1
TESIS
IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI PERIZINAN UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S2
Disusun Oleh: Isnaini Muallidin 22686/IV-1/2091/05
PASCA SARJANA ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011
2
3
4
DAFTAR ISI
HALAMAN HALAMAN JUDUL
I
HALAMAN PENGESAHAN
Ii
PERNYATAAN
Iii
DAFTAR ISI
Iv
PRAKATA
Viii
DAFTAR TABEL
X
DAFTAR GAMBAR
Xi
DAFTAR LAMPIRAN
Xii
INTISARI
Xiii
ABSTRACT
Xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah
1
2. Permasalahan
11
3. Tujuan
11
KONSEP IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK 1. Pendahuluan
12
2. Kajian Pustaka
12
3. Kerangka Konseptual
15
3.1.Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik
15
3.2.Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik
16
4. Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik
23
4.1. Formalisasi
24
5
4.2. Spesialisasi
25
4.3. Sentralisasi
26
5. Kerangka Berfikir Reformasi Organisasi
BAB III
METODE DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISMASI SEKTOR PUBLIK 1. Pendahuluan
34
2. Metode Penelitian
34
3.
BAB IV
31
2.1. Lokasi dan Informen
34
2.2. Teknik Pengumpulan Data
35
2.3. Teknik Analisis Data
35
Definisi Konseptual
36
3.1. Reformasi Organisasi
36
3.2. Implementasi Reformasi Orgamnisasi
36
4. Definisi Operasional
37
4.1. Formalisasi
37
4.2. Sentralisasi
37
4.3
37
. Spesialisasi
GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA 1. Pendahuluan
38
2. Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan
38
3.
Visi, Misi, dan Kewenangan
41
4.
Struktur Organisasi
42
5.
Perlengkapan Sarana Dan Prasarana
45
6.
Tugas dan Fungsi
46
7.
Komposisi Sumberdaya Manusia
47
8. Tugas Pokok Sekretariat dan Bidang
49
6
BAB V
8.1. Bidang Tata Usaha Perizinan
50
8.2. Bidang Pelayanan Perizinan
51
8.3. Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan
51
8.4. Bidang Data dan Pengembangan
51
KEBIJAKAN REORGANISASI KOTA YOGYAKARTA
PERIZINAN
1. Pendahuluan
53
2. Penataan Organisasi Perizinan
53
3. Sistem Prosedur dan Waktu Perizinan
57
3.1. Mekanisme Pelayanan Perizinan
58
3.2. Mekanisme Pelayanan Legalisir
60
3.3. Mekanisme Pelayanan Duplikat
61
3.4. Mekanisme Pengaduan
63
4. Pelayanan Perizinan Berbasis Teknologi Informasi
BAB VI
67
IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI DINAS PERIZINAN DALAM PERSPEKTIF FORMALISASI, SENTRALISASI, DAN SPESIALISASI 1. Pendahuluan
71
2. Formalisasi
72
2.1. Regulasi Perizinan
72
2.2. Regulasi Organisasi
79
3. Sentralisasi
4.
81
3.1. Rentang Kontrol (Span of Control)
81
3.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan
84
3.3. Pelimpahan Kewenangan
87
Spesialisasi
88
4.1. Pembagian dan Beban Tugas Staf
88
4.2. Pola Pengembangan Kapasitas Staf
90
7
BAB VII
KESIMPULAN 1. Kesimpulan
94
2. Saran
96
DAFTAR PUSTAKA
98
8
PRAKATA
Syukur ke hadirat Allah SWT, akhirnya tesis Implementasi Reformasi Organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik ini dapat terselesaikan, walaupun banyak sekali kendala yang penulis alami. Berkat dorongan dan semangat dari berbagai pihak yang telah memberikan bantuan baik material maupun non-material demi kelancaran dalam penulisan tesis ini, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Warsito Utomo, selaku pembimbing utama yang dengan kecermatan dan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini. 2. Dra. Ambar Teguh Sulitiyani, M.Si, selaku pembimbing pendamping yang dorongan semangat, masukan dan sarannya, sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Bapak Drs Ratminto, M.Pol. Admin. Sebagai dosen penguji yang telah memberi kritik, saran dan masukan demi kesempurnaan penulisan ini. 4. Dr. Agus Heruanto Hadna, M.Si., Ketua Pengelola Program Studi Administrasi Negara
yang
telah
memberikan
kesempatan
kepada
penulis
untuk
menyelesaikan studi serta Mbak Ratna yang selalu mengingatkan dan mendeadline penulis dalam untuk segera menyelesaikan tesis ini. 5. Pimpinan Universitas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberikan bantuan material maupun non-material demi kelancaran selama menempuh studi ini. 6. Drs. Said Tuhuleley, Dr. Fajar Mukti, Ir. Gatot Supangkat, MP., Ir. Heri Zulfiar MT, Budi Nugroho, S.IP, Sutrisno, SP,.MP, Sayuti, S.Pd., Tatang Suprono, Agus Budi Setiyawan, Zaini Ahsan, Imam Atazi, Isparyanto, Bambang Arintoko, Arie Paksi, Mita serta semua crew LP3M yang telah
9
memberikan kesempatan dan dorongan untuk menempuh pendidikan pasca sarjana di UGM. 7. Dra Ponjto Siwi, Sutarto, Hardono, Dodit Sugeng Murbowo, Haryanto, dan semua staf di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang telah memberi kesempatan serta kerja sama yang baik dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. 8. Orang tuaku tercinta Bapak.Mustakim Genye (almarhum) dan Ibu Hj. Salmah serta Bapak Ibu Mertua Sarbun Amin Riyanto dan Sriyati, terima kasih untuk kasih sayang dan doa restunya. Segenap keluarga besar penulis, Kak Sari sekeluarga, Mbak Wulan sekeluarga, Iik sekeluarga, Iir sekeluarga, Didin, Dadang sekeluarga, Eli sekeluarga, Doni sekeluarga, Keluarga Besar Haji Ibrahim Sumbawa, dan Keluarga Besar Dea Putra Sumbawa, serta Keluarga Besar Joyo Mardiko Magetan, teriman kasih untuk semua dukungan moral maupun material. 9. Istriku tercinta Siti Marfu’ah dengan segenap cinta kasih, kesabaran dan pengertian tanpa batas untuk terus mengingatkan penulis serta anak-anakku tersayang Hafiz, Mirza, Azizah yang selalu menjadi inspirasi dan semangat bagi penulis. 10. Semua rekan-rekan di Program Studi Administrasi Negara angkatan 2005, untuk berbagai bantuan dan dorongan morilnya terutama kepada Mbak Marita, Anik, Supakun, Mahama Daree, Mada-O, S Akbar, Pak Jani, Pak Wahab, Pak Fadly, Pak Richard, Mahruddin, Tun, dll. 11. Semua rekan di Siomay Kang Ujang, terutama Sunoto, S.Ag sekeluarga dan Mukhyidin sekeluarga terima kasih atas semua doa dan dukungannya. 12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam kelancaran penulisan tesis ini. Semoga amal dan budi baik Bapak/Ibu/Saudara mendapat kemuliaan dihadapan Allah SWT, Amin.
10
Penulis menyadari, tesis ini masih banyak mengandung kekurangan, sehingga kritik, saran dan masukan untuk kesempurnaan tesis ini sangat diperlukan. Semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat.
Yogyakarta, Februari 2011
Isnaini Muallidin
11
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 1.1.
Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih
7
Tabel 1.2.
Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan Peraturan dan Kenyataan
Tabel 2.1.
Perbedaan
antara
8
Organisasi
Birokratik
dan
22
Organisasi Pasca Birokratik Tabel 2.2.
Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi
28
Tabel 4.1.
Komposisi Pegawai Berdasarkan Posisi dan Jumlah
47
Tabel 4.2
Komposisi Berdasarkan Jabatan
48
Tabel 4.3.
Komposisi
Pegawai
Berdasarkan
Golongan
Kepangkatan Tabel 5.1.
49
Perbandingan Reorganisasi Perizinan dari UPTSA Menjadi Dinas Perizinan
56
Tabel 5.2.
Jenis dan Waktu Penyelesaian Pelayanan Perizinan
66
Tabel 6.1.
Jenis Perizinan Berdasarkan Regulasinya
75
Tabel 6.2.
Jadwal Rapat di Dinas Perizinan
86
Tabel 6.3
Nilai IKM April - Agustus 2007
92
12
DAFTAR GAMBAR
HALAMAN
Gambar 2.1.
Kerangkan Kerja Penelitian
32
Gambar 4.1.
Struktur Organisasi Dinas Perizinan
45
Gambar 4.2.
Sarana Gedung Dinas Perizinan
46
Gambar 5.1.
Skema Pelayanan Perizinan
60
Gambar 5.2.
Skema Mekanisme Pelayanan Legalisir dan Duplikat
63
Gambar 5.3.
Skema Mekanisme Pelayanan Pengaduan
65
Gambar 5.4.
Gambar Perlengkapan Touch Screen Pelayanan
69
Gambar 6.1.
Gambar Akuntabilitas Routing Slip Berbasis TI
83
13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Interview Guide
Lampiran 2
Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap Kota Yogyakrta
Lampiran 3.
Peraturan Dareah Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Perizinan
Lampiaran 4 Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan Dan Tugas Pokok Dinas Daerah (Halaman. 1, 2, 12, dan 17).
14
INTISARI
Tujuuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Untuk menjawab tujuan di atas, maka metode dalam penelitian ini mengacu jenis penelitian evaluasi yang mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perijinan di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan teknis pengumpulan data menggunakan indepth interview dan observasi. Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Staf, dan Konsumen. Untuk menganalisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu; reduksi data, analisis data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Berdasarkan hasil temuan penelitian dapat diperoleh kesimpulan. Aspek formalisasi menujukkan bahwa regulasi perizinan seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dinamika sosial dan ekonomi kemasyarakatan serta belum semua jenis perizinan dibuatkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Aspek sentralisasi sudah baik terbukti dengan adanya sistem koordinasi yang intens setiap minggunya untuk mengatasi dan mengevaluasi terkait dengan masalah perizinan yang sedang diproses. Selain itu, ada lembar kendali (routing slip) yang merupakan alat kontrol dari dinas terhadap kinerja staf terkait kemacetan atau keterlambatan proses perizinan. Aspek spesialisasi, secara kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya sangat kurang. Namun, untuk mengatasi permasalahan tersebut, Dinas Perizinan melakukan capacity building dengan in house training dan pelatihan staf. Dengan adanya implementasi reformasi organisasi perizinan menjadi Dinas Perizinan telah meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dengan hasil peniliaian dari customer berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) berada dalam kategori baik Oleh karena itu, saran dan rekomendasi dalam penelitian ini adalah: Pertama, untuk regulasi perizinan yang ada di Dinas Perizinan sebaiknya semua jenis perizinan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), sehingga tingkat pengawasan dan penindakan punya kepastian oleh Pemerintah Kota Yogyakarta. Kedua, untuk menimgkatkan keterbatasan kuantitas dan kualitas staf di Dinas Perizinan, maka perlu dilakukan penambahan ketrampilan teknis bagi staf terkait dengan teknis perizinan yang memerlukan kompetensi yang sesuai dengan perizinan Keyword; Reformasi Organisasi, Formalisasi, Sentralisasi, Spesialisasi, Dinas Perizinan
15
ABSTRACT
The purpose of this study was to obtain an overview of the implementation of the reform of licensing organizations to improve the quality of public services in Dinas Perizinan of Yogyakarta City. To answer the above purposes, the method in this study refers to the type of evaluation research that examines the implementation of organizational reforms in Dinas Perizinan of Yogyakarta City with technical data collection using a depth interview and observation. While informants were taken from the Head Office of Dinas Perizinan, Division Head, Section Head, Staff, and Consumers. To analyze the data using qualitative analysis techniques with an interactive model, which moves in the analysis of three components, namely data reduction, data analysis, and drawing conclusions and verification. Aspect formalization shows that licensing regulations are often amended in accordance with the development of social and economic dynamics of society and not all types of licensing be made in the form of local government regulation. For the aspect of centralization has been well proven by the intense coordination system each week to address and evaluate issues related to licensing which is being processed. In addition, there are routing slip which is a tool of official controls on performance related staff congestion or delay the licensing process. While from the aspect of specialization, in quantity and quality of its human resources are very less. However, to overcome this problem, Dinas Perizinan to do capacity building with in-house training and staff training. Second, With the reform of licensing organizations into Dinas Perizinan has increased the quality of service to the public with the results based on Community Satisfaction Index are in good category. Therefore, the suggestions and recommendations in this study are: First, to the existing licensing regulation in Dinas Perizinan should be all kinds of licensing set out in the Local Government Regulation, so the level of supervision and enforcement have the assurance by the City Government of Yogyakarta. Second, to increase the limited quantity and quality of staff in Dinas Perizinan, it is necessary to increase technical skills for staff associated with the technical competence that require licensing in accordance with the licensing Keyword:
Reform of the Organization, specialization, Dinas Perizinan.
formalization,
centralization,
16
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang Masalah Sejak era 1980-an, reformasi sektor publik yang dipelopori Inggris dibawah
Pemerintahan Margaret Thatcher dan Amerika Serikat dibawah Pemerintahan Ronald Reagen telah menjadi inspirasi bagi lahirnya gerakan global yang disertai desakan politik untuk menuntut perlunya pelayanan publik berorientasi pada rakyat (customer) sebagai salah satu tolok ukur bagi legitimasi, kredibilitas, dan sekaligus kapasitas politik suatu pemerintahan. Dengan adanya pengaruh internasional, negara sedang berkembang tak terkecuali Indonesia, gelombang tekanan untuk mengubah wajah pemerintahan dan substansi operasi pelayanan publiknya datang dari institusi-institusi internasional, diantaranya adalah Intemational Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Kedua institusi keuangan internasional ini mendesakkan tuntutan politik terhadap negara-negara sedang berkembang untuk "mendevolusikan" sistem pemerintahan yang sentralistik dan sistem pelayanan publiknya yang monopolistik dengan menganjurkan kebijakan memperkuat otonomi daerah, privatisasi sektor publik, dan pemberian kesempatan luas pada sektor-sektor diluar birokrasi pemerintah (Abdul Wahab, 2001;45). Dampak dari tekanan tersebut, Indonesia mulai melakukan reformasi pemerintahannya sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Undang-undang tersebut memberi kerangka dasar
17
bagi pemerintah pusat dalam melakukan pengaturan terhadap Pemda di Indonesia. Dengan adanya aturan tersebut, maka penataan organisasi terhadap berbagai elemen yang berkaitan dengan pemerintah daerah sebagai manifestasi dari otonomi daerah menjadi suatu yang tak bisa dihindari untuk merubah paradigma lama yang sentralistik menuju ke arah yang lebih desentralistik. Penataan organisasi daerah tersebut telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Kebijakan penataan ini lebih diarahkan pada upaya rightsizing, yaitu upaya penyederhanaan birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mengembangkan organisasi yang lebih proporsional, datar, hierarki yang pendek, dan kewenangan yang terdesentralisasi. Sehingga tujuan utama dari penataan tersebut adalah untuk memberdayakan Pemda agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel (URDI, 2000). Selaras dengan tujuan di atas, desentralisasi atau otonomi daerah telah memberi peluang bagi pemerintah daerah dengan kewenangan yang dimilikinya berusaha memperkuat pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan umum. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Soenarto (Bulletin Pengawasan, 2001) bahwa dengan adanya otonomi daerah telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Dengan otonomi daerah, pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dapat berjalan lebih cepat dan berkualitas. Keberhasilan
18
pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah, sumberdaya manusia yang dimiliki, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan potensi yang ada. Oleh karena itu, daerah dengan segenap kemampuan yang ada, berusaha sekuat tenaga untuk menggali potensi ekonominya secara maksimal. Salah satu potensi ekonomi yang menjadi prioritas bagi pemasukan daerah adalah berasal dari pelayanan perizinan. Dalam hal pelayanan perizinan, pemerintah pusat telah membuat pedoman bagi penyelenggaraan pelayanan publik (terutama perizinan) yang berorientasi pada masyarakat. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara berinisiatif melakukan regulasi dengan menerbitkan tiga Keputusan Menteri (Kepmen) yang merupakan dasar hukum untuk dijadikan pedoman oleh pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Pertama,
Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
No.
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kedua, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
No.
25/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Pedoman Umum Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Pemerintah. Ketiga, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 26/KEP/M.PAN/02/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Selain regulasi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Kementerian Dalam Negeri juga mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu.
19
Regulasi tersebut disusun dalam paradigma di mana sebagian besar urusan pemerintah dalam pelayanan publik menjadi kewenangan daerah, sehingga keempat keputusan tersebut menjadi pedoman bagi penyusunan pelayanan sesuai dengan kemampuan daerah. Ini berarti pemerintah daerah dapat menetapkan sistem dan pola pelayanan publik yang disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan daerah, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada publik dengan kualitas yang lebih baik (Sahetapy, 2004;7). Berdasarkan kebijakan di atas, beberapa pemerintah daerah melakukan berbagai pembenahan dan terobosan inovatif dalam melakukan reformasi pelayanan yang terkait dengan perizinan. Upaya reformasi pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak hanya berusaha untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), melainkan juga sebagai tanggungjawab untuk melindungi masyarakatnya terhadap eksternalitas negatif dari aktifitas sosial ekonomi. Sebab dengan adanya pelayanan perizinan yang baik, maka akan tercipta lingkungan sosial ekonomi yang kondusif. Suhirman (2002;9) mengatakan bahwa perizinan merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian atas eksternalitas negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktifitas sosial maupun ekonomi. Perizinan juga merupakan instrumen untuk alokasi barang publik secara efisien, adil, mencegah asimetri
informasi,
penyelenggaraan
dan
kegiatan.
perlindungan Sebagai
hukum
instrumen
atas
kepemilikan
pengendalian,
atau
perizinan
memerlukan rasionalitas yang jelas dan tertuang dalam bentuk kebijakan pemerintah sebagai sebuah acuan. Tanpa rasionalitas dan desain kebijakan yang
20
jelas, maka perizinan akan kehilangan maknanya sebagai instrumen untuk membela kepentingan masyarakat atas tindakan yang berdasarkan pada kepentingan individu. Namun dalam realitasnya, sejak otonomi daerah dilaksanakan, perbaikan terhadap kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik yang terkait dengan perizinan masih dirasakan belum adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini diperkuat dengan hasil survei REDI dengan PEG-USAID dan TAF (The Asia Fondation) 2002 terhadap seribu empat belas pengusaha di dua belas propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa selama penerapan otonomi daerah ternyata belum memberikan perbaikan yang signifikan pada iklim usaha di daerah. Bahkan di beberapa daerah, kondisi iklim usaha cenderung memburuk. Menurut Indra N. Fauzi (2003;7) terdapat tiga aspek masalah yang menyebabkan belum maksimalnya pelayanan perizinan. Pertama, aspek birokrasi perizinan tidak transparan dan biaya tinggi. Dalam hal transparansi biaya pengurusan perizinan usaha, lima puluh delapan persen (58%) responden menyatakan masih belum transparan. Sedangkan dua puluh satu koma tujuh persen (21,7%) responden yang menyatakan biaya pengurusan izin saat ini sudah lebih transparan. Kurangnya transparansi biaya dalam pengurusan izin merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pelaku usaha harus membayar izin usaha lebih besar dari yang seharusnya. Kedua, aspek pungutan liar. Pelaku pungutan liar setelah otonomi daerah ini makin bervariasi dengan modus yang bermacam-macam, sehingga membebani para pengusaha. Hasil analisis terhadap aspek pungutan berupa pajak dan retribusi
21
daerah menunjukkan lima puluh dua persen (52%) responden menyatakan membebani pengusaha. Ketiga, aspek orientasi dan arah kebijakan pemerintah daerah. Pada aspek orientasi dan arah Pemda, sebagian responden mempunyai persepsi yang negatif terhadap hal tersebut, lima puluh tiga persen (53%) responden menyatakan bahwa saat ini Pemda lebih berorientasi pada peningkatan PAD. Selain ketiga aspek di atas, pelayanan publik juga diperparah dengan adanya kelemahan dari birokrasi pemerintah dalam melaksanakan fungsi pelayanannya. Sebagaimana yang dikemukakan Mohammad Ismail (dalam Sudrajat, 2006) bahwa di Indonesia terdapat berbagai kelemahan birokrasi di dalam memberikan pelayanan publik, antara lain: a.
Kurang responsif. Kondisi ini terjadi hampir disetiap tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan pertanggungjawaban instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
b.
Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
c.
Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang terkoordinasi. Akibatnya sering terjadi tumpang tindih atau pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan yang lain. Hasil penelitian yang dilakukan Rustiani
22
(2001) menunjukkan bahwa persoalan tumpang tindih muncul dalam soal persyaratan perizinan. tabel 1.1 menunjukkan contoh tumpang tindih pada aspek persyaratan perizinan. Tabel 1.1. Persyaratan Perizinan yang Tumpang Tindih TDP Akta pendirian perusahaan KTP SK pengesahan akta SIUP/SIUK NPWP Ada biaya
TDUP Akta pendirian Perusahaan KTP SK pengesahan akta Neraca Perusahaan NPWP Tanpa biaya
-
-
-
-
SIUP Akta pendirian Perusahaan KTP SK pengesahan akta TDUP
SIUK Akta pendirian Perusahaan KTP Daftar riwayat hidup FS/Proposal
NPWP SITU/IUU G Tanpa biaya
NPWP IUUG/HO
-
-
Tanpa biaya
IUUG/HO Akta pendirian Perusahaan KTP IMB, site plan, denah dan situasi Sertifikat tanah NPWP Pernyataan Tetangga Bukti pelunasan PBB AMDAL (jika dibutuhkan) Ada biaya
Sumber: Rustiani, 2001
d.
Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perizinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level. Sehingga penyelesaian pelayanan terlalu lama. Berkaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan dalam rangka penyelesaian masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan juga
23
sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaian. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang yang dilakukan Rustiani (2001) yang mengemukakan bahwa perizinan sangat birokratis dan inkonsistensi terkait biaya dan waktu dalam penyelesaian pengurusan perizinan. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 1.2 dibawah ini. Tabel 1.2. Perbandingan Biaya dan Waktu Berdasarkan Peraturan dan Kenyataan Jenis Izin
Biaya (Rp 000) Peraturan Kenyataan TDP PT 100 0 - 1.000 Kop 5 CV 25 Firma 25 PO 10 BPL 50 Asing 250 TDI 0 0 – 750 SIUP 0 0 - 1.000 IUI 0 1.000 MD 0 0 – 300 Sumber: Rustiani, 2001
Waktu (hari) Peraturan Kenyataan 7 1 - 90
14 5 14 90
2 – 30 1 – 90 30 – 90 30 – 90
e. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan dalam pelayanan (khususnya dalam pelayanan perizinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan. Berdasarkan tabel 1.1. dan tabel 1.2. di atas, menunjukkan bahwa banyak di antara syarat-syarat tersebut kurang atau bahkan tidak relevan dengan kegiatan usaha, sehingga pelayanan menjadi tidak efisien. Idealnya
adalah
kebijakan
perizinan
haruslah
diarahkan
untuk
memperbaiki kelembagaan, perilaku birokrat, dan prosedur yang memungkinkan
24
terciptanya iklim usaha yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Menurut Fahmi Radhi (Kedaulatan Rakyat, 2 Agustus 2006) upaya untuk menerapkan kebijakan perizinan yang memungkinkan terciptanya iklim usaha yang kondusif harus dilakukan dengan menerapkan kebijakan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dan One Stop Service (OSS). Sejak otonomi daerah, beberapa daerah telah menata ulang kebijakan perizinan dengan kebijakan UPT yang dikenal dengan Pelayanan Satu Atap. Pada dasarnya tidak ada perubahan berarti dengan UPT dalam pengurusan izin usaha masih melibatkan berbagai dinas terkait. Perubahannya adalah berbagai dinas terkait yang berwenang mengeluarkan izin ditempatkan di satu atap, sehingga pelaku usaha atau masyarakat tidak perlu bolak balik mendatangi beberapa dinas terkait yang sebelumnya terpisah tempatnya. Upaya lain yang bisa diterapkan dalam kebijakan perizinan adalah dengan menerapkan OSS. OSS agak berbeda dengan UPT yang masih melibatkan beberapa dinas terkait. OSS hanya melibatkan satu dinas saja, misalnya dengan membentuk Dinas Perizinan yang berwenang memproses dan memberikan izin usaha. Penerapan OSS ini dapat lebih menyederhanakan prosedur pemberian izin dan mempercepat proses perizinan usaha. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dari lima pemerintahan kabupaten/kota yang ada, baru pemerintahan Kota Yogyakarta yang mempunyai komitmen dalam melakukan pembenahan organisasi perizinan dengan menyusun langkah-langkah strategis untuk melakukan reformasi pelayanan perizinan dari Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) menjadi Dinas Perizinan (Hery
25
Zudianto, 2005). Sebagaimana diketahui, perizinan di Kota Yogyakarta setelah mengindentifikasi ada tujuh puluh enam jenis izin yang dilayani oleh tujuh belas instansi dan ada tiga belas non-perizinan bidang catatan sipil serta beberapa perizinan bidang kependudukan dan surat keterangan/pemberitahuan. Beberapa jenis perizinan pengurusannya diintegrasikan di UPTSA Kota Yogyakarta berdasarkan Keputusan Walikota Yogyakarta No. 01/2000 yang mulai operasional sejak Januari 2000. Dalam prakteknya, pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh UPTSA Kota Yogyakarta terhadap masyarakat pengguna layanan belum bisa diharapkan dan masih banyak kelemahan, sehingga menjadi tidak efektif dan efisien. Ada beberapa hal yang menyebabkan tidak efektif dan efisien, antara lain: status organisasi UPTSA belum mandiri/dan non-struktural, sehingga koordinasi perizinan terhambat birokrasi; Kewenangan pelayanan perizinan terbatas pada tahap awal /front office, proses perizinan masih di instansi teknis, prosedur dan mekanisme pelayanan perizinan yang masih berbelit dan tidak efisien; persyaratan perizinan yang berdiri sendiri antarjenis perizinan, sehingga terjadi duplikasi persyaratan (misal IMBB, HO dan Izin Teknis), belum adanya Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk semua jenis perizinan, waktu proses perizinan belum sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, petugas pelayanan kurang menguasai permasalahan secara teknis (Dinas Perizinan, 2005). Dengan berbagai permasalahan di atas, maka Pemerintah Kota Yogyakarta, berusaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan khususnya perizinan yang sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat. Untuk
26
maksud tersebut, maka Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta No. 17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
yang disyahkan 1 Nopember 2005 dan mulai
operasional Januari 2006. Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian ini akan mengkaji sejauhmana implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
2.
Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang diajukan
dalam penelitian ini adalah Bagaimanakah implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan Kota Yogyakart untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik
3.
Tujuan Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran umum tentang implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
27
BAB II KONSEP IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK
1.
Pendahuluan Bab ini akan membahas mengenai kerangka konsep implementasi reformasi
sektor publik yang akan menjadi acuan dalam penelitian ini. Dalam menjelaskan konsep ini akan dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama akan membahas kajian pustaka yang terkait dengan referensi mutakhir yang didasarkan pada hasil penelitian atau kajian yang sudah dilakukan sebelummnya. Hasil kajian puskata ini akan dijadikan titik tolak dan justifikasi bahwa penelitian ini akan mengambil sisi lain dari penelitian atau kajian sebelumnya. Sedangkan bagian kedua akan menjelaskan kerangka konsep yang dijadikan rujukan terkait dengan reformasi organisasi. Konsep yang digunakan adalah konsep kualitas pelayanan sektor publik, konsep reformasi sektor publik, dimensi reformasi sektor publik, dan konsep implementasi reformasi sektor publik untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
2.
Kajian Pustaka Reformasi organisasi telah menjadi kajian yang menarik bagi kalangan
akademisi dan praktisi dibidang administrasi publik. Sebab dari berbagai studi dan penelitian tentang reformasi organisasi banyak diwarnai oleh disiplin lain. Hingga
28
saat ini, kajian reformasi organisasi lebih banyak dipengaruhi oleh disiplin psikologi, politik, dan ekonomi. Kajian dari aspek psikologi, teori organisasi publik banyak dikaitkan dengan perilaku dalam berorganisasi atau organisasi yang mempengaruhi manusia. Sedangkan dari aspek politik, teori reformasi organisasi publik dilihat dalam wilayah tarik-menarik antara kepentingan politik. Namun, dalam perkembangannya, teori reformasi organisasi publik mengalami perubahan paradigma dari government ke governance yang dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi (managerialism). Dalam hal ini, reformasi organisasi banyak dikaitkan dengan efisiensi, akuntabilitas, dan manajerial. Dari perspektif di atas, kajian tentang reformasi organisasi sektor publik di Indonesia juga banyak diwarnai dengan pemikiran tersebut. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Muklir, dkk (2004) yang mengkaji proses reformasi struktur organisasi dikaitkan dengan adanya perubahan sikap dan perilaku aparatur Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara dalam menyikapi otonomi khusus melalui pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur organisasi yang telah dibentuk lebih diarahkan pada budaya lokal. Dengan adanya perubahan struktur dan nomenklatur organisasi mencerminkan semakin tingginya tingkat kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi. Sedangkan perubahan sikap dan perilaku aparatur dalam menyikapi otonomi khusus dari aspek atensi, pemahaman, dan retensi ternyata hanya terjadi pada tingkat pimpinan di atas. Ditingkat menengah hanya sebatas atensi, pemahaman, dan penerimaan dan belum diwujudkan dalam bentuk retensi. Ditingkat bawah, retensi, pemahaman,
29
dan penerimaan masih belum optimal yang tercermin dari rendahnya perubahan sikap. Penelitian yang dilakukan Muklir di atas, berbeda dengan penelitian yang dilakukan Weningsih (2004) yang melihat reformasi organisasi dari perspektif politik dengan melakukan Studi Evaluasi Pelaksanaan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas di Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan reformasi organisasi dan tata kerja di Dinas Pemerintah Kabupaten Banyumas yang memenuhi nilai standar sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 8/2003 yang layak berbentuk dinas hanya dua belas. Dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja tidak hanya sekedar persoalan administratif, tetapi cenderung mengarah pada persoalan politis karena untuk menyusun struktur organisasi dan tata kerja tersebut, peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangatlah besar. Dalam pelaksanaannya Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kabupaten Banyumas menunjukkan tingkat efisiensi dan efektifitas pada posisi sedang, yaitu sebesar enam puluh empat koma delapan puluh persen (64,80%). Hasil penelitian di atas memperlihatkan bahwa fokus kajian yang dilakukan dalam mereformasi organisasi pemerintahan di Indonesia lebih dikaitkan dengan perubahan pada sikap apatur dan perubahan pada struktur organisasi yang terkait dengan tarik menarik antara eksekutif dan legislatif, walaupun implementasinya memberi dampak positif bagi peningkatan efisiensi organisasi. Sedangkan untuk kajian reformasi organisasi dalam perspektif manajerial belum banyak dikaji.
30
Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengisi ruang kosong yang belum banyak dikaji terkait dengan implementasi reformasi organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Sehingga keaslian penelitian ini bisa dijadikan salah satu perspektif yang bisa memperkaya dan melakukan tambal sulam dari hasil penelitian sebelumnya.
3.
Kerangka Konseptual
3.1. Konsep Kualitas Pelayanan Sektor Publik Kualitas pelayanan pada sektor publik saat ini menjadi kata kunci untuk membangkitkan kembali kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Menurut Gaster (1996) ada tiga argumen bagi pemerintah untuk mempromosikan kebijakan kualitas dalam pelayanan publiknya. Pertama, kebijakan kualitas menguat di pemerintahan lokal disebabkan adanya desakan dari eksternal. Kedua, kebijakan kualitas akan memberikan kontribusi terhadap popularitas dan keberlangsungan dari pemerintah lokal. Ketiga, Kebijakan kualitas dapat membawa pemerintah lokal dan masyarakatnya lebih dekat dan fokus pada konsumen atau citizen sehingga menjadi baseline bagi pelayanan publik dan nilai-nilai demokratik. Secara definitif, kualitas pelayanan dimaknai sebagai fitness for purpose atau fitness use dengan tujuan untuk mempertemukan kenyataan dan harapan dari konsumen. Haywood-Farmer (Ghobadian,1994) berpendapat bahwa organisasi pelayanan mempunyai kualitas yang tinggi (high quality), jika ia dapat mempertemukan preferensi dan harapan konsumen secara konsisten. Elemen kunci
dalam
mencapai
hasil
dari
kualitas
pelayanan
adalah
dengan
31
mengidentifikasi segala sesuatu yang memenuhi persyaratan yang disesuaikan dengan harapan konsumen. Untuk mampu mencapai kualitas pelayanan yang tinggi, maka ada tiga atribut dasar yang harus dipenuhi, yaitu: Pertama, fasilitas fisik, proses, dan prosedur pelayanan. Kedua, tingkah laku birokrat yang ramah dan komunikatif. Ketiga, pertimbangan profesionalisme dalam memberikan pelayanan. Menurut Ghobadian (1994; 46-47), ada beberapa tantangan yang muncul dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, yaitu; lack of visibility, difficulties in assigning specific accountability, time requered to improve service quality, and delivery uncertinties. Untuk mengatasi tantangan ini, maka pemerintah perlu melakukan upaya peningkatan pelayanan publik dengan memfokuskan diri pada konsumen, memberdayakan front line staff, melatih dan memberikan motivasi pada staf, serta mempunyai visi yang jelas tentang kualitas. Di Indonesia, dengan adanya model demokrasi saat ini telah terjadi perubahan kualitas pelayanan publik. Pemerintah daerah sebagai representasi masyarakatnya, secara otonom dapat melayani secara langsung kebutuhan masyarakatnya. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah daerah dihadapkan pada tuntutan perubahan yang menyangkut responsibilitas personal, isu-isu kualitas, orientasi pada pengguna, orientasi pada hasil layanan, menjalankan mekanisme pasar, orientasi ke budaya inovasi dan diversifikasi (Supriyono, 2002). 3.2.
Konsep Reformasi Organisasi Sektor Publik Brunsson dan Olsen dalam bukunya The Reforming Organization (dalam
32
Amstrong,1997) mengemukakan bahwa reformasi organisasi terjadi ketika gap antara kinerja organisasi dan harapan dapat diselaraskan supaya menjadi lebih nyata dan reformasi harus dipahami sebagai “the idea that, by making deliberate goal-directed choice between organizational forms, new forms can be created, which improve and lead to better result”. Secara spesifik Pollitt (2000) melihat reformasi organisasi dengan merujuk pada perubahan institusi pemerintah dan prosedur yang menegaskan pada satu atau lebih karakteristik yang diakui secara luas dengan new public management (NPM) atau reinventing government. Berangkat dari definisi di atas, kajian mengenai reformasi organisasi mengalami pasang surut sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam ilmu administrasi publik. Perkembangan tersebut terjadi seiring dengan adanya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik (Muluk, 2006). Menurut
Antonius
Tarigan
(2003;29-30),
perkembangan
reformasi
organisasi publik telah mengalami transformasi dari model administrasi publik klasik menuju model manajemen publik baru. Model administrasi publik klasik terfokus pada interaksi dan kerjasama di dalam organisasi pemerintah yang dibangun melalui hierarki. Model ini memberikan peran besar kepada pemerintah, baik dalam merumuskan kebijakan maupun dalam penyampaian pelayanan publik. Model administrasi publik klasik kemudian disempurnakan oleh model manajemen publik baru. Model ini menghadirkan pola organisasi yang lebih efisien, menciptakan fleksibilitas organisasi, menghindari adanya standarisasi dalam organisasi, mengembangkan pola pelayanan yang variatif, memperkuat
33
desentralisasi tanggungjawab kegiatan dan anggaran ketingkat yang paling bawah, pergeseran pola manajemen dari sistem hierarki menuju sistem contracting out dan memberikan perhatian pada membangun jaringan kerja (networking) dengan organisasi lain di luar pemerintah. Di Indonesia, reformasi organisasi pemeritahan telah mengalami pasang surut yang diwarnai dengan pola dan kepentingan rezim yang berkuasa. Menurut Mifta Thoha (2005;6-7), pada awal perkembangan ilmu administrasi negara tahun 1950-an, pemerintah dalam hal ini, Presiden Soekarno melalui almarhum Perdana Menteri H. Djuanda melakukan reformasi administrasi negara dengan meniru dan mewarisi sistem pemeritahan Belanda. Reformasi kedua dilakukan ketika era rezim Orde Baru, dorongan untuk melakukan reformasi inipun diawali oleh keinginan untuk membangun bangsa dan negara untuk menyelenggarakan pemerintahan yang stabil, kuat, dan sentralistik. Suharto memegang kendali pemerintahan dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44 dan 45/1974 sebagai tonggak dirombak dan disusunnya sistem dan struktur lembaga birokrasi pemerintah. Namun, setelah rezim Orde Baru tumbang dan diganti dengan rezim Orde Reformasi, upaya untuk melakukan perubahan sistem dan organisasi pemerintahan terdesentralisasi secara nyata dengan diberlakukannya UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi dari perubahan penyelenggaraan pemerintah daerah tersebut berakibat pada terjadinya perubahan struktur kewenangan pemerintah pusat dan daerah. Penyerahan kewenangan ini selanjutnya berimplikasi pada perubahan beban tugas dan struktur organisasi. Perubahan struktrur pemerintahan di
34
Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 08/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Perubahan struktur organisasi daerah ini dimaksudkan untuk mewujudkan tuntutan perubahan organisasi pemerintah agar mampu mendukung kemandirian daerah dan untuk mewujudkan organisasi pemerintahan daerah yang efisien dan efektif (Wediningsih, 2004;1-2). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/2003 pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa organisasi perangkat daerah di bentuk berdasarkan pertimbanganpertimbangan: a.
Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah.
b.
Karakteristik, potensi, dan kebutuhan daerah
c.
Ketersediaan sumberdaya aparatur
d.
Pengembangan pola kerjasama antardaerah dengan pihak ketiga. Oleh karena itu, reformasi organisasi terjadi karena adanya tekanan dari
berbagai aspek, seperti; sosial, ekonomi, dan teknologi. Dengan adanya tekanan tersebut, pemerintah berusaha memperkuat kinerjanya menjadi lebih efektif, efisien,
akuntabilitas,
dan
berkualitas.
Keberhasilan
pemerintah
dalam
memperkuat kinerjanya juga sangat didukung oleh beberapa dimensi nilai dalam melakukan reformasi organisasi. Reformasi organisasi sangat terkait dengan nilai, norma, dan prinsip-prinsip yang dijadikan acuan oleh sebuah organisasi dalam memberikan pelayanan kepada publik. Bila dilihat dalam konteks historis, dimensi reformasi organisasi selalu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan konteks sejarah dan institusional (Toonen dan Raadscheldeers,1997). Perubahan ini dapat dilihat sejak
35
permulaan abad ini, seperti; produktifitas, efektifitas, efisiensi dan kontrol budget telah menjadi pemikiran dari reformasi organisasi dalam sistem negara barat. Begitu juga dengan dimensi lain, seperti: transparansi, kebutuhan untuk sistem streamlining, koordinasi, dan integrasi. Oleh karena itu, dimensi reformasi organisasi publik dari masa ke masa mengalami perubahan. Di mana, dalam 1960-an reformasi organisasi lebih merujuk pada dimensi rasionalisasi dan demokratisasi. Sedangkan sejak 1980-an dan 1990-an, dimensi reformasi organisasi lebih di dominasi oleh manajerialisme dan citizen sebagai klien. Menurut Kernaghan (2000;93-94), reformasi organisasi publik di beberapa negara terutama Eropa, Amerika, Australia, dan Selandia Baru telah dilakukan secara sporadis dengan merubah paradigma organisasi pemerintahannya dari organisasi birokratik bergerak menuju organisasi pasca birokratik. Kernaghan melihat perubahan tersebut dalam tiga dimensi, yaitu: Pertama, dimensi kebijakan dan budaya manajemen. Dimensi kebijakan dan budaya manajemen, organisasi birokratik lebih berpusat pada organisasi yang lebih menitikberatkan pada kebutuhan organisasi itu sendiri; kekuasaan yang lebih menentukan melalui kontrol, komando, dan patuh pada perintah atasan; berpusat pada aturan yang mengacu pada prosedur baku organisasi, aturan-aturan dan constrain; Bertindak secara independen dengan sedikit konsultasi, kerjasama, dan koordinasi; berorientasi pada status quo berusaha untuk mengambil resiko dan kesalahan; berorientasi pada proses yang berpusat pada akuntabiltas untuk sebuah proses daripada hasil. Sedangkan pada organisasi pasca birokratik berpusat pada
36
citizen dengan meningkatkan kualitas pelayanan; kepemimpinan yang partisipatif dengan melakukan share values dan pembuatan keputusan yang melibatkan semua pihak (partisipatif); berpusat pada masyarakat dengan melakukan pemberdayaan terhadap pekerja; bertindak secara kolektif dengan melakukan konsultasi, kerjasama dan koordinasi; berorientasi pada perubahan dengan melakukan inovasi, risk taking, dan perbaikan yang terus menerus; berorientasi pada hasil dengan melakukan akuntabilitas yang berpusat pada hasil. Kedua, dimensi struktur organisasi. Dimensi struktur organisasi birokratik bersifat sentralisasi dengan ciri hierarki dan kontrol secara terpusat; organisasinya bersifat departemental dengan beberapa program yang diberikan kepada konsumen dengan menggunakan operating. Sedangkan struktur organisasi pasca birokratik bersifat desentralisasi dalam hal kewenangan dan kontrol; bentuk organisasinya berbentuk non-departemental yang mana program dijalankan dengan menggunakan berbagai macam mekanisme. Ketiga, dimensi pasar. Dimensi pasar dari organisasi birokratik berpusat pada anggaran yang bersumber pada anggaran Pemda; pelayanan publiknya bersifat monopolistik yang dikuasai oleh pemerintah. Sedangkan organisasi pasca birokratik berpusat pada pendapatan, di mana keuangan program sejauh mungkin berbasis cost recovery; pelayanan publiknya lebih bersifat kompetitif yang melibatkan sektor swasta dalam memberikan pelayanan. Secara lebih ringkas, perbedaan antara organisasi birokratik dengan organisasi pasca birokratik dapat dilihat pada tabel 2.1.
37
Tabel 2.1 Perbedaan antara Organisasi Birokratik dan Organisasi Pasca Birokratik Organisasi Birokratik Organisasi Pasca Birokratik Dimensi Kebijakan dan Budaya Manajemen Berpusat pada organisasi Berpusat pada Citizen Kualitas Menitikberatkan pada kebutuhan pelayanan untuk citizen organisasi itu sendiri (Clients/stakeholders) Kekuasaan yang menentukan Kontrol, Kepemimpinan yang partisipatif Shared komando dan patuh pada perintah values and pembuatan keputusan yang partisipatif Berpusat pada aturan Aturan, prosedur Berpusat pada masyarakat dan constraints Memberdayaan pekerja Bertindak secara independen Sedikit Bertindak secara kolektif Konsultasi, konsultasi, kerjasama, dan koordinasi kerjasama, dan koordinasi Berorientasi status quo Menghindari Berorientasi pada perubahan Inovasi, resiko dan kesalahan risk taking dan perbaikan terus-menerus Berorientasi pada proses Akuntabilitas Berorientasi pada hasil Akuntabilitas pada proses pada hasil Dimensi Struktur Tersentralisasi Hierarki dan Kontrol Desentralisasi Desentralisasi terpusat kewenangan dan kontrol Bentuk departemental Beberapa Bentuk Non-departemental Program program diberikan melalui operating diberikan dengan bermacam-macam mekanisme Dimensi Pasar Berpusat pada Anggaran Keuangan Berpusat pada Pendapatan Keuangan program terbesar berasal dari program sejauh mungkin berbasis cost anggaran pemerintah. recovery Monopolistik Monopoli pemernitahan Kompetitif Kompetisi dengan sektor memberikan pelayanan swasta dalam memberikan pelayanan Sumber: Kernaghan, 2000, 92 Berdasarkan tabel 2.1 di atas, pengaruh manajerialisme sangat mewarnai reformasi organisasi (Dixon.et.al.,1989). Tekanan manajerialisme ini menciptakan kebutuhan pada seperangkat perubahan organisasi dengan meningkatkan kinerja dan kualitas pelayanan yang baik, sehingga pemerintah mendapat kepercayaan
38
dari rakyatnya. Penerapan pendekatan manajemen profesional dalam sektor publik ini telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai label, misalnya dengan nama managerialism, new public management, market based public administration, new public service, dan entrepreneurship government/ reinventing government. Apapun label yang dipergunakan yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah fokus orientasi peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan process menuju ke product atau dari rule government menuju ke good governence (Suryono, 2002b).
4.
Implementasi Reformasi Organisasi Sektor Publik Mazmanian dan Sabatier (dalam Abdul Wahab,2005;68-69) menjelaskan
konsep atau makna implementasi sebagai pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya. Proses tersebut berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan oleh instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusan tersebut oleh kelompok sasaran, dampak nyata dari output tersebut, dampak keputusan dipersepsikan oleh badan yang mengambil keputusan yang akhirnya
39
dilakukan
perbaikan
penting
terhadap
undang-undang/peraturan
yang
bersangkutan. Terkait dengan reformasi organisasi, konsep implementasi dapat dilihat dalam dua metode, yaitu unilateral dan share (Waldersee and Griffiths,2004; 425). Metode unilateral adalah lebih bersifat memberikan petunjuk (preskriptif), kontrol, dan urusan teknis didasarkan pada kewenangan untuk mengubah secara obyektif aspek formal dari suatu instansi. Metode ini cenderung bersifat top-down, prosedural, dan difokuskan pada alokasi sumberdaya, serta mengikuti garis kewenangan formal. Berbeda dengan metode share yang lebih menitikberatkan pada penguatan partisipatif, menggunakan teknik konsultatif yang secara langsung mempunyai target nilai, sikap, keahlian dari anggota organisasi. Metode ini secara tipikal bersifat partisipasi tim untuk melakukan redesign dan komite konsultasi. Menurut Dumphy dan Stace (dalam Waldersee and Griffiths,2004;427) implementasi perubahan dalam organisasi yang berskala besar lebih dominan menggunakan metode top-down. Bahkan secara lebih teknis, Moon (1999;33-35) melihat efektifitas implementasi reformasi organisasi sektor publik sangat tergantung dengan pengembangan karakteristik dari organisasi publik itu sendiri. Karakteristik organisasi dapat dilihat dari aspek struktur organisasi. Dalam konteks reformasi struktur organisasi, beberapa studi organisasi melihat reformasi struktur organisasi dalam tiga aspek, yaitu; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi (Melcher, 1994; Robbins, 1994; Moon, 1999; Andersen, 2002).
40
4.1. Formalisasi Formalisasi merupakan salah satu bentuk karakteristik dari struktur organisasi, di mana pekerjaan dalam suatu organisasi distribusikan, dimasukkan dalam aturan-aturan, prosedur-prosedur dan perintah dalam bentuk tertulis. Ide dari formalisasi ini adalah untuk mengelola dan mengontrol pekerjaan (Andersen, 2002;345). Moon (1999;34) melihat formalisasi sebagai bagian dari aktifitas organisasi yang dimanifestasikan melalui dokumen tertulis, regulasi, dan policy manuals. Banyaknya aturan dan dokumen yang bersifat tertulis cenderung menyebabkan lambatnya proses administrasi dan kurangnya komunikasi dengan konsumen. 4.2. Spesialisasi. Spesialisasi dalam organisasi pemerintahan terlihat dengan semakin meningkatnya volume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalam pelatihan dan penggunaan sistem kerja. Spesialisasi di percaya dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan kinerja organisasi. Menurut Andersen (2002) spesialisasi dapat dilihat dalam tiga kategori, yaitu: a.
Diferensiasi horizontal menjelaskan seberapa banyak pekerjaan, profesi, dan bidang keahlian khusus yang ditemukan. Diferensiasi horizontal selalu menjelaskan seberapa banyak pelatihan keahlian dan pendidikan yang diberikan oleh organisasi yang berhubungan atau disesuaikan dengan tugas yang diberikan kepada pegawai.
41
b.
Diferensiasi vertikal menjelaskan suatu pekerjaan dengan melihat kesesuaian pada tingkat pelimpahan kewenangan yang telah diberikan oleh organisasi dan seberapa besar tingkat rentang kontrol untuk setiap bidang.
c.
Diferensiasi spasial menjelaskan tentang keterkaitan pekerjaan dengan lokasi fisik, dan masyarakat. Dalam konteks ini lebih menitikberatkan pada kompleksitas pekerjaan sangat terkait dengan lokasi bangunan atau penataan ruang dalam memberikan pelayanan serta sejauhmana komitmen organisasi berorientasi pada masyarakat.
4.3. Sentralisasi. Sentralisasi merefleksikan tingkat kontrol top management dalam pengambilan keputusan. Menurut Muklir, dkk (2005;7) sentralisasi diukur dari tingkat keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan tingkat pelimpahan wewenang, baik sentralisasi keputusan strategis maupun sentralisasi keputusan taktis. Keputusan strategis adalah keputusan-keputusan yang berkenaan dengan masalah kebijakan jangka panjang, yaitu; tentang alokasi sumberdaya manusia dan uang, karena hal tersebut merupakan pusat bagi keputusan yang paling mendasar dalam organisasi. Pengukuran kedua adalah bagaimana kekuasaan itu didistribusikan di antara tugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hierarki wewenang, ini menyangkut keputusan-keputusan mengenai kegiatan sehari-hari dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisien dan lancar. Sentralisasi semacam ini sebagai sentralisasi keputusan-keputusan taktis. Melcher (1994;188-189) melihat beberapa konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi dilihat dalam proses, pola perilaku, dan kerawanan organisasi. Aspek
42
proses, sentralisasi dalam proses organisasi dapat dibagi dalam aspek koordinasi, pengambilan keputusan, dan komunikasi. Sentralisasi koordinasi membawa konsekuensi adanya koordinasi yang baik melalui pimpinan dan kebijakan yang keseragaman. Konsekuensi sentralisasi dalam proses pengambilan keputusan membawa manfaat terhadap organisasi secara keseluruhan penuh dengan pertimbangan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia serta dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi dan membuat keputusan yang menentukan tanpa adanya penundaan. Sedangkan aspek komunikasi dalam sistem yang tersentralistis membawa konsekuensi kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan perangkat komunikasi yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke bawah yang efisien. Untuk aspek pola perilaku dibagi dalam aspek prakarsa dan motivasi dari manajemen dan keputusan dengan pekerjaan. Aspek prakarsa dan motivasi dari manajemen yang sentralistis membawa konsekuensi yang lebih tinggi dari top manajemen. Aspek keputusan dengan pekerjaan membawa konsekuensi personalia yang lebih tinggi dan lebih puas dengan pekerjaan mereka karena mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan. Aspek kerawanan organisasi dibagi dalam aspek pengembangan personalia, tergantung pada top manajemen, dan perubahan. Aspek pengembangan personalia membawa konsekuensi pengalaman yang luas dari top manajemen dan staf personalia. Aspek tergantung pada top manajemen membawa konsekuensi pada loyalitas, kesanggupan, dan pengalaman dari beberapa top manajemen dan staf
43
personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi. Sedangkan aspek perubahan membawa konsekuensi dapat dimulai dengan cepat dan terencana dengan baik. Konsekuensi sentralisasi terhadap organisasi secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2.2: Tabel 2.2. Konsekuensi Sentralisasi Terhadap Organisasi Sentralisasi Proses Organisasi Koordinasi
Pengambilan keputusan
Komunikasi
Konsekuensi Manfaat Koordinasi yang lebih baik melalui pimpinan dan kebijakan yang seragam. Organisasi secara keseluruhan dipertimbangkan, jika keputusan yang dibuat oleh top manajemen dan staf personalia. Dalam keadaan darurat, staf dan manajemen dapat memanfaatkan informasi dan membuat keputusan yang menentukan tanpa adanya penundaan. Kebijakan, prosedur, dan aturan memberikan perangkat komunikasi yang standar untuk pengambilan keputusan; ini merupakan alat komunikasi ke bawah yang efisien.
Pola Perilaku Inisiatif dan motivasi Prakarsa dan motivasi dari manajemen dan staf yang lebih tinggi dari top manajemen. Keputusan dengan
Personalia level yang
Mudarat Kebijakan seragam yang berlaku efektif dalam situasi yang kondisional. Perspektif organisasi mungkin mengabaikan ciri atau masalah khusus dari bidang atau divisi dari unit kerja. Proses keputusan yang normal menimbulkan kelambatan, arus informasi ke atas dan arus informasi ke bawah membutuhkan waktu. Ketergantungan pada saluran formal, menurunnya kesempatan untuk umpan balik, meningkatnya jumlah pusat komunikasi melalui mana arus pesan akan mengurangi tingkat komunikasi ke atas dan antar unit kerja. Menurunnya inisiatif dan motivasi dari manajemen di tingkat yang lebih rendah. Personalia yang lebih
44
pekerjaan
Kerawanan Organisasi Pengembangan personalia
Tergantung pada top manajemen
Perubahan: prakarsa dan pelaksanaan
lebih tinggi lebih puas dengan pekerjaan mereka karena mengerjakan pekerjaan yang penuh tantangan. Luasnya pengalaman dari top manajemen dan staf personalia.
Loyalitas, kesanggupan, dan pengalaman dari beberapa top manajemen dan staf personalia saja yang dibutuhkan untuk sukses organisasi. Perubahan dapat di mulai dengan cepat.
rendah tidak puas dengan pekerjaan mereka karena tidak mampu melakukan terobosan dan berinisiatif.
Menghambat perkembangan personalia top manajemen tingkat rendah. Mereka tidak mengembangkan ruang lingkup, pertimbangan, dan orientasi untuk membuat keputusan. Jika top manajemen sakit atau meninggal, maka fungsi organisasi akan terganggu.
Pelaksanaan perubahan yang diprakarsai oleh pusat mungkin akan ditolak keras atau ditolak secara pasif.
Sumber: Melcher, 1994; 188-189
Berangkat dari karakteristik di atas, implementasi perubahan pada struktur organisasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada prinsipnya lebih berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Salah satu tujuan dari implementasi reformasi organisasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi. Dengan adanya efisiensi dan efektifitas, maka kualitas pelayanan publik yang berorientasi pada kepentingan rakyat dapat tercapai. Untuk mencapai kualitas pelayanan publik tersebut sangat tergantung dengan implementasi dari
45
perubahan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Costello (dalam Hoque and Moll, 2000) melihat ada tiga tipe implementasi perubahan organisasi dalam rangka meningkatkan pelayanan publik. Pertama, developmental. Perubahan developmental ini dapat dimaknai sebagai perbaikan organisasi secara praktis seperti membangun tim untuk mempersiapkan diri masuk dalam mekanisme pasar atau mencoba menerapkan teknologi baru. Kedua, transtitional. Perubahan transisional ini merujuk kepada implementasi struktur baru atau metode baru. Kehendaknya
melakukan
reorganisasi
secara
sungguh-sungguh
dengan
memasukkan teknik, metode, dan prosedur atau produk dari pelayanan publik. Ketiga, transformational, merujuk kepada memperkenalkan struktur baru yang merupakan hasil dari proses perubahan yang dikaitkan dengan visi dan strategi pelayanan publik. Contoh dari perubahan transformasi adalah merger, konsolidasi, dan restructuring. Kingsley (dalam Suwondo, 2000) merekomendasikan perlunya reformasi karakter pemerintah daerah (internal reform) dengan mengimplementasikan beberapa teknik dalam meningkatkan kualitas pelayanan adalah Performance measurement dengan terdapatnya catatan laporan yang jelas dari hasil-hasil kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit pelayanan yang diberikan. independent and objective audits, baik terhadap performance dan managemen keuangan. Performance contracts dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (pemerintah, swasta, dan NGOs). decentralization of responsibility within government dengan membagi habis tugas-tugas dan memberikan target yang jelas terhadap pejabat-pejabat
46
dibawahnya.
Introducing
customer
orientation
and
access
dengan
mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan one-stopshops untuk memudahkan dalam pengurusan perizinan, dan sebagainya. A competitive mode of service provision dengan cara yang kompetitif dalam memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs. Dalam ISO 9000:2000 mengidentifikasikan delapan prinsip kualitas manajemen yang seharusnya ditanamkan dalam sistem manajemen kualitas untuk mendefinisikan apakah dan bagaimana seharusnya sebuah organisasi secara konsisten telah menyediakan pelayanan yang dibutuhkan oleh konsumen (O'Donoghue, 2003). Kedelapan strategi dan prinsip tersebut, antara lain: Pertama, fokus pada konsumen. Kedua, kepemimpinan. Ketiga, keterlibatan masyarakat. Keempat, pendekatan proses. Kelima, keinginan pada hasil. Keenam, pendekatan sistem ke manajemen. Ketujuh, perbaikan yang terus menerus. Kedelapan, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan.
5.
Kerangka Berfikir (Framework) Penelitian Reformasi kelembagaan yang dilakukan oleh pemeritahan Kota Yogyakarta,
terutama yang terkait dengan perubahan organisasi dari UPTSA ke Dinas Perizinan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 17/2005. Dengan adanya perubahan tersebut menarik untuk dikaji secara lebih mendalam mengenai keterkaitan reformasi organisasi tersebut dalam meningkat kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
47
Menurut Sudrajat (2006) dalam melakukan reformasi organisasi seringkali terdapat kelemahan dari sisi kelembagaan. Kelemahan tersebut terletak pada desain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hierarki yang membuat pelayanan menjadi
berbelit-belit
dan
tidak
terkoordinasi,
kecenderungan
untuk
melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan penyelenggaraan masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, sehingga pelayanan publik menjadi tidak efisien. Sehingga penelitian implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik menggunakan pendekatan Moon (1999;33-35) dengan melihat salah satu dalam reformasi organisasi dari aspek struktur organisasi. Oleh karena itu, fokus kajian dalam penelitian ini hanya melihat reformasi organisasi dari aspek struktur organisasi yang meliputi; formalisasi, spesialisasi, dan sentralisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Secara ringkas kerangka kerja (framework) dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1. dibawah ini:
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Reformasi Organisasi
Implementasi Reformasi Organisasi Sentralisasi Spesilisasi Formalisasi
Gambar 2.1. Kerangka Penelitian (Framework)
Pelayanan Berkualitas
48
Dengan adanya perubahan struktur organisasi, maka akan dikaji secara mendalam mengenai implementasi reformasi struktur organisasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi masyarakat. Sebab salah satu pertimbangan adanya perubahan organisasi perizinan menjadi dinas adalah untuk mewujudkan peningkatan pelayanan dibidang perizinan yang mensinergikan berbagai macam perizinan dalam wadah pelayanan satu atap.
49
BAB III METODE PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL REFORMASI ORGANISASI SEKTOR PUBLIK
1.
Pendahuluan Bab ini akan membahas mengenai metode penelitian, definisi konsep, dan
definisi operasional. Metode dalam penelitian akan membahas mengenai jenis penelitian, lokasi dan informen penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data. Untuk definisi konsep akan menjelaskan pada penegasan mengenai konsep yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Sedangkan definisi operasional akan membahas mengenai uraian detail dari definisi konseptual yang akan dijadikan acuan dalam menggali data di lapangan
2.
Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini mengacu pada jenis penelitian evaluasi yang
mengkaji implementasi reformasi organisasi pelayanan perizinan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. 2.1. Lokasi dan Informan Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Dinas perizinan Kota Yogyakarta dengan alamat Jl. Kenari No. 56 Yogyakarta 55165. Sedangkan Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Dinas, Kepala Bidang, Kepala Seksi, Kepala Bidang Tata Usaha, dan Konsumen di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta.
50
2.2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth interview) dengan kepala dinas, kepala bidang, kesekretariatan, dan konsumen, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Selain wawancara mendalam, penelitian ini juga melakukan observasi atau pengamatan langsung mengenai proses pelayanan yang ada di Dinas Perizinan. Untuk melengkapi teknik wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan teknik dokumentasi untuk memperdalam dan mempertajam hasil temuan yang ada. Teknik dokumentasi ini dilakukan dengan mempelajari sumber yang berasal dari buku literatur, jurnal, majalah, surat kabar harian, internet dan sumber lain yang terkait. 2.3. Teknik Analisis Data Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik kualitatif dengan model analisis interaktif, yaitu analisis yang bergerak dalam tiga komponen, yaitu; Pertama, reduksi data (reduction). Kedua, sajian data (display.) Ketiga, penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing). (Miles dan Huberman, 1992;16-21). Reduksi data yang dimaksud adalah hasil wawancara dan obeservasi yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan data yang ada agar lebih fokus. Setelah melakukan identifikasi data, kemudian dideskripsikan dalam sajian data yang diperkuat dengan analisis untuk membuat kesimpulan. Oleh karena itu, proses analisis dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data dengan melakukan strukturisasi data primer dari hasil wawancara dan observasi untuk dianalisis. Kemudian memilah data sekunder yang terkait
51
dengan fokus kajian seperti aturan, kebijakan dari Perda (Peraturan Daerah), Perwal (Peraturan Walikota) sampai dengan Peraturan Kepala Dinas, serta publikasi baik dari buku dan jurnal. Data primer dan sekunder tersebut akan dianalisis secara detail dengan melakukan triangulasi data yang diperoleh dari sumber data primer dari hasil wawancara dan observasi. Dari hasil analisis, kemuadian ditarik kesimpulan sesuai dengan tujuan dalam penelitian.
3.
Definisi Konseptual Definisi konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
3.1. Reformasi organisasi Reformasi organisasi adalah upaya strategis yang dilakukan Pemerintahan Kota Yogykarta dengan mengadakan perubahan terhadap struktur organisasi perizinan secara konkrit dalam rangka peningkatan pelayanan publik. 3.2. Implementasi reformasi Implementasi organisasi adalah suatu proses penerapan hasil reformasi organisasi dengan merujuk pada tiga aspek, yaitu. Pertama, formalisasi yang berarti aktivitas organisasi yang diatur secara tertulis, baik aturan-aturan yuridis maupun regulasi perizinan. Kedua, sentralisasi berarti mekanisme kontrol, mekanisme
pengambilan
keputusan
dalam
organisasi
dan
pelimpahan
kewenangan dari pimpinan ke staf. Ketiga, spesialisasi artinya terkait dengan pembagian tugas serta pengembangan kapasitas staf dalam pelayanan.
52
4.
Definisi Operasional Sesuai dengan definisi konsepsional di atas, maka definisi operasional
dalam penelitian akan dijabarkan sebagai berikut: 4.1. Formalisasi dalam definisi opresional peneltian ini akan mengkaji dari dua aspek, yaitu: a.
Regulasi perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan
b.
Regulasi organisasi Dinas Perizinan.
4.2. Sentralisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari tiga aspek, yaitu: a.
Rentang Kontrol (Span of contro)l untuk setiap bagian.
b.
Mekanisme pengambilan keputusan
c.
Pelimpahan kewenangan antara atasan dan bawahan.
4.3. Spesialisasi dalam definisi operasional penelitian ini akan mengkaji dari dua aspek, yaitu: a.
Pembagian tugas dan fungsi
b.
Pengembangan kapasitas pekerja dalam pelayanan
53
BAB IV GAMBARAN UMUM DINAS PERIZINAN KOTA YOGYAKARTA
1.
Pendahuluan Bab ini akan membahas mengenai deskripsi secara umum perihal sejarah
organisasi Dinas Perizinan yang diperkuat dengan Peraturan Daerah (Perda) No. 17/2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan dan dijabarkan secara secara lebih rinci dalam Peraturan Walikota (Perwal) No. 187/ 2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, juga diperkuat dengan adanya Renstra Dinas Perizinan yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta No. 02/KEP/DINZIN/2007. Ketiga perangkat aturan di atas, merupakan petunjuk bagi pelaksanaan tugas, fungsi, kewenangan, struktrur yang didukung oleh visi, misi, motto, dan komposisi sumberdaya manusia di Dinas Perizinan.
2.
Sejarah Terbentuknya Dinas Perizinan Pengelolaan perizinan oleh Pemerintahan Kota Yogyakarta mempunyai
sejarah panjang, semula pelayanan perizinan masih terpusat pada instansi teknis dan sangat birokratis. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai komitmen untuk menjadikan pelayanan perizinan menjadi leading sector yang bisa diandalkan. Upaya strategis yang dilakukan Pemerintahan Kota (Pemkot)
54
Yogyakarta adalah melakukan reorganisasi perizinan dengan sistem Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA). Berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No.503/125/PUOD/1997 perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah, Pemkot Yogyakarta membentuk Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) dengan Keputusan Walikota No. 01/2000 dan mulai operasional pada 02 Januari 2000. Adapun tugas dan kewenangan dari UPTSA, yaitu: a.
UPTSA melayani Akta-akta Catatan Sipil, Izin Usaha (HO), Tanda Daftar Industri (TDI), Tanda Daftar Gudang (TDG), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP),
Izin Mendirikan Bangun
Bangunan (IMBB), Saluran Air Kotor (SAK), Saluran Air Hujan (SAH), InGANG, Sewa Alat Berat, dan Izin Penggunaan Lahan (IPL). b.
Koordinator dan Sekretaris UPTSA dijabat oleh Asisten III dan Kepala Bagian Perkotaan Sekretaris Daerah Kota Yogyakarta.
c.
Petugas pelayanan dari instansi teknis berganti-ganti/dengan sistem rolling
d.
Petugas pelayanan menggunakan seragam instansi asal.
e.
Anggaran melekat di instansi lain (Bagian. Organisasi, KAPDE) UPTSA mengalami perubahan sejak Januari 2002, dimana Kantor UPTSA
dibenahi sarana pendukungnya (penataan interior, penambahan counter informasi, AC, hotline dan penataan fasilitas parkir) serta didukung sumberdaya manusia yang memadai. Kemudian pada 04 Maret 2002, lembaga perizinan diperkuat kewenangannya oleh Walikota Yogyakarta, di mana UPTSA melayani Akta-akta Capil, HO, TDI, TDG, SIUP, TDP, IMBB, SAK,SAH, In-GANG, Sewa Alat
55
Berat, dan IPL. Sedangkan koordinator dan sekretaris dijabat oleh pejabat nonstruktural. Selain petugas pelayanan, sekretariat difungsikan dan semua menetap di UPTSA, Petugas UPTSA menggunakan seragam tersendiri, dan anggaran 2002 diintegrasikan dianggaran Sekretaris Daerah. Namun pada 2003, UPTSA diberi kewenangan sendiri dalam mengelola anggaran. Berdasarkan hasil studi dari POLOKDA UGM (2000) dan pendampingan yang dilakukan
The Asia Foundation bersama Prosumen Mandiri (2002)
menemukan bahwa pelayanan perizinan yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dibawah UPTSA memunculkan permasalahan yang oleh masyarakat (user) masih dirasakan sangat birokratis, sebab status organisasi UPTSA belum mandiri/dan non-struktural, sehingga koordinasi pelayanan perizinan atau nonperizinan terhambat birokrasi. Kewenangan pelayanan masih terbatas di front office sedangkan proses pelayanan dan pengurusan /perizinan di instansi teknis. Sistem teknologi layanan di UPTSA masih belum memadai (belum online dengan instansi teknis) dengan sumberdaya manusia yang ditugaskan tidak berwenang menyelesaikan permasalahan dan masih di instansi induk. Untuk waktu penyelesaian izin belum sesuai dengan yang diharapkan, karena kendala teknis di instansi yang bersangkutan. Dengan adanya permasalahan di atas, Pemkot Yogyakarta membentuk tim kecil yang mengkaji bentuk organisasi perizinan yang ideal sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat, dunia bisnis, dan good governance. Hasil kajian tersebut disepakati untuk dibentuk Dinas yang menangani perizinan agar lebih leluasa, sehingga diusulkan ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
56
untuk menetapkan pelayanan perizinan dalam satuan dinas yang ditetapkan dalam Perda No. 7/2005 Tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan. Dengan adanya Perda tersebut, Dinas Perizinan secara resmi berdiri dan mulai berjalan efektif sejak Januari 2006. Tujuan dibentuknya Dinas Perizinan adalah a.
Tidak adanya tumpang tindih (overlapping) pelayanan izin yang sama dari beberapa instansi;
b.
Keterpaduan persyaratan dalam pelayanan izin;
c.
Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda);
d.
Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah;
e.
Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non-perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya;
f.
Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan;
g.
Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan.
3.
Visi, Motto, dan Kewenangan Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Nomor 02/KEP/DINZIN/2007
tentang Rencana Strategis (Renstra) secara jelas disebutkan bahwa Visi Dinas
57
“Terwujudnya Pelayanan yang Pasti
Perizinan Kota Yogyakarta adalah:
Dalam Biaya, Waktu, Persyaratan dan Akuntabel
Dibidang Perizinan“
dengan motto “Bukan Janji Tapi Pasti”. Untuk mewujudkan visi di atas, maka Dinas Perizinan mempunyai misi sebagai berikut : a.
Mewujudkan pelayanan internal
b.
Meningkatkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas.
c.
Melaksanakan penyederhanaan pelayanan perizinan
d.
Melaksanakan Pengembangan dan Penerapan Teknologi Informasi
e.
Melaksanakan Pengelolaan Data Perizinan yang lebik baik
f.
Melaksanakan
penyelesaian
pengaduan,
advokasi
dan
pengawasan
perizinan. Sedangkan
kewenangan
yang
diberikan
kepada
Dinas
Perizinan
sebagaimana yang tercantum dalam Perda Nomor 05 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: Pemberian Izin, Penolakan Izin, Pembatalan Izin, Pencabutan Izin, Legalisasi Izin, Duplikat Izin, Pengawasan Izin.
4.
Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8/2003 Tentang Pedoman
Organisasi Perangkat Daerah, Pemerintah Kota Yogyakarta membentuk organisasi pelayanan perizinan yang definitif berupa Dinas Perizinan. Dasar Pembentukan Dinas Perizinan adalah Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 17/2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan,
58
dengan susunan Organisasi: 1.
Kepala Dinas
2.
Kepala Bagian Tata Usaha yang membawahi :
3.
4.
5.
2.1.
Kasubbag. Umum
2.2.
Kasubbag. Keuangan, Perencanaan dan Evaluasi
Kepala Bidang Pelayanan yang membawahi : 3.1
Kasie. Administrasi Perizinan
3.2
Kasie. Koordinasi dan Penelitian Lapangan
Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan yang membawahi : 4.1.
Kasie. Sistem Informasi
4.2.
Kasie. Pengaduan dan Advokasi
Kepala Bidang Data dan Pengembangan Kinerja 5.1.Kasie. Data dan Penelitian 5.2.Kasie. Pengembangan Kinerja Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 41/2007 Tentang Organisasi
Perangkat Daerah dan Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 10/2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah, Susunan organisasi Dinas Perizinan berubah menjadi : 1.
Kepala Dinas
2.
Sekretaris yang membawahi : 2.1.
Kasubbag. Umum dan Kepegawaian
2.2.
Kasubbag. Keuangan
2.3.
Kasubbag. Administrasi Data dan Pelaporan
59
3.
4.
5.
6.
Kepala Bidang Pelayanan yang membawahi : 3.1.
Kasie. Advis Planing dan Administrasi Perizinan
3.2.
Kasie. Koordinasi Lapangan dan Penelitian
Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi yang membawahi : 4.1.
Kasie. Data
4.2.
Kasie. Sistem Informasi
Kepala Bidang Pengawasan dan Pengaduan Perizinan 5.1.
Kasie. Pengawasan
5.2.
Kasie. Pengaduan Perizinan dan Advokasi
Kepala Bidang Regulasi dan Pengembangan Kinerja 6.1.
Kasie.. Regulasi
6.2.
Kasie. Pengembangan Kinerja
60
KEPALA
SEKRETARIS KEL.JAB. SUB BAGIAN UMUM DAN KEPEGAWAIAN
KABID. PELAYANAN
KABID DATA DAN SISTEM INFORMASI
SUB BAG KEU, PERNC & EVALUASI
KABID. PENGAWASAN DAN PENGADUAN
KASI. ADVIS PLANNING DAN ADM. PERIJINAN
KASIE. DATA
KASIE. PENGAWASAN
SEKSI KOORD & PENLITIAN LAPANGAN
KASI SISTEM INFORMASI
KASI. PENGADUAN DAN ADVOKASI
SUB BAG ADM, DATA DAN PELAPORAN
KABID. REGULASI DAN PENGEMB. KINERJA
KASIE. REGULSI KASIE. PENGEMBANGAN KINERJA
Gambar 4.1. Struktur Organisasi Dinas perizinan Kota Yogyakarta Tahun 2008
5.
Perlengkapan Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana kerja yang ada di Dinas Perizinan untuk menunjang
kelancaran tugas yang terkait dengan pelayanan publik terdiri dari: Sarana gedung yang luasnya dua ribu meter persegi (2000/m2) tertata dengan baik dan dilengkapi jaringan internet, intranet, dan hardware yang terdiri dari: sepuluh unit komputer untuk aplikasi pendaftaran, sembilan unit komputer untuk pelayanan perizinan, dua unit Touch Screen untuk informasi persyaratan dan aplikasi antrian, enam belas (16) unit PC komputer untuk administrasi perkantoran, lima unit Laptop untuk Kepala Dinas, Kepala Bagian Tata Usaha dan Kapala Bidang, dua buah
61
Camera Digital untuk Peninjauan, satu buah LCD, satu buah TV Flat 42 in sebagai monitor antrian.
Gambar 4.2. Sarana Gedung Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Sarana dan prasaran kantor di atas, berada pada posisi yang strategis sebab dari aspek letaknya berada bagian depan masuk ke kantor pemerintah Kota Yogyakarta. Sehingga akses masyarakat dalam pengurusan izin dapat dengan mudah dijangkau dan dilengkapi dengan kemudahan pelayanan yang dilengkapi dengan perangkat teknologi yang lebih praktis dan nyaman.
6.
Tugas dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No. 17/2005, Dinas
Perizinan Kota Yogyakarta mempunyai fungsi pelaksanaan sebagian kewenangan dalam bidang perizinan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut berdasarkan pasal 5, Dinas Perizinan mempunyai tugas: a.
Merumuskan dan merencanakan kebijakan teknis di bidang perizinan.
62
b.
Melaksanakan pembinaan, pemberian dan pembatalan perizinan.
c.
Menyelenggarakan pelayanan perizinan sesuai dengan kewenangannya.
d.
Melaksanakan sistem informasi dan pengaduan perizinan.
e.
Melaksanakan pengelolaan data dan pengembangan.
f.
Melaksanakan pemungutan retribusi sesuai dengan kewenangan yang diberikan.
g.
Melaksanakan koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas di bidang perizinan.
h.
Melaksanakan ketatausahaan dinas.
7.
Komposisi Sumberdaya Manusia Berdasarkan data kepegawaian Agustus 2007 diperoleh gambaran bahwa
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta memiliki tujuh puluh delapan orang pegawai yang terdiri dari tujuh puluh satu orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tujuh orang Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan perincian sebagaimana yang dilihat pada tabel 4.1. dibawah ini: Tabel 4.1. Komposisi Pegawai Berdasarkan Posisi dan Jumlah N0
POSISI
1 2
Kepala Dinas Bagian Tata Usaha - Kepala Bagian Tata Usaha - Kepala Sub Bagian Umum + Staf - Kepala Sub Bagian Keuangan, PE + Staf Bidang Pelayanan - Kepala Bidang Pelayanan - Kepala Seksi Administrasi Pelayanan + staf - Kepala Seksi Koordinasi. Dan Penelitian Lapangan +
3
JUMLAH (0rang) 1 1 7 9 1 22 17
63
staf 4 Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan (SIP) - Kepala Bidang SIP - Kepala Seksi Sistem Informasi Perizinan + staf - Kapala Seksi Pengaduan dan Advokasi + staf 5 Bidang Data dan Pengembangan - Kepala Bidang Data dan Pengembangan - Kepala Seksi Data dan Penelitian + staf - Kepala Seksi Pengembangan Kinerja + staf 6 Jabatan Fungsional - Arsiparis 7 Pengawai Tidak Tetap (PTT) - Front Office - Pramu Kantor/Caraka - Pengemudi Sumber: Dinas Perizinan, 2007
1 3 1 1 3 3 1 4 2 1
Berdasarkan jumlah pegawai di atas, maka komposisi pegawai yang didasarkan pada jabatan terdiri dari; satu orang dengan jabatan eselon II menjabat sebagai kepala dinas, empat orang dengan jabatan eselon III yang menduduki kepala bidang, delapan orang dengan jabatan eselon IV yang menduduki kepala seksi dan kepala sub bagian, dan satu orang dengan jabatan fungsional sebagai arsiparis. Untuk komposisi jabatan dapat dilihat dalam tabel 4.2. dibawah ini: Tabel 4.2. Komposisi Berdasarkan Jabatan JABATAN
JUMLAH (Orang) Eselon II 1 Eselon III 4 Eselon IV 8 Fungsional 1 Staf 57 PTT 7 Sumber: Dinas Perizinan, 2007 Sedangkan untuk komposisi pegawai
KETERANGAN Kepala Dinas Kepala. Bidang TU Ka. Sie & Ka. Subag Arsiparis
yang didasarkan pada golongan
kepangkatan per Agustus 2007 di Dinas Perizinan terdiri dari; golongan IV/b berjumlah tiga orang,
golongan IV/a berjumlah dua orang, golongan III/d
64
berjumlah sembilan orang, golongan III/c berjumlah tiga orang, golongan III/b berjumlah dua belas orang, golongan III/a berjumlah sepuluh orang, golongan II/d berjumlah empat belas orang, golongan II/c berjumlah enam orang, golongan II/a berjumlah satu orang, dan tujuh orang yang belum mempunyai pangkat golongan karena masih menjadi pegawai tidak tetap. Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan dapat dilihat dalam Tabel 4.3. Tabel 4.3. Komposisi Pegawai Berdasarkan Golongan Kepangkatan NO
GOLONGAN
KETERANGAN
1 Golongan IV/b Pembina Tingkat I 2 Golongan IV/a Pembina 3 Golongan III/d Penata Tingkat I 4 Golongan III/c Penata 5 Golongan III/b Penata Muda Tingkat I 6 Golongan III/a Penata Muda 7 Golongan II/d Pengatur Tingkat I 8 Golongan II/c Pengatur 9 Golongan II/a Pengatur Muda 11 PTT Sumber: Dinas Perizinan, 2007 8.
JUMLAH (Orang) 3 2 9 3 12 10 14 6 1 7
Tugas Pokok dan Fungsi Sekretaris dan Bidang Berdasarkan Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta No. 187/2005 tentang
Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. 8.1. Bagian Tata Usaha a.
Bagian Tata Usaha mempunyai fungsi pengurusan dan pelaksanaan segala kegiatan di Bidang Ketatausahaan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut Bagian Tata Usaha mempunyai tugas.
b.
Menyelenggarakan pengumpulan data, informasi, permasalahan peraturan
65
perundang-undangan dan kebijakan
teknis
yang
berkaitan
dengan
ketatausahaan. c.
Menyelenggarakan upaya pemecahan masalah bagian.
d.
Mengkoordinasikan upaya pemecahan masalah dinas.
e.
Menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan bagian.
f.
Mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi, dan pelaporan kegiatan dinas.
g.
Menyelenggarakan analisis dan pengembangan kinerja bagian.
h.
Mengkoordinasikan analisis dan pengembangan kinerja dinas.
i.
Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya yang diberikan oleh kepala dinas.
8.2. Bidang Pelayanan Perizinan a.
Menyelenggarakan pengumpulan data informasi, permasalahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan teknis yang berkaitan dengan pelayanan perizinan.
b.
Menyelenggarakan upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan pelayanan perizinan.
c.
Menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan bidang.
d.
Menyelenggarakan pelayanan perizinan.
e.
Menyelenggarakan analisis dan pengembangan kinerja bidang.
f.
Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya yang
66
diberikan oleh kepala dinas. 8.3. Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan a.
Menyelenggarakan pengumpulan data, informasi, permasalahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan teknis yang berkaitan dengan sistem informasi dan pengaduan.
b.
Menyelenggarakan upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan sistem informasi dan pengaduan.
c.
Menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan serta anggaran bidang.
d.
Menyiapkan bahan pengembangan sistem informasi perizinan.
e.
Menyelenggarakan penanganan pengaduan masyarakat.
f.
Menyelenggarakan analisis dan pengembangan kinerja bidang.
g.
Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya yang diberikan oleh kepala dinas.
8.4. Bidang Data dan Pengembangan a.
Menyelenggarakan pengumpulan data, informasi, permasalahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan teknis yang berkaitan dengan data dan pengembangan.
b.
Menyelenggarakan upaya pemecahan masalah yang berkaitan dengan data dan pengembangan.
c.
Menyelenggarakan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pelaporan kegiatan serta anggaran bidang.
d.
Menyelenggarakan pengelolaan data dan penelitian serta pengembangan
67
kinerja. e.
Menyelenggarakan analisis dan pengembangan kinerja bidang.
f.
Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan bidang tugasnya. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa Dinas Perizinan Kota
Yogyakarta dari gambaran umumya telah menjadi salah satu dinas yang di desain untuk memperkuat pelayanan publik dengan melakukan reformasi organisasi yang mengarah pada reorganisasi, penyerhanaan pelayanan, pelayanan berbasis teknologi informasi yang akan dibahas secara detail dalam pembahasan pada bab berikutnya.
68
BAB V KEBIJAKAN REORGANISASI PERIZINAN DI KOTA YOGYAKARTA
1.
Pendahuluan Bab ini akan membahas mengenai upaya strategis yang telah dilakukan
sejak reorganisasi perizinan dibawah Dinas Perizinan dalam meningkatkan kualitas pelayanan di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Hal ini selaras dengan misi dari Dinas Perizinan yang berupaya untuk mewujudkan pelayanan internal, melaksanakan pelayanan perizinan sesuai dengan kewenangannya, melaksanakan pengawasan dan penyelesaian pengaduan perizinan serta advokasi, melaksanakan pengelolaan data dan sistem informasi, melaksanakan pengkajian perizinan dan pengembangan kinerja. Dalam mewujudkan misi tersebut, maka upaya yang dilakukan Pemerintah Kota Yogyakarta dengan kebijakan reogranisasi Dinas Perizinan dalam tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek penataan organisasi perizinan. Kedua, aspek sistem prosedur dan waktu perizinan. Ketiga, aspek pengembangan teknologi informasi.
2.
Penataan Organisasi Perizinan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dibentuk dengan Peraturan Daerah
(Perda) Kota Yogyakarta No. 17/2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan, 15 Nopember 2005 dan mulai operasional 02 Januari 2006 yang sebelumnya dilakukan oleh Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah,
69
Pemerintahan Kota Yogyakarta membentuk Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) yang mulai operasional Januari 2000. Penataan organisasi perizinan dari UPTSA menjadi Dinas Perizinan di Kota Yogyakarta menjadi titik tolak bagi reorganisasi perizinan di lingkungan Pemerintahan Kota Yogyakarta. Sebab dengan adanya penetaan organisasi tersebut menandakan bahwa pengurusan perizinan satu pintu ini dibawah dinas tersendiri akan lebih efisien dan efektif. Sebab UPTSA merupakan wadah koordinasi pengurusan izin dengan sistem satu atap. UPTSA bersifat lembaga non-struktural yang melayani izin hanya melalui front office. UPTSA melayani tiga belas izin dari tujuh instansi teknis pemberi izin dan melayani tiga belas nonperizinan. Pada saat UPTSA, persyaratahan izin dapat dilengkapi selama proses pengurusan izin berlangsung, proses izinnya masih parsial dan sebagian izin menggunakan routing slip, belum diukur dengan Indeks Kepuasan konsumen (IKM), masa berlaku izin tidak terpantau, data dokumen perizinan belum tertata rapi sebab masih terpusat di dinas teknis, pengaduan masih lewat surat, telpon, dan datang langsung. Sedangkan untuk kinerja, belum ada sisten prosedur izin dan personil atau staf hanya mengetahui izin tertentus saja dengan durasi waktu pengurusan izin lebih lama dari ketetapan aturan, peningkatan sumberdaya manusia dengan mengadakan
pelatihan teknis khusus operator, dan koneksi
antarinstansi masih manual. Sedangkan dibawah Dinas Perizinan saat ini, persyaratan bila tidak lengkap secara sistem (aplikasi Sistem Informasi Manajemen Perizinan) tidak dapat
70
memproses atau tidak dapat dieksekusi dan kedepan persyaratan melalui keterpaduan database, proses izinnya dilakukan secara terpadu dan bertahap dengan menggunakan routing slip pada semua jenis perizinan dan dapat dipantau setiap tahapan, bahkan kedepan izin dapat diproses dengan sistem informasi dengan syarat menyatu. Sudah diukur dengan mengisi Indek Kepuasan Masyarakat (IKM), untuk masa berlaku izin dapat diterbitkan pemberitahuan habis masa berlaku secara otomatis sesuai data yang ada dan kedepan sebelum izin lama habis sudah disiapkan izin baru. Untuk kinerja Dinas Perizinan, penerapan sistem dan prosedurr yang didukung aplikasi sehingga memudahkan petugas dalam memberikan pelayanan semua proses pelayanan perizinan. Untuk durasi waktu, lebih singkat/minimal sama dengan aturan atau akan lebih singkat bila diproses secara paralel. Koneksi dengan instansi terkait dilakukan dengan menggunakan email atau data yang dapat terkoneksi dengan kecamatan. Pembayaran retribusi menempatkan Bank Pembangunan Daerah (BPD) menjadi satu atap dengan Dinas Perizinan atau kedepan dapat online dengan Bank lain selain Bank Pembangunan Daerah. Perbandingan reorganisasi organisasi perizinan dari UPTSA menjadi Dinas Perizinan secara ringkas dapat dilihat pada tabel 5.1. dibawah ini: Tabel 5.1. Perbandingan Reorganisasi Perizinan dari UPTSA menjadi Dinas Perizinan. UPTSA Persyaratan Izin
Dapat dilengkapi selama proses
DINAS PERIZINAN Bila tidak lengkap secara sistem (aplikasi Sistem Informasi Manajemen Perizinan ) tidak dapat memproses atau tidak dapat dieksekusi
71
Proses Izin
Izin diproses secara parsial
Izin diproses secara terpadu dan bertahap
Routing Slip
Sebagian izin dengan kendali / Routing Slip
Routing slip dengan Sistem Informasi dapat terpantau setiap tahapan
Masa Berlaku
Masa berlaku izin tidak dapat dipantau
Dapat diterbitkan pemberitahuan habis masa berlaku secara otomatis sesuai data yang ada
Pengaduan
Persurat, telpon, datang langsung
Dapat mengirim email Dinas Perizinan atau menulis langsung pada touch screen yang terhubung dengan seluruh jajaran Dinas Perizinan
Kinerja
- Belum ada ssistem prosedur izin - Personil hanya mengetahui izin tertentu
- Penerapan sistem dan prosedur dengan aplikasi perizinan - Petugas menguasai semua proses izin
Durasi Waktu
Lebih lama dari ketetapan dalam aturan
Waktu lebih singkat/minimal sama dengan aturan
Pembayaran Retribusi
Langsung counter
Menempatkan Bank Pembangunan Daerah menjadi satu atap dengan Dinas Perizinan
Sumber: Dinas Perizinan, 2007
Dengan adanya reorganisasi perizinan dibawah Dinas Perizinan saat ini, telah memberi banyak manfaat bagi masyarakat, karena pengurusan izin bisa dilakukan satu pintu dengan sistem terpadu. Sehingga pengurusan izin menjadi efisien dan efektif. Hal ini dibuktikan dengan adanya pengakuan dari Transparency International, Bung Hatta Award sebagai kota terbersih korupsi seIndonesia. Pemberian penghargaan menandakan adanya pengakuan dari kebijakan strategis yang dilakukan Pemerintahan Kota Yogyakarta dari pendirian Unit Layanan Pengaduan dan Informasi, penandatanganan pakta integritas bersama seluruh karyawan dan pejabat Pemkot Yogyakarta hingga pendirian Dinas
72
Perizinan yang menggabungkan beberapa kewenangan kepengurusan perizinan dari berbagai instansi.
3.
Sistem Prosedur dan Waktu Perizinan Dengan adanya reorganisasi perizinan di atas, maka dinas diberi
kewenangan untuk melakukan sinkronisasi sistem prosedur pelayanan perizinan secara integratif yang tidak hanya bersifat parsial. Di mana pelayanan perizinan yang dilayanani secara tunggal tidak berkaitan dengan izin yang lain atas permintaan pemohon, melainkan juga bersifat pararlel dengan pengurusan perizinan jenis perizinanan yang terkait dengan persyaratan yang tidak berulangulang. Sistem prosedur dan waktu pelayanan yang diataur secara rinci dan detail akan menjadi titik tolak bagi Dinas Perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan sehingga dapat dijadikan ukuran kinerja. Oleh Kerana itu, sistem prosedur perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan disesuaikan dengan alur dan mekanisme yang menjadi tugas yang diberikan untuk melakukan pelayanan perizinan, legalisir, duplikat, dan pengaduan. Mekanisme ini diatur dalam Peraturan Kepala Dinas No.01/2006 Tentang Sistem dan Prosedur Pelayanan Perizinan pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta 3.1
Mekanisme Pelayanan Perizinan Berdasarkan hasil pengamatan (Observasi, 21-23 Januari 2008) dari proses
perizinan Pemohon datang ke Dinas Perizinan untuk mengambil blangko permohonan. Untuk mengetahui persyaratan atau izin yang dibutuhkan atau
73
perkembangan proses izin yang diajukan, pemohon dapat menggunakan touch screen. Apabila diperlukan, pemohon juga dapat minta advice planning pada petugas. Setelah diisi dan dilampiri persyaratan yang dibutuhkan, diserahkan ke loket pelayanan. Setelah petugas loket pelayanan memeriksa berkas permohonan dan persyaratan administrasi perizinan dan dinyatakan permohonan telah lengkap dan benar, maka dibuatkan tanda terima berkas permohonan kepada pemohon. Petugas pelayanan mencatat data pemohon dan melampirkan blanko kendali pada berkas permohonan. Untuk izin yang tidak memerlukan penelitian lapangan, berkas permohonan diserahkan kepada Kepala. Seksi Administrasi Perizinan. Sedangkan untuk izin yang memerlukan penelitian lapangan, berkas permohonan diserahkan kepada Koordinator penelitian lapangan. Petugas/tim penelitian lapangan melakukan peninjauan ke lokasi dengan memberitahu terlebih dahulu kepada pemohon. Hasil penelitian lapangan dibuatkan berita acara hasil penelitian lapangan ditandatangani Petugas/tim penelitian lapangan. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, Kepala Seksi Koordinator Penelitian Lapangan mengadakan rapat koordinasi dengan petugas atau tim penelitian lapangan dan apabila diperlukan melibatkan instansi terkait (untuk kasus-kasus tertentu). Rapat koordinasi akan menghasilkan apabila tidak dapat dipenuhi tiga (3) kemungkinan. Pertama, permohonan ditangguhkan karena ada persyaratan yang harus dipenuhi dengan memberitahukan ke pemohon. Apabila persyaratan sudah dipenuhi, maka permohonan disetujui, Apabila tidak dapat dipenuhi permohonan ditolak. Apabila diperlukan rekomendasi, maka Dinas Perizinan memohonkan rekomendasi pada instansi terkait. Kedua, kemungkinan kedua permohonan ditolak. Ketiga,
74
permohonan ditolak. Untuk izin yang ada retribusinya, oleh Kepala Seksi Koordinasi dan Penelitian Lapangan dibuatkan penetapan retribusi perizinan dan berkas permohonan beserta berita acara hasil penelitian lapangan dan penetapan retribusinya diserahkan ke Kepala Seksi Administrasi Pelayanan. Kepala seksi Administrasi Pelayanan membuat draft surat penolakan untuk permohonan yang ditolak, sedang permohonan yang disetujui dibuatkan draft penetapan izin dan untuk izin yang ada retribusinya
dibuatkan Surat Ketetapan
Retribusi Daerah (SKRD). Untuk permohonan yang telah disetujui dibuatkan surat pemberitahuan pembayaran retribusi (izin yang ada retribusinya) yang ditandatangini oleh Kepala. Bagian Tata Usaha. Untuk draft penolakan, penangguhan atau penetapan izin dan SKRD, setelah dicermati dan di paraf oleh Kepala Bidang Pelayanan dan kemudian disampaikan ke kepala dinas untuk ditandatangani. Surat penolakan atau penetapan izin dan SKRD oleh Sub Bagian Umum untuk dicatat diberi nomor dan cap serta digandakan. Surat penolakan dikirimkan kepada pemohon, sedangkan penetapan izin dan SKRD diserahkan kepada Petugas Administrasi Pelayanan. Pemohon yang datang ke loket pelayanan untuk dibuatkan slip pembayaran retribusi dengan menunjukkan tanda bukti pengambilan/pemberitahuan. Pemohon melakukan pembayaran retribusi di Bank (izin bagi yang retribusinya). Setelah itu pemohon kembali ke loket pelayanan dengan membawa bukti pembayaran. Skema untuk mekanisme pelayanan perizinan dapat dilihat dalam gambar 5.1 dibawah ini:
75
Gambar: 5.1 Skema Mekanisme Pelayanan Perizinan 3.2. Mekanisme Pelayanan Legalisir Berdasarkan hasil observasi (20-26 Jnauari 2008) mengenai mekanisme pelayanan legalisir, pemohon datang ke Dinas Perizinan dengan membawa surat permohonan dilengkapi dengan persyaratan dan diserahkan kepada loket pelayanan. Setelah di teliti oleh petugas pelayanan dan dinyatakan permohonan telah lengkap dan benar, maka dibuatkan tanda terima berkas permohonan kepada pemohon. Kemudian petugas pelayanan mencatat data pemohon dan melampirkan blanko kendali pada berkas permohonan untuk diserahkan kepada Bagian Tata Usaha. Untuk izin yang tidak memerlukan penelitian, permohonan legalisir ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha. Sedangkan izin yang memerlukan penelitian lapangan, berkas permohonan diserahkan kepada Kepala Seksi Koordinator Penelitian Lapangan. Petugas/tim penelitian lapangan melakukan
76
peninjauan lokasi yang sebelumnya sudah diberitahukan jadwal penelitian kepada pemohon. Hasil peninjauan lapangan dibuatkan berita acara hasil penelitian lapangan yang ditandatangani oleh Petugas/Tim Penelitian Lapangan dan pemohon.
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, maka permohonan legalisir
akan ditolak apabila surat izin tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Permohonan legalisir disetujui, apabila surat izin telah sesuai dengan kondisi yang ada dan berkas permohonan beserta berita acara hasil penelitian diserahkan kepada Kepala Bagian Tata Usaha. Kepala tata Usaha membuat surat penolakan untuk permohonan yang ditolak, sedangkan yang disetujui permohonan legalisir disetujui oleh Kepala Bagian Tata Usaha. Kepala Bagian Tata Usaha menyampaikan surat penolakan untuk permohonan yang ditolak serta surat pemberitahuan pengambilan legalisir untuk permohonan yang disetujui kepada pemohon. Setelah semua proses telah dilaksanakan, pemohon datang membawa bukti untuk mengambil legalisir. 3.3. Mekanisme Pelayanan Duplikat Berdasarkan hasil observasi dilapangan mengenai mekanisme pelayanan duplikan, pemohon datang ke Dinas Perizinan dengan membawa surat permohonan dengan dilengkapi persyaratan yang diserahkan kepada loket pelayanan. Setelah diteliti oleh petugas pelayanan dan dinyatakan permohonan telah lengkap dan benar, maka dibuatkan tanda terima berkas permohonan kepada pemohon. Petugas pelayanan mencatat data pemohon dengan melampirkan blanko kendali pada berkas permohonan, kemudian diserahkan kepada Bidang Data dan Pengembangan.
77
Untuk izin yang tidak memerlukan penelitian, permohonan legalisir ditandatangani oleh Kepala Bagian Tata Usaha. Sedangkan izin yang memerlukan penelitian lapangan, berkas permohonan diserahkan kepada Kepala Seksi Koordinator Penelitian Lapangan. Petugas/tim penelitian lapangan melakukan peninjauan lokasi yang sebelumnya sudah diberitahukan jadwal suvervisi kepada pemohon. Hasil peninjauan lapangan dibuatkan berita acara hasil penelitian lapangan yang ditandatangani oleh Petugas/Tim Penelitian Lapangan dan pemohon. Berdasarkan hasil penelitian lapangan, maka permohonan duplikat akan ditolak apabila surat izin tidak sesuai dengan kondisi yang ada. Permohonan duplikat disetujui, apabila surat izin telah sesuai dengan kondisi yang ada dan berkas permohonan beserta berita acara hasil penelitian diserahkan kepada Kepala Bidang Data dan Pengembangan. Kepala Bidang Data dan Pengembangan membuat hasil draft surat penolakan untuk permohonan yang ditolak. Sedangkan yang disetujui dibuatkan draft duplikat. Draft surat penolakan atau draft duplikat dimintakan pengesahan kepada kepala dinas. Kepala Bagian Tata Usaha menyampaikan surat penolakan untuk permohonan ditolak serta pemberitahuan pengambilan duplikat untuk permohonan yang disetujui kepada pemohon. Kemudian pemohon datang ke Dinas perizinan mengambil duplikat dengan membawa bukti untuk pengambilan duplikat. Skema mengenai mekanisme pelayanan legalisir dan duplikat dapat dilihat pada gambar 5.2 dibawah ini:
78
Gambar 5.2. Skema Mekanisme Pelayanan Legalisir dan Duplikat 3.4. Mekanisme Pengaduan Masyarakat dapat menyampaikan pengaduannya lewat berbagai saluran yang telah disediakan oleh pemerintah Kota Yogyakarta, yaitu; melalui surat yang ditujukan kepada Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, Melalui internet dengan alamat email
[email protected] <
[email protected] dan sms online 2740, kotak saran yang disediakan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, dan langsung datang ke Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, serta touch screen. Pengaduan melalui surat, internet dan kotak saran akan dicatat oleh Sub bagian Umum, kemudian disampaikan ke Bidang Sistem informasi dan Pengaduan. Sedangkan pengaduan yang disampaikan melalui touch screen dan lisan baik langsung maupun melalui telpon ke Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan pada Dinas perizinan Kota Yogyakarta dicatat oleh Kepala Seksi
79
Pengaduan dan Advokasi. Pengaduan tersebut disampaikan kepada kepala dinas untuk dimohonkan disposisi. Pengaduan yang bisa diselesaikan Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan langsung ditanggapi. Sedangkan pengaduan yang memerlukan kajian oleh Bidang Sistem Informasi dan pengaduan diadakan rapat koordinasi dan peninjauan lokasi (apabila memerlukan penelitian lapangan). Hasil kajian oleh Kepala Seksi Pengaduan dan Advokasi dibuatkan draft jawaban yang diparaf oleh Kepala Bidang Sistem informasi dan Pengaduan yang kemudian disampaikan kepada kepala dinas untuk ditandatangani. Surat jawaban oleh Sub Bagian Umum dicatat, diberi nomor dan cap serta digandakan baru kemudian dikirimkan kepada pemohon dan instansi terkait. Sedangkan pengaduan melalui internet, jawabannya langsung direspon oleh Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan melalui internet. Skema pengaduan secara detail dapat dilihat pada gambar 5.3 dibawah ini:
80
Gambar 5.3. Skema Mekanisme Pelayanan Pengaduan Dengan adanya sistem prosedur yang diatur secara rinci dan detail sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, dapat menjadi titik tolak bagi Dinas Perizinan dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Sebab sistem prosedur tesebut memberi gambaran bahwa Dinas Perizinan berusaha untuk melakukan pelayanan perizinan dengan ketepatan, penyederhanaan, dan mempermudah proses pengurusan perizinan kepada masyarakat. Sistem prosedur perizinan akan lebih baik apabila disertakan dengan target waktu penyelesaian perizinan yang lebih cepat dan efektif. Jenis perizinan yang ada di Dinas perizinan sebanyak dua puluh sembilan (29) jenis ditetapkan waktu yang efektif untuk semua jenis perizinan agar kualitas pelayanan dapat ditingkatkan minimal dengan waktu pelayanan yang semakin singkat dan tidak
81
berbelit-belit. Untuk itu, Walikota mengeluarkan Keputusan Walikota Yogyakarta No. 321/KEP/2007 yang kemudian diperbaruhi dengan Perwal No. 34/2008 tentang Penetapan Waktu Pelayanan Perizinan di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Secara detail waktu penyelesaian dapat dilihat pada tabel 5.2 dibawah ini: Tabel 5.2. Jenis dan Waktu Penyelesaian Pelayan Perizinan di Dinas Perizinan
No.
Jenis Izin
1.
Izin Membangun Bangun-Bangunan (IMBB) a. Bangunan sederhana b. Bangunan tidak pakai hitungan konstruksi c. Bangunan pakai hitungan konstruksi Izin Penyambungan Saluran Air Hujan Izin In Gang Izin Penyambungan Saluran Air Limbah Izin Gangguan (HO) a. Gangguan Kecil b. Gangguan Besar Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri (TDI) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP MB) Izin Usaha Angkutan Izin Penelitian Izin Praktik Kerja Lapangan (PKL) Izin Kuliah Kerja Nyata (KKN) Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) Izin Usaha Hotel dan Penginapan Izin Usaha Restoran, Rumah Makan, Tempat Makan & Jasa Boga Izin Usaha Rekreasi & Hiburan Umum Izin Usaha Impresariat Izin Usaha Perjalanan Wisata Izin Usaha Obyek Wisata Izin Usaha Informasi Pariwisata, Usaha Jasa Konsultan dan Jasa Promosi Pariwisata Izin Usaha Jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah Izin Pengeboran dan Izin Pengambilan Air bawah Tanah Izin Penurapan dan Izin Pengambilan Mata air Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah
2. 3. 4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Waktu Penyelesaian (hari kerja) 12 21 25 9 9 9 12 15 8 5 5 9 2 2 3 9 10 10 10 10 10 10 10 10 9 9 9 9
82
26. Izin Juru Bor Air Bawah Tanah 27. Izin Pendirian Lembaga Pendidikan non Formal 28. Tanda Daftar Gudang (TDG) 29. Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Sumber; Perwal.No. 34 Tahun 2008
9 9 5 5
Berdasarkan tabel 5.2. dapat disimpulkan bahwa perizinan yang memerlukan waktu lama untuk pengurusan izin adalah Izin Membangun BangunBangunan (IMBB) dengan waktu penyelesaian dua puluh lima hari. Sedangkan izin yang paling singkat adalah Izin Penelitian dan Izin Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang memerlukan waktu penyelesaian hanya dua hari. Dengan adanya standar pelayanan tersebut diharapkan dapat membantu unit-unit penyedia jasa pelayanan untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Dalam standar pelayanan ini dapat terlihat dengan jelas dasar hukum, persyaratan pelayanan, prosedur pelayanan, waktu pelayanan, biaya serta proses pengaduan, sehingga petugas pelayanan memahami apa yang seharusnya dilakukan dalam memberikan pelayanan. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan juga dapat mengetahui dengan pasti hak dan kewajiban apa yang harus didapatkan untuk mendapatkan suatu jasa pelayanan. Standar pelayanan juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kinerja suatu unit pelayanan. Dengan demikian, masyarakat dapat terbantu dalam membuat suatu pengaduan ataupun tuntutan apabila tidak mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
4.
Pelayanan Perizinan Berbasis Teknoligi Informasi Keunggulan Dinas Perizinan dalam memberikan pelayanan diperkuat
83
dengan penggunaan yang di Kota Yogykarta sudah berbasis teknologi informasi. Mulai dari persyaratan dan pengambilan formulir perizinan dapat di download di website Dinas Perizinan perizinan.jogjakota.go.id. Untuk pendaftaran dan pemantauan pemantauan perkembangan izin, konsumen dapat menggunakan touch screen. Touch screen adalah suatu perangkat digital yang merupakan layar sentuh LCD, di mana pada aplikasi touch Screen ini sudah terdapat fungsi mouse, keyboard dan layar yang berfungsi untuk meningkatkan pelayanan informasi. Perangkat informasi ini ditempatkan dibagian depan pelayanan. Informasiinformasi yang terdapat didalam modul touch screen meliputi: Persyaratan dan prosedur perizinan, informasi suatu proses perizinan, pengaduan dan keluhan pelayanan perizinan, karcis antrian tunggu pelayanan. Touch screen terdiri dari dua fungsi. Pertama, touch screen infomrasi yang meliputi; menu berandan untuk menampilkan menu utama yang berupa jenis izin, menu buku tamu bagi masyarakat untuk memberikan saran tentang pelayanan perizinan, menu persyaratan untuk memberikan informasi semua persyaratan jenis perizinan yang dibutuhkan, menu status proses untuk mengetahui dan mengecek proses izin yang sudah diajukan, menu keluhan untuk media complain bagi masyarakat yang terkait dengan pelayanan perizinan, dan menu statistik untuk menampilkan jumlah pertanyaan, kritik, dan saran. Kedua, fungsi taouch screen berfungsi sebagai antrean yang digunakan untuk mengambil nomor antrean sesuai kelompok jenis izin yang ada, yaitu; kelompok pertama adalah IMBB, Ingang, SAH, dan SAL. Kelompok kedua adalah HO, SIUP, TDI,TDP, dan TDG. Kelompom ketiga adalah Izin Penelitian,
84
PKL, KKN, serta SIUJK, dan Izin Reklame. Kelompok keempat adalah Izin Kepariwisataan, Izin Usaha Angkutan, LPK.
Gambar 5.4. Perlengkapan Touch Screen Pelayanan
Selain perangkat touch screen yang sangat bermanfaat bagi kemudahaan konsumen dalam melakukan proses perizinan, Dinas Perizinan berusaha untuk mengembangan penggunaan sistem informasi manajemen berbasis teknologi infomrasi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Sistem informasi manajemen pelayanan yang telah tersedia ada depalan software, yaitu: Aplikasi Pelayanan Perizinan, Aplikasi Informasi Perizinan (touch screen), Aplikasi Antrian, Aplikasi SIM HO, Aplikasi SIM SIUP, Aplikasi SIM TDP, Aplikasi SIM IMBB, Aplikasi SIM Izin Penelitian. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa kebijakan reorganisasi perizinan di Pemerintahan Kota Yogyakarta dari UPTSA ke Dinas Perizinan telah memberikan perubahan substantif dari pengurusan izin yang hanya koordinatif dalam satu atap, kemudian berubah dengan sistem
85
pelayanan satu pintu yang dijamin dengan standar dan waktu perizinan yang telah terstandar dengan baik serta pelayanan berbasis teknologi informasi. Oleh karena itu, kebijakan reorgniasasi perizinan dibawah Dinas Perizinan merupakan terobosan yang inovatif dalam melakukan reformasi orgnaisasi. Dengan adanya reformasi organisasi perizinan pada bab berikutnya akan dibahas mengenai implemetasi reformasi organisasi bila dilihat pada aspek formalisasi, sentralisasi, dan spesialisasi.
86
BAB VI IMPLEMENTASI REFORMASI ORGANISASI DALAM PERSPEKTIF FORMALISASI, SENTRALISASI, DAN SPESIALISASI
1.
Pendahuluan Bab ini akan membahas implementasi reformasi organisasi Dinas Perizinan
yang terkait dengan tiga aspek dari dimensi organisasi, yaitu: Pertama, aspek formalisasi yang menjelaskan aturan-aturan tertulis formal yang dijadikan acuan oleh Dinas Perizinan dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsinya. Kedua, aspek spesialisasi yang di bahas adalah tentang pembagian tugas dan fungsi dari masing-masing bagian dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Ketiga, aspek sentralisasi yang dibahas pada mekanisme pengambilan keputusan dan rentang kontrol di Dinas Perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Pemerintah Kota Yogyakarta sebagai salah satu daerah otonom telah melakukan reformasi organisasi yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan publiknya. Beberapa langkah strategis yang dilakukan oleh pemerintah Kota Yogyakarta dalam meningkatkan pelayanan publiknya adalah dengan melakukan reformasi organisasi pelayanan publik yang menjadikan Dinas Perizinan sebagai pelayanan satu pintu. (Hery Zudianto, 2005), Oleh kerena itu, pembahasan dalam bab ini akan mengkaji dan menganalisis aspek implementasi reformasi organisasi di Dinas Perizinan untuk
87
meningkatkan kualitas pelayanan berdasarkan tiga perspektif dari teori organisasi, yaitu; formalisasi, sentralisasi, dan spesialisasi.
2.
Formalisasi Formalisasi adalah suatu tingkat di mana pekerjaan dalam organisasi
dibuat dan diatur dalam aturan yang telah ditetapkan. Jika pekerjaan telah difokuskan, maka pelaksana pekerjaan mempunyai keleluasaan mengenai apa yang harus dikerjakan, kapan harus dikerjakan, dan bagaimana seharusnya mengerjakannya. Sehingga dalam aspek formalisasi, siapapun yang melaksanakan pekerjaan dengan input dan proses yang sama, maka akan menghasilkan output yang konsisten dan seragam. Formalisasi mengindikasikan bahwa setiap tugas dan aturan organisasi yang dijalankan oleh anggotanya harus ditentukan dan diperkuat dengan aturan yang tertulis, termasuk prosedur dan instruksi kerjanya. Oleh karena itu, formalisasi dalam bab ini akan dibahas dalam dua pokok bahasan. Pertama, formasilsasi dari aspek dokumen tertulis yang terkait dengan regulasi perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Kedua, regulasi struktur organisasi Dinas Perizinan Yogyakarta. 2.1. Regulasi Perizinan Regulasi perizinan merupakan pijakan atau acuan yuridis yang dijadikan pedoman oleh instansi terkait dalam melaksanakan pelayanan perizinan. Terkait dengan implementasi reformasi organisasi, maka formalisasi di Dinas Perizinan secara dejure telah dirumuskan dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 17/2005 yang
88
mengatur tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan. Dalam Perda tersebut, Dinas Perizinan mempunyai tugas merumuskan dan merencanakan kebijakan teknis di bidang perizinan; Melaksanakan pembinaan, pemberian dan pembatalan perizinan; Menyelenggarakan pelayanan perizinan sesuai dengan kewenangannya; Melaksanakan sistem informasi dan pengaduan perizinan; Melaksanakan pengelolaan data dan pengembangan; Melaksanakan pemungutan retribusi sesuai dengan kewenangan yang diberikan; Melaksanakan koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas di bidang perizinan; Melaksanakan ketatausahaan. Untuk memperkuat dan memperjelas tugas yang telah diamanatkan dalam Perda tersebut, Walikota mengeluarkan Peraturan Walikota (Perwal) No. 33/2005 tentang Pelayanan Perizinan pada Pemerintahan Kota Yogyakarta. Dalam Perwal tersebut mengatur penyelenggaraan jenis-jenis perizinan, tatacara permohonan ijin. Penyelenggaraan perizinan adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang bertugas menyelenggarakan perizinan adalah Dinas Perizinan, Instansi terkait, dan Kecamatan. Sedangkan dari tujuh puluh enam jenis perizinan yang ada di Kota Yogyakarta yang diserahkan kepada Dinas Perizinan hanya tiga puluh delapan jenis perizinan dan ada tiga puluh empat izin yang dilimpahkan pada instansi teknis serta lima izin diserahkan pada kecamatan. Ada satu izin yang belum ada penyelenggaraannya, yaitu; Izin Pemakaman. Belum diaturnya Izin Pemakaman ini disebabkan adanya tarik menarik antara kelurahan dan kota. Sedangkan untuk kecamatan dari lima izin tersebut adalah kewenangan untuk menerbitkan Izin
89
Membangun Bangun-Bangunan dan Izin Gangguan, Izin Penutupan Jalan Tertentu, Izin Lokasi Pedagang Kaki Lima, dan Izin Usaha Penyelenggaraan Pondokan. Seiring dengan perkembangan dinamika sosial ekonomi masyarakat, Pemerintahan Kota Yogyakarta terus menerus melakukan kajian terhadap perizinan yang sudah ada dan akan melakukan peninjauan kembali perizinan yang sudah tidak relevan lagi atau menambah jenis perizinan baru yang berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Terkait dengan perkembangan tersebut, Pemerintahan Kota Yogyakarta melakukan revisi terhadap Perwal No. 33/2006 dengan menerbitkan Perwal No. 09/2007. Di mana, dalam Perwal tersebut diatur bahwa jenis perizinan yang ada di Kota Yogyakarta sebanyak tujuh puluh delapan izin yang diserahkan kepada Dinas Perizinan hanya tiga puluh lima izin. Dalam perkebangannya Perwal No. 09/2007 dikaji lagi sebab ada beberapa izin yang perlu digabung dan dihilangkan disesuaikan dengan dinamika perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Sehingga Perwal No. 09/2007 kemudian direvisi lagi dengan Perwal No. 33/2008. Dengan terbirnya Perwal No. 33/2008, jumlah izin yang dilimpahkan kepada Dinas Perizinan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta mengalami mengurangan dari tiga puluh lima menjadi dua puluh sembilan izin. Berkurangnya jumlah perizinan disebabkan beberapa hal, yaitu: Pertama, adanya penghapusan beberapa izin, seperti; Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dari Sumur Bor dan Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dari Sumur Gali atau Sumur Pasok/Pantek, serta Izin Juru Bor. Kedua, adanya penggabungan beberapa izin, seperti Izin
90
Pengambilan Mata Air dan Izin Penurapan Mata Air. Ketiga, adanya izin baru, yaitu: Izin Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Sedangkan untuk instansi terkait bertambah karena adanya izin baru, yaitu: Izin Dispensasi Jalan, Izin Penggunaan jalan di Luar Kepentingan lalu Lintas, Izin Operasi, Izin Insedentil, dan Izin Tempat Khusus Parkir untuk Swasta yang penyelenggaraan diberikan pada Dinas Perhubungan, serta Izin Pemakaman yang diselenggarakan oleh Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Berdasarkan regulasi perizinan di atas, maka Dinas Perizinan dalam memberikan atau melayani perizinan selalu mengacu pada dasar hukum atau regulasi telah ditetapkan, baik dalam bentuk Keputusan Menteri (Kepmen), Keputusan Dirjend, Perda, Keputusan Gubernur (Kepgub), Peraturan Walikota (Perwal), Keputusan Walikota (Kepwal). Untuk detail mengenai jenis perizinan berdasarkan regulasinya dapat dilihat pada tabel 6.1. dibawah ini: Tabel 6.1. Jenis Perizinan Berdasarkan Regulasinya No. 1.
9.
Jenis Izin Izin Membangun Bangun-Bangunan (IMBB) Izin Penyambungan Saluran Air Hujan Izin In Gang Izin Penyambungan Saluran Air Limbah Izin Gangguan (HO) Izin Usaha Industri dan Tanda Daftar Industri (TDI) Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Surat Izin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (SIUP MB) Izin Usaha Angkutan
10.
Izin Penelitian
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Regulasi • Perda No. 4,5,6/1998 • Perda No.24, 25/2009 • Perda No. 9/1991 • Perda No. 9/ 1991 • Perda No. 9/ 1991 • Perda No. 2/ 2005 • Kepmen..Perindag No. 289/ MPP/ Kep/ 10/ 2001 • Perda No. 4 dan 5/2009 • Permen Perindag No. 15/M/DAG/PER/2006 • Perda No. 5 dan 6/2001 • Kepgub. DIY No. 38/12/2004 • Kepwal. Yogyakarta No. 072/KD/1986
91
11.
Izin Praktik Kerja Lapangan (PKL)
12.
Izin Kuliah Kerja Nyata (KKN)
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
21.
Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK) Izin Usaha Hotel dan Penginapan Izin Usaha Restoran, Rumah Makan, Tempat Makan & Jasa Boga Izin Usaha Rekreasi & Hiburan Umum Izin Usaha Impresariat Izin Usaha Perjalanan Wisata Izin Usaha Obyek Wisata Izin Usaha Informasi Pariwisata, Usaha Jasa Konsultan dan Jasa Promosi Pariwisata Izin Usaha Jasa Konvensi, Perjalanan Insentif dan Pameran
22.
Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah
23.
Izin Pengeboran dan Izin Pengambilan Air bawah Tanah
24.
Izin Penurapan dan Izin Pengambilan Mata air
25.
Izin Perusahaan Pengeboran Air Bawah Tanah
26.
Izin Juru Bor Air Bawah Tanah
27.
Izin Pendirian Lembaga Pendidikan non Formal
• Kepgub.DIY No. 38/12/2004 • Kepwal. Yogyakarta No. 072/KD/1986 • Kepgub. DIY No. 38/12/2004 • Kepwal No. 072/KD/1986 • Perda No. 4/2001 • Perda No. 2/ 2002 • Perda No. 2/2002 • Perda No. 4/2002 • Perda No. 5/2002 • Perda No. 6/2002 • Perda No. 7/2002 • Perda No. 8/2002 • Perda No. 9/2002 • Kepmen. Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451K/10/MEM /2000 • Kepmen. Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451K/10/MEM /2000 • Kepmen. Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451K/10/MEM /2000 • Kepmen. Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451K/10/MEM /2000 • Kepmen. Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1451K/10/MEM /2000 • Kepmen. Diknas No. 261/U/1999 • Kep. Dirjen Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga No. 110/E/MS/1999 • Kepmen. Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 229/Men/2003
92
28.
Tanda Daftar Gudang (TDG)
29.
Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
• Kepmen Perindag. No. 105/MPP/Kep/2/1998 • Perda No. 17/2005 • Perwal No. 05/2006
Sumber; Dinas Perizinan, 2009 Di Dinas Perizinan, regulasi perizinan dalam implementasinya terdapat permasalahan yang subtansial. Berdasarkan hasil temuan lapangan, ada tiga permasalahan yang terkait masalah regulasi perizinan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dalam meningkatkan kualitas pelayanan perizinan. Pertama, Izin yang telah dilaksanakan belum diperdakan. Berdasarkan Perwal No. 33/2008 tentang Penyelenggaraan Perizinan Pada Pemerintah Kota Yogyakarta, ada dua puluh sembilan Izin yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta dari tujuh puluh empat jenis Izin yang ada di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Ke dua puluh sembilan izin yang ada, baru tujuh belas yang sudah ada Perdanya. Sedang empat belas izin yang lain belum ada perdanya dan masih mengacu pada aturan yang dibuat oleh keputusan gubernur, walikota, dan pemerintah pusat dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) maupun dalam bentuk aturan lain di departemen teknis. Kendala bagi izin yang belum ada Perdanya adalah kurangnya kewenangan penuh dari pemerintah daerah terkait dengan prosedural, teknis, pengawasan, dan penindakan perizinan. Sehingga upaya ke depan dari Dinas Perizinan Kota Yogyakarta adalah berusaha mengkaji secara terus-menerus regulasi yang sesuai kebutuhan dan kondisi daerah. Kedua, Ada beberapa Perda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Secara keseluruhan Perda Perizinan, ada beberapa Perda yang tidak relevan lagi, sehingga perlu direvisi untuk disesuaikan
93
perkembangan saat ini, seperti; Perda No. 07/1999 tentang Retribusi Izin Gangguan (HO), Perda No. 04/1991 tentang SIUJK, Perda No. 04,05,06/1998 tentang IMBB. Perda tersebut dalam implementasinya terdapat beberapa hal yang tidak sesuai lagi dengan konteks saat ini, terutama terkait dengan hal teknis pelayanan, baik dari aspek prosedural, waktu pelayanan, dan biaya. Ketiga, Ada dua belas izin yang tidak bisa dilaksanakan di Kota Yogyakarta. Ke dua belas izin tersebut adalah Izin Eksplorasi Air Bawah Tanah (ABT), Izin Pengeboran ABT, Izin Perusahaan Pengeboran ABT, Izin Pengambilan dan Pemanfaatan ABT dari Sumur Bor, Izin Pengambilan Mata Air, Izin Pengembilan dan Pemanfaatan ABT dari Sumur Gali/Pantek, Izin Penurapan Mata Air, Izin Shooting Film, Rental VCD/LCD/CD, Bioskop, Izin Pendirian Depot Lokal, Izin Pendirian SPBU, Izin Pengumpulan dan Penyaluran Pelumas Bekas, Izin Pemasaran Bahan Bakar Khusus untuk Mesin dua langkah. Berdasarkan analisis yang dilakukan secara internal oleh Dinas Perizinan, bahwa ke dua belas izin tersebut sangat susah karena tidak sesusai lagi dengan kondisi yang ada di lapangan. Hal ini diperkuat oleh penyataan Sutarto sebagai Kapala Bagian Pelayanan Perijinan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta: Dalam menigkatkan kualitas perizinan, regulasi yang ada akan selalu dikaji berdasarkan input dari instansi pelaksana, instansi teknis, dan masyarakat. Hasil kajian dan masukan tersebut, kemudian diusulkan ke Bagian Organisasi Pemerintah Kota Yogyakarta. Setelah itu, Bagian Organisasi akan mengolah dan menkaji apakah masukan tersebut layak untuk ditindaklanjuti dengan berkoordinasi dengan Bagian Hukum Pemerintah Kota. Bagian Hukum inilah yang akan melihat apakah masukan terkait dengan regulasi tersebut akan dibuatkan Perda atau Perwal. Sebab dengan diatur secara jelas dalam Perda atau Perwal akan memberikan kewenangan yang jelas bagi instansi terkait dalam melaksanakan perizinan dan format perizinan bisa disamakan dengan yang sudah diatur dalam Perda maupun Perwal. (Wawancara, 06 Januari 2008).
94
Dengan adanya permasalahan di atas, maka Dinas Periizinan berusaha mengkaji secara terus menerus untuk memperkuat regulasi perizinan yang sudah dilaksanakan dengan mengusulkan untuk dibuatkan atau direvisi Perda yang belum sempurna dengan meminta masukan dari instansi pelaksanan, instansi teknis, dan masyarakat, sehingga kualitas perizinan yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. 2.2. Regulasi Organisasi Regulasi orgamisasi adalah aturan yang mengatur suatu organisasi agar mampu bekerja sesuai dengan struktur yang ada untuk meningkatkan kualitas pelayanannya. Regulasi organisasi pada Dinas Perizinan selalu mengalami perubahan seiring dengan perkembangannya. Dalam Perda No. 17/2005, Pemerintahan Kota Yogyakarta mengeluarkan Perwal No. 187/2005 tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Ternyata Perwal ini mempunyai kekurangan. karena tidak diaturnya secara detail mengenai Pengawasan. Sebab dalam implementasinya, setiap pengeluaran izin dan pelaksaan izin, pengawasan menjadi point penting untuk menghindari manipulasi perizinan yang dilakukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Yogyakarta menerbitkan Perwal No. 14/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta No. 187/2005 tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dalam Perwal tersebut diatur secara khusus mengenai tugas dan fungsi Seksi Pengaduan, Pengawasan, dan Advokasi. Sebagaimana yang disampaikan Dodit Sugeng
95
Murbowo sebagai Kapala Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan dan Advokasi. Memang sejak awal berdirinya Dinas Perizinan, untuk pengaduan dan pengawasan tidak diatur secara tegas dalam Perda No. 5/2007. Setelah dilaksanakan, ternyata pengaduan dan pengawasan banyak sekali masuk ke Dinas. Sehingga Wali Kota mengeluarkan Perwal No. 187/2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta yang menyisipkan pengawasan dan pengaduan ini disatukan dengan Bagian Sistem Informasi dan Data. (Wawancara, 09 Januari 2008).. Dengan adanya Perwal No. 187/2005 di atas, dengan sendirinya pengawasan disisipkan di Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan. Ternyata dalam implementasinya masuknya pengawasan di Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan sangat dipaksakan karena tidak sinkron dari aspek teknis pekerjaan. Seharusnya Pengaduan dan Advokasi itu menjadi bidang tersendiri atau berada dibawah Bidang Pelayanan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dodit Sugeng Murbowo sebagai Kepala Bidang Sistem Informasi dan Pengaduan dan Advokasi; Di bidang saya ini ada dua seksi, yaitu; Seksi Sistem Informasi dan Pengaduan dan Pengawasan. Bila dilihat dari teknis dan implementasinya kedua sangat dipaksakan dan tidak sinkron dari aspek teknis pekerjaan. Seharusnya untuk Pengaduan dan Pengawasan ini harus menjadi bagian dari pelayanan atau menjadi bidang sendiri. (Wawancara, 09 Januari 2008)
Dengan adanya permasalahan diatas, Pemerintahan Kota Yogyakarta melakukan kajian mengenai struktur Dinas perizinan yang lebih baik. Hasil kajian ini kemudian mengeluarkan Perda No. 10/2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah. Dimana, dalam Perda tersebut pengawasan menjadi bidang tersendiri dibawah Bidang Pengaduan dan Pengawasan.
96
3.
Sentralisasi Sentralisasi adalah tingkat di mana pengambilan keputusan dipusatkan pada
suatu titik tunggal dalam organisasi. Sentralisasi merefleksikan tingkat kontrol top managemen yang terkait dengan alur dan mekanisme pelayanan. Muklir (2005;7) memaknai sentralisasi sebagai sejauhmana kekuasaan itu didistribusikan diantara tugas-tugas pekerjaan yang merupakan tingkat hirarki wewenang, ini menyangkut keputusan-keputusan mengenai kegiatan sehari-hari dari setiap tugas yang perlu untuk operasi yang efisien dan lancar. Pembahasan terkait dengan sentralisasi akan difokuskan pada tiga aspek, yaitu; Pertama, rentang kontrol (span of
control) untuk setiap bagian. Kedua,
mekanisme pengambilan keputusan. Ketiga, pola pelimpahan kewenangan antara atasan dan bawahan.
3.1. Rentang Kontrol (Span of Control) Untuk sentralisasi terkait dengan span of control di Dinas Perizinan secara rinci telah diatur dalam Peraturan Kepala Dinas Perizinan No. 01/2006 tentang Sistem dan Prosedur Pelayanan Perizinan pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dengan adanya sistem prosedur dan waktu pelayanan yang telah dijelaskan pada Bab V sebelumnya dengan jelas dan rinci menggambarkan bahwa mekanisme pelayanan perbagian dan seksi sampai tingkat terbawah telah terdistribusi dengan baik melalui routing slip untuk mengontrol pekerjaan karyawan secara berjenjang yang didukung dengan aplikasi yang sangat inovatif dan efektif. Routing slip adalah lembar kendali yang diaplikasikan melalui suatu sistem.
97
Lewat aplikasi routing slip ini proses izin dapat di pantau untuk setiap proses/tahapannya. Disamping untuk pengendalian internal, masyarakat/pemohon dapat mengetahui proses izin mereka dengan memasukkan nomor pendaftaran izin melalui touch sreen. Dengan adanya aplikasi routing slip ini terlihat bahwa kinerja dinas untuk mencapai visi dan misinya akan terwujud dengan adanya kepastian waktu dan kecepatan dalam proses setiap izin. Dalam implementasinya, routing slip ini mampu memberikan pelayanan yang maksimal dengan tingkat kontrol yang baik oleh konsumen maupun atasannya langsung. Sehingga kemacetan dan keberlangsungan proses perizinan tersebut dapat dipantau dengan menggunakan touch screen. Sedangkan kontrol atasan dapat diketahui dengan memberikan paraf pada lembar kendali terhadap kinerja staf dalam menangani izin. Bahkan bila dilihat dari proses akuntabiltas pelayanannnya, routing slip berbasis teknologi informasi diharapkan mampu untuk meningkatkan mutu pelayanan perizinan terutama yang terkait dengan adanya kepastian waktu, syarat, biaya, akuntabilitas, dan terjangkau. Sebagaimana yang terlihat pada gambar 6.1 dibawah ini:
98
Sumber: Dinas Perizinan, 2008
Gambar 6.1. Akuntabilitas Routing Slip Berbasis TI Dengan adanya akuntabiltas sistem routing slip berbasis teknologi informasi tersebut mampu meningkatkan kualitas pelayanan perizinan sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini diperkuat dengan adanya respon dari konsumen yang merasakan bahwa proses perizinan di Dinas Perizinanan Kota Yogyakarta untuk prosedur dan pelayanan sudah sangat baik dan cepat. Sebagainama yang disampaikan oleh Candra yang mengurus Izin In gang: Saya melihat dari aspek pelayanan di Dinas Perizinan sudah bagus terutama dari aspek penjelasan proses izin oleh staf secara rinci dan dijelaskan semua. Apalagi selama proses pengurusan sangat mudah dan tidak berbelit-belit. Walaupun baru sekali ini mengurus izin. Hanya saja untuk lama waktu pengurusan In Gang masih terlalu lama sebab proses sampai terbitnya surat izin perlu waktu dua minggu. Kalau bisa lebih dipercepat lagi. (Wawancara, 10 Januari 2008) Hal yang sama juga disampaikan oleh Misbahurrahman yang mengurus izin penelitian, menyatakan bahwa:
99
Pelayanan di Dinas Perizinan sudah baik, karena pelayanan pengurusan surat izin dilayani oleh satu orang sampai selesai Hanya masih ada sedikit kekurangan terkait pengurusan foto copy berkas jauh dan stempelnya masih kesana-kemari semestinya surat izin keluar sudah di stempel kok masih kita yang harus stempel ke bagian yang khusus stempel. (Wawancara, 10 Januari 2008) Oleh Karena itu, rentang kontrol (span of contro) yang dirancang Dinas Perizinan sangat baik dan berdampak positif bagi kepuasan konsumen yang merasakan bahwa kualitas pelayanan prizinan mudah dan nyaman, walaupun masih terdapat berbagai kekurangan terkait masalah pengurusan beberapa izin masih dianggap terlalu lama sampai terbitnya izin, dan masalah tidak adanya sarana foto copy disediakan di dalam kantor serta masalah stempel yang tidak langsung pada saat surat izin terbit, melainkan customer yang harus ke bagian khusus menstempel izin. Memang untuk mekanisme kontrol baik oleh atasan maupun konsumen sudah baik, namun untuk jangka waktu proses sampai keluarnya izin masih dirasakan terlalu lama oleh customer. Seharusnya Dinas Perizinan harus melihat kembali proses waktu sampai izin terbit yang telah ditetapkan untuk dipercepat sesuai dengan tingkat kesulitan dalam menangani izin. 3.2. Mekanisme Pengambilan Keputusan Mekanisme pengambilan keputusan di Dinas Perizinan secara tersurat memang belum diatur secara rinci. Namun, ada kesepakatan bersama di Dinas Perizinan untuk melakukan koordinasi terkait dengan pelayanan perizinan dilakukan dalam dua bentuk koordinasi, yaitu; koordinasi yang bersifat informal. dan koordinasi yang bersifat formal. Koordinasi yang bersifat informal dilakukan secara insendentil disesuaikan dengan permasalahan yang ada. Koordinasi
100
informal ini lebih banyak dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan urgent di tingkat bidang atau seksi, sehingga dapat diselesaikan secara cepat dan tepat. Koordinasi yang bersifat formal telah disepakati dalam satu minggu dengan agenda yang telah disusun dengan jelas. Untuk koordinasi formal, intensitas koordinasi dilakukan setiap minggu sesuai dengan jadwal. Koordinasi setiap Senin digunakan untuk rapat internal dan rapat khusus untuk bidang administrasi pelayanan dengan tujuan mengevaluasi kendala teknis yang terkait dengan pelayanan perizinan. Untuk Selasa adalah koordinasi administrasi pelayanan untuk mengontrol dan evaluasi status perizinan yang diproses, apakah terdapat kendala. Pembahasan dalam rapat ini lebih fokus pada pembahasan terkait kendala teknis yang belum diatur, maka Kepala Dinas menyampaikan langsung kepada Sekretaris Daerah atau Walikota untuk minta pertimbangan teknis. Untuk Kamis adalah khusus koordinasi Bidang Pengawasan dan Pengaduan. Sedangkan Sabtu adalah koordinasi untuk koordinator lapangan (Korlap), cuci gudang, dan pembersihan virus. Cuci gudang yang dimaksud adalah upaya untuk mengontrol proses perizinan yang belum terselesaikan agar bisa diketahui hambatannya dan segera diselesaikan proses perizinannya. Untuk detail koordinasi formal di Dinas Perizinan dapat dilihat tabel 6.2 dibawah ini: Tabel 6.2. Jadwal Koordinasi di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta No Bidang 1 Intern Dinas 2 Administrasi Pelayanan
Jam 07.30 09.00
Hari Senin Senin
3
Administrasi Pelayanan
13.00
Selasa
5
Pengawasan
09.00
Kamis
101
6
Pengendalian
09.00
Kamis
7 8 9
Koordinator lapangan Cuci Gudang Pembersihan Virus Komputer
09.00 11.00 09.00
Sabtu Sabtu Sabtu
Sumber; Dinas Perizinan, 2007
Berdasarkan tabel 6.2. di atas dapat dilihat bahwa implementasi pelayanan perizinan dilakukan melalui koordinasi yang intens sehingga mampu menjawab berbagai permasalahan dengan cepat dan tepat. Sebagaimana yang disampaikan oleh Hardono sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Perizinan. Hasil rapat koordinasi mingguan memang sangat efektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul dilapangan. Selama ini hasil rapat koordinasi telah menghasilkan kesepakatan yang konkrit, seperti; percepatan/penghematan waktu pelayanan, penyederhanaan sistem dan prosedur izin, kelengkapan persyaratan izin, efektifitas pelaksanaan tugas di lapangan, efektifitas pelaksanaan administrasi, persamaan persepsi terhadap pencermatan peraturan (Wawancara, 10 Januari 2008)
Oleh karena itu, mekanisme pengambilan keputusan di Dinas Perizinan terlihat sudah efektif dalam implementasinya dengan adanya koordinasi intens, baik formal maupun informal. Dengan adanya mekanisme pengambilan keputusan yang telah terkoordinasi dengan baik, maka upaya peningkatan mutu pelayanan dapat tercapai dengan baik. 3.3. Pelimpahan Kewenangan Pelimpahan kewenangan adalah satu cara organisasi untuk memberikan tugas tertentu dari atasan kepada bawahannya. Pelimpahan kewenangan berarti menetapkan tanggungjawab untuk bidang tertentu dengan otoritas yang diperlukan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Pelimpahan kewenangan tidak berarti penyerahan kewenangan secara penuh, melainkan pembagian
102
sebagian tugas oleh atasan kepada bawahannya. Ini berarti pengalihan tanggungjawab tertentu kepada bawahan dengan memberi otoritas yang diperlukan untuk menelaah dan menandatangani izin yang sudah ditentukan. Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Nomor 01/KEP/DINZIN/2007 tentang Pelimpahan Kewenangan Kepala Dinas Perizinan Kepada Pejabat Struktural Eselon III di Dinas Perizinan untuk menandatangani perizinan.
Di
mana,
Kepala
Dinas
melimpahkan
kewenangan
untuk
menandatangani perizinan kepada Kepala Bidang Pelayanan, Kepala Bidang Data dan Pengembangan, dan Kepala Bagian Tata Usaha. Kepala Bidang Pelayanan Perizinan diberi pelimpahan kewenangan unruk menandatangani izin yang terkait dengan IMBB yang luasnya tidak lebih dari 100 meter persegi dan bangunan tidak bertingkat, Izin Saluran Air Hujan (SAH), Izin Saluran Air Limbah (SAL), Izin In-gang, Izin Usaha Perdagangan (SIUP) kecil, perpanjangan Izin Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan data ulang tahunan Izin Usaha Jasa konstruksi (SIUJK). Untuk Kepala Bidang Data dan Pengembangan diberi kewenangan untuk menandatangani semua izin yang terkait dengan duplikat surat izin. Sedangkan Kepala
Bagian
Tata
Usaha
diberikan
pelimpahan
kewenangan
untuk
menandatangani izin penelitian dan legalisasi perizinan. Dengan adanya pelimpahan kewenangan di atas, maka berkas perizinan tidak akan numpuk di Kepala Dinas Perizinan. Sehingga proses pelimpahan bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelayanan perizinan di limgkungan Pemerintahan Kota Yogyakarta.
103
4.
Spesialisasi Mintzberg (dalam Willem dan Buelens, 2006) mendefinisikan spesialisasi
merupakan salah satu dimensi organisasi yang didalamnya terdapat adanya pembagian tugas dalam sub bagian dan pegawai yang dialokasikan untuk menjalankan tugas sesuai dengan konpetensinya. Untuk spesialisasi yang ada di Dinas Perizinan akan dibahas dengan melihat pada pembagian dan beban tugas serta pola pengembangan kapasitas staf yang lebih kompeten. 4.1. Pembagian dan Beban Tugas Staf Di Dinas Perizinan, spesialisasi dapat dilihat dari komposisi sumberdaya manusia yang menjalankan tugas serta beban tugas telah diatur secara detail dalam Peraturan Walikota (Perwal) Yogyakarta No. 187/2005 tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Berdasarkan sumberdaya manusia yang ada di Dinas Perizinan, maka beban tugas yang diemban oleh staf menjadi tidak seimbang dengan jumlah sumberdaya manusia yang berjumlah tujuh puluh delapan orang. Spesialisasi dalam organisasi pemerintahan terlihat dengan semakin meningkatnya volume pekerjaan, keikutsertaan aparatur dalam pelatihan. Untuk melihat implementasi dari aspek spesialisasi di Dinas Perizinan masih terdapat permasalahan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan terkait kuantitas staf yang mengerjakan tugas tidak sesuai dengan tugasnya (rangkap jabatan) dan kualitas staf yang tidak kompeten.
104
Pertama, Staf yang melaksanakan pekerjaan tidak sesuai tugasnya (rangkap pekerjaan). Hal ini disebabkan secara kuantitas jumlah staf sangat kurang. Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta mengidealkan bahwa staf yang ideal untuk Dinas Perizinan sekitar kurang lebih seratus tiga puluh tujuh orang (Pontjo Siwi, Wawancara, 29 November 2007). Untuk mengantisipasi pelayanan yang maksimal dengan staf yang minimal, maka pembagian kerja diatur berdasarkan empat kelompok loket pelayanan. Loket pertama adalah IMB, SAL dan In gang. Loket kedua adalah HO, SIUP, TDP, TDI. Loket ketiga adalah Penelitian, PKL, KKN. Loket keempat adalah front office dan tempat pengambilan izin. Sehingga dengan adanya pembagian kerja berdasarkan loket ini bisa mengefektifkan pelayanan perizinan. Kedua, Kualitas staf yang tidak sesuai dengan kompetensinya. Sejak berdirinya Dinas Perizinan, bila dilihat dari jenis perizinan yang dilaksanakan tidak didukung oleh staf yang kompeten di bidang perizinan. Kurangnya staf yang kompeten ini disebabkan adanya hambatan dari instansi teknis dari pelaksana izin sebelumnya yang tidak memberikan stafnya sesuai dengan kompetensi. Misalnya terkait kemampuan teknis staf yang menguasai analsis dampak lingkungan dan konstruksi. Karena Dinas Teknis masih sangat membutuhkan tenaga ahli tersebut. Hal ini senada disampaikan oleh Hardono sebagai Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Perizinan. Saat itu, konsep awal Dinas Perizinan dijadikan icon oleh Pemerintah Kota sehingga tenaga yang dipilih harusnya dari tenaga profesional dan sesuai dengan kompetensi. Tapi dalam implementasinya, dinas teknis keberatan, misalnya untuk IMB yang membutuhkan tenaga teknik untuk menggambar konstruksi termasuk tenaga ahli planologi. Keberatannya dinas teknis itu karena tenaga tersebut masih dibutuhkan dan keberatan kalau ditarik ke
105
Dinas Perizinan. Ada izin yang tidak ada ahlinya, misalnya Izin Pelatihan Kerja, Izin LPK. Solusinya adalah mencari calon pegawai yang sesuai dengan kompotensi di Dinas perizinan. (Wawancara, 23 Januari 2008). Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa kompetensi sumberdaya manusia yang sesuai dengan jenis izin yang ada masih sangat terbatas. Sehingga dinas teknis yang seharusnya mampu menyediakan ternyata dalam kenyataannya dinas teknis juga masih membutuhkan. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pembagian kerja, maka Dinas Perizinan melakukan pengembangan kapsitas staf yang lebih diarahkan pada pembinaan kemampuan staf untuk mengerjakan semua jenis pelayanan perizinan. 4.2. Pola Pengembangan Kapasitas Staf Untuk mengatasi permasalahan terkait dengan pembagian beban diatas, maka Dinas Perizinan Pemerintahan Kota Yogyakarta melakukan beberapa kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi staf melalui in house traing dan pelatihan. In house training telah dilaksanakan secara rutin, terutama pada awal-awal Dinas Perizinan. Tujuan in house training adalah meningkatkan pemahaman petugas perizinan terhadap berbagai jenis perizinan yang ditangani oleh Dinas Perizinan, meningkatkan sinergitas petugas perizinan dalam memberikan pelayanan, meningkatkan pemahaman peserta tentang tugas pokok dan fungsinya, meningkatkan pemahaman peserta berkaitan dengan kelengkapan administrasi pelayanan dan routing slip. Pelaksanaan in house training telah merumuskan kebutuhan Dinas Perizinan sebagai berikut: Kajian tentang Tata Aturan Perizinan, Perencanaan Strategis dan Menciptakan brand image Dinas Perizinan, Penataan
106
Personal, Penerbitan Buku Saku Peraturan Perizinan, Tehnis Pengawasan Perizinan, Ketrampilan staf berbasis teknologi informasi, Terwujudnya kepastian pelayanan perizinan yang prima, Terwujudnya pelayanan perizinan yang prima di Kota Yogyakarta. Selain in house training, untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang prima, maka Dinas Perizinan mengadakan Pelatihan Optimalisasi Peran Petugas Dinas Perizinan Dalam Mewujudkan Pelayanan Yang Prima yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang esensi pelayanan publik yang prima bagi personalia Dinas Perizinan dan mengembangkan kemampuan dan ketrampilan personalia. Secara umum penyelenggaraan kegiatan ini telah berjalan dengan baik, kegiatan ini telah menghasilkan beberapa capaian diantaranya adalah: adanya peningkatan pemahaman para personalia Dinas Perizinan tentang paradigma pelayanan publik yang berbasis pada kepuasan masyarakat dan mengenai standar pelayanan publik yang prima. Adanya kemampuan para personalia Dinas Perizinan yang sesuai dengan standar pelayanan publik yang prima melalui sesi simulasi dan hasil test. Dengan adanya reformasi organisasi perizinan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka keberadaan Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk meningkatkan kualitas pelayanan dapat dilihat dengan adanya penilaian yang diberikan oleh customer berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) untuk izin tertentu selama lima bulan pada 2007, sebagaimana yang dilihat pada tabel 6.3 dibawah:
107
Tabel 6.3. Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat April - Agustus 2007 Pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Nilai Unsur Pelayanan No
Unsur Pelayanan
Tahun 2007 Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
1
Izin IMBB
72,29
73,86
73,59
73,78
73,97
2
Izin Gangguan
72,49
73,37
73,40
73,62
73,76
3
Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
75,00
76,93
76,77
76,53
76,72
4
Izin Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
75,09
75,74
76,13
76,17
76,18
5
Izin Penelitian
72,24
72,89
72,98
73,54
73,95
Sumber; Dinas Perizinan, September 2007 Berdasarkan tabel 6.3 di atas, dapat dilihat bahwa hasil IKM untuk jenis izin IMBB, Izin Gangguan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Tanda Daftar Perusahaan (TDP), dan Izin Penelitian
menunjukkan bahwa kualitas
pelayanan di Dinas Perizinan selama April sampai September dalam kategori baik dengan nilai total rerata tujuh puluh enam. Penilaian ini didasarkan pada empat belas unsur pengurukuran, yaitu: Prosedur Pelayanan, Persyaratan Pelayanan, Kejelasan petugas pelayanan, Kedisiplinan petugas pelayanan, Tanggungjawab petugas pelayanan, Kemampuan petugas pelayanan, Kecepatan pelayanan, Keadilan mendapatkan pelayanan, Kesopanan dan keramahan petugas, Kewajaran biaya pelayanan, Kepastian biaya pelayanan, Kepastian jadwal pelayanan, Kenyamanan Lingkungan, dan Keamanan Pelayanan Bahkan dengan adanya reformasi organisasi perizinan menjadi dinas tersendiri merupakan terobosan yang kreatif dan inovatif dari pemerintah Kota
108
Yogyakarta untuk melakukan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dengan menjadikan Dinas Perizinan menjadi icon pemerintah Kota Yogyakarta dan pada 2008 mendapat Sertifikat ISO 900/1. Dengan hasil tersebut di atas, menunjukkan bahwa reformasi organisasi perizinan dalam wadah Dinas Perizinan telah menunjukkan pengakuan dan prestasi yang diakui baik ditingkat nasional maupun internasional. Ditingkat nasional, Dinas Perizinan mendapat Bung Hatta Award dan Penghargaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),. Sedangkan ditingkat internasional, Dinas Perizinan diakui dengan adanya Sertifikat ISO 900/1, dan Transparansi Internasional, serta sering didatangi tamu dari negara lain sebagai lesson learn terkait dengan pengelolaan perizinan.
109
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
1.
Kesimpulan Reformasi perizinan dari UPTSA menjadi Dinas Perizinan telah
mengakibatkan peubahan yang substansi terkait dengan reorganisasi perizinan di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Kebijakan reorganisasi ini ditandai dengan adanya Peraturan Daerah (Perda) Kota Yogyakarta Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perizinan. Perda tersebut menjadi titik tolak bagi reorganisasi perizinan di lingkungan Pemerintahan Kota Yogyakarta. Sebab dengan adanya penetaan organisasi tersebut menandakan bahwa pengurusan perizinan satu pintu ini dibawah dinas tersendiri menjadi lebih efisien dan efektif. Selain adanya penataan organisasi, reformasi diperizinan juga diperkuat dengan adanya peningkatan kualitas sistem dan prosedur perizinan Dengan adanya reorganisasi perizinan di atas, maka dinas diberi kewenangan untuk melakukan sinkronisasi sistem prosedur pelayanan perizinan secara integratif yang tidak hanya bersifat parsial. Di mana pelayanan perizinan yang dilayanani secara tunggal tidak berkaitan dengan izin yang lain atas permintaan pemohon, melainkan juga bersifat pararlel dengan pengurusan perizinan jenis perizinanan yang terkait dengan persyaratan yang tidak berulang-ulang.
110
Sistem prosedur dan waktu pelayanan yang diataur secara rinci dan detail akan menjadi titik tolak bagi Dinas Perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan sehingga dapat dijadikan ukuran kinerja. Oleh Kerana itu, sistem prosedur perizinan yang dilaksanakan oleh Dinas Perizinan disesuaikan dengan alur dan mekanisme yang menjadi tugas yang diberikan untuk melakukan pelayanan perizinan, legalisir, duplikat, dan pengaduan. Mekanisme ini diatur dalam Peraturan Kepala Dinas Nomor 01 Tahun 2006 Tentang Sistem dan Prosedur Pelayanan Perizinan pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Dengan adanya sistem prosedur yang rinci dan rigid tersebut, Dinas Perizinan diperkuat juga dengan penggunaan perangkat teknologi informasi yang memudahkan customer dalam pengurusan izin. Mulai dari persyaratan dan pengambilan formulir perizinan dapat di download di website Dinas Perizinan perizinan.jogjakota.go.id. Untuk pendaftaran dan pemantauan pemantauan perkembangan izin, konsumen dapat menggunakan touch screen. Touch screen adalah suatu perangkat digital yang merupakan layar sentuh LCD, di mana pada aplikasi touch Screen ini sudah terdapat fungsi mouse, keyboard dan layar yang berfungsi untuk meningkatkan pelayanan informasi. Perangkat informasi ini ditempatkan dibagian depan pelayanan. Informasi-informasi yang terdapat didalam modul touch screen meliputi: Persyaratan dan prosedur perizinan, informasi suatu proses perizinan, pengaduan dan keluhan pelayanan perizinan, karcis antrian tunggu pelayanan.
111
Berdasarkan
hasil
temuan
lapangan
dapat
disimpulkan,
bahwa
implementasi reformasi organisasi perizinan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta adalah sebagai berikut: a.
Aspek formalisasi menujukkan bahwa regulasi perizinan seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dinamika sosial dan ekonomi kemasyarakatan serta belum semua jenis perizinan dibuatkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
b.
Aspek sentralisasi sudah baik terbukti dengan adanya sistem koordinasi yang intens setiap minggunya untuk mengatasi dan mengevaluasi terkait dengan masalah perizinan yang sedang diproses. Selain itu, ada lembar kendali (routing slip) yang merupakan alat kontrol dari dinas terhadap kinerja staf terkait kemacetan atau keterlambatan proses perizinan.
c.
Aspek spesialisasi, secara kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya sangat kurang. Namun, untuk mengatasi permasalahan tersebut, Dinas Perizinan melakukan capacity building dengan in house training dan pelatihan staf. Dengan adanya implementasi reformasi organisasi perizinan menjadi Dinas
Perizinan telah meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dengan hasil peniliaian dari customer berdasarkan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) berada dalam kategori baik.
112
2.
Saran dan Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran dan rekomendasi yang dapat
diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai beikut: a.
Untuk regulasi perizinan yang ada di Dinas Perizinan sebaiknya semua jenis perizinan diatur dalam Peraturan Daerah (Perda), sehingga tingkat pengawasan dan penindakan punya kepastian bagi Pemerintah Kota Yogyakarta.
Untuk meningkatkan keterbatasan kuantitas dan kualitas staf di Dinas Perizinan, maka perlu dilakukan penambahan ketrampilan teknis bagi staf terkait dengan teknis perizinan yang memerlukan kompetensi yang sesuai dengan perizinan.
113
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku dan Jurnal
Abdul Wahab, Solichin. 2005. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara, Edisi Kedua. ____________. 2001. “Globalisasi dan Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Governance”. Jurnal Administrasi Negara, Vol.II, No.1, September; p.3258. Amstrong, Jim. 1997. “Reason and Passion in Public Sector Reform”. A Discussion Papers Prepared for PSC Learning Series, January. Andersen, Jon Aarum. 2002. “Organization Design: Two Lessons To Learn Before Reorganizing”. International Journal of Organization Theory and Behavior, Vol 5 No. 3 & 4; p. 343-358. Antonius.Tarigan. 2003. “Transformasi Model “New Governance” Sebagai Kunci Menuju Optimalisasi Pelayanan Publik di Indonesia”. Usahawan, No.02 Th.XXXII,Februari; p. 28-34 Coram, Rom and Burnes, Bernard. 2001. “Managing Organizational Change in the Public Sector: Lesson from the Privatisation of the Property Service Agency”. The International Journal of Public Sector Management, Vol. 14, No. 2; p. 94-110. Dinas Perijinan. 2005. “Pelayanan Perijinan”. Makalah yang buat oleh Kepala Bagian
Tata
Usaha
Dinas
Perijinan
Kota
Yogyakarta
yang
dipresentasikan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 23 Januari. Dixon, John. 1996. “Managerialism – Something Old, Something Borrowed, Litte Now”. International Journal of Public Sector Management, Vol.11, No,2/; p.164-187. Erik Lane, Jan. 1994. “Will Public Management Drive Out Public Administration?”. Asian Journal of Administration, Vol.16, No.2;139-151.
114
Erridge, Andrew,. Fee, Ruth, and Mcllroy, John. 1998. “Public Sector Quality: Political Project or Legitimate Goal?”. International Journal of Public Sector Management, Vol.11, No. 5; p. 341-353. Farlie, Ashburner, Fitzgerald, Pettigrew. 1996. The New Management Public in Action. United State; The Oxpord University Press. Fauzi, Indra N. 2003. “Persepsi Pelaku Usaha Terhadap Iklim Usaha di Era Otonomi Daerah. Paper disampaikan dalam Konferensi PEG-USAID tentang Desentralisasi Reformasi Kebijakan dan Iklim Usaha di Hotel Aryaduta, 12 Agustus. Fernandes, Sergio dan Rainey, Hal G. 2006. “Managing Succesful Organization Change in the Public Sector”. Public Administration Review, Volume 2, Nomor 66, Maret-April; p.168-176. Forbes, Melissa and Lynn Jr, Laurence E. 2004. “How Does Public Management Affect Government Performance? Funding from International Research. Bush School Working Paper 420. Gaster, Lucy. 1996. “Quality Service in Local Government: a Bottom-up Approach”. Journal of Management Development, Vol.15, No. 2; p. 80-96. Ghobadian, Abby. 1993. “Service Quality: Concepts and Models”. International Journal of Quality & Reliability Management, Vol.11, No.9; p.43-66. Hermes, Tor. 2005. “Four Ideal Type Organizatioal Response to New Public Management Reforms and Some Consequences”. International Review of Administration Sciences, Vol. 71(1); p. 5-17. Herry Zudianto. 2005. “Reformasi Pelayanan Publik di Kota Yogyakarta”. Paper disampaikan pada Seminar Reformasi Pelayanan Publik di Hotel Quality, 29 Juni Hoque, Zahirul dan Moll, Jodie. 2000. “Rationality, New Public Management And Changes In Management Control Systems: A Study Of Managing Change In An Australian Local Government Setting”. Paper prepared for the Sixth Interdisciplinary Perspective on Accounting Conference (IPA 2000), Manchester, 10-12 July
115
______________. 2001. “Public Service Reform: Implication for Accounting and Performance of State-Owned Entities an Australian Perspektif”. The International Journal of Public Sector Management, Vol.14, No.4; p. 304326. Irfan, Muh. Islamy.2001.”Agenda Kebijaksanaan Reformasi Administrasi Negara”. Jurnal Administrasi Negara, Vol.II, No. 1, September; p.13-30. Karnaghan, Kenneth. 2000. ”The Post-Bureaucratic Organization and Public Service Values”. International Review of Adminsitrative Sciences, Vol.66; p.91-104. Kaul, Mohan. 1997. “The New Public Administration: Management Innovations in Government. Public Administration and Development, Vol. 17; p.13-26. Mary S. Thibodeaux and Sandy K. Faden, Industrial Management & Data Systems, Vol. 94 No. 10, 1994, pp. 21 Melcher, Arlyn. J. 1994. Struktur dan Proses Organisasi. Jakarta; Penerbit Rineka Cipta, terjemahan oleh A. Hasymi. Miftah Thoha,. 2005. Administrasi Publik dan Reformasi Birokrasi di Indonesia. Draft Buku. Milles. B, Bathew dan Habermen, A. Michael. 1992. Analisa Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Moon, Myung Jae. 1999. “The Persuit of Managerial Entrepreneurship: Does Organization Matter?”. Public Administration Review, January/February Vol.59 No. 1; p. 31- 43. Muklir, Ismani, dan Ribawanto, 2005. “Restrukturisasi Organisasi Dalam Rangka Reformasi Administrasi Pemerintah Daerah”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, Vol. V, No.1, September 2004-Februari 2005. Muluk, M.R. Khairul. 2006. “New Public Sevice dan Pemerintahan Lokal Partisipatif”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, Vol. VI, No.1, September 2005-Februari 2006. Philippidou, Sophie S. 2004. “Public Management Reform and The Influence of the Different Actors Involved: A Greek Example”. EGPA Conference in Ljubljana, Slovenia.
116
Pollitt, Christipher. 2000. “Is the Emperor in His Underwear: An Analysis if the Impacts of Public Management Reform”. O’Donoghue, Michael. 2003. “Toward an Operational Definition of Quality Government”. The American Society for QualityFinal Refort-Phase I Research September 20 Radhi, Fahmy. 2006. “Kebijakan Perijinan Usaha: Merajut Kepentingan Publik dan Pelaku Usaha”. Kedaulatan Rakyat, 2 Agustus. Ryan, Neal. 1996. “A Comparison of Three Approaches to Programme Implemetation. International Journal of Public Sector Management, Vol.9 No.4 Rustiani, Frida. 2001. “Perijinan Usaha Kecil di Indonesia”. Policy Paper Partneship For Economic Growth (PEG) Sahetapy, J.E. dkk. 2004. “Reformasi Hukum Administrasi Negara dalam Rangka Pelayanan Umum. Laporan hasil penelitian Komisi Hukum Nasional. Sanderson, Ian. 1996. “Evaluation, Learning, and the Effectiveness of Public Service”. International Journal of Public Sector Management, Vol. 9, No. 5/6; p.90-108. Skelley, B.Douglas. 2002. “The Ambiguity of Result: Assessment of the New Public Management”. Public Administration & Management An Interactive Journal, 7,2; p.168-187. Sudrajat, Agus. 2006. “Membangun Model Pelayanan Publik yang Dapat Memenuhi
Keinginan
Masyarakat”.
www.goodgovernance-
bappenas.go.id/konsep_files/makalah%20pelayanan%20publik.htm diakses 21/07/2006. Suhirman, dkk. 2002. “Merancang Kebijakan Perijinan yang Pro Pasar dan yang Sensitif pada Kepentingan Publik: Studi Kajian Perijinan Transformatasi dan Usaha Kecil Menengah di Kota Tasikmalaya dan Kota Bekasi”. Laporan Penelitian Bandung Institute of Government Studies (BIGS), PEG, dan USAID. Sulisih, Sri. 2002. “Desentralisasi Public Service dalam Otonomi Daerah”. Jurnal Administrasi Negara, Vol. II, No. 02, Maret; p. 36-41.
117
Supriyono, Bambang. 2002. “Peranan Pemerintahan Daerah dalam Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, Vol.II, No. 2, Maret-Agustus. Suryono, Agus. 2002a. “Budaya Birokrasi Pelayanan Publik”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik (JIAP), Vol. II No. 2, Maret- Agustus; p.1-11. ____________. 2002b. “Pentingnya Manajemen Birokrasi Profesional untuk Mengatasi Kemunduran Birokrasi dalam Pelayanan Publik”. Jurnal Ilmu Administrasi Publik, No.1, September 2001-Februari 2002; p. 1-14. Toonen, Theo A.J., Raadschelders, Jos C.N. 1997. “Public Sector Reform in Western Europe”. Paper Presentation at Conferences on Comparative Civil Service System, School of Public and Environmental Affairs (SPEA), Indiana University, Bloomington (IN), April 5-8. Tzaortzopoulos and Sexton. 2005. “Process Models Implementation in The Contruction Industry: A Literature Synthesis”. Engineering Conscruction and Architectural Management Journal , Vol. 12 No. 5 URDI. 2000. “Penataan Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah”. Info URDI, Vol.9, Januari-Maret; p. 1-6 Waldersee, Robert and Griffiths, Andrew. 2004. “Implementing Change: Matching Implementation Methods and Change Type”. The Leadership & Organization Development Journal, Vol.25 No. 5. Wediningsih, Sri. 2004. “Evaluasi Pelaksanaan Struktur Organisasi dan Tatakerja Dinas Pemerintah Kabupaten Banyumas”. Jurnal Studi Indonesia, Vol. 14, No.1, Maret; p. 1-14. W. Utomo, Widodo Tri. 2004. “Restrukturisasi Kelembagaan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Memperkuat Kinerja Pelayanan Publik”. Seminar Penelitian
tentang
“Evaluasi
Sistem
Kelembagaan
Birokrasi
Pemerintahan Daerah”, Pusat Kajian dan Diklat Aparatur I, LAN, Bandung,
118
B.
Sumber Perundang-undangan dan Peraturan Daerah
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. No. 63 tahun 20003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2000 tentang Pembentukan UnitPelayanan Satu Atap Kota Yogyakarta. Keputusan Walikota Yogyakarta Nomor 321/KEP/2007 tentang Penetapan Waktu Pelayanan Perizinan di Pemerintah Kota Yogyakarta. Keputusan Kepala Dinas Nomor 02/KEP/DINZIN/2007 tentang Rencana Strategis (Renstra). Peraturan Daerah Nomor 17 tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tatakerja Dinas Perijinan Kota Yogyakarta. Peraturan Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Nomor 01 Tahun 2006 tentang Sistem dan Prosedur Pelayanan Perizinan pada Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Peraturan Pemerintah Nomor 08 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah. Pemerintah Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Peraturan Walikota Nomor 187 Tahun 2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Peraturan Walikota Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pelayanan Perizinan pada Pemerintahan Kota Yogyakarta. Peraturan Walikota Nomor 09 Tahun 2007 tentang Pelayanan Perizinan pada Pemerintahan Kota Yogyakarta. Surat Edaran (SE) Mendagri Nomor 503/125/PUOD Tahun 1997 perihal Pembentukan Unit Pelayanan Terpadu Perizinan di Daerah
119
C.
Wawancara.
Candra (Konsumen), 10 Januari 2008 Dodit Sugeng Murbowo (Kabid. Informasi dan Data), 09 Januari 2008 Sutarto (Kabid. Pelayanan), 06 Januari 2008 Hardono (Kepala Kesekretariatan), 10 Januari 2008 Misbahurrahman (Konsumen), 10 Januari 2008 Pontjo Siwi (Kepala Dinas), 29 November
120
LAMPIRAN I
INTERVIEW GUIDE (Kepala Dinas, Kepala Bidang, dan Kesekretariatan, Staf)
Reformasi Organisasi 1.
Mengapa organisasi UPTSA dirubah menjadi Dinas Perijianan Kota Yogyakarta?
2.
Bagaiamanakah proses reformasi organisasi di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta?
3.
Bagaiamana pendapat Bapak/ibu tentang pengertian pelayanan yang berkualitas?
4.
Apa perbedaaan yang subtantif dengan adanya perubahan organasasi dari UPTSA ke Dinas Perijinan dalam meningkatkan kualitas pelayanan?
5.
Bagaimanakah implementasi reformasi organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perijinan Kota Yogyakrta?
Implementasi Reformasi Struktur Organisasi Formalisasi 6.
Sejauhmana dokumen tertulis tentang petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pelayanan digunakan untuk meningkatkan pelayanan pada publik?
7.
Bagaimanakah sistem regulasi untuk memenej staf melalui aturan, rutinitas, dan prosedur agar lebih efisien dan efektif?
8.
Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang tindakan atau sikap ketika memberikan pelayanan tidak diatur dalam petunjuk atau aturan?
9.
Apakah implementasi aturan tertulis tersebut telah memberikan keleluasan bagi staf dalam memberikan pelayanan yang lebih berkualitas?
121
10.
Apa usulan Bapak/Ibu terhadap aturan yang telah ada untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik?
Spesialisasi 11.
Bagaimanakah peta sumber daya manusia yang ada di Dinas Perijinaan Kota Yogyakarta?
12.
Apakah jumlah sumber daya yang ada di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta ini sudah dapat memenuhi standar kualitas dalam memberikan pelayanan?
13.
Bagaimanakah kebijakan dinas dalam mengatur volume kerja di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta?
14.
Bagaimanakah pola pengembangan kapasitas staf yang terkait dengan peningkatkan pelayanan yang berkualitas?
15.
Apakah hambatan yang dialami oleh Bapak/Ibu dalam memberikan pelayanan kepada publik?
16.
Apakah konsidi fisik dan fasilitas yang ada telah mendukung dalam memberikan pelayananan publik yang lebih berkualitas?
Sentralisasi 17.
Bagaimanakah mekanisme kontrol yang dilakukan oleh pimpinan terhadap staf yang paling bawah?
18.
Bagaimanakah mekanisme pengambilan keputusan di Dinas Perijinan Kota Yogyakarta?
19.
Bagaimanakah sistem operasional atau implementasi dari keputusan yang sudah dihasilkan atau disepakati?
20.
Bagaimanakah pola hubungan (komunikasi dan koordinasi) antar streetlevel service providers dengan top manajemen?
21.
Bagaimanakah pola hubungan antara service provider dengan konsumen?
22.
Bagaimanakah sistem pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh dinas dalam menjalankan tugas?
122
INTERVIEW GUIDE (Konsumen )
Reformasi Organisasi 1.
Bagaimana
menurut
pendapat
Bapak/Ibu
tentang
pelayanan
yang
berkualitas. 2.
Bagaimanakah
menurut
peniliaan
Bapak/Ibu
tentang
implementasi
reformasi organisasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Dinas Perijinan Kota Yogyakrta?
Implementasi Reformasi Struktur Organisasi Formalisasi 3.
Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang aturan pelayanan yang ada di Dinas Perijinan?
4.
Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang birokrasi pelayanan di Dinas Perijinan?
5.
Bagaimana menurut pendapat Bapak/Ibu tentang alur pelayanan yang telah ditetapkan?
Spesialisasi 6.
Bagaimanakah menurut penilaian Bapak/Ibu tentang kemampuan staf dalam memberikan pelayana
7.
Apa hambatan yang dialami oleh Bapak/Ibu dalam menerima pelayanan selama ini?
8.
Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang konsidi fisik dan fasilitas yang ada telah mendukung dalam memberikan pelayananan publik yang lebih berkualitas?
9.
Apa masukan Bapak/Ibu mengenai kapasitas sumber daya manusia yang ideal dalam memberikan pelayanan yang lebih berkualitas?
123
Sentralisasi 10.
Bagaimanakah pendapat Bapak/Ibu tentang pola hubungan antarbidang dalam memberikan pelayanan yang berkualitas di Dinas Perijinan ini?
11.
Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas di Dinas Perijinan?