Tema Satire dalam Puisi Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy JURNAL ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
Novi Arini (0906641270)
Menyetujui, Pembimbing Akademik,
Dr. Maman Lesmana S.S., M.Hum NIP. 196110221987031002
Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia 2013
Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
TEMA SATIRE DALAM PUISI JARIR IBN ATHIYYAH IBN KHATHFY Novi Arini Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
[email protected] Abstrak Puisi yang menjadi pembahasan utama dalam artikel ini adalah puisi satire karya Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy. Jarir adalah seorang penyair zaman Bani Umayyah yang menjadi salah satu penyair terkenal ketika itu. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi satire karya Jarir dengan menggunakan metode studi literatur kepustakaan dan analisis struktural. Unsur intrinsik meliputi analisis struktur bathin dan struktur fisik. Struktur bathin membahas mengenai tema dan emosi. Struktur fisik membahas tifografi, tokoh, diksi, dan majas. Sedangkan unsur ekstrinsik membahas hubungan penyair dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Puisi satire Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy adalah puisi ejekan yang ditujukan kepada lawannya. Kata kunci: Puisi, Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy, satire, Intrinsik, Ekstrinsik
Abstract The primary source of this article is satire poems written by Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy. Jarir is a poet in Umayyah era who became one of the famous poets at the time. This article aims to elaborate the intrinsic and extrinsic features of satire poems written by Jarir through the method of literary studies and structural analysis. The intrinsic features is analysis inner structure and physical structure. The inner structure of the poem that discusses the theme and emotion. Physical structure discusses typhography poetry, figure, diction, and figure of speech. While the extrinsic feature discusses poet relationship with the state of society at that time. Satire poems Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy a poem aimed at his opponent's taunts. Keywords: Poetry, Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy,satire, Intrinsic, Extrinsic.
Pendahuluan Kesusastraan pada masa Bani Umayyah berkembang dan tumbuh dengan pesat. Para khalifah yang sangat perhatian terhadap perkembangan sastra menjadi salah satu faktor utama berkembangnya sastra di masa ini. Zaman Bani Umayyah sendiri merupakan wadah yang tepat bagi para penyair untuk berkreasi dan mengekspolasi karya sastra mereka, terutama puisi. Males Sutiasumarga menyebutkan, pemerintah Bani Umayyah menyibukkan para penyair untuk membuat puisi dan aktif dalam bidang sastra, melalui pemberian hadiah bagi penyair yang membuat puisi pujian untuk khalifah, menjadikan penyair sebagai pendukung dan pembela partai-partai politik, dan sekte-sekte agama.1 Pada masa Bani Umayyah ada tiga penyair yang sangat terkenal, sebagaimana yang disebutkan oleh
Philip K. Hitti, kekuasaan pemerintahan Bani Umayyah ini ada tiga penyair termasyhur masa itu, yaitu Abu Firas ibn Ghalib al-Farazdaq, Jarir dan Abu Mali Giyast al-Akhtal. Ketiganya lahir dan besar di Irak dan dikenal sebagai penggubah syair satire dan madah.2 Diantara tiga penyair hebat tersebut, fokus pembahasan akan ditujukan pada Jarir. Penyair Jarir bernama lengkap Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy. Ia dilahirkan di Yamamah di tengah-tengah lingkungan para penyair pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ia berasal dari keluarga miskin, Bani Kulaib (Yarbu‟) dalam lingkungan masyarakat Badui. Bakat kepenyairannya telah tampak sejak kecil, ketika ia mengalahkan penyair yang menghina keluarganya. Puisi Jarir mengalir ringan dengan diksi yang tersusun apik namun tetap enak didengar. Hal inilah yang
1
2
Males Sutiasumarga. 2000. Kesusastraan Arab, Asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim. Hlm: 40
Phillip K. Hitti. 2006. History of the Arabs. Hlm. 215 hlmTerjemah: R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi. Hlm: 215
1 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
membedakan puisinya dari puisi al-Farazdaq yang dinilai berat karena bersandar pada diksi-diksi berat dan makna yang dalam.3 Jarir adalah seorang penyair yang banyak membuat puisi bertemakan satire sejak kecil, puisi satirenya yang terkenal adalah dialog-satiris yang ditujukan untuk al-Farazdaq dan al-Akhtal. Selain tema satire, Jarir juga pernah membuat puisi bertema madah yang ia tujukan untuk khalifah Umar ibn Abdul Aziz dan puisi bertema fakhr yang berisi kebanggaan Jarir akan sukunya, yaitu bani Kulaib. Kemampuan dalam mengeksplorasi puisi membuat Jarir menjadi salah satu penyair Bani Umayyah yang menciptakan puisi bertema baru yaitu polemik (an-naqaa‟idh).4 Tema puisi polemik atau an-naqaa‟idh adalah tema gabungan dari tema puisi fakhr dan hija‟yang baru muncul pada zaman Bani Umayyah. Hal ini disebabkan karena situasi sosial politik masa Umayyah yang berbeda dengan masa sebelumnya, sehingga menjadi faktor pendukung yang baik bagi perkembangan sastra, khususnya bagi Jarir. Dinasti yang berpusat di Damaskus ini, memberikan keluasaan bagi para penyair untuk mengekspresikan kemampuan sastra dengan munculnya partai-partai politik, mazhab, sekte, serta masalah identitas kebangsaan. Artikel ini menganalisis puisi satire atau hija‟ Jarir yang ditujukan untuk lawannya; al-Farazdaq yang juga melibatkan al-Akhtal dan al-Baits. Untuk menganalisis puisi hija‟ Jarir, kami melihat dari segi unsur-unsur intrinsik berupa tema, gaya bahasa, diksi, bahr serta unsur-unsur lainnya. Selain itu, analisa ini selayaknya harus diiringi dengan unsur ekstrinsik pula, yaitu pemahaman latar belakang sosilogis dan politis di mana Jarir pernah hidup dan berkarya. Hal ini menjadi penting mengingat seorang tokoh tumbuh dalam sebuah sebuah lingkungan untuk menjawab tantangan yang terjadi dalam masyarakatnya. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini akan membahas tentang puisi satire atau hija‟ karya Jarir ibn Athiyyah. Rumusan masalah dari pembahasan tersebut adalah bagaimana analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam puisi satire karya Jarir? Sedangkan tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terkandung dalam puisi satire milik Jarir dengan harapan pembaca dapat memperoleh gambaran secara umum tentang puisi Arab pada zaman Bani Umayyah, khususnya puisi satire Jarir. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan metode kualitatif yaitu pengumpulan data dengan cara studi literatur 3
Zainal Abidin, Abdul Qadir. 1987. Muzakkirah fi Tarikh al-Adab al-Araby. Kuala lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa. Hlm: 103 4 Yuzza‟ Majjanan. 1426 H. Al-Adab al-Araby wa Tarikh. Riyad: Universitas Imam Ahmad ibn Sa‟ud. Hlm: 138
kepustakaan. Penyusun mengumpulkan informasi dan menganalisis mengenai puisi satire karya Jarir ibn Athiyyah melalui buku-buku kajian sastra Arab, sejarah Bani Umayyah, ilmu nahwu, balaghah, artikel, e-Book dan data-data pendukung yang terdapat di internet. Kehidupan Pada Zaman Bani Umayyah Masa pemerintahan Bani Umayyah dimulai dari munculnya Mu‟awiyah ibn Abi Sufyan yang memimpin pemerintahan berazas monarkhi pada tahun 41 H/661 M, berpusat di Damaskus hingga pemerintahan Marwan ibn Muhammad tahun 132 H/750 M5. Tidak jauh berbeda dengan zaman permulaam Islam, kehidupan masyarakat pada masa ini tetap dipengaruhi oleh pengaruh agama yang bersumber dari al-Qur‟an, baik dari aspek kehidupan intelektualitas maupun aspek politik. Di samping itu, terdapat pula aspek-aspek yang berpengaruh secara luas, baik bagi kepentingan Islam secara umum maupun bagi perkembangan sastra secara khusus. Aspek-aspek tersebut disebabkan oleh semakin luasnya wilayah kekuasaan, penyebaran orang Arab ke berbagai daerah taklukan dan proses terjadinya penyerapan kebudayaan baru, pertumbuhan partaipartai politik, serta munculnya fanatisme golongan. Kehidupan pada zaman Bani Umayyah berbeda dengan kehidupan pada zaman Jahiliyyah. Selain agamanya berbeda, ilmu pengetahuan, sistem politik, dan ekonominya juga berubah. Pada saat itu, terdapat perkembangan dan pembaharuan dalam kehidupan sosial. Hal ini sangat berpengaruh pada para penyair, karena kehidupan penyair merupakan manifestasi dari kehidupan sosial.6 Para penyair ini, hidup pada zaman yang tepat dan pas untuk mengeksplorasi kemampuan mereka dalam membuat puisi satire (ejekan atau celaan). Situasi sosial politik masa Umayyah yang berbeda dengan masa sebelumnya, diduga menjadi faktor pendukung yang baik bagi perkembangan sastra. Dinasti yang berpusat di Damaskus ini, memberikan keluasan bagi para penyair untuk mengekspresikan bakat sastra dengan munculnya partai-partai politik, mazhab, sekte, serta masalah identitas kebangsaan. Berikut ini adalah faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan sastra pada zaman Bani Umayyah: 1) Sistem Pemerintahan Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam di masa Khulafa‟ al-Rasyidun yang berazaskan „musyawarah‟ untuk segala bentuk problem umat, termasuk diantaranya adalah masalah suksesi, sistem pemerintahan yang diletakkan oleh Mu‟awiyah berasaskan monarki absolut. Suksesi atas dasar musyawarah diganti dengan „putra mahkota‟ yang akan 5
Siti Maryam. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Lesfi. hlm. 79. 6 Males Sutiasumarga. Op.Cit. hlm. 38.
2 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
melanjutkan kekuasaan berikutnya. Sistem ini diyakini lebih aman daripada sistem musyawarah karena akan menghindarkan perbedaan pendapat dan meminimalisir kecenderungan perpecahan. Akan tetapi, fakta menunjukkan bukti sebaliknya. Sistem ini justru membangkitkan kemarahan pihak-pihak lain seperti kaum Qurais dan sebagainya. Sehingga munculah fanatisme golongan yang didukung oleh para penyair maupun orator. Implikasinya, muncul puisi-puisi pujian yang mendukung seseorang dan muncul pula puisi-puisi politik. 2) Munculnya primordialisme Pada masa ini muncul fanatisme golongan yang memuji kelebihan golongan tertentu, seperti golongan Adnaniyah dan Qahtaniyah. Kedua kelompok ini terlibat dalam pertikaian sepanjang masa pemerintahan Bani Umayyah. Fanatisme golongan telah menghidupkan kembali tradisi jahiliyah yang sangat identik dengan persatuan kelompok dengan puisi-puisi „fakhr‟nya, yang dilantunkan di pasar- pasar sastra, sehingga mereka membuat suq al-marbad di Basra dan suq al-Kinasah di Kufah. Bersamaan dangan fanatisme golongan, muncul pula fanatisme kebangsaan (arab oriented). Daerahdaerah taklukan yang berbahasa non-Arab, seperti Irak dengan bahasanya Persia, Damaskus dengan bahasa Romawi, dan Mesir dengan bahasa Qibti dipaksa untuk memakai bahasa Arab dalam berbagai keperluan administrasi kenegaraan. Belum merasa cukup dengan usaha ini, orang-orang Umayyah mengirim putraputranya untuk dididik di pedalaman Badui untuk mendapatkan cita rasa bahasa Arab yang murni. Mereka memotivasi perkembangan sastra dengan menghormati para penyair. Tentu saja hal ini berpengaruh besar bagi perkembangan bahasa puisi khususnya. 3) Hedonisme Setelah kuatnya konstruksi negara secara internal, dinasti Umayyah melakukan ekspansi ke wilayahwilayah sekitar untuk menyebarkan Islam. Seiring dengan kemakmuran yang tercipta akibat hasil harta rampasan dan pajak, banyak orang terutama pejabat, yang menduplikasi peradaban negara taklukan dan masuk ke dalam budaya baru, yaitu hedonisme. Istanaistana diisi oleh para penyanyi, seperti Quraid, Jamilah, dan Salamah. Para pejabat tidak segan memberikan hadiah yang diambil dari Bait al-Mal untuk keperluan membayar pujian yang didedikasikan pada mereka. 4) Partai Politik dan Sekte Agama Munculnya partai-partai politik pada masa ini dipicu oleh peristiwa arbitrase yang dilakukan dalam perang Siffin dan berlanjut dengan peristiwa-peristiwa lain. Zainal Abidin mencatat empat partai yang eksis pada masa ini7. 1) Partai Umawy, 2) Partai Aly, 3) Partai Khowarij, dan 4) Partai Zubair (mereka adalah pengikut Abdullah ibn Zubair yang keluar dari 7
Zainal Abidin, Abdul Qadir. Op.Cit
pemerintahan umayyah pada masa Yazid ibn Mu‟awiyah dan mendirikan khalifah sendiri, akan tetapi partai ini paling pendek umurnya, dengan terbunuhnya Abdullah pada masa Abdul Malik ibn Marwan. Sementara di bidang agama juga terjadi perpecahan yang dikenal dengan aliran ilmu kalam, yaitu Qodariyah, Jabbariyah, Mu‟tazilah dan sebagainya. Baik partai politik maupun aliran keagamaan yang tumbuh pada masa ini memiliki para penyair dan orator yang membela keyakinan mereka dan membalas serangan para pesaingnya. Tidak pelak lagi, Damaskus sebagai pusat pemerintahan dan para pejabat menjadi basis bagi pertumbuhan sastra yang berorientasi politis. Hubungan khalifah dan pejabat dengan para penyair bersifat simbiosis mutualisme. Khalifah berusaha mendekatkan para penyair dengannya untuk meminta bantuan mereka menyerang dan bertahan dari serangan musuh. Sementara para penyair mendapatkan kehormatan dengan menemani khalifah dalam setiap majelis dan memperoleh kesenangan. Damaskus, telah menjadi tempat favorite bagi para penyair pujian. Sementara di Irak, kecenderungan puisi politik, fanatisme kesukuan dan mazhab lebih mendominasi. Hal ini disebabkan oleh banyak peperangan dan fitnah. Lalu muncul puisi-puisi satiris dan politis yang dibawakan oleh para penyair di al marbad Basrah dan al Kinasah Kufah dan di masjid-masjid di kedua kota itu sebagaimana mereka berkumpul di pasar Ukkaz pada masa Jahiliyah. Sementara di kawasan Hijaz, berkembang juga puisi politik dan fanatisme golongan sebagaimana di Syam dan Irak, hanya saja juga masih terdapat puisi dengan jenis al-ghazal atau percintaan. Berkembangnya puisi politik di kawasan ini disebabkan ketakutan Mu‟awiyah dan khalifah sesudahnya terhadap daya destruktif dan ancaman orang-orang Quraisy terhadap pemerintahannya. Taktik politik Mu‟awiyah adalah menyibukkan mereka dengan pemberian harta, meracuni dengan kultur foyafoya agar mereka lupa dan tidak berfikir untuk melakukan kudeta. Lalu, lagu, santai, foya-foya, dan mengagumi keindahan menjadi alat politik yang jitu untuk menidurkan suku Quraisy dari keterjagaan politik. Di sisi yang lain, penduduk Hijaz melihat ini sebagai peluang untuk lebih menikmati hidup. Setelah Gerakan Dakwah Islam melemah di kawasan ini dan diikuti dengan lemahnnya pengawasan pemerintah karena pusat pemeritahan berpindah ke Damaskus, banyak pemuda Makkah dan Madinah yang cenderung berfoya-foya sehingga meluaslah jenis puisi ghazal. Perkembangan Puisi Zaman Bani Umayyah Puisi tumbuh subur pada zaman Dinasti Umayyah. Hal ini disebabkan karena adanya perhatian dari para khalifah terhadap puisi dan kesukaan mereka pada puisi yang bertemakan al-Madh (pujian),
3 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
dekatnya khalifah dengan para penyair yang mereka suka, munculnya partai-partai politik, sekte-sekte agama dimana masing-masing sekte mempunyai penyair yang mendukung dan membelanya. 8 Oleh sebab itu, pemerintah Bani Umayyah menyibukkan mereka dengan menyuruh mereka membuat puisi dan aktif dalam bidang sastra. Puisi pada zaman ini berkembang sesuai dengan keadaan sosialnya. Misalnya, puisi di Hijaz berbeda dengan puisi di Nejd, puisi di Irak berbeda dengan puisi di Hijaz dan puisi di Syam berbeda dengan puisi di Nejd, Hijaz, atau Irak. Hal ini disebabkan karena keadaan sosial mereka sangat mempengaruhi isi puisi mereka.9 Tema Puisi Pada Zaman Bani Umayyah Pada zaman Bani Umayyah, tema puisi yang digunakan hampir keseluruhan temanya sama dengan tema-tema puisi pada zaman Jahiliyah dan Islam. Namun pada zaman Bani Umayyah tema-tema tersebut mengalami perkembangan, antara lain10: Al Hija‟: Tema ini berperan untuk mengobarkan fitnah diantara sekte yang berkembang di masyarakat. Penyair yang sering menggunakan tema hija‟ adalah Jarir, al-Farazdaq, dan ar-Ra‟i an-Numayri. Tema al-hija‟ juga dikenal dengan nama satire atau ejekan, tema puisi ini banyak digunakan untuk menjelek-jelekan, menghina pihak lawan. Al-Madah: Tema madah merupakan puisi yang berisi tema akan memuji seseorang atau sesuatu. Tema al-Madah ini merupakan tema yang populer pada masa Bani Umayyah, hal ini dikarenakan para penyair berlomba-lomba memuji-muji penguasa agar mendapatkan imbalan. Al-Ghazal: Tema ghazal merupakan puisi yang bertema perasaan cinta. Tema ini muncul karena pengaruh kehidupan yang serba mewah di zaman Bani Umayyah. Pada zaman Bani Umayyah, tema ini dibagi menjadi dua yaitu, ghazal ‟udzri dan maksuuf. Ghazal ‟udzri adalah tema puisi yang menggambarkan perasaan seseorang dengan kekasihnya dengan lembut, tema ini merupakan perkembangan ghazal dari masa permulaan Islam. Penyair yang menulis tema ghazal ‟udzri adalah Kutsair ibn Abdul Rahman al-Khazaniy. Sedangkan ghazal maksuuf adalah ghazal yang menggambarkan tubuh wanita berserta keindahannya hingga vulgar. Penyair ghazal maksuuf adalah Umar ibn Abdullah ibn Rabiah alMakhzumi.
8
Males Sutiasumarga. Op.Cit. hlm. 38. Ibid, hlm. 39. 10 Ibid. hlm. 59 9
Al-Wasfu: Tema wasfu merupakan tema yang mendeskripsikan sesuatu. Al-Wasfu berkembang karena adanya perubahan ekonomi yang lebih baik, maka deskripsi tentang kehidupan pun menjadi berbeda. Al-Siyasat (Politik): Tema siyasat adalah tema yang baru muncul pada zaman Bani Umayyah. Al-siyasat adalah tema yang memuji atau mencela penguasa/partai lain dan merupakan sarana untuk berkomunikasi antara para penguasa. Tema ini muncul karena banyaknya partai-partai politik yang saling memfitnah dan berselisih. An-Naqa‟idh (Polemik): An-naqa‟idh juga merupakan tema yang baru muncul di masa Bani Umayyah. Tema ini mengobarkan permusuhan di antara para penyair, namun tema ini tidak dapat dilepaskan dari tema fakhr dan hija‟. Biasanya fakhr digunakan untuk memuji penyair itu sendiri dan hija‟ untuk mengejek lawannya. Polemik yang terkenal adalah polemik antara Jarir dan alAkhtal atau Jarir dan al-Farazdaq. Tema ini jika dilihat dari isinya tidak bagus dan menyesatkan. Unsur madh, fakhr, hija‟ dan ghazal yang terdapat dibelakangnya hanyalah bohong belaka. Namun, jika dilihat dari segi sastranya, sangat bermanfaat, karena kata-katanya kuat, maknanya banyak, dan penggambaran yang indah.
Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Puisi Karya Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy Puisi karya Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy salah seorang dari tiga penyair termasyhur pada masa Bani Umayyah selain al-Farazdaq dan Abu Mali Giyast al-Akhtal. Puisi Jarir mengalir ringan dengan diksi yang tersusun apik namun tetap enak di dengar. Salah satu puisinya yang terkenal adalah puisi satirenya yang ditujukan kepada al-Farazdaq, al-Akhral dan al-Baist. Contoh puisi Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy:
فلو أن تغلب جمعت أحالمها¤ يوم التفاضل لم تزن مثقاال وعلى الصديق تراىم جهاال¤ تلقاىم حلماء عن أعدائهم فالزنج أكرم منهم أخواال¤ ال تطلبن خؤولة في تغلب „Walaupun suku Taghlib mengumpulkan mimpimimpinya di hari perlombaan, niscaya tidak akan bisa ditimbang berat, Kamu akan mendapatkan mereka begitu lembut terhadap musuh-musuhnya, dan pada orang yang jujur mereka tampak sangat bodoh, Janganlah kalian meminta kekerabatan pada suku Taghlib, karena orang hitam berbangsa Sudan lebih mulia daripada mereka‟
4 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
Perang berbalas puisi terjadi karena masingmasing penyair tidak ada yang mau mengalah, sehingga mereka saling menyerang penyair lainnya dengan cara membalas puisi buatan lawan. Potongan bait puisi Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy yang akan dibahas dalam tulisan ini merupakan puisi balasan yang ditujukan untuk al-Farazdaq sekaligus penyair lainnya yaitu al-Akhtal, dan al-Baits. Puisi ini berawal ketika al-Farazdaq mengejek Jarir melalui puisi dengan menggunakan qafiyah „lamiyah‟11, berikut ini merupakan puisi satire alFarazdaq yang ditujukan kepada Jarir:
)1(
فسقيت آخرىم بكأس األول¤ أعددت للشعراء سما ناقعا ¤ لما وضعت على الفرزدق ميسمى )2(
وضغا البعيث جدعت أنف األخطل
¤ أخزى الذي سمك السماء مجاشعا )3( وبنى بنائك في الحضيض األسفل
بيتا دعائمو أعز وأطول¤ إن الذي سمك السماء بنى لنا
)4( فهدمت بيتكم بمثلي يذبل¤ ولقد بنيت أخس بيت يبتنى
حكم السماء فإنو ال ينقل¤ بيتا بناه لنا الملك وما بنى
¤ إني انصببت من السماء عليكم
وأبوا لفوارس نهشل, ومجاشع¤ بيتا زرارة محتب بفنائو
)5( حتى اختطتفتك يا فرزدق من عل
أبدا إذا عد الفعال األفضل¤ اليحتبي بفناء بيتك مثلهم
)6( ويفوق جاىلنا فعال الجهل¤ أحالمن تزن الجبال رزانة ا
وقضى عليك بو الكتاب¤ ضربت عليك العنكبوت بنسجها
)7( مثل الذليل يعوذ تحت القرمل¤ كان الفرزدق إذ يعوذ بخالو
المنزل
)8( عزا عالك فما لو من منقل¤ إن الذي سمك السماء بنى لنا
"Sungguh, yang telah meninggikan langit membangun
„Saya telah menyiapkan pembunuh untuk para penyair, maka saya tuangkan yang paling buncit diantara mereka dengan kendi pertama. (1) Ketika saya letakkan setrikaan di atas al-Farazdaq, menjeritlah al-Baits, dan saya potong hidung alAkhtal, (2) Yang mengangkat langit menghinakan Majasy‟, dan Ia membangun rumahmu di lembah yang paling bawah, (3) Engkau telah bangun rumah paling jelek dari yang pernah dibangun, maka saya hancurkan rumahmu seperti gunung Yazbul (4) Sungguh, akan saya curahkan air dari langit untuk kalian hingga kulenyapkan engkau al-Farazdaq dari atas dengan sekejap (5) Mimpi-mimpi kami teguh bagaikan gunung dan kebodohan kami mengawang laksana kebaikan orangorang bodoh (6) Adalah Al-Farazdaq, jika minta perlindungan pada pamannya, seperti orang hina yang berteduh di bawah pohon qormal (7) Sungguh, yang telah meninggikan langit telah membangun kemulian bagi kami di atas kemulian kalian dan tidaklah keputusannya bisa bergeming.‟ (8)
sebuah rumah untuk kami yang tiangnya lebih kuat dan lebih panjang, Sebuah rumah yang dibangun oleh raja untuk kami, dan Ia tidaklah membangun hukum langit, sungguh Ia tak bisa digemingkan, Sebuah rumah untuk Zararah sembari duduk dengan senangnya, dan untuk Majasyi‟ dan Nahsyal, Selamanya, ia tidak dapat duduk dengan senang di rumahmu seperti di rumah mereka, kecuali bila yang baik-baik dihidangkan, Dibangunkan untukmu rumah laba-laba seperti tercantum di al-Kitab yang diturunkan." Kemudian Jarir membalas ejekan al-Farazdaq menggunakan puisi yang berqafiyah sama. Secara semiotik, dengan qofiyah ini, ia ingin menyamakan posisi dengan puisi al-Farazdaq. Sementara bila dilihat dari maknanya, Jarir ingin membalik kenyataan yang dituduhkan al-Farazdaq kepadanya, bahkan dengan cara menyikat langsung dua penyair lainya, yaitu alAkhtal dan al-Baist. Berikut ini adalah puisi satire Jarir yang digunakan untuk membalas puisi al-Farazdaq:
11
Puisi dengan qafiyah „lamiyah‟ bersifat celaan.
5 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
Unsur Intrinsik Puisi karya Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy. a)
Struktur Batin Struktur batin ini meliputi dua elemen yaitu tema dan emosi. Tema Tema merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pokok pikiran atau pokok persoalan dalam karyanya, begitu kuat dalam jiwa penyair, sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Penyair harus menghubungkan tema puisi dengan konsepkonsep yang terimajinasikan, karena tema tidak dapat terlepas dari jiwa perasaan penyair, nada yang ditimbulkan dalam puisi, dan amanat yang ingin disampaikan penyair dalam puisi yang dikarangnya. Tema puisi Jarir ibn Athiyyah adalah satire atau ejekan. Sedangkan tema bawahannya adalah menggambarkan kebencian Jarir terhadap alFarazdaq. Kebencian ini digambarkan melalui ejekan. Terlihat beberapa kata hinaan yang digunakan oleh Jarir pada puisinya yaitu :
-
Tokoh Tokoh yang terdapat pada puisi satire karya Jarir ada tiga tokoh yaitu al-Farazdaq, al-Baits, dan al-Akhtal.
وضغا البعيث جدعت¤ لما وضعت على الفرزدق ميسمى أنف األخطل
-
فهدمت بيتكم بمثلي يذبل¤ ولقد بنيت أخس بيت يبتنى Engkau telah bangun rumah paling jelek dari yang pernah dibangun, maka saya hancurkan rumahmu seperti gunung Yazbul. -
Emosi Emosi adalah sebuah luapan perasaan penyair yang dituangkan dan menghasilkan sebuah karya sastra. Bentuk emosi beraneka ragam, misalnya: sedih, senang, marah, heran, gembira dan sebagainya. Pada puisi ini, emosi yang tergambarkan adalah kebencian Jarir terhadap alFarazdaq. Emosi atau perasaan ini oleh Jarir dituangkan ke dalam sebuah bait, sebagai berikut:
حتى اختطتفتك¤ إني انصببت من السماء عليكم يا فرزدق من عل Sungguh, akan saya curahkan air dari langit untuk kalian hingga kulenyapkan engkau alFarazdaq dari atas dengan sekejap. b)
Struktur Fisik Struktur fisik adalah pembahasan mengenai tokoh, diksi, tipografi, dan gaya bahasa.
Ketika saya letakkan setrikaan di atas alFarazdaq, menjeritlah al-Baits, dan saya potong hidung al-Akhtal -
Diksi Diksi adalah cara penggunaan kata-kata dalam teks sastra sebagai alat untuk menyampaikan gagasan dan nilai estetis tertentu yang bertujuan untuk menentukan struktur formal puisi yaitu kata, yang digunakan oleh penyair dalam menyampaikan idenya melalui puisi. Pada puisi satire Jarir ini pemilihan diksinya adalah dengan kata-kata berpendekatan semiotik qofiyah “lamiyah”. Maksud dari qofiyah “lamiyah” adalah akhiran huruf dari setiap bait yang berakhiran huruf )(ل. Qofiyah “lamiyah” ini terlihat dalam seluruh akhiran bait dalam puisi Jarir di atas. Secara semiotik, dengan qofiyah ini, ia ingin menyamakan posisi dengan puisi alFarazdaq. Sementara dengan maknanya, ia ingin membalik kenyataan yang dituduhkan kepadanya. Puisi Jarir mengalir ringan dengan diksi yang tersusun apik, namun tetap mudah didengar. Hal inilah yang membedakan antara puisi Jarir dan puisi al-Farazdaq yang dinilai berat karena bersandar pada diksi-diksi berat dan makna yang dalam. Oleh karena itu puisi al-Farazdaq hanya bisa dinikmati oleh ahli sastra dan bahasa sementara puisi Jarir dapat diresapi oleh masyarakat awam pada umumnya. -
Gaya Bahasa Gaya bahasa seringkali disebut juga sebagai majas. Adapun macam-macam majas antara lain metafora, simile, personifikasi, litotes, ironi, dan sebagainya. Majas yang terdapat pada puisi satire Jarir adalah sebagai berikut: a. Pengandaian/perumpamaan
ويفوق جاىلنا فعال الجهل¤ أحالمنا تزن الجبال رزانة Mimpi-mimpi kami teguh bagaikan gunung dan kebodohan kami mengawang laksana kebaikan orang-orang bodoh.
6 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
b. Pleonasma Pleonasme adalah pengulangan dengan penanda yang berbeda. Sebenarnya, komponen makna yang ada pada kata pertama, telah tercakup dalam wilayah makna kata (atau bentuk lain) berikutnya. Pada puisi satire Jarir gaya bahasa pleonasma terdapat pada bait:
مثل الذليل يعوذ¤ كان الفرزدق إذ يعوذ بخالو تحت القرمل Adalah al-Farazdaq, jika minta perlindungan pada pamannya, seperti orang hina yang berteduh di bawah pohon qorma. -
Tipografi Tipografi adalah cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual. Tipografi bertujuan untuk menciptakan nuansa makna dan suasana tertentu. Dalam tipografi terkandung tahapan-tahapan dalam analisis puisi Arab Klasik yaitu12 : 1. Kitabah al „arudliyyah Mengubah tulisan pada bait puisi Arab Klasik menjadi tulisan dalam „ilm al-„aruud, yaitu tulisan yang berdasarkan pada pengucapan huruf. Jadi huruf yang dilafalkan, maka itulah yang ditulis. 2. Penentuan huruf hidup (mutaharrikah) atau huruf mati (sakinah). Kemudian mengubah tulisan bait puisi menjadi kitabah al „arudliyyah, selanjutnya adalah membuat al„isyaarat. Rumus dari penentuan huruf mati atau hidup dengan menggunakan tanda (/) untuk huruf hidup (mutaharrikah) dan tanda (0) untuk huruf mati (sakinah). 3. Penentuan wazan Setelah menentukan huruf hidup dan mati ke dalam bentuk tanda, masukkan al-„isyaarat tersebut ke dalam tulisan bait puisi Arab Klasik yang telah diubah menjadi kitabah al „arudliyyah sehingga menjadi sebuah taf‟iilat. 4. Penentuan bahr Tujuan akhir dari menganalisis puisi Arab Klasik adalah untuk mengetahui suatu puisi termasuk ke dalam bahr apa. Terdapat rumusan tertentu jika ingin membuat atau menganalisis puisi Arab klasik. Rumusan yang membentuk pola dan pola-pola inilah yang disebut dengan bahr.
12
Maman Lesmana. 2010. Kritik Sastra dan Islam. Depok: Perpustakaan FIB UI. hlm 93
Bentuk tipografi puisi satire Jarir terhadap alFarazdaq tersebut, dengan menganalisis satu bait dari baris pertama karena untuk baris selanjutnya pola analisisnya sama. berikut hasil analisis:
alkitaa bat al„aruu diyat Al„Isya arat (Rum uuz) Taf‟ii lat
ِ آخ َرُى ْم بِ َكأ ْس األ َّوَو ِل َ ت ُ فَس َق ْي ِ َس ْل أ
ُّ ِت ل لش َع َر ِاء َس ًّما نَاقِ ًعا ُ أَ ْع َد ْد ش َ َر ُ ِا س ء َ
ْو
َ َر ُه ْم ِ ْب َك أ
س َق َ َ ت أَ ا ُ ْي
َم ْن َن ا ِق َ ْن
0/0/
0//0///
0//0///
0//0/0/
0//0///
0//0/0/
ف ْ َُم ْست
ِ متَت َف اعلُ ْن َُ
ِ متَت َف اعلُ ْن َُ
ُم ْستََت ْف ِعلُ ْن
ِ متَت َف اعلُ ْن َُ
ُم ْستََت ْف ِعلُ ْن
ْم
أَ ْ َد ْد ش ُ ْ ت ِل
ِ َت ََلى َر ت أَ ْن َ األَ ْ َ ِل َِ َسًم ى َو َ ا ُالب ْي ُ ْ ث َج َد ُ ْ َ ََّولم ا َو َالفْز َدق م ْي
alkitaa bat al„aruu diyat Al„Isya arat (Rum uuz) Taf‟ii lat
َ َ َو ِ ب َ ْل
َد ْق ِم ْي س َم ْن َ
ت َ َل ُ ْل َ َر
َ ْل ْ َأ
ُ ْ ج َد َ ث ت أَ ْن ُ
0/0/
0//0///
0//0///
0//0/0/
0//0///
0//0/0/
ف ْ َُم ْست
ِ متَت َف اعلُ ْن َُ
ِ متَت َف اعلُ ْن َُ
ِْ مست فعلُ ْن َْ ُ
ِ متَت َف اعلُ ْن َُ
ُم ْستََت ْف ِعلُ ْن
ْي
ْز
Dalam tipografi terdapat suatu unsur lain yang menentukan termasuk bahr apa puisi tersebut yang disebut dengan motif. Motif-motif dalam tipografi di sini terdiri dari : 1. Motif benda: saya, pembunuh, penyair, kendi, mereka, setrikaan, al-Farazdaq, al Akhtal, hidung, al-Baits, langit, mujasy, rumah, lembah, gunung yazbul, air, kalian, engkau, mimpi, gunung, kebaikan, orang-orang bodoh, paman, orang hina, pohon qormal, kemuliaan, keputusan 2. Motif kata kerja : menyiapkan, tuangkan, letakkan, menjeritlah, potong, mengangkat, menghinakan, membangun, telah bangun, dibangun, hancurkan, curahkan, lenyapkan, teguh, mengawang, minta perlindungan, berteduh, meninggikan dan bergeming 3. Motif sifat : kebaikan, kemuliaan dan teguh 4. Motif waktu : ketika, telah, pernah, dulu
7 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
َل ْم َم ا َو ْ َ
Berdasarkan analisis yang telah lakukan, puisi satire Jarir dikategorikan berpola bahr Kaamil. Bahr Kamiil adalah bahr yang terdiri dari pengulangan taf‟iilat متفعلن ( ا0// 0/ //) sebanyak enam kali. Taf‟iilat ini tidak ditemukan pada al-bahr yang lainnya. Kadang-kadang huruf ta‟-nya disakiinatkan (dimatikan), sehingga taf‟iilat-nya berubah menjadi مستفعلن.13 Penggunaan al-bahr ini ada dua model : a. Lengkap (taam) Terdiri dari 6 taf‟iilat, masing-masing syatr (bagian) terdiri dari 3 taf‟iilat. b. Tidak lengkap (majzuu‟) Terdiri dari 4 taf‟iilat, masing-masing syatr (bagian) terdiri dari 2 taf‟iilat. Unsur Ekstrinsik Puisi Karya Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy Unsur ekstrinsik adalah unsur unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangun suatu karya sastra. Contoh unsur ekstrinsik yaitu keadaan psikologi pengarang, keadaan ekonomi pengarang, keadaan sosial pengarang, pandangan hidup suatu bangsa , dan lain-lain. 14 Puisi dan Hubungannya dengan Masyarakat Dalam mengkaji unsur ekstrinsik dalam puisi satire Jarir yang ditujukan untuk al-Farazdaq, saya mengkaji dari segi sosial masyarakat Arab pada zaman Bani Umayyah tersebut. Teori yang dipakai dalam mengkaji unsur ekstrinsik pada puisi ini, yaitu teori sosiologi sastra. Sosiologi sastra dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Penelitianpenelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut.15 Kehidupan pada zaman Bani Umayyah berbeda dengan kehidupan pada zaman Jahiliyyah. Selain agamanya berbeda, ilmu pengetahuan, sistem politik, dan ekonominya juga berubah. Pada saat itu, terdapat perkembangan dan pembaharuan dalam kehidupan sosial. Hal ini sangat berpengaruh pada para penyair,
karena kehidupan penyair merupakan manifestasi dari kehidupan sosial. Para penyair ini (al-Farazdaq, Jarir, dan al-Akhtal), hidup pada zaman yang tepat untuk mengeksplorasi kemampuan mereka dalam membuat puisi hija‟ (ejekan atau celaan). Situasi sosial politik masa Umayyah yang berbeda dengan masa sebelumnya, diduga menjadi faktor pendukung yang baik bagi perkembangan sastra. Perbedaan sekte atau madzhab dan perbedaan pandangan politik menyebabkan mereka berusaha membanggabanggakan kelompok atau suku mereka sendiri dan berusaha menjatuhkan kelompok lain melalui sarana puisi yang mereka karang untuk mencela atau mengejek kelompok lain. Biografi Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy Penyair Jarir bernama lengkap Jarir ibn Athiyyah ibn Khathfy. Ia dilahirkan di Yamamah di tengahtengah lingkungan para penyair pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Ia berasal dari keluarga miskin, Bani Kulaib (Yarbu‟) dalam lingkungan masyarakat Badui. Bakat kepenyairannya telah tampak sejak kecil ketika ia mengalahkan penyair kaumnya yang menghina keluarganya. Puisinya mengalir ringan dengan diksi yang tersusun apik namun tetap easy listening (enak didengar). Hal inilah yang membedakan puisinya dari puisi al-Farazdaq yang dinilai berat karena bersandar pada diksi-diksi berat dan makna yang dalam. Puisi al-Farazdaq hanya bisa dinikmati oleh ahli sastra dan bahasa sementara puisi Jarir dapat diresapi oleh masyarakat awam pada umumnya.16 Secara politis, Jarir, al-Farazdaq, dan al-Akhtal disatukan oleh ikatan kenegaraan, namun berbeda halnya dengan kehidupan kepribadian mereka. Ketiganya terlibat dalam pertikaian individual yang tak kunjung reda. Adapun sebabnya adalah sebagai berikut: Ketika kecil, Jarir pernah memenangkan verbal contest dengan seorang penyair bernama Ghassan yang menghina keluarganya. Ternyata, pertarungan tersebut berlangsung lama sehingga seorang penyair bernama al-Baist dari suku alFarazdaq datang membantu. Jarir menyerang al-Baits dengan puisi satire yang tajam. Al-Farazdaq membantu al-Baist menyerang Jarir dengan mengusik asal-usul Jarir pada masa Jahiliyah dan Islam serta menggoyang kemulian nenek moyangnya.17 Keduanya terlibat dalam pertikaian hebat melalui media puisi. Melihat pertikaian yang sengit itu, kemudian al-Akhtal menilai bahwa al-Farazdaq lebih unggul daripada Jarir. Akibatnya, al-Akhtal segera menjadi sasaran empuk puisi-puisi satire Jarir.18 Pertikaian ini tak pernah
13
Ibid. hlm 104 Burhan Nurgiyantoro.1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press. Hlm: 66 15 Levin, Harry. 1973. Sociology of Literature and Drama. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd. Hlm:56 14
16
Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Adab fi Adabiyyat wa Insya Lughat al-Arab, juz II, (Cairo: Dar al-Fikr, tt), hlm. 150. 17 Zainal Abidin, Op.Cit.hlm. 103. 18 Ibid.hlm. 107.
8 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013
kunjung padam hingga akhirnya al-Akhtal wafat pada tahun 92 H, disusul al-Farazdaq pada tahun 110 H, dan pada tahun yang sama, lebih enam bulan, Jarir juga menutup usia hidupnya. Penutup Masa Umayyah yang mempunyai format baru dalam pemerintahannya, membuat para penyair masa ini untuk mengembangkan potensi kepenyairan mereka dengan cara yang lebih bebas. Hal ini didukung oleh munculnya partai politik, sekte, serta fanatisme kebangsaan, yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi para penyair untuk menjadi juru bicara setiap kelompok. Mereka bertindak sebagai penyerang (ofensif) atau penjaga gawang (defensif) bagi kelompoknya. Tidak heran bila jenis puisi politik (baik hija‟ maupun madh) menjadi trend pada masa ini. Sebagai penyair yang tumbuh dalam lingkungan kondusif untuk mengembangkan potensi penyair hija‟, Jarir, al-Farazadaq, dan al-Akhtal menemukan genre baru dalam puisi hija‟, yaitu puisi polemik atau pertikaian individual. Genre ini menjadi unik karena pertikaian tersebut menjadi kental dan ekstrim sehingga tidak ada yang mengalah hingga kematian tiba. Adapun materi puisi hija‟ adalah meninggikan individu yang bersyair dan merendahkan lawannya bahkan juga sukunya. Puisi sebagai alat hegemoni suatu kekuatan harus ditangkis dengan alat yang sama. Sehingga, puisi memerankan kekuatan efektif untuk membela dan menyerang individu atau kelompok
lainnya, setidaknya sebagaimana tergambar pertikaian ketiga penyair masa Umayyah ini.
dari
Daftar Acuan Abidin, Haji Zainal, Abdul Qadir. 1987. Muzakkirah fi Tarikh al-Adab al-Araby. Kuala lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa Hitti, Phillip K. 2006. History of the Arabs. Terjemah: R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Serambi Kamil, Syukron. Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern. 2009. Jakarta: Rajawali Press Lesmana, Maman. 2010. Kritik Sastra Arab dan Islam. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Levin, Harry. 1973. Sociology of Literature and Drama. (Burns & Burns, Eds.). Harmondsworth: Penguin Books Ltd. Majjanan, Yuzza‟. 1426 H. Al-Adab al-Araby wa Tarikh. Riyad: Universitas Imam Ahmad ibn Sa‟ud. Maryam, Siti. 2002. Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Lesfi. Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: UGM Press Sutiasumarga, Males. 2000. Kesusastraan Arab asal Mula dan Perkembangannya. Jakarta: Zikrul Hakim. Walidin, Muhammad. Farazdaq, Jarir, dan al Akhtal: Dialog Satiris Para Sastrawan Bani Umayyah. Diposting: 05 Desember 2011
9 Tema satire ..., Novi Arini, FIB UI, 2013