Teruntuk Seluruh keluarga, kawan, serta mereka yang bersikap baik dan romantis kepadaku.
3
Surat Penulis Buku ini berawal dari sebuah pertanyaan mendasar tentang tiga hal yang membuat saya tertarik. Manusia, cinta, dan Tuhan. Kumpulan tulisan (entah cerpen, puisi, maupun prosa, atau apalah) yang ada dalam buku ini menurut saya memiliki sebuah kesamaan pola. Sebuah pola ketertarikan terhadap ketiga unsur tadi, manusia, cinta dan Tuhan. Meski benar tidak ada keseimbangan jumlah karya dalam masing-masing tema, namun bukan berarti pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan ketiga tema tersebut menjadi terbatas. Akan
lebih
mudah
menyampaikan
pemahaman dan pertanyaan terkait manusia dalam bentuk cerpen. Namun tak demikian dengan cinta dan Tuhan yang lebih privat dan intim dengan bentuk tulisan singkat maupun puisi.
4
Namun dari kumpulan karya ini, harap saya sebagai penulis adalah sebuah kejujuran langsung akan kegundahan yang saya rasa selama ini dihati. Bagi saya, buku ini adalah sebuah curahan hati yang tak
pernah
dipublikasikan
sebelumnya.
Maka,
silahkan pembaca mendengarkan curahan hati saya dengan ikhlas. Terima Kasih Faizal Fahmi Baelul
5
ISI Surat Penulis Manusia Haram Anjing Gembala Si Pardi Aku Akan Dibaca! Hutang Sahabat Dia yang BerbicaraDalam Diam Cinta Lagu Melankolis Merindu Janji Kala Rindu Malu Aku Dengan Hujan Menyatu 6
Jika Saijah Itu Aku Tunggulah Aku di Hutan Jati Adinda Untukmu yang Ku Rindukan Kangen Permaisuri Yang Tak Kumiliki Kepada Si Anak Bungsu Kepada Kakak Kedua Kepada Kakak Tertua Kepada Abah Kepada Ibu Tuhan Biarkan Aku Mencinta Ampunan-Mu Kepada Tuhanku Kematian 7
Menjelang Maghrib Musafir Seutas harap Jauh Tuk Ku Gapai Sebuah Panggilan
8
MANUSIA Tidak ada yang lebih menarik daripada menceritakan tentang orang lain. Sifat manusia lain yang kita lihat dari mata kita sendiri. Tak mudah menceritakannya hanya dengan sederhana, perlu sedikit panjang, tak seperti puisi. Ah dasar aku ini manusia, menilai ya seadanya saja.
9
Haram
Sore itu matahari sedang menyiapkan dirinya untuk
tenggelam.
Rona
warna
merah
jingga
menyeruap menyelimuti sebuah perumahan elit di daerah Kali Bata. Rumah-rumah mewah berdiri berjajar dengan rapih dan megahnya. Deretan rumahrumah
megah
itu
berhadapan
seperti
saling
memamerkan kecantikannya dengan rumah lain yang takkalah cantiknya diseberang jalan. Jalanannya pun tampak sangat bersih, bisa dikata tak ada sampah yang mengotori ditepi jalan. Lampu-lampu jalan yang lebih sering dilihat di film-film barat berdiri manis ditepi-tepi jalan. Keindahan yang mengagumkan dari sebuah kejeniusan bisnis real estate yang semakin menjamur akhir-akhir ini. Dibalik keindahan serta kemegahan setiap seluk beluk perumahan itu, ada hal yang sangat hambar dan hampa. Kehampaan yang sangat kentara meski rumah-rumah megah berdiri kokoh dan 10
berbaris-baris menyesaki perumahan itu. Sepanjang jalan, tikungan, perempatan bahkan hingga lintasan pejalan kaki sangatlah sepi, sesepi kota mati. Sebuah keindahan yang sunyi. Kadang hanya satu dua orang di sore hari yang indah seperti ini terlihat berjalan bergegas, lainnya nihil. Jalanan hanya akan ramai saat jam berangkat kantor di pagi hari dan jam pulang kantor di malam hari, hampir bisa dipastikan mobilmobil mewah
memenuhi setiap jengkal jalanan.
Namun ini masih sore, kesunyian masih menusuk disetiap celah jalan perumahan ini. Di sebuah tikungan tepat di ujung area dari perumahan,
berjalanlah
seorang
pemulung
tua
dengan baju compang-camping dan juga karung yang dibawanya dengan tangan kanannya. Karung berisi sampah yang masih belum terisi penuh itu diseretnya melintasi aspal jalan. Di tangan kirinya tergenggam sebuah tongkat besi yang ujungnya dibikin bengkok agar memudahkannya untuk mengais dan memilahmilah sampah-sampah yang akan dia pulung. Wajahnya kasar dan terlihat sangat tidak terurus. 11
Kulitnya berwarna hitam legam yang terbakar. Rambutnya sudah mulai memutih karena umur yang tak lagi muda. Dia berjalan menuju sebuah tempat sampah diujung jalan. Sambil berjalan didendangkanlah sebuah irama yang mungkin ia buat sendiri dengan wajah yang tak berekspresi sama sekali. “Dunia ini memang tidak adil, tidak adil.”. diulanginya kalimat itu dalam dendangannya beberapa kali dengan suara yang semakin lama semakin meninggi. Saat sampai di
tempat
sampah
berhentilah
dia
menyanyi.
Dibukanya karung yang sedari tadi diseretnya, lalu dengan lihai tangan kirinya mengerakkan tongkat besi dengan lincah memilah-milah sampah plastik yang ada. Saat sampah plastik tersangkut di tongkatnya, dengan sigap tangan kirinya bergerak mendekat ke arah karung yang masih digenggamnya di tangan kanannya. Tak lebih dari lima detik sampah plastik yang ada di ujung tongkatnya kini berpindah kedalam karung. Dia harus bergerak cepat, secepat kilat. Tak ingin dia sampai tertangkap oleh satpam 12
perumahan ini, bisa-bisa rejekinya hari ini hilang semua. Mengendap-endap masuk ke perumahan elit memang sering dilakukannya,namun terkadang dia juga apes tertangkap oleh satpam. Tak masalah jikalau si satpam hanya mengusirnya, pernah dia dihajar oleh satpam yang sok berlagak seperti jagoan, bahkan pernah dia dipalak uang rokok agar dia bisa dilepaskan. Namun itu tak membuat nyalinya ciut kembali ke perumahan elit, bahkan baginya itu seperti tantangan tersendiri. “Maaf pak, bisa minggir sebentar?”, suara lirih muncul dari belakang si pemulung. Jantung pemulung hampir copot karena suara itu. Dengan sigap berbaliklah ia bersiap kabur jika si empunya suara adalah satpam perumahan. Namun setelah berbalik bukannya satpam yang ia temui, namun seorang bocah laki-laki dengan kaos oblong polos berwarna putih dan celana tiga perempat. Wajah bocah itu polos, umurnya mungkin sekitar 16-17 tahun. Bocah itu tak bisa dibilang tampan, namun
13