TELAAH PROFIL KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH BERDASARKAN PERBEDAAN GENDER Anita Maharani & Alfikalia Abstract Studies in education consider that “problem” is relatively appears in all groups of age. Normally this problem requires creative solutions and systematic. In the lecture, the student's ability to solve problems is one of the prominent characteristics of a scientist. This article will be presented on the profile of students at the University X, in solving problems, based on gender differences. The purpose of this study is to provide a description of the student problem solving skills. solving problems in this study is measured using a questionnaire adapted Problem Solving Inventory self-report nature, with a view of the problem solving aspect 3, the presence or absence of confidence in solving problems (problem solving confidence), trends in problem solving (approach-avoidance style ), and the presence or absence of personal control in problem solving (personal control). The total number of respondents in the study is 173 students. They were from seven departments of a private University in Jakarta. Keywords: students, problem solving
Pendahuluan Permasalahan dalam dunia pendidikan adalah masalah dalam setiap tingkatan usia. Lazimnya masalah tersebut menuntut pemecahan yang kreatif dan sistematis. Dalam dunia perguruan tinggi, kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah adalah satu dari karakteristik yang menonjol dari seorang ilmuwan. Untuk mengakui pernyataan ini, sebagian besar literatur di dunia pendidikan harus dirubah dengan penekanan abad ke-20, yakni mengemukakan pendekatan keilmuan tentang bagaimana mendorong kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa. Seorang pendidik (dalam hal ini dosen) harus berusaha meningkatkan kapasitas ilmu yang disampaikan kepada mahasiswanya, Dalam rangka inilah seorang dosen harus mampu mendorong kemampuan strategi pemecahan masalah mahasiswa. Namun demikian, dalam kelas yang terisi oleh mahasiswa dalam jumlah besar, tujuan untuk membangkitkan kemampuan pemecahan masalah ini sedikit terkendala, karena tidak dimungkinkannya seorang dosen untuk dapat berinteraksi dengan mahasiswa secara individu. Hal ini juga menjadikan suatu kesulitan tersendiri bagi seorang mahasiswa untuk menentukan kapan dan bagaimana untuk mengatasi permasalahan keilmuan (misalnya dihadapkan pada studi kasus) secara pribadi, padahal dalam kenyataan sebenarnya mahasiswa tersebut diberikan keleluasaan untuk mengungkapkan pemecahan masalah secara kreatif.
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 1, April 2010: 37-45
Penelitian di bidang kependidikan lazimnya dilaksanakan pada ragam kendala (isolasi variabel, keberadaan subyek, batasan prosedur penelitian, dan keseimbangan prioritas). Sebenarnya, mengukur kemampuan pemecahan masalah telah menjadi fokus penelitian pada bidang ilmu eksakta selama lebih dari tiga puluh tahun belakangan ini. Dalam perkembangannya, kemampuan pemecahan masalah diangkat juga sebagai salah satu isu penelitian yang menarik di bidang ilmu sosial. Meskipun dalam bidang sosial pengukuran kemampuan pemecahan masalah masih terbatas pada ranah pengukuran persepsi. Dalam artikel ini, akan dipaparkan mengenai profil mahasiswa di Universitas X, dalam pemecahan masalah, berdasarkan perbedaan gender. Tujuan dari telaah ini adalah untuk memberikan gambaran tentang kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dilihat dari perbedaan gender. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah secara umum adalah suatu proses kognitif yang terjadi pada saat seseorang ingin meraih tujuan. Goldstein & Levin (1987) secara spesifik mengemukakan bahwa pemecahan masalah atau kemampuan memecahkan masalah akan membentuk pola pikir. Dengan memperhitungkan seluruh fungsi-fungsi intelektual, kemampuan memecahkan masalah dijelaskan sebagai proses kognitif yang memerlukan modulasi dan pengendalian rutin atau keahlian fundamental. Kemampuan memecahkan masalah muncul jika suatu sistem intelejensia artifisial tidak mengetahui bagaimana untuk menuju perwujudan tujuan yang telah dinyatakan. Hal ini merupakan bagian besar dari proses masalah yang termasuk ke dalamnya pencarian masalah (problem finding) dan pembentukan masalah (problem shaping). Pencarian masalah dapat didefinisikan sebagai proses mengidentifikasi masalah yang paling penting di antara masalah lainnya. Pencarian masalah dinamakan juga penemuan masalah (problem discovery). Pencarian masalah sendiri merupakan bagian dari proses masalah yang lebih besar yang meliputi pembentukan (problem shaping) dan pemecahan masalah (problem solving). Teori dasar pemecahan masalah awalnya merupakan hasil inisiasi Newell, Shaw, dan Simon (1958). Mereka fokus pada bagaimana manusia menanggapi suatu pekerjaan atau kegiatan yang tidak lazim mereka hadapi. Newell dan Simon (1972) selanjutnya mengkaitkan temuan sebelumnya tersebut ke dalam hipotesis sistem simbol, yang menyatakan bahwa pemrosesan simbolis penting dan perlu untuk perilaku yang memerlukan intelejensia. Setidaknya ada dua teori yang menguatkan bahwa intelejensia memiliki keterkaitan dengan pemecahan masalah. Pertama, kemampuan untuk memecahkan masalah adalah sesuatu yang menonjol dalam setiap definisi intelejensia manusia. Dengan demikian, kapasitas pemecahan masalah dipandang sebagai komponen intelejensia. Kedua, intelejensia seringkali diasumsikan sebagai prediksi kemampuan pemecahan masalah (Wenke, Frensch, Funke, 2005). 38
Anita Maharani & Alfikalia Telaah Profil Kemampuan Mahasiswa dalam Pemecahan Masalah Berdasarkan Perbedaan Gender
Dalam menyelesaikan masalah, Brandsford & Stein (1993, dalam Santrock, 2006) mengemukakan bahwa terdapat 4 langkah yang perlu ditempuh. 1. Menemukan dan membingkai masalah 2. Mengembangkan strategi penyelesaian masalah yang baik 3. Mengevaluasi hasil 4. Memikirkan kembali dan mendefinisikan kembali masalah dan solusi Sedangkan, menurut Polya (1957), seseorang akan melalui proses pemecahan masalah, yang juga terdiri atas : 1. Memahami masalah 2. Membuat perencanaan 3. Menghadirkan perencanaan tersebut 4. Melakukan cek Polya, mensintesa tingkatan pemecahan masalah, yang dikatakan lebih fleksibel dibandingkan tingkatan pemecahan masalah yang biasanya ditampilkan dalam sebuah buku. Bagi Polya, pemecahan masalah lebih bermakna seandainya dilihat dari sudut pandang ilmu eksakta, sebagai contoh Matematika. Matematika mengarahkan seseorang untuk memahami pemecahan masalah, dan mengajarkan seseorang untuk berpikir, tentang berpikir, pemecahan masalah menghendaki seseorang untuk berpikir “bagaimana..?”. Baik Brandsford dan Stein maupun Polya nampaknya sepakat atas satu hal tentang proses atau langkah pemecahan masalah, yakni, pada akhirnya harus melakukan pengecekan kembali atas apa yang telah diputuskan. Namun, di samping langkah atau proses tersebut di atas, secara umum terdapat beberapa hambatan dalam pemecahan masalah (Santrock, 2006), antara lain: 1. Fiksasi 2. Kurang motivasi & kurang gigih 3. Kontrol emosional yang kurang baik Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, Woodward (2000) menyatakan bahwa isu penting bagi institusi pendidikan saat ini, adalah untuk memilih atau menciptakan intervensi yang tepat untuk meningkatkan kinerja mahasiswa, yakni dengan cara menanggalkan hambatan yang sekiranya akan muncul saat proses pembelajaran mahasiswa. Menurut Schieffer dan Schieffer (2000) berfokus pada “what”, yakni, tentang bagaimana membuat segalanya menjadi lebih baik dan menetapkan tujuan dengan perencanaan apa yang ingin dilakukan untuk mencapai “what” tersebut. Seorang mahasiswa yang berusaha melakukan pemecahan kesalahan dapat melakukan kesalahanpilihan, seperti misalnya mana tujuan yang seharusnya dicapai terlebih dahulu (Langley dan Rogers, 2005). 39
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 1, April 2010: 37-45
Nilai lebih dari mahasiswa yang dapat mengkonstruksi pemecahan masalah, dilihat dari sifat dari mahasiswa tersebut (Thompson dan Rudolph, 2000): 1. Mahasiswa dipandang sebagai individu yang baik, mampu untuk berpikir rasional dan bebas memilih. Bagaimanapun, tanpa arahan dari dosen, dan orang dewasa lainnya di dalam kehidupan mereka, mahasiswa dapat memiliki fokus negatif yang mereka dapatkan tanpa kendali 2. Sekali seorang dosen memancing mahasiswa untuk berpikir positif, sebagai contoh tentang bagaimana seharusnya kehidupan harus dijalankan, maka mahasiswa akan terdorong untuk mengikuti contoh tersebut 3. Mahasiswa memiliki kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehat jika diberikan kesempatan untuk mengidentifikasi sasaran pemecahan masalah yang masuk akal 4. Mahasiswa memiliki pembelajaran yang baik ketika mereka membuat suatu perubahan positif pada perilaku mereka sebagaimana terlihat pada komponen kognitif dan afektif. Mahasiswa yang memiliki kesulitan saat mengatasi sesuatu yang melibatkan intervensi kognitif dan afektif, fokus perubahan perilaku adalah yang utama 5. Mahasiswa akan menanggapi lebih baik jika memiliki orientasi masa depan dan saat ini, dibandingkan jika mereka berfokus pada orientasi masa lalu atas masalah yang tidak dapat mereka selesaikan. Pemecahan Masalah dari Perspektif Gender Ada keyakinan bahwa perempuan memiliki perbedaan dengan lakilaki dilihat dari sudut pandang kemampuan intelektual, opini dari seorang Psikolog di awal abad ke-20, seakan mempertegas hal tersebut, “Perempuan memiliki pemikiran yang tinggi bukan rendah, kuat atau lemah, perempuan mindless” (Weininger, 1906). Laki-laki dianggap memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah lebih baik dibandingkan perempuan, hal ini terungkap dari beberapa riset yang dilakukan oleh Carey (1958), Hoffman dan Maier (1961, 1966), Maier (1933), dan Sweeney (1953). Namun dalam tujuan untuk menentukan penyebab dari perbedaan ini, Milton (1957) melakukan investigasi untuk melihat kemungkinan hubungan antara peran gender individual dan keahlian pemecahan antara laki-laki dan perempuan. Dalam perkembangannya, penelitian tentang perbedaan gender dalam kemampuan memecahkan masalah pernah diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan D’Zurilla, Nezu, Maydeu-Olivares (1998), yang bertujuan untuk melihat gambaran kemampuan pemecahan masalah secara sosial dengan menggunakan Social Problem Solving Inventory. Dengan mengunakan analisis univariat, pengaruh signifikan yang ditimbulkan dari gender, dalam studi yang dilakukan oleh D’Zurilla, Maydeu-Olivares, Kant 40
Anita Maharani & Alfikalia Telaah Profil Kemampuan Mahasiswa dalam Pemecahan Masalah Berdasarkan Perbedaan Gender
(1998), responden laki-laki memiliki nilai skor yang lebih tinggi pada orientasi masalah yang positif dan nilai skor yang rendah untuk orientasi masalah yang negatif dibandingkan responden perempuan. Menurut D’Zurilla, Maydeu-Olivares, Kant (1997), hasil tersebut merefleksikan tendesi perempuan untuk memiliki orientasi pemecahan masalah yang negatif dibandingkan dengan laki-laki. Laki-laki dalam studi mereka memiliki kecenderungan untuk lebih impulsif dan tidak peduli saat mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan pemecahan masalah dalam hidup mereka, hal ini berkebalikan dengan perempuan. Variabel Penelitian Secara definisi, pemecahan masalah adalah keterkaitan yang kompleks antara proses kognitif, afektif, dan perilaku dengan tujuan untuk beradaptasi terhadap tuntutan ataupun tantangan dari luar diri maupun dari dalam Heppner & Krauskopf, 1987; dalam Heppner, Baker, 1997). Secara operasional, pemecahan masalah dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan adaptasi kuesioner Problem Solving Inventory yang bersifat lapor diri, dengan melihat pemecahan masalah dari 3 aspek, yaitu ada-tidaknya kepercayaan diri dalam menyelesaikan masalah (problem solving conficende), kecenderungan dalam penyelesaian masalah (approachavoidance style), dan ada tidaknya control pribadi dalam penyelesaian masalah (personal control). Responden Penelitian Metode sampel responden menggunakan insidental sampling, yang disebut juga convenience sampling, metode ini dikenal memiliki keunggulan cepat dalam penentuan jumlahnya, mudah untuk dilakukan, dan permasalahan yang diangkat baru pada tahap awal, sehingga generalisasi tidak menjadi masalah dengan ketersediaan sampel. Jumlah total responden dalam penelitian adalah mahasiswa tingkat pertama di Universitas X yang berasal dari 7 program studi dengan jumlah keseluruhan responden adalah 173 orang. Setiap responden, secara sukarela, diberikan kesempatan untuk menjawab pernyataan yang disediakan dalam alat ukur PSI, selama setengah jam. Selama masa pengisian, responden tidak diperkenankan untuk meninggalkan ruangan uji. Teknik analisis data penelitian ini adalah dengan regresi linier (One Way ANOVA). Hasil yang nantinya diperoleh akan menunjukkan apakah ada perbedaan antara dua kelompok (gender) yang tengah diuji. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini adalah merepresentasikan deskripsi tentang kemampuan pemecahan masalah di kalangan mahasiswa tingkat pertama. Keragaman responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini 41
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 1, April 2010: 37-45
masih memerlukan pengungkapan latar belakang responden, untuk melihat apakah faktor-faktor lainnya seperti tingkat intelejensia, asal sekolah, ekstra kurikuler yang diikuti dapat mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Dalam penelitian ini juga belum mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakangi perbedaan kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa. Sehingga dari faktor-faktor tersebut dapat memberikan gambaran tentang determinan dari kemampuan pemecahan masalah mahasiswa. Hasil Kemampuan Menyelesaikan Masalah Penelitian ini menggunakan adaptasi dari alat ukur Problem Solving Inventory (PSI), yang untuk mengevaluasi persepsi individu terkait dengan perilaku pemecahan masalah dan kebiasaan yang mereka miliki. PSI terdiri dari 31 item, yang terdiri dari 3 dimensi yaitu. (1) ProblemSolving Confidence (kepastian diri sendiri saat dihadapkan pada pemecahan masalah), (2) Approach-Avoidance Style (tendensi umum untuk pendekatan atau menghindari ragam tipe aktivitas pemecahan masalah), and (3) Personal Control (keyakinan atas kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dan perilakunya saat melakukan pemecahan masalah, Heppner, 1988). Terdapat 6 pilihan respon dalam mengisi kuesioner ini, yaitu: sangat sesuai (SS), sesuai (S), agak sesuai (AS), agak tidak sesuai (ATS), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Nilai dari PSI didaptkan dengan menambahkan skor seluruh item dalam alat ukur. Skor yang rendah mengindikasikan lebih banyak penilaian diri atas kemampuan pemecahan masalah yang positif. Sub-skala keyakinan pemecahan masalah terdiri atas 11 item (contoh, “Banyak masalah yang saya hadapi yang sangat kompleks bagi saya untuk selesaikan”), sedangkan subskala kendali pribadi terdiri dari 5 item (contoh, “Saya akan memutuskan sesuatu tapi kemudian menyesali keputusan itu”) dan subskala Gaya Pendekatan Penghindaran (the Approach-Avoidance Style subscale) terdiri atas 15 item (contoh, “Secara umum saya menganggap ide yang pertama kali terlintas di benak saya adalah ide yang paling baik). Seluruh item dinilai atas skala Likert (6 poin). Hasil yang nantinya diperoleh, jika nilainya tinggi maka hal tersebut mengindikasikan penilaian diri secara relatif dianggap sebagai pemecah masalah yang efektif (problem solver), dimana skor rendah merefleksikan persepsi diri secara relative adalah pemecah masalah yang tidak efektif (ineffective probem solver). Pengukuran reliabilitas alat ukur PSI menggunakan pendekatan konsistensi internal dengan indeks reliabilitas α = 0,750. Analisis faktor telah dilakukan pada versi bahasa Inggris dari alat ukur ini dimana item mengelompok pada tiga dimensi, yaitu: (1) ProblemSolving Confidence (2) Approach-Avoidance Style dan (3) Personal Control (Heppner & Petersen, 1982).
42
Anita Maharani & Alfikalia Telaah Profil Kemampuan Mahasiswa dalam Pemecahan Masalah Berdasarkan Perbedaan Gender
Dalam studi ini, pengelompokkan responden adalah 64% perempuan dan 56% laki-laki dan rerata usia mereka adalah 19 tahun. 100% dari responden adalah mahasiswa tingkat pertama. Dalam studi ini, skor yang dihasilkan dari PSI dievaluasi berdasarkan gender. Jika dibandingkan dengan jenis kelamin, dibandingkan dengan total skor rerata seluruh jurusan, maka hasil yang diperoleh adalah rerata skor PSI responden perempuan adalah 121,83 (lebih kecil dari pada rata-rata keseluruhan) dan rerata skor PSI responden laki-laki adalah 125,209 (lebih besar dari pada rata-rata keseluruhan). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemampuan memecahkan masalah berdasarkan kaidah PSI, untuk jenis kelamin laki-laki, berada di atas total skor rata-rata kemampuan memecahkan masalah (PSI) seluruh jurusan. Tabel 1. Uji Anova berdasarkan jenis kelamin
Between groups Within groups Total
Sum of Squares 10.572 29.618 40.190
Df 50 123 173
Mean Square .211 .241
F
Sig.
.878
.694
Hasil pengujian menggunakan ANOVA terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor PSI responden laki-laki dan responden perempuan (F = 0,878, Sig. = 0,694; > 0,05). Sehingga, meskipun dari skor nilai rerata responden mengalami perbedaan, namun perbedaan tersebut tidak signifikan, atau dengan kata lain masih dapat ditoleransi. Anggapan Carey (1953), Hoffman dan Maier (1961, 1966), Maier (1933), dan Sweeney (1953), bahwa laki-laki dianggap memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah lebih baik dibandingkan perempuan, serupa dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, yakni skor rerata responden laki-laki lebih besar dibandingkan skor rerata responden perempuan. Selanjutnya, hasil yang diperoleh diatas agaknya memiliki kesamaan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Berger dan Gold (1979) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Studi mereka juga memberikan indikasi bahwa masih adanya faktor-faktor yang belum teridentifikasi dari permasalahan gender. Kesimpulan dan Saran Penelitian Lanjutan Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kemampuan pemecahan masalah mahasiswa, yang mengambil responden mahasiswa tingkat pertama di Universitas X, berdasarkan perbedaan gender. Hasil yang diperoleh memang ditemui adanya perbedaan, dari skor rerata nilai kemampuan pemecahan masalah, namun perbedaan tersebut 43
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 1, April 2010: 37-45
tidak signifikan. Dengan demikian perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara laki-laki dan perempuan tidak memberikan bukti bahwa salah satunya akan lebih baik dari yang lainnya. Studi sebelumnya dan hasil penelitian ini memberikan indikasi bahwa masih adanya faktor-faktor yang belum teridentifikasi dari permasalahan gender, sehingga masih diperlukan studi lanjutan. _________________ Daftar Pustaka Berger, Charlene., Gold, Dolores. Do Sex Differences in Problem Solving Still Exist?. Personality and Social Psychology Bulletin, Vol. 5, No. 1, 109-113 (1979) Carey, G.L. (1958). Sex Differences in Problem Solving Performance as a Function of Attitude Differences. Journal of Abnormal and Social Psychology, 56, 256-260 D’Zurilla, T.J., Albert Maydeu-Olivares, Gail L. Kant. (1998). Age and Gender Differences in Social Problem Solving Ability, Personality and Individual Indefferences. D’Zurilla, T.J., A.M Nezu, dan Albert Maydeu-Olivares. (1998). Manual for the Social Problem Inventory – Revised. North Tonawanda, N.Y.: Multi Health Systems. In Press Goldstein F. C., dan Levin H. S. (1987). Disorders of reasoning and problem-solving ability. In M. Meier, A. Benton, dan L. Diller (Eds.), Neuropsychological rehabilitation. London: Taylor & Francis Group. Heppner, P.P. dan Baker,C. E., (1997). Applications of Problem Solving Inventories. Measurement and Evaluation in Counseling and Development, Vol. 29, Issue 4, 1997 Heppner, P.P. dan Krauskopf, C.J. (1987). An Information Processing Approach to Personal Problem Solving. The Counselling Psychologists, 15, 371 – 447 Hoffman, L.R. dan Maier, N. R. F. (1961). Sex Differences, Sex Composition and Group Problem Solving. Journal of Abnormal and Social Psychology, 63, 453 – 456 Hoffman, L.R. dan Maier N. R. F. (1966). Social Factors Influencing Problem Solving in Women, Journal of Personality and Social Psychology, 4, 382 – 390 Langley, P dan Rogers, S. (…). An Extended Theory of Human Problem Solving. Computational Learning Laboratory Center for the Study of Language and Information Maier, N. R. F. (1933). An Aspect of Human Reasoning. British Journal of Psychology, 24, 144 – 155 44
Anita Maharani & Alfikalia Telaah Profil Kemampuan Mahasiswa dalam Pemecahan Masalah Berdasarkan Perbedaan Gender
Milton, G.A. (1956). Sex Differences in Problem Solving as a Function of Role Appropriateness of the Problem Content. Psychological Reports, 5, ,705 – 708. Newell, A., & Simon, H. A. (1972). Human problem solving. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Newell, A., J.C. Shaw, dan H. Simon, Elements of a theory of human problem solving. Psychological Review, 1958 Polya, G. How to solve it. (1957) Garden City, NY: Doubleday and Co., Inc. Santrock, J. W. (2006). Educational Psychology, 3rd ed. New York: McGraw-Hill Schieffer, J. L. & Schieffer, D. J. (2000). Problem-Solving Skills: Solution-Focused Strategies for Student Development, Part of the NCA Commission on Accreditation and School Improvement Journal of School Improvement, Volume 1, Issue 2, Fall/Winter 2000 Sweeney, E.J. (1953). Sex Differences in Problem Solving. Technical Report Number I, Stanford University, Departement of Psychology, Contract Number 25125 Thompson, C., & Rudolph, L. (2000). Counseling children (5th ed.). Belmont, CA: Wadsworth/Thomson Learning Weininger, Otto. (1906). Sex and character. London: W. Heinemann. (Publikasi awal tahun 1903) Wenke, Dorit; Peter A. Frensch, Joachim Funke. (2005). Complex Problem Solving and Intelligence: Empirical Relation and Causal Direction. Bab dalam buku Cognition and Intelligence: Identifying The Mechanisms of Mind, Cambridge University Press, 2005
45