dapat menyebabkan kestabilan suhu. Rata-rata Suhu Bayi Baru Lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten Jember 2012 adalah 36.890 94
C, sedangkan rata-rata Suhu Bayi Baru Lahir sebelum dilakukan Inisiasi Menyusu Dini di Kabupaten Jember 2012adalah 37.090 C. Uji statistik yang digunakan adalah menggunakan uji z dan diperoleh signifikansi 0.05. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa suhu bayi baru lahir sebelum dan sesudah inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember memang berbeda dan hampir bisa dipercaya sekitar 95 %. Menurunnya suhu saat bayi baru lahir dikarenakan oleh paparan lingkungan yang lebih dingin terhadap tubuh bayi. Selain itu juga dikarenakan Insulasi pada bayi buru lahir masih belum sempurna seperti di jelaskan di atas. Inisiasi Menyusu Dini terjadi contact skin to skin antara ibu dan bayi dan adanya metabolisme lemak coklat sehingga akan terjadi kestabilan suhu bayi baru lahir tersebut. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kabupaten Jember dapat disimpulkan bahwa Suhu Bayi Baru Lahir sebelum dilakukan inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember 2012 36.89 0C. Hal ini karena paparan suhu lingkungan terhadap tubuh bayi dan insulasi tubuh bayi yang kurang. Suhu Bayi Baru Lahir sesudah dilakukan inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember 2012 37.09 OC. Hal ini dikarenakan adanya kecepatan metabolisme dan adanya contact skin to skin. Pada Penelitian ini didapatkan ada perbedaan suhu bayi baru lahir sebelum inisiasi menyusu dini dan sesudah inisiasi menyusu dini di Kabupaten Jember 2012.
khususnya pada ibu dan calon ibu tentang inisiasi menyusu dini dan manfaatnya. Bagi Profesi Kebidanan Penelitian ini dapat dijadikan referensi tentang pelaksanaan, manfaat inisiasi menyusu dini sehingga dengan menyadari pentingnya inisiasi menyusu dini profesi kebidanan mampu dan dengan kesadaran melakukan inisiasi menyusu dini. Bagi Institusi Sebagai tambahan referensi tentang inisiasi menyusu dini. DAFTAR PUSTAKA Anton (2007), Merawat bayi dengan metode kanguru, http://.sehatgroup.web.id Bobak (2004), Buku Ajar Keperawatan Maternitas, Jakarta, EGC Ganong, William F (1999), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta, EGC Guyton, & Hall (1997), Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran, Jakarta,EGC Hidayat, A Aziz Alim (2007), Metode
Penelitian Kebidanan dan Tekhnik Analisis Data, Jakarta, Salemba Medika JNPK-Kr (2007), Metode Penelitian
Kebidanan dan Tekhnik Analisis Data, Jakarta, Rineka Cipta Luluelysoraya,(2008),AgarASIlancardiawa lmenyusui, http://myhealthblogging.com
Saran
Media Sehat (2007), Inisiasi Menyusu Dini, Inisiasi Menyusu Dini, http://mediaindonesia.com
Bagi peneliti Selajutnya Sebagai referensi bahwa Inisiasi menyusu dini dapat menstabilkan suhu bayi baru lahir pada jam-jam pertama kehidupanya.
Notoatmojo (2000), Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta. Nursalam (2003), Konsep dan Penerapan
Bagi IPTEK Penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi bagi masyarakat
Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika
95
Roesli, Utami (2008), Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Ekslusif, Jakarta, Pustaka Bunda Roesli Utami (2002), Inisiasi Menyusu Dini, http:www.google.com Sugiyono (2004), Statistik untuk penelitian, Bandung, Alfa Beta
96
HUBUNGAN ANTARA PENDIDIKAN SEKSUAL ORANG TUA PADA REMAJA DENGAN PERILAKU SEKSUAL REMAJA PRANIKAH DI SMA “K” DAN SMK “K” JEMBER Asri Iman Sari* Abstract: Adolescence is a behavior that always want to try to bring teenage sexual behavior. Premarital sexual behavior in adolescents due to the lack of openness in the family about the importance of early sexual education. The purpose of this study to determine whether there is a relationship between parental sexual education in adolescents with adolescent premarital sexual behavior. Analytic study design cross sectional correlation method, 237 students in the high school population "K" and SMK "K" Jember, 172 students using a sample taken Slovin formula with lottery techniques, conducted with questionnaires, test hypotheses using the contingency coefficient test. The results showed 54,07% of parents not provide sexual education in adolescents 51,16% of adolescent sexual behavior are and 7,56% severe sexual behavior. Prices obtained statistical test count 12,864 > tables 7,815 and 0,26 then the conclusion outcome KK, Ho is rejected it means there is a low or weak relationship but definitely between parental sexual education in adolescents with adolescent premarital sexual behavior in high school "K "vocational and" K "Jember because there are other factors such as the mass media and the association that also have an impact on sexual. Parents are more open to teenagers invite discussion and provide sexual information and make the environment conducive to youth can freely express opinions about sex and not fall into adolescent premarital sexual behavior.
Keywords: Sexual Education, Sexual Behaviour, Adolescents *= Program Studi DIV Kebidanan Jember, Jurusan Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Malang
PENDAHULUAN Memasuki usia remaja, dorongan seksual seorang anak akan meningkat. Remaja mulai peduli dengan daya tarik seksual dan mulai merasakan campuran cinta dan nafsu birahi. Akibatnya, remaja mulai sensitif dengan hal-hal yang berkaitan dengan seksualitas sehingga dengan sedikit stimulus seksual (misalnya melihat hal-hal romantis atau mendengar cerita berbau seksual) remaja sudah terangsang. Kondisi seperti ini yang membuka peluang bagi remaja untuk berperilaku seperti orang dewasa (misalnya berciuman, berpelukan hingga melakukan hubungan seksual). Bentuk perilaku seksual, mulai dari bergandengan tangan (memegang lengan pasangan), berpelukan (seperti merengkuh bahu, merengkuh pinggang), bercumbu (seperti cium pipi, cium kening, cium bibir), meraba bagian tubuh yang sensitif, sampai dengan memasukkan alat kelamin dalam vagina. Perilaku seksual pada remaja yang menjadi sorotan adalah perilaku seksual pranikah karena dianggap tidak bersesuaian dengan kaidah moral dan nilai sosial masyarakat (D. Haesty, 2010). Dan pada umumnya masa remaja merupakan perilaku yang selalu ingin mencoba-coba hingga membawa remaja masuk pada hubungan seks pranikah (Aini, 2010). Perilaku seksual pada remaja disebabkan tidak adanya keterbukaan dalam keluarga tentang penting pendidikan seks (sex education) sejak dini. Sulitnya orang tua terbuka dalam memberikan
pendidikan seks ini disebabkan persepsi keluarga yang masih menganggap tabu membicarakan masalah seks terhadap remaja. Pemahaman yang salah mengenai pendidikan seks sehingga muncul larangan membicarakan seksualitas di depan umum karena dianggap vulgar (A. Syahredi, 2009). Dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, jumlah remaja mencapai 63,4 juta atau sekitar 26,7% dari total penduduk. Data BKKBN tentang Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada tahun 2002-2003, dilaporkan bahwa remaja yang mengaku pernah berhubungan seksual sebelum menikah pada usia 14-19 tahun mencapai 34,7% untuk remaja putri dan 30,9% remaja putra (Aini, 2010). Dari studi pendahuluan yang dilakukan di SMA “K” Jember dan SMA “K” Jember didapatkan hasil bahwa pada siswa kelas XI SMA “K” Jember 81,8% pernah melakukan perilaku seksual pranikah dan pada siswa kelas XI SMK “K” Jember 93,5% pernah melakukan perilaku seksual pranikah dengan teman lawan jenisnya. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan perilaku seksual remaja pranikah.
97
METODE Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Pada penelitian ini populasinya adalah 237 remaja siswa kelas XI yang bersekolah di SMA “K” Jember sejumlah 46 remaja dan di SMK “K” Jember yaitu sejumlah 191 remaja. Dan sampel penelitian diambil dari remaja yang bersekolah di SMA “K” dan SMK “K” Jember kelas XI sejumlah 172 remaja. Pada penelitian ini menggunakan teknik proportionate stratified random sampling karena populasi mempunyai anggota atau unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional dan berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu obyek atau fenomena (Nursalam, 2003). a. Pendidikan seksual adalah hasil nilai jawaban 10 kuesioner tentang pendidikan seksual yang diberikan orang tua pada remaja, alat ukur yang digunakan berupa kesioner dengan skala ordinal, dengan kategori: 1) Baik, bila nilai benar 6-10 2) Kurang, bila nilai benar 0-5 b. Perilaku adalah hasil nilai jawaban 7 kuesioner perilaku pada remaja saat bersama pasangan, alat ukur yang digunakan adalah kuesioner dengan skala data ordinal, yang memiliki kategori sebagai berikut: 1) Ringan, bila pacaran sebatas bergandengan tangan dan berpelukan 2) Sedang, bila bercumbu seperti cium pipi, cium kening, dan cium bibir 3) Berat, bila perilaku seksual diwujudkan dalam bentuk meraba bagian tubuh yang sensitif, petting, oral seks, dan intercourse. Pengolahan data meliputi Editing, Scoring, Coding, Tabulating dan Entry. Analisis Data : a) Analisis Univariat Untuk menghitung distribusi frekuensi menggunakan menggunakan rumus sebagai berikut: b) Analisis Bivariat Untuk menguji hubungan antar variabel dalam tujuan khusus dilakukan uji chi kuadrat dua sampel dilanjutkan dengan uji koefisien kontingensi. Dalam melakukan penelitian, peneliti perlu mendapat rekomendasi dari institusi dengan mengajukan permohonan izin kepada institusi atau
lembaga tempat penelitian. Setelah mendapat persetujuan barulah melakukan penelitian dengan menekankan masalah etika yang meliputi: informed consent , anomity (tanpa nama) dan confidentiality. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Hubungan antara Pendidikan Seksual Orang Tua pada Remaja dengan Perilaku Seksual Remaja Pranikah di SMA “K” dan SMK “K” Jember tahun 2013 N o 1. 2.
Pendidikan Seksual Orang Tua Baik Kurang Jumlah
Perilaku Seksual Remaja Pranikah Tidak
Ringan
Sedang
Berat
19 10 29
25 17 42
30 58 88
5 8 13
Total 79 93 172
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa orang tua memberikan pendidikan seksual dengan baik pada remaja sehingga tidak berperilaku seksual pranikah 19 responden orang tua memberikan pendidikan seksual dengan baik pada remaja sehingga berperilaku seksual ringan 25 responden orang tua memberikan pendidikan seksual dengan baik pada remaja sehingga berperilaku seksual sedang 30 responden, orang tua memberikan pendidikan seksual dengan baik pada remaja sehingga berperilaku seksual berat 5 responden, orang tua kurang memberikan pendidikan seksual pada remaja sehingga tidak berperilaku seksual pranikah 10 responden, orang tua kurang memberikan pendidikan seksual pada remaja sehingga berperilaku seksual ringan 17 responden, orang tua kurang memberikan pendidikan seksual pada remaja sehingga berperilaku seksual sedang 58 responden, dan orang tua kurang memberikan pendidikan seksual pada remaja sehingga berperilaku seksual berat 8 responden. Hasil dari perhitungan SPSS didapatkan ρ 0,005 dan menggunakan taraf signifikan 5%. Ternyata harga ρ lebih besar dari α yaitu 0,005 < 0,05. Karena ρ < α maka kesimpulannya Ho ditolak artinya ada hubungan antara pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan perilaku seksual pranikah di SMA “K” dan SMK “K” Jember. Kemudian dilakukan uji koefisien kontingensi untuk mengetahui keeratan hubungan antara pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan perilaku seksual pranikah. Hasil dari perhitungan didapatkan hasil kontingensi 0,264.
98
PEMBAHASAN Setelah dilakukan uji statistik pada data yang didapatkan maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan perilaku seksual remaja pranikah di SMA “K” dan SMK “K” Jember tahun 2013 dan hasil kontingensi 0,264 yang bemakna kekuatan hubungan antar variabel rendah atau lemah tapi pasti. Pendidikan seksual dapat mempengaruhi perilaku individu tersebut terhadap seksual pranikah. Remaja yang mendapat informasi yang benar tentang pendidikan seksual maka mereka akan cenderung mempunyai perilaku positif. Sebaliknya remaja yang kurang mendapat pendidikan seksual cenderung mempunyai perilaku negatif (Karya, 2005). Pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan perilaku seksual remaja pranikah berhubungan rendah atau lemah tapi pasti karena perilaku seksual remaja pranikah tidak hanya dipengaruhi oleh pendidikan seksual orang tua pada remaja tetapi ada faktor lain yang berpengaruh seperti lingkungan, teman sebaya, dan media massa. Perilaku seksual pada remaja disebabkan tidak adanya keterbukaan dalam keluarga tentang penting pendidikan seksual sejak dini. Sulitnya orang tua terbuka dalam memberikan pendidikan seksual ini lebih banyak disebabkan keluarga yang masih menganggap tabu untuk membicarakan masalah seks pada remaja. Adanya pemahaman yang salah mengenai pendidikan seksual sehingga muncul larangan membicarakan mengenai seksualitas di depan umum karena dianggap sesuatu yang tidak wajar. Dalam perbincangan sehari-hari pun, topik seksualitas bukanlah topik yang umum dibicarakan, termasuk dalam perbincangan antara orang tua dan anak. Padahal komunikasi orang tua dan anak dapat menentukan seberapa besar kemungkinan anak melakukan tindakan seksual. Perilaku seksual pranikah tidak hanya melanggar norma agama dan masyarakat tetapi juga menimbulkan masalah lain yaitu munculnya rasa bersalah, terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki, penularan penyakit seksual, dan mewabahnya virus HIV/AIDS. Selain itu perilaku seksual pranikah dapat menyebabkan menurunnya motivasi untuk belajar sehingga banyak remaja kemudian mengalami penurunan prestasi akademi.
yang melakukan perilaku seksual berat sebesar 7,56%. Ada hubungan yang rendah atau lemah tapi pasti antara pendidikan seksual orang tua pada remaja dengan perilaku seksual remaja pranikah di SMA “K” dan SMK “K” Jember tahun 2013, karena ada faktor lain seperti lingkungan, teman sebaya, dan media massa yang juga dapat mempengaruhi terjadinya perilaku seksual remaja pranikah. DAFTAR PUSTAKA A. Syahredi (2009) Faktor yang Mempengaruhi
Tingkat Pengetahuan dan Sikap Remaja terhadap Kesehatan Reproduksi. Jurnal Kesehatan Aini, Khusnul dan Ramadhy, Asep Sufyan (2010)
Perilaku Seksual Remaja Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Serta Dampaknya terhadap Derajat Kesehatan Reproduksi di Indonesia. Makalah D. Haesty (2010) Hubungan Antara Harga Diri dengan Sikap terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja dari Keluarga Broken Home. Penelitian Nursalam (2003) Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
KESIMPULAN Banyak orang tua kurang memberikan pendidikan seksual pada remaja di SMA “K” dan SMK “K” Jember. Sebagian remaja perilaku seksual remaja di SMA “K” dan SMK “K” Jember 99