KEWAJIBAN PELAPORAN PAJAK BENDAHARAWAN BERPEDOMAN PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2007 DAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/PMK.03/2010 ATAUKAH PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 64/PMK.05/2013? Oleh: Suwardi, SE, M.Si, Akt
Bendahara pemerintah sebagai wajib pajak mempunyai kewajiban menyetorkan pajak yang dipungut atau dipotong dan melaporkan atas pajak yang dipotong atau dipungut tersebut. Bendaharawan Pemerintah adalah Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota. Bendahara meliputi bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran. Bendahara Pengeluaran sebagai Wajib Pungut Pajak Penghasilan dan pajak lainnya wajib menyetorkan seluruh penerimaan pajak yang berasal dari potongan maupun yang dipungutnya ke Kas negara. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 563/KMK.03/2003 mengatur tentang penunjukan bendaharawan pemerintah dan kantor perbendaharaan dan kas negara untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah beserta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya. Bendaharawan Pemerintah dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah atas nama Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang. Bendaharawan Pemerintah yang melakukan pembayaran melalui Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak yang telah dipungut oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. Penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak, penentuan
tempat pembayaran pajak, dan tata cara pembayaran, penyetoran dan pelaporan pajak, serta tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010. Dalam rangka melaksanakan kewajiban perpajakannya para wajib pajak harus berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut. Apabila batas waktu penyetoran maka wajib pajak akan diberikan sanksi administrasi berupa bunga dan apabila batas pelaporan terlampaui, maka wajib pajak akan diberikan sanksi administrasi berupa denda. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 diatur batas waktu pembayaran dan pelaporan pajak bagi wajip pajak, tidak tekecuali bendahara pemerintah baik pusat maupun daerah. Diantara kewajiban penyetoran dan pelaporan pajak bendahara dalam hal ini bendahara pemerintah daerah adalah sebagai berikut: 1. PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan dilaporkan paling lama tanggal 20 setelah Masa Pajak berakhir. 2. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan dilaporkan paling lama tanggal 20 setelah Masa Pajak berakhir. 3. PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan dilaporkan paling lama tanggal 20 setelah Masa Pajak berakhir. 4. PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara. PPh pasal 22 ini dilaporkan paling lama tanggal 14 setelah Masa Pajak berakhir. 5. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama tanggal 7 (tujuh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 6. PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena
Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dilaporkan paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Apabila batas waktu akhir penyetoran dan pelaporan tersebut jatuh pada hari libur atau diliburkan secara nasional, maka penyetoran dan pelaporan mundur ke hari kerja berikutnya. Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 dikatakan bahwa Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hurut Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu Juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000.00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 Pasal 9 ayat 1 disebutkan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang
berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan.
Ayat (2a) Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Ayat (2b) Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Pasal 13a Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan penerimaan negara, perlu mengatur mekanisme pengawasan terhadap pemotongan/pemungutan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah. Mekanisme Pengawasan Terhadap Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran Pajak yang Dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah. Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah pejabat fungsional yang
ditunjuk
menerima,
menyimpan,
membayarkan,
menatausahakan,
dan
mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD. Dalam melaksanakan anggaran belanja daerah di setiap SKPD, Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau pejabat pelaksana teknis kegiatan mengajukan permintaan pembayaran atas transaksi pengeluaran kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran melalui Pejabat Penatausahaan Keuangan. Pengajuan permintaan pembayaran dapat dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) atau mekanisme Langsung (LS). Berdasarkan permintaan pembayaran tersebut, Pengguna Anggaran/Kuasa
Pengguna
Anggaran mengajukan perintah membayar kepada Kuasa BUD. Berdasarkan perintah membayar, Kuasa BUD menerbitkan perintah pencairan dana. Untuk memenuhi kewajiban perpajakan, Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD wajib memotong/memungut Pajak atas transaksi pengeluaran yang bersumber dari anggaran Belanja Daerah. Bendahara
Pengeluaran
SKPD/Kuasa
BUD
menyetorkan
hasil
pemotongan/pemungutan Pajak ke kas negara melalui bank persepsi atau kantor pos. Penyetoran dapat dilakukan dengan menggunakan SSP atau menggunakan sarana
administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan SSP. Penyetoran dilakukan dalam batas waktu sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran Pajak. Dalam rangka pengujian kebenaran perhitungan/penyetoran Pajak Bendahara Pengeluaran SKPD harus membuat Daftar Transaksi Harian (DTH) atas belanja daerah yang pemungutan/pemotongan dan/atau penyetoran pajaknya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD. DTH yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD dilampiri SSP lembar ke-3 dan disampaikan kepada Kuasa BUD. Penyampaian DTH dilakukan paling lama tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir. Dalam hal tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir jatuh pada hari libur atau hari kerja yang diliburkan, penyampaian DTH dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Berdasarkan DTH yang disampaikan bendahara SKPD kepada Kuasa BUD, maka kuasa BUD membuat Rekapitulasi Transaksi Harian (RTH). Selain membuat RTH Kuasa BUD juga membuat DTH. Kuasa BUD menyampaikan RTH kepada Kepala KPP secara bulanan paling lama tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir. Dalam hal tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir jatuh pada hari libur atau hari kerja yang diliburkan, penyampaian RTH dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. RTH yang disampaikan kepada Kepala KPP dilampiri: a. DTH dari Bendahara pengeluaran SKPD; b. DTH dari Kuasa BUD; dan c. SSP lembar ke-3. Penyampaian RTH dilakukan sesuai dengan pembagian KPP yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak. Kepala KPP menyampaikan surat pemberitahuan mengenai penyampaian RTH kepada Kuasa BUD berdasarkan pembagian KPP tersebut. RTH disampaikan dalam bentuk hardcopy dan softcopy. Berdasarkan penyampaian tersebut Kepala KPP memberikan tanda terima penyampaian RTH kepada Kuasa BUD. Dalam hal Kuasa BUD tidak menyampaikan RTH secara tepat waktu, Kepala KPP menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala Daerah. Pemberitahuan ditembuskan kepada: a. Direktur Jenderal Pajak b. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak c. Kuasa BUD berkenaan
Berdasarkan PMK Nomor 64/PMK.05/2013 tersebut sudah jelas bahwa kewajiban bendahara SKPD wajib membuat DTH dan penyampaian DTH kepada Kuasa BUD dilakukan paling lama tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir dengan dilampiri SSP lembar 3. Berdasarkan DTH yang disampaikan bendahara SKPD, kuasa BUD membuat RTH dan DTH. DTH dan RTH yang dibuat oleh Kuasa BUD harus disampaikan kepada kepala KPP paling lama tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir dengan dilampiri SSP lembar 3. Berdasarkan PMK ini berarti apabila bendahara SKPD menyampaikan laporan SPT masa tidak dilampiri SSP lembar 3, karena SSP sudah dilampirkan pada DTH yang disampaikan kepada kuasa BUD. Dan apabila SPT masa tidak dilampiri SSP lembar 3 berarti SPT masa yang disampaiakn bendahara dianggap tidak lengkap, dan apabila SPT masa tidak lengkap berarti SPT masa dianggap tidak dilaporkan. Berdasarkan penjelasan di atas sudah sangat jelas bahwa apabila bendahara SKPD tidak menyampaikan SPT Masa maka secara peraturan perUndang-Undangan perpajakan bendahara SKPD tersebut akan diberikan sanksi. Tetapi apabila bendahara SKPD tidak melaksanakan PMK 64/PMK.05/2013 tidak sanksi yang secara jelas disebutkan dalam PMK tersebut. Berdasarkan semua penjelasan diatas menurut hemat penulis bahwa bendahara SKPD dan kuasa BUD harus menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan bendahara wajib membuat dan melaporkan SPT Masa baik SPT Masa Pajak Penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai. Dan dalam melaporkan SPT masa bendahara melampirkan Surat Setoran Pajak Lembar 3. Dengan melaksanakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 dan menyampaikan SPT dengan lengkap dan benar berarti bendahara akan terhindar dari sanksi seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tersebut. Demikian analisis penulis, saya mohon ada teman dan rekan bisa melengkapi analisis ini, sehingga tulisan ini bermanfaat bagi wajib pajak bendahara SKPD khususnya dan wajib pajak secara keseluruhan pada umumnya.
DAFTAR REFERENSI 1. Undang-Undang Nomor 28 TAHUN 2007, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, 2007. 2. Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009, Perpu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, 2009 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010, Tentang Peraturan Menteri Keuangan Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/Pmk.03/2007 Tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, Dan Tata Cara Pembayaran, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara Pengangsuran Dan Penundaan Pembayaran Pajak. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 Tentang Mekanisme Pengawasan Terhadap Pemotongan/Pemungutan Dan Penyetoran Pajak Yang Dilakukan Oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah.