BAB II
TES DIAGNOSTIK PILIHAN GANDA BERALASAN UNTUK MENILAI PENALARAN SISWA SMA PADA MATERI SISTEM EKSKRESI
A. Penalaran 1. Pengertian Penalaran Menurut Jenny Bashiruddin (2011. hlm. 78), penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Kegiatan berfikir dan bukan dengan perasaan. Kegiatan berfikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Ciri-ciri penalaran yaitu; (1) proses berfikir logis dan (2) bersifat analisis. Menurut I Wayan Santyasa (2010. hlm. 85) didalam bukunya menyatakan bahwa: reasoning atau penalaran merupakan aktivitas atau proses-proses berfikir. Proses berfikir merupakan seperangkat operasi mental, yang meliputi; (1) pembentukan konsep, (2) pembentukan prinsip, (3) pemahaman, (4) pemecahan masalah, (5) pengambilan keputusan, dan (6) penelitian. Prosesproses tersebut pada umumnya saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Proses-proses pembentukan konsep, pembentukan prinsip dan pemahaman
merupakan proses pengkonstruksian pengetahuan. Proses-
proses pemecahan masalah, pengambilan keputusan, dan penelitian merupakan aplikasi konsep, prinsip, dan pemahaman.
11
12
Selain itu, penalaran merupakan bagian berfikir yang berada diatas level retention atau recall (retensi atau memanggil). Penalaran meliputi; (1) basic thinking dan (2) higher-order thinking, dimana higer-order thinking meliputi critical dan creative thinking (Santyasa, Wayan. 2010. hlm. 86). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah proses kemampuan berfikir seseorang untuk mendapatkan suatu pengetahuan baru dengan cara melogokakan konsep-konsep yang diketahuinya berdasarkan buktibukti yang ada dan mengkontradiksikan dengan pengetahuan yang sebelumnya. 2. Hubungan Penalaran dengan Dimensi Pengetahuan dan Dimensi Proses Kognitif Penalaran merupakan suatu proses berfikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan (Bashiruddin, J. 2011. Hal. 78). Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Anderson & Krathwol (2015. hal. 56-57) bahwa dalam seting pembelajaran, siswa dianggap dapat mengkonstruksi makna mereka sendiri berdasarkan pengetahuan sebelumnya dan untuk “memahami” informasi baru yang mereka jumpai. Pada proses konstruktif “memahami” akan mengaktifkan pengetahuan sebelumnya dan menyertakan berbagai proses kognitif pada pengetahuan tersebut. Agar proses konstruksi pengetahuan (penalaran) mampu dilakukan oleh siswa maka setiap Pembelajaran harus memfokuskan pada proses aktif, kognitif, dan konstruktif yang tergabung dalam pembelajaran yang bermakna (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 56). Siswa sebagai individu dalam setiap pembelajarannya bukan penerima pasif yang hanya merekam informasi melainkan individu aktif yang mencari informasi untuk mengetahui (pengetahuan)
13
dan bagaimana mereka berfikir (proses kognitif) mengenai apa yang mereka ketahui selama pembelajaran (wordpress.com). Berdasarkan hasil riset sains kognitif tentang perkembangan keahlian, cara pikir ahli, dan pemecahan masalah, disimpulkan bahwa pengetahuan adalah sebuah domain yang spesifik dan kontekstual, dimana pengetahuan merefleksikan spesifikasi
domain dan peran pengalaman dan konteks social
dalam
mengkonstrukksi dan mengembangkan pengetahuan tersebut (Bereiter dan Scardamalia, 1998; Bransford, Brown san Cocking, 1999; Case, 1998; Keil, 1998; Meindler, 1998; Wellman dan Gelman, 1998; dalam Anderson & Krathwol, 2015. hal. 61). Selain itu Anderson dan Krathwol (2015. hal. 61) menyatakan bahwa dengan banyaknya jenis-jenis dan sub-jenis pengetahuan, khususnya dalam pengembangan
psikologi
kognitif,
maka
secara
umum
pengetahuan
diklasifikasikan kedalam empat kategori pengetahuan yaitu: a. Pengetahuan Faktual Pengetahuan faktual meliputi elemen-elemen dasar yang harus diketahui siswa untuk mempelajari satu disiplin ilmu atau untuk menyelesaikan masalah dalam disiplin ilmu tersebut (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 67). b. Pengetahuan Konseptual Pengetahuan konseptual mencakup pengetahuan tentang kategori, klasifikasi, dan hubungan antarelemen dalam sebuah struktur besar yang memungkinkan setiap emenennya berfungsi secara bersama-sama (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 71).
14
c. Pengetahuan prosedural Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan tentang cara melakukan sesuatu, mempraktekan metode-metode penelitian, dan kriteria-kriteria menggunakan keterampilan, alogaritme, teknik, dan metode (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 77). d. Pengetahuan Metakognitif Pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan tentang kognisi secara umum dan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi diri sendiri (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 82). Dalam pembelajaran yang mengindikasikan pembelajaran bermakna, meretensi dan mentransfer merupakan hal paling penting (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 94). Meretensi adalah kemampuan mengingat materi pelajaran sama seperti apa yang diajarkan pada jangka waktu tertentu, sedangkan mentransfer ialah kemampuan menggunakan apa yang telah dipelajari untuk menyelesaikan masalah-masalah baru (Mayer dan Wittrock, 1996; dalam Anderson & Krathwol, 2015. hal. 94). Dalam pembelajaran bermakna, pembelajaran tidak sekedar menyampaikan pengetahuan faktual dan juga mensyaratkan pertanyaanpertanyaan assesmen yang menuntut siswa bukan sekedar mengingat atau mengenali pengetahuan faktual (Bransford, Brown dan Cocking, 1999; Lambert dan McCombs, 1998; Marshall, 1996; Steffe dan Gale, 1995; dalam Anderson & Krathwol, 2015. hal. 98). Sehingga assesmen yang dipakai harus mampu merepleksikan proses kognitif dalam proses konstruksi makna (pengetahuan) dalam hal ini dikhususkan pada penalaran.
15
Dimensi proses kognitif menurut (Anderson & Krathwol, 2015. hal. 99-133) terbagi menjadi 6 kategori yang digunakan untuk meretensi dan mentransfer dalam pembelajaran bermakna. Adapun dimensi proses kognitif yaitu; a. Mengingat (remember): mengingat (memanggil) kembali pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang. 1) Mengenal/mengidentifikasi; Menempatkan pengetahuan di memori jangka panjang konsisten dengan materi yang diajarkan. 2) Mengingat/memanggil; Menelusuri pengetahuan yang relevan memori jangka panjang. b. Memahami
(understand):
mengkonstruki
makna
dari
pesan
pembelajaran, termasuk komunikasi lisan, tertulis dan grafis. 1) Menafsirkan (mengklarifikasi, memparafrasakan, mempresentasi, menerjemahkan); mengubah suatu bentuk gambaran jadi bentuk lain. 2) Mencontohkan (mengilustrasikan, member contoh); menemukan ilustrasi tentang konsep atau prinsip 3) Mengklasifikasikan
(mengkategorikan,
mengelompokkan);
menemukan sesuatu dalam satu kategori. 4) Merangkum (mengabstraksi, menggeneralisasi); mengabstraksi suatu tema umum atau poin-poin penting. 5) Menyimpulkan (menyarikan, mengekstrapolasi, menginterpolasi, memprediksi); membuat kesimpulan yang logis dari informasi yang diterima. 6) Membandingkan
(mengkontraskan,
memetakan,
menentukan hubungan dari dua hal atau semacamnya.
mencocokan);
16
7) Menjelaskan (membuat model); membuat model sebab-akibat dalam sebuah system. c. Mengaplikasikan (apply): melaksanakan atau menggunakan prosedur dalam situasi tertentu (yang diberikan). 1) Mengelola/melakukan; Menggunakan prosedur pada tugas/latihan yang sudah dikenal, siswa memiliki langkah-langkah tertentu. 2) Mengimplementasikan: Menggunakan prosedur pada tugas/latihan yang sudah dikenal, siswa harus memilih tehnik atau metode dan sering menubah urutan. d. Menganalisis (analyze): Memecah materi kedalam bagian-bagian penyusunnya, dan menetukan bagaimana bagian-bagian tersebut saling berhubungan satu sama lain. 1) Membedakan; Misal bagian-bagian yang relevan dari bagian yang tidak relevan. 2) Mengorganisasikan; Suatu cara yang unsur-unsurnya cocok dan berfungsi dalam keseluruhan struktur. 3) Menandai; menggaris bawahi tujuan atau perspektif. e. Mengevaluasi (Evaluate): Melakukan penilaian berdasarkan kriteria dan standar tertentu. 1) Memeriksa: menguji konsistensi atau kesalahan internal pada suatu operasi atau produk. 2) Mengkritisi: Menilai suatu produk atau operasi berdasarkan kriteria atau standar yang ditetapkan.
17
f. Menciptakan (create): Menempatkan beberapa elemen secara bersamasama untuk membangun suatu keseluruhan yang logis dan fungsional, dan mengatur elemen-elemen tersebut kedalam pola atau struktur yang baru. 1) Membangkitkan/menghipotesiskan kriteria tertentu. 2) Menghasilkan/membuat: membuat produk asli berdasarkan pola. 3. Penalaran sebagai Kegiatan Berfikir Tingkat tinggi Kegiatan berpikir manusia berlangsung di dalam akal budi (mind) manusia (Sidharta, 2008. hlm. 17). Soekadijo (1999. hlm. 5) menjelaskan bahwa proses berpikir manusia bermula dari observasi yakni pengamatan secara empirik terhadap suatu objek menggunakan alat indera. Hal ini sejalan dengan pendapat Sidharta (2008. hlm. 17) bahwa proses observasi disebut sebagai tahap Simple Apprehension yakni tahap awal dalam kegiatan berpikir manusia ditandai dengan tindakan akal budi secara langsung seperti melihat, mempersepsi, menangkap atau mengerti suatu objek tertentu. Hasil observasi yang diperoleh berupa fakta yang siap diterima oleh pikiran sebagai data empirik tanpa adanya pengiyaan atau penyangkalan. Kebenaran fakta tersebut bergantung kepada tepat atau tidaknya cara serta alat untuk melakukan observasi (Soekadijo, 1999. hlm. 5). Fakta yang diterima pikiran sebagai hasil observasi dinyatakan dalam bentuk simbol atau lambang yakni berupa rangkaian huruf-huruf menunjukkan perkataan yang disebut dengan konsep (Molan, 2012. hlm. 61). Contoh konsep misal, Merpati yaitu merupakan salah satu jenis burung (Mundiri, 2012. hlm 39). Tahap berpikir yang lebih tinggi tidak hanya menghasilkan konsep, namun dapat menghubungkan satu konsep dengan konsep yang lain. Hal ini sependapat dengan
18
Sidharta (2008. hlm. 18) yang menyebut tahap Judgement (kegiatan keputusan) sebagai tahap yang lebih tinggi dibandingkan observasi ditandai dengan pengakuan atau pengikaran terhadap kedua konsep yang membentuk preposisi. Munir (2003. hlm. 2) mendefinisikan preposisi sebagai kalimat yang hanya memiliki satu nilai kebenaran yakni benar atau salah. Perbedaan preposisi dengan konsep sangatlah jelas berbeda terlihat dari keberadaan subjek dan predikat. Misal, serangga dan Arthropoda merupakan dua konsep yang memiliki pengertian berbeda. Kedua konsep tersebut dapat menjadi sebuah preposisi:“Serangga merupakan salah satu kelompok Arthoropoda”. Konsep serangga merupakan subjek dan konsep Arthropoda merupakan predikat. Munir (2003. hlm. 15) mengelompokkan preposisi menjadi dua macam, yakni Preposisi Antesenden atau disebut premis dan Proposisi Konsekuen atau disebut konklusi. Soekadijo (1999. hlm 6) menjelaskan bahwa premis merupakan preposisi yang mengakibatkan preposisi lain sedangkan konklusi merupakan akibat dari premis. Kedua preposisi tersebut saling berimplikasi membentuk hubungan sebab-akibat. Tahap berpikir yang lebih tinggi yaitu dapat membuat hubungan antara premis dan konklusi membentuk suatu penyimpulan yang disebut dengan penalaran (reasoning) (Molan, 2012. hlm. 120). Beberapa peneliti (Stenberg 2004a; Leighton &Stenberg, 2004; Stenberg, 2004b; Wason & Johnston, 1972 dalam Stenberg, 2008. hlm. 425) mendefinisikan penalaran sebagai proses penarikan kesimpulan yang berasal dari bukti yang ada. Hal ini sependapat dengan Nitko dan Brookhart (2007. hlm. 222) bahwa penalaran merupakan proses seleksi terhadap beberapa pilihan yang melibatkan kegiatan berpikir manusia.
19
Lohman & Lakin (2009. hlm. 2) juga mengungkapkan hal yang sama bahwa penalaran berkaitan dengan penentuan keputusan dan pemecahan masalah dalam intelegensi manusia. Dasar untuk melakukan penalaran adalah Logika (Surajiyo, Astanto, &Andiani, 2005. hlm. 32). Logika merupakan metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang tepat dari penalaran yang tidak tepat (Djoko, 2011. hlm 2). Logika sebagai proses kegiatan yang terjadi pada akal manusia akan memeriksa dan menguji sebuah penalaran baik atau tidak, sahih atau tidak, berdasarkan prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Pelanggaran dari suatu penyimpulan dapat dibuktikan oleh logika dengan menunjukkan kaidah-kaidah yang telah dilanggar dalam penyimpulan tersebut.Manfaat logika yakni dapat menghindarkan diri manusia dari kesesatan (fallacia) yang muncul karena emosi, prasangka, bahasa, atau kebiasaan (Djoko, 2011. hlm. 6). Hasil berfikir yang menggunakan logika ini tidak akan diketahui oleh manusia jika tidak diungkapkan dalam bahasa.Surajiyo, et al. (2005. hlm. 32) mengungkapkan bahwa bahasa sebagai dasar untuk melakukan sebuah penalaran. Bahasa yang dimaksud disini yakni pernyataan sebagai alat komunikasi manusia untuk menyatakan hasil pemikiran. Jika pengirim komunikasi memberikan sebuah informasi, katakan informasi Y, maka penerima komunikasi harus menerima informasi berupa Y pula. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kesalahan dalam penyampain informasi sehingga akan menghasilkan proses berfikir yang berbedabeda. Dalam melakukan penalaran, Surajiyo,
et al. (2005. hlm. 105)
mengungkapkan bahwa sering terlihat seseorang menarik kesimpulan yang tidak
20
relevan. Ini menjadi indikasi seseorang tersebut mengalami sesat berpikir (fallacy). Menurut (Sumaryono, 1999. dalam Surajiyo, et al., 2005. hlm 105) sesat berfikir sebagai suatu proses penalaran yang sebenarnya tidak logis, salah arah, dan menyesatkan dapat disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memerhatikan relevansinya. Irving (1959 dalam Sidharta, 2008. hlm. 60) membagi bentuk kesesatan berfikir menjadi dua kelompok besar yakni kesesatan formal dan kesesatan informal. Kesesatan formal merupakan bentuk jalan pikiran yang keliru dikarenakan melanggar prinsip dan kaidah aturan-aturan formal dalam menarik sebuah kesimpulan. Djoko (2011. hlm. 76) dan Molan (2012. hlm. 29) mendefinisikan kesesatan formal sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip dan kaidah logika. Sedangkan pada kesesatan informal, tidak terjadi pelanggaran terhadap aturanaturan logika, namun kesimpulan yang ditarik sesungguhnya tidak mendapat dukungan premis-premis yang diajukan dalam penalaran yang bersangkutan (Sidharta, 2008. hlm. 60). Dengan demikian, premis yang dijadikan acuan untuk menarik konnklusi, tidak memiliki validasi yang memadai untuk menjadi dasar penarikan kesimpulan dalam sebuah penalaran. Kerancuan premis ditemukan terutama pada aspek bahasa, materi, cara penyampaian, dan cara berpikir. Seperti,“Penjahat berhasil ditangkap polisi”. Premis tersebut menunjukkan kekeliruan, sebenarnya yang berhasil penjahat ataukah polisi. Perbaikan yang lebih tepatnya “Polisi berhasil menangkap polisi”. Kerancuan dalam bahasa saja, seperti yang dicontohkan sebelumnya, dapat membuat seseorang sesat dalam melakukan proses penarikan kesimpulan.
21
B. Pengertian Penilaian dalam Pembelajaran Dalam dunia pendidikan sering ditemukan tiga pengertian pokok yakni penilaian, pengukuran, dan tes. Sementara orang lebih cenderung mengartikan ketiga kata tersebut sebagai suatu pengertian yang sama. Namun sebenarnya penilaian, pengukuran, dan tes memiliki arti yang berbeda walaupun memiliki keterkaitan makna satu sama lain. Pengertian penilaian merupakan proses mempertimbangkan sesuatu barang atau gejala dengan mempergunakan patokan-patokan tertentu dimana patokanpatokan tersebut mengandung pengertian baik atau tidak baik, memadai atau tidak memadai, dan memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat, dengan kata lain, penilaian merupakan suatu proses value judgment (Joni, 1986. hlm 7). Pengertian pengukuran yakni membandingkan sesuatu dengan satu ukuran yang bersifat kuantitatif (Arikunto, 2009. hlm 3). Sedangkan tes yakni salah satu alat yang digunakan untuk mengukur (Joni, 1986. hlm 6). Keterkaitan ketiganya adalah penilaian dilakukan berdasarkan hasil pengukuran yakni berupa informasi kuantitatif yang salah satunya diperoleh melalui cara tes. Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, penilaian sangat penting untuk dilakukan (Rustaman, 2005. hlm. 150). Kegiatan penilaian ini dapat dilakukan sebelum pembelajaran, selama pembelajaran, maupun setelah pembelajaran. Menurut Daryanto (2008. hlm. 14-16), jika ditinjau dari berbagai segi dalam sistem pendidikan, penilaian memiliki empat tujuan yakni sebagai fungsi selektif artinya penilaian digunakan untuk seleksi terhadap siswa, sebagai fungsi diagnostik artinya penilaian digunakan untuk melihat kebaikan dan kelemahan siswa beserta penyebabnya, sebagai fungsi penempatan artinya penilaian dapat
22
digunakan untuk menempatkan siswa dalam kelompok tertentu, dan sebagai fungsi pengukur keberhasilan artinya penilaian dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana suatu program berhasil diterapkan. Penilaian dalam pendidikan dapat dilihat berdasarkan ciri yang nampak dari proses penilaian tersebut. Arikunto (2012. hlm. 20-27) mengutarakan ciri penilaian dalam pendidikan yakni: 1. Penilaian dilakukan secara tidak langsung. Kemampuan seseorang tidak dapat diukur secara langsung namun dapat dilihat berdasarkan tandatanda yang nampak dari orang tersebut. Misal, seseorang yang pandai memiliki
tanda
kemampuan
verbal
yang
baik,
kemampuan
logika/matematika yang baik, dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam sebuah penilaian, penting untuk memiliki acuan berupa indikator dari aspek yang akan dinilai. Hal ini akan memudahkan penilai melihat kemunculan tanda-tanda yang nampak. 2. Penilaian menggunakan ukuran kuantitatif. Hasil pengukuran ini berupa simbol bilangan (angka) yang kemudian diinterpretasikan menjadi simbol huruf (kualitatif). Misal, seseorang memperoleh nilai matematika 100, maka ia tergolong kelompok siswa pintar. 3. Penilaian menggunakan satuan yang tetap artinya penilaian memiliki unit pengukuran yang tidak berubah-ubah misal, nilai 100 tergolong siswa pintar, maka nilai 20 termasuk siswa bodoh. 4. Penilaian bersifat relatif. Hasil penilaian dari waktu ke waktu selalu tidak sama. Hal ini disebabkan banyak faktor yang mempengaruhi berubahnya hasil penilaian seseorang.
23
5. Penilaian sering terjadi kesalahan-kesalahan. Kesalahan tersebut dapat bersumber dari alat ukur misal, soal memiliki validitas yang rendah, orang yang melakukan penilaian (penilai) misal, kecenderungan penilai untuk memberikan nilai tinggi pada siswa tertentu, siswa yang dinilai misal, siswa sedang mengalami kondisi fisik yang buruk membuat hasil penilaian menjadi rendah, dan keadaan saat proses penilaian berlangsung misal, kelas gaduh dan tidak kondusif mengganggu siswa berkonsentrasi mengerjakan soal. Dalam melakukan penilaian di dunia pendidikan, terdapat bermacammacam alat penilaian guna menilai proses dan hasil pendidikan yang telah dilakukan siswa (Purwanto, 2009. hlm. 33). Penggunaan tes lebih banyak dijadikan sebagai alat ukur penilaian dalam pendidikan dibandingkan alat penilaian yang lain (Joni, 1986. hlm 6). Daryanto (2008. hlm. 35) mengungkapkan hal yang sama yakni tes lebih bersifat resmi dan penuh dengan batasan-batasan. Tes terdiri atas sejumlah soal yang harus dikerjakan siswa dan menghadapkan siswa pada suatu tugas untuk menanggapi tugas atau soal tersebut (Wulan, 2007. hlm. 3). Ditinjau dari segi kegunaan untuk mengukur siswa, dibedakan atas tiga macam tes yaitu (Arikunto, 2009. hlm. 33-41): 1. Tes diagnostik merupakan tes yang digunakan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan siswa sehingga berdasarkan hal tersebut dapat dilakukan penanganan yang tepat. Tes ini dapat dilakukan di awal pembelajaran untuk mengetahui pengetahuan awal siswa, di pertengahan proses pembelajaran untuk menyelidiki baigan mana dari pembelajaran
24
guru yang tidak dapat difahami oleh siswa dan bagian akhir untuk mengevaluasi tingkat penguasaan materi terhadap bahan yang diberikan. 2. Tes formatif merupakan tes yang dilakukan di akhir program yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah mengikuti program tertentu. Tes ini bisa disebut juga dengan tes diganostik pada akhir pelajaran. 3. Tes sumatif merupakan tes yang dilaksanakan di akhir semester yang bertujuan untuk menentukan nilai seseorang. Tes sebagai alat ukur kemampuan siswa di bidang pendidikan memiliki perbedaan yang fundamental dibandingkan alat ukur barang yang digunakan sehari-hari. Joni (1986. hlm. 21-22) mengungkapkan bahwa alat ukur barang dapat digunakan secara langsung atau setidaknya bisa diukur melalui variabel yang diketahui mempunyai hubungan fungsionil tertentu dengan variabel yang akan diukur, maka tidak demikian halnya dengan alat ukur dalam pendidikan. Alat ukur dalam pendidikan, salah satunya
tes, tidak dapat langsung mengukur
variabel yang akan diukur. Hal ini dikarenakan respon siswa terhadap jawaban tes tidak selalu konsisten mencerminkan kecakapan atau suasana batin seseorang oleh banyaknya faktor-faktor yang juga mempengaruhi pencetusan tingkah yang nampak. Maka dari itu, agar sebuah tes dapat mengukur apa yang hendak diukur, instrumen atau soal yang diberikan pada sebuah tes perlu memenuhi komponenkomponen tolak ukur (kriteria) tertentu. Makmun (2007. hlm. 196-198) menjelaskan syarat sebuah instrumen tes yang layak sebagai berikut: 1. Memenuhi taraf ketepatan (validity) yang memadai. Artinya, instrumen tes dapat mengukur apa yang hendak diukur. Hal ini dapat diidentifikasi
25
dari kesesuaian butir-butir soal dengan ruang lingkup dan jenjang materi atau bahan ajar serta ruang lingkup aspek tertentu. 2. Memiliki taraf kemantapan sehingga hasil pengukuran dapat dipegang atau dipercaya (reliability). 3. Memiliki kepraktisan untuk keperluan kemudahan administrasi. Artinya tidak diperlukan fasilitas penunjang dan bebas kesulitan bahasa. 4. Memiliki kemampuan untuk membedakan siswa pandai (upper group) dan lemah (lower group). Siswa pandai dapat menjawab butir soal-soal sukar dan siswa lemah menjawab butir-butir soal mudah. Pembuatan instrumen tes dalam pendidikan dapat dibuat oleh guru ataupun para ahli penyusun tes. Namun instrumen yang baku dan standar, lazimnya dikembangkan oleh ahli (Arikunto, 2009. hlm. 146). Para ahli penyusun tes membuat instrumen tes dengan menggunakan populasi dan sampel yang diuji secara cermat dan teliti, sedangkan guru menggunakan populasi dan sampel hanya terbatas di sekolah atau kelas (Nitko & Brookhart, 2007. hlm. 198). Namun persamaan dari keduanya yakni diperlukan tahap pengembangan instrumen tes yang bertujuan agar instrumen benar-benar layak dan akurat digunakan. Adapun tahapan pengembangan instrumen tes adalah sebagai berikut (Makmun, 2007. hlm. 198-204 ; Ahiri &Hafid, 2011. hlm. 14): 1. Mengembangkan model kerangka dasar instrumen yang akan dibuat. Adapun urutan langkah pengembangan model kerangka dasar menurut Purwanto (2009. hlm. 30) adalah sebagai berikut: a. Menentukan tujuan tes. b. Mengidentifikasi hasil-hasil belajar yang akan diukur dengan tes.
26
c. Menentukan hasil-hasil belajar spesifik yang merupakan tingkah laku yang dapat diamati. d. Menentukan cakupan ruang lingkup materi. e. Mengidentifikasi butir-butir soal kedalam penyebaran ruang lingkup materi secara proposional atau dikenal dengan pembuatan kisi-kisi soal (semacam blueprint). f. Menentukan bentuk soal yang akan digunakan dapat berupa tes objektif atau tes uraian. g. Membuat butir-butir soal sesuai kerangka dasar instrumen yang telah dikembangkan. 2. Mengorganisasikan keseluruhan perangkat butir soal menjadi sebuah instrumen yang teratur. 3. Mengujicobakan instrumen yang bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kepraktisan penggunaan instrumen dan pengerjaan atau pengadministrasian serta untuk memperoleh informasi dan indikator yang diperlukan untuk menguji kebaikan instrumen sebagai alat yang memenuhi syarat. Untuk keperluan administrasi, hal yang harus dicatat yakni waktu yang diperlukan dalam menyelesaikan soal tes dan kesulitan-kesulitan yang terjadi saat berlangsungnya tes. Selain itu, uji coba instrumen juga betujuan untuk mengetahui kelayakan instrumen dalam mengukur apa yang diukur apakah sudah akurat atau tidak. Nilai utama yang dicari yakni validitas dan reliabilitas (Chandrasegaran, et al., 2007. hlm. 298).
27
4. Menganalisis dan menafsirkan data yang telah terkumpul. Data yang diolah berupa hasil jawaban siswa pada saat tes. Analisis data dapat dilakukan menggunakan program komputer ataupun manual. Data yang telah dianalisis kemudian diinterpretasikan sebagai bahan penilaian. C. Pengembangan Tes Diagnostik Seorang guru yang telah melakukan penilaian akan mendapatkan informasi mengenai hasil penilaian siswa. Informasi tersebut tidak ada gunanya jika tidak dilakukan tindak lanjut. Dalam hal ini, guru perlu melakukan diagnosis yakni berupa identifikasi masalah-masalah yang akan terjadi dan harus dicegah atau masalah-masalah yang telah terjadi yang memerlukan pencegahan (Ahir dan Hafid, 2011. hlm. 11). Menurut Sukardi (2008. hlm. 226) diagnosis dalam dunia pendidikan memiliki dua tujuan utama yaitu, pertama menentukkan posisi siswa dalam kelompok (grade), dalam hal ini mengidentifikasi siswa yang memiliki kesulitan, kedua kegiatan pengajaran remedi yang didalamnya mencakup pemberian materi kepada kelompok siswa yang benar-benar memiliki kesulitan belajar agar dapat mengejar ketertinggalannya dalam belajar. Penilaian diagnostik pada umumnya jarang digunakan oleh guru, namun guru lebih banyak menggunakan penilaian sumatif saat proses pembelajaran berlangsung
(Sukardi, 2008. hlm. 228). Kekurangan penilaian ini menurut
Treagust (2006. hlm. 1), yaitu tidak dapat menyediakan umpan balik bagi pembelajaran siswa. Menurut Costa, Marques, dan Kempa (2000 dalam Treagust, 2006. hlm. 1) serta Taber (2001 dalam Treagust, 2006. hlm. 1) adapun guru yang melakukan penilaian diagnostik, sebagian besar tidak efektif mengidentifikasi kesulitan belajar siswa terutama saat proses pembelajaran berlangsung. Guru tidak
28
menyadari bahwa kemampuan siswa dalam proses pembelajaran bervariasi. Sistem pengajaran secara faktual diberikan secara bersama dalam satu kelas dengan asumsi seluruh siswa memiliki kelompok umur sama, pengetahuan sama, kecepatan menerima materi pembelajaran sama, dan siswa dianggap sebagai subjek didik yang pada prinsipnya memiliki kesiapan belajar yang sama (Sukardi, 2008. hlm. 228). Diagnostik kepada siswa sulit untuk dilakukan karena proses kognitif siswa sulit untuk diukur dan diobservasi oleh karena itu dibutuhkan metode yang tepat untuk hal ini salah satunya yakni wawancara (White dan Gunstones, 1992 dalam Tsui dan Treagust, 2010. hlm. 1074). Namun metode wawancara kurang efektif karena memakan waktu yang cukup banyak terutama jika siswa yang diwawancarai berjumlah banyak (Adam & Wieman, 2011. hlm. 1297). Treagust (1988. hlm. 160) mengemukakan bahwa metode yang baik untuk mengidentifikasi kesulitan siswa dalam proses pembelajaran adalah tes diagnostik. Metode ini tidak memakan waktu lama seperti wawancara (Tsui dan Tragust, 2010. hlm. 1074). Gambaran mengenai tes diagnostik menurut Daryanto (2008. hlm. 47-52) dirangkum pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Gambaran Tes Diagnostik Ditinjau dari Aspek
Gambaran Tes Diagnostik -
Menentukan penguasaan bahan prasyarat pembelajaran
-
Menentukan tingkat penguasaan siswa terhadap bahan yang
Fungsi
dipelajari -
Memisah-misahkan
(mengelompokkan)
siswa
berdasarkan
kemampuan dalam menerima pelajaran yang akan dipelajari
29
Ditinjau dari aspek
Gambaran tes diagnostik -
Awal pembelajaran
-
Selama pelajaran berlangsung
-
Akhir pembelajaran
-
Tingkah laku kognitif, afektif, dan psikomotorik
-
Faktor-faktor fisik , psikologis, dan lingkungan
-
Tes diagnostik yang sudah distandarkan
-
Tes buatan guru
-
Pengamatan dan daftar cocok (check list)
-
Memilih tiap-tiap keterampilan prasyarat
Cara memilih tujuan
-
Memilih tujuan setiap program pelajaran secara berimbang
yang dievaluasi
-
Memilih yang berhubungan dengan tingkah laku fisik, mental,
Waktu
Titik berat penilaian
Alat evaluasi
dan perasaan -
Banyak diambil soal tes yang mudah karena akan mengukur
Tingkat kesulitan tes keterampilan dasar Skoring -
Menggunakan standar mutlak dan standar relatif
-
Tingkat pencapaian yang dituntut tidak sama. Tergantung dari
(cara menyekor) Tingkat pencapaian tujugan penggunaan tes diagnostik tersebut Pencatatan hasil
-
Dicatat dan dan dilaporkan dalam bentuk profil
Tes diagnostik pertama kali dikembangkan dalam bentuk pilihan ganda (Multiple Choice) (Tamir 1971; Linke & Venz, 1978; Linke & Venz, 1979; Helm, 1980; Trembath, 1984; Halloun & Hestenes, 1985 dalam Treagust, 1988. hlm. 159). Siswa diberi soal kemudian disediakan beberapa opsi jawaban. Siswa harus memilih salah satu jawaban yang paling benar. Hardiansyah (2011) menerapkan
30
instrumen ini sebagai asesmen kesulitan belajar dalam mempelajari konsep keanekaragaman makhluk hidup. Krishnan
dan
Howe
(1994
dalam
Suwarto,
2012.
hlm.
136)
mengembangkan soal pilihan ganda disertai dengan alasan sebagai bentuk penjelasan atas jawaban yang dipilihnya. Bentuk soal ini dikenal dengan pilihan ganda beralasan (Tamir, 1971 dalam Treagust, 1988. hlm. 160).). Soal pilihan ganda beralasan lebih menguntungkan dibandingkan pilihan ganda biasa. Tüysüz (2009. hlm. 627) dalam penelitiannya mengungkapkan keuntungan dari bentuk soal ini yakni dapat mengidentifikasi dua aspek yang berbeda sekaligus dalam satu fenomena. Awal penggunaan tes pilihan ganda beralasan dimulai sejak tahun 80an yang bertujuan untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa. Beberapa penelitian yang mengembangkan tes ini pada bidang sains yakni Haslam dan Treagust (1988. hlm. 203-211) pada konsep fotosintesis dan respirasi, Odom danBarrow (1995. hlm. 409-415) konsep difusi dan osmosis, Tan dan Treagust (1999. hlm. 75-83.) konsep ikatan kimia serta Paulus dan Treagust (1991. hlm. 47–53.) konsep elektromagnetik. Namun sekarang penggunaan tes ini sudah luas tidak hanya digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi saja. Beberapa peneliti telah mengembangkan instrumen ini untuk mengukur kemampuan lain seperti
prestasi
siswa
(Tüysüz,
2009.
hlm.
626-631),
kemampuan
mendeskripsikan dan menjelaskan (Chandrasegaran, et al., 2007. hlm. 293-307.), keyakinan siswa terhadap sains (Alhadlaq, Alshaya, Alabdulkareem, Perkins, Adams, & Wieman, 2009) serta evaluasi penalaran siswa terhadap genetika (Tsui & Treagust, 2010. hlm. 1073 – 1098.).
31
Tes pilihan ganda beralasan terdiri dari dua macam yaitu tes pilihan ganda beralasan terbuka dan tes pilihan ganda beralasan tertutup. Tes pilihan ganda beralasan terbuka adalah tes pilihan ganda yang disertai alasan sehingga siswa harus menuliskan alasan terhadap jawaban yang dipilihnya (Suwarto, 2012. hlm. 56). Kelebihan tes pilihan ganda berlasan terbuka yaitu siswa dapat leluasa mengungkapkan alasan atas jawaban yang dipilihnya. Kelemahannya yakni dibutuhkan waktu untuk pemahaman jawaban siswa yang luas. Instrumen ini telah digunakan oleh Khotimah (2014) dalam penelitiannya untuk mengidentifikai miskonsepsi siswa pada konsep Archaebacteria dan Eubacteria. Sedangkan tes pilihan ganda tertutup adalah tes pilihan ganda yang disertai pilihan alasan. Tes ini disebut juga tes pilihan ganda dua tingkat (two tier multiple choice) (Treagust, 1988. hlm. 160). Tingkat pertama merupakan soal pilihan ganda dengan pilihan jawaban sedangkan tingkat kedua merupakan pilihan ganda dengan pilihan alasan atas jawaban pada tingkat pertama. Alasan siswa pada bentuk pilihan ganda beralasan tetutup telah disediakan sehingga siswa hanya memilih jawaban dari opsi yang sudah tersedia (Chandrasegaran, et al., 2007. hlm. 299). Jawaban benar jika siswa dengan tepat memilih opsi pada tingkat pertama dan tingkat kedua. Penilaian dilakukan berdasarkan pilihan jawaban dan alasan siswa pada kedua tingkat. Kelemahan instrumen ini menurut Suwarto (2012. hlm. 57) yaitu siswa tidak leluasa mengungkapkan alasan pemilihan jawaban. Kelebihan instrumen ini yakni mempermudah dalam proses penilaian. Selain itu siswa memiliki peluang menebak jawaban lebih kecil dibandingkan pilihan ganda satu tingkat. Pada pilihan ganda satu tingkat, misal dengan 5 pilihan jawaban, siswa memiliki peluang menebak jawaban 20% sedangkan pilihan ganda
32
dua tingkat yang memiliki pilihan alasan pada tingkat kedua, misal dengan 4 opsi pilihan alasan, siswa memiliki peluang sebesar 4% untuk menebak jawaban. Namun, walaupun peluang siswa untuk menebak jawaban lebih kecil dibandingkan bentuk soal pilihan ganda satu tingkat, tetap saja kemungkinan menebak jawaban selalu ada. Seperti yang diungkapkan Sukardi (2008. hlm. 126) bahwa kelemahan tes objektif yakni memberi peluang kepada siswa untuk menerka jawaban. Tahap-tahap pengembangan tes pilihan ganda beralasan pertama kali dikemukakan oleh Treagust (1988. hlm. 161). Pengembangan bentuk tes ini secara umum sama dengan pegembangan instrumen tes biasa, hanya saja instrumen yang dihasilkan berbentuk pilihan ganda beralasan. Adapun tahapan pengembangan instrumen ini terdiri dari tiga langkah utama. Secara rinci, langkah-langkah dari setiap tahapan utama tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menggambarkan isi atau materi yang akan diteskan. a. Mengidentifikasi masalah berupa materi yang akan diteskan misal mengenai miskonsepsi fotosintesis. b. Melakukan studi literatur tentang materi yang akan diteskan dapat berupa tinjauan penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, tinjauan materi hingga kurikulum dan tujuan pembelajaran. c. memvalidasi konten atau materi yang telah ditentukan. Validasi dapat dilakukan kepada guru senior atau dosen ahli materi tersebut. d. Memperoleh informasi tentang keadaan awal siswa. e. Membuat pertanyaan terbuka, dapat berbentuk pedoman wawancara atau uraian (esai).
33
f. Menyebarkan pertanyaan yang sudah dibuat kepada siswa dapat berupa wawancara langsung atau tes esai. Tujuannya yakni untuk menggali informasi tentang keadaan siswa. g. Membuat soal pilihan ganda dua tingkat berdasarkan informasi keadaan awal siswa. h. Memvalidasi soal yang sudah dibuat kepada guru senior atau dosen ahli. 2. Mengembangkan tes diagnostik. a. Menyebarkan soal pilihan ganda beralasan dua tingkat kepada siswa. b. Menganalisis hasil respon siswa. D.
Penilaian Penalaran Siswa SMA pada Materi Sistem Ekskresi Biologi bukan hanya kumpulan fakta dan konsep, karena didalam biologi
terdapat berbagai proses dan nilai yang dapat dikembangkan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari (Saptono, 2003. hlm. -). Akan tetapi, materi system organ pada pembelajaran Biologi di SMA sudah terkenal dengan kesulitannya untuk dipelajari (Tsui & Treagust, 2007. hlm. 206). Siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami fungsi dan keterkaitan serta menyelesaikan tugastugas materi sistem. Kesulitan ini tidak hanya dirasakan oleh siswa, bahkan dirasakan oleh mahasiswa yang masih mengalami kendala ketika memahami konsep-konsep sistem dan terkadang menemukan miskonsepsi (Shi, Wood, Martin, Guild, Vicens, & Knight, 2010; Smith, Wood, & Knight, 2008. hlm. 453). Menurut Johnstone (dalam Tsui & Treagust, 2007. hlm. 205) kesulitan siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas materi system khususnya system ekskresi dikarenakan materi system ekskresi memerlukan pemahaman, penalaran dan
34
problem solving. Pemahaman materi system ekskresi cukup abstrak dan membutuhkan penalaran hypothetico-deductif. Perkembangan kognitif siswa yang sesuai dengan karakteristik materi genetika tersebut yakni pada tahap operasi formal (formal operation). Tahap ini biasanya dimiliki oleh siswa yang sudah berumur 16 tahun atau setara dengan tingkat SMA. Menurut Inhelder dan Piaget (1958 dalam Kiliç & Sağlam, 2014. hlm. 64) ciri tahap operasi formal adalah siswa sudah dapat berfikir abstrak dan menyelesakan masalah secara logika kemudian menggenaralisasikan hasil yang mereka temukan menjadi sebuah kesimpulan. Faktor utama penyebab rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas adalah kemampuan bernalar (Lawson & Thompson, 1988 dalam Kiliç & Sağlam, 2014. hlm. 64). Siswa SMA yang seharusnya sudah dapat melakukan penalaran dengan baik terkadang masih sulit untuk melakukan penalaran. Faktor penyebab lain yaitu proses pembelajaran di kelas. Pembelajaran ini erat kaitannya dengan konstruksi pemahaman siswa. Pembelajaran yang hanya menuntut daya ingat siswa (rote learning) akan sulit untuk difahami siswa sehingga kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas akan cenderung rendah (Shi et al., 2010. hlm. 454). Namun pembelajaran bermakna (meaningful learning) akan lebih dapat membantu siswa memahami konsep system ekskresi secara utuh karena siswa dapat mengaitkan satu konsep dengan konsep lain yang tentu sangat berperan penting dalam penyelesaian tugas (Kiliç & Sağlam, 2014. hlm. 63). Penelitian tentang penilaian kemampuan bernalar siswa telah dilakukan oleh Hickey, Wolfe, dan Kindfield (2000) serta Tsui dan Treagust (2010). Penelitian ini menggambarkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan tugas sebagai
35
kombinasi dimensi pengetahuan konseptual dan prosedural yang disusun dalam sebuah kerangka model penalaran. Pada model yang dikembangkan terdapat dua dimensi pengetahuan yakni pengetahuan konseptual dan prosedural. Dimensi pengetahuan konseptual dikembangkan dalam dimensi domain-khusus (domain-specific dimension) yang bertujuan membangun pengetahuan dari potongan-potongan informasi atau dikenal dengan konsep. Dimensi ini dimulai dari konsep system ekskresi yang paling sederhana hingga paling kompleks. Sedangkan dimensi pengetahuan prosedural
dikembangkan
pada
dimensi
domain-umum
(domain-general
dimension) yang memerlukan siswa untuk menggunakan penalaran logika dimulai dengan penalaran paling mudah yaitu propositional reasoning hingga paling sulit yaitu processreasoning. Kemampuan propositional reasoning dimiliki oleh tingkat penalaran pemula dan menengah. Persamaan keduanya yakni melakukan penalaran berdasarkan
proposisi-proposisi
antesedens
atau
disebut
premis
untuk
menghasilkan proposisi yang baru yakni proposisi konsekuen atau disebut kesimpulan. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah proposisi antesedens yang digunakan. Tingkat pemula melakukan penalaran berdasarkan satu antesedens sedangkan tingkat menengah lebih dari satu antesedens. Kemampuan process reasoning dimiliki oleh tingkat penalaran ahli. Penalaran ini paling sulit dibanding dua proses sebelumya sehingga Tsui dan Treagust (2010. hlm. 1077) dengan tepat memposisikan kemampuan ini diatas tingkat pemula dan menengah. Process reasoning sudah mengarah kepada problem solving. Penalaran bukan hanya dilakukan pada proposisi-prosisi
36
melainkan juga pada fakta dan keadaan yang terdapat saat itu. Maka dari itu, antesedens (premis) yang digunakan untuk penarikan konsekuen (kesimpulan) adalah lebih dari dua kondisi.
Tabel 2.2 Indikator Tingkat Penalaran Siswa pada Materi Sistem Ekskresi (berdasarkan penelitian Hickey et al., 2000. hlm. 170; Tsui & Treagust, 2010. hlm. 1077) Aspek Dasar
Pemula
Menengah
Ahli
Propositional Propositional reasoning Dimensi
Tipe
Domain-
Penalaran
reasoning dengan dengan
Process reasoning hubungan akibat-
hubungan sebabsebab
Umum
akibat
(Prosedural) Jumlah Satu
Satu atau lebih
Dua atau lebih
Memetakan fungsi –
Mekanisme kerja suatu
struktur jaringan pada
organ dan keterkaitan
organ, mekanisme
dengan organ lain,
kerja dalam satu
mekanisme kerja antar
organ
sistem
Antesedens Memetakan Dimensi Domain-Khusus
struktur – fungsi
(Konseptual)
jaringan pada suatu organ
Kedua dimensi pengetahuan saling berhubungan satu sama lain dalam mengukur tingkat penalaran siswa ketika menyelesaikan tugas system ekskresi. Hal ini didasari oleh teori multiple hypothesis yang dikemukakan oleh Lawson (1985) bahwa penalaran logika berkaitan dengan konten pengetahuan. Berdasarkan model penalaran (Gambar 2.2), penalaran tingkat pemula melakukan
37
pemetaan dari struktur ke fungsi suatu jaringan didalam organ, penalaran tingkat menengah melakukan pemetaan fungsi ke struktur jaringan suatu organ
dan
penalaran tingkat ahli melakukan penalaran pada mekanisme kerja suatu organ dan keterkaitannya dengan system yang lain. Kemampuan bernalar seseorang sulit untuk diamati secara langsung karena proses bernalar merupakan proses yang terjadi didalam pikiran seseorang (Sidharta, 2008. hlm. 18). Seperti yang diungkapkan oleh Adam dan Wieman (2011. hlm. 1295) bahwa proses yang terjadi di dalam pikiran seseorang sulit untuk diukur secara langsung bagaimana proses yang terjadi didalamnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan yakni dengan mengukur produk hasil berfikir berupa lambang atau simbol-simbol yang dirangkai menjadi susunan kata dan susunan kalimat (Lohman & Lakin, 2009. hlm. 32). Melalui produk tersebutlah proses berpikir seseorang dapat dipetakan dan dilihat bagaimana proses kognitifnya (Adam & Wieman, 2011. hlm. 1292). Dengan demikian, dibutuhkan suatu alat ukur yang dapat menilai produk atau hasil argumentasi proses bernalar seseorang terutama dalam menilai penalaran siswa pada materi system ekskresi. Penelitian Tsui dan Treagust (2010) menggunakan instrumen tes diagnostik untuk menilai penalaran siswa pada materi genetika. Bentuk tes yang diberikan yakni pilihan ganda beralasan dua tingkat dimana siswa dituntut menjawab pertanyaan dan alasan atas jawaban yang dipilihnya. Kelebihan instrumen ini yakni dapat menilai sejauh mana pengetahuan konsep system ekskresi sekaligus kemampuan bernalar siswa sehingga dapat diketahui letak penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan tugas.
38
Pengembangan instrumen tes diagnostik penelitian Tsui dan Treagust (2010. hlm. 1079) secara keseluruhan mengikuti langkah-langkah metode pengembangan instrumen yang dikemukakan oleh Treagust
(1988. hlm. 161). Hasil
pengembangan dan uji coba instrumen kemudian dianalisis untuk mengetahui keakuratan instrumen dalam menilai penalaran siswa pada materi ekskresi. Analisis yang dilakukan berupa analisis pokok uji dan uji kecocokan jawaban siswa dengan melakukan wawancara kepada siswa yang bersangkutan. Validasi ini menentukan instrumen cocok atau tidak dalam menilai penalaran siswa pada materi system ekskresi (Adam & Wieman, 2011. hlm. 1292)