JURNAL AGROTEKNOS Nopember 2012 Vol.2. No.3. hal. 156-165 ISSN: 2087-7706
IDENTIFIKASI FAUNA TANAH EPIGEON DAN HEMIEDAFON PADA SISTEM TUMPANGSARI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.) DAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) PADA PERLAKUAN MIKORIZA INDIGEN DAN PUPUK ORGANIK CAIR Identification of Land Epigeon Fauna and Hemiedafon on Intercropping of Maize (Zea Mays L.) and Peanuts (Arachis Hypogaea L.) Applied with Mycorrhizal Indigen and Liquid Organic Fertilizer TERRY PAKKI*), HALIM, ARBIYANTI Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari
ABSTRACT This study aimed to determine the effect of indigenous mycorrhiza and liquid organic fertilizer on corn and peanut intercropping system and its effect on the epigeon and hemiedafon fauna population. This study was conducted by using three methods of sampling : pitfall trap, transect and funnel barlles. The result of this study showed that there were several types of epigeon and hemiedafon soil fauna to the corn and peanut intercropping system that treated by indigenous mycorhiza and liquid organic fertilizer : they were Cockroachest east (Blatta orientalis L.), Millipedes (Trigoniulus corallinus), Leech (Tyrnnobdella rex), Black fire ants (Selenopsis richteri), Fire ants (Selenopsis geminata), Black ants (Dolichoderus bituberculatus), Centipede (Scolopendra sp.), Small red ants, Crickets ground (Allonemobius fasiatus), Field crickets (Gryllus pennsylvanicus), Ground spider (Lycosa sp.), German roaches (Blattella fasciatus), Termites (Coptotermes sp.), Snails (Achatina fulica) and Earthworm genus Lumbricus. The highest level of epigeon and hemiedafon soil fauna population was found at 4 MST; they were Black ants (Dolichoderus bituberculatus) and Termites (Coptotermes sp.) in one colony. The lowest level of epigeon and hemiedafon soil fauna population was found in untreated area (controlled). Key words : soil fauna, epigeon, hemiedafon, intercropping system, indigen mycorrhiza, liquid organic fertilizer 1PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) merupakan kebutuhan yang cukup penting bagi kehidupan manusia dan hewan. Jagung mempunyai kandungan gizi dan serat kasar yang cukup memadai sebagai bahan makanan pokok pengganti beras. Selain sebagai makanan pokok, jagung juga merupakan bahan baku pakan ternak. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai potensi lahan kering yang cukup luas untuk pengembangan tanaman jagung. Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, berkembangnya usaha peternakan dan 1
industri yang menggunakan jagung sebagai bahan baku, menyebabkan permintaan akan jagung terus meningkat. Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan yang berkesinambungan, diantaranya dengan cara intensifikasi dan ekstentifikasi. Cara ekstentifikasi tidak mungkin lagi dilakukan karena jumlah lahan pertanian dari tahun ke tahun semakin menyempit, sehingga satu-satunya cara untuk meningkatkan pendapatan petani dari hasil tanaman yang dibudidayakan adalah dengan cara sistem tanam ganda atau sistem tumpangsari. Penerapan pola tanam tumpangsari selain dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan, juga sebagai sumber gizi masyarakat yang beranekaragam serta sebagai konservasi
Vol. 2 No.3, 2012
Identifikasi Fauna Tanah Epigeon Dan Hemiedafon 157
tanah dan air. Penanaman beberapa jenis tanaman dalam satu pola tanam dapat menambah bahan organik dan unsur hara, meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air, mencegah erosi permukaan dan membantu keseimbangan biologis di dalam tanah (Atmojo, 2009). Tumpangsari jagung dan kacang-kacangan banyak menghasilkan bahan organik sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, kacang-kacangan dapat memfiksasi N dari udara sehingga menjadi sumber nitrogen bagi tanaman jagung (Hartojo et.al,, 2003). Tanaman kacang tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui simbiosis akar tanaman inang dengan bakteri Rhizobium sp yang memfiksasi N dari udara. Suprapto (1990), menjelaskan bahwa jenis tanaman yang digunakan dalam tumpangsari sebaiknya memiliki periode pertumbuhan yang berbeda, bahkan bila mungkin dapat saling melengkapi. Pemilihan tanaman kacang tanah sebagai tumpangsari dengan jagung mempunyai arti penting dalam usaha pencapaian swasembada pangan (Soeprapto, 1993). Produktivitas tanah dan tanaman akan meningkat jika digunakan fungi mikoriza yang dikenal sebagai pupuk hayati. Mikoriza adalah simbiosis antara fungi tanah dengan akar tanaman yang memiliki banyak manfaat di bidang pertanian, diantaranya adalah membantu meningkatkan status hara tanaman, meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, penyakit, dan kondisi yang tidak menguntungkan (Auge, 2001; AlKaraki et.al., 2003). Fungi mikoriza dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman yang ditanam pada lahan-lahan marjinal (Gupta dan Mukerji, 2009). Salah satu fungi mikoriza arbuskula yang digunakan sebagai agen pengendali hayati adalah mikoriza indigen yang merupakan jenis mikoriza yang diperoleh dari tanaman atau tumbuhan inang yang infeksinya terjadi secara alami (Halim, 2009). Seiring dengan perkembangannya, terutama di dalam hal pemanfaatan sumber daya lokal dan menciptakan biaya produksi yang lebih ekonomis, dirasakan perlu untuk dikombinasikan dengan pupuk organik yang lebih murah dan mudah didapat tanpa
mengurangi efektifitas kerja mikoriza. Salah satu pupuk organik yang dapat digunakan adalah pupuk organik cair. Fungsi pupuk organik cair adalah memasok unsur hara tanah, menjaga sifat fisik, biologi dan kimia tanah (Indrakusuma, 2000). Pupuk organik cair kebanyakan diaplikasikan melalui daun atau disebut sebagai pupuk cair foliar yang mengandung hara makro dan mikro esensial (N, P, K, S, Ca, Mg, B, Mo, Cu, Fe, Mn, dan bahan organik). Pupuk organik cair mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat mendorong dan meningkatkan pembentukan klorofil daun dan pembentukan bintil akar pada tanaman leguminose sehingga meningkatkan kemampuan fotosintesis tanaman dan penyerapan nitrogen dari udara, dapat meningkatkan vigor tanaman menjadi kokoh dan kuat, merangsang pertumbuhan cabang produksi, meningkatkan pembentukan bunga dan bakal buah, serta mengurangi gugurnya daun, bunga dan bakal buah (Hadisuwito, 2008). Selain pemberian pupuk, keberadaan fauna tanah juga sangat berperan dalam penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman. Populasi fauna tanah epigeon dan hemiedafon akan meningkat jika lingkungan fisik dan kimia mendukung. Bahan organik tanaman merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah, khususnya fauna tanah epigeon dan hemiedafon (Suin, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi pengaruh pemberian mikoriza indigen dan pupuk organik cair pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah terhadap populasi fauna tanah epigeon dan hemiedafon, Sedangkan manfaat penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak atau instansi terkait dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Morome, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, yang berlangsung dari bulan Juni sampai dengan September 2011. Bahan dan Alat. yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolasi, formalin 5 %, air, larutan sabun, umpan, kertas label, benih jagung pulut, benih kacang tanah varietas
158 PAKKY ET AL. gajah, propagul mikoriza indigen dan pupuk organik cair. Persiapan Lahan. Persiapan lahan dimulai dengan membersihan tanah di lokasi penelitian dari gulma dengan menggunakan parang dan traktor tangan. Setelah tanah dibersihkan, diolah dengan menggunakan traktor tangan sedalam 15 – 20 cm, kemudian tanah digemburkan dan akar tanaman yang tersisa di atas permukaan tanah dibersihkan. Selanjutnya dibuat petak percobaan dengan ukuran 4 m x 3 m dengan jarak antara petak 0,5 m. Penanaman. Penanaman benih jagung dan kacang tanah dilakukan secara tugal dengan kedalaman 5 cm, tiap lubang diberi 2 biji dengan jarak tanam tumpangsari 120 cm x 40 cm dan 40 cm x 40 cm jarak antara tanaman jagung dan kacang tanah. Pemberian propagul mikoriza indigen bersamaan dengan penanaman jagung dan kacang tanah. Sedangkan pemberian pupuk organik cair diberikan pada saat tanaman berumur 13, 23, 33, 43, 53, 63, 73 hari setelah tanam (Kana Subur Persada, 2001). Dosis yang diberikan sebanyak 1 mil per liter. Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman di lapangan meliputi: penyulaman, penyiangan, penyiraman. Penyiangan dilakukan bila ada gulma yang tumbuh pada petak percobaan, penyulaman dilakukan bila ada tanaman yang mati dengan cara mengganti tanaman tersebut dengan tanaman sejenis yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore apabila tidak terjadi hujan. Metode pengambilan sampel. 1. Metode Pitfall Trap. Metode ini dilakukan dengan cara gelas aqua (220 ml) diberi larutan sabun 1/3 bagian gelas kemudian gelas dibenamkan ke dalam tanah dengan permukaan atas gelas rata dengan permukaan tanah. Pada permukaan gelas diberi kawat dan diberi umpan untuk menarik serangga yang aktif dipermukaan tanah kemudian dipasang pelindung pada bagian atasnya (atap) untuk melindungi dari hujan. Perangkap dipasang 1 hari sebelum pengamatan dan dibiarkan selama 1 x 24 jam. Fauna yang terperangkap dalam gelas di bawah ke laboratorium, selanjutnya dipisahkan berdasarkan jenisnya dan diidentifikasi (Suin, 1997).
J. AGROTEKNOS 2. Metode Corong Barless. Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulkan serasah-serasah yang ada dipermukaan tanah kemudian dimasukkan ke dalam corong barless dengan bagian tengah corong diberi kain kasa yang berguna untuk menampung serasah. Pada bagian bawah corong diletakkan wadah untuk menampung fauna-fauna yang jatuh dari corong tersebut. Pada permukaan corong diberi lampu pijar (5 watt) yang dipasangkan pada penutup corong, tujuannya agar fauna-fauna tanah yang ada akan turun ke bawah karena adanya pengaruh panas lampu, fauna-fauna yang jatuh ke dalam wadah dipisahkan berdasarkan jenisnya dan selanjutnya diidentifikasi (Suin, 1997). 3. Metode Transek. Metode ini dilakukan dengan cara membuat transek dengan ukuran 40 x 40 cm kemudian diletakkan atau dilemparkan pada permukaan tanah tempat tanaman yang akan diamati. Permukaan tanah yang berada dalam transek disiramkan larutan formalin 5 %/ 1 liter air secara merata, fauna yang muncul di atas permukaan tanah dikumpulkan dan dibawah ke laboratorium untuk diidentifikasi (Crossley dkk, 1992). Variabel Pengamatan. Variabel pengamatan dalam penelitian ini yaitu mengumpulkan fauna tanah pada tiap-tiap perlakuan. Pengamatan dilakukan sebanyak lima kali yaitu sebelum pengolahan tanah, dua minggu setelah tanam (2 MST), empat minggu setelah tanam (4 MST), dua minggu sebelum panen (10 MST) dan satu minggu setelah panen (12 MST). Pengamatan dilakukan dengan melihat fauna tanah yang terperangkap pada masing-masing metode pengumpulan Analisis Data. Data ditabulasi secara sederhana berdasarkan hasil yang diperoleh pada saat pengamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Fauna Tanah Sebelum Penanaman. Pengamatan fauna tanah epigeon dan hemiedafon pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah satu minggu sebelum pengolahan tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
Vol. 2 No.3, 2012
Identifikasi Fauna Tanah Epigeon Dan Hemiedafon 159
Tabel 1. Hasil pengamatan fauna tanah pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah sebelum pengolahan tanah.
No 1 2 3 4 5 6
Jenis fauna tanah Kecoak timur (Blatta orientalis L.) Lipan (Scolopendra sp.) Cacing tanah genus Lumbricus Semut api hitam (Selenopsis richteri) Lintah (Tyrnnobdella rex) Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus)
Epigeon
Hemiedafon
Populasi 3 ekor 4 ekor 7 ekor 3 ekor 2 ekor 3 ekor
Keterangan : = fauna tanah yang di temukan
Tabel 1, berdasarkan hasil pengamatan sebelum pengolahan tanah terhadap sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah, populasi fauna tanah tertinggi yaitu cacing tanah genus Lumbricus sebanyak 7 ekor, sedangkan populasi fauna tanah terendah yaitu lintah (Tyrnnobdella rex) sebanyak 2 ekor.
Populasi Fauna Tanah Setelah Penanaman. Pengamatan fauna tanah epigeon dan hemiedafon pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi pupuk organik cair dan mikoriza indigen pada berbagai waktu pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2, 3, 4, 5.
Tabel 2. Rata-rata jumlah fauna tanah pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi pupuk organik cair pada berbagai waktu pengamatan.
No
Jenis Fauna Tanah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kecoak timur (Blatta orientalis L.) Kaki seribu (Trigoniulus corallinus) Lintah (Tyrnnobdella rex) Semut api hitam (Selenopsis richteri) Semut api (Selenopsis geminata) Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) Lipan (Scolopendra sp.) Cengkerik lapangan (Gryllus pennsylvanicus) Cengkerik tanah (Allonemobius fasiatus) Laba-laba tanah (Lycosa sp.) Kecoak jerman (Blattella fasciatus)
Jumlah fauna tanah (ekor) pada waktu pengamatan (MST) 2 4 10 12 0,33 0,00 0,17 0,00 1,84 4,00 1,34 0,33 0,84 1,84 1,00 0,00 2,17 3,17 2,00 0,67 0,50 0,00 0,00 0,00 1,50 2,67 2,34 0,00 0,50 1,00 1,34 0,00 0,00 1,84 0,84 0,00 0,00 2,33 1,17 0,00 0,00 1,17 0,00 0,00 0,00 0,67 0,00 0,00
E
H
√ √
√ √ √ √
√ √ √
Keterangan: E = Epigeon, H = Hemiedafon, = fauna tanah yang di temukan
Tabel 2, berdasarkan hasil tabulasi sederhana terhadap sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi perlakuan pupuk organik cair menunjukkan bahwa rata-rata populasi fauna tanah tertinggi terdapat pada 4 MST yaitu kaki seribu
sebanyak 4,00 ekor, sedangkan rata-rata populasi fauna tanah terendah terdapat pada pengamatan pada 12 MST yaitu kaki seribu (Trigoniulus corallinus) sebanyak 0,33 eko
160 PAKKY ET AL.
J. AGROTEKNOS
Tabel 3. Rata-rata jumlah fauna tanah pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi mikoriza indigen pada berbagai waktu pengamatan. No
Jenis Fauna Tanah
Jumlah fauna tanah (ekor) pada waktu pengamatan (MST) 2 4 10 12 1 Lipan (Scolopendra sp.) 1,00 1,22 1,22 0,00 2 Semut api hitam (Selenopsis richteri) 3,00 2,33 0,22 0,56 3 Semut merah kecil 1,44 0,00 0,00 0,00 4 Kaki seribu (Trigoniulus corallinus) 1,78 2,22 1,00 0,22 5 Lintah (Tyrnnobdella rex) 0,67 0,33 0,22 0,11 6 Kecoak timur (Blatta orientalis L) 0,22 0,22 0,11 0,00 7 Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) 0,22 2,34 1,78 0,00 8 Cengkerik tanah (Allonemobius fasiatus) 0,00 1,45 0,44 0,00 9 Kecoak jerman (Blattella fasciatus) 0,00 0,67 0,44 0,00 10 Cengkerik lapangan (Gryllus pennsylvanicus) 0,00 2,00 1,00 0,00 11 Laba-laba tanah (Lycosa sp.) 0,00 1,11 0,00 0,00 12 Semut api (Selenopsis geminata) 0,00 0,22 0,00 0,00 Keterangan: E = Epigeon, H= Hemiedafon, = fauna tanah yang di temukan
Tabel 3, berdasarkan hasil tabulasi sederhana terhadap sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi perlakuan mikoriza indigen menunjukkan bahwa rata-rata populasi fauna tanah tertinggi terdapat pada 2 MST yaitu semut api hitam
E
H √
√ √ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √ √
(Selenopsis richteri) sebanyak 3,00 ekor, sedangkan populasi fauna tanah terendah pada 10 MST yaitu Kecoak timur (Blatta orientalis L) dan pada 12 MST yaitu Lintah (Tyrnnobdella rex) sebanyak 0,11 ekor
Tabel 4. Rata-rata jumlah fauna tanah pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi pupuk organik cair dan mikoriza indigen pada berbagai waktu pengamatan. No
Jenis Fauna Tanah
Jumlah fauna tanah (ekor/koloni) pada waktu pengamatan (MST) 2 4 10 12 1 Laba-laba tanah (Lycosa sp.) 0,00 1,00 0,22 0,11 2 Kaki seribu (Trigoniulus corallinus) 1,72 3,11 0,67 0,67 3 Cengkerik lapangan (Gryllus pennsylvanicus) 0,00 3,28 0,95 0,00 4 Semut api hitam (Selenopsis richteri) 2,05 2,39 0,72 0,84 5 Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) 0,78 1* 1,34 0,11 6 Lintah (Tyrnnobdella rex) 0,67 2,22 0,61 0,00 7 Lipan (Scolopendra sp.) 1,06 1,22 0,44 0,00 8 Semut merah kecil 0,95 0,61 0,00 0,00 9 Cengkerik tanah (Allonemobius fasiatus) 0,00 2,45 0,55 0,00 10 Kecoak timur (Blatta orientalis L.) 0,67 0,61 0,11 0,00 11 Bekicot (Achatina fulica) 0,00 0,61 0,06 0,00 12 Rayap (Coptotermes sp.) 0,00 1* 0,00 0,00 13 Kecoak jerman (Blattella fasciatus) 0,00 1,11 0,22 0,00 14 Semut api (Selenopsis geminata) 1,33 0,00 0,00 0,00 Keterangan: E = Epigeon, H = Hemiedafon, = fauna tanah yang di temukan, * = koloni
Tabel 4, berdasarkan hasil tabulasi sederhana terhadap sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi perlakuan mikoriza indigen dan pupuk organik cair menunjukkan bahwa rata-rata populasi fauna tanah tertinggi terdapat pada 4 MST yaitu semut hitam (Dolichoderus
E √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
H
√ √ √ √ √ √ √
bituberculatus) dan rayap (Coptotermes sp.) sebanyak 1 koloni, sedangkan populasi fauna tanah terendah terdapat pada 10 MST yaitu kecoak timur (Blatta orientalis L.) sebanyak 0,11 ekor, dan12 MST yaitu laba-laba tanah (Lycosa sp.), Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) sebanyak 0,11 ekor.
Vol. 2 No.3, 2012
Identifikasi Fauna Tanah Epigeon Dan Hemiedafon 161
Tabel 5. Rata-rata jumlah fauna tanah pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah tanpa diberi pupuk organik cair dan mikoriza indigen pada berbagai waktu pengamatan.
No
Jenis Fauna Tanah
1 2
Kecoak timur (Blatta orientalis L.) Semut api hitam (Selenopsis richteri) Cengkerik lapangan (Gryllus pennsylvanicus) Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus)
3 4
Jumlah fauna tanah (ekor) pada waktu pengamatan (MST) 14 28 70 84 0,00 0,67 0,33 0,00 1,33 0,67 0,67 1,33 0,67
0,33
0,00
0,00
0,67
0,67
0,00
0,33
E
H
Keterangan : E = Epigeon, H = Hemiedafon, = fauna tanah yang di temukan
Tabel 4, berdasarkan hasil tabulasi sederhana terhadap sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah tanpa diberi perlakuan mikoriza indigen dan pupuk organik cair menunjukkan bahwa rata-rata populasi fauna tanah tertinggi terdapat pada 2 MST yaitu Semut api hitam (Selenopsis richteri) sebanyak 1,33 ekor, sedangkan populasi fauna tanah terendah terdapat pada 2 MST yaitu Cengkerik lapangan (Gryllus pennsylvanicus), 10 MST yaitu Kecoak timur (Blatta orientalis L.), 12 MST yaitu Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) sebanyak 0,33 ekor. Tanah merupakan tempat kehidupan organisme yang secara umum menguntungkan bagi kehidupan mahkluk hidup lainnya, termasuk manusia. Di dalam tanah terdapat berbagai jenis biota tanah, antara lain mikroba (bakteri,fungi, aktinomisetes, mikroflora, dan protozoa) serta fauna tanah. Masing-masing biota tanah mempunyai fungsi yang khusus. Dalam kaitannya dengan tanaman, mikroba sangat berperan dalam membantu pertumbuhan tanaman melalui penyediaan hara (mikroba penambat N, pelarut P), membantu penyerapan hara (fungi mikoriza), memacu pertumbuhan tanaman (penghasil hormon), dan pengendali hama dan penyakit (penghasil antibiotik, anti patogen). Demikian pula fauna tanah, setiap aktivitas fauna tanah memberikan pengaruh yang khas terhadap lingkungan lahan atau tanah, ada yang menguntungkan bagi tanaman, tetapi ada beberapa fauna tanah lainnya yang dapat merugikan tanaman (Killham, 1999 ). Hasil identifikasi fauna tanah yang ditemukan pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah yang diberi
perlakuan mikoriza indigen dan pupuk organik cair yaitu Kecoak timur (Blatta orientalis L.) ordo Blattaria, Kaki seribu (Trigoniulus corallinus) ordo Glomerida, Lintah (Tyrnnobdella rex) Rhynchobdellida, Semut api hitam (Selenopsis richteri) ordo Hymenoptera, Semut api (Selenopsis geminata) ordo Hymenoptera, Semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) ordo Hymenoptera, Lipan (Scolopendra sp.) ordo Scolopendromorpha, Semut merah kecil ordo Hymenoptera, Cengkerik tanah (Allonemobius fasiatus) ordo Orthoptera, Cengkerik lapangan (Gryllus pennsylvanicus) ordo Orthoptera, Laba-laba tanah (Lycosa sp.) ordo Araneae, Kecoak jerman (Blattella fasciatus) ordo Blattaria, Rayap (Coptotermes sp.) ordo Isoptera, Bekicot (Achatina fulica) ordo pulmonata dan Cacing tanah genus lumbricus ordo Haplotaxida. Penelusuran fauna tanah di atas dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi serangga berdasarkan Kalshoven (1981) dan Borror dkk.,(1996) Dari hasil pengamatan sebelum pengolahan tanah dan setelah pemberian pupuk organik cair dan mikoriza indigen pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah tampak terlihat adanya perbedaan jumlah dan jenis populasi fauna tanah dari 2 MST, 4 MST, 10 MST dan 12 MST. Tanaman yang diberi mikoriza dan pupuk organik cair (kombinasi), sekitar tanah tempat tumbuhnya ditemukan jenis populasi fauna tanah yang banyak dibandingkan yang diberi mikoriza mandiri dan pupuk organik cair mandiri. Hal ini diduga karena tersedianya makanan yang cukup dan juga lingkungan yang mendukung bagi kehidupan fauna tanah. Maftu’ah (2002),
162 PAKKY ET AL. menyatakan bahwa semakin banyak keberadaan fauna di tanah merupakan salah satu ciri tanah sehat karena fauna menjadi salah satu mata rantai penting dalam rantai makanan di dalam tanah, fauna tanah dapat mendegradasi bahan organik sebagai contoh cacing tanah yang berperan sebagai akumulator logam berat. Hasil pengamatan sebelum pengolahan tanah ditemukan sejumlah cacing tanah sedangkan setelah pengolahan tanah dan penanaman tidak ditemukan adanya cacing tanah. Hal ini diduga akibat pengaruh dari pengolahan tanah itu sendiri sehingga cacing tanah mati atau cacing tanah berada jauh di bawah tanah sehingga sulit ditemukan. Hal ini didukung oleh pernyataan Hubbard dkk. (1999) yang menyatakan bahwa pengolahan tanah dapat merusak lubang-lubang cacing tanah dan juga memungkinkan membunuh cacing selama proses pengolahan dan telah banyak studi menunjukkan bahwa jumlah cacing lebih besar dijumpai pada ekosistem lahan tanpa olah tanah dibanding pada agroekosistem lahan dengan pengolahan. Pada pengamatan sebelum pengolahan tanah terdapat sedikit jenis populasi fauna tanah dibanding setelah penanaman yang diaplikasikan mikoriza indigen dan pupuk organik cair. Hal ini diduga karena kurangnya makanan yang ada didalam tanah dan tanah yang belum diolah biasanya sangat keras sehingga hanya fauna tertentu yang dapat hidup. Hal ini sejalan dengan pernyataan Baker (1998), yang menyatakan bahwa populasi, biomasa dan diversitas fauna tanah dipengaruhi oleh praktek penggelolaan lahan dan penggunaannya. Pada lahan terlantar karena kualitas lahannya tergolong masih rendah menyebabkan hanya fauna tanah tertentu yang mampu bertahan hidup, sehingga diversitas fauna tanah baik yang aktif di permukaan tanah maupun di dalam tanah juga sangat rendah. Tinggi rendahnya jumlah fauna tanah ditentukan oleh banyak faktor diantaranya sumber makanan yang cukup dan kondisi lingkungan yang sesuai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi mikoriza indigen dan pupuk organik cair berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tanaman sehingga dapat mempengaruhi kehidupan fauna tanah. Populasi fauna tanah tertinggi berada pada 4 MST yaitu semut hitam yang tergolong ordo Hymenoptera dan
J. AGROTEKNOS rayap yang tergolong ordo Isoptera sebanyak satu koloni. Hal ini diduga terdapatnya penyediaan makanan yang berlimpah bagi fauna tanah akibat dari pemberian mikoriza indigen dan pupuk organik cair yang sesuai sehingga mempengaruhi pertumbuhan tanaman, dimana tanaman dapat mengeluarkan cairan atau eksudat melalui akar-akarnya yang memberikan sumber makanan dan mengkondisikan tanah sedemikian sehingga mendukung kehidupan fauna tanah. Hal ini didukung oleh pernyataan Sugiyarto, (2000), yang menyatakan bahwa semakin banyak bahan organik yang tersedia, maka jumlah individu fauna tanah akan semakin bertambah. Selain itu rayap dan semut juga memiliki banyak peranan, salah satunya dapat memperbaiki sifat fisik tanah, dekomposisi seresah dan biomassa (Anderson, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan awal (2 MST) memiliki jumlah populasi fauna tanah epigeon dan hemiedafon yang sedikit dibanding pada 4 MST. Hal ini diduga karena pada awal pengamatan (2 MST), pupuk organik cair dan mikoriza indigen yang diberikan masih belum terurai dengan baik sehingga unsur hara yang terkandung masih belum bisa dimanfaatkan oleh tanaman untuk proses pertumbuhannya sehingga mempengaruhi keberadaan fauna yang ada didalam tanah, sedangkan pada 4 MST, pupuk cair dan mikoriza indigen yang diberikan telah terurai dengan baik dan mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi sehingga akan melepaskan berbagai jenis unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga tanaman tumbuh baik, dengan kanopi yang banyak dimana dengan adanya dedaunan tanaman (kanopi) yang lebat, menyebabkan lingkungan disekitar tanaman menjadi lembab sehingga mempengaruhi keberadaan fauna tanah yang semakin meningkat. Fauna tanah umumnya menyukai daerah yang lembab. Hal ini didukung oleh Suin (1997), menyatakan bahwa keberadaan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah disuatu daerah sangat ditentukan pada keadaan daerah itu sendiri (faktor lingkungan), dimana kebanyakan hewan tanah memilih hidup pada daerah yang lembab. Sedangkan pada 10 MST (1 minggu
Vol. 2 No.3, 2012
Identifikasi Fauna Tanah Epigeon Dan Hemiedafon 163
sebelum panen) dan 12 MST ( 1 minggu setelah panen) jumlah populasi fauna tanah epigeon dan hemiedafon berkurang. Hal ini diduga karena bahan-bahan organik yang ada dalam tanah telah habis dimanfaatkan oleh tanaman sehingga keberadaan fauna tanah pun menjadi berkurang terutama pada 1 minggu setelah panen dimana fauna tanah tidak memiliki tempat berlindung dan makanan yang dibutuhkan oleh fauna tanah tidak terpenuhi dengan baik sehingga hanya fauna tanah tertentu yang mampu bertahan hidup.
SIMPULAN Berdasarkan hasil pengamatan, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pemberian pupuk organik cair dan mikoriza indigen pada sistem tumpangsari tanaman jagung dan kacang tanah memberi pengaruh baik terhadap peningkatan populasi fauna tanah epigeon dan hemiedafon. Populasi fauna tanah tertinggi terdapat pada 4 MST yaitu semut hitam (Dolichoderus bituberculatus) yang tergolong ordo Hymenoptera dan rayap (Coptotermes sp.) yang tergolong ordo Isoptera sebanyak satu koloni dan populasi terendah berada pada kontrol (tanpa perlakuan).
DAFTAR PUSTAKA Adisarwanto,T, A.A.Rahmiana, dan Suhartini, 1993. Budidaya Kacang Tanah. P. 91-107. Dalam A. Kasno, A. Winarto, dan Sunardi (Ed). Kacang tanah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Malang. Adianto, 1992. Biologi Pertanian. Alumni. Bandung. Adisarwanto, 2000. Teknik Bertanam Jagung. Kanisius, Yogyakarta. Aldrich, R. J., 1993. Weed Crop Ecology Principles in Weed Management. Wadsworth, Inc., Belmont, California, USA. p : 92-126 ; 210-244. Anderson, JM., 1994. Functional Attributes of Biodiversity in Landuse System: In D.J. Greenland and I. Szabolcs (ads). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon. Apryani. A, dan Fatmawati, 2007. Petunjuk Praktikum Dasar-dasar Agronomi. Jurusan Agronomi-Faperta Untirta. Serang.
Atmojo, S. W., 2009. Pola Usaha Tani Konservasi. Fakultas Pertanian UNS. Solo. Al-Karaki, G., B. McMichael, and J. Zak, 2003. Field Response of Wheat to Arbuscular Mycorrhizal Fungi and Drought Stress. Mycorrhiza doi.10.1007/s00572-0030265-2. Auge, R.M., 2001. Water Relations, Drought and Vasicular-Arbuscular Mycorrhizal Symbiosis. Mycorrhiza 11: 3-42. Balai Penelitian Pacsapanen Pertanian. 2001.Peluang Agribisnis Arang Sekam. Jakarta. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian. Melalui http://www.
[email protected]. Diakses pada Tanggal 14 Mei 2008. Baker, G.H., 1998. Recognising and Responding to the Influences of Agriculture and Other Land Use Practices on Soil Fauna in Australia. App. Soil Ecol. 9,303-310. Borror, D.J,. Triplehorn, C.A., dan Johnson, N.F., 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi Keenam. Terjemah oleh Soetiyono Partosoedjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Crossley Jr. DA, Mueller BR & Perdue JC. 1992. Biodiversity of microarthopds in agricultural soil: relations to processes. Agric.Ecosyst. Environ. 40,37-46. Dahlan M., 1992. Pembentukan Benih Jagung Hibrida, Risalah Lokakarya Produksi Benih Hibrida. Malang: Balai Penelitian Tanaman Pangan. Delvian, 2009. Respon Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Fungi Mikoriza Arbuscula dan Tanaman Terhadap Salinitas Tanah. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara Medan. Melalui http:/library.usu.ac.18/download/FP/huta n-delvian2.pdf. Diakses pada Tanggal 8 Juli 2011. Gupta, R., and K.G. Mukerj, 2000. The Growth of VAM Fungi Under Stress Conditions, in M. a. Singh, ed. Mycorrhizal Biology. Kluwer Academid, New York, Boston, Dordrecht, London, Moscow. Hadisuwito, S., 2008. Membuat Kompos Cair. Agromedia Pustaka. Jakarta. Halim, 2009. Peran Mikoriza Indigenous Gulma Imperata cylindrical (L). Beauv dan Eupatorium odorata (L). Terhadap Kompetisi Gulma dan Tanaman Jagung.
164 PAKKY ET AL. Disertai Program Dokter Universitas Padjajaran Bandung. 45-40 P (tidak dipublikasikan). Hanolo, W., 1997. Tanggapan Tanaman Selada dan Sawi Terhadap Dosis dan Cara Pemberian Pupuk Organik Cair Stimula. Jurnal Agrotropika 1(1):25-29. Hartojo K., Heriyanto, Sudaryono, Arsyad D.M., Suharsono, Tastra I K., 2003. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hartono dan Purwono. 2002. Bertanam Jagung. Kanisius, Jakarta. Hubbard V.C., Jordan D., and J.A. Stecker., 1999. Earthworm Response to Rotation and Tillage in a Missouri Claypan Soil. Biol. Fertil. Soils J. 29:343-347. Indrakusuma, 2000. Proposal Pupuk Organik Cair Supra Alam Lestari. PT Surya Pratama Alam. Yogyakarta. James. M.G., D.S. Robertson, A. M. Myers. “ Characterization of theMaize Gene Sugry1, a Determinant of Starch Compesition in Kernels”. The Plant Cell 7 (4): 417-429 Diakses pada Tanggal 24 Juli 2011. Johnson, L.A., 2003. Corn: Production, Processing, and Utilization. di Dalam: Handbook of Cereal Science of Technology. Karel K and Josep GP, Editor. Marcell Decker Inc., New York. Jumar, 2000. Entomologi Pertanian. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Kalshoven L.G.E., 1981. The Pest of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. Kana Subur Persada, 2010. Pupuk Cair Kana. Sorong Irian Jaya Barat. Killham K.., 1999. Soil ecology. Cambridge University Press. United Kingdom. Kolberg R.. Kunia, K., 2010.Mikoriza, Pupuk Hayati Super. Artikel Harian Rakyat. Bandung. Melalui http://newspaper. Pikiran rakyat. com/preprint.php?mib=beritadetail&id=10 0825. Diakses pada Tanggal 29 September 2009. Lamadji, M.J., L. Hakim, dan Rustidja. 1999. Akselerasi Pertanian Tangguh melalui Pemuliaan Non Konvensional. Prosiding Simposium V Pemuliaan Tanaman. PERIPI Komda Jawa Timur.
J. AGROTEKNOS Madjid, A.R., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Unsri dan Program Pasca Sarjana Unsri. Melalui http://dasar2ilmut anah.blogspot. com. Diakses pada Tanggal 2 Juli 2010. Maftu’ah, E., 2002. Studi Potensi Diversitas Makrofauna Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan Berkapur di Malang Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang. Makalew, A.D.N., 2001.”Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah Tanah (TOT)”. Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarna/ S3. Bogor: IPB. Melalui http://ww
w.hayatiipb.com/users/rudyct/
indiv2001/afra-dnm.htm. Diakses pada Tanggal 21 September 2010. Muhadjir, F., 1998. Karakteristik Tanaman Jagung. P. 33-48. Dalam Subandi, M. Stam, dan Widjono A. Jagung. Balitbangtan Pertanian, Puslitbangtan Pangan. Bogor. Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan Lingkungan. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Departemen PendidikandanKebudayaan. Novizan, 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Jakarta. Pankhrust, C.E., 1994. Biological Indicators of Soil Health and Sustainable Productivity. In D.J. Greendland and I. Szabolcs (eds). Soil Resiliense and Sustainable Land Use. CAB International. Oxon. Paoletti, M.G, Pimentel D, Stinner B.R, & Stinner D., 1992. Agroecosystem Biodiversity: Matching Production and Conservation Biology. Agric. Ecosyst. Environ. Poerwowidodo., 1992. Telaah Kesuburan Tanah. Penerbit Angkasa. Bandung. Rao, S., 1994. Mikroorganisme dan Pertumbuhan tanaman. Universitas Indonesia Jakarta. Rahmawati, 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit. Melalui http://libr
ary,usu.ac.id./download/fp/ hutan rahmawati 12. pdf. Diakses pada Tanggal
12 Oktober 2010. Soeprapto, 1993. Bertanam Kacang Tanah. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya, Jakarta.
Vol. 2 No.3, 2012
Identifikasi Fauna Tanah Epigeon Dan Hemiedafon 165
Suprapto, 1990. Bertanam Jagung. Cetakan ke-18. Penebar Swadaya, Jakarta. Suin, M. N., 1997. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta. Sugiyarto, S. H., 2000. “Keanekaragaman Makrofauna Tanah pada Berbagai Umur Tegakan Sengon di RPH Jatirejo Kabupaten Kediri”. Biodiversitas. 1 (2): 11-15. Syib’li, M. A., 2008. Jati Mikoriza, Sebuah Upaya Mengembalikan Eksistensi Hutan dan Ekonomi Indonesia. http://ww w.kabarindonesia.com. Diakses pada Tanggal 28 Oktober 2010.
Tata, H. L., 2010. Kerja Sama Paling Menguntungkan Antara Fungi Mikoriza Arbuskula dan Jagung. Melalui http://kiprahagroforestri. Blogspot.com/2010/03/mikoriza-kerjasama-yang-saling-html. Diakses pada Tanggal 8 Oktober 2010. Warsana, 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 25 Pebruari 2009. Melalui
http://www.litbang.deptan.go.id/artike l/one/234/pdf/Introduksi%20Teknolo gi%20Tumpangsari%20Jagung%dan% 20Kacang%20Tanah.pdf. Diakses pada Tanggal
21
September
2010.